Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KELOMPOK – ISU KEAMANAN GLOBAL

MAKALAH
“ISU KEAMANAN ENERGI DALAM KONFLIK SENGKETA
LAUT CINA SELATAN”
Diajukan untuk melengkapi salah satu tugas Mata Kuliah Isu Keamanan Global yang
diampu oleh :
Angga Nurdin Rachmat, S.IP., MA

Disusun oleh Kelompok 10 :

Delia Paramitha (6211171149) Finkan Oriza Camara (6211171184)


Mahesa Laksana (6211171151) Muhammad Tasdik (6211171212)
Moulidya Revatilla (6211171162) Bryan Carlo M (6211171215)
Mella Siti Makiah (6211171180)

PROGRAM HUBUNGAN INTERNATIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha penyayang. Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
tentang Isu Keamanan Energi Dalam Konflik Laut Cina Selatan.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
sumber sehingga memperlancar pembuatan makalah ini. untuk itu kami menyampaikan
terimakasih.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritikan dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat, aamiin.

Cimahi, April 2020

Penyusun
Kelompok 10
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konflik Laut Cina Selatan bukanlah hal yang tabu jika dilihat dari salah
satu aspek ancaman negara ini, karena Indonesia juga termasuk salah satu
negara yang terlibat dalam konflik yang digadang-gadang berasal dari sebuah
sejarah yang tidak bisa diganggu gugat.

Laut Cina Selatan meliputi negara-negara yang berada di Asia Tenggara


seperti Cina, Malaysia, Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Brunei. Mereka
saling mengklaim wilayah satu sama lain dan memperkuat pertahanan maritim
dinegaranya masing-masing. Karena dalam kenyataannya Laut Cina Selatan
merupakan jalur laut utama yang sangat aktif dan sering dilalui negara negara
lain.
Lalu hadirnya Cina sebagai negara yang memiliki kuasa lebih besar
dalam bidang pertahanan mengklaim bahwa Laut Cina Selatan adalah salah
satu wilayah Cina yang telah tertulis dalam sejarah. Jika ditengok kembali Cina
memiliki sebuah peta yang ada sejak lama bahkan sebelum negara-negara ke-
3 terbentuk dan hal ini lah yang menjadikan Cina sangan bersikeras dalam
mengupayakan Laut Cina Selatan Sebagai Wilayahnya.
Dewasa kini, kenyataan yang terlihat tidak semudah dengan yang
dikataka oleh Cina, tidak mungkin sebuah negara rela berkonflik sekian
lamanya untuk membuang-buang waktu jika hanya untuk mempertahankan
wilayah yang pada kenyataannya dan menurut Hukum Laut International hal
tersebut tidak bisa diganggu gugat. Pada kenyataanya Laut Cina Selatan
menyimpan cadangan minyak dan gas bumi yang melimpah dan seluruh
kekayaan makhluk hidup yang dapat memenuhi kebutuhan jutaan manusia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa sebenarnya yang tengah diperebutkan dan dipertahankan negara-
negara terhadap Laut China Selatan ?
2. Bagaimana hubungan Konflik Laut China Selatan dengan Isu Keamanan
Energi ?
3. Bagaimana Hukum Laut International menindak lanjuti Konflik Laut China
Selatan terutama terhadap China ?
1.3 Tujuan Makalah
Untuk manganalisis apa yang sebenarnya tujuan negara-negara seperti China,
Malaysia, Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Brunei dalam memperebutkan
wilayah Laut Cina Selatan terutama terhadap Cina yang sudah jelas tidak
memiliki hak dalam Hukum Laut International yang telah ditetapkan oleh
UNCLOS.
1.4 Manfaat Makalah
Secara teoritis yaitu agar makalah ini dapat berguna untuk para pembaca
sebagai referensi dan untuk menambah wawasan terutama mengenai Isu
Keamanan Konflik Laut China Selatan. Manfaat makalah secara praktis yaitu
untuk memberikan pengetahuan kepada semua orang terutama penulis yang
menyusun makalah ini. kemudian untuk para pembaca bias mengetahui lebih
luas.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Keuntungan Dalam Kepemilikan Wilayah Laut China Selatan

Kenapa Laut China Selatan di perebutkan ? karena wilayah Laut China


Selatan memiliki potensi akan sumber daya hayati dan mineral yang sangat
melimpah. Kawasan tersebut memiliki potensi Migas sebanyak 11 miliar
barel,kandungan cadangan minyak serta 190trilliun kakl kubik, kandungan
cadangan gas alam. Selain itu laut china selatan juga memiliki 10% sumber
daya perikanan dalam kontribusi kebutuhan ikan global.

