Anda di halaman 1dari 1080

PROCEEDING INTERNATIONAL POST – GRADUATE

CONFERENCE 2015
MEDIA, BUDAYA DAN MASYARAKAT
© UNIVERSITAS AIRLANGGA

Editor
Prof. Rachmah Ida, Dra., M. Comm., Ph.D.

Redaksi
Intan Fitrianisa, S.I.Kom Febitya Ayu Adisca, S.S
Bevy Kartikasari,S.Sos Kirana Ayudya S.Hum
Najla Amaly, S.I.Kom

Alamat Redaksi
Jalan Airlangga No. 4-6 Surabaya
Email: confmedkomua@gmail.com
CP: 081230336918

Desain Sampul
Rama Dimas Ade Kusuma, S.Sn

Penerbit
Program Studi S2 Media dan Komunikasi - Universitas Airlangga
Surabaya

Distributor Tunggal
Program Studi S2 Media dan Komunikasi Universitas Airlangga

Media, Budaya dan Masyarakat


Cetakan Pertama, September 2016
Surabaya, Program S2 Media dan Komunikasi
Xxx + 1055 hlm; 16 cm x 23 cm
ISBN: 978 - 602 - 71447 - 5 - 0

i
PENGANTAR EDITOR
MEDIA, POLITIK, DAN BUDAYA DI INDONESIA
RACHMAH IDA

Perkembangan teknologi komunikasi khususnya televisi telah


melahirkan masyarakat informasi yang makin besar tuntutannya akan hak
untuk mengetahui dan hak untuk mendapatkan informasi. Informasi telah
menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas
penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Perkembangan teknologi media massa seperti televisi dan internet
yang paling nyata, telah membawa implikasi terhadap dinamika media massa
di Indonesia. Media, seperti televise dan internet misalnya, sebagai penyalur
informasi dan pembentuk pendapat umum, perannya makin strategis,
terutama dalam mengembangkan demokrasi. Disamping itu, televisi dan
internet merupakan sarana komunikasi yang mempunyai nilai komoditas
tinggi yang senantiasa menjadi perebutan diantara pengelola industri media.
Begitu pentingnya peran media dalam kehidupan bermasyarakat tak jarang
berbagai masyarakat berupaya memonopoli media massa untuk menjadi
sebuah komoditi, bahkan menjadikan alat untuk memperluas atau
memperkuat kepentingannya.
Kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan dan
memperoleh informasi bersumber dari kedaulatan rakyat dan merupakan hak
asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang demokratis. Dengan demikian, kemerdekaan atau kebebasan dalam
media harus dijamin oleh negara. Namun kemerdekaan tersebut harus
bermanfaat bagi upaya bangsa Indonesia dalam menjaga integritas nasional,
menegakkan nilai-nilai agama, kebenaran, keadilan, moral, dan tata susila.
Dalam hal ini kebebebesan harus dilaksanakan secara bertanggung jawab,
selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan dalam
menggunakan hak.
Dalam konteks inilah media massa berperan sangat penting untuk
menjadi kontrol sosial sekaligus kontrol politik dan budaya dalam masyarakat
yang majemuk seperti Indonesia saat ini. Kekuatan media begitu dahsyat.
Bahkan cara hidup kita ditentukan sebagian besarnya oleh media. Identitas-
identitas baru timbul tenggelam mengikuti tren yang berkembang di media
massa. Di sisi yang lain, derasnya arus budaya yang datang dari luar
Indonesia tidak hanya memperkaya, namun juga menjadi sumber adaptasi

ii
dan adopsi kebudayaan asli Indonesia. Dinamika itu bisa kita tonton setiap
harinya di media televisi dan media cetak, juga pada media-media sosial
yang kini marak di tanah air.
Seluruh diskusi dan wacana publik tentang demokrasi, ketika
Indonesia baru saja merdeka dari rejim Orde Baru, menyatakan dengan tegas
bahwa tidak akan ada pembatasan terhadap media, tidak akan ada lagi
kontrol terhadap isi media, dan tidak ada pembredelan terhadap institusi
media. Semua pihak sepakat dan mendukung upaya menuju demokratisasi
Indonesia. Bahkan ada kepercayaan bahwa demokratis tidaknya sebuah
negara bisa dilihat dari sistem persnya dan sistem keterbukaan
komunikasinya.

Kehadiran internet di Indonesia merupakan manifestasi dari proses


keterbukaan “public sphere” atau ruang publik. Selain pranata konvensional,
indikator demokratis tidaknya suatu negara juga bisa dilihat dari sempit-
luasnya ruang publik yang tersedia untuk rakyat. Semakin terbuka ruang
publik, dan semakin banyak medium bagi publik untuk berpartisipasi, maka
dianggap semakin demokratis negara tersebut.

Banyak literatur ilmiah, tulisan jurnal, maupun diskursus media massa


di tanah air dan luar Indonesia, yang mendeklarasikan bahwa Indonesia
cukup demokratis. Internet telah menjadi medium alternatif tanpa sensor
negara untuk perjuangan demokrasi di beberapa wilayah di luar pula Jawa
dan di wilayah-wilayah konflik (Sen & Hill, 2007; Brauchler, 2007).

Blogspots, Messenger, Facebook, Twitter, Google Buzz, dan


semacamnya menjadi medium terbuka bagi publik. Melalui media ini
masyarakat bisa beropini, berkomentar, berbagi informasi, dan mengkritisi
hal-hal yang tidak beres, mulai dari urusan korupsi, nepotisme, aksi sosial,
solidaritas kemanusiaan, dan sebagainya. Kecenderungan yang terjadi di
masa paska Orde Baru ini adalah, isu-isu sektarianisme dan Islam radikal,
menguasai dunia-dunia maya untuk menggelorakan jihad. Konsep “jihad
online”atau e-jihad (Bunt, 2003) menjadi salah satu isu baru dalam ruang
media dan perkembangan teknologi dan Islam saat ini. Perang di internet,
war on the internet, menjadi fenomena baru bagi aktivitas-aktivitas i-Muslim
(Bunt, 2009) yang merambah ruang-ruang publik baru bagi pengikut-pengikut
Islam garis keras dan bagi negara-negara Islam di dunia.

Barangkali untuk lebih memahami tren atau kecenderungan kondisi


kehidupan media massa yang terjadi saat ini di tanah air, penulis, sedikit ingin
mennggunakan pendekatan ekonomi politik media untuk menjelaskan apa
yang terjadi dengan media massa di tanah air. Pendekatan ekonomi politik
iii
media merupakan pendekatan kritis yang lebih memfokuskan pada hubungan
antara struktur ekonomi, dinamika industri media, dan ideologi media. Teori
ini mengarahkan perhatian penelitian pada analisis empirik pada struktur
kepemilikan dan kontrol media serta mekanisme kerja pasar media. Dari titik
pandang ini, institusi media harus dipandang sebagai bagian dari sistem
ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik. Karakter utama dari
produksi media sebagian besar ditentukan oleh nilai tukar berbagai ragam isi
dalam kondisi yang ditentukan oleh kepentingan ekonomi oleh para pemilik
dan penentu kebijakan (Murdock dalam McQuail, 2000 : 82-83).
Dengan demikian profesional pengelola media dalam menjalankan
perannya, selalu terkait dengan sistem ekonomi, politik, dan budaya yang
berlaku dalam masyarakat dimana institusi media berada. Dalam konsep
ekonomi politik, pengelola media pada dasarnya merupakan partisipan dari
kelompok tertentu dalam masyarakat. Pengelola media merupakan bagian
dari kelompok atau kelas dominan dalam masyarakat. Sehingga konten
media akan merefleksikan kondisi ini.
Pengelola media di sisi yang lain juga mempunyai nilai-nilai ideologis
tertentu yang hendak diperjuangkan. Di lain pihak ada kepentingan kelompok
lain yang lebih kuat mendominasinya sehingga pada akhirnya pengelola
media berusaha menempatkan dirinya dalam berbagai kepentingan ini
menjadi seorang yang netral, partisipan, atau negosiator.
Menurut Graham Murdock dan Peter F. Golding (1977), efek
kekuatan eknomi tidak berlangsung secara acak, tapi terus-menerus:
mengabaikan suara kelompok yang tidak memiliki kekuasaan ekonomi dan
sumber daya. Pertimbangan untung rugi diwujudkan secara sistematis`
dengan memantapkan kedudukan kelompok-kelompok yang sudah mapan
dalam pasar media massa besar dan mematikan kelompok-kelompok yang
tidak memiliki modal dasar yang diperlukan untuk mampu bergerak. Oleh
karena itu, pendapat yang dapat diterima kebanyakan berasal dari kelompok
yang cenderung tidak melancarkan kritik terhadap distribusi kekayaan dan
kekuasaan yang berlangsung. Sebaliknya, mereka yang cenderung
menantang kondisi semacam itu tidak dapat mempublikasikan ketidakpuasan
atau ketidaksetujuan mereka karena mereka tidak mampu menguasai sumber
daya yang diperlukan untuk menciptakan komunikasi efektif terhadap
khalayak luas (Murdock dan Golding, 1977).
Media di Indonesia telah mengalami masa transisi yang sangat pesat
setelah hampir 20 tahun masa pemerintahan Orde baru berakhir. Reformasi
media massa di tanah air ditujukan untuk menghasilkan model system media
massa yang demokratis dan transisi masyarakat sipil yang diinginkan. Namun

iv
demikian, sejauh ini, hasilnya barangkali tidak seperti yang dimimpikan.
Liberalisasi pasar media, mengikuti kecenderungan model bisnis media
global, dilihat mengancam sistem media yang demokratis. Salah satu upaya
untuk meng-counter liberalisasi pasar media ini dengan mulai memfasilitasi
lebih banyak tumbuhnya media massa yang lebih me-regional atau
decentralised, terutama bagi radio dan televisi, seperti media lokal, media
komunitas dan media public (Sudibyo, 2004).
Tetapi, upaya untuk lebih banyak memberikan kesempatan bagi
tumbuhnya media yang tidak terpusat atau yang lebih me-lokal dan dekat
dengan komunitas sehingga bisa menjamin terbentuknya sistem media yang
demokratis agaknya mengkhawatirkan ketika melihat kepemilikan atau siapa
dibalik media massa lokal tersebut, khusunya ketika melihat perkembangan
terakhir berdirinya stasiun-stasiun televisi lokal di berbagai daerah di
Indonesia.
Ekspansi otonomi daerah yang dibuka oleh pemerintah pusat setelah
masa reformasi, telah memberikan kemungkinan dan kemandirian bagi
daerah untuk berkembang. Kondisi ini diikuti pula dengan mulai
menggeliatnya industry dan factor-faktor penggerak ekonomi daerah,
termasuk industry media massa daerah (lokal). Eforia otonomi daerah setelah
masa Orde baru telah memberikan kesempatan pula bagi pengusaha-
pengusaha lokal/daerah untuk mendirikan berbagai usaha komersial
lokal/daerah dan usaha-usaha public dan komunitas lokal yang secara
khusus mengandung muatan lokal untuk dikonsumsi komunitas lokal.
Hadirnya media local memberikan kontribusi yang signifikan juga
terhadap dinamika perkembangan konten local yang berpengaruh terhadap
pengayaan dan kekuatan budaya local dan budaya nasional. Namun, masih
saja didapati representasi-representasi yang berkeliaran di media-media
penyiaran nasional dan local tidak jauh dari stereotip-stereotip yang selama
ini sulit untuk didekonstruksi dengan kritis. Tayangan yang tidak sensitive
gender, tayangan yang masih seksis, fetisisme seks yang juga masih
dominan adalah contoh-contoh ketika media massa nasional dan local tidak
mampu bergerak untuk menawarkan alternative dekonstruksi baru kepada
khalayak penonton. Kekuatan ekonomi dan kepentingan politik pemilik media
agaknya lebih mengedepan.
Apalagi saat ini pemilik media massa di Indonesia turut terlibat
langsung dalam politik praktis. Sehingga media massa menjadi alat politik
sekaligus propaganda bagi para pemilknya. Hal yang barangkali tidak banyak
dicermati dan dihiraukan oleh sebagian besar khalayak Indonesia yang
derajat literasi nya terhadap politik dan media masih rendah. Sehingga media

v
massa menjadi kendaraan bagi pemiliknya dan penguasa yang berkoalisi
dengan pemilik media untuk memberikan hiburan dan informasi yang tidak
hanya menghibur tetapi dibumbui dengan kepentingan-kepentingan sepihak.
Program-program yang disebut “sampah” masih menjadi andalan di media
massa. Karena program-program ini yang me-lena-kan masyarakat untuk
tidak peduli atau semakin menjauh dengan dunia serius seperti politik,
korupsi, dan praktik-praktik koalisi-oposisi politik yang sulit diikuti.
Kondisi media massa dan kepenontonan di tanah air saat inilah yang
ditulis oleh mahasiswa pasca sarajana Komunikasi dan Studi Media yang
terangkum dalam koleksi proceeding ini. Tulisan-tulisan dan riset-riset yang
dilakukan oleh mahasiswa pasca sarajana Komunikasi di tanah air sungguh
kaya, kritis, dan beragam. Dengan buku ini kita bisa membaca bagaiman riset
komunikasi dan media di tanah air mengikuti perkembangan tradisi keilmuan
media, komunikasi dan studi budaya yang lebih mengedepankan tradisi-
tradisi pemikiran kritis. Tulisan-tulisan dalam buku proceeding ini adalah hasil
yang telah dipresentasikan oleh mahasiswa pasca sarjana dari program studi-
program studi komunikasi dan media di Indonesia. Inilah bentuk dari
bagaimana mahasiswa pasca sarjana harus mendiseminasikan hasil karya
akademiknya sekaligus upaya saling menyapa antar perguruan tinggi yang
ada. Akhir kata, selamat membaca, semoga tulisan-tulisan cemerlang
mahasiswa pasca sarjana dan dosen-dosen muda di tanah air ini
memberikan manfaat dan kontribusi optimal bagi pendidikan tinggi
Komunikasi dan Media di Indonesia.

Referensi
Braeuchler, B. 2007. ‘Religious Conflicts in Cyberage.’ Citizenship Studies 11 (4)
September 2007: 329-347
Bunt, G. R. 2009. iMuslim: Rewiring the House of Islam. Chapel Hill: The University of North
Carolina Press
Bunt, G.R. 2003. Islam in the Digital Age: E-Jihad, Online Fatwa, and Cyber Islamic
Environment. London & Virginia: Pluto Press
Sudibyo, A. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Jakarta: PT LKiS Pelangi Aksar
Murdoch, G. & Golding, P. 1977. ‘Capitalism, Communication, and Class Relations,’ in J.
Curran, M. Gurevitch, & J. Wollacott, (Eds.). Mass Communication and Society.
London: Edward Arnold in Association with Open University, pp. 12-43
McQuail, 2000. Mass Communication Theory. London: Sage Publication
Sen, K. & Hill, D.T. 2000. Media, Culture and Politics in Indonesia. Oxford: Oxford
University Press

vi
DAFTAR ISI

Susunan Redaksi ............................................................................... i


Pengantar Editor .................................................................................ii
Daftar Isi .......................................................................................... vii

SUB TEMA 1: MEDIA & ISLAM


1. From Kyais to “Ustadz Google”: History of (Mediatized)
Islamic Learning in Indonesia .................................................. 1
Fazlul Rahman

2. Membaca Film Indonesia Bertema Religi (Studi Film


Discourse Interpretation Tentang Identitas Muslim
dalam Film ‘Haji Backpaker’) ................................................... 25
Intan Fitranisa

3. ISIS dan Terorisme dalam Wajah Media Online


Indonesia .....................................................................................44
Jaka Farih Agustian

4. Radikalisme dalam Media Massa Online Islam


(Analisis Wacana Situs Arrahmah.com) .................................75
Alhimni Fahma

5. Posisi Subjek dan Objek dalam Wacana Indonesia


Sebagai Penampung Para Pengungsi Rohingya dalam
Berita Online Detik.com ............................................................ 94
Mirza Fathima Jauhar Kamalia

6. Pesantren dan Penyiaran Komunitas (Prinsip dan


Praktek Radio Komunitas Suara Tebuireng Jombang) ....... 111
Ahmad Riyadi

7. Relasi Gender dalam Film-Film Bertema Islam .................... 131


Ariza Q. Ayun

vii
8. Perspektif Muhammadiyah Dalam TVMU (Studi Pada
Program Acara Tarjih Menjawab dan GerakanMu) ..............154
Nur Afni Rachman

SUB TEMA 2: MEDIA, ETNISITAS & NASIONALISME


1. Konstruksi Identitas Etnis Maluku dalam Film “Cahaya
dari Timur: Beta Maluku” .......................................................... 170
Yesaya R.O Ayawaila

2. Kritik Dominasi Kelompok Mayoritas Etnis dan Agama


Membungkam Minoritas Serta Harmonisasi dalam
Teks Media Massa.....................................................................224
Rustono Farady Marta

3. Makna KeIndonesiaan Pada Masyarakat Perbatasan


(Studi Pada Masyarakat Kecamatan Sebatik Tengah
Kalimantan Utara Dalam Fotografi ..........................................249
Yunovan Chanif

4. Representasi Pembantu Rumah Tangga Kulit Hitam


dalam Film The Help ................................................................. 266
Nani Kurniasari

SUB TEMA 3: MEDIA, REMAJA (YOUTH), GENDER &


SEKSUALITAS
1. Young, Success, and Fabulous: Youth dan Diskursus
Kesuksesan ( Di Masa Muda) ..................................................295
Mayarani N Islami

2. Penggunaan Metafora Seksualitas Pada Lagu


Dangdut Koplo (Studi Semiotik Metafora Lagu
Dangdut Koplo “Kebelet 1 dan Kebelet 2”) ............................315
Namiratud Diniyah

3. Elemen Iklan pada Promosi Produk Axe ............................... 345


Decky Avrilukito Ismandoyo
viii
4. Penerimaan Khalayak Perempuan Terhadap Konsep
Kecantikan Iklan Citra Pearly White Moisturizer ...................361
Amelia Agustina Herlianto

5. Erotisme Pada Iklan (Analisis Semiotik tentang Erotic


Appeals pada Iklan Makanan) ................................................. 379
Kirana Ayudya

6. Representasi Female–Masculinity dalam Iklan Parfum .......407


Febitya Ayu Adisca

7. Reception Analysis Penonton terhadap Peran dan


Figur Suami dalam Tayangan Sinetron Indonesia ............... 428
Riasita Biantiara

8. Studi Analisis Resepsi Komunitas Fujoshi di Surabaya


Dan Sekitarnya terhadap Gay Relationship di film
Barat .............................................................................................453
Athiraniday Subagio

9. Representasi dan Konstruksi Identitas Remaja


Perempuan pada Iklan Clean and Clear versi “Apa sih
Asyiknya Jadi Remaja?” ........................................................... 473
Yul Rachmawati

SUB TEMA 4: MEDIA DAN KOMUNIKASI POLITIK


1. Media Massa dan Pendidikan Demokrasi (Tantangan
Perubahan Sosial dan Demokrasi di Indonesia) ...................499
Evie Ariadne Shinta Dewi

2. Koordinator Wartawan, Sumber Berita dan Media


dalam Pemberitaan Politik (Telaah Peran Orang
Ketiga dan ‘Kawalan’ Berita di Lingkungan DPR) ................ 526
Nanang Haroni

ix
3. Opini Masyarakat Kabupaten Sidoarjo Terhadap
Personal Branding Cawabup Sidoarjo (Studi Kasus
Tan Mei Hwa Sebagai Perempuan Tionghoa
Beragama Muslim Dalam Pencalonan Pilkada
Kabupaten Sidoarjo 2015) ........................................................555
Rama Dimas Ade Kusuma

4. Representasi Kekuasaan dalam Desain Iklan Politik


Risma-Wisnu pada Pemilihan Kepala Daerah Kota
Surabaya ..................................................................................... 586
Muh. Bahruddin

5. Relasi Kuasa Antara Agency dan Struktur Pada


Televisi Lokal ‘Radar TV’ Palu, Sulawesi Tengah ..........
.................................................................................... .....611
Nurul Akmalia

6. Potret Komunikasi Politik di Indonesia .............................


.................................................................................... .....634
Sumartono

7. Problema Gratifikasi dalam Media Relations dari Segi


Budaya Nasional dan Budaya Organisasi pada
Perusahaan di Indonesia di Tengah Meningkatnya
Tuntutan Terhadap Transparansi Media ................................662
Ardimas (Sasdi), M.Si

8. Framing Analysis of VIVANEWS (VIVA.CO.ID) and


METRONEWS.COM on President Joko Widodo’s
Stance in Facing Criminalization of KPK by Indonesian
Police ........................................................................................... 699
Yuri Alfrin Aladdin

9. Inklusi dan Ekslusi dalam Berita Pembatalan Calon


Bupati dan Wakil Bupati Mojokerto Tahun 2015

x
(Analisis Wacana Theo Van Leeuwen pada Harian
Radar Mojokerto Jawa Pos).....................................................721
Paradisa Eva Dewanti

10. Acara Wedhang Cor Di JTV Jember Dalam Perspektif


Habermas (Studi Eksploratif tentang Acara Wedhang
Cor di JTV Jember dalam Konsep Ruang Publik
Habermas) .................................................................................. 743
Finish Rimbi K

SUB TEMA 5: MEDIA SOSIAL DAN INTERNET


1. Cybercrime : Mediatisasi, Voyeurism, dan Hyperspace
di Internet .................................................................................... 758
Fina Zahra

2. Media Sosial: (Re)konseptualisasi Komunikasi


Interpersonal ...............................................................................777
Yuli Candrasari

3. Korelasi antara Penggunaan Media Online dan


Peningkatan Respon Entitas Kegiatan Tindak Lanjut
Rekomendasi Hasil Pemeriksaan (TLRHP) pada BPK
RI Perwakilan Jawa Timur. .......................................................797
Henry Mei Zeptian

4. Pembelajarana Fotografi Produk Menggunakan Video


Tutorial. ........................................................................................812
Dr. Ir. Francisca H. Chandra, M.T, Yulius Widi
Nugroho, S.Sn, M.Si

5. Budaya Media dan Partisipasi Anak di Era Digital ............... 829


Salman Hasibuan

6. Komunikasi Pengelabuan di Era Teknologi Digital ...............851


Reny Yuliati

xi
7. Mengejar Ketertinggalan Teknologi Komunikasi: Studi
Information Self-Efficacy Siswa SMA Asal Ind.Timur
Pelaksanaan UN CBT di Kota Malang ................................... 868
Nindi Aristi

8. Ketergantungan Remaja terhadap Media Sosial:


Transformasi Budaya remaja...................................................891
Dyva Claretta, Tatik Nuryanti

SUB TEMA 6: KOMUNIKASI DALAM PEMBANGUNAN


1. Manifestasi Fungsi Teraupetik dalam Wacana
Komunikasi Kesehatan Jantung Melalui Website
Yayasan Kesehatan Jantung................................................... 911
Dwi Kartikawati

2. Representasi Kuasa Elit Desa di Dunia Maya: Kajian


tentang Media Internet Desa Online di Kabupaten
Jember .........................................................................................939
Kun Wazis

3. Penerapan Komunikasi Antarpersona dalam Program


Pemberdayaan Perempuan ..................................................... 969
Ida Ri’aeni, Uun Machsunah

4. Strategi Komunikasi Kader KB Perempuan Pada


Metode Kontrasepsi Vasektomi Atau MOP Dalam
Budaya Masyarakat Patriarki. .................................................. 1010
Herman Yoseph Apri Setyawan

5. Penerimaan Publik Terhadap Anjungan Transaksi


Mesin Satuan Administrasi Manunggal Satu Atap
Jawa Timur (ATM Samsat Jatim) ............................................ 1031
Atik Kamulasari

xii
6. Komunikasi Antar Budaya Pada Perkawinan
Campuran Masyarakat Suku Sasak Dengan Warga
Negara Asing di Pulau Lombok ............................................... 1044
Novita Maulida

xiii
MEDIA &
ISLAM
FROM KYAIS TO ‘USTADZ GOOGLE’:
HISTORY OF (MEDIATIZED) ISLAMIC LEARNING IN
INDONESIA

Fazlul Rahman*

Religious Authority in a Context


Considering the broad concept of ‘religious authority,’
Kramer and Schmidtke, from the perspective of Islamic studies,
prefer to use plural (‘religious authorities’) (Gudrun Kramer and
Sabine Schmidtke, 2006:3) as they show there are various
important studies (have been and could be) done in this topic. To
give a comprehensive understanding of the concept, and to find
out what kind of religious authority that the Kyais had in their
selves, in this section, I would like to discuss the topic from
different perspectives: Islamic studies, Sufism, social, and
politics.
To have a comprehensive understanding of what the term
“religious authority” means, first of all, we need to understand the
term “authority” separately. Coming from sociological
perspective, Max Weber, identifies three ideal types of authority:
charismatic, traditional, and rational-legal authority. For the
purpose of this paper, I will focus only on charismatic authority.
Weber refers the term “charisma” to either of two types:
natural and artificial (Max Weber, 1993:3). The former
1
considered as a gift that inheres in an object or person simply by
virtue of natural endowment and cannot be acquired by any
means. While the latter means a gift produced artificially in an
object or person through some extraordinary means
To make clear of what actually Weber means by
charismatic authority, he outlines five principal characteristics of
charismatic authority as below:
1. People’s recognition of those who claim for authority is the
most important part in measuring the validity of charisma.
2. Suffering a loss of charisma will lead him to think his god
or his magical or heroic powers have abandoned him.
3. The corporate group which is subject to charismatic
authority is based on an emotional form of communal
relationship
4. Pure charisma will not so much care about economic
consideration.
5. In traditionally stereotyped periods, charisma is the
greatest revolutionary force (Talcott Parsons, 1947: 359-
363).
By its very nature, Weber reminds us that the existence of
charismatic authority is specifically unstable. The holder may
forego his charisma; he may feel ‘forsaken by his God,’ as Jesus
did on the cross; he may prove to his followers that ‘virtue is gone
out of him.’ (H. H. Gerth and C. Wright Mills (eds.), 1946).

2
However, only because pure charisma does not know any
‘legitimacy’ other than that flowing from personal strength, that
is, one which is constantly being proved.
There are at least two important key terms I would like to
underline from Weber’s explanation on the issue of charisma in
general and charismatic authority in particular, which are:
believing and recognition. These two attitudes toward authority,
be it general authority or charismatic, for me are acting as the
core determinant of authority to be authoritative. In other words,
however great the authority and the charisma that individual has
in him or herself, he/ she will not considered as charismatic and
authoritative as long as other people do not believe in and
recognize that charisma and that authority.
At this point, it is interesting to take political argument of
what authority is as it is presented by Hannah Arendt when she
explained about the ‘authority in general.’ According to her,
authority in general is not only incompatible with either coercion
by force or persuasion through arguments, but also it is
hierarchical in its very nature. These two important natures of an
authority then what makes it the most stable element of human’s
life (Hannah Arendt, 1961:93-94).
This notion of coercive and persuasive approach of
authority, interestingly, also becomes one of ElFadl’s concerns
when he explored the meaning of religious authority from the

3
perspective of Islamic law (Khaled Abou El Fadl, 2001:21). Even
though, he did not explicitly argue the compatibility of those two
in his definition of ‘religious authority.
To sum up his understanding of the concept of
“authoritative,” El Fadl goes in line with John Finnis’ description
of the authoritative which points out the important of an
exclusionary reason, the reason that we will consider the most
compelling and the reason that leads us to exclude all other
countervailing reasons and it is of the result of an encounter with
the authoritative (El Fadl, 2001:22-23). This Joseph Raz’s
terminology of exclusionary reason (i.e. a reason for judging or
acting in the absence of understood reasons), according to
Finnis, is ‘the focal meaning of authority, whether that authority
be speculative (the authority of learning or genius) or practical
(the authority of good taste, or practical experience), and whether
the authority be ascribed to a persons, or to their characteristics,
or to their opinions or pronouncements, or to some opinion or
prescription which has authority for reasons other than that its
author(s) had authority.’ (John Finnis, 2011:234)
Interestingly, we found this ‘exclusionary reason’ is very
much embedded in Sufism’s doctrine of “Shaykh-Murid (Master-
disciple) relationship” as it is implicitly understood from Ibn
Arabi’s saying “it is through God that one knows masters, and
through masters that one knows God." As the master in Sufism

4
has a significant role for a murid to guide him to the God’s path,
and only the masters who can ‘show the divine character traits
in his/her soul and how to bring them into the open’(William C.
Chittick, 2000:25), a murid see him as the most authoritative
person in his spiritual journey. Even then the master will cause
him any discomfort, the disciple should still be patience for it.
To conclude the discussion on ‘religious authority’, I would
like to say that Weber’s charismatic authority which emphasize
the factors of believing and recognition does not naturally belong
to one specific gender and are actually in line with El Fadl’s
notion on coercive and persuasive authority in a way that both
coercive and persuasive authority are the results of the process
of believing and recognizing of the people before the authority.
However, Arendt’s notion of the incompatibility of the coercive
and persuasive approach in accessing authority is very much
important to complement our understanding of how the authority
works. Here, John Finnis’ notion on exclusionary reason is very
much helpful for understanding how the process of believing and
recognizing take place in an individual in which it creates total
obedience to the authoritative. Sufism’s doctrine on master-
disciple relationship, furthermore, would be an important
explanation of what kind of obedience and how that obedience
grown in oneself.

5
The exploration of those theories on authority is very
much helpful for this paper to understand a big picture of the
Kyais’ religious authority in a way that those show that authority
consists of at least three important elements: personal
(charisma), cultural (long-term hierarchy), and doctrinal (master-
disciple relation in Sufism).

Authority in Learning Islam


Thalab al-‘Ilmi (Ar. Seeking knowledge) is one of the most
important elements for Muslims. There are a lot of Quranic
verses and prophetic saying encourages Muslims to learn and
justifies a greater position for those who dedicate themselves for
learning. However, there are at least three important
considerations Muslims need to pay their attention in the process
of learning, first is what to learn, how they learn and whom they
learn from.
For Muslims, according to Muhammad Husain Ya’qub
(2002:75-76), al-‘ilm, basically, means knowledge leads them to
know their God and His Messengers. This means Muslims
should widely open their mind to any knowledge as long as it
leads them to know and understand their God and His
Messengers better. In this regard, Abud bin Ahmad Ba’bad,
author of Ta’lim al-Muta’allim (a widely used reference in many
Pesantrens in Indonesia), clearly mentions that for the seekers

6
of knowledge, they should choose of the knowledge what they
need for their religious purposes first and then for their financial
needs. For this, they should learn knowledge of Islamic
monotheism (ilm al-tawhid) before any others as it will guide
them to a more comprehensive understanding of their God
(Ba’bad, 1890:6).
In his book on the ethics of seeking knowledge in Islam,
Muhammad bin Ibrahim al-Uthman wrote one particular chapter
on how to seek the knowledge and explained the significance of
seeking it orally (bi al-mushafahah). According to him, there are
at least six reasons why should Muslims pursuit their knowledge
from their teachers orally; time saving, creates a deep
understanding, prevents from having any kind of mistakes, gives
student ability to argue for his knowledge, gives a better
understanding, makes student learns the good manners of their
teachers (al-Uthman, 2002:18-20). Going in the same vein,
Husein Ya’qub explained two ways of learning in Islam: a student
should come to and sit surrounding the teachers and learn
directly from them. If not possible, then he/she should learn
through asking questions to the experts (Ya’qub, 2002: 76-77).
Another important consideration in learning in Islam, is to
choose an appropriate teacher. According to Shaikh al-Zarnuji,
there are at least three factors Muslims need to pay attention
when choosing a teacher; expertise, manner, and age. The ideal

7
teacher is the one who is expert in his particular field of
knowledge, has a good manner, and the oldest among others (al-
Zarnuji, 6). And it is considered as the most important manner of
the students to believe that the teacher has a higher degree of
virtue than their parents as the teacher is the one who take care
of their spiritual matters (al-Mas’udi, 11).
With regard to our discussion on the authority in learning
Islam, the above explanation leads me to three important
conclusions, first that Islamic knowledge particularly the
knowledge of Islamic monotheism has more authority among
other knowledge. Second, that oral tradition in learning Islam is
the most authoritative ways of learning Islam. In the following
section, I will discuss further the process of the transmission of
Islamic knowledge from oral to mediated tradition.

Islamic knowledge transmission: From Oral Tradition to


‘Mediated Tradition’
‘In its varied forms, recitation purported to convey an
authoritative genuineness of expression by replicating an
originally voiced presence’ (Brinkley Messick, 1992: 26).
Messick’s argument clearly implies that the oral tradition,
compared to written tradition, has a higher level. This refers to its
ability to present the original message in its more genuine form.
The history of the first revelation (“iqra!”, Ar. “read!”) delivered

8
‘orally’ from God to Muhammad, who is illiterate, implicitly
legitimates the authority of this oral tradition over other traditions
in Islam. The sahabah’s (companion of Muhammad) preference
to memorize the entire revelation God sent to Muhammad,
evidently be a supporting argument for it.
Throughout history, this oral tradition then influences the
pattern of knowledge transmission in Islamic scholarship which
prefers memorizing than writing. As it is understood from a well
known Arabic’s wisdom saying that al-‘ilmu fi sudur la fi sutur (the
knowledge is in the hearth not in the text). What is more, from
the perspective of the hadith (prophetic tradition) studies, the
transmitters who are able to transmit a text of hadith in its exact
literal form has a higher level of authority then those who only
able to transmit the context/ meaning of it. Indonesian Islamic
religious education system, especially in most of Islamic
boarding schools, still preserves this kind of tradition. In which,
the ustadz (teachers) deliver the materials orally in the class and
the santris (students) are obliged to memorize them. This, even
more, applied for most of subjects thought in the boarding school.
Furthermore, as it argued by Graham, that ‘the
entrenchment of literacy in a society appears to result not only in
new quantities, but new kinds of texts and new perceptions and
uses of texts. These, in turn, change the way we understand the
past and, therefore, ultimately the present (Graham, 1987:17).

9
This implies that the written tradition, a tradition coming after the
oral, not only changes how many knowledge being produced but
the variation of it and, more importantly, how people understand
and use the knowledge.
Previously, in an oral society, the knowledge transmitted
orally using face to face medium. By this, people in the society
could make sure and preserve the originality of the knowledge
transmitted to them. Any bias or changing in the knowledge will
be transparently explained by the transmitter in the process of
transmission. For the written society, what they have mostly what
have been structured and captured in a written text form. Any
bias of the knowledge implied in the text will hardly be
communicated to the original transmitter. It very much depends
on how the society perceives and understands it. This clearly
explained by the different ability of a reader and a listening
audience in dealing with information. The way a reader
understands and gets impression of information will be very
much different from how a listener understands and gets
impression from the same information. In this context, the issue
of ‘digital reading’ supported by the inventions of computer and
other portable digital devices (i.e., kindle, nook, iPad, etc)
currently creates another challenging problems of not only
society’s reading habit, but also how they deal with information.
As Baron sees that those current digital reader ‘coax us to skim

10
rather than read in depth, search rather than traverse continuous
prose.’ (Baron, 2015)
Despite their portability and, for most, occupied with
Internet connection, reading on digital devices enable us to
check out some references and explore more about what we are
reading, but at the same time, those features are, unconsciously,
more distracting than helping. Interestingly, according to
Graham, the changing tradition from oral to written does not
depend on the mental capacities of the society, but more on the
availability of the new technology. This, understandably, implies
that the immature capacities (mentally, intellectually, religiously)
of the society, most of the time, considered as less important
factor in the society in welcoming the technological
advancement.
In the context of Islam, the ‘oral Islam’ might be
considered as the original Islam. The history of the effort of
Muhammad’s companion to preserve the God’s revelation by
writing it down in whatever medium available in that time until the
coming of the time when the society had no choice except to write
and codify the God’s revelation into a book, might considered as
the beginning of the new tradition, the written tradition, in the
Muslim’s civilization. Consequently, the varied forms of Islamic
knowledge, how do Muslim perceive, understand and use it,
come to the next level.

11
Kyais’ Religious Authority: What and How?
In Javanese rules of language, the term “Kyais” originally
used to indicate three different positions:
1. As an honorific title for some particular items that are
considered as sacred; for example, "Kyais Garuda
Kencana" used for a Gold Carriage in the Yogyakarta
palace
2. As an honor for the parents in general
3. As an honorific title granted by the society to an expert
in Islam, who has or be a leader of the pesantren and
teach the classical books to their santri (students)
With their expertise in Islamic knowledge, the Kyais often
seen as individuals who can understand the greatness of God
and the secrets of the universe, thus they seems to have an
unaffordable position, especially by the lay people (Zamakhsyari
Dhofier, 1982:56). They are, at the same time, charismatic
religious authorities who are believed to have unique abilities to
communicate with God, as channels through which God’s mercy
and blessing enter society. In fact, not only the Kyais themselves
who are considered as so, but also, the position of Nyai (Kyais’
wife) in a pesantren also shares the same consideration. She is
a revered figure, and serves as something of a foster mother to
young santri. In pesantren where there are female santri, she

12
plays a leading role in their religious training. Moreover, the
children and subsequent descendants of Kyais are believed to
inherit his sacred characteristics (Bianca J. Smith and Mark
Woodward (eds.), 2013:11).
In a pesantren, the Kyais becomes a single leader who
holds almost absolute authority which makes him the most
respected one in that environment (Pradjarta Dirdjosandjoto,
1999:156). He is the sole power center that controls the
environment and at the same time, is the role model for the santri.
He is like a king whom all of his commands become valid
constitutional laws in his kingdom.
In Indonesian history, particularly during Dutch colonial
era, any cultural, political and social activities in the name of
Islam were being restricted. This then has made Islam found
difficulties to play its (political) role, in urban areas in Java. As the
consequence, the centers for studying Islam were moved to rural
areas where the Kyais build and develop the pesantren.
Interestingly, most Kyais in Java assumes that a pesantren might
be considered as a small kingdom for the Kyais where they own
a position of the holder of an absolute power and authority in that
pesantren. None of the students who can resist the power of the
Kyais (in his pesantren) except the other Kyais who have a
greater influence (Dhofier, 1982:56).

13
There are, according to Solahudin, two inherent attributes
of the Kyais: Islamic scholarship and pesantren leadership. Other
related attributes supposedly possessed by a Kyais including ahli
ibadah (totally devout), and muballigh (Islamic preacher). They
may also act as a kind of consultant on religious matters.(Dindin
Solahuddin, 2008:41). Today, many prominent scholars in
society also got the title of "Kyais" although they are not leaders
of pesantren. Due to a strong connection with pesantren’s
tradition, the title of “Kyais” usually used to refer to the scholars
from Muslim traditionalists (Dhofier, 1982:55). Kyai is not a title
that formal education offers for, but it is society who vouluntarily
offer (Simuh, 2003: 66).
In addition, according to pesantren’s tradition, someone’s
expertise can be measured by the number of the books being
studied and the ulama he/she learned from. The popularity of the
Kyais and the number of qualified books taught in a pesantren
become the distinguishing factor between one pesantren to the
other (Dhofier, 1982: 22).
Regarding the relationship between Kyais’ religious
authority with the local Javanese system of belief, it is interesting
to found that according to the concept of the Javanese state
organism, the king is regarded as a symbol of a microcosm, or a
country. In Javanese’ thoughts, a cosmic divided into two: micro-
cosmic and macro-cosmic. The micro means the human world or

14
the real world and the macro means the supernatural. The king
in this sense was regarded as a link between the two forms of
the cosmic. During the Hindu kingdom, the king was even
considered as a manifestation of divinity in the microcosm of life.
Then Islam came and changed the whole picture of this local
belief. The state authorities then, were no more able to
monopolize the symbol of the power of the macrocosm in the
Javanese cosmological view. Since Islam is the official religion
of the Javanese , the authorities now have to compete with the
Muslim religious authorities (the Kyais) in more complex form of
power hierarchy; For Kyais who all his life led a religious life
activities, are also gaining political influence (Dhofier, 1982:56).
In global context, particularly in 19th century, pesantren
became an inseparable part of what so called Islamic
scholarliness community, but still with its genuine Indonesian
culture elements. The santri and Kyais were reading the same
classical religious books as their Muslims brothers in this world
have. This gives significant impact on the development of
pesantren, the international network of the ulama makes
pesantren becomes a well-established educational center and
Islam orthodoxy, moreover, it provides a solid foundation for a
process of making ulama as an influential social elite. The
international dimension of pesantren, particularly Mecca, makes

15
ulama and pesantren gain more authority not only in religious
matters but also in socio political problems.

Mediatization in a Glance
To a researcher who intended to use this concept of
mediatization will find the term itself as the first difficult to deal
with. The term is problematic in ways that it is a relatively new
and not universally used by scholars to indicate the same
phenomenon. Compared to another existing concepts in media
and communication studies which have quite-similar points of
view and concerns, creates ambiguity of the very idea of
mediatization. For now, I will only point out some important
characteristics of this theory and how to use it as theoretical
background to understand my research on the reality of Internet
and the Kyais.
As it is concluded by Martino (2013:13), the presence and
interference of media communication in important human
activities will be the core of a definition of “mediatization.” By this,
the concept strongly emphasizes on the phenomenon of the
ubiquitous presence of media communication and its significant
place in our contemporary life. The media are no more
considered as ‘only-tools’ to disseminate messages, but they are
inseparable part of the way people communicate with others in
their everyday life. At this point, I do agree with Martino’s
16
consideration saying that this theory does not seems to be a new
for the old “media-centered” theories started by McLuhan (2001)
or Meyrowitz (1993, 1999).
However, the very idea of mediatization does not merely
refer to the undeniable power of the media themselves over
current people’s everyday life, but it focuses on how people
actually articulate them (the media) in their life experiences. In
other words, the mediatization theory does not focus on the
media themselves, but more on the reality of how people include
the media in the broader frame of their interpersonal relationship,
working life, in all its social and cultural aspects, can be lived in
a world filled by messages, meanings and signs exchanged by
people using technological gadgets.
Having said this, mediatization theory does not see media
merely from its technological significance, but more from its
social role for the society, particularly, how technology infiltrates
the sphere of culture, economy, and personal relationship. It
questions new models of community engagement. Accordingly,
it sees media and communication as a cultural process that might
not be comprehensively understood except by understanding
what happens in society where it takes place. In short, the media
cannot be understood outside the broader frame of society
(Martino, 2013:14). At the same time, ‘there is a cultural
necessity for mediation because of the way that different partners

17
to communication are embedded in different (local) contexts’
(Hepp, 2013:13).
What is more, Krotz and Hepp remind us that as a
process, mediatization is not only a process of upcoming new
media and the coming into existence of an increasingly complex
individual media environment. It is not only a process of ‘more
and more’ media used in communicative action, but also and
especially it is a meta process that consists of a changing
everyday life, of changing identity constructions and social
relations, of a changing economy, democracy and leisure, of a
changing culture and society as a whole (Krotz and Hepp, 2011).
Among many important research areas that mediatization
theory might be used as theoretical base, a research regarding
the reality of mediatization of religion, of the influence of the
media on religious institutions, beliefs, and practices, will be one
of the most important area. The overall outcome of the
mediatization of religion, however, as explained by Hjarvard
(2013:10), is not a new kind of religion as such, but rather a new
social condition in which the power to define and practice religion
has changed. This current research on Internet and Kyais is
essentially heading to the same direction. This said, my aim in
researching the reality of Internet and Kyai from the perspective
of mediatization of religion is to prove that Kyais’ engagement
with media (read: Internet) will not change the very nature of Kyai

18
as the charismatic religious leader who has their own portion of
authority and it will not create a new kind of Kyais’ reality, but
rather a new social condition in which the power to define and
negotiate the Kyais’ reality has changed.

Kyais, Islamic Learning, and Media: Discussion


To begin with, I would to address the issue of the blocking
of 22 Islamic media websites in March 30, 2015 upon the request
from Indonesia’s National Counter-terrorism Agency (BNPT) for
containing “radical contents” as the government’s response to
the issue of Islamic radicalism brought by ISIS movement.
As, the world today is celebrating what so called
‘mediating tradition’ (the era when media plays significant role in
society, much more than ever before), there are some
phenomena emerge as a corollary to the efforts of self
adjustments to this changing tradition in human history. One of
many is the religion’s self adjustment to its new environment, the
mediated environment.
In the context of our discussion on “mediated Islamic
learning and Kyais” the case action of blocking some considered-
radical Islam websites by the Indonesian government could be
an important case of how such form of mediated Islamic learning
might attract Indonesian Muslim and government’s big attention
even creates particular anxiety among them.
19
Today, Muslims are welcoming the new ‘mediated
tradition’ (marked by continuous improvement and innovation of
media technology and the ubiquitous presence of media in our
life) for better or worse, depends on their capacities. The more
they aware of and build their capacities the more they ready to
face the new era. If not, this new era will only be a ‘failed
civilization’ for them. The case of the Indonesian government’s
action of blocking Islamic radical websites, mirrors how
Indonesian Muslim have not (yet) enough capacitates in
welcoming the new tradition, the mediated Islam tradition. The
different pattern of Islamic knowledge transmission caused by
the coming of media (from print to what so called ‘new media’),
from Kyais to ‘Ustadz Google’, requires a different higher
capacities in many sectors of Muslim society.
For the case of Indonesia, there are at least three
important capacities need some upgrades: mental capacity,
intellectual capacity, religious capacity.
First, mental capacity. Muslims in Indonesia should be
wiser and more open minded in dealing with information,
especially which related to Islamic traditions. The Kyais as
religious leaders are supposed to act as good model in dealing
with different perceptions and opinions, mediated through
different channels of information, of any religious problems. In
this regard, the government plays a significant role in preserving

20
social stability and not to over reacting toward any religious
issues come from outside. At the same time, the government
needs to give the press its proportional rights and not to
intimidate it in the name of social stability.
Second, intellectual capacity. This including capacity in
knowledge about religion and nationality. Indonesian Muslim
should first of all understand that religion should goes hand in
hand with nation. Means that they should be aware of how to be
Muslims and Indonesian (or to be Indonesian and Muslims) at
the same time. Religious leaders in this regard, plays most
important role in teaching the society a ‘full version’ of Islam and
of Indonesia and how both interact and not intersect one another.
Another important thing is the capacity of understanding media
or media literacy. The government, at this point, has significant
power in educating Indonesian people about media. The
Indonesian ministry of education should provide one important
lacking curriculum in Indonesian education system, the media
literacy, in every level of education, be it in religious-based (like
Pesantrens, madrasas, etc) and non-religious based schools
Third, religious capacity. This means Indonesian Muslims
should be able to actualize and contextualize their religion for the
better society’s life. This also applies to their religious life with
media. They need to be religiously objective and wise in using
and living with and in media life. In this regard, not the religious

21
leaders nor the government who is responsible for upgrading this
capacity, but the Muslims themselves as the individuals.

Bibliography
Arendt, Hannah. (1961). “what is authority,” in Between Past and
Future. New York: The Viking Press.
Ba’bad, Abud bin Ahmad. (1890). Ta’lim al-Muta’allim: Tariq al-
Ta’allum li al-Shaikh al- Zarnuji. Mesir: Ulum Ijtima’iyy
Baron, Naomi S. (2015). Words Onsrcreen: The Fate of Reading
in a Digital World. UK: Oxford University Press.
Chittick, William C. (2000). Sufism: A Short Introduction.
England: Oneworld Publication.
Dhofier, Zamakhsyari. (1982). Tradisi Pesantren: Studi tentang
Panandgan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Dirdjosandjoto, Pradjarta. (1999). Memelihara Umat: Kiai
Pesantren-Kiai Langgar Di Jawa. Yogyakarta: LKiS.
El Fadl, Khaled Abou. (2001). Speaking in God’s Name: Islamic
Law, Authority and Women. England: Oneworld
Publication.
Finnis, John. (2011). Natural Law and Natural Rights. New York:
Oxford.
Gerth, H. H. and C. Wright Mills (eds.). 1946. From Max Weber:
Essays in Sociology. New York: Oxford University Press.

22
Graham, William A. (1987). Beyond the Written Word: Oral
Aspects of Scripture in the History of Religion. UK:
Cambridge University Press.

Hepp, Andreas. (2013). Cultures of Mediatization trans. Keith


Tribe. UK: Polity Press.
Hjarvard, Stig. (2013). The Mediatization of Culture and Society.
New York: Routledge.
Kramer, Gudrun and Sabine Schmidtke (eds.). (2006). Speaking
for Islam: Religious Authorities in Muslim Societies.
Leiden: Brill.
Krotz, Friedrich and Andreas Hepp. (2011). “A Concretization of
Mediatization: How Mediatization Works and Why
‘Mediatized Worlds’ are a Helpful Concept for Empirical
Mediatization Research.” Empedocles: European Journal
for the Philosophy of Communication, Vol. 3. No. 2.
Martino, Luis Mauro Sa. (2013). The Mediatization of Religion:
When Faith Rocks. England: Ashgate Publishing Limited.
Messick, Brinkley Morris. (1993). The Calligraphic State: Textual
Domination and History in a Muslim Society. USA:
University of California Press.
Parsons, Talcott. (1947). Max Weber: The Theory of Social and
Economic Organization. Illinois: The Free Press.
Smith, Bianca J. and Mark Woodward. (2013). “Introduction: De-
colonizing Islam and Muslim feminism,” in Bianca J. Smith
23
and Mark Woodward (eds.). Gender and Power in
Indonesian Islam: Leaders, Feminists, Sufis and
Pesantren Selves. Routledge.
Solahudin, Dindin. (2008). The Workshop for Morality: The
Islamic Creativity of Pesantren Daar at- Tauhid in
Bandung, Java. Canberra: ANU E Press.
Al-Uthman, Muhammad Ibrahim. (2002). Al-Nubad fi Adab Talab
al-Ilmi. Kuwait: Maktabah Ibn Al-Qayyim.
Weber, Max. (1993). The Sociology of Religion. Boston: Beacon
Press.
Ya’qub, Muhammad Husain. (2002). Muntalaqat Talib al-Ilmi.
Kairo: Tauzi’ al-Maktabah al-Islamiyyah.

*) An Indonesian Consortium for Religious Studies of UGM

24
MEMBACA FILM INDONESIA BERTEMA RELIGI
(Studi Film Discourse Interpretation tentang Identitas
Muslim dalam Film ‘Haji Backpacker’)

Intan Fitranisa*

Pendahuluan
Studi ini tentang film Indonesia bertema religi yang
menampilkan identitas Muslim berupa simbol – simbol keislaman
pada konteks global kontemporer. Tema ini menarik perhatian
peneliti karena film Indonesia bertema religi begitu populer akibat
gelombang islamisasi yang mencolok dan mewarnai dekade
pertama Indonesia sesudah Orde Baru (Heryanto, 2015:37).
Merebaknya film Indonesia bertema religi pasca Orde Baru,
khususnya yang berkonteks global, diasumsikan menghadirkan
diskursus alternatif tentang konstruk identitas Muslim. Dengan
menggunakan metode film discourse interpretation, peneliti
hendak mengeksplorasi formasi diskursif identitas Muslim
berkonteks global kontemporer.
Pada dekade 1970-an dan 1980-an, rezim Orde Baru
melakukan stigmatisasi terhadap kelompok – kelompok Islam
politis dan menekan segala bentuk aktivisme Islam politik
(Heryanto, 2015:45). Banyak pemimpin kelompok - kelompok

25
politik Islami dipenjara oleh pemerintah. Aktivitas organisasi
sosial berbasis Islam pun dibatasi ruang geraknya. Penggunaan
simbol – simbol keislaman di ranah publik juga mendapat
larangan dari pemerintah, seperti adanya pelarangan
menggunakan jilbab di kantor instansi dan sekolah/universitas
(Darmawan, 2014).
Namun, pada akhir tahun 1980-an, sikap rezim Orde Baru
terhadap Islam mulai melunak dan menemukan momentumnya
pada tahun 1990, ketika Presiden Soeharto melakukan
serangkaian gerakan politik berjangka pendek menjelang tahun
– tahun terakhir pemerintahannya. Soeharto membebaskan
sejumlah pemimpin politik Islam dari penjara dan merangkul
berbagai kelompok Islam. Pembatasan pemerintah atas izin
penerbitan surat kabar baru pun dibatalkan, dengan peluncuran
Republika, surat kabar pertama dalam beberapa tahun terakhir
yang bercorak Islam, di bawah naungan ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia), organisasi Islam nasional yang
juga baru dibentuk kala itu (Heryanto, 2012:19).
Manifestasi simbol-simbol keislaman jugamulai mendapat
ruang di ranah publik sebagai bagian dari identitas
kelasmenengah pada dekade tahun 90-an. Identitas keislaman
pun mengalami transformasi dari manifestasi spiritualitas
menjadi bagian dari gaya hidup kelas menengah. Heryanto
(2012:20) mencontohkan, banyak toko buku mulai menyediakan

26
tempat khusus bagi buku – buku Islami. Selain itu, saat
Ramadhan, banyak restoran dan mal kelas-atas memfasilitasi
keluarga – keluarga Muslim untuk merayakan bulan sucinya.
Beberapa hotel bintang lima acapkali menggelar peragaan
busana Muslimah. Industri hiburan dan penyelenggara acara
budaya pop pun mengambil keuntungan dengan merumuskan
ulang apa yang laris untuk diperdagangkan. Singkat kata,
menjadi seorang Muslim (baru) mendadak terasa begitu ‘keren’,
seperti yang diistilahkan oleh Murray (1991) sebagai ‘Islamic
Chic’.
Memasuki tahun 2000-an, gelombang islamisasi kian
mendominasi konten budaya populer tanah air. Hal ini tampak
dengan menjamurnya sinetron - sinetron bertema religi di
televisi, misalnya, Rahasia Illahi dan Takdir Illahi. Bahkan,
tercatat pada medio April 2005, Rahasia Illahi yang disiarkan
oleh TPI meraih rating tertinggi untuk all program all channel
menurut hasil survei AC Nielsen (Wibowo dalam Adlin, 2007:73).
Tidak mengherankan bila program sinetron - sinetron religi yang
awalnya hanya tayang saat bulan suci Ramadhan, kini menjadi
program reguler yang bisa ditonton setiap hari.
Identitas keislaman bahkan mulai diterima
keberadaannya pada program – program televisi populer yang
selama ini dinilai sekuler dan jauh dari kesan islami. Respon
positif masyarakat Muslim Indonesia atas kemenangan Fatin,

27
seorang pelajar SMA yang mengenakan jilbab, pada ajang
pencarian bakat X-Factor Indonesia bulan Mei 2013 silam seolah
menegaskan posisi Islam beserta kelompok Muslim di Indonesia
yang tidak saja mampu beradaptasi dengan nilai demokrasi
tetapi juga aktif dalam melokalikasi budaya populer global
(Akmaliah, 2014:354). Akmaliah juga mengungkapkan, meski
prestasi Fatin mendulang banyak pertanyaan dari kelompok
Muslim konservatif karena kebiasaannya menyanyikan lagu –
lagu Barat, tidak sedikit masyarakat Muslim Indonesia yang
mendukung Fatin untuk memenangkan ajang tersebut. Bagi
mereka, Fatin tidak hanya merepresentasikan seorang
Muslimah modern yang cakap dalam mengadopsi nilai – nilai
budaya Barat, tetapi juga merepresentasikan Muslimah muda
yang mengikuti arus global tanpa meninggalkan identitas
keislamannya dengan tetap mengenakan jilbab.

Kemunculan Film – Film Indonesia Bertema Religi


Selain program – program televisi, perfilman Indonesia
juga tak luput dari geliat islamisasi setelah jatuhnya rezim Orde
Baru. Satu persatu film bertema religi diproduksi dan kembali
menghiasi bioskop – bioskop Indonesia. Dimulai dengan film
Kiamat Sudah Dekat (2003) karya Deddy Mizwar, pada tahun
berikutnya Garin Nugroho menelurkan film Rindu Kami PadaMu
(2004). Film bertema religi makin menunjukkan eksistensinya

28
ketika Hanung Bramantyo membuat film Ayat – Ayat Cinta
(2008) dari novel best-seller berjudul sama karya
Habiburrahman el Shirazy. Film ini meraih kesuksesan fantastis
dengan meraup 3,7 juta penonton dalam waktu satu bulan saja
(Pangiuk, 2010:81). Pada saat itulah, film yang “mengatur”
bagaimana syariah Islam membina hubungan percintaan antara
laki – laki Muslim dan perempuan Muslim seolah menjadi efek
terapi kejut bagi khalayak muslim Indonesia yang tengah
mencari identitas Muslim yang sejati (Ida, 2009:8).
Booming film Ayat – Ayat Cinta lantas mendorong para
sutradara Indonesia membuat film bertema religi meski
mayoritas film – film tersebut belum mampu menandingi
kesuksesan Ayat – Ayat Cinta baik dari sisi komersil maupun
sosial. Film – film tersebut, menurut Huda (2012:8), dapat
digolongkan ke dalam beberapa tema, seperti kisah cinta Islami
(Ketika Cinta Bertasbih, 2008), pendidikan Islami (3 Doa 3 Cinta,
2008; Laskar Pelangi, 2008), terorisme (Khalifah, 2010),
perjalanan ke Mekkah (Emak Ingin Naik Haji, 2010), biografi para
ulama (Sang Pencerah, 2010), gender (Perempuan Berkalung
Sorban, 2009), moral Islami (Doa Yang Mengancam, 2009;
Dalam Mihrab Cinta, 2010), dan isu sosial (Alangkah Lucunya
Negeri Ini, 2009).
Film Indonesia bertema religi menapaki babak baru ketika
film 99 Cahaya di Langit Eropa 1 & 2 (2013) karya Guntur

29
Soeharjanto mendulang kesuksesan dengan meraih 1 juta
penonton dalam kurun waktu kurang dari satu bulan (sumber:
www.tempo.co). Film yang dibuat dari novel best – seller karya
Hanum Rais ini dapat dikatakan sebagai momentum baru dalam
perfilman religi Indonesia karena menekankan pada hasrat lintas
nasional (global) yang begitu kuat (Sasono, 2015). Sasono
menambahkan bahwa perjalanan keluar negeri memang sedang
menjadi topik yang amat digemari. Hal ini dibuktikan dengan
peningkatan drastis jumlah terbitan buku – buku perjalanan
(travelog) yang sedang melanda toko – toko buku nasional.
Senada dengan Ayat – Ayat Cinta, kesuksesan 99 Cahaya di
Langit Eropa dengan cepat diekor oleh film – film dengan tema
perjalanan rohani, misalnya Haji Backpacker (2014).
Film Haji Backpacker (2014) karya Danial Rifki menyorot
dari sudut pandang berbeda yakni Muslim Indonesia di negara –
negara Timur. Mengambil setting di beberapa negara Asia
seperti India dan Thailand, Haji Backpacker mengisahkan Mada
(Abimana Aryasatya) yang melakukan pencarian kembali atas
identitas religiusnya. Karena merasa doa dan harapannya untuk
hidup bersama Sophia (Dewi Sandra) dalam ikatan pernikahan
tidak dikabulkan Tuhan, Mada meluapkan amarahnya pada
Tuhan dengan alih – alih menjadi atheis. Kekecewaan yang
Mada rasakan mendorongnya melakukan perjalanan melintasi 9

30
negara di yang kemudian membawa Mada kembali ke jalan
Tuhan.

Identitas pada Konteks Global


Berbicara tentang identitas berarti kita melihat salah satu
upaya yang dilakukan oleh individu untuk mendefinisikan siapa
dirinya. Identitas bukanlah sesuatu yang sifatnya tunggal dan
dikonstruksi melalui beragam wacana, posisi dan aturan.
Identitas merupakan produk dari perkembangan sejarah,
berproses secara terus menerus, serta dikarakterisasi oleh
perubahan dan tranformasi. Menurut Hall (1996:4), identitas
seharusnya tidak dikonseptualisasikan sebagai sesuatu yang
natural dan essensialis melainkan direkonseptualiasasi menjadi
sesuatu yang selalu berhubungan, tidak lengkap, dan terus
menerus berproses. Karena identitas dibentuk melalui proses
representasi, termasuk merefleksikan siapa diri kita atau dimana
kita berasal, identitas dipandang sebagai suatu konsep
bagaimana kita dibentuk, bagaimana kita direpresentasikan, dan
bagaimana pandangan orang lain atas apa yang kita
representasikan.
Pada konteks masyarakat global, identitas makin
terfragmentasi karena beragamnya sumber yang dapat
digunakan dalam proses konstruksi identitas, sebagaimana yang
diungkapkan Barker (1999:68):

31
However, globalization has increased the range of
sources and resources available for identity
construction, allowing for the production of hybrid
identities in the context of post-traditional global
society, where bounded societies and states,
though still with us, are cut across by the circulation
of other global cultural discourses.

Maka globalisasi, menurut Barker, memungkinkan lahirnya


hybrid identity karena adanya sirkulasi diskursus budaya global
yang mampu melintasi batasan geografis antarmasyarakat
maupun antarnegara, termasuk pada kelompok Muslim.
Menurut Moulin (2013), identitas individu sebagai Muslim
seringkali dikonstruksi secara lintas konteks yang melihat Islam
dan Muslim dari sudut pandang yang berbeda. Pada konteks
yang berbeda ini, menjadi Muslim tidak hanya bermakna
berbeda bagi orang yang berbeda, tetapi individu pun dapat
menarik sumber – sumber yang berbeda dari tradisi religius yang
ada. Penggunaan simbol – simbol kemudian menjadi penting
dalam proses konstruksi identitas individu (Jacobson, 1997;
Ajrouch, 2004). Disinilah media massa mengambil peran
sebagai salah satu sumber informasi bagi individu untuk
mengonstruksi identitas mereka sendiri.
Selain sumber informasi untuk membentuk identitas, tidak
bisa dipungkiri bahwa media massa juga mampu merefleksikan
realitas, nilai-nilai, serta norma di masyarakat (O’Shaughnessy,
2006:35). Realitas yang dipotret oleh media massa dengan
32
sudut pandang tertentu ini kemudian menjadi realitas kedua
(second-hand reality) dan selanjutnya disebut sebagai
representasi. Representasi yang ditampilkan media massa
dapat mempengaruhi persepsi dan definisi masyarakat
mengenai realitas sosial, termasuk identitas sosok atau
kelompok tertentu (McQuail, 2000:64). Hal ini dapat
menimbulkan gambaran realitas sosial yang timpang, bias, dan
tidak cermat.
Sebagai contoh, kita dapat melihat bagaimana film – film
Hollywood sebagai produk budaya merepresentasikan kelompok
Muslim dalam konteks global kontemporer. Muslim cenderung
digambarkan sebagai kelompok yang lekat dengan kesan radikal
yang kerap melakukan kekerasan dan anti perdamaian. Selain
itu, Muslim cenderung dipandang sebagai kelompok yang
konservatif sekaligus sebagai golongan yang lemah (Rachman,
2015).

Film sebagai Teks Kultural


Film merupakan medium populer yang membentuk serta
merefleksikan keragaman budaya, kondisi ekonomi,
keagamaan, praktik – praktik dan status sosial dalam
masyarakat modern (Wright, 2007:1). Hal ini sejalan dengan
pernyataan dari Ron Mottram (1990 dalam Ibrahim, 2007:172)
dalam tulisannya Cinema and Communication bahwa “films

33
reflects the cultural codes of the society in which they are
produced”. Dengan kata lain, apa yang disajikan dalam narasi
sebuah film sejatinya mencerminkan kode – kode budaya dari
masyarakat tempat film itu diproduksi.
Sementara itu, film terdiri dari elemen – elemen yang
membangun struktur bahasa sebuah film. Hal ini sesuai dengan
pendapat Turner (1999:57) yang mengungkapkan bahwa film
merupakan gabungan dari teknologi dan diskursus kamera,
pencahayaan, penyuntingan, bunyi dan mise-en-scene (elemen
– elemen yang terdapat dalam frame sebuah adegan). Mise-en-
scene sendiri antara lain meliputi setting, kostum, perilaku tokoh
dan penentuan jarak antara tokoh dan objek – objek di sekitarnya
(Turner, 1999:69). Keseluruhan aspek tersebut pada akhirnya
berkontribusi pada proses pembentukan makna dari narasi
sebuah film.
Pada film bertema religi, menurut Wright (2007:2-6),
dapat diidentifikasi dengan melihat keberadaan unsur – unsur
agama dalam film. Misalnya, gagasan agama atau pesan moral
yang bersumber dari kitab suci, ritual, atau aktivitas keagamaan
serta komunitas agama. Ada pula film – film yang sepenuhnya
berpegang pada nilai - nilai agama dalam membangun narasi,
karakter, serta menyajikan ideologi dan tema - tema agama
meski secara implisit pada aspek – aspek seperti identitas, gaya
hidup, pengorbanan, dan lain – lain.

34
Sebelum penelitian ini dilakukan, terdapat beberapa
kajian sebelumnya yang juga menganalisis film Indonesia
bertema religi dengan menggunakan perspektif studi film.
Namun, berbeda dengan penelitian sebelumnya yang
menggunakan salah satu pisau analisis entah itu analisis genre
atau analisis naratif, penelitian ini menggunakan metode film
discourse interpretation yang menganalisis keseluruhan aspek
dalam struktur bahasa film dalam mengungkap makna latent dari
sebuah film. Selain itu, eksplorasi diskursus dalam penelitian ini
yaitu identitas Muslim tidak dianalisis secara terpisah dengan
analisis struktur bahasa film. Sehingga, penelitian ini dapat
menghasilkan pembacaan yang komprehensif dan mendalam
mengenai struktur film Indonesia bertema religi beserta
diskursus identitas Muslim pada konteks global kontemporer.

Pembacaan Terhadap Identitas Muslim dalam Film Haji


Backpacker
Film Haji Backpacker dibuka dengan adegan dimana
tokoh utama dalam film ini, yaitu Mada, disekap oleh dua orang
anggota kelompok Islam radikal. Salah satu dari mereka
mempertanyakan identitas Mada, apakah Mada seorang
Muslim. Mada pun menjawab bahwa dia adalah seorang Muslim.
Menjadi menarik ketika adegan berikutnya dalam film ini justru
tidak menggambarkan Mada sebagai seorang Muslim yang

35
‘ideal’. Mada yang digambarkan berada di Bangkok, Thailand,
tampak larut dalam pesta pora di pesisir pantai. Mada juga
terlibat perkelahian dengan sekelompok preman yang
menyebabkan salah satu anggota preman tersebut tewas. Meski
tidak ada penggambaran adegan seks, Mada juga digambarkan
sering singgah di sebuah panti pijat dimana Maryati alias
Marbele bekerja disana sebagai salah satu pekerja seks
komersil (PSK).
Perilaku Mada yang jauh dari kesan taat tersebut ternyata
disebabkan kekecewaannya pada sang ayah. Sejak kecil, Ayah
Mada selalu mengajari Mada untuk rajin beribadah dan berdoa
agar apa yang diinginkan dikabulkan oleh Tuhan. Namun, yang
terjadi sebaliknya. Mada merasa kecewa karena Tuhan tidak
mengabulkan doanya. Mada pun menyalahkan ayahnya yang
selama ini menanamkan rasa percayanya pada kebesaran
Tuhan.
“Selama 27 tahun, saya sholat. Puasa nggak
pernah putus. Berdoalah kamu, maka doamu akan
dikabulkan. Mana, Mbak?”

Luapan hati Mada kepada sang kakak, Mala, menyiratkan


kekecewaan Mada pada Tuhan. Hal ini yang menyebabkan
Mada memilih tidak lagi melakukan ritual ibadah seperti sholat.
Bahkan, ketika tahu ayahnya telah meninggal ketika melakukan

36
ibadah haji, Mada pun memilih tidak melakukan sholat gaib
bersama sang kakak.
Situasi Mada yang terus diburu oleh kelompok preman
karena telah membunuh salah satu anggotanya, membuat Mada
memutuskan untuk pergi ke Vietnam. Mengenakan atribut
layaknya backpacker, seperti tas punggung ukuran besar,
celana kargo, dan kaos, Mada mulai menjelajahi ibu kota
Vietnam. Meski Mada menjauhi segala bentuk ritual ibadah
layaknya Muslim, Mada nyatanya tidak begitu saja meninggalkan
ajaran agamanya. Terbukti ketika Mada membeli makanan di
sebuah warung, dia masih bertanya apakah makanan tersebut
terbuat dari daging babi atau tidak. Karena mengandung daging
babi, Mada memilih memesan makanan dari laut berupa kerang.
Dengan kata lain, Mada masih memegang ajaran agama untuk
tidak memakan makanan yang diharamkan dalam ajaran Islam.
Perjalanan berikutnya membawa Mada ke daratan Cina
di wilayah Yunan. Disana, Mada tinggal di rumah seorang tabib
Muslim dan putrinya yang bernama Suchun. Kepada Suchun,
Mada bercerita alasan dibalik absennya dia melakukan sholat.
Mada kecewa pada Tuhan yang ternyata tidak menepati janji-
Nya untuk mengabulkan doa hamba-Nya. Mada gagal menikah
dengan perempuan yang dicintai karena perempuan tersebut
memilih pergi meninggalkan Mada tanpa kejelasan. Suchun pun
menegaskan pada Mada bahwa rencana Tuhan selalu

37
sempurna. Tidak pernah ada yang namanya kebetulan karena
semua telah diatur Tuhan. Untuk membuktikan rencana Tuhan
baginya, Mada memutuskan berpamitan dengan Suchun dan
ayahnya. Kebetulan, paman Suchun membutuhkan supir untuk
mengangkut barang dan membantunya berjualan. Mada pun ikut
pergi bersama paman Suchun. Sambil menjaga toko, Mada rajin
membaca kitab Al-Hikam yang diberikan ayah Suchun padanya.
Setiap kali selesai membaca kitab tersebut, Mada selalu
mengalami mimpi yang sama. Mada terbang menaiki balon
udara. Namun balon udara tersebut rusak karena tertusuk tiang
menara kubah masjid. Dan Mada pun terjatuh.
Suatu malam, setelah bermimpi yang sama, Mada
bertemu seorang lelaki keturunan India. Mada bercerita tentang
mimpinya kepada lelaki tersebut. Lelaki itu kemudian memberi
Mada alamat seorang guru ahli tafsir mimpi di India. Penasaran
dengan arti mimpinya, Mada pun pergi menuju India. Ketika
bertemu sang guru, Mada mulai memahami pesan yang ingin
disampaikan Tuhan padanya. Bahwa terkadang Tuhan memberi
manusia kenikmatan, kesakitan, atau pengalaman hidup, agar
manusia makin teguh pada keyakinannya akan keberadaan
Tuhan. Di India ini pula, Mada akhirnya kembali melakukan ritual
sholat.
Setelah mendapat pencerahan, Mada mantap berangkat
menuju Makkah untuk ziarah ke makan ayahnya. Dalam

38
perjalanan menuju Makkah, Mada ditawan oleh kelompok Islam
radikal. Pimpinan dari kelompok ini mempertanyakan identitas
Mada. Ketika Mada menyatakan diri sebagai orang Indonesia
yang dibuktikan dengan keberadaan pasport, pimpinan
kelompok Islam radikal tersebut tidak percaya akan pengakuan
Mada. Karena baginya, pasport sangat mudah diragukan
keasliannya. Maka pertanyaan berikutnya yang diajukan
pimpinan kelompok tersebut adalah ‘apakah Mada seorang
Muslim?’ dan untuk membuktikan hal tersebut, Mada diminta
membaca salah satu surat dalam Al-Quran. Bila Mada tidak
dapat membuktikan identitas dirinya sebagai seorang Muslim
dengan membaca Al-Quran, maka ajal akan menjemput Mada
seketika itu juga.
Pada potongan adegan di bawah ini diperlihatkan
bagaimana seorang Mada menunjukkan identitasnya sebagai
seorang Muslim. Sebelum mulai membaca Al-Quran, Mada
membersihkan diri dengan bertayamum. Dimulai dengan
menempelkan debu yang ada di meja pada kedua telapak
tangan. Kemudian, Mada mengusapkan kedua telapak tangan
ke seluruh muka, dilanjutkan dengan kedua lengan. Selesai
bertayamum, Mada mengawali membaca Al-Quran dengan
membaca ta’awudz (a’udzu billahi minasy syaithonir rajiim). Baru
lah Mada melantukan ayat demi ayat surat yang ditunjuk oleh
pimpinan tersebut, yaitu Surat Yasin.

39
Adegan Mada Menunjukkan Identitasnya Sebagai Muslim di
menit ke 01:27:25 s/d 01:27:43
(Sumber: DVD Film Haji Backpacker, diproduksi pada 2 Oktober
2014)

Setelah Mada berhasil membuktikan identitasnya sebagai


seorang Muslim dengan membaca Al-Quran, pimpinan
kelompok tersebut membebaskan Mada. Bahkan membantu
Mada untuk cepat sampai ke Makkah untuk berziarah ke makan
ayahnya.

Kesimpulan
Dari pembacaan terhadap film Haji Backpacker, dapat
disimpulkan bahwa identitas Muslim dimunculkan dalam bentuk
perilaku sebagai wujud internalisasi ajaran agama. Perilaku yang
muncul antara lain tidak memakan makanan yang haram,
melakukan ibadah sholat, serta kemampuan dalam membaca
ayat – ayat suci Al-Quran.
40
Daftar Pustaka
Adlin, Alfathri. (2007). Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan
Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra
Akmaliah, Wahyudi. (2014). When Ulama Support A Pop Singer:
Fatin Sidqiah and Islamic Pop Culture in Post – Soeharto
Indonesia Vol. 52, No.2. Al-Jami’ah: Journal of Islamic
Studies
Barker, Chris. (1999). Television, Globalization, and Cultural
Identities. United Kingdom: Open University Press
Hall, Stuart. (1996). Questions of Cultural Identity. London:
SAGE Publications
Heryanto, Ariel. (2012). Budaya Populer di Indonesia:
Mencairnya Identitas Pasca-Orde Baru. Yogyakarta:
Jalasutra
Heryanto, Ariel. (2015). Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya
Layar Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia
Huda, Ahmad N. (2012). Negotiating Islam with Cinema: A
Theoritical Discussion on Indonesia Islamic Films. Wacana,
Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya Vol. 14 No. 1 (April).
Jakarta: Fakultas Humaniora, Universitas Indonesia
Ibrahim, Idy S. (2007). Budaya Populer sebagai Komunikasi.
Yogyakarta: Jalasutra

41
Ida, Rachmah. (2009). Tema Baru dan Persoalan Lama: Quo
Vadis Industri Sinema Indonesia Kini?, dalam Isu Minoritas
Dalam Sinema Indonesia Pasca Orde Baru. Surabaya:
Komite Film Dewan Kesenian Jawa Timur
McQuail, Dennis. (2000). McQuail’s Mass Communication
Theory. London: Sage Publications
Moulin, Daniel. (2013). Negotiating and Constructing Religious
Identities. United Kingdom: REA Annual Meeting
O’Shaughnessy, Michael. (2006). Media and Society: an
Introduction Third Edition. London: Oxford University
Press
Pangiuk, Ambok. (2010). Perempuan dalam Film Religius: Ayat
– ayat Cinta dan Perempuan Berkalung Sorban.
Kontekstualita, Vol. 25, No. 1
Rachman, Rio F. (2015). Representasi Muslim dalam Film – Film
Produksi Hollywood (Analisis Dua Film Kathryn Bigelow:
The Hurt Locker dan Zero Dark Thirty). Surabaya: Magister
Media & Komunikasi. Tidak Diterbitkan
Turner, Graeme. (1999). Film as Social Practice. New York:
Routledge
Wright, Melanie J. (2007). Religion and Film: An Introduction.
London: I.B. Tauris & Co Ltd
Situs internet

42
Darmawan, Hikmat. 99 Cahaya di Langit Eropa 1 & 2: Imajinasi
Islam dalam Nalar
Kekalahan.http://filmindonesia.or.id/article/99-cahaya-di-
langit-eropa-1-2-imajinasi-islam-dalam-nalar-
kekalahan#.VkQNFdIrLMw, diakses tanggal 27 Oktober
2015
Sasono, Eric. Mencatat Film Indonesia 2014 (Bagian 1),
https://ericsasono.wordpress.com/2015/01/03/mencatat-
film-indonesia-2014-bagian-1/, diakses tanggal 27 Oktober
2015
http://tempo.co/read/news/2014/01/01/111541439/film-99-
cahaya-langit-eropa-raih-1-juta-penonton, diakses tanggal
27 Oktober 2015

*) Mahasiswa Magister Media dan Komunikasi, Universitas


Airlangga.

