PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak Perang Dingin berakhir, dunia masih terus mengalami berbagai gejolak dan
permasalahan, harapan sekaligus tantangan. Tantangan terbesar yang dihadapi
masyarakat internasional pasca Perang Dingin adalah bagaimana membina suatu
sistem pengelolaan dunia (global governance) untuk lebih efektif, agar mampu
mengendalikan perubahan-perubahan besar yang sedang dan akan merombak secara
mendasar tatanan hubungan antar bangsa di masa mendatang. Pengaruh terjadinya
perubahan mendasar tersebut terasa pula di kawasan Asia Pasifik.
Sengketa diawali oleh tuntutan Cina atas seluruh pulau di kawasan Laut Cina
Selatan (LCS), yang mengacu pada catatan sejarah, penemuan situs, dokumen-
dokumen kuno, peta-peta dan penggunaan gugus-gugus pulau oleh nelayannya.
Menurut Cina, sejak 2000 tahun yang lalu, LCS telah menjadi jalur pelayaran bagi
mereka. Beijing menegaskan yang pertama menemukan dan menduduki Kepulauan
Spratly adalah Cina. Hal itu didukung bukti-bukti arkeologis Cina dari Dinasti Han
(206-220 SM). Vietnam menganggap Kepulauan Spratly dan Paracel adalah bagian
dari wilayah kedaulatannya. Vietnam meyebutkan Kepulauan Paracel dan Spratly
secara efektif didudukinya sejak abad ke-17 ketika kedua kepulauan itu tidak berada
dalam penguasaan suatu negara. Dapat kita lihat gambar dibawah ini klaim Tiongkok
di Laut Cina Selatan yang menyebabkan banyak konflik disana.
BAB II
PEMBAHASAN
Peluang tentu saja sangat besar saat ini untuk membangun wilayah terluar dan
perbatasan sebagai halaman depan negara yang berdaya saing menuju Indonesia yang
berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Hal ini sejalan
dengan Nawa Cita ketiga pemerintahan yakni membangun Indonesia dari pinggiran
dengan memperkuat daerah-daerah dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Pemerintahan Jokowi berjanji akan menerbitkan sembilan
Peraturan Presiden tentang tata ruang kawasan perbatasan negara sebagai dasar dan
pijakan penyusunan, penganggaran dan pelaksanaan pembangunan kawasan
perbatasan negara. Pemerintah melalui Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan
(BNPP) berjanji akan mensosialisasikan batas wilayah negara dan pengembangan
wawasan kebangsaan/bela negara kepada para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh
adat dan tokoh pemuda sebagai penguatan garda batas.
C. Komunitas ASEAN
Setiap negara pasti tidak akan rela kehilangan sejengkal wilayahnya, sehingga
hal ini yang menjadikan permasalahan ini sangat sensitif. Sebab itu, permasalahan ini
tidak boleh didiamkan. Faktanya, ASEAN hanya sedikit memiliki dokumen-dokumen
yang menyinggung solusi soal sengketa wilayah sehingga tujuan untuk membentuk
komunitas ASEAN yang solid masih jauh. Perlunya pengorbanan setiap anggota
dengan ”membagi” sebagian wilayah untuk dilebur ke dalam suatu nilai-nilai
bersama dalam membentuk komunitas ASEAN yang kokoh. Setidaknya, ada
pertanda baik kalau ASEAN sudah mulai mengangkat unsur-unsur kedaulatan itu
menjadi suatu nilai bersama. Kemajuan lain prinsip non-interferensi (tidak boleh
campur tangan) mulai ditembus. Akan tetapi, ada ke engganan menyentuh lebih
dalam masalah sengketa perbatasan. Ini mengindikasikan masih besarnya resistensi
untuk melonggarkan urusan kedaulatan. Masalah perbatasan berpotensi besar
menimbulkan konflik. Hal ini sebisa mungkin harus dihilangkan dengan
menyelesaikan sengketa perbatasan. Hilangnya sengketa perbatasan membuat
kedaulatan lebih terjamin. Bagaimana menyelesaikannya? Dibutuhkan upaya
terkoordinasi dengan mekanisme lebih sederhana dan bisa diterima semua pihak.
Tanpa ini, penyelesaian masalah perbatasan sering butuh waktu lama.
Akan lebih baik lagi bila ASEAN juga mampu membuat semacam pedoman
penyelesaian masalah perbatasan tersebut daripada bertikai. Rujukan bersama Dalam
penyelesaian masalah perbatasan sesungguhnya telah cukup banyak rujukan yang
bisa dipakai. Di antaranya ada United Nations Convention on the Law of the Sea
(Konvensi PBB tentang Hukum Kelautan). Selain UNCLOS, terdapat sejumlah
keputusan ICJ yang bisa dijadikan acuan dalam perundingan masalah perbatasan.
Penyelesaian perbatasan laut untuk segmen barat antara Indonesia dengan Singapura,
dengan membuat rujukan bersama sebagai pedoman penyelesaian masalah
perbatasan, juga menjadi contoh baik. Akan tetapi, dalam banyak penyelesaian
masalah perbatasan, keberadaan itikad baik dari pihak-pihak yang bersengketa juga
menjadi modal utama yang sangat menentukan. Sayangnya, banyak pihak lebih
senang ”menggantung” masalah perbatasan ini karena berbagai pertimbangan yang
lebih banyak berbobot politis.
BAB III
Kesimpulan
1. Dalam analisa penulis membentuk suatu kesimpulan bahwa negara asing baik
yang berbatasan langsung ataupun tidak berbatasan langsung dengan
Indonesia tidak segan-segan mengganggu kedaulatan NKRI bila pembanguan
wilayah teritorial perbatasan dan pulau-pulau terluar tidak berorientasi pada
pemerataan pembangunan, pendidikan dan pertahanan.
2. Pemerintahan Jokowi memberikan kesempatan untuk mewujudkan
pembangunan yang merata di wilayah teritorial perbatasan dan pulau-pulau
terluar Indonesia sesuai dengan Nawa Citanya yang ketiga.
3. Kurangnya perhatian ASEAN dalam menyelesaikan konflik-konflik yang
terjadi di Laut Cina Selatan sehingga untuk membentuk komunitas ASEAN
yang solid masih sebatas angan-angan.
4. Rujukan yang sama seperti UNCLOS 1982 dapat dijadikan acuan
penyelesaian konflik-konflik perbatasan.
Saran