Anda di halaman 1dari 7

UJIAN AKHIR SEMESTER I

MATA KULIAH PENULISAN AKADMIK

Dosen Pengampu: M. Irfan Ardhani

Disusun Oleh : 
FATTAA HAYYU TRI HAPSARI
NIM : 21/476626/SP/30170

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
TAHUN 2021
ASEAN Outlook on Indo-Pacific: Insufisiensi dan Polemik dalam Regulasi

Transformasi geopolitik yang kini tengah terjadi menjadi isu eminen dalam konstelasi
politik global. Cina yang muncul sebagai emerging power mewujudkan rivalitas dengan
Amerika yang menyandang gelar negara hegemoni. ASEAN menjadi sebuah kawasan
prominen, sebab kontestasi politik dua negara adidaya ini berepisentrum di Indo-Pasifik.
Menilik potensi destabilisasi geopolitik ini, Indonesia yang acap kali disebut sebagai ASEAN
natural leader memiliki obligasi untuk memformulasi komposisi politik luar negerinya.
Indonesia juga perlu merefleksikan prinsip luar negerinya, apakah strategi politik luar negeri
Indonesia mampu menghadapi perubahan dan instabilitas politik? Ataukah strategi ini perlu
direformasi? Berdasarkan penilaian penulis, strategi politik luar negeri Indonesia masih
belum efektif dalam menangani perubahan politik global yang kini tengah terjadi AOIP
sebagai kebijakan dan basis geopolitik ASEAN juga perlu direvaluasi. Oleh karena itu untuk
mengelaborasi penilaian tersebut pada bagian pertama esai ini akan membahas relasi politik
luar negeri dan visi Indonesia terhadap ASEAN serta kebijakan ASEAN Outlook on the Indo-
Pacific. Pada bagian kedua esai ini akan menilai arah kebijakan AOIP dan efektivitas
reglemen ini dalam menghadapi disparitas keamanan dan ancaman lain dalam kawasan
ASEAN.
Indonesia menjadi aktor prominen dalam percaturan politik regional ASEAN. Hal ini
karena posisi dan identitas Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia sekaligus
ekonomi yang terus mengalami pertumbuhan masif, seakan memperkuat takdir Indonesia
sebagai ASEAN Natural Leaders. Maka tak heran apabila tatanan regional ASEAN yang
tertib dan bebas intervensi, sejatinya sedikit banyak dipengaruhi oleh manifestasi politik luar
negeri Indonesia; bebas aktif. Prinsip politik luar negeri Indonesia bebas aktif adalah sebuah
prinsip yang mana kebijakan Indonesia tidak akan terpengaruh oleh negara lain, prinsip ini
juga menandakan bahwasanya politik luar negeri Indonesia akan bersikap netral dan tidak
berpihak, serta mengedepankan diplomasi soft power dalam penyelesaian konflik guna
menghindari benturan senjata. Maka ketika kontestasi Amerika dan Cina terjadi di Indo-
Pasifik sikap “netral” ini menjadi basis atas tidak berpihaknya Indonesia. Penolakan
Indonesia untuk berpihak kepada satu kubu berkenaan dengan tidak percayanya Indonesia
terhadap satu kekuatan hegemoni dunia, sikap bebas ini juga sedikit banyak dipengaruhi oleh
eksploitasi kolonial yang pernah terjadi di Indonesia. Hal ini menjadi faktor utama dalam
putusan kebijakan luar negeri yang terkonsentrasi untuk menjaga stabilitas dan legitimasi di
dalam negeri, mencari otonomi strategis, dan sebagaimana telah disebutkan menyangkal
kekuatan hegemoni yang ada (Laksmana, 2021). Pendekatan tersebut memang selama ini
