Anda di halaman 1dari 9

PERAN ASEAN DALAM MENANGANI SENGKETA WILAYAH

ATMELIA BUDIARTI 1806164760

Dalam tugas laporan bacaan ini, Penulis akan membahas mengenai kerjasama politik dan
keamanan ASEAN, khususnya mengenai penanganan sengketa wilayah (territorial disputes),
dengan mengacu pada beberapa sumber. Adapun bacaan yang Penulis gunakan dalam
analisis, yakni: tulisan Edy Prasetyono berjudul Traditional Challenges to States: Intra-
ASEAN Conflicts and ASEAN’s Relations with External Powers; tulisan R.C. Severino
berjudul Southeast Asia in the Search of an ASEAN Community: Insights from the former
ASEAN Secretary-General; dan Jurnal Mechanisms of Dispute Settlement: The ASEAN
Experience Contemporary Southeast Asia.
Alur penulisan laporan bacaan ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, pembahasan
mengenai keamanan tradisional ASEAN secara umum. Kedua,dilanjutkan dengan mekanisme
penyelesaian konflik ASEAN dan mengulas bagaimana pengalaman ASEAN dalam
menangani sengketa wilayah antar negara anggota. Lalu diakhiri dengan kesimpulan serta
pendapat dari Penulis.
Berdasarkan tulisan Edy Prasetyono berjudul Traditional Challenges to States:
Intra-ASEAN Conflicts and ASEAN’s Relations with External Powers, disampaikan bahwa
ASEAN dinilai telah sangat berhasil dalam mengelola hubungan antar negara dan
menyediakan modalitas untuk pelibatan kekuatan eksternal di wilayah tersebut. Ini terbukti
efektif dalam membangun kepercayaan dan mencegah konflik di antara negara-negara
anggota. ASEAN juga menjadi kekuatan pendorong dalam proses keamanan yang lebih luas
dan multilateralisme ekonomi di Asia Pasifik, seperti ASEAN Regional Forum (ARF),
ASEAN Plus Three (APT) dan the East Asia Summit.1
Kendati demikian, masih terdapat perselisihan geopolitik yang diakibatkan oleh
beberapa hal, yaitu: 1) Banyaknya ketidakjelasan dalam mendefinisikan batas laut di wilayah
tersebut yang mengakibatkan perselisihan mengenai wilayah dan sumber daya laut. 2)
Meningkatnya ketergantungan negara pada rute laut dan sumber daya alam untuk
kelangsungan ekonomi, sehingga wilayah dan perbatasan menjadi isu sensitif di wilayah
tersebut. 3) Kebutuhan untuk melindungi sumber daya alam yang membuat isu-isu teritorial
menjadi agenda keamanan nasional yang penting, di suatu wilayah yang rentan terhadap
gangguan eksternal.2

1
Prasetyono, Edy. (2007a). Traditional Challenges to States: Intra-ASEAN Conflicts and ASEAN’s Relations with
External Powers. Makalah Konferensi 40 Tahun ASEAN, FES-RSIS, Singapura, 31 Juli – 1 Agustus, hlm. 1.
2
Ibid., hlm. 2.

