Anda di halaman 1dari 27

Makalah Diplomasi

“Praktek Diplomasi Negara-negara Arab kawasan al-Hilal al-


Khashib (Irak Dan Yordania)”

Dosen :
Ginanjar Sya’ban, S.S., M.Hum.
Dr. Drs. Abu Sufyan, M.Hum.

Kelompok 6
Annisaul Karimah 180910180063
Farahdiba Nadya N 180910180097
Siti Asyaroh Febriyanti 180910180025
Fitkha Noor Amalia 180910180076
Diana Alfianjani 180910180079

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat
tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jatinangor, 22 Maret 2021


Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hubungan internasional adalah sebuah kajian ilmu politik yang menganalisis mengenai
tindakan dan kebijakan dari aktor negara dan non negara (individu, kelompok, organisasi dan
perusahaan multinasional) dalam arena lingkungan internasional untuk menyampaikan
kepentingannya masing-masing. Dinamika hubungan internasionalmengalami berbagai
perdebatan teoritik dan paradigma mulai dari perdebatan paradigma idealisme dan
realisme,paradigma realisme dan behavioralisme serta perkembangan paradigma alternatif seperti
pluralism, konstruktivisme dan critical theory.
Kajian hubungan internasional memiliki berbagai pendekatan dalam menganalisis
dinamika isu dalam arena politik internasional. Salah satu pendekatan legendaris dalam ilmu
hubungan internasional yang mengalami dinamika signifikan pasca perang dingin adalah
pendektan realisme klasik dan neorealisme. Pendekatan Realis memiliki tema Struggle for power
and security.
Hubungan internasional ditandai dengan anarki, segala cara dilakukan untuk mencapai
kepentingan nasional. Morgenthau menyatakan bahwa super power adalah fokus utama hubungan
internasional, power adalah alat untuk mencapai kepentingan nasional (national interest).
Perspektif Realis memiliki tiga asumsi dasar dalam menganalisishubungan antar negara dalam
politik internasional, yaitu:
1. Negara merupakan aktor utama dan tunggal, bahwa dalam hal ini hubungan internasional
diidentikkan dengan hubungan antar negara berdaulat, dengan demikian faktor kemanan dilihat
dalam konteks kepentingan nasional.
2. Pendekatan realisme fokus pada pendekatan politik dan kemanan yaitu dengan cara menilai
fungsi kekuasaan sebagai instrument politik luar negeri.
3. Pendekatan realisme menjelaskanadanya hirarki yang jelas dari pokok - pokok permasalahan
yang mendominasi politik internasional.Asumsi dasar pemikiran realis adalah pandangan pesimis
dan keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan akhirnya diselesaikan
melalui perang. Suatu tindakan politik akan dinilai sebagai tindakan rasional apabila dapat
mendekatkan pelaku politik pada tujuannya. Sikap yang terbaik adalah sikap yang pragmatis,
kompromis dan saling menerima (John Baylis. 2001; Hlm 172-176). Untuk memperjuangkan
kepentingannya, maka setiap negara akan memaksimalkan segala potensi yang ada dengan
pengembangan kekuatan nasionalnya untuk mendapatkan dan mencapai kepentingan nasionalnya.
Perspektif realisme menjelaskan negara adalah aktor tunggal dan rasional dalam politik
internasional. Pendekatan realisme memiliki anggapan dasar bahwa eksistensi negara bangsa
dianalisis dari perilaku Negara bangsa tersebut, dengan asumsi bahwa semua pembuat keputusan,
dimanapun berada, pada dasarnya berperilaku sama apabila menghadapisituasi yang sama. Jadi,
untuk menganalisis manuver diplomatik dan tindakan-tindakan diplomatik lain dilihat sebagai
akibat dari tekanan-tekanan politik, ideologi, opini publik atau kebutuhan ekonomi dan sosial
dalam negeri (Mochtar Masóed; 1990. Hlm 45). Oleh karena itu, kondisi dalam negeri sebuah
negara akan menentukan kebijakan luar negeri yang akan dicapai melalui jalur diplomasi secara
damai tersebut.
Menurut Sir Earnest Satow dalam bukunya Guide to Diplomatic Practice mengatakan bahwa
diplomasi merupakan penerapan kepandaian dan taktik pada pelaksanaan hubungan resmi antara
pemerintah dengan negara-negara berdaulat (Sir Earnest Satow. 1995. Hlm 2). Selain itu
pandangan ahli mengenai diplomasi, yaitu
”Diplomasi pada dasarnya adalah usaha untuk meyakinkan pihak lainatau negara lain untuk dapat
memahami dan membenarkan pandangan kita dan jika mungkin mendukung andangan kita itu,
tanpa perlu menggunakan kekerasan” (Hasyim Djalal: 1990.Hlm 30).
Menurut KM Panikkar dalam bukunya yang berjudul The Principle Of Diplomacy, maka
diplomasi dalam hubungannya dengan politik internasional merupakan seni dalam
mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain (SL.Roy.2001.
Hlm 21), yang dalam hal inimerupakan kepentingan nasional suatu negara dalam dunia
internasional, namun oleh sebagian pandangan diplomasi lebih menekankan terhadap negosiasi–
negosiasi perjanjian atau sebagai posisi tawar-menawar dengan negara lain.Diplomasi sangat erat
dengan penyelesaian permasalahan– permasalahan yang dilakukan dengan cara–cara damai, tetapi
apabila cara–cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengizinkan
penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan– tujuannya (RW,
Sterling: 233). Sehingga dapat dikatakan bahwa perang juga merupakan salah satu sarana dalam
diplomasi di dunia internasional. S.L. Roy, mengkaji hal-hal penting yang terdapat dalam berbagai
definisi mengenai diplomasi. Menurutnya dari definisi- definisi tersebut beberapa hal tampak jelas,
bahwa:
1. Unsur pokok diplomasi adalah negoisasi,
2. Negoisasi dilakukan untuk mengedepankan kepentingan negara,
3. Tindakan-tindakan diplomatic diambil untuk menjaga serta memajukan kepentingan nasional
sejauh mungkin dan dilaksanakan secara damai, pemeliharaan perdamaian dengan tanpa merusak
kepentingan nasional merupakan tujuan utama diplomasi,
4. Teknik-teknik diplomasi yang sering dipakai untuk mempersiapkan perang bukan untuk
menghasilkan perdamaian,5. Diplomasi berhubungan eratdengan tujuan politik luar negeri suatu
negara,
6. Diplomasi modern berhubungan erat dengan sistem negara,
7. Diplomasi tidak bisa dipisahkan dari perwakilan negara (SL. Roy.1995. Hlm 4).
Tujuan diplomasi bagi setiap negara adalah pengamanan kepentingan nasional, kebebasan
politik dan integritas territorial. Menurut Kautilya tujuan utama diplomasi adalah menjamin
keuntungan maksimum Negara sendiri, dan kepentingan terdepan tampaknya adalah pemeliharaan
keamanan. Fungsi utama dari pelaksanaan diplomasi adalah negosiasi dan ruang lingkup diplomasi
adalah meyelesaikan perbedaan- perbedaan dan menjamin kepentingan-kepentingan Negara
melalui negosiasi yang sukses, apabila negosiasi gagal perang merupakan bagian dari sarana
diplomasi. Selain itu terdapat tiga caradasar dalam pelaksanaan diplomasi suatu negara yaitu
kerjasama, persuaian dan pertentangan. Sehingga dalam proses diplomasi suatu Negara pasti akan
menjalankan tiga pelaksanaan diplomasi tersebut. Fungsi utama dari pelaksanaan diplomasi adalah
negosiasi dan ruang lingkup diplomasi adalah meyelesaikan perbedaan-perbedaan dan menjamin
kepentingan-kepentingan negara melalui negosiasi yang sukses, apabila negosiasigagal perang
merupakan bagian dari sarana diplomasi. Selain itu terdapat tiga cara dasar dalam pelaksanaan
diplomasi suatu negara yaitu kerjasama, persuaian dan pertentangan (SL. Roy. 1995. Hlm 4).
Sehingga dalam proses diplomasi suatu Negara pasti akan menjalankan tiga pelaksanaan diplomasi
tersebut.
Hilal Subur, atau dinamakan juga Bulan Sabit Subur, yaitu suatu kawasan ada wujud bulan
sabit yang mengandung tanah basah dan subur di antara tanah gersang atau semigersang di Asia
Barat, dan di lembah sungai Nil serta delta sungai Nil di Afrika Timur Laut. Istilah "Hilal Subur"
dicetuskan oleh arkeolog Universitas Chicago, James Henry Breasted, dalam karyanya Ancient
Records of Egypt, diterbitkan tahun 1906.[1][2] Kawasan tersebut beliau sebut demikian karena
tanahnya yang subur dan wujudnya mirip hilal. Istilah itu mulanya dipakai dalam studi sejarah
lawas, sekarang pemikirannya mengembang dalam ruang lingkup geopolitik dan hubungan
diplomatis.
Dalam penggunaan masa sekarang, istilah Hilal Subur ada jangkauan minimum dan
maksimum. Dalam bermacam ciri utama, istilah itu mencakup Mesopotamia, kawasan di dalam
dan sekeliling sungai Tigris dan Efrat. Beberapa agung kawasan ini yaitu wilayah negara Iraq,
dengan beberapa kecil wilayah Iran di tidak jauh Teluk Persia, Kuwait di selatan, dan Turki di
utara. Secara khusus, Hilal Subur juga mencakup pesisir Levant di Laut Tengah, dengan Suriah,
Yordania, Israel, Lebanon dan Tepi Barat. Sumber cairan meliputi sungai Yordan. Dalam
jangkauan terluasnya, Hilal Subur juga mencakup Mesir dan lembah sungai Nil beserta deltanya.
Batas sebelah dalam ditandai oleh iklim gurun Suriah yang kering di selatan. Di sekeliling batas
sebelah luar ditandai dengan tanah kering atau semi-kering di utara tidak jauh Kaukasus, dataran
tinggi Anatolia di sebelah barat laut, dan gurun Sahara di barat.
Kawasan ini sering dinamakan maulid peradaban karena banyak terjadi perkembangan
peradaban awal umat manusia di sana. Beberapa penemuan di lokasi tersebut meliputi, aksara,
kaca, dan roda. Peradaban barat terawal muncul dan bertumbuh memakai cairan dan sumber
kekuatan pertanian yang tersedia di Hilal Subur. Tetapi, peradaban-peradaban tersebut tak semata-
mata yang pertama dan sumber satu-satunya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana praktik diplomasi yang dilakukan oleh Yordania?
2. Bagaimana praktik diplomasi yang dilakukan oleh Irak?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Agar dapat mengetahui dan memahami praktik diplomasi Irak


2. Agar dapat mengetahui dan memahami praktik diplomasi Yordania
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Diplomasi Yordania


Negara Yordania adalah sebuah kerajaan di Tepi Barat Sungai Yordan. Negara ini
berbatasan dengan Arab Saudi di timur dan tenggara, Irak di timur-laut, Suriah di utara dan Tepi
Barat dan Israel di barat, berbagi kekuasaan atas Laut Mati. Satu-satunya pelabuhan Yordania
adalah di ujung barat-daya, di Teluk Aqaba, yang sebagiannya juga dikuasai oleh Israel, Mesir,
dan Arab Saudi. Lebih dari separuh Yordania diliputi oleh Gurun Arab. Tetapi, bagian barat
Yordania berupa hutan dan lahan layak tanam. Yordania adalah bagian dari Bulan Sabit Subur.
Ibu kota dan pusat pemerintahannya adalah Amman dengan Queen Alia Airport sebagai
bandaranya.
Yordania memiliki luas wilayah sebesar 89.342 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 10
juta jiwa, dan jumlah terbanyak berasal dari pengungsi daerah-daerah tetangga yang bergolak
seperti Palestina, Lybia, Iran, Irak dan sebagainya. Yordania menerima arus pengungsi Palestina
selama lebih dari 3 dasawarsa, menjadikannya sebagai salah satu penampung pengungsi terbesar
dunia. Negara yang miskin bahan tambang ini mengimpor minyak bumi dari negara-negara
tetangga. Mayoritas Penduduk Yordania adalah etnis Arab yaitu sebanyak 98% sedangkan agama
resmi Yordania adalah agama Islam, sebanyak 97,2% penduduk Yordania memeluk agama Islam
terutama Islam Sunni. Bahasa resmi Yordania adalah bahasa Arab. Negara ini cukup unik dengan
perpaduan kebudayaan kuno dan modern. Daerah ini juga banyak disebutkan dalam sejarah
Alkitab, seperti Edom, Moab, Ammon, Gilead, Gad dan Peraea.