43
ISIS DAN TERORISME DALAM WAJAH MEDIA ONLINE
INDONESIA

Jaka Farih Agustian*

Pendahuluan
Sejak periode 2014, masyarakat Indonesia dihebohkan
oleh media dengan adanya kelompok radikalisme. ISIS atau
yang disebut Islamic State Of Iraq and Syiria adalah negara baru
yang terbentuk akibat perang Suriah dan mayoritas dihuni oleh
penduduk wilayah Suriah timur serta Irak utara dan barat. ISIS
menjadi pusat perhatian dunia karena melakukan berbagai
aktivitas kejahatan yang memberikan dampak negatif bagi
masyarakat dunia. Kelompok yang dikenal dengan gerakan
radikal ini bersikukuh memandang Islam sebagai agama yang
keras. Hal tersebut menyimpang dengan ajaran Islam “rahmatan
lil alamin” yang sesungguhnya. Dalam perspektif sejarah, ISIS
merupakan perpanjangan aksi dari mujahid di Irak pasca invasi
Amerika Serikat pada tahun 2003. Para mujahid tersebut
merupakan kumpulan penduduk Irak yang berjuang dari
penjajahan AS. Kelompok ini dipimpin oleh Abu Bakar Al-
Baghdady, sosok yang juga sebagai salah satu pemberontak
pasca invasi Amerika Serikat. ISIS mengalami kejayaan dengan
menguasai kota Raqqa di Suriah dan juga wilayah Mosul.
Gerakan yang menimbulkan kontradiktif ini telah menguasai

44
ladang minyak di bagian timur Suriah dan mendapatkan dana
segar dari rampasan ratusan juta dollar di bank wilayah Mosul.
Berbagai aksi kekejaman dilakukan oleh komplotan
radikal ini. Bentuk kekejaman yang dilakukan mengindikasikan
tindakan yang menunjukkan aksi terorisme. Aksi terorisme yang
dilakukan oleh gerakan radikal ini adalah dengan melakukan
kejahatan sporadis yang mengundang reaksi negatif dari penjuru
dunia. Berbagai tindakan sporadis yang dilakukan oleh ISIS
adalah sebagai berikut: Dalam laporan PBB di Jenewa, Imogen
Foulkes (14 November 2014) mengutarakan bahwa, pria yang
tertangkap merokok, jari-jarinya di potong, dokter gigi
perempuan yang melayani pasien laki-laki dipenggal di tempat
umum, hakim yang tidak mengenakan pakaian pantas dicambuk,
bahkan dirajam hingga meninggal dunia. Peristiwa terorisme
yang dilakukan oleh ISIS merupakan wacana yang menarik
untuk diarahkan sesuai agenda media tersebut. Sehingga,
dengan semakin maraknya kasus terorisme/ISIS, membuat
peran media menjadi sentral dalam memberikan pemberitaan
terkait aksi terorisme. Teroris menjadi “headline” menarik untuk
dikemas dalam pemberitaan. Setiap bentuk wacana memiliki tiga
dimensi, teks bahasa maupun tertulis, suatu interaksi antar
orang yang melibatkan yang melibatkan proses produksi dan
interpretasi teks, dan bagian dari tindak sosial (Wenerda, 2014).
3 dimensi tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah mekanisme

45
pembingkaian teks dalam bentuk bahasa maupun tertulis dalam
setiap pemberitaaan yang menimbulkan tafsir dan pemahaman
oaudiens, serta memiliki pengaruh sosial yang kuat di
masyarakat. Ketiga dimensi di atas tak luput dipakai sebagai
landasan dalam menjalankan misi tertentu. Isu kontemporer
yang terus bermunculan disebabkan adanya pesan terselubung
berdasarkan opini. Wacana terorisme dalam pemberitaan ISIS
yang dikreasikan oleh berbagai media tentu bervariasi sesuai
dengan misi yang akan dituju.
Menyikapi pemberitaan teroris yang dilakukan oleh
kelompok militant ISIS, proses mewacanakan berita yang
disusun menjelaskan bagaimana hubungan dialektika antara
pewacanaan berita dan situasi, instruksi dan struktur sosial yang
selalu terkait. Sehingga, wacana berita yang disusun tak lepas
dari kontoversi yang mengundang reaksi negatif. Metro TV news
misalnya, setelah pernah menyatakan Organisasi Kerohanian
Islam sebagai sarang teroris, media satu ini membingkai
pemberitaan ISIS secara kontoversial dengan melakukan
kontruksi pesan negatif kepada rakyat muslim. Berita Metro TV
news dengan judul “Anggota ISIS gemar berkumpul di Masjid”
adalah salah satu berita yang mendapatkan kecaman dari
berbagai tokoh maupun massa. Wacana berita seperti itu seolah
memberikan asusmi bahwa Metro TV news sebagai media yang
pro terhadap ISIS dan menyudutkan citra Islam. Dalam

46
pemberitaanya, Metro TV mempublish berita dengan didukung
oleh narasumber kuat, yakni Wakil Menteri Agama, Nazaruddin
Umar.
Usut Punya usut, Metro TV mengklain opini publik yang
bersandar dari pernyataan Wamenag RI, “Tempat yang harus
petama dijaga itu masjid. Saya minta kepada pengurus masjid
kalau ada gejala baru yang ditampilkan jemaah harus segera
ditindak,” kata Nazaruddin dalam Diskusi The Nusa Institute,
‘Warning ISIS: Antara Ideologi Agama vs Gerakan Politik Global’
di Kementerian Agama Kamis (14/8/2014). Nazaruddin tak
menampik masjid menjadi tempat ideal bagi kelompok yang
disebutnya sebagai kelompok Islam radikal untuk berkumpul dan
juga melakukan kegiatan.
(http://panjimas.com/news/2014/08/17/astaghfirullah-wamenag-
metro-tv-sebut-masjid-sebagai-sarang-teroris/, diakses 18 Juli
2015). Pemberitaan kontroversial tersebut seolah memberikan
prediksi bahwa, Nazaruddin Umar mengimbau masyarakat
untuk memperketat penjagaan masjid di wilayah mereka. Sebab,
menurut Wamenag yang dikenal dengan pemikian liberalnya ini,
kuat dugaan masjid menjadi salah satu tempat berkumpulnya
anggota ISIS.
Berita kontroversial tidak hanya disampaikan eh Metro TV
news saja, Suara Merdeka.com pernah membuat berita
kontroversial terkait terorisme. Berita dengan judul “Eks

47
Terpidana Terorisme Berkumpul di Solo” juga memberikan
hipotesis bahwa Suara Merdeka sebagai media anti Islam.
Mengutip pernyataan Joko, salah satu teroris dalam peristiwa
tersebut. “Mereka tidak menyesal pernah terlibat dalam kasus
Bom Bali, dan mereka juga masih berdakwah hingga sekarang.
(http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/1
0/13/202005/EksTerpidana-Terorisme-Berkumpul-di-Solo,
diakses 18 Juli 2015). Berdasarkan liputan yang diberikan, Suara
Merdeka juga memuat berita kontroversial dengan
mengungkapkan sekelompok teroris yang pernah terlibat dalam
bom Bali, Poso, Ambon berdiskusi di masjid Al-Wustho, Solo.
Menelaah dalam pemberitaan Suara Merdeka.com, berita
tersebut memiliki motif untuk menjatuhkan citra Islam.
Berdasarkan kutipan yang disampaikan, Islam dianggap sebagai
agama yang mempunyai jalan dakwah dengan cara melakukan
aktivitas terorisme.
Hadirnya terorisme dalam gerakan Islamic State Iraq and
Suriah membuat Kompas.com dan Republika Online ikut serta
dalam menyertakan ISIS sebagai headline ataupun menciptakan
tag pagar agar dapat dinikmati oleh pembaca. Kompas.com dan
Republika Online adalah dua media yang cukup gencar dalam
menyebarkan fakta dan isu terkait pemberitaan ISIS. Peneliti
tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang bagaimana
pandangan kedua media ini dalam mewacanakan berita

48
terhadap gerakan terorisme yang dilakukan oleh ISIS. Baik
Kompas.com maupun Republika Online memiliki misi yang
berbeda dalam menyajikan pemberitaan terorisme dalam kasus
ISIS, hal tersebut didasari atas background kedua media yang
berbeda. Sebagai media sekuler, Kompas.com memiliki kajian
pemberitaan yang menekankan pada segala aspek, baik sosial,
politik, budaya, dan aspek lain dalam penyajian menu berita. Isu-
isu dan fakta yang terjadi dalam ISIS tak lepas dari pantauan
manajemen redaksional Kompas.com. Sebagai media Islam,
Republika Online tentu memiliki kajian politik, sosial, ekonomi
yang dikolaborasikan dengan unsur Islam di dalamnya. Menarik
untuk di teliti tentang posisi kedua dalam mewacanakan
pemberitaan terorisme yang terdapat di kasus Islamic State Iraq
and Syiria tersebut.
Peneliti tertarik untuk mengkaji bagaimana rangkaian teks
yang dibentuk dan kondisi sosial budaya yang terjadi akibat
timbulnya kelompok terorisme ISIS tersebut. Peneliti memiliki
pandangan bahwa dengan menggunakan analisis wacana dan
paradigma kritis, peneliti dapat mengetahui misi dari setiap pihak
manajemen redaksional dalam menyajikan pemberitaaan
terorisme ISIS. Mengingat bentuk metode penelitian seperti ini
menganggap bahwa, media bukan sebagai pihak yang netral
dalam menampilkan isu dan konflik hangat yang terjadi,
melainkan terdapat maksud terselubung di dalamnya.

49
ISIS telah menjadi pusat perhatian dunia akibat berbagai
aktivitas terorisme yang telah dilakukan. Aktivitas terorisme
dalam bentuk peledakan, pembunuhan, maupun kejahatan
secara genosida yang terdapat dalam peristiwa ISIS merupakan
faktor yang mengundang beragam reaksi publik. Meningkatnya
popularitas ISIS sebagai gerakan radikal yang melakukan
aktivitas terorisme membuat pihak media berlomba-lomba dalam
membingkai pemberitaan sesuai tujuan dari masing-masing
media. Kompas.com dan Republika Online adalah kedua media
yang turut aktif dalam melakukan proses agenda setting dan
konstruksi pemberitaan. Terlebih, kedua media tersebut memiliki
ideologi yang berbeda satu sama lain. Kompas.com sebagai
media sekuler, dan Republika Online sebagai media berbasis
Islam. Dengan menggunakan model analisis wacana,
pertanyaan pokok yang akan menjadi pembahasan dalam
penelitan kali ini adalah: Bagaimana terorisme diwacanakan
dalam pemberitaan ISIS pada Kompas.com dan Republika
Online?
Pendekatan penelitian tentang terorisme dalam
pemberitaan ISIS kali ini menggunakan penelitian kualitatif.
Dalam kualitatif, dilakukan pemahaman mengenai masalah-
masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi nyata dan
berdimensi lebih dari satu. Penelitian kualitatif tidak
menggunakan model matematik, statistik, bahkan berbasis

50
komputer, karena penelitian ini tergolong kelompok deskriptif.
(Saleh dan Purnomo, 2013: 62). Sementara itu, jenis penelitian
yang digunakan adalah analisis wacana menurut Norman
Fairclough. Konsekuensi yang terjadi adalah komunikator tidak
dipandang sebagai sosok yang netral, tetapi mempunyai maksud
tertentu dalam memproduksi sebuah teks, baik dalam bentuk
lisan maupun tulisan. Model analisis wacana Fairclough
mengintegrasikan pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan
sebagai bentuk dari praktik sosial (Junaedi, 2007:73). Analisis
wacana disandarkan pada linguistik dengan pemikiran sosial,
dan diorientasikan dalam perubahan sosial. Oleh karena itu,
model yang dikemukakan oleh Fairclough dapat disebut sebagai
model perubahan sosial. Wacana sebagai praktik sosial
mengindikasikan hubungan dialektis antara peristiwa tertentu
dengan situasi dan struktur sosial yang terbentuk. Analisis data
dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis teks
berdasarkan model analisis wacana Norman Fairclough.

Analisis Teks
Analisis teks tidak hanya menelaah tentang bagaimana
suatu objek digambarkan, tetapi juga bagaimana relasi antar
objek didefinisikan. Menurut Fairclough (2008), setiap teks dapat
diuraikan melalui unsur-unsur representasi, relasi, dan identitas.

51
Elemen-elemen dasar mengenai analisis teks yang dirangkai
oleh Norman Fairclough dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1
Elemen Dasar Analisis Teks Fairclough
Unsur Yang Ingin Dilihat
Representasi Bagaimana peristiwa, orang,
kelompok, situasi, keadaan, atau
apa pun ditampilkan dan
digambarkan dalam teks.
Relasi Bagaimana Relasi wartawan,
khalayak, dan partisipan berita
ditampilkan dan digambarkan dalam
teks
Identitas Bagaimana identitas wartawan,
khalayak, dan partisipan berita
ditampilkan dan digambarkan dalam
teks
Sumber: Narendra (2008: 152).

Dalam unsur representasi, seseorang, kelompok,


maupun peristiwa yang ditampilkan dalam teks, penggunaan
bahasa dihadapkan pada 2 pilihan, yakni kosakata (vocabulary)
dan tata bahasa (grammar). Pilihan pertama mencerminkan
kosakata seperti apa yang disajikan dalam menggambarkan
atau mendeskripsikan sesuatu. Sedangkan pilihan kedua
menegaskan perbedaan antara tindakan (aktor sebagai
penyebab) dengan peristiwa (Narendra, 2008: 152). Pemakai
bahasa memiliki keleluasaan dalam menentukan karakteristik
bahasa seperti apa yang dibingkai sebagai tindakan/peristiwa.
Terkait unsur kedua, mendeskripsikan tentang bagaimana
partisipan dalam teks media berhubungan dengan teks. Media

52
dipandang sebagai arena sosial, dimana suatu kelompok terlibat
dalam menyampaikan versi argumen masing-masing.
Fairclough mengutarakan, ada tiga kategori partisipan utama
dalam teks media: wartawan (redaktur, reporter, pembaca
berita), khalayak media, dan partisipan publik. Tiga kategori
tersebut saling melakukan kombinasi antara wartawan dan
khalayak, partisipan publik dan khalayak, serta wartawan dan
partisipan publik. (Narendra, 2008: 153). Selanjutnya mengenai
aspek identitas, identitas bukan hanya terkait dengan wartawan
semata. Namun, identitas juga berkaitan dengan bagaimana
partisipan publik dan khalayak diidentifikasikan. Dalam
penelitian kali ini, peneliti bersandar pada hubungan antara
khalayak media, partisipan publik, dan produksi teks yang
terdapat dalam pemberitaan. Dalam penelitian kali ini, peneliti
menitikberatkan pada unsur representasi yang terdapat dalam
teks.

Pembahasan
Hingga saat ini, peristiwa ISIS masih menjadi isu-isu
terhangat yang ramai diberitakan oleh kedua media, yakni
Kompas.com dan Republika online. Penulis mengklaim,
pemberitaan terorisme sejak bulan Juli-Agustus-Oktober 2015
merupakan kumpulan berita yang layak untuk diteliti, mengingat
terorisme dikonstruksi dalam berbagai perspektif dan adanya

53
campur tangan dari pihak lain dalam konflik ISIS tersebut. Materi
berita yang muncul dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Analisis Teks
a. Perspektif Politik dan Hubungan Internasional

Tabel 2
Materi Berita Kompas.com dalam Perspektif Politik dan
Hubungan Internasional
Tanggal Materi Berita
23 Juli 2015 FBI: Ancaman ISIS lebih besar dari Al-Qaeda
27 Juli 2015 Suriah akui kekurangan tentara untuk hadapi
pemberontak
5 Oktober 2015 Warga Suriah anggap Rusia sebagai
pahlawan pemberantas teroris
5 Oktober 2015 Dikecam Barat, Rusia bertekad lanjutkan
serangan udara di Suriah
12 Oktober 2015 Konflik di Suriah bisa sulut perang dunia
ketiga

Tabel 3
Materi Berita Politik ROL dalam Perspektif Politik dan
Hubungan Internasional
Tanggal Materi Berita
6 Agustus ISIS kuasai kota strategis Qaryatain
2015
7 Agustus ISIS rebut kota utama di Horms
2015
15 Agustus ISIS kepung benteng strategis dekat Aleppo
2015
1 Oktober AS klaim tak paham sasaran serangan udara di
2015 Rusia
15 Oktober Revolusi Iran sedang dikerahkan ke Suriah
2015
22 Oktober Negara-negara Eropa sepakat gagalkan
2015 perekrutan militant

54
 Unsur Representasi
Aspek politik dan hubungan internasional adalah salah
satu dari tiga bagian aspek penting dalam kasus terorisme.
Sebagai media dengan ideologi sekuler, Kompas.com terus
memantau perkembangan terorisme yang terjadi dalam kasus
ISIS. Mengundang keikutsertaan negara-negara besar untuk
terjun mengambil peran aktif merupakan syarat mutlak yang
harus dipenuhi oleh Kompas.com dalam merilis beberapa teks.
Kompas.com mensiasati pemberitaan dengan menyiarkan
seputar strategi ISIS untuk merayu warga AS bergabung ke ISIS.

Kampanye di media sosial selama setahun


dengan mendesak kaum Muslim yang tidak
dapat melakukan perjalanan ke Timur Tengah
untuk "melakukan pembunuhan di mana kalian
berada".Dia mengatakan, Twitter menangani
lebih dari 21.000 pengikut berbahasa Inggris
kelompok itu di seluruh dunia. Ribuan dari orang-
orang itu mungkin warga AS.

Teks tersebut mendeskripsikan bahwa senjata utama


ISIS untuk mempengaruhi khalayak, khususnya warga AS
adalah melalui media sosial. Dalam hal ini, Twitter sebagai
wahana media sosial menjadi strategi utama ISIS untuk meraup
kekuasaan di dunia maya.
Perang politik juga ditawarkan Kompas.com kepada
pembaca. Kompas.com sedikit jeli dalam menerawang serangan
55
udara yang dilancarkan Rusia kepada teroris di Suriah. Berita
yang tersaji adalah:

Rusia bertekad akan melanjutkan serangan


udara ke kubu-kubu teroris dan tempat-tempat
teroris lainnya di Suriah utara meskipun negara-
negara Barat mengklaim serangan udara itu
sebagian besar menarget pemberontak yang
didukung Barat.

Kompas.com mengharapkan agar audiens bersikap kritis


terhadap gencatan Rusia. Kompas.com seolah bertindak
sebagai kelompok kontra, seperti halnya negara-negara Eropa
lainnya. Bukan tanpa maksud, sejalan dengan opini publik,
serangan-serangan yang dilancarkan Rusia justru tidak terkena
sasaran, serangan yang dibangun justru mengarah kepada
segerombolan pemberontak presiden Suriah. Artinya adalah
Rusia ingin ikut campur dalam sistem politik yang ada di Rusia,
sehingga sistem kerja sama dengan pemerintah Bashar As-Sad
menjadi salah satu cara untuk meletakkan kekuasaan di negara
Suriah.
Menuju ke dalam kompleks yang lebih luas, Kompas.com
juga mewacanakan berita dalam peristiwa ISIS yang akan
berdampak pada konflik internasional, yakni perang dunia ketiga.
Dalam lingkup sempit, Kompas.com mewacanakan akan
terjadinya pertempuran antara Rusia-Amerika Serikat.

56
Komandan serangan udara AS, Letnan Jenderal
Charles Brown, menyatakan, pesawat AS dan
Rusia berada dalam jarak 20 mil (32,18 km).
Dalam 20 detik, mereka bisa saling menyerang.

Ketegangan ini dipicu oleh tidak adanya kesepakatan


antara Rusia-AS dalam negosiasi terkait Suriah. Presiden Rusia
menganggap, bahwa serangan yang digalakkan oleh Amerika
Serikat justruk tidak menemui sasaran teroris ISIS, sehingga
tidak memberikan hasil yang signifikan. Sebaliknya, pihak AS
mengklaim, bahwa serangan yang dilakukan Rusia bertujuan
untuk memperkokoh posisi As-Sad dalam percaturan politik
Suriah, dan yang menjadi sasaran tidak menunjukkan tanda-
tanda kepada ISIS, melainkan diarahkan kepada kelompok
pejuang AS. Dalam hal ini, Kompas.com tidak menyebutkan
siapa yang menjadi pemberontak yang sesungguhnya,
meskipun ada indikasi kelompok pemberontak tersebut adalah
ISIS. Kompas.com juga tidak menyebutkan nama kelompok dari
pejuang AS tersebut.
Sekelumit pemberitaan yang dibangun ISIS menjadi lebih
menarik, Kompas.com terus menerus menyudutkan posisi Rusia
dalam peta konflik. Beberapa anak kalimat yang memojokkan
kebijakan Rusia adalah sebagai berikut:

57
Namun, yang paling mengkhawatirkan dan bisa
menjadi mimpi buruk adalah bahwa perang
tanding yang dilancarkan koalisi global anti-ISIS
terhadap pasukan pendukung Assad milik Putin
akan mengarah pada ambang konflik besar-
besaran. Peta konflik di Suriah yang bisa
menyulut pada perang dunia ketiga."Rusia
memiliki tujuan yang sangat berbeda dengan
koalisi Nato yang mendukung demokrasi liberal
serta perubahan rezim di Suriah," kata Dr Foxall.
Kepentingan utama Kremlin adalah
mempertahankan rezim pro-Rusia di Suriah.
Namun, mantan Sekjen Nato, Jaap de Hoop
Scheffer, menyatakan kepada media Channel 4,
"Saya pikir Putin pada akhirnya akan jatuh pada
pedangnya sendiri.
Di bagian lain di perbatasan bagian barat Suriah,
Turki bereaksi keras ketika Rusia melewati
wilayah udaranya. Tentu saja, Nato akan
membela Turki yang merupakan salah satu
anggota, sekaligus sekutunya. Mantan kepala
M16 (badan intelijen Inggris), Sir John Sawers,
telah memperingatkan, Rusia dan Barat akan
bentrok jika Putin tidak bekerja sama dengan
koalisi yang dipimpin AS.

Anak kalimat seperti ini mengantarkan idealisme


Kompas.com yang tidak setuju dengan kebijakan yang dilakukan
oleh presiden Rusia, Putin. Kompas.com mengantarkan Rusia
sebagai negara yang akan dibenci oleh Amerika Serikat dan
koalisinya. Dalam berita tersebut, secara tidak langsung posisi
Amerika Serikat berada di atas angin dalam mengendalikan
kekuasaan dunia. Kompas.com membuat konstruksi, bahwa
58
idealisme yang dibangun Amerika Serikat dan negara barat,
seperti Inggris, Prancis, Turki dan sebagainya, tampak sejalan.
Kasus terhangat adalah ketika Turki mengizinkan Angkatan
Udara Amerika Serikat melewati jalur udara Turki menuju Suriah,
sebaliknya Turki bersikeras menentang tindakan Rusia yang
berusaha melewati jalur udara milik Turki. Artinya apa?
Kompas.com “sedikit” membela Amerika Serikat dalam
mengatasi konflik di Suriah dan posisi Amerika dikonstruksikan
Kompas.com berada di atas angin dalam memimpin kekuasaan
politik di dunia.

 Unsur Representasi
Republika Online mengusung awal berita tentang
keberhasilan ISIS dalam memenangkan pertempuran melawan
kelompok loyalis Bashar Al-Assad. Republika Online
menjelaskan dua kota yang menjadi tumpuan kekuasaan ISIS,
Qaryatain dan Horms. Dalam wacana berita “dengan
dikuasainya Qaryatain, ISIS akan mampu memasok militan dan
perlengkapan dengan lebih mudah”, Republika Online
memberitahukan bahwa, wilayah yang direbut ISIS merupakan
wilayah luas yang merupakan penghubung jalan antara Kota
Palmyra dan Qaryatain. Wilayah tersebut berada di Ibu Kota
Suriah, Provinsi Damaskus. ROL ingin memberikan informasi
penting bahwa serangan yang dilancarkan ISIS dilakukan

59
dilakukan langsung ke Damaskus, yang menjadi pusat
pemerintahan Suriah, sehingga dapat memperlebar jaringan
untuk menjatuhkan kekuasaan Presiden Bashar Al-Assad. ISIS
juga telah menguasai beberapa wilayah di Provinsi Aleppo dan
Horms.
Sementara itu, jika Kompas.com berusaha menggulingkan
Rusia melalui konstruksi pemberitaan yang dibangun, Republika
Online cenderung berhati-hati dalam menarik kesimpulan terkait
serangan udara Rusia ke wilayah Suriah. Sikap kehati-hatian
Republika Online ditunjukkan melalui berita seperti ini:
Gedung putih menyatakan belum bisa
memastikan siapa target pasti serangan udara
Rusia di Suriah. Mereka menganggap spekulasi
targat utama serangan udara Rusia masih terlalu
dini untuk disimpulkan. Terlalu awal memastikan
apa tujuan dan target utama serangan mereka.

Ketika banyak opini publik menduga bahwa serangan


udara Rusia bertujuan untuk melindungi tonggak pemerintahan
Bashar Al-Assad, Republika Online mengkonstruksi
pemberitaan yang relatif dingin, dengan tidak terburu-buru
menjatuhkan kewibawaan Rusia. Selanjutnya, Republika Online
juga memberikan sinyal positif dengan adanya perjanijan
internasional negara-negara eropa yang bertujuan untuk
menumpas kasus terorisme.

60
Sebanyak 17 anggota Uni Eropa termasuk
Prancis, Jerman, Inggris, dan Belgia,
menandatangani kesepakatan internasional,
Kamis (22/10) guna menggagalkan perekrutan
militan teroris asing yang melakukan perjalanan
dari Eropa ke zona konflik di luar negeri, terutama
di Suriah.

Secara tidak langsung, Republika Online menghimbau


kepada negara-negara lain untuk mengadakan perjanjian
internasional demi mencegah warganya untuk ikut serta dalam
pelatihan dan aktivitas terorisme, seperti yang terjadi di ISIS. Di
tengah isu yang mengarah negatif kepada Rusia, Republika
Online justru menitikberatkan kepada kebijakan Iran yang
melakukan revolusi seperti apa yang dilakukan Rusia. Konstruksi
yang diwacanakan adalah “Ini menunjukkan saat ini, menyerang
ekstremis kelompok negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di
Suriah timur tampaknya menjadi prioritas sekunder karena
tujuannya untuk mendukung Presiden Suriah Bashar al-Assad.”
Jika mengacu pada opini publik dan pengamat Suriah, apa yang
dilakukan Iran bertujuan untuk meningkatkan kekuatan Rusia
yang ingin ikut campur dalam percaturan politik Suriah. Namun,
Republika Online tidak memberikan perhatian khusus terhadap
tujuan utama yang dicapai Rusia.

b. Perspektif Agama

61
Tabel 4
Materi Berita Kompas.com dalam Perspektif Agama
Tanggal Materi Berita
4 Juli 2015 Kapolri: Berjenggot dan bercelana gantung belum tentu
radikal
12 Juli 2015 ISIS dikabarkan larang warga Mosul jalankan ibadah
sholat Idul Fitri
31 Juli 2015 Erdogan: ISIS hancurkan nama baik Islam
5 Oktober 2015 Prancis khawatir konflik di Suriah menjadi perang
agama
19 Oktober Wapres AS: Kebebasan beragama kunci perangi
2015 ekstrimis

Tabel 5
Materi Berita Republika Online dalam Perspektif agama
Tanggal Materi Berita
14 Juli 2015 Cendikiawan Islam: Jihad ISIS menyimpang
16 Juli 2015 ISIS sebut sholat id bukan bagian Islam
24 Juli 2015 Generasi muda harus dilindungi dari pengaruh
radikalisme
28 Juli 2015 Eks teroris ingatkan Indonesia agar tak lengah
10 Agustus 2015 Imam masjid juga harus berperan tangkal paham
ISIS
10 Agustus 2015 Salah tafsirkan tentang jihad, lahirkan tindakan
radikal
14 Agustus 2015 Gara-gara video ISIS, Jepang mulai dilanda
Islamofobia
9 Oktober 2015 ISIS berpotensi ciptakan generasi baru teroris
Indonesia

 Unsur Representasi
Dalam unsur representasi, Kompas.com cenderung datar
dalam menampilkan teks pemberitaan terkait isu-isu terorisme
dalam ISIS yang dikaji berdasarkan aspek keagamaan. Meski
berstatus sebagai media berkarakter non Islam, Kompas.com
juga tak kalah untuk menyajikan pemberitaan yang menjunjung

62
tinggi identitas Islam. Berita pertama menggambarkan bentuk
solidaritas Kompas.com terhadap Islam. Kompas.com
berusahaa mendeskripsikan pemberitaan terkait berjenggot dan
bercelana cingkrang untuk mengalihkan isu-isu negatif yang
selama ini dituduh kepada Islam. Kompas.com berusaha
memberikan anak kalimat sebagai berikut:

Jangan dilihat fisiknya, ini berjenggot, kemudian


pakai celana gantung, wah ini kelompok radikal.
Jangan! Salah besar kalau mengidentifikasi
orang melalui pakaian.

Berdasarkan anak kalimat tersebut, Kompas.com


membela kelompok Islam yang notabene lebih akrab
menggunakan jenggot dan celana gantung. Kompas.com
menginginkan masyarakat agar tidak memberikan respon
negatif terhadap kelompok berjenggot dan menggunakan celana
cingkrang tersebut. Kompas.com kemudian membandingkan
peristiwa ISIS dengan situasi yang dialami di Indonesia. Hal
tersebut dilatarbelakangi oleh populasi muslim yang sangat
banyak di Indonesia. Kompas.com menghidangkan wacana teks
sebagai berikut:

Kalau mau identifikasi mereka, tanya saja


mengakui tidak Indonesia itu dasarnya
pancasila? Dia tidak mengakui. Maunya
Indonesia itu syariat Islam.
63
Dalam teks ini, Kompas.com bersikap selektif dan netral
terhadap ideologi yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia,
sehingga Kompas.com seolah tidak terlalu membela Islam,
karena sistem pemerintahan yang digunakan di Indonesia
bukanlah sistem syariat Islam, meskipun Islam sangat
mendominasi dalam hal ini.
Berita selanjutnya tentang ISIS yang melarang warga
Mosul jalankan sholat idul fitri. Seolah berperan sebagai
pelindung Islam, Kompas.com berjuang untuk memberikan citra
positif terhadap Islam melalui konstruksi pemberitaan yang
menyudutkan ISIS. Dalam kutipan anak kalimat:

ISIS menganggap sholat hari raya idul fitri yang


menandai akhir dari bulan suci ramadhan bukan
praktik orisinal Islam. Mengapa ibadah yang
digelar di seluruh negara Islam justru dilarang?
ISIS katanya berjuang untuk Islam, tetapi malah
melarang ibadah? Semoga Allah mengutuk
kalian. Kalian tak memperjuangkan Islam, kalian
berjuang untuk setan.

Anak kalimat tersebut sebagai bentuk protes keras


terhadap kejanggalan ISIS yang mengatasnamakan Islam, yang
semakin memperburuk citra Islam. Kosakata seperti “semoga
Allah mengutuk kalian dan kalian berjuang untuk Islam” sudah
cukup menggambarkan simpati dan empati Kompas.com
64
terhadap kebijakan aliran sesat ISIS tersebut. Namun, ada
beberapa anak kalimat yang menjanggal dalam teks
pemberitaan yang ditampilkan oleh Kompas.com sebagai
berikut:

Risiko yang paling mengerikan, lanjut Fabius,


adalah bahwa konflik tersebut menjadi konflik
agama, yakni antara Syiah (Muslim) dan
sekutunya dengan Sunni serta pendukungnya.
"Akan menjadi neraka yang sangat berbahaya.”
Teks yang disajikan adalah salah satu teks
kontroversial, Kompas.com membuat kosakata
“konflik agama antara syiah (Muslim).

Seperti kita ketahui bersama, syiah adalah agama yang


sesat dan dan kerap melakukan kejahatan terorisme seperti
yang dilakukan oleh ISIS. Sehingga ada unsur bahwa,
Kompas.com menitikberatkan Syiah sebagai Islam sejati,
dibanding sunni yang berdomisili di negara Arab, yang ironisnya
menerapkan etika dan moral sesuai apa yang disyariatkan oleh
Islam. Content berita tersebut diperjelas dengan kutipan kalimat
dalam topik yang berjudul “Kebebasan beragama kunci perangi
ekstrimis”. Anak kalimat tentang pernyataan

Wakil Presiden Joe Biden, nilai-nilai keagamaan


secara keseluruhan tergantung pada nilai sehari-
hari di Amerika. Ia memuji keyakinan Katolik

65
yang dianutnya karena memberinya
ketenteraman dan harga diri

Makna memuji Katolik yang memberi ketenteraman dapat


ditelurusi sebagai bentuk sindiran terhadap agama Islam. Tak
terlepas dari berbagai bentuk kekejaman terorisme yang
mengatasnakaman Islam, sehingga opini publik cenderung
menampilkan Islam sebagai agama yang tidak memberikan
perdamaian dan keamanan.

 Unsur Representasi
Sebagai media berbasis Islam, Republika Online hadir
sebagai wadah yang menyalurkan informasi terkait
perkembangan Islam yang terjadi di masa kontemporer saat ini.
Sama hal nya dengan pemberitaan Kompas.com, Republika
Online menghidangkan berita yang bertujuan untuk memberikan
pemahaman seputar ISIS. Republika Online mengundang
kalimat yang berasal dari kelompok cendikiawan Islam.
Cendekiawan Islam Azyumardi Azra
menegaskan tindakan kekerasan yang dilakukan
Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan diklaim
sebagai jihad jelas menyimpang dari konsep
jihad yang sebenarnya, bahkan tidak bisa disebut
sebagai jihad. Kebrutalan ISIS jelas tidak bisa
disebut jihad karena jihad yang mereka lakukan
menyimpang.

66
Secara tidak langsung, Republika Online berharap agar
masyarakat dapat peka dan memaknai esensi jihad dengan baik.
Republika Online juga membeberkan kutipan kalimat sebagai
berikut:

Kemunculan dan aksi ISIS menimbulkan simpati


segelintir Muslim lintas benua dari Eropa sampai
Indonesia, menurut Azyumardi, karena mereka
pintar menggunakan kata kunci yang populer di
kalangan Muslim, yakni jihad dan khilafah.

Republika Online juga menyediakan wahana isu-isu


terhangat yang akrab didengar orang banyak, yakni jidah dan
khilafah yang digunakan sebagai kedok untuk menumpas
kejahatan. ROL juga terdepan dalam menunjukkan simpati
terkait peristiwa ISIS yang berakibat pada sistem kehidupan di
Indonesia, ROL menunjukkan melalui teks:

Walau potensi keberhasilannya relatif kecil,


gagasan, dan praksis ISIS dapat menimbulkan
dampak dan ancaman serius terhadap
kehidupan politik, agama, sosial, dan budaya di
Indonesia.

Teks berikutnya bersumber dari berita yang berjudul ISIS


sebut sholat id bukan bagian dari Islam. Bila Kompas.com
mengkonstruksi berita dengan melihat sisi bentuk protes umat
Islam ISIS yang membawa embel-embel Islam, Republika Online

67
melihat berita ini berdasarkan sudut yang lebih sempit, namun
berdampak signifikan. Teks yang berisi tentang:

“Mereka juga menjalankan mayoritas muslim di


sana untuk menjadi muslim Syiah, dimana
kelompok yang dianggap “murtad” tersebut.”

Republika Online memberikan asumsi bahwa ISIS


menganjurkan warga Suriah untuk menjadi muslim syiah, atau
dengan kata lain, ISIS dan Syi’ah adalah 2 elemen yang memiliki
satu tujuan, yakni menjatuhkan Islam. Republika menegaskan
melalui kosakata “murtad”. Hipotesa dari murtad bisa diartikan
sebagai seorang warga muslim yang secara sengaja
memutuskan keluar dari Islam. Sehingga, Republika Online
menetapkan ISIS dan Syiah sebagai kaum teroris yang murtad
dan menyimpang dari ajaran Islam.
Republika Online juga memberi titik perhatian khusus
terhadap generasi pemuda agar tidak terjerumus ke dalam
paham radikalisme. Sebagai media yang mewakili aspirasi
Islam, Republika Online menggugah kelompok pemuda melalui
teks:
Anggota MPR Fkarsi Gerindra Moreno
Soeprapto mengatakan generasi muda harus
dilindungi dari pengaruh radikalisme. Sebab,
generasi muda merupakan kelompok yang paling
rentan terpengaruh paham itu.

68
Republika Online menganjurkan pemuda agar tidak
terpengaruh dengan paham gerakan teroris yang dilakukan oleh
ISIS. Untuk mengatasi gerakan teroris yang semakin merambah,
Republika Online juga mengkonstruksi teks dengan
memperlihatkan persepsi sosok mantan teroris yang kini telah
bertaubat.

Menurut dia, salah satu jalan terbaik adalah


dengan memperkuat ideologi Pancasila dan
memperdalam pengetahuan agama.Ini sangat
penting, karena para pelaku radikalisme, apalagi
ISIS, menyerang sasarannya melalui ideologi
dan agama.

Seperti yang ditunjukkan oleh Kompas.com, Republika


Online mencoba menawarkan solusi yang sama dalam
mencegah gerakan bernada sesat, salah satunya adalah
memperkuat ideologi pancasila. Dalam hal ini, Republika Online
berusaha menjunjung tinggi nilai pancasila, mengingat Indonesia
terdiri dari berbagai agama dan ras yang berbeda, meski
mayoritas dihuni oleh muslim. Lebih lanjut, Republika Online
juga membawa teks yang menunjukkan peran dan tanggung
jawab unsur-unsur pencegah gerakan teroris.
Dalam teks berita yang berjudul imam masjid juga harus
berperan tangkal paham ISIS, berita yang memuat tentang:

69
Imam masjid seharusnya tidak hanya
memberikan pengetahuan tentang fikih dan
akidah kepada jamaahnya, tetapi juga
menjelaskan hal-hal yang menyudutkan atau
mengadu domba umat Islam. Jadi, para tokoh,
dai, ulama dan imam masjid harus bisa
menjelaskan atau meluruskan pemahamam
Islam dan juga masalah jihad yang sebenarnya
agar umat atau masyarakat tidak terpengaruh
paham radikal yang disebarkan oleh kelompok
yang tidak bertanggung jawab.

Merupakan usaha dari Republika Online agar kelompok-


kelompok imam masjid memiliki peran aktif dalam situasi Islam
di ranah global saat ini. Kosakata hal-hal yang
menyudutkan/mengadu domba tidak lain adalah pihak-pihak
yang berusaha menjatuhkan posisi Islam melalui aktivitas
ekstrim, seperti yang dilakukan oleh ISIS. Dalam satu waktu,
Republika Online fokus menyediakan berita tentang peran dan
fungsi dari para aktivis Islam. Teks tersebut menandai keinginan
Republika Online, agar pihak-pihak penting dapat memainkan
peran aktif dalam mensyiarkan Islam.

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan tersebut, ada beberapa
kesimpulan yang dapat diambil:
1. Jika ditinjau berdasarkan aspek politik dan hubungan
internasional, Kompas.com berupaya melakukan konstruksi
70
pemberitaan secara kritis, Kompas.com melibatkan peta
politik terorisme yang berpotensi menimbulkan perang dunia.
Dalam hal ini, Kompas.com tidak setuju atas tindakan yang
dilakukan Rusia, yakni menggempur Suriah dengan tujuan
memperkukuh posisi presiden Suriah, Bashar As-Saad,
sebaliknya wacana pemerintah Rusia untuk memborbardir
ISIS bukanlah prioritas utama. Kompas.com membingkai
pemberitaan yang cenderung memihak Amerika Serikat.
Amerika Serikat dinilai berhasil melakukan koalisi bersama
dengan negara-negara barat, seperti Inggris, Prancis, Turki.
Konflik internasional bisa saja terjadi antara Amerika dan
koalisinya dengan Rusia.
2. Sebaliknya, Republika Online terkesan berhati-hati dalam
menyajikan pemberitaan terkait terks terorisme dalam
perspektif politik dan hubungan internasional. Republika
Online tidak terburu-buru menyudutkan posisi Rusia, ketika
beragam opini publik mengatakan serangan Rusia tidak
mengarah kepada ISIS, melainkan tertuju kepada
pemberontak Suriah. Republika Online juga menghimbau
kepada audiens dan negara-negara yang berpotensi
mendapatkan ancama teror ISIS, untuk melakukan kerjasama
internasional demi memperkuat ketahanan negara dan
keselamatan masyakat.

71
3. Jika mengkaji berdasarkan aspek keagamaan, Kompas.com
cenderung labil dalam mengkonstruksi berita. Di satu sisi,
Kompas.com memiliki unsur untuk memelihara citra Islam,
dengan mengajak audiens untuk memahami ciri-ciri dan
karakter teroris ISIS tidak hanya dari sisi saja. Kompas.com
bertindak sebagai pihak kontra ISIS atas berbagai bentuk
terorisme yang mengatasnamkan Islam. Namun,
Kompas.com juga membuat pernyataan kontroversial dengan
melakukan sindiran terhadap Islam. Kompas.com
mengasumsikan Islam sebagai agama yang tidak
memberikan jaminan ketenteraman hidup bagi umat,
sebaliknya mengacu pada pernyataan wakil presiden AS,
Kompas.com memberikan wacana, bahwa nilai-nilai
keagamaan tergantung pada apa yang diterapkan di Amerika,
dan katolik sebagai agama pemberi keselamatan dan
kebahagiaan bagi umat.
4. Sementara itu, sebagai media berbasis Islam, Republika
Online berupaya untuk melindungi Indonesia dari upaya
pengaruh gerakan terorisme (ISIS). Republika Online juga
memusatkan perhatian kepada pihak yang paling
bertanggung jawab, yakni para da’i, ulama, dan imam masjid,
untuk memberikan kontribusi berupa pemahaman terhadap
masyarakat terkait gerakan radikal tersebut. Selanjutnya, jika
Kompas.com membingkai pemberitaan kontroversial yang

72
menganggap bahwa syiah adalah golongan muslim taat,
maka Republika Online secara tegas menganggap syiah dan
ISIS adalah kedua golongan terorise yang bisa dikatakan
sebagai golongan murtad, karena ajaran yang diterapkan
menyimpang dari Islam.

Daftar Pustaka
Junaedi. (2007). Komunikasi Massa Pengantar Teoritis.
Yogyakarta: Santusta.
Narendra. (2008). Metodologi Riset Komunikasi. Yogyakarta:
BPPI Wilayah IV Yogyakarta dan Pusat Kajian Media
dan Budaya Populer.
Saleh dan Purnomo. (2013). Metodologi Penelitian Sebuah
Petunjuk Praktis. Bantul: Aya Abadi Press.
Wenerda. (2014). Analisis Wacana Kritis Pemberitaan oleh
Infotainment dalam Kasus Adi Bing Slamet dengan
Eyang Subur, Jurnal Ilmu Komunikasi. No.1, hal.2-3
“Astaghfirullah, Wamenag & Metro TV Sebut Masjid Sebagai
Sarang Teroris”
http://panjimas.com/news/2014/08/17/astaghfirullah-wamenag-
metro-tv-sebut-masjid-sebagai-sarang-teroris/, (akses
18 Juli 2015).
”Eks Terpidana Terorisme Berkumpul di Solo”

73
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/10
/13/202005/Eks-Terpidana-Terorisme-Berkumpul-di-
Solo, (akses 18 Juli 2015).

*) Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia

74
RADIKALISME DALAM MEDIA MASSA ONLINE ISLAM
(Analisis Wacana Situs Arrahmah.com)

Alhimni Fahma*

Pendahuluan
Dua dekade terakhir, selain demokratisasi dan hak-hak
asasi manusia (HAM), diskursus yang muncul ke permukaan
dalam khazanah politik internasional adalah “kebangkitan” Islam
politik, seperti terlihat dari merebaknya fenomena
“fundamentalisme” Islam.1 Di Indonesia, “kebangkitan” Islam
politik mulai tampak ketika Soeharto dan pemerintahannya mulai
sedikit membuka diri terhadap Islam. Jauh sebelumnya,
Soeharto khawatir benih-benih agama menjadi rongrongan
sebagai manifestasi dari ideologi Nasakom yang digaungkan
oleh Soekarno. Namun Soeharto harus mulai “menerima” Islam
dan nilai-nilainya mewarnai Indonesia.2
Dalam lanskap Indonesia yang masyarakatnya heterogen
dan mengafirmasi keberagaman agama, negara ini belajar
banyak terhadap sikap toleransi dan kedewasaan berBhinneka
Tunggal Ika sejak Orde Baru hingga saat ini. Reformasi yang

1
Afadlal, dkk, Radikalisme di Dunia Islam (Jakarta: LIPI Press, 2005), 53-55
2
Ariel Hariyanto, Popular Culture in Indonesia; Fluid Identities in Post Authoritarian Politics (London: Routledge
Media, 2008), 13-14
75
terjadi di awal tahun 1998 membawa dampak yang signifikan
terhadap perjalanan “pemaknaan” agama di Indonesia. Kasus-
kasus yang menyangkut agama, suku dan ras (SARA) terjadi di
hampir sejumlah provinsi dan kota di Indonesia. Namun
demikian, perbedaan agama hingga perbedaan kelompok
agama tidak lantas membuat perpecahan yang berujung pada
penggulingan kekuasan seperti halnya di Timur Tengah.
Sebelum reformasi, era kebangkitan Islam di Indonesia
terlihat dari gejala-gejala keagamaan yang muncul secara
dominan di tahun 1980an. Penandanya yaitu menguatnya
kecenderungan orang-orang Islam di Indonesia untuk kembali
pada ajaran agama Islam secara kaffah (totalitas).3 Namun
demikian, gejala tersebut tidak hanya di Indonesia, di Mesir
misalnya sejak ditumbangkannya Presiden Anwar Sadat muncul
kemudian Islam militan, fundamental dan revolusioner. Gerakan
Islam yang kuat dan memberontak berupaya untuk menggugat
ketidakberesan dan ketimpangan yang dilakukan oleh penguasa
dan pemerintah.4 Persoalan politik dan agama menjadi tidak bisa
dihindari, karena sulit untuk melepaskan nuansa politis ketika

3
Afadlal dkk, Gambaran Umum Radikalisme Islam di Indonesia dalam Islam dan Radikalisme di Indonesia
(Jakarta: LIPI Press, 2005), 109-110

4
Amin Rais, Gerakan-gerakan Islam Internasional dan Pengaruhnya terhadap Gerakan Islam di Indonesia
(Jakarta: Prisma,1984) dalam Afadlal dkk, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005),
111. Lebih lanjut dibahas dalam Ali Sya’aibi dan Gills Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam (Ciputat: Pustaka
Azhary, 2004 ), 47-49
76
gerakan-gerakan Islam atau organisasi-organisasi berhaluan
Islam berhadapan dengan sistem yang dimiliki negara.
Dalam sejumlah literatur mengacu pada Olivier Roy5,
“fundamentalisme Islam” (ditulis dengan tanda kutip) ditafsirkan
sebagai kelompok yang meyakini Islam sebagai ideologi politik.
“The activist groups who see in Islam as much a political
ideology as a religion. ‘Islamisim’ is the brand of modern
political Islamic fundamentalism that claims to re-create a
true Islamic society, not simply by imposing sharia, but by
establishing first an Islamic state through political action.
Islamist see Islam not as a mere religion, it is a political
ideology that should reshape all aspects of society (politics,
law, economy, social justice, foreign policy, and so on).”

Olivier mengemukakan bahwa pondasi utama gerakan-


gerakan Islam adalah merevitalisasi “ummat Islam” yang sesuai
dengan panduan Alquran dan Hadist, yaitu tidak hanya berbasis
Syari’a, melainkan juga membentuk sebuah aksi politik yang
ujungnya akan membawa pada ide “ruling the state”. Aksi politik
atau pergerakan ini membawa mereka untuk menjadi bagian dari
negara.
Literatur yang fokus meneliti tentang cyber-Islam banyak
ditemukan mengulas tentang perkembangannya di Timur
Tengah, dan negara di mana Muslim sebagai minoritas seperti
di Amerika dan Eropa. Beberapa studi dan penelitian tentang

5
Olivier Roy, Globalized Islam, The Search for a New Ummah (New York: Columbia University Press, 1949),
58-59
77
Asia dan khususnya Indonesia ditemukan tidak banyak,
terutama yang membahas tentang radikalisme dan new media
(internet dengan produknya media sosial).6
Artikel ini akan hendak menganalisis bagaimana aktifitas
gerakan radikal di Indonesia ditampilkan dalam media
onlineArrahmah.com. Lebih lanjut, dalam penelitian ini akan
dilihat bagaimana diskursus tentang Islam radikal di Indonesia
diwacanakan dalam situs Arrahmah.com. Penelitian ini juga tidak
hanya melihat teks tetapi juga konteks, historis, kekuasaan dan
ideologi di belakang sebuah media online Arrahmah.com.

Arrahmah.com dan New Media


Dalam beberapa tahun terakhir, kajian-kajian terbaru
tentang publik dan Islam telah menekankan pentingnya new
media dalam membentuk dan memengaruhi perilaku muslim di
ranah publik.7 Kesimpulan Eickelman (2005) misalnya,
menyatakan bahwa munculnya kelas baru “aktivis Islam” di
seluruh dunia Muslim telah berlangsung seiring dengan
penyebaran teknologi informasi baru, seperti kaset, CD audio,
televisi satelit dan internet dengan produk media sosialnya.

6
A.M Iqbal, Internet, Identity And Islamic Movements:The Case of Salafism in Indonesia (Jurnal Islamika
Indonesiana Vol 1:1, 2004)

7
John W. Anderson, New Media in the Muslim World: The Emerging Public Sphere, ISIM Review Vol. 5, 20n01,
39, dalam Mutoharun Jinan, makalah New Media and the Shifting of Muslim Religious Authority, (Conference
Proceedings Annual International Conference on Islamic Studies XII, IAIN Sunan Ampel Surabaya Indonesia,
5-8 Nopember 2012)
78
Di Timur Tengah misalnya, hampir seluruh negara Muslim
mengalami revolusi dari rezim yang otoritarian karena kelompok-
kelompok agama yang menggerakkan revolusi dengan media
sosial. Transnasional pergerakan Islam yang menyebut diri
sebagai Cyber Islamic Movement. Di Indonesia, perkembangan
new media, dalam hal ini jaringan media online telah ada sejak
era reformasi. Era kebebasan berpendapat ini ditangkap oleh
kelompok-kelompok agama sebagai medium dakwah. Internet
digunakan untuk mengembangkan, memberi alternatif bahkan
sampai pada perang informasi terhadap ideologi-ideologi yang
berbeda.8 Internet menjadikan informasi semakin tersebar luas
dan viral.
Pertumbuhan penggunaan internet di Indonesia dari tahun
ke tahun semakin meingkat. Dari data APJII (Asosiasi Pengguna
Jasa Internet Indonesia) memperlihatkan kecenderungan yang
semakin meningkat.

Tabel 1
Jumlah Kenaikan Pengguna Internet
Tahun Jumlah Penetrasi
Pengguna
2005 16,0 juta 7,8 %
2006 20,0 juta 9,4%

8
Amar Ahmad, makalah Perkembangan Media Online dan Fenomenea Disinformasi (Analisis pada sejumlah
Situs Islam), (Jurnal Pekommas: Vol 16 No 3, Desember 2013)
79
2007 20,0 juta 9,1%
2008 25,0 juta 11,1%
2009 30,0 juta 12,9%
2010 42,0 juta 17,6%
2011 55,0juta 22,7%
2012 63,0 juta 25,7%
2013 71,2 juta 28,6%
2014 88,1 juta 34,9%
Sumber: APJII www.apjii.or.id

Dari jasa penggunaan internet sebanyak itu, terbagi


menjadi beberapa sub domain yang berbeda-beda. Diantaranya
yaitu domain.ac.id (akademik), domain.co.id (company), domain
mil.id (militer), domain net.id, web.id atau sch.id (sekolah).
Sedangkan situs Islam terdapat 420 situs dengan kategori
segementasi situs khusus wanita Muslim, keluarga, anak-anak
dan lain-lain. Beberapa situs milik organisasi Islam seperti
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis dan lain-lainnya
sebanyak 110 situs.9
Keran kebebasan berpendapat akhirnya membuka
kesempatan bagi kelompok agama untuk menunjukkan
eksistensinya di masyarakat dengan sejumlah surat kabar cetak

9
www.apjii.or.id
80
dan online yang baru. Nahdlatul Ulama’ memiliki produk
korannya sendiri bernama Duta Masyarakat, majalah Aula dan
Auleea, Muhammadiyah memiliki majalah Suara
Muhammadiyah dan Walida. Sedangkan dalam ranah media
massa online di Indonesia terdapat Eramuslim.com,
Islamlib.com, Swaramuslim.com, MyQuran.com, Ukhuwah.or.id
dan lain-lain.
Diskursus purifikasi agama melalui new media dilirik oleh
Abu Jibriel yang dikenal sebagai ketua Majelis Mujahiddin
Indonesia (MMI), sebuah organisasi yang menamakan
perjuangannya untuk penegakan syari’at Islam. Abu Jibriel
mendirikan media online bernama Arrahmah.com. Pimpinan
Redaksi Arrahmah.com adalah Muhammad Jibriel Abdul
Rahman, yang tidak lain merupakan anak dari Abu Jibriel.
Keduanya membaca pasar yang ada pada pembaca setia situs
mereka. Jaringan bisnis yang dilakukan Muhammad Jibriel Abdul
Rahman adalah shopping online “Omar Kingdom”. Produk-
produk yang dijual dalam Omar Kingdom adalah pakaian yang
memiliki muatan gambar dan seruan islami. Abu Jibriel
mengelola website pribadinya dengan aktif menawarkan
unduhan tausiyah, penjualan buku karangannya dan beberapa
produk lain dalam rubrik-rubrik tertentu.
Arrahmah.com yang semula hanya portal berita islami
mengalami perubahan. Pada tanggal 30 Maret 2010 situs

81
Arrahmah.com telah diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan
Informasi Republik Indonesia (Kemenkominfo) karena ditengarai
menyebarkan paham radikalisme dan/atau simpatisan
radikalisme. Pemerintah lewat Kemenkominfo kemudian
memblokir situs Arrahmah.com dengan dua puluh satu situs lain
yang serupa. Pada tahun yang sama, Muhammad Abu Jibril
dijadikan tersangka dalam kasus pengeboman Hotel JW Marriot,
Jakarta dengan sangkaan terlibat dalam pendanaan
pengeboman dari rekening luar negeri.
Pada tahun 2013 Arrahmah.com berupaya membranding
ulang situs mereka dengan pergantian logo. Semula logo
Arrahmah.com memiliki kemiripan dengan saluran berita luar
negeri Al Jazeera, saat ini berubah menjadi lambang Ka’bah
dengan harapan tetap menjadi kiblat umat Islam.
Pada bulan April 2015 Arrahmah.com kembali terjegal
kasus pemblokiran. Langkah Kemenkominfo merupakan respon
terhadap permintaan Badan Nasional Penganggulangan
Terorisme (BNPT) Nomor 149/K.BNPT/3/2015 tentang
situs/website radikal dan terorisme. Namun, menurut Henri
Subiyakto,10 Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi dan Media
Massa pemblokiran ini terkendala karena situs-situs Islam yang

10
Dalam berita www.arrahmah.com
82
ditengarai memuat konten radikalisme ini menggunakan domain
dot kom (.com) dibandingkan dot co id (.co.id).
Lambat laun pada pertengahan tahun 2015 Arrahmah.com
mulai belajar mengelola situs mereka, dengan memiliki naungan
holding bernama Arrahmah Media Network. Arrahmah Media
Network menyebut dirinya sebagai sebuah jaringan media Islam
yang bertujuan memberikan informasi berimbang tentang Islam
dan dunia Islam di tengah-tengah arus informasi modern dan
globalisasi. Termasuk di dalamnya antara lain akun Arrahmah
Channel Youtube yang menjadi pelengkap tayangan langsung
data multimedia (video streaming), Arrahmah Channel Twitter
dan Arrahmah Channel Facebook dan Arrahmah Channel
Instagram.
Konvergensi media yang dilakukan oleh Arrahmah.com
menurut Jenkins adalah pola penerimaan yang dikembangkan
dalam era new media karena dari satu peralatan yang sama,
bisa mendapatkan waralaba, anak perusahaan, konsumen yang
tetap, dan fandom (fans kingdom). 11 sehingga dengan demikian,
proses pencapaian pesan kepada pembaca akan mudah
tersampaikan lewat bantuan konvergensi.

Aktifitas Radikalisme Arrahmah.Com

11
Henry Jenkins, The Cultural Logic of Media Convergence (London: International Journal of Cultural
Studies, Sage Publishing, 2014)
83
Aktifitas Radikalisme dalam Arrahmah.com dianggap
menggelisahkan oleh sebagian pihak, terutama pemerintah.
Terbukti BNPT telah melakukan upaya pemblokiran terhadap
Arrahmah.com sebanyak dua kali. Konten Arrahmah.com dalam
rubric Jihad ‘disinyalir’ oleh pemerintah dapat menyebarkan
paham radikalisme. Namun hal terpenting ialah, belum ada
acuan dari pemerintah sendiri dalam mendefinisikan secara jelas
apa yang dimaksud konten yang menimbulkan radikalisme atau
berkontribusi menyebarkan paham radikalisme. Dalam website
BNPT sendiri belum ditemukan panduan dan kategorisasi
pemblokiran pada media massa online. Padahal yang demikian
adalah informasi yang menjadi hak publik untuk tahu.
Konsep muslim dan radikalisme yang diungkapkan dalam
buku karya Gary R. Bunt “iMuslims, rewiring the House of Islam”
patut dijadikan acuan dalam penelitian ini. Menurut Bunt sebutan
iMuslims adalah upaya untuk mengartikulasikan perpaduan
dominasi elemen yang membentuk kehidupan di abad 21, yaitu
internet dan Islam. Pembicaraan dampak terhadap pesan-pesan
dalam konten internet yang bermuatan Islam tidak dapat
digeneralisasikan sebagai sesuatu yang buruk atau baik,
keduanya mengalami perdebatan yang tergantung pada konteks
yang ada. Sekalipun ada dampak yang terlihat, tidak bisa lantas
disebut sebagai dampak satu arah (one way), tetapi aktifitas
Muslim dalam bersinggungan dengan internet seperti halnya

84
mikrokosmos dari sistem informasi teknologi yang terus
bergerak.12
Internet juga membantu gerak propaganda jihad dengan
dinamika logistik mereka yang terus mencari jalurnya yang
sesuai. Mereka akan menagkap pola-pola pertukaran atau
formasi (dari sekumpulan orang-orang yang satu ideologi dan
kepercayaan) yang menguntungkan mereka dalam proses
membentuk revolusi. Seperti diungkap Castell sebagai “process
of revolutionary technological exchange” atau Eickelman yang
menyebut “formation of new and overlapping forms of
community, trust and association”.13
Fenomena masyarakat Muslim internet dengan sebutan
“Cyber-Islamic Environment” (CIEs) adalah bentuk di mana
jaringan muslim yang bersifat tradisional mencari cara
berkelanjutannya dalam merespon budaya populer di luar. Meski
demikian, internet dan Islam bagi sebagian orang dapat diterima
atau bahkan diperdebatkan untuk dilarang. Padahal dilihat dari
berbagai segi kehidupan manusian, internet berguna untuk
dijadikan tantangan bagi Islam tradisional dalam memosisikan di
mana arah mereka sekarang.14

12
Gary R. Bunt, iMuslims, Rewiring The House of Islam (United States: The University of North Carolina
Press, 2009), 275

13
Op,cit, 276

14
Wawancara dengan Gary R Bunt dalam http://www.uncpress.unc.edu/browse/page577 Diakses 30
November 2015
85
Bunt memberikan kategori aktifitas Muslim yang
bersinggungan dengan internet (iMuslims) dalam aspek-aspek
tertentu di antaranya:
 iMuslim yang menghabiskan banyak waktu untuk
mengunggah konten-konten yang dapat menyuarakan
ideologi mereka
 iMuslim yang yang menggunakan internet sebagai public
realations agar pesan-pesannya tersampikan di seluruh
dunia
 iMuslim yang menjadikan internet sebagai acuan dan
panduan dalam mempelajari Islam atau mencari isu yang
terkait denganinterpretasi keagamaan.
 iMuslim yang berperan sebagai aktivis, politis, dan
menggunakan internet sebagai propaganda dan/atau
mendiskusikan ke ruang publik.
 iMuslim yang mengkampanyekan isu tertentu
menggunakan media sosial dan mengunggahnya di
YouTube.
Untuk lebih lanjut Bunt memberikan ilustrasi kategori-
kategori iMuslim yang dimaksud sebagai berikut:
Gambar 2. Ilustrasi Model Kategori iMuslim

86
Sumber: iMuslim, rewiring the House of Islam

Diagram di atas menunjukkan difusi identitas dan terdapat


interkonektivitas di beberapa area. Panah-panah dia atas
menunjukkan alur multi-directional terhadap ide tentang
penggambaran iMuslim. Cabang yang disebut Militaristic Jihadi
disebutkan bahwa di dalamnya termasuk E-Jihad (Electronic
Jihad) yaitu pemaknaan jihad yang dapat diperluas.

Online dan Aktifitas Radikal


Bagaimana media online memperoleh penghasilan,
jawaban utama adalah iklan. Sedangkan dari mana media online
mendapatkan iklan adalah karena trafik/traffic yang padat yang
memungkinkan situs tersebut dilirik oleh pengiklan.
Sederhananya, traffic adalah aktivitas pada satu halaman situs
yang dihasilkan dari kunjungan pengguna internet dan aktivitas
pengguna internet di halaman itu.
87
Semakin banyak sebuah situs dikunjungi dan semakin
banyak aktivitas yang dilakukan pengguna internet di laman-
laman situs itu, maka traffic situs itu semakin tinggi. Traffic itu
seperti “penonton” pada stasiun televisi; “pendengar” pada
stasiun radio; atau “oplah” pada media cetak. Traffic adalah
keseluruhan aktivitas pembaca pada situs media online.
Dhanang Radityo menjelaskan, termasuk di dalam traffic adalah
visit, unique visitor, pageview, dan length of visit.15
Visit adalah merupakan perkiraan untuk mengetahui
berapa banyak kunjungan yang dilakukan terhadap sebuah
website dalam rentang tiga puluh menit. Pada titik inilah ruang
redaksi bertemu dengan kepentingan bisnis media sebagai
industri. Di ruang redaksi, traffic diperoleh sebagai hasil produksi
berita yang dibuat wartawan. Berita-berita yang di-klik pembaca
akan menghasilkan pageview. Semakin banyak berita yang di-
klik semakin besar pageview yang diperoleh. Semakin besar
pageview, semakin besar potensi bisnis yang bisa diraih.
Selanjutnya persoalan etik yang diakui oleh media online
adalah cepat dan ringas seperti yang dipelopori oleh media
online Detik.com di Indonesia. Menurut Berkman dan

15
J. Heru Margianto dan Asep Syaefullah. Media Online: Antara Pembaca, Laba, Dan EtikaProblematika
Praktik Jurnalisme Online Di Indonesia (Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, 2014)
88
Shumway16 media online perlu berhati-hati dalam
menyampaikan beritanya. Karena berita yang diposting punya
kemungkinan untuk dibaca oleh ribuan hingga jutaan orang
karena jangkauannya yang luas. Akurasi dipandang penting
mengingat media online mengandalkan kecepatan (speed)
dalam menampilkan berita. Padahal “speed is not a friend of
accuracy”karena hal tersebut juga memunculkan asumsi lain
bahwa media online berlomba-lomba kecepatan menyajikan
berita dengan media online lain demi keuntungan sisi komersial.
Ada kekosongan hukum terkait praktik jurnalisme dalam
media online. Undang-undang Nomor 40/1999 tentang Pers (UU
Pers) tidak mengatur soal komunitas, model-model baru praktik
pemberitaan dalam media online, juga distribusi berita dalam
ranah media sosial. Bisa dipahami, ketika UU itu dibuat ketika
aneka praktik jurnalistik di media online belum ada seperti saat
ini. Maka wajar jika kemudian banyak hal-hal yang tumpang
tindih yang belum teregulasi dengan baik terkait carut-marut
perkembangan media online di Indonesia. Lebih lanjut, ketika
kemudian perkembangan ini belum bisa diterima dengan cepat
oleh masyarakat umum, khususnya masyarakat dengan
kelompok agama tertentu.

16
Robert I. Berkman & Chirstopher A. Shumway, Digital Dilemmas: Ethical Issues for Online Media
Professional” dalam Ignatius Haryanto. Jurnalisme Era Digital, Tantangan Industri Media Abad 21, (Jakarta:
Kompas, 2014), 5
89
Dalam kasus pemblokiran puluhan situs Islam yang
dilakukan BNPT, terjadi hal-hal yang masih sumir, yaitu
ketidakjelasan definisi radikal yang disepakati oleh pemerintah
Indonesia. Menurut Onong W. Purbo,17 akses informasi
merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dilindungi oleh
deklarasi Human Right. Oleh karenanya pertanyaan yang harus
dijawab adalah acuan radikalisme, terorisme, halal dan haram,
setidak-tidaknya telah ditetapkan oleh pemerintah, meski aduan
dari masyarakat ditampung. Sedangkan Arrahmah.com adalah
situs yang menurut pengelolanya hanya mneyebar semangat
Islam yang kaffah dan semangat untuk berjihad di jalan Allah,
bukan untuk memprovokasi tindakan teroris dan/atau
sejenisnya.
Aktifitas gerakan radikal dalam internet, terutama media
online tidak bisa dipisahkan dari kapitalisme media yang
mencoba masuk dalam setiap ranah kehidupan manusia. Tidak
bisa dimungkiri, teknologi internet dapat membantu
memudahkan penyabaran pesan-pesan Islam dan ideologi-
ideologi sejumlah kelompok Islam. Pandangan ini masih
diperdebatkan karena penetrasi internet masih belum
sepenuhnya diterima oleh Islam tradisional.

17
Onong sebagai pegiat piranti lunak open source. Dikutip dari berita
dihttp://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150401093434-185-43429/kriteria-situs-islam-radikal-versi-bnpt/
Diakses 3 Desember 2015
90
Ironisnya, jika ada sejumlah kelompok Islam yang bergiat
dalam purifikasi agama namun tetap menggunakan produk-
produk hasil teknologi era modern, lantas tidak melakukan
pengakuan. Bahwa sebenarnya produk teknologi ini bagian dari
upaya Barat yang lebih dahulu mengenalkan teknologi pada
dunia.

Kesimpulan
Kegiatan muslim yang disebut Gary Bunt sebagai iMuslim
merupakan fenomena yang menggejala di era post 9/11. Hampir
semua aktifitas keagamaan tidak bisa dilepaskan dari dominasi
media. Arrahmah.com adalah salah satu contoh bagaimana ia
bisa hidup dalam sistem negara (pemerintah) yang masih belum
menentukan konsep dan acuan definisi radikalisme. Padahal
menurut Bunt, hal tersebut adalah bagian dari Muslim
menunjukkan sustainability mereka dengan bernegosiasi
terhadap dominasi media. Dalam banyak hal, justru hal tersebut
menguntungkan bagi Arrahmah.com, lebih lagi jika hal tersebut
dikaitkan dalam alur media online yang bisa survive.

Daftar Pustaka
Afadlal dkk. 2005 “Islam dan Radikalisme di Indonesia” (Jakarta:
LIPI Press)

91
Ahmad, Amar. 2013 “Perkembangan Media Online dan
Fenomenea Disinformasi (Analisis pada sejumlah Situs
Islam)”, (Jurnal Pekommas: Vol 16 No 3, Desember)
Anderson, John W. 2009 “New Media in the Muslim World: The
Emerging Public Sphere”, (ISIM Review Vol. 5, 2)
Berkman, I. Robert & Chirstopher A. Shumway, 2014 “Digital
Dilemmas: Ethical Issues for Online Media Professional”
Bunt, Gary R. 2009. “iMuslims, Rewiring The House of Islam”
(United States: The University of North Carolina Press)
Haryanto, Ignatius. 2014 “Jurnalisme Era Digital, Tantangan
Industri Media Abad 21” (Jakarta: Kompas Gramedia)
Heryanto, Ariel. 2008 “Popular Culture in Indonesia; Fluid
Identities in Post Authoritarian Politics”. London
Iqbal, A.M. 2004 “Internet, Identity And Islamic Movements: The
Case of Salafism in Indonesia” (Jurnal Islamika
Indonesiana Vol 1:1)
Jenkins, Henry. 2014 “The Cultural Logic of Media Convergence”
(London: International Journal of Cultural Studies, Sage
Publishing)
Jinan, Mutoharun. 2012 “New Media and the Shifting of Muslim
Religious Authority”, (Conference Proceedings Annual
International Conference on Islamic Studies XII, IAIN
Sunan Ampel Surabaya Indonesia, 5-8 Nopember)

92
Margianto, J. Heru dan Asep Syaefullah. 2014 “Media Online:
Antara Pembaca, Laba, Dan EtikaProblematika Praktik
Jurnalisme Online Di Indonesia” (Jakarta: Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Indonesia)
Rais, Amin. 1984 “Gerakan-gerakan Islam Internasional dan
Pengaruhnya terhadap Gerakan Islam di Indonesi”a
(Jakarta: Prisma)
Roy, Olivier. 1949 “Globalized Islam, The Search for a New
Ummah (New York: Columbia University Press)
Sya’aibi, Ali dan Gills Kibil. 2004 “Meluruskan Radikalisme Islam”
(Ciputat: Pustaka Azhary)

Internet:
http://www.uncpress.unc.edu/browse/page577 Diakses 30
November 2015
http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150401093434-185-
43429/kriteria-situs-islam-radikal-versi-bnpt/ Diakses 3
Desember 2015
www.apjii.or.id
www.arrahmah.com

*) Mahasiswa Magister Media dan Komunikasi, Universitas


Airlangga dan pekerja lepas di bidang riset komunikasi dan
politik di Public Affair Consultant, Karim Raslan Associated.

93
POSISI SUBJEK DAN OBJEK DALAM WACANA
INDONESIA
SEBAGAIPENAMPUNG PARA PENGUNGSI ROHINGYA
DALAM BERITAONLINE DETIK.COM

Mirza Fathima Jauhar Kamalia*

Pendahuluan
Peristiwa pengungsian massal Rohingya menyita banyak
perhatian dari dunia internasional. Hal tersebut disebabkan oleh
banyaknya orang yang terombang-ambing di lautan selama
berhari-hari tanpa adanya makanan yang cukup mengundang
rasa simpati dan empati dari berbagai negara tak terkecuali
negara Republik Indonesia. Indonesia yang penduduknya
mayoritas beragama Islam (forum.kompas), memiliki rasa
solidaritas yang kuat kepada para pengungsi Rohingya yang
juga memeluk agama Islam sehingga bersedia untuk
menampung dan merawat para pengungsi tersebut. Hal tersebut
mengundang banyaknya apresiasi dari banyak negara termasuk
dari perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Thomas Vegas,
yang datang ke Indonesia. Apresiasi atas kontribusi dan bantuan
kemanusiaan yang diberikan oleh Indonesia kepada pengungsi
Rohingya tersebut dimuat di media jurnalisme online detik.com.
Namun, berita yang seharusnya menonjolkan Indonesia
sebagai negara yang memiliki solidaritas tinggi dengan
memberikan kontribusi dan bantuan kemanusiaan kepada

94
pengungsi Rohingya tidak lagi menjadi fokus dan perhatian
utama dalam pemberitaan tersebut. Masalah tersebut kemudian
menarik perhatian peneliti untuk mengkajinya dengan
menggunakan analisis wacana dari Sara Mills yang fokus pada
posisi subjek-objek serta posisi penulis-pembaca dari sebuah
teks wacana.
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
adalah berita yang telah disebutkan di atas yaitu berita media
jurnalisme online berheadline UNHCR Soal Pengungsi Rohingya
di RI: Selamatkan Mereka yang Utama! yang dimuat pada
tanggal 20 Mei 2015. Namun, data yang ada di dalam berita
tersebut tidak seluruhnya digunakan, data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data-data yang menunjukkan posisi
subjek dan objek dalam berita tersebut.Data sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku mengenai teori
analisis wacana Sara Mills. Kemudian, data sekunder lainnya
berupa jurnal-jurnal dan artikel-artikel mengenai analisis wacana
Sara Mills yang dapat mendukung dan membantu penelitian ini.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan studi dokumen yaitu melakukan analisis
terhadap artikel atau berita dalam hal ini berita mengenai
pengungsi Rohingya dalam media jurnalisme online detik.com
yang berjudul UNHCR Soal Pengungsi Rohingya di RI:
Selamatkan Mereka yang Utama!.Teknik analisis data dalam

95
penelitian ini adalah mengidentifikasi posisi subjek dan objek
penceritaan dalam berita tersebut. Setelah teridentifikasi, peneliti
menginterpretasi hasil identifikasi tersebut untuk menguak
makna dibalik posisi subjek dan objek penceritaan tersebut.
Kemudian, dari hasil interpretasi tersebut dapat dilihat posisi
penulis yang menggiring posisi pembaca untuk mengikuti ke
arah penceritaan subjek atau penceritaan objek dalam berita
tersebut.

Analisis Wacana
Dalam bukunya Sara Mills, dia mengutip Foucault bahwa
apa yang pembaca interpretasi dari sebuah objek atau peristiwa
bergantung dari struktur diskusif apa yang dimunculkan kepada
mereka, “...what we perceive to be significant and how we
interpret objects and events and set them within systems of
meaning is dependent on discursive structures....Discourses
structures our sense of reality (1997:51).”Hal tersebut berlaku
juga pada berita yang ada di media massa. Pembaca dengan
mudah dapat diarahkan dan digiring perhatian pada sebuah teks
berita sesuai dengan keinginan dari subjek pencerita pada berita
tersebut dan penulis berita tersebut. Selain itu, wacana dapat
menyebabkan pandangan para pembaca menjadi dangkal pada
sebuah objek atau peristiwa mengingat adanya usaha untuk
membatasi persepsi dan interpretasi dari para pembaca kepada
fakta yang sesungguhnya yang ada di balik sebuah berita
96
sehingga dirasa perlu untuk mengalihkan perhatian pembaca.
Dengan kata lain dapat dilihat bahwa sebuah wacana sangat
berkaitan erat dengan kekuasaan, otoritas, dan legitimasi. Hal
tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
Discourse causes a narrowing of one’s field
vision, to exclude a wide range of phenomena
from being considered as real or as worthy of
attention, or as even existing; thus, delimiting a
field is the first stage in establishing a set of
discursive practices. Then, in order for a
discourse or an object to be activated, to be called
in existence, the knower has to establish a right
for him/herself to speak. Thus, entry into
discourse is seen to be inextricably linked to
question of authority and legitimasi (Mills,
1997:51).

Lebih dari itu, Mills juga menekankan pentingnya kuasa


atau power dalam membentuk atau mengarahkan bahkan
membatasi perilaku seseorang dalam hal ini pembaca, “power is
dispersed throughout social relations, that is produces possible
forms of behavior as well as restricting behavior (Mills, 1997:20).
Hal tersebut dapat jelas terlihat dalam berita di dalam media. Di
sini, media tidak hanya memberikan sebuah informasi kepada
pembaca tetapi media membentuk perilaku para pembaca berita
dari media tersebut dan memandu dasar pemikiran ideologis
pembaca seperti yang dikatakan oleh Reath, “Media are not
simply vehicles for delivering information, they guide the
ideological stance of the reader. They are reproducing attitudes
97
(1998:50).” Di dalam media biasanya menampilkan tokoh-tokoh
yang memiliki pengaruh dan kuasa. Tokoh-tokoh tersebut
menjadi subjek untuk kemudian melancarakan tujuan dari media
dalam mengarahkan, membatasi, dan membentuk perspektif,
interpretasi, dan perilaku pembaca melalui pemilihan kata-kata
dari bahasa yang mereka gunakan. Sehingga dapat dikatakan
bahwa bahasa dalam media tidaklah netral dan murni namun
penuh dengan tendensi-tendesi tertentu dan justifikasi-justifikasi,
“the world of press is not the real world but a world skewed and
judged (Fowler, 1991).”
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa Sara Mills
menenkankan analisis wacana pada posisi subjek-objek. Dia
melihat bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan, atau
peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana berita
yang mempengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh khalayak.
Seorang aktor yang mempunyai posisi tinggi ditampilkan dalam
teks, ia akan mempengaruhi bagaimana dirinya ditampilkan dan
bagaimana pihak lain ditampilkan.
Wacana media bukanlah sara yang netral, tetapi
cenderung menampilkan aktor tertentu sebagai subjek yang
mendefinisikan peristiwa atau kelompok tertentu. Setiap aktor
pada dasarnya mempunyai kemungkinan menjadi subjek atas
dirinya sendiri, menceritakan dirinya sendiri, dan mempunyai
kemungkinan atas penggambaran dunia menurut persepsi dan

98
pendapatnya. Namun kenyataannya tidak begitu. Ada pihak
yang bisa berposisi sebagai subjek, menceritakan dirinya sendiri,
tetapi ada pihak hanya sebagai objek, ia bukan hanya tidak bisa
menampilkan dirinya dalam teks berita, tetapi juga kehadiran dan
representasi mereka dihadirkan dan ditampilkan oleh aktor lain
(Eriyanto, 2006). Hal tersebut dirasa penting bagi Sara Mills
mengingat posisi-posisi tersebut pada akhirnya menentukan
bentuk teks yang hadir di masyarakat.
Kemudian, Sara Mills juga menekankan bagaimana posisi
pembaca ditampilkan dalam teks. Teks adalah suatu hasil
negoisasi antara penulis dan pembaca. Pembaca di sini tidaklah
dianggap semata sebagai pihak yang hanya menerima teks,
tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat
dalam teks. Sehingga posisi pembaca dilihat dengan cara
bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks, bagaimana
pembaca memposisikan dirinya dalam teks yang ditampilkan,
dan kepada kelompok manakah pembaca mengidentifikasi
dirinya (Eriyanto, 2006).
Penelitian analisis wacana yang menggunakan Sara Mills
pada media cetak. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh
Ammalia Agustya Rachmawati dengan judul Wacana Peran
Perempuan dalam Kolom Story Rubrik For Her Surat Kabar
Jawa Pos. Dalam penelitian tersebut, peneliti mengkaji peran
perempuan yang ditonjolkan dalam wilayah domestik daripada

99
wilayah publik pada kolom Story Rubrik For Her surat kabar
Jawa Pos. Dalam kolom Story tersebut belum bisa menampilkan
peran yang seimbang dari perempuan di kedua wilayah.
Kedua, penelitian oleh Candra Putra Mantovani dengan
judul Konstruksi Perempuan di dalam Majalah Male. Temuan
dari penelitian tersebut adalah wacana yang ada di dalam
majalah tersebut ditulis dari perspektif laki-laki sehingga
perempuan diposisikan sebagai objek dan memunculkan
adanya bias gender. Kemudian, temuan yang kedua adalah
akses perempuan dalam majalah tersebut sangatlah minim
sehingga perempuan tidak diberi keleluasaan dalam
mendefinisikan peran sosialnya dalam masyarakat. Terakhir,
perempuan sebagai objek menjadi bahan komoditas untuk
menarik minat pembaca. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh
Yuniar Nur Heryantie dengan judul Perempuan Korban
Kekerasan dalam Konstruksi Teks Berita Kekerasan pada Surat
Kabar Pos Kota, Indo Pos, Warta Kota, dan Berita Kota. Temuan
dari penelitian tersebut adalah teks-teks berita kekerasan
terhadap perempuan telah memposisikan perempuan (korban)
sebagai objek penceritaan, selalu dipandang dan
direpresentasikan secara buruk, laki-laki sebagai pelaku
kekerasan dihadirkan dan ditampilkan sebagai subjek atau
pencerita.
Dilihat dari ketiga penelitian di atas, semuanya mengkaji

100
bagaimana perempuan dimunculkan di media cetak. Hal
tersebut dapat dipahami mengingat Sara Mills dalam bukunya
yang berjudul Discourse memberikan penjelasan mengenai
wacana dengan pendekatan Feminisme dimana temuannya
kurang lebih menempatkan perempuan sebagai objek
penceritaan dalam sebuah wacana. Namun, hal tersebut tidak
berarti penelitian analisis wacana yang menggunakan analisis-
teks Sara Mills tidak dapat mengkaji objek selain perempuan.
Sara Mills yang menekankan posisi subjek-objek dapat
dilakukan untuk menganalisis wacana apapun dalam media
massa bahkan dalam karya sastra. Hal tersebut lah yang coba
dilakukan oleh peneliti yang mengkaji berita yang ada di media
jurnalisme online mengenai Indonesia sebagai penampung
pengungsi Rohingya.

Posisi Subjek-Objek
Pada iklan dengan headline UNHCR Soal Pengungsi
Rohingya di RI: Selamatkan Mereka yang Utama! yang dimuat
oleh media jurnalisme online detik.com memberitakan
perwakilan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Thomas
Vegas, bersuara mengenai pengungsi Rohingya di Indonesia.
Dalam berita tersebut, Thomas Vegas memberikan apresiasi
atas kesediaan Indonesia untuk menampung para pengungsi:
Saya berterima kasih atas respons baik dari
pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk
101
membantu kebutuhan kemanusiaan dan setuju
kebijakan pemerintah untuk saling bertanggung
jawab.