1
Prasetyono juga menyebutkan bahwa, dalam lingkungan internasional yang baru,
terdapat dua elemen keamanan regional yang relevan, yakni: pentingnya sumber daya alam
untuk perdagangan internasional dan persaingan atas sumber daya semacam itu. 3 Hal inilah
yang kemudian mengakibatkan sensitivitas domestik terhadap sengketa wilayah menjadi
sangat tinggi di beberapa tahun terakhir karena berkaitan dengan konsep tradisional
kedaulatan. Belum lagi, kondisi tersebut semakin diperumit dengan adanya keterlibatan dari
kekuatan eksternal di wilayah tersebut. Asia Tenggara pada dasarnya telah menjadi pusat
persaingan antara Amerikan Serikat dan Uni Soviet selama Perang Dingin. Oleh karenanya,
negara-negara Asia Tenggara selalu membuat pilihan kebijakan, dengan menjaga
keseimbangan antara bilateralisme dan multilateralisme, dengan beberapa penyesuaian bila
diperlukan. ASEAN pun pada 1976 juga membentuk Treaty of Amity and Cooperation (TAC)
yang menetapkan seperangkat norma dan nilai atau code of conduct dalam interaksi negara.
TAC dapat dilihat sebagai upaya politik untuk membangun rasa saling percaya dalam
mencegah konflik.4
Mengenai upaya pencegahan atau penyelesaian konflik ASEAN, selanjutnya dalam
Jurnal Mechanisms of Dispute Settlement: The ASEAN Experience Contemporary Southeast
Asia” yang ditulis oleh Melly Caballero dan Anthony, dijelaskan bahwa mekanisme
penyelesaian dan/atau mengelola konflik merupakan sebuah proses, metode, perangkat,
teknik dan strategi yang digunakan untuk menyelesaikan atau mengelola konflik. Pengalaman
ASEAN dalam penyelesaian konflik di Wilayah Asia Tenggara dapat dinilai dengan mengacu
pada dua wilayah yang saling terkait: 1) intra mural, yang terdiri dari anggota subregionalnya
dan 2) ekstra mural, yang membentang di dalam dan di luar wilayah Asia Tenggara.5
Melly dan Anthony menyebutkan ada tiga jenis mekanisme penyelesaian konflik
ASEAN, yaitu: institutionalized mechanisms, leading to formal mechanisms, dan informal or
normative mechanisms.6 Institutionalized mechanisms merupakan mekanisme yang mengacu
pada pembentukan kerangka kerja untuk diskusi, konsultasi, musyawarah tentang masalah-
masalah yang menjadi kepentingan bersama sebagai sarana untuk menumbuhkan pemahaman
yang lebih baik, bertetangga baik dan bekerja sama. Di sisi lain juga bertujuan untuk
mencegah berkembangnya kesalahpahaman yang dapat memperburuk perselisihan bilateral
yang terjadi di antara negara anggota. Kerangka kerja ini tercermin dalam pertemuan berkala

3
Ibid., hlm. 3
4
Ibid., hlm. 4
5
Caballero, Mely and Anthony. (1998). Mechanisms of Dispute Settlement: The ASEAN Experience.
Contemporary Southeast Asia, Vol. 20, No. 1, pp. 45
6
Ibid., pp. 46

2
di antara Kepala Pemerintahan ASEAN, yang setidaknya diadakan setiap tiga tahun sekali
sejak KTT Januari 1992.7
Dasar framework ini dimulai dengan diadopsinya Deklarasi Bangkok 1967, yang
ditekankan kembali melalui ASEAN Concord pada ASEAN Summit I di Bali, bulan Februari
1976. ASEAN Concord memperkuat fondasi kerja sama politik yang lebih dekat dan
menguraikan tiga tindakan yang secara khusus menyentuh manajemen konflik, yakni: 1)
penyelesaian perselisihan intraregional dengan cara damai secepat mungkin, 2) pertimbangan
segera dari langkah-langkah awal menuju pengakuan dan penghormatan terhadap zona
damai, kebebasan dan netralitas sedapat mungkin, 3) memperkuat solidaritas politik dengan
mempromosikan harmonisasi pandangan, mengoordinasikan posisi dan jika mungkin dan
diinginkan, mengambil tindakan bersama.8
Kerangka kerja penting lainnya yang membantu mendefinisikan hubungan ASEAN
dengan negara-negara ekstra regional adalah Zone of Peace, Freedom, and Neutrality
(ZOPFAN) yang diadopsi di Kuala Lumpur, Malaysia, pada November 1971. ZOPFAN
adalah indikasi pertama yang jelas tentang apa gagasan ASEAN mengenai kode etik negara,
baik di dalam maupun di luar kawasan. Diterapkan pada konteks regional, netralitas dalam
ZOPFAN pada dasarnya adalah: 1) non-partisipasi dan imparsialitas negara-negara Asia
Tenggara dalam konflik negara lainnya, terutama negara-negara ekstra-regional dan 2) non-
intervensi kekuatan eksternal dalam urusan domestik dan regional negara netral.9
Formal Mechanisms. Jenis mekanisme kedua ini menyediakan pengaturan dan
instrumen hukum bagi negara-negara anggota untuk mengatur hubungan mereka sesuai
dengan prinsip-prinsip yang diterima secara universal dan menyediakan penyelesaian damai
dari perselisihan. The Treaty of Amity and Co-operation (TAC) adalah satu-satunya upaya
ASEAN menyediakan mekanisme formal untuk manajemen dan penyelesaian konflik di
ASEAN. Prinsip-prinsip dasar ini adalah: 1) Rasa saling menghormati untuk kemerdekaan,
kedaulatan, kesetaraan, integritas teritorial dan identitas nasional semua bangsa; 2) Hak setiap
negara untuk memimpin keberadaan nasionalnya bebas dari campur tangan eksternal,
subversi dan paksaan; 3) Non-intervensi dalam urusan internal satu sama lain; 4)
Penyelesaian perbedaan atau perselisihan dengan cara damai; 5) Pelepasan ancaman atau
penggunaan kekerasan; dan 6) Kerjasama yang efektif di antara anggota.10
Informal or normative mechanisms. Mekanisme informal ini pada dasarnya adalah
upaya untuk menghindari konflik atau menahannya. Namun, tidak berarti bahwa bentuk