Yordania didirikan pada tahun 1921, dan diakui oleh Liga Bangsa-Bangsa sebagai sebuah
negara di bawah mandat Britania pada tahun 1922 yang dikenal sebagai Emirat Transyordania.
Pada tahun 1946, Yordan menggabungi Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai negara merdeka yang
secara resmi dikenal sebagai Kerajaan Hasyimiyah Yordania.
Pada zaman dahulu, wilayah yang kini bernama Yordania merupakan jantung peradaban
kuno yang diuntungkan oleh letak geografisnya di kawasan Bulan Sabit Subur yang meliputi
Babilonia dan Kanaan. Kemudian, Yordania menjadi rumah bagi beberapa kerajaan kuno meliputi:
Kerajaan Edom, Moab, Ammon, dan kerajaan Nabath yang menonjol: Petra. Tetapi, melintasi
berbagai era sejarah yang berbeda-beda, sebagian wilayah negara ini menjadi berada di bawah
kendali beberapa kekuatan tetangga, seperti Mesir Kuno pada masa peperangannya dengan
Babilonia dan Hittit; dan pada beberapa peride yang berlainan oleh Israel yang diambil pada masa
penahanan Babilonia, dan yang kemudian dikalahkan oleh Bani Moab seperti yang tertulis dalam
Batu Moab. Lebih jauhnya, dan karena lokasinya yang strategis di pertengahan dunia kuno,
Yordania juga di bawah kendali kekaisaran-kekaisaran kuno Yunani, Persia, Romawi, dan yang
berikutnya oleh Byzantium.
Pada abad ke-7, dan karena kedekatannya dengan Damaskus, Yordania menjadi salah satu
ranah penting bagi Kekhalifahan Islam-Arab dan oleh karenanya pula mengamankan beberapa
abad kestabilan dan kemakmuran, yang mengizinkan bergulirnya identitas Arab Islam terkini.
Pada abad ke-11, Yordania menyaksikan sebuah fase ketidakstabilan, sebab ia menjadi salah satu
zona inti Perang Salib yang berujung pada kekalahan oleh Dinasti Ayyubiyah. Yordania juga
menderita akibat serangan Mongol yang dihalang-halangi oleh Mamluk. Pada tahun 1516,
Yordania menjadi bagian dari Kesultanan Utsmaniyah dan tetap dalam keadaan demikian hingga
tahun 1918, ketika Angkatan Darat Pemberontak Arab Raya mengambil alih, dan mengamankan
Yordania terkini atas bantuan dan dukungan suku-suku Yordania setempat.
Sebagai saksi bagi kekayaan sejarah Yordania, peradaban Nabath meninggalkan banyak
situs arkeologi yang besar di Petra, yang dianggap sebagai salah satu Tujuh Keajaiban Dunia Baru
juga telah diakui oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO)
sebagai Situs Warisan Dunia. Selain Petra, peradaban-peradaban lain juga meninggalkan jejak
arkeologinya di Yordania seperti Hellenistik dan Romawi melalui reruntuhan di kota-kota
Dekapolis: Jerash, Umm Qais, Amman, Kapitolias (Beit Ras), Rafana, Pella, dan Irbid dan situs
Bizantium Umm ar-Rasas (sebuah Situs Warisan Dunia). Kekhalifahan Islam-Arab juga
meninggalkan jejak arsitektur yang unik yang terwujud dalam istana-istana gurun di antaranya
Qasr Mshatta, Qasr al Hallabat, dan Qasr Amra yang diakui sebagai Situs Warisan Dunia; selain
itu kastil Ajloun dan Al Karak yang memadukan era Perang Salib, Dinasti Ayyubiyah, dan
Mamluk. Yang terakhir Kesultanan Utsmaniyah meninggalkan beberapa ciri kota, seperti masjid,
kuburan, stasiun kereta api, dan kastil.
Sebagian besar wilayah Yordania modern telah berciri perkotaan. Yordania digolongkan
sebagai negara dengan tingkat "pembangunan manusia" yang tinggi menurut Laporan
Pembangunan Manusia tahun 2010. Lebih jauh lagi, Yordania juga digolongkan sebagai pasar
yang sedang tumbuh dengan sebuah ekonomi pasar yang bebas menurut CIA World Factbook.
Yordania juga dipandang sebagai sebuah ekonomi "berpendepatan menengah-atas". Perjanjian
perdagangan bebas dengan Amerika Serikat berlaku sejak bulan Desember 2001 menghapus
segala pungutan untuk hampir semua komoditas di antara kedua negara. Yordania juga menikmati
"status maju/terdepan" dengan Uni Eropa sejak bulan Desember 2010 juga menjadi anggota
kawasan perdagangan bebas Eropa-Timur Tengah. Yordania mengikuti lebih banyak perjanjian
perdagangan bebas daripada negara lain di Kawasan ini. Yordania memiliki kebijakan "pro-Barat"
dengan hubungan yang sangat akrab dengan Amerika Serikat dan Britania Raya, dan menjadi
sekutu utama (yang bukan anggota NATO) Amerika Serikat sejak tahun 1996.
Yordania adalah salah satu negara pendiri Liga Arab, dan Organisasi Kerja Sama Islam
(OKI). Baru-baru ini, Yordania telah diundang untuk menggabungi Dewan Kerja sama Teluk
(GCC). Pemerintah Yordania adalah satu di antara tiga anggota 22 negara Liga Arab yang menjalin
hubungan diplomatik dengan Israel, dua lainnya adalah Pemerintah Mesir dan Pemerintah
Palestina.
Yordania sendiri bersahabat dengan siapa saja. Mulai dari tetangganya yang paling dekat
secara geografis dan kultural, yakni Arab Saudi, yang menjadi muasal Bani Hasyim yang
keturunannya adalah pendiri kerajaan Yordania, sampai menjalin hubungan diplomatik dengan
Israel yang mungkin tak populer di mata dunia Islam namun posisi ini malah membuat aspirasi
merdeka Palestina tetap hidup senyata-nyatanya.

2.2 Diplomasi Irak


Sejak 1980, hubungan luar negeri Irak dipengaruhi oleh sejumlah keputusan kontroversial
oleh pemerintahan Saddam Hussein. Hussein memiliki hubungan baik dengan Uni Soviet dan
sejumlah negara barat seperti Prancis dan Jerman, yang memberinya sistem persenjataan canggih.
Dia juga mengembangkan hubungan yang lemah dengan Amerika Serikat, yang mendukungnya
selama Perang Iran-Irak. Namun, Invasi Kuwait yang memicu Perang Teluk secara brutal
mengubah hubungan Irak dengan Dunia Arab dan Barat. Mesir, Arab Saudi, Suriah dan lainnya
termasuk di antara negara-negara yang mendukung Kuwait dalam koalisi PBB. Setelah
pemerintahan Hussein digulingkan oleh invasi Irak tahun 2003, pemerintah yang
menggantikannya kini mencoba menjalin hubungan dengan berbagai bangsa.
Pada tahun 1920, Liga Bangsa-Bangsa Internasional (LN) menugaskan sebagian dari
Kekaisaran Ottoman kepada para pemenang, menempatkan Mesopotamia di bawah pemerintahan
Inggris. Pengaturan ini, yang disebut mandat, berarti bahwa Inggris akan membentuk pemerintah
Arab yang bertanggung jawab di wilayah tersebut sesuai dengan jadwal yang disetujui liga. Sejak
berdirinya negara itu, faktor terpenting yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Irak adalah
pengaruh kekuatan asing, masalah minyak, masalah akses ke laut dan masalah perbatasan dengan
tetangganya, persenjataan, komposisi etnis dan agama di negara itu. populasi negara dan ideologi
Baath. Dampak faktor-faktor ini berfluktuasi sepanjang sejarah negara, tetapi dampaknya terhadap
kebijakan luar negeri tidak dapat disangkal.
1945, Irak menjadi anggota pendiri Liga Arab, yang meliputi Mesir, Transyordania,
Lebanon, Arab Saudi, Suriah, dan Yaman. Pada periode ini masalah terpenting yang dihadapi Irak
dalam kebijakan luar negerinya adalah pengaruh Inggris. Di dalam negeri, Faisal dan penerusnya
berusaha mengamankan pembentukan aparatur negara yang layak di negara tersebut. Kendala
utama dalam masalah ini adalah ketidakcocokan penduduk negara. Faisal tidak memiliki dukungan
populer yang kuat di negara itu dan membutuhkan dukungan militer Inggris untuk
mempertahankan kekuasaannya. Pada saat yang sama dia mencoba menggunakan pengertian anti-
Inggris di kalangan publik untuk mendapatkan dukungan rakyat.
Selama bagian awal Perang Dunia II, pemerintah Irak sangat pro-Inggris, namun nasionalis
Irak, dan Rashid Ali Al-Gaylani menggantikan Nuri as-Said sebagai perdana menteri. Perdana
menteri baru mencari hubungan dekat dengan Nazi Jerman dengan harapan bisa membebaskan
Irak dari Inggris Pada tahun 1941, Gaylani menunjuk kabinet sipil ultranasionalis, yang hanya
memberikan persetujuan bersyarat atas permintaan Inggris pada bulan April 1941 untuk
pendaratan pasukan di Irak. Inggris dengan cepat membalas oleh pasukan pendaratan di Basrah
pada 19 April, membenarkan pendudukan kedua di Irak ini dengan mengutip pelanggaran Gaylani
terhadap Perjanjian Anglo-Irak tahun 1930. Gaylani dan pemerintahannya melarikan diri ke Iran
dalam perjalanan ke Jerman, sebagai tamu dari Fuehrer. Di Irak, pemerintah baru pro-Inggris
didirikan.
Monarki Hasyim digulingkan pada tahun 1958. Di bawah kepemimpinan Abdul Karim
Qassem dan Kolonel Abdul Salam Arif, Irak diproklamasikan sebagai sebuah republik, dan Uni
Arab dibubarkan. Aktivitas Irak di Pakta Baghdad berhenti. Pada tahun 1959, Qassem mengakhiri
keanggotaan Irak dalam Pakta Baghdad. Antara 1958-59 beberapa upaya pembunuhan tidak
berhasil dilakukan terhadap Qassem. Di antara regu pembunuh yang gagal adalah Saddam
Hussein. Selama tahun 1950-an ada gelombang kuat Arabisme dan anti-kolonialisme di seluruh
Timur Tengah dan kudeta tahun 1958 terjadi di atmosfer ini. Setelah kudeta, Irak menjadi sebuah
republik dan perubahan penting dalam kebijakan luar negerinya telah muncul. Kekuasaan Qassem
berlanjut hingga kudeta 1963 dan dalam periode ini kebijakan luar negeri Irak menimbulkan
keprihatinan besar di Inggris dan di dunia Arab. Masalah dengan Kuwait merupakan contoh
penting di sini. Pada tahun 1961, Kuwait memperoleh kemerdekaannya dari Inggris. Qassem
segera mengklaim kedaulatan atasnya, mengklaim Emirat sebagai bagian asli dari provinsi Basrah
Ottoman. Inggris bereaksi keras pada tahun 1963 dan Irak mengakui kedaulatan dan perbatasan
Kuwait.
