Anda di halaman 1dari 8

Sikap ASEAN dalam Konflik Laut Cina Selatan

Konflik Laut Cina Selatan merupakan permasalahan yang tak berujung selama berpuluh tahun
antara para claimant states, yakni Cina dan 4 negara anggota ASEAN, Vietnam, Filipina,
Malaysia, Brunei Darusallam. Di awal abad ke-20, Cina mengeluarkan peta wilayah yang
merinci klaim Cina atas kepemilikannya di Laut Cina Selatan beserta kepulauan Paracel dan
Spartly. Vietnam menyanggah hal tersebut karena sejak abad ke-17, kepulauan Paracel dan
Spartly telah masuk ke dalam wilayah Vietnam. Kedua Negara mengklaim kawasan Laut Cina
Selatan berdasarkan sisi historis dan dokumen-dokumen lama Negara. Klaim Filipina
berlandaskan pada kedekatan geografis dengan kepulauan Spartly, di dukung dengan UNCLOS
(United Nations Conference on the Law of the Sea) tahun 1982. Konvensi ini juga membuat
Malaysia dan Brunei Darusallam ikut mengklaim kepemilikan kawasan tersebut karena masuk
ke dalam ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif ) mereka.
Bentrok antara pasukan Cina dan Vietnam di tahun 1974 berakhir dengan Cina merebut
kekuasaan Vietnam di kepulauan Paracel. Kedua Negara ini kembali bentrok di tahun 1988
memperebutkan pulau Spartly. Keadaan menjadi memanas saat mulai adanya tuduhan dari
Filipina tentang Cina yang mulai membangun kekuatan militernya di Spartly, di buktikan dengan
dibangunnya pangkalan militer disana. Pangkalan militer Cina menimbulkan reaksi yang
berbeda-beda dari Negara anggota ASEAN yang bersengketa. Protes besar-besaran anti-Cina
meledak di Hanoi dan Hi Chi Minh. Vietnam pun mulai mengadakan latihan militer dengan
peluru tajam di lepas pantai mereka. 1 Klaim besar-besaran Cina dalam kawasan Laut Cina
Selatan membuat Filipina mengajak Negara anggota ASEAN yang juga terlibat untuk
membentuk aliansi dan mengajukan gugatan hukum terhadap Cina2.
Konflik diperburuk dengan intervensi Amerika Serikat yang membuat Cina mengerahkan
kekuatan militernya di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini juga menjadi pertimbangan Cina
1 www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2011/07/110719_spartlyconflict diakses
Juni 2015
2 www.dw.de/cina-vs-asia-tenggara/a-17463213,Februari 2014. Diakses Juni 2015

untuk membangun pertahanan militer udara untuk faktor keamanan. Konflik yang diawali dari
konflik regional ini telah berkembang menjadi konflik Internasional.
ASEAN, sebagai organisasi regional Asia Tenggara tentu berupaya meredam ketegangan konflik
Laut Cina Selatan antara Cina dengan Cietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darusallam. ASEAN
memiliki caranya sendiri dalam penyelesaian sengketa, yakni dengan mengutamakan cara
diplomasi, tekanan, dan pencegahan (diplomasi preventif). Cara yang tidak melibatkan kekuaran
militer ini diberlakukan mengingat tanggung jawab ASEAN untuk menghindarkan Negara
anggotanya dari segara bentuk ancaman yang dapat merusak stabilitas keamanan kawasan Asia
Tenggara. Penggunaan kekerasan dikhawatirkan akan menimbulkan prasangka provokatif yang
akhirnya memaksa Negara anggota ASEAN mengerahkan pasukan militernya.
Tujuan ASEAN dibentuk adalah untuk menciptakan stabilitas regional kawasan Asia Tenggara.
Pada masa awal ASEAN dibentuk sekitar tahun 1950an-1960an, Negara-negara di kawasan asia
tenggara baru mendapatkan kemerdekaannya sebagai Negara yang berdaulat sendiri. Sehingga,
national interest masing-masing yakni bagaimana mereka membagun negaranya, memiliki
pemerintahan yang solid, sistem ekonomi yang baik untuk mensejahterakan rakyatnya dan
pertahanan dan keamanan negaranya (national building). Dalam mengembangkan national
building, perlu adanya keadaan yang kondusif, keadaan ini didapatkan dari stabilitas keamanan
regional yang baik.
Tun Dr. Mahathir mengatakan:
Security is not just a matter of military capability. National Security is inseparable from
political stability, economic success and social harmony. Without these all the guns in the world
cannot prevent a country from being overcome by its enemies, whose ambition can be fulfilled
sometimes without firing a single shot.3
Dalam national building, tidak hanya aspek security berbasis militer yang perlu dikembangkan,
namun penting adanya stabilitas politik, keberhasilan sistem ekonomi, dan sosial harmoni dalam
Negara tersebut. National security tetap menjadi hal yang penting, namun ancaman keamanan

