Anda di halaman 1dari 26

SEJARAH NOVEL SOEHARTO

Disusun Oleh :

Nama : Tesa Marpaung


Kelas : XII IPS1

SMAN 2 BANDAR
Kab. Simalungun
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas terselesaikannya
makalah yang berjudul “Sejarah Novel Soeharto”. Makalah yang masih perlu dikembangkan
lebih jauh ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Makalah ini dibuat sebagai tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia, yang secara garis
besar memuat tentang Novel biografi Soeharto meliputi masa kecilnya, latar belakang
keluarga, latar belakang pendidikan, karir militer, karir politik, dan nilai-nilai kepemimpinan
beliau.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak,
penulis tidak mungkin menyelesaiakan penyusunan makalah ini, untuk itu ucapan terima
kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu. Penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif, terutama dari Ibu E.Rosmeir Nadapdap,
S.pd dan teman-teman jurusan IPS.

Simalungun, 21 November 2021

Tesa Marpaung

1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................................1
Daftar Isi……….…………………………………………………...……………................2
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang.........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................................5
C. Tujuan......................................................................................................................5
Bab II Pembahasan
A. Soeharto...................................................................................................................6
B. Latar Belakang Keluarga.........................................................................................6
C. Latar Belakang Pendidikan dan Karir Militer..........................................................8
D. Kepribadian Soeharto..............................................................................................10
E. Model Kepemimpinan Soeharto..............................................................................13
F. Nilai-nilai Kepemimpinan Soeharto........................................................................15
G. Kebijakan-Kebijakan Soeharto................................................................................17
H. Keburukan Soeharto................................................................................................19
Bab III Penutup
A. Kesimpulan..............................................................................................................23
B. Saran........................................................................................................................23
Daftar Pustaka........................................................................................................................24

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kepemimpinan dari seorang tokoh yang disegani dan dihormati secara luas oleh
masyarakat dapat pula menjadi faktor yang menyatukan suatu bangsa-negara. Pemimpin ini
menjadi panutan sebab warga masyarakat mengidentifikasikan diri kepada sang pemimpin,
dan ia dianggap sebagi “penyambung lidah” masyarakat.
Akan tetapi, pemimpin saja mungkin tidak menjamin bagi terbentuknya suatu bangsa-
negara sebab pengaruh pemimpin bersifat sementara.  Dalam hal ini ada dua penyebab. 
Pertama, umur manusia (pemimpin) terbatas, dan khususnya pemimpin kharismatik tidak
dapat diwariskan.  Pemimpin tidak hanya yang masih hidup dapat berfungsi sebagai simbol
persatuan bangsa, tetapi juga yang sudah menjadi pahlawan.  Kedua, tipe kepemimpinan
berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat.  Masyarakat yang berubah menghendaki
tipe pemimpin yang berubah pula.  Pada pihak lain tidak hanya pemimpin kharismatik
dipandang sebagai simbol persatuan bangsa, tetapi juga  di negara-negara yang maju seorang
pemimpin diharapkan tampil sebagai “wakil” atau personifikasi bangsa di dalam maupun di
luar negeri.
Drama terbesar dan paling tragis dalam sejarah Indonesia tentulah drama kehidupan
Soeharto.  Setelah tiga decade berkuasa, ditakuti, disembah bagai dewa, kini Soeharto paling
terhujat di Indonesia. Sebagai pemimpin bangsa dan negara Republik Indonesia, Pak Harto
menjadi pusat perhatian dan sorotan, tidak saja dari semua warga Republik ini, tetapi oleh
para pakar dan pemerhati politik dari manca negara. 
Rezim Orde Baru yang ia bangun selama berkuasa, banyak memunculkan kontroversi. 
Ada yang memuji kepemimpinan beliau sebagai “Bapak Pembangunan” dan lainnya namun
banyak juga yang mengutuk dengan “Gantung Soeharto”.  Bahkan ketika beliau sakit sampai
akhirnya meninggal pada tanggal 28 Januari 2008 pada usia 86 tahun, ia masih menjadi
bahan perbincangan yang menimbulkan banyak kotroversi.  Hal itu menyangkut kelanjutan
kasus korupsi yang di dakwakan kepada almarhum, dan kasus lai selama menjabat sebagai
presiden.
Kehidupan Pak Harto sebagai seorang pemimpin bangsa memang menarik untuk
dikaji.  Meskipun banyak sisi negatif yang telah melekat pada beliau, namun banyak pula
pelajaran berharga yang dapat kita jadikan bekal untuk memimpin. Untuk itulah, melalui

3
makalah ini penulis mencoba menyampaikan secuil kepemimpinan Pak Harto, dengan
harapan bisa mengambil pelajaran tentang kepemimpinan beliau. 

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini antara lain adalah:
1. Siapakah Soeharto?
2. Bagaimana kepribadian Soeharto?
3. Bagaimana latar belakang keluarga dan pendidikannya?
4. Bagaimana karir militer dan politik Soeharto?
5. Bagaimana jasa-jasa Soeharto?
6. Bagaimana nilai-nilai kepemimpinan Soeharto?
C. Tujuan
Tujuan dari pembahasan makalah ini antara lain adalah:
1. Mengetahui siapakah Soeharto.
2. Mengetahui kepribadian Soeharto.
3. Mengetahui latar belakang keluarga dan pendidikannya.
4. Mengetahui karir militer dan politik Soeharto.
5. Mengetahui jasa-jasa Soeharto.
6. Mengetahui nilai-nilai kepemimpinan Soeharto.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Soeharto
1. Sebagai Presiden Indonesia ke-2
Masa jabatan 12 Maret 1967–21 Mei 1998
(31 tahun)
Wakil Presiden:
Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1973–
1978)
Adam Malik (1978–1983)
Umar Wirahadikusumah (1983–1988)
Sudharmono (1988–1993)
Try Sutrisno (1993–1998)
B.J. Habibie (1998)
Pendahulu: Soekarno
Pengganti: B.J. Habibie
2. Sebagai Menteri Pertahanan ke-14
Masa jabatan
28 Maret 1966–17 Oktober 1967
3. Lahir: 8 Juni 1921 Kemusuk, Bantul,
Yogyakarta, Hindia Belanda
4. Meninggal: 27 Januari 2008 (umur 86)
Jakarta, Indonesia
5. Kebangsaan: Indonesia
6. Partai politik: Golkar
7. Profesi: Tentara
8. Agama: Islam