dapat berjalan dengan baik terutama dalam menangani kondisi cold war, namun jika berkaca
pada konstelasi politik global satu dekade terakhir, sikap ambigu yang diproyeksikan
Indonesia nyatanya perlu ditinjau kembali, terutama mengingat peran yang diambil Indonesia
sebagai natural leader di ASEAN.
Ambiguitas yang diproyeksikan Indonesia dalam politik luar negerinya, juga secara
langsung memengaruhi visinya terhadap kebijakan ASEAN. Di bawah kepemimpinan
presiden Jokowi Indonesia memiliki persepsi sebagai negara middle power, bangsa besar, dan
pemimpin regional. Namun terlepas dari klaim “peran dan identitasnya” Indonesia tidak ingin
memikul beban dalam mengelola tatanan regional secara proaktif. Dengan kata lain,
Indonesia menginginkan kekuatan pemimpin regional ASEAN tapi tidak dengan tanggung
jawabnya. Manifestasinya adalah ASEAN yang telah menjadi instrumen bagi Indonesia
untuk mengabaikan tanggung jawabnya dan menghindari isu untuk mengatasi kontestasi
kekuatan besar di Indo-Pasifik (Laksmana, 2021).
Kebijakan ASEAN Outlook on Indo-Pacific yang diajukan Indonesia pada KTT ke-34
ASEAN di Bangkok 2019 dinarasikan menjadi resolusi dalam mengurangi kontestasi dan
meminimalisir destabilisasi akibat konfrontasi kekuatan di Asia-Pasifik dan Samudra Hindia.
Kebijakan ini berlandaskan prinsip dasar yang mencerminkan pendirian ASEAN, yakni
keterbukaan, inklusif, transparansi, dan kepatuhan terhadap hukum internasional (Anwar,
2020). Namun nyatanya inisiasi AOIP hanya dijadikan platform untuk mengaksentuasi visi
Indo-Pasifik yang bebas dan secara sengaja dijadikan justifikasi untuk menghindari masalah
geostrategi yang sedang terjadi. Hal ini merefleksikan minimnya upaya dan kemampuan
Indonesia dalam respons diplomatiknya untuk membentuk kawasan ASEAN yang mandiri.
Premis ini terbukti benar dalam minimnya realisasi AOIP pada kasus Laut Cina Selatan.
Tendensi Indonesia dalam instrumentalisasi ASEAN juga di eksternalisasi oleh kebijakan
AIOP, di mana dalam premis penulis, AOIP hanyalah ekstensi untuk kepentingan ekonomi
Indonesia, sebagaimana fokus kebijakan pragmatis pemerintah di bawah Presiden Jokowi.
Manifestasinya terlihat pada AIOP yang fokus pada kajian konektivitas dan kerja sama
ekonomi dalam lanskap Asia-Pasifik, bukannya aksentuasi pada isu konflik geopolitik yang
tengah terjadi terutama dalam polemik Laut Cina Selatan (Hoang, 2019).
Disfungsi dari AOIP, sebagaimana telah ditinjau sebelumnya kemudian
menghantarkan pada bagian kedua esai ini, mengenai inefektivitas AOIP dalam menghadapi
disparitas keamanan yang kini tengah terjadi. Sesuai argumen yang telah disampaikan
penulis, inefisiensi AOIP bukan hanya sebuah metafora, namun nyata adanya. Sebagai
sebuah regulasi yang digadang dapat menjadi resolusi terhadap tantangan yang berkembang
akibat tekanan eksternal sekaligus memperkuat sentralitas ASEAN, nyatanya AOIP sebagai
sebuah kebijakan nihil dalam aspek kebaruan. AOIP mengaksentuasi fungsi ekonomi dan
kerja sama dalam ASEAN, layaknya kebijakan RCEP yang telah ada, bukannya mengatasi
isu militer yang dalam perkembangannya berpotensi menjadi bahaya laten. Dalam kasus
sengketa LCS misalnya, mengenai klaim Cina pada tahun 2010 bahwasanya 88% wilayah
