Soedirman dilahirkan di Purbalingga, Hindia Belanda oleh pasangan wong cilik, lalu
diangkat oleh pamannya, yang merupakan seorang priyayi. Setelah dibawa pindah bersama
keluarganya ke Cilacap pada akhir tahun 1916, Soedirman tumbuh menjadi siswa yang rajin;
ia juga sangat aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk organisasi pramuka bentukan
organisasi Islam Muhammadiyah. Saat masih di sekolah menengah, Soedirman telah
menunjukkan kemampuan sebagai pemimpin; ia juga dihormati dalam masyarakat karena taat
pada agama Islam. Setelah keluar dari sekolah guru, ia menjadi guru di sebuah sekolah rakyat
milik Muhammadiyah pada tahun 1936; Soedirman akhirnya diangkat sebagai kepala sekolah
itu. Soedirman juga aktif dengan berbagai program Muhammadiyah lain, termasuk menjadi
salah satu pemimpin organisasi Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1937. Setelah
pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942, Soedirman terus mengajar. Pada tahun
1944 ia bergabung dengan angkatan Pembela Tanah Air (PETA) yang disponsori Jepang
sebagai pemimpin batalyon di Banyumas. Saat menjadi perwira PETA, Soedirman berhasil
menghentikan sebuah pemberontakan yang dipimpin anggota PETA lain, tetapi akhirnya
ditahan di Bogor. Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,
Soedirman dan tahanan lain melarikan diri. Soedirman kemudian pergi ke Jakarta dan
bertemu dengan Presiden Soekarno. Di Jakarta, Soedirman ditugaskan untuk mengurus
penyerahan prajurit Jepang di Banyumas, yang ia lakukan setelah mendirikan salah satu
cabang Badan Keamanan Rakyat (TKR). Dengan merampas senjata dari Jepang, pasukan
yang dipimpin Soedirman dijadikan bagian dari Divisi V 20 Oktober oleh panglima
sementara Oerip Soemohardjo; Soedirman dijadikan panglima dari divisi tersebut.
Pada tanggal 12 November 1945, Soedirman terpilih dalam suatu pemilihan Panglima
Besar TKR yang diadakan di Yogyakarta. Saat menunggu konfirmasi, Soedirman memimpin
suatu serangan terhadap pasukan Sekutu di Ambarawa. Keterlibatannya dalam Palagan
Ambarawa membuat Soedirman mulai dikenal di masyarakat luas. Ia akhirnya
dikonfirmasikan sebagai panglima besar pada tanggal 18 Desember. Dalam tiga tahun
berikutnya Soedirman menyaksikan ketidakberhasilan negosiasi dengan pasukan kolonial
Belanda, pertama setelah Persetujuan Linggajati lalu setelah Persetujuan Renville—yang
mengakibatkan Indonesia harus menyerahkan wilayah yang diambil oleh Belanda pada
Agresi Militer I. Ia juga menghadapi pemberontakan dari dalam, termasuk suatu percobaan
kudeta pada tahun 1948. Menjelang kematiannya, Soedirman menyalahkan hal-hal ini
sebagai penyebab penyakit tuberculosisnya; karena infeksi tersebut, paru-parunya yang kanan
dikempeskan pada bulan November 1948.
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman pulang dari rumah
sakit, pemerintah Belanda meluncurkan Agresi Militer II, suatu usaha untuk menduduki ibu
kota di Yogyakarta. Meskipun banyak pejabat politik mengungsi ke kraton, Soedirman
bersama sejumlah pasukan dan dokter pribadinya menuju ke arah selatan dan melakukan
perlawanan gerilya sepanjang tujuh bulan. Awalnya mereka diikuti pasukan Belanda, tetapi
akhirnya mereka berhasil kabur dan mendirikan markas sementara di Sobo, dekat Gunung
Lawu. Di Sobo ia dan pasukannya menyiapkan Serangan Umum 1 Maret 1949, yang
akhirnya dipimpin Letnan Kolonel Suharto. Setelah Belanda mulai mengundurkan diri, pada
bulan Juli 1949, Soedirman dipanggil kembali ke Yogyakarta. Meskipun ia hendak mengejar
pasukan Belanda, ia dilarang oleh Soekarno. Karena kelelahan setelah berbulan-bulan
bergerilya, tuberculosis Soedirman tumbuh lagi; akibatnya ia pergi ke Magelang untuk
beristirahat. Ia meninggal kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan
Indonesia. Sekarang Soedirman dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di
Yogyakarta.
