Anda di halaman 1dari 5

Artikel: Pers Sebagai Aktor Politik Hari ini kita memperingati Hari Pers Nasional, tepat 62 tahun ketika

tokoh-tokoh senior pers Tanah Air membentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo pada 9 Februari 1946. Dalam perjalanan usia pers nasional yang kian matang itu kita menyaksikan perkembangan pers secara umum begitu pesat. Di tengah tekanan kapitalisasi dan iklim kebebasan, peran sentral pers dalam konteks demokrasi dan politik masih kokoh. Pers yang terletak pada dua entitas, organisasi pemberitaan (news organization) dan organisasi bisnis (business organization), diharapkan mampu menyeimbangkan perannya sebagai pilar keempat demokrasi. Seperti apa sebenarnya pers harus berperan dalam konteks ini? Menarik menyimak pemikiran yang diungkapkan oleh pakar media politik asal Amerika Serikat (AS), Timothy E Cook (1998). Dia menyebut term media sebagai political actor (aktor politik) atau institusi politik. Cook berargumen bahwa media merupakan salah satu aktor atau institusi politik yang dapat menggunakan haknya sendiri secara independen, "political actor/institution in its own right". Selama ini ketika berbicara tentang media dan politik, kita kerap terjebak pada tataran komunikasi politik. Artinya, dalam perspektif ini media hanya dijadikan salah satu medium pasif bagi para spin doctor untuk menyampaikan pesan-pesan (kampanye) politik demi meraih kekuasaan. Sementara di kalangan orang-orang media sendiri seringkali segan keluar dari wacana komunikasi politik ini karena kepentingan tertentu. Wacana media sebagai institusi politik tentu memberikan sebuah nilai aktif. Ia disejajarkan dengan tiga pilar demokrasi yang lain eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam iklim kebebasan pers, ia bahkan mempunyai peran lebih kuat dari ketiga pilar demokrasi lain yang berpotensi melakukan abuse of power. Lalu apa bentuk konkret peran politik pers? Duncan McCargo (2001) mengategorikannya

menjadi tiga peran (mode of egencies): agent of development (agen pembangunan), agent of change (agen perubahan), dan agent of restraint (fungsi watchdog). Ketiga fungsi ini tentu tidak eksklusif pada situasi seperti fungsi agent of development hanya ada pada negara dengan kekuasaan totaliter, agent of change pada situasi seperti era gerakan reformasi 1998 di Indonesia, atau agent of restraint pada negara demokrasi seperti Amerika Serikat. Lebih lanjut, moda agensi media itu bisa berubah-ubah atau simultan diterapkan tergantung situasi yang ada sesuai dengan kehendak pers itu sendiri. Di sinilah letak peran aktif pers dalam politik itu. Misalnya ketika terjadi kerusuhan etnis, pers dalam agenda setting-nya harus bisa memerankan diri sebagai agent of development, mengimplementasikan peran firefightingnya. Efeknya, insiden kerusuhan tidak makin membesar. Contoh lain, ketika pemerintah dinilai mengeluarkan kebijakan yang tak berpihak kepada rakyat, peran agent of restrain harus diterapkan untuk bersikap kritis terhadap kebijakan itu. Bahkan ketika negara sudah menerapkan kekuasaan absolut dan antikritik, seperti pada era 1998 di Indonesia, peran media bisa menjadi kekuatan perubahan rezim (agent of change). Mencoba meletakkannya dalam konteks Pilpres 2009, peran politik pers seperti di atas menjadi sesuatu yang harus diterapkan. Tiga mode agensi pers tadi tidak akan memberikan ruang bebas bagi para jurkam-jurkam, jubir-jubir untuk seenaknya mengeksploitasi pers tanpa pers itu menyadarinya. Selama ini kerutinan kerja pers yang dituntut memiliki flow of news secara konstan menjadi santapan empuk para spin doctor. Mereka mengonstruksi event menarik dan mengundang selera sedemikian rupa sehingga memancing media yang lapar akan raw material of news untuk menyantapnya. Kita sudah menyaksikan bagaimana seorang pejabat incumbent mampu menebarkan pesona yang terbungkus tugas resmi kenegaraannya. Begitu pula kita juga sering melihat beragam calon kandidat presiden begitu cerdik bermanuver, unjuk gigi lewat aktivitas bernilai berita sehingga membuat media seakan tak kuasa menahan nafsu untuk meliput dan memberitakannya.

