Anda di halaman 1dari 53

harmonis64@gmail.

com
Politik Media
1. Fokus
2. Pandangan Tentang Media
3. Pengantar Politik Media
4. Peran Politik Media
5. Aktor-Aktor Media dalam Kompetisi Politik
Demokratis.
6. Trend Pengusaha Media menjadi Politisi
7. Media dan Politik Islam
Politik Media
Fokus pada kajian yang berkenaan dengan
Media dan demokrasi. Media mempunyai
kuasa dalam proses demokrasi. Melakukan
perubahan sistem, dari suatu sistem tertentu
kepada bentuk sistem yang lain.
Politik Media
Susan Jane Pharr, yang mengemukakan ada 4
(empat) pandangan yang saling berlawanan
tentang media, yaitu:
Pertama media sebagai penonton (spectator);
Kedua, sebagai penjaga (watchdog);
Ketiga, sebagai pelayan (servant); dan
Keempat, sebagai penipu (trickster).
Lanjutan
Pharr memandang media sebagai penipu, sebuah
kosa kata yang dibuatnya sendiri. Menurutnya,
penipu merupakan partisipan aktif dalam proses
politik. Dampak utama dari peran penipu sebagai
pembangun komunitas. Label penipu kemudian
berubah menjadi kosa kata yang positif, yaitu
mencerminkan perilaku media yang penuh
dengan kebaikan (Pharr, 1996:24-36).
Pengantar
Media, secara khusus media berita adalah pilar
demokrasi, dengan catatan harus memberi ruang
dialog bagi publik, bukan hanya menyampaikan
hasil demokrasi melalui berita saja, tetapi
melibatkan publik dalam proses demokrasi.
Lanjutan

Asumsi yang mendasari adalah,


Pertama media adalah sebuah institusi dan
aktor politik yang memiliki hak-hak.
Kedua, media dapat memainkan berbagai
peran politik, di antaranya mendukung
proses transisi demokrasi, dan melakukan
oposisi.
Lanjutan

Sebagaimana disinyalir oleh Cook, bahwa hal


ini telah menjadi perhatian penting pada
masyarakat Barat, di mana para jurnalis
telah berhasil mendorong masyarakat untuk
tidak melihat mereka sebagai aktor politik,
sedangkan para pakar politik juga telah gagal
untuk mengenali media sebagai sebuah
institusi politik (Cook, 1998:4).
Lanjutan
Jika mempercayai media sebagai aktor politik, maka
peran macam apa yang dimainkannya? Dalam
negara berkembang seperti Indonesia, pemusatan
peranan politik media telah diakui. negara telah
sering menekankan pentingnya pers dalam proses
nation building. Sebagaimana pernah diucapkan
oleh Presiden Suharto dalam pidatonya pada hari
Pers Nasional tahun 1989:
Lanjutan
“Sebagai bagian integral dari masyarakat, bangsa
dan negara yang sedang berkembang, maka pers
memiliki peranan penting dalam membantu
mengelola bangsa ini dengan semua
kerumitannya melalui diseminasi berita, opini, ide,
harapan ke masyarakat.... Media dalam konteks
ini telah memainkan peran membantu
membangun dan melestarikan kesatuan dan
persatuan sebagai sebuah bangsa” (McCargo,
1999:131).
Peran Politik Media

Terdapat 3 (tiga) pelaku dalam politik media, ialah


politisi, jurnalis, dan orang-orang yang digerakkan
oleh dorongan (kepentingan) khusus.
Lanjutan

Bagi politisi, tujuan dari politik media adalah dapat


menggunakan komunitas massa untuk
memobilisasi dukungan publik yang mereka
perlukan untuk memenangkan pemilihan umum
dan memainkan program mereka ketika duduk di
ruangan kerja.
Lanjutan
Bagi jurnalis, tujuan politik media adalah untuk
membuat tulisan yang menarik perhatian banyak
orang dan menekankan apa yang disebutnya
dengan “suara yang independen dan signifikan
dari para jurnalis”.
Lanjutan
Bagi masyarakat, tujuannya adalah untuk keperluan
mengawasi politik dan menjaga politisi agar tetap
akuntabel, dengan menggunakan basis usaha
yang minimal.
Lanjutan

