Abstract
This paper aims to find out from the theory of Realism which has a sub-Alliance as
one of the Basic Understanding of Foreign Policy. Techniques used to analyze is a
literature review of books and journals. The results of this paper predict that the
relationship between the state of Indonesia and the United States is an alliance. Just as
Planifolia (2017) has pointed out that the efforts made by the US to the Asian region are
among others as a form of foreign policy priority to the Asia-Pacific Region. This strategy
focuses on several parts, among them the development of economic cooperation,
strengthening the alliance state. The result of this paper also found that the relationship
between Indonesia and America is indeed an alliance based on America's desire to maintain
cooperation from several fields in the Asia-Pacific region. So it can be assumed that an
alliance between Indonesia and the United States is one of the strategies of America to
maintain cooperation between other countries in the Asia-Pacific region.
Tulisan ini bertujuan untuk mencari tahu dari teori Realisme yang memiliki sub
Aliansi sebagai salahsatu dari Basic Understanding of Foreign Policy. Teknik yang
digunakan untuk menganalisa adalah berupa literature review dari buku dan jurnal. Hasil
tulisan ini memperkirakan bahwa adanya hubungan antara negara Indonesia dengan negara
Amerika Serikat adalah sebuah aliansi. Sama seperti yang telah diungkapkan oleh
Planifolia, (2017) bahwa upaya-upaya yang diterapkan oleh AS ke wilayah Asia antara lain
adalah sebagai bentuk prioritas politik luar negerinya ke Kawasan Asia-Pasifik. Strategi ini
memfokuskan pada beberapa bagian, di antaranya adalah pengembangan kerja sama
ekonomi, penguatan terhadap negara aliansi. Hasil dari tulisan ini pun menemukan bahwa
hubungan antara Indonesia dan Amerika adalah memang sebuah aliansi yang dilandasi oleh
keinginan Amerika untuk menjaga kerjasama dari beberapa bidang di kawasan Asia-
Pasifik. Sehingga dapat diasumsikan bahwa adanya hubungan aliansi antara Indonesia dan
Amerika adalah salahsatu strategi dari Amerika untuk menjaga kerjasama antara negara
lain di kawasan Asia-Pasifik.
Keywords: The Concept of Alliance, Indonesia, USA, Asia-Pasific
Kata Kunci: Konsep Aliansi, Indonesia, Amerika Serikat, Asia-Pasifik
2
INTRODUCTION
Kebijakan luar negeri adalah suatu perangkat berisi kebijaksanaan dari suatu negara
bisa berupa nilai dan sikap sebagai suatu strategi demi membimbing negara untuk mencapai
kepentingannya dalam lingkup dunia internasional. Adalah sebuah keharusan bagi setiap
negara di dunia untuk memiliki kebijakan luar negeri ini demi menjaga setiap apa yang
dilakukan oleh negara untuk memperjuangkan kepentingan negaranya tetap berada dalam
aturan internasional yang baik. Jika dilihat oleh kacamata Realisme kebijakan luar negeri ini
memiliki beberapa poin penting dalam basic understanding of foreign policy yaitu poin
aliansi, yang mana aliansi ini sangat penting dalam mengawal demi terjaganya kepentingan
nasional dari suatu negara.
Sebagaimana yang juga dilakukan oleh negara Amerika yaitu membuat hubungan
aliansi dengan banyak negara di belahan dunia. Salahsatunya adalah aliansi berupa Pivot to
Asia, dimana sebenarnya hubungan aliansi ini dilandasi kepentingan Amerika yang berupaya
mengurangi pengaruh China di Asia. Sama dengan yan telah diungkapkan oleh Reis (2014)
bahwa kebijakan ‘Pivot to Asia’ merupakan sebuah ungkapan atas strategi yang difokuskan
ke Kawasan Asia-Pasifik. Strategi tersebut berupa konsentrasi arah kebijakan luar negeri
yang merupakan kelanjutan dari kepentingan nasional AS.
THEORETICAL FRAMEWORK
Tulisan ini menggunakan teknik analisis berdasarkan sumber tulisan yang telah ada.
Analisis yang dilakukan dengan membandingkan, menghubungkan, dan menggabungkan
beberapa teori yang bersumber dari buku, jurnal, dan sumber tertulis lainnya. Tujuan dari
penulisan ini selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Perbandingan Politik Luar
Negeri, adalah untuk mengetahui konsep awal dari aliansi, dan bagaimana hubungan dengan
implikasi antara negara Indonesia dan Amerika Serikat. Tulisan ini menggunakan teori
Realisme, dimana teori ini memiliki sub aliansi di dalam salahsatu Basic Understanding of
Foreign Policy.
