Anda di halaman 1dari 7

membentuk oder yang nantinya diharapkan dapat dipatuhi oleh negara-negara (Rizky

Mardhatillah Umar, 2017).


Menurut Daniel S. Papp, kepentingan nasional dapat meliputi berbagai bidang seperti,
ekonomi, ideologi, kekuatan dan keamanan militer, moralitas dan legalitas (2012).
Pertimbangan ideologis serta pertimbangan kepentingan ekonomi biasanya menjadi aspek
utama dalam pengambilan keputusan dan aktivitas politik luar negeri. Menurut Anak Agung
Banyu Berwita dan Yanyan Mochmamad Yani, kepentingan nasional penting untuk
memahami dan menjelaskan perilaku internasional (2012). Kepentingan nasional dapat
dilihat sebagai sarana dan tujuan negara untuk mempertahankan eksistensinya dalam aktivitas
politik internasional (Harini, 2012).
Menurut Arry Bainus dan Junita Budi Rachman, kepentingan nasional merupakan
tujuan dan ambisi negara, baik untuk kepentingan ekonomi, militer, atau budaya (2018).
Dalam teori Hubungan Internasional, kepentingan nasional menjadi dasar utama negara
dalam melakukan hubungan internasional. Kepentingan nasional berkaitan erat dengan power
atau kekuatan negara. Power ini dapat ditujukan sebagai tujuan maupun instrumen. Dalam
hubungan internasional, sistem anarki tercipta saat kepentingan nasional negara ditujukan
untuk mengejar power, lalu digunakan sebagai instrumen dalam mencapai kepentingan
nasional (Bainus & Rachman, 2018).
Kepentingan nasional yang agresif menciptakan hubungan internasional yang
konfliktual dan kompetitif. Hubungan ini dapat dilihat melalui sejarah Perang Tiga Puluh
Tahun, Perang-perang Dunia, Perang Dingin, perang-perang untuk kepentingan nasional,
sampai kolonisasi. Akan tetapi, setelah berakhirnya era kolonialisme dan perang dingin,
kepentingan nasional yang agresif dan konfliktual digantikan menjadi kepentingan nasional
yang non-destruktif. Hal ini tidak terlepas dari munculnya kekuasaan aktor non-negara, baik
individu maupun institusi. Kepentingan nasional yang non-destruktif memunculkan ragam
diplomasi atau kerja sama baik pada tingkat subnegara maupun non-negara (Bainus &
Rachman, 2018).
Beberapa contoh kepentingan nasional adalah program China’s Belt Road Initiative
(BRI) dan Brexit. BRI merupakan program pembangunan jalur perdagangan yang bekerja
sama dengan sekitar 65 negara lain di kawasan Asia, Timur Tengah, Asia, dan Eropa.
Menurut Ramadhan, BRI merupakan keuntungan bagi kepentingan ekonomi nasional China.
Brexit (British Exit) juga tidak terlepas dari kepentingan nasional Inggris. Imigran yang
masuk ke Eropa dianggap membahayakan kepentingan nasionalnya, sehingga Inggris-pun
memutuskan keluar dari Uni Eropa (Bainus & Rachman, 2018).
Selain itu, Indonesia melakukan kerja sama dalam Perjanjian Kemitraan Ekonomi
Komprehensif Regional (RCEP) dalam memfasilitasi perdagangan Indonesia. Kerja sama ini
bertujuan untuk meningkatan nilai tambah dalam kemitraan ekonomi di Indonesia. RCEP
merupakan perjanjian yang bertujuan untuk memperluas serta memperdalam kerja sama
ASEAN dengan beberapa negara, seperti Australia, China, Jepang, Korea, dan juga Selandia
Baru. Negara-negara tersebut menyumbang sekitar 30% dari PDB global dan 30% dari
populasi dunia. Tujuannya untuk membangun kerja sama ekonomi yang modern,
menyeluruh, berkualitas tinggi, dan saling menguntungkan. RCEP diharapkan dapat
memfasilitasi perdagangan dan juga investasi sehingga dapat meningkatkan pembangunan
ekonomi secara global (Leal-Arcas, 2013).
Sebagai kesimpulan, kepentingan nasional suatu negara dapat dipengaruhi oleh
ideologi negara. Kepentingan nasional penting agar dapat memahmi dan juga menjelaskan
perilaku negara dalam aktivitas politik internasional. Kepentingan nasional yang berbeda,
memunculkan perilaku yang berbeda dari para negara. Kepentingan nasional yang agresif
dapat memunculkan perang dan konflik. Kepentingan nasional yang non-agresif biasanya
dilakukan melalui diplomasi dan kerjasama antar negara untuk mendapatkan kepentingan
nasionalnya masing-masing.