5
B. Latar Belakang Keluarga
Beberapa keluarga dari Soeharto adalah sebagai berikut, ayah Kertoredjo alias Wagiyo alias
Panjang alias Kertosudiro, ibunya bernama Sukirah, istrinya adalah Tien Soeharto, dan anak-
anaknya adalah Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), Sigit Harjojudanto (Sigit), Bambang
Trihatmodjo (Bambang), Siti Hediati Hariyadi (Titiek), Hutomo Mandala Putra (Tommy),
dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).
Pada 8 Juni 1921, Ibu Sukirah melahirkan bayi laki-laki di rumahnya yang
sederhana di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul,
Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun bersalin bernama Mbah Kromodiryo yang
juga adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono. Oleh ayahnya, Kertoredjo alias Wagiyo
alias Panjang alias Kertosudiro bayi laki-laki itu diberi nama Soeharto. Dia adalah
anak ketiga Kertosudiro dengan Sukirah yang dinikahinya setelah lama menduda.
Dengan istri pertama, Kertosudiro yang menjadi petugas pengatur air desa atau ulu-
ulu, dikaruniai dua anak. Perkawinan Kertosudiro dan Sukirah tidak bertahan lama.
Keduanya bercerai tidak lama setelah Soeharto lahir. Sukirah menikah lagi dengan
Pramono dan dikaruniai tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutedjo.
Belum genap 40 hari, bayi Soeharto dibawa ke rumah Mbah Kromo karena ibunya
sakit dan tidak bisa menyusui. Mbah Kromo kemudian mengajari Soeharto kecil
untuk berdiri dan berjalan. Soeharto juga sering diajak ke sawah. Sering, Mbah
Kromo menggendong Soeharto kecil di punggung ketika sedang membajak sawah.
Kenangan itu tidak pernah dilupakan Soeharto. Terlebih ketika kakeknya memberi
komando pada kerbau saat membajak sawah. Karena dari situlah, Soeharto belajar
menjadi pemimpin. Soeharto juga suka bermain air, mandi lumpur atau mencari belut.
Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro,
ayah dari ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia delapan tahun, tetapi sering
berpindah. Semula disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean.
Lalu, pindah ke SD Pedes (Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono
pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke
Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang
menikah dengan seorang mantri tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima
sebagai putra paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo.

6
Soeharto kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung.
Dia juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.
Kegemaran bertani tumbuh selama Soeharto menetap di Wuryantoro. Di bawah
bimbingan pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi paham dan menekuni
pertanian. Sepulang sekolah, Soeharto belajar mengaji di langgar bersama teman-
temannya. Belajar mengaji bahkan dilakukan sampai semalam suntuk. Ia juga aktif di
kepanduan Hizbul Wathan dan mulai mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng
Kartini dan Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa. Setamat
Sekolah Rendah (SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke
sekolah lanjutan rendah di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal di
rumah Hardjowijono. Pak Hardjowijono adalah teman ayahnya yang pensiunan
pegawai kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo, tokoh
agama terkemuka di Wonogiri waktu itu.
Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep
obat tradisional untuk mengobati orang sakit. Soeharto kembali ke kampung asalnya,
Kemusuk untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Muhammadiyah di Yogyakarta. Itu dilakukannya karena di sekolah itu siswanya
boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki (sepatu).
Setamat SMP, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih
tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu membiayai karena
kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan ke sana ke mari, namun
gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai
pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia
minta berhenti.
Suatu hari pada tahun 1942, Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota
Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL adalah tentara kerajaan Belanda.
Ia mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara. Waktu itu, ia hanya sempat
bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan, karena Belanda menyerah kepada Jepang.
Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier
militernya dimulai.
C. Latar Belakang Pendidikan Dan Karir Militer
Berbicara tentang Soeharto, karir pendidikannya lebih banyak di pendidikan kemiliteran. Ia
menempuh Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean dan SD Pedes (Yogyakarta), lalu

7
sekolah lanjutan rendah di Wonogiri dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah
di Yogyakarta.
Pada 1 Juni 1940, ia diterima sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, Jawa
Tengah. Setelah enam bulan menjalani latihan dasar, ia tamat sekolah militer sebagai
lulusan terbaik dan menerima pangkat kopral. Ia terpilih menjadi prajurit teladan di
Sekolah Bintara, Gombong serta resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Saat Perang Dunia II
berkecamuk pada 1942, ia dikirim ke Bandung untuk menjadi tentara cadangan di
Markas Besar Angkatan Darat selama seminggu. Setelah berpangkat sersan tentara
KNIL, dia kemudian menjadi komandan peleton, komandan kompi di dalam militer
yang disponsori Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA, komandan resimen
dengan pangkat mayor, dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel.
Setelah Perang Kemerdekaan berakhir, ia tetap menjadi Komandan Brigade
Garuda Mataram dengan pangkat letnan kolonel. Ia memimpin Brigade Garuda
Mataram dalam operasi penumpasan pemberontakan Andi Azis di Sulawesi.
Kemudian, ia ditunjuk sebagai Komadan APRIS (Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat) Sektor Kota Makassar yang bertugas mengamankan kota dari
gangguan eks KNIL/KL.
Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta dalam serangan umum yangberhasil menduduki
Kota Yogyakarta selama enam jam. Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan
Hamengku Buwono IX kepada Panglima Besar Soedirman bahwa Brigade X
pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan serangan umum di Yogyakarta dan
menduduki kota itu selama enam jam untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia
(RI) masih ada.
Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan diangkat
menjadi Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat letnan kolonel (1 Maret
1953). Pada 3 Juni 1956, ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan
Teritorium IV Diponegoro di Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat
Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya
dinaikkan menjadi kolonel.
Lembaran hitam juga sempat mewarnai lembaran kemiliterannya. Ia dipecat oleh
Jenderal Nasution sebagai Pangdam Diponegoro. Peristiwa pemecatan pada 17
Oktober 1959 tersebut akibat ulahnya yang diketahui menggunakan institusi
militernya untuk meminta uang dari perusahaan-perusahan di Jawa Tengah. Kasusnya

