Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM”

Dosen Pengampu:
Fadliyanur, M.Pd.I

Disusun Oleh:
KELOMPOK 2
Ahmad Zainal Arifin
1910815310004
Della Alya Aaliyah
1910815220024
Muhammad Iqbal Alfirdausy
1910815310008
Nadila Rusma Ramadhani 1910815320004
Salsabila Aurelia Putri
1910815220003

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN


TINGGI REPUBLIK INDONESIA

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT


FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN
BANJARBARU

2019

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah “Hadis Sebagai Sumber
Ajaran Islam” sebagai tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam di semester 1.

Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya


kepada dosen pengampu, Bapak Fadliyanur, M.Pd.I.

Kami menyadari dalam penyusunan laporan ini banyak terdapat kekurangan,


oleh karena itu kami mohon kritik dan saran dari semua pihak dalam penyempurnaan
Makalah “Hadis Sebagai Sumber Ajaran Islam” ini. Semoga Makalah “Hadis Sebagai
Sumber Ajaran Islam” yang kami susun dapat bermanfaat bagi kita semua.

Banjarbaru, September 2019

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………........ 1
DAFTAR ISI………………………………………………………………..………. 2
BAB I PENDAHULUAN………………………………………….……………….. 3
1.1 Latar Belakang…………………………………………………….……… 3
1.2 Rumusan Masalah………………………………………............................ 3
1.3 Tujuan…………………………………………………………….............. 4
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………….……... 5
2.1 Pengertian Hadis …………………………………………………………. 5
2.2 Fungsi dan Kedudukan Hadis… …………………………………………. 5
2.3 Pembagian Hadis………...………………………………………………. 10
2.4 Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam………………………………......... 14
2.5 Penjelasan Hadis Terhadap Hukum dalam Al-Qur’an….……………....... 15
BAB III PENUTUP……………………………………………………………..…. 18
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………...... 18
3.2 Saran…………………………………………………………………….... 18
DAFTAR PUSTAKA……………….…………………………………………….. 19

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al-hadist didefinisikan sebagai sumber berita yang datang dari Nabi saw dalam
segala bentuk baik berupa perkataan, perbuatan, maupun sikap persetujuan (Abdul
Majid Khan, 2011: 3). Salah satu riwayat yang disampaikan oleh ‘Aisyah mengatakan
bahwa prilaku (akhlak) Nabi adalah al-Qur’an. Riwayat tersebut menunjukkan bahwa
keberadaan hadis (sunnah) Nabi sangat penting dan mendasar karena kedudukannya
sebagi sumber hukum utama setelah Al-qur’an.
Hadist dikelompokkan dalam berbagai macam jenis, definisinya pun luas dan
banyak dikemukakan oleh para ulama. Untuk memahami kegunaan dan asal usul
hadist maka perlu pembelajaran dan pengkajian lebih lanjut.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari hadis?
2. Apa fungsi dan kedudukan hadis?
3. Bagaimana cara pembagian hadis?
4. Apa yang dimaksud dengan hadis sebagai sumber hukum islam?
5. Bagaimana penjelasan hadis terhadap hukum dalam Al-Qur’an?

4
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang diharapkan tercapai setelah pembahasan materi pada
makalah ini ialah:
1. Mahasiswa mampu memahami pengertian dari hadis
2. Mahasiswa dapat menjelaskan fungsi dan kedudukan hadis serta pembagian
hadis
3. Mahasiswa memahami bagaimana posisi hadis sebagai salah satu sumber
hukum islam.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hadis


Pengertian hadis secara terminologis menurut ahli hadis: “segala ucapan,
perbuatan dan keadaan atau perilaku Nabi saw”. Definisi diatas menyatakan bahwa
yang termasuk dalam kategori hadis adalah perkataan Nabi (qauliyah), perbuatan
Nabi (fi’liyah), dan segala keadaan Nabi (ahwaliyah). Di samping itu, sebagian ahli
hadis menyatakan bahwa, masuk juga kedalam keadaannya; segala yang diriwayatkan
dalam kita sejarah (shirah), kelahiran dan keturunannya (silsilah) serta tempat dan
yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diangkat menjadi nabi/rasul, maupun
sesudahnya.
Sebagian ulama seperti Ath-Thiby berpendapat bahwa “hadis itu melengkapi
sabda Nabi, perbuatan beliau dan taqrir beliau. Melengkapi perkataan, perbuatan, dan
taqrir sahabat. Sebagaimana melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir Tabi’in.
Maka sesuatu hadis yang sampai kepada dinamai marfu, yang sampai kepada sahabat
dinamai mauquf dan yang sampai kepada Tabi’in dinamai maqthu

