Anda di halaman 1dari 32

Accelerat ing t he world's research.

Politik Luar Negeri Indonesia dalam


I Made Anom Wiranata

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

Dinamika Polit ik Luar Negeri Indonesia: Sebuah Analisis Kont emporer (T he Dynamic of Indone…
M. Mut t aqien, Radit yo Dharmaput ra

demokrasi
adit ya put ra

KONT ESTASI IDENT ITAS ISLAM MODERAT DI ASIA T ENGGARA


Lelly Andriasant i
Politik Luar Negeri Indonesia dalam
Mempromosikan Demokrasi di ASEAN
Oleh: I Made Anom Wiranata, SIP, MA
Dosen FISIP Universitas Udayana
26 Oktober 2015

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sepanjang tahun 1990-an, Pemerintah Indonesia menunjukkan resistensinya pada
tekanan internasional dalam isu demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Contoh yang
cukup jelas adalah ketika pada tahun 1992, Pemerintah Indonesia membubarkan IGGI Inter-
Governmental Group on Indonesia (kelompok negara pemberi bantuan finansial kepada
Indonesia yang dikoordinir oleh Pemerintah Belanda) oleh karena lembaga ini dianggap telah
mengintervensi urusan domestik dengan menyaratkan adanya kemajuan demokrasi dan HAM
dalam persyaratan bantuan. Argumen utama Indonesia saat itu adalah demokrasi Barat tidak
sesuai dengan demokrasi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila.
Jatuhnya pemerintahan Suharto yang diktator pada tahun 1998 membuka jalan bagi
politik luar negeri Indonesia untuk menerima nilai-nilai demokrasi. Pemerintah Indonesia
cukup terbuka terhadap bantuan teknis demokrasi dari negara-negara Barat dan lembaga-
lembaga Internasional. Pasca reformasi, banyak organisasi-organisasi internasional yang
didukung oleh donor luar negeri, membuka kantor dan bekerja di Indonesia untuk menangani
isu demokrasi dan HAM.
Semenjak stabilitas politik terbangun, Indonesia mulai membawa isu demokrasi dalam
forum regional maupun internasional. Pada bulan November 2001, Menteri Luar Negeri
Indonesia saat itu Hassan Wirajuda memberikan pernyataan pada Sidang Umum PBB yang
pada intinya menawarkan gagasan demokrasi sebagai solusi atas persoalan global (PBB,
n.d.). Ketika Indonesia menjadi Ketua ASEAN pada tahun 2011, Menlu Marty Natalagawa
menjanjikan bahwa ASEAN akan mendorong Myanmar untuk memajukan demokrasi. Menlu
Natalagawa yang menyampaikan bahwa ASEAN telah mencoba untuk berinteraksi dengan
Myanmar terkait dengan masalah demokratisasi (Reuter, 2011, para. 2).
Pada tahun 2002, Indonesia meluncurkan ide ASEAN sebagai masyarakat politik dan
keamanan. Nilai utama dari masyarakat politik dan keamanan adalah pemajuan demokrasi,
tata kelola yang baik dan penghormatan pada Hak Asasi Manusia. Menurut Menlu Hassan

1
Wirajuda (2013), ide ini mendapat penentangan yang kuat dari sembilan negara ASEAN.
Indonesia dianggap sedang memainkan peranan yang hegemonik dan menekan negara-negara
ASEAN lain. Penentangan itu terjadi akibat isu demokrasi bukanlah kepentingan dari
sebagian besar negara-negara ASEAN. Menjadikan demokrasi sebagai agenda ASEAN
adalah ancaman bagi kelangsungan rejim-rejim yang tidak demokratis di negara-negara
ASEAN (Wirajuda, 2013). Setahun setelah gagasan itu dilontarkan, konsep Masyarakat
ASEAN dari segi politik dan kemanan dapat diterima menjadi salah satu dari tiga pilar dari
Masyarakat ASEAN. Penerimaan itu terjadi dalam KTT ASEAN di Bali pada tahun 2003.
KTT tersebut menjadi semacam komitmen politik pertama untuk menempatkan promosi
demokrasi sebagai salah satu agenda dalam ASEAN
Indonesia adalah negara yang menggagas promosi demokrasi dalam ASEAN dan
sejauh ini telah berhasil melakukan konsultasi dengan negara-negara ASEAN lainnya yang
sebagian besar terdiri dari negara yang non-demokrasi ataupun quasi-demokrasi, untuk
menerima promosi demokrasi sebagai pilar Masyarakat ASEAN. Sangat menarik untuk
mengetahui motivasi dari Indonesia untuk mempromosikan demokrasi dalam ruang lingkup
ASEAN.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka peneliti merumuskan suatu masalah
penelitian yaitu:
“Mengapa Indonesia mempromosikan demokrasi dalam ASEAN?”

C. Tinjauan Pustaka
Carothers & Young (2012, p.2) mengidentifikasi lima negara demokrasi baru yang
memasukkan promosi demokrasi sebagai agenda politik luar negerinya yaitu: Brazil, India,
Afrika Selatan, Turki, dan Indonesia. Tidak seperti inisiatif dari negara-negara Barat, negara-
negara demokrasi baru ini menghindari untuk memberikan tekanan kepada negara-negara
yang dianggap melanggar demokrasi dan HAM. . Carothers & Young (2012, p. 17) mencatat
karakteristik pendekatan demokrasi yang dilakukan oleh negara-negara demokrasi baru yaitu:
1. Mengakui kedaulatan semua negara;
2. Penekanan pada pentingnya kerjasama multilateral terutama di antara negara-negara
berkembang;
3. Memiliki tujuan untuk menjadi pemimpin di kawasan mereka dan menjadi aktor
dalam arena global;
2
4. Kecurigaan dengan agenda hegemonik dari geostrategi agenda;
5. Meningkatkan hubungan dengan Cina akibat kekuatan ekonomi mereka;
6. Kecenderungan yang kuat ke arah kerja saja dan konsensus dibandingkan dengan
kritik dan permusuhan.
Carothers & Young (2012, p. 17, p. 18) mencata bahwa motivasi dari negara
demokrasi baru ini dalam mempromosikan demokrasi adalah untuk menjadi aktor yang
penting dalam panggung internasional yang mereka ingin ubah. Negara-negara ini menaruh
kecurigaan pada intervensi Amerika Serikat di negara-negara berkembang. Hal ini membuat
mereka sangat berhati-hati dalam mempromosikan demokrasi dengan cara yang sama dengan
Amerika karena tidak ingin dianggap sebagai bagian dari hegemoni Amerika. Mereka
pendekatan promosi demokrasi yang mendukung kedaulatan negara dan anti intervensi
(Carothers & Young, p. 4, p. 18).
Mereka menghindari untuk memajukan demokrasi dengan cara tekanan yang
antagonistik mengingat kepentingan mereka adalah untuk mendapatkan teman baru dan
memperluas jaringan mitra dagang mereka. Menurut Carothers & Young (2012, p. 25),
politik luar negeri dari negara demokrasi baru dalam mempromosikan demokrasi sama
seperti politik luar negeri yang memeliki kepentingan sendiri. Mereka lebih tertarik untuk
memperluas dan memperkuat kekuasaan mereka dalam kaitan dengan kompetitor regional
dibandingan dengan mengharapkan dunia yang lebih demokratis.
Currie (2010, p.21) membuat laporan tentang promosi demokrasi Indonesia dan
menganalisa bahwa pemimpin Indonesia merasa terganggu dengan fakta bahwa meskipun
Asia memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun Asia tidak memiliki kemajuan
secepat Afrika dan Amerika Latin dalam HAM dan standar demokrasi. Di bawah
pemerintahan Presiden SBY, Indonesia ada dalam posisi untuk mengubah fenomena ini.
Murphy (2012) menganalisa bahwa perubahan rejim di Indonesia menuju demokrasi
memberi kontribusi pada nilai-nilai baru yang mengarah pada proyeksi demokrasi ke luar
negeri. Ia juga mencatat bahwa promosi demokrasi Indonesia sebagai usaha untuk
memperbaiki citra internasional yang rusak setelah kekerasan yang terjadi pada referendum
di Timor Leste pada tahun 1999; Bom Bali pada tahun 2002; dan konflik komunal yang
terjadi pasca era Suharto. Menurut Sukma (2008), Indonesia memerlukan citra internasional
sebagai negara demokrasi terbesar ketiga agar Indonesia dapat mempengaruhi ASEAN.
Riset yang dilakukan oleh Carothers & Young (2012) membuat pola promosi
demokrasi dari lima negara demokrasi baru, namun mereka tidak merinci sebab-sebab dari
inisiatif Indonesia dalam mempromosikan demokrasi ke luar khususnya dalam ruang lingkup
3
ASEAN. Penelitian dari Carothers & Young (2012), Murphy (2012), dan Sukma (2008) tidak
melalukan ekplorasi terhadap pandangan dari para pembuat kebijakan luar negeri Indonesia
dan proses politik luar negeri yang kemudian menghasilkan keputusan untuk melakukan
promosikan demokrasi. Laporan penelitian yang dilakukan oleh Currie (2010) memberikan
gambaran tentang arsitektur dari promosi demokrasi Indonesia di masa yang akan datang
namun penelitian itu belum menjelaskan tentang asal muasal dari motivasi Indonesia dalam
mempromosikan demokrasi di ASEAN.