3 ASEAN-History PDF

tidak hanya dari luar negeri namun juga dari dalam, contohnya kemiskinan, pengangguran,
kesehatan, dan lainnya.
Menurut Amitav Acharya, ada dua sumber nilai yang menjadi landasan pembentukan norma
pada organisasi regional khususnya ASEAN. Pertama, sebuah organisasi dapat belajar dari
organisasi regional lain atau organisasi dunia yang ada. Kedua, sumber juga bisa di dapatkan dari
nilai-nilai sosial, politik, dan budaya setempat.4 Dalam Treaty of Amity and Cooperation
(Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama) pada tahun 1976, anggota ASEAN sepakat untuk:
-

Saling menghirmati kemerdekaan, kedaulatan, dan integritas wilayah semua bangsa


Setiap Negara berhak memelihara keberadaannya dari campur tangan, subversi,

kekerasan dari kekuatan luar


Tidak mencampuri urusan dalam Negara lain
Menyelesaikan perbedaan pendapat dan pertingkaian dengan jalan damai
Menolak ancaman penggunaan kekerasan

Kesepakatan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) ini menegaskan bahwa ASEAN secara
gamblang menentang penggunaan segala macam kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan
yang terjadi di kawasan, dan mengutamakan solusi damai. Prinsip tidak mencampuri urusan
Negara lain atau doctrine of non-interference, memelihara hubungan antar negara anggota
ASEAN dari konflik militer antar Negara. Doktrin ini menjadi alasan ASEAN untuk tidak
mengkritik pemerintahan Negara anggota terhadap rakyatnya, menentang pemberian
perlindungan bagi kelompok oposisi Negara anggota lain, dan mendukung dan membantu
Negara anggota lain yang sedang menghadapi gerakan anti-kemapanan. Doktrin ini membantu
ASEAN menjauhi konflik internal antar Negara anggota. Kemudian menolak pembentukan
aliansi militer dan menekankan kerjasama pertahanan bilateral. Adanya pembentukan aliansi
militer akan menimbulkan kecurigaan antar anggota yang berakibat seluruh anggota akan
memperkuat kekuatan militernya, akhirnya, keadaan kondusif yang aman dan damai tidak
tercipta.
Melalui prinsip ini, ASEAN memiliki kebiasaan yang disebut ASEAN way dalam menyelesaikan
konflik antar Negara anggotanya dengan Negara lain. Salah satu implementasi dari prinsip-prinsi
4 Cipto, Bambang. Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap
Dinamika, Kondisi riil, dan masa depan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta: 2010 hal

diatas adalah dengan membentuk ASEAN Regional Forum (ARF). ARF dibentuk dalam sidang
para menteri luar negeri (AMM) dan Sidang Mitra Dialog (PMC) pada tanggal 21-26 Juli 1993
di Singapura. Forum tersebut awalnya beranggotakan 6 negara anggota ASEAN beserta 7 mitra
dialog yakni, Amerika Serikat, Jepang, Masyarakat Eropa, Australia, Selandia Baru, Kanada, dan
Korea Selatan. Vietnam, Laos, dan Papua Nugini, menjadi peninjau sementara, dan Rusia dan
Cina sebagai sebatas mitra konsultatif. Dalam perkembangan kedepan, Cina telah mejadi mitra
dialog karena kekuaran Cina yang semakin kuat dan berpengaruh besar dalam kawasan Asia.
Pertemuan ARF I yang bertempat di Bangkok, mensetujui TAC sebagai code of conduct masalah
politik dan keamanan. Pertemuan ARF II di Brunei Darusallam tahun 1995, menyepakati untuk
memusatkan perhatian pada tiga upaya yang akan dituju yaitu pembangunan rasa saling percaya,
diplomasi preventif dan penjabaran pendekatan konflik. Kemudian ARF III di Jakarta, menyoroti
kerjasama dalam bidang operasi pendukung perdamaian. 5
Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) merupakan salah satu
upaya ASEAN dalam menyelesaikan konflik kawasan Laut Cina Selatan. DOC diratifikasi oleh
Cina dan Negara anggota ASEAN yang terlibat pada 4 November 2002. Dalan DOC disepakati
bahwa Negara anggota ASEAN terutama Vietna, Filipina, Malaysia, Brunei Darusallam, serta
Cina mengkonsolidasi serta memperbaiki kembali hubungan yang sempat menegang akibat
konflik perebutan wilayah. Disepakati pula untuk terus menjaga kerjasama dan hubungan
tetangga yang baik yang saling percaya satu sama lain. 6 Di tekankan pula bahwa sengketa
territorial di Laut Cina Selatan tidak akan menjadi isu internasional atau isu multilateral.
Namun, 8 tahun setelahnya, DOC belum berhasil mencapai misinya untuk saling percaya
diantara pihak yang berkonflik di kawasan Laut Cina Selatan, serta mencegah konflik
berkembang lebih jauh. DOC memberikan batasan-batasan moral kepada pihak yang
bersengketa. DOC menjadi dasar penyusunan dokumen code of conduct (COC). Hal ini juga