2.2 Fungsi dan Kedudukan Hadis


a. Fungsi Hadis
Pada dasarnya, hadist memiliki fungsi utama sebagai menegaskan,
memperjelas dan menguatkan hukum-hukum dan hal lain yang ada di al Quran.
Penjelasan fungsi as-sunah terhadap al-Qur’an ada bermacam-macam. Imam malik
menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan al-tarqiq, bayan al-tafshil, bayan al-
basth, bayn al-tafsir, dan bayan al-tasyri. Imam Syafi’i menyebutkan lima pula.
Yaitu, al-tafsil, bayan at-takhsish, bayan at-ta’yyin, menambahkan dengan bayan al-
isyarah, sedangkan Imam Hambali menyebutkan empat fungsi, yaitu bayan at-
ta’kid, bayan at-tafsir, bayan at-tasyir dan bayan at-takhsis.

6
1. Bayan at-Taqrir
Bayan at-Taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid. Yang dimaksud
dengan bayan ialah menetapkan atau memperkuat apa yang diterangkan dalam
al-Qur’an. Funsi al-Hadits disini yakni memperkuat dan memperkokoh isi
kandungan. Seperti dalam al-Qur’an (Q.S. 5:6)

Artinya : Hai orang-orang beriman apabila kamu hendak mengerjaka shalat,


maka basulah mukamu dan tangan mu sampai dengan siku, dan sapulah kepala
dan basu kakimu sampai dengan kedua mata kaki.
Ayat tersebut kemudian di taqrir oleh hadits riwayat al-Bukhori dari Abu
Hurairah r.a

“Rasulullah SAW telah bersabda “Tidak diterima salat seseorang yang berhadas
sebelum ia berwudu (H.R Bukhari)
2. Bayan at-Tafsir

Yang dimaksud dengan bayn at-tafsir ialah penjelasan terhadap ayat-


ayat al-Qur’an yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, sebagai
contoh ialah ayat tentang perintah shalat dan zakat (Q.S. 2: 43)

7
Artinya : “dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan rukuklah beserta orang-
orang yang rukuk”
Untuk memperjelas ayat tersebut nabi memberikan perincian dengan
sabdanya :

... Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat... (H.R.


Bukhari)

3. Bayan at-Tasyri’
Kata at-Tasyri’, artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan
aturan atau hukum, maka yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah
mewwujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan syara’
yang tidak didapati nash-nya dalam al-Qur’an. Hadist sebagai bayan At tasyri’
ialah sebagai pemberi kepastian hukum atau ajaran-ajaran islam yang tidak
dijelaskan dalam Al-Quran. Biasanya Al Quran hanya menerangkan pokok-
pokoknya saja. Sebagaimana contohnya hadist mengenai zakat fitrah, dibawah
ini:

‫صا‬ ِ َّ‫ضانَ َعلَى الن‬


َ ‫اس‬ َ ‫ط ِر ِم ْن َر َم‬ ْ ِ‫ض َز َكا ةَ الف‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فَ َر‬
َ ِ‫اِ َّن َرسُوْ ُل هللا‬
َ‫صا عًا ِم ْن َش ِعي ٍْر َعلَى ُك ِّل حُ ٍّر اَوْ َع ْب ٍد َذ َك ٍر أَوْ أُ ْنثَى ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِم ْين‬ َ ْ‫عًا ِم ْن تَ َم ٍراَو‬

“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada


bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, beik
merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan”(HR. Muslim).