D. Kerangka Konsep dan Teori


Semenjak akhir tahun 1980-an, aktivitas dalam asistensi dalam promosi demokrasi
internasional semakin ekstensif. Asistensi demokrasi adalah asistensi atau program politik
yang bersikap sukarela dan atas niat baik yang kadang-kadang mengunakan bantuan finansial
dan sering menggunakan dukungan teknis dan transfer pengetahuan dan skill tentang
demokrasi dan cara untuk melembagakan demokrasi. Promosi demokrasi mencakup
pendekatan yang lebih luas atau strategi-strategi dengan menggunakan mekanisme,
diantaranya adalah tekanan diplomatik, persyaratan dalam hal bantuan, perdagangan, atau
kesepakatan politik. Pengertian tentang demokrasi oleh akademisi dan para praktisi
cenderung didominasi oleh pemahaman atas demokrasi dari Robert Dahl yang ia sebut
sebagai polyarchy (Burnell, 2008, p. 2-4).
Wolff & Wurm (2010, p. 9-12) mencatat ada tiga pendekatan umum dalam hubungan
internasional dalam mengerti promosi demokrasi yaitu: pendekatan rasional, pendekatan
reflektif, dan hybrid. Pendekatan rasional menganggap promosi demokrasi sebagai instrumen
politik luar negeri untuk mendapatkan keamanan nasional, kekuasaan, dan keuntungan
perdagangan. Oleh karena pilihan politik luar negeri dibuat pemimpin dan elit-elit politik
maka persepsi mereka menjadi penting (Rose, 1998; cf. Rose 1998, seperti dikutip dalam
Wolff & Wurm, 2010, p. 9-12). Oleh karena itu, kemajuan dari demokrasi liberal akan
membentuk nilai, kepentingan bersama dan yang lebih penting lagi adalah transparansi dari
keinginan negara. Itu akan mengurangi persepsi ancaman yang berasal dari negara lainnya
dan meningkatkan kerja sama antar negara.
Jika promosi demokrasi dianggap sebagai instrumen, maka langkah “oportunistik” ini
sesuai dengan perspektif realis yang sudah dimodifikasi dalam memandang promosi
demokrasi (Schweller, 2000, as cited in Wolff & Wurm, 2010, p. 9-12). Suatu negara akan
mempromosikan demokrasi jika pemimpinnya melihat upaya ini akan membawa manfaat
untuk meningkatkan situasi geostrategis dari satu negara dalam jangka panjang, tanpa
4
merugikan keamanan nasional dan posisi relatif kekuasaan (Wolff & Wurm, 2010, p. 9-12).
Liberalisme komersial (bagian lain dari pendekatan rasional) sesuai dengan proposisi dari
realis yang termodifikasi. Perbedaannya, perspektif liberalisme komersial mengganti tujuan
keamanan dengan kepentingan ekonomi (cf. Moravcsik, 1997; Doyle, 2008, seperti dikutip
dalam in Wolff & Wurm, 2010, p. 9-12).
Tipe pendekatan yang kedua adalah pendekatan reflektif yang melihat promosi
demokrasi sebagai suatu norma. Secara umum, pendekatan reflektif pada hubungan
internasional dan politik luar negeri beranggapan bahwa aktor dan struktur-strutkur dalam
politik internasional tidak terlepas dari konteks sosial.Cara mereka melihat dunia, tujuan-
tujuannya dan preferensinya, terkonstruksi secara sosial (Harnisch, 2003; seperti dikutip
Wolff & Wurm, 2010, p. 11). Menurut pendekatan ini, norma demokrasi pada tingkat
nasional dan internasional memiliki dampak pada kebijakan luar negeri pada isu demokrasi
(Boekle et al., 1999, seperti dikutip dalam Wolff & Wurm, 2010, p. 11). Dampak politik luar
negeri sebagai akibat dari norma demokratis pada level domestik disebut dengan Actor-
Centered Constructivism dan dampak dari norma demokrasi pada level internasional disebut
dengan Sociological Institutionalism.
Pendukung Actor-Centered Constructivism berargumen bahwa negara-negara
demokrasi cenderung menginternasionalisasi norma-norma domestik. Promosi demokrasi
adalah proyeksi dari citra-diri nasional, peran dan identitas, dan budaya politik luar negeri.
Sebagai contoh, budaya politik luar negeri mencakup pandangan dunia yang mengarah pada
kesadaran dari suatu bangsa dan agency yang terkait dengan tindakan internasional
(Harnisch, 2003, as cited in Wolff & Wurm, 2010, p.11). Promosi demokrasi internasional
dapat dilihat sebagai misi moral yang melekat pada budaya politik luar negeri suatu negara
demokratis (cf. HSFK, 2008, seperti dikutip dalam Wolff & Wurm, 2010, p. 12).
Sementara Actor-Centered Constructivism menekankan pada latar belakang sosio-
kultural dari suatu politik luar negeri, Sociological Institutionalism melihat efek dari norma
internasional pada suatu politik luar negeri (Jepperson, 1996, seperti dikutip dalam Wolff &
Wurm, 2010, p. 12). Pandangan ini paralel dengan konsep English School yaitu “masyarakat
internasional”, yang mengatakan bahwa sebagai persyarat untuk berinteraksi dalam sistem
internasional, masyarakat internasional harus memiliki norma-norma dan aturan bersama.
Norma-norma internasional dalam konteks ini mengidentifikasi harapan-harapan bersama
dari tindakan-tindakan yang dinggap pantas (March/Olsen, 1998; cf. Müller, 2004, seperti
dikutip dalam Wolff & Wurm, 2010, p. 12). Dampak dari norma-norma internasional pada
promosi demokrasi adalah jelas. Perkembangan ideologi demokrasi dan model pasar adalah
5
contoh yang jelas dari pelembagaan ideologi kewargaan dan hak asasi manusia pada level
regional dan global (Jepperson et al., 1996, seperti dikutip dalam Wolff & Wurm, 2010, p.
13).
Tipe pendekatan yang ketiga adalah pendekatan hibrid dalam promos demokrasi.
Wolff & Wurm (2010, p. 13) membagi pendekatan hibrid menjadi Republican Liberalism
dan Neo-Gramscian approach. Faktor utama dalam Republican Liberalism mencakup, pada
satu sisi, “moda dari representasi politik domestik” dan pada sisi lainnya adalah alokasi dari
“preferensi sosial” (Moravcsik, 1997, seperti dikutip dalam Wolff & Wurm 2010, p. 13).
Menurut teori ini, politik luar negeri dari suatu negara-negara demokratis dan dengan
demikian dipengaruhi oleh alokasi preferensi sosial dari suatu negara, kemampuan
kelompok-kelompok sosial untuk menyampaikan preferensi mereka, dan bentuk-bentuk
spesifik dari lembaga-lembaga politik yang mempengaruhi representasi politik dari berbagai
kelompok masyarakat. Menurut teori ini, isi dari politik luar negeri kemudian ditentukan oleh
kelompok-kelompok domestik yang terepresentasi secara politik (Moravcsik 1997, seperti
dikutip dalam Wolff & Wurm 2010, p. 13). Suatu negara akan melihat ekspansi dari
demokrasi sebagai tujuan yang penting dari masyarakat sipil dan kelompok-kelompok sosial
lainnya, demikian pula dengan opini publik yang meminta promosi demokrasi dalam politik
luar negerinya.
Robinson (1996, p. 627) menjelaskan tentang model Neo-Gramscian dalam hubungan
internasional dalam konteks promosi demokrasi. Cara terbaik untuk melihatnya menurutnya
adalah melalui dua level yaitu: struktural dan perilaku. Analisa struktural menekankan pada
peningkatan ekonomi pada tahun 1960-an dan dampaknya pada politik transnasional dan
formasi kelas, hubungan negara Utara dan Selatan, hegemoni, dan tertib dunia. Analisa
perilaku menekankan pada debat kebijakan dan diskusi penting di antara para pengambilan
keputusan tentang tipe pengaturan politik yang cocok untuk mereproduksi hubungan Utara-
Selatan dan tertib sosial dalam negara pinggiran (periperi) dalam sistem dunia.

Diplomasi Publik
Diplomasi publik adalah serangkaian aktivitas yang disponsori negara yang berupaya
mempengaruhi pendapat publik di luar negeri. Dengan demikian, itu akan menciptakan
lingkungan yang lebih kondusif bagi perapan politik luar negeri. Diplomasi publik mencakup
semua aspek diantaranya adalah program pemerintah yang informatif, siaran berita, dan
pertunjukan seni budaya. Diplomasi publik sangat terkait dengan apa yang disebut oleh
Joseph Nye sebagai soft power. Menurutnya Soft power adalah kekuasaan yang didasarkan
6
pada pengaruh yang tidak terlihat seperti budaya, nilai-nilai, dan ideologi. Nye menyebut
Soft Power sebagai kapasitas untuk mempengaruhi perilaku untuk mendapatkan apa yang
diinginkan. Nye mengklasifikasi tiga cara utama untuk mendapatkan kekuasaan yaitu:
1. Kekerasan dengan ancaman;
2. Mendorong perubahan perilaku dengan pembayaran; atau
3. Menari perhatian dan kooptasi
Cara yang ketiga adalah bentuk soft power yaitu membuat orang lain menghormati anda dan
kemudian mereka mengubah perilakunya sesuai dengan harapan anda. Dalam konteks
diplomasi publik dan soft power, promosi demokrasi internasional adalah upaya untuk
mempengaruhi negara-negara lainnya untuk mencapai kepentingan tertentu (Snow, 2009,
dalam Snow dan Taylor, Eds., p.3)

Teori Public Good


Menurut Burnell (2008, p. 8-10), public goods adalah barang-barang yang terdistribusi
untuk semua orang. Public goods tidak membuat konsumsi suatu pihak berkurang akibat
konsumsi pihak lain dan manfaat yang didapat bersifat inklusif. Di antaranya jenis-jenis
public goods, perdamaian internasional dan keamanan global digolongkan sebagai public
goods dalam hal substansi dan bentuk. Teori public good mengatakan bahwa aktor non-
negara tidak akan mampu menyediakan public goods. Burnell, 2008, p. 15). Dengan kata
lain, hanya aktor negara yang dapat mempromosikan demokrasi.

