Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUKUM ADAT

ACARA ADAT BELIAN / JERUNGAN PADA


SUKU TUNJUNG BENUQ

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Hukum Adat

Dosen Pengampu : Hj. Ukillah Supriyatin, S.H., M.H.

Oleh :

Nama : Ilham Maulana Alhamdani


NIM : 3300180107
Kelas : C Reguler

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GALUH CIAMIS
2019

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rakhmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
pembuatan makalah ini yang berjudul “Acara Adat Belian / Jerungan Pada Suku
Tunjung Benuq” .
Penyusunan makalah ini dimaksud untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Perekonomian Indonesia. Dalam penyusunan makalah ini tentu saja penulis
banyak menemui kesulitan dan hambatan-hambatan tetapi berkat adanya
dorongan dan bantuan dari berbagai pihak yang akhirnya kesulitan dan hambatan
itu dapat diatasi .
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan dan penulis mengharapkan kritik dan saran yang bisa memperbaiki
penyusunan makalah dimassa yang akan datang, penulis berharap makalah ini
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya .

Ciamis, April 2019 2019


Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................................ 1
1.2 Acara Adat Belian Jerungan Pada Suku Tunjung Benuq...................................... 1
1.3 Tujuan .................................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Beliant Bawo ....................................................................................... 4
2.2 Ciri – Ciri Beliant Bawo ....................................................................................... 4
2.3 Pelaksanaan Ritual Beliant Bawo ......................................................................... 5
2.4 Alat – Alat Ritual Beliant Bawo ........................................................................... 8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 13
3.2 Saran .................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Hukum adat karena sifatnya yang tidak tertulis, majemuk antara lingkungan
masyarakat satu dengan lainnya, maka perlu dikaji perkembangannya.
Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat masih hidup , apakah sudah
berubah, dan ke arah mana perubahan itu.
Ada banyak istilah yang dipakai untuk menamai hukum lokal: hukum
tradisional, hukum adat, hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia –
hukum “adat“ Bagaimana tempat dan bagaimana perkembangannya hukum adat
dalam masyarakat tergantung kesadaran, paradigma hukum, politik hukum dan
pemahaman para pengembannya politisi, hakim, pengacara, birokrat dan
masyarakat itu sendiri. Hukum ada dan berlakunya tergantung kepada dan berada
dalam masyarakat.
Dengan latar belakang hukum adat yang seperti itu, kita dapat menarik garis
besar dan membuat sistematika pertanyaan mengenai hukum adat dalam berbagai
masanya.
Di era yang serba canggih sekarang ini terkadang kita lupa akan latar
belakang lahirnya hukum yang kita kenal dalam lingkungan kehidupan sosial di
Indonesia dan negara-negara asia asia lainnya seperti jepang sebagai negara yang
hampir sama dalam latar ideologi yaitu adanya sumber dimana peraturan-
peraturan hukum yang tidak tertulis dan tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat tersebut dijadikan
sebagai acuan dan pedoman dalam langkah.

1.2 Acara Adat Belian/Jerungan Pada Suku Tunjung Benuq


Nama-Nama Belian Jerungan
Belian Jerungan yang ada dalam masyarakat Dayak Tujung Benuaq adalah
prosesi pengobatan penyakit baik penyakit yang menimpa manusia maupun yang

