Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak Perang Dingin berakhir, dunia masih terus mengalami berbagai gejolak dan
permasalahan, harapan sekaligus tantangan. Tantangan terbesar yang dihadapi
masyarakat internasional pasca Perang Dingin adalah bagaimana membina suatu
sistem pengelolaan dunia (global governance) untuk lebih efektif, agar mampu
mengendalikan perubahan-perubahan besar yang sedang dan akan merombak secara
mendasar tatanan hubungan antar bangsa di masa mendatang. Pengaruh terjadinya
perubahan mendasar tersebut terasa pula di kawasan Asia Pasifik.

Di kawasan ASEAN termasuk kawasan Asia Pasifik, negara-negara kini tengah


berkompetisi untuk membangun kekuatan dan kemampuan maritim. Secara
tradisional, negara-negara kawasan tidak atau belum memiliki tradisi yang kuat dalam
kekuatan dan kemampuan maritim, kecuali Jepang. Akan tetapi, sekarang situasi telah
berbalik, dan negaranegara kawasan berupaya membangun kekuatan dan kemampuan
maritimnya, baik kekuatan angkatan laut maupun kekuatan dan kemampuan
maritimnya. Hal ini guna meningkatkan peran kekuatan dan kemampuan maritim
dalam percaturan kawasan. Adanya sejumlah sengketa maritim di kawasan makin
menjadi pembenaran terhadap pembangunan tersebut. Selain itu, sejumlah negara
kawasan telah menciptakan hub port baru dalam perniagaan internasional yang
merupakan tanda bahwa kekuatan dan kemampuan maritim mereka kini telah
meningkat.

Sengketa diawali oleh tuntutan Cina atas seluruh pulau di kawasan Laut Cina
Selatan (LCS), yang mengacu pada catatan sejarah, penemuan situs, dokumen-
dokumen kuno, peta-peta dan penggunaan gugus-gugus pulau oleh nelayannya.
Menurut Cina, sejak 2000 tahun yang lalu, LCS telah menjadi jalur pelayaran bagi
mereka. Beijing menegaskan yang pertama menemukan dan menduduki Kepulauan
Spratly adalah Cina. Hal itu didukung bukti-bukti arkeologis Cina dari Dinasti Han
(206-220 SM). Vietnam menganggap Kepulauan Spratly dan Paracel adalah bagian
dari wilayah kedaulatannya. Vietnam meyebutkan Kepulauan Paracel dan Spratly
secara efektif didudukinya sejak abad ke-17 ketika kedua kepulauan itu tidak berada
dalam penguasaan suatu negara. Dapat kita lihat gambar dibawah ini klaim Tiongkok
di Laut Cina Selatan yang menyebabkan banyak konflik disana.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembangunan Pulau-Pulau Terluar

Indonesia merupakan negara kepulauan, terdiri dari 17.504 pulau, sedangkan


dengan jumlah penduduk yang besar, berdasarkan data BPS tahun 2014 sebanyak
252.164.800 orang dan diperkirakan penduduk Indonesia akan berjumlah 337 juta
jiwa di tahun 2050. Banyaknya pulaupulau terluar yang pembangunannya terhambat
dan tidak berpenghuni dikarenakan sistem pembangunan negara yang tidak
menjadikan pulaupulau terluar sebagai halaman depan negara. Hal tersebut sering
menimbulkan permasalahan di wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar Indonesia,
bahkan diantara negara tetangga yang berdekatan dengan wilayah/pulau itu tidak
segan-segan membuat masalah teritorial. Sehingga pemerintah Indonesia perlu
membuat suatu perencanaan sistem pembangunan nasional yang berorientasi pada
pertahanan. Sistem pembangunan yang berorientasi pada pertahanan ini sangat
diperlukan terutama dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan bangsa sehingga
konflik Laut Cina Selatan dan kejadian pulau Sipadan-Ligitan, tidak terulang
kembali. Belum lagi kualitas pendidikan penduduk Indonesia masih yang sangat
rendah, oleh karena itu sangat penting bagi Indonesia untuk membenahi sistem
pendidikannya yang diimbangi pendidikan bela negara. Karena kualitas pendidikan
sangat berkaitan dengan kualitas bela negara suatu bangsa, semakin tinggi kualitas
pendidikan suatu bangsa, maka kualitas bela negaranya pun harus tinggi. Dengan
merubah sistem pembangunan, sistem pendidikan dan sistem pertahanan, maka
negara ini akan memiliki bangsa yang kuat yang dapat mempertahankan,
memperjuangkan, menjaga, mengelola, bahkan berani melawan klaim dari negara
lain atas teritori/wilayahnya.
B. Nawa Cita Pemerintah Indonesia