E. Tujuan dan Manfaat


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi motivasi Indonesia dalam
mempromosikan demokrasi dalam ASEAN. Upaya pemerintah Indonesia untuk
mempromosikan demokrasi adalah demokrasi pada level tinggi yang melibatkan kepala
negara dan menteri luar negeri di Asia Tenggara. Sangat penting untuk mengerti proses
pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia dalam mempromosikan demokrasi oleh karena
hal tersebut akan mempengaruhi kepemimpinan Indonesia pada level regional. Penelitian ini
akan bermanfaat bagi para pengambil kebijakan luar negeri Indonesia, kalangan akademisi
hubungan internasional dan para penggiat demokrasi.

II. METODE PENELITIAN


A. Pendekatan

7
Penelitian ini menggunakan pendekatan interpretivisme. Pendekatan ini mencoba untuk
memahami dunia sosial sebagimana adanya. Tujuannya adalah untuk mendapat deskripsi
yang mendalam tentang pandangan suatu aktor (Geertz, seperti dikutip dalam Rossman and
Rallis, 2003). Manusia dilihat sebagai pencipta dari pandangannya tentang dunia dan dengan
demikian paradigma ini memandang penting agency (orang-orang) yang membentuk cara
pandang tentang dunia. Metode riset yang digunakan dalam paradigma interpretivisme adalah
humanistik yaitu interaksi tata muka baik dalam wujud wawancara mendalam maupun
observasi yang extensive ataupun kombinasi diantara keduanya (Rossman and Rallis, 2003).

B. Konsep dan Definisi


Promosi demokrasi adalah penyebarluasan nilai-nilai demokrasi di luar wilayah suatu
negara. Promosi demokrasi mencakup pendekatan yang luas atau strategi-strategi dengan
menggunakan mekanisme, diantaranya adalah tekanan diplomatik, persyaratan dalam hal
bantuan, perdagangan, atau kesepakatan politik. (Burnell, 2008, p. 2-4).

C. Asumsi
a. Negara memiliki kepentingan nasional dalam politik luar negeri.
b. Politik luar negeri suatu negara dipengaruhi oleh politik domestiknya.
c. Norma-norma internasional mempengaruhi politik luar negeri suatu negara.
d. Negara akan melakukan diplomasi dalam memperjuangkan suatu agenda dalam
organisasi internasional.

D. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan pada rentang waktu sejak Indonesia memulai promosi
demokrasi internasional pada tahun 2001 sampai dengan diterimanya agenda demokrasi
dalam ASEAN pada tahun 2012.

E. Jenis Metode Penelitian


Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan Kualitatif adalah bentuk
penelitian yang berakar dari empirisme yaitu tradisi filosofis yang berargumen bahwa
pengetahuan didapatkan dari pengalaman langsung melalui panca indera (Rossman and
Rallis, 2003). Penelitian kualitatif adalah pendekatan umum dalam fenomena sosial yang
mana pendekatan tersebut bersifat naturalistik dan interpretatif, dan menggunakan berbagai
metode penggalian data (Denzin, seperti dikutip dalam Rossman and Rallis, 2003). Data yang

8
muncul dari penelitian kualitatif bersifat deskriptif yaitu data lebih ditampilkan dalam bentuk
kata-kata dibandingkan dengan angka (Merriam, seperti dikutip dalam Cresswell, 2002).
Tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk memahami situasi, peristiwa, peran, kelompok,
atau interaksi sosial tertentu (Silverman, seperti dikutip dalam Cresswell, 2002). Peneliti
dalam penelitian kualitatif menurut Marshall and Rosman (seperti dikutip dalam Cresswell,
2002) mendapatkan informasi melalui interaksi untuk mendapatkan perspektif dan makna
dari informan.
Jenis penelitian kualitatif dilakukan adalah penelitian kualitatif generik (umum).
Menurut Merriam (seperti dikutip dalam Cresswell, 2002), penelitian kualitatif generik
adalah metode kualitatif yang bertujuan untuk menemukan dan memahami suatu fenomena
yang didalamnya terdapat proses atau perspektif dan cara pandang dari orang-orang yang
terlibat. Penelitian kualitatif generik membuat kombinasi dari beberapa ciri-ciri dari jenis
penelitian kualitatif lainnya namun tidak membuat klaim atas satu jenis penelitian kualitatif.

F. Metode Penggalian Data


Peneliti menggunakan studi dokumen sebagai metode penggalian data. Pada umumnya
dokumen adalah segala catatan/rekaman yang memuat pikiran, tindakan dan ciptaan
seseorang (Potter, 1996). Penggalian data melalui studi dokumen dilakukan dengan
menelurusi pernyataan-pernyataan dari para pengambil kebijakan luar negeri Indonesia di
media masssa, oral history yang sudah terekam, dokumen-dokumen dari kementerian luar
negeri, dan penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan.

G. Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini menggunakan unit analisis negara.

H. Analisis Data
Analisa data kualitatif adalah serangkaian proses dan prosedur untuk mengubah data
menjadi penjelasan, pengertian atau interpretasi dari orang atau fenomena yang diteliti
(Lewins, A., Taylor, C. & Gibbs). Dalam proses ini, peneliti mencari kategori atau tema dari
data mentah untuk kemudian memberikan penjelasan atas suatu fenomena. Kemudian peneliti
menganalisa hubungan antara berbagai kategori atau tema-tema yang telah teridentifikasi
sebelumnya secara induktif.
Dalam menganalisa data peneliti melakukan berbagai tahapan analisa data seperti
yang diutarakan oleh Lacey and Luff (2001):

9
a. Familiarisasi. Peneliti harus mengetahui segenap material data yang dikumpulkan dan
konsekuensi dari teknik pengumpulan data.
b. Menseleksi data yang relevan dari dokumen dan menuliskan data tersebut dalam sebuah
kompilasi transkrip.
c. Organisasi data. Setelah membuat transkrip, peneliti mengorganisasikan data
sedemikian rupa agar dapat ditelusuri kembali. Misalnya kode nomer dari nama
samaran informan harus tetap bisa konsisten dengan informan yang bersangkutan.
d. Reduksi data dan coding. Data direduksi dengan coding. Coding adalah proses untuk
memeriksa bahan mentah dari data kualitatif yang ada dalam trankrip dan kemudian
membuat kode yang berbeda yang dengan mudah dapat ditelusuri kembali pada tahap
berikutnya untuk melakukan perbandingan, analisa, dan identifikasi pola. Penelitian ini
menggunakan jenis coding berdasarkan tema. Menurut Straus dan Corbin (1990),
terdapat dua jenis coding, yaitu open coding dan axial coding. Open coding, adalah
pemberian label pada frase tertentu dengan membaca rinci setiap text dari hasil
transkrip. Sedangkan axial coding adalah kategorisasi yang merupakan
pengelompokkan label-label yang telah diberikan pada kata dan frase. (Strauss &
Corbin seperti dikutip dalam Creswell, 2002 ). Dalam mereduksi data, peneliti
menggunakan perpaduan antara open coding dan axial coding.
e. Analisa. Peneliti menggunakan teknik analisa data yang oleh Ritchie and Spencer
(seperti dikutip dalam Srivastava dan Thomson, 2009) disebut dengan analisa kerangka
(framework analysis). Metode ini tidak ditujukan untuk membentuk teori baru seperti
grounded theory namun data analis berhenti pada level deskripsi atau interpretasi.
Analisis kerangka memberikan keleluasaan selama proses analisa oleh karena peniliti
dapat menganalisa selama proses pengumpulan data berlangsung ataupun setelahnya.
Pendekatan ini juga memberikan fleksibilitas dalam membuat kategori atau tema baik
sebelum penggalian data maupun setelah penggalian data (Ritchie dan Spencer, seperti
dikutip dalam Srivastava dan Thomson, 2009). Dalam hal ini, peneliti menggunakan
teknik pembuatan kategori/label setelah pengumpulan data.

I. Teknik Penyajian Data


Peneliti menggunakan teknik penyajian data berdasarakan tema-tema kunci. Setiap bab
dalam analisa data menunjukkan tema-tema yang berbeda. Temuan dalam penelitian
kualitatif terintegrasi atau terhubung dengan studi literatur dan dapat mencakup pernyataan
interpretasi dari peneliti (Rossman & Rallies, 2003).
10
J. Teknik Pengambilan Kesimpulan
Pada tahap ini penulis merefrase tujuan dari penelitian dan menulis kesimpulan
berdasarkan pertanyaan riset. Kesimpulan yang dibuat oleh meneliti adalah ringkasan
(sinopsis) dari jawaban atas pertanyaan riset berdasarkan data yang telah digali. Kesimpulan
juga memuat limitasi dari penelitian ini dan kebutuhan terhadap topik-topik tertentu yang
relevan dengan temuan dalam penelitian ini.