sendiri memiliki perbedaan pada konsep perspektif masing, dimana satu


mengutamakan kepentingan negara saja, satu mengutamakan stabilitas ekonomi dan pasar,
satu mengutamakan dapat berubah dan dikonstruksi lagi berdasarkan kepentingan sosial yang
muncul sekarang ini. Dengan kepentingan yang berbeda, muncul hasil yang berbeda sesuai
dengan kepentingan sendiri. Sehingga, dengan dasar perspektif yang berbeda, muncul
kepentingan dan hasil yang berbeda juga.

REFERENCES:
Bainus, A., & Rachman, J. B. (2018). Editorial: Kepentingan Nasional dalam Hubungan
Internasional. Intermestic: Journal of International Studies, 2(2), 109.
https://doi.org/10.24198/intermestic.v2n2.1

Harini, S. (2012). Kepentingan Nasional China Dalam Konflik Laut China Selatan . Jurnal
Transformasi, 14(21).

Rizky Mardhatillah Umar, A. (2017). The National Interest in International Relations Theory.
Global South Review, 1(2), 185. https://doi.org/10.22146/globalsouth.28841

Triwahyuni, D., & Wulandari, T. A. (2016). STRATEGI KEAMANAN CYBER AMERIKA


SERIKAT. Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, 111.

Leal-Arcas, R. (2013). China and the Regional Comprehensive Economic Partnership.


Retrieved April 28, 2021, from https://link.springer.com/article/10.1007/s40320-013-0035-2

2. Pilih dua pendekatan dalam analisis kebijakan luar negeri yang telah dipelajari.

o Level analisis individual


o Level analisis kelompok
o Level analisis negara
o Level analisis sistem
o Model aktor rasional
o Model politik birokrasi
o Model proses organisasi
• Cari minimal 4 (empat) literatur akademik tentang dua pendekatan tersebut.
• Dari literatur-literatur tersebut, tulis perbandingan dan kontras antara dua pendekatan
tersebut.