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa posisi subjek dari


berita tersebut adalah Thomas Vegas. Hal tersebut
mengimplikasikan bahwa Indonesia yang menampung para
pengungsi Rohingya harus dideklarasikan dahulu kontribusinya
oleh Thomas Vegas agar dunia tahu bahwa Indonesia memiliki
rasa solidaritas terhadap sesama muslim yang tertimpa
musibah. Dengan kata lain, Indonesia tidak memiliki kuasa
sendiri untuk mendefinisikan dirinya sebagai penampung dan
perawat para pengungsi Rohingya yang berjumlah tidak sedikit
sehingga membutuhkan bantuan dari orang lain yang memiliki
kuasa dan posisi terpandang di dunia yaitu perwakilan dari PBB.
Sehingga tanpa adanya apresiasi darinya, maka kontribusi
Indonesia dalam menampung dan merawat pengungsi Rohingya
dianggap tidak ada. Selain itu, apreasiasi dari Thomas Vegas
atas bantuan yang Indonesia berikan terkesan sebagai apresiasi
dari seluruh penjuru dunia atas kontribusi Indonesia sehingga
cukup Thomas Vegas saja yang mengucapkan tanpa harus
adanya apreasiasi dari pihak atau negara lain. Dalam berita
tersebut, Indonesia menjadi objek dari subjek pencerita, Thomas
Vegas, atas peristiwa pengungsian massal tersebut yang mana
Indonesia sendirilah yang seharusnya menjadi subjek atas

102
musibah kemanusiaan tersebut.
Selanjutnya, berita yang dimuat pada tanggal 20 Mei 2015
tersebut diceritakan dari sudut pandang Thomas Vegas,
sehingga alur pemberitaan tersebut dikontrol olehnya. Hal
tersebut dapat dilihat dalam ucapan-ucapannya berikut ini:
Tiap negara yang berkaitan harus bisa membantu
kembali menyatukan mereka ke keluarganya. Di
sini banyak anak-anak dan perempuan, penting
untuk menyatukan mereka pada keluarganya. Ini
penting dilakukan dan ini kami harapkan dilihat
dunia internasional serta bisa ditangani
secepatnya.

Dengan melihat kutipan di atas, Thomas Vegas


memberikan penekanan pada kalimat yang diucapkannya
dengan menggunakan kata “harus” dan “penting” yang
mengindikasikan bahwa dia yang memegang kontrol atas apa
yang harus dilakukan oleh Indonesia yang menampung
sementara pengungsi Rohingya. Hal tersebut menyiratkan
bahwa seolah-olah Indonesia tidak tahu apa yang harus
dilakukan sehingga harus diberi penekanan mana hal yang
prioritas untuk dilakukan dan mana yang bukan. Kenyataan
bahwa Indonesia yang menampung pengungsi Rohingya tidak
menjadikan Indonesia menjadi pusat pemberitaan di sini bahkan
terkesan termarjinalkan karena yang menjadi pusat pemberitaan
adalah Thomas Vegas dan PBB. Indonesia tidak berbicara
mengenai dirinya sendiri sebagai penampung pengungsi
103
Rohingya, sebagai negara yang mempunyai rasa solidaritas
yang tinggi kepada sesama umat muslim di dunia yang
membutuhkan pertolongan, dan tindakan-tindakan apa yang
telah dilakukan selama menampung pengungsi Rohingya.
Bahkan dalam pemberitaan tesebut Indonesia tidak hadir karena
dia menyebut “tiap negara yang berkaitan” bukannya menyebut
Indonesia, kehadirannya hanya muncul sekilas melalui mulut
Thomas Vegas yang menempatkan Indonesia ke dalam posisi
yang tidak penting.
Dengan mengatakan “kami harap dilihat dunia
internasional serta bisa ditangani secepatnya” mengindikasikan
kuasa dan pengaruh besar terhadap dunia internasional yang
dipegang oleh Thomas Vegas sehingga himbauannya akan
didengar dan dilakukan oleh negara-negara di dunia. Hal
tersebut akan berbeda jika perwakilan dari Indonesia yang
berbicara seperti itu atau dengan memunculkan apa yang sudah
kontribusi apa saja yang telah dilakukan oleh Indonesia sebagai
contoh untuk dunia internasional dalam menangani masalah
tersebut. Dengan kata lain, hal tersebut juga menyiratkan bahwa
Indonesia tidak memiliki kuasa dan pengaruh yang cukup besar
untuk menghimbau negara-negara lain dalam menangani
masalah tersebut bersama-sama sehingga Indonesia
membutuhkan sosok Thomas Vegas untuk melakukannya.
Selain itu, dalam berita tersebut disebutkan:

104
Vegas menegaskan, yang terpenting
menyelamatkan seluruh pengungsi Rohingya,
membantu yang butuh bantuan, dan
menyediakan sebuah solusi konkret...Lalu,
bagaimana pemerintah negara-negara terkait
berbagi tanggung jawab untuk merawat mereka.

Thomas Vegas di sini menjadi aktor atau subjek karena


pemberitaan diutarakan melalui sudut pandangnya. Di sini
Thomas Vegas mempunyai kesempatan penuh untuk
menampilkan dirinya dan menyuarakan gagasannya atas apa
saja yang harus dilakukan untuk ditampilkan ke penjuru dunia.
Sebaliknya, Indonesia tidak mempunyai kesempatan yang sama
seperti Thomas Vegas dalam menyuarakan gagasannya
meskipun Indonesia lah yang menangani secara langsung dan
mengetahui pasti kondisi sesungguhnya pengungsi Rohingya
dan apa saja yang dibutuhkan oleh mereka sehingga di sini
posisi Indonesia adalah objek yang termarjinalkan.
Thomas Vegas merasa perlu untuk mendisiplinkan dan
mengajari negara-negara lain khususnya Indonesia mengingat
dia mengatakan hal tersebut saat berada di Indonesia. Lebih dari
itu, dengan menegaskan hal tersebut, Thomas Vegas
menunjukkan bahwa dia yang mewakili PBB yang bermarkas di
Amerika Serikat memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi
sehingga apabila ada negara lain yang melakukan bantuan
kemanusiaan seperti yang telah dilakukan oleh Indonesia,
negara tersebut perlu diarahkan bahkan diberi apresiasi atas
105
bantuan yang telah diberikan.
Dengan kata lain, hal tersebut menyiratkan bahwa negara
berkembang seperti Indonesia memiliki rasa kemanusiaan yang
begitu rendah terhadap sesama manusia sehingga penegasan
dan apresiasi dirasa perlu untuk dilakukan oleh orang luar yang
dalam hal ini adalah Thomas Vegas agar memacu negara
berkembang, khususnya Indonesia, untuk meningkatkan rasa
kemanusiaan terhadap sesama. Walaupun dalam beberapa
kasus lain, Indonesia sudah cukup tanggap dalam membantu
negara lain khususnya umat muslim yang tertimpa musibah
kemanusiaan.
Selain itu, berita tersebut menunjukkan superioritas dari
PBB yang dapat dilihat dari ucapan Thomas Vegas berikut ini:
Kami akan bekerja secara intensif dengan
pemerintah, UNHCR, IOM, dan semua negara
yang terkait dengan masalah ini, untuk siap siaga
dan membantu apa yang bisa diberikan dalam
konteks kemanusiaan.

Dari kutipan di atas, Thomas Vegas menunjukkan sisi


superioritas dengan menyebutkan badan-badan dalam PBB,
UNCHR dan IOM, namun tidak menyebutkan Indonesia dengan
lugas dan memilih untuk menyebut dengan sebutan “negara
terkait”walaupun dia sedang diwawancarai di Istana Wapres,
Jakarta. Hal tersebut menyiratkan bahwa PBB lah yang menjadi
subjek baik dalam berita tersebut maupun dalam penanganan

106
pengungsi Rohingya. Lebih dari itu, hal tersebut juga
mengindikasikan bahwa orang luar atau PBB merasa harus
untuk ikut campur dan turun tangan atas apapun yang terjadi
pada setiap negara yang ada di dunia yang mengakibatkan
berita tersebut semakin menonjolkan sisi superioritas serta
bahwa dia lah subjek yang sesungguhnya. Hal tersebut juga
berarti bahwa masalah tersebut tidak dapat terselesaikan jika dia
tidak turun tangan sehingga terkesan bahwa negara lain harus
bergantung kepadanya.
Hal itu diperjelas pada kalimat berikut ini, “Menurut Vegas,
UNHCR membantu mencari solusi terbaik untuk pengungsi
Rohingya. UNHCR akan siap membantu pemerintah Indonesia.”
Dari kalimat tersebut dapat dilihat bahwa Indonesia masih tetap
harus bergantung kepada UNHCR karena dia lah yang
mempunyai solusi terbaik bagi permasalahan yang dialami oleh
pengungsi Rohingya. Indonesia masih butuh bantuan dari
UNHCR dalam mencari solusi.

Posisi Penulis-Pembaca
Posisi subjek dalam pemberitaan menentukan
bagaimana teks hadir kepada pembaca. Seperti yang telah
dijelaskan di atas, posisi subjek berada di tangan Thomas Vegas
dan sebaliknya posisi objek berada di tangan Indonesia. Thomas
Vegas yang sangat mendominasi mengakibatkan posisi
pembaca diposisikan pada pihak Thomas Vegas. Pembacaan
107
dominan atas teks tersebut yang dilakukan oleh pembaca lebih
kepada bagaimana pembaca bersimpati kepada Thomas Vegas
atas perhatian yang dia berikan kepada Indonesia dan para
pengungsi Rohingya dengan cara datang langsung ke Indonesia
bersama dengan didampingi oleh Deputi Kepala IOM
(International Organization Migration) yang bernama Steve
Hamilton.
Penekanan dan penegasan yang dilakukan oleh Thomas
Vegas atas pentingnya menyelamatkan para pengungsi dan
memberikan bantuan kemanusiaan mengarahkan pembaca
pada kesan yang baik kepadanya. Pembaca digiring oleh penulis
berita dan subjek untuk melihat besarnya andil, kontribusi, dan
usaha PBB dalam memberikan bantuan kemanusiaan serta
solusi atas masalah yang menimpa pengungsi Rohingya.
Pembaca di sini dibuat lupa, dengan cara Thomas Vegas
menyebutkan negara terkait, bahwa Indonesia lah yang telah
berkontribusi dalam penyelamatan dan penampungan
sementara para pengungsi Rohingya yang sudah tentu
memakan biaya yang tidak sedikit dan bahwa Indonesia, sebagai
penduduk dengan mayoritas beragama Islam, memiliki
solidaritas yang tinggi terhadap sesama umat muslim yang
kesusahan. Pembaca juga dibuat terpana oleh sisi superioritas.
Singkatnya, penyajian berita yang disajikan oleh para penulis
berita memiliki pengaruh besar ke dalam benak pembaca dan

108
mengikuti sudut pandang subjek dalam berita tersebut.

Kesimpulan
Berita yang dimuat oleh media online detik.com dengan
headline UNHCR Soal Pengungsi Rohingya di RI: Selamatkan
Mereka yang Utama! tersebut menjadikan Thomas Vegas subjek
dan Indonesia sebagai objek dalam berita tersebut yang
berimplikasi kepada alur pemberitaan dari sudut pandang si
subjek. Hal tersebut mengakibatkan posisi Indonesia yang
termarjinalkan dan tidak kentara. Penulis berita yang
menceritakan berita dari sudut pandang subjek menggiring
pembaca untuk mengfokuskan perhatian mereka kepada si
subjek meskipun berita tersebut sebenarnya ingin menunjukkan
wacana mengenai kontribusi dari Indonesia atas penampungan
dan perawatan para pengungsi Rohingya serta menunjukkan
rasa solidaritas yang dimiliki oleh Indonesia kepada sesama
umat muslim. Dalam berita tersebut, wacana tersebut dialihkan
kepada sisi superiotas dari subjek dengan cara penegasan dan
penekanan yang dilakukan oleh subjek atas perhatian yang dia
berikan dan atas apa yang harus dilakukan oleh negara lain
dalam menangani penumpang Rohingya yang berimbas pada
para pembaca dalam melihat berita tersebut.

Daftar Pustaka
Eriyanto. (2006). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks

109
Media. Yogyakarta: LKIS.
Fowler, R. (1991). Language in the News: Discourse and
Ideology in the Press. New York: Routledge.
Mills, Sara. (1997). Discourse. New York: Routledge.
Reath, D. (1998). The Language of Newspaper. USA: Routledge.
Taufiqqurahman, M. (2015). UNHCR Soal Pengungsi Rohingya
di RI: Selamatkan Mereka yang Utama!. Detik News.
[Online] Available from
http://m.detik.com/2015/05/20/unhcr-soal- pengungsi-
rohingya-di-ri. [Accessed on 7 June, 2015]

*) Mahasiswa Magister Ilmu Budaya Universitas Airlangga

110
PESANTREN DAN PENYIARAN KOMUNITAS
(Prinsip dan Praktek Radio Komunitas Suara Tebuireng
Jombang)

Ahmad Riyadi*

Pendahuluan

Keberadaan pesantren tidak terlepas dari peran Kyai,


Santri, Pondok, Masjid dan Kitab-kitab Islam. Keberlangsungan
peran tersebut, menjadikan pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam dan wadah gerakan dakwah. Namun sebagai
wadah gerakan dakwah, pesantren kurang memanfaatkan
teknologi informasi, salah satunya radio. Padahal radio
merupakan media yang fleksibel, relatif murah, jangkau luas,
bisa didengar sewaktu-waktu, lebih personal, dan banyak
dikonsumsi oleh kalangan masyarakat bawah sampai atas. Hal
berbeda dilakukan oleh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang
dengan memanfaatkan teknologi informasi, yaitu Radio
Komunitas Suara Tebuireng Jombang (Rakom ST). Radio ini
dijadikan media komunikasi pesantren, dalam menyebarkan
informasi dan keilmuan pesantren. Dengan menggunakan radio
komunitas, maka Rakom ST ini dipayungi oleh legalitas
pemerintah dengan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Berangkat dari dinamika diatas, rumusan permasalahan
dari tulisan ini adalah 1) Bagaimana Pesantren salaf-modern

111
Tebuireng menggunakan penyiaran komunitas sebagai media
komunikasi pesantren?; 2) Isu-isu apa yang menjadi wacana
yang disiarkan oleh radio komunitas Suara Tebuireng?; dan 3)
Bagaimana tanggapan Kyai dan Santri terhadap keberadaan
radio komunitas Suara Tebuireng?. Dari rumusan penelitian ini,
tujuan penelitian ini untuk; 1) Menjelaskan tentang penggunaan
penyiaran komunitas yang ada di pondok pesantren salaf-
modern Tebuireng; 2) Mengetahui isu-isu atau wacana yang
disiarkan oleh radio komunitas Suara Tebuireng; dan 3)
Menjelaskan tentang tanggapan kyai dan santri terhadap
keberadaan terhadap keberadaan radio komunitas Suara
Tebuireng.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif dengan metode studi kasus. Pengumpulan data
dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan
dokumentasi. Dari seluruh data yang ditemukan, akan
dikelompokkan dan dikaji untuk mengetahui prinsip dan praktek
yang dilakukan oleh radio Komunitas Suara Tebuireng dalam
proses penyiaran yang dilakukan.

Pondok Pesantren di Jawa


Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan dakwah
Islam cukup lama dikenal masyarakat Indonesia, khususnya di
Jawa ketika pertama kali diperkenalkan oleh Syeikh Maulana

112
Malik Ibrahim pada awal abad 15. Beberapa peneliti pesantren
sepakat bahwa untuk memahami pesantren, setidaknya terdapat
5 (lima) elemen penting yang harus ada di pesantren yaitu Kyai,
Santri, Pondok, Masjid dan Kitab-kitab Islam (Dhofier, 1994; dan
Arifin, 1993).
Pertama pondok sebagai asrama santri (siswa). Atjen
(1957) menyatakan bahwa pondok merupakan tempat
berkumpul para santri di penginapan atau asrama dimana
mereka mendapatkan pelajaran-pelajaran agama dan
bimbingan dari seorang kyai. Di Indonesia, khususnya di Jawa,
lebih tepat dimaknai dengan pemondokan dalam lingkungan
padepokan, yaitu perumahan sederhana yang dipetak-petak
dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama bagi santri
(Natsir, 2005: 80).
Kedua adalah Masjid. Masjid berperan penting dalam
keberadaan pesantren karena masjid biasanya lebih dahulu di
bangun ketimbang pondok. Dhofier (1994) menyatakan bahwa
seorang kyai akan mengembangkan pendidikan Islam melalui
pesantren akan mengawalinya dengan membangun masjid di
dekat rumahnya. Ketiga, kitab-kitab Islam klasik. Kitab-kitab
Islam klasik merupakan sarana kyai untuk mengkader santri-
santrinya agar dapat meneruskan perjuangannya melestarikan
faham-faham Islam tradisional. Istilah lain dari kitab-kitab Islam
klasik yaitu kitab-kitab kuning, karena dicetak dengan kertas

113
warna kuning yang dibawa dari Timur Tengah pada awal abad
20 dan berbahasa arab tanpa sykal (vokal) - sehingga disebut
kitab Gundul; untuk membedakan diri kelompok tradisionalis
yang berafiliasi dengan Nahdatul Ulama dengan kelompok
Modernis (Muhammadiyah) yang menggunakan kitab ‘putih’ dan
berbahasa latin (Bruinessen, 1995).
Sedangkan keempat adalah santri sebagai peserta didik.
Arifin (1993) membagi santri menjadi 5 (lima) kelompok yaitu (1)
Santri Mukim (santri yang berasal dari daerah jauh dan menetap
serta mengajari santri-santri muda sehingga mereka dapat
perhatian lebih dari kyai), (2) Santri Kalong (murid-murid yang
berasal dari desa sekitar pesantren dan tidak menetap di dalam
pesantren), (3) Santri Alumnus (santri yang sudah tidak aktif
dalam kegaitan pesantren tetapi masih sering datang acara-
acara insitentil pesantren dan menunjukkan komitemen terhadap
pesantren), (4) Santri Luar (santri yang tidak terdaftar di
pesantren dan tidak mengikuti kegiatan rutin di pesantren tetapi
memiliki hubungan batin yang kuat dan dekat dengan kyai.
Kadang mengikuti pengajian dari kyai dan memberikan
sumbangan partisipatif ketika pesantren membutuhkan) dan (5)
Santri Kelana (santri yang menuntut ilmu dari pesantren satu
kepesantren lainnya secara berpindah-pindah).
Elemen terakhir adalah kyai sebagai pemimpin serta
pengajar di pesantren. Biasanya, dalam diri kyai menyatu

114
kemampuan sebagai perancang (designer), pendiri dan
pengembang (developer), dan sekaligus seorang pemimpin dan
pengelola (leader and menager) pesantren (Fauzi, 2004).
Dari kelima elemen diatas, Keberadaan pesantren ini
memiliki kekhas-an yang positif sebagai lembaga pendidikan dan
lembaga dakwah bagi semua kelima elemen di atas. Kekhas-an
ini harusnya bisa dioptimalkan oleh pesantren dengan
memanfaatkan teknologi media massa.
Memang selama ini, pesantren di Indonesia (khususnya:
di Jawa) lebih menekankan metode sorogan. Metode sorongan
merupakan suatu metode yang ditempuh dengan cara guru
menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual.
Metode ini digunakan pada aktivitas membaca kitab, yang
diterjemahkan kata demi kata dan diterangkan maksud dari kata-
kata tersebut. Mulanya pembaca kitab adalah kyai, lalu ketika
santrinya paham, maka setiap santri disuruh mengulangi seperti
yang dilakukan kyai.
Pemanfaatan teknologi media massa ini bisa menjadikan
Pesantren mengoptimalkan perannya sebagai lembaga dakwah.
Media yang bisa digunakan tergantung dari Pesantren tersebut.
Salah satu media massa yang dapat digunakan adalah Radio
(Anwari, 2013).

Radio Komunitas dan Prinsipnya

115
Istilah radio komunitas atau community radio baru populer
di Indonesia paska lengsernya orde baru pada tahun 1998 dan
mencapai klimaks ketika terjadi perdebatan perlunya revisi UU
No. 24/1997 tentang Penyiaran. Sebenarnya istilah komunitas
disini sebagai alternatif pilihan penyebutan untuk radio yang
berbasis sangat loka dan non-profit, seperti radio alternatif, radio
pendidikan, radio swadaya dan radio komunitas.
Dalam radio komunitas, yang ditekankan adalah
partisipasi aktif dari komunitas tersebut yang heterongen dalam
hal umur, pendidikan, pekerjaan dan strata ekonomi. Partisipasi
disini merupakan prinsip dasar pengelolaan radio komunitas,
agar tidak terjadi dikte-dikte pribadi, pengelola baik dalam hal
upaya pertimbangan yang melibatkan semua pihak terutama
dalam memilih isi siaran yang harus disampaikan. Dengan
metode siaran interatif, pendengar bersemangat menyimak
siaran, penyiar merasa mendapatkan penghargaan dan stasiun
radio pun menjadi radio komunitas dalam makna yang
sesungguhnya (Fraser, 2001).
Menurut Tabing (dalam Pandjaitan, 2000: 34), radio
komunitas adalah suatu stasiun radio yang dioperasikan disuatu
lingkungan, wilayah atau daerah tertentu yang diperuntukkan
khusus bagi warga setempat, berisi acara dengan ciri utama
informasi daerah setempat (local content), diolah dan dikelola
warga setempat. Wilayah yang dimaksud didasari atas faktor

116
geografis (kategori teritori kota, desa, wilayah kepulauan) bisa
juga didasarkan pada kumpulan masyarakat tertentu yang
bertujuan sama dan karenaya tidak harus tinggal disuatu
geografis tertentu. Jadi filosofi dasar dari radio komunitas dapat
dirumuskan sebagai masyarakat berbicara kepada masyarakat.
Dalam pendirian radio komunitas, urgensinya harus
mengacu pada 2 (dua) aspek yaitu 1) jaminan keberadaan
komunitas secara permanen dilingkup batas geografis tertentu
yang bersedia aktif dalam mengelola radio, 2) peluang partisipasi
tiap individu di komunitas secara setara baik dalam pemilikan,
produksi siaran maupun selaku pihak pendengar yang harus
terlayani hak dan kepentingannya. Semakin keil cakupan
geografis radio semakin banyak individu yang terlayani sebagai
subyek siaran, covering isu-isu lokal merata. Radio yang luas
cakupan siarannya akan cenderung elitis dan makin sulit
dikontrol oleh tiap individu pendengar.
Tabing (1998) juga merumuskan 5 (lima) karakteristik
radio komunitas dalam konteks sosial yaitu: 1) ia berskala lokal,
terbatas pada komunitas tertentu; 2) ia bersifat partisipatif atau
memberi kesempatan setiap inisiatif anggota komunitas tumbuh
dan tampil setara sejak proses perumusan acara, manajerial
hingga pemilikan; 3) teknologi siaran sesuai dengan kemampuan
ekonomi komunitas bukan tergantung pada bantua alat pihak
luar; 4) ia dimotivasi oleh cita-cita tentang kebaikan bersama

117
dalam komunitas bukan mencapai tujuan komersial; dan 5)
selain mempromosikan masalah-masalah krusial bersama,
dalam proses siaran radio komunitas harus mendorong
keterlibatan aktif komunitas dalam proses mencari solusinya.
Terkait dengan karakteristik ini, pendirian radio komunitas
memperhatikan empat aspek yaitu 1) dekat dengan pusat
komunitas, pusat komunitas adalah pusat kegiatan dan
berkumpulnya komunitas secara rutin, misalnya kantor
kelurahan atau lapangan terbuka; 2) kemudahan akses
komunitas, secara teknologi transportasi, kualitas fisik jalan,
lokasi radio mudah dicapai komunitas, dari yang bermobil hingga
yang berjalan kaki; 3) aman dari aksi kriminal, bangunan yang
dirancang harus bebas dari potensi aksi pencurian, vandalisme
dan sebagainya; dan 4) memenuhi standar kualitas audio, lokasi
yang dipilih secara geografis bebas dari problem yang
menghambat maksimalisasi pancaran audio (Isnah, 2014:15).
Didalam UU No. 32 tahun 2002 tersebut, ada 3 (tiga)
tipologi radio di Indonesia, yaitu 1) radio siaran publik, 2) radio
siaran komersial dan 3) radio siaran komunitas. Dan istilah radio
komunitas muncul ketika akan dimulainya revisi UU Nomor
24/1997 tentang penyiaran. Dasar rasionalitas dari radio
komunitas tersebut yaitu keyakinan bahwa radio komunitas akan
mengukuhkan frekuensi sebagai ranah publik (public domain)
bagi semua orang dan akan menghapus monopoli penggunaan

118
frekuensi yang selama ini dikelola oleh radio swasta dan
pemerintah. Alasan berikutnya yaitu radio komunitas tersebut
dioperasikan oleh, dari, dan untuk komunitas tersebut, yang
berdampak terhadap pulihnya persepsi buruk radio di era orde
baru yang identik sebagai alat propaganda penguasa.
Menurut Masduki (2005: 27), perbedaan radio komunitas
dengan radio publik, lebih pada sempit dan luasnya sasaran
komunitas secara geografis. Dan pula, secara badan hukum
yang berbeda, yang mana radio komunitas dimiliki, didanai dan
dikelola oleh komunitas tersebutkan. Adapun radio publik didanai
secara resmi oleh negara. Radio komunitas dibedakan dengan
radio publik karena (1) radio komunitas melayani komunitas yang
secara geografis terbatas, sementara radio publik melayani
kepentingan yang secara geografis melingkupi seluruh nasional,
(2) kepemilikan, dana dan pengelola radio komunitas dilakukan
sendiri, sedangkan radio publik memperoleh dukungan formal
dari negara dalam bentuk anggaran rutin. Sedangkan Radio
komunitas dibedakan dengan radio komersial karena (1)
segenap olah siaran radio komunitas tidak untuk mencari
keuntungan komersial sebagaimana radio komersial, (2) radio
komunitas muncul dari komunitas karena kebutuhan setempat,
sedangkan radio komersial dapat didirikan oleh individu yang
mampu secara finansial sebagai bentuk usaha yang sah.

119
Adapun prinsip dalam mengoperasikan penyiaran, radio
komunitas harus mempunyai “dari, oleh, untuk dan tentang
komunitas”. Hal ini sesuai dengan UU No. 32/2002 tentang
penyiaran. Dalam UU tersebut, radio komunitas harus didirikan
oleh komunitas, dari kontribusi komunitas, untuk kepentingan
komunitas, tentang komunitas yang nonpartisan dan menjadi
milik dari komunitas tersebut.
Selain itu, Berrigan (dalam Howley, 2010: 16) bahwa
karakteristik media komunitas dititikberatkan kepada dua prinsip
utama yaitu akses dan partisipasi:
Akses terkait dengan ketersediaan alat dan sumber
komunikasi unuk anggota komunitas lokal. Dalam tataran
praktis, ini berarti bahwa anggota masyarakat memiliki
platfom untuk berbagi macam ekspresi diri, baik individu
maupun kolektif, mulai dari berita dan opini hingga hiburan
dan pendidikan. Partisipasi mengacu pada keterlibatan
masyarakat dalam proses produksi, serta pelaksaaan
sehari-hari dan pengawasan dari organisasi media. Disini,
partisipasi berkaitan dengan gagasan pengaturan mandiri.

Sepaham dengan Howley, Fraser dan Estrada (2001: 15)


menyebutkan bahwa fokus utama radio komunitas adalah
membuat audiensnya menjadi aktor utama, dengan keterlibatan
mereka dalam aspek, mulai manajemen sampai produksi
program. Prinsip akses dan partisipasi, menurut Fraser dan
Estrada (2001: 16) bermakna bahwa, Pola penyiaran komunitas
menjangkau setiap anggota komunitas yang ia layani, komunitas

120
berpartisipasi dalam membuat perencanaan dan kebijakan dair
pelayanan penyiaran radio dan menentukan tujuan, prinsip-
prinsip manajemen dan programming radio, komunitas bebas
untuk berkomentar dan mengkritik, ada interaksi berkelanjutan
antara produsen dan penerima pesan, artinya radio sendiri
berfungsi sebagai saluran utama untuk interaksi tersebut tetapi
ada juga mekanisme yang mempermudah hubungan antara
komunitas, produser acara dan manajemen dari stasiun radio,
ada kesempatan yang seluas-luasnya bagi anggota komunitas
baik sebagai individu maupun kelompok, untuk memproduksi
program dan dibantu oleh staf stasiun radio, menggunakan
peralatan teknis yang tersedia, komunitas berpartisipasi dalam
membentuk, manajemen, administasi dan keuangan stasiun
radio.
Partisipasi adalah konsep yang penting lainnya pada
media komunitas. Menurut Fairchild (dalam Howley, 2010: 24)
sebagian besar bentuk media komunitas haruslah sepaham
dengan parisipasi mereka jika ingin bertahan hidup. Pada radio
komuitas, paritispasi tersebut bersifat sukarela. Apa yang
mengikat media dengan partisipasinya adalah berbagai
permasalahan bersma. Dengan begitu, maka radio komunitas
harus mampu menciptakan tempat bagi produksi budaya lokal.
Hal yang paling substantif, seperti diungkapkan oleh
Howley (2010: 16) adalah bagaimana cara menfasilitasi

121
komunikasi antara media dengan komunitas lokal. Masalah ini
sangat penting karena karakterisitik khas dari media komunitas
yangn tidak tersedia pada media mainstream.

Konsep Komunitas
Komunitas seringkali disinonimkan dengan kelompok
kecil, kelompok marginal dan kelompok minoritas. Kelompok-
kelompok tersebut kerapkali juga dikonotasikan sebagai
kelompok yang radikal sehingga jarang sekali menjadi wacana
yang menarik untuk didiskusikan.
Masduki (2004) mencoba merumuskan batasan
komunitas yang cukup komprehensif dalam konteks radio
komunitas. Rumusan tersebut meliputi: 1) administratif (wilayah
pemerintahan), 2) Geografis (wilayah gunung, kota, pantai dan
sebagainya), 3) demografis (karakteristik penduduk), 4)
psikografis (prefensi kegemaran, gaya hidup), 5) Sosioekonomi
(level pendidikan dan pendapatan), 6) teknologis (batasan
frekuensi, standar teknis), 7) Programatis (Isi, orientasi dan cara
kerja), dan 8) sumber daya manusia (partisipasi, keterwakilan
semua pihak) masih rumusan dari satu pihak alias belum ada
kesepakatan bersama.
Komunitas berasal dari kata community yang berarti; (1)
sekelompok orang yang hidup dalam (2) suatu wilayah tertentu
yang memiliki (3) pembagian kerja yang berfungsi khusus dan

122
saling tergantung (interdependent), serta (4) memiliki sistem
sosial budaya yang mengatur kediatan warga, (5) yang memiliki
kesadaran akan kesatuan dan perasaan memiliki, serta (6)
mampu bertindak secara kolektif dengan cara yang teratur
(Rahmawatie, 2007: 72) mengutip Horton & Hunt dalam Ram
dan Sobari (1999: 129). Dengan demikian, Sudibyo (2004: 235)
mengartikan bahwa ada 3 (tiga) pengertian tentang komunitas.
Pertama, komunitas yang terbentuk berdasarkan batasan-
batasan geografis. Kedua, komunitas berdasarkan atas
kesamaan identitas (sense of identitty). Dan ketiga, komunitas
yang terbentuk berdasarkan pada kesamaan minat, kepedulian,
dan kepentingan.
Komunitas biasanya terbentuk oleh dua hal yaitu 1)
kesamaan lokasi dan status sosial dan 2) kesadaran kolektif
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Ada dua perbedaan
proses pembentukan komunitas antara masyarakat pedesaan
dan perkotaan. Masyarakat pedesaan, faktor pembentuk dari
komunitas adalah kesamaan geografis dan ikatan kekerabatan.
Faktor ini membuat komunitas tersebut bersifat relatif stabil dan
tahan lama. Sedangkan diperkotaan, komunitas terbentuk
karena faktor profesi, jabatan, kebutuhan praktis untuk saling
menjaga keamanan dan citra diri. Hal ini membuat sifat
komunitas tersebut labil dan mudah bubar (Masduki, 2004).

123
Radio Komunitas Suara Tebuireng Jombang
Eksistensi dan peran radio komunitas sebagai alternatif
penyiaran yang populis dan jauh dari dominasi pengelola,
membuat tumbuh pesatnya radio komunitas yang ada di
Indonesia. Pada tahun 2012, Jaringan Radio Komunitas
Indonesia (JRKI) telah mengeluarkan data bahwa ada sekitar
700 stasiun radio komunitas yang tersebar di 20 provinsi di
Indonesia (Gunawan dalam Seneviratne, 2012: 58).
Sedangkan di Jawa Timur sesuai dengan data JRKI Jawa
Timur, radio komunitas yang terdaftar dalam JRKI Jawa Timur
yaitu terdiri dari 59 (lima puluh sembilan) Radio Komunitas, dari
17 (tujuh belas) Kabupaten/Kota. Adapun di Kabupaten
Jombang sendiri, sesuai dengan data JRKI Jawa Timur, Radio
Komunitas berjumlah 8 (delapan) yaitu, SBL FM, GCS FM,
TARUNA FM, MADU FM, Garuda FM, Sanjaya FM, Paradis FM
dan Suara Tebuireng FM
(http://web.jrkijatim.com/?page_id=46).
Rakom ST mengudara pada frekuensi 105,3 FM. Nama
Rakom ST ini mengalami perubahan nama, mulai dari Radio
Dakwah Hasyim Asyari (DH -sekitar tahun 1992 sampai1999),
Radio Laboratorium Dakwah Hasyim Asyari (LDH -sekitar 1999
sampai 2010) dan tahun 2011, diresmikan menjadi Radio
Komunitas Suara Tebuireng. Memang, awal berdirinya, Rakom
ST ini menjadi wadah aktualisasi mahasiswa IKAHA-Institut

124
Keislaman Hasyim Asyari), untuk laboratorium keilmuan dalam
mengasah kemampuan dan mengiplementasikan teori-teori
yang didapat di kampus.Rakom ST mengambil tangeline
“Radionya Santri: Khairunnas Anfa ‘Ahum Linnas”. Tagline ini
merupakan perwujudan dari tujuan Rakom ST yaitu mengemas
keselarasan antara dakwah dan informasi tanpa meninggalkan
fungsi radio sebagai media hiburan. Rakom ST diharapkan akan
menjadi referensi, barometer dan pandangan hidup bagi
keluarga muslim yang dinamis dan modern namun tetap
berpegang kepada nilai-nilai religius dengan toleransi tinggi.
Dengan istilah ‘Radionya Santri’, maka Rakom ST
menjadikan ‘santri’ sebagai komunitas. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KKBI), pengertian ‘Santri’ yaitu (1) orang
yang mendalami agama Islam, dan (2) orang yang beribadat
dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh. Arifin (1993)
membagi santri menjadi lima kelompok yaitu (1) Santri Mukim
(santri yang berasal dari daerah jauh dan menetap serta
mengajari santri-santri muda sehingga mereka dapat perhatian
lebih dari kyai); (2) Santri Kalong (murid-murid yang berasal dari
desa sekitar pesantren dan tidak menetap di dalam pesantren);
(3) Santri Alumnus (santri yang sudah tidak aktif dalam kegaitan
pesantren tetapi masih sering datang acara-acara insitentil
pesantren dan menunjukkan komitemen terhadap pesantren);
(4) Santri Luar (santri yang tidak terdaftar di pesantren dan tidak

125
mengikuti kegiatan rutin di pesantren tetapi memiliki hubungan
batin yang kuat dan dekat dengan kyai. Kadang mengikuti
pengajian dari kyai dan memberikan sumbangan partisipatif
ketika pesantren membutuhkan); dan (5) Santri Kelana (santri
yang menuntut ilmu dari pesantren satu kepesantren lainnya
secara berpindah-pindah).
Dan sesuai perannya sebagai radio komunitas, Rakom
ST menjembatani kebutuhan komunitas terhadap keberagaman
informasi yang sesuai dengan nilai-nilai keagamaan, dan
pelestarian budaya lokal tetapi tidak akan melibatkan diri diranah
politik. Peran tersebut diwujudkan dengan membuat program
siaran yang terdiri dari Motivasi Muslim, Wawasan Kita, Obralan
Pagi, Tilawah Siang, Ngaji Kitab, Tilawah Siang, Khazanah
Pesantren dan Tilawah Petang (http://www.suaratebuireng.com
/p/program.html?m=0).
Radio merupakan media massa yang baik digunakan oleh
pesantren. Faktor yang paling mendukung adalah segmentasi
dari pendengar (khalayak) sangat variatif. Santri yang notabene
merupakan komunitas dari Radio Komunitas Suara Tebuireng
Jombang (Rakom ST), sangat banyak. Bisa saja komunitasnya
adalah Santri Mukim, Santri Kalong, Santri Alumnus, Santri Luar
dan Santri Kelana.
Pondok pesantren Tebuireng Jombang telah
menggunakan Rakom ST sebagai media komunikasi bagi

126
pesantren. Hal ini bisa dilihat dari program siaran yang disiarkan
oleh Rakom ST. Kontens atau isi program lebih menekankan
pada nuansa religius seperti Ngaji Kitab dan Khazanah
Pesantren.
Sedangkan isu yang diwacanakan oleh Rakom ST
berbeda dengan radio swasta dan komunitas yang ada di
Jombang. Rakom ST lebih berafiliasi pada isu keselarasan
antara dakwah dan informasi tanpa meninggalkan fungsi radio
sebagai media hiburan. Ini dicetuskan untuk menjadikan Rakom
ST sebagai referensi, barometer dan pandangan hidup bagi
keluarga muslim yang dinamis, modern namun tetap berpegang
kepada nilai-nilai religius dengan toleransi tinggi.

Kesimpulan
Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan,
penulis menyimpulkan bahwa dengan menjadikannya Santri
(Mahasiswa Unhas Tebuireng Jombang) sebagai penyiar
sehingga rakom ST ini lebih dekat dengan Santri secara
langsung. Selain itu, keberadaan Kyai sebagai pengasuh
Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, masih tetap
diperhatikan dengan dimasukkannya keberadaan kyai dalam
struktur Rakom ST sebagai dewan Pengawas, maka Kyai
diharapkan pro-aktif dalam mengawasi keberadaan dari Rakom
ST.

127
Daftar Pustaka
Arifin, Imron. 1993. Kepemimpinan Kyai; Kasus Pondok
Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimasahada Press.
Anwari. 2013. Mengembangkan Radio Komunitas Pesantren.
Jurnal Komunikasi Islam, Volume 03, No. 02 Desember
2013. Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Sunan
Ampel-APDI.
Atjeh, Aboebakar. 1957. Sedjarah KH. A. Wahid Hasyim dan
Karangan Tersiar. Jakarta: Kementerian Agama R.I.
Bruinessen, Martin Van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan
Tarekat; Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung:
Penerbit Mizan.
Dofier, Zamarkhasy. 1994. Tradisi pesaantren: Studi tentang
pandangan hidup Kyai. Jakarta: LP3S.
Effendy, Rochamad. 2013. Peran Radio Komunitas dalam
Menumbuhkembangkan Civic Community, Jurnal
Komunikator, Vol 5, No. 1 Mei 2013. Jurusan Ilmu
Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Fauzi, Achamd. 2004. Kepemimpinan Kyai Dalam Upaya
Menciptakan Kemandirian Santri: Studi Kasus Pada
Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Malang:
Universitas Negeri Malang. Tesis tidak diterbitkan.

128
Fraser, Colin dan Restrepo Estrada, Sonia. 2001. Buku Panduan
Radio Komunitas. Jakarta: UNESCO Jakarta Office
Howley, K. 2010. Understanding Community Media. Califonia:
Sage.
Israh, Encik Savira. 2014. Konsumsi dan Makna Radio
Komunitas bagi Pedagang Tropodo Sidoarjo (Tesis).
Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Airlangga.
Masduki. 2004. Jurnalistik Radio: Menata Profesionalisme
Reporter dan Penyiar, Cet. III, Yogyakarta: LKiS.
-----------. 2005. Menjadi Broadcaster Profesional, Cet. II,
Yogyakarta: LKiS.
Mulyana, Deddy. 2010. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Cet.
10. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Natsir, Ridlwan. 2005. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal:
Pondok Pesantren Di Tengah Arus Perubahan.
Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Pandjaitan, Hinca IP & Cahaya DR Sinaga (ed). 2000. Prosiding
Seminar Penyiaran 2000 Aspek Regulasi & Kebijakan.
Jakarta: Media Law Department Internews Indonesia &
Pengurus Pusat Persatuan Radio Siaran Swasta
Nasional Indonesia.

Rahmawatie, Atie. 2007. Radio Komunitas: Eskalasi


Demokratisasi Komunikasi. Bandung: SImbiosa
Rekatama Media.
129
Seneviratne. 2012. Peoples’ Voices, Peoples’ Empowerment.
Singapora: AMIC.
Sudibyo, Agus. 2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran.
Yogyakarta: LKiS.
Tabing, Louie N. 1998. Programming Tips For A Community
Radio Stations. UNESCO-DANIDA Tambuli Project.
Website: www.suaratebuireng.com
Website: http://web.jrkijatim.com/
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran;

*) Mahasiswa Magister Media dan Komunikasi, Universitas


Airlangga dan penerima beasiswa KemKominfo 2014

130
RELASI GENDER DALAM FILM-FILM BERTEMA ISLAM

Ariza Qurrata A’yun*

Pendahuluan
Sejarah film Indonesia tidak pernah lepas dari hubungan
politik dengan agama, khususnya Islam di Indonesia. Karena
berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, penduduk
Indonesia 87,18 % beragama Islam, artinya pemeluk agama
Islam terbesar di dunia adalah di Indonesia. Hal tersebut
menjadikan suara golongan Islam menjadi sangat penting dalam
beragam aspek kehidupan, termasuk film.18 Namun pada masa
pemerintahan orde baru menerapkan pengawasan yang sangat
ketat terhadap isu-isu yang dapat menggoyang stabilitas
pemerintah yang ada. Agama menjadi salah satu isu yang
sangat sensitif pada saat itu. Hal-hal yang berkaitan dengan
agama salah satunya, mendapat pengawasan yang sangat ketat
dari pemerintah, termasuk yang terdapat pada film. Maka dari itu
film-film bertema agama sangat minim diproduksi dan harus
mendapatkan izin oleh departemen penerangan.

18
Garin Nugroho, dkk, Krisis dan Paradoks Film Indonesia (Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara, 2015),
hal.265.

131
Pada saat pasca reformasi menjadi momentum awal
kebangkitan perfilman Indonesia, termasuk film bernuansakan
Islam. Kesempatan dalam memanfaatkan film sebagai media
dakwah semakin terbuka luas pasca reformasi. Pasar yang
mengelola kebutuhan simbolik beragama, tumbuh seiring
dengan meluasnya pemakaian jilbab. Televisi hingga film
berebut mengelola pasar religi tersebut, maka dari itu
bermunculan tema-tema Islam dalam televisi maupun film. Para
pemeran perempuan khususnya dalam film bertema Islam
menggunakan jilbab sebagai simbol kebaikan.
Menurut Deddy Mizwar salah satu sutradara film religi di
Indonesia, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah
beragama Islam maka dari program siaran televisi harus ada
yang mencerminkan tentang nilai-nilai Islam. Tema keIslaman
dalam film merupakan bagian dari syiar dan dakwah Islam. 19
Seperti munculnya film berjudul “Kiamat Sudah Dekat” pada
2003 yang disutradarai Deddy Mizwar, yang membuka jalan bagi
sutradara lainnya turut mencoba memproduksi film-film bertema
Islam. Yang sebelumnya perfilman Indonesia dikuasai oleh film-
film non religi dengan genre drama, drama romantis, horor, dan
komedi.

19
www.dakwatuna.com, diakses pada 19 November 2015

132
Namun hingga saat ini, belum terdapat definisi yang baku
terhadap film religi itu sendiri. Anggy Umbara sebagai salah satu
sutradara film Indonesia menuturkan, belum tentu dapat
dikatakan sebagai film religi jika di dalamnya menggunakan
atribut religius, tetapi tidak menanamkan nilai-nilai agama pada
jalan ceritanya. Sedangkan sebuah film yang dalam ceritanya
terdapat nilai-nilai agama sebagai pegangan hidup walaupun
tidak menggunakan atribut yang menunjukkan identitas suatu
agama, dapat dikatakan sebagai film religi.20 Secara garis besar
dapat disimpulkan bahwa film religi adalah film yang
menampilkan simbol atau atribut agama di dalamnya dan
mencerminkan nilai-nilai agama pada jalan ceritanya.
Sebagai salah satu sutradara yang terkenal juga di
Indonesia, Hanung Bramantyo tak ketinggalan pula mencoba
membuat film-film yang bernuansakan Islam. Seperti halnya
kedua filmyang diangkat dalam penelitian ini, yaitu film
“Perempuan Berkalung Sorban” yang berlatarbelakang pondok
pesantren pada era 1990-an dan film “Hijab” yang memiliki
setting latar di kota metropolitan pada era modern seperti saat
ini.

Dua Film: Perempuan Berkalung Sorban & Hijab

20
www.muvila.com, diakses pada 19 November 2015.

133
Film “Perempuan Berkalung Sorban” menggambarkan
kehidupan dengan nuansa Islami di sebuah pondok pesantren
salafiyah di Jawa Timur yang cenderung mempraktekkan tradisi
konservatif dalam kehidupan sehari-hari, khususnya tradisi yang
harus dijalani oleh perempuan muslim. Dikisahkan seorang
perempuan berjilbab bernama Anisa yang cerdas, pemberani,
berpendirian teguh, dan kuat, hidup dan tumbuh di lingkungan
pesantren yang konservatif. Keluarganya sebagai pengelola
pondok pesantren salafiyah tersebut yang mewajibkan Anisa
patuh pada peraturan yang dibuat pesantren dan ayahnya
terutama, karena sebagai kyai yang disegani dan ditauladani di
lingkungan pesantren. Sama halnya dengan santri yang lain, jika
melanggar peraturan dan norma agama serta tradisi yang
berlaku di pesantren tersebut, maka Anisa juga wajib menerima
dan melaksanakan hukuman atau sanksi yang dijatuhkan
padanya.
Tradisi konservatif di sini maksudnya adalah segala
tindakan yang dilakukan dalam keseharian berpedoman pada Al-
qur’an dan Hadits atau sunnah Rosul SAW dan tidak
mempercayai kepada selain itu termasuk buku-buku atau
referensi umum (non agama) dan modern, karena hal itu
dianggap menyimpang. Dalam mempelajari kitab suci pun masih
secara tekstual, salah satunya yang digambarkan dalam
pesantren tersebut para santri dan warga pesantren diajarkan

134
bagaimana menjadi seorang perempuan yang harus tunduk
pada laki-laki dengan mengacu pada sebuah ayat “arrijalu
qowwamuna alannisa”, artinya laki-laki adalah pemimpin bagi
perempuan. Menurut penelitian terdahulu oleh Umi Khoridah
tentang relasi gender dalam perspektif mufassir disebutkan
bahwa sumber ajaran Islam yang berupa Alqur’an dan hadis
Nabi SAW semuanya bermuatan historis, sosiologis,
antropologis, telah terdapat campur tangan manusia yang
menyebabkan dalam merumuskan ajaran Islam tidak lagi murni
Ilahi dan di sisi lain dapat menimbulkan perbedaan yang dapat
mengurangi validitas ajaran tersebut.21 Menurut pandangan dari
pesantren tersebut, tunduk di sini berarti dalam ajaran Islam
menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki yang segala
tindakan, pekerjaan seorang laki-laki tidak boleh dilakukan oleh
perempuan, dan karena laki-laki sebagai pemimpin perempuan,
maka yang diperintahkan baik oleh ustadz, ayah, suami, atau
kakak laki-laki, harus dituruti oleh perempuan. Dicontohkan
dalam film tersebut, yaitu tidak boleh menjadi pemimpin dalam
kelas, menunggang kuda, harus setuju dengan perjodohan.
Sehingga tokoh Anisa mempunyai anggapan bahwa ajaran
Islam hanya membela kaum laki-laki, menempatkan perempuan
pada posisi yang lemah dan tidak seimbang dengan laki-laki.

21
Umi Khoridah, Jurnal Studi Gender Indonesia Vol.04 No.02 (Surabaya: Pusat Studi Gender IAIN Sunan
Ampel Surabaya, 2013), hal.191.

135
Sedangkan pada film “Hijab”, meskipun memiliki judul
“Hijab” yang mana menjadi salah satu simbol dalam Islam, yakni
dalam hal ini pada perempuan muslim. Namun unsur Islam pada
film ini tidak terlalu ditampakkan. Seperti yang diungkapkan
Hanung pada salah satu media online mengenai film tersebut,
“Film Hijab ini sebenarnya lebih ke film tentang fashion hijab
yang di Indonesia kini sedang menjadi sorotan dunia. Unsur
religinya tidak terlalu kental sebenarnya...Film Hijab ini juga
memperlihatkan cara pasangan suami istri menemukan solusi
soal keharmonisan karir dan keluarga.” Selain dapat
menginspirasi muslimah di Indonesia dalam hal fashion, Hanung
juga ingin menunjukkan dalam film Hijab, wanita sebagai ibu
rumah tangga yang juga merintis usaha, dapat menyeimbangkan
kehidupan keluarga dan karirnya.22
Film ini menyajikan setting waktu sekitar tahun 2014 saat
fashion hijab sedang booming di kalangan perempuan remaja
dan dewasa baik yang telah mengenakan jilbab maupun
belum,tapi merasa tertarik untuk memakai jilbab. Dengan setting
latar di kota metropolitan Jakarta, yang dalam dunia fashion
Jakarta sering menjadi acuan atau contoh berbusana yang
sedang trend pada masanya, terutama di era kontemporer
seperti sekarang. Hal tersebut seperti yang dikisahkan dalam

22
www.dream.co.id, diakses pada 9 Maret 2015.

136
film ini, empat perempuan yang telah bersahabat sejak lama
memiliki inisiatif untuk turut menjadi bagian dalam
perkembangan dunia fashion terutama untuk perempuan muslim
berhijab dengan membuka usaha berupa online shop yang
semakin lama semakin sukses dan terkenal, sehingga dapat
mendirikan sebuah outlet di Jakarta. Dalam film “Hijab”
digambarkan kehidupan empat orang perempuan, yang tiga di
antaranya menggunakan jilbab dan telah memiliki suami. Para
perempuan yang telah berhasil menjadi pengusaha bisnis
fashion hijab yang sukses tersebut, masih tanpa sepengetahuan
suami masing-masing. Film ini menggambarkan para suami
yang melarang dan akan memarahi istri jika turut bekerja
walaupun hanya sekedar membantu suami guna mencukupi
kebutuhan rumah tangga terutama kebutuhan pokok seorang
istri agar tidak selalu bergantung pada nafkah yang diberikan
suami. Apalagi saat para suami mengetahui pemasukan materil
para istri lebih besar dibandingkan suami, mereka merasa malu
dan gagal dalam menjalankan peran sebagai kepala rumah
tangga yang seharusnya bertanggung jawab memberi nafkah
pada keluarganya.
Perbedaan setting atau konsep kedua film karya Hanung
tersebut yang membuat peneliti memilih film-film tersebut
sebagai subjek pada penelitian ini. Dan yang menjadi objek pada
penelitian adalah persoalan relasi gender pada masing-masing

137
film yang telah dipilih oleh peneliti. Tepatnya relasi gender antara
perempuan muslim dengan sosok laki-laki, yang mana sebagai
kakak laki-laki, ayah, maupun suami.
Film “Perempuan Berkalung Sorban” dan “Hijab”
mempunyai kesamaan jalan cerita tentang relasi antara tokoh
laki-laki dengan tokoh perempuan dalam menjalankan perannya
sebagai seorang ayah, suami, kakak laki-laki dan tokoh
perempuan dalam hal ini sebagai seorang adik, anak
perempuan, maupun istri. Dalam relasi gender tersebut terdapat
usaha-usaha yang dilakukan tokoh perempuan untuk
memperjuangkan hak-haknya agar tidak selalu dibedakan
dengan kaum laki-laki. Dilihat dari latar belakang tempat dan
waktu kedua film tersebut yang dalam kehidupannya berbeda
era yaitu konservatif pada film “Perempuan Berkalung Sorban”
dan kontemporer pada film “Hijab”, terdapat pula perbedaan
mengenai permasalahan mengenai hak perempuan yang ingin
diperjuangkan dalam kedua film tersebut dan usaha-usaha yang
diperjuangkan untuk mendapatkan haknya sebagai perempuan
agar tidak terjadi ketimpangan relasi dalam menjalani
kehidupannya, seperti hak untuk dihargai pendapatnya, hak
untuk berpendidikan tinggi, hak untuk bekerja, hak untuk
berkarya atau menciptakan inovasi yang dapat bermanfaat dan
menguntungkan, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut,
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan

138
menjelaskan tentang penggambaran tokoh perempuan dalam
relasinya dengan tokoh laki-laki pada kedua film Hanung
Bramantyo tersebut. Dengan menggunakan metode analisis
tekstual semiotik milik Roland Barthes, yang menekankan pada
gagasan tentang signifikansi dua level, yaitu denotasi dan
konotasi. Pertama, Primary Signification yang terdiri dari signifier
dan signified dan sign (Denotasi). Kedua adalah Secondary
Signification yang terdiri dari signifier, signified, dan sign
(Konotasi). Barthes menjelaskan apa yang telah dilakukan oleh
Saussure bahwa signifier yang awalnya hanya makna denotatif,
mampu menjadi makna konotasi yang memiliki mitos.23 Mitos
yang dibangun oleh Barthes ini adalah bagian dari sistem aturan
kedua atau secondary signification, yakni makna konotasi dari
sign atau gambar yang diamati. Yang secara tegas dibedakan
dari denotatif atau primary signification. Barthes menunjukkan
konotasi yang terkandung dalam mitologi tersebut biasanya
merupakan hasil konstruksi. Konotasi identik dengan operasi
ideologi (mitos) yang berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku
dalam satu periode tertentu.

Relasi Gender

23
Rachmah Ida, Metode Penelitian Studi Media dan Kajian Budaya (Jakarta: Kencana, 2014), hal.83.

139
Isu mengenai gender yang berkembang di masyarakat
memiliki berbagai penafsiran, sehingga masih sering terjadi
kesalahpahaman tentang pengertian gender yang
sesungguhnya. Seringkali gender disamakan dengan seks atau
jenis kelamin. Berbicara soal gender hingga saat ini masih
menjadi persoalan yang menarik, seperti halnya beberapa
penelitian terdahulu yang masih banyak dilakukan dengan
mengambil tema tentang relasi gender baik dalam kehidupan
nyata maupun yang ditampilkan di media massa. Untuk
memahami konsep gender, terlebih dahulu harus dapat
membedakan antara gender dan seks. Seks atau jenis kelamin
adalah sesuatu yang telah melekat pada perempuan maupun
laki-laki berdasarkan kodrat Tuhan yang tidak bisa ditukar,
seperti laki-laki memiliki penis dan memproduksi sperma,
seorang perempuan memiliki alat untuk menyusui, dan
sebagainya. Identitas seks biologis tersebut ditentukan oleh ciri-
ciri genetika dan anatomis.24
Sedangkan gender merupakan perbedaan peran atau
perilaku laki-laki dan perempuan melalui proses sosial dan
kultural yang panjang, bukan kodrat Tuhan, yang dapat
dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, bisa berubah
dan berbeda dari waktu ke waktu, tempat ke tempat lain, suatu

24
A Gender Equity Project, Agriteam Canada, Cida, Indonesia, Pelatihan Jender di Indonesia Inventarisasi,
(Jakarta: WSP, 1996), hal..51

140
kelas ke kelas lain.25 Gayle Rubin sebagai tokoh yang pertama
kali mempopulerkan konsep kesetaraan gender, juga
mengungkapkan bahwa gender merupakan pembedaan peran
perempuan dan laki-laki di mana yang membentuk adalah
konstruksi sosial dan kebudayaan26, dibentuk berdasarkan
pemahaman yang tumbuh dan berkembang di masyarakat,
bukan bawaan sejak lahir atau faktor biologis.
Perkembangan tentang relasi gender dan perbedaannya
sebenarnya tidak ada masalah, selama tidak menimbulkan
ketidaksetaraan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
sebagian besar dibentuk oleh perbedaan konstruksi sosial-
budaya. Munculnya bentuk ketertindasan kaum perempuan oleh
kaum laki-laki akibat dari gender yang hanya menguntungkan
satu pihak, yaitu laki-laki, terjadi karena ketidakjelasan dan
kesalahpahaman tentang pengertian gender yang berhubungan
dengan usaha kaum perempuan dalam menyetarakan haknya.
Bukan menjadi sesuatu yang baru dan telah ada dalam
sejarah panjang peradaban manusia bahwa kaum lelaki berada
pada perannya di ranah publik dan kaum perempuan pada
urusan rumah tangga atau domestikasi perempuan. Dengan
mindset yang seperti itu, banyak yang menganggap bahwa

25
Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal.8.

26
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hal.ix

141
domestikasi perempuan telah menjadi kodratnya. Marginalisasi
perempuan yang muncul itu menunjukkan bahwa perempuan
menjadi the second sex yang keberadaannya tidak begitu
diperhitungkan. Para feminis sangat hati-hati dalam membuat
perbedaan antara seks dan gender. Anggapan bahwa kaum
perempuan selalu ada di ranah domestik menjadi kaum inferior,
ditolak oleh para feminis yang berupaya melakukan
pembebasan diri dari ketimpangan posisi kaum perempuan
dibandingkan laki-laki dalam segala aspek kehidupan. Karena
menurut pandangannya seks atau jenis kelamin berbeda dengan
gender. Misalnya, bagi kaum perempuan memiliki peran gender
dalam mengelola rumah tangga baik mendidik anak maupun
urusan dapur, merupakan suatu konstruksi kultural dalam
masyarakat tertentu. Karena jenis pekerjaan bisa dipertukarkan,
maka kaum laki-laki dapat juga memerankan gender dalam
urusan mendidik anak dan mengelola rumah tangga.
Persoalan gender dan seks yang hingga saat ini terdapat
kesalahpahaman dalam membedakannya, mendapatkan
perhatian dan peringatan pula dari Islam bahwa harus berhati-
hati dalam memahami relasi seksual dan relasi gender. Relasi
gender adalah sebuah konsep dan realitas sosial yang berbeda
di mana pembagian kerja seksual antara laki-laki dan
perempuan tidak didasarkan pada pemahaman yang bersifat
normatif serta kategori biologis, namun pada kualitas

142
kemampuan dan peran berdasarkan konvensi sosial. 27 Konsep
relasi gender lebih dinamis dengan mempertimbangkan variabel
psiko-sosial yang berkembang, maksudnya seorang perempuan
dapat berperan sebagai laki-laki, begitupun sebaliknya.
Bahasan mengenai relasi laki-laki dan perempuan
dengan mengacu pada suatu ajaran, dapat menimbulkan
perbedaan pendapat yang dipengaruhi oleh banyak faktor, baik
tingkat pengetahuan, pendidikan, budaya, dan kondisi sosial
masyarakat saat itu, begitu juga dalam memahami suatu teks
dan bahasa dari suatu sumber ajaran.

Relasi Gender dalam Islam


Pada penelitian kali ini dirasa perlu untuk melihat relasi
gender dalam Islam. Mengingat film-film yang diangkat dalam
penelitian kali ini bernuansakan Islam terutama pada film
“Perempuan Berkalung Sorban” dan film “Hijab” yang dalam
penggambaran tokoh dan jalan ceritanya menggunakan nuansa
atau simbol Islam, walaupun diakui oleh Hanung Bramantyo
bahwa film “Hijab” tidak kental tema religi nya.
Dalam ajaran Islam juga memperkenalkan konsep relasi
gender yang mengacu kepada ayat-ayat Alqur’an. Karena misi
pokok diturunkannya Alqur’an adalah untuk membebaskan

27
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Alqur’an (Jakarta: Paramadina, 2001), hal.xx.

143
manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan.28
Terdapat pada ayat-ayat Alqur’an di antaranya, perempuan yang
berdasarkan mitos adalah sebagai “pelengkap” keinginan laki-
laki (Nabi Adam) tiba-tiba diakui setara di depan Allah dan
mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai penghunii
surga (QS.Al Baqarah,2:35), Allah menciptakan seorang laki-laki
dan perempuan dengan tidak membedakanmya atau tidak
mendiskriminasi berdasarkan seksual, etnis, warna kulit (QS.Al
Hujurat,49:13), Islam sejak awal menegaskan bahwa
diskriminasi peran dan relasi gender adalah salah satu
pelanggaran hak asasi manusia yang harus dielaminir (QS. An
Nisa,4:75).
Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban
yang sama dalam menjalankan peran sebagai khalifah di muka
bumi ini dan hamba Allah SWT. Tidak terdapat ayat atau hadis
yang melarang kaum perempuan untuk aktif dalam berbagai
profesi seperti yang dapat dilakukan oleh laki-laki. Pendapat
umum yang mengatakan bahwa perempuan harus di dalam
rumah, mengabdi pada suami, dan hanya mempunyai peran
domestik, terjadi akibat belum dipahaminya konsep relasi gender
yang sesungguhnya. Secara kodrat, dalam Alqur’an diakui
adanya perbedaan laki-laki dan perempuan yaitu dalam aspek

28
Sri Suhandjati Sukri, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender,......hal.15.

144
biologis yang masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan guna agar saling melengkapi. Perbedaan secara
biologis antara laki-laki dan perempuan senantiasa digunakan
untuk menentukan dalam relasi gender, seperti pembagian
peran, hak, dan status nya dalam masyarakat.
Pada masa awal hadirnya Islam, kaum perempuan
memperoleh kebebasannya, baik tetap dalam ranah domestik
maupun menjangkau ranah publik, yang tadinya hanya menjadi
milik laki-laki saja. Namun kenyataan tersebut tidak berlangsung
lama karena banyak faktor, seperti dalam Alqur’an, kitab-kitab
hadis, banyak memiliki tafsiran yang dipengaruhi oleh budaya
lokal. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap pemberian
batasan hak dan gerak kaum perempuan, kemudian adanya
upaya melanggengkan tradisi patriarki yang menguntungkan
kaum laki-laki. Berbagai nilai diarahkan dan digunakan untuk
mempertahankan status quo pola relasi gender yang berakar
dalam masyarakat.29 Hal itu terjadi cukup lama sehingga seolah-
olah pola relasi gender adalah sudah kodratnya.

Analisis Dua Film


Gender menjadi wacana sosial yang membentuk cara
pandang manusia mengenai peran laki-laki dan perempuan

29
Istibsyaroh, Hak-Hak Perempuan; Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi (Jakarta: Teraju, 2004), hal.xiv.

145
dalam menjalin relasinya. Pemahaman mengenai gender dalam
masyarakat masih terdapat berbagai macam penafsiran. Maka
itu pembedaan antara gender dengan jenis kelamin (seks)
sangat penting, karena selama ini masih terdapat
pencampuradukan ciri-ciri manusia yang berdasarkan kodrat
Tuhan dan yang bersifat bukan kodrat (gender). Perbedaan
peran tersebut sangat membantu untuk memikirkan kembali
tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah
melekat pada manusia perempuan dan laki-laki untuk
membangun gambaran relasi gender yang dinamis dan tepat
dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Meskipun gender dapat dipertukarkan dan bukan kodrat
Tuhan, tetapi secara historis telah membawa pada pemahaman
bahwa kaum perempuan sebagai pihak subordinat. Yaitu
menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting karena
anggapan perempuan selalu mengedepankan perasaan atau
sisi emosionalnya sehingga tidak dapat menjadi seorang
pemimpin dan lebih tepat berada pada peran domestik saja. Hal
tersebut juga didasari karena adanya mindset yang sangat kaku
dan konservatif di sebagian masyarakat, yaitu mindset tentang
pembagian peran antara laki-laki dan perempuan adalah sudah
ditakdirkan dan tidak perlu untuk diubah (misalnya kodrat
perempuan adalah mengasuh anak, kodrat laki-laki mencari
nafkah). Mindset tersebut masih terus berlaku di sebagian

146
masyarakat, meskipun mengabaikan fakta seperti, tidak sedikit
perempuan Indonesia yang menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW)
ke luar negeri dan mengambil alih tugas suami sebagai pencari
nafkah utama.30
Film “Perempuan Berkalung Sorban” dan “Hijab”
merupakan film yang sarat dengan simbol-simbol kehidupan.
Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan
penggambaran tokoh perempuan dalam relasi nya dengan tokoh
laki-laki pada film “Perempuan Berkalung Sorban” dan “Hijab”,
menggunakan analisis teks semiotika Roland Barthes
menghasilkan beberapa hal yaitu posisi dan peran tokoh laki-laki
dan perempuan dalam menjalin relasinya, terutama posisi yang
melekat pada perempuan dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam film “Perempuan Berkalung Sorban”relasi gender
yang terjalin antara tokoh laki-laki dan perempuan masih
dominan terdapat ketimpangan. Terutama pada tokoh
perempuan mempunyai beberapa peran dan posisi yang
seringkali dianggap tidak penting, termarjinal, sehingga mereka
sering merasa tertekan bahkan mengalami kekerasan.
Begitupun pada film “Hijab”, ketergantungan perempuan terlihat
sangat besar terhadap laki-laki sehingga menyebabkan tidak
utuhnya identitas seorang perempuan. Budaya tampaknya

30
Ibid,.

147
masih memihak kepada laki-laki sebagai pemegang kekuasaan
dan pemegang kebijakan, karena hanya didasarkan pada norma
dan selera laki-laki, sehingga mengakibatkan mengakibatkan
perempuan semakin terhimpit dalam budaya patriarki yang
nyaris tidak cukup nyali untuk menggugat budaya yang sudah
mengakar dan melembaga di masyarakat.
Walaupun demikian, ketika kaum perempuan mampu
menunjukkan sikap yang bijaksana dan memberdayakan dirinya
serta membuat lebih berperan dalam kehidupannya, maka saat
itu perempuan akan mendapatkan tempat dari lingkungan atau
komunitasnya. Serta bisa membuat perubahan pada relasinya
dengan tokoh laki-laki, yang mana sebagai ayah, kakak laki-laki,
maupun suami. Selain itu, perempuan akan dapat meraih
”kebebasan” dan eksistensinya setelah keluar dari lingkungan
yang melanggengkan budaya patriarki. Namun tetap kebebasan
dalam menjalani hak-haknya tersebut berada pada koridor
agama dan berdasarkan kesepakatan bersama antara laki-laki
dan perempuan dalam relasinya.
Relasi gender yang terjadi pada film “Perempuan
Berkalung Sorban” yang sesuai setting lokasi dan waktu film
tersebut, yaitu digambarkan pada era konservatif pada sebuah
lokasi pondok pesantren salaf menunjukkan adanya
ketertindasan kaum perempuan dalam menjalani hak-haknya.
Seperti perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, membaca

148
buku-buku modern, menunggang kuda, memberikan
pendapatnya, melanjutkan pada pendidikan tinggi, dan harus
patuh pada apapun yang diperintahkan suami sekalipun
bertentangan dengan hati nurani, tidak berdasarkan
kesepakatan bersama, dan ajaran agama (tidak ada kuasa untuk
menentang). Tindakan yang dilakukan sosok perempuan dalam
film tersebut adalah berusaha keluar dari tekanan ayah, kakak
laki-laki, maupun suaminya, dengan diam-diam melanjutkan
pendidikan tinggi, menyebarkan berbagai ilmu melalui buku-
buku umum selain agama, dan menulis sebagai sikap berontak
atas segala hak yang juga ingin didapatkan perempuan. Berbeda
dengan film “Hijab” yang ada pada era kontemporer. Dalam film
tersebut menggambarkan usaha kaum perempuan dalam
mendapatkan haknya agar bisa bekerja atau mendapatkan
pemasukan untuk rumah tangganya dengan cara diam-diam
tidak diketahui oleh para suami, membuka bisnis onlinefashion
hijab yang saat pada era saat ini sedang booming di kalangan
muslimah.
Relasi gender yang ditampilkan pada kedua film bertema
Islam tersebut, memiliki kesamaan dalam bentuk ketimpangan
gender. Namun terlihat perbedaan bentuk perlakuan tokoh laki-
laki terhadap perempuan dalam relasinya. Hal tersebut
dikarenakan setting waktu dan lokasi kedua film ini tidak sama,
yakni para era konservatif dan kontemporer. Sehingga dalam

149
usaha memperjuangkan untuk meraih hak-hak kaum perempuan
pun berbeda sesuai dengan era yang berlangsung saat itu. Pada
film Perempuan Berkalung Sorban, tokoh utama perempuan
berusaha untuk dapat melakukan aktivitas atau kegiatan yang
juga diperbolehkan oleh kaum laki-laki (menjadi pemimpin,
menempuh pendidikan tinggi, bergaul dengan dunia luar selain
terkungkung pada lingkungan pesantren) dan mendapatkan
perlakuan yang sama dengan laki-laki (dapat memilih sesuatu
yang disukai ataupun tidak, dihormati dan dihargai dengan tidak
menggunakan kekerasan). Berbeda pada Film Hijab yang
berada pada era kontemporer, menekankan pada ketimpangan
bahwa wanita tidak boleh bekerja untuk meringankan beban
suami, sekalipun mendapatkan penghasilan hanya melalui
bisnis online yang tidak berada di lingkungan kantor. Hal tersebut
membuat suami merasa malu jika istri mendapat pemasukan
lebih besar dibanding suami dan semakin memudarnya
perhatian pada suami juga anaknya.

Kesimpulan
Pada kedua film bertema Islam ini, relasi gender antara
tokoh utama perempuan dengan tokoh laki-laki sebagai ayah,
suami, maupun kakak laki-lakinya, berakhir dengan kesepakatan
bersama. Tokoh perempuan dalam film berhasil
memperjuangkan hak-haknya untuk dapat dihargai dan

150
mendapat dukungan atas pilihannya. Perempuan Berkalung
Sorban, Anisa berhasil memperjuangkan haknya, mampu
melawan penindasan terhadap kaum laki-laki yang membuat
posisi perempuan termarjinalkan. Anisa mendapatkan
kebebasan untuk memperoleh pendidikan dan pengalaman
bekerja di luar pondoknya dan mengajarkan berbagai
pengetahuan umum selain keagamaan dalam pondok. Yakni
dengan didirikannya perpustakaan dalam pondok sebagai awal
masuknya ide-ide pembaharuan di pesantren salafiyah tersebut.
Dan dalam film Hijab, tokoh utama wanita mampu
memperjuangkan haknya untuk bisa kembali menjadi
perempuan yang mandiri, tidak bergantung pada pemberian
suami dalam hal materi. Memiliki pekerjaan berupa bisnis online,
yang bertujuan membantu pemasukan ekonomi rumah
tangganya. Namun bentuk-bentuk perjuangan para tokoh wanita
dalam meraih hak yang sama dengan kaum laki-laki pada kedua
film ini, tidak lepas dari koridor agama. Bagaimanapun
kesetaraan yang telah diperoleh, laki-laki tetap pemimpin bagi
kaum perempuan. relasi gender yang terjalin pada akhirnya yang
terbaik adalah berdasarkan kesepakatan bersama antara kedua
belah pihak, laki-laki dan perempuan, tetap menjalankan peran
masing-masing dalam rumah tangga. Dalam hal ini tidak ada
yang merasa dirugikan, demi kebaikan dalam rumah tangga
masing-masing.

151
Daftar Pustaka
A Gender Equity Project, Agriteam Canada, Cida, Indonesia.
1996. Pelatihan Jender di Indonesia Inventarisasi.
Jakarta: WSP

Ashaf, Abdul Firman. 2007. Perempuan dalam Konflik: Refleksi


atas Pencitraannya di Media Film, Jurnal Progress No.28,
Th. XII, Juni, 2007. Bandar Lampung: FISIP Universitas
Tulang Bawang

Agung, Arif S. 2001. Hubungan Gender dalam Representasi


Iklan Televisi. Nirmana Vol. 3, No. 1, Januari 2001
Fakih, Mansour. 1999. Analisis Gender & Transformasi Sosial .
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian


Budaya. Jakarta: Kencana

Istibsyaroh. 2004. Hak-Hak Perempuan; Relasi Jender menurut


Tafsir Al-Sya’rawi. Jakarta: Teraju

Karim, Abdul, dkk. 2005. Perempuan Sutradara Kehidupan; di


Tangan Dia Masa Depan Dunia Surabaya: CV.Al
Hikmah
Khoridah, Umi. 2013. Relasi Gender dalam Perspektif Para
Mufassir (Tinjauan atas Kepemimpinan Rumah Tangga).
Jurnal Studi Gender Indonesia Vol.04 No.02 . Surabaya:
Pusat Studi Gender IAIN Sunan Ampel Surabaya

Melani, Friska. 2008. Representasi Hubungan Laki-laki dan


Perempuan dalam Lirik Lagu Grup Band Dewa 19.
Universitas Indonesia ,TesiS, Tidak Dipublikasikan
Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarus-
utamaannya di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
152
Oakley, Ann. 1985. Sex, Gender, and Society. England: Gower
Publishing Company

Pawito. 2008. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS


Pelangi Aksara
Rohimi, Primi. 2012. Representasi Tokoh Perempuan dalam
Film Indonesia Bertema Islam. IAIN Walisongo Tesis,
Tidak Dipublikasikan
Puspitawati, Herien. 2013. Konsep, Teori, dan Analisis Gender.
Bogor: PT.IPB Press

Sasongko, Sri Sundari. 2009. Konsep dan Teori Gender. Pusat


Pelatihan Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan
BKKBN, 2009

Sukri , Sri Suhandjati,dkk. 2002. Pemahaman Islam dan


Tantangan Keadilan Jender . Yogyakarta: Gama Media

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja


Rosdakarya
Stokes, Jane. 2003. How to do Media and Cultural Studies:
Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian
Media dan Budaya. Yogyakarta: Bentang Pustaka

Umar, Nasaruddin. 2001. Argumen Kesetaraan Jender


Perspektif Alqur’an. Jakarta: Paramadina

www.dakwatuna.com
www.dream.co.id
www.muvila.com

*) Mahasiswa Magister Media dan Komunikasi, Universitas


Airlangga
153
PERSPEKTIF MUHAMMADIYAH DALAM TVMU
(Studi Pada Program Acara Tarjih Menjawab dan
GerakanMu)

Nur Afni Rachman*

Pendahuluan
Penelitian ini mengenai keberadaan dan praktik-praktik
penyiaran televisi partisan yang dilakukan oleh TVMu yang
memiliki kepanjangan Televisi Muhammadiyah. TVMu sebagai
televisi yang berbentuk badan usaha milik persyerikatan
Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam yang cukup tua di
Indonesia menyatakan bahwa pihak Muhammadiyah bermaksud
untuk membuat TVMu menjadi televisi dengan genre umum dan
dengan slogan “Dari Muhammadiyah untuk Bangsa dan Dunia”
sehingga tidak hanya dapat disaksikan oleh warga
Muhammadiyah saja namun untuk bangsa Indonesia dan dunia.
Sedangkan dalam tujuan pendirian TVMu dinyatakan bahwa
televisi tersebut isi programnya tetap dikaitkan dengan misi dan
kiprah Muhammadiyah. Dari fenomena tersebut muncullah
persoalan mengenai bagaimana perspektif atau pandangan
Muhammadiyah diaplikasikan dalam program-program acara
dan manajemen penyiaran TVMu.

154
Dalam sejarah Indonesia tercatat selama 32 tahun Orde
Baru aturan dalam media massa Indonesia didasarkan pada
praktik sosial budaya yang berlangsung selama waktu itu. Pada
mulanya, media dianggap sebagai agen pemerintah (agent of
government). Saat timbul kesadaran mengenai peranan media
yang sebenarnya, ketika media tersebut telah tumbuh menjadi
sebuah industri, media dinyatakan sebagai mitra pemerintah
(Ishadi, 1998). Sebagai mitra itu pula, media secara langsung
atau tidak langsung tetap dikendalikan lewat mekanisme izin
pendirian media yang secara deskriminatif diberikan kepada
kelompok pendukung pemerintah, budaya telepon, sampai
pencabutan surat izin usaha penerbitan pers (Ishadi, 2014: 10).
Hingar-bingar dunia penyiaran, khususnya televisi, mulai muncul
ke permukaan setelah iklim kebebasan media terjadi setelah
runtuhnya Orde Baru, terganti dengan lahirnya babak baru
perpolitikan Indonesia melalui reformasi pada tahun 1998.
Seiring dengan era keterbukaan setelah runtuhnya rezim
Soeharto, dinamika media mengalami perubahan setelah
bertahun-tahun terpasung dalam kebijakan politik rezim, regulasi
pendirian lembaga penyiaran juga lebih mudah. Seiring dengan
perkembangan tersebut mulailah bermunculan lembaga-
lembaga penyiaran swasta, komunitas dan juga berlangganan.
Kelahiran lembaga penyiaran komersial di Indonesia
dilatarbelakangi oleh dikeluarkannya kebijakan deregulasi dan

155
liberalisasi ekonomi nasional oleh pemerintah Orde Baru pada
tahun 1980-an yang bertujuan memerkuat perekonomian
nasional sebagai respon dari krisis migas yang terjadi pada saat
itu. Dalam konteks tersebut, televisi swasta digagas untuk
mendukung perkembangan industri. Kelahiran televisi-televisi
komersial pada saat itu tidak hanya dilatarbelakangi oleh
kepentingan ekonomi/bisnis semata, tetapi juga politik. Disatu
sisi, televisi tersebut menjadi roda kapital bagi penguasa untuk
memupuk kekayaan, dan disisi lain menjadi bagian dari
instrument penguasa Orde Baru untuk membangun legitimasi
kekuasaan dan melindungi bisnis mereka (Sudibyo & Patria,
2013: 51-56).
Berlangsungnya reformasi tahun 1998 ternyata telah
mampu mengubah tatakelola dan sistem pemerintahan di
republik ini. Salah satu produk dari sistem pemerintahan baru
yaitu lahirnya Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers,
sekaligus merupakan tonggak awal dimulainya kemerdekaan
(kebebasan) pers yang semenjak lama diidamkan. Liberalisasi
semakin mendapatkan tempat, bahkan setiap warga negara
diperbolehkan menyatakan pendapat termasuk mendirikan
perusahaan pers. Dalam UU Pers yaitu Pasal 9 ayat (1) Setiap
warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan
perusahaan pers. Sedangkan Pasal 9 ayat (2) Setiap
perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.