1
menimpa sekalian alam seperti, Panas/Kemarau berkepanjangan timbulnya hama
pada taaman dan buah buahan serta tidak suksesnya usaha dan panen masyarakat
serta bencana alam adapun betuk dan macam dari belian dapat diurai sebagai
berikut :
1. Belian Bisu
Belian Bisu atau mantara yang diucapkan hanya didalam hati dan dengan bahasa
bibir tampa mengeluarkan suara adapun asal mula pembawa atau pemeliank
adalah Raja Tenelisu Agin
2. Belian Sipungk
Belian sipungk adalah belian yang dilakukan dengan mengeluarkan suara dan
semua mantra dilagukan sebagaiman orang yang sedang nembang namun si
pemelian tidak berdiri atau menari dan dilakkan dalm suasana gelap semua lampu
dan api dimatikan adapun Pemelian pertama sebagai tokoh adalah : Riyeq
Nemingk
3. Belian Kenyong
Belian Kenyong adalah belian yang dilakukan oleh perempuan yang dilakukan
secara duduk kemudian dilanjutkan berdiri serta menari dan disuarakan yang
diringi oleh gendang dan kenong, waktu pelaksananya selama kurang lebih tiga
malam Pemeliant Pertama yang membawakan adalah Jakeq Raja Jona
4. Belian Jamu
Belian Jamu adalah beliant untuk mengusir segala bentuk peyankit yang
diakibatkan oleh sipat kebinatangan yang dilakukan selama kurang lebih lima
malam Pemeliant pembawa pertamanya adalah : Bawe Rinuq Nawen
5. Belian Sentiu
Belian Sentiu adalah belian yang dibawakan dengan bahasa melayu yang berasal
dari kayangan biasanya dilakukan oleh laki-laki namun banyak pulan pemelian
sentiu yang perempuan Pemelian pembawa pertama beliant ini adalah Tuan Raja
Penaser
6. Beliant Bawe
Belian Bawe terdiri dari berbagai macam beliant namun biasanya belian ini
dilakukan oleh para pemeliant perempuan dengan cara bememang yang

2
ditembangkan namun sebagian besar belian ini tidak dilakukan secara berdiri atau
menari walau pun ada sebagain kecil yang dilakuakn dengan tarian yang
membawa pertama belian ini adalah : Empungq Tinen Larung
7. Beliant Bawo
Belian Bawo adalah khusus pemelianya terdiri dari orang laki yang bertujuan
untuk memberi makan juus june kemudian nasuk nyingkui dan bisasnyanya belian
ini bisa dilakukan sampai pemotongan kerbau yang membawa pertama belian ini
adalah : Jampeq Pelungkeq
8. Belian Luwangan / Gugu Tahun
Belian Luwangan adalah tingkatan paling atas dari sekian banyak belian karena
dalam belian ini dikumpul pula berbagai bentuk belian yang lain sehingga belian
luwangan ini memerlukan wakti yang cukup lama yaitu paling sebentar 16 hari
atau 2x8 dan paling lama 8x8 atau 56 hari dengan terakhir membunuh manusia
sebagai persembahan kepada para Dewa setelah Indonesia merdeka membunuh
manusia dilarang maka diganti dengan kerbau.adapun Dewa/Nayuk yang
membawa belian ini adalah Juringq Olo

1.3 Tujuan
1. Apa Pengertian Beliant Bawo?
2. Apa Ciri-ciri Beliant Bawo?
3. Apa saja langkah-langkah pelaksanaan Beliant Bawo?

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Beliant Bawo


Belian atau beliatn adalah sebutan wadian dalam bahasa Benuaq dan
Tunjung di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Belian bawo adalah salah satu
upacara pengobatan oleh Suku Dayak Benuaq dan Suku Dayak Tunjung. Upacara
Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit dan
Beliant Bawo adalah salah satu jenis upacara pengobatan orang sakit yang berasal
dari daerah Suku dayak yang dikenal dengan Dayak Tunjung Benuaq antara
Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Fungsi Belian
Bawo untuk menyelidiki apa yang menyebabkan penyakit itu, dan
menyembuhkan orang sakit. Jika penyakit disebabkan karena marahnya makhluk
halus, penyembuhannya dengan cara meminta maaf kepada makhluk tersebut
dengan mempersembahkan sesaji dan melakukan ritual pemujaan.(Sita)
2.2. Ciri-ciri Beliant Bawo