7
Ibid.
8
Ibid., pp 46-47
9
Ibid., pp 48.
10
Ibid., pp. 49.

3
penyelesaian masalah lainnya harus dibuang. Tetapi dengan tidak berhadapan langsung
dengan masalah dan alih-alih mengalihkannya sehingga tidak menghalangi terjadinya kerja
sama yang lebih luas, dan dengan membiarkan waktu berlalu, intensitas konflik dan
urgensinya berkurang. Pendekatan ini telah digunakan oleh sebagian besar anggota dalam
penyelesaian konflik teritorial bilateral. Penghindaran sengketa dalam kasus ASEAN
sebenarnya tidak semudah yang terlihat. Ini memerlukan proses atau pola perilaku tertentu
yang dapat dipahami selama periode waktu tertentu, yang telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari cara informal ASEAN dalam mengelola konflik, yaitu: 1) Ketaatan terhadap
aturan-aturan dasar yang diabadikan dalam pernyataan ASEAN yang beragam; 2) Penekanan
pada pengendalian diri; 3) Penerimaan praktik musyawarah dan muafakat (konsultasi dan
konsensus); 4) Menggunakan mediasi pihak ketiga; dan 5) Setuju untuk tidak setuju pada
penyelesaian selanjutnya.11
Ketaatan pada aturan dasar dan pengendalian diri adalah salah satu ciri khas praktik
ASEAN, yang disebut sebagai "accommodation diplomacy". Istilah "accommodation"ini
diberikan karena mencakup tiga prinsip yang dimanifestasikan ASEAN, yaitu “restraint,
respect and responsibility.” Restraint dalam konteks ini berarti bersikap toleransi, menahan
diri. Ini juga berarti tidak ada campur tangan di negara-negara lain, baik melalui perang,
bantuan untuk pemberontak, tantangan untuk legitimasi, atau komentar tentang kepribadian.
Dengan menahan diri lantas diikuti rasa hormat, yang mengacu pada kesediaan untuk
melupakan sikap individualisme dengan mencari nasihat dan pendapat orang lain.
Penghormatan ditampilkan ketika negara-negara anggota mematuhi pendekatan adat dalam
pengambilan keputusan, yang dilakukan melalui konsultasi dan consensus. Dan akhirnya, ada
tanggung jawab, yang merupakan pertimbangan kepentingan dan kepekaan anggota lainnya
serta kesadaran akan dampak kebijakan domestik suatu negara terhadap tetangganya.12
Berikutnya, masih dalam Jurnal Mechanisms of Dispute Settlement: The ASEAN
Experience Contemporary Southeast Asia dan Buku Southeast Asia in the Search of an
ASEAN Community: Insights from the former ASEAN Secretary-General, diulas mengenai
beberapa contoh penanganan ASEAN dalam penyelesaian sengketa wilayah di antara negara
anggota, yaitu: sengketa wilayah atas Sabah dan konflik Laut Cina Selatan.

Sengketa Wilayah atas Sabah


Terkait penanganan sengketa wilayah atas Sabah yang diklaim oleh Filipina sejak awal 1962,
Melly dan Anthony menggambarkannya bahwa hal tersebut merupakan aplikasi dari informal
11
Ibid., pp. 52.
12
Ibid., pp. 53