156
Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara pada kala itu
menyebutkan hingga awal tahun 2009 di Indonesia ada sekitar
1008 media cetak, 150 lebih media televisi, dan 2000 lebih radio.
Total tiras media cetak mencapai 19,08 juta eksemplar. Sedang
pemirsa televisi yang diperebutkan sekitar 30 juta orang dan
radio ada 34 juta pendengar. Dari data tersebut, hanya 30
persen media cetak dan kurang dari 10 persen media elektronik
(radio dan televisi) yang sehat dalam bisnis
(http://www.kompasiana.com/ diakses 29 November 2015 pukul
12.00).
Selanjutnya era baru siaran televisi digital di Indonesia
sudah tidak dapat terelakkan lagi keberadaannya. Sistem
penyiaran digital merupakan perkembangan yang sangat pesat
di dunia penyiaran dimana terdapat peningkatan kapasitas
layanan melalui efisiensi pemanfaatan spektrum frekuensi radio.
Sistem penyiaran televisi digital bukan hanya mampu
menyalurkan data gambar dan suara tetapi juga memiliki
kemampuan multifungsi dan multimedia seperti layanan
interaktif dan bahkan informasi peringatan dini bencana. Mulai
awal tahun 2012, Indonesia melalui Peraturan Menteri Kominfo
No. 05 tahun 2012, mengadopsi standar penyiaran televisi digital
terestrial Digital Video Broadcasting – Terrestrial second
generation (DVB-T2) yang merupakan pengembangan dari
standar digital DVB-T yang sebelumnya ditetapkan pada tahun

157
2007 (https://tvdigital.kominfo.go.id diakses 16 Januari 2016
pukul 09.00). Keberadaan televisi digital ini sempat mengalami
pasang-surut, izin televisi digital sempat dicabut oleh Mahkamah
Agung kemudian kembali lagi diproses oleh Kemenkominfo dan
memeroleh izin kemudian Peraturan Menteri No. 32 Tahun 2013
menggantikan Peraturan Menkominfo No. 22 Tahun 2011
tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial
Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free to Air) yang
sebelumnya telah diperintahkan untuk dicabut. Tidak hanya
sampai disana pada tahun 2014 izin televisi digital tersebut
kembali dicabut oleh Mahkamah Agung.

TVMu dan Perspektif Muhammadiyah


TVMu berbentuk badan usaha atau lebih dikenal dalam
lingkungan Muhammadiyah sebagai amal usaha. TVMu
bergerak di bidang jasa penyiaran televisi, multimedia, hiburan
dan komunikasi, termasuk jual-beli, sewa menyewa peralatan
penyiaran, serta usaha impor dan ekspor materi/ program
televisi. TVMu memiliki visi menjadi televisi dakwah dan amar
makruf nahi munkar yang terdepan, cerdas dan mencerahkan.
Sekaligus sebagai salah satu amal usaha yang memberikan
manfaat bagi umat dan keuntungan bagi persyerikatan. Adapun
misi TVMu adalah menjadi medium yang edukatif, ilmiah,
rasional dan religious serta membentuk kepribadian bangsa,

158
melalui program pendidikan dengan kemasan yang menarik dan
mudah dicerna (Kuscahyanto dan Intani, 2015 : 239). Saat ini
TVMu memiliki sekitar 8 program acara yaitu, Berita dan Analisa,
Indonesia Berkemajuan, Islam yang Berkemajuan, Pengajian,
Tarjih Menjawab, Jalan Kebajikan, Sakinah, dan Indonesia
Jurnalis Forum (http://tvmu.tv/ diakses 20 November 2015 pukul
9.07).
Dalam perjalanannya Muhammadiyah memiliki begitu
banyak massa yang terjaring dalam wilayah, daerah, cabang dan
ranting. Tidak mudah menjaring komunikasi dengan individu-
individu yang heterogen dengan jarak yang berbeda-beda. Oleh
karenanya TVMu kemudian didirikan agar mampu menjadi
wadah bagi anggota persyerikatan Muhammadiyah, warga
masyarakat dan sekaligus syiar agama Islam ke seluruh penjuru
tanah air bahkan hingga cabang Muhammadiyah yang berada di
Luar Indonesia. Menurut Din Syamsuddin saat jumpa pers,
pendirian TVMu bukan secara tiba-tiba tetapi sudah dirintis sejak
lama, meski eksekusinya baru terjadi. Dikarenakan serangkaian
proses panjang untuk mendapatkan izin frekuensi stasiun televisi
sudah habis. Oleh karena dalam kemunculannya TVMu masih
dalam bentuk streaming yang hanya dapat diakses bagi mereka
yang memiliki antenna parabola di frekuensi 34.80 dan juga
melalui website useetv.com (Ummah, 2015 : 90).

159
Fokus kajian penelitian ini diarahkan pada bagaimana aplikasi
nilai-nilai Islam perspektif Muhammadiyah diterapkan pada
program acara TVMu khususnya Tarjih Menjawab dan
GerakanMu serta manajemen produksi. Muhammadiyah sejak
kelahiran hingga perkembangannya sampai pada saat ini dapat
dikatakan sebagai suatu sistem gerakan yang didalamnya
terkandung pemikiran-pemikiran yang bersifat ideologis. Kendati
pada awal berdirinya Muhammadiyah tidak terdapat pemikiran-
pemikiran yang tersistematisasi secara menyeluruh dan terinci,
namun gagasan-gagasan dasar gerakan Muhammadiyah dan
Kyai Dahlan sebagai pendirinya secara substantif menyentuh
pemikiran yang bersifat ideologis dan garis perjuangan yang
berpola Islam.
Sebagai sebuah organisasi tentunya Muhammadiyah
memiliki ideologi atau pandangan hidup. Pandangan hidup inilah
yang dipergunakan oleh Muhammadiyah ataupun organisasi
lainnya dalam menjalankan roda organisasi dari masa ke masa.
Pemikiran-pemikiran formal Muhammadiyah yang cukup
menonjol dan mendasar ialah pemikiran ideologis, yang secara
kusus disebut keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah
atau dalam terminologi umum dikenal secara populer dengan
istilah ideologi. Dalam Muktamar ke-37 tahun 1968 dinyatakan
bahwa ideologi yaitu ajaran atau ilmu pengetahuan yang secara
sistematis dan menyeluruh membahas mengenai gagasan,

160
cara-cara, angan-angan atau gambaran dalam pikiran, untuk
mendapatkan keyakinan mengenai hidup dan kehidupan yang
benar dan tepat (Nasri, Nashir, dan Sudjarwo, 2010 : xvi).
Dinyatakan pula bahwa ideologi berarti “keyakinan hidup”, yang
mencakup pandangan hidup, tujuan hidup dan ajaran dan cara
yang dipergunakan untuk menjelaskan pandangan hidup dalam
mencapai tujuan hidup tersebut. Adapun isi atau kandungan
ideologi Muhammadiyah ialah (1) Paham Islam atau paham
agama dalam Muhammadiyah, (2) Hakikat Muhammadiyah
sebagai Gerakan Islam, dan (3) Misi, Fungsi dan Strategi
perjuangan Muhammadiyah.
William Shepard (2004 : 74) mengkategorisasikan
Muhammadiyah sebagai kelompok “Islamic Modernism”, yang
tebih terfokus bergerak membangun “Islamic Society” atau
masyarakat Islam dari pada perhatian terhadap “Islamic State”
atau Negara Islam yang fokus gerakannya dibidang pendidikan,
kesejahteraan sosial, serta tidak menjadi organisasi politik
kendati para anggotanya tersebar diberbagai partai politik.
Pandangan modernis berbeda dengan pandangan sekuler atau
radikal Islam. Para penulis atau peneliti Islam seperti James L.
Peacock, Mitsuo Nakamura, Clifford Geertz, Robert Van Neil,
Harry J. Benda, George T. Kahin, Alfian, Deliar Noer, dan lain-
lain mengkategorikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam

161
modernis yang gerakannya bersifat kultural dan non-politik
(Nasri, Nashir, dan Sudjarwo, 2010 : xxviii-xxix).
Sebuah contoh yang akan membantu menjelaskan
bagaimana ideologi bekerja untuk menghasilkan makna melalui
tanda. Fiske (1979) menganalisis program televisi sekolah yang
disiarkan oleh BBC pada 1 Maret 1979. Program tersebut
bernama Food and Population, dan fokus perhatiannya dalam
kata-kata komentarnya. Hasil penelitian tersebut menyatakan
bahwa program dibuat oleh dan untuk budaya. Hal tersebut
bekerja secara alami tanpa perlu mengacu pada apa yang
disebut Barthes (1973) sebagai eks-nominasi dan ideologi pun
bekerja. (Fiske, 2004 : 231-234). Pembahasan mengenai
ideologi memang lebih kompleks dan abstrak oleh karenanya
penelitian ini dibatasi pada perspektif Muhammadiyah saja yang
terkandung dalam ideologi Muhammadiyah itu sendiri. Perspektif
dapat diartikan sebagai sudut pandang atau cara pandang
terhadap sesuatu.
Sebagaimana pula yang dinyatakan oleh Pamela J.
Shoemaker dalam teorinya Mediating The Message ideologi
merupakan salah satu aspek yang dapat memengaruhi isi
media. Dalam teori yang dikemukakan Shoemaker level ideologi
diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi
tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan
bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan level

162
lainnya yang tampak konkret, level ideologi ini lebih terlihat
abstrak (Shoemaker, 1996: 221-222).
Selain itu Muhammadiyah dalam perjalanan sejarahnya
juga terkadang terimbas oleh tarikan politik-praktis, lebih-lebih
setelah kemerdekaan tahun 1945. Pergumulan Muhammadiyah
dalam kehidupan bangsa mengantarkannya pada persentuhan
kekuatan-kekuatan partai politik Islam seperti Masyumi (Majelis
Syuro Muslimin Indonesia) tahun 1945-1962, Parmusi (Partai
Muslimin Indonesia) tahun 1968-1971 dan sampai batas tertentu
setelah reformasi dengan lahirnya PAN (Partai Amanat
Nasional). PAN secara tidak disadari merupakan bagian dari
tumbuhnya kepentingan politik disebagian warga
Muhammadiyah (Nasri, Nashir, dan Sudjarwo, 2010 : xxix).
Oleh karenanya dengan menggunakan analisis tekstual
penelitian ini mampu menggali lebih dalam (to explore),
membuka makna tersembunyi (to unpack), membongkar
konsep-konsep (to deconstruct), nilai-nilai, ideologi, budaya,
mitos dan sebagainya yang diproduksi dan direproduksi oleh
TVMu sebagai pembuat teks dan Muhammadiyah sebagai
pemilik media.

TVMu Sebagai Media Penyampai Pesan Melalui Tarjih


Menjawab dan GerakanMu

163
Menurut Giddens (1998) dalam (Ishadi, 2014 : 12) struktur
adalah rules dan resources. Struktur dapat berupa peraturan
tertulis maupun tidak, kebiasaan-kebiasaan, sumber daya yang
dibutuhkan untuk beroperasinya ruang berita, serta tatanan
hubungan diantara human agent yang berinteraksi pada suatu
ruang berita. Human agent tidak lain jurnalis, editor, cameramen,
presenter, redaksi, penanggung jawab, pemilik, wakil penguasa,
atau Negara dan lain-lain. Sementara itu agensi merupakan
tindakan-tindakan sosial yang dilakukan oleh human agent
sebagai individu maupun suatu kelompok terorganisir, termasuk
organisasi atau Negara (Himmelstrand 1986: 9 dalam Ishadi,
2014: 12).
Lebih jauh mengenai hal tersebut dalam buku Pamela J.
Shoemaker dan Stephen D. Reese (1996), Mediating The
Message: Theories of Influences on Mass Media Content,
menyusun berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan
keputusan dalam ruang pemberitaan Mereka
mengidentifikasikan ada lima faktor yang mempengaruhi
kebijakan redaksi dalam menentukan isi media. Diantaranya
adalah Faktor Individual, Rutinitas Media, Organisasi, Ekstra
Media dan Ideologi. Dalam menyajikan realitas sosial, media
memiliki bahasa tersendiri, bahasa yang terdiri atas seperangkat
tanda tidak pernah membawa makna tunggal di dalamnya. Berita
dalam media selalu memiliki ideologi dominan yang terbentuk

164
melalui tanda tersebut, artinya jika kita gali lebih dalam, teks
media membawa kepentingan-kepentingan yang lebih luas dan
kompleks. Oleh karenanya, harus diakui bahwa apa yang dimuat
media massa tidak terlepas dari berbagai kepentingan atau
kekuatan yang dibelakangnya (Shoemaker, 1996 : 1-7).
Dalam hal ini TVMu sebagai salah satu media yang
bertugas untuk menyampaikan pesan berupa berita, hiburan,
pendidikan dan sebagainya juga tidak terlepas dari berbagai
aspek. Aspek yang paling utama dalam TVMu yang dicari tahu
pada penelitian ini ialah perspektif Muhammadiyah.

Perspektif Muhammadiyah Dalam TVMU


Penelitian ini mengindikasi adanya implementasi
perspektif Muhammadiyah dalam televisi Muhammadiyah
(TVMu). Muatan hal-hal yang mengandung aspek
Muhammadiyah dan juga ideologinya dalam tayangan tersebut
dapat dibagi menjadi dua yaitu alami dan terstruktur. Bersifat
alami karena tokoh-tokoh yang terdapat dalam acara merupakan
bagian atau anggota dari persyarikatan Muhammadiyah dan
terstruktur atau sudah diagendakan dalam script seperti apa
yang terdapat dalam tema dan juga yang ditanyakan oleh host
seluruh aspeknya mengenai Muhammadiyah. Segala sesuatu
yang dibahas dalam pembicaraan pun tak jauh dari iklan yang
ada di layar pada saat acara maupun saat commercial break.

165
Pemilihan sapaan pada saat pembuka acara seperti ustadz,
profesor, menandakan bahwa yang akan menjadi narasumber
bukan orang dengan pendidikan yang rendah. Selain itu kata
ustadz juga identik dengan orang yang berilmu atau guru dalam
Islam. Sehingga masyarakat muslim pun merasa lebih terbiasa
dan familiar dengan sebutan demikian. Sementara pemilihan
atribut ataupun pakaian yang digunakan oleh narasumber
maupun pembawa acara pada setiap program acara TVMu juga
di sarankan untuk berpakaian modern seperti menggunakan jas,
celana panjang, dan sebagainya.
Upaya untuk menggambarkan bahwa Muhammadiyah
merupakan organisasi yang modern. Pemahaman yang tumbuh
di masyarakat bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi
yang modern ataupun sebaliknya misalnya Nahdatul Ulama
merupakan organisasi yang menganut paham tradisional inilah
yang didalam ideologi media disebut dengan common sense
yang merupakan level dari hegemoni. Hegemoni bergerak pada
level makna bersama (common sense) dalam asumsi-asumsi
yang dibuat mengenai kehidupan sosial dan pada wilayah yang
diterima sebagai sesuatu yang “natural” atau “demikian adanya”.
Common sense merupakan cara mendeskripsikan segala
sesuatu yang “setiap orang tahu”, atau paling tidak “harus tahu”.
Gramsci mengingatkan bahwa cara paling efektif dalam
menguasai (ruling) adalah melalui pembentukan asumsi-asumsi

166
common sense. Asumsi common sense merupakan konstruksi
sosial. Asumsi ini memberi implikasi pada pengertian tertentu
mengenai dunia sosial.

Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa Pertama,
secara umum nilai-nilai ideologi yang terkandung dalam teks
program acara maupun berita TVMu lebih mengarah kepada
perspektif Muhammadiyah yang dikemas dalam berbagai
program acara televisi. Sekalipun program acara tersebut bukan
seputar ke-Muhammadiyahan tim produksi tetap meletakkan
unsur-unsur agama Islam perspektif Muhammadiyah
didalamnya. Implementasi perspektif Muhammadiyah dalam
TVMu selain terdapat dalam teks program acara juga tertuang
pada simbol-simbol Muhammadiyah yang digunakan pada
bumper, narasumber yang mengisi acara merupakan anggota
Persyarikatan Muhammadiyah, pembawa acara yang digunakan
juga merupakan anggota Persyarikatan Muhammadiyah sampai
dengan tujuan pendirian dari TVMu yang juga tercantum dalam
ideologi Muhammadiyah salah satunya ialah menjadi televisi
dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang juga sesuai dengan
dasar pendirian Muhammadiyah yaitu surah Ali Imran ayat 104.
Apa yang ditampikan Tarjih Menjawab dan GerakanMu tidak
menunjukkan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi

167
besar yang modern dimana Muhammadiyah mampu menghidupi
umat Islam serta memberikan inspirasi melalui lembaga-
lembaganya terutama dalam bidang ekonomi. Melalui pemilihan-
pemilihan tema dan berita yang ditayangkan TVMu berusaha
mengkonstruksi penonton mengenai keberdayaan
Muhammadiyah.
Kedua, pendirian TVMu selain sebagai media penyalur
syiar dakwah Muhammadiyah selain memiliki visi dan misi
internal yaitu sebagai amanah Muktamar juga memiliki misi
eksternal lainnya. Olehkarena itu tema-tema yang digunakan
lebih mengacu pada ke-Muhammadiyahan agar membedakan
dengan televisi sejenis (milik organisasi masyarakat). selebihnya
inspirasi program acara, tema dan narasumber mayoritas
bersumber dari Pengurus Muhammadiyah sendiri sehingga tidak
membebaskan kepada produser pengampu program acara
untuk memilih tema acaranya. Tema program acara Tarjih
Menjawab episode 21 pun dikaitkan dengan peranan
Muhammadiyah dalam ekonomi syariah dan dikemas
selayaknya perspektif Muhammadiyah.
Ketiga, dari segi latar belakang awak media yaitu
produser, camera person, presenter, dan sebagainya, tidak
seluruhnya berasal dari persyarikatan Muhammadiyah ataupun
memahami ajaran Islam menggunakan perspektif
Muhammadiyah, adapula yang berasal dari kalangan lain seperti

168
yang menganut pemahaman secara netral dengan kata lain tidak
Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Wahabi, dan sebagainya,
namun tidak mampu memengaruhi isi siaran ke-
Muhammadiyahan dari TVMu sendiri karena mayoritas dari
awak media TVMu terlebih lagi produser pelaksana acara Tarjih
Menjawab dan GerakanMu dipekerjakan sesuai dengan skill
nya secara tekhnis bukan secara ideologis.
Dari kenyataan ini dapat dibuktikan bahwa sebenarnya
ruang produksi bukanlah sebuah ruang hampa tempat
memroduksi berita dan program acara namun didalamnya juga
memuat berbagai kepentingan. Disatu sisi program acara seperti
berita, talkshow, film dan sebagainya di satu sisi hal-hal ini
dipergunakan sebagai alat untuk membangun dan
mempertahankan kekuasaan sementara di sisi lain juga sebagai
nilai komoditas untuk dijual.

Daftar Pustaka
Akbar, Dimas Alif. 2014. Ideological Construction On Jawa Pos
News Report about DBL East Java Series 2012.
Universitas Airlangga, Surabaya
Desi, Presiana Yolanda. 2013. Dinamika Ekonomi Politik Televisi
Swasta Lokal (Studi Kasus ADiTV Yogyakarta).
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta

169
Dhakidae, Daniel. 1991. The State, The Rise Of Capital, and The
Fall Of Political Journalism, Politic Economy Of
Indonesian News Industry. Cornell University, New York
Febriansyah, M. Raihan, dkk. 2013. Muhammadiyah 100 Tahun
Menyinari Negeri. Majelis Pustaka dan Informasi
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Yogyakarta
Fisher, B. Aubrey. (1990). Teori-teori Komunikasi: Perspektif
Mekanistis, Psikologis, Interaksional, dan Pragmatis.
Terjemahan. Remaja Rosdakarya, Bandung
Fiske, John. 2004. Cultural Communication Studies. Jalasutra,
Yogyakarta
Hadi, Syahban Soleh. 2010. Enslikopedi Muhammadiyah Buku
4 (Badan Amal Usaha Muhammadiyah). Dwi Kaharjaning
Gesang, Pekalongan
Heychael, Muhamad. 2014. Independensi Televisi Menjelang
Pemilu Presiden 2014. Remotivi, Jakarta
Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian
Budaya. Prenada Media Group, Jakarta
Kurniawan, Budi. 2015. Konstruksi Identitas Etnis Tionghoa
dalam Harian Nusantara dan Jawa Pos dalam kurun
waktu Tahun 2003 dan 2013-2014. Universitas Airlangga.
Surabaya

170
Kuscahyanto, Edi, dkk. 2015. Karya Unggulan Muhammadiyah
(2005-2015). Centre For Dialogue And Cooperation
Among Civilisations. Jakarta
Lange, Bernard Peter dan David Ward. 2004. The Media and
Election. Lawrence Erlbaum Associates Publishers,
London.
Nasri, Imron, dkk. 2010. Manhaj Gerakan Muhammadiyah
Ideologi, Khittah, dan Langkah. Suara Muhammadiyah
dan Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah.
Yogyakarta
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2016. Dakwah Kultural
Muhammadiyah. Suara Muhammadiyah, Yogyakarta
Rahardjo, Dawam. 1995. Dimensi Ekonomi dalam Masyarakat
Utama. Perkasa & PP Muhammadiyah, Jakarta
S.K, Ishadi. 2014. Media dan Kekuasaan. Penerbit Buku
Kompas, Jakarta
Shoemaker, Pamela J dan Stephen D. Reese. 1996. Mediating
The Message: Theories Of Influence on Mass Media
Content, second edition. Longman Publishers, USA
Suara Muhammadiyah dan Mejelis Pendidikan Kader PP
Muhammadiyah. 2013. Manhaj Gerakan Muhammadiyah.
Suara Muhammadiyah, Yogyakarta

171
Sudibyo, Agus dan Nezar Patria. 2013. Ditempa Pertarungan
Modal : Industri Pertelevisian di Indonesia Pasca-
Otoritarian. Prisma 31, Jakarta
Titscher, Stefan, dkk. 2009. Metode Analisis Teks & Wacana.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Ulfah, Mariana. 2014. Kontestasi Komodifikasi Media Massa dan
Ideologi Muhammadiyah. ASPIKOM. Yogyakarta
Ummah, Musayyidatul, dkk. 2015. Membaca Muhammadiyah
Refleksi Kritis Anak Muda Lintas Isu. UMSurabaya Press.
Surabaya

Non-Buku
Dokumen TVMu tentang Profil TVMu
Dokumen TVMU tentang pola acara TVMu
GlobalTV Bau Kentut dalam http://aswinoprasetyo.blogspot.co.id
Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah dan Bahtsul Masail NU
dalam http://bodohtapisemangat.blogspot.co.id
Mencerdasi pemberitaan televisi komersial/swasta dalam
http://www.kompasiana.com/
NU dan Muhammadiyah kehilangan Jatah dalam
http://kompasiana.com
NU Versus Muhammadiyah dalam
http://muhammadiyahstudies.blogspot.co.id
Profil TV MU dalam http://tvmu.tv/

172
Sejarah Muhammadiyah dalam http://www.muhammadiyah.or.id
Televisi Digital dalam https://tvdigital.kominfo.go.id
Uji Coba Siaran Digital Terrestrial dalam http://inet.detik.com
UU Pers No. 40 Tahun 1999
UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002

*) Mahasiswa Magister Media dan Komunikasi, Universitas


Airlangga Surabaya.

173
MEDIA, ETNISITAS
& NASIONALISME
KONSTRUKSI IDENTITAS ETNIS MALUKU DALAM FILM
“CAHAYA DARI TIMUR:BETA MALUKU”

Yesaya R.O Ayawaila*


Pendahuluan
Tulisan ini membahas tentang Konstruksi Identitas Etnis
Maluku dalam Film “Cahaya Dari Timur : Beta Maluku” (2014)
karya sutradara Angga Dwimas Sasongko. Film ini menarik
untuk dijadikan sebagai objek penelitian, karena mengangkat
gambaran kehidupan etnis Maluku di wilayah lokalitas sendiri,
atau etnis maluku rural community, hal ini berbeda dengan film-
film nasional sebelumnya yang menampilkan etnis Maluku di
tanah perantuan atau etnis Maluku urban community dengan
penggambaran karakter yang kejam, bengis, serta lekat dengan
dunia kriminal. Untuk menganalisis gambaran – gambaran
identitas etnis Maluku yang direpresentasikan dalam film maka
metode yang digunakan adalah yang digunakan adalah analisis
tekstual Semiotik Roland Barthes. Semiotik merupakan teknik
analisis digunakan untuk mengidentifikasi dan menguarai makna
yang dilekatkan pada kumpulan tanda dalam unsur-unsur film
yakni adegan, scene,serta dialog, yang terdapat dalam film
kemudian mengkonstruksikannya sebagai identitas etnis Maluku
dalam Identitas Agama, Identitas budaya (way of life),kehidupan
sosial-ekonomi, maupun karakteristik personal. Burton

170
(2008;119) mengatakan bahwa kelompok-kelompok orang
direpresentasikan dengan cara-cara tertentu lewat media
massa. Selama ini, di media massa, baik di iklan maupun film,
etnis asli Indonesia yang berasal dari rumpun ras Melanesia
seperti Maluku, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua dengan
ciri-ciri fisik berkulit hitam, sering diposisikan sebagai pihak yang
bengis, kejam, serta lekat dengan kekerasan (Islam, 2012).
Pesan-pesan yang membentuk persepsi negatif ini diulang-
ulang sehingga cenderung dipercayai audiens sebagai suatu
kebenaran. Pengulangan atau repetisi terjadi karena isi dari
produksi pelbagai industri media pada dasarnya adalah sama
(Burton, 2008;94).
Film, menurut Irawanto dalam Sobur, (2004;37) selalu
merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat dan kemudian memproyesikannya ke atas layar.
Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Oleh
sebab itu, untuk memahami mengapa etnis Maluku digambarkan
secara negatif perlu ditarik konteks historisnya dimana fakta
sejarah mencatat adanya jurang pemisah antara Maluku daerah
lainya di Indonesia baik di bidang politik, ekonomi, dan sosial
pada awal abad ke-20. Kesenjangan itu, sebagaimana
dijelaskan oleh Alwi (2005;577-578) merupakan akibat dari
politik etis yang dilancarkan Belanda untuk memprioritaskan
kemakmuran masyarakat dibanding mengejar keuntungan

171
komersial di daerah jajahan. Pada saat itu, gencar dilakukan
pengembangan dalam bidang pertanian, perdagangan dan
industri, yang telah mengubah hampir seluruh Jawa menjadi
daerah penghasil bahan mentah bagi dunia barat. Hal tersebut,
membawa perubahan dalam masyarakat Jawa yakni adanya
kemajuan dalam bidang pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Perubahan-perubahan ini turut membentuk suatu kalangan
kaum elite liberal pribumi yang ingin membangun revolusi dalam
rangka menolak kolonial. Sebaliknya kondisi ini begitu berbeda
di Maluku. Maluku tidak terpengaruh oleh gerakan-gerakan
untuk membangun revolusi, karena pengaruh kolonial yang telah
begitu kuat melekat dalam kehidupan masyarakat.
Kedekatan dengan pihak barat, mengakibatkan Maluku
kurang terlibat dalam gerakan-gerakan politik, ekonomi dan
sosial jawa-sentris yang pada tahun 1930-an berujung pada
gerakan nasionalis, dan pada 1940-an sebagai gerakan revolusi.
Selanjutnya, kenyataan bahwa banyak orang Ambon, yang
berdinas di KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger), turut
memperdalam kesenjangan antara Maluku dan daerah lainnya.
Tentara KNIL adalah alat Belanda dalam mempertahankan
kedudukannya di Indonesia. Korps Ambon dalam dinas
ketentaraan KNIL ini amat diandalkan oleh pihak Belanda. Hal
inilah yang memunculkan streotipe orang jawa dan daerah
lainnya terhadap orang etnis Maluku, yaitu bahwa orang

172
Ambon/Maluku adalah kaki tangan penjajah Belanda. Realitas
sosial bahwa wilayah maluku pernah dilanda konflik horizontal
bernuansa Suku, Ras, dan Agama (SARA) pada kurun waktu
1999-2003 juga memperkuat stereotipe negatif terhadap etnis
maluku. Susan (2014;144) menyatakan konflik Maluku telah
menghancurkan tatanan sosial, ekonomi, dan politik Ambon-
Maluku.
Film Cahaya Dari Timur : Beta Maluku menunjukkan etnis
Maluku yang diangkat merupakan masyarakat di negeri/desa
(Rural Community) yakni etnis Maluku yang hidup di tanah atau
wilayah lokal (dalam arti geografis) sendiri. Penggambaran ini
berbeda dengan film-film sebelumnya yang menampilkan
gambaran etnis maluku yang merantau di daerah perkotaan
(Urban Community). Urban community jelas memiliki perbedaan
dengan Rural community. Dalam keagamaan misalnya, urban
community mempunyai kecendurungan ke arah keduniawian
(secular trend) dibandingkan dengan kehidupan rural community
yang cenderung religius. Agama merupakan penanda penting
bagi identitas etnik, terutama pada masyarakat yang hidup
dengan agama sebagai faktor hegemonik dalam aspek
kehidupan publik seperti di Maluku. pentingnya agama sebagai
penentu etnis yang tidak hanya sebatas ekspresi diri atas
keyakinan religius tertentu tetapi juga komunitas, tingkah laku
kolektif dan kepemilikan. Begitu pula dengan masyarakat

173
Maluku, identitas sebagai Islam maupun Kristen merupakan
ekspresi komunitas. Dalam proses sosiohistoris, negeri-negeri di
Maluku mengelompok dalam komunitas agama tertentu,
sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis
agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani
dan Ambon Salam.
Perbedaan lainnya antara rural community dan urban
community terletak pada cara hidup (Ways of life). Sikap
tradisionalistis yang kuat pada rural community memperkecil
kemungkinan untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan hidup
(Soekanto, 2002;188). Pada masyarakat Maluku, konsep
“Katong Basudara” adalah cara hidup yang menjadi identitas
sosial orang Maluku yang mengalami keterhisaban dan
keterikatan dengan Tradisi Pela-Gandong, dan Masohi (tolong-
menolong) Konsep“Katong Basudara” merujuk pada konstruksi
bahwa meskipun masyarakat Maluku sendiri tersegmentasi
menjadi dua komunitas yakni Salam (Islam) dan Sarane (Kristen)
tetap memiliki satu darah keturunan sama. filosofi ini berfungsi
secara dua arah yakni menjembatani adanya segregasi baik
antara komunitas Salam maupun komunitas Sarane dan
membangun konsensus perdamaian berdasarkan nilai nilai
sosio keagamaan yang berkembang dalam ranah setempat.
(Ralahallo, 2009). Jati (2013) menjelaskan tradisi Pela-Gandong
dapat diartikan secara luas yakni suatu sistem kekerabatan

174
(persaudaraan) antara dua atau lebih negeri yang secara
geografis berada pada daerah yang berdekatan (bahkan ada
yang terpisah pulau) dan ada yang memiliki kepercayaan yang
sama dan berbeda. Dalam bingkai tradisi pela, perbedaan
bukanlah hal yang menjadi problema konflik, sebab justru
perbedaan itu telah melebur dan diikat dalam sebuah konsep
janji dan sumpah sebagai “Orang Basudara” yang secara
harafiah dapat diartikan “lahir dari rahim yang sama”. Dalam hal
ini nampak ada sebuah konsep yang memuat pengakuan akan
kesetaraan manusia.
Karakeristik personal juga menjadi aspek yang penting
dalam identitas etnis. Ketika seseorang berada dalam suatu
kelompok tertentu, ia menyatu secara loyalitas, memori, dan
kesadaran akan norma-norma atau nilai dalam kelompok
tersebut. Hal ini juga berlaku di media, pelabelan atau streotipe
terhdadap suatu kelompok etnis dapat terjadi karena adanya
generalisasi terhadap representasi yang dihasilkan oleh
gambaran-gambaran media terhadap anggota kelompok etnis
tersebut. Ketika film seperti Red Cobex dan The Raid
menggabarkan etnis Maluku urban commmunity sebagai orang-
orang yang berprofesi sebagai preman maka etnis maluku
cenderung digeneralisasikan dengan stereotipe seperti itu. Oleh
sebab itu, ketika film Cahaya Dari Timur:Beta Maluku (2014)
menampilkan gambaran etnis Maluku dengan karteristik

175
berbeda, jauh dari stereotipe negatif, maka film ini lebih banyak
diapresiasi oleh penonton.

Identitas Etnis
Castells dalam bukunya Power Of Identity (2010;6-7)
menyatakan“Identity is people’s source of meaning and
experience.. It is easy to agree on the fact that, from a
sociological perspective, all identities are constructed” (Identitas
adalah sumber dari makna dan pengalaman orang...mudah
untuk setuju pada fakta, dari persepektif sosiologi, semua
identitas merupakan hasil konstruksi).Pandangan bahwa
identitas merupakan konstruksi dinyatakan pula oleh Barker
(2004;170), menurutnya, identitas sepenuhnya merupakan
konstruksi sosial dan tidak mungkin eksis diluar representasi
budaya dan akulturasi. Identitas diekspresikan melalui berbagai
macam representasi yang dapat dikenali oleh orang lain dan kita
sendiri. Jadi identitas adalah suatu esensi yang dapat dimaknai
melalui tanda selera, kepercayaan, sikap dan gaya hidup.
Identitas dianggap bersifat personal sekaligus sosial dan
mendandai bahwa “kita sama” atau “berbeda” dengan yang lain.
Identitas dalam tulisan ini mengacu pada identitas etnis. Istilah
etnis, etnik, atau etnos dalam bahasa Yunani identik dengan
pengertian dasar letak geografis, dalam suatu batas-batas
wilayah dengan sistem politik tertentu. Istilah ini juga mengacu

176
pada masalah perasaan bersama atau senasib dari satu
kelompok. Etnisitas menurut Barker (2004;201) adalah konsep
budaya yang terpusat pada kesamaan norma, nilai,
kepercayaan, simbol dan praktik budaya. Etnisitas dibentuk
dengan cara kita berbicara tentang identitas kelompok dan
mengidentifikasikan diri dengan tanda dan simbol yang
membangun etnisitas.
Dalam Culture studies, identitas dipandang bersifat
kultural dan tidak punya keberadaan di luar representasinya
dalam wacana kultural. Identitas bukan sesuatu yang tetap yang
bisa kita simpan, melainkan suatu proses menjadi. Etnisitas, ras
dan nasionalitas adalah konstruksi-konstruksi diskursif-
performatif yang tidak mengacu pada ‘benda-benda’ yang sudah
ada. Artinya, etnisitas, ras dan nasionalitas merupakan kategori-
kategori kultural yang kontingen dan bukan ‘fakta’ biologis yang
universal. Sebagai konsep, etnisitas mengacu pada
pembentukan dan pelanggengan batas-batas kultural dan punya
keunggulan dalam penekanannya pada sejarah, budaya dan
bahasa (Tanudjaja, 2007).

Film Sebagai Konstruksi Realitas


McQuail (2010;29) menjelaskan Konstruksi Realitas
merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Berger dan Luckman
dalam bukunya, the The Social Construction of Reality (1967).

177
Pemikiran Berger & Luckman ini lebih tua dibanding
Interaksionisme Simbolik dari Blumer (1969) dan Fenomenologi
Sosiologi dari Alfred Schutz. (1972). Berger & Luckmann
menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya
dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang
dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Realitas sosial
dibuat dan diberikan makna (diinterpretasi) oleh human actor.
Ide ini telah diformulasikan dalam teori-teori sosial lainnya, dan
menghadirkan perubahan paradigma dalam ilmu-ilmu sosial.
Menurut Berger & Luckmann (dalam McQuail 2010;89)
Media massa juga memiliki peran dalam mempengaruhi apa
yang diyakni kebanyakan orang sebagai suatu realitas. Ide ini
ada dalam teori propaganda dan ideologi (misalnya peran media
dalam memproduksi kesadaran palsu). Propaganda media
tentang nasionalisme, patriotisme, kebenaran sosial, dan sistem
kepercayaan dapat diinterpertasikan sebagai bentuk konstruksi
sosial.
Pekerjaan media pada hakekekatnya adalah
mengkonstruksikan realitas. Isi media pada hakekatnya adalah
hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat
dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat
merepresentasikan realitas namun juga bisa menentukan relief
seperti apa yang diciptakan oleh bahasa tentang realitas
tersebut. Akibatnya media massa mempunyai peluang yang

178
sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang
dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya Media
sesungguhnya memainkan peran khusus dalam mempengaruhi
budaya tertentu melalui penyebaran informasi. Peran media
sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam
memandang realita. (Sobur, 2006;89,92) Lebih lanjut, menurut
Sobur (2006;93) media massa tidak hanya dianggap sebagai
hubungan antara pengirim pesan pada satu pihak dan penerima
pesan di lain pihak. Lebih dari itu, media dilihat sebagai produksi
dan pertukaran makna. Titik tekannya terletak pada bagaimana
pesan atau teks berinteraksi dengn orang untuk memproduksi
makna berkaitan dengan peran teks di dalam kebudayaan.
Sejalan dengan itu, Moss dalam Mulyana (2008;12)
menyatakan wacana media massa merupakan konstruk kultural
yang dihasilkan ideologi. Sebagai produk media massa, televisi
contohnya, lewat narasinya menawarkan defenisi-defenisi
tertentu mengenai kehidupan manusia; apa yang bernilai bagi
manusia;siapa pahlawan dan siapa penjahat, tindakan apa yang
disebut perjuangan, pemberontakan atau terorisme, isu apa
yang relevan dan tidak. Melalui penggunaan bahasa dan gambar
sebagai sistem simbol yang utama para pengelola televisi
(maupun film) mampu menciptakan, memelihara,
mengembangkan, dan bahkan meruntuhkan suatu realitas.
Ketika menyimak suatu tayangan terkadang kita tanpa sadar

179
digiring oleh defenisi yang ditanamkan media massa tersebut,
secara tidak langsung, hal itu membuat kita mengubah defenisi
kita mengenai realitas sosial, atau memperteguh asumsi yang
kita miliki sepenuhnya. Oehnya itu, wacana media massa pada
dasarnya menawarkan kerangka makna alternatif kepada
khalayak untuk mendefenisikan diri-sendiri, orang lain,
lingkungan sosial, peristiwa-peristiwa, dan objek-objek disekitar
mereka.
Sebagai salah satu media massa populer, film menurut
McQuail (2010;35) memiliki keunikan dimana film dimanfaatkan
sebagai alat propaganda dalam kaitannya dengan upaya
pencapaian tujuan nasional dan masyarakat. Film memiliki
kelebihan dalam segi kemampuannya menjangkau sekian
banyak orang tampak dengan pesan fotografis, tanpa kehilangan
kredibilitas. Unsur-unsur ideologi dan propaganda yang tersirat
dalam film, berakar dari keinginan untuk merefleksikan kondisi
masyarakat. Media film dapat membentuk konstruksi
masyarakat akan suatu hal, selain itu film juga merupakan
rekaman realitas yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat yang kemudian memproyeksikannya ke atas layar.
Turner (dalam Sobur 2004:127) juga mengungkapkan bahwa
film tidak hanya sekedar refleksi dari realitas. Sebaliknya Film
lebih merupakan konstruksi atau gambaran dari realitas, film
membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan

180
kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari
kebudayaannya. Melalui film sang sutradara yang berperan
sebagai komunikator dapat menyampaikan pesan kepada
komunikan atau penonton melalui cerita maupun setiap adegan
dalam sebuah film. Namun disisi lain film merupakan
perpanjangan dari pemikiran sang sutradara untuk
menyampaikan suatu ide-ide, gagasan atau propaganda yang
mempunyai kepentingan kekuasaan.
Film, secara umum dapat dibagi atas dua unsur
pembentuk yakni, unsur naratif dan unsur sinematik. Dua unsur
tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama
lain untuk membentuk sebuah film. Masing –masing unsur
tersebut tidak akan dapat membentuk film jika hanya berdiri
sendiri. Unsur Naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah,
sementara unsur sinematik adalah cara (gaya) untuk
mengolahnya (Pratista, 2008;1) Dalam tulisan ini, unsur – unsur
film Cahaya Dari Timur : Beta Maluku yang diteliti meliputi;
potongan-potongan adegan (scene), dialog, serta tanda-tanda
ikonis lainnya yang relevan dengan topik penelitian. Adegan
adalah salah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang
memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh
ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter atau motif. Sementara
itu, dialog mengacu pada jenis bahasa komunikasi verbal yang
digunakan dalam film (Pratista, 2008;29,150).

181
Teori Representasi
Barker (2004;9) menyatakan bahwa bagian terbesar
cultural studies terpusat pada pertanyaan tentang representasi,
yaitu bagaimana dunia ini dikonstruksi dan direpresentasikan
secara sosial kepada dan oleh kita. Studi kebudayaan sebagai
praktik representasi mengaruskan kita mengeksplorasi
pembentukan makna tekstual dan cara dihasilkannya makna
pada beragam konteks. Representasi dan makna budaya
memiliki materialitas tertentu yang melekat pada bunyi, prasasti,
objek, citra, buku, majalah, dan program televisi. Mereka
diproduksi, ditampilkan, digunakan dan dipahami dalam konteks
sosial tertentu.
Defenisi dari Representasi menurut Hall (1997;17) adalah
:“Production of the meaning of the concept in our minds through
language” (Produksi makna dari konsep dipikiran kita melalui
bahasa). Representasi merupakan bagian esensial dari proses
dimana makna diproduksi dan dipertukarkan diantara anggota-
anggota dari sebuah budaya. Representasi melibatkan
penggunaan bahasa, tanda-tanda, dan gambar-gambar yang
mewakili atau merepresentasikan sesuatu.
Selanjutnya, Hall (1997;17-18) menyatakan di dalam
representasi ada dua proses yang terlibat yakni yang dikenal
sebagai Sistem Representasi. Sistem Representasi tidak terdiri

182
dari konsep individual, tetapi bermacam-macam perbedaan
dalam cara mengorganisasi, menggelompokan, mengatur,
mengklasifikasikan konsep, serta mempertahankan relasi yang
kompleks diantara konsep-konsep tersebut. Sistem representasi
yang pertama adalah dimana semua objek (object) orang
(people), dan kejadian atau peristiwa (event) berhubungan
dengan seperangkat konsep-konsep atau mental
representations yang kita bawa ke dalam benak kepala kita.
Tanpa itu kita tidak mampu menginterpretasikan dunia secara
bermakna.
Ketika orang memiliki mental representations yang
berbeda atau adanya perbedaan dalam menginterpretasi
sesuatu maka mereka juga dapat berbagi makna dan
mengekspresikan ide mengenai dunia yang dimaknai lewat
komunikasi menggunakan bahasa. Hall menyebutkan bahasa,
sebagai sistem representasi kedua, yang kita gunakan untuk
berbagi makna harus dapat mengkorelasikan kosep melalui
yakni dengan kata-kata, bunyi yang diucapkan, maupun gambar-
gambar visual. Secara umum term yang digunakan untuk kata-
kata, suara maupun gambar kita dapat kita maknai sebagai
tanda (Sign). Tanda visual dan gambar yang memiliki makna
harus diinterpretasikan. Makna dikonstruksikan melalui sistem
Representasi. Dalam pendekatan semiotik, representasi

183
dipahami sebagai dasar sebagaimana kata-kata berfungsi
sebagai tanda di dalam bahasa, (Hall, 1997;19,27)
Burton (2008;120) menyatakan bahwa representasi
dikonstruksi lewat media yang digunakan, baik lewat bahasa
tertulis atau visual, dan demikian membentuk sikap kita terhadap
representasi itu. Jika kita memerhatikan televisi atau film maka
sebagai contoh adalah jelas bahwa gambar-gambar yang
diambil dari jarak dekat (close-up) terhadap atribut-atribut fisik
digunakan untuk menarik perhatian kita terhadap atribut-atribut
tersebut.

Semiotik Roland Barthes


Lacey dalam Ida (2014;75) menjelaskan, Semiotik adalah
suatu metode yang dipakai untuk menganalisis atau mengkaji
tanda-tanda (signs). Karena itu, Semiotik memfokuskan
perhatiannya terutama pada teks (Fiske, 1990;40). Tanda,
sebagaimana dinyatakan Sobur (2006;124) merupakan
representasi dari gejala yang memiliki kriteria seperti : nama
(sebutan), peran, fungsi, tujuan, keinginan. Menurut Fiske
(1990;41), Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa
dipersepsi indra kita. Tanda mengacu pada sesuatu diluar tanda
itu sendiri; dan bergantung pada pengenalan oleh pengunannya
sehingga bisa disebut tanda.

184
Semiotik pertama kali diperkenalkan oleh ahli linguistik
Ferdinand de Sausure di Swiss dan Charles Pierce di Amerika.
Mereka menamakan teori-teori yang mereka hasilkan dengan
“semiology” dan “semiotics” kata yang berasal dari bahasa
Yunani “semeion” yang berarti “tanda”. Pendekatan Semiotik
pada dasarnya, hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan
(humanity) memaknai hal – hal (things). Memaknai (to signify)
dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa
objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana
objek-objek itu hendak berkomunikasi tetapi juga mengkonstitusi
sistem terstruktur dari tanda (Barthes dalam Sobur, 2004;12).
Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri,
dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau
idea, dan suatu tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama
seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol,
bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang
menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan
maknyanya dan bagaimana tanda disusun, secara umum, studi
tentang tanda merujuk pada semiotik. Secara relevan film
merupakan bidang kajian bagi analisis semiotik, karena film
dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk
berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk
mencapai efek yang diharapkan. Unsur yang pentig dalam film

185
adalah gambar, suara, dan musik film. Sistem semiotika yang
lebih penting lagi dalam film adalah dipergunakannya tanda-
tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu
(Sobur, 2004;24)
Semiotik yang digunakan pada penelitian ini mengacu
pada teori Semiotik Roland Barthes. Sobur (2006;123)
menjelaskan Semiotik menjadi pendekatan penting pada teori
media pada akhir tahun 1960-an sebagai hasil karya Roland
Barthes. Barthes (1915-1985) merupakan tokoh intelektual dan
filsuf Perancis yang gagasannya berada pada fase peralihan dari
Strukturalisme ke Poststrukturalisme. Barthes bersama Lévi-
Strauss adalah tokoh-tokoh awal yang mencetuskan faham
struktural dan meneliti sistem tanda dalam budaya. Roland
Barthes, sebagaimana dijelaskan Fiske (1990;85) membuat
sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-
tanda. Fokus perhatian Barthes tertuju pada gagasan signifikansi
dua tahap (two order of l signification). Signifikasi tahap pertama
merupakan hubungan antara Signifier dan Signified di dalam
sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya
sebagai denotasi yakni makna yang paling nyata dari tanda. Hall
(1997;23 menegaskan Denotasi adalah makna yang paling
sederhana pada level deskriptif dimana konsensusnya luas dan
disetujui banyak orang. Sementara itu, Konotasi adalah istilah
yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap

186
kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika
tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta
nilai-nilai dari kebudayaannya. (Fiske, 1990;86).
Ida (2014;81) menjelaskan Barthes menambahkan
perangkat semiotik dengan defenisi dan eksplorasinya tentang
‘myth’ (mitos). Barthes peduli pada bagaimana tanda-tanda
mengambil nilai-nilai dari sistem nilai domain atau ideologi dari
masyarakat tertentu dan membuat nilai-nilai ini seolah natural
atau alamiah. Barthes (2007;295) mendefenisikan Mitos sebagai
sistem komunikasi, bahwa mitos adalah suatu pesan sebuah
bentuk yang merupakan mode pertandaan. (a mode of
signification). Dalam mitos kita menemukan pola tiga dimensi,
penanda, petanda, dan tanda. Mitos merupakan sistem
semiologis tatanan kedua. (second order semiological system),
sehingga apa yang merupakan tanda (yaitu totalitas asosiatif
antara konsep dan citra) dalam sistem yang pertama, menjadi
sekedar penanda dalam sistem yang kedua.

Identitas Etnis Maluku Dalam Film Cahaya Dari Timur


Polarisasi Islam - Kristen
Sutradara Film Cahaya Dari Timur : Beta Maluku (2014)
tampaknya ingin menampilkan agama sebagai salah satu
identitas etnis Maluku yang mencolok. Selain konsep Salam –
Sarani sebagai kultur masyarakat, sutradara film ini juga

187
menampilkan simbol–simbol keagamaan dalam konflik di
Maluku. Meski demikian ia juga menyiratkan pesan bahwa
konflik yang terjadi di Maluku bukanah konflik agama tetapi
agama telah menjadi alat kepentngan politik. Hal ini seperti yang
terlihat pada scene-scene yang menggamabrkan konflik antara
kelompok “Putih”dan kelompok “Merah” pada durasi 00:04:43 –
00:05:02 dalam scene ini suasana yang dibangun oleh sutradara
adalah suasana yang mencekam, dengan menampilkan kepulan
asap, barikade, dan barang-barang yang berserakan di
jalan,terlihat sejumlah orang yang berlari-lari dengan membawa
senjata berupa parang, maupun batu dengan maksud untuk
menyerang kelompok lain yang ada di hadapannya. Warna ikat
kepala yang berbeda, menjadi simbol identifikasi kedua
kelompok yang sedang bertikai.
secara denotatif scene ini menggambarkan sekelompok
orang yang menggunakan ikat kepala putih maju menyerang
kelompok lawan yang memakai ikat kepala warna merah, sambil
meneriakan “Allahuakbar”,sedangkan dalam awan dari
kelompok putih yaitu kelompok dengan ikat kepala merah.
Kelmpok merah ini saat maju menyerang kelompok putih
menyanyikan lagu dengan lirik “Laskar Kristen maju, maju
berperang”. Secara konotatif dapat diidentifikasi bahwa
kelompok putih ini adalah adalah kelompok warga beragama
Islam, sedangkan kelompok merah dapat diidentifikasi sebagai

188
kelompok warga beragama Kristen. Kedua kelompok baik putih
dan merah terlibat dalam konflik Maluku, oleh sebab itu konflik
Maluku dimaknai sebagai konflik antara Islam dan Kristen.
Dalam konteks konflik di Maluku, terjadi pergeseran
makna terhadap warna putih dan merah. Dimana kedua warna
ini yang tadinya merupakan simbol identitas adat, bergeser
menjadi simbol agama. Putih untuk Islam, dan Merah untuk
Kristen. Nanere dkk (2000:20) menjelaskan, pada awalnya
“kelompok putih” dan “kelompok Merah” adalah kelompok lokal
yang muncul akibat pengkondisian matang oleh aktor-aktor
intelektual dibalik konflik Maluku. Konstruksi bahwa agama telah
dijadikan sebagai alat politik pada konflik Maluku, tergambar
Pada scene durasi 00:02:58. Secara denotatif, ditampilkan
sebuah spanduk berwarna merah dengan yang dibentangkan
diatas pagar besi berwarna putih dengan tulisan “HENTIKAN
POLITISASI AGAMA”. Makna konotatif, dari gambar ini adalah
ingin menunjukan bahwa agama bukan menjadi penyebab
utama terjadinya konflik di Ambon/Maluku, tetapi Agama telah
dijadikan sebagai alat politik.
Menurut Bakri (2015:58) Konflik yang terjadi di Kota
Ambon dan tempat-tempat lain di Maluku, merupakansebuah
hasil rekayasa dan sudah disetting untuk tujuan tertentu, antara
lain merusak tatatan kulturmasyarakat Ambon, dan merusak
sistem perekonomian dan sistem pendidikan di Kota Ambon.

189
Konflik horisontal mempunyai potensi yang besar untuk merobek
kedamaian dan mengoyak stabilitas.
Setting film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku adalah
Negeri Tulehu dan Negeri Passo. Dalam film ini identitas yang
ditampilkan pada kedua negeri ini adalah Tulehu sebagai Negeri
Salam dan Passo negeri Sarani. Gambaran Tulehu sebagai
negeri Salam terlihat Pada potongan scene durasi 00:37:28.
Secara denotatif, terlihat sebuah kubah dan menara berwarna
kuning dengan aksen berwarna coklat, yang tersamar diantara
pemandangan gunung dan pohon-pohon kelapa, Secara
denotatif, menunjukan sebuah masjid yang ukurannya cukup
besar dengan kubah berwarna kuning emas dan menara yang
tinggi. Makna konotatif kedua scene diatas menunjukan
bangunan kubah dan menara yang telah diterima secara luas
sebagai bagian dari identitas umat Islam. Gambaran Pohon
kelapa dan gunung-gunung yang hijau juga menggambarkan
adanya kesejukan dan kesuburan wilayah Tulehu.
Jika Tulehu digambarkan sebagai wilayah Salam, maka
Negeri Passo digambarkan sebagai wilayah Sarani. Hal ini di
disimbolkan dengan keberadaan SMK Passo sebagai sekolah
Kristen serta adanya tokoh Pendeta dari Negeri Passo. Narasi
film ini mengisahkan Sani yang tidak lagi melatih anak-anak
Tulehu, karena dikhianati oleh Rafi, ditawari pekerjaan sebagai
pelatih di SMK Passo oleh Yosef, guru SMK Passo. Awalnya

190
kehadiran Sani, yang seorang muslim sebagai pelatih sepakola
di SMK Passo, yang mayoritas muridnya beragama
Kristen,sempat ditolak oleh oleh Kepala sekolah. Kutipan dialog
kepala Sekolah pada scene durasi 01:15:02 adalah sebagai
berikut:

“Yosef, ose ini bagaimana, ose macam


baru kemarin mengajar disini sa, Sani itu
Muslim! apa kata orang tua murid nanti
kalau dong tahu Sani itu melatih disini?”
(Yosef, kamu ini bagaimana? Kamu
seperti baru kemarin mengajar disini
saja, Sani itu Muslim! Apa kata orang
tua murid nanti kalau mereka tahu Sani
itu melatih disini?)

Secara konotatif, kutipan dialog diatas memperlihatkan


penegasan kepala sekolah bahwa sekolah yang dipimpinya
adalah sekolah kristen, dimana murid-muridnya beragama
Kristen, sehingga pelatih sepakbola di sekolah tersebut haruslah
beragama Kristen pula.
Penggambaran Passo sebagai negeri Sarani juga
diambangkan oleh sosok pendeta sebagaimana ditampilkan
dalam scene pada durasi 01:40:57 yang secara denotatif,
menunjukan kedatangan seorang lelaki untuk bertemu dengan
Sani di Tulehu. Sosok lelaki ini memperkenalkan dirinya bahwa
ia adalah pendeta dari Passo. Secara konotatif, pendeta adalah
pemimpin sebuah jemaat di kalangan umat Kristen. Sebagai
191
pemimpin religius ia bertugas untuk memimpin ibadah,
mengajakan Firman Tuhan, serta melakukan pelayanan
penggembalaan bagi jemaat. Biasanya identitas seorang
pendeta identik dengan wilayah dimana ia melayani, sehingga
penyebutan Pendeta dari Passo, dapat dipahami bahwa
pendeta tersebut melayani umat kristen yang ada di Passo.
Pada level mitos, gambaran negeri Tulehu sebagai negeri
Salam dan Passo sebagai negeri Sarani dalam film ini, ingin
menunjukan adanya segregasi pemukiman berdasarkan agama
di Maluku. Pamungkas (2014:49) menyatakan, segregasi sosial
di antara umat Muslim dengan umat Kristiani tidak hanya dibatasi
oleh pola tempat tinggal, atau lapangan politik dan ekonomi,
namun hal itu juga tampak pada lapangan pendidikan. Sejak
konflik, umat Muslim dan umat Kristiani di kota berusaha untuk
saling menghindari dalam institusi pendidikan, baik di jenjang
pendidikan dasar, pendidikan menengah, maupun pendidikan
tinggi.
.
Tingkat Religiusitas Salam dan Sarani
Religiusitas yang dimaksudkan disini berhubungan
bagaimana individu mengamalkan, melaksanakan, serta
menghayati ajaran-ajaran dalam agamanya. Untuk itu, tinggi
rendahnya tingkat religiusitas seseorang, dilihat dari ekspresi
ritual dimana seseorang mampu mengerjakan kegiatan-kegiatan

192
yang berhubungan dengan ritual yang dianjurkan dalam agama.
(Darokah & Safaria, 2005:93)
Pada film Cahaya Dari Timur : Beta Maluku, tingkat
religiusitas masyarakat Tulehu dan Passo ditunjukan dalam
potongan dari scene durasi 00:35:25. Secara denotatif, terlihat
anak-anak Tulehu, yakni Jago dan teman-temannya sedang
berlari dengan semangat untuk bermain sepakbola, mereka
lewat jalan di tengah pemukiman penduduk dan terlihat ada
bangunan bangunan menyerupai rumah, dengan papan nama
bertuliskan “Taman Pengajian An Nisa” Secara konotatif, taman
pengajian merupakan sarana pendukung dalam mengajarkan
agama Islam lewat pembacaan Al-Quran kepada anak-anak.
Meski demikian penggambaran anak-anak yang lari dengan
membawa bola melewati taman pengajian ini, dapat dimaknai
bahwa anak-anak Tulehu lebih senang bermain bola dari pada
mengaji. Pada level mitos, sepakbola bagi masyarakat Tulehu,
bukan saja sekedar olahraga tetapi telah menjadi identitas.
Tulehu telah lama dikenal sebagai penghasil bibit-bibit atlet
sepakbola berbakat, dimana banyak pemain sepakbola nasional
berasal dari Tulehu.
Gambaran tingkat religiusitas lainnya dapat dilihat dalam
scene pada durasi 02:19:48, yang secara denotatif
menggambarkan warga Tulehu memenuhi pelataran Masjid
untuk mendengarkan kelanjutan pertandingan final sepakbola

193
lewat sambungan telepon hal yang sama juga dilakukan oleh
warga Passo yang mendengarkan pertandingan di Gereja, pada
scene durasi 02:30:21, hal ini terpaksa dilakukan karena siaran
langsung pertandingan sepakbola di televisi telah putus, saat
pertandingan memasuki babak adu penaliti. Secara konotatif
gambar diatas menunjukan makna yang sama bahwa rumah
ibadah baik itu Masjid maupun Gereja digunankan sebagai lokasi
nonton bareng. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa sutradara
mengkonstrusikan dua hal, pertama bahwa makna rumah ibadah
bagi orang Maluku hanya sebagai simbol keagamaan yang
dapat digunakan untuk kegiatan sekuler, sedangkan yang kedua
menyiratkan bahwa tingkat religiusitas Salam dan Sarani di
Maluku rendah.
Farid (2013:23) berpendapat masyarakat etnis maluku
merepresentasikan fanatismenya yang tinggi terhadap
agama,terlebih soal pemakaian simbol keagamaan. yang tampil
sangat dominan di ranah privat sekaligus ranah publik. Faktanya,
meskipun fanatik, masyarakat etnis Maluku sangat gemar
berdagang dan suka bersenang-senang, mereka akan sangat
mudah berjumpa, tanpa peduli perbedaan agama dan etnis, di
ranah publik seperti; di pasar, mall, café, karaoke, billyard, dan
sejumlah tempat hiburan yang pada dasarnya jauh dari simbol-
simbol agama dan etnis.

194
Kedudukan Raja dan Pendeta
Rosman dkk dalam Piliang (2013) menyatakan defenisi
kebudayaan menunjuk pada “cara hidup”(way of life) orang-
orang”. Kebudayaan dimiliki oleh setiap masyarkat, dan memiliki
perbedaan antara masyarakat yang satu dan masyarakat
lainnya. Dalam Film Cahaya Dari Timur : Beta Maluku,
ditampilkan gambaran budaya Maluku yang khas dan berbeda
dengan etnis lainnya.
Bentuk- bentuk identitas budaya tersebut seperti yang
dijelaskan potongan dari scene pada durasi 01:31:04 yang
mengambarkan suasana pertemuan atau rapat di rumah Bapa
Raja Tulehu, yang dihadiri oleh Sani Tawainella, Rafi Lestaluhu,
Yosef Matulessy, Sofyan, serta John Mailoa. Pertemuan
dilakukan guna membicarakan pembentukan tim sepakbola
Maluku usia 15 tahun, untuk mengikuti kompetisi di Jakarta.
Pada adegan pertemuan itu, Raja Tulehu, digambarkan
memakai peci berwarna putih. mengusulkan penunjukan Sani
sebagai pelatih kepala karena melihat kemampuan Sani dalam
menyatukan pemain Kristen dan Islam. Kutipan dialog yang
menyertai pada adegan ini antara lain,
John Mailoa: Jadi begini saudara-saudara saat
ini dana sementara dikumpulkan sedang besok
bung sofyan sudah harus berangkat karena itu
beta (saya) mengusulkan supaya saudara-
saudara bisa membentuk satu tim yang bisa
mewakili Maluku. Katorang (Kami) di komda PSSI
195
telah melakukan sejumlah pertemuan, melakukan
diskusi, dan dengan rekomendasi dari Bapak
Raja, kalau tim itu dibentuk maka saudara sani
ditetapkan sebagai pelatih kepala.
Rafi : tapi bapak John yang juara kompetisi
kemarin itu kan Tulehu Putra, kenapa bukan beta
(saya) saja yang jadi pelatih kepala?
Raja: betul Rafi tapi atas dasar pertimbangan usul
saran dari dari seluruh pihak dan melihat
kemampuan Sani bisa menyatukan pemain
kristen dan islam sehingga kita tetapkan Sani
pelatih kepala dan kamu asisten pelatih.
Rafi: Begini Bapak Raja, Bapak John, kakak
Sofyan, dengan segala hormat, kalau beta (saya)
tidak jadi pelatih kepala lebih baik beta (saya)
seng (tidak) terlibat sama sekali
Makna konotatif dari potongan scene dan serta kutipan dialog
diatas adalah sosok raja sebagai tokoh sentral yang berperan
penting dalam penunjukan pelatih kepala tim sepabola Maluku.
Meskipun dengan adanya pertemuan dapat dimaknai bahwa
pengambian keputusan dilakukan secara demokratis, namun
pertimbangan Raja merupakan faktor penting dalam
pengambilan keputusan. Keputusan penunjukan Sani sebagai
pelatih kepala walaupun tidak disetujui oleh Rafi namun pada
akhirnya Rafi harus pasrah dengan keputusan yang telah
ditetapkan oleh Raja Tuhelu. Dari gambaran itu, maka Raja
adalah sosok pengambil keputusan pada negeri adat di Maluku.
Tuasuun (2014:8) menjelaskan, pada dasarnya semua
desa atau negeri adat di Maluku pasti dipimpin oleh seorang raja.
Raja merupakan pemimpin masyarakat yang dianggap memiliki
196
wibawa dalam tutur kata, tingkah laku, kepemimpinan dan lain-
lain.Gambaran Raja Tulehu yang memakai peci putih juga
memberi makna bahwa raja Tulehu adalah sosok yang
pemimpin religius. Rauf (2013:18) memberi penjelasan bahwa
Masyarakat Maluku itu masyarakat adat sekaligus sebagai
masyarakat beragama yang memiliki tiga model tradisi hukum
yang padu dalam kehidupan mereka, hukum nasional, hukum
agama, dan hukum adat, sekaligus menjadikannya sebagai
masyarakat yang menganut pluralisme hukum. Sebagai
masyarakat adat, mereka memiliki pemimpin informal yang
diakui sebagai faktor pendorong kelancaran berbagai proses dan
memperoleh dukungan dari masyarakat. Sebagai bagian dari
masyarakat Indonesia, masyarakat etnis Maluku juga memiliki
pemimpin formal yang diakui sebagai faktor pendorong
pembangunan di berbagai bidang kehidupan dalam tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara, dan sebagai masyarakat
beragama (Islam) mengakui adanya pemimpin spiritual. Ketiga
model kepemimpinan itu dalam Islam berada di tangan bapak
raja.
Penggambaran sosok Bapa Raja Tulehu dalam film ini,
kontras dengan penggambaran dari negeri passo dimana sosok
yang yang ditampilkan sebagai pemimpin bukanlah sosok raja
sebagaimana pemimpin di desa adat tetapi Pendeta. Potongan
scene pada durasi 01:46:20. Secara denotatif menggambarkan

197
tugas Pendeta sebagai dalam melayani jemaat. Gambar
tersebut menggambarkan seorang Pendeta, sedang berdoa
bersama sebuah keluarga. Tangan kanan pendeta diangkat ke
atas kepala dua orang anak yang sedang berlutut, sementara
tangan kirinya mendekap kitab suci. Pada gambar juga tampak
orang tua kedua anak tersebut berdiri di belakang sang pendeta.
Secara konotatif scene tersebut menunjukan kedudukan
pendeta sebagai tokoh sentral di dalam komunitas Sarani.
Olehnya itu, jabatan pendeta sangat mendapat kedudukan yang
tinggi dan sangat dihargai oleh komunitas Sarani. Tuasuun
(2014) menjelaskan, penghargaan dan penghormatan yang
tinggi kepada jabatan pendeta tidak terlepas dari pengaruh
masuknya Kekristenan oleh bangsa Eropa, sehingga gereja dan
pendidikan menjadi suatu institusi atau lembaga baru yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat. disamping institusi yang
telah ada yaitu pemerintahan tradisional. Oleh sebab itu, dalam
negeri adat Sarani kedudukan Pendeta dapat disejajarkan
sepadan dengan raja karena keduanya. adalah pemimpin dalam
institusinya masing-masing, dan saling berkelindaan daam tugas
dan wewenang, dimana Gereja merupakan bagian dari
masyarakat dan sebaliknya masyarakat merupakan bagian dari
jemaatHal ini memberikan makna bahwa dalam negeri Sarani,
Pendeta memiliki kedudukan penting sebagai pemimpin spiritual
masyarakat.

198
Pieris (2004; 88) menyatakan bahwa di wilayah yang
merupakan wilayah yang dihuni oleh komunitas salam budaya
lokal (asli) tetap dipertahankan, dan dapat dikatakan tidak
tercemar oleh budaya yang datang kemudian, misalnya budaya
barat (Portugis dan Belanda). Tua-tua adat Salam lebih banyak
mengetahui dinamika adat istiadat dan bagaimana posisi dan
fungsi lembaga – lembaga adat masih tetap dijaga dan dipelihara
seperti kedudukan Raja (pemimpin negeri) Kapitan (penjaga
keamanan atau panglima perang) dan kewang (penjaga
lingkungan)

Tarian dan Lagu Daerah


Muslim (2013;223) menjelaskan, Secara kultural, orang Maluku
mempunyai ikatan persaudaran yang kuat. Ikatan persaudaraan
itu terkadang dimediasi melalui berbagai lagu dan tarian. Kadir
(2008;40) menyatakan menyanyi dan menari telah dianggap
sebagai bagian dari tradisi adat dan agama yang masih berlaku
pada setiap wilayah di Maluku. Beberapa jenis kesenian yang
menjadi identitas Etnis Maluku yang ditampikan dalam film
Cahaya Dari Timur : Beta Maluku, pada scene-scene berikut;

199
Tarian Cakalele (01:50:25)
(sumber: Cahaya Dari Timur: Beta Maluku, Produksi : Visinema
Pictures,2014)

Secara denotatif, pootongan scene menunjukan


penampilan enam orang pemuda yang sedang membawakan
tarian Cakalele, yang diiringi oleh alat musik tradisional berupa
gendang kecil yang dipukul dengan batang sagu. Setting adegan
ini dilakukan pada saat Sani Tawainella dan tim sepakbola
Maluku akan berangkat ke Jakarta. Penampilan para penari ini
menggunakan salempang, ikat kepala, dan celana pendek
warna merah-hitam dan memegang parang (pedang) serta
salawaku (tameng).
Secara konotatif, tarian cakalele, merupakan bentuk
kesenian tradisional masyarakat di kepulauan Maluku. dalam
pelaksanaannya tarian ini biasanya diirngi dengan suara alat
musik khas Maluku yakni Tifa.

200
Tuwo (2011;3) dalam penelitiannya tentang tarian cakalele ini,
menjelakan bahwa Tradisi Cakalele sebenarnya bermula dari
daerah Ternate, yang kemudian meluas ke daerah-daerah
pengaruh kerajaan hingga sampai ke daerah Maluku Tengah
(Ambon, Seram), termasuk juga ke wilayah semenanjung
Sulawesi Bagian Utara (Minahasa) dan juga di kawasan
sepanjang pantai timur Pulau Sulawesi. Tarian ini merupakan
Tarian perang tradisional yang pada awalnya hanya dilakukan
ketika akan menghadapi perang. Pakaian dan atribut berwarna
merah yang dikenakan, menyimbolkan rasa heroisme,
keberanian dan patriotisme orang Maluku ketika menghadapi
perang. Pedang pada tangan kanan menyimbolkan harga diri
warga Maluku yang harus dipertahankan hingga titik darah
penghabisan. Tameng (Salawaku) dan teriakan lantang
menggelegar pada selingan Tarian menyimbolkan gerakan
protes terhadap sistem pemerintahan yang dianggap tidak
memihak kepada masyarakat
Penggunaan warna merah yang dominan pada pakaian
penari cakalele di negeri Tulehu yang mayoritas Islam ini ini
cukup menarik, karena simbol warna merah pada saat konflik
sebelumnya identik dengan kelompok Kristen. Hal ini
memperkuat makna bahwa simbol warna baik merah maupun
putih sebenarnya merupakan simbol-simbol yang lekat dengan

201
adat di maluku. Namun ketika konflik berlangsung justru simbol-
simbol ini saling dibenturkan dan mengalami pergeseran makna.
Selain tarian, unsur budaya lain yang ditampilkan dalam
film ini adalah lagu daerah.
Pada potongan scene durasi ke 01:18:45, secara denotatif
digambarkan anak-anak Tulehu yang dilatih oleh Sani
Tawainella, sedang bersantai di pantai sambil bernyanyi
bersama-sama seorang kakek yang memainkan gitar kecil
(ukulele). Judul lagu yang dinyanyikan adalah buka pintu dengan
lirik yang sedikit digubah lebih jenaka.

Buka pintu..buka pintu..beta la mau masuk ee.


Sio la nona..nona..nona.. beta ada di luar ee..
Ada anjing gonggong beta ee...beta bale gonggong anjing
ee.
Sio la nona sio la nona beta mau maso ee..
Ada ujang basah beta ee... beta bale basah ujang ee..
Sio la nona sio la nona beta mau maso ee..
(Buka pintu saya mau masuk, duh, nona saya sekarang
berada di luar
Ada anjing menggongong saya, saya balik gonggong
anjingnya
Duh, nona saya mau masuk, Hujan turun membasahi saya,
saya balik basahi hujannya, Duh nona saya mau masuk)

Makna konotatif dari adegan tersebut adalah masyarakat etnis


Maluku senang bermain musik dan bernyanyi. Musik tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat Maluku. Oleh sebab itu,

202
sutradara film ini ingin menunjukan bahwa musik merupakan
salah satu bentuk identitas budaya etnis Maluku.
Jauh sebelum musik modern diperkenalkan dalam
hymne-hymne pada masa penyebaran agama Kristen Protestan
di era kolonial. Masyarakat Maluku sudah mengenal Kapata.
Kapata atau petuah bijak ini merupakan nyanyian yang
menggunakan bahasa daerah/bahasa adat atau dapat dikatakan
sebagai nyanyian tradisi. Kapata adalah tradisi menutur tentang
peristiwa-peristiwa masa lampau, dibawakan secara resitatif
(setengah bernyanyi setengah berbicara). Bahasa adat yang
digunakan hanya diketahui oleh orang-orang tua tertentu saja
dan diwariskan secara turun-temurun oleh para kapitan kepada
anak lelakinya yang tertua. Mereka inilah yang berhak memimpin
upacara-upacara adat termasuk kapata-kapata. Kapata
biasanya dinyanyikan atau diperdengarkan bilamana sedang
dilaksanakan upacara adat. Masyarakat Maluku pada umumnya
masih taat pada petuah-petuah yang diberikan oleh leluhur
mereka melalui kapata-kapata tersebut (Muslim, 2013;224).
Bartels (1979) dan Chauvel (1990) via Kadir (2008;42)
menjelaskan Nyanyian dan musik identik dengan modernitas
masyarakat yang diusung pada masa kolonial. Pada masa ketika
ajaran kristen mulai berkembang di Maluku, Sekolah-sekolah
mulai mengenalkan musik sebagai bagian dari kurikulum. Siswa-
siswi diwajibkan untuk belajar tiga keahlian utama yakni:

203
membaca, menulis dan menyanyi. Dengan melalui belajar
menyanyi di sekolah dan gereja, setiap anak muda Maluku,
menjadi terbiasa untuk lebih familiar dengan berbagai jenis lagu.
Kadir (2008;60) dalam penelitiannya, menemukan bahwa dalam
musik lagu-lagu Ambon mengandung sisi romantisme, beberapa
topik yang diangkat dalam lagu-lagu daerah, antara lain rasa
cinta terhadap tanah kelahiran, romantisme terhadap kekasih,
serta rasa cinta dan penghormatan terhadap sosok ibu kandung
atau mama.

Bahasa Tana
Bahasa menjadi salah satu bentuk identitas masyarakat etnis
maluku yang ingin ditampilkan dalam film Cahaya Dari Timur:
Beta Maluku. Karena itu, dalam film ini keseluruhan dialog yang
digunakan adalah dialek Melayu Ambon. Selain dialog melayu
Ambon, ada pula adegan yang menggunakan bahasa daerah
yang pada masyarakat Maluku, dikenal dengan sebutan “bahasa
tana”. Sebagaimana yang digambarkan dalam scene pada
durasi 01:51:18 Secara denotatif, scene ini menggambarkan
suasana acara pelepasan tim sepakbola Maluku yang akan
berangkat ke Jakarta. Pangana, yang menjadi pendamping Sani
ketika melatih sepakbola datang dan menemui Sani sesaat
sebelum Sani menaiki bus. Tujuan Pangana datang yaitu untuk
memberikan kostum latihan Tim Maluku serta mendoakan Sani

204
dan rombongan. Berikut adalah kutipan kata-kata yang
diucapkan oleh Pangana :
Upu ama Allah
Ai jaga imbi
wan mansiya isian amane
(Tuhan Allah, Dia akan menjaga kalian Di negeri orang)
Secara konotatif, potongan scene diatas dapat dimaknai bahwa
bahasa yang dituturkan oleh Pangana adalah bahasa tana, yang
masih terpelihara dan digunakan oleh masyarakat di negeri
Tulehu. Pieris (2004;89) maupun Muhammad (2013;267)
menyatakan bahwa bahasa tana saat ini masih aktif digunakan
di kalangan masyarakat Salam terutama di tingkat pedesaan.
Kendati kebanyakan penutur seringkali melakukan
codeswitching ‘antara bahasa tana dengan Bahasa Indonesia
dialek Melayu Ambon. Musgrave (2005;2) menjelaskan bahwa
Bahasa tana yang digunakan di negeri Tulehu, Tengah-Tengah
dan Tial, yakni tiga negeri Salam yang bertetangga di wilayah
timur pulau Ambon, disebut sebagai bahasa Sou Amana Teru
(Bahasa Tiga Negeri). Dari total populasi pada tiga negeri
tersebut, diperkirakan sekitar 10.000 orang yang fasih
menggunakan Sou Amana Teru, dan sekitar 6000 orang yang
hanya sedikit memahami bahasa tersebut. Jumlah ini
mengkhawatirkan, karena salah satu syarat lestarinya bahasa
adalah jika jumlah penuturnya mencapai 100.000 orang
(Muhammad, 2013;259).

205
Bahasa tana adalah bahasa ibu orang Maluku. Istilah
‘Tana’ dalam bisa berarti ‘Tanah atau bisa dimaknai sebagai
‘Tanah leluhur’, sehingga bahasa ‘Tana’ dapat diartikan sebagai
bahasa asli tanah leluhur etnis Maluku. Bahasa Tana yang
digunakan pada masyarakat negeri adat di pulau Ambon dan
pulau sekitarnya (Salahutu, Jazirah Leihitu, Sebagian Jezirah
Huamual, dan Hatuhaha) yang notabene beragama Islam, dibagi
menjadi dua jenis tingkat; pertama bahasa ‘Malai’ digunakan
penutur untuk percakapan sehari-hari. Kedua, bahasa ‘Matuang’
yakni bahasa tana secara khusus digunakan penutur untuk
penghormatan, atau upacara pengambilan sumpah seorang
Raja. (Muhammad 2013;257,263).
Collins (2003;261) menjelaskan, sebelum era kolonial,
masyarakat maluku banyak memiliki ragam bahasa tana,
misalnya bahasa Laha dan Sou Amana Teru di Pulau Ambon.
Sehingga pada masa awal kedatangan misionaris di Maluku,
oleh bangsa Portugis diputuskanlah untuk menggunakan
bahasa melayu sebagai bahasa resmi. Bahasa melayu inilah
kemudian yang menjadi bahasa pengantar pada sekolah-
sekolah yang didirikan oleh gereja di Maluku pada abad ke-
16.Pengaruh Kekristenan dan keputusan Portugis untuk
menjadikan bahasa melayu sebagai bahasa resmi pada sekolah-
sekolah dan gereja di Maluku berdampak pada “punahnya”
bahasa tana pada negeri-negeri Sarani. Collins (2003;265)

206
menyatakan tidak diketahui secara pasti, kapan bahasa tana
punah di Negeri-negeri Sarani, namun dari catatan perjalanan
C.G.C. Reinwardt tahun 1821 di Ambon, diketahui bahwa
Reinwardt telah mengumpulkan daftar kosakata bahasa tana
dari negeri Salam (Hitu), tapi ia tidak mengumpulkan daftar
kosakata di negeri Sarani. Dari catatan tersebut maka
diperkirakan bahasa tana di negeri sarani tidak lagi dignakan
secara umum oleh populasi kristen di Ambon. Awal abad ke-19.
Punahnya bahasa tana di di negeri Sarani, secara tidak langsung
menunjukan bahwa peranan adat tidak lagi menjdi signifikan
dalam kehidupan masyarakat negeri Sarani. Adat pada
komunitas Sarani hanya bersifat simbolik atau sekedar diadakan
dan tidak lagi merupakan nilai sakral yang harus dihormati dan
dijunjung. (Pieris,2004;89)

Kearifan Lokal : Ale Rasa Beta Rasa


Konsep Ale (kamu) rasa beta (saya) rasa, adalah sebuah konsep
yang secara sosiologis kultural mengandung arti yang dalam
bagi orang Maluku. Lebih dari sebuah konsep, “ale rasa beta
rasa” telah menjadi sebuah pengertian budaya yang memberi
inspirasi bagi orang Maluku tentang model sebuah kehidupan,
model relasi sosial antarmanusia di dalam masyarakat, relasi-
relasi lintas individual, lintas kelompok, lintas kampung-negeri,
lintas sub etnis bahkan lintas agama (Wenno, 2011:87)

207
Dalam film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku, ditampilkan
adegan-adegan yang mengandung konsep budaya ale rasa beta
rasa sebagai suatu kearifan lokal yang dimiliki Masyarakat etnis
Maluku. scene yang menggambarkan hal itu seperti pada durasi
ke 01:41:04 Secara denotatif, dalam gambar terlihat Pendeta
dari Passo datang menemui Sani yang tengah berbincang
bersama bapa Jago, untuk memberikan persembahan uang dari
Jemaat Negeri Passo, untuk membantu biaya keberangkatan tim
Sepakbola Maluku ke Jakarta. Secara konotatif, scene diatas
dapat dimaknai adanya kepedulian dari pendeta dan jemaat
negeri Sarani pada persoalan kekurangan biaya yang dihadapi
oleh Sani dari negeri Salam. Kepedulian itu diwujudkan dengan
tindakan nyata dengan memberikan bantuan berupa uang
kepada Sani. Apa yang dilakukan oleh pendeta tersebut
menunjukan suatu bentuk relasi sosial lintas negeri maupun
lintas agama dalam konsep ale rasa beta rasa sebagai bentuk
kearifan lokal masyarakat maluku.
Wenno (2011:89) menjelaskan “Ale rasa beta rasa” mengandung
makna persaudaraan yang kuat bagi masyarakat Maluku.
Konsep ini seacara konseptual bermakna suatu kesadaran atau
tentang apa yang dipahami sebagai “common feeling”. Yaitu
perasaan senasib, sepenanggungan, masohi/gotong royong,
Atau dengan kata lain “ale rasa beta rasa” mengandung arti
tentang kesadaran akan hidup yang saling berbela-rasa, hidup

208
yang saling memahami, mengerti, dan menerima apa yang
dirasakan oleh sesamanya. Ciri budaya sebagai wujud
solidaritas yang terbangun dalam semangat “ale rasa beta rasa”
juga diwujudnyatakan dalam budaya Pela-Gandong
(sekandung).
Pieris (2004:143) menjelaskan, Pela-Gandong adalah
‘ideologi kerukunan’ berbasis kultur dan sejarah di Maluku.
Ideologi kerukunan ini lahir dari pengalaman-pengalaman konflik
di masa lalu, yang sering terjadi pada negeri-negeri di Maluku
tengah baik itu seagama maupun berbeda agama.