8
hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani. Atas saran Jendral
Gatot Subroto saat itu, dia dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando
Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat. Pada usia 38 tahun, ia
mengikuti kursus C SSKAD (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung dan
pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal pada 1 Januari 1960. Kemudian, dia
diangkat sebagai Deputi I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39 tahun.
Pada 1 Oktober 1961, jabatan rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I Caduad
(Cadangan Umum AD) yang telah diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah
dengan jabatan barunya sebagai Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD).
Pada tahun 1961 tersebut, ia juga mendapatkan tugas sebagai Atase Militer Republik
Indonesia di Beograd, Paris (Perancis), dan Bonn (Jerman). Di usia 41 tahun,
pangkatnya dinaikkan menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962) dan menjadi Panglima
Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan merangkap sebagai Deputi Wilayah
Indonesia Timur di Makassar. Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang
telah naik pangkat menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh
Jenderal A.H. Nasution. Di pertengahan tahun 1962, Soeharto diangkat sebagai
Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965.
Sekitar setahun kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962, Brigadir Jenderal Soeharto
diangkat sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Mayor
Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan segera
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Setelah
diangkat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1 Mei
1963, ia membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib) untuk mengimbangi G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965.
Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965, Mayjen Soeharto diangkat sebagai
Panglima Kopkamtib. Jabatan ini memberikan wewenang besar untuk melakukan
pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pelaku G-30-S/PKI.

D. Kepribadian Soeharto
Kepribadian Soeharto dipengaruhi oleh banyak faktor.  Hal itu dapat dilihat dari
latar belakang beliau, yakni sebagai seorang muslim, sebagai seorang keturunan jawa,
dan sebagai anggota militer.  Ketiga latar belakang Soeharto tersebut, secara langsung
ataupun tidak telah membentuk pribadi seorang Soeharto.  Kepribadian tersebut yang
kemudian juga berpengaruh pada setiap kebijakannya.

9
Ketiga faktor tersebut yang akan menjadi fokus dalam pembahasan kali ini. 
Ketiganya akan terlihat dalam sifat, perilaku, dan kebiasaan-kebiasaan Soeharto.

1. Soeharto Sebagai Keturunan Jawa


Konsep Jawa dapat terlihat penerapannya pada Kerajaan-kerajaan Jawa.  Kerajaan jawa
merupakan tempat yang sangat kental unsur-unsur kejawen.  Pola kehidupan raja,
keluarganya, pejabat pemerintah diatur oleh tradisi-tradisi Jawa.
Salah satu  kerajaan Jawa yang terkenal adalah Kerajaan Mataram.  Sudah menjadi
pengetahuan umum bahwa dinasti Mataram adalah dinasti yang muncul dari keluarga petani. 
Karena itu untuk dapat diterima rakyat banyak dinasti atau para raja dari dinasti ini terus
berusaha memperlihatkan keunggulannya sebagai trahing kusuma, rembesing madu, wijining
atapa, tedhaking andana warih.  Sopan santun, tutur katanya lemah lembut, sumeh (murah
senyum), tak pernah marah, ramah, dll, merupakan sifat-sifat yang melekat pada diri
soeharto.  Kesemuanya itu tak lepas dari usaha soeharto untuk menarik simpati rakyat demi
menunjukkan keunggulan moralnya.
Dalam sejarahnya, dinasti Mataram selalu merasa dirinya terancam oleh pusat-pusat
kekuasaan lain.  Oleh karena itu dinasti Mataram selalu terlibat dalam usaha-usaha untuk
terus mengukuhkan diri.  Di samping itu dinasti Mataram memandang kekuasaan itu sebagai 
suatu keunggulan, yang utuh dan bulat.  Artinya kekuasaan itu tidak boleh bersaing, tidak
terkotak-kotak atau terbagi-bagi, dan menyeluruh (tidak hanya mengenai bidang-bidang
tertentu).  Kekuasaan raja seperti kekuasaan dewa, yang agung dan binatara.  Karena itu raja-
raja mataram itu sering menggambarkan diri sebagai raja yang agung dan binathara,
baudhendha nyakrawati (agung laksana dewa, pemelihara hukum, pemegang kekuasaan). 
Hal itu juga dilakukan semasa kekuasaan soeharto. Dimana ia mampu memimpin selama 30
tahun tanpa ada yang mampu menurunkannya dari kursi presiden.
Dalam kedudukan sebagai penguasa negara memang raja berhak mengambil tindakan apa
saja dengan cara bagaimana saja terhadapkerajaannya, segala isi yang ada didalamnya,
termasuk hidup manusia.  Karena itu kalau raja menginginkan sesuatu, dengan mudah ia akan
memerintahkan untuk mengambilnya.  Kalau yang merasa berhak atas sesuatu itu
mempertahankannya, diperangilah dia.  Sebaliknya kalau ada orang yang dipandangn tidak
pantas berada dalam kedudukannya, dengan mudah saja raja mengambil kedudukannya,
dengan membunuhnya bila perlu. Beberapa kasus pembantaian masal (malari, tanjung
priyok), menjadi bukti bahwa soeharto juga mengikuti konsep tersebut.  Selama berkuasa
soeharto tidak memberi kesempatan kepada lawan-lawannya untuk mengusik kursinya.

10
Sebagai orang asli keturunan Jawa, maka Soeharto banyak menerapkan konsep-konsep Jawa
dalam kehidupannya sebagai seorang presiden.  Sehingga tak salah jika M.H. Ainun Najib
(Cak Nun) mengatakan bahwa sistem yang dibangun soeharto adalah sistem kerajaan bukan
republik.