11
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Peran Indonesia dalam Promosi Demokrasi di ASEAN


Usulan untuk mengubah ASEAN menjadi sebuah komunitas keamanan, yang
mengharuskan ASEAN untuk menjadi sebuah entitas demokratis, pertama kali digagas oleh
Indonesia pada bulan Juni 2003 pada Pertemuan ASEAN Senior Officials yang ke-36 pada di
Phnom Penh (Kamboja). Untuk pertama kalinya pada KTT ASEAN ke-9 di Bali pada bulan
Oktober 2003, pemimpin ASEAN menempatkan demokrasi sebagai agenda bersama secara
resmi. Meskipun proposal itu menghindari referensi yang imperative pada “agenda
demokrasi” tapi yang jelas deklarasi tersebut (Bali Concord II) adalah seruan untuk
kemajuan demokrasi di Asia Tenggara. Dalam deklarasi itu disebutkan bahwa ASEAN
Security Community diharapkan mengarah pada kerja sama politik dan keamanan pada level
yang lebih tinggi untuk memastikan bahwa negara-negara di kawasan Asia Tenggara hidup
dalam damai satu sama lainnya dan hidup berdamai dengan dunia dalam lingkungan yang
adil dan demokratis. (ASEAN, 2003).
Bali Concord II (ASEAN Concord II) memberikan kerangka waktu untuk ASEAN
untuk mentransformasi dirinya menjadi ASEAN Community pada tahun 2020. Sejak tahun
2003, ASEAN mengikrarkan untuk membentuk ASEAN yang didasari oleh tiga pilar yaitu
ASEAN Economic Community; ASEAN Security Community (ASC), yang kemudian
menjadi ASEAN Political and Security Community; dan ASEAN Social and Cultural
Community. Pada bulan Desember 2005, saat ASEAN menyelenggarakan KTT yang ke-11,
negara-negara ASEAN sepakat untuk mencapai ASEAN Community tersebut pada tahun
2015.
Dalam ASEAN Security Community (ASC), negara-negara ASEAN mengakui tujuan
baru ASEAN dalam memajukan demokrasi dan penghormatan terhadap HAM. Pada tahun
2003, Indonesia mengusulkan dimasukkannya konsep Pembangunan Politik dalam Deklarasi
ASEAN Concord II. Dengan konsep pembangunan politik , Indonesia mendesak pentingnya
bagi negara-negara anggota ASEAN ( a) untuk meningkatkan partisipasi masyarakat ,
khususnya melalui pelaksanaan pemilihan umum; ( b ) untuk melaksanakan good governance
' (c ) ' untuk memperkuat lembaga peradilan dan reformasi hukum ' , dan ( d ) untuk
mempromosikan hak asasi manusia dan kewajiban melalui pembentukan Komisi hak Asasi
Manusia ASEAN . ' Proposal ini oleh Indonesia adalah terobosan baru untuk praktek kerja
ASEAN berkaitan dengan menempatkan agenda demokrasi sebagai agenda yang resmi.
Namun Pembangunan Politik tidak dimasukkan dalam Deklarasi tersebut. Pembangunan

12
Politik kemudian pada tahun 2004 masuk ke dalam ASCPA (ASEAN Security Community
Plan of Action) (Sukma, 2009).

B. Norma dan Persepsi dari Elit Pengambilan Keputusan


Politik luar negeri suatu negara banyak ditentukan oleh norma yang dianut oleh elit
pengambilan keputusan. Berbeda dengan politik domestik yang dipengaruhi oleh banyak
kelompok elit dan kekuatan massa, politik luar tidak mendapat pengaruh yang sebegitu
beragam sebagaimana halnya politik domestik. Arah dari politik luar negeri banyak
dipengaruhi oleh elit pengambilan keputusan luar negeri yang mencakup pimpinan
pemerintahan, Menteri Luar Negeri, Birokrat, think tank, dan kelompok lobby.
Pada masa pemerintahan Suharto, politik luar negeri sebagian besar ditetukan oleh
visi Presiden Suharto dan penasehat-penasehat yang sebagian besar berasal dari kalangan
militer dan teknokrat. Pola ini menempatkan Kementerian Luar Negeri lebih sebagai
pelaksana dan pembela keputusan dari Presiden Suharto. Semenjak Indonesia memasuki
demokratisasi, proses dan inisiatif pengambilan politik luar negeri juga mengalami
perubahan.
Saat Indonesia memasuki demokrasi, peran Kementerian Luar Negeri dalam
merumuskan politik luar negeri semakin signifikan. Pada masa pemerintahan Presiden
Megawati, inisiatif pembuatan kebijakan luar negeri berada pada Kemenlu dan presiden
hanya berperan dalam memberikan persetujuan. Misalnya, Presiden Megawati menunjuk
diplomat profesional dan karir, Hasan Wirajuda, sebagai Menteri Luar Negeri untuk
memimpin Kementerian Luar Negeri. Menurut Hadi Soesastro dari CSIS , Presiden
Megawati jarang memulai kebijakan dan tidak mencari nasihat dari berbagai sumber dan
hanya mengandalkan Kementerian Luar Negeri untuk memulai dan mengartikulasikan
kebijakan (Khine, 2011). Oleh karena itu, Kementerian Luar Negeri di bawah Menteri
Hassan Wirajuda menjadi sangat kuat dan berpengaruh. Presiden Susilo Yudhoyono
mengangkat kembali Hassan Wirajuda sebagai Menteri Luar Negeri dalam periode
pertamanya menjadi presiden (2004-2009). Berdasarkan konstelasi tersebut, sangat penting
untuk melihat kiprah Kemenlu Indonesia pada awal tahun 2000 sampai dengan tahun 2008
ketika nilai demokrasi dalam Piagam ASEAN sudah diratifikasi oleh semua negara ASEAN.
Promosi demokrasi Indonesia di ASEAN tidak terlepas dari visi dan keyakinan
Menlu Hassan Wirayuda tentang demokrasi sebagai masa depan perdamaian dunia.
Visinya tersebut sudah tampak saat Beliau menyampaikan pidato di Majelis Umum PBB
pada tahun 2001. Mewakili delegasi Indonesia, Beliau mengatakan bahwa persoalan
13
global umat manusia seperti perang, terorisme, penjajahan, kekerasan massal, dan
sebagainya adalah akibat hubungan manusia yang tidak seimbang. Solusinya adalah
pengakuan pada prinsip kesetaraan hak-hak dasar manusia di hadapan hukum Tuhan dan
hukum manusia. Jika manusia sudah setara, maka setiap manusia bertanggung jawab atas
tindakannya pada orang lain dan rasa keadilan tiap orang terpenuhi. Selanjutnya Beliau
juga menyampaikan bahwa tantangan umat manusia ke depan adalah memastikan
demokrasi dapat bekerja dan membawa kehidupan yang lebih baik bagi umat manusia.
Dalam setting demokrasi, tiap orang berkomitmen pada persamaan derajat, setiap hidup
manusia sama berharganya dengan manusia lain. Gagasan Indonesia pada sidang umum
PBB itu menawarkan demokrasi sebagai jawaban atas masalah kesejateraan umum dan
perdamaian dunia. Melalui Menlu Hassan Wirajuda, Indonesia menyampaikan pesan
bahwa demokrasi menjadi instrumen untuk mencapai perdamaian dan kesejahteraan.
Beliau masih menunggu perkembangan politik dalam negeri untuk mendapatkan
momen yang tepat untuk memulai promosi demokrasi setidaknya pada level regional.
Promosi demokrasi Indonesia dilakukan oleh Kemenlu dengan mempertimbangkan
momen saat Indonesia memasuki konsolidasi demokrasi yang berarti bahwa sebagian
besar rakyat Indonesia percaya dengan demokrasi dan tidak ingin kembali lagi pada
rezim diktator. Seperti yang disampaikan oleh Mantan Menlu Hassan Wirajuda (2013)
pada wawancara untuk keperluan Oral History di Kantor the Institute for Peace and
Democracy,
” In the history of Indonesian diplomacy the promotions of democracy for the first
time in Indonesian diplomacy started activity in 2002 in particular when we began
to project the values democracy both as a universal value as well as our own
value……. Our democratic gains was still very much in its infancy. But we can say
that even by 2002 following the successful election result 1999 we can conclude
that democracy has began to take its root in our society at least when the first time
Indonesian began to enjoy freedoms since 1999 by year 2002 we can be very sure
that those freedoms cannot easily be taken back. And people would oppose or
rebels against it.”

Jika Kemenlu Indonesia memulai promosi demokrasi pada saat Indonesia belum
memasuki tahap konsolidasi demokrasi tentulah akan sangat berisiko. Hal ini disebabkan
karena negara yang masih mengalami transisi demokrasi masih memiliki kemungkinan
untuk kembali pada sistem pemerintahan diktator jika sebagian besar masyarakatnya
merasa demokrasi tidak lebih baik dari rezim sebelumnya. Jika itu terjadi pada
Indonesia, maka promosi demokrasi Indonesia ke ASEAN akan menjadi bumerang dan
justru mencatuhkan citra Indonesia.