8
4. Bayan Nasakh
Secara etimologi, An-Nasakh memiliki banyak arti diantaranya at-taqyir
(mengubah), al-itbal (membatalkan), at-tahwil (memindahkan), atau ijalah
(menghilangkan).
Para ulama mendefinisikan Bayan An-nasakh berarti ketentuan yang
datang kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang terdahulu, sebab
ketentuan yang baru dianggap lebih cocok dengan lingkungannya dan lebih
luas. Salah satu contohnya yakni:
‫ث‬ ِ ‫صيَّةَ لِ َو‬
ٍ ‫ار‬ ِ ‫الَ َو‬

 “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”

Hadits ini menasakh surat QS.Al-Baqarah ayat 180:


‫ف َحقًّا‬
ِ ْ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َد ي ِْن َو ْاألَ ْق َربِ ْينَ بِ ْال َم ْعرُو‬ ُ ْ‫ض َر اَ َح َد ُك ْم ال َمو‬
َ ‫ت اِ ْن تَ َر‬
ِ ‫ك خَ ْي َرال َو‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم اِ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
َ‫َعلَى ال ُمتَّقِ ْين‬
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-
orang yang bertaqwa” (QS.Al-Baqarah:180)

Untuk fungsi hadist sebagai Bayan Nasakh ini masih terjadi perdebatan
di kalangan ulama. Para ulama Ibn Hazm dan Mutaqaddim membolehkan
menasakh al-Qur’an dengan segala hadits walaupun hadits ahad. Kelompok
Hanafiyah berpendapat boleh menasakh dengan hadist masyhur tanpa harus
matawatir. Sedangkan para mu’tazilah membolehkan menasakh dengan syarat
hadist harus mutawatir. Selain itu, ada juga yang berpendapat Bayan Nasakh
bukanlah fungsi hadist.

9
b. Kedudukan Hadis
Hadits merupakan penjelas ayat-ayat Al Quran yang kurang jelas atau
sebagai penentu hukum yang tidak terdapat dalam Al Quran. Bagi mereka yang
telah beriman terhadap Al Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara
otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam.
Sebagai sumber hukum Islam, hadis berada satu tingkat di bawah al-
Qur’ān. Artinya, jika sebuah perkara hukumnya tidak terdapat di dalam al-
Qur’ān, yang harus dijadikan sandaran berikutnya adalah hadis tersebut.
Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:
…..…‫…… َو َمااَتَا ُك ْم ال َّرسُوْ ُل فَ ُخ ُذوْ هُ َو َمانَهَا ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهُوْ ا‬
“Apa yang diperintahkan Rasul, maka laksanakanlah, dan apa yang dilarang
Rasul maka hentikanlah” (QS.Al-Hasyr:7).

Demikian pula firman Allah Swt. Dalam ayat lain :


َ ‫ُول فَقَ ْد أَطَا َع هَّللا َ ۖ َو َم ْن ت ََولَّ ٰى فَ َما أَرْ َس ْلنَا‬
‫ك َعلَ ْي ِه ْم َحفِيظًا‬ َ ‫َم ْن يُ ِط ِع ال َّرس‬
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.
Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS.An-Nisa: 80).

Para ulama sepakat setiap umat islam diwajibkan untuk mengikuti


perintah yang ada pada hadist-hadist shahih. Dengan berpegang teguh kepada
Al-Quran dan Al hadist, niscaya hidup kita dijamin tidak akan tersesat. Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫َاب هللاِ َو ُسنَّةَ َرسُوْ لِ ِه‬ ِ َ‫ت فِ ْي ُك ْم أَ ْم َري ِْن لَ ْن ت‬
َ ‫ ِكت‬: ‫ضلُّوْ ا َما تَ َم َّس ْكتُ ْم بِ ِه َما‬ ُ ‫ت ََر ْك‬

“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama
berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”
(Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu

10
Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal
Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).

2.3 Pembagian Hadis


Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini
kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang
ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.
A. DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi
sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua
macam, yakni:
1. Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan
atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat untuk dusta.
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
Ø Hadits Mutawatir Lafzi: Hadits yang lafad-lafad para perawi itu sama, baik
hukum maupun ma’nanya.
Ø Hadits Mutawatir Ma’nawy: Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya,
tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.
Ø Hadits Mutawatir Amaly: Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu
berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi
melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.
2. Hadis Ahad
Menurut Istilah ahli hadis, pengertian hadis ahad ialah hadits yang tidak berkumpul
padanya syarat-syarat mutawatir.

11
Pembagian hadits ahad dilihat dari jumlah periwayatannya di bagi kepada tiga
tingkatan yaitu :
Ø Hadits Masyhur: Hadits yang di riwayatkan oleh tiga orang atau lebih,serta belum
mencapai derajat Mutawatir.
Ø Hadits ‘Azis: Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walupun dua orang rawi
tersebut terdapat pada satu thabaqah saja,kemudian setelah itu,orang-orang pada
meriwayatkannya.
Ø Hadits gharib: Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri
dalam meriwayatkan, di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.