Wilayah ini juga merupakan salah satu perairan terluas didunia dengan
letak yang strategis dimana wilayah ini dikelilingi 10 negara yaitu China,
Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei
Darussalam, dan Filipina. Dari hal ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
wilayah ini akan sangat menguntungkan, letaknya yang strategis ini pun
menjadi jalur perdagangan dunia yang akan menghasilkan keuntungan bagi
negara yang menguasainya.1

2.2 Kekayaan Energi dan Sumber Daya Alam Laut China Selatan

Laut Cina Selatan (LCS) letaknya sangat strategis, dikelilingi oleh 10


negara seperti China, Taiwan, Filipina, Kamboja, Vietnam, Thailand,
Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura. Laut Cina Selatan
memiliki sumber daya perikanan 10% sebagai kontribusi kebutuhan ikan
global dan mendapatkan US$ 5 triliun per tahun dari total perdagangan yang
melewati Laut China Selatan.

Laut Cina Selatan memiliki potensi Sumber Daya Alam yang sangat
besar. Menurut U.S Energy Information Administration, diperkirakan Laut

1
Widyanita. “Kenapa Laut Cina Selatan Diperebutkan?”.
https://www.google.com/amp/s/katadata.co.id/amp/infografik/2016/07/13/kenapa-laut-cina-selatan-
diperebutkan . Diakses pada 12 april 2020 pukul 20:19 WIB
Cina Selatan mempunyai kandungan minyak sekitar 11 milyar barel dan juga
kaya akan gas alam yang mencapai 190 trilyun kaki kubik serta cadangan
hidrokarbon yang sangat penting sebagai pasokan energi. Dalam hal ini
wilayah Laut Cina Selatan akhirnya menjadi rebutan banyak negara karena
letaknya yang strategis sebagai jalur perdagangan dunia yang menghasilkan
keuntungan bagi negara yang menguasainya dan Laut Cina Selatan
diperebutkan karena memilikii kandungan kekayaan sumber daya hayati dan
mineral yang menjadi pemicu sengketa.

Terdapat dua pulau utama di Laut Cina Selatan yang menjadi sengketa
yaitu Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Kedua pulau tersebut diduga
kuat mengandung cadangan mineralseperti 2,5 milyar barel dan 25,5 trilyun
kaki kubik (Trillion Cubic Feet) gas alam yang belum dieksplorasi (U.S.
Energy Information Administration, 2013). Sedangkan pemerintah China
mengklaim bahwa LCS mempunyai potensi minyak sebesar 17 milyar ton dan
jumlah ini lebih besar daripada potensi minyak di Kuwait yang hanya mencapai
13 milyar ton (Ma, 2006).

Sebagian besar negara di sekitar LCS memiliki wilayah klaim dalam


skala yang berbeda-beda. Kawasan LCS merupakan rangkaian pulau yang
memiliki jumlah lebih dari 30.000 pulau yang termasuk gugusan karang, LCS
tidak hanya kaya akan potensi sumber daya alam, akan tetapi posisi strategis
yang dimiliki LCS menjadi incaran banyak negara untuk digunakan sebagai
sistem pertahanan. Akibatnya, eskalasi konflik muncul dan menjadi ancaman
serius di LCS. Secara spesifik, beberapa negara secara resmi mengklaim LCS,
seperti Kepulauan Paracel yang diklaim oleh tiga negara yaitu China, Taiwan
dan Vietnam. Sedangkan Kepualaun Spratly menjadi rebutan antara China,
Taiwan, Malaysia, Filipina, Vietnam dan Brunei Darussalam. Selain itu,
berdekatan dengan Kepulauan Spratly terdapat gugusan karang yang menjadi
sengketa antara Filipina, China dan Taiwan yang dikenal dengan Scarborough
Shoal.2