Setelah Qassem dibunuh pada tahun 1963, ketika anggota Partai Sosialis Arab Ba'ath
mengambil alih kekuasaan; di bawah kepemimpinan Ahmed Hasan al-Bakr. Antara 1963-1967
urusan luar negeri Irak itu sangat tidak stabil karena kudeta dan kudeta balasan. Kebijakan umum
Irak selama tahun-tahun ini adalah salah satu dari Nasional Arab. Irak berada di atas pasukan Arab
lainnya selama perang Arab-Israel 1967, dan dalam perang pembebasan 1973, memberikan
bantuan material ke Suriah. Irak sangat menentang gencatan senjata
Perselisihan antara Iran dan Irak yang menyebabkan perang pada tahun 1980 memiliki
asal-usul sejarah, teritorial, dan ideologis. Masalah antara negara-negara ini adalah dominasi Teluk
dan Tigris dan Lembah Efrat yang kaya di utara. (Marr, 1985, 291) Irak, dengan teritorial, ekonomi
dan sumber daya manusia adalah pemain utama di Teluk dan merupakan calon kekuatan dominan
di wilayah tersebut. Dalam hal ini, saingan utama Irak adalah Iran dan hubungan antara kedua
negara ini penuh dengan aspek perjuangan ini. (Smolansky & Smolansky, 1991,158) Persaingan
antara dua negara yang ditandai dengan penguasaan atas sungai Shatt al-Arab. 1 Hubungan Irak
dengan Iran juga di bawah pengaruh beberapa faktor seperti persaingan ideologis antara kedua
negara ini, persaingan untuk menguasai di Teluk, dan karakteristik etnis dan denominasi dari
populasi negara-negara tersebut. Perebutan dominasi di Teluk adalah sumber persaingan abadi,
tetapi setelah Revolusi Iran perbedaan ideologis juga mendominasi jalannya hubungan antara
Iran dan Irak. Persaingan ini menyebabkan perang Iran-Irak yang berlangsung selama delapan
tahun.
Setelah pembubaran Kekaisaran Ottoman, karena masalah perbatasan, Iran tidak mengakui
Irak sampai tahun 1929. Argumen Iran terkonsentrasi pada dua masalah utama: Pertama, Irak
menggunakan sebagian besar pendapatan yang diperoleh dari kapal yang menggunakan sungai
untuk keuntungannya sendiri daripada untuk keuntungannya sendiri. layanan pemeliharaan di
sungai; batas sungai kedua biasanya ditentukan oleh jalur thalweg. (Day, 1987,236) Irak dan Iran
mengajukan permohonan ke LN untuk penyelesaian sengketa. Argumen utama Irak adalah bahwa
Iran mendirikan pos-pos keamanan di wilayah Irak, memotong air kota-kota Irak melalui
pembangunan bendungan dan mengganggu navigasi di Shatt al-Arab, semuanya dengan tegas
melanggar argumen sebelumnya. (Cusimano, 1992,93) Argumen balasan Iran adalah bahwa
perjanjian yang diklaim Irak berhasil, tidak mengikat. Iran tidak pernah secara resmi mengakui
perjanjian sebelumnya dan perjanjian ini tidak memiliki persetujuan bersama. (Cusimano,
1992,93) Pada 4 Juli 1937 Iran dan Irak menandatangani perjanjian di Teheran dan mencapai
kompromi di Shatt alArab. Perjanjian tersebut sebagian besar merupakan hasil dari kebutuhan
pengaturan keamanan kolektif antara Iran, Irak, Turki dan Afghanistan terhadap ancaman yang
meningkat dari Uni Soviet. Perjanjian perbatasan antara Iran dan Irak ditandatangani tepat sebelum
pengaturan keamanan Pakta Sadabad.
(Arı, 1999,111) Tapi, hanya setelah dua tahun penandatanganan perjanjian, Perang Dunia
II pecah. Persepsi dua negara tentang Shatt al-Arab berubah. Kedua negara ini berada di bawah
pendudukan selama perang. Setelah berakhirnya Perang, ada struktur politik yang tidak stabil baik
di Iran dan Irak dan juga perselisihan tentang sungai. Pendirian Pakta Baghdad pada tahun 1955
menghasilkan kondisi yang menguntungkan untuk pemecahan masalah. Namun harapan tersebut
tidak bertahan lama. Penggulingan monarki di Irak mengubah situasi secara dramatis dan isu Shatt
al-Arab kembali menjadi agenda.
Pada tahun 1958 Irak secara sepihak memperluas perairan teritorialnya menjadi 12 mil.
Iran menuntut penggambaran ulang perbatasan di sepanjang Shatt al-Arab menggunakan prinsip
Thalweg. Irak menanggapi dengan mengklaim kedaulatan penuh atas seluruh sungai tanpa
pengecualian apa pun. (Cusimano, 1992,93) Pada akhir 1960-an, Inggris menyatakan akan
menarik unit militer Inggris di timur Suez. Iran ingin mengisi kekosongan kekuasaan ini. Dalam
hal ini, Iran berupaya bekerja sama dengan negara-negara Arab konservatif di kawasan dalam
masalah keamanan menghadapi ancaman Uni Soviet dan gerakan revolusioner Irak dan Yaman
Selatan. (Hünseler, 1984,18) Hubungan dengan Iran memburuk dengan cepat di awal tahun 70-an.
Sehubungan dengan tujuan Iran untuk supremasi, faktor-faktor seperti kudeta Baath di Irak pada
tahun 1968 dan klaim kedaulatan penuh atas Shatt al-Arab oleh rezim Baath ini mempengaruhi
kebijakan Iran dan pada tahun 1969 Iran mengecam perjanjian Irak-Iran tahun 1937. Pasokan
senjata Iran kepada pemimpin Kurdi, Mustafa Al- Barzani, memicu situasi Kurdi yang sedang
berlangsung, yang pertama kali muncul dalam pemberontakan Kurdi tahun 1961. Pemerintah Iran
berkali-kali menggunakan kartu Kurdi melawan Irak dengan mendukung gerilyawan Kurdi.
Menanggapi hal ini, Irak mencoba memprovokasi orang-orang Arab yang tinggal di provinsi
Khuzestan di Iran untuk melawan pemerintah Iran. Masalah diperparah oleh sengketa perbatasan
dengan Iran. Pada tahun 1971, Iran menduduki tiga pulau yang secara strategis penting di Teluk
Persia untuk mengamankan lebih banyak kendali atas jalur air tersebut. Pulau-pulau ini berada di
bawah kendali emirat Sharjah dan Ras al Hayma. Tapi, pendudukan pulau-pulau ini oleh Iran
bertentangan dengan kepentingan nasional Irak. Menanggapi pendudukan ini, Irak memutuskan
hubungan diplomatik dengan Iran. (Cusimano, 1992,93)
Pada bulan Desember 1974 dua pesawat Irak ditembak jatuh di atas daerah pemukiman
Kurdi di sekitar perbatasan Iran oleh rudal buatan AS. Irak menuduh Iran dan AS melakukan
intervensi dalam urusan internalnya. (Smolansky & Smolansky, 1991, 162) Pembicaraan rahasia
antara Menteri Luar Negeri Irak dan Iran di Istanbul pada Januari 1975 gagal mencegah pecahnya
bentrokan lebih lanjut di bulan Februari. Selama pertemuan Organisasi Negara Pengekspor
Minyak (OPEC) di Algiers pada Maret 1975, dua pihak mencapai kesepakatan tentang konflik
antara keduanya negara. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan negara tersebut dapat
disebutkan sebagai berikut: Iran ingin membatasi pengaruh Soviet di Timur Tengah dan menekan
Israel untuk memperkuat pengaruh OPEC. Irak juga ingin melihat OPEC lebih bersatu dan untuk
memutuskan pengasingannya yang tidak dideklarasikan dari dunia Arab sambil membiarkan
hubungannya dengan Uni Soviet hilang. (Fisher, 1997,505) Pada 13 Juni 1975 Iran dan Irak
menandatangani perjanjian di Baghdad. Poin utama dari perjanjian itu adalah yang mengakui
thalweg sebagai perbatasan di Shatt el-Arab, melegalkan pembatalan perjanjian tahun 1937 oleh
Shah pada tahun 1969, dan mencabut semua klaim Irak atas Khuzestan dan pulau-pulau di kaki
Teluk. Sebagai imbalannya, Shah setuju untuk mencegah elemen subversif melintasi perbatasan,
kemudian Iran menarik bantuan dari pemberontakan Kurdi di Irak Utara dan secara efektif
menghentikannya. Namun pada akhir 1977, orang Kurdi diberi otonomi yang lebih besar dan
bahasa Kurdi diakui sebagai bahasa resmi.
Setelah Perjanjian 1975, Irak meningkatkan pembelian senjata dari Soviet dan Prancis. Irak
menjadi tuan rumah KTT Liga Arab 1978 dan meningkatkan prestise melawan Mesir. Ketika
Mesir menandatangani Perjanjian Camp David dengan Israel, Irak ingin mengisi kekosongan yang
ditinggalkan Mesir dalam kepemimpinan di negara-negara Arab. Kejatuhan Shah di Iran juga
meningkatkan peluang Saddam untuk mewujudkan tujuannya. (Arı, 1999,190) Irak mengirim
telegram ucapan selamat kepada Ayatollah pada 13 Februari,
1979. Iran tidak menjawab isyarat Irak ini dan hubungan antara kedua negara kembali memburuk
pada pertengahan 1979. Iran memperbarui klaimnya atas Bahrain dan mendesak orang-orang
Syiah di kawasan Teluk untuk memberontak melawan penguasa mereka. Irak, dengan populasi
Syiah yang besar tidak senang dengan perkembangan ini. Pada Juli 1979 presiden, Ahmed Hasan
Al-Bakr, digantikan oleh Saddam Hussein, wakil presidennya. Pada bulan Oktober 1979 Irak
memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran dan mencap revolusi sebagai 'non-Islam'. (Timur
Tengah, 2000, 128) Pada 17 September 1980 Saddam mendeklarasikan Perjanjian Algiers batal
demi hukum, mengklaim seluruh Shatt el-Arab kembali ke Irak. Lima hari kemudian Perang Iran-
Irak dimulai pada 22 September 1980.
Pertama, pasukan Irak maju ke depan Iran sepanjang 300 mil. Tiga hari setelah pecahnya
perang, Irak menetapkan persyaratan untuk gencatan senjata bahwa Iran harus mengakui
kedaulatan Irak atas wilayah perbatasan, menghormati dan mengakui kedaulatan Irak dan 'hak-hak
yang sah' di Shatt al-Arab dan kembali ke kepemilikan Arab. dari tiga pulau yang diduduki di
Teluk. (Day, 1987, 238) Pada bulan April 1982, ketika gelombang perang berbalik melawan Irak,
Suriah menutup pipa Irak ke Mediterania, dan tampaknya Irak akan dicekik secara ekonomi
sebelum dikalahkan secara militer. Negara-negara Arab lainnya datang untuk menyelamatkan.
Menariknya, Irak memiliki salah satu pemerintah yang tidak menyenangkan di Teluk dan telah
menunjukkan permusuhan terus-menerus terhadap monarki di Teluk, Yordania dan Arab Saudi.
Tetapi ancaman fundamentalisme Iran jauh lebih ditakuti karena kediktatoran mereka yang
didukung AS, dan karenanya negara-negara Arab yang konservatif tidak dapat membiarkan Irak
dikalahkan. Kuwait mulai membawa minyak Irak. Ketika Iran memperingatkannya untuk
menyerang kapal tanker minyak, Kuwait membujuk AS untuk menawarkan perlindungan kepada
armada minyak Kuwait, dan kemudian AS mulai berpatroli di Teluk untuk "melindungi" mereka.
Pada bulan April 1988 sebuah fregat Amerika ditabrak oleh ranjau Iran. Sebagai tanggapan "a",
AS menenggelamkan enam kapal perang Iran dan menghancurkan dua anjungan minyak Iran.
Dalam percepatan 1988 Iran mengambil 1000 km persegi wilayah termasuk bendungan utama
Irak, menangkap lebih dari 4000 tentara Irak, mendukung Kurdi untuk pemberontakan. (Brogan,
1998: 291, 292) Pada tanggal 16 Maret 1988, Saddam mengatur genosida, dengan menyerang
Halabja, sebuah desa yang didominasi Kurdi Irak di timur laut Irak dekat garis depan dengan Iran,
dengan gas mustard dan zat saraf. Sebelum perang berakhir, Irak memulihkan semua wilayah yang
diserang oleh Iran dan mendapat kemenangan perang terbesar.