LCS adalah perairan milik Cina (Pedrason, 2020). Tindakan asertif Cina ini bukannya tanpa
alasan. Laut Cina Selatan adalah sebuah perairan dengan potensi sumber daya yang kaya
akan minyak bumi dan gas, serta posisi geostrateginya yang menjadi sentral pelayaran dunia.
AOIP yang seharusnya dapat menjadi negasi sampai sekarang belum juga melahirkan hasil
signifikan. Hal ini memperkuat premis bahwasanya eksistensi AOIP memiliki impak minor
dalam pandangan strategis negara-negara hegemoni dengan lanskap disparitas yang kian
memanas. Apabila ditinjau dari perspektif negara ASEAN pun AOIP hanya berperan sebagai
panduan terbatas mengenai arah keterlibatan negara anggota ASEAN dengan AS dan China.
Peran AOIP sebagai sebuah kebijakan, nyatanya dalam berbagai aspek dapat
dimetaforakan sebagai old wine in new bottle (Hoang, 2019). Hal ini menggambarkan
lambatnya respons ASEAN terhadap krisis yang terus timbul akibat meningkatnya persaingan
kekuatan hegemoni. Kebijakan dan pernyataan dalam AOIP nyatanya sebagian besar bersifat
pasif, tidak jauh berbeda dari kebijakan yang sebelumnya telah dicanangkan ASEAN. Sikap
berhati-hati dan ambigu ini mengundang kekecewaan terutama jika dibandingkan dengan
potensi disparitas yang mengkhawatirkan melihat kontestasi Amerika-Cina yang semakin
memburuk (Singh & Tsjeng, 2020). Dokumen AOIP berfokus pada isu-isu ekonomi dan
pembangunan, dokumen ini hanya memiliki inovasi minor dalam bentuk minimalisir
kerusakan di lingkungan strategis, sebuah isu yang jika ditinjau dari peliknya disparitas tidak
memiliki urgensi dalam pembahasan. Selain itu, sebagai sebuah dokumen kebijakan, AOIP
tidak bersifat mengikat, dan hanya menyatakan prinsip-prinsip umum sebagaimana pada
dokumen terdahulu.
Sentralisasi yang dijadikan fokus dan prinsip utama pun nyatanya tak juga terealisasi,
prinsip ini jika ditinjau dari pergerakan ASEAN dalam resolusi geopolitik yang kini terjadi
dapat dikatakan terlalu utopis. Meskipun Jepang, Amerika, dan India telah menyatakan
dukungan terhadap sentralitas ASEAN, pengakuan ini hanya diberikan bila sirkumstansi
sesuai dengan tujuan dan kepentingan mereka (Choong, 2019). Maka bukan sebuah premis
belaka jika sentralitas yang digadang ASEAN dalam manifestasinya mendapat konsiderasi
dan pengakuan karena kelemahan dan celah yang kemudian dapat dimanfaatkan aktor lain
untuk memperkuat posisi mereka.
Insufisiensi AOIP juga terindikasi pada konstruksi kebijakan, di mana mekanismenya
sangat tidak elaboratif. AOIP memberikan klaim bahwasanya fokus AOIP ada pada
“penguatan dan optimalisasi mekanisme kerjasama yang dipimpin ASEAN” akan tetapi
AOIP tidak memberikan konstruksi mengenai bagaimana hal itu dapat dilakukan (Singh &
Tsjeng, 2020). Sekali lagi ambiguitas dari AOIP terlihat jelas dalam teknis, dan terbukti pada
lamanya pengambilan keputusan, yang menjadi esensial ketika konflik tengah berlangsung.
Pada konflik Cina dan Myanmar misalnya, ASEAN dan AOIP sebagai kebijakan belum dapat
mewujudkan resolusi yang adaptif dan kuat.
Berlandaskan kajian penulis, maka dapat disimpulkan bahwasanya AOIP sebagai
kebijakan yang ditujukan untuk mengatasi disparitas dan meminimalisir konflik akibat