Di Filipina tahun 1986, gerakan People Power


berhasil mengusir Marcos dari kursi kuasa
kepresidenan. Di Thailand tahun 1992 yang
terkenal dengan Peristiwa Mei mendepak
pemerintah Suchinda Kraprayoon dari
kekuasaan negara, dan Indonesia tahun 1998
(McCargo, 1999:131). Media memainkan
peranan penting dalam gerakan yang terjadi di
negara-negara tersebut, kecuali Myanmar
(1988).
Lanjutan
Dalam bab yang berjudul why don’t we call
journalists political actors? Cook (1998:4)
mengemukakan beberapa hal:
Pertama, para jurnalis telah bekerja keras untuk
mendorong masyarakat agar tidak berpikir bahwa
mereka (jurnalis) merupakan aktor politik. Mereka
sangat berhasil dalam upaya ini, sehingga mereka
pun sepertinya sangat yakin dengan hal ini.
Lanjutan
Kedua, studi mengenai komunikasi politik berkembang di
tengah-tengah sebuah tradisi yang menekankan efek
media, dan disiplin ilmu yang terkait dengan studi politik
tentang media berita pun telah pula menyembunyikan
implikasi dari kegiatan mereka. Pada umumnya, ketika
pakar politik merasa nyaman dengan melihat konstribusi
politik dari media, maka mereka menjadi kurang memiliki
keinginan untuk melihat media berita sebagai sebuah insti
tusi. Dengan kata lain, para jurnalis telah berhasil untuk
meyakinkan kalangan akademisi, bahwa mereka bukan
aktor politik, dan para peneliti yang membahas tentang
studi politik maupun media telah melalaikan hal ini.
Lanjutan
Fungsi ketiga adalah sebagai fire-fighting, yaitu
membantu dalam menentukan hasil dari
perubahan politik dan sosial dramatik yang terjadi
saat krisis. Beberapa contoh di Asia dapat
menunjukkan hal ini, yakni peran media dalam
menggulingkan rezim Marcos di Filipina pada
tahun 1986, atau dukungan yang ditunjukkan pers
pada demonstrasi pro-demokrasi pada bulan Mei
1992 di Bangkok. Dalam fungsi ketiga ini, pers
merupakan agen perubahan (agent of change).
Lanjutan
Jumat malam, 14 Januari 2011, Zine al-Abidine Ben
Ali dan keluarganya terbang dengan jet menuju
Saudi Arabia. Presiden Tunisia itu melarikan diri,
meninggalkan negaranya dalam kondisi carut-
marut oleh demontrasi melawan rezim yang ia
pimpin selama 32 tahun. Tiran itu jatuh setelah
sebulan unjuk rasa massal berdarah yang dipicu
oleh aksi bakar diri Mohamed Bouazizi, tukang
sayur miskin yang tak kuasa melawan kesewang-
wenangan polisi yang merampas dagangannya.
Lanjutan
Untuk mengatasi unjuk rasa nasional itu,
sebagaimana rezim penguasa lain, Ben Ali
mengendalikan semua media konvensional, baik
itu koran, radio maupun teve. Bahkan rezimnya
juga menteror wartawan yang meliput demo.
Internet pun diawasi ketat, situs-situs yang
dianggap berbahaya dan melawan diblokir.
Beberapa situs jejaring sosial, terutama video
sharing seperti Dailymotion dan Youtube, juga
diblokir
Lanjutan
Namun, entah kenapa, Facebook justru tidak
diblokir. Via jejaring sosial itulah perlawanan
digalang, sehingga mendapat dukungan dari
banyak pengunjuk rasa lain dan dari aktivis pro
demokrasi di luar negeri. Penyebaran informasi,
penggalangan aksi yang masif via social media
dan jatuhnya rezim Ben Ali setelah 23 tahun
berkuasa inilah yang kemudian menimbukan
asumsi bagi para penganut faham
cyberutopianism: ”Yang terjadi di Tunisia
merupakan Revolusi Twitter pertama di dunia”
Lanjutan
Secara sederhana, cyberutopianism adalah
pandangan yang mengatakan teknologi dan
Internet, mampu mengubah dunia. Internet,
misalnya, akan menggedor demokrasi di negara-
negara tiran. Internet, bisa meredam teror.
Bahkan, Internet bisa meningkatkan taraf
ekonomi sebuah negara. Internet diyakini sebagai
senjata yang amat ampuh untuk mengatasi segala
macam masalah dunia saat ini.
Lanjutan
Penganut faham cyberutopianism ini cukup banyak,