Gelang-gelang di tangan yang menimbulkan bunyi khusus mengkuti irama


gendang, merupakan ciri khas Belian Bawo (b> Bracelet-bracelet on the hand that
raises special noise obeying the rhythm of drums, a hallmark of Belian Bawo)
Belian Bawo adalah belian yang menggunakan bahasa Bawo sebagai bahasa
pengantar , adapun pelakunya , biasa terdiri dari pemeliatn laki-laki , tetapi dapat
juga seorang wanita .
Ciri khas belian Bawo ini , lengan kiri dan kanan sang pemeliatn , masing
masing mengenakan sepasang gelang perunggu yang di sebut Ketakng, sedangkan
di bagian kepala mengenakan ikat kepala yang di sebut Lawukng.
Khusus bagi pemeliatn pria , tidak menegenakan baju tetapi menggunakan
semacam untaian kalung dari jenis kayu obat-obatan dan taring binatang, yang di
sebut Samakng Sawit . untaian kalung tersebut di selampangkan dari bahu kiri-
kanan ke bawah rusuk kanan kiri.

4
Ciri khas lain , sang pemeliatn mengenakan sejenis rok/kun panjang
sampai ke mata kaki yang di renda dengan motif tertentu yang di sebut Ulap
Bawo . sedangkan di bagian pinggang di lilit seuntai kain ulap bawo, kain ini di
sebut Sempilit . di atas lilitan simpilit bagian pinggang di pasang ikat pinggang
khusus yang di sebut babat .
2.3. Pelaksanaan Ritual Beliant Bawo
Dalam pelaksanaan upacara adat belian bawo , biasannya di lakukan
melalui beberapa rangkaian kegiatan , sebagai berikut:
(1). Momaaq
Momaaq adalah suatu proses awal yang selalu harus di lalui pada setiap
mengadakan belian bawo . hal itu bertujuan menjelajahi negeripara dewa , serta
mengundang mereka untuk membantu dalam usaha pengobatan.
Momaaq selalu di awali dengan meniup sipukng/baluluq sebanyak tiga kali ,alat
ini terbuat dari taring beruang , macan dahan , harimau . suara Sipukng tersebut
berperan sebagai undangan bagi para dewa , sekaligus merupakan kode untuk di
mulai nya menabuh gendang yang pertama kali (nitik tuukng).
Setelah gendang di tabuh , pemeliatn menaburkan beras yang berada dalam
genggaman dengan maksud melepaskan utusan yang akan menjemput para dewa
yang di undang .
Pada saat momaaq , posisi pemeliatn duduk bersila menghadap awir , yaitu daun
pinang beserta dahanya yang telah di buang lidinnya dan di gantung bersama
selembar kain panjang menjuntai ke bawah menyentuh tikar bagian ujungnya .
awir ini berfungsi sebagai “ tangga” untuk turun atau naiknya para dewa .
(2). Jakaat
Setelah para utusan tiba di negeri para dewa , pemeliatn mulai berdiri seta berjalan
mengitari awiir. Posisi ini melambangkan para dewa mulai bergerak turun untguk
menghadiri undangan .
Seusai para dewa tiba di dalam rumah , pemeliatn mulai menari untuk
melakonkan gerak dari masing-masing dewa yang hadir.
(3). Penik Nyituk
Bilamana sekalian (para) dewa telah mendapatkan giliran menampilkan