14
Visi dari Menlu Hassan Wirajuda juga didukung oleh perubahan rekrutmen
diplomat Indonesia yang dimulai pada masa kepemimpinan Menlu Hassan Wirajuda.
Umar Hadi yang menjabat sebagai Direktur Diplomasi Publik semenjak tahun 2005 dan
menjadi tokoh penting dalam penyelengaraan Bali Democracy Forum pada tahun 2008,
mengakatakan bahwa Menlu Hassan Wirajuda melakukan restrukturisasi dalam
Kementerian Luar Negeri dengan merekrut diplomat yang memiliki pendidikan yang
baik. Seperi yang dikatakan oleh Jusuf Wanadi dari CSIS, "Hari ini Indonesia memiliki
sekelompok diplomat muda yang terdidik dan fasih dalam bahasa Inggris dan memiliki
sense yang tinggi terhadap tujuan politik luar negeri . Meskipun krisis dan keterbatasan
anggaran , Indonesia telah mampu mengembangkan kelompok yang solid dan efektif ".
Dengan belakang pendidikan Barat dan rasa percaya diri telah muncul di kalangan
diplomat Indonesia untuk membawa pengalaman Indonesia dalam transisi demokrasi ke
forum regional dan internasional. Mereka sangat percaya bahwa sebagai negara paling
demokratis di Asia Tenggara , Indonesia harus berbagi atau mencerminkan pengalaman
demokratis dengan sesama anggota ASEAN melalui kerja sama . Bertentangan dengan
persepsi umum bahwa situasi politik dan ekonomi dalam negeri Indonesia yang masih
berantakan, mereka memiliki keyakinan yang kuat bahwa transformasi politik dalam
negeri di Indonesia akan berlangsung dengan damai. Mereka menganggap diri mereka
sebagai promotor utama prinsip-prinsip demokrasi di tingkat regional (ASEAN) .
Mereka yakin bahwa Indonesia dapat memberikan kontribusi untuk meningkatkan
persatuan dan kerja sama ASEAN.
Di samping melihat faktor Menlu dan para diplomat kemenlu, sangat penting juga
untuk melihat pengaruh elit lainnya dalam formulasi politik luar negeri Indonesia dalam
mempromosikan demokrasi di ASEAN. Peran CSIS sebagai lembaga think tank turut
membeli andil dalam inisiatif Indonesia ini. Meskipun tidak memiliki hubungan
kelembagaan dengan Kemenlu, peneliti dari CSIS teruta Rizal Sukma memiliki
hubungan personal yang baik dengan pejabat Kemenlu. Di samping itu, keahlian CSIS
dalam urusan hubungan luar negeri tidak terbantahkan. Melalui hubungan yang baik
tersebut, CSIS bekerja secara langsung dengan Menteri Luar Negeri dan beberapa
Direktur Jenderal dari Kementerian Luar Negeri . Pada tahun 2003, ketika Indonesia
mempersiapkan gagasan ASC , CSIS memberikan masukan kebijakan kepada
Kementerian Luar Negeri dan memberikan dukungan pemikiran selama proses negosiasi
di tingkat regional . Rizal Sukma dari CSIS bekerja sama dengan Kementerian Luar
Negeri melalui teman-temannya yang bekerja di Kementerian Luar Negeri Marty
15
Natalegawa seperti (Menteri Luar Negeri saat ini) , dan Umar Hadi ( Direktur Diplomasi
Publik) yang saat itu merupakan mantan asisten pribadi Menteri Hassan Wirajuda.
Mereka adalah teman-temannya atau teman sekelas di universitas . Melalui mereka , ia
bekerja dengan Menteri Luar Negeri dan Direktur Jenderal - dari masing-masing
departemen dari Kementerian Luar Negeri .
Keterlibatan Rizal Sukma dalam sebagian besar perumusan konsep ASC pada
tahun 2003 dan negosiasi lanjutan di tingkat regional pada tahun 2003-2004
didasarkan pada hubungan pribadi dengan pejabat di Kementerian Luar Negeri.
Rizal mengakui bahwa hubungan pribadinya dengan pejabat-pejabat di Kemenlu
memberikan warna dalam hubungan kerja mereka. Rizal Sukma menjelaskan
(Khine, 2008),
“For the ASC concept, the people from CSIS, especially myself and my
friends from Foreign Ministry, (worked together) we spoke together; we
hang out together all the time. Because of personal understanding and
friendship and personal net work make easier for us to work with the
Foreign Ministry.”

Usulan ASEAN untuk menjadi suatu komunitas pada awalnya diarahkan semata-
mata untuk menjadi ASEAN Economic Community seperti yang diusulkan oleh
Singapura. Menlu Hassan Wirajuda melihat bahwa komunitas yang hanya menekankan
pada aspek ekonomi tidak akan menghasilkan kestabilan dan pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan. Dalam berbagai seminar dan workshop yang didata setelah beliau selesai
menjabat, Mantan Menlu ini menekankan bahwa pemerintahan yang diktator justru dapat
membawa pembangunan ekonomi dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, sepeti yang
dialami oleh Indonesia pada masa pemerintahan Suharto dengan pertumbuhan ekonomi
rata-rata 7% tiap tahunnya. Namun, kondisi ekonomi akan membuat masyarakat meminta
ruang kebebasan berexpersi yang tidak bisa diberikan oleh rezim yang diktator.
Akibatnya, waktulah yang menentukan perubahan politik menuju transisi demokrasi
sebagai perwujudan dari permintaan publik yang menuntut ruang politik (Wirajuda,
2013).
Atas dasar norma dan persepsi tersebut, pada akhir tahun 2002 segera setelah
Singapura datang dengan konsep ASEAN Economic Community, Kementerian Luar
Negeri meminta CSIS (Centre for Strategic dan International Studies), untuk memberikan
masukan ide untuk menyeimbangkan kerjasama ASEAN antara ekonomi dan keamanan.
Kemudian diskusi informal dan intensif dimulai antara Kementerian Luar Negeri
termasuk mantan Menteri Hassan Wirajuda sendiri dan beberapa pejabat senior yang

16
menangani kerjasama regional pada waktu itu seperti Makarim Wibisono, Direktur
Jenderal Kerjasama Regional Asia dan Afrika , Gary M. Jusuf, Direktur Kerjasama
ASEAN, dan diplomat muda yang bekerja di kantor Menteri Luar Negeri dan beberapa
peneliti dari CSIS seperti Jusuf Wanadi, Hadi Soesatro dan terutama, Rizal Sukma .
Pembahasan terutama difokuskan pada tantangan utama dari ASEAN, dan cara bagi
Indonesia untuk dapat mencapai perannya kembali di ASEAN.
Selama diskusi, Menlu Hasan Wiyaruda menyatakan keprihatinannya atas ASEAN
pada waktu itu. Perhatian pertama adalah tentang ketidakseimbangan dalam kerjasama
ASEAN. Beliau merasa bahwa selama 35 tahun terakhir, sejak berdirinya ASEAN, telah
terjadi ketidakseimbangan dalam kerjasama ASEAN. Meskipun ASEAN diciptakan
dalam konteks politik saat itu, untuk mengatasi konflik antara Indonesia, Malaysia dan
Singapura, tetapi selama bertahun-tahun , ASEAN terlalu terfokus pada kerjasama
ekonomi. Beliau juga berpikir bahwa ASEAN perlu memperbaiki keseimbangan dalam
kerjasama dan bagaimana mengatasi kebuntuan dan mencapai kerjasama politik dan
keamanan.
Perhatian kedua adalah relevansi ASEAN dalam perubahan lingkungan keamanan
global dan regional. Menlu Wirajuda merasa bahwa karena proses pembesaran
keangotaannya, ASEAN memiliki perbedaan di antara anggotanya dalam hal
pengembangan politik maupun ekonomi . Tantangan keamanan non-tradisional dalam
perubahan lingkungan keamanan global dan regional memerlukan penanganan yang
terpadu dan efektif di ASEAN.
Perhatian Menteri Hassan Wirajuda pada waktu itu adalah bagaimana ASEAN
dapat diintegrasikan dan terkonsolidasi dalam rangka mempertahankan relevansinya
dalam dunia yang terus berubah . Kementerian Luar Negeri dan CSIS melakukan
konsultasi yang intensif sepanjang akhir 2002 sampai Maret 2003. Menurut Rizal
Sukma, istilah "Komunitas Keamanan ASEAN" lahir melalui serangkaian diskusi ini
informal dan pertama kali muncul dalam concept paper yang diterbitkan tanggal Januari
2003 (Khine, 2011).
Rizal Sukma memberikan kontribusi pemikiran mengenai pentingnya
memasukkan HAM sebagai bagian dari ASC. Namun ia tidak setuju dengan gagasan
untuk memasukkan demokrasi sebagai nilai regional. Menurutnya, tidak mungkin untuk
menerapkan demokrasi dalam negara-negara ASEAN. Ia tidak merekomendasikan
“demokrasi” sebagai bagian dari kerja sama ASEAN dalam bidang keamanan dan
politik. Ia memiliki perbedaan pendapat dengan Menlu Hassan Wirajuda tentang nilai
17
demokrasi dalam ASEAN. Seperti pidatonya pada Sidang Umum PBB pada tahun 2001
yang menunjukkan keyakinannya pada demokrasi sebagai solusi global, Menlu Hassan
Wirajuda merasa bahwa itu tidak cukup untuk memperbaiki hanya hak asasi manusia di
ASEAN tetapi juga perlu mengembangkan kondisi politik internal negara anggota
anggota. Menlu Hassan Wirajuda sendiri percaya bahwa itu penting penting untuk
memberikan prioritas bagi tata pemerintahan yang baik, lembaga-lembaga demokrasi ,
partisipasi masyarakat dalam politik , dan hak asasi dalam rangka mengurangi
keragaman anggota dalam pembangunan politik. Baginya akan menjadi sulit bagi
ASEAN untuk memiliki identitas bersama dan bekerja sama apabila dalam hal orientasi
politik, negara-negara anggotanya masih terbelah antara negara demokrasi, semi-
demokrasi, dan non-demokrasi (Wirajuda, 2013).
Baginya saat itu yang terpenting adalah mengangkat isu demokrasi itu dalam
diskusi negara-negara ASEAN, apapun nanti bentuk kerja sama yang mungkin
dilakukan. Oleh karena alasan itulah, Indonesia memasukkan “promosi demokrasi” di
bawah seksi “pembangunan politik” ketika Indonesia membuat draft ASC dalam Bali
Concord II. Sehubungan dengan inisiatif berani Indonesia yang mengambil inisiatif
dalam mengeluarkan gagasan “Pembangunan Politik" dalam usulan ASC, Mantan
Menlu Hassan Wirajuda menjelaskan (Khine, 2008),
“…Our ten countries of ASEAN are comprised of countries of different political
system……Talking about politics within ASEAN is regarded as a sensitive issue.
…We have talked about economic cooperation but we don’t touch the politics.
…If we don’t fix this problem, it will be handicapped for ASEAN and it cannot be
a strong ASEAN. That’s why, I proposed the idea of “political development” in
order to narrow down the political orientation within ASEAN but we are not
talking about one model of democracy.”

