Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KELOMPOK

HUKUM LAUT UDARA DAN RUANG ANGKASA

“Blok Natuna Di Pusaran Konflik Laut China Selatan; Sebuah Studi Hukum Laut
Internasional”

Dosen Pengampu: Adi Purnomo Santoso, S.H., M.H.

Disusun Oleh:
Irawan Puspito NIM: 173112330040136
Jamilah NIM: 173112330040105
Muhammad Soleh NIM: 173112330040
Muhammad Zidan NIM: 173112330040
Epriansyah NIM: 173112330040

UNIVERSITAS NASIONAL
FAKULTAS HUKUM
ILMU HUKUM
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa tim penulis mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan tim penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman tim penulis, kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu tim penulis sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

                                                                                      Jakarta, 25 April 2019

Tim Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................................................


Daftar Isi ................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................
2.1 Sejarah Kepulauan Natuna ……………………………………………………..
2.2 Potensi Sumber Daya Alam Blok Natuna………………………………………
2.3 Sengketa Natuna Blok Dalam Hukum Laut Internasional ……………………..
BAB III PENUTUP ...............................................................................................................
Daftar Pustaka ........................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konflik laut cina selatan merupakan isu keamanan regional yang hingga kini masih
belum mencapai titik penyelesaian, serta rawan mengganggu stabilitas kawasan di masa
yang akan datang. Sengketa ini diawali oleh klaim sepihak Republik Rakyat China yang
memperluas wilayah perairannya hingga menjangkau wilayah perairan Filipina, Taiwan,
Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Konflik ini memerlukan penyelesaian yang
bersifat tetap dan mengikat, karena jika tidak potensi perebutan wilayah sangat besar.
Terdapat 3 (tiga) hal mendasar yang menjadi alasan utama mengapa negara-negara
yang terlibat dalam konflik laut cina selatan. Pertama, mengandung sumber kekayaan
alam yang sangat besar, meliputi kandungan minyak dan gas bumi, keanekaragaman
hayati dan perikanan serta kekayaan laut lainnya. Kedua, merupakan wilayah perairan
yang menjadi jalur perlintasan aktivitas pelayaran kapal-kapal internasional, terutama
jalur perdagangan lintas laut yang menghubungkan jalur perdagangan Eropa, Amerika,
dan Asia. Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di Asia, membuat negara-
negara seperti China dan negara-negara di kawasan laut cina selatan, bahkan termasuk
Amerika Serikat sangat berkeinginan mengontrol dan mempunyai pengaruh atas wilayah
laut cina selatan yang dinilai sangat strategis dan membawa manfaat ekonomis yang
sangat besar bagi suatu negara.
Sumber lain menyebutkan bahwa alasan pokok laut cina selatan diperebutkan
diantaranya adalah karena merupakan wilayah strategis, dikelilingi 10 negara. Kemudian
kaya akan sumber daya perikanan, merupakan penyumbang 10% dari perikanan global.
Dan merupakan potensi migas yang sangat besar, 11 miliar barrel cadangan minyak dan
190 triliun kubik kaki kandungan gas alam. Sedangkan kapal-kapal ikan negara lain
selalu incar natuna karena terdapat potensi perikanan 504 ribu ton atau penyumbang 21%
hasil tangkapan ikan Indonesia.
Negara-negara kawasan yang terlibat dalam konflik laut cina selatan menggunakan
dasar historis dan geografis dalam memperebutkan kepemilikan atas kawasan laut dan
dua gugusan kepulauan yaitu Paracel dan Spratly. China misalnya, mengklaim wilayah
sengketa tersebut berdasarkan kepemilikan bangsa China atas kawasan laut dan dua
gugusan kepulauan Paracel dan Spratly sejak 2000 tahun yang lalu, kemudian Pemerintah
China mengklaim telah mengeluarkan peta yang merinci kedaulatan China atas laut cina
selatan pada tahun 1947, yang dikenal dengan istilah “Nine-Dashed Line”.
Sementara itu, Indonesia dan negara Asean lainnya telah mengikuti aturan Zona
Ekonomi Ekslusif dan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)
yang sudah baku. Hal ini berarti jika ada suatu negara yang ingin mengklaim suatu