Karier militer
Ketika zaman pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di
Bogor di bawah pelatihan tentara Jepang. Setelah menyelesaikan pendidikan di PETA, ia
menjadi Komandan Batalyon di Kroya, Jawa Tengah. Kemudian ia menjadi Panglima Divisi
V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan
Perang Republik Indonesia (Panglima TKR).
Soedirman dikenal oleh orang-orang di sekitarnya dengan pribadinya yang teguh pada
prinsip dan keyakinan, dimana ia selalu mengedepankan kepentingan masyarakat banyak dan
bangsa di atas kepentingan pribadinya, bahkan kesehatannya sendiri. Pribadinya tersebut
ditulis dalam sebuah buku oleh Tjokropranolo, pengawal pribadinya semasa gerilya, sebagai
seorang yang selalu konsisten dan konsekuen dalam membela kepentingan tanah air, bangsa,
dan negara.
Pada masa pendudukan Jepang ini, Soedirman pernah menjadi anggota Badan
Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Karesidenan Banyumas.
Dalam saat ini ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan.
Pasca kemerdekaan Indonesia
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, pasukan Jepang menyerah tanpa syarat kepada
Pasukan Sekutu dan Soekarno mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Soedirman
mendapat prestasi pertamanya sebagai tentara setelah keberhasilannya merebut senjata
pasukan Jepang dalam pertempuran di Banyumas, Jawa Tengah. Soedirman mengorganisir
batalyon PETA-nya menjadi sebuah resimen yang bermarkas di Banyumas, untuk menjadi
pasukan perang Republik Indonesia yang selanjutnya berperan besar dalam perang Revolusi
Nasional Indonesia.
Menangnya Pasukan Sekutu atas Jepang dalam Perang Dunia II membawa pasukan
Belanda untuk datang kembali ke kepulauan Hindia Belanda (Republik Indonesia sekarang),
bekas jajahan mereka yang telah menyatakan untuk merdeka. Setelah menyerahnya pasukan
Jepang, Pasukan Sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang.
Ternyata pasukan sekutu datang bersama dengan tentara NICA dari Belanda yang hendak
mengambil kembali Indonesia sebagai koloninya. Mengetahui hal tersebut, TKR pun terlibat
dalam banyak pertempuran dengan tentara sekutu.
Perang besar pertama yang dipimpin Soedirman adalah perang Palagan Ambarawa
melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November sampai
Desember 1945. [5] Pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Soedirman
terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember
1945, Soedirman melancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris di
Ambarawa. Pertempuran terkenal yang berlangsung selama lima hari tersebut diakhiri dengan
mundurnya pasukan Inggris ke Semarang. Perang tersebut berakhir tanggal 16 Desember
1945.
Kematian
Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 –
Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang)
adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda
pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara
suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle
Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan
bersumpah hendak menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien.
Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut
serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun
1880. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang.[1] Setelah pernikahannya
dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun,
Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia
berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat
itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang
bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba.[2][3] Ia akhirnya ditangkap dan
dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun,
keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih berhubungan
dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang ke Sumedang. Tjoet
Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh,
Sumedang.
Kehidupan awal
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh
Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang
uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari
Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan
Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak
Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang
Lampagar.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh
pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah
tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik
baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha
melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862
dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki
satu anak laki-laki.
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.
Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh
Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin
Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal
8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan
langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien
yang melihat hal ini berteriak:
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI
Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun
1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan
lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut
kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878.
Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan
Belanda.
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak
Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam
medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar
pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan
Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak
yang diberi nama Cut Gambang.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun
1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan
orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya
yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda.
Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga
mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya
komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan
rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh.
Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien
berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus
berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda,
sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai.
Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana
palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan
berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het
verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).
Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan
Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang
bertugas.[1] Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat
sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan
orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal
ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan
unit "De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena
banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan
masih tetap ada pada penduduk Aceh.
Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai
menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga
Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11
Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak
Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu
memeluknya dan berkata:
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman
Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus
bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa
berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya
sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus
berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya
kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di
Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha mengambil
rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan
oleh Belanda. Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke
hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ.
Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien
akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya
akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan
pejuang yang belum tunduk.
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik
perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka
pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. [1] Ia
ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien
merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang
sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan
Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2
Mei 1964.
Biodata Bung Tomo
BIOGRAFI
Sutomo (Surabaya, 3 Oktober 1920 – Makkah, 7 Oktober 1981) atau Bung Tomo
adalah pahlawan yang terkenal karena peranannya dalam membangkitkan semangat rakyat
untuk melawan kembalinya penjajah Belanda melalui tentara NICA dan berakhir dengan
peristiwa pertempuran 10 November 1945 yang hingga kini diperingati sebagai Hari
Pahlawan.
Sutomo pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, ia menjadi staf pribadi di
sebuah perusahaan swasta, sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di
perusahan ekspor-impor Belanda.
Ia juga pernah bekerja sebagai polisi di kota Praja dan pernah pula menjadi anggota Sarekat
Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi distributor untuk perusahaan mesin jahit
“Singer”.
Pada usia 12 tahun, Sutomo meninggalkan pendidikannya di MULO karena ia harus
melakukan berbagai pekerjaan untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga. Kemudian ia
menyelesaikan pendidikan HBS melalui korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.
Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Pada usia 17
tahun, ia berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat “Pandu
Garuda”.
Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis. Kemudian ia bergabung dengan sejumlah
kelompok politik dan sosial. Ia terpilih pada tahun 1944 menjadi anggota Gerakan Rakyat
Baru. Bulan Oktober dan November 1945, ia berusaha membangkitkan semangat rakyat
pada saat Surabaya diserang oleh tentara NICA dengan seruan-seruan pembukaannya di
dalam siaran-siaran radio yang penuh dengan emosi.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo pernah aktif dalam politik pada tahun
1950-an. Namun pada awal tahun 1970-an, ia berbeda pendapat dengan pemerintahan
Orde Baru. Ia berbicara keras terhadap program-program presiden Soeharto sehinga pada
11 April 1978 ia ditahan oleh pemerintah selama setahun karena kritik-kritiknya yang keras.
Pada tanggal 7 Oktober 1981, Sutomo meninggal dunia di Makkah, ketika sedang
menunaikan ibadah haji. Jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke Indonesia dan dimakamkan
di Tempat Pemakaman Umum Ngagel, Surabaya”.
B. Foto Legendaris
Foto ini legendaris, selalu muncul di setiap publikasi 10 November, menjadi ilustrasi
buku sejarah jika mengulas perang 10 November. Siapa pemotretnya dan bagaimana situasi
yang melatarbelakanginya?
Di foto itu Bung Tomo yang ceking terlihat gagah berpidato. Berseragam militer,
tangan kanannya menunjuk ke atas. Kumisnya tipis, matanya tajam. Kepalanya dinaungi
payung bergaris-garis dan corong bundar menghadang mulutnya.
Namun siapa sangka, foto itu sebenarnya bukan diambil saat perang 10 November 1945,
tetapi beberapa tahun setelahnya. Istri Bung Tomo, Sulistina, mengakui foto itu tidak
dijepret di Surabaya. “Itu yang motret IPPHOS, di lapangan Mojokerto. Waktu itu Bapak
sedang berpidato. Nggak dibuat-buat, kok,” tanya ujar Sulistina. Putra kedua Bung Tomo,
Bambang Sulistomo, membenarkan ayahnya tidak sempat diabadikan pada perang 10
November karena perannya yang penting sehingga posisinya selalu dirahasiakan.