5
kebolehannya dalam hal menari , mereka bias duduk dan menanyakan alasan
mengapa mereka di undang.
Dalam hal ini , jawaban tuan rumah sangat bervariasi , hal mana tergantung
maslah yang sedang di hadapi keluarga tersebut pada saat itu.
(4). Ngawat
Pada tahap ini dengan kembali pada posisi berdiri , pemeliatn mewakili
para dewa , mulai melaksanakan perawatan terhadap orang sakit dengan
menggunakan sololo. Puncak perawatan di lakukan dari muka pintu , dalam hal
ini pemeliatn mewakili para dewa di atas bumi yang mempunyai ketrampilan
nyegok (menyedot) penyakit, memberikan penyapuh , yaitu semacam obat yang
bertujuan menyembuhkan luka dalam.
Sementara pemeliatn pulang-pergi member perawatan , bunyi gendang
harus gendang harus di percepat dengan irama Sencerep dan Kupuk tuatn .
akhirnya perawatan ini di selesaikan dengan Ngasi Ngado dan Nyelolo-Nyelolani
,dengan maksud menciptakan kondisi sejuk dan nyaman serta bebeas dari
cengkraman penyakit .
Dalam perawatan terakhir ini , irama dan lagu tabuhan gendang berubah dan di
perlambat dengan irama yang di sebut Meramutn dan beputukng .
(5). Tangai
Pada tahap ini , pemeliatn mempersilahkan para dewa untuk kembali ke-
tempatnya masing – masing , dengan terlebih dahulu di sajikan hidangan alakadar
. jenis sajian sesuai dengan tingkat acara yang di selenggarakan .
(6). Engkes Juus
Engkes dalam bahasa Dayak Benuaq berarti memasukan , sedangkan Juus
adalah roh/jiwa . sehingga yang di maksud dengan engkes juus adalah memasukan
roh/jiwa ke dalam tempat yang seharusnya yaitu badan dari yang empunya jiwa
tersebut. Masyarakat Dayak Tunjung Benuaq berkeyakinan bahwa kehidupan
setiap manusia terdiri atas badan (unuk) dan jiwa (juus-june). Sehingga dalam
proses penyembuhan manusia yang sakit , selain di perlukan perawatan fisik
melalui Bekawat, perlu juga di lakukan perawatan jiwa melalui pengamanan juus-
june agar tidak terganggu oleh roh-roh jahat . adapun tempat yang aman itu

6
dinyatakan sebagai Petiq Angetn Bulaw.
(7). Bejariiq
Bejariiq artinya berpantang , lamanya berpantang biasanya selama satu
hari . selama berpantang , orang yang sakit tidak di perb olehkan keluar rumah ,
memakan makanan terlarang , seperti terong asam , rebung dan semua jenis
hewan melata.
Selain itu ,suasana rumah harus sepi dan tidak di perkenankan menerima tamu.
suasana tersebut di tandai dengan penancapan dahan dan daun kayu hidup di
samping pintu masuk rumah bagian luar.
Pelanggaran atas pantangan ini adalah mengakibatkan kambuh nya penyakit dan
sukar di rawat kembali. Setelah berakhirnya masa jariiq , maka seluruh rangkaian
belian bawo di nyatakan selesai .
Berdasarkan pada berat ringanya masalah yang di hadapi , serta keadaan social
ekonomi keluarga atau masyarakat yang menyelenggarakan , belian bawo dapat di
bagi menjadi beberapa tingkatan yaitu:
i. Ngejakat
Lamanya satu hari , tanpa mengkurbankan hewan dan tidak mengalami masa
jariiq.
ii. Bekawat Encaak
Lamanya minimal tiga hari , menggunakan hewan kurban berupa babi dan ayam
menggunakan belei di tanah dan menjalani masa jariiq selama maksimal tiga hari.
iii. Makatn Juus
Lamanya maksimal delapan hari , hewan yang di kurbankan berupa ayam, babi
atau kambing, menggunakan balei di dalam rumah dan di halaman rumah . jumlah
pemeliatn minimal delapan orang dan menjalani masa jariiq maksimal empat hari.
iv. Nyolukng Samat
Lamanya maksimal delapan hari , sedangkan jumlah pawing minimal delapan
orang .hewan kurban terdiri dari ayam , babi , kambing, kerbau, sesuai dengan
janji waktu nyamat , menggunakan balei di dalam rumah dan di luar rumah , serta
menjalani masa jariiq minimal empat hari.