Pada akhirnya, kedua belah pihak menerima gencatan senjata hampir pada posisi yang
sama sebelum perang. DK PBB mengeluarkan resolusi 598 pada 20 Juli 1988. Resolusi ini
mendesak gencatan senjata segera dalam perang Iran-Irak, penarikan semua pasukan ke perbatasan
yang diakui secara internasional, dan kerjasama Iran dan Irak dalam upaya mediasi untuk
mencapai penyelesaian perdamaian. Kedua belah pihak menerima solusi tersebut, tetapi tidak
dapat menyetujui penerapan syarat-syarat Resolusi 598. Penyelesaian masalah antara Iran dan Irak
menunggu hingga tahun 1990. Pada tanggal 16 Agustus 1990, Saddam, untuk persiapan invasi ke
Kuwait, mengupayakan perdamaian formal segera dengan Iran dengan menerima hampir semua
kondisi yang dikejar Iran sejak deklarasi gencatan senjata pada Agustus 1988.
Ada sejumlah alasan kemenangan Irak di tahun 1988. Yang pertama adalah kelelahan
perang Iran dan mungkin juga hilangnya antusiasme revolusionernya. Alasan kedua adalah bahwa
Irak, meskipun ada upaya Amerika untuk mencegah penjualan senjata ke kedua pihak, selalu dapat
memperoleh senjata dan amunisi yang dibutuhkannya. Setelah kegagalan serangan pertamanya
pada tahun 1980, rezim Baghdad memperbaiki hubungannya dengan Arab Saudi, Yordania dan
Kuwait, dan mengkonsolidasikan hubungan baiknya dengan Turki. Arab memasok uang, Eropa
menjual senjata, AS berpatroli di Teluk dan perang dimenangkan oleh Irak. (Brogan, 1998: 293)
Para pemimpin Partai Baath telah lama membenci hegemoni Iran di kawasan Teluk Persia dan
terutama membenci campur tangan Iran dalam urusan internal Irak sebelum dan sesudah Revolusi
Islam 1979. Kaum Baath percaya bahwa Iran yang melemah tidak akan mampu menimbulkan
ancaman keamanan dan tidak dapat merusak upaya Irak untuk menggunakan pengaruh regional
yang telah diblokir oleh non-Arab Iran sejak pertengahan 1960-an. Meskipun Irak gagal
mendapatkan kemenangan mudah yang diharapkan dan perang merupakan beban berat di Irak
secara politik, sosial dan ekonomi, konsekuensi paling mendalam dari perpanjangan perang adalah
pengaruhnya terhadap pola hubungan luar negeri Irak. Sementara tren ke arah moderasi
pendekatan ideologis Partai Baath terhadap urusan luar negeri terlihat jelas sebelum 1980, perang
membantu mempercepat tren ini. Perubahan terpenting terjadi pada urusan Irak dengan Uni Soviet
dan AS. Selama perang Irak menjauh dari persahabatan dekat dengan Uni Soviet yang telah
bertahan sepanjang tahun 1970-an, dan itu memulai pemulihan hubungan dengan Amerika Serikat.
Irak juga berusaha untuk bersekutu dengan Kuwait dan Arab Saudi. Penyelarasan dengan negara-
negara ini disertai dengan pendekatan Irak yang lebih moderat ke negara-negara Arab lainnya,
seperti Mesir dan Yordania, Masalah akses terbatas Irak ke Teluk selalu mendominasi hubungan
Irak dengan Kuwait. Karena pentingnya minyak dan kemampuan untuk mengekspor minyak ini
meningkat dan masalah ini menjadi masalah yang krusial bagi Irak. Jangkauan Irak ke Teluk juga
mempengaruhi hubungannya dengan Iran dan merupakan faktor yang berkontribusi dalam Perang
Iran-Irak. Masalah ini adalah salah satu alasan utama invasi Kuwait oleh Irak.
Setelah Perang Dunia I, wilayah Irak saat ini berada di bawah pendudukan Inggris. Secara
hukum, menurut Perjanjian Sevres (1920), kedaulatan Ottoman atas tanah Arab dilepaskan, tetapi
karena perjanjian ini tidak pernah meratifikasi, Irak tetap menjadi wilayah Ottoman. Tapi, dengan
Perjanjian Lausanne (1923) antara Turki dan Sekutu, Turki menolak semua klaim atas bekas
wilayah Ottoman dan mendukung pihak-pihak terkait. Sebagai kekuatan wajib, Inggris mulai
membatasi batas-batas antar negara bagian di wilayah tersebut. Dalam Perjanjian Uqair, yang
menentukan perbatasan antara Irak dan Arab Saudi, Sir Percy Cox memberi kompensasi kepada
Ibn Saud atas wilayah yang dia serahkan ke Irak dengan wilayah Kuwait. Untuk alasan ini, Cox
melanjutkan untuk menentukan perbatasan antara Irak dan Kuwait untuk kepentingan Kuwait.
(Khadduri & Ghareeb, 1997,29) Pada tahun 1932, ketika garis tahun 1913 ditegaskan kembali,
Kuwait adalah Sheikhdom yang kecil dan miskin, sementara Irak adalah negara yang merdeka dan
relatif kuat. Takut kewalahan oleh tetangganya yang kuat di utara, Kuwait berada dalam posisi
siaga untuk melindungi perbatasannya. Deskripsi lokasi perbatasan itu ambigu dan perjanjian yang
berisi kesepakatan batas tidak pernah diratifikasi oleh Irak. (Hubbel, 1992.796)
Pada tahun 1938, ada upaya di Irak untuk mencapai persatuan dengan Kuwait. Raja Ghazi
dan Perdana Menteri Nuri al-Said menekan Inggris untuk mencapai tujuan ini. (Ghanim Alnajjar,
2000, 94) Di arena diplomatik, Irak mengklaim bahwa sebagai bekas bagian dari wilayah
Utsmaniyah Basra di mana Irak telah berhasil, Kuwait harus dimasukkan ke Irak dan mengirim
ajudan-memoire tentang Kuwait kepada delegasi Inggris di LN pada 28 September 1938.
(Mendelson & Hulton, 1994,124) Untuk mencapai kesepakatan, Menteri Luar Negeri Irak,
Suwaydi, pergi ke London dan berbicara dengan Perwira Luar Negeri Inggris. Dalam diskusi ini
Suwaydi mengusulkan tiga solusi untuk masalah kontrol perbatasan: Persatuan bea cukai antara
Irak dan Kuwait, memindahkan perbatasan utara Kuwait ke selatan untuk memberikan yurisdiksi
Irak untuk menerapkan tindakan pencegahan, tindakan pencegahan gabungan oleh dua negara.
(Khadduri & Ghareeb, 1997, 48) Tetapi diskusi berakhir tanpa hasil yang konkret. Dan masalahnya
tetap tidak terselesaikan.
1954. Setahun kemudian, Inggris mengajukan rancangan perjanjian yang menyangkut
kebutuhan dan persyaratan.. Selama tahun 1954 dan 1955, Irak dan Kuwait menemukan cadangan
minyak di dekat perbatasan. Hal ini membuat wilayah perbatasan menjadi lebih penting bagi kedua
sisi. Namun, terutama karena Krisis Suez tahun 1956, kesepakatan antara para pihak terkait
masalah perbatasan tidak tercapai. Setelah krisis ini, Mesir dan Suriah mendirikan Republik Arab
Bersatu pada tahun 1958. Sebagai reaksi atas hal ini,
Pada tahun 1958, monarki Irak jatuh dan rezim baru Irak mengikuti kebijakan nasionalisme
Arab. Pada 19 Juni 1961 Kuwait merdeka dari Inggris. Jenderal Kasim, Kepala Republik Irak,
tidak mengakui kemerdekaan ini dan mengklaim pada tanggal 26 Juni, Kuwait telah menjadi
bagian dari Kekaisaran Ottoman dan akibatnya tunduk pada kedaulatan Irak dan dia mencaplok
Kuwait. (Arı, 1999,221) Pasukan Irak pindah ke wilayah perbatasan tetapi terhenti ketika Inggris
mengirim pasukan kembali ke Kuwait untuk melindungi Emirat. Liga Arab juga siap untuk
menantang klaim Irak. (Cordesman & Hashim, 1997, 184) Inggris mengirimkan pasukannya pada
tanggal 1 Juli 1961. Kemudian pasukan Inggris telah digantikan oleh tentara Liga Arab dari Arab
Saudi, Mesir, Yordania dan Suriah. (Arı,1999,221) Jenderal Kasim digulingkan pada 8 Februari
1963 dan pemerintah baru Irak menyangkal argumennya tentang Kuwait. Pada masa Presiden Arif,
hubungan antara Irak dan Kuwait membaik dan pada tanggal 4 Oktober 1963 dengan kesepakatan
Irak mengakui kedaulatan penuh Kuwait dengan batas-batasnya sebagaimana ditentukan dalam
surat Perdana Menteri Irak tanggal 10.8.1932. (Mendelson & Hulton, 1994,125) Pada tahun 1972,
Irak menekan Kuwait untuk menyewa Pulau Warbah dan Bubiyan dan menuntut dibuatnya
kesepakatan perbatasan untuk kepentingan Irak. Dalam hal ini, Irak menduduki pos perbatasan
Kuwait di Samita pada 20 Maret 1973 untuk menekan Kuwait. (Cordesman & Hashim, 1997, 184)
Irak menarik pasukannya hanya setelah penyebaran pasukan Arab Saudi di perbatasan, upaya
diplomatik Liga Arab dan sanksi ekonomi. Pada akhir 1970-an, Irak memperluas pangkalan
angkatan lautnya di Umm Kasr ke arah selatan ke wilayah yang mungkin dimiliki Kuwait. Iran
memperingatkan Kuwait untuk tidak memberikan fasilitas angkatan laut ke Irak di pulau-pulau ini
pada tahun 1984. (Schofield, 1994b, 171)
Terlepas dari masalah ini antara dua negara, Kuwait mendukung Irak selama perang Iran-
Irak. Selama perang, Kuwait memasok Irak $ 13,2 miliar. (Cordesman & Hashim, 1997, 184)
Ketakutan akan ancaman Iran membantu meyakinkan mayoritas orang Kuwait bahwa Saddam
adalah "pelindung" Teluk. Dukungan itu begitu meluas sehingga Kuwait pada saat itu dapat
dengan mudah dianggap sebagai provinsi Irak. (Ghanim Alnajjar, 2000, 95) Sebelum invasi ke
Kuwait oleh Irak, ada lima masalah hukum utama antara kedua negara: hak Kuwait atas
keberadaan yang terpisah; Klaim Irak atas pulau Warbah dan Bubiyan; jalur perbatasan yang tepat;
sengketa tentang minyak yang diekstraksi dari sisi Kuwait dari ladang minyak Rumeyla yang
melintasi perbatasan; dan perselisihan tentang kebijakan harga minyak Kuwait. (Mendelson &
Hulton, 1994,118)
Di Rumeyla, Irak menuduh Kuwait melanggar perbatasan dan mencuri minyak Irak senilai
$ 2,4 juta dan utang Irak ke Kuwait, yang sebagian besar terakumulasi selama perang Iran-Irak
harus dibebaskan. Argumen ini diangkat dalam memorandum Menteri Luar Negeri Tariq Aziz
kepada Liga Arab pada 15 Juli 1990. Untuk menekan Kuwait, Irak menempatkan dua divisi lapis
baja di perbatasannya dengan Kuwait sebelum pertemuan OPEC, di mana isu-isu ini dibahas.
(Fisher, 1997,512) Selama pertemuan di Jeddah, Irak menuntut hutang $ 10 miliar. Tetapi
Pangeran Saad menjawab bahwa mereka dapat memberikan $ 9 miliar dan pertemuan itu punah.