3
Kebijakan luar negeri juga dapat diartikan sebagai suatu strategi yang digunakan oleh
pemerintah untuk membimbing tindakan mereka di arena internasional. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa kebijakan luar negeri adalah suatu perangkat berisi kebijaksanaan dari
suatu negara bisa berupa nilai dan sikap sebagai suatu strategi demi membimbing negara
untuk mencapai kepentingannya dalam lingkup dunia internasional.
Kebijakan hubungan luar negeri atau luar negeri, terdiri dari strategi kepentingan
pribadi yang dipilih oleh negara untuk melindungi kepentingan nasionalnya dan untuk
mencapai tujuan di dalam lingkungan hubungan internasionalnya. Dapat dilihat dari figure 1,
bahwa dalam konsep dasarnya, kebijakan internasional memiliki beberapa faktor, dimana
didalam faktor ekstrenal terdapat poin Alliance atau aliansi. Poin aliansi menurut teori
Realisme adalah ditujukan untuk penggabungan kekuatan dari negara-negara anggotanya
menjadi satu hingga membentuk power baru yang lebih kuat.
Source: http://shodhganga.inflibnet.ac.in/bitstream/10603/27735/5/05_chapter-1.pdf
Aliansi ini timbul dari ketakutan negara lemah dan negara super power. Negara
lemah melihat tidak ada jalan lain selain membentuk aliansi untuk menyaingi kekuatan
4
militer negara super power. Aliansi berkomitmen untuk pendekatan keamanan yang luas,
yang mengakui kepentingan politik, ekonomi, sosial dan faktor lingkungan selain dimensi
pertahanan yang sangat diperlukan. Ini luas pendekatan membentuk basis bagi Aliansi untuk
menyelesaikan tugas-tugas keamanannya yang mendasar efektif, dan peningkatan upaya
untuk mengembangkan kerja sama yang efektif. Tidak terkecuali dengan negara super power,
yang juga memiliki ketakutan serupa, sehingga memandang perlunya membentuk aliansi.
Adanya security dilema diantara negara-negara menjadi motif terbesar dianggap perlunya
pembentukan aliansi oleh realisme (Anggraeni, 2014).
Pemeliharaan kemampuan militer yang memadai dan kesiapan yang jelas untuk
bertindak secara kolektif dalam pertahanan umum tetap penting bagi tujuan keamanan
Aliansi. Kemampuan seperti itu, bersama dengan solidaritas politik, tetap menjadi inti dari
kemampuan Aliansi untuk mencegah setiap upaya pemaksaan atau intimidasi, dan untuk
menjamin bahwa agresi militer yang diarahkan terhadap Aliansi tidak pernah dapat dianggap
sebagai pilihan dengan setiap prospek keberhasilan.
Pandangan Realisme itu sendiri merupakan sebuah paham atau pandangan yang
memiliki perspektif bahwa politik nternasional akan lebih berfokus pada adanya kompetisi
dan konflik. Hal ini dikarenakan tujuan utuma dari kompetisi dan konflik adalah demi
mempertahankan kelangsungan hidupnya atau survival dari suatu negara (Rachmawati,
2012). Oleh karena itu, untuk memenangkan kompetisi negara harus struggle for power.
Karena menurut Anggraeni (2014) dengan semakin tinggi power yang dimiliki suatu negara,
negara tersebut dapat eksis dalam dunia internasional. Dalam peningkatan power, masalah
utama yang menjadi sorotan realisme adalah masalah keamanan dan ketertiban internasional.
Negara-negara terlibat dalam penyeimbangan dan karenanya membentuk aliansi
terutama untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. Ini telah terbukti menjadi salah satu
cara paling efektif untuk mengurangi efek anarki. Alasan lain mengapa negara bersikeras
untuk mengadakan perjanjian dengan pihak lain adalah bahwa langkah ini mungkin dapat
meningkatkan pengaruh mereka dalam aliansi.
Walt menempatkan gagasan ini menjadi lebih ringkas: “... bergabung dengan pihak
yang lebih lemah meningkatkan pengaruh anggota baru dalam aliansi, karena pihak yang
lebih lemah memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk bantuan. Sebaliknya, beraliansi
bersama dengan sisi yang lebih kuat, memberikan pengaruh kecil pada anggota baru dan
5
membuatnya rentan terhadap keinginan mitranya. Bergabung dengan sisi yang lebih lemah
harus menjadi pilihan yang disukai, ” (Misalucha, 2010).