Bagian ini akan menjelaskan perbedaan mendasar antara level analisis individual dan
level analisis sistem yang akan diperkuat dengan implementasi kebijakan AS dalam
menerapkan kedua konsep tersebut sebagai studi kasus pada bagian ini. Teori level analisis
individual menjadi salah satu teori yang paling mendasar dalam konsep analisis suatu
kebijakan luar negeri. Rehm (2009) menjelaskan bahwa level analisis individual berada pada
faktor yang berkaitan dengan jati diri dan psikologis pemimpin atau sang pembuat kebijakan.
Tentunya setiap individu memiliki karakteristik, preferensi, sifat, sikap, kepercayaan,
kebiasaan dan juga cara pandang yang berbeda terhadap suatu hal tertentu. Levy (2013)
kemudian menyatakan bahwa faktor psikologi sang pengambil kebijakan merupakan salah
satu faktor penting dalam proses pengambilan keputusan. Hal-hal yang berhubungan dengan
personalitas seorang pemimpin atau sang pengambil kebijakan akan menjadi dasar dari teori
level analisis individual, termasuk ke dalamnya adalah kepercayaannya terhadap kubu politik
dan juga cara pandang terhadap sistem ekonomi yang disadarinya paling tepat (Rehm, 2009).
Tidak lupa juga faktor mendasar yang ikut membentuk personalitas seorang pemimpin seperti
ras, etnis, emosi, kepercayaan agama, dan status sosial lainnya. Bahkan, Bachleitner (2018)
juga menyebutkan bahwa kenangan dan suatu hal yang terjadi pada masa lampau, baik yang
menimbulkan kesan baik maupun buruk, akan juga mendukung terciptanya sebuah emosi
yang akan mempengaruhi pengambilan sebuah kebijakan luar negeri. Terlebih apabila
seorang pemimpin atau sang pembuat kebijakan memiliki kesan tersendiri terhadap sebuah
negara yang dapat memicu status kedekatan dan berdampak pada kebijakan luar negeri. Hal
ini terlihat pada implikasi sikap AS pada masa pemerintahan Presiden Obama yang terbilang
cukup dekat dengan Indonesia hingga dapat dinyatakan berhasil memberikan Indonesia
kemajuan yang cukup signifikan berkat adanya kenangan indah pada masa kecil Presiden
Obama sewaktu tinggal di Indonesia (Muhammad, 2016). Keterlibatan memori lampau
membuat kedekatan tersendiri antara Presiden Obama dengan Indonesia yang berujung pada
kemudahan hubungan diplomatik antara AS-Indonesia hingga pada waktu tersebut Indonesia
berhasil banyak dilibatkan bahkan hingga memegang posisi penting dalam forum-forum
Internasional bergengsi khususnya ASEAN.
Berdasarkan teori level analisis individual, faktor tersebut juga akan menentukan
bagaimana sebuah kebijakan luar negeri diambil dan diterapkan beserta dengan dampak yang
akan timbul dari suatu kebijakan tersebut. Setiap pemimpin atau sang pengambil kebijakan
pun tentunya memiliki pendekatan yang berbeda akibat adanya perbedaan antara jati diri
pemimpin satu dengan yang lainnya. Faktor-faktor tersebut mendukung terciptanya gaya
kepemimpinan bagi tiap jati diri pemimpin. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Presiden
Obama dan Presiden Trump memiliki perbedaan yang sangat mendasar di antara keduanya
yang jelas memiliki latar belakang yang sudah sangat berbeda. Kebijakan luar negeri yang
muncul selama pemerintahan Obama telah selaras dengan pendekatan internasional liberal.
Pendekatan kaum internasional liberal merupakan pendekatan yang cenderung
menitikberatkan pada nilai-nilai inti dan keyakinan tentang tujuan dan motivasi perilaku
politik luar negeri bagi Amerika Serikat, dan juga masing-masing negara. Dengan demikian,
dalam hal ini, pendekatan Presiden Obama cenderung berfokus pada teori perdamaian
demokratis, yaitu meningkatkan kebebasan individu dan promosi demokrasi, sebagai cara
untuk menciptakan tatanan global yang damai dan stabil. Internasionalisme juga
mempromosikan kerja sama internasional dan saling ketergantungan dalam banyak hal
dengan harapan dapat menghubungkan negara dan orang-orang dalam jaringan saling
ketergantungan untuk mengatasi masalah bersama dan meminimalkan risiko konflik
(McCormick, 2011). Presiden Obama juga fokus pada perubahan kebijakan luar negeri yang
berkaitan dengan penyelesaian masalah dan perang yang terjadi antara Irak-Afghanistan juga
fokus untuk menangani masalah-masalah militer dan ekonomi global khususnya terkait
dengan proliferasi nuklir. Downey (2015) juga menyebutkan bahwa selama pemerintahannya,
Presiden Obama dengan latar belakang liberalis berupaya memberikan keterbukaan kepada
publik terhadap semua pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. Hal ini dimaksudkan
untuk mencegah munculnya kontra terhadap gaya kepemimpinannya yang berpotensi
memicu gejolak dalam negeri. Pendekatan publik ini memberikan kemudahan bagi Presiden
Obama untuk merealisasikan target AS dalam perumusan kebijakan luar negeri (Downey,
2015). Namun, Stent (2012) memberikan tanggapan bahwa kebijakan luar negeri di bawah
pemerintahan Presiden Obama tidak selaras dengan Rusia yang dibuktikan dengan adanya
ketegangan hubungan di antara keduanya. Berbeda halnya dengan AS pada masa
pemerintahan Presiden Trump dengan latar belakang yang cenderung nasionalis dan juga
didukung dari asal kubu politiknya. Presiden Trump nyaris memiliki personalitas yang
terbalik dengan Presiden Obama. Di awal masa pemerintahannya, Presiden Trump berjanji
untuk menerapkan perubahan substansial dalam kebijakan luar negeri AS yang mana
berfokus kepada “America First” sebagai bentuk peralihan gaya kepemimpinan dari liberalis
mengacu kepada pendekatan yang sangat dekat dengan realisme dan pendekatan konservatif
yang berpusat pada kekuatan nasional. Pada masa pemerintahan Presiden Trump, AS
menggunakan diplomasi transnasional sebagai pendekatan pengambilan keputusan dalam
politik luar negeri AS yang berfokus pada intelijen, kompleks industri militer dan keamanan
nasional (Trifkovic, 2017). Kemampuan nasional AS sangat ditekan pada masa
pemerintahannya, bahkan Presiden Trump sangat percaya pada kekuatan yang dimiliki AS
