Anda di halaman 1dari 7

KETERLIBATAN ASEAN DALAM KONFLIK LAUT CINA SELATAN

Dyza Rizki Ananda

20170510159

Dosen Pembimbing :

Ali Maksum, PhD

TUGAS MATA KULIAH PENGHANTAR ILMU POLITIK

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


Pendahuluan

Laut Cina Selatan merupakan perairan yang mencakup banyak negara di Asia
Tenggara dengan kekayaan yang terkandung disekitar laut tersebut menyimpan perikanan
yang menggiurkan, cadangan minyak dan gas yang diperkirakan oleh pejabat Amerika
Serikat setara dengan cadangan minyak di Meksiko, mungkin merupakan cadangan minyak
terbesar kedua setelah Arab Saudi, dan laut ini juga merupakan salah satu laut yang paling
penting secara strategis dan paling diperebutkan di abad ke-21 (Cobus, 2002).

Namun akibat dari kekayaan yang berlimpah ruah yang dimiliki oleh Laut Cina
Selatan ini menimbulkan konflik internasional dimana beberapa negara mengklaim
kepemilikan mereka atas laut tersebut. Akan tetapi, sesungguhnya konflik Laut Cina Selatan
ini sudah ada sebelum adanya negara-bangsa di kawasan Asia Tenggara (Maksum, 2017).
Bahkan kerajaan lokal yang sudah ada saat itu sudah megawasi bagaimana besarnya potensi
dari Laut Cina Selatan. Melihat potensi sumber daya alam yang sangat menggiurkan, sudah
pasti memicu perselisihan antar negara di Laut Cina Selatan. Kawasan Laut Cina Selatan
yang merupakan rangkaian pulau berjumlah lebih dari 30.000 pulau termasuk gugusan karang
tidak hanya kaya akan potensi sumber daya alam, namun posisi strategis Laut Cina Selatan
juga menjadi incaran banyak negara untuk menggunakannya sebagai sistem pertahanan
(Maksum, Ragionalisme dan Kompleksitas Laut Cina Selatan, 2017).

Konflik Laut Cina Selatan cukup rumit dan kompleks. Karena potensi sumber daya
alam dan posisi yang cangat strategis untuk perdagangan internasional bisa dikatakan sebagai
pemicu utama dari konflik Laut Cina Selatan. Dan China bersikukuh dengan melakukan
penjelajahan dan memberikan konsesi di sembilan titik di Laut Cina Selatan, yang mana
kawasan tersebut sangan dekat dengan bibir pantai Vietnam dan justru sangat jauh dari Cina
yang berjarak kurang lebih 230 Mil dari laut Cina (Poling, 2013). Dan tentu saja tindakan itu
memicu bersitegang antara kedua negara tersebut yang dapat membahayakan stabilitas
keamanan Asia Tenggara.

Tindakan yang saling klaim memicu konflik di Laut Cina Selatan ini dapat
mempengaruhi keamanan di Asia Tenggara. Dalam hal ini ASEAN yang merupakan
organisasi regional yang penting memainkan peran sebagai penengah atau sentral agar
stabilitas politik di Asia Tenggara dapat terjaga.
Diskusi

Konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan cukup membuat benerapa negara di Asia
Tenggara khawatir. Karena Konflik tersebut bisa saja dapat menimbulkan stabilitas
keamanan politik di Asia Tenggara terganggu. Dalam hal ini, ASEAN sebagai organisasi
regional mengambil perannya.

Kekuatan integrasi Asia Tenggara yaitu adanya nilai atau norma yang dimiliki yaitu
disebut ASEAN Way. Karena pada dasarnya ASEAN Way adalah konsep lingkungan social
yang menekan efek keakraban, konsesus, konsultasi, non-intervensi, dan sebisa mungkin
menghindari konflik dan masalah (Johnston, 2003). Dengan segala kekurangan dan kelebihan
yang dimiliki oleh norma ASEAN, stabilitas Asia Tenggara telah membuktikan bahwa norma
tersebut itu positif.

Namun dalam konflik Laut Cina Selatan ini, ASEAN Way menimbulkan dilemma
karena China yang masuk berbenturan dengan norma tersebut. Justru dalam konteks Laut
Cina Sselatan, nilai-nilai ASEAN Way terkooptasi oleh kepentingan China yang masuk
secara “bilateral” tanpa melalui saluran ASEAN yang selama ini memang tidak
terkonsolidasi dengan baik (Maksum, Regionalisme dan Kompleksitas Laut Cina Selatan,
2017). Realitasnya, dalam menghadapi isu-isu yang melibatkan kepentingan nasional,
ASEAN lebih banyak menggunakan diplomasi bilateral dibanding multilateral (Acharya,
1998). Maka dari itu ASEAN harus berfikir lebih keras lagi untuk mengurusi permasalahan
dari konflik Laut Cina Selatan ini dan tentu saja ini merupakan tantangan berat bagi ASEAN
dan tentunya juga memerlukan sebuah kerja sama yang kuat antar sesame negara di Asia
Tenggara untuk menyelesaikan permasalahan Laut Cina Selatan yang tidak mudah.