Promosi demokrasi Indonesia di ASEAN menujukkan ada kebanggaan baru yang


dimiliki oleh elit-elit politik Indonesia pasca reformasi. Mereka, seperti yang dikatakan
diplomat Umar Hadi, melihat bangsanya sebagai pembawa standar di Asia tentang
"modernitas, Islam moderat dan nilai-nilai demokrasi." Indonesia membuat Jepang dan
India (dua negara demokrasi yang sudah mapan di Asia) merasa malu karena Indonesia,
negara Asia yang baru memulai demokrasi pada tahun 1999 sudah mampu mempromosikan
demokrasi ke luar negeri (Acharya, 2009).
Kebanggaan yang baru itu muncul sebagai bentuk respon dari elit politik luar negeri
Indonesia yang telah lama berada pada posisi yang dipojokkan akibat catatan buruk
demokrasi dan HAM pada masa pemerintahan Suharto. Mereka berhasil membuat kelemahan

18
diplomasi Indonesia pada masa Orde Baru menjadi sesuatu kekuatan yang layak dibanggakan
pada sekarang ini. Promosi demokrasi Indonesia telah mendapat rasa hormat dari dunia
internasional. Perubahan dari kelemahan menjadi kekuatan diplomasi tersebut terungkap dari
pernyataan Menlu Hassan Wirajuda ketika Beliau diwawancarai oleh wartawan pada bulan
Oktober 2001 (Democracy Coalition Project, n.d),
“For a long time, the Indonesian public did not quite see human rights in the same
way that the international public did. This discrepancy in perception became a
constraint in the development of our foreign relations. We will do our best to remove
that perception gap.”

Kebanggaan lainya dari elit politik luar negeri Indonesia adalah promosi demokrasi
yang dilakukan oleh Indonesia di level ASEAN adalah antitesa dari pendekatan demokrasi
yang dilakukan oleh negara-negara Barat terutama Amerika Serikat yang memaksakan model
Demokrasi Barat untuk diterapkan di negara-negara yang sedang mengalami transisi
demokrasi. Pendekatan demokrasi yang dilakukan Indonesia dilakukan secara inklusif dan
tanpa paksaan.
Dengan latar belakang pendidikan Barat, para pejabat di Kemenlu sangat
terekspos dengan demokrasi sebagai norma dan security community sebagai suatu bentuk
pendekatan dalam mencapai perdamaian. Sebagai norma, elit politik luar negeri
Indonesia dipengaruhi teori Democratic Peace yang menyatakan bahwa negara yang
demokratis tidak akan melakukan agresi terhadap negara demokratis lainnya. Di samping
itu negara yang demokratis menurut teori ini akan menciptakan perdamaian di wilayah
domestik negara tersebut. Inisiatif Indonesia tampak sejalan dengan norma ini. Pada
tahun 2003, Indonesia mengusulkan bahwa negara-negara ASEAN yang sebagian besar
dari non-demokrasi, ditransformasi menjadi komunitas keamanan dengan demokrasi
dan penghormatan pada hak asasi manusia sebagai landasannya. Kemudian pada tahun
2006 dan 2007, Indonesia mendesak memasukkan demokrasi dan hak asasi manusia di
piagam ASEAN.
Dengan memperjuangkan security community sebagai suatu pendekatan untuk
mencapai perdamaian, tampak bahwa elit politik luar negeri dipengaruh oleh pemikiran Karl
Deutch yang pertama kali menggagas konsep security community. Security community
sebagai kerangka konseptual pertama kali dikembangkan oleh Karl W. Deutsch dan rekan-
rekannya dalam buku mereka , Political Community and the North Atlantic Area:
International Organization in the Light of Historical Experience, pada tahun 1957.
Menurut Karl W. Deutsch, "rasa komunitas" atau "perasaan kami" adalah fitur kunci dari

19
komunitas keamanan. Pada tahun 1998 , Michael Barnett dan Emanuel Adler dalam buku
mereka, Security Communities, mendefinisikan "komunitas keamanan pluralistik" sebagai
"suatu wilayah transnasional yang terdiri dari negara-negara berdaulat yang di dalamnya
mempertahankan harapan-harapan mereka tentang perubahan secara damai". Dengan kata
lain , komunitas keamanan adalah pengelompokan regional yang telah meninggalkan
penggunaan kekuatan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik intra-regional. Menurut
pandangan Karl W. Deutsch dan sarjana lainnya seperti Emanuel Adler dan Michael Barnett,
"saling ketergantungan ekonomi dan demokrasi liberal" adalah prasyarat penting bagi
pengembangan komunitas keamanan. Komunitas keamanan sejati, menurut mereka, adalah
"komunitas keamanan yang demokratis" (Leifer, 2003).
Konsep komunitas keamanan menggambarkan kelompok negara-negara yang
mengembangkan kebiasaan interaksi damai dalam waktu yang panjang dan
mengesampingkan penggunaan kekuatan dalam menyelesaikan perselisihan dengan anggota
lain dari kelompok negara tersebut. Dalam teori hubungan internasional, konsep tersebut
memiliki dua arti dua. Pertama, meningkatkan kemungkinan bahwa melalui interaksi dan
sosialisasi, negara dapat mengatasi anarki dan bahkan keluar dari situasi dilema keamanan.
Kedua , konsep ini menawarkan kerangka teoritis dan analitis untuk mempelajari dampak
lembaga internasional (termasuk regional ) dalam mempromosikan perubahan secara damai
dalam hubungan internasional. Gagasan komunitas keamanan adalah perspektif integral yang
melihat hubungan internasional sebagai proses pembelajaran sosial dan pembentukan
identitas, didorong oleh pertukaran, interaksi dan sosialisasi(Leifer, 2003). Konsep tentang
security community dalam wacana akademik mempengaruhi cara pandang Kemenlu untuk
mengartikan security communty untuk konteks ASEAN. Pada tahun 2003, Kemenlu
Indonesia setelah mendapat berbagai masukan terutama dari Rizal Sukma (CSIS),
mengeluarkan dokumen “Non-Paper” yang mengartikan ASEAN Security Community
sebagai,
“A group of countries that have achieved a condition in which each member regards
its own security as fundamentally linked to those of the others. They deem their
collective destiny as bound by common norms, history, political experience, and
geographic location and rule out the use of force as means of problem-solving”.
(Kemenlu Indonesia, seperti dikutip dalam Khine, 2003).

Dengan kata lain, menurut Indonesia, security community adalah pengelompokan


negara secara regional yang sepenuhnya tidak menggunakan kekuatan paksa untuk
menyelesaikan konflik intraregional.