hingga mengajukan pengunduran diri dari beberapa institusi dan forum internasional.
Temperamen dan perspektif psikologisnya terlihat pada kebijakannya dalam memblokir
penerimaan warga negara dan juga para pengungsi yang berasal dari negara berpopulasi
mayoritas Muslim akibat eksistensi ancaman akan isu terorisme. Trifkovic (2017) juga
menjelaskan bahwa kengerian terorisme Islam ini mendasari kedekatan AS dengan Rusia
pada masa pemerintahan Presiden Trump. Sisi nasionalisme yang kuat juga mendasari
Presiden Trump untuk tidak terbuka dalam bidang perekonomian yang memicu mencuatnya
gejolak dengan China hingga berujung pada perang dagang. Perbedaan antara kebijakan luar
negeri yang diterapkan AS pada masa Presiden Obama dan Presiden Trump jelas
membuktikan bahwa faktor yang berkaitan dengan psikologis, karakteristik, sifat, sikap,
kebiasaan, kepercayaan, dan lainnya mempengaruhi diambilnya sebuah kebijakan luar negeri.
Tentunya level analisis individual memiliki perbedaan dengan level analisis sistem.
System internasional dipercaya tidak selalu berada pada posisi yang tetap dan setara, bahkan
Gaddis (1986) menyebut bahwa sistem internasional tidak dapat diprediksi. Sistem
internasional dipercaya akan terus mengalami perubahan seiring dengan berubahnya waktu
ke waktu. Berawal dari masa perang yang merubah sistem dan tatanan global dari multipolar
menjadi unipolar, hingga pada mencetusnya Perang Dingin yang mengubah unipolar menjadi
bipolar dengan ketegangan yang terjadi di antara Soviet-AS (Gaddis, 1986). Bentuk dari
polaritas yang terjadi pada tiap periode memiliki implikasi yang berbeda tergantung pada
situasi yang terjadi pada masa tersebut. Peran tiap negara pun berubah seiring dengan
bergantinya polarisasi pada sistem internasional. AS pada sistem internasional yang unipolar,
di mana pada waktu tersebut AS jugalah yang menduduki status hegemon superpower
memiliki peran dan kebijakan yang berbeda dengan AS di masa kini yang cenderung
multipolar di mana negara-negara lain mulai bisa menyeimbangi kekuatan yang dimiliki AS
baik dari segi pertahanan dan keamanan, stabilitas politik, hingga ekonomi. Pasca Perang
Dunia 2, AS berhasil menunjukkan kemampuan dan kekuatannya kepada negara-negara
Barat khususnya yang terlibat dan menjadi korban Perang Dunia 2 dengan menciptakan
Bretton Woods dengan tiga institusi di bawahnya guna melakukan rehabilitasi infrastruktur
dan perekonomian negara-negara Barat tersebut. Berbeda pada saat awal Perang Dingin yang
membuat kebijakan AS sangatlah mengacu pada pertahanan sistem domestik dan berusaha
untuk mengedepankan inovasi untuk mengungguli Soviet yang juga memiliki kekuatan yang
setara pada masa tersebut. Kemudian perbedaan juga jelas terlihat pada masa kini dengan
berubahnya sistem bipolar – unipolar, menjadi multipolar dengan berkembangnya kekuatan
ekonomi China juga didukung di sisi lain dengan pertumbuhan kekuatan Rusia khususnya
dalam bidang militer. Kemampuan China bahkan membuat AS pada masa pemerintahan
Presiden Trump memberlakukan kebijakan luar negeri dalam bidang ekonomi yang sangat
ketat untuk menghambat sekaligus membatasi pergerakan ekonomi China. Perilaku AS akan
terus berubah seiring dengan beralihnya sistem polarisasi global yang demikian pula akan
mempengaruhi kebijakan luar negeri AS.
Terlepas dari polarisasi, sistem internasional juga diukur dari hubungan yang terjadi
antara negara dengan negara, maupun hubungan negara dengan non-state-actor seperti
organisasi internasional dan juga perusahaan multinasional. Pasca Perang Dunia 2,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hadir sebagai organisasi internasional yang berfungsi
untuk menciptakan sekaligus menjamin kedamaian dan keamanan internasional serta
menekan adanya ancaman perang bagi seluruh negara yang didasari pada dampak negatif
perang yang cukup masif dan merugikan banyak pihak, khususnya warga sipil baik dari segi
ekonomi maupun psikologis. Oran R. Young (1968) menyatakan bahwa keberadaan PBB di
tengah negara menciptakan adanya perubahan yang signifikan pada tatanan sistem
internasional. Meskipun tidak semua negara terdaftar menjadi anggota dari PBB, namun PBB
memiliki otoritas yang kuat untuk menekan negara untuk tunduk dalam mempertahankan
perdamaian dan keamanan dunia. PBB pun juga berusaha untuk menciptakan kestabilan
dalam sistem internasional dan bahkan hingga kini PBB dapat dikatakan masih berfungsi
menjamin perdamaian secara global. Meskipun berbentuk institusi internasional, PBB
diduduki oleh lima negara yang menjadi chairman yang juga dipercaya memiliki pengaruh
besar dalam sistem internasional. Dalam hal ini, kedudukan AS sebagai salah satu anggota
perwakilan juga memegang kendali kuat dalam mendorong realisasi tujuan PBB yang tidak
terlepas dari kepentingan nasional AS. Bahkan dalam unit Dewan Keamanan Dunia,
kebijakan yang diambil tidak terlepas dari hak veto yang dimiliki oleh kelima negara
perwakilan. Kondisi ini semakin mempermudah AS dalam mewujudkan kepentingan nasional
yang terbentuk dalam kebijakan Dewan Keamanan dan PBB. Terakhir, kedudukan
perusahaan multinasional juga memberikan pengaruh yang sedemikian besar terhadap
kebijakan luar negeri yang diambil oleh tiap negara. Chadwick F. Alger (1972) menyebut
bahwa perusahaan multinasional kini juga menjadi instrumen yang mendukung perwujudan
perdamaian dalam sistem global saat ini. Kemajuan dan perkembangan ekonomi membuat
posisi perusahaan multinasional menjadi penting, terutama untuk meningkatkan pendapatan
domestik, pembukaan lapangan pekerjaan baru, hingga meningkatkan produktivitas bisnis
domestic yang akan membantu negara secara perlahan menangani berbagai masalah yang
berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Masuknya perusahaan multinasional membuat
kebijakan luar negeri yang perlu sejalan dengan hal-hal yang bertujuan untuk
mengoptimalkan fungsi dari perusahaan multinasional (Alger, 1972).