2.3 Penyebab Konflik Laut China Selatan

Konflik yang terjadi di Laut Cina selatan disebabkan oleh adanya


tumpang tindih batas laut antar negara dikawasan itu, dimana garis batas
Tiongkok atau yang biasa disebut Nine Dash Line melewati Zona Ekonomi
Ekslusif sejumlah negara seperti Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, dan
Malaysia. Padahal Penentuan lebar laut territorial setiap negara telah
ditentukan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB) tentang
Hukum Laut atau UNCLOS yaitu dalam Bab II dari mulai Pasal 2 sampai
dengan pasal 32.Bab II Konvensi Hukum Laut 1982 berjudul “Teritorial Sea
and Contigous Zone”. Bahwa setiap negara berhak menetapkan lebar laut
teritorialnya hingga batas yang tidak melebihi 12 mil laut, didalam
pengukurannya diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan
konvensi ini.3 Negara-negara yang terlibat dalam sengketa tersebut memiliki
persepsi masing-masing mengenai legalitas kepemilikan wilayah atas laut
tersebut situasi seperti ini akan berdampak kepada stabilitas politik dan
keamanan negara-negara yang berada di sekitarnya, khususnya di wilayah Asia
Tenggara.

Sengketa di Laut Cina Selatan terjadi karena negara yang terlibat dalam
sengketa melakukan klaim kepemilikan dengan satu pihak, salah satunya
diawali oleh klaim Republik Rakyat China atas Kepulauan Spartly dan Paracel
pada tahun 1974 dan 1992, hal ini dipicu oleh Republik Rakyat China pertama
kali mengeluarkan peta yang memasukkan kepulauan Spartly, Paracels dan
Pratas. Pada tahun yang sama Republik Rakyat China mempertahankan
keberadaan militer di kepulauan tersebut.4 Kawasan Laut Cina Selatan

2
Maksum, A. 2017. Regionalisme dan Kompleksitas Laut China Selatan. Jurnal Sospol, 2(2), 1-25.)
3
Subagyo Joko, Hukum Laut Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2005, hlm. 33
4
Evelyn Goh, Meeting the China Chlmlenge: The U.S. in Southeast Asian Regional Security Strategies,
East-West Center Washington, 2005, hlm. 31
sepanjang dekade 90-an menjadi isu keamanan dalam hubungan internasional
di era pasca perang dingin. Kawasan ini merupakan wilayah cekungan laut
yang dibatasi oleh negara-negara besar dan kecil seperti China, Vietnam,
Philipina, Malaysia, Myanmar, dan Taiwan.

Dalam cekungan laut ini terdapat Kepulauan Spratly dan Kepulauan


Paracel. Pada berbagai kajian tentang konflik di Laut Cina Selatan, Kepulauan
Spratly lebih mengemuka, karena melibatkan beberapa negara ASEAN
sekaligus, sementara Kepulauan Paracel hanya melibatkan Vietnam dan China.
Tentu saja klaim tersebut segera mendapat respon negara-negara yang
perbatasannya bersinggungan di Laut Cina Selatan, utamanya negara-negara
anggota ASEAN. Negara-negara tersebut antara lain Vietnam, Brunei
Darussalam, Filipina, dan Malaysia.5

Selain itu sumber daya alam yang berada di kawasan Laut Cina Selatan
berupa cadangan gas dan minyak. kandungan energi di kawasan Laut cina
Selatan dapat dijadikan modal ekonomi bagi negara-negara yang berbatasan
untuk masa mendatang, selain kekayaan alamnya Laut Cina Selatan juga
menjadi jalur strategis pelayaran bebas untuk pengiriman energi dan barang.
Dengan kata lain kawasan maritim ini merupakan lingkungan internasional
yang strategis , hal ini merupakan faktor kenapa Konflik Laut cina selatan
masih terus bergulir hingga sekarang.

2.4 Upaya Penyelesaian Konflik Laut China Selatan

Instrumen Hukum Internasional dan Regional (ASEAN) yang digunakan


dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan adalah:

1. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982

Berdasarkan UNCLOS 1982 para pihak yang bersengketa memiliki


pilihan dalam menyelesiakan sengketa. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan

5
Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika, Realitas,
dan Masa Depan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 203-204
pihak lainnya yang terlibat dalam sengketa di Laut China Selatan, utamanya
yaitu Vietnam, menggunakan penyelesaian sengketa dengan cara hukum yaitu
dengan menggunakan Pasal 74 dan 83 UNCLOS 1982. Kaidah-kaidah tersebut
digunakan untuk menyelesaikan masalah Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas
Kontinen yang saling tumpang tindih antara para pihak. Kaidah tersebut
memberikan ruang bagi para pihak untuk mengadakan perjanjian garis batas
ZEE dan landas kontinen. Apabila tidak tercapai kesepakatan, para pihak wajib
menyelesaikan sengketanya secara damai. Para pihak memiliki pilihan untuk
menyelesaikan sengketa di International Tribunal for the Law of the Sea
(ITLOS), Mahkamah Internasional atau a special arbitral tribunal. Para pihak
bebas memilih salah satu cara dari cara tersebut, namun sebelumnya para pihak
harus terlebih dahulu melakukan mediasi dengan cara damai. Dalam hal ini,
ASEAN perlu melanjutkan upayanya untuk menjadi mediator yang baik bagi
para pihak yang bersengketa di Laut Tiongkok Selatan.

