Anda di halaman 1dari 3

Nama

NIM
Prodi
Matkul

: I Putu Bagus Honestya


: 1321105013
: Hubungan Internasional
: Politik Internasional

Peran Asean Regional Forum Dalam Konflik


di Laut Cina Selatan
Laut China Selatan telah lama menjadi kawasan sengketa yang membuatnya menjadi isu yang krusial
diantara negara-negara kawasan Asia Tenggara. Wilayah yang diperkirakan memiliki arti strategis baik dari
segi ekonomi maupun militer ini menjadi permasalahan yang tidak terselesaikan sampai sekarang karena
banyak negara yang mengklaim sebagai wilayahnya. Adapun negara-negara tersebut, antara lain China,
Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, dan Malaysia. ASEAN pun tidak tinggal diam melihat isu kawasan
ini, salah satu strategi yang digunakan ASEAN yakni cooperative security yang melibatkan aksi diplomasi
melalui dialog dan forum regional yaitu ASEAN Regional Forum (ARF), yang di dalamnya membahas
berbagai permasalahan sosial dan ekonomi utamanya.
Asean Regional Forum (ARF) sendiri dibentuk pada tahun 1994 oleh ASEAN dengan tujuan untuk
mempertahankan dan meningkatkan perdamaian dan kemakmuran di kawasan Asia Pasifik dengan semakin
memperbanyak intensitas melakukan dialog mengenai kerjasama politik dan keamanan antara negara di
kawasan Asia - Pasifik (Tan, 2009, p. 1). Tujuan utama yang ingin diraih melalui adanya ARF adalah
mendorong rasa saling percaya melalui transparansi untuk meminimalisir timbulnya ketegangandan konflik
antara negara - negara di kawasan Asia Pasifik. Terlebih lagi persengketaan Laut China Selatan ini telah
menimbulkan konflik bilateral dan sengketa antarnegara yang memungkinkan terjadinya konflik militer
yang lebih luas. Hal inilah yang menjadi
faktor pendorong bagi ASEAN untuk memasukkan masalah Laut China Selatan kedalam agenda resmi
ARF.
Ada tiga buah konsep yang dikeluarkan pada ARF kedua mengenai penyelesaian sengketa Laut
Cina Selatan yang diadakan di Brunei Darussalam, yaitu Confidence Building Measures (CBMs),
Preventive Diplomacy dan Conflict Resolution (Emmers, 2003, p. 32). Dasar dari CBM ini adalah
bagaimana pihak yang terkait bisa mengurangi ketegangan diantara mereka dengan maksud mencari sebuah

penyelesaian dan sebagai langkah yang paling berguna untuk membuka jalan terhadap perjanjian yang lebih
komprehensif, sedangkan Preventive diplomacy yaitu tindakan-tindakan kolektif yang dilakukan untuk
mencegah konflik secara dini sebelum konflik menjadi besar dan untuk menegakkan perdamaian
diplomasi pencegahan sesungguhnya merupakan kumpulan aksi diplomasi, politis, militer, ekonomi,
dan kemanusiaan. Sementara itu Conflict Resolution merupakan upaya lebih jauh untuk kedua upaya yang
telah dilakukan.
Langkah-langkah dari konsep CBMs dan Diplomasi Preventif diimplementasikan dalam programprogram yang diajukan ASEAN melalui pertemuan ASEAN Regional Forum antara lain ; Kerjasama dalam
pengawasan senjata yang dipakai dilapangan dan kerjasama dalam perjanjian non-proliferasi. Transparansi
terhadap kekuatan militer yang dimilikinya atau yang digunakannya di wilayah Laut Cina Selatan dengan
mempublikasikan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pertahanan dan
keamanan. Kegiatan-kegiatan bersama seperti latihan militer bersama, Kursus-kursus pelatihan dan
pertukaran petugas penjagaan atau saling mengunjungi fasilitas-fasilitas militer dan observasi pelatihanpelatihan diantara mereka Early Warning of Conflict Situations atau peringatan awal dari keadaan konflik.
Pada awalnya Cina, Malaysia dan negara lainnya, menolak untuk membahas permasalahan
persengketaan Laut Cina Selatan secara bersama dan hanya menginginkan permasalahan tersebut
diselesaikan secara bilateral diantara kedua negara yang terlibat bentrokan militer. Tetapi setelah
berlangsung beberapa tahun dan adanya peningkatan kerjasama antara pihak-pihak yang terkait, mulai ada
kesepahaman antara Cina dengan negara-negara ASEAN. Ditandai dengan penandatanganan perjanjian
Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea oleh Menteri luar negeri ASEAN dan Wakil
Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi pada pertemuan ASEAN di Phnom Penh pada November 2002 yang
bertujuan untuk mencegah ketegangan dalam persengketaan
wilayah dan untuk mengurangi resiko dari konflik militer di Laut Cina Selatan (Emmers, 2003, p. 141).
Perjanjian tersebut menandakan hubungan baik antara Cina dan ASEAN dalam menyelesaikan
permasalahan persengketaan Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan, karena perjanjian ini
dilanjutkan dengan perjanjian-perjanjian lainnya antara Cina dan ASEAN baik dalam kerjasama di bidang
militer maupun pengelolaan bersama kekayaan-kekayaan alam yang ada di Laut Cina Selatan, sehingga
semua pihak mendapatkan keuntungan atas eksplorasi yang dilakukan.
Berdasarkan berbagai penjelasan diatas sangat terlihat bahwa ARF memiliki peran yang central
dalam usaha penyelesaian berbagai isu keamanan di kawasan Asia Tenggara. Eksistensi dari ARF pun
menjadi semakin penting karena merupakan satu-satunya forum paling banyak diminati oleh negara-negara
di kawasan Asia Pasifik untuk melaklukan dialog mengenai isu - isu kawasan. Forum ini telah berkembang
lebih dari sekadar menjadi forum untuk menumbuhkan saling percaya dan secara resmi, namun forum ini
juga membicarakan pembentukan tata regional baru di Asia Pasifik. Meski demikian, sebagai forum dialog
keamanan multilateral dan pembangunan saling percaya di kawasan Asia Pasifik, diharapkan suatu saat
nanti dapat membuka jalan bagi mediasi berbagai persoalan yang dihadapi negara-negara ASEAN seperti
yang terjadi pada kasus Laut Cina Selatan ini.

Sumber :
Emmers, R. and Tan, S. S., 2009, The ASEAN Regional Forum and Preventive
Diplomacy: A Failure
in Practivce, S Rajaratneam School of Itnternational
Sutdies, NO. 189, Singapore
Emmers, R. 2003. Cooperative Security and the Balance of Power in ASEAN and the ARF. London
:
RoutledgeCurzon
(Emmers and Tan, 2009, p. 1)
(Emmers, 2003, p. 141)
(Emmers and Tan, 2009, p. 1)
(Emmers, 2003, p. 32)

Anda mungkin juga menyukai