5 Ryanto, Sugeng. ASEAN REGIONAL FORUM, Upaya Menjaga Stabilitas Kawasan


Asia Pasifik. LP3M UMY & HI UMY. Yogyakarta: 2009. Hal 67-69
6 Asean.org.co /declaration on the conduct of parties in the south china sea

menjadi dasar implementasi penyelesaian konflik Laut Cina Selatan, meskipun belum berjalan
secara optimal dan efektif.7
Persoalan ini juga menjadi hal yang dibahas dalam setiap Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN.
Hal yang perlu digaris bawahi adalah, dalam KTT ASEAN di Kamboja ke-20 pada tahun 2012,
ASEAN dinilai gagal dalam mencapai satu suara dalam penyelesaian konflik kawasan tersebut
dan membelah sikap negara-negara ASEAN. KTT ini dikatakan sebagai sebuah kegagalan
pertama ASEAN selama 45 tahun dalam penyelesaian konflik. Terbelahnya sikap negara-negara
ASEAN juga membuktikan semakin kuatnya pengaruh Cina kepada sejumlah anggota ASEAN
yang tidak terlibat sengketa. Phnom Penh, selaku tuan rumah, menentang tindakan-tindakan
agresif yang dapat memprovokasi Cina.
Sangat disayangkan, saat sikap terbelah ini terus terjadi pada anggota ASEAN. Negara anggota
ASEAN harus satu suara dalam bersikap tegas dengan sengketa Laut Cina Selatan. Kenetralan
ASEAN dalam menyelesaikan persoalan memiliki arti bahwa ASEAN tetap membela sesama
anggotanya. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan konflik berkepanjangan antar anggota, dan
merujuk pada tujuan utama ASEAN terbentuk dan prinsip-prinsip yang diberlakukan. ASEAN
dibentuk untuk alasan menciptakan keadaan yang kondusif bagi negara anggota nya untuk dapat
membangun negaranya. Pecahnya konflik yang lebih berkepanjangan akan memperburuk
keadaan untuk pembangunan masing-masing Negara ASEAN. Selain itu, ASEAN memiliki
agenda ASEAN Community yang harus direalisasikan di akhir tahun 2015. Secara otomatis,
ASEAN harus menjaga ketegangan konflik kawasan Laut Cina Selatan dengan Cina dan
bernegosiasi dengan Amerika Serikat, Jepang, Australia yang mulai campur tangan dengan
alasan memberikan solusi yang faktanya memperkeruh permasalahan.
KTT ASEAN ke-25 pada November 2014, juga membahas sengketa Laut Cina Selatan dan
persoalan implementasi DOC ASEAN-Cina dalam Laut Cina Selatan. Bahwasanya, DOC jika
diberlakukan secara benar dan efektif akan menyelesaikan, paling tidak, menurunkan ketegangan
di kawasan tersebut. selain itu, ASEAN banyak melakukan pertemuan tertutup antar menteri luar
negeri pihak-pihak yang bersengketa.
7 kyotoreview.org/bahasa-indonesia/mengelola-isu-keamaan-di-laut-cina-selatandari-doc-ke-coc/ Maret 2014, diakses Juni 2015