(Arı, 1999, 225)
Irak menginvasi Kuwait pada 2 Agustus 1990. Dewan Keamanan PBB (DK PBB) segera
mengutuk invasi ini. Resolusi 660 DK PBB menuntut agar Irak segera dan tanpa syarat menarik
semua pasukannya ke posisi di mana mereka berada pada tanggal 1 Agustus 1990. Sebaliknya,
Irak mendeklarasikan pada 28 Agustus 1990 Kuwait sebagai negara ke-19. th propinsi. Menurut
Resolusi DK PBB 678, Irak harus mengevakuasi Kuwait hingga 15 Januari 1991, jika tidak sesuai
dengan resolusi ini, kekuatan yang diperlukan akan digunakan untuk melawan Irak. Irak tidak
mematuhi resolusi tersebut dan operasi sekutu terhadapnya dimulai pada 16 Januari 1991. Operasi
ini berlanjut sampai duta besar Irak untuk PBB menyatakan bahwa mereka menerima resolusi
PBB, menolak semua klaim mereka atas Kuwait dan akan menarik diri dari Kuwait pada 27
Februari 1991 Operasi melawan Irak berakhir ketika Presiden AS Bush mendeklarasikannya pada
28 Februari 1991. (Arı, 1999, 239) Pada tahun yang sama Irak mengangkat masalah tentang batas
laut teritorial di Khawr Abdullah tetapi pada November 1994 Irak secara resmi menerima batas-
batas PBB tersebut. perbatasan dengan Kuwait yang telah dijabarkan dalam Resolusi DK PBB 687
(1991), 773 (1993), dan 883 (1993). Perjanjian ini secara resmi mengakhiri klaim sebelumnya atas
Kuwait dan Kepulauan Bubiyan dan Warbah. (CIA, 2000: "Irak")
Perang Teluk memiliki dua fase utama. Fase pertama adalah Operasi Perisai Gurun, sebuah
operasi pertahanan yang sebagian besar dilakukan oleh AS dan Arab Saudi untuk membangun
kekuatan pertahanan yang diperlukan untuk melindungi Arab Saudi, dan PBB berusaha untuk
memaksa Irak meninggalkan Kuwait melalui penggunaan sanksi ekonomi. AS kemudian
memimpin upaya PBB untuk menciptakan koalisi internasional yang luas dan membujuk PBB
untuk menetapkan batas waktu bagi Irak untuk meninggalkan Kuwait. Fase kedua yang dikenal
sebagai "Badai Gurun" adalah pertempuran untuk Kuwait (sinonimnya adalah minyak untuk AS)
ketika Irak menolak untuk menanggapi tenggat waktu PBB. Selama perang, teknologi berat dan
marah habis dan dijual ke negara-negara Teluk dan teknologi militer baru dicoba oleh kekuatan
sekutu (Chambers II, 1999: 544) Aljazair, Suriah dan Mesir mendukung Kuwait dan AS, Libya,
Yordania, Mauritania,
Selama perang Iran-Irak, hubungan Irak dengan AS dan Barat sangat indah. Saddam adalah
“alat yang sempurna” untuk digunakan melawan Revolusi Islam Iran yang dapat berkembang pesat
di seluruh Timur Tengah. Ini bisa dihentikan sumber-sumber dunia Barat yang murah dan mudah
dari Timur Tengah. Sebenarnya Bush dan pemerintahan Clinton kemudian bersikeras bahwa
mereka tidak menentang Islam tetapi ekstrimisme. Pemerintah AS telah mencatat dalam banyak
kesempatan bahwa kebijakan luar negeri Islam Iran tidak dapat didamaikan. (Moynihan, 1997: 65)
Oleh karena itu AS dan Barat mendukung Irak Saddam dengan gembira. Pada tahun 1982, AS
menyingkirkan Irak dari daftar negara pendukung terorisme. Pada bulan Desember 1983, pada saat
pemerintah AS telah mengetahui dengan jelas bahwa Irak menggunakan senjata kimia dalam
perangnya melawan Irak, AS membuat perjanjian kerja sama militer dengan Saddam. CIA
mengirim bom fragmentasi melalui sebuah perusahaan Chili ke Irak pada tahun 1984. (Gerber,
2003: 3) Bahkan pada tanggal 17 Mei 1987, ketika dua rudal Exocet Irak ditembakkan ke kapal
fregat Amerika, USS Stark, secara tidak sengaja dan 37 pelaut Amerika tewas, Irak meminta maaf
sebesar-besarnya dan Administrasi Reagan menerima alasan yang ditawarkan. Setelah perang,
hubungan baik ini juga berlanjut. Pada Maret 1990, Saddam memerintahkan agar Farzad Bazoft
yang bekerja untuk surat kabar Inggris, Observer, dihukum gantung. Eksekusi Bazoft seperti
hukuman mati Ayatollah Khomeini pada Salman Rushdie setahun sebelumnya, sangat
mempengaruhi hubungan negara dengan Barat. Protes Inggris dan demonstrasi besar-besaran
menentang Inggris diselenggarakan di Irak. (Brogan, 1998: 294) Tapi AS tetap diam; bahkan satu
bulan kemudian ketika Kongres Amerika mencoba untuk menjatuhkan sanksi perdagangan
terhadap Irak karena melanggar hak asasi manusia, Administrasi Bush menghentikan proposal
tersebut. Tepat sebelum Perang Teluk, AS membuat klaim bahwa mereka tidak akan terlibat dalam
pertemuan terkenal Saddam Hussein dengan April Glaspie, Duta Besar AS untuk Irak, pada
tanggal 25. th bulan Juli,1990. Dia berkata, “Presiden Bush adalah orang yang cerdas dan tidak
akan mengumumkan perang ekonomi di Irak. Irak harus menerima dukungan kuat dari saudara
Anda Arab dan AS tidak memiliki pendapat tentang sengketa antar-Arab seperti sengketa
perbatasan Anda dengan Kuwait, dan Menteri Luar Negeri telah mengarahkan juru bicara resmi
Amerika untuk menegaskan kembali pendirian ini ”. (Brogan, 1998: 294) Ini adalah "izin
lanjutkan" yang dibutuhkan Saddam. Namun AS "gagal" pada klaimnya untuk tidak terlibat dan
langsung menyatakan minat untuk menjaga keamanan Arab Saudi. Bahkan Presiden Bush
menyamakan agresi Irak dengan serangan Hitler di Cekoslowakia. (Polk, 1991: 488) Menurut
beberapa orang, AS memasukkan ide invasi ke dalam otak Saddam dan kemudian memberinya
jalan, untuk mendapatkan legalitas internasional untuk ditempatkan dan menetap untuk waktu
yang lama di Timur Tengah.
Setelah berakhirnya Perang Teluk, AS gagal menggusur Saddam Hussein dan embargo
terhadap Irak diberlakukan. Tahun 1990-an menyaksikan beberapa pertikaian antara pemerintah
AS dan rezim Saddam Hussein di Baghdad. Irak lelah mengakhiri isolasi di dunia karena embargo
dan AS beberapa kali melakukan serangan udara skala kecil ke Irak untuk menekan Saddam
Hussein. Terhadap tekanan AS, rezim Irak berupaya mengembangkan hubungannya dengan
negara-negara Eropa, China dan Rusia. Tujuan Saddam Hussein adalah untuk memecahkan isolasi
di dunia dan meringankan efek embargo. Pada paruh kedua tahun 1990-an, embargo terhadap Irak
mulai kehilangan pengaruhnya sebagai akibat dari meningkatnya hubungan antara Irak dan
kekuatan Eropa dan juga perdagangan Irak dengan tetangganya.
Beberapa hari setelah perang berakhir, pemberontakan populer pecah di Irak selatan dan di
Kurdistan di utara, seperti selama Perang Irak-Irak, pemberontak menguasai sebagian besar kota
di kawasan itu. Di sisi lain, di kota-kota selatan juga, pemberontak membunuh pejabat Baath dan
pendukung rezim lainnya. Sementara itu, di utara, helikopter dan pasukan Irak mendapatkan
kembali kendali atas kota-kota yang diambil oleh pemberontak dan ada eksodus massal Kurdi,
takut terulangnya serangan kimia 1988, ke perbatasan Turki dan Iran. Hingga akhir April ada 2,5
juta pengungsi. AS, dalam upaya untuk mencegah genosida di Marsh Arab di Irak selatan dan
Kurdi di utara, menyatakan "zona eksklusi udara" di utara 36 th paralel dan selatan 32 nd paralel.
Pada Mei 1994, pendukung Persatuan Patriotik Kurdistan (PUK) bentrok dengan pendukung Partai
Demokrat Kurdistan (KDP), menyebabkan 300 orang tewas. Selama dua tahun berikutnya PUK
dan KDP bertempur beberapa kali, akhirnya berubah menjadi perang saudara. Pada Agustus 1996,
para pemimpin PPK meminta Saddam untuk campur tangan dalam perang. Saddam mengirim
sekitar 30.000 tentara ke wilayah Kurdi yang dilindungi AS, merebut benteng PUK di Irbil. KDP
segera dipasang di kekuasaan. AS memperpanjang "zona larangan terbang" ke 33 rd paralel pada
bulan September 1996 sehingga jalur baru itu hanya berjarak 30 mil di selatan Baghdad. AS juga
meluncurkan 44 rudal jelajah di Irak Selatan saat itu.
Pada bulan Oktober 1994, Irak memindahkan beberapa unit Pengawal Republik ke Kuwait,
sebuah tindakan yang memicu pengerahan pasukan AS skala besar ke Teluk untuk mencegah
serangan Irak. Langkah itu ditafsirkan sebagai tanda frustrasi Saddam dengan berlanjutnya sanksi
PBB, tetapi setelah itu dia mengambil sikap yang lebih moderat, setuju untuk mengakui
keberadaan dan perbatasan Kuwait. Pada tahun 1995 Saddam menjanjikan kerja sama penuh
dengan komisi PBB untuk melucuti senjata Irak, UNSCOM, untuk mencegah pengungkapan yang
bisa dibuat oleh pembelot. Pada saat yang sama, Prancis dan Rusia mendorong pelonggaran sanksi.
Namun tekad AS untuk terus menekan Irak telah berhasil. Rezim menolak untuk bekerja sama
sepenuhnya dengan DK PBB, antara 1998-2002 tidak mengizinkan pengawas masuk ke Irak.
Selama sanksi berlangsung, puluhan ribu anak meninggal karena kelaparan setiap tahun. Akhirnya
pada tahun 1999 Irak diizinkan di bawah program Minyak-untuk-Makanan PBB untuk
mengekspor minyak dalam jumlah tak terbatas yang dapat digunakan untuk membeli makanan,
obat-obatan, dan peralatan bantuan kemanusiaan lainnya serta dukungan infrastruktur yang
diperlukan untuk menopang penduduk sipil.
Masalah perbatasan antara Turki dan Irak telah bermasalah selama kuartal pertama dan
terakhir 20 tahun th abad. Pada triwulan pertama, isu tersebut terutama terkait dengan isu Mosul
dan penetapan perbatasan kedua negara tersebut. Di kuarter terakhir dari 20 th Abad ini, masalah
antara dua negara mengenai perbatasan ini terutama terkait dengan masalah keamanan. Gerakan
lintas batas kelompok gerilya Kurdi (PKK) menciptakan masalah serius bagi Turki.
Hubungan antara Turki dan Irak membaik setelah kudeta 1968 di Irak. Tahun 1970-an
menjadi saksi hubungan yang lebih baik antara kedua negara ini; perjanjian baru ditandatangani
pada tahun 1974 untuk memperluas cakupan kerjasama ekonomi dan pembangunan pipa Kirkuk-
Yumurtalik meningkatkan tingkat kerjasama ekonomi. Selama Perang Iran-Irak, Turki dan Irak
menyimpulkan kesepakatan yang memberi Turki hak untuk mengejar PKK sejauh tiga mil
melintasi perbatasan Irak. (Marr, 1996,61) Dukungan Turki terhadap koalisi selama perang
membuat Irak gelisah dan waktu kesepakatan pengejaran tidak diperpanjang. Pemberlakuan 'zona
dilarang terbang' di Irak utara menyebabkan masalah kurangnya otoritas dan ini memungkinkan
pergerakan bebas gerilyawan. Desas-desus tentang pergerakan maju Turki dan penguasaan
wilayah Mosul juga meningkatkan ketegangan antara kedua negara.
Di saat ketegangan tinggi antara AS-Irak pada 2002-2003, Turki tetap mengakui
pemerintahan Saddam sebagai pemerintahan yang sah. Selama pembicaraan keras UE dan AS
tentang campur tangan di Irak, Turki mendukung pekerjaan inspektur dan tidak ikut campur.
Sampai terakhir kali Turki mencoba menyelesaikan masalah Irak tanpa perang. Setelah AS
memberikan keputusan perang tanpa izin DK PBB, AS meminta penerbangan AS dan penempatan
pasukan AS di Turki. Satu bulan kemudian, pada 1 Maret, parlemen Turki tidak menyetujui
permintaan AS untuk mengizinkan pasukan Amerika masuk untuk kemungkinan invasi ke Irak.