2. Treaty of Amity and Cooperation (TAC) in Southeast Asia

TAC dapat diartikan sebagai sebuah perjanjian kerjasama dan hubungan


persahabatan dalam lingkungan regional Asia Tenggara yang bisa melibatkan
pihak ketiga, seperti Amerika Serikat dan Inggris yang sudah menandatangani
perjanjian ini, apabila terjadi konflik diantara anggotanya. Pihak ketiga ini
diharapkan dapat membantu dalam penyelesaian konflik yang terjadi diantara
negara ASEAN. TAC ditandatangani pada tahun 1976 adalah sebuah pedoman
untuk melaksanakan hubungan-hubungan antar negara ASEAN. TAC
memberlakukan prinsip-prinsip yang mendorong terciptanya hubungan antar
negara yang harmonis.

3. Declaration of Conduct (DOC) of South China Sea

Pada 4 November 2002 ASEAN bersama dengan RRT menandatangani


DOC yang menegaskan komitmen ASEAN-Tiongkok untuk menyelesaikan
sengketa Laut Tiongkok Selatan dengan cara damai dan berdasarkan hukum
internasional. DOC mendorong masing-masing pihak untuk saling menahan
diri untuk tidak melakukan hal-hal yang yang dapat memperumit dan
mempengaruhi stabilitas di wilayah tersebut. DOC juga dimaksudkan untuk
mengintensifkan uoaya untuk mencari cara penyelesaian sengketa secara
damai. Kemudian di tahun 2012 ditandatangi The Guidelines for the
Implementation of the DOC pada forum the ASEAN-Tiongkok Ministerial
Meeting. ASEAN mendeklarasikan ASEAN’s Six Point Principles on the
South China Sea, yang dimaksudkan untuk mempercepat dan mengintensifkan
penyelesaian isu Laut Tiongkok Selatan.

2.5 Negara-Negara yang Saling Mengkalim Wilayah Laut China Selatan

Konflik Laut Tiongkok Selatan atau Laut China Selatan sangat


memancing perdebatan di negara kawasan karena agresivitas dari Tiongkok
yang mengklaim wilayah gugusan pulau Spratly dan Paracel yang memiliki
luas kira-kira 1,7 kilometer persegi. Atas dasar historis Tiongkok mengklaim
dan mulai memanfaatkan pulau Spartly dan Paracel sejak lama. Menurut
negara Tiongkok mereka sudah berkuasa sejak jaman Kaisar Wu dari Dinasti
Han pada abad ke-2 hingga Dinasti Tang,Song,Ming dan Qing yang menguasai
kepulauan tersebut untuk kepentingan militer,ekonomi, dan ilmu bagi rakyat
Tiongkok.
Dengan keagresifan dari negara Tiongkok ini atas sengketa Laut China
Selatan, Tiongkok sangat mengupayakan bahwa ingin adanya pengakuan dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara de facto dan de jure untuk
mengajukan peta pada tahun 2009. Peta itu secara jelas memberikan Sembilan
garis putus-putus yang memotong perairan Vietnam, Malayasia, Brunei
Darussalam, dan Filipina. Dengan adanya pengakuan dari China yang ingin
terlihat agresif China memuat peta teritorialnya dengan paspor baru dan ini
memicu protes dari Negara pengklaim lainnya.6 Ketegangan yang terjadi di
Negara kawasan itu pun menimbulkan adanya keberpihakan tumpang
tindihnya mengklaim territorial dan memaksa Vietnam dan Filipina yang