20
C. Promosi Demokrasi sebagai Instrumen Politik Luar Negeri

Wolff &Wurm (2010) melihat bahwa suatu negara akan mempromosikan demokrasi jika
pemimpinnya melihat upaya ini akan membawa manfaat untuk meningkatkan situasi
geostrategis dari satu negara dalam jangka panjang, tanpa merugikan keamanan nasional dan
posisi relatif kekuasaan. Atau dengan kata lain, upaya upaya promosi demokrasi adalah
bagian dari upaya untuk mendapatkan atau meningkatkan power dari suatu negara. Power
menurut Joseph Nye (2004) adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain sesuai
dengan keinginan pelaku. Menurutnya power dapat dibedakakan menjadi hard power dan soft
power. Hard Power adalah paksaan atau ancaman dan juga bujukan dengan uang. Josep Nye
(2004) yang mempopulerkan istila soft power mengatakan bahwa soft power adalah bentuk
power yang membuat orang lain menghormati pelaku dan akibatnya mereka akan berbuat
seperti yang diharapkan pelaku.
Soft power adalah pendekatan yang digunakan dalam diplomasi publik. Seperti yang
disampaikan oleh Jan Melissen (2005), diplomasi Publik adalah usaha negara untuk
menciptakan opini atau mengubah opini di level internasional dengan cara berinteraksi aktor
negara maupun aktor non-negara baik lembaga ataupun individu. Untuk melaksanakan public
diplomacy tersebut pemerintah dari suatu negara akan melakukan komunikasi dengan publik
di luar negeri untuk memberikan pengertian tentang cita-cita, tujuan, budaya, serta kebijakan
pemerintahnya (Tuch, 1990).
Semenjak masa pemerintahan Presiden Suharto sampai dengan Presiden Yudhoyono,
dukungan negara-negara bagi pemenuhan kepentingan nasional menjadi salah satu faktor
yang penting. Dukungan itu berupa pijaman lunak, bantuan teknis, penjualan senjata dan
perlengkapan militer, pelatihan militer, dan dukungan terhadap integritas wilayah RI. Insiden
di Timor-Timur pasca jajak pendapat pada tahun 1999 dianggap oleh negara-negara Barat
sebagai kesalahan dari militer Indonesia sebagai pihak yang dianggap ikut berperan dalam
peristiwa kerusuhan tersebut. Akibat tuduhan pelanggaran HAM oleh militer Indonesia
mendapat sanksi dari pemerintah Amerika Serikat berupa embargo militer. Dengan embargo
tersebut Indonesia cukup kesulitan untuk membeli suku cadang untuk pesawat dan
pelengkapan militer lainnya yang telah diimpor dari Amerika Serikat.
Upaya Indonesia untuk mempromosikan demokrasi melalui kebijakan luar negerinya
adalah bagian dari diplomasi publik untuk mengubah citra Indonesia dalam hal isu HAM.
Promosi demokrasi Indonesia dalam kancah regional didorong sebagian oleh kebutuhan

21
penting untuk memperbaiki citra internasional setelah insiden pasca jajak pendapat di Timor
Timur pada tahun 1999, Bom Bali pada Oktober 2002 yang dilakukan oleh Jamaah Islamiyah
(JI), kelompok teroris Asia Tenggara yang memiliki jaringan dengan Al Qaeda, dan
kekerasan komunal yang meletus pada masa-masa awal pemerintahan pasca-Suharto. Seperti
yang dikatakan oleh Dewi Fortuna Anwar, seorang akademisi dan penasihat kebijakan luar
negeri yang berpengaruh dalam pemerintahan Presiden BJ Habibie berpendapat, "Identitas
Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia perlu dibangun sebagai citra
utama dari negara ini" (Sukma, 2011).
Upaya untuk mencitrakan diri sebagai negara yang demokratis, negara mayoritas
Muslim yang harmonis dengan modernitas, dan sebagai negara yang mempromosikan
demorasi di ASEAN, serta negara yang menyuarakan kepentingan negera berkembang,
tampak dalam pidator Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005 dalam
Indonesian Council on World Affairs. Presiden Indonesia ini mengatakan,
“We are a proud nation who cherish our independence and national unity. We are the
fourth most populous nation in the world. We are home to the world’s largest Muslim
population. We are the world’s third largest democracy. We are also a country where
democracy, Islam and modernity go hand-in-hand. We will stay our course with
ASEAN as the cornerstone of our foreign policy. And our heart is always with the
developing world, to which we belong. These are the things that define who we are
and what we do in the community of nations,”

Upaya ini tampaknya memberikan perubahan terhadap citra Indonesia dalam isu
HAM. Indonesia mendapat pengakuan dari banyak negara-negara Barat sebagai negara yang
melalui transisi demokrasinya dalam waktu yang cepat dan sebagai negara yang gigih
memperjuang agenda demokrasi dan HAM di organisasi regional di Asia Tenggara
(ASEAN). Dalam perspektif diplomasi publik, perubahan opini internasional tersebut adalah
suatu pencapaian bagi Indonesia terlebih lagi perubahan opini tersebut memberikan dampak
langsung dalam waktu yang relatif pendek.
Perubahan opini internasional terhadap Indonesia berkontribusi pada dicabutnya
embargo militer Amerika Serika pada bulan November 2005. Pengumuman itu terjadi hanya
beberapa hari setelah Presiden George W. Bush bertemu dengan Presiden Indonesia
Yudhoyono pada konferensi Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC). Pemerintahan Bush
mengklaim bahwa mengakhiri embargo senjata dan modernisasi Tentara Nasional Indonesia
akan membantu mengatasi masalah keamanan di Indonesia seperti terorisme, pembajakan
maritim, perdagangan narkotika, penyakit pandemik, dan penanggulangan bencana. Menurut
Wakil Menlu AS untuk Urusan Politik, Nicholas Burns, “Indonesia, negara Muslim terbesar

22
di dunia dan negara demokrasi terbesar ketiga, adalah suara moderat di dunia Islam dan
memainkan peran strategis yang unik di Asia Tenggara.” (Morrissey, 2013)
Sebelum penghentian embargo tersebut, pada bulan Februari 2005, Washington
memulihkan kelayakan Indonesia untuk mengikuti International Military Education and
Training Program dalam rangka untuk peningkatan kualitas korps perwira dari negara
peserta. Pada bulan Mei 2005, Amerika Serikat menghapus pembatasan alat utama sistem
persenjataan yang tidak mematikan seperti komunikasi dan sistem transportasi. Keputusan
lainnya dari AS adalah mencabut larangan penjualan persenjataan mematikan dan peralatan
terkait.
Mendapat opini yang positif dari pemerintahan negara asing menujukkan bahwa
promosi demokrasi oleh Indonesia telah berhasil memenuhi tujuan perubahan citra Indonesia.
Kebijakan luar negeri yang dengan halus menekan Myanmar untuk mendemokratisasikan
dirinya telah mendapat pujian dari pejabat tinggi pemerintah asing. Menteri Luar Negeri
Australia Kevin Rudd berkomentar, "Saya mengucapkan selamat kepada Indonesia melalui
ASEAN atas diplomasi yang halus terkait dengan Burma. Ini telah menjadi pekerjaan yang
baik dari teman-teman kita di ASEAN, dan pekerjaan yang baik khususnya oleh Menteri Luar
Negeri Natalegawa" (Murphy, 2011). Pujian serupa juga disampaikan Samantha Power,
direktur organisasi multilateral dan hak asasi manusia di Dewan Keamanan Nasional AS. Ia
mengatakan bahwa pengalaman domestik Indonesia dan pendekatan yang rendah hati,
membuat orang-orang Myanmar melihat Indonesia sebagai tutor demokrasi lebih dapat
diterima. Ia mengatakan, “ada kalanya negara-negara yang tidak demokratis lebih bisa
dibujuk oleh Indonesia dibandingkan oleh Amerika Serikat” (Murphy, 2011).
Upaya promosi demokrasi Indonesia di kawasan Asia Tenggara juga adalah intrumen
dari politik luar negeri Indonesia untuk meningkatkan power dan kepemimpinannya. Melalui
cara itu, Indonesia mendapatkan nilai tawar yang tinggi ketika berhadapan dengan negara-
negara besar lainnnya terutama dengan negara-negara Barat. Dengan menjadi negara yang
terbesar dari segi penduduk dan wilayah serta sebagai salah satu negara pendiri ASEAN,
Indonesia menjadikan pengalaman transisi demokrasinya yang unik sebagai modal dalam
memberikan visi bagi ASEAN community terutama dari aspek political security. Masuknya
gagasan Indonesia dalam piagam ASEAN menujukkan pengaruh dan kepemimpinan
Indonesia dalam ASEAN yang kemudian akan menjadi modal berharga dalam posisi
tawarnya dengan negara-negara besar terutama negara-negara Barat.
Posisi tawar Indonesia itu semakin tinggi, di dukung posisinya sebagai satu-satu
Negara anggota G-20 dari Asia Tenggara dan yang jauh lebih penting adalah kekhawatiran

23
dari negara-negara Barat terhadap perkembangan politik dan ekonomi di Cina dan Rusia. Dua
negara ini adalah negara yang tidak digolongkan sebaga negara demokratis namun memiliki
tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi. Pihak Barat mengkhawatirkan jika negara-negara
yang masih otoriter menjadi Cina dan Rusia sebagai model dalam menata ekonomi dan
politik di negaranya masing-masing yang akan mengarah pada rezim otoriter dengan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Kecenderungan itu akan membahayakan kepentingan Barat dalam penetrasi
kapitalnya dan juga akan memperkuat pengaruh Cina dan Rusia yang menjadi kompetitor
dalam politik internasional. Tidak mengherankan pemerintah Amerika Serika dalam konteks
memberikan dukungan yang luas bagi inisitatif Indonesia dalam mempromosikan demokrasi
di ASEAN dan juga di Asia Pasifik oleh karena sangat selaras dengan kepentingan Amerika.
Judith McHale, Wakil Menlu AS untuk urusan Diplomasi Publik dan Urusan Publik yang
memimpin delegasi AS sebagai observer dalam BDF (Bali Democracy Forum) pada tahun
2010 memuji BDF dan menjanjikan dukungan penuh AS bagi upaya Indonesia. AS juga
memberikan dukungan Indonesa dalam mempromosikan demokrasi di ASEAN dan Burma.
Pemerintahan Obama secara publik mengakui kebijakan negaranya dalam mengisolasi Burma
hanya membuahkan hasil yang sedikit dan bahkan mendorong Burma untuk mendekat ke
Cina. Presiden Obama dalam pernyataannya pada East Asian Summit di Bali mengatakan
bahwa Aung San Suu Kyi telah mendorong rencana AS untuk berinteraksi dengan rejim
Burma. Hal tersebut menunjukkan bahwa AS cenderung akan memiliki kesamaan dengan
kebijakan Indonesia terhadap Burma (Myers, 2011). Dengan kata lain, dapat diartikan bahwa
AS mengakui kebijakan Indonesia yang lebih efektif dalam berhubungan dengan Burma atau
Myanmar.