wilayah yang termasuk ke dalam ZEE Indonesia maka akan menjadi sebuah masalah
yang besar karena akan mengganggu integritas wilayah Indonesia.
Perkembangan konflik laut cina selatan kini semakin meluas dan berimplikasi
kepada permasalahan yang dianggap lebih krusial menyangkut ancaman terhadap
kedaulatan territorial Indonesia. Berbagai upaya dilakukan negara-negara yang terlibat
dalam konflik ini. Di antaranya adalah Filipina yang melayangkan Gugatan pada tahun
2013 kepada Mahkamah Arbitrase Internasional. Hasilnya menyimpulkan bahwa tidak
ada dasar hukum apapun bagi Cina untuk mengklaim hak historis terkait sumber daya di
lautan yang terdapat di “sembilan garis batas‟ di kawasan Laut Cina Selatan. Putusan
Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag Belanda 2017, klaim Cina di salah satu
perairan terluas di dunia tersebut dinyatakan melanggar kedaulatan Filipina.
Masalah kepulauan natuna merupakan titik konflik antara Indonesia dengan negeri
berjuluk Tirai Bambu tersebut. Pada medio Maret 2014, Menteri Luar Negeri Indonesia,
Marty Natalegawa memberikan keterangannya mengenai keberatan pihak Indonesia atas
peta kepulauan Natuna yang dikeluarkan pemerintah China. Dalam peta tersebut
dicantumkan sembilan titik atau nine dash line yang menentukan batas wilayah yang
menjadi bagian wilayah China atas sebagian kepulauan Natuna.
Keberatan pemerintah Indonesia tersebut telah disampaikan melalui PBB pada
tahun 2010 untuk meminta kejelasan dari pihak China apa yang menjadi latar belakang
hukum penetapan nine dash line tersebut (Panca, 2014). Walaupun Kemenlu berkeras
mengatakan bahwa hal tersebut tidak serta merta menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
sengketa wilayah laut dengan China, namun hal yang berbeda diungkapkan oleh pihak
Kementrian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan.
China dinyatakan telah mengklaim wilayah perairan Natuna sebagai wilayah
lautnya (Bilal, 2014). Bukan hanya sekedar menggambar peta laut Natuna di laut China
Selatan dengan nine dash line nya, klaim China atas kepulauan Natuna sebagaimana juga
pemetaan wilayah perbatasan laut dengan negara-negara lain terkait kepualaun Spartly
dan Paracel, klaim ditunjukkan juga dengan mengeluarkan paspor terbaru warga China
yang mencantumkan wilayah tersebut sebagai wilayah China. Kondisi ini bisa membawa
perubahan baru dalam konflik di laut China Selatan.
Bagi Indonesia, klaim China atas wilayah laut kepulauan Natuna memang terkait
dengan kedaulatan wilayah laut Indonesia sebagaimana halnya sengketa wilayah laut
dengan beberapa negara yang lain. Wilayah laut Indonesia memang merupakan wilayah
yang rawan akan konflik karena belum adanya kesepakatan batas laut antara Indonesia
dengan beberapa negara tetangga yang lain. Saling klaim wilayah, berikut dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanannya menjadi potensi konflik yang
bukan saja dapat mengganggu hubungan Indonesia dengan negara-negara tersebut, namun
juga menjadikan Indonesia negara yang lemah dalam mempertahankan kedaulatan
wilayah lautnya. Sedikitnya terdapat 9 batas laut wilayah Indonesia yang belum mencapai
kesepakatan dengan negara yang lain sehingga rawan terhadap konflik. Batas-batas
wilayah laut tersebut adalah dengan Malaysia, Singapura, Thailand, India, Vietnam,
Thailand, Filipina, Republik Palau, Timor Leste.
Bagi kawasan, terutama sebagian kawasan Asia Timur, klaim China atas wilayah
laut kepulauan Natuna ini berpotensi mempengaruhi konstelasi konflik Laut China
Selatan yang selama ini menjadi konflik dimana aktor utamanya adalah China, Taiwan,
Malaysia, Filipina, Vietnam dan Brunei. Sementara Indonesia sendiri selama ini bukan
merupakan claimant states (negara yang melakukan klaim atas wilayah yang
bersangkutan) dalam konflik Laut China Selatan. Bahkan Indonesia didorong oleh banyak
pihak, terutama Amerika Serikat sebagai negara anggota ASEAN yang 3 negara
anggotanya merupakan claimant states, untuk menjadi mediator dan berperan aktif dalam
penyelesaian Konflik Laut China Selatan. Namun klaim China atas wilayah laut
Kepulauan Natuna akan memasukkan Indonesia sebagai pemain baru dalam Konflik Laut
China Selatan sebagai claimant states, dan bukan lagi sebagai mediator.