2. Soeharto Sebagai Seorang Muslim.


Presiden Soeharto memulai hari kerjanya di waktu ia bangun pada kira-kira pukul 05.00. 
Sesudah mandi dan ke belakang sebagaimana yang dilakukannya setiap pagi, iapun
mengerjakan sholat susbuh.  Selesai sholat subuh, iapun minum secangkir kopi di kamar
kerjanya yang kecil di rumah keluarga Soeharto, jalan Cendana No 8, Menteng Jakarta. 1 Dari
cerita tersebut, dapat dikatakan bahwa Soeharto termasuk muslim yang taat kepada Allah
SWT.
Sebagai seorang muslim AM Fatwa mempunyai analisis lain tentang diri Soeharto.  Fatwa
menujuk salah satu momentum penting dalam perjalanan hidup Soeharto, ibadah haji tahun
1991.  Ibadah haji bukanlah peristiwa biasa.  Betapa pun, soeharto adalah seorang Kepala
Negara Muslim.  Fatwa mengatakan bahwa, “Perubahan yang terjadi pada sosok Soeharto itu
sunnatullah.  Usia dan pengalaman-pengalamannya kan membawa kepada kearifan,” katanya.
Selain itu, Ketua Umum Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), Chalid Mawardi, mengusulkan
agar Soeharto diakui sebagai Pemimpin Tertinggi Umat Islam Indonesia (Amirul Muslimin al
Indonesiy).  Menurut politisi NU ini, soeharto telah banyak melakukan terobosan-terobosan
yang menguntungkan umat Islam.  Chalid yakin bahwa soeharto benar-benar
memperjuangkan Islam “dari posisinya sebagai Presiden Republik Indonesia’.  Apa yang
telah dilakukan soeharto dengan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yang telah
membangun lebih dari 700 masjid, dan Yayasan Dharmis, yang telah membiayai pengiriman
ribuan da’I ke daerah-daerah transmigran, serta berbagai kebijakan positif terhadap umat
Islam Indonesia, bukanlah hal yang kecil.2
3. Soeharto Sebagai Seorang Anggota Militer.
Kesempatan yang dinanti-nanti Soeharto begitu lama, akhirnya datang juga ketika pengantar
surat menyerahkan sepucuk surat resmi yang isinya singkat sekali.  Soeharto harus segera
melapor untuk dinas militer.  Anak muda itu, dengan badan yang tegap dan cerdas, dengan
mudah diterima masuk Sekolah Militer di Gombong, Jawa Tengah, pada tanggal 1 Juni 1940.
Perjalanan militer inilah yang kemudian membuat Soeharto menjadi orang yang terkenal.

11
Dari Kepala Staf Divisi Diponegoro, Soeharto naik dalam beberapa bulan menjadi Panglima
Divisi.  Pada tanggal 1 Januari 1957, dinaikkan pangkatnya menjadi Kolonel (Infanteri).  Di
waktu itu catatan ringkas mengenai dirinya adalah: umur 35 tahun; sudah lebih 16 tahun
dinas militer; berpengalaman sebagai Komandan di waktu perang dan damai.  Latar belakang
militer ini, kemudian membentuk sifat-sifatnya yang utama: pemberani, berdisiplin, berhati-
hati dan dapat dipercaya.
Sifat lain yang muncul ketika ia di militer ialah Soeharto sangat sadar akan masalah-masalah
yang dihadapi oleh prajurit-prajuritnya, baik di waktu dinas maupun di luar dinas.  Ia
menumpahkan perhatiaannya kepada kesejahteraan anak buahnya.menurut doktrin militer
Indonesia, mengingat kehidupan rakyat banyak yang masih melarat, termasuk tentara,
panglima Divisi diponegoro menekankan perlunya dibangun kegiatan kooperasi Angakatn
Darat. Selain itu Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal
Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis bagi militer
untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan
alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah
peran militer di bidang politik yang permanen.

4. Soeharto sebagai seorang presiden


Konsep diri atau peran Soeharto sebagai seorang presiden telah dibangun puluhan tahun,
dikonfirmasikan kabinet-kabinetnya, TNI (dulu ABRI), MPR dan lembaga-lembaga negara
lainnya, media massa (termasuk buku-buku yang menyanjung dan menjilatnya, seperti
Manajemen Presiden Soeharto), dan seluruh rakyatnya.  Untuk memperkukuh peran
sosialnya, Soeharto menggunakan mistifikasi.  Berbagai upacara resmi, formalitas, dan gelar
yang impresif (misalnya “Bapak Pembangunan”) yang digunakan untuk menciptakan
kharismanya.  Salah satu tehnik mistifikasi Soeharto adalah menjaga nama baiknya dengan
khalayak.  Selama puluhan tahun di dalam negeri ia hampir tidak pernah bersedia
diwawancarai oleh wartawan, baik media cetak ataupun elektronik agar nama baiknya tetap
terjaga.  Saat berlangsung dialog dengan rakyat kecil di daerah, yang biasanya disiarkan
TVRI dalam “Laporan Khusus” sesudah “Dunia Dalam Berita” pukul 21.00, dialog itu
tampak kaku dan artifisial, karena berdasarkan skenario yang telah disusun.  Dengan
pencitraan itu, Soeharto berusaha menciptakan kekaguman atau keterpesonaan khalayak
kepada dirinya.  Sikap Soeharto yang sedikit rendah hati boleh jadi membuat khalayak
terkesima untuk melihat presiden lebih dekat. Konsep diri itulah yang menjadi salah satu

12
faktor Soeharto mampu berkuasa selama tiga dekade.  Selain itu mungkin banyak faktor lain
yang sering menimbulkan kontroversi dalam setiap pembahasannya.