4
or normative mechanisms ASEAN. Dalam sengketa yang membuat hubungan kedua negara
memburuk hingga masing-masing pihak menarik perwakilan diplomatiknya, dan bahkan
berpotensi memantik respon militer, namun pada akhirnya dapat dihindari dan kembali pada
normalisasi hubungan kedua negara, dapat terlihat ketiga prinsip ASEAN dalam
“accommodation diplomacy” diterapkan. Pertama, sikap pengendalian diri dapat terlihat pada
satu titik krisis, di mana Malaysia menunjukkan kekuatan militernya dan melalui mitra aliansi
Inggrisnya, memiliki armada kapal perang Inggris yang berlayar melalui perairan Filipina
dekat Sabah. Tindakan ini sebenarnya bisa memicu respons militer dari Filipina, namun tidak
terjadi. Dan keseriusan masalah Corregidor, juga ditanggapi Malaysia dengan tidak
melakukan lebih dari protes diplomatik resmi. Prinsip penghormatan juga diilustrasikan
dalam keputusan Filipina yang membatalkan arahan diplomatik sebelumnya untuk
mempertanyakan kompetensi Malaysia atas Sabah dalam pertemuan tingkat menteri dan
pertemuan lainnya. Selain itu, prinsip tanggung jawab terlihat dari sejak 1969, setelah
serangkaian inisiatif awal Filipina untuk membatalkan klaim Sabah, pemerintahan Presiden
Fidel Ramos belum mengumumkan pemberhentian resminya, namun tidak menghalangi
untuk terjadinya peningkatan hubungan bilateral. Dari konflik intra state ini, anggota ASEAN
(khususnya Filipina dan Malaysia) menghadiri konsultasi publik dan pertemuan ASEAN
dengan menunjukkan kesadaran saling ketergantungan dengan tetangga dan keinginan untuk
melupakan individualisme dengan mencari saran pihak lain.
Sementara itu Severino dalam bukunya berjudul Southeast Asia in the Search of an
ASEAN Community: Insights from the former ASEAN Secretary-General, menggambarkan
angle mekanisme ASEAN yang berbeda atas sengketa wilayah Sabah. Jalan yang ditempuh
oleh para anggota ASEAN adalah dengan menjaga perselisihan bilateral secara resmi dari
ASEAN untuk melindunginya. Walaupun Filipina berusaha menginternasionalisasi masalah
dengan membawa ke PBB dan forum multilateral lainnya. Di saat yang sama, karena
kepedulian terhadap asosiasi, anggota ASEAN lainnya mencoba meredakan ketegangan
melalui diplomasi aktif di ‘belakang layar.’ Pada ASEAN Ministerial Meeting II bulan
Agustus 1968 di Jakarta, dengan dihadiri Malaysia dan Filipina, masalah Sabah tidak
diangkat secara resmi pada pertemuan itu. Namun, pada kesempatan yang sama, tetapi di luar
pertemuan, Malaysia dan Filipina, atas desakan dari tiga negara lainnya, menyetujui untuk
cooling off. Pada Desember 1968, dalam pertemuan UN Economic Commissions for Asia and
The Far East (ECAFE, yang kemudian berganti nama menjadi Economic and Social
Commission for Asia and The Pacific/ESCAP) di Bangkok. Mereka bertemu di sela-sela
pertemuan itu untuk menangani masalah Sabah. Hasilnya adalah perjanjian Malaysia-Filipina
5
tentang periode cooling off lainnya dan kelanjutan kehadiran mereka di ASEAN Meetings.13
Hal ini kemudian diikuti oleh sebuah pengumuman dari Presiden Ferdinand E Marcos bahwa,
Filipina "sementara membatalkan klaim Sabah." Selanjutnya Presiden Fidel Ramos
melakukan kunjungan kenegaraan ke Malaysia pada Januari 1993 yang dibalas oleh Perdana
Menteri Mahathir pada Februari 1994. Hubungan antara kedua anggota ASEAN pun telah,
ternormalisasi.