1.2 Rumusan Masalah


Dari uraian permasalahan yang telah diuraikan diatas, muncul pertanyaan yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaiman sejarah kepuluan natuna, mengapa blok natuna dapat memicu konflik
kawasan?
2) Potensi Sumber Daya Alam apa yang menjadi pemicu ketegangan, ditengah
memburuknya konflik laut cina selatan?
3) Bagaimana Sengketa Blok Natuna Dalam Hukum Laut Internasional?
1.3 Metode Penulisan Makalah
Berdasarkan identifikasi masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka tulisan ini
masuk dalam kajian hukum yang normatif, untuk itu tulisan ini mempergunakan metode
penelitian yuridis normatif. Hal ini dimaksudkan untuk menjelaskan berbagai instrument
hukum terkait dengan aspek kelautan.
Tulisan ini juga menggunakan pendekatan sosio hukum, dengan tujuan untuk
melihat lebih jauh dari sekedar pendekatan doktrinal, sehingga memiliki perspektif lebih
luas dengan melihat hukum laut internasional dalam hubungannya dengan sistem sosial,
ekonomi dan politik internasional.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Kepulauan Natuna
Secara astronomis, Kabupaten Natuna terletak pada titik koordinat 01 0 18’00”-060
50’15” LU (Lintang Utara) dan 104 0 48’30” - 1100 02’00”BT (Bujur Timur). Secara
geografis, batas-batas wilayah Kabupaten Natuna adalah sebagai berikut:
 Sebelah utara berbatasan dengan Laut Natuna Utara,
 Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bintan
 Sebelah barat berbatasan dengan Semenanjung Malaysia,
 Sebelah timur berbatasan dengan Laut Natuna Utara
Berdasarkan Undang-undang No. 53 Tahun 1999 Kabupaten Natuna dibentuk dari
hasil pemekaran Kabupaten Kepulauan Riau dan terdiri atas enam kecamatan yaitu
kecamatan Bunguran Timur, Bunguran Barat, Jemaja, Siantan, Midai dan Serasan, serta
satu Kecamatan Pembantu Tebang Ladan.
Luas wilayah Kabupaten Natuna adalah 224.684,59 km2 dengan luas daratan
sebesar 2.001,30 km2 dan luas lautan sebesar 222.683,29 km2 . Ibukota Kabupaten
Natuna adalah Kota Ranai.
Kecamatan yang memiliki luas wilayah terbesar adalah kecamatan Bunguran
Utara, yaitu 404,71 km2 atau 20,22 persen dari seluruh wilayah daratan Kabupaten
Natuna. Kecamatan ini terdiri atas 8 desa yaitu Kelarik Barat, Kelarik, Kelarik Utara,
Kelarik Air Mali, Teluk Buton, Belakang Gunung, Seluan Barat dan Gunung Durian.
Ibukota kecamatan Bunguran Utara adalah Desa Kelarik
Kabupaten Natuna awalnya terdiri atas 12 kecamatan. Kemudian pada 10
Desember 2014 dibentuklah 3 kecamatan baru sehingga total kecamatan di Kabupaten ini
menjadi 15. Dari 15 kecamatan tersebut, terdapat 70 desa dan 6 kelurahan. 6 kelurahan ini
yaitu Sabang Barat, Sedanau, Ranai, Ranai Darat, Bandarsyah dan Serasan.
Terdapat 154 pulau di Kabupaten ini, dengan 27 pulau (17,53 persen) yang
berpenghuni dan 127 pulau (82,44 persen) tidak berpenghuni. Dari semua kecamatan,
Kecamatan Serasan memiliki jumlah pulau terbanyak yang belum berpenghuni yaitu 30
pulau (23,62 persen dari total pulau belum berpenghuni). Pulau-pulau yang ada dapat
dikelompokkan dalam 2 gugusan:
 Gugusan Pulau Natuna, terdiri atas pulau-pulau di Bunguran, Sedanau, Midai,
Pulau Laut dan Pulau Tiga.
 Gugusan Pulau Serasan, terdiri atas pulau-pulau di Serasan, Subi Besar dan Subi
Kecil
Penduduk Kabupaten Natuna berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2016 yaitu
berjumlah 75.282 jiwa yang terdiri atas 38.826 jiwa penduduk laki-laki dan 36.456 jiwa
penduduk perempuan dengan sex ratio 1.07 yang artinya dari 100 perempuan terdapat
107 laki-laki di Kabupaten Natuna. Dari 12 Kecamatan, kecamatan Bunguran Timur
merupakan kecamatan yang penduduknya terbanyak dari tahun 2010 sampai 2016, yaitu
pada tahun 2016 mencapai 27.019 jiwa, dengan persentase 35,89 persen, dimana
Bunguran Timur merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Natuna.
Kepadatan penduduk di Kabupaten Natuna tahun 2016 yaitu 27,62 jiwa/km2 .
Kepadatan Penduduk di 15 kecamatan cukup beragam dengan kepadatan penduduk
tertinggi terletak di kecamatan Midai dengan kepadatan sebesar 194,60 jiwa/km2 dan
terendah di Kecamatan Bunguran Selatan sebesar 11,02 jiwa/km.
Natuna, Provinsi Kepuluan Riau memiliki sejarah unik. Daerah ini semasa
Kerajaan Riau Lingga berkuasa dianggap sangat penting. Ditempatlah di daerah ini pejabat
yang gelarnya Orang Kaya. Di Pulau Natuna Besar, dipimpin Orang Kaya Bunguran. Di
Natuna bagian utara, diperintah Orang Kaya Pulau Laut. Di Natuna selatan, dipimpin Orang
Kaya Subi. Peninggalan kejayaan masa lampau dapat terlihat dari peninggalan sejumlah
rumah bersejarah yang hingga saat ini masih bisa dilihat.
Natuna-Anambas pada masa Kerajaan Riau-Lingga tercatat dalam Perjanjian
antara Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dengan Residen Riau Nieuwenhuyzen tanggal 1