bahkan diantaranya adalah orang-orang hebat di
bidangnya. Mantan presiden Amerika Serikat,
George Bush, misalnya mengatakan:
“Bayangkan, seandainya Internet bisa masuk ke
China, kebebasan akan mengalir deras di sana”.
Bahkan raja media Rupert Murdoch, pernah berujar:
“Perkembangan teknologi komunikasi, jelas-jelas
mengancam para tiran di mana saja, di seluruh
dunia.”
Lanjutan
Media terkenal di Korea: OhMyNews.com, yang digerakkan oleh
jurnalis warga, bukan jurnalis profesional. Para jurnalis warga
ini setiap hari menulis berita di OhMyNews.com selayaknya
jurnalis profesional. Tak seperti media tradisional seperti
radio, cetak dan tv yang seringkali dikontrol dan disensor
pemerintah tiran, jurnalis warga yang dibuat di online tak bisa
diintervensi pemerintah. Itu sebabnya, jurnalis warga online ini
seringkali mengisahkan hal-hal yang tak (berani) dimuat di
koran, radio dan tv, sehingga memberi warna yang berbeda
dari suara resmi pemerintah. Contoh nyata terjadi di Korea
Selatan. Situs berita berbasis jurnalis warga (user generated
content) OhMyNews.com mempengaruhi pemilihan presiden
Korea Selatan pada tahun 2002.
Lanjutan
OhMyNews.com sangat berperan mendudukkan kandidat
presiden Roh Moo Hyun dengan harapan menang tipis,
akhirnya menjadi presiden di pemilu 2002.
Bergerak mengandalkan taktik di online, termasuk
menggalang donasi, Roh bukanlah kandidat populer
dibanding yang dari kalangan konservatif. Sebagaimana
biasanya, media konvensional lebih banyak memberi
ruang untuk kandidat konservatif yang sangat
mendukung kehadiran militer Amerika Serikat di Korsel.
Namun, taktik gerilya pendukung Roh di online, serta
liputan terus menerus dan bebas sensor dari para
jurnalis warga OhMyNews.com menaikkan dukungan.
Lanjutan
Bukan hanya itu, para aktivis pendukung Roh pun
kemudian memanfaatkan semua peranti digital,
website, online forum, tentu saja juga SMS, untuk
menggalang gerakan offline guna meraih
dukungan publik. Mereka sadar, jika semua
pengguna Internet memilih pun, tak cukup untuk
membawa Roh ke kursi presiden. Maka gerakan
online ke offline pun dilakukan secara massif.
Secara mengejutkan, Roh, sang kandidat yang tak
diharapkan penguasa itu, akhirnya menang
pemilu dan menjadi presiden.
Lanjutan
Kedua, membahas Orange Revolution di Ukraina
yang terjadi pada tahun 2004. Joshua Goldstein
dalam telaahnya yang berjudul The Role of Digital
Networked Technologies in the Ukrainian Orange
Revolution yang diterbitkan The Berkman Center
for Internet & Society menyodorkan narasi
menarik bahwa Revolusi Ukrainia tahun 2004
dimungkinan oleh Internet.
Lanjutan
Di musim dingin November 2004, ratusan ribu
rakyat Ukraina melakukan demo damai, menuntut
pemilu ulang karena pemilu sebelumnya dianggap
curang dan mendudukkan Victor Yanukovych,
kader rezim presiden sebelumnya, Leonid
Kuchma, sebagai presiden baru. Kandidat
presiden yang diusung oleh rakyat banyak, Victor
Yuschenko, ternyata gagal menjadi presiden.
Merasa dicurangi, rakyat menuntut pemilu ulang,
dan akhirnya Yuschenko terpilih sebagai presiden
baru.
Lanjutan
Revolusi itu disebut sebagai Orange Revolution
sesuai warna kampanye “My Ukrine” Yuschenko.
Meski tidak disebut sebagai Digital Revolution
atau Internet Revolution, Michael McFaul
mencatatnya sebagai revolusi pertama di dunia
yang digalang besar-besaran via online. Hampir
semua alat digital digunakan untuk revolusi, mulai
dari SMS, media online independen, hingga forum
diskusi online. Catatan: pada 2004 social media
seperti Facebook dan Twitter belum populer di
seluruh dunia.
Lanjutan
Keampuhan social media untuk politik memang sudah
tidak perlu diperdebatkan lagi. Blog, forum, video
sharing (seperti Youtube.com), jejaring social Facebook