7
2.4. Alat-alat Ritual Beliant Bawo

1. Dau
Dau atau Amadakng adalah alat musik yang terbuat dari logam yang
bentuknya menyerupai Bonang dalam Gamelan Jawa. Instrumen ini terdiri dari
delapan buah instrumen yang ditempatkan dalam satu rancakan memanjang.
Rancakannya dibuat persegi empat dengan penyangga dari tali di bagian bawah.
Keseluruhan instrumen ini mempunyai ukuran hampir sama antara satu dengan
lainnya, yaitu diameter lingkaran atas sekitar 25 cm-28 cm, diameter lingkaran
bawah sekitar 26 cm-27 cm, dan diameter lingkaran Bujal (pencon) sekitar 3 cm-4
cm.
Instrumen Dau dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu instrumen
yang membawakan Balungan (inti melodi) dan instrumen yang mengisi melodi
(Sindoesawarno dalam Sumarsam: 2002, hal. 13). Instrumen pembawa melodi
pokok dapat dilihat pada permainan Dau Wenya, sedangkan variasi ritme dapat
dilihat dari permainan Dau Naknya. Dua permainan ini terlihat saling mengisi
untuk memberi ritme tertentu yang harus disesuaikan oleh permainan instrumen
lainnya.
Dau dimainkan dua orang, yaitu pemain Dau we'nya (Dau satu) berada di
sebelah kanan yang tugasnya memainkan nada-nada rendah dan pemegang
tabuhan dasar, sedangkan pemain Dau Naknya (Dau dua) berada di sebelah kiri
yang bertugas memainkan nada-nada tinggi untuk memberi variasi permainan
Dau We???nya.

Cara memainkan instrumen Dau ditabuh dengan dua tangan menggunakan stik
yang terbuat dari kayu berukuran panjang 25 cm-30 cm dan berdiameter sekitar 2
cm sampai 2,5 cm. Dau we'nya memainkan nada-nada pokok lagu dan
memberikan penekanan pada nada tertentu dalam sebuah lagu, sedangkan Dau
naknya memberi variasi permainan untuk mengambil nada-nada yang tidak
terdapat pada Dau wenya, sehingga membentuk akor tertentu untuk mengiringi
lagu yang dibawakan.

8
Setiap anak Dau mempunyai nama sendiri-sendiri. Adapun nama dan nada
masing-masing anak Dau adalah sebagai berikut.
Dau terkecil disebut Panangkekng dengan nada 1 (do) satu oktav lebih
tinggi dari nada dasar yang ditempatkan di sebelah kiri rancakan
Panuna' bernada 6 (la) ditempatkan di sebelah Panangkekng
Panyantel bernada 5 (sol) ditempat di sebelah kanan Panuna'
Panimpak bernada 3 (mi) ditempatkan di sebelah kanan Panyantel
Panarodot bernada 2 (re) ditempatkan di sebelah kanan Panimpak
Paninga' bernada 1 (do standard) ditempatkan di sebelah kanan Panimpak
Panodot bernada 6 (la) di bawah nada dasar dan ditempatkan di sebelah kanan
Paninga'
Pangantor bernada 5 (sol) yang ditempatkan di sebelah kanan Panodot (Nico
Andasputra dan Vincentius Julipin, ed.: 1997, hal. 88).
2. Gadobokng (Gendang)
Gadobokng termasuk jenis instrumen membranophone, yaitu golongan
alat musik yang sumber bunyinya berasal dari kulit atau selaput tipis yang
diregangkan. Bagian tengah instrumen diberi lubang untuk sirkulasi udara dan
resonansi bunyi. Kulit yang digunakan biasanya adalah kulit sapi, kulit kambing,
dan kulit kijang muda agar suara yang dihasilkan nyaring. Instrumen ini
mempunyai karakter agung, sehingga cocok digunakan dalam ansambel musik
dayak Kanayatn dibanding dengan instrumen lainnya.
Cara memainkan instrumen Gadobokng ditabuh dengan dua tangan sambil
dipeluk di samping kiri atau kanan pemainnya. Bila instrumen ini ditempatkan
disebelah kiri, maka tangan sebelah kanan yang paling banyak berperan, begitu
pula sebaliknya. Fungsinya sebagai pemangku irama atau memberi ketukan pada
lagu yang dimainkan.
Tradisi musik dayak Kanayatn mempunyai beberapa instrumen gendang.
Penggunaannya menyesuaikan konteks dimana musik tersebut dimainkan, apakah
dalam kesenian Jonggan atau dalam beberapa upacara. Kebanyakan upacara besar
menggunakan Gadobokng sebagai gendang, hanya upacara Totokng yang
menggunakan Kubeh (gendang besar) agar kalau gendang tersebut dipukul