Adanya Quasi-alliances, dimana negara-negara kecil yang tidak terikat oleh sebuah
koalisi formal, tetapi bersama-sama bergantung kepada negara adidaya yang sama atau
kepada negara yang dianggap sebagai pelindung. Menurut Waltz (1985) dalam Maksum
(2017, para.3, p.2) dalam ada dua jenis sikap atau tindakan dari sebuah negara salam
membentuk koalisi yaitu melakukan keseimbangan (balancing) dan memilih bersekutu
dengan salahsatu negara adi daya (bandwagoning). Didalam implikasinya pun sebuah negara
cenderung memilih untuk membentuk suatu ikatan aliansi dengan negara terkuat, yang mana
semakin kukuhnya rasa dari suatu negara yang ingin bersekutu dengan negara terkuat, maka
dari segala bentuk pengambilan keputusan atau pun pembuatan kebijakan harus sesuai
dengan apa yang diinginkan negara kuat yang dialiansikan.
Berdasarkan latar belakang sejarah ASEAN, telah terlihat sebagai organisasi regional
yang lebih lemah dibandingkan dengan Uni Eropa (UE). Namun, ASEAN memiliki
kelebihan tersendiri dari bidang politik dan diplomatik daripada ekonomi dan sektor lainnya
(Maksum, n.d). dan dapat diakitkan dengan konsep aliansi di Asia Tenggara yaitu yang terdiri
dari negara kecil dan menengah lebih meluas dari konsep balancing dan bandwagoning.
Aliansi telah terbentuk antara dua atau lebih negara demi tujuan melawan musuh bersama.
Sama seperti dengan pendapat Dwivedi (2012) bahwa negara yang kuat dan lemah sama-
sama merasa perlu membentuk aliansi.
Negara-negara yang lebih lemah masuk ke dalam suatu aliansi ketika mereka
membutuhkan perlindungan terhadap negara-negara yang kuat, dan dapat dikatakan bahwa
mereka masuk ke dalam aliansi untuk alasan membela diri. Negara-negara yang merasa kuat
pun masuk ke dalam aliansi juga demi melawan negara-negara kuat lainnya, mereka masuk
ke dalam aliansi ini untuk menjaga adanya keseimbangan kekuasaan (balancing). Negara
mengharapkan sekutunya untuk membantu secara militer dan diplomatik selama masa
konflik. Komitmen yang dimasukkan oleh aliansi bisa berupa perjanjian formal atau informal
yang memiliki kemungkinan tidak adanya perjanjian di antara mereka.
Cara lain di mana negara meminimalkan efek anarki adalah menyeimbangkan melalui
aliansi. Berbeda dengan bandwagoning, aliansi dicirikan oleh keberpihakan dengan sisi yang
lebih lemah. Motivasi utama balancing adalah untuk mencegah entitas yang lebih kuat untuk
6
mendominasi yang lmah. Dalam memutuskan siapa yang akan bersekutu dengan siapa,
negara akan mempertimbangkan beberapa faktor, seperti tingkat ancaman yang akan diukur
dengan kekuatan agregat negara, kedekatan geografisnya, kekuatan ofensif, dan niat agresif
dari negara yang akan diajak beraliansi. Negara-negara juga harus mempertimbangkan untuk
apakah harus melakukan penyelarasan atau melawan kekuasaan yang memiliki kemampuan
terbesar.
Dengan cara yang sama, pembentukan aliansi melibatkan perhitungan negara dari
pembayaran dan trade-off. Dalam melakukan hal itu memerlukan identifikasi minat dan
ideologi bersama, konfigurasi politik internal, dan perundingan sebagai dasar perkiraan
manfaat, biaya, dan risiko. Ditambahkandengan faktor penentu pilihan yang dapat meliputi
tingkat ketergantungan, kepentingan strategis para pihak, tingkat kejelasan perjanjian dari
aliansi, apakah kepentingan pihak-pihak tersebut sejajar atau tidak, dan bagaimana catatan
perilaku negara yang ingin diajak beraliansi.