Desember 1857, disebutkan bahwa : Yang menjadi daerah kekuasaan Sultan dalam daerah
Kerajaan Melayu Riau Lingga termasuk dalam daerah takluknya yaitu :
a) Pulau Lingga dan pulau-pulau sekitarnya, pulau-pulau yang terletak di sebelah barat
Pulau Temiang dan pulau sebelah barat Selat Sebuaya.
b) Pantai pesisir Pulau Sumatera disebut pula; yaitu pulau-pulau yang terletak dan barat
Selat Durai. Demikian pula pulau-pulau yang terletak di sebelah barat Selat Riau,
sebelahselatanSingapura dan Pulau Bintan.
c) Di daerah-daerah lainnya pulau-pulau Anambas yang diperintah Pangeran Siantan,
Pulau Natuna Besar di bawah pemerintahan Orang Kaya Bunguran. Pulau Natuna
sebelah utara diperintah Orang Kaya Pulau Laut, pulau-pulau Natuna selatan di bawah
Orang Kaya Subi, Pulau Serasan di bawah Orang Kaya Serasan, Pulau Tambelan di
bawah Petinggi Tambelan.
2.2 Potensi Sumber Daya Alam Blok Natuna
Kepulauan Natuna yang memiliki luas sekitar 141.901 Km² ini disebut-sebut
memliki kekayaan alam yang melimpah. Disebutkan cadangan gas alam di kepulauan ini
terbesar di Asia Pasifik, bahkan terbesar di dunia, sehingga tidak mengherankan jika
banyak Negara-negara yang sangat tergiur untuk dapat memiliki Kepulauan Natuna
tersebut.
Hitungan dari pemerintah mengacu pada salah satu ladang gas alam yaitu Blok
Natuna D Alpha, dimana menyimpan cadangan gas dengan volume 222 Triliun Kaki
Kubik, dan jika akan diambil dan digunakan, cadangan gas alam ini tidak akan habis
untuk 30 tahun mendatang.
Sementara untuk potensi gas yang recoverable atau yang dapat diperkirakan di
Kepulauan Natuna sebesar 46 TCF (Triliun Cubik Feet) setara dengan 8.383 Miliar Barel
Minyak. Total jika digabung dengan Minyak Bumi, terdapat sekitar 500 Juta Barel
cadangan energy hanya di Blok tersebut.
Menurut hitungan kasar, jika diuangkan, kekayaan gas Natuna bernilai mencapai
Rp. 6000 Triliun. Angka ini didapat dari asumsi rata-rata minyak selama periode
ekploitasi sebesar USD 75/Barel dan Kurs Rp. 10.000,- per USD. Nilai kekayaan ini
sangat besar jika dibandingkan dengan pendapatan Negara dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) yang hanya sekitar Rp 1.700 Triliun. Jika kita kehilangan
Natuna, itu dampaknya sangat terasa karena sektor migas salah satu paling besar
pendapatannya.
Kawasan Laut China Selatan merupakan kawasan yang bernilai ekonomis,
politik dan strategis dilihat dari posisi geografisnya yang menghubungkan Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik sebagai Jalur Pelayaran Perdagangan atau Sea Lane of
Trade (SLOT) dan Jalur Komunikasi Internasional atau Sea Lane of Communication
(SLOC).
Di bidang perikanan, berdasarkan studi identifikasi potensi sumberdaya kelautan
dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau tahun 2011 adalah sebesar 504.212,85 ton per
tahun atau sekitar hampir 50% dari potensi WPP 711 dengan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan (80% dari potensi lestari) mencapai 403.370 ton. Pada tahun 2014,
pemanfaatan produksi perikanan tangkap Kabupaten Natuna mencapai 233.622 ton atau
mencapai 46% dari total potensi lestari sumberdaya ikan. Komoditas perikanan tangkap
potensial Kabupaten Natuna terbagi dalam dua kategori, yaitu ikan pelagis dan ikan
demersal.
Potensi ikan pelagis Kabupaten Natuna mencapai 327.976 ton/tahun, dengan
jumlah tangkapan yang dibolehkan sebesar 262.380,8 ton/tahun (80% dari potensi
lestari). Pada tahun 2014, tingkat pemanfaatan ikan pelagis hanya mencapai 99.037 atau
37.8% dari total jumlah tangkapan yang dibolehkan. Selebihnya yaitu sebesar 163.343,8
ton/tahun(62.25%) belum dimanfaatkan. Selain jenis ikan pelagis, ikan demersal juga
memiliki peluang produksi yang tidak kalah besar. Potensi ikan demersal di Kabupaten
Natuna mencapai 159.700 ton/tahun, tingkat pemanfaatan pada tahun 2014, hanya sebesar
40.491 ton (25.4% dari potensi lestari). Artinya, masih ada sekitar 119.209 ton/tahun
(74.6%) ikan demersal yang belum dimanfaatkan di Kabupaten Natuna. Beberapa jenis
ikan di Kabupaten Natuna, yang potensial untuk dikembangkan antara lain Ikan dari jenis
kerapu-kerapuan, tongkol krai, teri, tenggiri, ekor kuning/pisang-pisang, selar, kembung,
udang putih/ jerbung, udang windu, kepiting, rajungan, cumi-cumi dan sotong.
Cadangan minyak Blok Natuna diperkirakan sebesar 7,5 Barel dan saat ini
produksi minyak bumi mencapai 1,3 Juta Barel/hari. Blok Natuna yang berhadapan
langsung dengan Wilayah Laut China Selatan memiliki peran dan arti geopolitik yang
sangat besar karena menjadi titik temu Negara China dengan Negara tetangga-
tetangganya, terutama yang berada dalam wilayah ASEAN dan meliputi masalah
territorial, pertahanan serta keamanan.