9
suaranya dapat terdengar sampai jauh sebagai tanda bahwa upacara Totokng
sedang dilaksanakan. Adapun beberapa jenis gendang yang digunakan dalam
tradisi dayak Kanayatn adalah sebagai berikut.
Tuma' ialah sejenis gendang dengan panjang 112 cm dan diameter 20 cm.
Cara memainkannya ditabuh dua tangan dengan posisi miring dan ditempatkan di
sebelah kiri atau kanan badan pemain.
Gadobokng/Katubong adalah kendang besar pendek yang terbuat dari
kayu nangka Bagian tengahnya berlubang dan dilapisi kulit (kulit sapi atau
kambing) sebagai sumber bunyi. Gendang jenis ini dimainkan dengan cara
dipukul atau ditabuh dengan tangan. Katubong dimainkan oleh satu orang dan
berukuran panjang sekitar 55 cm dengan diameter 35 cm.
Kubeh yaitu gendang panjang kurang lebih 200 cm, serta berdiamter 40 cm.
Ganakng adalah sepasang alat musik gendang yang dimainkan oleh dua
orang yaitu
We'nya dan Naknya. Panjang alat musik ini berkisar 50 cm dan berdiameter 20
cm. Kedua ujungnya ditutup dengan dua membran yang biasanya berasal dari
kulit kambing atau kijang.
3. Agukng (Gong)
Alat musik yang paling banyak ditemukan di Kalimantan adalah Gong. Alat ini
ditemui hampir di seluruh kelompok dayak dan dipercaya diturunkan langsung
oleh para dewa dari kayangan untuk dimainkan dalam upacara. Instrumen ini
dipercaya dapat mengusir roh jahat yang mengganggu saat upacara. Agukng juga
dianggap sebagai lambang kebangsawanan pemiliknya. Orang yang memiliki
Gong dianggap sebagai orang kaya atau bangsawan, karena tidak semua orang
memilikinya, kecuali kaum bangsawan dan orang berada. Gong terdiri dari
beberapa jenis dan ukuran, serta dipakai dalam jumlah yang bervariasi (Al Yan
Sukanda: dalam Paulus Florus: 2005, hal. 115). Dikalangan masyarakat dayak
paling tidak ditemukan lima jenis gong, yaitu:
- Tipe Garantung (Gong Besar), yaitu gong berukuran besar, sisi rendah, nada
rendah, karakter suara lembut dan beralunan panjang.
- Tipe Tawak (Gong Panggil), yaitu Gong berukuran agak kecil yang sisi dan

10
pencunya agak tinggi, suaranya tegas dan beralunan pendek. Gong ini biasanya
digunakan untuk alat komunikasi atau pemberitahuan apabila ada kematian,
bencana, tamu terhormat, pesta, upacara, dan lain sebagainya.
- Tipe Bondi, yaitu Gong yang sisi dan pencunya rendah. Permukaan sekitar
pencu kebanyakan tidak ada lekukan melingkar. Gong ini hampir mirip dengan
tawak namun bentuknya sedikit lebih kecil. Suaranya lembut dan merdu. Biasanya
gong tipe ini disebut Bobondi, Bendai, Bandai, atau Canang.
- Tipe Boring, yaitu Gong yang permukaannya datar. Suaranya bergetar
deper(nyaring. Gong ini biasanya disebut juga dengan nama Boring-boring,
Gentarai, dan Puum.
- Tipe Kelintang (Gong-gong kecil horisontal), yaitu satuan dari beberapa Gong
kecil yang berjumlahnya 5 sampai 9 instrumen dan disusun secara horizontal pada
sebuah rancakan berdiri. Suaranya tinggi dan nyaring. Instrumen ini berfungsi
sebagai pembawa melodi. Nama lain alat ini adalah Engkeromong, Keremong,
Kangkanong, dan Klentang.
Selain alat musik perkusi dari logam seperti di atas, ditemukan juga alat
musik jenis lain, seperti Rahup (simbal kecil) dan Saron. Bentuk Saron
menyerupai instrumen Tengga' yang terbuat dari kayu, sehingga saron terkadang
disebut pula dengan Tengga' oleh masyarakat setempat.
Gong termasuk jenis instrumen perkusi yang terbuat dari logam. Instrumen
ini digunakan untuk menamakan instrumen perunggu dengan pencon di tengahnya
dengan berbagai ukuran (R.M. Soedarsono: 2003, hal. 126). Cara memainkannya
ditabuh dengan menggunakan stik kayu yang pada bagian ujungnya dililit karet.
Instrumen ini terbagai menjadi 8 buah instrumen, yaitu: (1) Kakanong; (2) Kampo
atau Babaneh; (3) Kanayatn; (4) Katukekng; (5) Katukong; (6) Katuku'; (7)
Agukng; dan (8) Wayakng.
Diantara delapan instrumen tersebut, kebanyakan hanya tiga jenis Agukng
yang digunakan, yaitu (1) Agukng berdiameter 53 cm untuk lingkar depan,
diameter 47 cm untuk lingkar belakang, dan diameter 12,5 cm untuk lingkar Bujal
(pencon); (2) Katuku berdiameter 42,5 cm lingkar depan, diameter 49,5 cm
lingkar belakang, dan diameter 12 cm lingkar Bujal (pencon); (3) Katukeng