kontestasi kekuatan hegemon Amerika Cina di ASEAN nyatanya masih belum efektif. AOIP
tidak dapat dipungkiri memang memiliki potensi sebagai respons awal ASEAN, namun agar
AOIP dapat berjalan dengan efisien maka diperlukan evaluasi, rekonstruksi, dan rekonsiliasi
dalam kebijakan ini. ASEAN dan anggotanya, tidak bisa terus bersifat pasif, melihat
kontestasi dan Indo-Pasifik yang memiliki tendensi ketidakstabilan politik, ASEAN harus
bersikap lebih proaktif. Hal ini dapat dimanifestasikan dengan memperkuat AOIP, sebagai
sebuah kebijakan AOIP harus bersifat legally binding antar sesama negara ASEAN, selain itu
inklusivitas yang dicanangkan harus secara kontekstual terlaksana, dengan realisasi tujuan
yang sama antar negara anggota. ASEAN juga perlu mengatasi isu-isu eminen yang dapat
membahayakan kedudukan sentralnya, misal batas laut, konektivitas maritim, kejahatan
transnasional maritim, dan isu-isu geopolitik lain. Dalam menghadapi isu ini, seluruh anggota
ASEAN perlu mengajukan komitmennya dan dengan aktif berpartisipasi. Jika ditinjau dari
posisinya sekarang ASEAN perlu dengan baik memanfaatkan momentum untuk eskalasi
inklusivitas AOIP, tak hanya untuk ASEAN tapi Indo-Pasifik
Indonesia dengan identitasnya sebagai ASEAN natural leader dan donatur utama
inisiasi AOIP perlu bersikap lebih tegas dan bertanggung jawab atas kebijakan dan saran
yang diajukan. Sudah bukan waktunya untuk Indonesia terus mengharapkan keuntungan
dalam instabilitas kontestasi hegemoni, Indonesia dalam isu ini harus secara aktif
menentukan nasibnya sendiri, dengan pendirian dan kebijakan yang lebih jelas, tegas, dan
kuat.
Daftar Pustaka
Anwar, D. F. (2018). Indonesia’s Vision of Regional Order in East Asia amid U.S.-China
Rivalry: Continuity and Change. Asia Policy, 25(2), 57–63.
https://doi.org/10.1353/asp.2018.0024
Anwar, D. F. (2020). Indonesia and the ASEAN outlook on the Indo-Pacific. International
Affairs, 96(1), 111–129. https://doi.org/10.1093/ia/iiz223
Choong, W. (2019). Indonesia, ASEAN and the Return of the Indo-Pacific Strategy.
Australian Institute of International Affairs.
https://www.internationalaffairs.org.au/australianoutlook/indonesia-asean-return-
indo-pacificstrategy/#:~:text=ASEAN%E2%80%99s%20assessment%20is%20that
%20the%20Indo-Pacific%20Four%E2%80%99s%20Indo-Pacific
Hoang, T. H. (2019). ASEAN Outlook on the Indo-Pacific: Old Wine in New Bottle?
https://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2019_51.pdf
Laksmana, E. A. (2017). Pragmatic Equidistance: How Indonesia Manages its Great Power
Relations. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.2761998
Laksmana, E. A. (2021, August 26). Indonesia Unprepared as Great Powers Clash in Indo-
Pacific. Foreign Policy. https://foreignpolicy.com/2021/08/26/indonesia-china-us-
geopolitics/
Pedrason, R. (2020). Analisis Kebijakan Keamanan Indonesia di Tengah Persaingan China
dan Amerika Serikat di Laut Cina Selatan. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 4(2).
Singh, B., & Tsjeng, H. Z. (2020). ASEAN Outlook on Indo-Pacific: Seizing the Narrative?
Nanyang Technological University.

Anda mungkin juga menyukai