E. Model Kepemimpinan Soeharto


Ada beberapa model-model atau pola-pola kepemimpinan, yaitu pemimpin agama, pemimpin
politik, pemimpin organisasi sosial kemasyarakatan, dan pemimpin perusahaan.  
Salah satu tipe aktor politik yang memiliki pengaruh dalam proses politik, adalah pemimpin
poitik dan pemerintahan.  Dalam masyarakat terdapat stratifikasi dari segi kekuasaan yang
dimiliki: yang memiliki kekuasaaan disebut elit (pemimpin), dan yang tidak memiliki
kekuasaan, dan karena itu mematuhi pemilik kekuasaan disebut massa  rakyat.  Dengan
demikian Pak Harto termasuk pemimpin politik yang sekaligus memiliki kekuasaan atau elit. 
Hal itu didukung oleh nilai-nilai yang melekat pada diri Pak Harto, seperti prestise, kekayaan
ataupun kewenangan.  Sebagai pemimpin politik, maka Model kepemimpinan Pak Harto bisa
dilihat sebagai berikut:

1. Dilihat Dari Motif Pencarian Kekuasaan.


Model kepemimpinan Soeharto dilihat dari motif mencari kekuasaan bisa dikatakan bermotif
kompensasi.  Ada enam perilaku yang dianggap sebagai indikator kepribadian dari pencari
kekuasaan demi kompensasi.  Keenam perilaku tersebut adalah:
a. Ketidaksediaan mengizinkan orang lain mengambil bagian dalam bidang
kekuasaannya.
b. Ketidaksediaan menerima nasihat mengenai fungsi yang seharusnya dalam bidang
kekuasaannya.
c. Ketidaksediaan mendelegasikan kewajiban kepada pihak lain, kewajiban yang
menjadi bagian utuh dari bidang kekuasaannya.
d. Ketidaksediaan berkonsultasi dengan orang lain yang menyatakan diri memiliki
kekuasaan, mengenai peranan dalam bidang kekuasaannya.
e. Ketidaksediaan memberikan informasi kepada orang lain mengenai peranan dalam
bidang kekuasaannya.
f. Keinginan untuk membentuk dan mengenakan sistem yang tertata kepada orang lain
dalam arena politik.

13
Keenam perilaku tersebut ada pada kepemimpinan Pak Harto.  Perilaku pertama misalnya
dibuktikan dengan kepemimpinan Pak Harto yang bertahan 30 tahun sebagai Presiden. 
Selain itu kebebasan press yang terkungkung selama rezim Orde baru berkuasa, yang
mengakibatkan proses penyebaran informasi menjadi tidak sehat merupakan indikator
perilaku ke-lima.

2. Dilihat Dari Distribusi Kekuasaan


Menurut Andrian distribusi kekuasaan terbagi dalam tiga model, yakni
a. Model elit yang memerintah, melukiskan kekuasaan sebagai dimiliki oleh kelompok
kecil orang yang disebut elit
b. Model pluralis, menggambarkan kekuasaan sebagai dimiliki dengan berbagai
kelompok sosial dalam masyarakat dan berbagai lembaga pemerintahan. 
c. Model populis, melukiskan kekuasaan sebagai dipegang oleh setiap individu warga
negara atau rakyat secara kolektif.
Model pluralis mungkin bisa dikatakan cocok untuk menggambarkan distribusi kekuasaan
selama kepemimpinan Soeharto.  Dimana kita meliahat di Indonesia terdapat pembagian
kekuasaan dalam 3 lembaga yakni, Eksekutif, Legislatif, Yudikatif.  Namun menurut penulis,
kepemimpinan Soeharto lebih cocok dikategorikan ke dalam model elit.  Hal itu karena pada
masa Orde Baru kekuasaan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.  Tidak ada
kesempatan bagi mereka yang ingin berkuasa.  Kalaupun ada itu tidak bertahan lama. 
Kekuasaan Pak Harto selama 30 tahun yang tak tergoyahkan, menjadi bukti hal itu.

3. Dilihat Dari Hubungan Antara Pemimpin Dan Yang Dipimpin.


Menurut Burns, ada dua tipe kepmimpinan berdasarkan hubungan antara yang memipin dan
yang dipimpin, yaitu
a. Kepemimpinan Transaksional
Terjadi manakala seorang pemimpin mengambil prakarsa dalam melakukan kontak
dengan pihak lain untuk tujuan pertukaran nilai-nilai yang dianggap penting.  Yang
dipertukarkan itu mencakup bidang politik seperti suara (votes) dan kekuasaan,
ekonomi, seperti uang dan kekayaan lain, dan psikologi seperti kesediaan mendengar
keluhan orang lain.  Kepemimpinan seperti ini tidak menunjukkan kesamaan tujuan
antara pemimpin dan yang dipimpin.
b. Kepemimpinan Transformatif

14
Terjadi manakala seorang atau lebih terlibat dengan orang lain sedemikian rupa
sehingga mengangkat pemimpin dan yang dipimpin ke tingkat moral, motivasi, dan
kegiatan yang lebih tinggi. Tujuan mereka yang tadinya berpisah menjadi satu.
Melihat kedua tipe di atas, maka kepemimpinan Soeharto cenderung kepada tipe
kepemimpinan transaksional. Hal itu terlihat dari adanya sentralisisasi kekuasaan selama
rezim Orde baru.  Dimana Pak Harto berkuasa dalam setiap struktur pemerintahan. Lebih
jelas lagi kita lihat bagaimana semua pegawai negeri sipil harus memilih Golkar sebagai
partai.  Sehingga hubungan yang terjadi antara pemimpin dan rakyat seperti hubungan
penjual yang memaksakan barang daganannya. Bahkan lebih ngeri lagi, karena selama orde
baru mereka yang menolak memilih Golkar maka akan mendapat murka penguasa.

F. Nilai-nilai Kepemimpinan Soeharto


1. Kerja keras. Soeharto adalah anak petani miskin yang mampu mengubah hidupnya dari
karir militer rendah hingga mampu menjadi presiden.
2. Mau belajar. Diceritakan bahwa awal dari kepemimpinan Soeharto sebagai presiden, ia
tidak paham sama sekali tentang masalah ekonomi negara, ia pun mendatangkan ahli-
ahli ekonomi. Mereka disuruh menerangkan seluk beluk ekonomi suatu negara, dengan
ia berbekal catatan kecil. Selama beberapa waktu ia meminta bantuan dan belajar kepad
ahli-ahli ekonomi tersebut. Namun tahun-tahun berikutnya bergantilah posisi, yaitu
Soeharto yang mendektekan hal-hal yang harus dilakukan untuk ekonomi Indonesia.
3. Ahli strategi. Soeharto dari pemikiran-pemikirannya mampu menciptakan strategi-
strategi yang mampu membawanya sampai ke jabatan presiden selama 32 tahun.
4. Visioner. Di awal kepemimpinannya Soeharto menentukan arah kebijakan
pembangunan ekonomi Indonesia secara jelas, harga pangan yang murah, tercukupinya
kebutuhan pokok, serta pertumbuhan ekonomi.
5. Ambisius. Soeharto mengupayakan dengan sungguh-sungguh perencanaan yag sudah
dibuat atau visinya agar benar-benar tercapai.
6. Peduli rakyat kecil. Keberpihakan Soeharto pada petani sangat jelas, Soeharto lahir dari
keluarga petani sehingga mengenal betul bagaimana cara membangun pertanian.
Keberpihakannya pada petani itu berhasil menjadikan Indonesia maju di bidang
pertaniannya.
7. Tidak melupakan budaya. Kekuasaan Soeharto disebut sebagai representasi dari
kepemimpinan Jawa, nuansa jawasentris sangat kuat. Kepemimpinan Soeharto,
berdasarkan perspektif teleologi (tujuan), memang penuh dengan simbol-simbol