REFERENCES:

Alger, C. (1972). The Multinational Corporation and the Future International System. The
Annals of The American Academy. University of Michigan.
https://doi.org/10.1177/000271627240300110.

Bachleitner, K. (2018). Diplomacy with Memory: How the Past Is Employed for Future
Foreign Policy. Foreign Policy Analysis. 15 (4): 492-508.
https://doi.org/10.1093/fpa/ory013.

Downey, D. C. (2017). Assessing Obama’s Domestic Policy. Public Administration Review,


77(4), 628–631. https://doi.org/10.1111/puar.12784

Gaddis, J.L. (1986). The Long Peace: Elements of Stability in the Postwar International
System. International Security. The MIT Press. 10 (4): 99-142.
https://doi.org/10.2307/2538951.

Levy. (2013). Psychology and Foreign Policy Decision-Making. Oxford Handbook of


Political Psychology.

McCormick, J. P. (2011). Machiavellian democracy. In Machiavellian Democracy.


https://doi.org/10.1017/CBO9780511975325

Muhammad, S.V. (2016). Hubungan Indonesia-Amerika Serikat setelah Terpilihnya Donald


Trump sebagai Presiden. Majalah Info Singkat Hubungan Internasional. 8 (22): 5-8.

Rehm, P. (2009). Risks and Redistribution: An Individual-Level Analysis. Comparative


Political Studies. 42 (7): 855-881. DOI: 10.1177/0010414008330595.

Stent, A. (2012). US-Russia relations in the second Obama administration. Survival.


https://doi.org/10.1080/00396338.2012.749635

Trifkovic, S. (2017). Trump’s foreign policy: A victory for the deep state. Политеиа, 7(13),
28–52. https://doi.org/10.5937/pol1713028t

Young, O.R. (1968). The United Nations and the International System. International
Organization. Cambridge University Press. 22 (4): 902-922.
https://doi.org/10.1017/s0020818300013850.

Anda mungkin juga menyukai