Dalam pertemuan tertutup. Sekertaris Negara Kemeterian Luar Negeri Kamboja, Soeung
Rathchavy mengatakan, ASEAN tidak dapat menyelesaikan sengketa ini. Kita bukan institusi
hukum, pengadilanlah yang menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah. 8
Pernyataan Kamboja ada benarnya, sengketa Laut Cina Selatan bukanlah tanggung jawab
ASEAN untuk menyelesaikannya. Konflik ini juga bukan prioritas utama ASEAN karena
ASEAN lebih fokus dalam pertumbuhan ekonomi negara dan menciptakan keadaan yang
kondusif bagi pembangunan negara anggotanya. Dapat dikatakan pula, dengan masuknya banyak
intervensi dari negara di luar kawasan Asia, konflik ini sudah masuk ke dalam ranah konflik
internasional. Sehingga, yang berhak menyelesaikannya secara hukum adalah mahkamah
internasional.
Namun, perlu diingat yang menjadi concern ASEAN, yang membuat ASEAN harus terlibat
dalam upaya penyelesaian masalah kawasan ini adalah tanggung jawab ASEAN dalam menjaga
stabilitas keamanan kawasannya. Saat Negara anggotanya berkonflik dengan negara anggota
lain ataupun negara luar ASEAN, cepat atau lambat konflik tersebut akan menyebabkan chaos
dam dapat berujung pada baku tembak. Hal ini yang ingin dihindari ASEAN, jangan sampai
terjadi konflik senjata api di kawasan Asia Tenggara.
Meskipun Cina bermain militer dalam konflik ini, begitu pula Vietnam yang mulai mengadakan
latihan militer bersama dengan Amerika Serikat, ASEAN tetap tidak akan mengeluarkan
kebijakan aliansi militernya. Terkait konflik keamanan pertahanan, ASEAN lebih cenderung
mendukung bilateralism antar negara yang berkonflik Selain itu, hal ini melemceng dari prinsip
awal ASEAN yang selalu menjunjung tinggi solusi damai dalam penyelesaian segala sengketa
serta menentang penggunaan kekerasan.
Kemudian yang perlu diingat kembali, ASEAN selain bertanggung jawab menjaga stabilitas
keamanan kawasannya, juga perlu menjaga hubungannya dengan Cina, mitra besarnya. Diawal
hubungan Cina dan ASEAN, dihiasi dengan kecurigaan satu sama lain akan ancaman Barat bagi
Cina dan ancaman komunis bagi ASEAN. Meskipun banyak dinamika dalam hubungan
keduanya, ASEAN tetap konsisten untuk mengembangkan kerjasama dengan Cina dengan
8 www.republika.co.id/berita/internasional/global/15/05/07/nnz9j4-kamboja-aseanjangan-terlibat-dalam-sengketa-laut-cina-selatan, 7 Mei 2015. Diakses Juni 2015

pertimbangan posisi strategis dan potensi pasar Cina yang sedemikian besar tiap tahunnya.
Hubungan ASEAN-China yang baik dalam bidang ekonomi, membantu meningkatkan
perekonomian kawasan Asia Tenggara, membantu dalam pembentukaan MEA, dan lainnya. Hal
ini harus dipertahankan ASEAN demi masa depan perekonomian negara anggotanya.
Sikap yang harus diambil ASEAN dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan adalah bersikap
sebagai mediator, berdasarkan prinsip-prinsip ASEAN yang menjunjung tinggi solusi damai
tanpa menggunakan paksaan kekuatan. Negara anggota ASEAN mengambil satu sikap yang
sama dalam menanggapi tindakan-tindakan yang akan dilakukan pihak yang bersengketa. Tidak
mendukung tindakan yang akan merugikan kedua belah pihak dan tidak ikut terprovokasi dalam
penggunaan kekuatan militer. ASEAN juga harus dapat bersikap netral dalam menanggapi
intervensi yang masuk dari pihak ketiga. Upaya realisasi DOC secara optimal dan efektif perlu
terus di kerahkan dan ditegaskan kepada pihak yang bersengketa untuk mematuhi DOC dengan
sebaik-baiknya. Bila diperlukan, adakan revisi DOC yang baru yang memuat sanksi-sanksi bagi
yang tidak mematuhi code of conduct tersebut.
Kerjasama bilateral terhadap pertahanan keamanan menjadi salah satu solusi yang ASEAN
berikan kepada pihak yang bersengketa untuk saling menjalin kerjasama tersebut. Agar konflik
klaim yang terjadi diselesaikan secara bilateral, misal antara Cina-Vietnam, Cina-Filipina, dan
pihak terlibat lainnya. Perlu pula adanya ketegasan tentang UNCLOS, hukum laut yang menjadi
latar belakang muncul permasalahan klaim ZEE di kawasan Laut Cina Selatan (Brunei,
Malaysia, dan Indonesia). Ketegasan ZEE ini juga dapat diselesaikan secara bilateral antar
negara yang mempermasalahkan zona ekonominya.
Bahwasanya, meskipun konflik ini bukan menjadi tanggung jawab ASEAN, demi menjaga
stabilitas keamanan regionalnya, ASEAN perlu terlibat dalam membantu mencari solusi terbaik
agar konflik ini tidak menjadi konflik yang berkepanjangan. Skenario terburuk yang dihindari
ASEAN adalah meledaknya operasi militer di kawasan tersebut yang akan memaksa pihak yang
bersengketa mengkerahkan pasukan militernya. Bila hal ini terjadi, tentu negara anggota lain
yang tidak terlibat akan ikut terlibat dalam memberikan bantuan militer ataupun membentuk
aliansi militer. Tentunya hal ini tidak diharapkan, karena masih banyak hal yang perlu
diperhatikan dan dibangun dalam kawasan Asia Tenggara sendiri, seperti pertumbuhan ekonomi,
dan sosial budaya.

Referensi : Laila Rezvina Baswedan. Hubungan Internasional di Asia Tenggara Sikap


ASEAN dalam Usaha Penyelesaian Konflik Laut Cina Selatan. 2015.Yogyakarta :
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Anda mungkin juga menyukai