Lantas siapa yang memotret Si Bung sehingga foto hitam putih ini mampu bercerita banyak
tentang kegagahan 10 November? Surya mendatangi kantor IPPHOS Surabaya di Jl Urip
Sumohardjo. IPPHOS kependekan dari Indonesia Press Photo Service, biro dokumentasi foto
satu-satunya di zaman perang.
Sayang, IPPHOS Surabaya tidak aktif lagi. Tidak ada orang yang bisa memberi
keterangan tentang foto ini. Beruntung, ada sejumlah literatur terkait foto legendaris ini.
Faktanya, selama periode terakhir 1945, ketika perang Surabaya berkecamuk, ternyata tidak
ada satupun surat kabar yang memuat foto Bung Tomo berpayung ini.
Foto itu pertama kali muncul dalam majalah dwi bahasa, Mandarin dan Indonesia,
Nanjang Post, edisi Februari 1947. Ada foto Bung Tomo dengan pose dahsyat ini. Dijelaskan
dalam keterangan foto itu bahwa Bung Tomo sedang berpidato di lapangan Mojokerto
dalam rangka mengumpulkan pakaian untuk korban Perang Surabaya.
Saat itu masih banyak warga Surabaya yang bertahan di pengungsian di Mojokerto
dan jatuh miskin. Sementara Surabaya sedang diduduki Belanda. Sulistina hanya mengenal
nama Mendur, wartawan foto IPPHOS yang mengambil gambar ‘Bapak’.
Lantas siapa Mendur? Nama lengkapnya Alexius Mendur (1907-1984), pendiri
IPPHOS. Mendur adalah legenda fotografi era perang. Dialah yang mengabadikan hampir
semua peristiwa bersejarah periode 1945-1949.
Dia satu-satunya fotografer yang memotret pembacaan proklamasi RI 17 Agustus
1945. Alex bukan orang asing bagi Bung Tomo. Mereka bersahabat sejak lama karena sama-
sama wartawan. Di zaman Jepang, Bung Tomo adalah pemimpin redaksi kantor Berita
Domei yang kelak menjadi Kantor Berita Antara di Surabaya. Sementara, Mendur tercatat
sebagai kepala desk foto kantor berita Domei Jakarta. Alex Mendur dan saudara kembarnya,
Frans Mendur, mendirikan IPPHOS pada 2 Oktober 1946 di Jakarta. Beberapa nama lain juga
tercatat sebagai pendiri IPPHOS. Misalnya, JK Umbas, FF Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar
Ganda.
Hasil jepretan Mendur itu sudah berbicara banyak. Tanpa mendengar pidato Bung
Tomo dan hanya melihat foto itu, orang sudah bisa membayangkan dengan jelas bagaimana
situasi pada masa itu. Tak mengherankan kalau kemudian foto itu dianggap sebagai salah
satu yang terbaik yang pernah dibuat di era perang kemerdekaan.
BIOGRAFI JENDRAL AHMAD YANI
Biodata
Nama : Ahmad Yani
Riwayat hidup :
-HIS (setingkat SD) Bogor, tamat tahun 1935
-MULO (setingkat SMP) kelas B Afd. Bogor, tamat tahun 1938
-AMS (setingkat SMU) bagian B Afd. Jakarta, berhenti tahun 1940
Pendidikan Militer :
-Pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang
-Pendidikan Heiho di Magelang
-Tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor
-Command and General Staf College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA, tahun 1955
-Spesial Warfare Course di Inggris, tahun 1956
Biografi R.A Kartini
Biografi R.A Kartini Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut
Raden Ayu Kartini.
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan
Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri
pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti
Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu
mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah
bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan
(Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini
diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan,
R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara
sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro
IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang
pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS
(Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah
usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan
menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya
adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah
Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk
memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada
status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter
Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada
langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup
berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie.
Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De
Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh
perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu
karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal
emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum.
Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan
persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca
Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya
Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht
(Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi,
karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-
Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen
Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda. Makam R.A. Kartini di Bulu,
Rembang. Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M.
Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini
menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini
diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang
kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai
Gedung Pramuka. Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal
13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada
usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Kartinischool (1918)
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan
Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun,
Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan
Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun
1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap
tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.