Sengketa Laut Cina Selatan


Terkait peran ASEAN dalam penanganan sengketa Laut Cina Selatan (LCS), Severino dalam
bukunya menjelaskan bahwa hasil dari kegigihan kolektif ASEAN adalah membuat Cina
telah mengubah pendiriannya dalam diskusi LCS dari yang semula hanya urusan bilateral
dengan negara pengklaim menjadi bersedia untuk berpartisipasi dengan ASEAN sebagai
suatu asosiasi.
Bermula ketika “Workshop For Managing Potential Conflict in the South China
Sea” kedua tahun 1991,14 Cina setuju untuk berpartisipasi membahas isu LCS. Namun, demi
menjaga agar tidak terjadi ketegangan dan menumbuhkan rasa saling percaya, serta memberi
kesan kepada Cina bahwa LCS tidak akan diinternasionalisasi, maka workshop dikondisikan
sebagai non-official. Para peserta hadir seolah-olah dalam kapasitas pribadi. Meskipun secara
teknis, bukan upaya ASEAN, tetapi ASEAN memiliki aura untuk itu, karena semua negara
Asia Tenggara (kecuali Myanmar), pada akhirnya mengambil bagian.15
Di sejumlah forum internasional, negara-negara ASEAN yang bekerja bersama,
berhasil mendapatkan dukungan untuk posisi ASEAN, khususnya Deklarasi ASEAN 1992
tentang LCS dan pernyataan ASEAN 1995 tentang Perkembangan Terkini LCS. Forum-
forum itu termasuk Gerakan Non-Blok pada 1992 dan 1995 Summits, serta ASEAN Regional
Forum. Tanpa mengambil posisi pada pertanyaan-pertanyaan yurisdiksi, Uni Eropa dan
beberapa negara, termasuk Australia dan Amerika Serikat, juga memberikan dukungan
mereka terhadap ketentuan-ketentuan pernyataan ASEAN.16
Deklarasi LCS 1992 memberikan pemberitahuan tentang solidaritas asosiasi di balik
pendekatan damai dan konstruktif terhadap masalah LCS. Ini menyerukan resolusi damai

13
Severino. R.C. (2006). Southeast Asia in the Search of an ASEAN Community: Insights from the former
ASEAN Secretary-General. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, pp. 165
14
Diinisiasi oleh Indonesia pada tahun 1990, dengan dukungan dana dari Kanada dan bekerjasama dengan
University of British Columbia.
15
Ibid.
16
Ibid., pp. 184.

6
masalah kedaulatan dan yurisdiksi tanpa upaya untuk memaksa, latihan menahan diri,
kemungkinan kerjasama dalam banyak bidang, serta aplikasi tentang prinsip-prinsip TAC
sebagai dasar kode etik LCS.
Konsultasi politik antara ASEAN dan pejabat senior Cina berlangsung untuk
pertama kalinya, di Hangzhou, pada April 1995 secara informal. Dalam konsultasi
berikutnya, pembahasan LCS diambil bukan untuk menyelesaikan pertanyaan yurisdiksi,
tetapi untuk memastikan bahwa konflik tidak terjadi di daerah tersebut. Posisi Cina dalam
membahas LCS juga berevolusi di ARF di mana awalnya berbicara secara informal, namun
kemudian terbuka dalam pertemuan berikutnya.
ASEAN Regional Forum (ARF) dibentuk pada saat Konferensi ASEAN Ministerial
Meeting and Post Ministerial ke-26 yang diadakan di Singapura pada tanggal 23-25 Juli
1993, dengan pertemuan yang pertama di Bangkok pada 25 Juli 1994 17. ARF didirikan oleh
27 negara, dengan 10 negara anggota ASEAN, lalu 10 negara partner dialog ASEAN.18
Secara tertulis, tujuan ARF tercantum dalam Chairman's Statement ARF pertama pada tahun
1994 yaitu membantu perkembangan dialog konstruktif dan konsultasi dalam bidang politik
dan keamanan yang menjadi kepentingan dan fokus bersama, serta berkontribusi dalam upaya
menuju pembangunan kepercayaan diri dan diplomasi preventif di wilayah Asia Pasifik19.
Metode dan pendekatan yang dilakukan oleh ARF adalah melalui partisipasi dan
kerjasama yang aktif. ASEAN sebagai Organisasi Regional Asia Tenggara tentu berupaya
meredam ketegangan konflik Laut China Selatan antara China dengan Vietnam, Filipina,
Malaysia, Brunei Darusallam. ASEAN memiliki caranya sendiri dalam penyelesaian
sengketa, yakni dengan mengutamakan cara diplomasi, tekanan, dan pencegahan dengan
diplomasi preventif. Cara yang tidak melibatkan kekuatan militer ini diberlakukan mengingat
tanggung jawab ASEAN untuk menghindari Negara anggotanya dari segala bentuk ancaman
yang dapat merusak stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara.
Dalam hal ini ARF sebagai forum kerjasama keamanan intra-regional di kawasan
ini, Terkait sengketa atas pengklaimannya, China semakin memperkuat pendiriannya saat di
undang oleh ARF dalam pertemuan ke empat di Kamboja, respon China terhadap ARF yang
positif, tetapi tidak halnya dengan duduk bersama dalam menangani konflik sengketa dimana
China menyatakan menentang langkah ARF terutama mekanisme diplomasi pencegahan,
17
The ASEAN Regional Forum, diakses dari
http://www.aseanregionalforum.org/AboutUs/tabid/57/Default.aspx
18
yaitu Australia, Kanada, China, Uni Eropa, India, Jepang, New Zealand, Korea Selatan, Rusia dan Amerika
Serikat, dan sisanya adalah PNG (negara kawasan) seperti Korea Utara, Mongolia, Pakistan, Timur Tengah,
Bangladesh, Sri Lanka, Papua Nugini, dan Timor-Leste.
19
Ibid. ASEAN Regional Forum