dan jejaring informasi Twitter sudah biasa
dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan politik.
Keberhasilan Obama menjadi presiden kulit hitam di
Amerika Serikat, diakui banyak ahli, berkat strategi
kuatnya di social media, baik melalui Facebook, Twitter
maupun jejaring sosial lain yang tumbuh di Amerika
Serikat. Bahkan kampanye Obama pun disebut Obama
2.0, karena memang sangat mengandalkan teknologi
Web 2.0 yang menjadi platform social media.
Lanjutan
Jika web 2.0 ampuh di Amerika Serikat, yang
memang negara demokrasi, banyak yang bisa
memakluminya. Namun bagaimana jika terjadi di
negara komunis? Nah, dua tahun lalu, di sebuah
negara kecil Eropa Timur, yakni Modova, terjadi
unjuk rasa yang murni awalnya digalang via
Twitter, memprotes hasil pemilu. Bahkan Evgeny
Morozov, penulis buku The Net Dilution, yang
menyangsikan faham cyberutopianism pun
mengakui, Twitter memegang peran sentral dalam
unjuk rasa itu.
Lanjutan
Apapun perdebatan para ahli, banyak negara sudah melihat
Twitter dan jejaring sosial lain berbahaya. Mesir sempat
memblokir Twitter, Facebook, bahkan mematikan Internet
untuk meredam protes yang terus mengalir deras hingga
awal Februari ini. China, yang sejak awal sudah mengontrol
Internetnya, termasuk memblokir berbagai situs yang
dianggap memusuhi pemerintah dan menutup akses
Twitter bagi 350 juta pengguna Internetnya, mulai
memblokir kata kunci “Egypt” di semua search engine yang
bisa diakses di China. Setelah revolusi di Tunisia menular di
Mesir, pemerintah China menutup semua informasi tentang
pergolakan di Negeri Sungai Nil itu agar tidak memicu para
aktivis pro demokrasi di China melakukan yang sama.
Lanjutan
Sebagai jejaring komunikasi dan informasi,
Facebook dan Twitter sangat powerful. Inilah
senjata untuk melawan rezim. Militer sangat
faham, mematikan komunikasi adalah strategi
ampuh menekan lawan. Dulu, senjata revolusi
adalah jejaring komunikasi fax dan telephone, kini
SMS, Facebook, Twitter, dan jejaring sosial lain.
Tentu, senjata seperti Twitter dan Facebook
bukan pemicu revolusi. Tapi mengabaikan peran
senjata itu juga sebuah kekeliruan.
Aktor-Aktor Media dalam Kompetisi Politik
Demokratis
Teori politik media yang dibangun Zaller merupakan
perluasan dari kajian Anthony Downs, An Economic
Theory of Democracy. Pada tahun 1957, Downs
mendapat temuan tentang proses politik dari partai
saat berkompetisi untuk memperebutkan dukungan
pemilih rasional. Temuan riset Downs benar-benar
dapat menjelaskan berbagai fitur yang paling penting
dalam politik demokrasi umumnya. Namun teori
Downs hampir tidak menyebutkan jurnalis dan tidak
memberi peran pada jurnalis yang independen dalam
politik.
Lanjutan
Dalam studi yang dilakukan, Zaller merumuskan
tentang peran teoretis dari jurnalis dalam sistem
demokrasi Downs dan menemukan akibat-akibat
dari perubahan tersebut. Secara khusus, Zaller
berpendapat bahwa politisi yang tengah
memperluas ruang gerak dan pengaruhnya untuk
berkomunikasi dengan pemilih (voters), paling
tidak dalam beberapa waktu melalui profesi
jurnalistik yang memiliki kepentingan untuk
memberikan suara dan peran kepada para
pembaca.
Lanjutan
Oleh karena teori Downs dan teori perluasan Zaller
ini berakar pada kekuatan politik dasar, maka
sangatlah masuk akal untuk meyakini bahwa teori
Zaller tentang politik media dapat menjelaskan
berita politik tidak hanya di Amerika Serikat secara
umum, termasuk pemilihan umum presiden,
melainkan juga di Indonesia.
Lanjutan
Fenomena ini bisa kita saksikan pada media
elektronik milik para pengusaha yang juga petinggi
partai politik. Sebut saja Ketua Umum Partai Golkar
Aburizal Bakrie yang menjadi bos dari TVOne,
ANTV, dan VIVAnews; Ketua Umum Partai NasDem
