MAKALAH
“ISU KEAMANAN ENERGI DALAM KONFLIK SENGKETA
LAUT CINA SELATAN”
Diajukan untuk melengkapi salah satu tugas Mata Kuliah Isu Keamanan Global yang
diampu oleh :
Angga Nurdin Rachmat, S.IP., MA
Dengan menyebut nama Allah SWT. Yang maha pengasih lagi maha penyayang. Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
tentang Isu Keamanan Energi Dalam Konflik Laut Cina Selatan.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
sumber sehingga memperlancar pembuatan makalah ini. untuk itu kami menyampaikan
terimakasih.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritikan dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat, aamiin.
Penyusun
Kelompok 10
BAB I
PENDAHULUAN
Konflik Laut Cina Selatan bukanlah hal yang tabu jika dilihat dari salah
satu aspek ancaman negara ini, karena Indonesia juga termasuk salah satu
negara yang terlibat dalam konflik yang digadang-gadang berasal dari sebuah
sejarah yang tidak bisa diganggu gugat.
Wilayah ini juga merupakan salah satu perairan terluas didunia dengan
letak yang strategis dimana wilayah ini dikelilingi 10 negara yaitu China,
Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei
Darussalam, dan Filipina. Dari hal ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
wilayah ini akan sangat menguntungkan, letaknya yang strategis ini pun
menjadi jalur perdagangan dunia yang akan menghasilkan keuntungan bagi
negara yang menguasainya.1
2.2 Kekayaan Energi dan Sumber Daya Alam Laut China Selatan
Laut Cina Selatan memiliki potensi Sumber Daya Alam yang sangat
besar. Menurut U.S Energy Information Administration, diperkirakan Laut
1
Widyanita. “Kenapa Laut Cina Selatan Diperebutkan?”.
https://www.google.com/amp/s/katadata.co.id/amp/infografik/2016/07/13/kenapa-laut-cina-selatan-
diperebutkan . Diakses pada 12 april 2020 pukul 20:19 WIB
Cina Selatan mempunyai kandungan minyak sekitar 11 milyar barel dan juga
kaya akan gas alam yang mencapai 190 trilyun kaki kubik serta cadangan
hidrokarbon yang sangat penting sebagai pasokan energi. Dalam hal ini
wilayah Laut Cina Selatan akhirnya menjadi rebutan banyak negara karena
letaknya yang strategis sebagai jalur perdagangan dunia yang menghasilkan
keuntungan bagi negara yang menguasainya dan Laut Cina Selatan
diperebutkan karena memilikii kandungan kekayaan sumber daya hayati dan
mineral yang menjadi pemicu sengketa.
Terdapat dua pulau utama di Laut Cina Selatan yang menjadi sengketa
yaitu Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Kedua pulau tersebut diduga
kuat mengandung cadangan mineralseperti 2,5 milyar barel dan 25,5 trilyun
kaki kubik (Trillion Cubic Feet) gas alam yang belum dieksplorasi (U.S.
Energy Information Administration, 2013). Sedangkan pemerintah China
mengklaim bahwa LCS mempunyai potensi minyak sebesar 17 milyar ton dan
jumlah ini lebih besar daripada potensi minyak di Kuwait yang hanya mencapai
13 milyar ton (Ma, 2006).
Sengketa di Laut Cina Selatan terjadi karena negara yang terlibat dalam
sengketa melakukan klaim kepemilikan dengan satu pihak, salah satunya
diawali oleh klaim Republik Rakyat China atas Kepulauan Spartly dan Paracel
pada tahun 1974 dan 1992, hal ini dipicu oleh Republik Rakyat China pertama
kali mengeluarkan peta yang memasukkan kepulauan Spartly, Paracels dan
Pratas. Pada tahun yang sama Republik Rakyat China mempertahankan
keberadaan militer di kepulauan tersebut.4 Kawasan Laut Cina Selatan
2
Maksum, A. 2017. Regionalisme dan Kompleksitas Laut China Selatan. Jurnal Sospol, 2(2), 1-25.)
3
Subagyo Joko, Hukum Laut Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2005, hlm. 33
4
Evelyn Goh, Meeting the China Chlmlenge: The U.S. in Southeast Asian Regional Security Strategies,
East-West Center Washington, 2005, hlm. 31
sepanjang dekade 90-an menjadi isu keamanan dalam hubungan internasional
di era pasca perang dingin. Kawasan ini merupakan wilayah cekungan laut
yang dibatasi oleh negara-negara besar dan kecil seperti China, Vietnam,
Philipina, Malaysia, Myanmar, dan Taiwan.