2.3 Sengketa Blok Natuna Dalam Hukum Laut Internasional


Laut China Selatan menurut UNCLOS III termasuk kedalam tipe laut setengah
tertutup (semi-enclosed sea)1 dalam ketentuan Konvensi dijelaskan bahwa laut tertutup
atau laut setengah tertutup berarti suatu teluk, lembah laut (basin), atau laut yang
dikelilingi oleh dua atau lebih negara dan dihubungkan dengan laut lainnya atau
Samudera oleh suatu alur yang sempit atau yang terdiri seluruhnya terutama dari laut
teritorial dan zona ekonomi eksklusifnya dua atau lebih negara pantai2.
Terdapat negara-negara yang mengelilingi laut china selatan diantaranya
Tiongkok termasuk Taiwan, Thailand, Filipina, Singapura, Indonesia, Vietnam, Malaysia,
Kamboja, dan Brunei Darussalam, selain itu kawasan ini memiliki pulau-pulau kecil dan
gugus karang yaitu, kepulauan Pratas, kepulauan Paracel dan kepulauan Spratly. Kawasan
ini menyimpan potensi konflik yang tinggi dikarenakan negara-negara disekitarnya
1 Zou Keyuan, 2005, Law of The Sea In East Asia: Issues and Prospect, RoutledgeTaylor and Francis Group, New
York, hlm. 43
2 lihat di pasal 122, BAB IX United Nations Convention The Law of The Sea 1982, atau dapat diakses di
http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf
mengklaim pulau-pulau tersebut dengan dalihnya sendiri terutama klaim (klaim
multilateral) atas kepulauan Spratly dengan status pulau tidak berpenghuni yang
disengketakan oleh beberapa negara seperti Tiongkok, Taiwan, dan beberapa negara
anggota ASEAN yang terdiri dari Vietnam, Brunei, Malaysia, dan Filipina serta
kepulauan Paracel yang disengketakan oleh Tiongkok, Taiwan, dan Vietnam.
Tiongkok mengklaim sebagian besar kawasan ini, kawasan yang terbentang
ratusan mil dari selatan sampai timur provinsi Hainan. Menurut Tiongkok hak atas
kawasan tersebut bermula dari 2000 tahun lalu, kawasan Paracel dan Spratly merupakan
bagian dari bangsa Tiongkok. Pada tahun 1947 Tiongkok mengeluarkan peta merinci
klaim kedaulatan negara tersebut dan menunjukan bahwa dua rangkaian pulau tersebut
termasuk kedalam wilayah Tiongkok. Vietnam menanggapi klaim tersebut dengan
mengatakan Beijing tidak pernah mengklaim kedaulatan atas kepulauan itu sampai tahun
1940-an dan mengatakan kepulauan tersebut masuk kedalam wilayah Vietnam. Selain itu
menurut Vietnam, Vietnam menguasai Paracel dan Spratly sejak abad le-17, dan memiliki
dokumen sebagai bukti.3
Filipina mengangkat kedekatan secara geografis terhadap kepulauan Spratly
sebagai landasan klaim kepulauan tersebut. Malaysia dan Brunei Darussalam yang
menganggap sebagian kawasan laut china selatan ini masuk kedalam zona ekonomi
eksklusif seperti yang ditetapkan dalam konvensi PBB tentang hukum laut tahun 1982.
Agresifitas Tiongkok dalam sengketa ini membawa Indonesia masuk dalam
permasalahan. Pada permasalahan Indonesia-China di perairan Natuna, Tiongkok
mengunakan pendekatan berdasarkan sejarah yaitu Nine Dash Line4. Istilah ini digunakan
sebagai klaim atas wilayah kedaulatan laut China. Nine dash line digunakan oleh
Tiongkok sebagai dasar yang membolehkan nelayan mereka mencari ikan di wilayah
ZEE Indonesia. Keyakinan Tiongkok akan klaim ini berdasar atas sejarah dan tidak dapat
menerima putusan UNCLOS yang menimbulnya kekhawatiran bahwa Tiongkok akan
melakukan segala usaha demi mendapatkan pengakuan atas kedaulatan wilayah tersebut
hingga harus menggunakan power untuk meperolehnya.