Surya Paloh yang memiliki Media Group seperti
MetroTV, Media Indonesia, dan Lampung Post; dan
Ketua Dewan Pembina Partai Hanura (Ketua Umum
Perindo saat ini) Hary Tanoesoedibjo yang menjadi
bos MNC (RCTI, GlobalTV, MNCTV, Sindo/Inews,
dan sejumlah media cetak dan online).
Lanjutan
McQuail (2002), ketika seorang bos media masuk
politik, tidak jarang media akhirnya “dipaksa”
untuk turut menciptakan agenda terselubung dan
mengonstruksi kehendak pemodal dalam bingkai
kerja jurnalisme. Hal ini membuat jurnalis tidak
bisa berbuat banyak dan cendeung pasrah dan
menerima dengan keinginan atasannya. Jika
mereka yang melawan maka akan dipecat dan
dikucilkan oleh mereka yang setuju dengan
bosnya. Seperti wartawan Metro TV, Luviana
dalam film Di Balik Frekuensi.
Lanjutan
William L Rivers (2003), pemberitaan melalui media
itu memiliki posisi sangat penting. Media televisi,
tulis Rivers, memiliki daya hegemoni lebih canggih
daripada media lain. Pengaruh media semacam
televisi, pelan tapi pasti, akan mempengaruhi pola
pikir masyarakat.
Lanjutan
Dalam hal isi siaran, berita merupakan hal yang
paling dikontrol. Krishna Sen dan David T. Hill
membandingkan pemberitaan media-media ini
terhadap kasus 27 Juli 1996 (penyerangan kantor
PDI Perjuangan di Jl. Diponegoro, Jakarta) dan
terbukti bahwa media-media seperti RCTI lebih
menampilkan nara sumber pemerintah dan
militer dalam menanggapi kasus ini.
Lanjutan
Media (televisi) harus tetap bersikap independen, tidak
boleh disalahgunakan, dibuat karena untuk mencari
keuntungan individual atau kelompok. Media harus terus
menjaga komitmen independensinya agar tetap mampu
membangun ruang publik yang sehat dan kredibel. Sebab,
ruang publik yang “ternodai” atau sarat kepentingan
politik tentu telah mengingkari semangat Undang-Undang
Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang tidak menghendaki
hal itu. Dalam pasal 5, Undang-Undang menegaskan
bahwa tidak boleh ada monopoli kepemilikan dalam
bidang penyiaran. Prinsip ini sesuai kenyataan bahwa
frekuensi bersifat terbatas sehingga negara mesti
mengatur pemilikan ataupun penggunaannya.
Lanjutan
Noam Chomsky (2004) tentang kasus pemberitaan media
yang tidak independen di Amerika Serikat. Chomsky
mencontohkan Fox News maupun CNN yang tak kuat
menahan godaan kekuasaan. Kedua media itu terus
membela kepentingan Partai Republik di AS sehingga
membuat masyarakat di sana menjadi terpengaruh. Hal
tersebut terbukti dalam Pemilu 2003 dimana Fox News
maupun CNN secara gencar mempengaruhi publik AS
untuk memilih George Walker Bush menjadi Presiden AS
untuk periode kedua. Pemberitaan Fox News sendiri
menelikung berbagai pemberitaan mengenai kejahatan
kemanusiaan akibat invasi Amerika Serikat ke Irak maupun
Afghanistan.
Lanjutan
Keruntuhan rezim Orde Baru yang hegemonik dan
mengekang kebebasan pers; tak lain juga berkat
kontribusi media massa yang mampu
menggerakkan komitmen publik dalam
menggelorakan gerakan reformasi 1998.
Trend Pengusaha Media menjadi Politisi
Keterlibatan para pengusaha media massa, misalkan Surya Paloh
yang memiliki Media Group (Metro TV, Media Indonesia,
Lampungpost dll.) melalui Partai Nasional Demokratnya, serta
Dahlan Iskan yang memiliki Jawa Pos Group yang pernah menjadi
Menteri BUMN; jelas berpengaruh besar pada kemurnian media
massa dalam mencerdaskan publik. Sebab, pada konteks itu;
Media Group akan memiliki “sikap ganda” dalam memberitakan
berbagai hal yang berkaitan dengan Surya Paloh dan Partai
Nasional Demokrat serta berita-berita yang dinilai sebagai
kontrapolitiknya. Begitu pun dengan Jawa Pos Grup, tentu saja
akan memiliki “ambiguitas” dalam menentukan sikap ketika
mengkritisi keburukan/kekurangan yang dimiliki oleh Dahlan