24
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Perubahan struktur politik saat Indonesia memasuki demokrasi memberikan


kewenangan yang besar bagi Kemenlu untuk merusukan visi politik luar negeri Indonesia.
Visi dari Menlu Hassan Wirajuda berpengaruh penting dalam rancang bangun politik luar
negeri Indonesia dalam promosi demokrasi di kancah internasional. Visi dari Menlu Hassan
Wirajuda diikuti dengan perubahan rekrutmen diplomat yang didasarkan pada merit system
yang mencakup latar belakang pendidikan yang berkualitas. Di samping Kemenlu, lembaga
think tank seperti CSIS turut memberi andil dalam formulasi kebijakan RI dalam promosi
demokrasi di ASEAN. Mereka yang sebagian diantaranya memiliki hubungan pertemanan
yang baik juga memiliki norma dan persepsi yang serupa dalam melihat posisi strategis RI
untuk mempromosikan HAM dan demokrasi di ASEAN. Norma tersebut didapatkan akibat
terexposed dengan wacana akademik saat mereka belajar di luar negeri tentang demokrasi
sebagai suatu nilai dan security community sebagai pendekatan dalam mencapai perdamaian
di kawasan regional. Mereka terinspirasi oleh pemikiran security community dari Karl W.
Deutsch dan sarjana lainnya seperti Emanuel Adler dan Michael Barnett. Komunitas
keamanan sejati, menurut mereka, adalah komunitas keamanan yang demokratis.
Promosi demokrasi dalam pandangan realis adalah instrumen untuk mendapatkan atau
meningkatkan soft power dari suatu negara. Upaya Indonesia untuk mempromosikan
demokrasi melalui kebijakan luar negerinya adalah bagian dari diplomasi publik untuk
mengubah citra Indonesia dalam hal isu HAM yang memiliki citra buruk pasca insiden
kerusuhan saat jajak pendapat di Timor Timur dan kerusuhan etnis pada masa awal reformasi.
Mendapat opini yang positif dari pemerintahan negara asing menujukkan bahwa promosi
demokrasi oleh Indonesia telah berhasil memenuhi tujuan perubahan citra Indonesia.
Perubahan opini itu berdampak pada dicabutnya embargo militer Amerika Serika pada bulan
November 2005. Melalui promosi demokrasi di ASEAN, Indonesia mendapatkan nilai tawar
yang tinggi ketika berhadapan dengan negara-negara besar lainnya terutama dengan negara-
negara Barat. Negara-negara Barat sangat berkepentingan dengan upaya Indonesia ini untuk
mencegah negara-negara otoriter atau negara yang masih mengalami transisi politik, merujuk
pada sistem politik Rusia dan Cina yang otoriter namun memiliki tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi.
Mengingat pentingnya upaya promosi demokrasi ini bagi politik luar negeri
Indonesia, maka upaya ini sebaiknya tidak berhenti di tengah jalan dan harus diupayakan agar
penerapan nilai demokrasi di ASEAN ini memiliki bentuk yang jelas. Indonesia sejauh ini

25
baru berhasil meletakkan nilai demokrasi dan HAM dalam piagam ASEAN dan menjadikan
demokrasi sebagai agenda dari masyarakat ASEAN. Oleh karean ASEAN akan menjadi suatu
komunitas pada tahun 2015, maka interaks antar aktor non-negara dalam meningkatan
pembelajaran tentang demokrasi menjadi penting dan relevan untuk dikembangkan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Acharya, A. (2009). Indonesia: Asia’s emerging democratic power?Retrieved September 15,

2013, from http://www.asiapacific.ca/editorials/canada-asia-

viewpoints/editorials/indonesia-asias-emerging-democratic-power

Alexandara, L.A. (2013). Indonesia’s chairmanship: What are the priorities. Retrieved

September 29, 2013, from www.csis.or.id/post/indonesia’s-chairmanship-what-are-

priorities

ASEAN (2006). Report of the eminent group. Retrieved September 20, 2013, from

http://www.asean.org/asean/asean-charter/eminent-persons-group-epg-on-the-asean-

charter-2006.

Budianto, C. (2010, April 30). RI poised to show more leadership. The Jakarta Post.

Burnell, P. J. (2008) International democracy promotion: a role for public goods theory?

Contemporary Politics, 14 (1), 37-52. Retrieved from

http://dx.doi.org/10.1080/13569770801913249

Carothers T. & Youngs, R. (2011). Looking for help: Will rising democracies become

international democracy supporters? critical mission: Essays on democracy

promotion. Washington: Carnegie Endowment for International Peace. Retrieved

from carnegieendowment.org/files/Rising_democracies_final.pdf.

Currie, K. (2010). Asia’s emerging human rights and democracy architecture. Arlington:

Project 2049 Institute. Retrieved from

http://project2049.net/documents/mirage_or_reality_asias_emerging_human_rights_a

nd_democracy_architecture_currie.pdf.

Democracy Coalition Project (n.d.) Defending democracy: A dlobal survey of foreign policy

trends 1992-2002: Indonesia. Retrieved September 13, 2013, from

www.demcoalition.org/pdf/Indonesia.pdf.

27
Jones, D.M. (2008). Security and democracy: The ASEAN charter and the dilemmas of

regionalism in South-East Asia. International Affairs, 84(4), 735–756. Retrieved

October 1, 2013, from http://www.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1468-

2346.2008.00735.x/pdf.

Kemenlu. (n.d.), Participant, Retrieved September 1, 2013, from

http://bdf.kemlu.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=447&Itemid

=375&lang=en.

Khine, K.K. (2011). The making of Indonesia’s concept of ASEAN security community.

University Research Journal. Retrieved September 29, 2013, from www.myanmar-

education.edu.mm/moe.../17_Kyawt_Kyawt_Khine.pdf.

Leifer, M. (Ed.). (2003). Constructing a security community in

Southeast Asia: Politics in Asia series. London: Routledge

Melissen, J. (Ed.). The new public diplomacy: Soft power in International Relations. New

York: Palgrave Macmillan

Murphy, A.M. (January, 2012). Democratization and Indonesian foreign policy: Implications

for the United States. Asia policy, 13, Retrieved September 1, 2013, from

http://www.nbr.org/publications/element.aspx?id=573.

Myers, S.L. (2011, November 30). Clinton arrives in Myanmar. New York Times.

Nye, J.S. (2004). Soft power: The means to success in world politics. New York: Public

Affairs.

Reuter. (n.d.), ASEAN to push Myanmar on democracy, wants sanctions lifted. Retrieved

September 6, 2013, from http://www.reuters.com/article/2011/01/16/us-asean-

idUSTRE70F0D320110116/.

28
Sukma, R. (2008). Indonesia’s foreign policy since reformasi: Change and continuity. South

East Asia Bulletin. Retrieved September, 2, 2008, from

http://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/A50E424F2181FFA88525746C00

6A18F1-Full_Report.pdf.

Sukma, R. (2009). Democracy building in South East Asia: The ASEAN security community

and options for the European Union. Stockholm: International IDEA

Sukma, R. (2011). Indonesia finds a new voice. Journal of Democracy, 22(4), 112

Robinson, W.I. (October, 1996). Globalization, the World System, and “Democracy

Promotion”. Theory and Society. 25 (5). 615-665. Retrieved August 29, 2013, from

www.nyu.edu/steinhardt/e/pdf/humsocsci/mias/readings07/41.pdf.

Snow, N. (2009). Rethinking public diplomacy. In S. Nancy, P.M. Taylor (Eds). Routledge

handbook of public diplomacy. Oxon: Routledge.

Tuch, H. (1990). Communicating with the world: US public diplomacy overseas. New York:

St Martin’s Press

UN. (n.d.), Statement of N. Hassan Wirajuda, minister of foreign affairs of the Republic of

Indonesia, “the democratic response,” United Nations General Assembly, New York,

November 15, 2001. Retrieved September 5, 2013, from

http://www.un.org/webcast/ga/56/statements/011115indonesiaE.htm

Wirajuda, H. (2013). The genesis of Bali Democracy Forum [Oral History Record].

Denpasar: Institute for Peace and Democracy

Wolf, J. & Wurm, I. (2010). Towards a theory of external democracy promotion?

approximations from the perspective of international relations theories. Paper prepared

for the 51st Annual Convention of the International Studies Association (ISA), New

Orleans, LA

29
World Bank in UNDP, (n.d.), International human development indicator, Retrieved

September 1, 2013 from http://hdrstats.undp.org/en/indicators/20206.html

30
31

Anda mungkin juga menyukai