B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATANNYA


Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadits sahih,
hadits hasan, dan hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan,
jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-
hadis tersebut menjadi hadis sahih, hasan, dan daif.
1. Hadits Sahih
Hadits Sahih adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil,
sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak janggal.
Hadits shahih terbagi kepada dua bagian:
Ø Shahih li-dzatihi: Hadits yang sanadnya bersambung-sambung,
diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna hafalannya dari orang yang sekualitas
dengannya hingga akhir sanad, tidak janggal dan tidak mengandung cacat yang parah.
Ø Shahih li-ghairih: Hadits yang keadaan rawi-rawinya kurang hafidh dan
dhabith tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur, hingga karenanya berderajat
hasan, lalu didapati padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang
dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu.

12
2. Hadis Hasan
Hadits Hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh orang yang yang adil yang
kurang sedikit kedhobitannya, bersambung-sambung sanadnya sampai kepada nabi
SAW. dan tidak mempunyai ‘Illat serta syadz.
Menutut Ibnu Shalah, hadits hasan itu dapat dibagi menjadi dua:
Ø Hasan li-dzatihi: Berita Hadits yang terkenal para perawinya tentang kejujuran dan
amanahnya tetapi hafalan dan keteguhan hafalannya tidak mencapai derajat para
perawi hadits shahih.
Ø Hasan li-ghairih
Hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak jelas perilakunya atau
kurang baik hafalannya dan lain-lainnya.

C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH


hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi
2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.
a. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan.
Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah Hadis yang menunjuki suatu
keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang
temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:
Ø Hadis sahih, baik yang lizatihi maupun yang ligairihi
Ø Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
b. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan
menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah Hadis yang tidak menunjuki keterangan
yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas

13
ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan. Jadi, hadis
mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.
Hadis Daif
Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak
menghimpun sifat-sifat hadis hasan

D. DARI SEGI TEMPAT PENYANDARANNYA


Ditinjau dari segi kepada siapa berita itu disandarkan, apakah disandarkan
pada Allah, Nabi SAW., shahabat ataukah disandarkan kepada yang lainnya, maka
hadits itu dapat dibagi menjadi:
1. Hadits Qudsi
Yang disebut hadits Qudts –Qudsy atau hadits- Rabbany atau hawadits-lahi,
ialah sesuatu yang dikabarkan Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham ,
yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham tersebut dengan ungkapan
kata beliau.
2. Hadits Marfu’
Hadits Marfu' adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik
berupa perkataan, perbuatan atau semacam itu, baik sanadnya itu bersambung
ataupun sanadnya itu terputus.
3. Hadits Mauquf
Hadits Mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan atau semacam itu, baik sanadnya itu bersambung ataupun
sanadnya itu terputus.
4. Hadits Maqtu’
Hadits Maqtu' adalah yang disandarkan kepada tabi’in dan tabi’ut tabi’i serta
orang yang sesudahnya, baik berupa perkataan, perbuatan atau lainnya.

2.4 Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam

14
Hadis dalam hukum Islam dianggap sebagai mashdarun tsanin (sumber
kedua) setelah Al-Quran. Ia berfungsi sebagai penjelas dan penyempurna ajaran-
ajaran Islam yang disebutkan secara global dalam Al-Quran.
Bisa dikatakan bahwa kebutuhan Al-Quran terhadap hadis sebenarnya jauh lebih
besar ketimbang kebutuhan hadis terhadap Al-Quran.
Kendati demikian, seorang Muslim tidak dibenarkan untuk mengambil salah
satu dan membuang yang lainnya karena keduanya ibarat dua sisi mata uang yang
tidak bisa dipisahkan.
Untuk mengeluarkan hukum Islam, pertama kali para ulama harus menelitinya
di dalam Al-Qur’an. Kemudian setelah itu, baru mencari bandingan dan
penjelasannya di dalam hadis-hadis Nabi karena pada dasarnya tidak satupun ayat
yang ada dalam Al-Qu’ran kecuali dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi.
Dengan beberapa ayat dan hadis tersebut, seorang ulama bisa memutuskan
hukum-hukum agama sesuai dengan persoalan yang dihadapi, tentunya dengan
dukungan ilmu dan perangkat pengetahuan terhadap kedua sumber tersebut.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, seorang ahli hukum Islam berkebangsaan Mesir,
hadis mempunyai paling tidak tiga fungsi utama dalam kaitannya dengan Al-Quran :
Pertama, hadis berfungsi sebagai penegas dan penguat segala hukum yang ada dalam
Al-Quran seperti perintah shalat, puasa, zakat dan haji. Abdul Wahab Khallaf
mengatakan,