Iskan, Kementerian BUMN dan jajaran di bawahnya
Lanjutan
Hal ini menyebabkan adanya fenomena
persekongkolan (konspirasi) antara para politikus
dan pengusaha media massa. Sebab para politikus
memiliki kepentingan untuk mempublikasikan
berbagai pemikiran dan gagasannya agar
diketahui publik, sedangkan media massa
membutuhkan sumber-sumber berita yang
mampu menarik minat dari kalangan pembaca,
pendengar dan pemirsa.
Lanjutan
Politik hegemoni dan hegemoni politik akan mendera
kehidupan bangsa ini, ketika negeri ini dikuasai oleh para
politikus yang notabene-nya para pemilik atau konglomerat
media massa. Probabilitas lainnya, terjadi perseteruan atau
pertarungan nyata antara berbagai perusahaan media
massa di Indonesia yang dikuasai oleh para politisi, sebagai
akibat dari politik hegemoni. Di mana seorang politisi ingin
menebarkan pengaruh kuat kepada seluruh penduduk, agar
mudah memenangkan berbagai kompetisi politik melalui
Pemilu dan atau Pilkada. Dalam bahasa bisnis perniagaan,
politik hegemoni sama artinya dengan politik monopoli. Di
mana hanya ada satu pemain tunggal saja yang menguasai
seluruh sendi kehidupan
Lanjutan
Herman dan Chomsky (2000) menyatakan para elite
kekuasaan dan bisnis berkolaborasi mengatur isi media.
Akibatnya, media menjadi alat propaganda segelintir
orang.
Chomsky, yang sangat vokal mengkritisi berbagai kebijakan
Amerika Serikat, mengalisis adanya konspirasi para elite
yang mengontrol pemberitaan dan informasi. Ini
membuat media menjadi alat kepetingan politik, militer,
ekonomi, dan kultur kalangan eksklusif. Para wartawan
sekadar menjadi "pion" politisi dan industriawan. Dengan
kata lain, atas nama kepentingan bangsa, para penguasa
mengatur pemberitaan sesuai dengan keinginan mereka.
Lanjutan
Di Metro TV pasti tidak akan memberitakan tentang
keburukan tentang partai Nasdem, namun jika
tentang kasus lumpur Lapindo maka hal tersebut
akan dibesar-besarkan. Begitupun sebaliknya, di
TV One porsi tentang pemberitaan lumpur
Lapindo pasti sangat sedikit, itupun hanya
menyangkut hal-hal positif saja. Jika menyangkut
berita tentang lawan politiknya maka akan
medapatkan porsi yang lebih khususnya tentang
hal-hal yang bisa menurunkan citra lawan
poltiknya
Lanjutan
Kelompok media group Bakrie menggunakan istilah
lumpur Sidoarjo bukan lumpur Lapindo. Bahkan
TV One itu secara khusus mewawancarai pakar
geologi Rusia Dr. Sergey Kadurin yang menyatakan
semburan lumpur adalah akibat gempa bumi
bukan akibat kesalahan pengeboran.
Lanjutan
Hal yang sama juga terjadi di ANTV. ANTV juga
menayangkan pendapat Dr. Sergey Kadurin yang
menyatakan semburan lumpur adalah akibat
gempa bumi bukan akibat kesalahan pengeboran.
Seperti halnya TV One, pakar yang menyatakan
bahwa semburan lumpur akibat pengeboran tidak
dimintai pendapat. Hal yang sama juga terjadi
pada vivanews.com. Bahkan, liputan khusus
terhadap pakar Rusia juga ditampilkan secara
audio-visual di portal vivanews.com.
Media dan Politik Islam
Kezaliman media massa dunia terhadap umat Islam
juga disinggung dalam buku yang
berjudul “Kezaliman Media Massa terhadap
Umat Islam” yang ditulis oleh Mohamad Fadhilah
Zein, diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar, mulai
dari kezaliman media memberitakan Perang Irak,
kezaliman media dalam pemberitaan 11
September 2001, dan sebagainya.
Lanjutan

Fadhil menegaskan, meskipun umat Islam


mayoritas di negeri ini, namun tidak memiliki
kekuatan untuk membangun opini publik
yang positif tentang dirinya sendiri. Jika kita
telaah dan telusuri, begitu banyak
pemberitaan yang menyudutkan Islam.
TERIMA KASIH
Wassalamu’alaikum Wr.
Wb. http///www.harmonis.com
hamonisulthan@yahoo.co.id

Anda mungkin juga menyukai