3 BBC, Sengketa kepemilikan Laut China Selatan, Diakses dari


http://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2011/07/110719_spratlyconflict pada tanggal 25 April 2019
4 Nine-dash line adalah garis pembatas imajiner yang digunakan oleh Tiongkok untuk menunjukkan klaim
mereka atas wilayah Laut Cina Selatan. Menurut Peter J.Brown dalam tulisannya Calculated Ambiguity in the
South China Sea, nine-dash line pada awalnya bernama eleven-dash line. Istilah ini pertama kali dipublikasikan
melalui sebuah peta yang dibuat oleh Republik Tiongkok (1912-1949) pada Desember 1947 untuk menetapkan
klaimnya atas Laut Cina Selatan. Diakses dari : https://www.selasar.com/politik/apa-itu-ninedash-line
Dalam studi hubungan internasional kita mengenal suatu interaksi yang terbagi
menjadi dua bentuk, kerjasama dan konflik. Kedua bentuk ini saling mengisi satu sama
lain. Dalam kerjasama, perbedaan sudut pandang dan kepentingan nasional sering kali
mengarahkan negara-negara tersebut untuk saling berkonflik karena didasari dengan
tujuan kepentingan negara-negara tersebut. Sebaliknya dengan konflik, jika negara-negara
sedang berkonflik maka solusinya adalah melakukan kerjasama yang bertujuan agar
konflik-konflik tersebut dapat terhindar dan mampu mengurangi efek negatif dari konflik.
Hubungan Tiongkok dengan negara-negara ASEAN terutama Filipina sedang
menjadi sorotan. Dinamika hubungan bilateral kedua negara ini naik turun sejalan dengan
isu Laut China Selatan. Konflik yang terjadi di laut China selatan membuat sejumlah
negara yang bersengketa bersikeras untuk mendapatkan legal kepemilikan di wilayah
tersebut. Jika merujuk pada UNCLOS maka konflik ini sebenarnya sudah menemukan
jalan keluar, namun Tiongkok bersikeras bertahan dengan dalih nya dan membawa
pendekatan sejarah melalui nine dash line.
Dengan pernyataan tersebut Tiongkok bebas memperoleh sumber daya
alam/mineral yang terkandung di kepulauan yang disengketakan. Dalam hal ini Filipina
telah memberikan beberapa laporan mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-
kapal Tiongkok yang menurut Filipina melanggar kedaulatan lautnya, bahkan beberapa
terjadi insiden antara kapal patroli/nelayan Tiongkok dan milik Filipina, hal ini ditambah
dengan pengambilan sumber daya alam yang dilakukan Tiongkok di kepulauan yang
disengketakan dimana hal ini semakin meningkatkan ketegangan di kawasan terutama
terhadap hubungan bilateral Filipina-Tiongkok.
Hubungan keduanya sudah memanas bahkan ketika jaman Presiden Aquino III
masih menjabat. Selain itu, ketegangan kedua negara semakin meningkat terutama di
beting atau kepulauan Scarborough, Second Thomas (Filipina menyebutnya Beting
Ayungin) dan Kepulauan Spratly, ditambah dengan dibawanya sengketa Laut China
Selatan ini ke mahkamah atau panel Arbitrasi oleh Filipina. Dalam prosesnya, Filipina
telah beberapa kali mengajukan keberatan dan tuntutan kepada Tiongkok terkait tumpang
tindih kepemilikan beberapa wilayah/pulau dan perairan di Laut China Selatan. Pada 19
Februari 2013 dan 1 Agustus 2013 Tiongkok menyatakan tidak setuju dengan proses
Arbitrase dan menolak bergabung dalam proses persidangan mahkamah Arbitrase.
Hakim di Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag menolak klaim
Tiongkok terhadap hak-hak ekonomi di sebagian besar wilayah Laut China Selatan.
Pemerintah Filipina menyatakan 'menghargai' putusan tersebut. Dalam berkas putusan
sepanjang 497 halaman, para hakim antara lain menyatakan bahwa patroli angkatan laut
dan penjaga pantai Tiongkok berisiko menyebabkan kecelakaan lalu lintas laut. Pekerjaan
konstruksi di kawasan itu juga berpotensi merusak terumbu karang. Tiongkok
sebelumnya menyatakan akan memboikot semua keputusan Mahkamah Arbitrase Den
Haag yang menguntungkan Filipina. Tiongkok tidak terikat oleh peraturan apa pun.
Sengketa antara Filipina dan Tiongkok sudah berlangsung bertahun-tahun dengan tanpa
penyelesaian diplomatik. Tahun 2013, Filipina membawa sengketa itu ke Mahkamah
Arbitrase di Den Haag, sekalipun Tiongkok mengancam bahwa tindakan itu bisa
membawa konsekuensi diplomasi dan dagang terhadap Filipina.5
Dinamika konflik lainya yang terjadi adalah protes Tiongkok terhadap penamaan
Laut Natuna Utara. Dikutip dari republika, Presiden RI Joko widodo mengatakan bahwa
kemaritiman adalah isu sentral dan materi utama pembangunan nasional. Penamaan Laut
Natuna Utara itu pun ditujukan untuk membangkitkan semangat dan menumbuhkan
kepercayaan di mana pemerintah memiliki strategi yang solid untuk menjaga kedaulatan
dan pada saat mengembangkan semua potensi kemaritiman.
Menurut pengamat hubungan internasional di salah satu Universitas di Indonesia,
Teguh Santosa, mengatakan bahwa tindakan Tiongkok yang mengirimkan surat ke
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia agar meminta pembatalan penamaan laut
tersebut adalah wajar. Dengan penamaan tersebut, Tiongkok akan kehilangan
keistimewaan yang negara tersebut dapat selama ini dari penggunaan nama Laut China
Selatan. Penggunaan nama Laut Natuna Utara diperlukan untuk kepastian hukum
internasional. Untuk jangka panjangnya hal itu juga dibutuhkan demi menjaga keamanan
dan stabilitas kawasan dan perubahan nama wilayah tersebut juga adalah hak Indonesia
atas wilayahnya sendiri.6
Pertimbangan lainnya menyangkut pembaharuan regulasi yakni adanya keputusan
Mahkamah Arbitrase Internasional yang didasarkan pada Konvensi PBB tentang Hukum
Laut (UNCLOS) terkait sengketa perairan di Laut Cina Selatan. Mahkamah Arbitrase
Internasional memberikan yurisprudensi hukum internasional bahwa setiap negara berhak
atas zona ekonomi eksklusif, alias hak memanfaatkan sumber daya alam (termasuk

