Anda di halaman 1dari 4

UTS Literature Review HI Kawasan Asia

Tenggara

Nama1 : Adib Ahmad


Abdullah NIM 11211130000081
Kelas : HI 5C
Dosen : Riana Mardila, MIR
Mingge : Ke-5

- “ASEAN at Forty A Balance Sheet” -Rodolf C. Severino

Literature ini secara general membahas tantangan, kesempatan dan perkembangan ASEAN
setelah 40 tahun berdiri yaitu pada 2007, ASEAN menjadi organisasi internasional regional yang
dianggap sukses dalam mempromosikan kerjasama kawasan yang semakin membawanya ke dalam
hubungan yang harmonis, tidak hanya antar anggota tetapi dengan negara non-anggota lainnya.
Namun bukan berarti tanpa rintangan, ASEAN sejak berdirinya menerima banyak kritik dan
pertikaian, dianggap belum cukup matang namun ASEAN bisa membuktikannya melalui interaksi
internasional dan kebijakan-kebijakan yang diimplementasikan.

Sengketa antar anggota dan negara lainnya, belum lagi faktor historis yang panjang dan
keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, hingga ideologi yang dianut turut menjadi ancaman di
tengah kekayaan bangsa negara ASEAN sendiri. Namun mereka setidaknya selalu dapat menemukan
titik tengah dari permasalahan yang ada, salah satunya yaitu memanfaatkan kepentingan-kepentingan
strategis mereka ke dalam diskusi politik, ekonomi, dan sosial negara anggota dan non-anggota.

Integrasi dan kerjasama ekonomi turun menjadi pondasi dari berkembagnya organisasi
regional ini ditengah gelombang globalisasi. Berkaca dari kebijakan ekonomi regional Uni Eropa
dalam tarif perdagangan, ASEAN merasa bahwa mereka juga harus menetapkan integrasi ekonomi
antar anggota agar dapat bertahan dalam persaingan pasar global. Salah satunya AFTA (1992) sebagai
bukti keseriusan ASEAN untuk mempermudah perdagangan bagi negara anggotanya melalui
pengurangan tarif impor. Hubungan yang harmonis ini. Tentunya hal ini dapat tercipta bukan tanpa
alasan, kita bisa melihat dari landasan atau norma-norma fundamental yang selalu dijadikan patokan
dalam menjalin hubungan, seperti: penolokana acamana, penyelesaian damai dan prinsip non-
intervensinya. Setidaknya tiga hal ini yang selalu membawa ASEAN dalam hubungan harmonis.

- “Theorizing Southeast Asian Relations: an introduction” -Amitav Acharya


n Ricards Stubbs

Sesuai dengan judulnya, artikel ini lebih menekankan terhadap pembahasan teoritis dalam
kajian hubungan regional, perkembangannya dan bagaimana teori-teori yang berkembang hingga saat
ini bisa mempengaruhi dan menjawab dinamika yang ada di kawasan di Asia Tenggara. Salah satu
pembahasan yang diangkat yaitu, kritik konstruktivis terhadap realisme sebagai teori tradisional yang
dominan dalam Hubungan Internasional, tentang bagaimana realisme dirasa sudah kurang relevan
dalam merespon fenomena
regional yang ada sekarang ini, sedangkan konstruktivis membuka pemahaman yang lebih luas dan
fundamental lagi melalui penekanan pentingnya faktor ideasional, identitas dan norma-norma dalam
membentuk tatanan regional. Konstruktivis menolak pandangan realis yang hanya berkutat pada
faktor material seperti, power, militer sebagai penentu stabilitas regional.

Namun bukan berarti teori konstruktivis tidak mendapatkan kritik dari teori lainnya, terdapat
beberapa counter, diantaranya, asumsi konstruktivis tentang kemampuan norma-norma internasional
sebagai elemen untuk mengubah tatanan internasional, asumsi ini dirasa terlalu optimis mereka
menganggap bahwa seluruh elemen yang ada di dunia internasional akan berjalan sesuai rencana
dalam melihat potensi perubahan melalui sosialisasi dan adopsi norma-norma baru. Mereka tidak
terlalu memperhatikan faktor-faktor kepentingan nasional, kekuatan politik, geopolitik, ekonomi dan
ketidaksetaraan struktural dunia internasional yang bisa kita bilang ini masih memainkan peran
penting dalam membentuk kebijakan dan tatanan regional Asia Tenggara.1

Kritik lainnya berbunyi, bahwa fokus konstruktivis terlalu fokus pada peran negara dalam
membentuk hubungan regional dan mengabaikan peran aktor non-negara (masyarakat sipil, MNCs,
NGOs, dll) yang tentunya kelompok-kelompok tersebut memiliki kepentingannya yang tidak selalu
mengutamakan nilai-nilai moral sehingga hal ini mengakibatkan pemahaman yang kurang inklusif
tentang dinamika regional Asia Tenggara.