Selain itu sumber daya alam yang berada di kawasan Laut Cina Selatan
berupa cadangan gas dan minyak. kandungan energi di kawasan Laut cina
Selatan dapat dijadikan modal ekonomi bagi negara-negara yang berbatasan
untuk masa mendatang, selain kekayaan alamnya Laut Cina Selatan juga
menjadi jalur strategis pelayaran bebas untuk pengiriman energi dan barang.
Dengan kata lain kawasan maritim ini merupakan lingkungan internasional
yang strategis , hal ini merupakan faktor kenapa Konflik Laut cina selatan
masih terus bergulir hingga sekarang.
1. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982
5
Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika, Realitas,
dan Masa Depan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 203-204
pihak lainnya yang terlibat dalam sengketa di Laut China Selatan, utamanya
yaitu Vietnam, menggunakan penyelesaian sengketa dengan cara hukum yaitu
dengan menggunakan Pasal 74 dan 83 UNCLOS 1982. Kaidah-kaidah tersebut
digunakan untuk menyelesaikan masalah Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas
Kontinen yang saling tumpang tindih antara para pihak. Kaidah tersebut
memberikan ruang bagi para pihak untuk mengadakan perjanjian garis batas
ZEE dan landas kontinen. Apabila tidak tercapai kesepakatan, para pihak wajib
menyelesaikan sengketanya secara damai. Para pihak memiliki pilihan untuk
menyelesaikan sengketa di International Tribunal for the Law of the Sea
(ITLOS), Mahkamah Internasional atau a special arbitral tribunal. Para pihak
bebas memilih salah satu cara dari cara tersebut, namun sebelumnya para pihak
harus terlebih dahulu melakukan mediasi dengan cara damai. Dalam hal ini,
ASEAN perlu melanjutkan upayanya untuk menjadi mediator yang baik bagi
para pihak yang bersengketa di Laut Tiongkok Selatan.
6
Dr. Agus Haryanto, S.IP., M.Si. dan Isman Pasha, “Diplomasi Indonesia : Realitas dan Prospek”.
Yogyakarta: Pustaka Ilmu , Desember 2016, hlm 266.
meningkatkan kapabilitas militernya. Vietnam yang membeli senjata ke India
dan membeli kapal ke Rusia, lalu Filipina yang membeli helicopter dan kapal
selam untuk mempertahankan klaim territorial tersebut.
Banyak negara-negara di kawasan yang juga mengklaim atas wilayah Laut
China Selatan tersebut, baik kawasan laut maupun daratan dari pulau Spartly
dan Paracel. Negara Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Filipina
sangat keberatan atas pernyataan yang telah di sampaikan oleh China. Karena
hal tersebut, negara pengklaim lainnya saling berebut kekuasaan atas Laut
China Selatan yang terlebih di pulau tersebut banyak sumber kekayaan alam
dan gas bumi. Dan juga perairan Laut China Selatan adalah wilayah yang
menghubungkan jalur perlintasan kapal-kapal internasional sebagai jalur
perdagangan antara Asia, Amerika, dan Eropa.
Selain negara-negara diatas yang memperdebatkan dan memperebutkan
kekuasaan atas klaim Laut China Selatan, ada juga Amerika Serikat (AS) yang
ingin terlibat dalam sengketa LCS ini. AS menyatakan bahwa kehadirannya
dalam sengkega LCS ini hanya untuk menjaga kebebasan navigasi kapal di
perairan internasional dan tidak memihak negara pengklaim dalam sengketa
LCS. Hadirnya AS, banyak berbagai peningkatan kerjasama dalam bidang
pertahanan dan keamanan dengan negara pengklaim seperti Vietnam dan
Filipina, dan adanya peningkatan kerjasama ini membuat AS sangat percaya
diri karena sudah terlibat dalam sengketa LCS. Namun, dengan adanya
kerjasama tersebut memicu protes dari negara Tiongkok. Negara-negara diatas
seperti Tiongkok, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, dan juga Filipina
adalah negara yang terlibat langsung, tetapi disini Amerika Serikat dan negara-
negara di ASEAN termasuk Indonesia juga terlibat secara tidak langsung
dengan adanya konflik atau sengketa wilayah Laut China Selatan.
7
Beijing Tolak Keputusan Mahkamah Arbitrasi Terkait Sengketa Laut Tiongkok Selatan.
http://internasional.kompas.com/read/2016/07/12/17193561/beijing.tolak.keputusan.m
ahkamah.arbitrasi.terkait.sengketa.laut.china.selatan. diakses pada tanggal 12 April 2020.
8
Priyatna Abdurrasyid. “Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) Suatu Pengantar”.
Jakarta: Fikahati Aneska. 2011. hal. 61.
tidak lagi semata-mata dibatasi oleh para pihak, yaitu pedagang, tetapi juga
menyelesaikan sengketa antar negara, individu, dan perusahaan. Arbitrase
merupakan suatu tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan
sengketa atau selisih pendapat antara dua orang (atau lebih) maupun dua
kelompok (atau lebih) kepada seorang atau beberapa ahli yang disepakati
bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan final dan mengikat.