Peluang tentu saja sangat besar saat ini untuk membangun wilayah terluar dan
perbatasan sebagai halaman depan negara yang berdaya saing menuju Indonesia yang
berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Hal ini sejalan
dengan Nawa Cita ketiga pemerintahan yakni membangun Indonesia dari pinggiran
dengan memperkuat daerah-daerah dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Pemerintahan Jokowi berjanji akan menerbitkan sembilan
Peraturan Presiden tentang tata ruang kawasan perbatasan negara sebagai dasar dan
pijakan penyusunan, penganggaran dan pelaksanaan pembangunan kawasan
perbatasan negara. Pemerintah melalui Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan
(BNPP) berjanji akan mensosialisasikan batas wilayah negara dan pengembangan
wawasan kebangsaan/bela negara kepada para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh
adat dan tokoh pemuda sebagai penguatan garda batas.

C. Komunitas ASEAN

Setiap negara pasti tidak akan rela kehilangan sejengkal wilayahnya, sehingga
hal ini yang menjadikan permasalahan ini sangat sensitif. Sebab itu, permasalahan ini
tidak boleh didiamkan. Faktanya, ASEAN hanya sedikit memiliki dokumen-dokumen
yang menyinggung solusi soal sengketa wilayah sehingga tujuan untuk membentuk
komunitas ASEAN yang solid masih jauh. Perlunya pengorbanan setiap anggota
dengan ”membagi” sebagian wilayah untuk dilebur ke dalam suatu nilai-nilai
bersama dalam membentuk komunitas ASEAN yang kokoh. Setidaknya, ada
pertanda baik kalau ASEAN sudah mulai mengangkat unsur-unsur kedaulatan itu
menjadi suatu nilai bersama. Kemajuan lain prinsip non-interferensi (tidak boleh
campur tangan) mulai ditembus. Akan tetapi, ada ke engganan menyentuh lebih
dalam masalah sengketa perbatasan. Ini mengindikasikan masih besarnya resistensi
untuk melonggarkan urusan kedaulatan. Masalah perbatasan berpotensi besar
menimbulkan konflik. Hal ini sebisa mungkin harus dihilangkan dengan
menyelesaikan sengketa perbatasan. Hilangnya sengketa perbatasan membuat
kedaulatan lebih terjamin. Bagaimana menyelesaikannya? Dibutuhkan upaya
terkoordinasi dengan mekanisme lebih sederhana dan bisa diterima semua pihak.
Tanpa ini, penyelesaian masalah perbatasan sering butuh waktu lama.

Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda pernah mengatakan, bahwa


penyelesaian masalah perbatasan antara Indonesia dengan Vietnam saja dibutuhkan
lebih dari 30 tahun. Penyelesaian perbatasan Indonesia dengan Singapura di segmen
barat dibutuhkan waktu lima tahun. Penyelesaian sengketa perbatasan melalui
International Court of Justice (ICJ) di Den Haag juga membutuhkan waktu yang lama
dengan biaya yang besar. Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, misalnya, selesai
dalam delapan tahun. Padahal di antara negara-negara ASEAN, ada cukup banyak
sengketa perbatasan yang butuh penyelesaian. Maka dari itu, selayaknyalah bila
ASEAN sebagai sebuah organisasi kawasan mendorong secara politis agar sengketa-
sengketa perbatasan di antara negara-negara anggotanya segera diselesaikan.
Tuntasnya masalah perbatasan pada akhirnya juga akan memperkuat upaya-upaya
untuk memperkuat saling percaya (confidence building measures). Hal ini masuk
dalam kerangka kerja menuju komunitas politik dan keamanan ASEAN.
Sebagaimana disampaikan Menlu Hassan ketika berpidato seusai penandatanganan
perjanjian perbatasan Indonesia dengan Singapura, segmen barat (2009), tuntasnya
masalah perbatasan akan semakin memperkuat kerja sama di antara kedua negara
karena hilangnya ”batubatu” yang bisa menjadi sandungan dalam hubungan dua
negara. Maka, inilah saatnya ASEAN lebih berani mendorong negaranegara anggota
menuntaskan sengketa-sengketa perbatasannya.

Akan lebih baik lagi bila ASEAN juga mampu membuat semacam pedoman
penyelesaian masalah perbatasan tersebut daripada bertikai. Rujukan bersama Dalam
penyelesaian masalah perbatasan sesungguhnya telah cukup banyak rujukan yang
bisa dipakai. Di antaranya ada United Nations Convention on the Law of the Sea
(Konvensi PBB tentang Hukum Kelautan). Selain UNCLOS, terdapat sejumlah
keputusan ICJ yang bisa dijadikan acuan dalam perundingan masalah perbatasan.
Penyelesaian perbatasan laut untuk segmen barat antara Indonesia dengan Singapura,
dengan membuat rujukan bersama sebagai pedoman penyelesaian masalah
perbatasan, juga menjadi contoh baik. Akan tetapi, dalam banyak penyelesaian
masalah perbatasan, keberadaan itikad baik dari pihak-pihak yang bersengketa juga
menjadi modal utama yang sangat menentukan. Sayangnya, banyak pihak lebih
senang ”menggantung” masalah perbatasan ini karena berbagai pertimbangan yang
lebih banyak berbobot politis.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Dalam analisa penulis membentuk suatu kesimpulan bahwa negara asing baik
yang berbatasan langsung ataupun tidak berbatasan langsung dengan
Indonesia tidak segan-segan mengganggu kedaulatan NKRI bila pembanguan
wilayah teritorial perbatasan dan pulau-pulau terluar tidak berorientasi pada
pemerataan pembangunan, pendidikan dan pertahanan.
2. Pemerintahan Jokowi memberikan kesempatan untuk mewujudkan
pembangunan yang merata di wilayah teritorial perbatasan dan pulau-pulau
terluar Indonesia sesuai dengan Nawa Citanya yang ketiga.
3. Kurangnya perhatian ASEAN dalam menyelesaikan konflik-konflik yang
terjadi di Laut Cina Selatan sehingga untuk membentuk komunitas ASEAN
yang solid masih sebatas angan-angan.
4. Rujukan yang sama seperti UNCLOS 1982 dapat dijadikan acuan
penyelesaian konflik-konflik perbatasan.

Saran

1. Dengan merubah sistem pembangunan tersebut maka negara Indonesia akan


memiliki bangsa yang kuat, yang dapat mempertahankan, memperjuangkan,
menjaga, mengelola bahkan berani melawan klaim dari negara lain.
2. Perlunya dukungan yang sepenuhnya dari masyarakat agar Nawa Cita yang
ketiga dari Pemerintahan Jokowi ini dapat direalisasikan secepatnya.
3. Demi membentuk komunitas ASEAN yang kokoh maka dipandang perlu
pengorbanan setiap anggota ASEAN dalam membagi sebagian wilayahnya
untuk dilebur ke dalam suatu nilai-nilai bersama sehingga negara di luar
kawasan tidak akan berani mengganggu lagi.
4. Perlunya menyelesaikan permasalahan perbatasan dengan menggunakan
rujukan bersama seperti UNCLOS 1982 dan mengutamakan itikad baik dari
pihak-pihak yang bersengketa.

Anda mungkin juga menyukai