- “ASEAN into the 21st century: problems and prospects” -Shaun Narine

Dalam literatur ini, secara umum penulis membahas tentang tantangan dan perbedaan antar
Asia Tenggara sebagai sebuah kawasan dan sebagai organisasi internasional regional, ASEAN.
Literature ini juga mencoba untuk menjawab pertanyaan apakah ASEAN dapat menjadi pelopor
ideologi demokrasi di Asia Tenggara dan negara anggotanya sendiri. Dalam studi kasusnya penulis
menyertakan kekurangan ASEAN dalam merespon krisis yang terjadi di Myanmar pada 2007 karena
dianggap lambat dalam menanganinya.

Menjawab pertanyaan pertama, bagaimana menafsirkan ASEAN sebagai wilayah atau


organisasi, kita tentunya harus menggunakan perspektif yang berbeda, namun kenyataannya
penafsiran ini masih sering digunakan untuk arti yang sama. Dengan jawab singkat yaitu, Asia
Tenggara ditafsirkan sebagai wilayah yang mencakup sepuluh negara yang terletak dalam kawasan
tersebut, sedangkan ASEAN, bentuk organisasi yang terstruktur dan memiliki badan-badan untuk
mencapai tujuan dan kepentingan bersama negara-negara anggota Asia Tenggara. Argumen ini
menunjukan, meskipun terdapat keterkaitan antara Asia Tenggara sebagai wilayah dan ASEAN
sebagai organisasi tetap memiliki perbedaan dalam konteks keanggotaan dan batasan geografis.

Sedangkan apakah ASEAN memiliki peran misi dalam mendukung demokrasi di kawasan,
pertama perlu diketahui bahwa kita juga harus melihat ASEAN sebagai organisasi pasti memiliki
keterbatasan. Demokrasi layaknya gelombang yang dapat naik dan turun tergantung kondisi dan
behaviour aktor-aktor di dalamnya sehingga dalam hal ini cukup sulit dan kompleks untuk
menentukan argumen apakah ASEAN harus dapat mendukung

1
Katsuma, H. (2006). “Constructivism and Southeast Asia Security: A Critical View”. The Pacific Review,
19(1), 23-42
demokrasi. Namun perlu di-highlight bahwa ASEAN memberikan kebebasan bagi negara anggotanya
untuk menerapkan ideologi apa yang pantas untuk dianut selama tidak melanggar norma-norma dasar
yang telah ditetapkan bersama. Dengan kata lain ini sebagai bentuk pentingnya menghormati
kedaulatan negara anggota ASEAN.

Pembahasan

Dalam ketiga pembahasan literature review ini dapat diambil benang merah atau
keterkaitannya satu sama lain, yaitu bagaimana perkembangan dan tantangan ASEAN dari waktu ke
waktu dan bagaimana teori-teori yang berkembang hingga saat ini mencoba menjawab fenomena
yang terjadi di kawasan Asia tenggara dari berbagai pendekatan, sehingga jika ingin ditarik garis
timeline→ perkembangan Asia Tenggara sebagai wilayah dan ASEAN sebagai organisasi →
Tantangan yang dihadapi dan upaya-upaya yang dilakukan→ Penerapan teori HI dalam menganalisis
dan merespon dinamika yang terjadi.

Lebih dalam ke-tiga artikel ini membawa beberapa trend atau persoalan utama yang dibahas
dalam kajian hubungan regional Asia Tenggara. Salah satunya, yaitu tantangan yang dihadapi oleh
dominasi realisme dalam studi hubungan internasional, ketiga artikel ini menunjukan bahwa terdapat
literatur baru yang secara teoritis lebih informatif dan terbarukan menjawab perkembangan zaman,
yang tentunya menentang dominasi perspektif realisme.

Realisme melihat Asia Tenggara sebagai sebuah kawasan yang anarkis, yaitu negara-negara
saling bersaing untuk mengejar kepentingan nasionalnya, stabilitas kawasan ini juga bergantung pada
kseimbangan kekuatan negara-negara besar disekitarnya, terutama China, Amerika Serikat dan Uni
Soviet (di masa perang dingin). Bagi kaum realis, ASEAN dilihat sebagai wadah di mana negara-
negara anggotanya saling berkompetisi untuk mendapatkan kekuatan di tingkat regional, kerjasama
yang dilakukan pun tidak lebih disebabkan oleh kepentingan nasional dan mempertahankan
keseimbangan kekuatan masing-masing negara daripada oleh nilai-nilai bersama. Bagi mereka negara
yang kuat maka akan lebih mudah mendominasi jalannya kerjasama regional. Meskipun demikian,
dalam perkembangannya, beberapa pemikir realis kontemporer mulai memperluas pandangan mereka
untuk mengakui peran institusi dan norma dalam hubungan internasional suatu kawasan.