Dengan keputusan ini dapat dikatakan bahwa Turki membantu Irak untuk memperpanjang waktu
penyelesaian yang memungkinkan. Dua minggu sebelum intervensi sepihak AS, Selama Perang
2003, peshmerga Kurdi dan pasukan AS berperang bersama melawan pasukan Irak. Turki sangat
sensitif tentang memproklamasikan kemerdekaan sebagai kemungkinan negara Kurdi di Irak
Utara. Tuduhan kemerdekaan PUK dan KDP memicu intervensi Turki dan inisiatif diplomatik.
Pada 2 April 2003 Powell, menteri luar negeri AS, bertemu dengan pejabat Turki di Ankara untuk
mencegah Turki mengirim pasukan ke Irak utara. Pada 10 dan 11 April, gerilyawan peshmerga
Kurdi yang didukung AS menguasai pusat kota Kirkuk dan Mosul di utara. Pemerintah AS
menjamin Turki menjaga persatuan politik Irak dan tidak mengizinkan negara Kurdi baru; juga
peshmergas mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengklaim negara Kurdi baru, jadi Turki
tidak mengirim pasukan lapis baja ke wilayah tersebut, tetapi mempertahankan beberapa pasukan
yang dikerahkan di sana sebelumnya.
Setelah rencana pembangunan air dan bendungan Turki dan Proyek GAP (Proyek Anatolia
Tenggara), sengketa air telah muncul di Sungai Tigris dan Efrat dalam dua dekade terakhir. Pada
September 2003, pemerintahan baru memberi tahu Turki untuk menyelesaikan masalah sungai
dengan Turki secara damai. Pada September 2003, AS menuntut dari Turki untuk mengirim
sejumlah besar pasukan penjaga perdamaian ke Irak. Selama negosiasi Turki-AS, menteri luar
negeri pemerintahan baru Zabari mengumumkan bahwa mereka tidak ingin ada pasukan Turki di
Irak. Otoritas Turki menjawab dengan keras.
Pejabat Turki dan AS sepakat mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Irak. Hubungan
Irak dengan dunia Arab sangat bervariasi. Mesir memutuskan hubungan dengan Irak pada tahun
1977, menyusul kritik Irak terhadap inisiatif perdamaian Presiden Anwar Sadat dengan Israel. Di
1978, Baghdad menjadi tuan rumah KTT Liga Arab yang mengutuk dan mengucilkan Mesir
karena menerima kesepakatan Camp David. Namun, dukungan material dan diplomatik Mesir
yang kuat untuk Irak dalam perang dengan Iran menyebabkan hubungan yang lebih hangat dan
banyak kontak antara pejabat senior, meskipun perwakilan tingkat duta besar terus tidak ada. Sejak
1983, Irak telah berulang kali menyerukan pemulihan "peran alami" Mesir di antara negara-negara
Arab. Di Januari 1984, Irak berhasil memimpin upaya Arab di OKI untuk memulihkan
keanggotaan Mesir. Namun, hubungan Irak-Mesir kembali putus pada tahun 1990 setelah Mesir
bergabung dengan koalisi PBB yang memaksa Irak keluar dari Kuwait. Hubungan terus membaik
dalam beberapa tahun terakhir, dan Mesir adalah salah satu mitra dagang utama Irak di bawah
program minyak untuk pangan antara 1999-2003.
Hubungan Irak-Iran tetap dingin setelah Perang Irak-Iran pada tahun 1988. Masalah-
masalah yang menonjol dari perang itu, termasuk pertukaran tawanan perang dan dukungan dari
partai-partai oposisi bersenjata yang beroperasi di wilayah masing-masing, masih harus
diselesaikan. Hubungan dengan Suriah telah dirusak oleh persaingan tradisional untuk keunggulan
dalam urusan Arab, tuduhan keterlibatan dalam politik internal masing-masing, dan perselisihan
atas perairan Sungai Efrat, biaya transit minyak, dan sikap terhadap Israel. Suriah memutuskan
hubungan setelah Irak menginvasi Kuwait pada tahun 1990 dan bergabung dengan negara-negara
Arab lainnya dalam mengirimkan pasukan militer ke koalisi yang memaksa Irak keluar dari
Kuwait. Hubungan tetap tenang sampai Bashar al-Asad menjadi Presiden Suriah pada tahun 2000.
Hubungan ekonomi yang didasarkan pada penyelundupan minyak ilegal telah menguat, tetapi
secara politik hubungan tersebut masih jauh. Selama perdebatan pemberian otorisasi penggunaan
kekuatan di awal tahun 2003, Suriah, sebagai anggota DK PBB, memberikan pidato yang sangat
kaku untuk mendukung Irak dan bukan untuk intervensi.
Invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990 mengakibatkan Kuwait, Arab Saudi, dan sebagian
besar negara Teluk memutuskan hubungan dengan Baghdad dan bergabung dengan koalisi PBB
yang memaksa pasukan Irak keluar dari Kuwait selama Perang Teluk. Pada tahun 1991 setelah
pembom Amerika berlindung serangan udara di Baghdad dan menewaskan lebih dari 300 warga
sipil, Irak membalas dengan meluncurkan rudal Scud di pangkalan Amerika di Arab Saudi dan
menewaskan 28 tentara Amerika di sana. (Brogan, 1998: 298) Penolakan Irak untuk melaksanakan
Resolusi DK PBB telah mengakibatkan hubungan tetap dingin. Hubungan Irak dengan Yordania
telah meningkat secara signifikan sejak 1980, ketika Yordania menyatakan dukungannya untuk
Irak pada awal perang Iran-Irak. Dukungan Yordania untuk Irak selama Perang Teluk
menghasilkan peningkatan hubungan lebih lanjut. Hubungan telah mendingin sejak Raja Yordania
saat ini menjabat pada tahun 2000. Irak berpartisipasi dalam perang Arab-Israel tahun 1948, 1967
dan 1973, dan secara tradisional menentang semua upaya untuk mencapai penyelesaian damai
antara Israel dan Negara-negara Arab. Pada Juni 1981 Israel membom reaktor nuklir Osirak yang
dibangun Prancis di pinggiran Baghdad. Israel mengirim 14 F-15 dan F-16 level tinggi Yordania
dan yang menarik baik radar Irak maupun Saudi maupun pesawat AWAC Amerika yang berpatroli
di langit Saudi, melihat mereka datang atau pergi. (Brogan, 1998: 289-290) Irak tidak tanggapi
saat itu. Selama perang Iran-Irak, Irak sangat memoderasi sikap anti-Israelnya. Irak tidak
menentang inisiatif perdamaian Arab-Israel 1 September 1982 oleh Presiden Reagan. Namun,
setelah berakhirnya Perang Iran-Irak masuk dan secara tradisional menentang semua upaya untuk
mencapai penyelesaian damai antara Israel dan Negara-negara Arab. Pada Juni 1981 Israel
membom reaktor nuklir Osirak yang dibangun Prancis di pinggiran Baghdad. Israel mengirim 14
F-15 dan F-16 level tinggi Yordania dan yang menarik baik radar Irak maupun Saudi maupun
pesawat AWAC Amerika yang berpatroli di langit Saudi, melihat mereka datang atau pergi.
(Brogan, 1998: 289-290) Irak tidak tanggapi saat itu. Selama perang Iran-Irak, Irak sangat
memoderasi sikap anti-Israelnya. Irak tidak menentang inisiatif perdamaian Arab-Israel 1
September 1982 oleh Presiden Reagan. Namun 1988, Irak kembali ke pernyataan anti-Israel yang
lebih keras. Selama Perang Teluk, pada bulan Februari 1991, Irak juga meluncurkan rudal Scud
ke Israel. Tujuan Irak menyerang Israel adalah untuk memaksa Israel ikut berperang, dengan
harapan partisipasi Israel akan memicu revolusi di Mesir, Arab Saudi dan Suriah serta mendapat
dukungan dari dunia Arab. (Brogan, 1998: 298) Setelah berakhirnya Perang Teluk, Irak secara
berkala menyerukan penghapusan total Israel.
Pada tahap pertama Presiden Bush mengumumkan bahwa Irak serta Iran dan Korea Utara
adalah bagian dari "poros kejahatan" pada tanggal 29 Januari 2002. Kemudian, ia menyebutkan
"Perang Salib" melawan Irak untuk memprovokasi bergabung dengan "kekuatan sekutu". Pada
tahun 1990, meskipun "Badai Gurun" diberlakukan oleh kepemimpinan AS dalam praktiknya, hal
itu diwujudkan dengan otorisasi Resolusi DK PBB. Ada konsensus dan legalitas tentang perang
dalam opini publik internasional Eropa karena inisiatif sepihak, ilegal dan agresif Saddam. Namun
pada awal Perang 2003, file peran diubah. Sekarang pemerintahan Bush memainkan aktor agresif
dan korban Saddam. Menurut Eropa untuk semua jenis intervensi, keputusan DK PBB seharusnya
sudah diambil; untuk penggunaan kekuatan pendukung "ini bagus untuk rezim demokratis, tetapi
bukan diktator yang kejam, baik Saddam atau Milosevic, tiran hanya memahami penggunaan
kekuatan". (Gerber, 2003: 1) Untuk melegitimasi penggunaan kekerasan, AS mengklaim bahwa
Irak memiliki hubungan dengan Al Qaeda.
Dalam penampilan publik yang sering selama beberapa bulan ke depan, pejabat tinggi
dalam pemerintahan Bush menyerukan "perubahan rezim" dan mengancam tindakan militer jika
Irak tidak mengizinkan inspeksi senjata tanpa batas dan menghancurkan persenjataan dan program
pemusnah massal senjata. Irak menuduh AS berbohong untuk mengontrol minyak Irak dan
melayani kepentingan Israel. Pada November 2002, DK PBB dengan suara bulat mengesahkan
resolusi baru DK PBB 1441 yang memberi Irak waktu 30 hari untuk memberikan kepada Dewan
Keamanan deklarasi yang akurat, lengkap, dan lengkap saat ini dari semua aspek program
militernya, menuntut agar Baghdad mengizinkan pengawas senjata PBB akses tanpa hambatan ke
situs manapun. Irak menyetujui resolusi tersebut dan para pengawas kembali ke Irak pada akhir
November. Sejak pertengahan 1990-an Irak semakin beralih ke kekuatan regional seperti Prancis,
China dan Rusia akan menemukan sanksi ekonomi akhir dan kesepian diplomatik Irak. Prancis,
Jerman, dan kemudian Rusia mendesak para pengawas melanjutkan tugas mereka dan menentang
campur tangan sepihak apa pun di Irak. Tetapi AS mendesak agar segera melakukan intervensi di
Irak, karena kekuatan internasional sedang kehilangan waktu. Menurut AS tidak ada keraguan
tentang kehadiran banyak senjata nuklir dan kimia pemusnah massal (WMD) di Irak yang
tersembunyi sempurna, karena beberapa di antaranya dipasok ke Irak oleh mantan pendukung
Eropa, bahkan perusahaan Amerika seperti Union Carbide. dan Honeywell (Gerber, 2003: 4)
selama perang Iran-Irak bahkan setelahnya. Sebenarnya masalahnya bukan keberadaan WMD, tapi
Saddam.
Sebagai tanggapan, China, Prancis, Jerman, dan Rusia mengumumkan bahwa mereka
bersumpah untuk memblokir resolusi PBB yang mengizinkan penggunaan kekuatan di Irak.