11
berdiameter 39,5 cm lingkar depan, diameter 35 cm lingkar belakang, dan
diameter 9,5 cm lingkar Bujal atau pencon (Ukuran: 30 April 2006). Nada yang
dihasilkan instrumen Agukng adalah nada 5 (sol) rendah, instrumen Katuku
bernada 1 (do), dan instrumen Katukeng bernada 3 (mi). Instrumen ini merupakan
instrumen kolotomis atau sebagai penyekat nada yang dimainkan pada tiap

12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kami tarik dalam pembahasan makalah Hukum
Adat ialah meskupin kita banyak berfikir bahwa ilmu hukum adat terbelakang
tapi itu bukan nilai mutlak yang dimiliki oleh Hukum Adat. Namun ternyata
hukum adat telah mampu menggali kebiasaan-kebiasaan masyarakat masa lalu
yang kemudian pengaruhnya pada sistem hukum yang ada sekarang karna
hukum adat merupakan sumbu dari kelahiran segala Hukum karna hukum adat
lahir dari kebiasaan pribadi hingga kelompok dan menjadi tradisi yang diadatkan
kemudian dipatuhi, implementasinya diwujudkan dalam Hukum tertulis yang kita
kenal sekarang ini, hukum adat juga dapat menjadi perantara untuk mengetahui
perilaku masyarakat pada masa yang akan datang, intinya Hukum adat bukanlah
hal yang terbelakang oleh perkembangan zaman.

3.2. Saran
 Saran yang kami utarakan hanya bisa berharap kepada bahwa kita harus
melihat Hukum Adat sebagai latar belakang Historis dari kelahiran Hukum
itu sendiri dari aspek psikologis Hukum adat tidak bisa dihilangkan dan
dipisahkan dengan hukum yang ada sekarang ini.

13
DAFTAR PUSTAKA

Stepanus Djuweng ed., Manusia Dayak, Orang Kecil yang Terperangkap


Modernisasi (Pontianak: Institute of Dayakology Research and
Development, 1998) pp. 59-71. 2. Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat
(Jakarta: Sinar Harapan, 1981), p. 60. 3. Ibid , p. 58. 4. Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu

Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, Cetakan kelapan, 1990), pp. 186-188. 5.


Wawancara langsung dengan Maniamas Miden Sood, Seniman dan Dukun
Dendo, 29 April 2006, Dsn. Asong Pala, Ds. Aur Sampuk, Kec. Sengah
Temila, Kab. Landak, Kalimantan Barat. Diijinkan untuk dikutip. 6. Al Yan
Sukanda, “Tradisi Musikal dalam Kebudayaan Dayak”, dalam Paulus
Florus, ed., op.cit., p. 133. 7. ensiklopedi-budaya-indonesia.com

14

Anda mungkin juga menyukai