6
Dr. Agus Haryanto, S.IP., M.Si. dan Isman Pasha, “Diplomasi Indonesia : Realitas dan Prospek”.
Yogyakarta: Pustaka Ilmu , Desember 2016, hlm 266.
meningkatkan kapabilitas militernya. Vietnam yang membeli senjata ke India
dan membeli kapal ke Rusia, lalu Filipina yang membeli helicopter dan kapal
selam untuk mempertahankan klaim territorial tersebut.
Banyak negara-negara di kawasan yang juga mengklaim atas wilayah Laut
China Selatan tersebut, baik kawasan laut maupun daratan dari pulau Spartly
dan Paracel. Negara Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Filipina
sangat keberatan atas pernyataan yang telah di sampaikan oleh China. Karena
hal tersebut, negara pengklaim lainnya saling berebut kekuasaan atas Laut
China Selatan yang terlebih di pulau tersebut banyak sumber kekayaan alam
dan gas bumi. Dan juga perairan Laut China Selatan adalah wilayah yang
menghubungkan jalur perlintasan kapal-kapal internasional sebagai jalur
perdagangan antara Asia, Amerika, dan Eropa.
Selain negara-negara diatas yang memperdebatkan dan memperebutkan
kekuasaan atas klaim Laut China Selatan, ada juga Amerika Serikat (AS) yang
ingin terlibat dalam sengketa LCS ini. AS menyatakan bahwa kehadirannya
dalam sengkega LCS ini hanya untuk menjaga kebebasan navigasi kapal di
perairan internasional dan tidak memihak negara pengklaim dalam sengketa
LCS. Hadirnya AS, banyak berbagai peningkatan kerjasama dalam bidang
pertahanan dan keamanan dengan negara pengklaim seperti Vietnam dan
Filipina, dan adanya peningkatan kerjasama ini membuat AS sangat percaya
diri karena sudah terlibat dalam sengketa LCS. Namun, dengan adanya
kerjasama tersebut memicu protes dari negara Tiongkok. Negara-negara diatas
seperti Tiongkok, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, dan juga Filipina
adalah negara yang terlibat langsung, tetapi disini Amerika Serikat dan negara-
negara di ASEAN termasuk Indonesia juga terlibat secara tidak langsung
dengan adanya konflik atau sengketa wilayah Laut China Selatan.

2.6 Hukum International Yang Terkait


Suatu negara pasti akan melakukan pengamanan dan penguasaan laut
mengingat pentingnya peran laut baik dari sudut pandang keamanan, ekonomi,
maupun politik, maka dibutuhkan sebuah landasan yang kuat terhadap
penentuan batas maritim antar negara. Adapun landasan hukum yang
digunakan dalam hal batas maritim ini ini adalah United Nations Convention
on the Law of the Sea 1982 (Konvensi Hukum Laut 1982). Konvensi Hukum
Laut 1982 merupakan perjanjian internasional yang berisi 320 pasal dan 9
lampiran yang mengatur mengenai hampir semua aktivitas dan persoalan
tentang kelautan termasuk di antaranya adalah pengaturan zona-zona maritim
dengan status hukum yang berbeda-beda, penetapan rezim negara kepulauan,
pemanfaatan dasar laut, pengaturan mengenai hak lintas bagi kapal,
perlindungan lingkungan laut, pelaksanaan riset ilmiah kelautan, pengelolaan
perikanan, serta penyelesaian sengketa.
Selain penting sebagai suatu perangkat hukum laut, Konvensi Hukum
Laut 1982 ini juga sangat penting karena di samping mencerminkan hasil usaha
masyarakat internasional untuk mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan
hukum internasional yang telah ada, juga menggambarkan suatu
perkembangan yang progresif dalam hukum internasional. Konvensi Hukum
Laut 1982 tersebut berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi, terutama untuk
negara yang mendapatkan tambahan wilayah laut.
Hal ini dapat terjadi karena potensi sumber kekayaan laut yang ada
tersebut dapat dimanfaatkan dari sisi ekonomi oleh negara yang bersangkutan.
Salah satu perkembangan yang menarik dalam percaturan politik dan
keamanan global saat ini adalah menyangkut perkembangan kawasan Asia
Pasifik. Kawasan Asia Pasifik tidak terlepas dari perkembangan yang
menyangkut masalah keamanan dan politik internasional yang ada di antara
negara kawasan itu sendiri yang berasal dari sejarah, sengketa perbatasan
maupun teritorial. Saat ini, Laut China Selatan (LCS) menjadi wilayah yang
penting di kawasan Asia Pasifik. Sengketa di LCS tidak hanya melibatkan
enam negara yaitu, Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia
saja, melainkan juga menyangkut kepentingan kekuatan besar lainnya seperti
negara Amerika Serikat.
LCS diperebutkan karena bahwa LCS bukan hanya jalur strategis yang
menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik, namun juga
sebuah pintu masuk yang penting bagi perdagangan di Asia Timur. Salah satu
negara yang gencar melakukan protes terhadap klaim Tiongkok atas hampir
seluruh wilayah Laut Tiongkok Selatan adalah Filipina. Pada bulan Januari
2013, Filipina membawa sengketa LCS ke Permanet Court of Arbitration
(PCA). Pada tanggal 12 Juli 2016, PCA, mengeluarkan putusan atas gugatan
Filipina melawan Tiongkok mengenai masalah LCS. PCA mengklarifikasi
klaim Tiongkok mengenai historic rights sehubungan dengan wilayah maritim
di LCS yang diklaim dengan menggunakan nine-dash line merupakan hal yang
bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut 1982. Akan tetapi pihak Tiongkok
mengatakan bahwa mereka tidak menerima dan tidak akan mengakui putusan
dari PCA tersebut.7 Dengan hal itu akan berdampak terhadap negara-negara
kawasan LCS tersebut.
Peran hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional
adalah dengan memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa
menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Dalam hukum
internasional mengenal dua cara penyelesaian yaitu cara penyelesaian secara
damai dan perang.8
Pada hal ini akan memfokuskan penyelesaian sengketa internasional
secara damai. Kewajiban negara-negara untuk menyelesaikan sengketa secara
damai terlihat di dalam pasal 2 ayat (3) Piagam PBB. Dari ketentuan pasal 33
ayat (1) Piagam PBB tersebut terlihat bahwa arbitrase sebagai salah satu cara
penyelesaian sengketa internasional telah diakui eksistensinya oleh masyarakat
internasional. Bahkan apabila ditarik sejarahnya, arbitrase merupakan
mekanisme yang pertama dan merupakan suatu cikal bakal dari timbulnya
mekanisme pengadilan yang permanen.
Peran arbitrase di dalam menyelesaikan sengketa nasional maupun
internasional dewasa ini menjadi semakin meningkat. Peran arbitrase di sini