Arbitrase internasional memiliki definisi sempit dan definisi yang luas.
Arbitrase internasional dalam arti sempit adalah arbitrase sebagai suatu
lembaga penyelesaian sengketa yang khusus menangani dan menyelesaikan
sengketa-sengketa di bidang perdagangan. Arbitrase dalam arti ini adalah
arbitrase yang pengaturannya tunduk pada pengaturan di bawah United Nations
commission International Trade Law (UNCITRAL). Sedangkan arbitrase
internasional dalam arti luas adalah arbitrase sebagai lembaga penyelesaian
sengketa untuk menyelesaikan segala sengketa seperti yang tercantum di dalam
pasal 33 ayat (1) Piagam PBB.
Dalam hukum internasional juga dikenal beberapa sumber hukum yang
dapat dirujuk yakni yang ada di dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional, hukum internasional sebagai pedoman global dalam mengatur
tingkah laku dan perbuatan negara-negara, organisasi-organisasi internasional
dan sejensinya, secara tegas menyandarkan dirinya pada sumber hukum
internasional. Sumber hukum internasional dapat didefinisikan sebagai bahan-
bahan aktual yang digunakan para ahli hukum internasional untuk menetapkan
suatu hukum yang berlaku pada peristiwa atau kejadian tertentu.9
Oleh karenanya putusan badan arbitrase internasional termasuk ke dalam
golongan sumber hukum ini, maka putusan dari PCA juga merupakan suatu
sumber hukum yang harus dipatuhi oleh masyarakat internasional khususnya
bagi negara yang berperkara. Khusus dalam sengketa LCS ini, PCA
menggunakan Konvensi Hukum Laut 1982 di dalam menangani sengketa ini.
9
J.G. Starke. “Introduction to International Law”. London: Butterworth & Co. 1989. hal. 292.
Terkait dengan implikasi hukum maka dapat melihat pasal 11 Lampiran VII
Konvensi Hukum Laut 1982.
Terkait putusan PCA dalam sengketa LCS, maka Tiongkok harus
menghormati putusan tersebut karena sudah menjadi sumber hukum
internasional. Apabila suatu negara menaati hukum internasional maka
masyarakat internasional akan merasakan ketertiban, keteraturan, keadilan, dan
kedamaian.
BAB III
KESIMPULAN
Telah jelas bahwa setiap negara pasti akan melakukan perlawanan apapun
terhadap sesuatu yang menguntungkan, seperti energi bumi meski itu dimiliki
negara lain. Kembali kepada keadaan dunia yang Anarki, membuat hukum
international sulit untuk diimplementasikan dan adanya hegemoni dari negara-
negara maju. Upaya ASEAN dengan menghasilkan berbagai instrument hukum
berikut menggunakan pasal dalam UNCLOS dalam upaya penyelesaian
sengketa di Laut Cina Selatan ini nampaknya hanya berhasil menahan RRT
untuk sementara. Jika dilihat kebelakang, sudah sejak tahun 1990-an RRT telah
mengimplementasikan strategi untuk menunda dan memperlambat penyelesaian
sengketa Laut Tiongkok Selatan. Tujuan dari strategi tersebut adalah untuk
mengonsolidasi dan menguatkan dasar klaim RRT, termasuk proyek
pembangunan infrastruktur di daerah yang dipersengketakan. Kemudian
memasuki tahun 2000-an, intensitas RRT untuk semakin menunjukkan klaimnya
pada Laut Tiongkok Selatan mengikat dengan dilakukannya pendekatan secara
diplomatik maupun menggunakan kekuatan militer. Hal ini membuat posisi
negara-negara ASEAN, yang secara ekonomi dan militer berada di bawah RRT,
menjadi terancam.
ASEAN diharapkan dapat terus menjadi pihak ketiga dalam sengketa di
Laut Cina Selatan ini karena melibatkan beberapa negara anggota ASEAN.
ASEAN supaya bisa mendorong agar China mau membawa sengketa ini ke
mahkamah internasional agar persengketaan ini tidak berlarut lebih lama lagi
atau terus mengupayakan penyelesaian sengketa secara damai.
DAFTAR PUSTAKA
Subagyo Joko, Hukum Laut Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2005, hlm. 33
Evelyn Goh, Meeting the China Chlmlenge: The U.S. in Southeast Asian
Regional Security Strategies, East-West Center Washington, 2005, hlm. 31
Dr. Agus Haryanto, S.IP., M.Si. dan Isman Pasha, “Diplomasi Indonesia :
Realitas dan Prospek”. Yogyakarta: Pustaka Ilmu , Desember 2016, hlm 266.