15
kepemimpinan dalam budaya Jawa (Tunjung W. Sutirto, 2008). Sistem politik Orde
Baru dibangun di atas falsafah dan nilai-nilai budaya Jawa yang kental. Dalam
memimpin Soeharto menguatkan ketokohannya sebagai pemimpin yang berkuasa.
Kekuasaan Jawa memang hampir seluruh kekuasaan terpusat pada raja. Hal ini dapat
dilihat dari konsep kerajaan Mataram yang menggunakan konsep keagunbinataraan.
Kekuasaan besar yang wenang wisesa ing sanagari, dalam konteks pewayangan sering
dinamakan gung binathraha, bau dendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa,
pemelihara hukum dan penguasa dunia). Hal ini ditunjukkan Soeharto dengan
membangun sistem kekuasaan sentralistik, feodalis, dan otoriter. Kebijakan-kebijakan
nasional sepenuhnya di bawah pengaruh Presiden, bahkan DPR-MPR dipilih langsung
oleh Soeharto, hal ini membuat langkah Soeharto mulus menjadi Presiden selama 32
Tahun.
8. Otoriter. Soeharto yang memiliki latarbelakang etnik Jawa memanfaatkan nilai-nilai
luhur budaya Jawa sebagai simbol kekuasaannya. Dengan nilai-nilai falsafah budaya
Jawa, Soeharto melegitimasi setiap sepak-terjangnya yang dianggap merepresentasikan
kepemimpinan ala Jawa. Manajemen kekuasaan Soeharto selama ini meniru pola
kekuasaan Raja Jawa. Pola inilah yang membuat pembantunya “yes-men”. Ketika
Soeharto berkehendak tidak ada satupun orang dekat yang berani membantah.
9. Pemimpin yang merakyat. Pada awal masa kekuasaan Soeharto, karakter
kepemimpinan Soeharto yang kuat efektif mempersatukan Indonesia di tengah
kekacauan politik dan perpecahan, Soeharto juga awalnya merepresentasikan pemimpin
yang bersahaja dan merakyat. Bahkan menurut pengakuan Tri Sutrisno beliau kerap
datang ke daerah dengan cara menyamar untuk mendapatkan gambaran langsung
tentang kondisi masyarakat, karena jika diberitahukan sebelumnya dengan
menggunakan protokoler kondisi yang didapatkan tidak apa adanya.
10. Cenderung feodal dan patronase. Seseorang yang diberikan kekuasaan berlebih akan
menimbulkan penyelewengan terbukti benar. Soeharto menumpuk kekayaan, Praktik
KKN merajalela, pungli terjadi hampir disetiap lini. Muncul budaya membangun suatu
rekanan di era Soeharto, hal ini merupakan salah satu contoh sistem patronase. Atasan
dan bawahan seperti halnya hubungan patron-client. Oleh karena itu, seorang bawahan
harus pada suatu waktu memberikan pisungun berupa asok glondhong miwah
pengarem-arem atau upeti. Padahal, sebenarnya budaya patronase merupakan salah
satu pemikiran luhur Jawa, dimana seorang bawahan sebagai bentuk pengabdian

16
memberikan sebagian rezekinya kepada atasan. Karena pada saat itu, atasanlah yang
memberi tanah garapan.
G. Kebijakan-Kebijakan Soeharto
Dalam kepemimpinan Orde Baru cukup besar bagi nilai kebangsaan,
kenegaraan bahkan kemanusiaan yang layak kita banggakan, terutama:
1. Kebijakan Budaya Politik Strategis Kebangsaan dan Kenegaraan
a. Melaksanakan asas konstitusional dan institusional (kelembagaan) negara: MPR, DPR,
DPA, MA, BPK dan Kepresidenan dengan merintis N-Sistem Nasional.
b. Setiap 5 tahun, Presiden memimpin dan membentuk Kabinet dengan berbagai Program
Kabinet (yang ditetapkan) sebagai Kepala Pemerintahan Negara (Presidensial).
c. Mengembangkan asas budaya kenegaraan secara konstitusional: melaksanakan GBHN.
d. Mengembangkan dan melaksanakan Pembangunan Nasional, melalui: REPELITA dan
Asas Trilogi Pembangunan Nasional (stabilitas nasional, pertumbuhan dan pemerataan).
Termasuk merumuskan Program PJP I (1970-1995) dan PJP II (1995-2020).
e. Membangun dan mengembangkan berbagai Badan-Badan Kenegaraan: mulai BUMN
dan Bulog, sampai berbagai kelembagaan untuk rakyat: berbagai Yayasan, dan Pusat-
Pusat Pelayanan untuk Rakyat; seperti: SD Inpres, Puskesmas, Posyandu, dsb.
2. Kebijakan Strategis dalam Visi-Misi Normatif Indonesia Raya
a. Melaksanakan amanat Supersemar dengan Membubarkan PKI yang kemudian
dikukuhkan dengan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966
b. Cita dan Visi-Misi: Melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen
sebagai thema Kebangkitan Orde Baru.
c. Membudayakan Asas Tunggal Pancasila
d. Membudayakan asas: Konstitusional dengan Asas Demokrasi Pancasila
e. Membudayakan Pendidikan Moral Pancasila
f. Memutuskan hubungan diplomatik dengan RRC
g. Melaksanakan politik luar negeri Bebas-Aktif
h. Melaksanakan kepemimpinan Gerakan Non-Blok (GNB)
i. Merintis dan mengembangkan ASEAN