Pada 1947, saat China masih dikuasai Partai Kuomintang pimpinan Chiang Kai Sek,
sudah menetapkan klaim teritorialnya atas Laut China Selatan. Celakanya, klaim China itu
kini bersinggungan dengan kedaulatan wilayah negara-negara tetangga di kawasan tersebut.
Kini tak kurang dari Filipina, Brunei Darussalam, Taiwan, Vietnam dan Malaysia berebut
wilayah tersebut dengan China (Laut China Selatan, Perairan Menggiurkan Sumber Sengketa
6 Negara, 2016). Namun yang permasalahan ini telah diselesaikan oleh pihak Amerika serikat
yang membuat Perjanjian Damai Paris.

ASEAN dalam peran sebagai pendamai dalam konflik Laut Cina Selatan ini
diwujudkan dalam perundingan untuk mendamaikan negara-negara yang terlibat. Indonesia
telah memainkan salah satu peran penting tersebut. Pada 1990, Indonesia meresmikan sebuah
workshop, yang mana workshop tersebut diharapkan dapat memredaka konflik yang terjadi.
Tema workshop tersebut adalah “Workshops on Managing Potential Conflict in the South
China Sea.”Namun salah satu kendalanya adalah sentimen nasionalisme yang sangat tinggi
terutama antar negara ASEAN. Dampaknya tentu saja proses dialog menjadi sangat lambat
karena kuatnya kepentingan nasional. Sehingga seringkali menemui jalan buntu dan sulit
untuk dilakukan kerja sama antar pihak terkait (Bateman, 2011).

Bebrapa pakar menawarkan pendapatnya tentang penyelesaian konflik Laut Cina


Selatan. Misalnya kerja sama dalam bidang non-keamanan tradisional pengembangan sumber
daya migas, manajemen perikanan, keamanan laut, penelitian ilmu kelautan dan konservasi
lingkungan laut (Bateman, 2011). Selain itu, diperlukan juga penguatan Code of Conduct
(COC) dengan melibatkan semua negara termasuk AS, Jepang dan bahkan India (Vu, 2014).
Persatuan antar negara ASEAN merupakan suatu hal yang penting demi menghadapi
agresifnya China terhadap Laut Cina Selatan ini. Dan dari solusi diatas ini tampaknya
masalah ketegangan di Laut Cina Selatan yang membawa Amerika Serikat dan China ini
akan berdampak merugikan ASEAN. Serta akan sangat diperlukan kerja sama yang kolektif
antar negara di ASEAN demi meghadapi kekuatan Cina untuk menyelesaikan konflik Laut
Cina Selatan.

Pada waktu yang sama, China sangat sukses memanfaatkan “kelemahan” diplomasi
antar negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN dengan politik “pecah-belah.”
Salah satu “kelemahan” tersebut adalah lemahnya diplomasi kolektif atau ASEAN's weak
multilateral approach.Dalam hal ini China juga sangat sukses memanfaatkan ASEAN
Regional Forum (ARF)yang juga melibatkan AS untuk kepentingan diplomasi China terkait
isu LCS. Dampaknya hubungan China-AS-Jepang-India dan lain-lain juga semakin kompleks
(Jones, 2015). Artinya konflik Laut Cina Selatan tidak akan lepas dari perebutan pengaruh
serta kepentingan nasional terutama terhadap negara besar seperti China dan Amerika
Serikat.

Pada akhirnya, ASEAN dan Cina pun kemudian sepakat untuk saling percaya dan
menjaga stabilitas di LCS. Seperti yang tertuang dalam Piagam PBB dan Konvensi Hukum
Laut (UNCLOS) PBB Tahun 1982. "Kami, para menteri luar negeri negara-negara anggota
ASEAN dan Republik Rakyat Cina bertemu di Vientiane, Republik Demokratik Rakyat Laos,
pada 25 Juli 2016. Mengakui bahwa akan mempertahankan perdamaian dan stabilitas di Laut
Cina Selatan," tulis ASEAN di dalam draft yang diterima detikcom. "Akan menjaga
hubungan baik antara negara anggota ASEAN dan Cina. Akan mewujudkan komitmen untuk
menjaga perdamaian, stabilitas, saling percaya yang sesuai dengan Piagam PBB dan
Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) tahun 1982,"lanjutnya (Saleh, 2015).