Kesenjangan Sosial-Ekonomi
Isu kesenjangan sosial-ekonomi antara Salam dan Sarani telah
lama menjadi realitas sosial di Maluku. Menurut Pieris
(2004:166) dikotomi Salam dan Sarani dipertajam oleh
perbedaan dalam tingkat pendidikan dan profesi atau pekerjaan
kedua kelompok tersebut, dimana Salam kebanyakan
menguasai sektor perekonomian menengah kebawah
sedangkan Sarani kebanyakan bekerja pada birokrasi
pemerintahan. Komunitas Salam di Tulehu dalam film ini
digambarkan sebagai masyarakat yang hidupnya miskin, karena
penghasilan yang tidak menentu, sehingga anak-anak mereka
diharuskan membantu usaha orang tuanya. Masyarakat Tulehu

209
juga digambarkan tinggal di rumah-rumah yang sederhana,
sempit, suram, beratap daun sagu, berdinding papan atau gaba-
gaba (pelepah pohon sagu)
Pada sisi lain, kelompok Sarani dalam film ini digambarkan
sebagai orang-orang yang bekerja sebagai sebagai aparatur
pemerintahan, misalnya tokoh Yosef dan kepala Sekolah SMK
Passo.Tokoh lainnya yakni, Fingky dan Fangky, dua bersaudara
asal passo yang kemudian masuk dalam tim sepakbola Maluku,
dinarasikan sebagai anak seorang polisi.Keluarga Fingky dan
Fangky digambarkan tinggal dirumah beton yang besar, terang,
dengan teras yang luas.
Makna konotasi pada scene-scene tersebut
mengidentifikasikan bahwa bahwa warga Sarani banyak yang
bekerja sebagai pegawai pemerintahan dengan strata ekonomi
yang lebih tinggi dari warga Salam. Pada level mitos, kondisi
strata sosial-ekonomi Salam dan Sarane yang direprsentasikan
dalam film ini memperkuat mitos mengenai kesenjangan antara
etnis Maluku Salam dan Sarani.
Kesenjangan sosial-ekonomi antara Salam dan Sarani,
tidak terlepas dari sejarah ketika negara kolonial Belanda
berkuasa. Pamungkas (2014:44) menyatakan jarak sosial antara
umat Muslim Ambon dengan umat Kristiani Ambon menjadi lebar
sebagai hasil dari isu kewarganegaraan, dan perekrutan
pegawai negeri sipil. Belanda lebih menyukai orang-orang

210
Ambon yang beragama Kristiani dalam perekrutan pegawai
negeri sipil dan tentara karena mereka tidak mempercayai
orang-orang Ambon yang beragama Islam. Sebaliknya, orang-
orang Ambon yang beragama Islam pada umumnya enggan
bekerja untuk pemerintahan kolonial, karena mereka khawatir
akan pindah keyakinan ke ajaran Protestan.
Chauvel (1990) via Pieris (2004:166) dan Abdullah
(2014:75) menyatakan dari hubungan kedekatan pemerintah
kolonial dan warga Kristen, munculah stereotype bahwa orang
Kristen adalah masyarakat kelas atas, bermental Ambtenaar
(bermental priyayi, anti pekerja kasar), yang mengusasi sektor
pemerintahan dan pendidikan. Sedangan orang Islam dicitrakan
sebagai masyarakat kelas dua, para pekerja kasar yang
menguasai sektor perekonomian menengah ke bawah.
Ratnawati (2006) dalam Abdullah (2014:75) menjelaskan pada
masa orde baru, Peran tradisional komunitas Kristen cenderung
mengalami pergeseran, berpindah secara pelan tapi pasti ke
tangan komunitas Muslim. Hal ini terkait erat dengan pesatnya
pertumbuhan penduduk Islam. Gelombang pendatang dari
Bugis, Buton, Makassar (BBM) dan Sumatera, Kalimantan, Jawa
(SKJ), hampir seluruhnya beragama Islam. Pendatang Islam
dikenal sebagai pekerja yang ulet dan gigih akhirnya menguasai
bidang ekonomi karena untuk masuk birokrasi yang relatif
dikuasai Kristen tidaklah mudah. Kaum pendatang ini kemudian

211
menyumbang terjadinya penajaman segregasi penduduk
berbasis agama (yang telah ada sebelumnya) karena faktor-
faktor perkawinan, mata pencaharian, dan tempat tinggal. Posisi
warga muslim sebelum konflik pecah di Ambon sudah dalam
posisi yang semakin menguat serta berimbang dengan warga
Kristen. Banyaknya kaum migran di Maluku juga berimbas pada
akulturasi kebuadayaan sehingga nilai-nilai budaya makin
melemah, apabila kondisi yang rentan ini kemduian dimasuki
oleh agenda-agenda elit politis maka sangat mudah untuk
tersulut konflik.

Karakteristik Personal
Karakteristik personal menjadi bagian penting dalam identitas
etnis, karena meskipun karakter berhubungan dengan cara
berpikir, bertindak, serta aktualisasi diri pada masing-masing
individu, namun apabila tiap individu itu menjadi bagian dari
kelompok sosial maka budaya kolektif juga ada pada dirinya.
(Kusuma & Puspita, 2016:78). Pengetahuan kita terahadap
karakteristik suatu etnis, seringkali di dapatkan melalui
konstruksi media massa. Islam (2012:239) menyatakan
pemberian label terhadap individu oleh media massa secara
tidak langsung memunculkan suatu stereotype yang tanpa
disadari mampu membangun kognitif kita tentang individu
bahkan sangat memungkinkan mengeneralisasikan suatu

212
etnisitas tertentu. Watak atau karakter dalam film merupakan
istilah yang merujuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang
ditafsirkan oleh penonton. Karakter tokoh dibentuk melalui
adegan serta dialog yang diucapkan dengan pola pengulangan
tertentu sehingga kita sebagai penonton dapat mengenali
karakter khas yang dimainkan.
Dalam film Cahaya Dari Timur : Beta Maluku, tokoh Salembe
yang diperankan oleh Bebeto Letualy, menurut peneliti
mengkonstruksikan karakteristik personal Etnis Maluku yang
berwatak keras, hal ini tergambar dalam scene yang
menggambarkan Salembe terlibat dalam perkelahian dengan
Saiful pada durasi 01:21:31, dan scene dimana Salembe
melakukan tackle keras pada rekan se-timnya durasi ke
01:36:14.
Farid (2013:22) menggunakan istilah “keambonan”. Untuk
mendeskripsikan suatu karakteristik yang dimiliki oleh Etnis
Maluku yang keras dan tempramental. Memori kolektif atas
konflik, bahkan sejak era kolonlikial membawa masyarakat etnis
Maluku hidup dalam kultur kekerasan. Etnisitas dan religiusitas
orang Maluku juga begitu kuat. Sehingga segala perkara jika
telah menyinggung perihal etnis dan agama akan menyulut
konflik. Abdullah dalam Farid (2016:41) menjelaskan meskipun
hidup bersama, orang Maluku masih sulit menerima perbedaan,
dan perbedaan agama adalah salah satu dari banyaknya

213
perbedaan yang ada dalam kehidupan bersama orang Maluku.
Semua orang di Maluku tentunya mendambakan perdamaian,
namun perdamaian tersebut harus terlebih dahulu ditempatkan
pada wadah kebenaran dan kejujuran.
Sekalipun tokoh salembe digambarkan memiliki karakter yang
keras namun karakternya itu mampu ia manfaatkan untuk
memotivasi rekan-rekannya di di ruang ganti pada saat laga final
berlangsung.

Salembe memotivasi Rekan se-timnya (02:14:42)


Sumber : Cahaya Dari Timur: Beta Maluku, Produksi :
Visinema Pictures, 2014

Gambar diatas merupakan potongan scene pada durasi


02:14:42, secara denotatif menggambarkan Salembe sedang
berbicara kepada rekan-rekan setimnya yang telah kehilangan
semangat karena tertinggal dari lawan. Di saat rekan-rekan
Salembe mengeluhkan tentang perlakuan wasit yang tidak adil
dan cenderung memihak lawan maka, salembe mengajak rekan-
214
rekannya untuk tetap kuat. Kutipan dialog Salembe kepada
teman-temanya sebagai berikut :

“kawan kalo wasit curang kasi biar saja,


biar katong dapat tackle keras badiri lai
kalau dapat sikut keras berdiri lai, jang
dong anggap katong remeh”
(kawan, kalau wasit curang, biarkan saja,
walau kita ditackle keras, berdiri lagi, kalau
disikut keras berdiri lagi. Jangan mereka
anggap kita remeh)

Secara konotatif, gambar dan dialog diatas mengkonstrusikan


bahwa Salembe karakter keras Salembe, berimplikasi pada
sikap pantang menyerah dan tidak mau dipandang remeh oleh
orang lain. Sikap pantang menyerah dan tidak mau dipandang
remeh apabila di wujudkan dalam konteks mengejar cita-cita
maka dapat menghasilkan sesuatu yang positif.
Selain mampu memotivasi rekan-rekan setim-nya tokoh
Salembe dalam film ini juga digambarkan sebagai anak yang
sayang kepada ibunya. Salembe berjanji akan membuat ibunya
bangga. Pada scene durasi 01:47:07, secara denotatif
memperlihatkan momen dimana Salembe yang kerap berbuat
onar berjanji akan membuat ibunya bangga, dengan mengikuti
kejuaraan sepakbola di Jakarta. Malam sebelum berangkat, Ibu
Salembe memberikan makanan kesukaan Salembe, suasana
berubah haru dan salembe lalu menatap ibunya dan berkata “kali

215
ini beta mau biking mama bangga” lalu memeluk ibunya sambil
menangis.
Secara konotatif, makna dari potongan scene dan kutipan
dialog ingin menunjukan bahwa sekasar-kasarnya Salembe ia
juga memiliki hati yang lembut dan hormat kepada ibunya. Ini
menggambarkan karakter masyarakat maluku yang
menghormati sosok Ibu. Di Maluku ada ungkapan Ina Hati
Tuang, yang merupakan ungkapan penghormatan bagi seorang
ibu/mama. Ungkapan ini mengisyaratkan rasa cinta kepada
seorang ibu. Selain itu, Ina dapat juga diartikan sebagai tempat
kelahiran (negeri,dusun/kampong), sebagai wilayah/tanah
pusaka, tempat kelahiran, yang memberi makan dan minum,
sehingga muncul ungkapan “Tanah Air Beta, Tanah Tumpah
Darah”.

Kesimpulan
Film Cahaya Dari Timur:Beta Maluku (2014) karya
sutradara Angga Dwimas Sasongko, merupakan film nasional
pertama yang memotret kehidupan masyarakat etnis Maluku
pada lokalitas wilayahnya sendiri. Film ini menceritakan
perjalanan hidup Sani Tawainella yang menginisiasi lahirnya
rekonsiliasi pasca konflik bernuasa SARA di Maluku, lewat
sepakbola sebagai ruang bersama.

216
Sesuai dengan tujuan awal penelitian ini yaitu ingin
mengetahui bagaimana konstruksi identitas masyarakat etnis
Maluku direpresantasikan dalam film Cahaya Dari Timur:Beta
Maluku maka berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan
bahwa konstruksi identitas masyarakat etnis Maluku yang
direpresentasikan oleh sutradara film ini berpusat pada
polarisasi agama Islam dan Kristen atau yang disebut Salam –
Sarani. Polarisasi Salam dan Sarani tidak hanya mengenai
adanya pemisahan atau pengelompokan (segregasi) wilayah
pemukiman, yang dalam hal ini merujuk pada negeri (desa)
dimana masyarakatnya beragama Islam atau Kristen, tetapi
polarisasi ini juga telah menjadi sebuah kultur masyarakat yang
membentuk identitas budaya yang khas pada masing-masing
komunitas.
Meskipun segregasi didasarkan pada polarisasi agama,
namun masyarakat etnis Maluku, pada film ini direpresentasikan
terjebak pada simbol-simbol agama yang tidak substantif.
Konstruksi lainnya dalam film ini adalah tentang identitas
budaya, dimana komunitas Salam direpresentasikan lebih
memelihara keaslian adat-istidat, bahasa asli, serta lebih banyak
mengetahui bagaimana posisi dan fungsi lembaga – lembaga
adat seperti kedudukan raja sebagai pemimpin negeri sekaligus
pemimpin religius. Sedangkan komunitas Sarani

217
direpresentasikan lebih menghayati nilai-nilai kearifan lokal yang
menginisiasi rekonsiliasi pasca konflik di Maluku.
Konstruksi identitas lainnya yang direpresentasikan yaitu
mengenai kesenjangan dalam kehidupan sosial–ekonomi
masyarakat etnis Maluku, dimana komunitas Sarani
direpresentasikan sebagai masyarakat dengan strata sosial-
ekonomi yang lebih tinggi dari komunitas Salam.
Disamping itu, konstruksi identitas budaya yang
direpresentasikan adalah berupa tarian dan lagu daerah juga
yang telah menjadi bagian dari adat-istiadat, maupun sebagai
ekspresi kecintaan dan kebanggan, terhadap negeri dan
kampung halamannya. Sedangkan untuk kontsruksi karakteristik
personal, masyarakat etnis Maluku di representasikan sebagai
dua sisi mata uang, yaitu pribadi yang bertemperamen keras,
emosional, nekat dalam bertindak, namun sekaligus pribadi yang
tangguh dan tidak mau diremehkan oleh orang lain. Tetapi pada
sisi lain, orang Maluku juga dikenal memiliki sikap menyayangi
dan menghormati sosok ibu, dan memiliki kebanggaan serta
rasa cinta yang tinggi terhadap kampung halamannya,
Berdasarkan hasil analisis terlihat ada keberpihakan
Sutradara film Cahaya Dari Timur : Beta Maluku, kepada
komunitas Sarani dengan penggambaran komunitas Sarani
yang lebih unggul atau lebih dominan dari komunitas Salam.
Komunitas Sarani digambarkan sebagai kalangan yang

218
menginisiasi rekonsiliasi pasca konflik, memiliki status sosial
ekonomi yang lebih tinggi, serta penggambaran keluaga yang
lengkap, sementara Representasi komunitas Salam yang
mungkin baru pertama kalinya ditampilkan dalam film ini,
sebagai pendendam, tidak mau berdamai, memiliki status sosial-
ekoomi yang lebih rendah dari Sarani, tidak memiiki gambaran
keluarga yang lengkap. Selain itu komunitas Salam dalam film
ini juga digambarkan tidak berbeda dengan penggambaran etnis
Maluku dalam film-film sebelumnya yaitu lekat dengan
kekerasan

Daftar Pustaka
Alwi, Des (2005) Sejarah Maluku : Banda Naira, Ternate, Tidore
dan Ambon. Cetakan ke 1. Jakarta. PT. Dian Rakyat
Achmad, Nur (2001) Pluralitas Agama, Jakarta, PT. Kompas
Media Nusantara.
Pieris, John (2004) Tragedi Maluku : Sebuah Krisis Peradaban,
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia
Barker, Chris (2004) Cultural Studies : Teori & Praktek,
Yogyakarta Kreasi Wacana,
Barthes, Roland (2007) Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa:
Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol dan
Representasi Cetakan ke 1, Bandung & Yogyakarta,
Jalasutra.

219
Burton, Graeme (2008) Yang Tersembunyi Di Balik Media:
Pengantar Kepada kajian Media Cetakan ke 1, Bandung
& Yogyakarta, Jalasutra
Castells, Manuel (2010) The Power Of Identity. 2nd Edition. West
Sussex. Blackwell Publishing. Ltd.
Fiske, John (1990) Introduction To Communication Studies, 2nd
edition, London, Routledge
Hall, Stuart (1997) Representation : Cutural Representation and
Signifying Practices, London, SAGE Publications
Ida, Rachmah. (2014). Metode Penelitian Studi Media dan Kajian
Budaya, Edisi Pertama, Jakarta, Kencana.
Islam, Nurul (2012) Representasi Etnisitas Dalam Bingkai
Bhinneka Tuggal Ika Di Media. Dimuat dalam Jurnal
Dakwah Tabligh, Vol. 13, No. 2, Desember 2012 hal 235
- 257
Jati, Wasisto Raharjo (2013) Kearifan Lokal Sebagai Resolusi
Konflik Keagamaan. Dimuat dalam Jurnal Walisongo,
Volume 21, Nomor 2, November 2013 Hal 393-416.
McQuail, Denis (2010) Mass Communication Theory. London,
SAGE Publications
Mulyana, Deddy, (2008) Komunikasi Massa : Kontroversi, Teori
dan Aplikasi Cetakan 1.Bandung, Widya Padjajaran.
Pratista, Himawan (2008) Memahami Film, Yogyakarta,
Homenium

220
Ralahallo, Roubrenda.N (2009) Kultur Damai Berbasis Tadisi
Pela Dalam Perspektif Psikologi Sosial, Jurnal Psikologi
volume 36, no. 2, desember 2009: 177 – 188
Sobur, Alex (2004) Semiotika Komunikasi. Cetakan ke 2.
Bandung. Remaja Rosdakarya
------------------(2004) Analisis Teks Media. Cetakan ke 4.
Bandung. Remaja Rosdakarya
Soekanto, Soerjono (2002) Sosiologi : Suatu Pengantar. Jakarta.
Raja Grafindo Persada.
Susan, Novri (2009) Pengantar Sosiologi Konflik. Edisi Revisi,
Jakarta. Kencana
Tanudjaja, Bing Bedjo (2007) Pengaruh Media Komunikasi
Massa Terhadap Popular Culture Dalam Kajian
Budaya/Cultural Studies (Dimuat dalam Jurnal Nirmana,
vol.9, no. 2, juli : 96-106)
Wenno, I.H (2011)Budaya “Ale Rasa Beta Rasa” Sebagai
Kearifan Budaya Lokal Maluku Dalam Pembentukan
Karakter Bangsa (Dimuat dalam Jurnal Cakrawala
Pendidikan,Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY Mei:
85-96)
Pamungkas, Cahyo (2014) Agama, Etnisitas, Dan Perubahan
Politik Di Maluku: Refleksi Teoretik Dan Historis (Dimuat
dalam Masyarakat Indonesia, Vol. 40/1, Juni :37-56)

221
Farid, Muhammad (2013), Membangun Ruang Publik Beragama
Di Maluku (Dimuat dalam Jurnal Aktual, Vol.1 No.1,
Desember:11-26)
Tuasuun, Josina (2014) Stratifikasi Sosial Dalam Gereja :Suatu
Kajian Sosio Historis terhadap Kedudukan dan peran
Raja di Jemaat GPM Aboru Maluku Tengah dalam
persepktif Ketetapan Sinode GPM Nomor 08/SND/Ke
36/2010 (repository.uksd.edu/handle/123456789/4022,
diunduh Maret 2016)
Rauf, Abdul (2013) Interaksi Agama Islam Dengan Adat: Studi
tentang Seremonial Salat Idul Adha Masyarakat Muslim di
Hitu Lama dan Hitu Messing Ambon Maluku (Dimuat
dalam Jurnal Fikratuna, Vol. 5, Nomor 1, Januari-Juni: 15-
36)
Muslim,Abu (2013) Artikulasi Religi Sajak-Sajak Basudara Di
Maluku (Dimuat dalam Jurnal “Al-Qalam” Volume 19
Nomor 2 Desember : 221-230)
Kadir, Hatib Abdul (2008) Romantisme Anak Muda dalam Lagu-
Lagu Ambon (Dimuat dalam Jurnal Ilmu Komunikasi,
Volume 5 Nomor 1 Desember : 39-63)
Tuwo, Nurhayati (2013) Tari Cakalele:Studi Identitas dan
Penguatan Integritas Masyarakat Maluku di Kota Ambon
(Skripsi : Universitas Hasanudin Makassar)

222
Muhammad (2013) Musnah Bahasa Daerah Akibat Billingual
Dan Multilingual : Studi Kasus Bahasa ‘Tana’ di Kota
Ambon (Dimuat dalam Jurnal Fikratuna, Vol. 5, Nomor 1,
Januari-Juni: 255-276)
Musgrave Simon (t.t) Dialects and Varieties in a Situation of
Language Endangerment
Collins, James (2003) Language death in Maluku; The impact of
the VOC (was downloaded from http://www.kitlv-
journals.nl, March 2016)
Family Identity in Indonesian Films (2016) :Interpersonal
Communications between Fathers, Who are Transgender
or Transsexual, and Their Children (International Journal
of Social Science and Humanity, Vol. 6, No. 1, January
:77-80)
Piliang, Yasraf Amir (2013) Forensik dalam persfektif budaya:
Sebuah tantangan bagi semiotika Jurnal Sosioteknologi
Edisi 29 Tahun 12, Agustus :367-376)
Abdullah, Subair (2014) Merayakan Satu Dekade Pasca Konflik:
Hidup Harmonis Dalam Bingkai Segregasi (dimuat dalam
Jurnal Studi Islam Vol. 3Nomor 1 :73-86)

*)PNS dan Mahasiswa Magister Media & Komunikasi Universitas


Airlangga Surabaya, penerima Beasiswa Kemenkominfo 2014,
e-mail: reinsisca@gmail.com

223
KRITIK DOMINASI KELOMPOK MAYORITAS ETNIS DAN
AGAMA MEMBUNGKAM MINORITAS SERTA
HARMONISASI DALAM TEKS MEDIA MASSA
(Analisis Wacana Teun A. Van Dijk pada Film Tanda Tanya)

Rustono Farady Marta*

Pendahuluan
Indonesia memiliki keragaman etnis, ras, dan budaya.
Adanya keragaman tersebut menjadikan Indonesia sebagai
salah satu negara yang masih memegang konsep
multikulturalisme pluralis. Faktanya tidak semua keragaman
tersebut hidup berdampingan, saling toleransi, dan menghormati
satu sama lain, sehingga konflik sosial terjadi antara mayoritas
dengan minoritas.
Kondisi yang terjadi adalah kelompok mayoritas menekan
minoritas dengan dominasi semua aturan yang ditetapkan.
Terkadang konflik sosial yang timbul karena perbedaan dan
keragaman yang ada, dimana sebagian besar etnis dan agama
adalah topik panas yang rentan terhadap masing-masing
kelompok di Indonesia. Apabila hal ini dibiarkan, dapat
menyebabkan segregasi di masyarakat Indonesia, hal ini
dibuktikan oleh kesenjangan antara kelompok mayoritas dan
minoritas Indonesia.
224
Menurut Suryadinata melalui hasil Sensus Penduduk 2003
membuktikan bahwa etnis etnis Jawa memiliki persentase
terbesar yakni diangka 85.4% dan etnis Tionghoa sebesar 3.7%.
Dimana agama Islam memiliki persentase sebesar 87.18%,
agama Katolik sebesar 2.91%, dan agama Konghucu 0.72%.
Keberagaman agama dan etnis ini digambarkan melalui
film yang berjudul „?‟ (tanda Tanya) yang ditayangkan pada
tanggal 7 April 2011. Film ini mengangkat tema keragaman
agama dan etnis pluralis, tetapi di dalamnya ada kelompok-
kelompok yang berbeda saling mengerti. Sebaliknya, ada
beberapa aktor yang mengedepankan toleransi di antara
perbedaan antara kelompok.
Film ini menceritakan tiga keluarga yang berbeda ras dan
agama. Keluarga pertama, berasal dari etnis Tionghoa
ditokohkan dengan sosok seorang kepala keluarga yang
memiliki rumah makan bernama Tan Kat Sun yang beragama
Konghucu dengan anaknya bernama Tan Ping Hen atau akarab
dipanggil Hendra.
Keluarga kedua adalah Soleh, Menuk dan kedua anaknya
yang bergama islam serta etnis Jawa. Terakhir ibu dan anak
yang beretnis etnis Jawa dengan keyakinan yang berbeda,
dimana tokoh sang ibu diperankan Rika yang beragama Katolik
dan anaknya bernama Abi yang beragama Islam. Dalam film
terjadi konflik sosial antar kelompok mayoritas dan minoritas,

225
diawali dengan peristiwa saling mengolok-olok diantara dua
kelompok etnis Jawa-Muslim dengan etnis Tionghoa-Konghucu,
begitupun sebaliknya. Konflik terus terjadi hingga suatu ketika
Hendra memilih jalan hidupnya untuk berpindah keyakinan.
Film “?” Tanda Tanya ini mengajarkan kita banyak hal,
bahwa seharusnya kita saling bertoleransi, saling menghargai
dan menghormati etnis dan agama yang lain. Semua ini
diharapkan agar kita dapat hidup berdampingan, serta belajar
dari perbedaan. Tetapi dalam film ini juga terlihat bahwa
kelompok mayoritas sangat dominan, dan kelompok minoritas
tidak dapat bertindak sesuai keinginannya. Oleh karena itu,
penelitian ini mau mengungkap bahwa adanya “Dominasi
kelompok mayoritas etnis dan agama dalam membungkam
kelompok minoritas dalam teks media massa”.
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan
sebelumnya, maka rumusan masalah yang diangkat adalah
menganalisis bagaimana dominasi kelompok mayoritas etnis
dan agama dalam membungkam minoritas dalam teks media
massa?. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap adanya
“Dominasi kelompok mayoritas etnis dan agama dalam
membungkam minoritas dalam teks media massa”.
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian,
maka manfaat penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini
terbagi menjadi dua bagian yaitu :

226
Penelitian ini diharapkan dapat membantu peneliti serta
pembacanya untuk memperdalam kajian dan penerapan
mengenai pemikiran kritis melalui kajian teoritis terhadap film
„tanda tanya‟.
Peneliti maupun pembaca dapat mengetahui bahwa
adanya makna yang tersirat dalam film „tanda tanya‟ akan
dominasi kelompok mayoritas etnis dan agama yang
memmbungkam kelompok minoritas. Bagi praktisi pengamat
budaya dapat memanfaatkan studi ini sebagai bahan masukan
dan pertimbangan perencanaan, pengambilan keputusan, dan
penyempurnaan kebijakan dalam kaitannya dengan etnisitas
dalam upaya meningkatkan integritasi nasional.

Teori Muted Group


Teori komuikasi ini berusaha menggambarkan kelompok
terbungkam, diungkapkan oleh Edwin Ardener and Shirley
Ardener, ditujukan untuk menekankan bentuk komunikasi dari
kelompok dominan dalam memberi tekanan, membungkam,
atau mendevaluasi kata-kata, ide serta diskursus kelompok
subordiiinat. Teori ini difokuskan pada proses pembungkaman
sekelompok orang yang menentukan status sosial mereka
ditempatkan di masyarakat pada waktu dan temat tertentu ketika
mereka berbicara dengan kata-kata dan konsep tertentu. Selain
itu, ditentukan pula oleh pola atau media yang mereka gunakan

227
dalam berkomunikasi, termasuk akibat yang ditimbulkan oleh
proses pembungkaman tersebut. The muted group theory
mendorong perhatian terhadap sistem serta praktik kebahasaan
yang menciptakan ketidakseimbangan antar pelaku komunikasi.
Teori ini menyarankan bahwa kelompok sosial perlu
menciptakan dan menjaga dominasinya melalui pembicaraan
dan ide kelompok dominan sesuai posisinya sebagaimana
tingkatan tertentu di luar kebiasaan masyarakat umumnya. Hal
ini secara historis umumnya berbentuk hirarki seperti contohnya:
jender, ras, kelas sosial, seksualitas, etnisitas, status penduduk
setempat, status imigrasi, geografis regional, dan bahasa yang
digunakan memaksa dan mendevaluasi pembicaraan dan ide
para pelaku komunikasi.

Teori Harmoni dalam Budaya Chinese


Harmoni merupakan nilai yang fundamental dalam
budaya Chinese. Mereka meyakini bahwa dunia merupakan
proses perubahan konstan dan transformasi yang disebabkan
oleh dialektika dan interaksi dialog antara Yin dan Yang, terdapat
dua hal yang berlawanan namun saling melengkapi, harmonisasi
merupakan kunci untuk menjembatani kontinuitas dalam lingkup
transformasi. Lebih lanjut, bahkan budaya Chinese menekankan
harmonisasi sebagai bagian akhir dari komunikasi antar
manusia. Hal ini memperlihatkan para pelaku komunikasi

228
berusaha memahami beradaptasi satu dengan lainnya dengan
tujuan untuk meraih kesepakatan dan kerjasama.
Berdasarkan kepercayaan Chinese tersebut, Guo-Ming
Cen membangun teori hamonis dari Chinese communication di
tahun 2001, melalui empat (4) proposisi, 23 aksioma, dan 23
teorema yang dihasilkan. Teori ini telah diaplikasikan pada
berbagai aspek perilaku komunikasi di Tiongkok, terutama
sebagai proses pengelolaan konflik disana. Teori ini
mengindikasikan bahwa kemampuan untuk mencapai keadaan
yang harmonis antar manusia sebagai krteria Tiongkok dalam
mengevaluasi kompetensi omunikasi. Dengan kata lain, melalui
perspektif Chinese, diharapkan dapat meningkatkan kompetensi
komunikasi. Tiga prinsip yang sebaiknya diikuti untuk meraih
harmonisasi: (1) Internalisasi secara inttrinsik melalui Jen
(humanisme), Yi (kebenaran), dan Ii (kebenaran; (2)
mengakomodasi secara ekstrinsik melalui Shi (kontingensi
sementara), Wei (kontingensi spasial), dan Ji (gerakan awal
yang tak terlihat), dan latihan strategis dari Guanxi (melihat
keterkaitan), Meintz (wajah yang tampak), dan kekuasaan pada
tataran perilaku.
Jen, tertanam dalam prinsip timbal balik dan empati,
dimana menunjukkan kebajikan kolektif yang memperlihatkan
kasih dalam interaksi antar manusia. Yi, sebagai kriteria internal
dari perilaku komunikasi yang tepat untuk mendukung individu

229
dengan kapasitas untuk menunjukkan fleksibilitas dan
kemampuan beradaptasi dalam konteks khusus yang diperoleh
oleh norma-norma sosial masyarakat untuk mencapai
harmonisasi.
Li melambangkan formalitas interaksi manusia dan
menghubungkan karakter individu dan tugas sosial dengan
mengikuti aturan perilaku dan ucapan dalam komunikasi.
Shi membutuhkan kemampuan mengetahui hubungan
temporal untuk melakukan secara tepat hal yang seharusnya
dilakukan dalam berbagai tahap interaksi manusia. Ji adalah
tanda tersembunyi dari awal gerakan yang menunjukkan jejak
kemungkinan konsekuensi interaksi yang sedang berlangsung.
Guanxi menentukan ikatan partikularistik interaksi dalam
struktur hirarkis dari jaringan sosial Chinese. Mientz adalah
harga diri atau gengsi sosial yang diperoleh dari rasa hormat dari
rekan satu dalam interaksi. Kekuasaan dalam masyarakat
Chinese tertanam dalam struktur hirarki dari jaringan sosia, yang
memperoleh dukungan pada senioritas sebagai pemegang
wewenang yang dimiliki seseorang.

Communication Theory of Identity


Komunikasi pada dasarnya merupakan alat untuk
bersosialisasi dengan masyarakat. Identitas diri kita sendiri, baik
dalam pandangan diri sendiri maupun orang lain, dibentuk ketika

230
kita secara sosial berinteraksi dengan orang lain dalam
kehidupan sosial kita. Hecht menguraikan identitas melebihi
pengertian sederhana akan dimensi diri dan dimensi yang
digambarkan. Kedua dimensi tersebut berinteraksi dalam
rangkaian empat tingkat atau lapisan. Tingkatan pertama adalah
personal layer atau identitas tentang diri sendiri, siapa dan
seperti apa diri individu tersebut sebenarnya. Tingkatan kedua
adalah enactment layer atau pengetahuan orang lain tentang diri
individu tersebut berdasarkan pada apa yang ia lakukan, apa
yang ia miliki, dan bagaimana ia bertindak. Tingkat ketiga adalah
relational atau siapa diri Anda dalam kaitannya dengan individual
lain. Identitas dibentuk dalam interaksi individu dengan mereka,
dan tingkat keempat dalam identitas adalah tingkatan communal,
yang diikat pada kelompok atau budaya yang lebih besar.
Tingkatan identitas ini sangat kuat dalam banyak budaya Asia.31
Peneliti memilih Teori komunikasi tentang identitas karena
menurut peneliti, teori ini berkaitan dengan masalah penelitian
yang peneliti buat tentang konstruksi identitas Tionghoa melalui
media film.
Paradigma dalam penelitian ini merupakan jenis
penelitian yang didasarkan pada paradigma kritis. Paradigma
kritis beragumentasi, melihat komunikasi, dan proses yang
terjadi di dalamnya haruslah dengan pandangan holistik.

1.
Littlejohn, Stephen W. 2008. Theories of Human Communication Ninth Edition. USA: Thomas Wadsworth
Hlm.88-90
231
Paradigma kritis berada dalam makro analisis dan bergerak
dalam struktur sosial ekonomi masyarakat. Karena menurut
paradigma ini, komunikasi tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-
kekuatan yang ada dan mempengaruhi berlangsungnya
komunikasi. Sementara itu, paradigma kritis umumnya kualitatif,
menggunakan penafsiran sebagai basis utama memaknai
temuan.32
Wacana oleh van Dijk digambarkan mempunyai tiga
dimensi yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Dijk
menggabungkan tiga dimensi wacana tersebut kedalam suatu
kesatuan analisis. Dalam teks, yang diteliti adalah struktur teks
dan strategi wacana dipakai untuk menegaskan tema tertentu.
Kognisi sosial mempelajari proses induksi teks berita yang
melibatkan kognisi individu dari wartawan. Aspek ketiga, yaitu
konteks sosial yang melihat bangunan wacana yang
berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Model
analisis Van Dijk ini bisa digambarkan sebagai berikut.33

32
Eriyanto. 2009. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Media. Yogyakarta: LkiS. Hlm.48

33
Loc. Cit, Hlm. 225

232
KONTEKS SOSIAL

KOGNISI SOSIAL

TEKS

Gambar.3.1. Kerangka Wacana

Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa tingkatan


yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya
ke dalam tiga tingkatan sebagaimana makna wacana yang dapat
diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat,
proposisi, anak kalimat, paraphrase, dan gambar.34
Tabel.3.2. Analisis Wacana
Struktur Makro: Makna global dari suatu teks yang dapat diamati Dari
topic/tema yang diangkat oleh suatu teks

Superstruktur: Kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, Isi,


penutup, dan kesimpulan
Struktur Mikro: Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati Dari
pilihan kata, kalimat dan gaya yang dipakai oleh suatu teks

Pendekatan penelitian pada penelitian ini adalah


pendekatan kualitatif secara kritis, dimana pemahaman
mengenai pengetahuan berkaitan dengan kekuasaan.
Pendekatan ini, peneliti percaya bahwa mereka yang memiliki

34
Loc. Cit, Hlm. 227
233
kekuasaan membentuk pengetahuan dalam arti bahwa
pekerjaan adalah mempertahankan kondisi yang sudah ada.
Pendekatan ini menekankan pada tanggung jawab peneliti untuk
mengubah kondisi dalam penelitian.35
Unit analisis dalam penelitian ini dilakukan untuk
memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh tentang
penelitian ini. Unit analisis dalam penelitian kualitatif ini, yaitu :
(1) Obyek, untuk ditentukan dalam peneltian. Oleh karena itu,
obyek penelitian dalam film ini adalah film „tanda tanya‟ tahun
2011 berdurasi 100 menit. (2) Subyek, scene film yang
menunjukkan tiga keluarga yang berbeda etnis dan agama,
antara lain: etnis Tionghoa-Konghucu, etnis Jawa-Katolik dan
Jawa-Islam. Klasifikasi kelompok dominan dalam penelitian ini
ditujukan kepada etnis Jawa-Muslim yang menonjol sejak awal
adegan, sementara kelompok minoritas yang diasumsikan
peneliti terbungkam adalah etnis Tionghoa-Budhis.
Fokus utama penelitian ini ditujukan pada dominasi
identitas etnis dan agama. Menurut Nakayama dan Martin
identitas etnis berbeda dengan identitas ras, sebab identitas ras
dibentuk oleh sejarah sedangkan identitas etnis dikonstuksikan
oleh diri dan lingkungan. Umumnya salah satu identitas yang
dominan membentuk „aturan normatif‟ yang digunakan sebagai
standar berperilaku oleh masyarakat secara luas. Di sisi lain,

35
Richard West & Lynn. H Turner, 2008. Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi, Jakarta: Salemba Humanika.
Hlm.77
234
terdapat kaitan erat antara identitas etnis dan ras dengan norma
agama yang seringkali memicu konflik.36
Teknik pengumpulan data merupakan suatu usaha sadar
untuk mengumpulkan data yang dilakukan secara sistematis,
dengan prosedur terstandar. Dalam penelitian ini, metode
pengumpulan data yang digunakan adalah dengan
pengumpulan data primer dan data sekunder, yaitu :
1. Data Primer, mengamati subjek penelitian film „tanda tanya‟.
Proses dekonstruksi adalah metode pengumpulan data
dimana peneliti mengumpulkan scene film yang didapat
melalui pengamatan. Pada penelitian inidilakukan dengan
pengamatan langsung terhadap dokumentasi film „tanda
tanya‟, mengamati wacana dari dialog-dialog serta
mentranskrip dialog-dialog, kemudian peneliti menganalisis
dialog dan gambar berdasarkan model analisis wacana Teun
A van Djik.
2. Data sekunder, dilakukan dengan melengkapi data yang
diperoleh dari hasil pengamatan primer, berupa kajian
literatur yang berkaitan dengan penelitian.

Teknik pengolahan data yang dilakukan oleh peneliti,


diantaranya adalah (1) diseleksi peneliti akan menyeleksi dialog
dan scene dalam film Tanda Tanya untuk menemukan bagian

36
Martin, Judith N. and Thomas K. 2007. Nakayama. Intercultural Communication inContext Fourth Edition.
New York: Mc-Graw Hill. Hlm. 176-182
235
mana yang akan digunakan peneliti, (2) diklasifikasi oleh peneliti,
maka peneliti akan mengklasifikasikan wacana, (3) dianalisis
bagian tersebut dengan menggunakan model analisis wacana
Teun.A Van Djik, (4) diinterpretasikan hasil analisis tersebut
dengan menjelaskan proses dominasi kelompok mayoritas yang
membungkam minoritas, (5) ditarik kesimpulan mengenai kritik
terhadap proses dominasi tersebut.
Dalam penelitian kualitatif, ada empat teknik mencapai
keabsahan data, yaitu krediabilitas, transferabilitas, auditabilitas,
konfirmabilitas dan triangulasi. Berbagai teknik ini dapat dipilih
salah satu atau lebih untuk mencapai keabsahan data.
Keabsahan data ini yang paling tahu hanya peneliti sendiri, maka
peneliti seharusnya menampilkan kejujuran. Manipulasi data
akan berakibat keabsahan data juga menjadi berkurang
keilmiahannya.37
Dalam memenuhi keabsahan data penelitian ini dilakukan
dengan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap data yang diteliti. Triangulasi
dalam penelitian ini menggunakan triangulasi dengan sumber,
yang berarti membandingkan dan mengecek balik derajat

37
Lono, Lastoro Simatupang,. 2006. Metode Teori Teknik Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Widyatama,.
Hlm.111

236
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan
alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.38
Pada tahap ini peneliti akan melakukan analisis data sesuai
dengan rumusan masalah yang terdapat pada Bab 1. Peneliti
menggunakan analisis wacana kritis Teun A Van Djik untuk
menganalisis data-data seperti teks pada film „tanda tanya‟
terhadap dominasi kelompok mayoritas etnis dan agama dalam
membungkam minoritas dalam teks media massa sebagai fokus
penelitian. Analisis dimulai dari struktur mikro, kemudian
superstruktur, struktur makro, kognisi sosial, dan analisis sosial.

Struktur Mikro Kelompok Minoritas


Latar yang diangkat dari kisah minoritas etnis Tionghoa
adalah lika-liku kehidupan antara ras dan umat beragama yang
berbeda dalam menjalani kehidupannya, melalui proses yang
tidak mudah. Perjalanan hidup yang menceritakan kelompok
minoritas bertahan di tengah “aturan normatif” kelompok
mayoritas. Dimulai dari tiga keluarga yang tinggal di sebuah desa
Kota Semarang, Jawa Tengah: keluarga Tionghoa-Indonesia
dan beragama Konghucu, Tan Kat Sun dan anaknya Hendra.
Selain itu, pasangan muslim yang bernama Soleh dan Menuk,

38
Moleong , J Lexy. 2010. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosadakarya. Hlm. 330

237
lalu Rika yang beragama Katolik dan Abi anaknya memeluk
agama Islam, dimana keduanya beretnis Jawa.
Konstruksi budaya dan agama yang dilakoni oleh tiga
keluarga tersebut banyak menuai perdebatan pada awalnya,
karena mereka ini masih nyaman hidup dengan kebudayaan dan
ras mereka. Di sisi lain, ada anggota keluarga yang mendukung
kegiatan beragama dan etnis lainnya, namun sebagian lainnya
justru berlaku sebaliknya. Dapat diketemukan kelompok
mayoritas muslim yang menentang keras minoritas di dalam
dialog yang diutarakan oleh seorang ibu kos ketika mendatangi
perpustakaan yang dikelola Rika. Saat itu Rika sedang berada di
luar rumah, sementara hanya terdapat Surya dan Abi di sana.

4.1. berkata, “Saya mau pesan sama kamu nanti kalau pacar
kamu itu pulang bilang ya kalatoko buku ini mau laku mbo
menjual buku-buku agama Islam, pasti laris. Nanti tak
hubungkan sama penerbitnya, kebetulan suamiku itu
menerbitkan buku-buku agama Islam. Nah untuk kamu Bi, kamu
bisa pilih banyak komik-komik Islam yang lebih bagus. Mau gak
kamu membacanya? Biar pintar tidak seperti”, sambil menunjuk
ke arah Surya.

238
Gambar 4.1. Film Tanda Tanya scene 26:57

Hal tersebut mendukung gambaran dari teori oleh Hecht


tentang Communication Theory of Identity yang menyatakan
bahwa kelompok pendatang (minoritas) akan mengalami
“jenjang identitas‟ di wilayah kelompok mayoritas. Kesenjangan
dari identitas masyarakat yang homogen dengan identitas
kelompok tertentu, sehingga menciptakan hirarki yang
tersegmentasi. Identitas juga seringkali didefinisikan dalam term
kewarganegaraan, ras, dan etnis.39 Dalam film ini identitas yang
dimaksud adalah kesenjangan antar kelompok yang berbeda
etnis maupun agama.

Superstruktur Kelompok Minoritas

39
Littlejohn. Stephen W. 2009. Enclycopedia of Communication Theory. USA: SAGE Publication Hlm.140-
141

239
Pada film ” Tanda Tanya”, peneliti menjelaskan cerita Tiga
Keluarga berbeda ras dan agama secara skematik atau secara
empat tahap, mulai dari skema I, skema II, skema III, dan skema
IV.

Etnis dan agama minoritas yang terbungkam, karena adanya ‘aturan normatif’
kelompok mayoritas yang harus dipatuhi dan/atau dijalani oleh minoritas.

Tiga keluarga yang saling memiliki pro dan kontra dari internal anggotanya (personal), sehingga
membentuk perbedaan yang ada.

Beberapa personal di dalam tiga keluarga yang berusaha menumbuhkan


harmonisasi agar meredam dominasi ‘aturan normatif’ kelompok mayoritas.

Pencarian jati diri personal untuk membangun relasional yang harmonis di tingkat
komunal umat beragama maupun berbeda etnis, baik inisiatif yang muncul dari
bagian kelompok mayoritas maupun minoritas.

Gambar 4.2. Skematik Superstruktur

Skematik pertama dapat dilihat ketiga keluarga, yaitu Tan


Kat Sun yang beretnis Tionghoa dan beragama Konghucu.
Setelah itu pasangan Muslim, Soleh dan Menuk yang sudah
memiliki dua anak. Terakhir seorang ibu dan anak beretnis etnis
Jawa dengan ibu yang beragama Katolik dan anaknya yang
seorang Muslim. Di dalam satu keluarga terdapat satu pribadi
yang kontra di dalam keluarga Tionghoa, yakni Hendra yang
sangat menentang bahwa ia dan keluarganya harus mengikuti

240
„aturan normatif‟ kehidupan kelompok mayoritas. Pada gambar
4.3. tampak Hendra menentang perintah ayahnya, yakni
memerintahkan karyawannya menarik kain yang menutupi
rumah makannya selama bulan puasa.

Gambar 4.3. Film Tanda Tanya Scene 1:02:48

Pada suatu ketika, Hendra kembali bertindak melawan


“aturan normatif‟ dengan tidak mendengarkan ajaran untuk
memisahkan peralatan masak antara daging babi dengan
daging yang dihalalkan hingga dilarang menjual daging babi
selama bulan puasa oleh Tan Kat Sun. Selain itu, Ia pun
membuka rumah makan di hari raya Idul Fitri, sehingga menuai
konflik berupa pandangan buruk dan tindak anarkis dari
kelompok mayoritas. Sang ayah pun sudah melarang hal
tersebut, namun tetap dilawan pula oleh Hendra. Hal ini
menyebabkan timbulnya penyesalan dan kesedihan dalam hati
Hendra, ketika mendapati ayahanda terkena pukulan benda
tumpul.

241
Penggalan cerita di atas menggambarkan tokoh Tan Kat
Sun dengan anaknya Hendra sebelum beliau meninggal,
menunjukkan adanya usaha menciptakan keharmonisan. Sesuai
dengan teori yang dikembangkan oleh Guo-Ming Chen pada
Chinese Harmony Theory. Harmonisasi menjadi hasil akhir dari
komunikasi Jen-Yi-Li dimana teori tersebut mengambil unsur Yin
dan Yang sebagai kunci keharmonisan yang bertolak belakang
tetapi saling melengkapi.40

Gambar 4.4. Film Tanda Tanya scene 1:18:57 (kiri) dan


scene 1:41:39 (kanan)

Di kala Hendra tertimpa masalah, Ia menemukan suatu buku


yang berjudul „99 Asmaul Husna‟ (gambar 4.4) hingga akhirnya
membuka hatinya, kemudian berpindah ke agama Islam. Pilihan
Hendra tersebut selaku etnis Tionghoa yang aslinya beragama
Konghucu menunjukkan adanya enaactment layer sekaligus
bentuk pembungkaman oleh kelompok mayoritas sebagai
bentuk dominasi terhadap kelompok minoritas. Sebagaimana

40
Ibid., et.al., Hlm. 95-96

242
dijelaskan dalam Muted Group Theory yang diungkapkan oleh
Kramarae, dimana kelompok minoritas akan memperoleh
perlakuan oleh kelompok dominan.41

Gambar 4.5. Film Tanda Tanya scene 0:55:07 (kiri) dan


scene 1:07:45 (kanan)
Personal layer dan enactment layer juga ditunjukkan oleh
Surya pada gambar 4.5 selaku etnis Jawa-Muslim yang selama
ini berperan sebagai Santa Claus maupun Yesus dalam
pementasan drama di saat Paskah dan Natal gereja merupakan
bagian dari harmonisasi dari bagiani kelompok mayoritas. Pada
sisi cerita lain terdapat keluarga menuk dan soleh yang
mempunyai perbedaan pendapat, karena menuk bekerja di
rumah makan ayah Hendra dan suaminya merasa kurang
senang dengan hal tersebut. Hal ini membuat Ia semakin geram,
dimana relational layer Soleh yang berasal dari etnis Jawa-
Islam tidak menyukai Hendra dari etnis Tionghoa-Konghucu,

41
Griffin, Em, 2015. A First Look at Communication Theory Ninth Edition. Singapore: McGraw-
HillInternational Edition. Hlm. 457-465

243
diperparah kisah cinta beda agama di masa lalu antara Hendra
dengan menuk. Soleh akhirnya memperoleh pekerjaan, yaitu
bertugas sebagai Banser NU (Nahdatul Ulama) yang menjaga
keamanan di sekitar gereja Katolik, dimana saat itu sedang
mengadakan perayaan hari raya Natal. Pekerjaan ini justru
menjadi malapetaka baginya, ketika Ia menemukan bom di
dalam gereja yang merenggut nyawanya. Pilihan untuk
menyelematkan umat di gereja itu didasari oleh berbagai sikap
harmonis di lingkup comunal layer yang dibangun sang istri
dengan umat beda agama dan etnis lain atas ajaran almarhum
Tan Kat Sun.

Struktur Makro Kelompok Minoritas


Tema yang ingin disampaikan melalui film “tanda tanya‟ ini
yaitu sebuah film yang diadaptasi dari kisah yang ada
dituangkan ke dalam documenter dalam bentuk film. Kelompok
minoritas yang mencoba untuk dapat hidup berdampingan
dengan kelompok mayoritas meskipun ada kepribadian di
dalamnya yang menciptakan kontra bahwa ia dapat hidup tanpa
harus berdampingan dengan aturan dan adat kelompok
mayoritas. Kelompok minoritas mencoba berjuang bertahan dari
„bungkaman‟ oleh kelompok mayoritas, sehingga mereka tidak
dapat bertindak sesuai dengan yang diinginkan. Ujung dari jalan
cerita ini memperlihatkan dominasi kelompok mayoritas

244
terhadap minoritas, dilihat dari bertobatnya Hendra salah satu
anggota etnis Tionghoa-Konghucu yang menjadi mualaf, yakni
bagian kelompok mayoritas. Hal yang diungkapkan di atas
mendukung salah satu teori yang diungkapkan Kramarae melalui
Muted Group Theory, khususnya membicarakan strategi muted
group. Kondisi yang memperlihatkan bahwa kelompok minoritas
terbungkam dan mengikuti ‟aturan‟ mayoritas.42
Berdasarkan analisis yang dilakukan peneliti terhadap
proses analisis teks film, maka terdapat beberapa kesimpulan
dan saran yang dapat diajukan peneliti:

Kesimpulan
Pola interaksi yang terdapat dalam cerita awal, yaitu
peristiwa kelompok mayoritas menyinggung minoritas. Di sisi
lain personal layer dari kelompok minoritas, yaitu Hendra
mencoba untuk menunjukkan dirinya bahwa ia dapat melawan
mayoritas. Aksi itu terhenti ketika muncul tindakan anarkis
hingga Hendra memilih jalan hidup sesuai dengan pesan sang
ayahnya (enactment layer). Cerita ini menampakkan dalam
komunikasi di tataran relational layer keluarga Tan Kat Sun
memperoleh pembungkaman yang dilakukan oleh kelompok
mayoritas dengan segenap „aturan normatif‟ yang dipaksakan

42
Ibid., et.al., Hlm.458

245
pada kelompok minoritas, contohnya etnis Jawa-Islam yang
memiliki kebiasaan ibadah puasa, silahturahmi, konsumsi
produk halal, dsb. Di sisi lain kelompok minoritas seperti etnis
Tionghoa –Konghucu dan etnis Jawa-Katolik juga memiliki
kebiasaan pantang, beribadah, dst yang tidak dipaksakan
kepada kelompok lainnya. Justru disamping mereka dibungkam,
rasa toleransi yang dijunjung tinggi untuk menciptakan
kehidupan harmonis comunal layer antar umat beragama
maupun etnis yang berbeda masih terus diusahakan. Pada
akhirnya kelompok minoritas tidak dapat berkutik terhadap
kebungkaman dan membuka jalan mereka ke arah kelompok
mayoritas karena usaha harmonisasi yang dilakukan tidak
menemui “titik terang‟.

Daftar Pustaka
Badara, Aris. 2012. Analisis Wacana: Teori, Metode, dan
Penerapannya pada Wacana Media. Jakarta: Kencana
Prenada Media
Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Media.
Yogyakarta: LkiS. Gauntlet, David. 2008. Media, Gender,
and Identity: an Introduction Second Edition. New York:
Routledge
Griffin, Em, 2015. A First Look at Communication Theory Ninth
Edition. Singapore: McGraw-Hill International Edition.

246
Gudykunst, William B. 2005. Theorizing about Intercultural
Communication. USA: SAGE Publiations
Littlejohn, Stephen W. and Karen A. Foss. 2008. Theories of
Human Communication Ninth Edition. USA: Thomas
Wadsworth
Littlejohn. Stephen W. and Karen A. Foss. 2009. Enclycopedia
of Communication Theory. USA: SAGE Publication
Lono, Lastoro Simatupang. 2006. Metode Teori Teknik
Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Widyatama,.
Martin, Judith N. and Thomas K. 2007. Nakayama. Intercultural
Communication in Context Fourth Edition. New York: Mc-
Graw Hill
Moleong, J Lexy. 2010. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung:
Remaja Rosadakarya. Neuliep, James W. 2006.
Intercultural Communication: A Contextual Approach.
USA: SAGE Publication
Richard West & Lynn. H Turner, 2008. Teori Komunikasi Analisis
dan Aplikasi, Jakarta: Salemba Humanika.
Subandy, Idi. 2011. Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, Media,
dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di
Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Wacana. Bandung:
Penerbit Angkasa

247
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2010. Analisisi
Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis. Surakarta:
Yuma Pustaka

*) Program Doktor Ilmu Komunikasi – Pascasarjana FISIP,


Universitas Indonesia

248
MAKNA KEINDONESIAAN PADA MASYARAKAT
PERBATASAN
(Studi Pada Masyarakat Kecamatan Sebatik Tengah,
Kalimantan Utara Dalam Fotografi)

Yunovan Chanif*

Pendahuluan
Perbatasan sebuah negara mulai dikenal bersamaan
dengan lahirnya suatu negara dan telah diatur dalam UUD
republik Indonesia nomor 43 tahun 2008 tentang wilayah negara.
Pada dasarnya definisi perbatasan yang dianggap garis batas
dua negara hanya dilihat berdasarkan hitungan matematika,
sebagai batas atau garis dan titik (Michaelsen, 1997:255).
Namun pada proses dan kategorinya kata “Batas” pada
perbatasan negara merujuk pada pemaknaan yang berbeda-
beda. Grimson (2001) menyatakan batas bisa berarti sebuah
garis yang muncul pada peta, seperti tanda beton atau sungai,
yang memisahkan sistem hukum dan kedaulatan negara atau
sebagai batas pemisah antara identitas dan budaya. Dari
pernyataan tersebut pemaknaan batas berkembang menjadi
kata yang memiliki makna lebih luas dari definisi pada awalnya.

249
Batas suatu negara memiliki peran penting dalam segala
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, antara negara yang
berbatasan wilayahnya baik yang bernilai positif maupun negatif.
Selain sebagai garis yang membatasi antara negara satu dan
lainnya perbatasan juga menjadi suatu makna simbolik, penanda
realitas sehari-hari masyarakat perbatasan yang dibentuk oleh
kesenjangan ekonomi dan politik. Lebih lanjut Mendez dan
Nancy (2014) menyatakan, latar belakang kehidupan sosial di
perbatasan membentuk suatu makna simbolis dan
mendefinisikan siapa kita pada dunia, membatasi dan
mendefinisikan “kami” dan “mereka” yang memisahkan sistem
hukum dan kedaulatan negara dan batas antara identitas dan
budaya. Perbatasan sebagai makna simbolis yang identik
dengan identitas nasional dan rasa memiliki.
Batas teritorial negara Indonesia adalah warisan dari
penjajah yang melakukan perundingan dengan para penjajah
lain, terutama Inggris dalam menentukan batas teritorial antara
Indonesia (Tirtosudarmo, 2005:1-2). Batas Indonesia dan
Malaysia ditetapkan dengan perjanjian penetapan wilayah yang
dikenal dengan konvensi London. Bedasarkan perjanjian
tersebut, garis perbatasan khususnya di pulau Sebatik
ditetapkan pada koordinat 4 derajat 10 menit LU. Sebagian milik
Malaysia dan sebagian lagi Milik Indonesia.

250
Mayarakat Sebatik yang pada masa terdahulu memiliki
ikatan saudara, akhirnya dipaksa untuk memiliki identitas bangsa
yang berbeda-beda karena keberpihakan dua negara dalam satu
pulau. Secara administratif, pulau Sebatik terbagi menjadi dua;
bagian utara masuk wilayah negara bagian Sabah-Malaysia dan
bagian selatan menjadi bagian dari Kabupaten Nunukan-
Kalimantan Utara. Pulau Sebatik dan pada umumnya daerah
perbatasan lain merupakan daerah tertinggal dengan
infrastruktur yang terbatas. Keterbatasan tersebut membuat
masyarakat banyak yang menggangtungkan hidupnya kepada
negara tetangga.
Ketergantungan masyarakat perbatasan Pulau Sebatik
pada negara Malaysia membuat masyarakat memiliki identitas
yang ambigu. Strassoldo (1982:152) menyatakan di perbatasan
masyarakat akan menunjukkan identitas ambigu, dikarenakan
faktor ekonomi, budaya maupun bahasa yang menarik mereka
dalam dua negara. Dampaknya daerah perbatasan menjadi
tempat hibriditas. di mana hibriditas tersebut terbentuk karena
permasalahan ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Hibriditas sebagai bagian dari identitas masyarakat perbatasan
akan selalu menjadi permasalahan yang dipertanyakan
(Johnson. Scott Michaelsen, 1997:1).
Hidup di perbatasan Sebatik dengan segala keterbatasan
infrastruktur dan aksebilitas, memaksa masyarakat lebih

251
menggantungkan kebutuhan hidupnya pada Malaysia yang
secara geografis jarak tempuh ke Malaysia hanya dibutuhkan
waktu sekitar 15 menit dari Sebatik. Informasi nasional yang bisa
mengokohkan rasa identitas nasional masyarakat perbatasan
akan berkurang dengan derasnya terpaan media dari Malaysia
yang mereka konsumsi sehari-hari. Media massa khususnya
televisi dalam kehidupan masyarakat modern saat ini, selain
sebagai sarana informasi dan hiburan, televisi juga memliki
karakter kuat untuk mempengaruhi penontonnya dalam
menanamkan ideologi tertentu melalui beragam tayangan yang
diproduksi.
Identitas nasional secara intrinsik terkait dengan dan
dibangun oleh berbagai bentuk komunikasi. Bagi Anderson
(1983), ‘bangsa’ adalah suatu komunitas terbayang (imagined
communities) dan identitas nasional adalah kontruksi yang
dipadukan melalui simbol dan ritual dalam kaitannya dengan
kategori teritorial dan administratif (Barker, 2004:204).
Komunitas terbayang yang berarti setiap individu anggotanya
tidak saling mengenal satu sama lain, tapi dalam pikiran dan
keyakinan masing-masing ada bayangan tentang keterikatan
satu sama lain. Identitas nasional muncul karena setiap
individunya membayangkan berdasarkan keseragaman etnis
dan budaya yang sama.

252
Permasalahan yang ada pada pulau Sebatik sebagai
bagian “komunitas terbayang” patut dipertanyakan bagaimana
identitasnya sebagai bagian dari warga Indonesia. Asumsi
peneliti, jika meruntut dari pernyataan Benedict Anderson,
Sebatik sebagai anggota dari suatu bangsa dinilai akan menurun
rasa keIndonesiaanya oleh permasalahan yang ada.
Ketergantungan ekonomi, kesenjangan nyata pembangunan
antara perbatasan Indonesia dan Malaysia menimbulkan
kecumburuan sosial yang terus menerus menjadi permasalahan
di pulau Sebatik.
Dari latar belakang permasalahan masyarakat tersebut
peneliti ingin melihat bagaimana keIndonesiaan sebagai
identitas nasional yang ada pada masyarakat, bagaimana
mereka tetap menjaga dan melestarikan keyakinan untuk tetap
hidup menjadi Indonesia ditengah kehidupan mereka yang serba
terbatas. Pulau Sebatik sebagai bagian dari bangsa Indonesia
mewakili identitas nasional. Identitas tersebut bisa terlihat
diantaranya dari kebudayaan, bahasa dan aspek lain.
Dalam menampilkan bagaimana representasi makna
keIndonesiaan masyarakat di Pulau Sebatik tersebut, penelitian
ini menggunakan fokus penelitian pada konteks visual di mana
peneliti mengabadikan kegiatan sehari-hari masyarakat tersebut
melalui fotografi. Foto kemudian dapat menjadi pilihan yang
berfungsi sebagai teks yang memiliki makna. Teks sendiri

253
merupakan sebuah rangkaian tanda yang oleh orang-orang
melalui budayanya dikontruksi menjadi sebuah makna.
Makna keIndonesian yang terlihat abstrak dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Sebatik nantinya akan terlihat
jelas dari fotografi. Makna tersebut akan diuraikan menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif dan metode visual. Teknik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
teknik analisis tekstual, di mana analisis tekstual dapat
mempermudah peneliti untuk memaknai ‘teks’ sebagai realitas
nyata yang mempunyai dan menghasilkan makna. Foto-foto
dalam penelitian ini kemudian dianalisis menggunakan semiotika
Ferdinand de Saussure. Fotografi dan realitas adalah topik yang
berkaitan dengan semiotika oleh kajiannya terhadap hubungan
antara penanda fotografis dan objek acuannya (Noth, 1990:
468).

Identitas Nasional dan KeIndonesiaan


Terbentuknya identitas suatu bangsa tidak dalam ruang
kosong, melainkan dalam sebuah proses panjang sejarah
bangsa yang bersangkutan (Soedarso, 2012: 1). Identitas
bukanlah sesuatu yang eksis; ia tidak memiliki kandungan
universal atau esensial. Namun, ia merupakan konstruksi
diskursif, produk diskursus atau cara bertutur yang terarah
tentang dunia ini. Dengan kata lain, identitas itu dibangun,

254
diciptakan ketimbang ditemukan, oleh representasi, terutama
bahasa (Barker, 2004:12). Identitas (Identity) sendiri dalam
kamus Oxford dikatakan berasal dari bahasa latin yaitu “idem”
atau sama dan dua makna dasar yaitu, pertama konsep tentang
kesamaan absolut dan yang kedua adalah konsep pembeda
atau perbedaan yang menganggap adanya konsistensi dan
kontinuitas (Jenkins, 1996: 3).
Identitas nasional secara intrinstik terkait dengan, dan
dibangun oleh, bebagai bentuk komunitas. Bagi Anderson
(1983), ‘bangsa’ adalah suatu komunitas terbayang dan identitas
nasional adalah kontruksi yang dipadukan melalui simbol dan
ritual dalam kaitannya dengan kategori teritorial dan
administratif. Bangsa terbayang karena bahkan anggota dari
suatu bangsa terkecil sekalipun tidak akan pernah mengenal
sebagian besar anggota yang lain, bertemu dengan mereka atau
bahkan mendengar kabar mereka, sehingga pikiran masing-
masing menghidupkan berbagai citra tentang komunion mereka
(Barker, 2004:204).
KeIndonesiaan menurut kamus besar bahasa Indonesia
adalah perihal Indonesia; yang bersangkut paut dengan
Indonesia: bagaimana mengembangkan kebudayaan yang
berakar dan berada dalam jiwa. KeIndonesiaan adalah sesuatu
yang masih harus terus kita perjuangkan. Ia adalah sesuatu yang
selalu dalam pembentukan, selalu dalam proses menjadi

255
(becoming). KeIndonesiaan adalah bagian dari identitas
nasional setiap indvidunya. Identitas yang patut dibanggakan
dan terus dipertahankan, karena keIndonesiaan adalah bagian
dari bagaimana kita memperlihatkan kita pada mereka, kita
sebagai warga negara Indonesia pada dunia.

Fotografi Sebagai Budaya Visual


Budaya visual memperhatikan pada upaya gambar
menampakkan (visualize) perbedaan sosial. Rose (2001)
menjelaskan bahwa penggambaran tidak pernah hanya sebuah
ilustrasi. Penggambaran adalah tempat untuk mengonstruksi
dan menampakkan perbedaan sosial (Ida, 2014:128). Dengan
kata lain visual mempunyai makna yang ingin disampaikan
dalam bentuk teks budaya, yang mentransformasikan bentuk
kebudayaan dalam bentuk visual image. Dengan demikian,
budaya visual meliputi berbagai aspek dalam wujud kebudayaan
berupa gagasan, kemudian menciptakan wujud akhir berupa
visual image yang terdapat faktor pembentuk proses di mana
didalamnya menciptakan kesan dan dipakai untuk bertukar
makna. Visual image meliputi berbagai bentuk media komunikasi
visual seperti foto, film, iklan, siaran televisi, media cetak hingga
mode pakaian; karya desain dan karya senirupa. Barthes (1977:
17) mengatakan sebuah pandangan umum bahwa fotografi tidak

256
hanya mewakili sesuatu, melainkan menyajikan kepada kita
realitas dunia nyata.
Dalam bukunya The Complete Photographer, Freineger
(2010) mengelompokkan jenis-jenis fotografi. Dalam penelitian
ini peneliti memakai jenis Documentary Photography, di mana
dokumenter fotografi bertujuan untuk merekam dengan tidak
memihak terhadap kehidupan sehari-hari seseorang di manapun
mereka hidup dengan maksud untuk menunjukkan kebenaran
tanpa memanipulasi gambar. Dalam prakteknya fotografi
dokumenter bisa mengungkapkan kebenaran dan merekam
kejadian-kejadian penting yang tidak terduga (Freineger, 2010:
211-212). Kehadiran fotografi disebut sebagai alat perekam dan
merepresentasikan kembali sebuah realitas yang nyata.
Fotografi mempunyai kepekaan dalam merekam detail yang
membuat masyarakat sepakat sebagai sebuah budaya visual.

Semiotika Ferdinand de Saussure


Semiotika adalah studi tentang tanda. Studi ini mencoba
memahami bagaimana bahasa begitu bermakna dan bagaimana
makna kemudian dapat dikomunikasiakan dalam masyarakat
(Hartley, 2010: 278). Semiotika Saussure adalah semiotika
strukturalis. Prinsip teori Saussure bahwa bahasa adalah sebuah
sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian
(Vera, 2014: 70).

257
Tanda, bagi Saussure adalah sebuah objek fisik yang
memiliki makna. Jika menggunakan istilah milik Saussure,
sebuah tanda terdiri dari penanda (signifier) dan petanda
(signified). Signifier adalah persepsi terhadap bentuk fisik tanda,
yang bisa terdiri dari material, akustik, visual atau selera (taste).
Sedangkan signified adalah konsep mental yang kita pelajari
dengan mengasosialiasasikannya dengan obyek. Hubungan
antara tanda dan referent-nya (obyek aktual yang
direpresentasikan tanda) adalah signifikansi (signification) (Ida,
2014:76).

Makna KeIndonesiaan Masyarakat Sebatik Tengah


Identitas masyarakat Sebatik Tengah sebagai warga
negara Indonesia tidak terlepas dari konstruksi budaya yang
dibawa oleh etnis Bugis sebagai etnis rantau yang dominan.
Melalui budaya Bugis KeIndonesiaan masyarakat perbatasan
Sebatik Tengah menjadi seperti apa yang dikatakan oleh
Benedict Anderson yaitu keindahan paguyuban atau
gemeinschaft. Di mana mereka saling terikat satu sama lain
berdasarkan kedaerahan mereka dan pada akhirnya konsep
keIndonesiaan yang dibangun oleh masyarakat perbatasan di
Sebatik Tengah dalam penelitian ini direpresentasikan melalui
beberapa hal yakni landscape, arsitektur, media dan budaya
pop, mata pencaharian, sekolah, dan penggunaan mata uang.

258
Gambar: Representasi KeIndonesiaan
Dalam Kehidupan Masyarakat Perbatasan
Kecamatan Sebatik Tengah

Landscape dalam fotografi digunakan sebagai suatu cara


untuk mendokumentasikan pemandangan alam dengan unsur
komponen lainnya sebagai penunjang kekhasan suatu daerah.
Foto tugu perbatasan “Garuda Perkasa NKRI Harga Mati”
dimaknai sebagai representasi jiwa patriotisme dan
nasionalisme yang dimiliki oleh masyarakat perbatasan.
Landscape tugu ini memberikan makna yang mendalam akan
keIndonesiaan masyarakat yang terpatri pada simbol-simbol
tugu tersebut. Cengkraman garuda pada peta Indonesia
259
mengisyaratkan keberanian dan kokohnya masyarakat
perbatasan mempertahankan negara ini. Pemilihan garuda dan
atribut bendera merah putih sebagai ikon tugu ini juga sebagai
bagian dari mewujudkan identitas Indonesia, karena garuda dan
bendera merah putih adalah lambang dari identitas Indonesia.
Landscape ini sekaligus menjadi simbol pengukuhan Sebatik
sebagai daerah terdepan dan perbatasan Indonesia.
KeIndonesiaan yang dipengaruhi oleh etnis Bugis sangat
terlihat jelas melalui arsitektur rumah-rumah warga, di mana
hampir seluruh warga menggunakan model rumah panggung
sebagai model rumah tempat tinggal mereka. Rumah di dalam
kebudayaan Bugis dibangun di atas tiang dan terdiri dari tiga
bagian yang masing-masing bagian mempunyai fungsinya
masing-masing. Rumah panggung yang dimiliki masyarakat
perbatasan adalah wujud ekspresi yang berhubungan dengan
kecintaan pada budaya mayoritas di mana rumah panggung
tersebut dari penanda dan pertandanya memiliki makna sebagai
upaya menghadirkan Indonesia sebagai identitas diri mereka
yang coba digambarkan melalui bentuk fisik atau model rumah
mereka. Melalui pewarnaan merah putih yang banyak sekali
terlihat pada rumah-rumah masyarakat dan bangunan lainnya
juga menjadi penguatan penanda kecintaan dan kebanggan
mereka akan identitas Indonesia. Arsitektur dalam hal ini
merupakan unsur visual yang utama dalam merepresentasikan

260
gambaran akan identitas keIndonesiaan masyarakat
perbatasan, karena unsur arsitektur tersebut menjadi ciri penting
yang menyertai terbangunnya identitas yang ingin mereka
perlihatkan secara komunal.
Dalam kebiasaan penggunaan media massa masyarakat
perbatasan, media sejatinya membawa peran sebagai
pembentuk nasionalisme masyarakat. Media massa, khususnya
televisi nasional pada masyarakat memainkan suatu peran
dalam mengkonstruksi nilai-nilai keIndonesiaan. Hal tersebut
terlihat dari keinginan mereka untuk tetap menonton siaran
Indonesia ditengah derasanya terpaan media asing yang begitu
mudah didapatkan, keIndonesiaan itu muncul sebagai
kesadaran mereka akan hausnya informasi nasional, informasi
yang ingin selalu mereka dapatkan. KeIndonesiaan tersebut
hadir dalam konten acara yang mereka tonton, dalam hal ini
dangdut sebagai budaya musik populer Indonesia menjadi
konten program yang banyak disenangi warga Sebatik karena
kedekatan isi lirik lagu dengan keseharian mereka. Potret
keIndonesiaan yang terbangun memaknai konsep identitas
Indonesia karena akar kesejarahan musik dangdut yang begitu
lekat dengan budaya Indonesia.
Perantau Bugis sebagai etnis dominan di Sebatik Tengah
juga membawa identitas kebudayaannya dalam mata
pencaharian di mana berkebun dan berdagang menjadi mata

261
pencaharian utama masyarakat perbatasan. Ladang berpindah
dan berdagang setiap harinya ke Malaysia adalah satu kesatuan
dari konsep merantau, di mana dua hal ini sama-sama memiliki
definisi berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Masyarakat
perbatasan dalam berkebun menerapkan sistem ladang
berpindah. Ladang berpindah dilakukan ketika perkebunan satu
telah beberapa kali panen dan tanahnya sudah tidak subur lagi
sehingga perlu pindah ke lahan lain yang masih subur atau lahan
yang sudah lama tidak digarap. Penerapan ladang berpindah ini
adalah salah satu karakteristik sistem perkebunan Indonesia
khususnya masyarakat Bugis dan Dayak sebagai bagian dari
keIndonesiaan yang coba dilestarikan masyarakat perbatasan
terlepas karena permasalahan geografis.
Pada objek visual lainnya di mana potret upaya
penggunaan rupiah dalam kehidupan masyarakat perbatasan
bermakna tingginya kesadaran mereka untuk tetap menjadikan
rupiah sebagai mata uang utama di Sebatik. Di perbatasan
rupiah fungsinya bukan hanya sebagai alat tukar semata. Rupiah
berubah fungsinya menjadi simbol kedaulatan negara Indonesia.
Foto-foto dalam keseharian warga menggunakan rupiah
menandakan keIndonesiaan mereka dalam upaya penggunaan
rupiah masih tetap terjaga meskipun terkadang masih
menggunakan ringgit.

262
Pendidikan yang berhasil di perbatasan juga menjadi
modal dimasa depan bagi kemajuan kecamatan Sebatik Tengah
sebagai beranda terdepan Indonesia. Dengan keberhasilan
pendidikan maka akan semakin baik sumber daya manusia yang
ada, dan pada akhirnya akan semakin tinggi pula daya kreatifitas
warga dalam mengisi pembangunan sebuah bangsa dan
negara. Potret yang tergambarkan dalam keseharian mereka di
mana mereka harus berjuang untuk mendapatkan pendidikan
yang layak dengan berjalan kurang lebih dua jam setiap harinya
menjadi makna begitu besarnya tekad mereka membangun citra
bangsa yang berkarakter kuat. Dampak dari keberhasilan
pendidikan tersebut direpresentasikan oleh pola pikir beberapa
masyarakat yang mulai mandiri memanfaatkan potensi alam
yang ada menjadi produk lokal yang kreatif. Pemanfaatan
potensi alam ini memaknai kecintaan masyarakat perbatasan
pada produk-produk lokal. Hal ini juga bermakna ikut mendukung
intensitas penggunaan rupiah, karena dengan begitu warga bisa
memperbanyak mengkonsumsi produk lokal menggunakan
rupiah, selain sebagai upaya meminimalisir ketergantungan
mereka mengirim hasil alam ke Malaysia.

Kesimpulan
Sebagai produser fotografi, peneliti ingin memperlihatkan
realitas yang sebenarnya pada kehidupan sehari-hari

263
masyarakat perbatasan, realitas bagaimana mereka memaknai
Indonesia dalam segala keterbatasan yang ada, di tengah
banyaknya wacana yang menyatakan minimnya nasionalisme
masyarakat perbatasan karena ketergantungannya pada
Malaysia. Fotografi memperlihatkan realitas yang sebenarnya,
berbanding terbalik dengan wacana yang berkembang.
Kedekatan dan intensitas berinteraksi dengan Malaysia bukan
sebagai indikasi minimnya nasionalisme masyarakat
perbatasan, karena hal tersebut tidak ada kaitannya dengan
perasaan berbangsa. Bergantung dengan Malaysia hanya
sebagai cara mereka untuk hidup dan terus berjuang melawan
keterbatasan dan perhatian pemerintah. Keterbatasan
menjadikan masyarakat perbatasan hidup mandiri, bersahaja,
saling menolong dan bergotong royong mempertahankan NKRI
di tapal batas. Foto-foto yang didokumentasikan oleh peneliti
juga adalah bukti bagaimana masyarakat perbatasan
menyalurkan rasa keIndonesiaan mereka dalam kehidupan
sehari-hari, keIndonesiaan masyarakat perbatasan yang abstrak
pada penelitian ini diperlihatkan melalui visual.

Daftar Pustaka
Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities: Komunitas-
komunitas Terbayang. Yogyakarta: INSIST Press
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.