7
dikarenakan upaya tersebut melibatkan campur tangan luar. Perspektif China, yang
diasumsikannya adalah upaya pihak lain untuk membawa isu sengketa tersebut ke komunitas
global yang memungkinkan bisa mempengaruhi kedaulatan China. Ekspresi geopolitik
China, terkait Laut Cina Selatan terlihat dengan kebijakan China yang dibawa dalam ASEAN
Regional Forum (ARF), salah satunya menyetujui The Declaration on the Conduct of Parties
in the South China Sea, pada tahun 2002.
Pada akhirnya, deklarasi, yang ditandatangani oleh para menteri luar negeri ASEAN
dan Cina ASEAN Summit dan ASEAN-China Summit di Phnom Penh, mengikat para pihak
ke penyelesaian damai perselisihan sesuai dengan hukum internasional, termasuk Konvensi
PBB 1982 tentang Hukum Laut, untuk kebebasan navigasi yang sah dan penerbangan di
wilayah tersebut, untuk "menahan diri" dari "mendiami" fitur yang saat ini tidak berpenghuni,
ke langkah-langkah membangun kepercayaan tertentu, dan untuk kerjasama dalam sejumlah
bidang yang diawasi, sebagaimana konklusi akhir dari code of conduct.
Berdasarkan pengalaman dari penanganan sengketa wilayah, ASEAN sebagai loose
institution nampaknya memiliki keuntungan dari ‘longgarnya’ asepek hukum yang di satu sisi
sebenarnya dapat menjadi kritik. The Treaty of Amity and Co-operation (TAC), sebagai satu-
satunya ‘payung’ ASEAN dalam menyediakan mekanisme formal untuk manajemen dan
penyelesaian konflik di ASEAN tidak memiliki paksaan ataupun sanksi yang bersifat
mengikat. Oleh karenanya ASEAN cenderung mengedepankan langkah informal, yang juga
diikuti dengan adanya kesadaran dan komitmen dari negara anggota-anggota untuk
memegang prinsip-prinsip dan norma-norma ASEAN, sehingga efektif dalam meredakan
situasi dan menyelesaikan sengketa wilayah yang terjadi diantara negara anggtota kawasan.
ASEAN sebagai organisasi regional, harus mampu menjadi jembatan penghubung dalam
menangani masalah-masalah praktis yang timbul dari interaksi negara di kawasan tersebut.
Sementara posisi sentral ASEAN dalam regionalisasi yang lebih luas, nampaknya menjadi
tantangan geopolitik dan strategis ASEAN untuk dapat merespons secara efektif dan tepat
waktu terhadap perkembangan terkini. Seperti halnya sengketa LCS yang memiliki
ketersinggungan dengan keempat anggota ASEAN. Hal ini karena Cina telah menjadi begitu
terikat dengan perdagangan global dan hubungan yang meluas dengan ASEAN. Sehingga
perlu kematangan bersikap agar tidak merugikan stabilitas regional

DAFTAR PUSTAKA

8
 Edy Prasetyono. (2007a). Traditional Challenges to States: Intra-ASEAN Conflicts and
ASEAN’s Relations with External Powers. Makalah Konferensi 40 Tahun ASEAN, FES-
RSIS, Singapura, 31 Juli – 1 Agustus
 R.C. Severino. (2006). Southeast Asia in the Search of an ASEAN Community: Insights
from the former ASEAN Secretary-General. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies
 Mely Caballero and Anthony. (1998). Jurnal Mechanisms of Dispute Settlement: The
ASEAN Experience Contemporary Southeast Asia. Contemporary Southeast Asia, Vol. 20,
No. 1, pp. 38-66,

Anda mungkin juga menyukai