3. Kebijakan Strategis Nasional Kelembagaan


Presiden sebagai Ketua Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Wanhankamnas), melalui
Sekretaris Jenderal (Sesjen), mendorong pengembangan berbagai kebijakan strategis dan
melembaga, terutama:

17
a. Membentuk Team P7 dan BP7
b. Wanhankamnas bekerja sama dengan berbagai PTN/PTS sejak 1973.
4. Berbagai Riset Strategis sebagai Karya Kerjasama dengan berbagai PTN/PTS dalam
Bidang Riset Strategis.
5. Bidang politik
Sebagai presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak memengaruhi
sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari Soekarno, Soeharto dengan
dukungan dari Amerika Serikat memberantas paham komunisme dan melarang pembentukan
partai komunis. Dijadikannya Timor Timur sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga
dilakukannya karena kekhawatirannya bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor
Leste Independente/partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila
dibiarkan merdeka. Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban jiwa sipil.
Sistem otoriter yang dijalankan Soeharto dalam masa pemerintahannya membuatnya populer
dengan sebutan "Bapak", yang pada jangka panjangnya menyebabkan pengambilan
keputusan-keputusan di DPR kala itu disebut secara konotatif oleh masyarakat Indonesia
sebagai sistem "ABS" atau "Asal Bapak Senang".

6. Bidang kesehatan
Untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye Keluarga
Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini
dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan
berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit sampai kerusakan lingkungan hidup.
7. Bidang pendidikan
Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang bertujuan
meningkatkan rata-rata taraf tamatan sekolah anak Indonesia. Pada awalnya, proyek ini
membebaskan murid pendidikan dasar dari uang sekolah (Sumbangan Pembiayaan
Pendidikan) sehingga anak-anak dari keluarga miskin juga dapat bersekolah. Hal ini
kemudian dikembangkan menjadi Wajib Belajar 97 tahun.
Kesuksesan pemerintaan Soeharto f. Sukses REPELITA (Rencana
a. Sukses transmigrasi Pembangunan Lima Tahun)
b. Sukses KB g. Sukses Gerakan Wajib Belajar
c. Sukses memerangi buta huruf h. Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua
d. Sukses swasembada pangan Asuh
e. Pengangguran minimum i. Sukses keamanan dalam negeri

18
j. Investor asing mau menanamkan g. Kritik dibungkam dan oposisi
modal di Indonesia diharamkan
k. Sukses menumbuhkan rasa h. Kebebasan pers sangat terbatas,
nasionalisme dan cinta produk dalam diwarnai oleh banyak koran dan majalah
negeri yang dibredel
Kegagalan pemerintaan Soeharto i. Penggunaan kekerasan untuk
a. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme menciptakan keamanan, antara lain
b. Pembangunan Indonesia yang tidak dengan program "Penembakan Misterius"
merata dan timbulnya kesenjangan j. Tidak ada rencana suksesi (penurunan
pembangunan antara pusat dan daerah, kekuasaan ke pemerintah/presiden
sebagian disebabkan karena kekayaan selanjutnya)
daerah sebagian besar disedot ke pusat k. Menurunnya kualitas birokrasi
c. Munculnya rasa ketidakpuasan di Indonesia yang terjangkit penyakit Asal
sejumlah daerah karena kesenjangan Bapak Senang, hal ini kesalahan paling
pembangunan, terutama di Aceh dan fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi
Papua yang efektif negara pasti hancur.
d. Kecemburuan antara penduduk l. Menurunnya kualitas tentara karena
setempat dengan para transmigran yang level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga
memperoleh tunjangan pemerintah yang kurang memperhatikan kesejahteraan
cukup besar pada tahun-tahun pertamanya anak buah.
e. Bertambahnya kesenjangan sosial m. Pelaku ekonomi yang dominan adalah
(perbedaan pendapatan yang tidak merata lebih dari 70% aset kekayaaan negara
bagi si kaya dan si miskin) dipegang oleh swasta
f. Pelanggaran HAM kepada masyarakat
non pribumi (terutama masyarakat
Tionghoa)

H. Keburukan Soeharto
Presiden Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang
penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan menutup organisasi
Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis. Walaupun begitu, Soeharto
terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah manjadi Perdana
Menteri Singapura yang beretnis Tionghoa. Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar
setelah demonstrasi yang meluas melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa
korupsi sangat umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi
tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai
finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada saudara-saudaranya,
termasuk enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi berlainan di militer melawan satu
sama lain, dimulai dengan mendukung kelompok nasionalis dan kemudian mendukung unsur
Islam. Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun berikutnya melalui pemilihan
"electoral college". dan juga terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

19
Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti
pemilihan, termasuk partainya sendiri, Golkar. Oleh karena itu semua partai Islam yang ada
diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-
Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai
Demokrasi Indonesia. Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat
dan Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia untuk memasuki bekas koloni Portugal
Timor Timur setelah Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang kuasa yang
menimbulkan kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta kekhawatiran Amerika
Serikat atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang campur tangan Uni Soviet.
Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh Indonesia meminta wilayah tersebut
berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor
Timur sampai wilayah tersebut dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.
Korupsi menjadi beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang
kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar.
Kelompok ini terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan mahasiswa. Media
Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal penandatangannya. Setelah pada 1984
kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai, beberapa
pemimpinnya dipenjarakan. Catatan hak asasi manusia Soeharto juga semakin memburuk
dari tahun ke tahun. Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan
keprihatinan yang mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di
Timor Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya. Untuk menjaga stabilitas nasional
atau lebih tepatnya memastikan semua di bawah kendali Soeharto, Presiden ke 2 RI itu
melakukan tindakan represif terhadap musuh politiknya, Komnas HAM menyatakan paling
tidak ada 5 pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh pemerintah Soeharto Lima perkara
yang diindikasikan sebagai pelanggaran HAM berat adalah kasus Pulau Buru; Penembakan
Misterius (Petrus); Peristiwa Tanjung Priok; Kebijakan Daerah Operasi Militer di Aceh dan
Papua; serta Kasus 27 Juli. Selain itu Soeharto tidak memberikan kebebasan pers, berserikat,
berkumpul, berpendapat. Semua harus tunduk pada pemerintahan pusat.
Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari
kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai resmi. Di bulan
Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai tersebut. Setelah pasukan
keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa
Sabtu Kelabu) yang dikenal sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).
Setelah Soeharto resmi mundur dari jabatannya sebagai presiden, berbagai elemen