264
Barthes, Roland.1977: Image-Music-Text. London: Fontana
Press
Freineger, Andreas. 2010. The Complete Photografer. New
York: DK Publishing.
Hartley, John. 2010. Communication, Cultural and Media
Studies: Konsep Kunci. Yogyakarta: Jalasutra
Michaelsen, Scott dan David E.Johnson. 1997. Border
Theory. America: The University Of Minnesota Press
Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian
Budaya, Jakarta: Prenada Media Group.
McKee, Alan. 2003. Textual Analysis. London: Sage Publications
Ltd
Michaelsen, Scott dan David E.Johnson. 1997. Border Theory.
America: The University Of Minnesota Press
Naples, A. Nancy dan Jennifer Bickham Mendez. 2015. Border
Politics. America: New York University Press
Noth, Winfried. 2006. Semiotika. Surabaya: Airlangga University
Press
Soedarso. 2012. Filsafat Pancasila Identitas Indonesia.
Surabaya: Pustaka Radja
Tirtosudarmo, Riwanto dan John Huba. 2005. Dari Entikong
sampai Nunukan: Dinamika Daerah Perbatasan
Kalimantan Malaysia Timur (Serawak-Sabah), Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Rose, Gillian. 2001. Visual Methodologies. London: Sage
Publication
Vera, Nawiroh. 2014. Semiotika Dalam Riet Komunikasi.Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia

*) Mahasiswa Program Magister Media dan Komunikasi,


Universitas Airlangga

265
REPRESENTASI PEMBANTU RUMAH TANGGA KULIT
HITAM DALAM FILM THE HELP

Nani Kurniasari*

Pendahuluan
Film merupakan bagian integral dalam ilmu komunikasi.
Sifatnya yang populer membuat film menjadi media massa yang
cukup efektif dalam mendistribusikan nilai dan ideologi yang
diusung oleh pembuatnya kepada khalayak luas.
Kecenderungan film-film Hollywood satu dekade terakhir
mengusung ideologi emansipatoris. Dapat dilihat dari film-film
yang mengangkat isu pembebasan hak sipil orang-orang kulit
hitam, cerita kehidupan yang sarat diskriminasi antara kaum kulit
hitam dengan kaum kulit putih marak divisualisasikan dalam film.
Di film-film tersebut terlihat bagaimana sekelompok kecil kaum
kulit putih turut menjadi penentu keberhasilan perjuangan
kebebasan hak sipil kaum kulit hitam.
Seperti tergambar dalam film The Help yang
mengisahkan bagaimana pelayan Afrika-Amerika di kota
Jackson-Mississipi diperlakukan secara diskriminatif oleh
majikan mereka, juga tentang bagaimana mereka diberdayakan
oleh seorang wanita kulit putih muda untuk menulis sebuah buku

266
tentang perlakuan keluarga kulit putih tempat mereka bekerja.
Konsep representasi ditinjau secara politis berdasarkan
kelompok sosial-budaya yang melatarbelakanginya dan mencari
tahu siapa yang berada di balik semua produksi kebudayaan itu.
Didekati secara kualitatif, penelitian ini dilihat dari sudut pandang
paradigma kritis menggunakan metode analisis wacana kritis
Norman Fairclough. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
adalah data primer teks yang dimasukkan ke dalam bagan
berisikan unsur utama pembentuk naratif berdasarkan
sequence, scene, dan shot dari awal hingga akhir cerita
menggunakan multilevel analysis antara teks, konteks, praktik
diskursif, dan sosio kultural.
Tren film Hollywood berideologi emansipatoris terlihat dari
film-film yang mengusung tema kemerdekaan hak sipil orang-
orang kulit hitam pada rentang tahun 60-an. Diskriminasi
terhadap kaum kulit hitam sangat kental terasa dalam film-film
tersebut. Akan tampak peran sejumlah kaum kulit putih yang
turut menjadi penentu keberhasilan kaum kulit hitam dalam
memperjuangkan kesetaraan hak sipil. Kaum kulit putih tetap
digdaya, seperti tergambar dalam film-film berikut ini.

267
Gambar 1. Poster film-film Hollywood dengan isu kulit hitam

Finding Forrester, film tentang sastrawan penyendiri yang


diproduksi pada tahun 2000 ini cukup menarik bila dilihat dari
268
sudut pandang pergumulan rasial yang subtil. Naskah film ini
ditulis oleh Mike Rich dan disutradarai oleh Gus van Sant. Ada
pendidikan tak langsung dari William Forrester, diperankan oleh
Sean Connery, tentang bagaimana seorang inferior dengan
tepat menunjukkan diri ketika harus berhadapan dengan
superior beradab yang sadar, juga dengan superior yang rasis
atau feodal.Kesungguhan Jamal Wallace, diperankan oleh Rob
Brown, dalam menghadapi segregasi para guru kolot di
sekolahnya yang secara komikal sok tahu tersaji dengan cara
yang mendebarkan. Guru-guru itu kerap dikalahkan oleh ingatan
Jamal dalam menghafal kutipan karya para sastrawan Amerika
Serikat.Secara umum film ini berwarna murung dan rasis.
Kritiknya adalah mengapa harus bersekolah di tempat anak-
anak kulit putih untuk menerima pendidikan yang baik? Mengapa
untuk hebat dan lebih berharga, seorang remaja kulit hitam harus
bertemu dengan seorang kulit putih yang kebetulan merupakan
pengarang buku yang baik?
Precious, film produksi tahun2009 inidisutradari oleh Lee
Daniels. Berlatar tahun 80-an di Harlem. Precious adalah nama
dari seorang remaja putri yang buta huruf, diperankan oleh
Gabourey Sidibe. Dia diperkosa oleh ayah tirinya hingga memiliki
dua anak. Kerap mendapat siksaan fisik dari ibu kandungnya
sendiri. Sanksi sosial berupa dikucilkan dan dikeluarkan dari
sekolah dia terima atas kesalahan yang bukan disebabkan oleh

269
dirinya. Hingga akhirnya dia mengidap Human Immuno Virus-
Acquired Immune Deviciency Syndrom (HIV-AIDS) karena
tertular dari ayah tirinya. Orang kulit hitam digambarkan dalam
film ini sebagai kelompok dengan status ekonomi rendah, kasar,
tidak berpendidikan, dan terlibat tindak kriminal. Peran sentral
yang mengisi posisi penting seperti kepala sekolah dan guru
ditempati oleh orang kulit putih meski sekolah itu didominasi
murid kulit hitam. Pekerja sosial, konselor dan pegawai
pemerintahan lainnya yang menjadi sosok penolong dalam film
ini juga merupakan orang kulit putih.
The Blind Side, film arahan sutradara John Lee Hancock ini
diproduksi pada tahun 2009. Diangkat berdasarkan kisah dalam
novel karya penulis best seller, Michael Lewis, The Blind Side:
Evolution of a Game. Berkisah tentang Michael Oher, seorang
anak kulit hitam tunawisma yang memiliki trauma, diperankan
oleh Quinton Aaron. Ia berhasil menjadi pemain All American
Football di putaran pertama NFL dengan bantuan seorang
wanita kulit putih, Leigh Anne Tuohy diperankan oleh Sandra
Bullock dan keluarganya yang penuh perhatian.
The Help, adalah drama Amerika produksi tahun 2011 hasil
adaptasi novel dengan judul sama karya Kathryn Stockett.
Disutradarai oleh Tate Taylor. Mengisahkan bagaimana pelayan
Afrika-Amerika di kota Jackson-Mississipi dipandang oleh
majikan mereka, juga tentang bagaimana mereka diberdayakan

270
oleh seorang wanita kulit putih muda, Skeeter Phelan yang
diperankan oleh Emma Stone, untuk menulis best-seller tentang
sudut pandang para pembantu rumah tangga terhadap keluarga
kulit putih tempat mereka bekerja. Digambarkan Skeeter menulis
buku tersebut selama masa gerakan penegakan hak-hak sipil,
terutama terhadap kaum kulit hitam pada 1960-an.
Lincoln, film yang diangkat berdasarkan biografi Presiden
Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln ini diproduksi pada
tahun 2012. Disutradarai oleh Steven Spielberg. Film ini
menceritakan tentang perjuangan Abraham Lincoln, diperankan
oleh Daniel Day-Lewis yang saat itu menjabat sebagai presiden
Amerika Serikat dalam mengesahkan Undang-Undang Anti
Perbudakan di negaranya. Nasib kulit hitam pada masa itu
sangat bergantung pada keputusan parlemen yang semua
anggotanya berkulit putih. Film berfokus pada perjuangan kulit
putih dalam membela kulit hitam yang tertindas pada masa itu.
Django Unchained, diproduksi pada tahun 2013. Bercerita
tentang Django, diperankan oleh Jamie Foxx, seorang budak
kulit hitam yang berjuang mendapatkan kebebasannya demi
menyelamatkan istrinya yang juga mengalami perbudakan.
Digambarkan betapa kejamnya perbudakan yang terjadi di
Amerika Serikat pada masa itu. Film ini berlatar waktu dua tahun
sebelum perang sipil, disutradarai oleh Quentin Tarantino.
Django yang awalnya penakut dan tidak berani melakukan

271
perlawanan akhirnya menjadi pemberani dan memiliki keahlian
menembak setelah mendapat banyak bantuan dari seorang kulit
putih yang baik hati. Dalam berjuang meraih kebebasannya,
kaum kulit hitam digambarkan tidak dapat melakukannya sendiri
tanpa bantuan dari orang kulit putih.
12 Years A Slave, film yang berlatar waktu di era sebelum
pecah perang sipil ini diproduksi pada tahun 2013. Terkisah
Solomon Northup, diperankan oleh Chiwetel Ejiofor, seorang
lelaki kulit hitam merdeka asal New York utara yang diculik dan
dijual sebagai budak di Selatan. Dia mendapat kekerasan fisik
akibat kekejaman majikannya, Edwin Epps, diperankan oleh
Michael Fassbender. Kemudian dia mendapatkan kebaikan dari
seorang kulit putih saat berjuang untuk bertahan hidup dan
mempertahankan martabatnya.Pada tahun ke-12 menjadi
budak, Salomo bebas dari perbudakan.
The Butler, film ini bercerita tentang pengabdian seorang
pelayan Gedung Putih. Diproduksi pada tahun 2013. Adalah
Cecil Gaines, diperankan oleh Forest Whitaker, seorang pemuda
kulit hitam yang mencari pekerjaan di sebuah hotel elit di
Washington DC setelah meninggalkan kampung halamannya di
Selatan. Dia kemudian berkesempatan untuk bekerja di Gedung
Putih sebagai pelayan seumur hidup. Selama tiga dekade, Cecil
berotoritas untuk mengatur kursi barisan depan. Pekerjaannya
yang menuntut dedikasi berlawanan dengan prinsipnya tentang

272
keluarga, bahwa keluarga adalah utama. Hal itu membuat
ketegangan di rumahnya.
Selma, film ini diangkat dari sepenggal biografi Martin
Luther King. Diproduksi pada tahun 2014. Diceritakan bahwa
pada tahun 1964, ketika Undang-Undang Hak Sipil secara
hukum telah disahkan, diskriminasi masih merajalela di daerah-
daerah tertentu. Hal itu membuat orang kulit hitam sulit untuk
mempunyai hak pilih. Pada tahun 1965, kota Alabama menjadi
medan pertempuran perjuangan hak pilih bagi orang kulit hitam.
Dr. Martin Luther King Jr., diperankan oleh David Oyelowo,
seorang kulit hitam dan para pendukungnya yang banyak juga
terdiri dari orang-orang kulit putih, melakukan aksi long-march
dari Selma ke Montgomery. Klimaks dari upaya mereka adalah
ketika Presiden Lyndon Johnson menandatangani Undang-
Undang Hak Pilih pada tahun 1965.
Film-film tersebut diproduksi dalam rentang tahun 2000
hingga 2014. Film sebagai produk industri budaya mendapat
keuntungan dari rasa sakit dan penderitaan yang dialami oleh
kulit hitam di masa lalu. Kecenderungan isu yang dibangun tetap
menyisakan diksriminasi. Posisi kaum kulit putih dalam film
digambarkan lebih superior, berkuasa, dan berperan sebagai
penolong bagi kaum kulit hitam. Penelitian ini berfokus pada film
The Help.

273
Konseptualisasi Representasi
Merujuk Eriyanto (2005), representasi adalah cara media
menampilkan seseorang, kelompok, atau gagasan tertentu. Ada
dua hal yang terkait dengan urgensi representasi. Pertama,
apakah seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan
sebagaimana mestinya ataukah diperburuk. Penggambaran
yang tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan
cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu.
Hanya citra buruk yang ditampilkan, sementara citra yang baik
luput dari tampilan. Kedua, bagaimana representasi tersebut
ditampilkan dengan kata, kalimat, aksentuasi seperti apa
seseorang, kelompok, atau gagasan ditampilkan oleh media
kepada khalayak. Representasi tidak hanya melibatkan
bagaimana identitas budaya disajikan dalam film, tapi juga dalam
proses produksi dan resepsi oleh masyarakat si pengkonsumsi
nilai-nilai budaya yang direpresentasikan media.
Lebih lanjut, Eriyanto menjelaskan bahwa persoalan utama
dalam representasi adalah bagaimana realitas atau objek
ditampilkan. Bagaimana sosok pembantu rumah tangga
ditampilkan dalam film The Help. Menurut John Fiske (dalam
Eriyanto, 2005) saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan,
kelompok, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang
harus dihadapi oleh media. Pertama, peristiwa yang ditandakan
(encode) sebagai realitas. Bagaimana peristiwa itu dikonstruksi

274
sebagai realitas oleh media. Dalam bahasa film, berhubungan
dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan, dan
ekspresi. Di sini, realitas selalu siap ditandakan ketika kita
menganggap dan mengkonstruksi peristiwa tersebut sebagai
sebuah realitas. Pembantu rumah tangga dianggap sebagai
pekerjaan kalangan pendidikan dan ekonomi rendah.
Kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai sebuah
realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu
digambarkan. Dalam bahasa film, alat itu berupa kamera,
pencahayaan, editing, atau musik. Proses pengambilan gambar
yang digunakan, teknik pencahayaan yang diambil,
penyuntingan yang dilakukan dan musik latar yang dipilih dalam
film The Help membawa makna tertentu ketika diterima
khalayak.
Ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisasikan ke
dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis.
Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan
diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial,
atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat. Dalam
film The Help digambarkan bahwa orang kulit putih sepakat
bahwa pembantu rumah tangga menempati strata sosial rendah
dalam masyarakat. Berkulit hitam, menjadikan seseorang
semakin diposisikan dalam kelas terrendah secara sosial.

275
Representasi didukung oleh struktur sosial budaya dan
cara pengorganisasian masyarakat (Haryatmoko, 2010: 131).
Menurut Fiske, ketika kita melakukan representasi tidak bisa
dihindari kemungkinan menggunakan ideologi yang dianut
masyarakat. Kekejaman yang dilakukan oleh majikan kepada
pembantu rumah tangga kulit hitam tergambar jelas dalam film
The Help dan itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar oleh
masyarakat. Dalam praktik marjinalisasi semacam itu, kode
representasi yang muncul digambarkan dengan tanda posisi
pembantu rumah tangga yang hina. Ditambah lagi dengan
praktik rasial karena pembantu rumah tangga itu berkulit hitam.
Kepercayaan sosial itu sering kali diterima sebagai common
sense tanpa banyak dipertanyakan. Kemudian ideologi
semacam demikian tanpa disadari meresap ke dalam praktik
kerja media.
Hall mengemukakan bahwa dalam representasi terdapat
(1) penggunaan bahasa untuk merepresentasikan dunia dengan
penuh makna kepada orang lain. (2) bagian penting dari sebuah
proses yang dengan makna diproduksi dan dipertukarkan di
antara para anggota sebuah kebudayaan. (3) produksi makna
dari konsep yang ada dalam pikiran kita melalui bahasa (Hall,
1997: 17).

Misrepresentasi Kaum Marjinal

276
Dalam representasi seringkali terjadi misrepresentasi, yaitu
ketidakbenaran penggambaran. Misrepresentasi merupakan
penggambaran seseorang atau kelompok dengan tidak
sebagaimana mestinya. Penggambaran seperti itu sering
dilakukan media pada kelompok yang dianggap tidak memiliki
peran atau tidak penting seperti pembantu rumah tangga.
Representasi yang bias ini terjadi karena faktor-faktor dominan
yang masih melekat pada para pengelola media, yakni latar
belakang pendidikan dan budaya yang mempengaruhi mereka
dalam memproduksi pesan.
Dalam praktik marjinalisasi terjadi penggambaran buruk
kepada kelompok lain. Orang kulit hitam direpresentasikan
sebagai kelompok kelas bawah. Terlebih jika orang kulit hitam itu
perempuan, mereka dianggap sebagai pihak yang tidak berani,
kurang inisiatif, tidak rasional dan lebih perasa. Perempuan kulit
hitam yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak
digambarkan sebagaimana mestinya.
Dalam film The Help digunakan praktik pemakaian bahasa
sebagai strategi wacana dari marginalisasi, yaitu pemakaian
bahasa pengasaran (disfemisme) yang dapat mengakibatkan
realitas menjadi kasar. Disfemisme banyak dipakai untuk
menyebut tindakan yang dilakukan masyarakat bawah.
Selain disfemisme, dalam film The Help juga digunakan
stereotipe. Stereotipe adalah penyamaan sebuah kata yang

277
menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif (tapi umumnya
negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan. Dalam
film The Help, stereotipe adalah praktik representasi yang
menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi
yang negatif dan bersifat subjektif. Pembantu rumah tangga
distereotipekan sebagai sosok yang bodoh, tidak berdaya, kelas
bawah, perlu dikasihani, dan tidak rasional atau terlalu
mengedepankan emosi. Stereotipe itu pada akhirnya merupakan
praktik di mana kelompok tertentu digambarkan secara buruk
oleh kelompok lain.
Penelitian ini berupaya untuk melihat film secara sosial dan
ideologis. Hal-hal yang terepresentasi lewat film The Help
dianalisis dari segi naratifnya, lalu mencari pola hubungannya
dengan konsep-konsep sosial-politis yang melingkupinya.
Pengaruh cutural studies pada dekade 1980-an mendorong
lahirnya paham ini. Di mana segala macam isu representasi
akan ditinjau secara politis berdasarkan latar belakang kelompok
sosial atau budaya tertentu, serta mencari tahu siapa yang
berada di balik semua produksi kultural.

Analisis Naratif Film The Help


Analisis naratif dilakukan dengan memperluas ide teks ke
dalam karya nonfiksi. Kajian naratif juga dipengaruhi oleh
tekanan fenomenologi dalam memahami pengalaman hidup dan

278
persepsi pengalaman (Patton, 2002). Todorov mengartikan
istilah naratif pada 1969 dalam sebuah upaya untuk mengangkat
bentuk atau status suatu objek pengetahuan untuk ilmu baru
(Riessman, 1993: 1).
Analisis naratif juga muncul sebagai pendekatan spesifik
untuk mempelajari organisasi (Czarniawska, 1998: 13-14), yaitu
untuk (1) penelitian organisasi yang ditulis dalam cerita, (2)
penelitian organisasi yang mengumpulkan cerita organisasi, (3)
penelitian organisasi yang mengkonseptualisasikan kehidupan
organisasi seperti membuat cerita dan teori organisasi seperti
membaca cerita, (4) suatu refleksi disiplin yang berbentuk kritik.
Cerita merupakan fokus suatu analisis naratif. Inti dari analisis
naratif adalah bagaimana menginterpretasikan cerita secara
lebih spesifik. Teks berbicara tentang cerita.
Naratif merupakan teks yang distrukturkan oleh rangkaian
waktu dari berbagai peristiwa yang ditampilkannya (Thawites &
Mules, 2002: 174). Naratif dalam film The Help dimulai dari kisah
satu ke kisah lainnya yang saling berhubungan sehingga
membentuk rangkaian visual yang bermakna. Secara umum,
naratif merupakan perpaduan unsur pokok dalam cerita, antara
lain alur, latar, dan karakter. Film The Help memiliki naratif yang
mengedepankan unsur dramatisasi karakter pemain dan ide
cerita, sebab tema yang diambil adalah seputar perjuangan
kaum perempuan kulit hitam yang bekerja di sektor domestik,

279
dalam hal ini sebagai pembantu rumah tangga keluarga kulit
putih.
Film ini bercerita tentang seorang penulis perempuan kulit
putih bernama Eugenia Skeeter Phelan, diperankan oleh Emma
Stone, dan relasinya dengan dua orang pembantu rumah tangga
berkulit hitam yang bekerja pada keluarga kulit putih, Aibileen
Clark, diperankan oleh Viola Davis dan Minny Jackson,
diperankan oleh Octavia Spencer pada era kebebasan hak sipil,
yaitu tahun 1963 di kota Jackson, Mississippi.
Skeeter adalah seorang jurnalis yang memutuskan untuk
menulis buku dari sudut pandang pembantu rumah tangga (the
help). Sebagai perempuan muda kulit putih yang mandiri,
Skeeter ingin menjadi wanita karir yang sukses. Sarjana double
degree ini memilih tetap melajang. Skeeter pergi ke kampung
halaman selepas lulus kuliah dari Universitas Mississippi untuk
mencari pembantu rumah tangga yang mengasuhnya semasa
kecil, Constantine, diperankan oleh Cicley Tyson. Skeeter
merasa sedih mendapati Constantine yang ternyata sudah
berhenti bekerja ketika dia jauh dari rumah untuk menuntut ilmu.
Skeeter percaya bahwa Constantine tidak akan pergi tanpa
menunggunya kembali. Skeeter akhirnya tahu bahwa
Constantine dipecat oleh ibunya sendiri, Charlotte, diperankan
oleh Allison Janney.

280
Peran sentral berikutnya adalah Aibileen. Ia menghabiskan
hidupnya dengan membesarkan anak-anak kulit putih setelah
kematian anak lelaki satu-satunya akibat kecelakaan kerja.
Aibileen bekerja di keluarga Leefolt, merawat anak dari Elizabeth
Leefolt, seorang ibu muda penderita depresi yang tidak peduli
pada putrinya sendiri. Elizabeth adalah salah satu teman Skeeter
dalam grup perempuan muda sosialita kulit putih. Aibileen
memiliki seorang sahabat yang juga pembantu rumah tangga
berkulit hitam, Minny Jackson.
Berbeda dengan Aibileen, Minny lebih berani
mengutarakan apa yang dia pikirkan. Minny juga bekerja untuk
keluarga kulit putih. Ia sudah lama bekerja di rumah Mrs.
Walters, diperankan oleh Sissy Spacek, ibu dari Hilly Holbrook,
diperankan oleh Bryce Dallas Howard. Hilly juga merupakan
salah satu teman Skeeter yang tergabung dalam kelompok
sosialita perempuan muda kulit putih. Minny dan Mrs. Walters
saling cocok satu sama lain. Minny yang agak temperamental
ditoleransi karena kemampuan masaknya yang sangat baik.
Skeeter bekerja di koran lokal sebagai kolomnis. Ia
menghubungi Elizabeth selaku majikan Aibileen untuk dapat
mewawancarai Aibileen. Elizabeth menyetujui permintaan
Skeeter karena solidaritas pertemanan. Selama menghabiskan
waktu berdua bersama Aibileen, Skeeter sadar bahwa
tindakannya ini akan membuat jarak antara dirinya dengan

281
teman-temannya. Teman-teman Skeeter itu akan merasa tidak
nyaman dan mengambil sikap yang tidak menguntungkan bagi
pembantu rumah tangga mereka. Ditambah lagi dengan rencana
Hilly yang mengusung gerakan bertajuk “home help sanitation
initiative” untuk melegalkan pemisahan toilet bagi para pembantu
rumah tangga berkulit hitam dengan toilet yang digunakan oleh
para majikan. Alasannya adalah, bahwa orang-orang kulit hitam
dapat membawa penyakit.
Terinspirasi oleh hubungannya dengan Constantine,
Skeeter mempunyai ide untuk menulis sebuah buku tentang
hubungan antara orang-orang kulit putih dengan pembantu
rumah tangga mereka yang berkulit hitam. Awalnya para
pembantu rumah tangga itu enggan bercerita tentang apa yang
mereka alami selama bekerja di keluarga kulit putih, mereka
takut dihukum oleh sang majikan. Tetapi kemudian Aibileen
akhirnya setuju. Minny juga demikian setelah dipecat oleh Hilly,
majikannya, akibat menggunakan toilet tamu, padahal Minny
melakukan itu karena perintah ibu dari Hilly, Mrs. Walters yang
tidak tega pada pembantunya itu keluar rumah untuk sekadar
pergi ke toilet dengan menerjang badai tornado karena memang
posisi toilet pembantu terpisah dengan rumah.
Hilly menghukum Minny dengan tuduhan mencuri yang
kemudian menyebabkan putri Minny dikeluarkan dari
sekolahnya dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga juga.

282
Minny kemudian mendapat pekerjaan baru di rumah Celia Foote,
diperankan oleh Jessica Chastain yang menikah pada lelaki
kaya, Johnny Foote, diperankan oleh Mike Vogel, mantan pacar
Hilly. Celia diasingkan oleh teman-temannya yang sosialita, Hilly
salah satunya. Celia tidak tahu bagaimana memperlakukan
Minny dengan baik sebagai pekerja di rumahnya. Celia kerap
bergabung dengan Minny di dapur untuk belajar memasak
sambil bercengkerama tentang bagaimana menangani rintangan
dalam hidup yang sering dihadapi setiap perempuan. Hubungan
mereka semakin dekat setelah Celia keguguran. Celia juga
memberitahu Minny bahwa dia dan suaminya menikah karena
dia hamil, tapi keguguran sebulan kemudian. Dia juga gagal
menjaga kehamilan berikutnya hingga dua kali keguguran. Di sini
hubungan baik terjalin antara pembantu rumah tangga kulit hitam
dengan majikan yang berkulit putih.
Skeeter mendaftarkan naskah bukunya kepada editor di
New York City, Elaine Stein, diperankan oleh Mary Steenburgen,
yang memberi masukan bahwa cerita tentang pembantu rumah
tangga yang lainnya perlu ditulis, bukan hanya kisah Aibileen
dan Minny. Sang editor memberi target bahwa buku itu harus
segera terbit karena bertepatan dengan perkembangan isu
gerakan hak sipil di Amerika. Para pembantu rumah tangga itu
akhirnya menyadari bahwa kehadiran buku itu akan memberi
mereka kesempatan untuk mempublikasikan apa yang mereka

283
alami selama bekerja di keluarga kulit putih. Mereka berpikir
bahwa ini adalah kesempatan untuk mendapatkan hak asasi
sebagai manusia, meski harus menghalau rasa takut akan
hukum yang seolah mendukung penistaan manusia.
Skeeter, Aibileen, dan Minny sadar akan konsekuensi dari
cerita-cerita yang tertuang dalam buku itu. Buku diterbitkan
secara anonim untuk melindungi Skeeter dan identitas
kontributornya. Buku itu mendulang sukses. Royalti yang
diperoleh dibagi dengan para pembantu rumah tangga yang turut
berkontribusi pada cerita dalam buku itu. Di akhir cerita,
dikisahkan Aibileen melanjutkan hidupnya menjadi seorang
penulis.

Analisis Wacana Film The Help


Analisis ini menginterpretasi motif teks dengan melihat dari
sudut pandang produksi film, yaitu institusi dan individu yang
membuatnya. Film sebagai kesatuan kerja tim besar tidak
terlepas dari peran sutradara sebagai pengarah. Artinya, film
dapat dikatakan sebagai pandangan subjektif sutradara dalam
mewujudkan imajinasinya secara visual.
Ada dua elemen yang tidak bisa dihilangkan. Pertama,
unsur pembentuk naratif itu sendiri, yaitu penulis cerita dan
penulis skenario yang telah mengadopsi dan menuliskan
kembali ide cerita dalam bentuk skrip dengan adanya perubahan

284
dan penambahan unsur baru cerita itu sendiri yang juga sangat
ditentukan oleh pengalaman subjektif dari pembuatnya. Kedua,
unsur kapital dalam sebuah produksi film. Ideologi emansipatoris
dengan konteks industri dan psikologis pembuatnya. Dalam
industri hiburan Hollywood, film selalu berkolaborasi dengan
keuntungan-keuntungan yang pada akhirnya menghasilkan
salah satu bentuk komodifikasi nilai-nilai emansipatoris melalui
ideologi yang ditanamkan film kepada penonton.
Film The Help yang berlatar waktu tahun 1960-an, yaitu
pada masa gerakan penegakan hak-hak sipil, terutama terhadap
kaum kulit hitam.Film The Help disadur dari novel dengan judul
sama karya Kathryn Stockett yang terbit di tahun 2009. Diawali
dengan wawancara seorang jurnalis perempuan muda, Skeeter
dengan Aibileen, seorang pembantu rumah tangga yang bekerja
di keluarga kulit putih. Adegan yang kurang menarik di awal film
ini, seperti disengaja untuk langsung menarik cerita ke adegan
flashback perkenalan Aibileen dengan Skeeter yang mulai
menjadi daya tarik film. Cerita berlanjut mengenai Skeeter yang
ingin menulis dan menceritakan apa yang terjadi di kota Jackson,
Mississippi tentang kisah para pembantu rumah tangga kulit
hitam yang diperlakukan dengan semena-mena oleh para
majikannya yang berkulit putih. Mengusung tema “change
begins with a whisper”, film ini mengekspos rasisme. Perempuan
kulit hitam yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga

285
diperhadapkan dengan penderitaan bertubi-tubi. Mengasuh dan
merawat anak majikan, membersihkan rumah, memoles perak,
dihina di depan publik, dan terpaksa tersenyum ketika sang
majikan membicarakannya seolah dia adalah wanita
berpenyakitan.
Seperti film-film yang mengangkat isu perjuangan kulit
hitam lainnya, dalam The Help pun digambarkan seorang
majikan kulit putih, yang diperankan oleh Jessica Chastain, yang
mencintai pembantunya yang berkulit hitam. Terdapat adegan di
mana sang majikan sangat menikmati momen belajar memasak
dari pembantunya. Artinya, dukungan orang kulit putih turut
berperan penting dalam mewujudkan kemerdekaan bagi orang-
orang kulit hitam, dalam hal ini pembantu rumah tangga.
Di level individu yang mencakup sutradara, penulis cerita,
dan penulis skenario, film dilihat sebagai suatu wacana yang
tidak terlepas dari sistem produksi yang kompleks. Secara
umum, orang-orang yang berada di balik layar seperti sutradara
dan penulis skenario merupakan orang-orang yang sangat
berperan dalam produksi suatu film. Film The Help disutradarai
oleh Tate Taylor dengan mengadaptasi novel berjudul sama
karya Kathryn Stockett. Seperti film adaptasi novel pada
umumnya, The Help juga mengalami perubahan pada jalan
cerita untuk bisa memvisualisasikan ideologi yang terkandung
dalam cerita kepada khalayak. Karena itulah sutradara, penulis

286
cerita dan penulis skenario berkaitan erat dengan narativitas dan
bahasa kamera.

Analisis Sosial Budaya Film The Help


Analisis sociocultural practice disadarkan pada asumsi
bahwa konteks sosial yang ada di luar media memengaruhi
bagaimana wacana yang muncul dalam media. Sociocultural
practice ini menentukan bagaimana film diproduksi dan
dipahami. Misalnya film The Help yang menampilkan posisi
pembantu rumah tangga dalam strata bawah. Film itu
merepresentasikan nilai yang berlaku di masyarakat. Dengan
perkataan lain, nilai yang dianut masyarakat itu berperan dalam
pembuatan film yang menggambarkan marjinalisasi pembantu
rumah tangga. Nilai semacam itu terserap dalam bagaimana
sebuah film yang menggambarkan posisi rendah pembantu
rumah tangga hadir di masyarakat. Nilai-nilai itu tidak terlepas
dari ideologi masyarakat yang kapitalistik. Ideologi ini
memandang kapital sebagai faktor utama yang menggerakkan
masyarakat. Bahwa hanya mereka yang mampu membayar
pembantu rumah tangga saja yang berhak diposisikan tinggi
dalam masyarakat. Kapital adalah segala-galanya. Ideologi ini
didiproduksi dan direproduksi di banyak tempat dan di banyak
bidang kehidupan, media massa adalah satu di antaranya,
dalam hal ini adalah film. Sociocultural practice menggambarkan

287
bagaimana kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat
memaknai dan menyebarkan ideologi yang dominan kepada
masyarakat.
Penentuan narasi sociocultural practice dimediasi oleh
discourse practice. Jika nilai yang dianut masyarakat itu memang
merendahkan para pembantu rumah tangga, maka
hubungannya dengan narasi akan dimediasi oleh bagaimana
narasi itu diproduksi dalam satu proses dan praktik pembentukan
wacana. Mediasi itu meliputi dua hal. Pertama, bagaimana
narasi itu diproduksi. Merendahkan pembantu rumah tangga
mewujud dalam bagaimana narasi diproduksi yang akan
menghasilkan sebuah film. Kedua, khalayak akan menonton dan
menerima film tersebut dalam pandangan yang sama. Misalnya,
khalayak dalam kehidupan sehari-hari memang suka
merendahkan para pembantu yang bekerja di rumahnya, film
yang mengkonstruksikan itu pun tidak dipandang aneh,
dianggap wajar dan tidak perlu dikritisi. Demikian pula pada isu
rasis yang diangkat dalam film The Help. Bahwa orang kulit
hitam memang manusia kelas dua setelah kaum kulit putih.
Fairclough membuat tiga level analisis pada sociocultural
practice ini.
Pertama, konteks situasional. Bagaimana film itu
diproduksi dengan memperhatikan aspek situasional saat
produksi film berlangsung. Film The Help dibuat pada tahun

288
2011, yaitu masa di mana kecenderungan film-film Hollywood
dibuat bertema perjuangan orang-orang kulit hitam dalam
memperoleh kesetaraan hak sebagai warga sipil di era 60-an.
Film The Help sesungguhnya adalah upaya untuk merespons
situasi bahwa sudah tidak ada lagi diskriminasi rasial di
masyarakat. Kemudian sineas Hollywood mengangkat tema ini
ke dalam film yang didistribusikan ke seluruh penjuru dunia.
Dengan mengungkapkan fakta-fakta kekejaman orang kulit putih
terhadap orang kulit hitam di masa lampau, film The Help ingin
menyampaikan bahwa perjuangan orang kulit hitam tidak akan
berhasil tanpa bantuan orang kulit putih. Jika tidak ada orang
kulit putih yang turut andil dalam peristiwa itu, sampai hari ini
orang kulit hitam tidak akan mendapat kemerdekaannya,
selamanya mereka akan menjadi kaum marginal, orang kelas
dua, dan menempati strata terrendah dalam kehidupan.
Kedua, level institusional. Pada tahap ini dilihat bagaimana
pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi film. Faktor
institusi yang penting adalah institusi yang berhubungan dengan
ekonomi media. Produksi film kini tidak mungkin bisa dilepaskan
dari pengaruh ekonomi media yang sedikit banyak bisa
berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam film.
Pertama, pengiklan menentukan kelangsungan hidup media,
film dibuat sedemikian rupa agar menarik minat investor untuk
beriklan. Kedua, khalayak penonton yang ditunjukkan dengan

289
rating, ukurannya adalah menjadi tontonan sebanyak-
banyaknya orang. Karena berpretensi untuk menarik khalayak
sebanyak-banyaknya, tim produksi film harus menciptakan “film
yang baik” yang disukai oleh banyak orang. Tema yang diangkat
disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan khalayak. Untuk
menarik perhatian khalayak, dan pengiklan pada akhirnya,
dilakukan dramatisasi isu sehingga menarik minat orang untuk
menonton. Diskriminasi terhadap pembantu rumah tangga tidak
cukup hanya digambarkan dari apa yang terjadi, kalau bisa
dieksploitasi sehingga bisa dijual dan menarik khalayak
penonton.
Ketiga, persaingan antarmedia. Pada dasarnya, media
memperebutkan penonton dan pengiklan yang sama dan ia
berhadapan dengan peristiwa yang sama pula. Oleh karena itu,
persaingan antarmedia dapat juga menjadi faktor yang
menentukan bagaimana sebuah film diproduksi.
Keempat, bentuk intervensi institusi ekonomi lain adalah
modal atau kepemilikan terhadap media. Media menjadi tidak
sensitif dengan film-film yang berkaitan atau mempunyai
hubungan dengan pemilik modal. Kepemilikan ini juga
dihubungkan secara luas dengan jaring-jaring kapitalisme yang
merambah dan memasuki bidang apa saja.
Dari perspektif komunikasi massa, film pada mulanya
diproduksi oleh para sineas kemudian dijual ke bioskop untuk

290
diputar dan dikonsumsi penonton yang membeli karcis. Kini
bioskop tidak lagi membeli dan menyimpan film melainkan
menyewanya dari para pembuat film. Bagaimanapun, baik
bioskop membeli atau menyewa film yang diputarnya,
keuntungan terhadap industri film tetap besar. Film The Help
diproduksi oleh Dream Works Pictures dan dirilis oleh
Touchstone Pictures dengan menghabiskan biaya produksi
senilai 25 juta dolar AS dan meraih pendapatan kotor sebesar
216 juta dolar AS. Dapat terlihat bahwa isu diskriminasi terhadap
pembantu rumah tangga kulit hitam mampu membawa film The
Help meraih keuntungan yang fantastis.
Selain ekonomi media, faktor institusi lain yang
berpengaruh adalah politik. Pertama, institusi politik yang
mempengaruhi kehidupan dan kebijakan yang dilakukan media.
Misalnya negara yang bisa menentukan sejauh mana kondisi
dan limitasi politis di mana media terbit yang sedikit banyak akan
sangat berpengaruh terhadap isu yang diusung. Di negara di
mana pemerintah mempunyai wewenang untuk melakukan
kontrol dan pengendalian, maka isu yang muncul di media
menjadi lain. Isu yang dipilih harus disesuaikan agar tidak
menjadi ancaman terhadap kelangsungan kehidupan media
bersangkutan. Produksi film merupakan proses yang kompleks
karena ia menyertakan dan berhubungan dengan banyak
kekuatan dan faktor yang ada dalam masyarakat. Pengaruh

291
institusi politik ini juga dapat dideteksi dari bagaimana institusi
tersebut melakukan regulasi dan aneka pengaturan yang
membatasi proses produksi film. Regulasi dan berbagai larangan
dan kewajiban yang harus dilakukan yang akan menentukan apa
yang bisa dan boleh ditampilkan. Kedua, institusi politik dalam
arti bagaimana media digunakan oleh kekuatan-kekuatan politik
yang ada dalam masyarakat. Media bisa menjadi alat kekuatan-
kekuatan dominan yang ada dalam masyarakat untuk
merendahkan dan memarjinalkan kelompok lain. Politik lewat
media dibuat untuk kontrol terhadap pikiran khalayak yang
dilakukan secara tidak sengaja. Ketiga, faktor sosial. Faktor
sosial sangat berpengaruh pada wacana yang muncul dalam
film. Fairclough menegaskan bahwa wacana yang muncul dalam
media ditentukan oleh prubahan masyarakat. Dalam level sosial,
budaya masyarakat misalnya, turut menentukan perkembangan
wacana media. Aspek sosial lebih melihat pada aspek makro
seperti sistem politik, sistem ekonomi, atau sistem budaya
masyarakat secara keseluruhan. Sistem itu menentukan siapa
yang berkuasa, nilai-nilai apa yang dominan dalam masyarakat.
Bagaimana nilai dan kelompok yang berkuasa itu memengaruhi
dan menentukan media.

Daftar Pustaka
Boogs, Joe. (1998). The Art of Watching Film. New York:
McGraw Hill Humanities.
292
Czarniawska, Barbara. (1998). A Narrative Approach in
Organization Studies. Thousand Oaks, CA: SAGE.
Eriyanto. (2005). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks
Media. Yogyakarta: LKiS.
Fairclough, Norman. (2003). Analysing Discourse: Textual
Analysis for Social Research. London: Taylor & Francis
Routledge.
Hall, Stuart. (1997). Representation: Cultural Representations
dan Signifying Practices. London: Sage Publications.
Haryatmoko. (2010). Dominasi Penuh Muslihat. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
http://cinemapoetica.com/memetakan-kompleksitas-kajian-dan-
teori-film-bagian-2/
Maillot, Pierre. (1989). L’Ecriture Cinematographique. Paris:
Meridiens Klincsieck.
Metz, C. (1974). Film Language: a semiotic of the cinema. New
York: Oxford University Press.
Murdock, Graham & Peter Golding. (1973). For a Political
Economy of Mass Communication, dalam Boyd-Barrett,
Oliver & Chris Newbold. (1995). Approaches to Media: A
Reader. London & New York: Arnold.
Patton, M. Q. (2002). Qualitative Research and Evaluation
Methods, Third Edition. London: Sage Publications, Inc.

293
Thwaites, D. Et.al. (2002). Introducing Cultural and Media
Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik. Yogyakarta:
Jalasutra.
Titscher et.al. (2002). Methods of Text and Discourse Analysis.
Thousand Oaks, California: Sage.
Tumakaka, Nur Aini. (2012). Resistensi Pekerja Perempuan
terhadap Dominasi Pekerja Laki-laki dalam Film North
Country. Jurnal Komunikasi Indonesia, 1 (1), 37-43.
Witkin, Robert W. (2003). Adorno on Popular Culture. London:
Routledge.

*) Dosen Program Ilmu Komunikasi Kalbis Institute, Jakarta


Timur

294
MEDIA, REMAJA
(YOUTH), GENDER
& SEKSUALITAS
YOUNG, SUCCESS AND FABULOUS YOUTH:
(Diskursus Kesuksesan di Masa Muda)

Mayarani Nurul Islami*

Pendahuluan
Tulisan ini mengeksplor keterkaitan antara youth dan
diskursus mengenai kesuksesan yang diraih saat muda. Studi
kasus yang diambil adalah program yang diinisiasi, ditawarkan,
dikelola oleh PT Young On Top Nusantara. Program-program
tersebut antara lain buku, artikel-artikel inspiratif yang ditulis
melalui website, akademi dan pelatihan, atau majalah online.
Melalui program-program tersebut yang merupakan praktik
diskursif, penulis mengeksplor bagaimana konstruk sosial atas
youth dan kesuksesan saling berkorelasi, berjalinkelindan, dan
diwacanakan pada publik.
Pembahasan mengenai youth bukan perkara yang baru.
Youth dalam bahasa Indonesia berarti kepemudaan –hal-hal
yang berkorelasi dengan ‘muda’. Dalam masyarakat pra-modern
atau masyarakat tribalistik, ada beberapa budaya yang
mengadakan ritual yang dilakukan untuk ‘anak muda’ setelah akil
balig dimana ‘anak muda’ tidak dianggap sebagai sebuah entitas
yang berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari orang

295
dewasa. Setelah seorang anak mengalami masa-masa akil
balig, anak sudah lagi tidak dianggap sebagai anak melainkan
sebagai orang dewasa yang memiliki peran-peran orang
dewasa. Sehingga, tidak begitu dikenal konsep ‘anak muda’.
Kalau pun ada, anak muda itu bukan permasalahan universal
yang dianggap hanya tahapan atau batu loncatan dari anak-anak
ke dewasa. Namun, sejak masa revolusi industri, terutama saat
mekanisasi produksi, youth mulai menjadi isu universal.
Pada masa industrialisasi atau modernisasi berlangsung,
terjadi diversifikasi pekerjaan. Terdapat begitu banyak
spesialisasi pekerjaan yang membutuhkan spesialis dibidang
atau bahkan subbidang. Otomatis, terjadi peningkatan tuntutan
standar keterampilan baik secara teknis dan atau intelektual
untuk memenuhi permintaan pasar tenaga kerja. Hal ini
berdampak pada proses pelatihan, persiapan, dan pendidikan
yang lebih panjang. Terjadi kesenjangan biologis dan ekonomi-
sosial-psikologis untuk menjadi subyek yang mandiri di dalam
masyarakat. Disitu lah posisi anak muda berada. Di satu sisi,
secara biologis anak muda masih belum ‘siap’ untuk memasuki
pasar tenaga kerja. Di sisi lain, secara ekonomi-sosial-psikologis
anak muda mulai beralih untuk menjadi seorang yang dewasa.
Masa anak muda ini merupakan masa pendewasaan, dimana
seorang muda akan mempelajari bagaimana dunia bekerja dan

296
‘dikarantina’ untuk dipersiapkan menjadi seorang dewasa
dengan segala tanggung jawabnya (Skelton & Valentine, 1998).
James (1986 dalam Skelton & Valentine, 1998)
mengutarakan bahwa masa muda merupakan batasan terhadap
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak muda, terutama
secara legal. Artinya, usia fisik merupakan sebuah penanda
untuk mengontrol perilaku sosial dan kegiatan sosial. Anak muda
dalam rentang umur 16-25 tahun seakan memiliki aturannya
sendiri-sendiri yang dikonstruksi oleh masyarakat dan Negara.
Seperti di Indonesia, anak muda yang berusia kurang dari 18
tahun tidak boleh meminum alkohol atau tidak diperbolehkan
menikah (secara sipil).
Menilik perkembangannya, pengertian muda dalam anak
muda tidak hanya berbicara mengenai umur sebagai bawaan
biologis yang memiliki peran dan ekspektasi yang berbeda,
melainkan sebuah konstruk sosial yang ‘diadakan’. Bagi Parsons
(1942, 1963 sebagaimana dikutip Barker, 2013) anak muda atau
remaja adalah kategori sosial yang muncul bersamaan dengan
perubahan peran keluarga yang tumbuh dari perkembangan
kapitalisme. Tentu saja hal tersebut memiliki implikasi sosial dan
kultural yang berbeda pula. Barker (2013,) berargumen bahwa
usia biologis yang dikemukakan Parsons dengan sendirinya
merupakan bagian dari sistem klasifikasi kultural dan bukan
suatu titik pasti diimana harapan-harapan sosial digantungkan.

297
Artinya, makna dan pandangan mengenai ‘anak muda’ sebagai
konstruk sosial akan bergeser sesuai dengan praktik diskursif
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok yang berbeda.
Bagi Grossberg (1992 dalamBarker, 2004), yang menjadi
persoalan adalah bagaimana kategori anak muda yang mendua
ini diartikulasikan dengan diskursus lain seperti musik, gaya,
kekuasaan, tanggung jawab, harapan, masa depan, dan atau
kesuksesan.
Hebdige (2013) menyatakan bahwa anak muda telah
terbentuk di dalam dan di berbagai diskursus tentang gangguan
dan/atau senang-senang. Penelitian yang terkait dengan anak
muda di tahun 1950-an dan 1960-an banyak berfokus pada
korelasi antara anak muda, kenakalan, dan kriminalitas. Tapi
sebagai alternatif, anak muda juga dianggap dan
direpresentasikan sebagai konsumen yang menyenangkan dari
kultur yang mereka manifestasikan melalui gaya berpakaian atau
fashion, gaya hidup, selera musik, dan lain sebagainya.
Dalam masyarakat, banyak sekali persoalan yang
dimunculkan oleh anak muda yang kemudian mempengaruhi
persepsi masyarakat itu tentang anak muda. Anak muda
dianggap ambivalen –sebagai ancaman atau harapan. Seperti
anak muda yang tergabung dalam geng motor, misalnya, yang
meresahkan masyarakat. Wills (1978 dalam Barker 2013)
mengutarakan bahwa sepeda motor menegaskan komitmen

298
anak-anak [muda] itu terhadap hal-hal yang bersifat fisik,
ketangguhan, dan kekuatan, sehingga ‘kejutan’ dari akselerasi
motor, agresivitas, kedahsyatan dari orang-orang yang tak kenal
rasa takut, cocok, dan menyimbolkan kekuatan maskulin.
Bagaimana pun juga, anak muda juga merupakan harapan
masyarakat akan perubahan kehidupan yang lebih baik. Banyak
kisah kepahlawanan yang diinisiasi dan dilakukan oleh anak
muda seperti peristiwa Sumpah Pemuda. Adanya ambivalensi
dalam pandangan mengenai anak muda pun kemudian
menciptakan kanal-kanal atau wadah penyaluran yang berbagai
macam seperti lomba, pelatihan, kursus, sekolah, dan lain
sebagainya.
Pandangan yang ambivalen tersebut membuat
masyarakat seakan perlu untuk melakukan kontrol sosial tidak
hanya melalui kanal yang diperuntukkan untuk anak muda,
melainkan juga melalui diskursus yang turut mengkonstruk anak
muda itu sendiri. Salah satu diskursus yang langgeng diujarkan
adalah perihal mengenai kesuksesan. Diskursus ini dilontarkan
dari struktur masyarakat yang paling kecil yaitu keluarga, lalu
institusi pendidikaan, pertemanan, lingkungan pekerjaan, media,
dan lain sebagainya.
Sukses kerap kali dihubungkan dengan pencapaian
secara materi –pencapaian karir, status sosial, pendidikan, harta
yang melimpah, pengakuan dari orang lain atas pencapaian

299
tersebut, dan lain sebagainya. Sukses juga sering dijadikan tolak
ukur kebahagiaan seseorang. Saat orang sukses dengan segala
pencapaian di hidupnya, orang akan merasa puas, senang, dan
bahagia. Usaha menuju sukses yang kerap dianggap tidak
mudah, penuh rintangan, pengorbanan, dan penuh pergulatan
batin serta emosi membuat orang merasa bersusah payah untuk
meraih kesuksesan. Seperti pantun yang dapat menjadi analogi
pencapaian ini: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang
kemudian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian
atau seperti ‘jargon’ masyarakat modern, work hard, play hard.
Diskursus mengenai kesuksesan ini sejak kecil
ditanamkan oleh keluarga, terutama orang tua. Orang tua kerap
bertanya, ‘’kalau gede mau jadi apa, dek?” dan anak-anak pun
pasti menjawabnya dengan menyebutkan satu atau dua tipe
profesi pekerjan. Lagu-lagu masa kecil di era tahun 1990-an pun
mengajari anak-anak untuk meraih sukses saat mereka dewasa.
Misalnya, lagu Cita-citaku yang dinyanyikan oleh Joshua atau
Suzan yang dinyanyikan oleh Kak Ernes. Lirik lagu Cita-citaku
kurang lebih seperti ini, cita-citaku../uu…/ingin jadi professor
atau lirik lagu Suzan, Suzan, Suzan, Suzan, kalo gede mau jadi
apa? Suzan pengen pinter biar jadi dokter. Dari lagu anak-anak
yang sederhana ini, anak-anak diajarkan, diminta, dan
diharapkan untuk menjadi persona dengan pencapaian karir saat
mereka dewasa, entah itu dokter, professor, insinyur, guru,

300
polisi, dan lain sebagainya –mereka diharapkan untuk menjadi
sukses.
Diskursus dan gambaran akan kesuksesan ini pun
diulang-ulang hingga si anak menjadi remaja atau anak muda
melalui sekolah atau pranata sosial lainnya. Saat menjelang
Ujian Akhir Nasional atau menghadapi ujian masuk perguruan
tinggi, anak-anak SMA biasanya mendapatkan banyak sekali
diskursus tentang kesukesan. Diskursus itu bisa didapat dari
acara ESQ yang diadakan oleh sekolah atau bimbngn belajar
yang mengingatkan lagi agar anak-anak muda ini sukses saat
mereka dewasa. Melalui motivasi dan renungan, pihak sekolah
sebagai perpanjangan dari masyarakat seolah menuntut bahwa
kesuksesan adalah hal yang niscaya, tujuan hidup dari generasi
muda di masa mendatang saat mereka, secara umur, tak lagi
muda. Anak-anak muda yang cenderung dianggap belum
matang secara kedewasaan, menginternalisasi diskursus
kesuksesan yang ditanamkan melalui mereka. Anak-anak muda,
kemudian, merasa harus berusaha agar menjadi sukses.
Sehingga tidak mengherankan bila Billy Boen, owner, dari PT
Young On Top Indonesia menyebutkan dalam tulisan maupun
ujarannya berpendapat bahwa semua orang ingin menjadi
sukses, tidak ada seseorang pun yang tidak ingin sukses.
Namun, ada sedikit perubahan diskursus selama kurang lebih
lima hingga sepuluh tahun terakhir.

301
Diskursus kesuksesan, kini, terkait dengan usia muda. Di
Indonesia, banyak sekali muncul wirausaha ‘muda’ atau orang-
orang dengan pencapaian karir di bidang profesi tertentu dalam
usianya yang ‘muda’. Sebut saja Billy Boen, Yoris Sebastian,
Sandiaga Uno, Raditya Dika, Rene Sudarsono, Sean Gelael
atau Sandy Sandhoro. Mereka merepresentasikan kaum muda
yang sukses sebelum tua. Mereka menawarkan sebuah
diskursus atau cara pandang hidup yang ‘baru’ untuk sukses di
usia muda, bahwa sekarang, sukses di usia muda itu ‘wajib’ dan
harus ‘diusahakan’.
Apa yang mereka tawarkan itu awalnya berupa gerakan
sosial yang kemudian bertransformasi menjadi sebuah bisnis
seperti yang dilakukan oleh Billy Boen melalui PT Young On Top
(YOT) Nusantara yang menjadi corpus pembahasan dalam
tulisan ini. PT YOT yang didirikan oleh Billy Boen di bulan
November 2012 yang bergerak di bidang ‘jasa motivasi’ dan
konsultan perusahaan. Visi dari PT YOT ini jelas untuk
menciptakan generasi yang lebih kuat bagi Indonesia dengan
misi sebagai inspirasi bagi anak-anak muda Indonesia untuk
meraih sukses di usia muda dan menciptakan komunitas muda
yang kuat dan positif secara nasional dengan memberikan
inspirasi dan program-program yang berkelanjutan. Visi misi dan
karakter PT YOT ini tidak lepas dari Billy Boen sebagai the man
behind the gun. Billy Boen, melalui pengalamannya dan segala

302
kesuksesan yang ia raih, dianggap sebagai salah satu ikon dan
‘contoh’ anak muda yang sukses.
Bila ditelisik lebih mendalam, muncul pertanyaan-
pertanyaan seperti, mengapa bisa muncul diskursus bahwa
“kalau bisa sukses di usia muda, mengapa harus menunggu
tua?”? ada kepentingan apa dibalik muda dan sukses? Apa arti
‘sukses’ sekarang ini? Siapa yang paling diuntungkan dengan
adanya diskursus semacam ini? Dan bila melihat ikon-ikon muda
yang sukses, pencapaian mereka didapat sejak umur 20-an
hingga 30-an dimana konsep ‘muda’ yang dilontarkan mereka
agaknya berbeda dengan konsep ‘muda’ dalam teori-teori youth.
Jadi, apakah ada perbedaan atau pergeseran konsep ‘muda’?
Dan apakah, makna menjadi anak muda? Pertanyaan-
pertanyaan ini dapat dirumuskan dalam satu pertayaan umum,
bagaimana PT YOT Nusantara mengkonstruksi ‘anak muda’
dalam program-progrm yang dilaksanakan? Dan pertanyaan
tersebut akan dijawab dalam pembahasan.

Konstruk sosial anak muda: young, success, and fabulous


Muda bukan semata-mata perkara umur, melainkan
sebuah konstruk sosial atas usia tertentu. PT YOT
mengkonstruksi anak muda sedemikian rupa melalui praktik
diskursif yang dilontarkan melalui ujaran, tulisan, dan program-
programnya. Pemiihan nama Young On Top bisa disebut

303
sebagai salah satu praktik diskusif. Secara harfiah, “Young On
Top” berarti “anak-anak muda yang berada di atas”. Awalnya,
YOT ini adalah sebuah prinsip hidup dari seorang Billy Boen,
yakni “kalau bisa sukses di usia muda, mengapa harus
menunggu tua”. Prinsip ini kemudian menjadi gerakan sosial
melalui media sosial dan kemudian dijadikan landasan dalam
mendirikan PT YOT.
Dalam video profile tayangan YOT di Metro TV, Billy
menceritakan mengenai kesuksesannya seperti narasi di bawah
ini:
Sejak Saya kecil, Saya tahu apa passion Saya.
Saya juga tahu apa yang Saya ingin capai dalam
karir Saya. Saya lulus S1 2 tahun 8 bulan dan
dalam kurun waktu satu tahun, dengan predikat
cumlaude. Saya berhasil menjadi General
Manager saat Saya berusia 26 tahun. Ketika 29
tahun, Saya dipercaya untuk memimpin tiga
perusahaan dengan karyawan lima ratus orang.
Semua orang pasti ingin sukses, tapi hanya orang
yang tahu apa yang dibutuhkan untuk sukses lah
yang akan bisa mencapai arti dari sukses yang
sesungguhnya (Metro TV, 2013).

Selama video itu diputar dibagian personal tentang Billy,


terdapat foto-foto Billy saat menempuh studi di Amerika. Saat
berbicara mengenai kesusesan, gambar beralih menjadi orang-
orang yang berada di kota dan bekerja. Dalam narasi, gambar,
dan prinsip Billy dan PT YOT bisa dimaknai bahwa sukses
adalah pencapaian materi dalam hidup, dalam hal ini karir. Top
304
dalam Young on Top berarti posisi atas dalam karir seseorang.
Sukses adalah saat anak muda dapat berada di posisi atas
dalam karir –sukses dalam usia muda.
Praktik diskursif lain muncul dalam talkshow YOT di Metro
TV, misalnya dalam episode Young, Success, and Fabulous.
Setelah kisah kesuksesan Billy (seperti dalam narasi sebelumya)
ditampilkan sebagai bagian pembuka, hampir di setiap talkshow
yang ada, Billy membuka dengan narasi yang senada dengan
ini:

Hai YOTers, siapa sih yang tidak ingin young,


success, dan ganteng atau cantik, muda, dan
sukses? Tapi sebenarnya, apa sih sukses? Apa
sih cantik? Kali ini YOT akan bertemu dengan
businessman, dokter yang sukses bergerak di
bidang kecantikan. Dan kita akan membahas
bagaimana menjadi seseorang yang sukses, stay
young, and fabulous. Ikuti perjalann Saya. (Metro
TV, 2013)

Dari tayangan dan narasi di atas, Billy Boen selalu


membuka acara dengan pertanyaan, “siapa yang tidak ingin
sukses di usia muda?” Pertanyaan ini sifatnya retoris.
Pertanyaan diajukan terhadap audiens, mengajak audiens untuk
menjawab untuk diri sendiri, apakah kita –audiens tidak ingin
sukses di usia muda? Otomatis untuk menjawab pertanyaan ini,
audiens merasa harus berkaca pada diri sendiri. Melalui refleksi,
audiens bisa sedikit sadar tentang apa yang ia inginkan? Apakah
305
ia ingin sukses? Dimana pertanyaan semacam itu menjadi
stimulus untuk pertanyaan-pertanyaan reflektif lain seperti
sukses yang seperti apa? Kapan dan bagaimana mencapai
sukses, terutama di usia muda? Dan lain sebagainya.
Untuk menjawab “pertanyaan audiens” atau melanjutkan
bagian isi dari talkshow, YOT seolah menawarkan jawaban,
solusi, serta inspirasi untuk melakukan apa-apa saja yang
dibutuhkan untuk menjadi sukses dengan berbincang dengan
narasumber yang mencapai kesuksesan di usia muda.
Billy : balik lagi, anak-anak muda selalu bilang: ya mas
Billy.. oke, yang paling simple dulu deh mengenai
tepat waktu, Saya mau nih tepat waktu, tapi di
kampus, di tempat kerja Saya gak seperti itu.
Akhirnya mereka wasting my time, mereka
terbawa arus, gitu.. kan? Banyak yang seperti itu.
Nah sekarang, seorang Sandy yang sudah balik
ke Indonesia masih bisa tepat waktu?
Sandy : Ya.. em.. mungkin hal-hal seperti itu, ee…
Billy : Prinsip ya?
Sandy : Ya, sudah prinsip Saya sih, walaupun orang
seperti itu, tapi Saya sih gak ikutan, Saya tetap
pada prinsip Saya.(Metro TV, 2013)

Percakapan di atas memberikan semacam solusi atau


pengetahuan know-how untuk mengatasi permasalahan anak
muda dalam mencapai kesuksesan yaitu ketidaktepatan waktu.
Yang menjadi menarik adalah pernyatan Billy tentang anak muda
yang ingin tepat waktu tapi mereka terbawa arus tempatnya.

306
Figure 1 Tayangan Young on Top dengan
Sandy Sandhoro sebagai Narasumber

Pernyataan Billy ini menyiratkan anak-anak muda ini


pertama, tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan untuk
‘memecahkan’ atau menghadapi masalah mereka. Kedua, anak
muda itu seakan dengan mudahnya terbawa arus. Dua
pernyataan ini seakan memandang bahwa anak muda tidak
memiliki pengalaman yang cukup, kepercayaan diri untuk
mengatasi masalah sendiri sehingga harus bertanya pada
seorang Billy Boen, dan tidak berdaya menghadapi suatu
konteks sehingga harus ‘diberdayakan’, ‘didorong’, ‘dibuat untuk
percaya diri’ dalam menghadapi sesuatu. Padahal apakah
seluruh anak muda seperti itu? Kan tidak. Belum lagi penekanan
intonasi, bahasa nonverbal yang mengindikasikan bahwa anak
muda itu ‘harus’ diajarkan ini-itu untuk menjadi sukses –harus
diajarkan untuk tetap pada prinsip tepat waktu.
Pengetahuan know-how ini juga terdapat dalam buku
yang ditulis Billy Boen pada tahun 2009 yang berjudul Young On

307
Top yang merupakan cikal bakal berdirinya PT YOT. Didalamnya
terdapat 30 kunci kesuksesan yang bisa diraih pada usia muda
berdasarkan pengalaman hidup Billy Boen. Bagian pertama
buku ini merupakan bagian ‘penyadaran’, misi untuk
menemukan motivasi, optimisme, dan kepercayaan diri. Bagian
dua berisi mengenai pengembangan kemampuan diri sendiri
sesuai passion yang diminati dan bagian terakhir berisi karakter
penunjang apa saja yang seharusnya dimiliki anak muda untuk
mencapai kesuksesan di usia muda. Selain buku, YOT juga
menuliskan hal tersebut dalam artikel di websitenya, baik di
billyboen.com atau youngontop.com.

Sukses di usia muda dan pemenuhan pasar tenaga kerja


Seperti yang telah diungkapkan oleh Talcot Parsons
bahwa anak muda merupakan masa transisi dan persiapan
anak-anak untuk menjadi seorang dewasa yang memiliki
tanggung jawab sebagai orang dewasa dalam sistem
kapitalisme. Memang, dalam masa kapitalisme lanjut ini, orang-
orang dituntut untuk bisa bertahan hidup melalui pekerjaan yang
menghasilkan uang atau pendapatan lain. Agar dapat bersaing,
anak muda dipersiapkan sedini mungkin untuk menghadapi
tantangan yang ada. Anak muda diinvestasikan oleh orang tua,
keluarga, masyarakat, bahkan negara untuk menyokong sistem
ekonomi kapitalisme dengan menjadi pekerja.

308
Pekerjaan yang dibayar dan tipe pekerjaan apa yang
diambil membawa pada identitas sosial dimana hal tersebut
memainkan peran penting dalam status sosial dan penerimaan
publik atas kehadiran seorang dewasa (Skelton & Valentine,
1998). Untuk menjadi seorang dewasa dengan identitas dan
status sosial tertentu, anak muda mempersiapkan diriny untuk
bekerja. Paling tidak ada dua signifikansi mengenai pekerjaan
bagi anak muda. Pertama, pekerjaan membuat anak muda,
secara finansial bisa terlepas atau melepaskan diri dari orang tua
sehingga membuat mereka menjadi sosok yang mandiri dan
otonom. Kedua, bekerja menjadi penanda identitas anak muda
sebagai sosok yang dewasa. Bowlby, Evans, Mohammad
(dalam Skelton & Valentine, 1998) bagi anak muda di usia dua
puluhan, kesukesan atau ketidaksuksesan mereka dalam
mendapatkan pekerjaan dapat berpengaruh pada employment
dan sejarah personal mereka.
Diskursus mengenai kesuksesan di usia muda membuat
anak muda berlomba-lomba untuk segera bekerja dan/atau
menciptakan pekerjaan. Apa yang dilakukan YOT turut
mengencourge, memotivasi, anak muda untuk bertahan,
berjuang, berusaha untuk bekerja. YOT menawarkan berbagai
program seperti buku motivasi, tayangan motivasi, seminar,
pelatihan, konferensi, konsultasi personal untuk membantu
mempersiapkan anak muda yang siap bekerja. Bekerja ini

309
kemudian ‘dibalut’ menjadi sesuatu yang menyenangkan. YOT,
terutama melalui Billy Boen, sering kali berkata dan
menyarankan agar anak muda bekerja di bidang yang disuka.
Dengan bekerja di bidang yang suka, anak muda tidak akan
merasa ‘bekerja’. Kemampuan anak muda pun menjadi
maksimal dan asal tekun dan mau berusaha keras, kesukesan
pun akan dicapai di usia yang muda.
Namun di balik itu semua, tetap saja, anak muda yang
bekerja, dengan segala pencapaian dan kesuksesannya di usia
muda dengan kemampuan yang maksimal tentu
menguntungkan kapitalisme. Pemenuhan atas anak muda atau
pekerja dengan kemampuan di atas rata-rata perlahan terpenuhi
dan mennyokong industri itu sendiri. Diskursus mengenai
kesuksesan pun kembali menguntungkan industri dan
menyuburkan kapitalisme baik yang ‘diwakili’ oleh perusahaan
multinasional maupun perusahaan pribadi (wirausaha mandiri).
YOT kemudian menjadi sebuah institusi yang turut serta
mendukung proses tersebut. YOT jelas mengajarkan bagaimana
menjadi seorang anak muda yang sukses di usia muda.
Program-program YOT seakan menjadi kanal-kanal baru bagi
anak muda untuk menyalurkan hasratnya secara ‘positif’ untuk
memenuhi ekspektasi dan harapan masyarakat. Adanya
diskursus anak muda dan kesuksesan yang turut dilanggengkan

310
YOT seakan menyelamatkan anak muda dari kenakalan, moral
panics yang ditakutkan oleh masyarakat.

Komodifikasi youth dan sukses dalam industri jasa


‘motivasi’
Seperti dalam bukunya, melalui artikel “Solusi Anak
Muda” di billyboen.com, Billy memberikan taktik untuk mengatasi
permasalahan dengan diri sendiri yang sering ditanyakan oleh
anak muda dalam seminar dan workshop yang Ia hadiri. Seperti
contoh:
”Gua ngga tau apa yang gua suka”
Saya: Untuk tau apa yang Agan suka,
GAMPANG. Kunci diri di kamar, siapin
pensil dan kertas, nothing else. Dalam
keadaan sunyi, duduk dan tanya ke diri
sendiri: “Apa yang gua suka?” Apakah
suka ngomong, suka matematika, suka
nyanyi, suka makan, suka traveling,
suka nonton, suka nulis, suka hitung-
hitungan, suka hang out/socialize,
suka motret, suka masak? (Boen,
2012).
Dari pernyataan di atas, Billy menawarkan sebuah cara
anak muda yang tidak tahu apa yang dia suka. Pemilihan
pernyataan anak muda seperti “gua ngga tau apa yang gua suka”
atau “gua ngga tau apa yang pengen gua capai” seperti ini dipilih
oleh Billy. Pertanyaan tersebut dianggap sebagai sebuah
permasalahan mendasar yang kerap ditanyakan oleh anak

311
muda. Buktinya, banyak anak muda yang bertanya mengenai hal
tersebut oleh Billy. Pertanyannya kemudian, diantara sekian
pertanyaan yang ada, mengapa pertanyaan ‘dasar’ itu lah yang
dipilih, ditulis, diberikan jawaban oleh Billy, dan disebarkan
secara massif dan gratis di websitenya?
Pertanyaan yang ditulis Billy dalam format pernyataan ini
seakan memposisikan bahwa Billy menjadi ‘dewa penolong’
yang merespon kegundahan anak muda tanpa diminta.
Membuat anak muda memang secara naturally wajar kalau
gundah dalam menemukan jalan dan mencapai kesuksesan.
Apakah benar anak muda ‘segundah’ itu dan ‘seserius’ itu
mengatasi kegundahannya? Lagi-lagi, pernyataan ini membuat
anak muda Nampak tidak berdaya dan butuh ditolong.
Selanjutnya, pernyatan yang terjawab oleh Billy bisa jadi
menstimulus anak muda untuk bertanya lebih lanjut bagaimana
cara, teknik, pelatihan, praktik untuk mencapai sukses dan
bagaimana agar tetap memiliki semangat sukses di usia muda.
Itu lah yang kemudian dijual oleh PT YOT melalui pelatihan,
seminar, akademi, konsultasi personal, penjualan buku.
Seminar atau akademi yang
ditawarkan oleh YOT tidak lah murah.
Harga bervariasi tergantung dengan
pelatihan yang ditawarkan oleh YOT,
Figure 2 Banner YOTAcademy di
website Young on Top biasanya harga berkisar dari IDR

312
500,000 – IDR 5,000,000 (bagi professional). YOT pun
menawarkan paket pelatihan bagi sekolah, kampus,
perusahaan, dan juga personal. YOT pun selain menjual buku,
juga menjual merchandise yang didesain sangat ‘anak muda
sukses’ (Young On Top, 2014).

Kesimpulan
Bisa dikatakan dengan gamblang bahwa anak muda dan
kesuksesan telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan bagi
industri jasa motivasi seperti PT YOT. Anak-anak muda pun
dipandang sebagai konsumen bagi siraman ‘motivasi’ yang
mereka tawarkan. Alih-alih menginspirasi, mengkonstruk, dan
memotivasi anak muda untuk menjadi sukses secara
pencapaian karir, YOT juga berjualan dan menjadikan anak
muda konsumtif terhadap apa yang mereka tawarkan dengan
dalih kesuksesan. Sebenarnya, jika ditelusuri lebih dalam,
jawaban-jawaban, solusi, tips dan trik, pelatihan soft skills,
pembentukan mental, bukan lah hal baru. Itu hanyalah common
sense dan proses yang lumrah untuk takes time bagi anak muda
untuk menjadi sukses.
Anak muda merupakan sesuatu yang ‘ditemukan’ dalam
masyarakat. Anak muda bukan hanya sesuatu yang ‘ada’ secara
psikologis atau biologis, melainkan juga ada secara kontruksi
sosial. Dalam masa kapitalisme lanjut seperti sekarang, muncul

313
diskursus kesuksesan yang dilekatkan pada anak muda. Anak
muda seakan dituntut untuk menjadi seorang yang sukses di usia
muda. Banyak sekali pihak yang mengkonstruk anak muda yang
sukses termasuk PT YOT Nusantara melalui diskursus
mengenai kesuksesan. Namun rupanya tidak hanya mengenai
konstruk identitas anak muda yang sukses di usia muda, ada hal
yang lebih subtil yang tersembunyi dalam industri jasa motivasi
ini, yaitu pemenuhan tenaga kerja muda profesional dan
komodifikasi anak muda dan kesuksesan.

Daftar Pustaka
Barker, C. (2004). Cultural Studies: Teori dan Praktek.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Boen, B. (2012). Solusi Anak Muda. Retrieved from Billy Boen:
http://billyboen.com/solusianakmuda
Hebdige, D. (2013). Subculture: The Meaning of Style. London:
Routledge.
Metro TV. (2013). Young on Top. Jakarta, DKI Jakarta,
Indonesia.
Skelton, T., & Valentine, G. (1998). Cool Places: Geographies of
Youth Cultures. London: Routledge.
Young On Top. (2014). Young Academy. Retrieved from Young
on Top: http://www.youngontop.com/
*) Mayarani Nurul Islami, University of Sydney, New South Wales
2006, Australia, e-mail: misl6431@uni.sydney.edu.au
314
PENGGUNAAN METAFORA SEKSUALITAS PADA LAGU
DANGDUT KOPLO
(Studi Semiotik Metafora Lagu Dangdut Koplo Kebelet 1
dan Kebelet 2)

Namiratud Diniyah*

Pendahuluan
Dangdut koplo merupakan mutasi dari musik dangdut
setelah era dangdut campursari yang bertambah kental irama
tradisionalnya ditambah dengan masuknya unsur seni musik
kendang kempul yang merupakan seni musik dari daerah
Banyuwangi Jawa Timur dan irama tradisional lainnya seperti
jaranan dan gamelan (http://pusbangkol.perpusnas.go.id,
diakses 25 Oktober 2015). Munculnya dangdut koplo di
masyarakat tidak lepas dari faktor sosial. Dangdut koplo muncul
adalah sebuah cerminan masyarakat pantura, dalam konteks
histori dan geografi pantura yang membentang dari Banten
sampai Surabaya yakni, di sepanjang jalan adalah pelabuhan-
pelabuhan besar yang digunakan untuk aktivitas seperti
perdagangan, pelayaran dan perikanan.
(http://www.jakartabeat.net, diakses 25 Oktober 2015).

315
Sejak zaman penjajahan Belanda pantura sering
dijadikan jalan raya yang dinamakan jalan pantura yang hingga
sekarang selalu menjadi akses untuk dilalui ujung Jawa Barat
dan ujung Jawa Timur, tidak heran jika dilihat dari konteks histori
dan geografi dengan melihat masyarakat pantura yang sibuk
dengan aktivitas membutuhkan sebuah hiburan yang segar dan
menghidupkan semangat untuk bekerja kembali, sehingga
bermunculanlah para seniman untuk berkreasi menciptakan
hiburan yang menarik di masyarakat.
Dangdut daerah mulai berkembang ketika pasca
Soeharto, artinya ragam-ragam dangdut baru diciptakan,
dipasarkan, diedarkan, dan digunakan karena tumbangnya
rezim Soeharto sehingga mengalami krisis ekonomi. Dangdut
dinyanyikan dengan bahasa daerah dan dipasarkan pada
kelompok etnis tertentu (Weintraub, 2012: 234). Termasuk lagu
dangdut koplo kemudian, munculah Ainur Rochimah (Inul
Daratista) sebagai sosok yang muncul dalam sejarah baru musik
dangdut, sehingga babak revolusi baru dangdut digulirkan, maka
bermunculanlah rekaman VCD karena adanya video kamera
jinjing dan industri musik VCD. Goyangan Inul yang secara
gelap dipasarkan dan goyang inul disebut dengan goyangan
ngebor diiringi dengan lagu dangdut koplo. Istilah koplo,
mengarahkan pada salah satu obat-obatan psikotropika yang
sering di sebut dengan nama pil koplo.

316
Indikasi ini diberikan terkait dengan pengaruh (sifat) yang
ditimbulkan menjadikan pemakainya koplo (sakau). Musik koplo
dulunya cara mengungkapkan teler tentang gaya tarian yang
dianggap orang sebagai “sulit dipercaya” atau “ajaib” (Weintraub,
2012: 252), sehingga para penyanyi dangdut koplo identik
dengan goyangan maut, jingkrak-jingkrak penyanyinya.
Ternyata lagu-lagu dangdut koplo disambut meriah oleh
masyarakat sehingga, dangdut koplo berkembang menjadi grup-
grup dangdut koplo Orkes Melayu atau disingkat OM SERA,
PALAPA, dan lain sebagainya. Menurut Weintraub (2012: 251)
mengatakan bahwa “grup-grup lagu dangdut koplo juga berjaya
di berbagai daerah, sebagaimana terbukti dari VCD ‘dangdut
heboh’ yang dipasarkan sampai Maluku nun jauh di Indonesia
timur”. Musik dangdut semakin heboh dipasaran dan menyebar
ke berbagai pulau-pulau Indonesia. Sejak era reformasi
kemunculan rekaman-rekaman VCD dan goyangan Inul seakan
dibebaskan. Semenjak era reformasi digulirkan dan
membuahkan kebebasan pers–ketika pers yang sejak Orde Baru
jadi “pers industri” (http://www.kompasiana.com/noviyanto/abad-
jurnalisme-lher, diakses 26 Oktober 2015). Media massa
menjadi kepentingan pribadi seolah-olah menjadi keuntungan
bisnis memuaskan selera pasar dengan mengumbar pornografi
sebagai bisnis dan inilah yang disebut era jurnalisme lher atau

317
jurnalisme sensasional dalam era tersebut berita atau pun
gambar dikatakan pornografi.
Pada Orde Baru dulu diberlakukan self cencorship
masyarakat tidak berani dengan menggunakan kata-kata yang
seronok dan setelah Orde Baru menginjak reformasi media
massa mendapat peluang bebas dengan membicarakan segala
hal yang tabu di khalayak khususnya tentang seksual. Era
reformasi inilah self censorship tidak berlaku. Dangdut koplo
sendiri bukan hanya penyanyi yang selalu menampilkan
goyangan-goyangan yang erotis melainkan, lirik lagu dangdut
koplo terlalu vulgar untuk didengar dan mengandung makna-
makna yang negatif serta seksualitas, “harus waspada jika anak
menyanyikan lagu dangdut koplo” karena lirik dalam dangdut
koplo sendiri, dinilai tidak tepat dan liriknya mengandung makna
negatif dan tidak baik untuk diperdengarkan anak-anak, sebagai
contoh lirik lagu dangdut koplo wedhuse “mending tuku sate
timbang tuku wedhuse, mending gendakan timbang dadi bojone,
mangan sate ora mikir mburine, ngingu wedhus ndadak mikir
sukete” (http://guraru.org, diakses 29 Oktober 2015)
Bahasa adalah sistem lambang arbitrer yang
dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi dan mengidentifikasi diri Kridalaksana dalam
Aminuddin (2008: 28), sehingga bahasa menjadi alat komunikasi
bagi manusia. Thomas (2004: 45) said “Basically, metaphor is a

318
way of comparing two different concepts”. Menurut Tanudjaja
(2008: 32) Metafora dalam linguistik adalah menyampaikan
sesuatu dengan memindahkan ke konteks lain hingga muncul
perluasan arti. Metafora dalam lirik lagu sangat sering
digunakan misalnya dalam lirik lagu dangdut koplo yang
berbahasa Jawa misalnya ada kata “sawah”, bagaimana kata
sawah dalam konteks lagu dangdut koplo diartikan sebagai alat
kelamin wanita, sehingga kata sawah yang makna sebenarnya
adalah tanah yang digarap dan dialiri untuk tempat menanam
padi tetapi dan akhirnya kata “sawah” dalam lirik lagu kebelet 1
mendapat perluasan arti atau dimetaforakan sebagai unsur
seksualitas.
Menurut Demartoto (2002: 4) Seksualitas adalah suatu
aspek inti manusia sepanjang hidupnya dan meliputi seks,
identitas, dan peran gender, orientasi seksual, erotisisme,
kenikmatan, kemesraan dan reproduksi. Dalam isi lirik lagu
dangdut sendiri sering merefleksikan tema-tema yang universal
misalnya cinta dan hubungan antar-manusia dan ada juga yang
mengangakat isu-isu sosial tetapi lagu dangdut koplo
mempunyai kecenderungan dalam lagunya menggunakan
metafora seksualitas, sehingga lagu tersebut mengalami
pencekalan, termasuk lagu kebelet 1 dan kebelet 2 didalamnya
terdapat permainan-permainan metafora seksualitas.

319
Menurut Fiske (2011: 124) permainan kata adalah vulgar
merupakan bagian dari budaya lisan. Sehingga dari lirik lagu
dangdut koplo ditemukannnya permasalahan bagaimana
seksualitas dimetaforkan dalam lirik lagu dangdut koplo kebelet
1 dan kebelet 2, sehingga mempunyai tujuan penelitian untuk
mengetahui seksualitas yang dimetaforakan pada lirik lagu
dangdut koplo kebelet 1 dan kebelet 2.
Untuk menjawab permasalahan penelitian ini peneliti
menggunakan metode penelitian kualitatif analisis tekstual:
semiotik Roland Barthes. Menurut Ida (2014: 81) mengatakan
“Barthes peduli pada bagaimana tanda-tanda mengambil nilai-
nilai ini seolah natural atau ilmiah. Dalam buku John Storey
dalam Ida (2014: 82) mengatakan mencoba membedah
tingkatan-tingkatan elemen tanda yang menjadi alat metodologi
Roland Barthes. Barthes membagi tingkatan signifikasi makna
dalam dua level. Pertama, yang disebutnya dengan ‘Primary
Signification’ yang didalamnya terdiri dari ‘signifier’ dan ‘signified’
dan ‘sign’ (denotasi). Kedua disebut dengan ‘secondary
signification‘. Terdiri dari signifier, signified, dan sign (Konotasi).
Unit analisis adalah teks yang berupa kata-kata yang menyusun
lirik lagu dangdut koplo baik per kata maupun kalimat. Teknik
pengumpulan data menggunakan dokumentasi dan
kepustakaan atau literatur.