5 Deutsche Welle, Mahkamah Arbitrase Den Haag Tolak Klaim Cina di Laut Cina Selatan, diakses dari
http://www.dw.com/id/mahkamah-arbitrase-den-haag-tolak-klaim-cina-di-laut-cina-selatan/a- 19395025 pada
tanggal 25 April 2019
6 Republika, Cina Protes Nama Laut Natuna Utara, Jokowi Takkan Gentar, diakses dari
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/17/09/04/ovr5j1330-cina-protes-nama-laut-natuna-
utara-jokowi-takkan-gentar. Pada tanggal 25 April 2019
menangkap ikan atau mengeksplorasi gas dan minyak), di sekitar pulau dalam radius 200
mil laut.
Aaron L. Connelly dari Lowy Institute for International Policy dalam tulisannya
seperti yang dilansir oleh tirto.id Indonesia di Laut Cina Selatan: Berjalan Sendiri7,
mengungkapkan bahwa strategi Jokowi tersebut sesungguhnya dapat melemahkan
negara-negara ASEAN di hadapan Cina. Hal ini akan membuat negara ASEAN akan sulit
mencapai kesatuan dalam menyikapi sengketa Laut Cina Selatan serta tak memiliki
kekuatan penuh untuk menghadap konfrontasi Cina di Laut Cina Selatan, yang memang
cukup berbeda dengan era kepemimpinan Presiden SBY, yang mana Indonesia kerap
menjadi “motor” bagi negara ASEAN konflik di kawasan.
Pendekatan yang dilakukan Jokowi tersebut mungkin akan memberi keamanan
dan kestabilan di wilayah Kepulauan Natuna dan menunjukkan kedaulatan Indonesia di
wilayah tersebut. Namun, menurut Aaron, tanpa adanya kesatuan yang kuat dari anggota
ASEAN, kekuatan besar seperti Amerika Serikat akan merasa terdorong untuk hadir dan
menjalankan peran sebagai “pemimpin” bagi ASEAN guna menghadang tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh Cina di Laut Cina Selatan.
Padahal hadirnya kekuatan besar di wilayah Asia Tenggara itu akan memengaruhi
kestabilan kawasan yang secara tak langsung sesungguhnya juga akan berpengaruh di
Kepulauan Natuna sebagai wilayah Indonesia. Namun, terlepas dari kekhawatiran itu,
pemberian nama Laut Utara Natuna sebagai pesan yang kuat dari Indonesia kepada Cina
agar tak sembarangan soal batas wilayah menyusul berbagai insiden yang pernah terjadi.