20
masyarakat mulai menuntut agar digelar pengusutan dan pengadilan atas mantan presiden
yang bekuasa paling lama di Indonesia itu. Pada 1 September 1998, tim Kejaksaan Agung
mengumumkan adanya indikasi penggunaan uang yayasan di bawah pemerintahan mantan
Presiden Soeharto. Melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada 6 September 1998,
Soeharto muncul dan menyatakan bahwa dia tidak mempunyai kekayaan di luar negeri. Jaksa
Agung AM Ghalib dan Menko Wasbang/PAN Hartarto menemuinya di Jalan Cendana
(Jakarta) untuk mengklarifikasi penyataan tersebut (21 September 1998). Pada 21 November
1998, Fraksi Karya Pembangunan (FKP) mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan
mantan Presiden Soeharto sebagai tahanan kota. Ini merupakan tindak awal pengusutan harta
dan kekayaan Soeharto yang diduga berasal dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).
Pada 3 Desember 1998, Presiden BJ Habibie menginstruksikan Jaksa Agung AM
Ghalib segera mengambil tindakan hukum memeriksa mantan Presiden Soeharto. Pada 9
Desember 1998, Soeharto diperiksa tim Kejaksaan Agung di Kejaksaan Tinggi Jakarta
sehubungan dengan dana yayasan, program mobil nasional, kekayaan Soeharto di luar negeri,
dan kasus Tapos. Majalah Time melansir berita tentang kekayaan Soeharto di luar negeri
yang mencapai US$15 miliar (22 Mei 1999). Pada 27 Mei 1999, Soeharto menyerahkan surat
kuasa khusus kepada Jaksa Agung AM Ghalib untuk menelisik kekayaannya di Swiss dan
Austria, seperti diberitakan Majalah Time. Pada 2 Juni 1999, Soeharto mengadukan Majalah
Time ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atas tuduhan memfitnah pada
pemberitaannya. Soeharto menuntut ganti rugi sekitar 27 miliar dollar AS.
Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana Sejahtera
Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana
Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana
Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk
menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri. Hasil penyidikan
kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini
berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik
hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999. Menurut
Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak
dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S.
selama 32 tahun masa pemerintahannya. Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan
sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan
bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP)

21
perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi
mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik
dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak
sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.

22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Soeharto adalah Presiden Indonesia ke-2, masa jabatan 12 Maret 1967–21 Mei 1998
(31 tahun). Ibunya Sukirah, dan ayahnya Kertosudiro. Sejak bayi. Hidupnya sudah
berpindah-pindah, mulai dari diasuh Mbah Kromo, Mbah Atmosudiro, hingga bibinya di
Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah.
Soeharto menempuh Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean dan SD Pedes
(Yogyakarta), lalu sekolah lanjutan rendah di Wonogiri dan Sekolah Menengah Pertama
(SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta.
Pada 1 Juni 1940, ia diterima sebagai siswa di sekolah militer di Gombong, tamat
sebagai lulusan terbaik dan menerima pangkat kopral. Ia terpilih menjadi prajurit teladan di
Sekolah Bintara, Gombong serta resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Dia bergabung dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Saat Perang Dunia II
berkecamuk pada 1942. Setelah berpangkat sersan tentara KNIL, dia kemudian menjadi
komandan peleton, komandan kompi di dalam militer yang disponsori Jepang yang dikenal
sebagai tentara PETA, komandan resimen dengan pangkat mayor, dan komandan batalyon
berpangkat letnan kolonel.
Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta dalam serangan umum yangberhasil menduduki Kota
Yogyakarta selama enam jam. Pada usia sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke Markas
Divisi dan diangkat menjadi Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat letnan kolonel
(1 Maret 1953). Pada 3 Juni 1956, ia diangkat menjadi Kepala Staf Panglima Tentara dan
Teritorium IV Diponegoro di Semarang. Dari Kepala Staf, ia diangkat sebagai pejabat
Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan
menjadi kolonel. Pada 1 Oktober 1961, jabatan rangkap sebagai Panglima Korps Tentara I
Caduad (Cadangan Umum AD) yang telah diembannya ketika berusia 40 tahun bertambah
dengan jabatan barunya sebagai Panglima Kohanudad (Komando Pertahanan AD). Sekitar
setahun kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962, Brigadir Jenderal Soeharto diangkat sebagai
Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.
Kepribadian Soeharto dapa dilihat dari sisi Soeharto sebagai keturunan Jawa, sebagai
Seorang Muslim, sebagai seorang anggota militer, dan sebagai seorang presiden. Model
kepemimpinan Soeharto dilihat dari motif pencarian kekuasaan adalah bermotif kompensasi,
dilihat dari distribusi kekuasaan adalah model pluralis, dan ilihat dari hubungan antara
pemimpin dan yang dipimpin, kepemimpinan Soeharto cenderung kepada tipe kepemimpinan

23
transaksio,KB, memerangi buta huruf, swasembada pangan, pengangguran minimum,
REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun), Gerakan Wajib Belajar, Gerakan Nasional
Orang-Tua Asuh, keamanan dalam negeri, investor asing mau menanamkan modal di
Indonesia, menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri. Kegagalan
pemerintaan Soeharto antara lain semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme; Pembangunan
Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan
daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat;
Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan,
terutama di Aceh dan Papua; Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para
transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun
pertamanya; Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata
bagi si kaya dan si miskin); Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama
masyarakat Tionghoa); Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan; Kebebasan pers sangat
terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel; Penggunaan kekerasan
untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius"; Tidak
ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya); Menurunnya
kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan
paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur; Menurunnya
kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang memperhatikan
kesejahteraan anak buah.; Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset
kekayaaan negara dipegang oleh swasta.

24
DAFTAR PUSTAKA
1. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Soeharto

25

Anda mungkin juga menyukai