320
Bahasa sebagai Konstruksi Sosial
Bahasa sebagai sistem semiotik dan kaitannya dengan
makna (Aminuddin: 28). Sehingga memahami sebuah bahasa
maupun makna melibatkan unsur yang mungkin sangat
kompleks, karena makna yang bermula dari kata, selain
melibatkan pemakai juga melibatkan unsur sosial budaya
(Aminuddin: 28). Menurut Barker (2004: 8) dalam Cultural
Studies meyatakan bahwa bahasa bukanlah media netral bagi
pembentukan makna dan pengetahuan tentang dunia objek
independen yang ‘ada’di luar bahasa, tapi ia merupakan bagian
utama dari makna dan pengetahuan tersebut. oleh karena itu,
peneliti membahas bahasa yang berkaitan konstruksi sosial di
masyarakat
Bahasa merupakan faktor penting dalam berkomunikasi
karena bahasa merupakan sistem simbol, hal ini sesuai dengan
salah satu prinsip komunikasi yaitu bersifat simbolik atau one
cannot communicate ( Moerdijati, 2012: 101). Sehingga bahasa
merupakan media dan sarana pembentukan makna. Menurut
Barker (2004: 8) dalam Cultural Studies meyatakan bahwa
bahasa bukanlah media netral bagi pembentukan makna dan
pengetahuan tentang dunia objek independen yang ‘ada’di luar
bahasa, tapi ia merupakan bagian utama dari makna dan
pengetahuan tersebut. Bahasa memberi makna pada objek
material dan praktik sosial yang dibeberkan oleh bahasa kepada

321
kita dan membuat kita bisa memikirkan dalam konteks yang
dibatasi oleh bahasa (Barker, 2004: 8).
Dalam lirik lagu, pada saat menciptakan lagu, seseorang
penulis dituntut untuk dapat memilih unsur leksikal yng tepat,
singkat sekaligus, estetis dalam mengungkapkan
pengalamannya (Tjahjani: 2004: 132-133). Sehingga penulis
maupun pencipta lagu seringkali memakai simbol-simbol,
metafora maupun metonomi untuk mengungkapkan
pengalamannya dalam lirik lagu.

Metafora
Menurut Thomas (2004: 45) mengatakan “Basically,
metaphor is a way of compairing two different concepts”. Dasar
metafora adalah cara untuk membandingaan 2 konsep yang
berbeda. Menurut Lakoff dan Jonson dalam Tanudjaja (2008: 31)
menjelaskan bahwa, inti dari metafora adalah mengerti dan
mengalami sebuah pernyataan dalam terminologi yang lain.
Dalam Tanudjaja (2008: 32), metafora dalam linguistik adalah
menyampaikan sesuatu dengan memindahkan ke konteks lain
hingga muncul perluasan arti. Dalam semiotik biasanya
digambarkan dengan penggunaan tanda dari arti sintagmatik ke
paradigmatik, dari arti denotatif ke konotatif.
Dikenal empat model pemindahan: 1. Simile atau disebut
juga peribahasa mengupamakan dengan menggunakan kata

322
sambung “bagai” atau “seperti”, contoh: cintaku bagaikan
sekuntum mawar, 2. Metonimi adalah penggunaan tanda yang
secara operasional ataupun relasional berada dalam satu
lingkup, contoh Rolls
Royce adalah mobil yang sangat mahal, sehingga Rolls Royce
diasosiasikan dengan kekayaan (atau mungkin selera baik), 3.
Metafora adalah memindahkan isi pesan ke objek atau situasi
yang berbeda, dalam perpindahan itu terdapat relasi (bentuk
atau sifat) yang dikonotasikan sebagai setara.
Roman Jakobson dalam Hartley (2010: 191) metafora
adalah salah satu mekanisme fundamental untuk penciptaan
makna (yang lainnya adalah metonimi). Menurut Tanudjaja
(2008: 33) metafor bekerja atas dasar hubungan paradigmatik,
metonimi bekerja atas dasar hubungan sintagmatik, sehingga
metafor lahir dari kesadaran kita untuk menghubungkan
(mengasosiasikan), maka metonimi berasal dari kesadaran
untuk menggabungkan (mengkombinasikan). Menurut Lakof dan
Johnson dalam Fiske (1990: 129) menunjukkan bahwa metafora
memiliki lebih banyak fungsi fundamental, yakni fungsi
keseharian. Metafora cara kita memahami pengalaman
keseharian kita.

Semiotik Roland Barthes.

323
Roland Barthes dalam Ida (2014: 81) menambahkan
perangkat semiotik dengan definisi dan ekplorasinya tentang
“myths” (mitos). Barthes peduli pada bagaimana tanda-tanda
mengambil nilai-nilai dari sistem nilai dominan atau ideologi dari
masyarakat tertentu dan membuat nilai-nilai ini seolah natural
atau alamiah. Dalam essay-nya yang berjudul Myth Today
(1967) Barthes menawarkan konsep “myhotlogies”. Dalam
tulisannya itu barthes membuat formula model semiologi (ilmu
tentang tanda) untuk membaca budaya populer. Barthes
mengambil skema Saussure “Signifier/signified=sign” dan
menambahkan dalam tingkatan signifikansi kedua (second
signification level). Dalam bukunya John Storey dalam Ida
(2014: 82) mencoba membedah tingkatan-tingkatan elemen
tanda yang menjadi alat metodologi bagi Roland Barthes.
Barthes membagi tingkatan signifikasi makna dalam dua level.
Pertama, yang disebutnya dengan “Primary Signification” yang
didalamnya terdiri dari “signifier”dan “signified” dan “sign”
(denotasi). Kedua, disebut dengan “Secondary Signification”
terdiri dari “Signifier; Signified, dan “Sign” (konotasi).

324
Gambar: Peta Tanda Roland Barthes
2.Signifie
1.Signifier
d
(penand
(petanda
a)
)
3. denotative sign
(tanda denotatif)
4.CONNOTATIVE 5. CONNOTATIVE
SIGNIFIER SIGNIFIED
(PENANDA (PETANDA
KONOTATIF) KONOTATIF)
6.CONNOTATIVE SIGN (TANDA
KONOTATIF)
Sumber : Paul Cobley & Litza Jansz. 1998 Introducing Semiotics.
NY : Totem Books, hlm. 51
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif
(3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada
saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif
(4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material :
hanya jika Anda mengenal tanda “siaga”, barulah konotasi
seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin
(Cobley dan Jansz, dalam Sobur (2003: 69).

Lirik Lagu, Metafora dan Seksualitas


325
Dalam lirik lagu mengandung unsur pesan yang akan
disampaikan ke pendengar. Teks lagu dianggap sebuah
komunikasi verbal yang didalamnya mengandung informasi.
Menurut Mulyana (2013: 260) mengatakan bahwa “komunikasi
verbal ternyata tidak semudah yang kita bayangkan. Simbol atau
pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan
suatu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang
kita sadari termasuk dalam kategori pesan verbal disengaja,
yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk
berhubungan dengan orang lain “lisan”.
Suatu sistem kode verbal disebut bahasa. Bahasa dapat
didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk
mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang dipahami
suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk
menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal
menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai
aspek realitas individual kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah
abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi
yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-
kata itu. (Mulyana, 2013: 261).
Lirik lagu merupakan salah satu sarana untuk
merepresentasikan simbol, representasi, berasal dari kata
represent yang bermakna stand for yang artinya berarti juga act
as delegate for yang bertindak sebagai perlambang atas sesuatu

326
(Krebs, 2001). Lirik lagu dangdut sangat penting untuk
pendengar seperti halnya dalam lagu Rhoma Irama memiliki
fungsi komunikatif mempergunakan bahasa yang main-main.
Menurut Weintraub (2012: 152) mengatakan bahwa” lirik lagu
yang sukses di pasar membangkitkan permainan bahasa yang
jenaka”. Contohnya saja lagu dangdut koplo kebelet 1 dan
kebelet 2 ini menggunakan istilah-istilah bahasa jawa, lalu lirik
dangdut hidup di dunianya sendiri banyak orang yang
mendengarkan dan menyanyikan lirik lagu dangdut ketika
sedang beraktivitas. Terakhir dangdut memberikan kata-kata
kepada orang untuk mengungkapkan berbagai perasaan yang
sulit diutarakan.
Pentingnya lirik dalam sebuah lagu dangdut bagaimana
lagu dangdut ditafsirkan secara berbeda-beda. Menurut
Weintraub (2012: 163) mengatakan bahwa “media cetak populer
menekankan konotasi seksual dangdut, bahasanya yang vulgar
emosionalitasnya yang berlebihan, dan tampilannya yang
kebablasan”. Penulisan lirik lagu tidak lepas dari penggambaran
kehidupan bagaimana didalamnya ada kenyataan sosial.
Terdapat hubungan erat antara pencipta lagu, dengan karya
yang dihasilkan, serta kondisi masyarakat (Damono, 1979: 1).
Lirik lagu tidak bisa berdiri sendiri dan kita bisa mengamati
kehidupan sosial yang mencerminkan masyarakat. Sebagai

327
sebuah teks, lirik lagu tidak berdiri sendiri, tetapi dilatarbelakangi
oleh konteks sosial kultural (Tjahjani, 2004: 133).
Dalam penulisan lagu dangdut dengan menggunakan
istilah-istilah baru dengan permainan bahasa yang jenaka atau
porno, sehingga lagu-lagu dangdut tersebut akan laris
dipasaran. Menurut Fiske (2011: 126) mengatakan bahwa
“permainan-permainan kata ini sering bersifat seksual, tempat
makna resmi dan terhormat dipotong oleh makna-makna yang
seksual dan tidak terhormat”. Lirik lagu yang mengandung unsur
negatif akan dilakukan dengan penyamaran, asosiasi, atau
metafora sehingga membuat pendengar berpikir ke arah sana
tanpa membuat terkesan langsung untuk menghindari
pencekalan sehingga menggunakan permainan bahasa dalam
lirik lagu tersebut. Penggunaan metafora sangat sering kita temui
dalam lirik lagu yang mengarah kepada seksualitas.
Definisi kerja WHO dalam Demartoto (2002: 4)
Seksualitas adalah suatu aspek inti manusia sepanjang
hidupnya dan meliputi seks, identitas dan peran gender, orientasi
seksual, erotisisme, kenikmatan, kemesraan, dan reproduksi,
seksualitas dialami dan diungkapkan dalam pikiran khayalan,
gairah, kepercayaan, sikap, nilai, perilaku, perbuatan, peran dan
hubungan. Sementara seksualitas dapat meliputi semua dimensi
ini tidak semuanya selalu dialami atau diungkapkan. Seksualitas
dipengaruhi oleh interaksi faktor biologis, psikologis, sosial,

328
ekonomi, politik, budaya, etika hukum, sejarah, religi dan
spritual.
Menurut Made Oka Negara dalam Demartoto (2002: 4) ,
seksualitas secara denotatif memiliki makna lebih luas karena
meliputi semua aspek yang berhubungan dengan seks yang bisa
meliputi nilai, sikap, orientasi dan perilaku. Secara dimensional
seksualitas bisa dipilah lagi ke dalam dimensi biologi,
psikososial, perilaku, klinis dan kultural. Dimensi biologis mulai
dari bentuk anatomis organ seks hingga fungsi dan proses-
proses biologi yang meyertainya. Dimensi Psikososial meliputi
faktor psikis yaitu emosi, pandangan dan kepribadian yang
berkolaborasi dengan faktor sosial yaitu bagaimana manusia
berinteraksi dengan lingkungannya secara seksual. Dimensi
klinis seksualitas memberikan solusi terhadap masalah tersebut
dan masalah lain yang menghambat tercapainya kebahagiaan
seksual.
Menurut Demartoto (2002: 5) Di Indonesia seksualitas
tidak terlepas dari dimensi kultural. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan perubahan itu. Pertama semakin terbukanya
informasi seksualitas. Semua bentuk media merupakan refleksi
perubahan ini dan akibatnya seks semakin tidak dianggap
sebagai suatu yang menimbulkan tabu, rasa malu, dan misterius.
Kedua, perubahan gender. Secara tradisional perempuan
diperlakukan sebagai makhluk yang pasif dan tidak responsif

329
secara seksual, sedangkan laki-laki dianggap sebagai agresor
seksual. Pandangan itu kini telah diganti oleh suatu konsep
partisipasi. Ketiga, semakin diterimanya seks untuk tujuan
rekreasi dan relasi sebagai dari reproduksi.

Analisis lirik lagu dangdut koplo kebelet 1 dan kebelet 2


Dalam analisis peneliti akan memilih kata-kata yang
merujuk pada kata-kata metafora seksualitas kemudian peneliti
akan melakukan analisis melalui semiotik Roland Barthes.
Pertama yang disebut dengan ‘Primary Signification’ yang
didalamnya terdiri dari signified dan signifier dan sign (denotasi),
kedua, disebut dengan ‘Secondary Signification’ terdiri dari
signifier dan signified dan sign (konotasi).
Lirik Lagu Kebelet 1
Data 1

Lirik lagu mengandung unsur pesan yang ingin


disampaikan kepada pendengar. Metafora menunjukkan kiasan
persamaan antara benda yang diubah dengan terminologi lain.
Lirik lagu dapat menjadi mediasi untuk mengekpresikan atau
menyampaikan seksualitas. Data pertama dalam lirik dalam lagu
kebelet 1 yang menginterpretasikan seksualitas sebagai berikut
“Dik, aku yo wes nafsu”

330
Pada kutipan kalimat dari lirik lagu kebelet 1 di atas
terdapat tanda metafora yang didalamnya mengandung
seksualitas yaitu pada kata “wes nafsu”. Apabila mendengar
kalimat tersebut, setiap pembaca atau pendengar akan langsung
memikirkan makna idiomatiknya yaitu “keinginan untuk
berhubungan intim”. Pendengar tidak perlu memikirkan makna
kata masing-masing, sebab kedua kata tersebut dapat dipahami
dengan digabung yang menjadi satu makna. Makna tersebut
terasa vulgar untuk didengar, sebab makna tersebut
memberikan dorongan perasaan bagi pendengar untuk
menginginkan hubungan intim atau perilaku seksual.
Penggunaan analisis Barthes dalam data primer atau
denotasi pada kata “nafsu” yang melalui relasi pada tahap
denotasi menjadi “nafsu syahwat” yang membentuk relasi
menjadi ekspresi baru, sehingga pada tahap sekunder atau
konotasi berkembang menjadi ekspresi “cara memenuhi nafsu
syahwat dengan melakukan hubungan seksual”. Dari uraian
tersebut mitos yang telah terungkap adalah “hubungan seks
dilakukan hanya untuk memenuhi nafsu syahwat”. Dalam
masyarakat sastra jawa pada masa Kasunan hubungan seks
dibuat dengan tujuan sebagai saran kebahagiaan untuk
meningkatkan harkat dan martabat perilaku, tetapi pada tataran
mitos lirik lagu kebelet 1 dalam teori Barthes hubungan seks
hanya untuk memenuhi dorongan seksual. Hal ini didukung

331
pendapat Mellyanika (2014) yang menyatakan perilaku seksual
merupakan kebutuhan alamiah pada setiap orang dan timbul
karena adanya dorongan seksual. Dorongan seksual tersebut
merupakan kecenderungan untuk mencari tanggapan yang
bersifat seksual.

Data 2
Data kedua menunjukkan perilaku keinginan nafsu dari
data pertama. Sehingga terdapat hubungan antara data pertama
dengan data kedua yang membentuk seksualitas yang
dimetaforakan. Data kedua dari hasil penelitian dapat disajikan
sebagai berikut:
“Engko bengi aku njaluk iku”
Pada kata “iku” di atas menunjukkan makna yang
seksualitas dengan arti yang tidak sebenarnya. Kata “iku”
menjadi tanda metafora yang mempunyai maksud hubungan
intim, layaknya suami dengan istri. Ketika orang-orang atau
masyarakat mendengar kata “engko bengi jaluk iku” (dalam
bahasa indonesia adalah nanti malam minta itu) maka yang
terbenam dalam pikiranya pada kata iku adalah hubungan seks.
Kata tersebut memberikan pengaruh dan mendorong pendengar
pada orientasi seks atau perilaku seks. Apabila lirik lagu tersebut
didengarkan pada anak-anak remaja, maka dapat
menghegemoni pikiran mereka untuk melakukan hubungan
suami istri yang belum layak mereka lakukan.
332
Kata-kata lirik lagu kebelet 1 di atas jelas yang
mengandung seksualitas yang dimetaforakan dapat ditarik
dengan menggunakan analisis semiotika. Pada kata “iku”
merujuk pada petanda yaitu hubungan seks. Relasi petanda
menjadi tanda denotasi yaitu hubungan seks laki-laki dan
perempuan. Pada makna denotasi berkembang menjadi
konotasi atau konsep mental yang muncul dalam pikiran
masyarakat yaitu “hubungan seks dapat dilakukan apabila sudah
menikah”. Dari uraian denotasi dan konotasi memiliki mitos yang
terungkap dalam masyarakat yaitu hubungan seks antara laki-
laki dan perempuan dapat dilakukan apabila sudah menikah.
Informasi tentang seksualitas hanya untuk diberikan
informasinya bagi yang sudah menikah, namun berbahaya jika
informasi tersebut masuk pada anak-anak yang belum menikah
atau masih remaja. Apabila informasi tersebut sampai pada
anak-anak remaja yang belum menikah, dapat menyebabkan
orientasi seksualnya meningkat dan mengarah pada keinginan
hubungan seks, sehingga mereka tidak sabar menunggu pada
jalur pernikahan dan sebagai alternatifnya yaitu seks bebas.
Menurut Mellyanika (2014) hal ini sangat mungkin terjadi karena
pada saat memasuki masa remaja mulai timbul dorongan-
dorongan seksual di dalam dirinya. Apalagi pada masa ini minat
mereka dalam membina hubungan terfokus pada lawan jenis.

Data 3
333
Data ketiga hampir ada kemiripan dengan data kedua
sebab tanda metaforanya hanya mengalami pergantian kata
petunjuk. Seksualitas yang dimetaforakan dengan pesan yang
tidak sebenarnya melalui kata tunjuk seperti ini dan itu.
Sebagaimana hasil penelitian yang diperoleh dari lirik lagu
kebelet 1 sebagai berikut:
“Lek gak ngono ora iso turu”
Hasil penelitian dari lirik lagu kebelet 1 di atas
menunjukkan bahwa bahwa kata “ngono” terdapat kesamaan
tanda metafora pada data 2 yaitu lirik kata “iku”. Maksud dari kata
“ngono” juga menunjukkan makna seskualitas yang
dimetaforakan dengan makna hubungan intim. Ketika
masyarakat mendengar kata “lek gak ngono ora iso turu”, tentu
dalam benak pikiran mereka kata “ngono” merupakan hubungan
intim antara laki-laki dan perempuan. Kata hubungan intim atau
seks sengaja dibentuk dengan tanda metafora, agar masyarakat
mendengarkan tidak terasa vulgar, namun kenyataanya
maknanya tetap menunjukkan kevulgaran.

Penggunaan analisis semiotika dari lirik kata di atas dapat


dianalisis pada satu kalimat lirik kata “lek gak ngono ora iso turu”.
Kalimat tersebut memberikan petanda “laki-laki mengatakan
pada perempuan kalau tidak berhubungan intim tidak dapat
tidur”. Dalam proses selanjutnya menjadi tahap primer atau
denotasi yaitu “tidak dapat tidur kalau tidak berhubungan intim”.
334
Pada tataran denotasi, berkembang menjadi ekspresi baru yaitu
makna konotasi “karakter laki-laki yang bernafsu syahwat”. Dari
uraian denotasi dan konotasi tersebut telah terungkap mitos
yaitu karakter laki-laki sudah ingin melakukan hubungan intim,
apabila tidak terpenuhi menjadi tidak bisa tidur. Mitos ini
umumnya terjadi pada laki-laki dan perempuan sudah menikah.
Ketika keinginan orientasi seks memuncak dan menginginkan
hubungan intim, tetapi tidak terpenuhi akan menyebabkan timbul
kesulitan untuk tidur. Hidayat (2014) menjelaskan lagu sekaligus
merupakan media penyampaian pesan oleh komunikator
kepada komunikan dalam jumlah yang besar melalui media
massa. Pesan dapat memiliki berbagai macam bentuk, baik lisan
maupun tulisan. Lirik lagu memiliki bentuk pesan berupa tulisan
kata-kata dan kalimat yang dapat digunakan untuk menciptakan
suasana dan gambaran imajinasi tertentu kepada pendengarnya
sehingga dapat pula menciptakan makna-makna yang beragam.
Hal inilah yang dilakukan oleh pengarang lagu kebelet 1 yang
menggunakan kata ngono untuk menyampaikan pesan
mengenai “berhubungan intim”. Apabila menggunakan makna
sebenarnya yaitu berhubungan intim maka akan terkesan vulgar,
karena itu untuk menyembunyikan makna sesungguhnya
dipergunakan kata ngono
Lirik Lagu Kebelet 2
Data 1

335
Data pertama pada lirik lagu kebelet 2 menunjukkan
sentuhan yang dilakukan oleh seorang perempuan kepada
seorang laki-laki yang sedang dalam kondisi tidak sehat
sebagaimana yang ditunjukkan dalam lirik lagu kebelet 2 berikut:
“Ojo disenggol dek awak ku kemriyang”
Kata lirik lagu “disenggol” dalam konteks lagu kebelet 2
merupakan metafora sebab bukan menunjukkan arti
sebenarnya. Arti sebenarnya dalam kata “disenggol”
menunjukkan sentuhan untuk menimbulkan rangsangan,
sehingga makna kalimat dalam lirik di atas adalah sentuhan yang
dilakukan oleh seorang perempuan untuk melakukan hubungan
seksual.
Data pertama pada lirik lagu kebelet 2, apabila dianalisis
dengan semiotika menunjukkan petanda “sentuhan perempuan
pada laki-laki untuk mengajak hubungan intim”. Proses
selanjutnya pada makna primer atau denotasi yaitu “laki-laki
bilang tidak ingin disentuh karena sedang tidak sehat”. Makna
denotasi tersebut berkembang menjadi makna konotasi yaitu
“perempuan dapat merangsang laki-laki untuk melakukan
hubungan seksual melalui sentuhan”. Dari makna denotasi dan
konotasi terungkap mitos bahwa perempuan yang ingin
mengajak laki-laki untuk melakukan hubungan seksual dapat
dilakukan melalui sentuhan-sentuhan. Menurut Adhitama (2013)
Bahasa merupakan alat untuk memproduksi makna turut

336
berperan dalam konstruksi perempuan. Hal ini juga terjadi pada
lagu kebelet 2 karena pada lirik di atas telah mengkonstruksi
seorang perempuan penggoda. Perempuan dikonstruksi
sebagai pihak pertama yang melakukan sentuhan untuk
merangsang pasangannya melakukan hubungan intim.

Data 2

Data kedua pada lirik lagu kebelet 2 menunjukkan bentuk


reaksi sentuhan antara perempuan dengan laki-laki. Sentuhan
dapat berimbas pada seksualitas, yaitu menimbulkan reaksi
seseorang ke arah seks. Hasil penelitian dari lagu kebelet 2 pada
data kedua sebagai berikut:
Setrum mu banter gede voltasene
Kata lirik lagu “setrummu” sebagai tanda seksualitas
metafora sebab bukan menunjukkan arti sebenarnya. Kata
“setrummu” mempunyai maksud arti sentuhan kamu. Jadi makna
dalam kalimat di atas adalah sentuhan kamu cepat, besar
teganganya. Apabila mendengar lirik lagu tersebut, pendengar
atau pembaca akan masuk dalam pikiranya orientasi seks.
Data kedua pada lirik lagu kebelet 2, apabila dianalisis
dengan semiotika menunjukkan petanda “sentuhan perempuan
besar sekali teganganya”. Proses selanjutnya pada makna
primer atau denotasi yaitu “laki-laki bilang sentuhan perempuan
cepat dan besar tegangannya”. Makna denotasi tersebut

337
berkembang menjadi makna konotasi yaitu “sentuhan
perempuan dapat merangsang laki-laki”. Dari makna denotasi
dan konotasi terungkap mitos bahwa sentuhan perempuan dapat
merangsang laki-laki dengan cepat dan besar tegangannya.
Dengan teori semiotika ini, dapat diketahui bahwa perempuan
yang menyentuh laki-laki dapat memberikan rangsangan seks
yang luar biasa terhadap laki-laki. Menurut Widijayanto (2015)
makna kata dalam syair-syair lagu merupakan alat komunikasi
bagi manusia melalui bahasa yang dilakukan secara tidak
langsung. Bahasa yang dipilih dan digunakan dalam lagu adalah
bahasa yang indah yang mengandung fungsi puitis sebagai
curahan. Sebagaimana lagu kebelet 2 yang memiliki lirik “Setrum
mu banter gede voltasene” yang memiliki makna secara implisit
untuk menggambarkan perempuan dapat merangsang laki-laki
dengan cepat.

Data 3
Data ketiga pada lirik lagu kebelet 2 lebih
mengekspresikan pada seorang perempuan yang sudah lama
tidak berhubungan intim. Pada lirik lagu kebelet 1 keinginan
hubungan itu pada pihak laki-laki, tetapi pada lirik lagu kebelet 2
keinginan berhubungan intim itu pada perempuan. Data hasil
penelitian yang diperoleh dari lirik lagu kebelet 2 sebagai berikut:
Aku wes suwe mas ora ngunu ngene

338
Kata “ngunu-ngene” pada lirik lagu di atas menjadi tanda
seksualitas yang dimetaforakan. Kata “ngunu-ngene” tidak
menunjukkan arti sebenarnya, tetapi kata tersebut menunjukkan
maksud hubungan intim. Kata tersebut dapat dipahami dalam
satu kalimat dan hubungan dengan lirik sebelumnya. Ketika
pembaca memahami lirik-lirik sebelumnya, terlintas yang muncul
dalam pikiran mereka ketika mendengar kata “ngunu ngene”
adalah hubungan seksual antara laki-laki dengan perempuan.
Peran tanda metafora tersebut digunakan untuk menutupi arti
yang vulgar dan berbau seks.
Data 3 pada lirik lagu kebelet 2 apabila ditinjau dengan
teori semiotika dapat dianalisis dalam satu baris lirik. Petanda
dari lirik lagu di atas yaitu “saya sudah lama mas tidak
berhubungan intim”. Proses selanjutnya pada makna denotasi
lirik lagu kebelet 2 yaitu “perempuan mengatakan sudah lama
tidak berhubungan intim”. Makna denotasi berkembang menjadi
makna konotasi yaitu “keinginan yang kuat untuk berhubungan
intim”. Dari makna denotasi dan konotasi dapat diungkap sebuah
mitos dengan teori Barthes yaitu perempuan sangat
menginginkan hubungan intim, apabila sudah lama tidak
berhubungan intim. Hal ini merupakan wujud kesetaraan karena
selama ini keinginan untuk melakukan seks lebih banyak
dikonstruksikan pada laki-laki, sedangkan pada lagu kebelet 2
perempuan lebih bersifat aktif untuk mendapatkan kebutuhan

339
seks. Hal ini menunjukkan bahwa lirik lagu tersebut ingin
menyampaikan pesan tentang feminisme yang
memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dengan laki-
laki. Menurut Vida (2011) feminisme adalah perjuangan untuk
mencapai kesederajatan/ kesetaraan, harkat, serta kebebasan
perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan
tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga.

Data 4
Data keempat pada lirik lagu kebelet 2 merupakan
orientasi seseorang apabila perempuan sudah bernafsu atau
mempunyai keinginan hubungan seks pada laki-laki. Perempuan
terlihat tidak terkendali pada saat keinginan seksnya memuncak.
Data hasil penelitian pada lirik lagu kebelet 2 sebagai berikut:
“Ketemu sampean kudu tak pangan wae”
Berdasarkan data hasil penelitian pada lirik lagu di atas
menunjukkan terdapat tanda seksualitas perempuan yang
dimetaforakan. Sebenarnya makna kata “tak pangan wae”
merupakan nafsu keinginan yang besar untuk hubungan intim.
Kata tersebut merujuk pada nafsu orientasi perempuan yang
besar untuk berhubungan seks dengan laki-laki, yang
diekspresikan melalui kata-kata. Data 4 pada lirik lagu kebelet 2
di atas apabila dianalisa dengan teori semiotika Barthes terdapat
petanda “bertemu kamu ingin berhubungan intim aja”. Proses
340
selanjutnya pada makna primer atau denotasi yaitu “perempuan
bilang bertemu laki-laki ingin berhubungan intim”. Makna
denotasi berkembang menjadi makna konotasi yaitu “simbol
keinginan seks dari perempuan”. Dari makna denotasi dan
konotasi tersebut data diungkap mitos bahwa apabila
perempuan ingin berhubungan intim, maka jika bertemu laki-laki
memiliki keinginan untuk langsung berhubungan intim. Hal ini
menunjukkan bahwa sosok perempuan juga memiliki syahwat
yang besar sebagaimana yang dimiliki oleh laki-laki, oleh karena
itu sosok perempuan dalam lirik lagu kebelet 2 juga ingin
memperjuangkan haknya yang sama dengan laki-laki untuk
memenuhi hasrat seksualnya. Vida (2011) menjelaskan bahwa
Akar teori feminisme liberal bertumpu pada kebebasan dan
kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional
yang memiliki kemampuan sama dengan laki-laki, sehingga
harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki.

Kesimpulan
Pada lirik dangdut koplo Kebelet 1 dan Kebelet 2
ditemukan kata-kata yang dimetaforakan mengandung
seksualitas yakni, perilaku seskual,hubungan seksual, atau alat
kelamin wanita. Sehingga metafora seksualitas digunakan
dalam lirik lagu untuk pemanis ataupun menjadi penarik untuk

341
pendengar musik dangdut lagu koplo dan metafora seksualitas
dijadikan sebuah komoditas dalam pasar musik lokal.

Daftar Pustaka
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: Teori dan Praktik.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah
Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Fiske. 2007. Cultural and Communication Studies (Edisi
Terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra.
Fiske. 2011. Memahami Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra.
Hartley, John. 2010. Comunicattion, Cultural & Media Studies:
Konsep Kunci.Edisi Terjemahan. Yogyakarta: Jalasutra.
Tjahyani, Joesana. 2004. Homoseksualitas dalam Lagu-Lagu
Perancis. Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya Vol.
6 No.2.
Thomas, Linda and Shan Wareing etc. 2004. Language, Society
and Power. USA and Canada: Routledge.
Weintraub, Andrew N. 2010. Dangdut: Musik, Identitas, dan
Budaya Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Aminuddin. 2008. Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna.
Bandung: Sinar Baru Algesindo.

342
Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Krebs, W. A. 2001. Colling Gem: Australian English Dictionary,
Third Edition. Sydney: Harper Collins Publisher.
Aji, Novriyanto. 2010. “Abad Jurnalisme Lher “.
http://www.kompasiana.com/noviyanto/abad-jurnalisme-
lher_54ffc63aa33311ec4c511015 Novriyanto AJI 2010.
Diakses 26 Oktober 2015.
Demartoto,Argyo.2010.”SeksualitasdanBudaya”.http://argyo.sta
ff.uns.ac.id/files/2010/08/seksualitas-undip.pdf. diakses
20 November 2015.
Fitrianto, Tahmid. 2012. “Dangdut Koplo dan Hiruk Pikuk
Masyarakat Pantura”.
http://www.jakartabeat.net/resensi/konten/dangdut-koplo-
dan-hiruk-pikuk-masyarakat-pantura 2012. Diakses
tanggal 25 Oktober 2015.
Mulyani, Sri. 2012.” Musik Dangdut Sejarah Sosial dan Musik
Popular
Indonesiahttp://pusbangkol.perpusnas.go.id/resensi-
1.html. Diakses tanggal 25 Oktober 2015.
Novia D, Yetti. 2013. “Waspadai Anak Menyanyikan Lagu
Dangdut”. http://guraru.org/guru-berbagi/waspadai-anak-
menyanyikan-lagu-dangdut-koplo/ . Diakses pada tanggal
29 Oktober 2015.

343
Tanudjaja, Bing Bedjo. 2008. Metafora Feodal dalam Visual
Image Kontemporer ‘Petruk Dadi Ratu’. Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik: Unair.

*)Mahasiswa Magister Media dan Komunikasi, Universitas


Airlangga, namiratuddiniyah@gmail.com

344
ELEMEN IKLAN PADA PROMOSI PRODUK AXE

Decky Avrilukito Ismandoyo*

Pendahuluan
Produk Axe sedang melakukan kegiatan promosi dan
mencoba untuk berkomunikasi langsung di sebuah mall.
Penyajian penyampaian pesan tersebut melibatkan sasaran
khalayak hingga sasaran khalayak seperti melakukan gerakan
membentangkan tangan atau mengangkat kaki seolah sedang
membangun komunikasi.Fenomena penyajian penyampaian
pesan yang melibatkan sasaran khalayak langsung inilah yang
diduga adalah penyajian sebuah iklan dari produk Axe.Penelitian
bertujuan untuk menjelaskan dan memaparkan dari struktur
karakteristikelemen iklan dari sebuah penyajian pesan promosi
produk.Penelitian fokus pada produk Axe Indonesia yang
melakukan promosi tahun 2011 di Cilandak Town Square
Jakarta.Pengumpulan data kualitatif didapatkan dengan cara
melakukan pengamatan dan analisis dokumen dari gejala-gejala
mendalam yang terekam.Penelitian menggunakan analisa
secara deskriptif analitik. Proses alur berpikir dalam proses
pengerjaannya menggunakan teori promosi, iklan, dan elemen
iklan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk Axe Indonesia

345
yang melakukan promosi di mall telah memenuhi kaidah
karakteristik sebagai iklan melalui struktur elemen
pembentuknya. Penyajian iklan yang melibatkan sasaran
khalayak ternyata menyebabkan terjadinya proses respon
interaktif. Hasil tersebut diharapkan dapat menjadi landasan
penelitian berikutnya untuk melengkapi kebutuhan pada
penyajian iklan pada media dan budaya baru untuk
perkembangan industri periklanan di Indonesia.
Komunikasi pemasaran berlangsung melalui sebuah
proses dengan berbagai macam penyajian sesuai tujuannya.
Seperti yang disampaikan olehShimp (2000:7) bahwa berbagai
penyajian penyampaian komunikasi pemasaran tersebut
digunakan untuk kegiatan promosi yang sedang
berlangsung.Dalam penyajian penyampaian komunikasi
tersebut dibutuhkan cara yang unik dan dapat menarik perhatian.
Salah satu yang cukup menarik perhatian adalah produk Axe
Indonesia yang melakukan promosi produk berupa deodorant
bodyspray yang banyak dikonsumsi oleh pria.Keunikan produk
Axe dalam penyampaian komunikasinya adalah selalu membuat
event dengan konsep menjual mimpi untuk para pria yang
menggunakan produk Axedan mendapatkan simpati dari para
wanita-wanita cantik. Menariknya event yang banyak
menggunakan bentuk undian tersebut selalu menjanjikan mimpi
bertemu dengan wanita yang cantik, ekspresif dan seksi. Cara

346
penyajian penyampaian komunikasi kepada sasaran
khalayakpun memicu banyak ide-ide kreatif.
Salah satu ide kreatif tampak seperti pada promosi produk
Axe di sebuah mall pada tahun 2011. Promosi produk Axe ini
menawarkan setiap pembelian produk barunya akan
berkesempatan mendapatkan hadiah smart phone, tablet,
hingga berkencan dengan wanita-wanita cantik bidadari dari
Axe. Disampaikan oleh Aaker (1991:109) bahwa brand
association adalah segala sesuatu yang terhubung dengan
ingatan terhadap merek. Produk Axe mencoba diasosiasikan
dengan wanita cantik khususnya produk ini dengan para
bidadarinya untuk menawarkan mimpi tersebut agar dapat
terwujud melalui penyajian penyampaian komunikasinya kepada
sasaran khalayak. Proses penyampaiannya tampil menarik
perhatian seperti harapan para sasaran khalayak yang dapat
berinteraksi dengan sosok bidadari. Sosok bidadari tersebut
berbentuk hologram yang ditampilkan di Cilandak Town Square
Jakarta. Dengan menggunakan teknologi yang didatangkan
langsung dari Inggris dapat menciptakan kegiatan interaksi
pengunjung dengan bidadari yang seolah-olah nyata
disampingnya. Banyak reaksi pengunjung yang terkesan dengan
cara tersebut
(http://www.antaranews.com/berita/280633/bidadari-jatuh-bikin-
heboh-di-citos).

347
Penyajian penyampaian komunikasi untuk keperluan
promosi produk Axe Indonesia yang diduga menggunakan cara
kegiatan beriklan di Cilandak Town Square Jakarta tersebut
tampak sangat menarik perhatian dan menumbuhkan rasa ingin
tahu, sehingga membuat sasaran khalayak segera
menjadikannya perbincangan. Fenomena inilah yang menjadi
landasan pengkajian mengenai struktur elemen pembentuk iklan
pada promosi produk Axe.

Iklan
Seperti yang disampaikan oleh Wells (2007:5) bahwa Iklan
merupakan komunikasi persuasif menggunakan media masa
nonpersonal yang juga bisa interaktif untuk menjangkau sasaran
khalayak yang luas untuk menghubungkan dengan pengiklan.
Artinya, beriklan merupakan kegiatan berkomunikasi ke sasaran
khalayak. Menurut Maulana sebagai Art Director Lowe Indonesia
(wawancara, 2014) produk Axe ingin berkomunikasi ke sasaran
khalayaknya di area Cilandak Town Square Jakarta. Komunikasi
berlangsung untuk menyampaikan pesan merek yaitu dengan
menggunakan produk Axe maka akan mendapatkan simpati dari
para wanita cantik yang ditemuinya. Bahkan wanita cantik yang
tertarik adalah bidadari yang seolah mengajak kencan hingga
turun ke bumi. Komunikasi yang dibungkus dengan ilustrasi
fantasi inilah yang dijadikan landasan menjual mimpi dengan

348
melakukan kegiatan penyampaian pesan dengan cara yang
unik.

Elemen Iklan
Penyajian penyampaian komunikasi untuk keperluan
promosi produk Axe diduga menggunakan cara kegiatan
beriklan yang dilakukan di Cilandak Town Square Jakarta.
Fenomena ini menjadi penting untuk diketahui mengenai struktur
elemen pembentuk iklan pada promosi produk Axe. Menurut
Wells (2007:6) setidaknya ada empat struktur elemen secara
spesifik agar penyampaian pesan tersebut dapat disebut
sebagai iklan dalam pencapaiannya, seperti:
1. Strategi
Produk Axe memiliki strategi dalam kegiatan
promosinya yang fokus pada cara berkomunikasi kepada
sasaran khalayak. Fokus cara berkomunikasinya adalah
dengan menggunakan produk Axe maka akan mendapatkan
simpati dari para wanita cantik yang ditemuinya . Bahkan
wanita cantik yang tertarik adalah bidadari yang seolah
mengajak kencan hingga turun ke bumi. Fokus cara
berkomunikasi ini dilakukan melalui media unik di Cilandak
Town Square Jakarta.
2. Ide Kreatif

349
Ide sentral dalam penyampaian pesan di mall tersebut
menggunakan obyek bidadari berparas wanita cantik. Dalam
ilustrasi yang dibangun obyek bidadari berparas wanita
cantik tersebut tergoda aroma produk Axe hingga turun ke
bumi seolah mengajak berkencan sasaran khalayak. Cara
berkomunikasi secara visual obyek bidadari berparas wanita
cantik coba dihadirkan lebih dekat kepada sasaran khalayak.
Kehadiran obyek bidadari berparas wanita cantik yang
seolah berada di dekat sasaran khalayak hadir dengan
menggunakan permainan seni visual atau hologram.
Dengan menggunakan permainan seni visual maka sasaran
khalayak akan mendapat pengalaman dari pesan merek.
3. Eksekusi Kreatif
Dalam penyampaian pesan dengan menggunakan
permainan visual secara teknologi seluruhnya dari biro iklan
Lowe London Inggris.Dalam pengerjaan sistem kerja
produksi iklan menggunakan teknik augmented reality.
Menurut Krevelen dan R. Poelman (2010:1) Augmented
Reality (AR) merupakan teknologi penggabungan benda
nyata dan maya di lingkungan nyata, yang berjalan secara
interaktif dalam waktu real time. Satu sistem informasi yang
tampil melalui proses penggabungan realitas dan virtualitas
tadi membutuhkan alat untuk membantu persepsi dan
interaksi dua dunia tersebut. Ditambahkan oleh

350
Maulana(wawancara, 15 Agustus 2014) elemen pembentuk
sistem kerja produksi tersebut menggunakan teknik
augmented reality yang melibatkan sasaran khalayak, area

sensor (marking), alat sensor, kamera, layar, proyektor, dan


komputer.
Gambar 1. Implementasisistem kerja produksi dengan teknik
augmented rality
(Sumber: ilustrasi: Decky, 2014)

4. Media Kreatif
Produk Axe ingin lebih dekat dengan sasaran
khalayak dengan melalui kegiatan penyampaian pesannya.
Tujuan yang sedang dibangun adalah membuat
penyampaian pesan yang di luar kebiasaan dengan
pemanfaatan teknologi canggih agar sasaran khalayak
mendapatkan “brand experience”. Dengan tujuan itu tidak
lepas dari peluang kebaruan bentuk media unik yang dapat

351
menjadi perbincangan luas. Hadirnya bentuk media unik
dengan pemanfaatan teknologi ini memiliki tantangan ke
depan bahwa perkembangan teknologi sangat cepat hingga
ke depan akan muncul teknologi-teknologi baru. Kekuatan
cara tersebut dapat lebih dekat dengan sasaran khalayak
melalui permainan tampilan visual, namun memiliki
kelemahan mahalnya yaitu teknologi yang digunakan.
Menurut Maulana(wawancara, 15 Agustus 2014) dengan
memiliki tujuan yang jelas tersebut maka strategi alternatif
pilihan beriklan pada media lainpun tetap digunakan seperti
televisi yang masih menjadi tulang punggungnya.

Gambar 2. Implementasimedia kreatif


(Sumber: ilustrasi: Decky, 2014)

Media unik yang memanfaatan teknologi ini memiliki


prosedur agar penyajian penyampaian komunikasinya berjalan
352
dengan baik. Ketika ada sasaran khalayak melewati media
tersebut tepat ditengah dan pada jarak tertentu maka tampilan
visual suasana dokumentasi lingkungan bertambah dengan
obyek visual maya. Obyek visual maya yang hadir adalah sosok
wanita bidadari yang jatuh dari langit dan perlahan mendekati
sasaran khalayak sebagai obyek nyata. Dengan gesture seperti
mencium aroma wangi seolah baru saja si pria menggunakan
deodorant sosok wanita bidadari mendekati sasaran khalayak
perlahan memberikan gerakan-gerakan menggoda. Disinilah
sasaran khalayak tampak mencoba berinteraksi dengan wanita
bidadari dengan berbagai macam ekspresinya hingga sasaran
khalayak seperti melakukan gerakan membentangkan tangan
atau mengangkat kaki. Ketika sasaran khalayak mulai menikmati
hiburan yang didapatkan dari iklan tersebut maka Sales
Promotion Girl (SPG) beraksi untuk mendekati dengan tujuan
menawarkan pembelian pada produk Axe. Berikut adalah
ilustrasi dekonstruksi iklan billboard yang terjadi disajikan secara
scene by scene yang terlihat pada tabel 1.

353
STORYBOARD VISUAL KET

Dokumenta Layar
si dari lebar di
lingkungan mall
nyata

Dokumenta Di depan
si, sasara layar
khalaak terdapat
tertangkap area
kamera di sensor
area untuk
sensor mendetek
si sasaran
khalayak

Dokumenta Pada
si, disertai lingkunga
bertambah n nyata
nya visual tampak
bidadari apa
adanya,
354
jatuh dari namun
langit pada layar
tampak
visual
bidadari
(maya)

Dokumenta Tampak
si, bidadari obyek
mencoba nyata dan
mendekati maya
sasaran melalui
khalayak layar yang
seolah ditampilka
mencium n
aroma
deodorant

Dokumenta Sasaran
si, bidadari khalayak
semakin ingin
mendekat memeluk,
dengan memegan
g, bahkan
355
gesture menenda
menggoda ng obyek
visual
maya

Dokumenta Sasaran
si, bidadari khalayak
menatap lain ramai
sasaran memenuhi
khalayak kamera di
layar

Dokumenta SPG
si, bidadari mendatan
menatap gi sasaran
sasaran khalayak
khalayak yang
ramai

356
Dokumenta Terjadinya
si, bidadari komunika
menatap si SPG
sasaran dan
khalayak sasaran
khalayak

(Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=rd1dZzSVhGo /
scene cut video: Decky, 2014)
Penyajian penyampaian komunikasi untuk keperluan
promosi produk Axe yang diduga menggunakan cara kegiatan
beriklan di Cilandak Town Square Jakarta tersebut tampak
sangat menarik perhatian dan menumbuhkan rasa ingin tahu,
sehingga membuat sasaran khalayak segera menjadikannya
perbincangan. Fenomena inilah yang menjadi landasan
pengkajian mengenai struktur elemen pembentuk iklan pada
promosi produk Axe.

357
Kesimpulan
Setelah diadakan analisis tentang elemen pembentuk
iklan pada promosi produk Axe di Cilandak Town Square tahun
2011, maka dapat disimpulkan menjadi dua inti pokok. Pertama,
mengenai kegiatan beriklan. Produk Axe telah melakukan
kegiatan komunikasi ke sasaran khalayaknya di Cilandak Town
Square Jakarta. Komunikasi berlangsung untuk menyampaikan
pesan merek yaitu dengan menggunakan produk Axe maka
akan mendapatkan simpati dari para wanita cantik yang
ditemuinya. Bahkan wanita cantik yang tertarik adalah para
bidadari yang seolah mengajak kencan hingga turun ke bumi.
Kedua, mengenai struktur elemen pembentuk iklan pada
promosi produk Axe. Axe memiliki strategi agar dapat
berkomunikasi di pusat keramaian Cilandak Town Square
Jakarta. Dalam berkomunikasi, Ide kreatif dibangun melalui
ilustrasi obyek bidadari berparas wanita cantik yang tergoda
aroma produk Axe hingga turun ke bumi seolah mengajak
berkencan dengan sasaran khalayak. Eksekusi kreatif
menghadirkan obyek nyata dan obyek maya. Dalam pengerjaan
sistem produksinya menggunakan teknik augmented reality.
Media kreatif yang digunakan sangat unik karena dapat
menggabungkan obyek nyata dan obyek maya sehingga tercipta
sebuah interaksi dalam penyajiannya. Dengan demikian produk
Axe Indonesia yang melakukan promosi di mall telah memenuhi

358
kaidah karakteristik sebagai iklan melalui struktur elemen
pembentuknya yaitu strategi, ide kreatif, eksekusi kreatif, dan
media kreatif yang dibangunnya. Hasil tersebut diharapkan
dapat menjadi landasan penelitian berikutnya untuk melengkapi
kebutuhan pada penyajian iklan pada media dan budaya baru
untuk perkembangan industri periklanan di Indonesia.

Daftar Pustaka
Aaker, David A., (2010). Managing Brand Equity: Capitalizing on
the Value of a Brand Name. New York: The Free Press
Denzin, Norman K and Yvonna S. Lincoln,. (2005) Handbook of
Qualitative Research, 3rd ed. USA: Sage Publication
Duncan, T., (2008).Principles of Advertising & IMC, 2th Edition.
Mc Graw Hill: New York
Krevelen, D.W.F van and R. Poelman. (2010). A Survey of
Augmented Reality, Presence : Applications and Limitations,
International Journal of Virtual Reality, 9(2),1-20
Kriyantono, Rachmat. (2014). Teknik Praktis Riset Komunikasi,
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group
Russell, J. Thomas, and Ronald Lane. (1990).Kleppners
Advertising Procedure, 8th Edition.USA: Prentice Hall
Shimp, Terence A. (2010). Advertising Promotion and Other
Aspect of Integrated Marketing Communication, 8th Ed.
University of South Carolina

359
Wells, W., and Sandra Moriarty, John Burnet, May Lwin. (2007).
Advertising: Principles and Effective IMC Practice.
Singapore
https://www.youtube.com/watch?v=rd1dZzSVhGo, diunduh
pada tanggal 9 Juni 2014.
http://www.antaranews.com/berita/280633/bidadari-jatuh-bikin-
heboh-di-citos, diunduh pada tanggal 6 Juli 2014.

*) Dosen Program Studi Desain Komunikasi Visual, Sekolah


Tinggi Teknik Surabaya, Mahasiswa, Program Doktor
Pascasarjana, Institut Seni Indonesia Surakarta

360
PENERIMAAN KHALAYAK PEREMPUAN TERHADAP
KONSEP KECANTIKAN IKLAN CITRA PEARLY WHITE
MOISTURIZER

Amelia Agustina Herlianto*

Pendahuluan
Selayaknya dua sisi mata uang, perempuan dan
kecantikan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hal
ini diperkuat oleh Anthony Sybbott (2002: 118) bahwa kecantikan
jauh lebih penting bagi perempuan daripada laki-laki. Beberapa
perempuan percaya bahwa dengan menjadi cantik mereka akan
lebih dihargai, dipandang dan diinginkan oleh lawan jenis.
Martha Tilaar (2008: 34) dalam bukunya Kecantikan dari Timur
mengungkapkan bahwa keinginan untuk menjadi cantik telah
diupayakan sejak dahulu berdasarkan kesepakatan yang telah
ditetapkan oleh masyarakat. Di era postmodern beauty, standar
kecantikan yang dimiliki tentu tidak lepas dari pengaruh media,
di mana standart kecantikan tidak lagi ditetapkan oleh
pandangan masyarakat, namun media sendiri yang membentuk
standar cantik melalui citra yang ditampilkan dalam iklan.
Barker (2004: 3) menjelaskan bahwa iklan bekerja
dengan menciptakan ‘identitas’ dalam sebuah produk melalui

361
gambaran-gambaran fantasi yang berhubungan dengan nilai-
nilai yang diinginkan oleh manusia. Televisi merupakan salah
satu media yang dinilai sebagai media ideal guna
menyampaikan ide-ide iklan karena televisi dilengkapi baik
dengan audio maupun visual. Iklan-iklan komersil yang ada
dalam televisi merupakan sebuah media kapitalis guna
menjalankan fungsi ekonomi kapitalis. Atau dengan kata lain,
kehadiran iklan digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan
kapitalis demi keuntungan kapitalis. Bungin (2001: 81)
beranggapan bahwa iklan televisi bukan hanya mampu
menampilkan citra produk yang estetis dan rasional, tetapi juga
mampu mengkonstruksi image produk yang diiklankan secara
objektif. Produk kecantikan mulai dihubungkan dengan image,
status, lifestyle tertentu melalui citra-citra ideal. Citra ideal inilah
yang kemudian menciptakan standar kecantikan dan menggiring
perempuan pada perburuan kecantikan tiada akhir. “Citra”
merupakan produk kecantikan lokal yang telah dikenal sejak
1984 menawarkan kecantikan Indonesia. Majalah SWA menilai
“Citra” sebagai brand yang memiliki indeks loyalitas tertinggi dan
tahun 2006, “Citra” mendapatkan Indonesia Consumer Loyalty
Award. Setiap tahunnya produk “Citra” selalu mengeluarkan
iklan yang berdasarkan pengamatan awal terjadi pergeseran
konsep kecantikan.

362
Pada tahun 90-an “Citra” identic dengan perempuan
keraton. Sedangkan tahun 2000-an, iklannya banyak didominasi
oleh perempuan modern. Hingga pada tahun 2015, iklan “Citra”
didominasi dengan perempuan berhijab.Berangkat dari asumsi
khalayak aktif, teori Stuart Hall (Hall 1981: 117) tentang encoding
/ decoding menyampaikan bahwa konsumsi media mendorong
terjadinya interpretasi-interpretasi beragam dari teks-teks media.
Dengan kata lain, Hall menyatakan bahwa makna tidak pernah
sama, orang yang berbeda bisa memiliki pemaknaan yang
berbeda karena jika makna yang didapat sama dengan apa yang
direpresentasikan, maka tidak akan ada pertukaran. Sehingga
tidak dibutuhkan lagi strategi-strategi untuk mengkonter
intrepetasi - intrepetasi yang berbeda. Oleh karena itu berangkat
dari pergeseran konsep kecantikan produk “Citra” dan konsep
khalayak aktif, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
penerimaan khalayak terhadap konsep kecantikan iklan “Citra”
2015 yang menggunakan citra perempuan berhijab. Iklan ini
menarik diteliti karena sebelumnya “Citra” tidak pernah
menggunakan perempuan berhijab, namun dengan standar
kecantikan kulit putih dan mulus. Adapun rumusan masalah yang
diangkat dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pemaknaan
perempuan mengenai kecantikan yang ada dalam iklan TV
produk “Citra” Pearly White Moisturizer?”. Untuk menjawab
permasalahan tersebut peneliti menggunakan pendekatan

363
kualitatif dengan metode reception analysis Stuart Hall dan tipe
penelitian eksploratif. Sasaran penelitian adalah perempuan
berusia 18-25 tahun di Surabaya. Usia tersebut diambil karena
pada usia tersebut seseorang sudah dapat menentukan
preferensinya sendiri. Kota Surabaya dipilih karena kota ini
merupakan ibukota Jawa Timur, di mana penduduknya
beragam. Agar data lebih bervariasi maka responden akan
diambil berdasarkan perbedaan sosiokultur, seperti perempuan
dengan latar belakang yang berbeda, usianya serta pengguna
maupun non pengguna produk. Wawancara mendalam
merupakan cara yang digunakan dalam mengumpulkan data.
Dengan adanya penelitian ini diharap dapat memberikan
kontribusi pada Ilmu Komunikasi, khususnya yang berkaitan
dengan penerimaan khalayak.

Iklan Kecantikan dan Perempuan


William menggambarkan iklan sebagai ‘magic’ karena
kemampuannya dalam mengubah komoditas pada
penandayang glamor, penanda tersebut merepresentasikan
tanda yang imaginer dan menghadirkan dunia yang tidak nyata
(dalam During, 1993: 410). Dunia yang tidak nyata tersebut
tentunya dapat membuat penonton takjub karena iklan
mereproduksi angan-angan kehidupan mewah atau dengan kata
lain iklan merupakan hiperealitas. Lebih lanjut, Mcluhan (dalam

364
Bungin 2001: 94) mengatakan bahwa kecenderungan yang pasti
dalam periklanan adalah menampilkan produk sebagai satu
bagian yang integral dari proses sosial dan kebutuhan sosial
yang luas.
Melalui tampilan audio dan visual, iklan TV dinilai lebih
mampu mengkonstruksi image produk kepada audience atau
pemirsa. Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa iklan dapat
mendorong kesadaran simbolik pemirsanya, yang kemudian
kesadaran tersebut akan mendorong pemirsa pada kesadaran
konsumtif dan berakhir pada kesadaran perilaku (Bungin
2001:82). Ketika kesadaran tersebut dapat dibeli oleh kaum
kapitalis, maka kesadaran kemudian menjadi lebih sempurna.
Marie Gillespie (1994: 76) mengungkapkan bahwa
mengkonsumsi iklan sama halnya dengan pembelian image,
identitas, fantasi dan perasaan. Lebih lanjut Gillespie juga
mengungkapkan fungsi iklan TV sebagai mitos dan metafora
yang menyajikan cerita sederhana, serta penjelasan mengenai
nilai dan hal yang dianggap ideal. Alhasil, dari iklan tersebut
terciptalah streotip-stereotip baru seperti orang berkulit hitam
yang dianggap tidak atraktif dan diasosiasikan dengan kasta
rendah. Demikian juga halnya dengan munculnya mitos-mitos
perempuan muda akan menjadi lebih bahagia, popular, atraktif
dan menarik bagi lawan jenisnya apabila ia mengkonsumsi
produk kecantikan. Hal tersebut menggambarkan iklan TV yang

365
berusaha menghegemoni masyarakat dengan menciptakan
nilai-nilai baru yang kemudian dipercaya oleh masyarakat
sebagai suatu kebenaran.
Sejak kemunculan fashion dan produk-produk
kecantikan, iklan mulai mempengaruhi perempuan dengan
standar kecantikan yang diciptakannya melalui tipe ideal yang
diangkat. Nirwana, Moordiati (2015) menemukan adanya
ketidakadilan dalam iklan kosmetik di mana ideologi gender yang
termuat masih bias. Citra perempuan yang dikonstruksikan
adalah berkulit halus, putih, cantik, berambut hitam, langsing dan
tubuhnya wangi. Tipe-tipe ideal semacam itu, dapat membuat
produk yang tidak berguna menjadi “berguna”, dan produk yang
tidak dibutuhkan menjadi “dibutuhkan”. Bahkan tipe-tipe ideal ini
sengaja diciptakan untuk tujuan tertentu dalam satu posisi nilai
yang dijalankan (Jenks 2013: 76).
Berkaca pada hal tersebut, dapat dilihat bagaimana
kemudian iklan produk kecantikan berusaha menciptakan
“keinginan baru” melalui standar-standar kecantikan yang
diciptakannya. Pada akhirnya, keinginan ini akan membawa para
perempuan kepada ketidakpuasan, terutama ketidakpuasan
fisik. Hal ini dikarenakan iklan selalu menampilkan citra
perempuan ideal sebagai penampilan yang didambakan dan
diinginkan oleh lawan jenis maupun masyarakat. Selain itu rasa
tidak puas inilah yang akan membuat perempuan untuk membeli

366
produk tersebut dan membuat mereka percaya pada mitos
kecantikan.
Dalam bukunya The Femine Mystique, Friedan (2001: 57)
mengungkapkan setiap perempuan di Amerika menghadapi
sebuah masalah yang disebut sebagai problem that has no
name. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa perempuan menjadi
individu yang terus-menerus dituntut untuk memenuhi
hakikatnya sebagai perempuan, salah satu contohnya, para ahli
yang mengajarkan perempuan cara berpakaian, menarik
perhatian lawan jenis, dan lain sebagainya. Sifat feminim
seorang perempuan tentunya tidak lepas dari mitos kecantikan.
Naomi Wolf dalam bukunya Beauty Myth menceritakan
bahwa mitos kecantikan adalah standar kecantikan yang dibuat
secara objektif dan standart tersebut diakui secara universal.
Wolf (2002: 13) menegaskan bahwa perempuan kini lebih
memperhatikan wajah dan tubuhnya bukan karena faktor
budaya, melainkan karena iklan yang ingin agar produknya laku
di pasar. Dengan menggunakan hiperealitas iklan mencoba
untuk menawarkan mimpi kepada perempuan. Lebih lanjut
Synnott (2002: 118) menyampaikan bahwa mistik kecantikan
mungkin tidak begitu jelas terbaca, namun mistik kecantikan ini
dapat dijelaskan dengan banyaknya investasi waktu, uang,
energi, dan penderitaan untuk memperoleh kecantikan.

367
Thorstein Veblen dalam Synnott (2002: 147) menawarkan
teori sosiologis kecantikan yang pertama dengan menyatakan
bahwa benda yang dinilai cantik bergantung dengan harganya,
semakin tinggi harganya semakin cantik. Kemudian mengenai
kecantikan feminine yang ideal Veblan mengatakan:
“Yang ideal mensyaratkan tangan-tangan yang lembut
dan kecil dan kaki dengan sebuah pinggang yang
ramping. Ciri-ciri yang ini … menunjukkan bahwa
pribadi yang memilikinya tidak mampu menunjukkan
satu pun tindakan yang berguna, dan dengan demikian
menunjukkan kemalasan pemiliknya. Perempuan
seperti ini menjadi tidak berguna dan mahal, dan pada
akhirnya ia berharga karena didukung kekuatan uang.”

Dengan demikian maka perempuan cantik kemudian


merupakan sebuah symbol status; ia tidak hanya tidak bekerja,
namun ia tidak dapat bekerja; rambut panjang, korset, tumit
tinggi, rok panjang dan seterusnya di mana hal ini merupakan
kecenderungan dari symbol status. Lebih lanjut Freut dalam
buku yang sama menyatakan keyakinannya bahwa konsep
“kecantikan” berakar di dalam kesenangan seksual dan bahwa
maknanya yang orisinil “dirangsang secara sosial”.
Dalam karya ilmiah Ristiana Kardashi (2010) yang
berjudul Konstruksi Kecantikan Perempuan Dalam Iklan
Kecantikan Kulit di Televisi mendapati bahwa cara kecantikan
dibangun pada iklan produk kecantikan kulit adalah dengan
menunjukkan (1) Laki-laki hanya akan terpikat pada perempuan
yang memiliki kulit yang cantik; (2) Perempuan ditunjukkan
368
merasa harus memiliki kulit yang cantik agar dapat memikat laki-
laki; (3) Kulit yang putih, bersih tanpa noda, lembut, tanpa
minyak, bersinar, sehat, segar sehingga kelihatan lebih muda
karena memakai produk kecantikan kulit menandai sebuah
kecantikan kulit yang ideal. Ketiga cara tersebut digunakan untuk
menaturalisasi produk maupun kecantikan yang didapatkan
dengan penggunaan produk tersebut.
Robert dan Fredricson (Meliana 2006: 53) menuliskan
teorinya mengenai objektifikasi diri, di mana tubuh dilihat sebagai
objek visual yang diamati. Teori tersebut dibagun untuk
mendeskripsikan bagaimana perempuan bersosialisasi dengan
mengadopsi pandangan-pandangan dari luar. Dengan adanya
iklan-iklan produk kecantikan, perempuan secara tidak sadar
belajar untuk dinilai sebagai objek yang dilihat oleh orang lain,
sehinga mereka merasa akan adanya keterpisahan dari identitas
personal mereka. Akibatnya, mereka menjadi malu dan minder
terhadap fisik mereka, mereka bukannya menolak standar ideal
yang tidak realistis, melainkan mereka justru menerimanya dan
mengikuti standar tersebut. Hingga pada akhirnya seperti survey
yang dilakukan Dove di mana hanya 4% perempuan yang
merasa dirinya cantik. Ironisnya, banyak perempuan justru
malah mengikuti standar ideal tersebut, padahal standar ideal
tersebut terus berubah seiring berkembangnya jaman.

369
Baudrilard yang dikutip oleh Pialang dalam buku yang
berjudul Life Ecstasy mengungkapkan bahwa penciptaan dunia
pada kebudayaan dewasa ini mengikuti satu model yang disebut
dengan ‘simulasi’. Dalam simulasi ini apa yang “nyata” dan
“fantasi”, apa yang “salah” dan “benar” semuanya beda tipis.
Simulasi ini juga dihadirkan dalam televisi dan membawa
pemirsanya pada kesadaran palsu. Realitas yang ada di televisi
dianggap sebagai sesuatu yang nyata. Bahkan Baudrillard
(Ritzer 2008: 165) berpendapat bahwa sekarang kita hidup pada
zaman interpretasi dalam “kotak hitam” di mana semuanya
hanya tersisa potongan-potongan yang kemudian potongan-
potongan tersebut dimainkan dan dibentuk menjadi hal yang
baru. Merujuk pada hal tersebut maka bisa dikatakan bahwa apa
yang disebut “cantik” merupakan hal yang dibentuk dan
diciptakan oleh kapitalis. Apa yang dianggap kecantikan yang
sebenarnya tidak ada karena siapa diri seorang individu sendiri
sebenarnya tidak ada, melainkan siapa diri individu merupakan
hasil konstruksi sosial dan kapitalis.

Teori Resepsi Analisis


Analisis resepsi khalayak merupakan analisis yang
digunakan untuk melihat, memahami respon khalayak dalam
mengkonsumsi tayangan sinema atau program film seri di
televisi (Rachmah Ida 2014: 161). Asumsi dasar dari analisis ini

370
adalah konsep khalayak aktif di mana khalayak memiliki
kekuatan untuk memproduksi dan mereproduksi makna yang
ada baik pada tayangan televisi maupun novel yang dibacanya.
Stuart Hall dalam Rachma Ida menuliskan tentang teori
‘Encoding dan Decoding’ sebagai proses khalayak
mengkonsumsi dan memproduksi makna dalam proses
penerimaan atas konten media massa yang dikonsumsi. Denis
McQuail (1997:18) menyatakan bahwa analisis ini menekankan
penggunaan media sebagai refleksi dari beberapa konteks kultur
sosial dan sebagai proses pemberian makna pada produk kultur
dan pengalaman.
John Storey (2007 : 13) menjelaskan bahwa realitas yang
disajikan oleh media bukanlah realitas ‘mentah’, melainkan
profesional media telah meng-encoding peristiwa tersebut dalam
sebuah wacana. Encoding realitas tersebut kemudian di-
decoding khalayak, karena khalayak bersifat aktif, maka
pemaknaan antar khalayakpun berbeda. Hal tersebut juga
didukung oleh Pialang yang menyatakan bahwa makna yang
dikodifikasi (encoding)tidak selalu berbanding lurus dengan
makna yang dipahami (decoding) oleh khalayak.
Stuart Hall (1981: 119) melukiskan relasi antara encoding
dan decoding dengan proses konsumsi dan produksi. Produksi
dalam hal ini dipamahami sebagai proses konstruksi sebuah
pesan (message), melalui penerapan kode tertentu (encoding).

371
Dalam proses produksi tersebut, tentunya hal ini akan
melibatkan gagasan makna, ideology, kode-kode sosial,
pengetahuan yang digunakan dalam produksi, keterampilan
teknis, ideology profesional, pengetahuan institusional, dan
asumsi-asumsi, serta asumsi mengenai konsumen. Stuart Hall
(1981: 125) kemudian menyarankan ‘tiga posisi hipotesis yang
dari sana decoding terhadap wacana televisual bisa dibangun’,
diantaranya adalah:
1. Posisi dominan hegemonik => menerima encoding sama
dengan decoding
2. Posisi yang dinegosiasikan => menerima decoding sama
dengan encoding hanya masih ada perlawanan.
3. Kode oposisional => pemirsa mengakui kode wacana
televisual yang disampaikan, tetapi memutuskan untuk
melakukan decoding dalam sebuah kerangka acuan
alternatif.

Penilaian Informan terhadap Aspek Teknis dalam Iklan Citra


Pearly White
Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang dilakukan,
informan A, B dan C sama-sama beranggapan bahwa iklan
dihadirkan untuk menjual produk supaya produknya bisa laku di
pasar. Atau dengan kata lain iklan hadir dalam untuk
mempersuasi para penontonnya. Seperti yang diungkapkan oleh

372
Bungin bahwa televisi hadir untuk memenuhi kepentingan
kapitalis yaitu mencari keuntungan. Dari segi pengambilan
gambar iklan informan A mengatakan bahwa pengambilan
gambar sudah bagus dan layak untuk diiklankan di televisi.
Sedangkan informan B kurang menyukai tampilan iklan, ia
menganggap bahwa tampilan iklan terlalu biasa. Informan B
yang berasal dari kalangan menengah ke atas mencoba untuk
membandingkan iklan “Citra” dengan iklan produk SK II yang
lebih kebarat-baratan. Barker (2004: 3) menyampaikan bahwa
iklan bekerja dengan menampilkan “identitas”dalam produknya.
Dalam hal ini “Citra” merupakan produk lokal Indonesia,
sehingga “Citra” mencoba untuk membawa identitas Indonesia
melalui perempuan berhijab karena Indonesia merupakan
negara dengan jumlah umat muslim terbesar. Informan B
memiliki latar belakang dari kelas sosial menengah ke atas dan
suka bepergian ke luar negeri, sehingga dia lebih menyukai
produk luar negri dan menilai produk iklan produk luar negeri
jauh lebih baik. Informan C yang memiliki background pendidikan
dalam dunia desain, melihat iklan tersebut lebih detail pada
penggunaan warna, pengambilan gambar dan profesi tokoh
dalam iklan. Menurut informan C iklan “Citra” sudah termasuk
bagus, dengan adanya warna-warna pastel yang digunakan.
Namun ketika peneliti coba menggali lebih dalam, ia mengatakan

373
bahwa iklan “Citra” yang sebelum-sebelumnya terlihat lebih
bagus.

Penerimaan Informan terhadap Konsep Kecantikan dalam


Iklan Citra Pearly White
Konsep kecantikan merupakan, hal utama yang ingin
diketahui melalui penelitian ini. Ketika membicarakan soal
konsep kecantikan dalam iklan terdapat tanggapan yang
bervariasi dari informan yang diwawancarai. Informan A yang
tidak terlalu peduli dengan perawatan tubuh menilai bahwa
konsep kecantikan yang diiklankan merupakan sesuatu yang
tidak nyata, apa yang ditampilkan dalam iklan merupakan
fantasi. Hal ini serupa yang disampaikan oleh Baudrilard dalam
Pialang, ia melihat apa yang ditampilkan pada kebudayaan
dewasa ini merupakan suatu ‘simulasi’ yang memberikan
kesadaran palsu. Informan A melihat bahwa sosok yang
diangkat dalam iklan merupakan mereka yang cantik dan
memiliki kulit mulus sejak awalnya, sehingga ia menilai bahwa
perubahan seketika tidak akan terjadi. Informan A masih melihat
cantik bukan dari fisik tetapi lebih pada hati, sifat, karakter. Jadi
bisa dikatakan bahwa informan A berada dalam kategori posisi
oposisisonal terhadap pesan iklan.
Informan B yang berasal dari kelas menengah ke atas dan
peduli terhadap penampilan menilai iklan kecantikakan

374
Indonesia seperti upaya penyeragaman terhadap standar
kecantikan yaitu kulit putih, padahal kulit perempuan Indonesia
beranekaragam. Marie Gillespie (1994: 76) mencatatkan bahwa
konsumsi iklan sama dengan pembelian identitas, fantasi dan
perasaan. Melalui iklan inilah kemudian timbullah stereotip-
stereotip baru, salah satunya standar kecantikan kulit putih
seperti yang disampaikan oleh informan B.
Berbeda dengan informan A dan B, informan C terlihat
setuju dengan standar kecantikan yang ditampilkan dalam iklan
“Citra” di mana pesannya adalah mengenai kulit mulus. Informan
C yang masih berada dalam usia muda, melihat bahwa untuk
mendapat perhatian dari orang-orang, perempuan harus tampil
cantik salah satunya dengan memiliki kulit mulus, seperti pesan
pada iklan tersebut. Ketika ditanya soal ketertarikannya terhadap
produk “Citra”, melalui iklan tersebut ia tertarik untuk membeli
produk “Citra”. Selain itu informan C juga masih melihat bahwa
kecantikan merupakan salah satu kunci agar diterima dalam
masyarakat.

Kesimpulan
Berdasarkan penjabaran di atas diketahui ada berbagai
macam tanggapan mengenai konsep kecantikan, ada yang
melihat kecantikan berdasarkan fisik dan ada juga yang melihat
kecantikan dari hati. Namun, pada akhirnya citra-citra ideal iklan

375
produk kecantikan tetap mengutamakan penampilan, sehingga
lahirlah masyarakat komoditas di mana kecantikan dan
ketampanan dijadikan sebagai komoditas yang berharga. Ketika
kecantikan menjadi komoditas yang berharga, pada akhirnya hal
ini turut melanggengkan keinginan produsen agar para
perempuan ini mengkonsumsi produk mereka.
Di Indonesia, khususnya di Surabaya tidak banyak
perempuan-perempuan yang memenuhi kriteria-kriteria ideal
seperti yang ditunjukkan oleh media. Berangkat dari asumsi
khalayak aktif dalam teori Stuart Hall maka didapati bahwa
khalayak memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap konsep
kecantikan yang ditampilkan dalam iklan. Informan A dan B
termasuk dalam posisi oposisional, di mana mereka tidak setuju
dengan pesan yang disampaikan dalam iklan “Citra”. Sedangkan
informan C, berada dalam posisi dominan hegemonik, di mana
ia setuju dengan pesan iklan yang menyatakan bahwa dengan
memiliki kulit mulus maka ia akan menjadi pusat perhatian.

Daftar Pustaka
Synnott, Anthony. Tubuh Sosial: Sombolisme, Diri, dan
Masyarakat. Yogyakarta: Jalasutra, 2002
Tilaar, Martha. Kecantikan Perempuan Timur. Magelang:
Indonesi Tera, 2008
Barker, Chris. Cultural Studies Teori & Praktik. Bantul: Kreasi

376
Wacana Nirwana, 2004
Yessica Fitria., Moordiati. “Pengaruh Iklan Terhadap Kecantikan
Perempuan Jawa 1967-1980.” VERLEDEN: Jurnal
Kesejarahan, Vol 2, No.2,
Bungin, Burhan. Imaji Media Massa Konstruksi dan Makna
Realitas Sisial Iklan Televisi dalam Masyarakat
Kapitalistik. Jakarta: Kencana, 2001
Hall, S., Hobson, D., Lowe, A. dan Willis, P. (eds) (1981) Culture,
Media, Language. London: Hutchinson.
During, Simon (ed). The Cultural Studies Reader. New York:
Roudledge, 1993
Gillespie, Marie. Television Ethnicity and Cultural Change.
London: Routledge, 1994
Jenks, Chris. Culture Studi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2013
Wolf, Naomi. Beauty Myth. New York: Morrow, 2002
Kadarsih, Ristiani. “Konstruksi Kecantikan Perempuan Dalam
Iklan Produk Kecantikan Kulit di Televisi.” (Tesis), 2010,
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian
_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_
id=46962 (Diakses pada 17 Juli 2015)
Ritzer, George. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2008
Ida, Rachmah. Metode Penelitian Studi Media dan Budaya.

377
Jakarta: Prenadamedia, 2014
McQuail, Dennis. Audience Analysis. London: SAGE
Publication, 1997
S, Anastasia Meliana. Menjelajahi Tubuh Perempuan dan Mitos
Kecantikan. Yogyakarta: LKis, 2006
Storey, John. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop:
Pengantar Komprehensif, Teori dan Metode. Yogyakarta:
Jalasutra, 2006

*)Dosen Sekolah Tinggi Teknik Surabaya,


amel.agustina@gmail.com

378
EROTISME PADA IKLAN
(Analisis Semiotik tentang Erotic Appeals pada Iklan
Produk Makanan)

Kirana Ayudya*

Pendahuluan
Simbol – simbol yang melambangkan erotisme pada iklan
makanan menarik untuk diteliti, Sebagai strateginya beberapa
iklan menampilkan gairah atau rangsangan dan kenikmatan
melalui simbol yang menampilkan daya tarik erotisme (erotic
appeals) untuk menarik perhatian target konsumen. Erotic
appeals yang ditampilkan mengandung makna-makna
terselubung yang ditampilkan pada tampilan-tampilan visual
yang terdapat pada iklan makanan (Reichert, 2003).Dan
hubungan apa yang terkait antara erotisme sendiri dengan iklan
makanan, pendapat ini juga didukung oleh Ayuningsih (2013)
seorang foodstylist yang mengatakan bahwa suatu produk
makanan harus terlihat ‘seksi’ agar tampak menarik, ‘seksi’ yang
dimaksudkan adalah mampu menyampaikan pesan visual dari
rasa dan tekstur makanan kepada penikmatnya. Bagaimana
erotic appeals digambarkan melalui iklan produk makanan. Dari
sinilah permainan tanda dan simbol bekerja, dan dianalisa lebih

379
dalam secara semiotika sehingga dapat menjelaskan keterkaitan
penggunaan simbol-simbol erotisme yang digunakan pada
produk iklan makanan. Pengertian semiotika menurut Hartley
(2004) semiotika adalah studi tentang tanda, yang mengkaji
bagaimana bahasa dan teks begitu bermakna, dan makna dapat
dikomunikasikan dalam masyarakat. Dimana semiotika tidak
langsung didapatkan dalam teks itu sendiri tetapi sebagai
metodologi.

Berawal dari Globalisasi Budaya


Konsep globalisasi, Robertson dalam Barker (1999)
bahwa, sebagai sebuah konsep yang mengacu pada keinginan
yang semakin meningkat dari koneksi global. Dimana terjadinya
proses yang mengubah kualitas ruang dan waktu hampir tanpa
batas. Ruang dan waktu yang ditekankan pada akselerasi,
sehingga dengan adanya kompresi ruang dan waktu maka
hambatan-hambatan bersifat spasial dapat teratasi. Dengan
kata lain bahwa yang disebut dengan kompresi adalah membuat
jarak, waktu, dan informasi semakin mudah untuk dijangkau dan
tentu saja konsep ini mempengaruhi banyak aspek sehingga
membuat konsep modernitas melalui televisi yang
mempengaruhi praktik ekonomi dan budaya.
Dalam pandangan ini, modernitas adalah pasca-
tradisional yang ditandai dengan perubahan, inovasi dan

380
dinamisme pada institusi yang dikatakan mengglobal karena
mampu untuk memisahkan ruang dan waktu, dan mengangkat
keluar sebuah hubungan sosial yang dikembangkan dalam satu
lokal dan mengemasnya kembali di tempat yang berbeda. Dapat
dilihat melalui struktur pola dan ruang waktu yang disebut
sebagai distanciation, dimana masyarakat dihubungkan satu
sama lain dengan bentang waktu yang pendek atau lebih dari
waktu dan ruang itu sendiri, munculnya komodifikasi waktu,
sehingga menjadi terpisah dari apa yang disebut dengan
'pengalaman', dan pengembangan bentuk komunikasi dan
informasi kontrol yang memisahkan kehadiran di waktu di dunia
nyata dan dunia maya, sehingga apapun dapat dilakukan
dimanapun karena waktu dan ruang dapat ditembus dan tentu
saja mepengaruhi sosial dan budaya. Contohnya dengan
kekuatan akses internet dan televisi, kita dapat menjelajahi dunia
selama 24 jam hanya dengan duduk di depan layar monitor
tanpa harus mengunjungi tempat yang ada di layar, dan
komunikasi menembus jarak dan waktu yang dilakukan 24 jam
sehari di seluruh dunia
Globalisasi tidak dipahami semata-mata hanya dari segi
ekonomi tetapi juga menyangkut makna budaya dan intensifikasi
kesadaran global. Nilai-nilai dan makna yang melekat pada
tempat tetap signifikan, masyarakat semakin terlibat dalam
jaringan yang meluas menembus lokasi fisik mereka. Meskipun

381
skenario dari budaya dunia kesatuan terhubung namun
kenyataanya tetap hanya pada tingkat imajinasi, yang dapat
mengidentifikasi proses budaya global, baik integrasi budaya
dan disintegrasi, yang independen dari hubungan antarnegara.
Misalnya, adanya televisi dan internet adalah tanda awal
komoditas yang menjadi aspek kehidupan sehari-hari sebagai
sebuah budaya.
Lash dalam Barker (1999), mengidentifikasi pergeseran
dari diskursif ke figural sebagai inti pergantian ke postmodern,
yang berarti bahwa logika menandakan pekerjaan modern dan
postmodern dengan cara yang berbeda. 'Rezim signifikasi'
modernis mengutamakan kata-kata di atas gambar,
Mengumumkan rasionalis pandangan dunia, mengeksplorasi
makna teks budaya dan menjauhkan penonton dari objek
budaya. Sebaliknya, postmodern 'figural' lebih visual, menarik
dari kehidupan sehari-hari, kontes pandangan rasionalis budaya
dan menenggelamkan penonton dan keinginannya dalam objek
budaya. Dapat dijelaskan bahwa globalisasi media adalah tanda
dari pergantian budaya modern ke budaya postmodern, internet
dan televisi sebagai agen sentral dalam perubahan ini. Ciri dari
postmodern di televisi dapat dilihat sebagi berikut; kesadaran diri
/self-reflexiveness, jukstaposisi, paradox, ambiguitas,
ketidakpastian, memudarnya batas-batas genre, gaya dan
sejarah.