“Adakalanya hadis berfungsi sebagai penegas dan penguat terhadap hukum yang
ada dalam Al-Quran.”

Kedua, hadis juga berfungsi sebagai penjelas dan penafsir segala hukum yang
bersifat global dalam Al-Quran, seperti menjelaskan tatacara shalat, puasa, zakat dan
haji.

“Adakalanya hadis berfungsi sebagai penjelas dan penafsir terhadap hukum


global/umum yang disebutkan dalam Al-Quran.”

15
Ketiga, hadis juga berfungsi sebagai pembuat serta memproduksi hukum yang belum
dijelaskan oleh Al-Quran seperti hukum mempoligami seorang perempuan sekaligus
dengan bibinya, hukum memakan hewan yang bertaring, burung yang berkuku tajam
dan lain sebagainya. Khallaf kembali mengatakan sebagai berikut.

“Adakalanya hadis berfungsi sebagai penetap dan pencipta hukum baru yang belum
disebutkan oleh Al-Quran.”

Dengan demikian, karena begitu pentingnya posisi hadis dalam konsepsi hukum
Islam, maka seseorang yang akan berkecimpung di dalamnya diharuskan untuk
mengenal istilah dasar dalam ilmu hadis, menguasai kaidah-kaidah takhrij dan kajian
sanadnya, serta mengetahui seluk beluk dan tatacara memahami redaksinya.

2.5 Penjelasan Hadis Terhadap Hukum dalam Al-Qur’an


Pada dasarya hadis Nabi berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam al-
Qur'an dengan segala bentuknya. Allah menetapkan hukum dalam al-Qur'an adalah
untuk diamalkan. Karena dalam pengamalan itulah terletak tujuan yang disyari'atkan.
Tetapi pengamalan hukum Allah itu dalam bentuk tertentu tidak akan terlaksana
menurut apa adanya sebelum diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian
penjelasan-penjelasan Nabi itu bertujuan supaya hukum-hukum yang yang ditetapkan
dalam al-Qur'an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.
Penjelasan Nabi terhadap hukum dalam al-Qur'an itu memiliki beberapa
bentuk :
1. Nabi memberikan penjelasan dengan cara dan bahasa yang mudah ditangkap
oleh umat sesuai dengan kemampuan akal mereka pada waktu itu. Dalam
penjelasan itu kelihatannya Nabi tidak memberikan penjelasan yang bersifat
definitif filosofis, tetapi hanya dengan melakukan serangkaian perbuatan
dengan cara yang mudah diikuti umatanya.

16
2. Nabi memberikan pejelasan dengan cara-cara dan contoh-contoh yang secara
nyata terdapat disekitar lingkungan kehidupan pada waktu itu. Dengan
demikian hukum yang ditetapkan dalam al-Qur'an mudah dimengerti dan
diterima serta dijalankan oleh umat. 24 Dari segi bentuk penjelasan Nabi
terhadap hukum yang disebutkan dalam al-Qur'an, terdapat beberapa bentuk
penjelasan:

Pertama, penjelasan Nabi secara jelas dan terperinci sehingga tidak mungkin ada
pemahaman lain. Walaupun dalam al-Qur'an beberapa hukum bersifat garis besar,
namun dengan penjelasan Nabi secara rinci, lafaz-lafaz yang menunjukkan hukum itu
menjadi jelas. Penjelasan Nabi yang rinci itu dipahami baik oleh sahabat. Dalam hal
ini tidak timbul perbedaan pendapat dalam memahami penjelasan tersebut. Dengan
demikian penjelasan Nabi bersifat Qath'i. Penjelasan Nabi yang bersifat Qath'i itu
berlaku dalam bidang akidah dan pokok-pokok ibadah seperti shalat, puasa zakat, dan
ibadah haji. Dalam hal yang bersifat pokok ini, meskipun tidak ada penjealsan rinci
dalam al-Qur'an namaun karena Nabi memberikan penjelasan secara Qath'i, maka
tidak ada lagi kesamaran, dan karenanya tidak timbul perbedaan mendasar dikalangan
ulama dalam hukumnya.
Kedua, penjelasan Nabi tidak tegas dan rinci, sehingga masih menimbulkan
kemungkinan-kemungkinan dalam pemahamn meskipun sudah ada penjelasan dari
Nabi. Kemungkinan pemahamn itu terjadi dari segi kebenaran materinya atau terjadi
akibat ketidakpastian penjelasannya. Penjelasan Nabi yang belum tuntas dan jelas itu
disebut penjelasan yang zanni. Penjelasan yang zanni itu pada umumnya berlaku pada
bidang mu'amalah dalam arti yang luas. Begitu pula dalam bidang ibadah yang tidak
pokok.
Umpamanya sikap berdiri atau duduk dalam shalat tidak dijelaskan secara pasti
sehingga dalam pelaksanaannya timbul sedikit perbedaan. Mengenai kekuatan hadis
sebagi sumber hukum ditentukan oleh dua segi, pertama dari segi kebenaran
materinya dan kedua dari segi kekuatan petunjuknya terhadap hukum. Dari segi
kebenaran materinya, kekuatan hadis mengikuti kebenaran pemberitaannya
(wurudnya) yang terdiri tiga tingkat yaitu : mutawatir, masyhur dan ahad.

Sedangkan menurut konsep al-Syafi’I, kemudian al-Zuhayli memerinci empat posisi


sunnah dalam kaitannya dengan Al-Qur’an yaitu:

17
1. Konfirmator hukum Al-Qur’an
2. Interpretator hukum Al-Qur’an, diantaranya:
- Interpretator keglobalan hukum Al-Qur’an
- Mukhassis (mengkhususkan)
- Muqayyid (membatasi)
3. Argumentator eksistensi naskh
4. Produsen hukum secara mandiri

BAB III
PENUTUP

18
3.1 Kesimpulan
Al-Hadis memiliki kedudukan penting dalam penegakan hukum Islam.
Karena dalam Al-Qur’an tidak dimuat semua peraturan-peraturan dan hukum dalam
beragama maka digunakanlah hadis atau sunnah sebagai pendamping serta pedoman
umat muslim dalam memahami hukum Islam.
Hadis sangatlah istimewa karena merupakan segala perkataan, perbuatan,
serta sikap Rasulullah dalam menyikapi peristiwa sehari-hari serta peraturan atau
hukum yang tidak tertuang dalam Al-Qur’an.

3.2 Saran
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari atau kehidupan di dunia, sebaiknya
kita tidak lupa dengan segala peraturan dan hukum Islam yang telah ditetapkan.
Menjauhi larangannya dan mengerjakan apa yang telah diperintahkan oleh Al-Qur’an
dan sunnah perlu diterapkan.

Kadangkala kita sering lupa dan tidak sengaja melakukan kesalahan, oleh
sebab itu mempelajari al-qur’an dan hadis sangat penting agar kita tidak tersesat dan
selalu dalam keadaan tenang dalam melakukan sesuatu karena kita telah mengetahui
hukum yang mengaturnya.

DAFTAR PUSTAKA

19
Penulis Tim MKU. 2019. Studi Islam di Era 4.0. Yogyakarta: CV. Aswaja Pressindo.
PAI Kelas 10 SMA.

Jurnal:
AL-FIKR Volume 14 Nomor 3 Tahun 2010. KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADIS
SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM. Tasbih. Fakultas Ushuluddin dan Dakwah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo.
Yusuf, Nasruddin. HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM. (Telaah Terhadap
Penetapan Kesahihan Hadis Sebagai Sumber Hukum Menurut Syafi'iy).
Choiri, Amrul. Setiaji, Bambang. AL-QURAN DAN AL-SUNNAH SEBAGAI
SUMBER AJARAN ISLAM. (Kajian Kritis Pemahaman Minardi Mursyid di Solo
Raya). Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UMS. Fakulas Ekonomi
UMS.

Internet:
https://wikihadis.id
https://dalamislam.com

20

Anda mungkin juga menyukai