7 https://tirto.id/pesan-untuk-cina-dengan-pemberian-nama-laut-natuna-utara-csSL diakses
pada tanggal 25 April 2019
BAB III
PENUTUP
Indonesia sebagai kepulauan dan memiliki batas yang panjang dan terbuka dari mana-
mana, menyimpan potensi kerawanan karena sulitnya pengawasan terhadap wilayah
perbatasan dan pulau-pulau terluar terutama yang berbatasan langsung dengan Negara
tetangga, baik daratan, lautan, maupun udara. Masalah status wilayah dan ketidakjelasan
batas-batas Negara sering menjadi sumber persengketaan di antara Negaranegara yang
berbatasan atau berdekatan.
Persengketaan muncul akibat penerapan prinsip yang berbeda terhadap penetapan
batas-batas Landas Kontinen di antara Negara-negara bertetangga sehingga menimbulkan
wilayah “tumpang tindih” yang dapat menimbulkan persengketaan. Kepulauan Natuna terdiri
dari tujuh pulau dengan Ibu Kota di Ranai. Pada tahun 1957, kepulauan Natuna awalnya
masuk dalam wilayah Kerajaan Pattani dan Kerajaan Johor di Malaysia. Namun pada abad ke
19, kepulauan Natuna akhirnya masuk ke dalam penguasaan Kesultanan Riau dan menjadi
wilayah dari Kesultanan Riau, dimana kepulauan Natuna berada di jalur strategis dari
pelayaran internasional. Setelah Indonesia merdeka, Delegasi dari Riau ikut menyerahkan
kedaulatan pada Republik Indonesia yang berpusat di Pulau Jawa. Pada 18 Mei 1956,
pemerintah Indonesia resmi mendaftarkan kepulauan Natuna sebagai wilayah kedaulatannya
ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kepulauan Natuna yang memiliki luas sekitar 141.901 Km² ini disebut-sebut memiliki
kekayaan alam yang melimpah. Disebutkan cadangan gas alam di kepulauan ini terbesar di
asia Pasifik, bahkan terbesar di dunia, sehingga tidak mengherankan jika banyak Negara-
negara yang sangat tergiur untuk dapat memiliki Kepulauan Natuna tersebut. Di bidang
perikanan, Kepulauan Natuna yang terletak dalam perairan Laut China Selatan, merupakan
salah satu jenis ikan serta sumber-sumber kekayaan mineral yang potensial.
Cadangan minyak di Laut China Selatan diperkirakan sebesar 7,5 Barel dan saat ini
produksi minyak bumio mencapai 1,3 Juta Barel/hari. Wilayah Laut China Selatan memiliki
peran dan arti geopolitik yang sangat besar karena menjadi titik temu Negara China dengan
Negara tetanggatetangganya, terutama yang berada dalam wilayah ASEAN dan meliputi
masalah territorial, pertahanan serta keamanan.
Penaman Laut Natuna Utara merupakan hak bagi Indonesia untuk memperkuat
kedaulatan suatu negara. Meskipun demikian, langkah yang ditempuh oleh Presiden Jokowi
tampaknya terlalu berfokus pada penguatan kedaulatan domestik. Padahal kesetabilan
kawasan sangat diperlukan, agar posisi Indonesia dalam kawasan ASEAN disegani. Oleh
karena melibatkan ASEAN sebagai kekuatan besar. Agar kekuatan lain selain China mampu
tidak mudah masuk, seperti halnya Amerika Serikat. Sebab negara adidaya ini memang
sangat ahli dalam memanfaat celah yang terjadi. Hal ini jangan sampai diibaratkan keluar dari
mulut buaya masuk pula kedalam mulut singa.

DAFTAR PUSTAKA
Jurnal/Makalah
Adityo, Arifianto. 2018. Politik Indonesia Dalam Konflik Laut Cina Selatan Blok Natuna.
Proseding Konfrensi Nasional APPPTMA; Jakarta.
Noviryani, Mely. Makalah. Natuna dan Transformasi Eksternal Regional Security
Supercomplexes Laut China Selatan
Tampi, Buutje. 2017. Konflik Kepulauan Natuna Antara Indonesia Dengan China (Suatu
Kajian Yuridis). Jurnal Hukum Unstrat, Volume 23.

Dokumen
Badan Pusat Statistik. Kabupaten Natuna Dalam Angka Tahun 2017.

Situs Internet
1. http://ejournal.unisri.ac.id, diakses pada tanggal 25 April 2019
2. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/mengenal-rumah-bersejarah-di-
natuna/ diakses pada tanggal 25 April 2019
3. https://kkp.go.id/SKPT/Natuna/page/1181-skpt-natuna diakses pada tanggal 25 April
2019

Anda mungkin juga menyukai