Pada masa lalu Amerika Serikat memperbarui motif untuk mempertahankan lima
bentuk aliansi di wilayah Asia. Fokus negara Amerika setelah tahun 2001 adalah lebih berat
pada pemberantasan terorisme. Sebagai sesuatu yang dijadikan penyeimbangnya adalah
respon terhadap Asia-Pasifik, yang mana hal ini dianggap cukup penting bagi masa depan
Amerika sebagai pemimpin yaang memiliki kekuatan yang kuat. Pada pemerintahan Obama
berasumsi bahwa wilayah akan semakin menjadi pusat gravitasi global untuk politik
internasional dan pertumbuhan ekonomi. Jika Amerika Serikat akan dapat mempengaruhi
bagaimana wilayah berkembang perlu tetap terlibat dengan dan relevan dengan beberapa
kunci negara-negara di kawasan ini.
Usaha Pivot to Asia/Rebalancing dari Amerika Serikat
Berdasarkan pernyataan resmi Amerika Serikat, ‘Pivot to Asia’ merupakan sebuah
ungkapan atas strategi yang difokuskan ke Kawasan Asia-Pasifik. Strategi tersebut berupa
konsentrasi arah kebijakan luar negeri yang merupakan kelanjutan dari kepentingan nasional
Amerika Serikat (Reis, 2014). Upaya yang diterapkan oleh Amerika Serikat adalah sebagai
bentuk prioritas politik luar negerinya ke Kawasan Asia-Pasifik. Strategi ini memfokuskan
pada beberapa bagian, di antaranya adalah pengembangan kerja sama ekonomi, penguatan
terhadap negara aliansi, jaminan keamanan bersama melalui institusi regional untuk
membantu menangani sengketa terkait batas wilayah secara damai (Planifolia, 2017).
7
CONCLUSION
Salahsatu hal yang penting bagi suatu negara adalah membuat dan memiliki adanya
sebuah kebijakan luar negeri. Kebijakan ini mengatur secara khusus dan menjaga setiap
gerak-gerik suatu negara dalam mempertahankan dan memperjuangkan hak atas kepentingan
dari bangsanya di ruang lingkup dunia internasional. Salahsatu poin penting yang
diungkapkan oleh paham Realisme dalam basic understanding of foreign policy di bagian
lingkup eksternal adalah harus adanya hubungan aliansi antara negara yang mengeluarkan
kebijakan luar negeri kepada negara lain. Realis menjelaskan bahwa ketika negara bersikeras
untuk mengadakan perjanjian aliansi dengan pihak lain adalah demi mempertahankan kelangsungan
hidupnya atau survival dari kompetisi dan konflik.
Adanya suatu hubungan aliansi antara negara yang lemah dengan negara yang kuat
akan membuat negara lemah menjadi merasa terlindungi dengan adanya kekuatan besar yang
mendukungnya. Sebaliknya bagi negara kuat yang diajak beraliansi akan merasa senang
10
karena bertambahlah rekan dalam bentuk negara yang sekaligus dapat diatur olehnya dari
kebijakan politik hingga dalam bidang-bidang lainnys yang kemudian dapat diambil
keuntungan oleh negara yang kuat tersebut. Sebagai contohnya adalah negara Amerika yang
mengeluarkan kebijakan luar negeri Pivot to Asia, dimana kebijakan ini adalah berupa
pembentukan hubungan aliansi dengan negara-negara di kawasan sekitar Asia-Pasifik,
salahsatunya adalah kawasan di Asia Tenggara. Dengan dibentuknya hubungan aliansi ini,
Amerika dapat memberikan bantuannya kepada negara-negara di kawasan ini sembari
memiliki kekuasaan khusus leluasa menyebarkan pahamnya, demi membentuk suatu
pelindung bagi negara-negara di Asia dari pengaruh negara China yang semakin bangkit.
REFERENCES
Reis, J.Arthur. (January 24, 2014). China’s Dual Response to the US ‘Pivot’. Asia Times.
Retrieved from http://www.atimes.com/atimes/China/CHIN-01-240114.html.
Diakses 7 April 2018.
Koran Sindo. (February 10, 2013). AS Tekankan Kolaborasi dan Kerja Sama. Retrieved from
https://international.sindonews.com/read/716172/42/as-tekankan-kolaborasi-dan-kerja-
Lieberthal, Kenneth G. (December 21, 2011). The American Pivot to Asia. Brookings.
Retrieved from https://www.brookings.edu/articles/the-american-pivot-to-asia/
Diakses 15 April 2018.;
Rossbach, Niklas. H. (2015). The US rebalance puts Asian alliances at Stake. NOTS – Nordic
and Transatlantic Security Studies Programme. Retrieved from https://www.foi.se/
download/18.1b4084ea15549d027d14be8/1466509556811/FOI%20Memo%205285.pdf.