Selanjutnya jika kita melihat kesenjangan atau gap yang terdapat dari tiga literatur ini, yaitu
artikel-artikel ini lebih berfokus pada tataran antar-negara saja dalam menganalisis teori-teori yang
digunakannya, kurangnya kajian yang menganalisis peran aktor non-negara seperti non
governmental organization (NGO), multinational corporations (MNCs), dan jaringan masyarakat
sipil dalam dinamika regional. Padahal aktor-aktor tersebut juga ikut serta dalam kontestasi kerjasama
di kawasan Asia Tenggara, namun aplikasi teori yang digunakan hanya terbatas pada interaksi antar
negara di dalam kawasan ASEAN.

Kesenjangan lainnya kita bisa melihat dari minimnya kajian yang menganalisis implikasi
teoritis dari isu-isu ekonomi dalam hubungan regional Asia Tenggara. Kebanyakan dalam artikel ini
lebih berfokus pada dinamika politik keamanan kawasan melalui perspektif teori hubungan
internasional sbi realisme, konstruktivis dan English School. Isu-isu ekonomi tidak begitu diangkat
padahal itu seperti integrasi ekonomi regional, kerja sama moneter
hingga dampak krisis finansial 1997 juga memiliki implikasi teoritis yang penting untuk dipahami
dalam menganalisis fenomena di kawasan Asia Tenggara.

Oleh karena itu, diharapkan studi akademisi selanjutnya di masa depan dapat mengisi
kesenjangan-kesenjangan ini dengan lebih banyak menganalisis teori-teori yang berkembang dengan
berbagai isu atau fnoemena, sehingga pengapikasian teori dapat lebih inklusif. Hal ini juga akan
memperkaya pemahaman teoritis mengenai beragam dimensi interaksi regional di Asia Tenggara.

Kesimpulan

Berdasarkan artikel-artikel yang telah dibahas, dapat dibuat kesimpulan mengenai hubungan regional
di Asia Tenggara saat ini sedang mengalami perkembangan debat teoritis yang menarik dan dinamis,
jika sebelumnya dominasi penelitian kawasan ini menggunakan sudut pandangan realisme,
perdebatan datang beberapa dekade terakhir. Muncul sejumlah karya yang memberikan wawasan
teoritis yang lebih beragam mengenai Asia Tenggara, yang menjadi tantangan bagi dominasi sudut
pandang realisme.

Salah satu perdebatan utama terhadap dominasi realisme adalah munculnya pendekatan
konstruktivisme. Konstruktivisme menekankan pentingnya gagasan-gagasan non material seperti,
norma, identitas, aktor domestik, dan potensi perubahan dalam konteks regional. Meskipun demikian
bukan berarti konstruktivis menjadi pendekatan yang paling pas, nyatanya pendekatan ini juga
mendapatkan kritik dari pendekatan lain, seperti English School, Neoliberal institusionalisme, dan
teori kritis.

Debat ini mencerminkan adanya keragaman pendekatan teoritis dalam penelitian kontemporer
kawasan Asia Tenggara yang menunjukan bahwa penelitian mengenai kawasan ini tidak harus
terbatas pada satu pendekatan saja. Konstruktivisme telah memperkaya pemahaman mengenai
dinamika regionalisme di Asia Tenggara, meskipun juga menghadapi kritik dari asumsi-asumsi lain,
seperti fokus pada peran negara dalam determinasi normatif.

Secara keseluruhan, perkembangan akademik ini patut diapresiasi karena memberikan kontribusi
yang berharga dalam penelitian Hubungan Internasional dan regionalisme di Asia Tenggara. Debat
yang sedang berlangsung juga menunjukkan kontribusi unik dari Asia Tenggara dalam
pengembangan teori Hubungan Internasional, serta manfaat dari penggunaan berbagai pendekatan
teoritis untuk memahami kompleksitas dinamika kawasan ini.

REFERENSI

Severino, R. C. (2008). ASEAN at Forty: A balance sheet. Southeast Asian Affairs, 61-70. Acharya,

A., & Stubbs, R. (2006). Theorizing Southeast Asian relations: an introduction. The
Pacific Review, 19(2), 125-134.

Narine, Shaun. (1999). ASEAN into the 21st century: problems and prospects. The Pacific
Review, 12(3), 357-380

Katsuma, H. (2006). “Constructivism and Southeast Asia Security: A Critical View”. The Pacific
Review, 19(1), 23-42

Anda mungkin juga menyukai