7
Beijing Tolak Keputusan Mahkamah Arbitrasi Terkait Sengketa Laut Tiongkok Selatan.
http://internasional.kompas.com/read/2016/07/12/17193561/beijing.tolak.keputusan.m
ahkamah.arbitrasi.terkait.sengketa.laut.china.selatan. diakses pada tanggal 12 April 2020.
8
Priyatna Abdurrasyid. “Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Suatu Pengantar”.
Jakarta: Fikahati Aneska. 2011. hal. 61.
tidak lagi semata-mata dibatasi oleh para pihak, yaitu pedagang, tetapi juga
menyelesaikan sengketa antar negara, individu, dan perusahaan. Arbitrase
merupakan suatu tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan
sengketa atau selisih pendapat antara dua orang (atau lebih) maupun dua
kelompok (atau lebih) kepada seorang atau beberapa ahli yang disepakati
bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan final dan mengikat.
Arbitrase internasional memiliki definisi sempit dan definisi yang luas.
Arbitrase internasional dalam arti sempit adalah arbitrase sebagai suatu
lembaga penyelesaian sengketa yang khusus menangani dan menyelesaikan
sengketa-sengketa di bidang perdagangan. Arbitrase dalam arti ini adalah
arbitrase yang pengaturannya tunduk pada pengaturan di bawah United Nations
commission International Trade Law (UNCITRAL). Sedangkan arbitrase
internasional dalam arti luas adalah arbitrase sebagai lembaga penyelesaian
sengketa untuk menyelesaikan segala sengketa seperti yang tercantum di dalam
pasal 33 ayat (1) Piagam PBB.
Dalam hukum internasional juga dikenal beberapa sumber hukum yang
dapat dirujuk yakni yang ada di dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional, hukum internasional sebagai pedoman global dalam mengatur
tingkah laku dan perbuatan negara-negara, organisasi-organisasi internasional
dan sejensinya, secara tegas menyandarkan dirinya pada sumber hukum
internasional. Sumber hukum internasional dapat didefinisikan sebagai bahan-
bahan aktual yang digunakan para ahli hukum internasional untuk menetapkan
suatu hukum yang berlaku pada peristiwa atau kejadian tertentu.9
Oleh karenanya putusan badan arbitrase internasional termasuk ke dalam
golongan sumber hukum ini, maka putusan dari PCA juga merupakan suatu
sumber hukum yang harus dipatuhi oleh masyarakat internasional khususnya
bagi negara yang berperkara. Khusus dalam sengketa LCS ini, PCA
menggunakan Konvensi Hukum Laut 1982 di dalam menangani sengketa ini.