Yang mana 6 pin penting tersebut adalah yang pertama Para Pihak menegaskan rasa
hormat mereka dan komitmen untuk kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan sebagaimana
prinsip-prinsip yang diakui secara universal oleh hukum internasional termasuk UNCLOS
1982, yang kedua Pihak yang bersangkutan berusaha untuk menyelesaikan teritorial mereka
dan yurisdiksi sengketa dengan cara damai, tanpa menggunakan ancaman atau menggunakan
kekuatan, melalui konsultasi damai dan negosiasi yang berdaulat dengan menyatakan secara
langsung kepada yang bersangkutan, sesuai dengan yang diakui secara universal oleh prinsip-
prinsip hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982, yang ketiga Pihak-pihak harus
berusaha untuk menahan diri dan tidak melakukan kegiatan yang akan mempersulit serta
meningkatkan perselisihan yang akan mempengaruhi perdamaian dan stabilitas (LCS).
Seperti tak menghuni pulau yang tak berpenghuni, mengambil terumbu karang, dan lainnya,
yang keempat Pihak-pihak terkait dapat menjelajahi atau melakukan kegiatan bersama di
bidang-bidang seperti keselamatan navigasi, pencarian dan penyelamatan, riset ilmiah
kelautan, perlindungan lingkungan dan memerangi kejahatan transnasional di laut, yang
kelima Pihak-pihak terkait mendorong negara lain untuk menghormati prinsip-prinsip yang
terkandung dalam DOC, yang keenam Pihak yang bersangkutan menegaskan bahwa adopsi
kode etik di Laut Cina Selatan akan lebih mempromosikan perdamaian dan stabilitas di
wilayah dan setuju untuk bekerja, atas dasar konsensus, menuju akhirnya pencapaian tujuan
ini.

Kesimpulan

Dapat diambil kesimpulan bahwa konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan ini telah
menjadi tantangan baru bagi regionalism Asia Tenggara. ASEAN sebangai penganut
“ASEAN Way” jelas sangat memegang teguh prinsip mereka, namun disisi lain China
mengambil kesempatan itu untuk melakukan upaya diplomasi terhadap negara yang terkait.
Dan ASEAN tidak dapat berbuat banyak karena adanya hambatan dari norma tersebut dan
pada akhirnya China memanfaatkan lemahnya norma ASEAN demi kepentingan nasionalnya.
Walaupun begitu, menjaga stabilisasi polirik dan keamanan di Asia Tenggara tetap harus
dijungjung tinggi. Maka dari itu konflik dari Laut Cina Selatan ini merupakan salah satu
tantangan terbesar ASEAN unntuk tetap menjaga keamanan pilitik dari Asia Tenggara.
Berbagai upaya dan cara dilakukan ASEAN semata-mata hanya untuk menjaga keamanan
dan stabilitasi di Asia Tenggara karena ASEAN sendiri merupakan organisasi regional yang
berpengaruh di dunia.
Daftar Pustaka

Laut China Selatan, Perairan Menggiurkan Sumber Sengketa 6 Negara. (2016, July 13). Retrieved
October 17, 2017, from Internasional Kompas.com:
http://internasional.kompas.com/read/2016/07/13/17401251/laut.china.selatan.perairan.m
enggiurkan.sumber.sengketa.6.negara

Acharya, A. (1998). Culture, security, multilateralism: The ‘ASEAN way’ and regional order.
Contemporary Security Policy , 55-84.

Bateman, S. (2011). Managing the South China Sea: Sovereignty is not the Issue. RSIS Commentaries
No. 136/2011. Singapore S.Rajaratnam School of International Studies, NTU: RSIS
Commentaries No. 136/2011.

Cobus, P. (2002, November). Konflik dan Diploasi di Laut. Retrieved Oktober 17, 2017, from Project
Voanews: https://projects.voanews.com/south-china-sea/indonesian/

Johnston, A. I. (2003). Socialization in International Institutions: The ASEAN Way and International
Relations Theory. In G. J. Mastanduno, International Relations Theory and the Asia Pacific
(pp. 107-162). New York: Columbia University Press.

Jones, D. M. (2015). Can Asean ever solve the South China Seas dispute through multilateral
dialogue? Telegraph 24/11/2015.

Maksum, A. (2017). Ragionalisme dan Kompleksitas Laut Cina Selatan. Jurnal Sospol Vo.2 No.2, 1-25.

Maksum, A. (2017). Regionalisme dan Kompleksitas Laut Cina Selatan. Jurnal Sospol Vol.2 No.2 , 1-
25.

Poling, G. B. (2013). The South China Sea in Focus: Clarifying the Limits of Maritime Dispute. A Report
of the CSIS Sumitro Chair for Southeast Asian Studies July 2013. Rowman & Litterfield: MD.

Saleh, Y. A. (2015, July 25). Ini 6 Poin Penting dari Keputusan ASEAN Soal Laut Cina Selatan. Retrieved
Oktober 17, 2017, from News Detik.com: https://news.detik.com/berita/d-3260897/ini-6-
poin-penting-dari-keputusan-asean-soal-laut-cina-selatan

Vu, T.-M. &. (2014). South China Sea: Promise and Problems of COC. Singapore S.Rajaratnam School
of International Studies, NTU.: RSIS Commentaries No. 163.

Anda mungkin juga menyukai