Belum lagi, ada faktor lain yang sangat memengaruhi peran politik pers seperti diingatkan oleh Duncan McCargo. Di dunia media yang terus mengalami kapitalisasi industri, mengevaluasi peran pers dalam berbagai situasi memerlukan telaah jeli dalam dua faktor: kepemilikan dan kontrol atas suatu media; serta hubungan di antara pemilik (proprietor), jurnalis,dan penguasa (power-holder). Pers harus disadarkan bahwa mereka bukan corong politik belaka. Pers harus lebih inovatif dan berani menyeruakkan dirinya sebagai trickster, meminjam satu terminologi dalam simbolik antropologi pada masyarakat agraris. Dalam konteks itu, seorang trickster adalah metafora dari segenap orang-orang luar (strangeoutsider) yang secara historis mulai dari kaum perajin, tukang kasar, tukang topeng monyet, badut, tabib, peramal, hingga warga desa yang idiot sekali pun. Dan seperti dikemukakan oleh pakar media politik dari Harvard University Prof Susan J Pharr (1996), para strange-outsider itu mempunyai karakter utama berupa posisi sosial yang inkonsisten terkait hubungannya dengan tata kekuasaan; mereka kadang memuji, menghibur, menjahati, menyindir, membujuk, atau menakut- nakuti. Memang pers yang selalu berubah-ubah peran seakan menunjukkan hipokritas, namun itulah kenyataannya. Pers adalah aktor politik yang harus mampu memilah-milah peran secara aktif dan cerdas dalam konteks mengayakan iklim demokrasi dan citizenry di negeri ini. Selamat Hari Pers Nasional. (*) (Sabtu, 9 Februari 2008 10:36 wib) (http://news.okezone.com/read/2008/02/09/58/82081/pers-sebagai-aktor-politik)

Analisa:

Berdasarkan artikel di atas dapat diketahui bahwa media merupakan aktor politik atau institusi politik. Sebagai aktor politik atau institusi politik media memiliki hak-hak independen dan media dapat memainkan berbagai peran politik. Terdapat 3 (tiga) pelaku dalam politik media, yaitu politisi, jurnalis, dan orang-orang yang digerakkan oleh dorongan (kepentingan) khusus. Bagi politisi, tujuan dari politik media adalah dapat menggunakan komunitas massa untuk memobilisasi dukungan publik yang mereka perlukan untuk memenangkan pemilihan umum dan memainkan program mereka ketika duduk di ruangan kerja. Bagi jurnalis, tujuan politik media dalah untuk membuat tulisan yang menarik perhatian banyak orang dan menekankan apa yang disebutnya dengan suara yang independen dan signifikan dari para jurnalis. Bagi masyarakat, tujuannya adalah untuk keperluan mengawasi politik dan menjaga politisi agar tetap akuntabel, dengan menggunakan basis usaha yang minimal. Peran politik pers menurut Duncan McCargo (2001) ada tiga, yaitu (1) sebagai agen pembangunan (agent of development); (2) agen perubahan (agent of change); dan (3) fungsi watchdog (agent of restraint). Dalam artikel di atas dicontohkan bahwa ketika terjadi kerusuhan etnis, pers dalam agenda setting-nya harus bisa memerankan diri sebagai agent of development, dengan mengimplementasikan peran firefightingnya. Peran tersebut membuat insiden kerusuhan tidak semakin membesar. Contoh lain, ketika pemerintah dinilai mengeluarkan kebijakan yang tak berpihak kepada rakyat, peran agent of restrain harus diterapkan untuk bersikap kritis terhadap kebijakan itu. Bahkan ketika negara sudah menerapkan kekuasaan absolut dan antikritik, seperti pada era 1998 di Indonesia, peran media bisa menjadi kekuatan perubahan rezim (agent of change). Media merupakan pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Meskipun berada di luar sistem politik formal, keberadaan pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial. Karenanya, kebebasan pers menjadi salah satu tolok ukur kualitas demokrasi di sebuah negara. Pers harus mampu memilah-

milah perannya dengan cerdas dalam konteks demokrasi agar mampu menjalankan perannya dengan baik, dan tidak mudah terpengaruh oleh arus kekuasaan dan modal. Media massa sebagai salah satu pilar demokrasi. Artinya, media memiliki peranan yang penting di dalam menjaga bahkan mempengaruhi jalannya suatu sistem politik yang demokratis di suatu negara atau wilayah tertentu. Sedikit banyaknya praktek media massa berkontribusi terhadap bagaimana prinsip-prinsip demokratisasi mampu terselenggarakan dalam tatanan masyarakat. Media sebagai sarana menyebarkan informasi kepada publik harus mampu menyajikan informasi yang akurat dan terpercaya. Dengan disahkannya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menggantikan UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers merupakan langkah awal bagi kebebasan pers di masa ini. Tidak hanya perubahan sistem politik saja yang memungkinkan oposisi untuk berkembang, melainkan juga kebebasan pers pula yang turut berperan serta dalam perkembangan oposisi tersebut. Pers sekarang tidak segan untuk mengkritik berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro-rakyat. Pers juga dimungkinkan untuk meliput dan menerbitkan berita-berita miring sehubungan dengan kinerja pemerintah, maupun skandal yang terjadi di antara aktor pemerintah maupun elitelit politik.

Anda mungkin juga menyukai