Jerman hanya anggota biasa DK PBB, sedangkan tiga lainnya adalah anggota tetap dengan hak
veto. Sebagai counter diplomatic response AS menjalin hubungan intensif dengan beberapa
anggota Uni Eropa (UE) untuk melemahkan Prancis dan Jerman di arena diplomatik, kemudian
Inggris, Spanyol dan Italia menyuarakan perbedaan pendapat mereka dari Prancis dan Jerman. Di
bawah pengepungan ini, karena beberapa alasan ekonomi dan diplomatik, bukan persahabatan,
hubungan luar negeri Perancis menjadi dekat di kawasan itu dalam tiga dekade terakhir. Pada tahun
1970-an Irak dan Prancis melakukan kerja sama militer yang intensif, dan Prancis mengirimkan
beberapa reaktor nuklir ke Irak. Kemudian pada tahun 1980-an Prancis telah mengirimkan 37%
bahan militer yang dibeli Irak di luar negeri. (Gerber, 2003: 8) Rencana antara kedua negara
menemukan kemunduran ketika Israel membom reaktor nuklirnya sedangkan tiga lainnya adalah
anggota tetap dengan hak veto. Sebagai counter diplomatic response AS menjalin hubungan
intensif dengan beberapa anggota Uni Eropa (UE) untuk melemahkan Prancis dan Jerman di arena
diplomatik, kemudian Inggris, Spanyol dan Italia menyuarakan perbedaan pendapat mereka dari
Prancis dan Jerman. Di bawah pengepungan ini, karena beberapa alasan ekonomi dan diplomatik,
bukan persahabatan, hubungan luar negeri Perancis menjadi dekat di kawasan itu dalam tiga
dekade terakhir. Pada tahun 1970-an Irak dan Prancis melakukan kerja sama militer yang intensif,
dan Prancis mengirimkan beberapa reaktor nuklir ke Irak. Kemudian pada tahun 1980-an Prancis
telah mengirimkan 37% bahan militer yang dibeli Irak di luar negeri. (Gerber, 2003: 8) Rencana
antara kedua negara menemukan kemunduran ketika Israel membom reaktor nuklirnya sedangkan
tiga lainnya adalah anggota tetap dengan hak veto. Sebagai counter diplomatic response AS
menjalin hubungan intensif dengan beberapa anggota Uni
Setelah memahami DK PBB tidak akan memberikan otorisasi penggunaan kekuatan di
Irak, Presiden Bush secara sepihak memberi Saddam 48 jam untuk meninggalkan Irak pada 17
Maret 2003. Setelah penolakan ultimatum ini, AS mulai berperang dengan menembakkan rudal
jelajah Tomahawk yang dipandu satelit . Satu bulan kemudian pasukan AS menguasai bagian utara
dan selatan. Dalam satu bulan rezim Saddam dan tentara Irak yang “kuat” menguap. Pada tanggal
9 April 2003 duta besar Irak untuk PBB mengatakan, "permainan telah berakhir". Pada 16 April
Bush meminta DK PBB untuk mengakhiri isolasi ekonomi Irak dan mencabut sanksi rezim yang
dikenakan di Baghdad setelah Saddam menginvasi Kuwait 13 tahun lalu. Pada tanggal 1 Mei, Bush
mengumumkan bahwa pertempuran besar di Irak telah berakhir. Otoritas Sementara Koalisi
dibentuk untuk waktu "sementara" dengan 25 Menteri Irak. Pelayanan didistribusikan sesuai
dengan komposisi etnis dan agama (yang diubah) dari 25 cermin Dewan Pemerintahan: 13 Syiah
Arab, 5 Sunni Arab, 5 Sunni Kurdi, 1 Turkmenistan, dan 1 Kristen. AS berharap bahwa populasi
Syiah yang mendominasi (62%), lama tunduk pada minoritas Sunni (35%) setidaknya akan
menyambut "pembebasan" nya oleh pasukan koalisi AS-Inggris jika tidak membantu mereka
dalam menggulingkan Saddam. Tetapi reaksi dominan telah menjadi kekecewaan yang tumbuh
dan protes yang berkelanjutan. (Smith, 2003: 2) Pada tanggal 11 September 2003, Powell
mengumumkan bahwa Pemerintah baru yang harus menjadi pemerintah sampai saat AS siap untuk
menyerahkannya kepada orang Irak sendiri serupa dengan yang ada di Jepang. (USIP, 2003: 5)
Sejauh ini, WMD belum ditemukan dan tidak ada hubungan Irak yang signifikan dengan jaringan
Al Qaeda yang telah dibuat. Bahkan sebelum invasi, pemerintahan Bush mengklaim dukungan
Irak untuk kelompok-kelompok teroris, sekarang, meskipun ribuan dokumen dan pejabat Irak telah
ditangkap, tampaknya tidak ada dukungan Irak yang signifikan untuk kelompok-kelompok teroris
selama lebih dari satu dekade. (Zunes, 2003: 2)
Lokasi geopolitik adalah alasan utama politik luar negeri Irak. Perang Irak dengan Iran dan
Kuwait adalah akibat dari masalah akses Irak ke Teluk. Sebagai salah satu minyak terbesar
eksportir dunia, Irak bertujuan untuk memiliki akses independen ke Teluk. Dalam kondisi saat ini,
mereka harus bergantung pada tetangganya untuk mengekspor minyaknya. Faktor geografis sangat
berpengaruh dalam hubungan Irak dengan Iran, Kuwait dan Turki. Selain faktor geografis, faktor
ideologi juga semakin mempengaruhi keputusan kebijakan luar negerinya. Menyusul invasi
pimpinan AS tahun 2003, kemungkinan besar pemerintahan baru Irak akan mencoba menjalin
hubungan yang bersahabat dan hangat dengan negara-negara sekutu AS di kawasan, yaitu Kuwait,
Arab Saudi, Yordania, Qatar dan terutama Israel- yang pertama. waktu dalam sejarah politik Irak.
Saat ini terdapat 58 kedutaan besar di Baghdad, dan 36 negara memiliki konsulat di Erbil - Ibukota
Kurdistan Irak (Termasuk konsulat kehormatan).
KESIMPULAN

Negara Yordania adalah sebuah kerajaan di Tepi Barat Sungai Yordan. Negara ini
berbatasan dengan Arab Saudi di timur dan tenggara, Irak di timur-laut, Suriah di utara dan Tepi
Barat dan Israel di barat, berbagi kekuasaan atas Laut Mati. Satu-satunya pelabuhan Yordania
adalah di ujung barat-daya, di Teluk Aqaba, yang sebagiannya juga dikuasai oleh Israel, Mesir,
dan Arab Saudi. Lebih dari separuh Yordania diliputi oleh Gurun Arab. Tetapi, bagian barat
Yordania berupa hutan dan lahan layak tanam. Yordania adalah bagian dari Bulan Sabit Subur.
Ibu kota dan pusat pemerintahannya adalah Amman dengan Queen Alia Airport sebagai
bandaranya.
Yordania didirikan pada tahun 1921, dan diakui oleh Liga Bangsa-Bangsa sebagai sebuah
negara di bawah mandat Britania pada tahun 1922 yang dikenal sebagai Emirat Transyordania.
Pada tahun 1946, Yordan menggabungi Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai negara merdeka yang
secara resmi dikenal sebagai Kerajaan Hasyimiyah Yordania.
Pada zaman dahulu, wilayah yang kini bernama Yordania merupakan jantung peradaban
kuno yang diuntungkan oleh letak geografisnya di kawasan Bulan Sabit Subur yang meliputi
Babilonia dan Kanaan. Kemudian, Yordania menjadi rumah bagi beberapa kerajaan kuno meliputi:
Kerajaan Edom, Moab, Ammon, dan kerajaan Nabath yang menonjol: Petra. Tetapi, melintasi
berbagai era sejarah yang berbeda-beda, sebagian wilayah negara ini menjadi berada di bawah
kendali beberapa kekuatan tetangga, seperti Mesir Kuno pada masa peperangannya dengan
Babilonia dan Hittit; dan pada beberapa peride yang berlainan oleh Israel yang diambil pada masa
penahanan Babilonia, dan yang kemudian dikalahkan oleh Bani Moab seperti yang tertulis dalam
Batu Moab. Lebih jauhnya, dan karena lokasinya yang strategis di pertengahan dunia kuno,
Yordania juga di bawah kendali kekaisaran-kekaisaran kuno Yunani, Persia, Romawi, dan yang
berikutnya oleh Byzantium.
Pada abad ke-7, dan karena kedekatannya dengan Damaskus, Yordania menjadi salah satu
ranah penting bagi Kekhalifahan Islam-Arab dan oleh karenanya pula mengamankan beberapa
abad kestabilan dan kemakmuran, yang mengizinkan bergulirnya identitas Arab Islam terkini.
Sebagian besar wilayah Yordania modern telah berciri perkotaan. Yordania digolongkan sebagai
negara dengan tingkat «pembangunan manusia» yang tinggi menurut Laporan Pembangunan
Manusia tahun 2010. Lebih jauh lagi, Yordania juga digolongkan sebagai pasar yang sedang
tumbuh dengan sebuah ekonomi pasar yang bebas menurut CIA World Factbook. Yordania juga
dipandang sebagai sebuah ekonomi «berpendepatan menengah-atas». Perjanjian perdagangan
bebas dengan Amerika Serikat berlaku sejak bulan Desember 2001 menghapus segala pungutan
untuk hampir semua komoditas di antara kedua negara. Yordania juga menikmati «status
maju/terdepan» dengan Uni Eropa sejak bulan Desember 2010 juga menjadi anggota kawasan
perdagangan bebas Eropa-Timur Tengah. Yordania mengikuti lebih banyak perjanjian
perdagangan bebas daripada negara lain di Kawasan ini. Yordania memiliki kebijakan «pro-Barat»
dengan hubungan yang sangat akrab dengan Amerika Serikat dan Britania Raya, dan menjadi
sekutu utama Amerika Serikat sejak tahun 1996.
Hubungan luar negeri Irak dipengaruhi oleh sejumlah keputusan kontroversial oleh
pemerintahan Saddam Hussein. Hussein memiliki hubungan baik dengan Uni Soviet dan sejumlah
negara barat seperti Prancis dan Jerman, yang memberinya sistem persenjataan canggih. Dia juga
mengembangkan hubungan yang lemah dengan Amerika Serikat, yang mendukungnya selama
Perang Iran-Irak. Namun, Invasi Kuwait yang memicu Perang Teluk secara brutal mengubah
hubungan Irak dengan Dunia Arab dan Barat. Mesir, Arab Saudi, Suriah dan lainnya termasuk di
antara negara-negara yang mendukung Kuwait dalam koalisi PBB. Setelah pemerintahan Hussein
digulingkan oleh invasi Irak tahun 2003, pemerintah yang menggantikannya kini mencoba
menjalin hubungan dengan berbagai bangsa.
Pada tahun 1920, Liga Bangsa-Bangsa Internasional menugaskan sebagian dari Kekaisaran
Ottoman kepada para pemenang, menempatkan Mesopotamia di bawah pemerintahan Inggris.
Pengaturan ini, yang disebut mandat, berarti bahwa Inggris akan membentuk pemerintah Arab
yang bertanggung jawab di wilayah tersebut sesuai dengan jadwal yang disetujui liga. Sejak
berdirinya negara itu, faktor terpenting yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Irak adalah
pengaruh kekuatan asing, masalah minyak, masalah akses ke laut dan masalah perbatasan dengan
tetangganya, persenjataan, komposisi etnis dan agama di negara itu. populasi negara dan ideologi
Baath. Dampak faktor-faktor ini berfluktuasi sepanjang sejarah negara, tetapi dampaknya terhadap
kebijakan luar negeri tidak dapat disangkal. 1945, Irak menjadi anggota pendiri Liga Arab, yang
meliputi Mesir, Transyordania, Lebanon, Arab Saudi, Suriah, dan Yaman. Pada tahun 1959,
Qassem mengakhiri keanggotaan Irak dalam Pakta Baghdad. Antara 1958-59 beberapa upaya
pembunuhan tidak berhasil dilakukan terhadap Qassem. Di antara regu pembunuh yang gagal
adalah Saddam Hussein. Selama tahun 1950-an ada gelombang kuat Arabisme dan anti-
kolonialisme di seluruh Timur Tengah dan kudeta tahun 1958 terjadi di atmosfer ini. Setelah
kudeta, Irak menjadi sebuah republik dan perubahan penting dalam kebijakan luar negerinya telah
muncul. Kekuasaan Qassem berlanjut hingga kudeta 1963 dan dalam periode ini kebijakan luar
negeri Irak menimbulkan keprihatinan besar di Inggris dan di dunia Arab. Masalah dengan Kuwait
merupakan contoh penting di sini. Pada tahun 1961, Kuwait memperoleh kemerdekaannya dari
Inggris. Qassem segera mengklaim kedaulatan atasnya, mengklaim Emirat sebagai bagian asli dari
provinsi Basrah Ottoman. Inggris bereaksi keras pada tahun 1963 dan Irak mengakui kedaulatan
dan perbatasan Kuwait.