9
J.G. Starke. “Introduction to International Law”. London: Butterworth & Co. 1989. hal. 292.
Terkait dengan implikasi hukum maka dapat melihat pasal 11 Lampiran VII
Konvensi Hukum Laut 1982.
Terkait putusan PCA dalam sengketa LCS, maka Tiongkok harus
menghormati putusan tersebut karena sudah menjadi sumber hukum
internasional. Apabila suatu negara menaati hukum internasional maka
masyarakat internasional akan merasakan ketertiban, keteraturan, keadilan, dan
kedamaian.
BAB III
KESIMPULAN

Telah jelas bahwa setiap negara pasti akan melakukan perlawanan apapun
terhadap sesuatu yang menguntungkan, seperti energi bumi meski itu dimiliki
negara lain. Kembali kepada keadaan dunia yang Anarki, membuat hukum
international sulit untuk diimplementasikan dan adanya hegemoni dari negara-
negara maju. Upaya ASEAN dengan menghasilkan berbagai instrument hukum
berikut menggunakan pasal dalam UNCLOS dalam upaya penyelesaian
sengketa di Laut Cina Selatan ini nampaknya hanya berhasil menahan RRT
untuk sementara. Jika dilihat kebelakang, sudah sejak tahun 1990-an RRT telah
mengimplementasikan strategi untuk menunda dan memperlambat penyelesaian
sengketa Laut Tiongkok Selatan. Tujuan dari strategi tersebut adalah untuk
mengonsolidasi dan menguatkan dasar klaim RRT, termasuk proyek
pembangunan infrastruktur di daerah yang dipersengketakan. Kemudian
memasuki tahun 2000-an, intensitas RRT untuk semakin menunjukkan klaimnya
pada Laut Tiongkok Selatan mengikat dengan dilakukannya pendekatan secara
diplomatik maupun menggunakan kekuatan militer. Hal ini membuat posisi
negara-negara ASEAN, yang secara ekonomi dan militer berada di bawah RRT,
menjadi terancam.
ASEAN diharapkan dapat terus menjadi pihak ketiga dalam sengketa di
Laut Cina Selatan ini karena melibatkan beberapa negara anggota ASEAN.
ASEAN supaya bisa mendorong agar China mau membawa sengketa ini ke
mahkamah internasional agar persengketaan ini tidak berlarut lebih lama lagi
atau terus mengupayakan penyelesaian sengketa secara damai.
DAFTAR PUSTAKA

Widyanita. “Kenapa Laut Cina Selatan Diperebutkan?”.


https://www.google.com/amp/s/katadata.co.id/amp/infografik/2016/07/13/kena
pa-laut-cina-selatan-diperebutkan . Diakses pada 12 april 2020 pukul 20:19 WIB

Maksum, A. 2017. Regionalisme dan Kompleksitas Laut China Selatan. Jurnal


Sospol, 2(2), 1-25.)

Subagyo Joko, Hukum Laut Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2005, hlm. 33

Evelyn Goh, Meeting the China Chlmlenge: The U.S. in Southeast Asian
Regional Security Strategies, East-West Center Washington, 2005, hlm. 31

Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap


Dinamika, Realitas, dan Masa Depan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm.
203-204

Dr. Agus Haryanto, S.IP., M.Si. dan Isman Pasha, “Diplomasi Indonesia :
Realitas dan Prospek”. Yogyakarta: Pustaka Ilmu , Desember 2016, hlm 266.

Beijing Tolak Keputusan Mahkamah Arbitrasi Terkait Sengketa Laut Tiongkok


Selatan.
http://internasional.kompas.com/read/2016/07/12/17193561/beijing.tolak.keput
usan.m ahkamah.arbitrasi.terkait.sengketa.laut.china.selatan. diakses pada
tanggal 12 April 2020.

Priyatna Abdurrasyid. “Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)


Suatu Pengantar”. Jakarta: Fikahati Aneska. 2011. hal. 61.
J.G. Starke. “Introduction to International Law”. London: Butterworth & Co.
1989. hal. 292.

Anda mungkin juga menyukai