Setelah Qassem dibunuh pada tahun 1963, ketika anggota Partai Sosialis Arab Ba'ath
mengambil alih kekuasaan; di bawah kepemimpinan Ahmed Hasan al-Bakr. Antara 1963-1967
urusan luar negeri Irak itu sangat tidak stabil karena kudeta dan kudeta balasan. Kebijakan umum
Irak selama tahun-tahun ini adalah salah satu dari Nasional Arab. Irak berada di atas pasukan Arab
lainnya selama perang Arab-Israel 1967, dan dalam perang pembebasan 1973, memberikan
bantuan material ke Suriah. Irak sangat menentang gencatan senjata
Perselisihan antara Iran dan Irak yang menyebabkan perang pada tahun 1980 memiliki
asal-usul sejarah, teritorial, dan ideologis. Iran tidak pernah secara resmi mengakui perjanjian
sebelumnya dan perjanjian ini tidak memiliki persetujuan bersama. Pada 4 Juli 1937 Iran dan Irak
menandatangani perjanjian di Teheran dan mencapai kompromi di Shatt alArab. Perjanjian
tersebut sebagian besar merupakan hasil dari kebutuhan pengaturan keamanan kolektif antara Iran,
Irak, Turki dan Afghanistan terhadap ancaman yang meningkat dari Uni Soviet. Perjanjian
perbatasan antara Iran dan Irak ditandatangani tepat sebelum pengaturan keamanan Pakta Sadabad.
Tapi, hanya setelah dua tahun penandatanganan perjanjian, Perang Dunia II pecah. Persepsi
dua negara tentang Shatt al-Arab berubah. Kedua negara ini berada di bawah pendudukan selama
perang. Setelah berakhirnya Perang, ada struktur politik yang tidak stabil baik di Iran dan Irak dan
juga perselisihan tentang sungai. Pendirian Pakta Baghdad pada tahun 1955 menghasilkan kondisi
yang menguntungkan untuk pemecahan masalah. Namun harapan tersebut tidak bertahan lama.
Penggulingan monarki di Irak mengubah situasi secara dramatis dan isu Shatt al-Arab kembali
menjadi agenda.
Pada tahun 1958 Irak secara sepihak memperluas perairan teritorialnya menjadi 12 mil.
Iran menuntut penggambaran ulang perbatasan di sepanjang Shatt al-Arab menggunakan prinsip
Thalweg. Irak menanggapi dengan mengklaim kedaulatan penuh atas seluruh sungai tanpa
pengecualian apa pun. Pada akhir 1960-an, Inggris menyatakan akan menarik unit militer Inggris
di timur Suez.
Di saat ketegangan tinggi antara AS-Irak pada 2002-2003, Turki tetap mengakui
pemerintahan Saddam sebagai pemerintahan yang sah. Selama pembicaraan keras UE dan AS
tentang campur tangan di Irak, Turki mendukung pekerjaan inspektur dan tidak ikut campur.
Sampai terakhir kali Turki mencoba menyelesaikan masalah Irak tanpa perang. Setelah AS
memberikan keputusan perang tanpa izin DK PBB, AS meminta penerbangan AS dan penempatan
pasukan AS di Turki. Satu bulan kemudian, pada 1 Maret, parlemen Turki tidak menyetujui
permintaan AS untuk mengizinkan pasukan Amerika masuk untuk kemungkinan invasi ke Irak.
Dengan keputusan ini dapat dikatakan bahwa Turki membantu Irak untuk memperpanjang waktu
penyelesaian yang memungkinkan. Dua minggu sebelum intervensi sepihak AS, Selama Perang
2003, peshmerga Kurdi dan pasukan AS berperang bersama melawan pasukan Irak. Turki sangat
sensitif tentang memproklamasikan kemerdekaan sebagai kemungkinan negara Kurdi di Irak
Utara. Tuduhan kemerdekaan PUK dan KDP memicu intervensi Turki dan inisiatif diplomatik.
Pada 2 April 2003 Powell, menteri luar negeri AS, bertemu dengan pejabat Turki di Ankara untuk
mencegah Turki mengirim pasukan ke Irak utara. Pada 10 dan 11 April, gerilyawan peshmerga
Kurdi yang didukung AS menguasai pusat kota Kirkuk dan Mosul di utara. Pemerintah AS
menjamin Turki menjaga persatuan politik Irak dan tidak mengizinkan negara Kurdi baru; juga
peshmergas mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengklaim negara Kurdi baru, jadi Turki
tidak mengirim pasukan lapis baja ke wilayah tersebut, tetapi mempertahankan beberapa pasukan
yang dikerahkan di sana sebelumnya.
Setelah rencana pembangunan air dan bendungan Turki dan Proyek GAP , sengketa air
telah muncul di Sungai Tigris dan Efrat dalam dua dekade terakhir. Pada September 2003,
pemerintahan baru memberi tahu Turki untuk menyelesaikan masalah sungai dengan Turki secara
damai. Pada September 2003, AS menuntut dari Turki untuk mengirim sejumlah besar pasukan
penjaga perdamaian ke Irak. Selama negosiasi Turki-AS, menteri luar negeri pemerintahan baru
Zabari mengumumkan bahwa mereka tidak ingin ada pasukan Turki di Irak. Otoritas Turki
menjawab dengan keras.
Invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990 mengakibatkan Kuwait, Arab Saudi, dan sebagian besar
negara Teluk memutuskan hubungan dengan Baghdad dan bergabung dengan koalisi PBB yang
memaksa pasukan Irak keluar dari Kuwait selama Perang Teluk. Pada tahun 1991 setelah pembom
Amerika berlindung serangan udara di Baghdad dan menewaskan lebih dari 300 warga sipil, Irak
membalas dengan meluncurkan rudal Scud di pangkalan Amerika di Arab Saudi dan menewaskan
28 tentara Amerika di sana. Penolakan Irak untuk melaksanakan Resolusi DK PBB telah
mengakibatkan hubungan tetap dingin. Hubungan Irak dengan Yordania telah meningkat secara
signifikan sejak 1980, ketika Yordania menyatakan dukungannya untuk Irak pada awal perang
Iran-Irak. Dukungan Yordania untuk Irak selama Perang Teluk menghasilkan peningkatan
hubungan lebih lanjut. Hubungan telah mendingin sejak Raja Yordania saat ini menjabat pada
tahun 2000. Irak berpartisipasi dalam perang Arab-Israel tahun 1948, 1967 dan 1973, dan secara
tradisional menentang semua upaya untuk mencapai penyelesaian damai antara Israel dan Negara-
negara Arab. Pada Juni 1981 Israel membom reaktor nuklir Osirak yang dibangun Prancis di
pinggiran Baghdad. Israel mengirim 14 F-15 dan F-16 level tinggi Yordania dan yang menarik
baik radar Irak maupun Saudi maupun pesawat AWAC Amerika yang berpatroli di langit Saudi,
melihat mereka datang atau pergi. Irak tidak tanggapi saat itu. Selama perang Iran-Irak, Irak sangat
memoderasi sikap anti-Israelnya. Irak tidak menentang inisiatif perdamaian Arab-Israel 1
September 1982 oleh Presiden Reagan. Namun, setelah berakhirnya Perang Iran-Irak masuk dan
secara tradisional menentang semua upaya untuk mencapai penyelesaian damai antara Israel dan
Negara-negara Arab. Pada Juni 1981 Israel membom reaktor nuklir Osirak yang dibangun Prancis
di pinggiran Baghdad. Israel mengirim 14 F-15 dan F-16 level tinggi Yordania dan yang menarik
baik radar Irak maupun Saudi maupun pesawat AWAC Amerika yang berpatroli di langit Saudi,
melihat mereka datang atau pergi. Irak tidak tanggapi saat itu. Selama perang Iran-Irak, Irak sangat
memoderasi sikap anti-Israelnya. Irak tidak menentang inisiatif perdamaian Arab-Israel 1
September 1982 oleh Presiden Reagan. Namun 1988, Irak kembali ke pernyataan anti-Israel yang
lebih keras. Selama Perang Teluk, pada bulan Februari 1991, Irak juga meluncurkan rudal Scud
ke Israel. Tujuan Irak menyerang Israel adalah untuk memaksa Israel ikut berperang, dengan
harapan partisipasi Israel akan memicu revolusi di Mesir, Arab Saudi dan Suriah serta mendapat
dukungan dari dunia Arab. Setelah berakhirnya Perang Teluk, Irak secara berkala menyerukan
penghapusan total Israel.
Sebenarnya masalahnya bukan keberadaan WMD, tapi Saddam.
Sebagai tanggapan, China, Prancis, Jerman, dan Rusia mengumumkan bahwa mereka
bersumpah untuk memblokir resolusi PBB yang mengizinkan penggunaan kekuatan di Irak.
Jerman hanya anggota biasa DK PBB, sedangkan tiga lainnya adalah anggota tetap dengan hak
veto. Sebagai counter diplomatic response AS menjalin hubungan intensif dengan beberapa
anggota Uni Eropa untuk melemahkan Prancis dan Jerman di arena diplomatik, kemudian Inggris,
Spanyol dan Italia menyuarakan perbedaan pendapat mereka dari Prancis dan Jerman. Di bawah
pengepungan ini, karena beberapa alasan ekonomi dan diplomatik, bukan persahabatan, hubungan
luar negeri Perancis menjadi dekat di kawasan itu dalam tiga dekade terakhir. Pada tahun 1970-an
Irak dan Prancis melakukan kerja sama militer yang intensif, dan Prancis mengirimkan beberapa
reaktor nuklir ke Irak. Kemudian pada tahun 1980-an Prancis telah mengirimkan 37% bahan
militer yang dibeli Irak di luar negeri. Rencana antara kedua negara menemukan kemunduran
ketika Israel membom reaktor nuklirnya sedangkan tiga lainnya adalah anggota tetap dengan hak
veto. Sebagai counter diplomatic response AS menjalin hubungan intensif dengan beberapa
anggota Uni Eropa untuk melemahkan Prancis dan Jerman di arena diplomatik, kemudian Inggris,
Spanyol dan Italia menyuarakan perbedaan pendapat mereka dari Prancis dan Jerman. Di bawah
pengepungan ini, karena beberapa alasan ekonomi dan diplomatik, bukan persahabatan, hubungan
luar negeri Perancis menjadi dekat di kawasan itu dalam tiga dekade terakhir. Pada tahun 1970-an
Irak dan Prancis melakukan kerja sama militer yang intensif, dan Prancis mengirimkan beberapa
reaktor nuklir ke Irak. Kemudian pada tahun 1980-an Prancis telah mengirimkan 37% bahan
militer yang dibeli Irak di luar negeri. Rencana antara kedua negara menemukan kemunduran
ketika Israel membom reaktor nuklirnya sedangkan tiga lainnya adalah anggota tetap dengan hak
veto. Sebagai counter diplomatic response AS menjalin hubungan intensif dengan beberapa
anggota Uni
Setelah memahami DK PBB tidak akan memberikan otorisasi penggunaan kekuatan di
Irak, Presiden Bush secara sepihak memberi Saddam 48 jam untuk meninggalkan Irak pada 17
Maret 2003. Setelah penolakan ultimatum ini, AS mulai berperang dengan menembakkan rudal
jelajah Tomahawk yang dipandu satelit . Satu bulan kemudian pasukan AS menguasai bagian utara
dan selatan. Dalam satu bulan rezim Saddam dan tentara Irak yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA

Khadduri, Majid Ghareeb Edmund (1997), War in the Gulf 1990-91 The Iraq-Kuwait Conflict and
Its Implications (New York, Oxford Press)
Journal of Diplomacy and International Studies https://journal.uir.ac.id/index.php/jdis/index
http://kuliahkaryawan.i-tech.ac.id/id4/3053-2939/Bulan-Sabit-
Subur_165293_ikipwidyadarma_kuliahkaryawan-i-tech.html
Zunes, Stephen (2003) “The US and Post-War Iraq: An Analyses”, Foreign Policy in Focus (May
2003), p. 1-8.
Yenigun C.(2005).(Foreign Policy of) Republic of Iraq.Wissenschaftlicher Verlag Berlin.
ADABIYA, Volume 22 No. 1 Februari 2020
MESOPOTAMIA DAN MESIR KUNO: Awal Peradaban Dunia

Anda mungkin juga menyukai