382
Budaya Konsumen
Featherstone (2007) mengatakan konsumsi merupakan
suatu bentuk interaksi simbolik, dimana membeli suatu barang
bukan karena fungsi, tetapi mengkonsumsi kesan. Membeli
suatu barang maka membeli kesan dan pengalaman. Hal ini
dikarenakan didorong untuk merasakan dan menikmati gaya
hidup, sebagai peraga akan penampilannya sebagai kelas sosial
tertentu yang diperlihatkan ke masyarakat luas melalui barang-
barang yang digunakan atau dikonsumsi. Budaya konsumen
telah menembus batasan kehidupan sehari-hari, oleh karena itu
nilai dan makna dari sesuatu yang dipakai telah menjadi bagian
yang sangat penting dalam pandangan masyarakat maupun
terhadap diri sendiri. Karena nilai dan makna dari barang yang
digunakan menjadi lebih penting dari fungsi, maka tidak jarang
dari masyarakat sekarang untuk melakukan perencanaan
tindakan konsumsi. Salah satu contohnya adalah makanan,
barang yang dikonsumsi bukan karena materialnya, melainkan
makna apa yang disimbolkan oleh barang tersebut. Makan
adalah kebutuhan hidup setiap manusia, tanpa makanan
manusia tidak bisa bertahan hidup, namun setiap lapisan kelas
masyarakat maupun individu memiliki standardisasi tersendiri
dalam mengkonsumsi makanan. Konsumsi tidak hanya sebagai
pencarian sebuah makna, namun sebagai bentuk interaksi

383
sosial. Konsumi tidak bergerak satu arah tetapi berbagai arah
untuk mendapatkan pengakuan sosial dari masyarakat melalui
barang yang digunakan.
Featherstone (2007) mengatakan bahwa dalam proses
konsumsi, konsumen tidak semata bersikap pasif tetapi adanya
proses produktif, dalam hal ini yang dimaksud bahwa manusia
mampu membangun kehidupan pribadinya melalui perubahan
diri dan gaya hidup. Produksi makna sosial dan pelabelan makna
individual harus berhubungan dengan aspek-aspek suatu proses
budaya tunggal, karena itulah konsumsi pada suatu barang yang
secara sosial bermakna, selalu melibatkan produksi makna
individual. Meskipun makna-makna sosial melaui iklan sangat
kuat, namun setelah barang itu berada di tangan konsumen,
maka persepsi apa yang muncul dari masyarakat terhadap
individu yang menggunakan barang tertentu.
Featherstone (2007) mengatakan konsumsi tidak lagi
berkaitan dengan nilai guna dalam memenuhi kebutuhan
manusia, namun konsumsi kini telah diartikan dengan
pembentukan identitas diri yang dapat memberikan tanda posisi
sosial dan identitas individu di dalam masyarakat. Tidak lagi
sekedar mengkonsumsi objek, tetapi juga mengkonsumsi
makna-makna sosial yang terkandung didalamnya. Konsumsi
telah menjadi suatu budaya yang mengidentifikasi kebebasan

384
konsumen untuk memilih sebagai konsep pemenuhan diri, dan
belanja sebagai bentuk hiburan bukan lagi sekedar kebutuhan.

Iklan dan Budaya Konsumen


Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak pernah lepas dari
iklan. Iklan memegang peranan penting dalam strategi
pemasaran suatu produk. Iklan banyak ditemui baik secara cetak
maupun elektronik. Banyak media yang digunakan pihak
pengiklan untuk memasarkan produknya secara visual dan
audiovisual yang sering kita temui di media cetak dan elektronik
baik secara verbal dan nonverbal. Fungsi dasar Iklan ditujukan
untuk menarik perhatian target pasar atau konsumen, disamping
sebagai alat untuk memasarkan, menyampaikan informasi dan
promosi suatu produk, iklan juga sebagai sesuatu yang
menghibur dan menarik bahkan mampu mengkonstruksi sebuah
obyek. Menurut Unnikrishnan dan Bajpai (1996: 24) dalam
karyanya, The Impact of Television Advertising on Children, iklan
didefinisikan sebagai proses pengkomunikasian informasi yang
memang dimaksudkan untuk membujuk khalayak agar mereka
membeli produk yang ditawarkan. Pendapat yang sama
diutarakan oleh ( Hasnain, 2013) yang mengatakan bahwa
tujuan pelaku usaha atau pemilik modal dalam periklanan yaitu
untuk mengenalkan produknya secara kontinyu kepada
khalayak dan dikenal dengan istilah “iklan komersial” yang

385
tujuannya adalah untuk menyampaikan informasi, penawaran
dan penjualan atas suatu produk tertentu. Sehingga dari
penjelasan diatas dapat diartikan bahwa iklan adalah wadah
atau alat yang digunakan para produsen untuk melancarkan
proses distribusi dan penjualan produk baik barang maupun jasa
kepada konsumen melalui media, atau yang sering disebut
sebagai promosi produk. Iklan sebagai media promosi agar
produk yang ditawarkan laku dipasaran. Karena itu iklan yang
dibuat harus semenarik mungkin, dan terkadang menjadi
berlebihan (hyperreality). Erotic appeals sering digunakan oleh
pengiklan untuk menarik perhatian dan minat konsumen untuk
memakai produk yang ditawarkan.
Cook (2001) mengatakan bahwa iklan adalah bagian dari
komunikasi yang membentuk selera konsumen, menyampaikan
informasi, membujuk dan juga membuat citra atau persepsi
suatu produk menjadi sangat kuat. Dapat dikatakan dalam
membentuk suatu persepsi atau citra pada suatu produk, maka
gagasan atau ide sangat dibutuhkan dalam beriklan. Gagasan
yang tersirat pada pembentukan persepsi atau citra pada suatu
produk harus mengena langsung pada tipe-tipe target
konsumen, sehingga citra produk yang ditawarkan mampu
merefleksikan kebutuhan dan kepribadian, dan gaya hidup
mereka. Persepsi produk diperdalam dengan menanamkan
ideologi apa yang selama ini terbentuk. Hal ini ditanamkan oleh

386
para pengiklan, pada rancangan konsep iklan produk. Yang akan
ditampilkan kepada konsumen. Dewasa ini para pengiklan tidak
menekankan makna pada produk tetapi lebih memilih untuk
menekankan nilai pada makna sosial yang nantinya akan
mempengaruhi pembelian produk.
Cook (2001) mengatakan bahwa gambar merupakan
unsur paling penting dalam pemasaran iklan secara audiovisual
maupun cetak. Pada beberapa iklan yang diteliti oleh peneliti,
terdapat sosok perempuan, tubuh perempuan-perempuan dan
pose yang menunjukkan lekuk tubuh perempuan, dan nonverbal
iklan yang menunjukkan erotic appeals. Adanya unsur untuk
mendapatkan keuntungan oleh pihak produsen juga tidak lepas
dari konsep iklan yang menggunakan simbol-simbol erotisme.
Saat ini perkembangan iklan dan periklanan di dalam
masyarakat konsumer sangat pesat dan juga memunculkan
banyak persoalan sosial baik kultural mengenai iklan, khususnya
mengenai tanda yang digunakan. Permasalahan yang
berkembang dalam iklan bahwa kenyataanya terdapat pemisah
antara realitas yang digambarkan oleh iklan dengan realitas
produk itu sendiri. Seringkali realitas yang ditampilkan iklan
adalah realitas palsu. Iklan memilih untuk memberikan
gambaran palsu tentang suatu realitas ketimbang gambaran
realitas sebenarnya, hal ini yang membuat iklan terperangkap
dalam skema permainan tanda, yaitu menciptakan citra palsu

387
pada suatu produk. Citra yang sesungguhnya tidak merupakan
bagian integral, substansial, atau fungsional produk, tetapi
melalui kemampuan retorika iklan, dari citra-citra tersebut
menampilkan rujukan dalam mengkonsumsi produk. Beberapa
persoalan sosial dan kebudayaan yang diakibatkan oleh iklan
antara lain; persoalan kredibilitas informasi, disebabkan
berbaurnya realitas dan simulasi atau realitas daan ilusi dalam
komunikasi, persoalan nilai informasi yang menyebabkan salah
menerima informasi, persoalan makna informasi karena terlalu
sering menggunakan makna-makna palsu di iklan, psikologi
informasi yang dapat menggerakkan individu untuk bertindak
dengan pola tertentu. (Yasraf, 2003:279-280)
Sebelumnya telah dijelaskaan bahwa kehidupan
sekarang tidak pernah lepas dari iklan. Hampir semua media
menjadi wadah untuk beriklan baik media cetak, elektronik,
maupun media sosial yang ada di internet sebagai contohnya
Youtube, sebuah situs web berbagi video, karena web ini
memiliki pengunjung Youtube banyak, maka banyak pengiklan
yang mengiklankan produknya, salah satunya adalah iklan
produk makanan Carl’s Jr. tidak hanya Youtube, 9gag sebuah
situs komedi online yang menyajikan berbagai media visual baik
gambar dan video, 9gag juga menampilkan iklan yang
bermuatan erotisme salah satunya adalah iklan kemasan susu
Valio. Williamson (2007) mengatakan bahwa iklan adalah salah

388
satu faktor penting dalam menciptakan kebudayaan yang
mampu merefleksikan kehidupan masyarakat saat ini. Iklan yang
tersebar dimana-mana seakan-akan tidak kuasa untuk menolak
keberadaan iklan yang semakin hari semakin berinovasi.
Periklanan membentuk suprastruktur luas dengan eksistensi
otonom dan disertai pengaruh yang sangat besar. Iklan mampu
memasuki alam bawah sadar individu untuk bergerak mengikuti
pola tertentu yang disebut dengan konsumsi.
Williamson (2007) mengatakan bahwa fungsi iklan adalah
untuk menjual benda-benda atau suatu produk maupun jasa
kepada masyarakat, iklan tidak hanya menjual tetapi juga harus
mempertimbangkan tidak hanya dari kualitas melainkan cara
iklan membuat sesuatu yang bermakna sesuatu bagi kita.
Sesuatu yang mampu mencengkram benak kita tentang
persepsi produk yang diiklankan.
Dengan perpaduan antara kekuatan iklan dan kekuatan
pemilik modal yang mampu mengkomodifikasi gaya hidup
melalui makanan, maka munculah iklan makanan yang
menampilkan gaya hidup sesuai dengan kelas sosial yang
ditarget. Banyaknya iklan makanan yang disajikan membuat
para pengiklan untuk semakin jeli dalam menyajikan iklan
makanan yang dapat menarik perhatian khalayak, beberapa
unsur yang dapat menggugah hasrat dan visualisasi kenikmatan
sering digunakan untuk menarik perhatian khalayak.

389
Semiotika
Hartley (2004) mengatakan dalam bukunya, bahwa
Semiotika adalah studi tentang tanda, dan pada studi ini
menganalisa bagaimana bahasa begitu bermakna dan dapat
dikomunikasikan dalam masyarakat. Semiotik tidak ditemukan
dalam teeks itu sendiri, tetapi lebih dipahami sebagai suatu
metodologi. Oleh karena itu semiotika bukan merupakan disiplin
ilmu yang pasti tetapi sebagai alat atau pendekatan analisis teks
media.
Fiske (1990) mengatakan bahwa semiotika memiliki tiga
fokus studi utama, yaitu; tanda, kode, budaya. Tanda sebagai
fokus pertama, tanda sebagai tuturan, kata, citra. Kemudian
digolongkan menjadi dua komponen yang membentuk tanda,
penanda dan petanda. Pertama adalah bunyi, huruf, citra yang
membentuk bentuk material tanda. Kedua mereprsentasikan
makna mental yang terkait dengan bentuk materialnya. Fokus
kedua adalah kode, kode dan sistem dimana tanda itu dibentuk
dan diatur. Kode meliputi ‘pilihan dan hubungan’ yaitu
paradigmatik dan sintagmatik. Fokus ketiga adalah budaya,
dimana tanda dan kode beroperasi. Makna bergantung pada
struktur pemahaman bersama. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Saussure tanda memiliki kehidupan di masyarakat. Dapat
dikatakan semiotika memberikan khalayak sesuatu untuk
dilakukan, dan pembaca teks adalah pilihan aktif dalam proses

390
pembentukan makna, oleh karena itu bersama dengan ini
dibawa pula pengalaman budaya, wacana dan ideology dalam
proses pembentukan makna tersebut. Semiotika merupakan
teknik yang tepat untuk membuat hal menjadi spontan, dan
merupakan aktivitas tak terdidik yang lebih sebagai kritik dan
refleksi diri (Hartley, 2004)
Semiotika adalah cabang keilmuan yang memiliki lingkup
kajian sangat luas yang meliputi hampir semua bidang kajian
sangat luas yang meliputi hampir semua bidang kehidupan.
Semua yang berkaitan dengan tanda penggunaannya dalam
masyarakat, semiotika meliputi segala bentuk tanda dan
penggunaannya secara sosial, sehingga ada cabang-cabang
semiotika. (Yasraf, 2010:343-345).
Analisis semiotik berusaha menemukan makna yang
tersembunyi dibalik sebuah tanda. Karena tanda bersifat
kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda adalah hasil
pengaruh dari berbagai konstruksi sosial dimana pengguna
tanda berada.
Studi tentang media memiliki keterkaitan dengan tanda-
tanda dan makna didalamnya, karena sebenarnya semiotika
komunikasi sama dengan dasar studi komunikasi adalah proses
komunikasi yang intinya adalah tentang makna. Bisa dijelaskan
mempelajari media adalah mempelajari makna, darimana awal
dibentuknya, apa tujuannya, dibentuk seperti apa, dan

391
bagaimanakah keterkaitannya dengan pemikiran kita sendiri,
oleh karena itu penelitian dalam komunikasi seharusnya bisa
mengungkapkan makna yang terlampirkan dalam pesan
komunikasi. (Sobur, 2009: 110)
Iklan digunakan sebagai objek semiotika, dan iklan juga
menjadi obyek kebudayaan di dalam kehidupan masyarakat
yang dipengaruhi oleh kapitalis. Di dalam iklan penggunaan
tanda dan citra visual sangat sering ditampilkan. Iklan yang
sebagai obyek semiotika memiliki fungsi mengkomunikasikan
pesan perusahan atau lembaga terkait. Karena itu didalam iklan,
pesan adalah aspek utamanya.

Metafora dan Metonimi


Menurut Thwaites (1994) metafora adalah tanda yang
dapat menggantikan tanda lainnya dengan perbandingan, atau
metafora. Di dalam bukunya Tools for Cultural Studies
memberikan contoh, ‘To make a pig yourself” (makan dengan
lahap) salah satu contoh metafora. Tentu saja hal ini tidak
mengatakan bahwa benar-benar menajdi babi, melainkan
tingkah lakunya yang seperti babi makan dengan lahap dan
gaduh. Apa yang dideskripsikan adalah adalah paradigma
bagaimana seseorang ditempatkan pada paradigm dengan
segala hal yang memiliki kebiasan yang menjijikan.

392
Metafora memiliki efek paradigmatik dan sintagmatik.
Secara paradigmatik, metafora mengarahkan satu unsur dari
sekumpulaan paradigma untuk menggantikan unsur lainnya,
contoh penis berbentuk panjang dan lonjong, sedangkan sperma
berwarna putih. Maka secara efektif meletakkan sosis dalam
sekumpulan paradigma panjang dan lonjong, karena sosis
berbentuk panjang dan lonjong, maka sosis dapat menggantikan
simbol penis. Sedangkan sperma berwarna putih, maka susu
yang berwarna putih dapat menggantikan simbol sperma dalam
iklan susu kemasan Valio. Dapat dikatakan, mengantikan nama
mereka dengan nama anggota lain dari kumpulan tersebut.
Metafora dapat digunakan untuk mendeskripsikan yang tidak
familiar menjadi peristilahan yang familiar, dan juga sebaliknya.
Untuk mendeskripsikan sesuatu yang tidak familiar menjadi
sesuatu yang familiar maka, harus dapat menjelaskan dan
mengilustrasikannya.
Secara sintagmatik Thwaites (1994) mengatakan bahwa
metafora mengusulkan sebuah proposisi. Pada dasarnya,
metafora mengatakan bahwa ‘karena X danY keduanya adalah
anggota dari kumpulan paradigma yang sama, maka keduanya
adalah sepadan. ‘X dan Y bertindak sebagai subjek dan
pelengkap suatu kalimat identitas: X dan Y karena penis
berbentuk lonjong dan sosis berbentuk lonjong maka, penis dan
sosis memiliki kesamaan berbentuk lonjong sebagai subjek dan

393
pelengkap kalimat. Karena sperma berwarna putih dan warna
susu pada iklan susu kemasan valio berwarna putih, keduanya
memiliki persamaan warna, maka susu dapat menggantikan
simbol sperma.
Thwaites (1994) menjelaskan bahwa metonimi adalah
rangkaian proses yang lebih kompleks dibandingkan metafora.
Metonimi adalah asosiasi pelbagai peristilahan, satu tanda yang
diasosiasikan dengan tanda lain yang ditandakan sebagaian,
keseluruhan, salah satu fungsi atau atributnya, atau konsep yang
berkaitan dengannya proses umum asosiasi disebut metonimi.
Di dalam bukunya Thwaites, memberikan contoh
metonimi adalah figure bintang film, yang mana Meg Ryan
adalah sosok feminis sedangkan Arnold Schwarzenegger
adalah machismo (maskulin). Sebagaimana halnya metafora,
metonimi visual juga merupakan perkara lazim. Sekali lagi, iklan
merupakan sumber contoh yang baik. Dalam iklan Carl’s Jr versi
The New Big Sausage Breakfast dan iklan susu kemasan Valio,
berusaha meenunjukkan kenikmatan produknya dengan
menggunakan daya tarik erotis yang digambarkan dengan model
sedang memakan hotdog dengan gaya seperti sedang
melakukan oral sex, menepuk pantatnya sendiri, dan
memperlihatkan tumpahan mayonnaise yang menetes ke dada
model, serta gambaran iklan susu kemasan Valio yang
menggambarkan model perempuan dengan mulut terbuka

394
setengah terguyur susu yang merepresentasikan klimaks
kenikmatan dalam melakukan oral sex. Dalam hal ini sosis dan
susu menggantikan tanda penis dan sperma yang pada iklan
tidak boleh diperlihatkan. Karena itu iklan-iklan tersebut
menggunakan pendekatan metonimi adanya asosiasi tanda
yang ditampilkan oleh kedua iklan tersebut. Dari situ kampanye
cerdik tersebut telah menghasilkan iklan yang bisa segera
dikenali, meskipun iklan itu tidak menggambarkan, bahkan tidak
melihatkan pengemasan produk tersebut, semua melalui proses
metonimi (Thwaites, 1994).
(Thwaites, 1994) Mengatakan bahwa, metonimi secara
sintagmatik maupun paradigmatik mampu berfungsi secara baik.
Metonimi hanya mengisyaratkan tidak menyatakan,
kelengkapan dari seluruh atribut atau bagiannya telah di
tanggalkan. Metonimi memberikan contoh paradigmatik, contoh
yang meringkaskan keseluruhan paradigma yang darinya
metonimi dipilih. Dari konsep yang dijelaskan, dan khususnya
metafora dan metonimi digunakan untuk melihat makna – makna
yang jelas dan meluas.
(Thwaites, 1994) Juga mengatakan adanya relasi antara
penanda dan petanda adalah arbiterer, oleh karena itu tidak ada
keharusan apapun pada sifat dasar tanda itu sendiri untuk
mengikat penanda tertentu pada satu petanda saja. Dapat
dilihat dari pengalaman sebagai pengguna bahasa bahwa kata

395
– kata mampu memiliki lebih dari satu makna, dan bahkan
mampu mengubah makna itu sendiri. Suatu petanda
dipasangkan dengan satu petanda tertentu, tanda bisa lebih
akurat digambarkan dengan memiliki beberapa petanda, yang
disebut dengan konotasi.
Metafora dan metonimi, merupakan proses konotasi,
karena keduanya merupakan cara untuk memunculkan
beberapa petanda disekitar penanda tertentu, dalam hal ini
konotasi tidak perlu benar dalam semua pengertian. Konotasi
dari tanda yang sama bahkan benar – benar dapat
berkontradiksi satu dengan lainnya, contoh konotasi lain dari
sosis adalah ‘penis’. Konotasi bukanlah sesuatu yang diciptakan
secara personal dari suatu tanda, konotasi adalah sesuatu yang
diciptakan oleh kode yang tersedia dari suatu tanda. Konotasi
sangat terstruktur dan melalui konotasi seluruh dunia sosial
memasuki pelbagai system petandaan.
Denotasi merupakan makna yang cukup stabil, tetapi
denotasi tidak tetap. Denotasi bersifat historis tidak berarti
bahwa yang nyata hanyalah sesuatu yang diciptakan oleh
konsensus dominan. Denotasi sering dianggap sebagai makna
harafiah tanda, system pertandaan yang gamblang hadir
sebelum ada tambahan berikutnya yang sekunder seperti
konotasi. Denotasi bukanlah makna tanda yang natural, denotasi
merupakan proses naturalisasi. Karena denotasi hanyalah salah

396
satu dari makna tanda, namun makna yang hadir utnuk
menyimpulkan semua makna lainnya, denotasi merupakan
bentuk metonimi (sebuah contoh tersendiri yang menggantikan
kasus umum).

Daya Tarik Erotisme dan Seksualitas pada Iklan


Sering dijumpai banyak iklan-iklan makanan yang
menampilkan unsur erotisme baik menggunakan tubuh
perempuan dan simbol erotisme lainnya seperti penggunaan
kata-kata, dan juga simbol-simbol makanan, seperti pisang,
sosis, susu, dan sebagainya yang merepresentasikan erotisme
pada iklan makanan baik pada iklan audiovisual dan cetak. Dari
penjelasan ini sangat menarik untuk mengungkap hubungan
antara erotisme dan iklan makanan.
Iklan Carl’s Jr versi The New Big Sausage Breakfast dan
iklan visual susu kemasan Valio. Iklan Carl’s Jr ini memiliki
pengemasan yang menarik untuk dikaji dari segi erotic appeals
dan simbol-simbol yang merepresentasikan erotisme melalui
makanan yang ditampilkan di iklan Carl’s Jr ini, dengan cara
menampilkan simbol-simbol yang mampu menggugah hasrat
dan menampilkan kenikmatan yang menggoda, iklan ini mampu
menarik perhatian khayalak, baik pria maupun wanita.
Sedangkan iklan susu kemasan Valio, yang pengemasan
iklannya berbeda dengan iklan susu lainnya. Iklan ini juga

397
menampilkan klimaks kenikmatan yang direpresentasikan
melalui tampilan iklan susu kemasan Valio.
(Reichert, 2003) Menjelaskan, bahwa seksualitas pada
iklan dapat dijelaskan sebagai daya tarik erotisme yang
diaplikasikan sebagai alat persuasi untuk meperkuat,
meyakinkan dan menunjukkan hal yang berbeda pada suatu
produk dan jasa dengan yang lainnya, Sebagai keunggulannya
untuk menarik perhatian, iklan menampilkan sosok yang
menggoda gairah dengan menampilkan pakaian yang ketat atau
menggunakan verbal yang menggoda, keduanya dikatakan
dapat membentuk arti daya tarik erotisme pada iklan.
Reichert (2003) dalam bukunya yang berjudul ‘Sexual in
Advertising’, mengidentifikasikan beberapa tipe konten seksual
pada periklanan, antara lain:
1. Nudity / Dress: Pada konten ini menekankan pemilihan
pakaian yang dikenakan oleh model, dimana pakaian ketat yang
menampilkan lekukan tubuh dengan, diantaranya mengenakan
pakaian dalam, bikini, hingga nampak telanjang.
2. Sexual Behavior: Perilaku seksual, yang meliputi perilaku
seksual individu maupun interpersonal. Dimana konten ini
memfokuskan, tatapan yang menggoda, kontak mata yang
merayu, gestur tubuh, dan gerakan yang memprovokasi hasrat
seksual (Bahasa tubuh nonverbal dan verbal). Interaksi seksual
antara dua orang atau lebih yang digambarkan dengan

398
berpelukan, berciuman atau menunjukkan perilaku seksual yang
lebih intim.
3. Physical Attractiveness: Digambarkan dengan kecantikan fisik
yang menampilkan wajah yang cantik, warna kulit, rambut dan
juga bentuk fisik lainnya.
4. Sexual Referents: Mengacu pada objek dan peristiwa yang
memiliki makna seksual dengan cara sindiran atau makna
ganda, termasuk faktor – faktor yang mengkontribusi makna
seksual seperti; pengaturan, musik, pencahayaan, teknik
kamera dan beberapa elemen lainnya.
5. Sexual Embeds: Konten ini diartikan sebagai seksual pada
tingkat bawah sadar, seperti penggunaan kata – kata, atau
benda yang mengandung arti seksual. Benda lain yang
mengartikan atau menyimbolkan bagian tubuh tertentu yang
mengarah pada simbol seksual dan tindakan seksual, gambar
alat kelamin, bagian tubuh tertentu dan model pada iklan.
Keterkaitan antara erotisme dan iklan makanan, baik
menggunakan visualisasi erotisme dan makanan yang terdapat
dalam iklan produk makanan. Iklan Carl’s Jr versi The New Big
Sausage Breakfast dan iklan visual susu kemasan Valio. Iklan
Carl’s Jr ini memiliki pengemasan yang menarik untuk dikaji dari
segi erotisme dan simbol-simbol yang merepresentasikan
erotisme melalui makanan yang ditampilkan di iklan Carl’s Jr ini,
dengan cara menampilkan simbol-simbol yang mampu

399
menggugah hasrat dan menampilkan kenikmatan yang
menggoda, iklan ini mampu menarik perhatian khayalak, baik
pria maupun wanita. makanan yang dianggap sebagai simbol-
simbol erotisme seperti sosis yang terdapat di iklan Carl’s Jr
yang merepresentasikan penis dan erotisme bagian tubuh
tertentu pada perempuan. Iklan produk makanan Carl’s Jr versi
The New Big Sausage Breakfast dan iklan susu kemasan Valio,
dimana iklan tersebut menampilkan erotisme melalui makanan
yang disajikan dalam iklannya. Pada iklan-iklan produk makanan
ini menampilkan erotisme pada makanan yang kenikmatan rasa
pada makanan diibaratkan sama dengan kenikmatan bercinta,
ditunjukkan dengan pose yang vulgar, memfokuskan pada
bagian tertentu tubuh perempuan, dan seakan-akan model
perempuan sedang melakukan oral sex yang digambarkan
dengan sosis ukuran besar yang mengkonotasikan sebagai
penis, sedangkan pada iklan susu kemasan Valio, digambarkan
model perempuan dengan mulut terbuka setengah, dimana
mulut model perempuan tersebut terguyur oleh susu kemasan
Valio. Guyuran susu yang dikonotasikan sebagai sperma.
dua tipe konten seksual, yaitu Sexual Behavior dan
Sexual Embeds. Sexual Behavior atau perilaku seksual yang
merepresentasikan kegiatan seksual dan pergerakan tubuh.
Perilaku seksual pada iklan dapat dikategorikan menjadi dua,
sebagai perilaku individual maupun perilaku interpersonal.

400
Model memperagakan adegan seksual di iklan dengan
melakukan kontak mata yang menggoda kepada penonton dan
menggunakan gerakan tubuh erotis yang dapat memancing
seksualitas. Dalam hal ini, model mengkomunikasikan hasrat
seksualnya kepada penonton dengan memperlihatkan gairah
seksual.
Belo, Pitts, dan Etzel dalam (Reichert, 2003) mengatakan
karakteristik perilaku seksual dalam iklan ditunjukkan dengan
pergerakan tubuh model dan gaya bicara yang menggoda.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, perilaku seksual
diperlihatkan dari pergerakan tubuh model dan gaya bicara yang
menggoda (Contoh: berpelukan, berciuman, oral seks hingga
melakukan hubungan seksual).
Sexual Embeds, Erotisme dan Seksualitas dalam iklan
sering menimbulkan kontroversial tetapi, sexual embeds
didefinisikan sebagai representasi seksual yang melibatkan
kegiatan seksual, alat genital atau digambarkan dengan simbol
yang menyerupai alat kelamin, pada iklan Carl’s Jr versi Big
Sausage Breakfast yang mana penis digambarkan dengan sosis
yang bentuknya menyerupai alat kelamin laki-laki atau model
yang nyaris nampak telanjang pada iklan susu valio dan Carl’s
Jr versi Big sausage Breakfast, dimana model mengenakan
pakaian ketat dan mini. Sexual Embeds merepresentasikan tipe
seksual di periklanan yang menyajikan informasi seksual.

401
Seperti, simbol seksual yang termasuk representasi dari
konotasi alat seksual. Tipe kedua, Sexual Embeds di
karakteristikkan sebagai sesuatu yang tersembunyi. Contohnya
di representasikan dengan kata – kata dan bagian tubuh model
(genital dan payudara). Perbedaan antara dua tipe ini adalah
menyajikan tampilan non seksual objek. Perbedaan antara dua
jenis embeds adalah salah satu terdiri dari mudah gambar jelas
dari benda non seksual, sedangkan yang lain terdiri dari kata –
kata seksual tak terlihat dan gambar keduanya sama karena
konten seksual yang dirasakan bawah deteksi dan keduanya
dijelaskan oleh penggunaan premis yang sama untuk
menanamkan dan memicu pengakuan bawah sadar, mereka
merangsang gairah seksual dan motivasi akhirnya, pengamat
termotivasi menuju tujuan diarahkan perilaku ( gerakan menuju
stimulus ) ketika menanamkan bawah sadar terdeteksi, maka
kekuasaan mereka berkurang karena mekanisme pertahanan
khalayak telah dirangsang.

402
Gambar 1
Capture TVC Carl’s Jr The New Big Sausage Breakfast
(sumber: https://www.youtube.com/watch?v=puOh-NxPTeA)

Gambar 2
Iklan Susu Kemasan Valio
(sumber: http://9gag.com/gag/5388403/just-a-finnish-milk-ad)

Kesimpulan
Sebagai sarana promosi dan persuasif produk kepada
konsumen, iklan harus dibuat menarik dan sebagai strateginya

403
iklan menggunakan daya tarik erotisme (erotic appeals) seperti
produk iklan makanan Carl’s Jr versi The New Big Sausage
Breakfast dan iklan susu kemasan Valio, yang menampilkan
erotic appeals dengan menggunakan metafora dan metonimi,
dimana suatu simbol digantikan dengan ssimbol yang masih
memiliki satu makna, dimana sosis menggantikan tanda penis
pada iklan Carl’s Jr versi The New Big Sausage Breakfast dan
susu menggantikan tanda sperma pada iklan susu kemasan
Valio.Keterkaitan penggunaan simbol-simbol erotisme yang ada
pada tampilan iklan produk makanan adalah, untuk
menggambarkan atau menvisualisasikan kenikmatan rasa
produk diiklankan dengan menunjukkan erotic appeals yang
dimetaforakan dengan makanan seperti sosis menggambarkan
penis (oral sex) pada iklan Carl’s Jr versi The New Big Sausage
dan iklan susu kemasan Valio, susu yang mengambarkan
sperma. Digambarkan bahwa kenikmatan rasa produk yang
diiklankan diibaratkan atau dimetaforakan dengan kenikmatan
pengalaman berhubungan seksual, yang mana digambarkan
dengan tindakan yang menyerupai oral sex. Disamping itu,
karena berbeda dengan iklan produk makanan lainnya, maka
iklan tersebut dapat dengan mudah menarik perhatian
konsumen.

404
Daftar Pustaka
Ayuningsih (2013) Agar Makanan Terlihat ‘Seksi’, Majalah
Pesona. Juni, XI, no 06, 2013
Barker, Chris (1999). Television, Globalization, and Cultural
Identities. Open University Press: United Kingdom
Barthes, Rolland, (2010), Imaji Musik Teks, Yogyakarta:
Jalasutra.
Cook, Guy. (2010). The Discourse of Advertising. Second
Edition. Routledge: London
Featherstone, Mike (2007). Consumer Culture and
Postmodernism. Sage Pub: London.
Hartley, John (2004). Communication, Cultural, and Media
Studies. Jalasutra: Yogyakarta
Hasnain, Zaenul. (2013). Tinjauan Yuridis perlindungan
Konsumen Terhadap Iklan Komersial yang Memuat
Materi Pornografi di Media Televisi. Artikel Ilmiah Hasil
Penelitian Mahasiswa : Universitas Jember
Ihza, Yuztiman. (2013). Bujuk Rayu Konsumerisme (Menelaah
Persuasi Iklan di Era Konsumsi) Linea Pustaka:
Cimanggis
Mulyawan, I Wayan (2010) Analisis Praktis: Hipersemiotika
Periklanan. Udayana University Press: Bali
Munti, Ratna Batara (2005). Demokrasi Keintiman, Seksualitas
di Era Global. LKiS: Jogjakarta

405
Nuraini (2011) Media, Seksualitas Perempuan dan Pornografi
dalam Dominasi Partriarkhi. Jurnal Keybernan, Vol 2. No.
1 Maret 2011
Reichert, Tom (2003), Sex in Advertising (Perspective on the
Erotic Appeal). Lawrence Erlbaum Associates, Publisher:
London.
Sobur, Alex, (2003), Semiotika Komunikasi, Bandung: Rosda
Karya
Thwaites, Tony, (1994), Tools for Cultural Studies, South
Melbourne: Macmillan Education
Vera Nawiroh. (2014). Semiotika dalam Riset Komunikasi.
Ghalia Indonesia : Bogor
Williamson, Judith. (2007). Decoding Advertisement: Membedah
Ideology dan Makna dalam Periklanan. Jalasutra :
Bandung
Yasraf, Piliang Amir (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural
Studies Atas Matinya Makna. Jalasutra. Bandung
*) Mahasiswa Magister Media dan Komunikasi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

406
REPRESENTASI FEMALE-MASCULINITY DALAM IKLAN
PARFUM

Febitya Ayu Adisca*

Pendahuluan
Representasi Female-Masculinity dalam Iklan Parfum
merupakan sebuah penelitian yang mengkaji keberadaan model
perempuan dalam iklan parfum yang menjadi komoditas utama.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif-deskriptif
dengan pisau analisis semiotik dari Roland Barthes. Dalam
penelitian ini, penulis menganalisis makna denotasi dan konotasi
representasi female-masculinity dalam iklan parfum Chanel No.5
versi “The One that I Want” (2014). Selain itu, penulis juga
melihat bagaimana Chanel No.5 melekatkan konsep female-
masculinity dalam iklan tersebut.
Dalam 40 tahun terakhir sisi seksualitas dalam role model
iklan telah berkembang pesat (DiSalvatore, 2010). Hal ini
berawal dari tahun 1850an ketika perusahaan periklanan
menggunakan gambar perempuan seksi untuk menjual produk.
Selanjutnya, perempuan sebagai model dalam iklan majalah
wanita/pria semakin tampil seksi secara eksplisit. Ketika
konsumen melihat pandangan bagaimana model dalam iklan

407
berpose dan berperan, maka hal tersebut yang tertanam dalam
pikiran konsumen bahwa hal tersebut nyata adanya. Lewat
simbol-simbol dalam iklan, seperti seting, cahaya, pengambilan
gambar, penggunaan warna, daya tarik yang dimiliki dan
kecantikan figur model tersebut dipercaya mampu dapat
mempengaruhi konsumen untuk membeli suatu produk atau jasa
tertentu. Iklan dalam berbagai produk kerapkali menggunakan
model perempuan yang menonjolkan segi fisik. Hal ini bisa
dibuktikan dengan banyaknya produk atau acara tertentu
menggunakan jasa perempuan dengan balutan pakaian yang
mini, contohnya acara pameran rokok, produk perawatan tubuh
(pemutih dan pelangsing).
Dalam sebuah penelitian tahun 2008, Stankiewicz dan
Rosselli menemukan bahwa hampir separuh iklan yang
dianalisis menggambarkan perempuan sebagai obyek seks.
Tipe-tipe iklan tersebut muncul paling banyak dalam majalah
untuk laki-laki, dan fashion perempuan. Misalnya dalam salah
satu iklan parfum Christian Dior, model perempuannya hanya
memakai bikini dan menggambarkan perempuan dalam produk
tersebut sebagai pemberi nikmat hawa nafsu laki-laki. Selain itu,
perempuan kerap digambarkan sebagai korban (Stankiewicz
dan Rosselli, 2008) dimana perempuan dijadikan target
kekerasan, dan manipulasi. Hal ini semakin mengukuhkan
ideologi dominasi laki-laki dalam konsep patriarkal dengan

408
menggambarkan tubuh perempuan sebagai properti yang dapat
dievaluasi, dan disentuh sesuai dengan keinginan laki-laki
(Kilbourne, 1999). Dalam perkembangannya, keseksian dalam
iklan, yang sebelumnya didominasi oleh perempuan, kini juga
mulai ditujukan kepada pria (Putranto, 2013).
Dalam artikel yang berjudul “Pergeseran Representasi
Maskulin-Feminim dalam Iklan di Indonesia”, ia menjelaskan
bahwa laki-laki kini tidak lagi sebagai “pihak yang melihat”,
namun juga “dilihat”. Salah satu contoh adalah iklan susu L-Men.
Dalam iklan tersebut laki-laki bertelanjang dada dengan tubuh
yang berotot dalam adegan penuh adrenalin dan diiringi dengan
ketakjuban penggemarnya yang di dominasi oleh
perempuan.Selain itu, produk-produk kecantikan yang dulu lekat
dengan perempuan, kini merambah produk khusus laki-laki.
Misalnya, iklan Nivea pada awalnya produk tersebut hanya untuk
perempuan, kini label tersebut dinamakan “for men”. Tak hanya
produk body lotion namun juga, sabun, shampoo, dan
sebagainya. Dari hal ini fungsi utama dari penggunaan seksi
dalam iklan dicapai, yaitu untuk menarik para konsumen
membeli, dan memakai produk tersebut. Tujuan utama iklan
ialah untuk membujuk konsumen agar menggunakan produk
atau jasa tertentu, sehingga strategi dan bentuk iklan yang
disampaikan pun menjadi sangat bervariasi.

409
Produk dengan iklan yang menarik akan berimbas pada
jumlahnya permintaan akan produk tersebut, dan kemudian
produk tersebut menguasai pasar.Kemudian hal ini berlanjut
pada perempuan yang “ideal” masa kini. Perempuan “ideal” tak
lagi berkiprah dalam bidang domestik namun juga aktif di luar.
Sebelum iklan, dalam film Charlie’s Angels (2000), tiga pemeran
utama perempuan digambarkan sebagai perempuan yang
cantik, agresif, dapat berkelahi. Wood (2007) juga
menambahkan seorang perempuan dapat menarik perhatian
dan dikategorikan sukses jika dapat menggabungkan nilai
feminitas perempuan dan mempunyai satu atau dua nilai
maskulinitas. Meskipun ketiga pemeran utama ini kerap
membuat keputusan sendiri, pandai berkelahi, namun tetap
menonjolkan citra seksinya, misalnya terlihat menggunakan
handuk saja saat mandi ataupun terlihat belahan dadanya saat
berkelahi.
Pada saat yang sama, iklan Dove memberikan
representasi perempuan tersendiri. Perpaduan maskulin dan
feminin ini dimulai dari iklan Dove dengan kampanye “Campaign
for Real Beauty” pada tahun 2004 yang menunjukkan berbagi
bentuk tubuh dan ukuran perempuan. Menurut Dove dalam
websitenya, hal ini dilakukan karena perlunya definisi luas akan
keindahan setelah ada penelitian bahwa suatu kecantikan
tersebut terbatas dan tidak dapat dijangkau. Hal ini yang

410
menginspirasi Nike untuk melakukan hal yang sama. Nike
menggunakan figur atlet perempuan dengan maksud untuk
menunjukkan apa yang “sebenarnya” sebagai lawan dari “ideal”
(Perez, 2013, h. 27). Keberadaan perempuan dalam iklan
olahraga mulai meningkat dimana hal diperkuat oleh DiSalvatore
(2010) bahwa perempuan sebenarnya memiliki “power” dalam
iklan (menjadi bintang utama atau keluar dari stereotipe). Selain
itu, iklan tersebut adalah dengan memiliki kepercayaan diri,
seorang perempuan memiliki otoritas akan hidupnya sendiri.
Mereka tidak lagi dikaitkan dengan stereotipe perempuan yang
lama, yakni tergantung pada pihak laki-laki, bahkan sebaliknya
perempuan-perempuan ini tidak lagi tergantung pada opini atau
stereotipe yang berkembang dalam masyarakat. Selain itu,
produk lingerie “Cacique” pada tahun 2015 dalam Paste
Magazine.com mengeluarkan kampanye terbaru “#ImNoAngel”
dengan perempuan berukuran besar sebagai modelnya atas
sandingan iklan kampanye Victoria’s Secret “The Perfect Body”
yang dipermasalahkan oleh masyarakat atas dasar penggunaan
model kurus dan tinggi. Female-Masculinity yang dimaksud
dalam studi ini adalah maskulinitas tidak boleh dilekatkan atau
diidentikkan dengan salah satu seks tertentu (Halberstam,
1998).
Dalam memasarkan produk parfum, pengiklan percaya
bahwa “sex appeals” dapat membuat masyarakat

411
memperhatikan dan mengingat produk tersebut (Moses dan
Charles, 2014). Jacobson (1995, h.10) menambahkan bahwa:
“attractive bodies are employed to grab attention and stimulate
desire, which advertisers hope will then be transferred to the
product”. Dengan kata lain, tubuh yang menawan dimaksudkan
untuk menarik perhatian dan menimbulkan keinginan untuk
membeli produk. Dalam website Chron.com, cara berhasil untuk
memasarkan sebuah parfum adalah memanfaatkan psikologi
manusia dan menghubungkan merk produk tersebut kedalam
konsep yang diinginkan seperti gairah, feminitas, atau
maskulinitas. Reichert (2003), dalam bukunya The Erotic History
of Advertising, menjelaskan bahwa pada dasarnya
menggunakan wewangian dapat menyegarkan pemakainya
dengan menyelipkan pesan tertentu seperti, semangat untuk
berolahraga, merasa bebas dan merdeka, merasa muda, cantik,
memberontak, bahagia, dan sebagainya. Pengiklan biasanya
mengaitkan ide yang diinginkan dengan wangi parfumnya yang
berimbas pada kepercaya-dirian pemakainya.Dalam iklan
parfum, kebanyakan masih membedakan dua konsep
maskulinitas dan feminitas secara terpisah, dimana maskulinitas
identik dengan laki-laki yang tampan, rapi, bersih, dan memiliki
bentuk tubuh yang bagus. Sedangkan feminitas ditampilkan
perempuan dengan lekuk tubuh yang menggoda, cantik, dan
kurus. Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis

412
paparkan, maka penulis tertarik untuk melakukan studi analisa
konten representasi female-masculinity dalam iklan Chanel No.5
untuk mengetahui bagaimana potret female-masculinity
dilekatkan melalui makna denotasi dan konotasi gestur tubuh
model perempuannya dalam iklan tersebut.

Representasi
Representasi adalah salah satu hal yang penting dalam
kebudayaan. Menurut Hall dalam buku “Representation: Cultural
Representation and Signifying Practice (2002) menjelaskan
bahwa representasi adalah suatu kegiatan sentris yang
memproduksi budaya dan sebuah kunci momen dari “circuit of
culture”. Selanjutnya, sirkuit budaya ini menggambarkan relasi
atau koneksi antara representasi dengan identitas, regulasi,
konsumsi, dan produksi. Relasi ini terkait dengan makna yang
diproduksi lewat penggambaran identitas diri dan peristiwa yang
berhubungan dengan regulasi, konsumsi, proses produksi
makna, dan representasi yang ada di dalam media massa
(Poedjianto, 2014). Hal tersebut saling mempengaruhi dan
memiliki peranannya masing-masing.
Secara sederhana, menurut Hall (2002), budaya
merupakan “shared meaning”, dimana ada keterkaitan bahasa
sebagai medium yang memungkinkan terjadinya produksi
makna dan saling dipertukarkan. Bahasa memiliki elemen

413
seperti simbol dan tanda yang dapat direpresentasikan apa yang
ingin disampaikan kepada orang lain seperti konsep ide, dan
perasaan. Selain itu, bahasa juga bekerja melalui sistem
representasi dalam menyampaikan makna kepada orang lain
lewat suara, kata-kata, catatan, gestur, ekspresi, dan pakaian.
Elemen-elemen tersebut mengkonstruksi makna ketika hal itu
dipetukarkan kepada orang lain. Menurut Poedjianti (2014),
makna menjadi pikiran manusia yang diproduksi dan dikontruksi,
sehingga bahasa menyediakan bagaimana cara bekerja budaya
dan representasi yang ada di masyarakat.
Menurut Hall (2002), dalam sirkuit budaya, makna yang
ada dapat diproduksi di beberapa tempat yang berbeda dan
disirkulasikan melalui beberapa proses yang berbeda pula.
Lewat makna, manusia mengerti siapa identitas mereka, siapa
diri mereka, dan tempat dimana mereka berada. Hal tersebut
terkait dengan pertanyaan bagaimana budaya dapat menandai
melanggengkan suatu identitas dalam grup yang sama maupun
yang berbeda.
Makna yang diproduksi dan dipetukarkan ini juga berlaku di
media. Disini bahasa menjadi penting karena bahasa beroperasi
dalam sistem representasional dimana semuanya menjadi
masuk akal dan dapat diterima dan dpertukarkan dalam
masyarakat. Hall (2002) lebih lanjut menjelaskan bahwa
representasi berarti menggunakan bahasa atau berucap sesuatu

414
yang bermakna kepada orang lain. Hal ini juga dipertegas oleh
Ida (2011) bahwa representasi melibatkan bahasa, tanda,
gambar yang merepresentasikan sesuatu.Selain itu menurut
Giles dan Middleton (1999) terdapat tiga definisi berbeda dari
kata “to represent”, yaitu: “to stand for”, definisi ini dapat
dianalogikan seperti tanda salib yang melambangkan Tuhan
Yesus dalam gereja. Kedua adalah “to speak or act on behalf of”:
definisi ini seperti Ustad yang mewakili umat islam dalam
ceramah. Definisi ketiga adalah “to represent”: definisi ini dapat
dianalogikan seperti bangunan sejarah yang dapat
mengingatkan memori atas kejadian lampau.

Female-Masculinity
Konsep Female-Maculinity yang coba ditawarkan oleh
Halberstam (1998) adalah konsep maskulinitas yang tidak ada
kaitannya dengan suatu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini, laki-
laki. Ia menekankan bahwa maskulinitas tidak boleh, tidak bisa,
dan harus dilepaskan dari tubuh laki-laki dan efeknya. Female-
Masculinity dibentuk sebagai alternatif dari dominasi
maskulinitas yang ada di masyarakat. Terdapat berbagai contoh
alternatif maskulinitas yang ada dalam fiksi, film, maupun
pengalaman nyata. Namun, dalam keadaan struktural saat ini,
maskulinitas hanya dilekatkan pada laki-laki beserta kuasa dan
dominasinya. Halberstam menjelaskan bahwa hal tersebut

415
mendukung konsep patriarki dimana dominasi laki-laki berkulit
putih memiliki kuasa atas maskulinitas.
Dalam film James Bond, Halberstam menjelaskan bahwa
Bond bersifat maskulin bukan dengan kekuatan ototnya
melainkan dengan segala peralatan canggih yang telah
disediakan. Hal tersebut diakui Halberstam sebagai maskulinitas
gay. Di dalam film tersebut, Agent Q, penyedia alat canggih
tersebut sebenarnya adalah interpretasi dari queer yang bekerja
dalam dominasi maskulinitas heteroseksual. Maskulin dalam film
Bond sebenarnya adalah M, bos Bond yang secara meyakinkan
menunjukkan sikap maskulinitas, memiliki kuasa atas Bond.
Contoh ketiga tokoh tersebut diakui Halberstam sebagai
representasi ketergantungan maskulinitas dominan terhadap
minoritas maskulin. Dengan kata lain, jika Bond terlepas dari alat
canggih, senyum simpul yang memikat hati perempuan, maka
Bond hanyalah seorang pahlawan tanpa aksi atau petualangan.
Selanjutnya, Halberstam menjelaskan bahwa
tomboyisme adalah perpanjangan dari masa kecil dari female-
masculinity. Hal tersebut merupakan hal yang umum bagi masa
kecil anak perempuan dan tidak dikhawatirkan oleh orang tua.
Tomboyisme diasosiasikan dengan keinginan “natural” untuk
mendapatkan kebebasan yang dinikmati oleh anak laki-laki.
Sering kiranya hal tersebut dilihat sebagai kemandirian dan
motivasi diri-sendiri, dimana hal ini sering dikaitkan dengan

416
pencarian jati diri anak perempuan. Hal tersebut berbeda jika
laki-laki mengalami masa feminitas pada usia anak-anak (male-
feminity). Kejadian tersebut sangat susah diterima masyarakat
sosial dan dianggap sebagai disorientasi seksual. Female-
Masculinity secara luas belum diterima secara menyeluruh oleh
masyarakat meskipun bukti-bukti sudah ada, seperti citra
perempuan perkasa, olahragawati, perempuan trasgender,
perempuan yang gemar cross-dressing, dan sebagainya.
Halberstam berpendapat karena hal tersebut lekat dengan
konsep patriarki, dimana posisi perempuan berada di bawah
sistem kuasa laki-laki.
Dalam bukunya, Halberstam berpendapat bahwa
sebenarnya alternatif ini bukanlah mengambil alih posisi
melawan kuasa maskulinitas, namun membalikkan keadaan
atas maskulinitas konvensional dan menolak untuk terkait
dengan suatu jenis kelamin tertentu. Alternatif yang coba
ditawarkan oleh Halberstam bukanlah sebuah versi perempuan
dalam maskulinitas laki-laki, melainkan perpaduan
keperempuanan (femaleness) dan maskulinitas dapat
menciptakan hasil yang tidak terduga. Perempuan tomboy,
butch, perempuan maskulin adalah gender minoritas yang
berbeda dari maskulinitas kulit putih. Ia berharap dapat merubah
sistem yang ada di masyarakar dengan cara tidak lagi

417
bergantung pada dominasi gender dalam budaya
heteropatriarkal.

Semiotik menurut Roland Barthes


Semiotik adalah ilmu mengenai tanda. Pendekatan
semiotik ini dimulai dari teori Ferdinand de Saussure, seorang
bapak linguistik dalam bidang semiologi. Kemudian teori
pendekatan semiotik ini dilanjutkan oleh Roland Barthes. Sosok
Roland Barthes dikenal sebagai sosok strukturalis yang gemar
mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussure.
Barthes fokus pada gagasan “two other signification” atau
signifikansi dua tahap (Sobur, 2009). Teori Roland Barthes
menekankan pada gagasan tentang signifikansi dua tahap,
yaitu denotasi dan konotasi. Menurut Barthes, pada tingkat
denotasi bahasa menghadirkan konvensi atau kode – kode
sosial yang memiliki makna tersembunyi. Makna tersembunyi ini
adalah bagian dari ideolagi atau mitos yang berkembang dalam
masyarakat. Dalam teori yang dikemukakan Barthes bahwa
apapun bentuk pertandaan denotatif, hal tersebut pada akhirnya
harus mengandung rantai pertandaan dan makna – makna
ideologi. Selanjutnya, konotasi adalah pengembangan segi
petanda (makna atau isi tanda) oleh pemakai tanda sesuai
dengan sudut pandangnya. Hal tersebut jika sudah menguasai
masyarakat maka hal tersebut dinamakan mitos. Barthes

418
mencoba untuk menguraikan bagaimana suatu kejadian dalam
masyarakat dianggap wajar, namun mitos belaka.

Stereotip Media
Media menawarkan citra tradisional antara perempuan dan
laki-laki dengan cara merefleksikan dan memuat ulang hal
tersebut. Stereotipe tersebut diambil oleh media dari dua
dominasi stereotipe yang ada, yaitu feminitas dan maskulinitas.
Secara garis besar, menurut mediaknowall.com dalam Kurnia
(2004), feminitas dilekatkan dengan nilai kecantikan, bentuk fisik,
sisi emosional yang tinggi, mengedepankan hubungan, dan
terikat dengan suatu konteks (bersama teman, keluarga, dan
sebagainya). Kebalikan dari feminitas, maskulinitas memiliki nilai
kekuatan fisik maupun intelektual, menarik secara fisik,
mengedepankan logika, dan mandiri. Hal tersebut kemudian
digambarkan oleh media lewat hubungan tradisional antara
perempuan dan laki-laki.
Wood (2007, h. 263) memberikan empat gambaran
hubungan tradisional tersebut. Pertama adalah “Women’s
dependence/ Men’s independence”. Gambaran pertama ini
adalah media menggambarkan perempuan ahli dalam bidang
domestik dan bergantung pada laki-laki. Dalam majalah
“Working Woman” dan “Savvy”, perempuan karir dalam majalah
tersebut masih mengedepankan kecantikan daripada sehat,

419
dimana gaun dan penampilan menjadi substansi utama dalam
topik karir. Maupun, majalah untuk remaja juga demikian.
Mereka diberi saran bagaimana untuk terlihat menawan dan
menarik perhatian laki-laki. Kedua adalah “Women’s
incompetence”/Men’s authority”, dimana media
mengggambarkan laki-laki sebagai pemilik otoritas yang lebih
berkompetensi daripada perempuan. Ketika perempuan
digambarkan sebagai sosok yang mempunyai otoritas, biasanya
media hanya fokus kepada penampilan dan kehidupan pribadi,
bukan pada kesuksesan dan kekuasaannya (Wood, 2007).
Gambaran mengenai hubungan perempuan dan laki-laki
yang ketiga adalah “Women as primary caregivers/Men as
breadwinners”. Hubungan ini menggambarkan meskipun
perempuan memiliki karir cemerlang seperti dokter atau
pengacara, namun dalam media yang lebih diutamakan adalah
saat mereka menjadi istri, ibu, dan pengurus rumah tangga.
Selain itu, perempuan hanya dikaitkan dengan permasalahan
penampilan dimana memunculkan satu kesimpulan yaitu terlihat
menarik atau tidak. Berbeda dengan laki-laki, mereka lebih
difokuskan kepada pekerjaan dan capaian yang telah diraih.
Sifat independen melekat hanya pada sosok laki-laki. Hubungan
antara perempuan dan laki-laki di media yang terakhir adalah
“Women as victims/Men as agressors”. Media sering kali
menggambarkan perempuan sebagai obyek seks, dimana

420
kualitas kecantikan, keseksian, kepasifan, dan
ketidakberdayaan menjadi sesuatu yang harus dikembangkan
untuk memenuhi bentuk ideal dalam budaya. Selain itu, kualitas
yang harus dikembangkan dalam pihak laki-laki adalah
agresifitas, keseksian, dan kekuatan.
Hal tersebut kemudian berkembang dimana perempuan
yang “ideal” saat ini adalah mereka yang berhasil
menggabungkan nilai feminitas dan maskulinitas menjadi padu
padan (Wood, 2007). Perempuan tidak lagi fokus pada bidang
domestik, namun juga merambah pada ruang publik. Sebaliknya,
Maskulinitas yang sebelumnya sering digambarkan dalam bentuk
kekuatan, kekuasaan, memiliki kuasa yang tak terbantahkan,
bergeser menjadi sosok yang ramah dan bersedia untuk
berkorban, dan melayani dengan rendah hati (Putranto, 2013).
Dengan kata lain, maskulin kini mendukung penuh kegiatan sosok
perempuan.

Representasi Female-Masculinity dalam iklan Chanel No 5:


The One That I Want
Pada penelitian ini, peneliti menganalisis iklan parfum
produk Chanel No.5 karena berdasakan pengamatan yang
penulis lakukan, iklan produk parfum ini menampilkan role model
perempuan yang nyaman melakukan kegiatan yang identik
dengan laki-laki dengan cantik dan anggun. Dalam penelitian

421
sebelumnya, Chanel No.5 telah dibahas oleh Hautala (2011).
Dalam penelitian yang berjudul, “The Glamorous Life of Chanel
No.5: A Contribution to the Theory of Glamour” dimana ia fokus
pada sisi representasi keglamoran Chanel No.5 yang kerap
muncul dalam tiap iklannya. Secara detil, Hautala menjelaskan
keglamoran dalam iklan tersebut secara periodik. Dalam tiap
iklan parfum Chanel No.5 terdapat sisi glamor yang kentara
lewat gestur tubuh, seting, dan cerita dalam iklan tersebut.
Berbeda dalam penelitian tersebut, penelitian ini fokus pada
bagaimana konsep Female-Masculinity dilekatkan pada role
model perempuandalam iklan parfum Chanel No.5.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil beberapa
potongan adegan dari iklan parfum Chanel No.5 versi “The One
that I Want” produksi tahun 2014 yang dibintangi oleh Gisele
Bundchen. Dalam potongan adegan iklan tersebut
menggambarkan kehidupan seorang Gisele, bintang model
papan atas, yang dapat menyeimbangkan perhatiannya pada
keluarga dan karir. Selain dikesibukannya yang padat, ia masih
sempat untuk meluangkan waktunya melakukan kegiatan
ekstrem, yaitu berselancar di pantai.

422
Gambar 1 Gambar 2

Gambar 3 Gambar 4

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa terdapat


perpaduan stereotip feminitas dan maskulinitas dalam iklan
parfum Chanel no 5 versi “The One that I Want” (2014). Lewat
semiotik Roland Barthes, peneliti menemukan bentuk perpaduan
tersebut sebanyak 5 hal, yakni kecantikan secara maskulin atau
beauty masculine; kedua adalah saat perempuan memiliki
tingkah laku maskulin secara fisik (being physically masculine);
ketiga adalah pentingnya suatu keterikatan hubungan
(relationship does matter); kombinasi keempat adalah sikap

423
mandiri (independency); dan yang terakhir adalah sang pemilih
cinta (the decision maker of love).
Dalam melakukan analisis, peneliti menemukan makna
denotasi yang terlihat dalam jalan cerita yang ekplisit. Seorang
model perempuan yang bekerja sebagai brand ambassador
produk Chanel No.5, memiliki seorang putri. Di sela-sela
waktunya, ia sempat melakukan hobi berselancar maupun
menyelam ditengah laut yang sedang berusaha memperbaiki
hubungannya dengan pasangannya.
Kemudian, makna konotasi nampak dari latar, jalan cerita,
pemilihan warna, properti, ekspresi wajah dan aktifitas yang
dilakukan model tersebut. Peneliti menyimpulkan bahwa iklan ini
menyuguhkan masalah yang dihadapi oleh perempuan di
perkotaan. Proses menjadi perempuan “ideal” masa kini
membutuhkan waktu, dimana meskipun dibilang menjadi model
yang sukses, ia menghadapi tekanan masalah dalam
hubungannya. Meskipun pada akhirnya ia dapat menyelesaikan
masalah tersebut dan berdamai dengan pasangannya.
Representasi female-masculinity dilekatkan lewat gestur,
jalan cerita, lokasi, ekspresi wajah, properti, kepemilikan benda
dan pemilihan warna. Lewat hal tersebut, peneliti dapat melihat
mitos dalam iklan ini. Penekanan tersebut ialah meskipun
memiliki sikap ataupun sifat maskulin, perempuan tetap terikat
dengan stereotip feminitas.

424
Kesimpulan
Dalam iklan ini, pengiklan mencoba untuk
mengkonstruksikan citra perempuan yang “ideal” masa kini.
Perempuan yang “ideal” tak lagi dalam hal domestik dan bentuk
fisik, namun mereka yang berhasil menggabungkan nilai
feminitas dan maskulinitas menjadi padu padan (Wood, 2007).
Dengan pendekatan perempuan urban, strategi iklan ini
yaitu masalah perempuan di perkotaan saat ini. Pesan yang
ingin disampaikan adalah parfum Chanel No.5 cocok digunakan
bagi perempuan “aktif” dimanapun dan kapanpun dalam
berbagai situasi. Secara keseluruhan, ikan parfum Chanel No.5
versi “The One that I Want (2014)” memberikan gambaran
bahwa perempuan belum sepenuhnya lepas dari stereotip
feminitas, meskipun ia memiliki berbagai macam karakter
maskulinitas dalam dirinya lewat makna denotasi dan konotasi
yang telah peneliti telaah.

Daftar Pustaka
Disalvatore (2010). Portrayal of Women in Advertising. Diakses
pada 9 September 2015 dari
http://ellendisalvatore.weebly.com/uploads/1/1/9/9/11996
502/research_paper_revised_women_in_adv.pdf

425
Halberstam, J. (1998). Female Masculinity. London: Duke
University Press
Hall, S. (2002). Representation: Cultural Representation and
Signifying Practices. London: Open University
Hautala, H. (2011). “The Glamorous Life of Chanel No.5: A
Contribution to the Theory of Glamour”.Stockholm:
Stockholm University
Jacobson, M. F. (1995). Sexism and Sexuality in Advertising,
Marketing Madness: A Survival Guide for a Consumer
Society. Boulder, Co: Western Press, pp. 74-87
Kilbourne, J. (1999). Can’t buy my love: How advertising
changes the way we think and feel. New York: Simon and
Schuster
Moses, A. & Charles, M. (2014). International Journal of
Management Sciences Vol. 4, No. 1, 2014, 25-34 Sex as
an Advertising Appeal: A Review of Its Ethical Basis,
Functions and Effects
Perez, N.P. (2013). Roles of women in advertising: The
objectification of women and the shift to an empowering
ad frame.
http://repositories.lib.utexas.edu/handle/2152/22407
Piliang, Y.A. (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies
Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra

426
Poedjianto, S.A. (2014). Representasi Maskulinitas Laki-Laki
Infertil Dalam Film Test Pack Karya Ninit Yunita.
Universitas Airlangga, Surabaya
Putranto, I.H. (2013). Pergeseran Representasi Maskulin-
Feminim dalam Iklan di Indonesia. Universitas Airlangga,
Surabaya
Reichert, T. (2003). The Erotic History of Advertising. Amherst,
N.Y.: Prometheus Books
Sobur, A. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Stankiewicz, & Rosselli. (2008). Women as sex objects and
victims in print advertisement. A Journal of Research, Sex
Roles, 58(7): 579-85.
Wood. J.T. (2007). Gendered Lives 7th Edition (Communication,
Gender, and Culture). Stamford: Thomson Wadsworth

*) Mahasiswa Magister Media dan Komunikasi, Universitas


Airlangga

427
Reception Analysis Penonton Televisi terhadap Peran dan
Figur Suami dalam Tayangan Sinetron Indonesia

Riasita Biantiara Lestari*

Pendahuluan
Secara harafiah, jenis kelamin dan gender individu adalah
dua hal berbeda. Jenis kelamin didefinisikan berdasarkan unsur
dan organ bilogis, sedangkan gender merupakan hasil
konstruksi sosial dan psikologis (2007: 20). Pada praktiknya jenis
kelamin dan gender cenderung disamaratakan, pria seharusnya
maskulin dan wanita juga seharusnya feminim. Menurut Douglas
Kellner (1995), budaya media dianggap ikut menyediakan dan
membentuk makna atas gender dan figur pria, wanita, hingga
hubungan keduanya yang pantas dilakukan (dalam Wood, 2007:
256).
Salah satu tayangan televisi yang menjadi perhatian
cultural studies, ialah opera sabun. Menurut Geraghty (1991),
opera sabun di Amerika kerap mengadopsi model patriarkal
yang terpusat pada laki-laki untuk mempertahankan keutuhan
keluarga di tengah krisis (dalam Barker, 2013: 283). Tayangan
sinetron cenderung merepresentasikan lelaki memiliki peran
mendominasi terutama terhadap wanita sebagai pihak

428
tersubordinasi. Tidak terkecuali Indonesia, representasi
demikian marak di sinetron televisi sejak tahun 1980an.
Pada tahun 1989, muncul tayangan drama televisi di
Indonesia berjudul Suami. Digambarkan suami berprofesi
sebagai diplomat dan istri sebagai design interior. Mereka
dikaruniai dua anak dan hidup berkecukupan. Seiring
berjalannya waktu, suami merasa kehilangan jati diri sebagai
kepala keluarga yang seharusnya menafkahi, berkarir bagus,
dan dilayani istri. Ia merasa istrinya terlalu mandiri dan lebih
berperan dalam menyokong perekonomian keluarga. Hingga
suami bertemu dengan wanita lain dan menjalin hubungan
khusus, dengan dalih merasa lebih berarti dan dibutuhkan oleh
wanita tersebut. Akhir cerita, kuasa tetap berada pada suami
karena istri menuruti suaminya dengan alasan cinta. “Gambar
hidup” ini merepresentasikan wanita atau istri tetap menjadi
mahluk emosional dan tidak rasional meskipun cerdas (dalam
Ibrahim dan Suranto, 1998: 225-226).
Di samping itu, sinetron “Tetangga Masa Gitu” dan
“Preman Pensiun” menampilkan representasi lain peran suami
dalam rumah tangga. Peneliti berasumsi bahwa suami
seharusnya menjadi kepala rumah tangga yang mengayomi dan
berwibawa sehingga mampu memberikan contoh positif bagi
keluarga maupun lingkungan sosialnya. Untuk mendapatkan
data yang diharapkan, peneliti melakukan Focus Group

429
Discussion (FGD) yang dilengkapi depth interview terhadap 7
partisipan, yaitu 4 orang pria dan 3 orang wanita yang memiliki
latar belakang etnis, pendidikan, pekerjaan, agama dan usia
pernikahan berbeda namun sama-sama mengonsumsi tayangan
tersebut. Penelitian secara kualitatif dengan metode reception
analysis ini diharapkan dapat membantu peneliti dalam
mengeksplorasi pemaknaan dan pemahaman penonton akan
peran dan figur suami melalui sinetron “Tetangga Masa Gitu” dan
“Preman Pensiun”.

“Tetangga Masa Gitu?” dan “Preman Pensiun”


“Tetangga Masa Gitu?” adalah program hiburan NET TV
yang tayang mulai tahun 2014 hingga kini memasuki season 3
dan sinetron “Preman Pensiun” merupakan program RCTI yang
tayang mulai tahun 2015 hingga memasuki season 3. “Tetangga
Masa Gitu?” menampilkan dua pasangan suami istri
bertetangga. Pasangan Adi-Angel sudah menikah selama 10
tahun dan Bastian-Bintang baru menikah beberapa hari.
Tayangan tersebut membahas masalah sederhana dalam
keseharian keluarga, tetangga dan lingkungan sekitar (2014:
alinea 1).
Digambarkan sosok Adi berprofesi sebagai seniman
namun suka bermalas-malasan. Selain mendapatkan uang saku
dari Angel yang berprofesi sebagai lawyer, segala kebutuhan
rumah tangga pun dibebankan kepada Angel. Bastian sebagai
430
suami yang bekerja di suatu event organizer, beristri Bintang
perempuan cerdas lulusan Harvard University yang menjadi ibu
rumah tangga dan tidak pandai memasak.
Sinetron “Preman Pensiun” menampilkan sisi lain
kehidupan preman. Bahar, memilih berhenti sebagai kepala
preman semenjak istrinya meninggal. Ketika itu istrinya berkata
akan menunggunya di surga. Bahar seketika berpikir bagaimana
mungkin ia dapat masuk surga jika masih berprofesi sebagai
kepala preman. Niatnya untuk berhenti tidak lantas mudah,
karena dikuatirkan dapat menimbulkan kekacauan di kalangan
preman-preman yang dibawahi.
Diceritakan salah satu preman, kang Mus, menjadi lebih
sejahtera setelah menggantikan posisi Bahar yang kini berpikir
keluarga adalah yang terpenting setelah resmi mengundurkan
diri sebagai pimpinan preman (2012: alinea 1-3). Konflik sosial
bertambah ketika obsesi memperebutkan kekuasaan preman
menjadi tujuan beberapa preman. Konflik internal juga, ketika
anak Bahar berusaha mencari tahu tentang profesinya. Preman
lain pun memiliki keluarga yang harus dinafkahi. Dilema suami
sekaligus ayah membahagiakan keluarganya, berjalan seiring
dengan profesi preman yang jika ditinggalkan atau tidak sama-
sama memiliki resiko tersendiri. Secara garis besar kedua
sinetron memiliki kesamaan, yaitu menampilkan peran dan figur

431
suami sebagai kepala keluarga yang memiliki konflik tersendiri,
sudah ataupun belum memiliki anak.

Khalayak Aktif dan Reception Analysis


Menurut Morley (1992) serta Seiter dkk (1989), reception
analysis merupakan bentuk modern dari cultural studies.
Pembaca atau penonton lebih berperan dalam memaknai teks
media. Mereka secara sadar memiliki kekuatan dalam
memahami sekaligus menolak makna dominan dan hegemonik
yang ditampilkan oleh media massa (dalam McQuail, 1997 :19).
Studi reception analysis melihat, penonton atau pembaca aktif
memiliki kemampuan dan kuasa untuk menentukan makna
seperti apa yang ia pahami. Kemampuan tersebut tidak sama
antar khalayak aktif satu dengan lainnya, karena latar belakang
mereka juga berbeda.
Dalam kajian media dan Cultural Studies, istilah khalayak
digunakan untuk orang-orang yang menyaksikan suatu tontonan
atau tayangan di televisi. Disebut sebagai khalayak aktif, ketika
khalayak yang mengonsumsi film atau drama seri memiliki
otonomi untuk memproduksi sekaligus mereproduksi makna
yang ada pada tayangan tersebut (2014: 161).
Menurut Ida, analisis resepsi khalayak merupakan
pemahaman akan proses pembuatan makna yang dilakukan
audiens ketika mengonsumsi tayangan sinema atau program

432
film seri televisi. Analisis tersebut berfungsi sebagai proses untuk
melihat dan memahami respon, penerimaan, sikap, serta makna
yang diproduksi oleh penonton terhadap isi tayangan tersebut
(2014: 161). Dalam hal ini, studi analisis resepsi tayangan
televisi bertujuan penonton sebagai khalayak aktif dapat
menerima, memahami, dan memaknai tayangan media.
Menurut Hall, ada tiga tahapan memaknai wacana televisi.
Pertama, yang ditayangkan dan diproduksi merupakan hasil
makna dan ide yang berasal dari diskursus dalam struktur politik,
sosial, serta budaya pada masyarakat. Realitas yang ada
berusaha di encoding dalam wacana televisi, sehingga posisinya
tetap terpisah dengan realitas sendiri. Ke dua, realitas pada
televisi tidak selamanya merepresentasikan keadaan real
karena terus menerus dimediasi. Makna menjadi bersifat
polisemi, karena apa yang diketahui dan dikonsumsi harus
menjadi bagian dari wacana terlebih dahulu. Ke tiga, khalayak
melakukan decoding atas diskursus dari suatu realitas. Makna
yang dihasilkan merupakan makna diskursus yang sudah
dimediasi, bukan berasal dari peristiwa atau realitas yang
sebenarnya (1980: 128-131).

Hall menambahkan tiga posisi hipotesis dalam melakukan


decoding makna yang ditayangkan televisi. Posisi pertama ialah
dominan-hegemonik, khalayak melakukan decoding secara
penuh dan apa adanya berdasarkan makna yang dihasilkan
433
melalui proses encoding. Apa yang diterima merupakan makna
yang dikehendaki pihak dominan. Ke dua kode dinegosiasikan,
yaitu khalayak melakukan decoding melalui penerimaan
legitimasi kode hegemonik namun dinegosiasi dengan
mengadaptasikannya pada situasi tertentu. Ke tiga posisi kode
oposisional, biasanya khalayak memahami encoding pada
televisi namun juga melakukan decoding berdasarkan referensi
alternatif (1980: 136-138).
Khalayak melakukan decoding melalui beragam posisi
yang berbeda satu sama lain. Sebagai pihak aktif, ada kapasitas
untuk memaknai dan mempersepsi tontonan mereka. Konsep
tersebut peneliti anggap sebagai pisau bedah efektif untuk
mengeksplorasi penerimaan khalayak dalam memaknai dan
memahami peran serta figur suami yang direpresentasikan
sinetron “Tetangga Masa Gitu?” dan “Preman Pensiun”.

Peran Gender
Menurut para fungsionalisme, peran gender pada
masyarakat ditentukan dengan alasan efektifitas fungsi peran
dalam menjalankan tugas masing-masing. Wanita pada ranah
domestik, lelaki bekerja mencari nafkah di luar. Wanita boleh ikut
bergabung mengerjakan pekerjaan laki-laki, namun bukan tugas
utama sehingga mereka tetap bergantung pada perlindungan
dan nafkah dari lelaki. Pola tersebut berlangsung dalam jangka

434
waktu lama sehingga terinstitusionaliskan dan sulit untuk diubah.
Dampaknya, muncul anggapan stratifikasi gender berikut
perannya, sudah ditetapkan berdasarkan perbedaan biologis
jenis kelamin (1990: 5).
Jika dilihat dari historisnya, peran gender yang dikotak-
kotakkan tersebut tidak terjadi begitu saja. Sedari lahir, bayi laki-
laki dan perempuan sudah dibedakan berdasarkan atributnya,
merah muda untuk perempuan dan biru untuk laki-laki. Ketika
beranjak balita, permainan yang dikenalkan juga berbeda,
boneka untuk perempuan dan mobil untuk laki-laki.
Begitu pula dengan personality masing-masing individu,
juga dibentuk berdasarkan gendernya. Dalam hal ini sosialisasi
memiliki peran utama karena merupakan proses individu
mempelajari budaya dan mempersiapkan diri menjadi anggota
masyarakat yang bermanfaat. Budaya ialah cara menjalani hidup
yang ditetapkan oleh masyarakat. Budaya kita sendiri kembali
memiliki ekspektasi dan aksi yang dibedakan berdasarkan
gender (Lindsey, 1990: 37). Aspek sosial dalam masyarakat
kompak mengatur individu ke dalam peran gendernya.
Ketetapan dan ekspektasi yang ada seolah menunjukkan
bahwa, berperilaku dan berperanlah sedemikian agar sesuai
dengan standar mayoritas individu jika ingin mengalami proses
sosialisasi yang sama pula.

435
Peran Suami berdasarkan Aturan Agama
Salah satu resepsi yang dipahami oleh partisipan ialah,
aturan agama sebagai dasar untuk menentukan sekaligus
menilai peran suami di dalam keluarga seperti apa. Dari “Preman
Pensiun”, partisipan E melihat suami awalnya tidak baik dan
ditakuti, pada akhirnya bertaubat. Proses dari tidak baik menjadi
baik di situ menjadi perhatian utamanya. Ia menyampaikan
bahwa di dalam kitab Al Qur’an, taubat merupakan hal yang
disukai, diperintahkan dan dijanjikan Allah mendapat gantinya
berupa rejeki yang tidak disangka-sangka. Anjuran tersebut di
antaranya terdapat di dalam surat Nuh:10-13, Al Qasas: 50 dan
Taha: 124-127.
Pada “Tetangga Masa Gitu?”, hubungan yang ditampilkan
juga mencerminkan adanya anjuran rasulullah salallahu’alaihi
wassalam dalam salah satu haditsnya. “Jika kamu membenci
istrimu karena perkara yang ini, maka hendaknya kamu lihat
perbuatan istrimu yang kamu sukai”. Di situ hubungan suami-istri
tidak lepas dari perselisihan namun selalu menemukan jalan
tengah. Menurutnya, hubungan suami-istri dalam tayangan
tersebut secara tidak langsung mencerminkan ajaran agama
untuk saling memaafkan. Ia menyayangkan tidak adanya unsur
atau kegiatan agama yang ditampilkan kedua sinetron terutama
yang dicontohkan oleh suami, sehingga dinilai suami memiliki
kekurangan sebagai pemimpin.

436
Menurut Hall ada tiga posisi dalam melakukan decoding
makna televisi. Pertama dominan-hegemonik, khalayak
melakukan decoding secara penuh dan apa adanya berdasarkan
makna yang dihasilkan melalui proses encoding. Ke dua kode
yang dinegosiasikan, khalayak melakukan decoding melalui
penerimaan legitimasi kode hegemonik namun dinegosiasi
dengan mengadaptasikan pada situasi tertentu. Ke tiga posisi
kode oposisional, khalayak memahami encoding pada televisi
namun juga melakukan decoding berdasarkan referensi
alternatif (1980: 136-138).
Partisipan E melakukan resepsi melalui posisi kode yang
dinegosiasikan. Ia menerima makna yang direpresentasikan
kedua sinetron namun juga menegosiasikannya dengan
pengalaman dan latar belakang yang dimiliki. Pertama pada
“Preman Pensiun”, ia menyetujui bahwa preman merupakan
jenis pekerjaan buruk berdasarkan agama. Akan tetapi ia juga
melihat bahwa usaha dan proses para preman untuk bertaubat
perlu diapresiasi, karena berdasarkan aturan agama yang
diyakininya menganjurkan bertaubat bagi setiap manusia.
Ke dua pada “Tetangga Masa Gitu?”, ia mengakui suami
digambarkan memiliki kekurangan terutama dalam menafkahi
keluarga. Tetapi di sisi lain sikap suami-istri yang selalu saling
memaafkan dan memahami, dianggap sesuai dengan perintah
Allah subhanahuwata’ala. Anjuran agama tercermin pada

437
sinetron tersebut, dikatakan menjadi sisi positif yang dapat
dicontoh kehidupan sehari-hari, khususnya bagi suami-istri.
Makna dan pesan yang dekat dengan anjuran agama pada
kedua sinetron berada pada makna yang ia pahami, bukan
berada pada gambaran langsung melalui televisi. Partisipan E
sebagai khalayak aktif mampu memilih sendiri cara memaknai
representasi televisi dan menentukan berdasarkan apa makna
tercipta. Dalam hal ini ia merefleksikan latar belakang
kehidupannya sebagai dosen dan guru mengaji, sehingga selalu
menukil ayat atau riwayat agama yang diketahuinya baru
kemudian mengutarakan pendapatnya. Ia berpedoman pada
dasar nilai agama, sehingga keputusan untuk setuju maupun
menolak makna representasi suami juga menggunakan acuan
agama.

“Real” vs “Unreal”
Partisipan E mengakui pada kedua sinetron terdapat
gambaran peran suami yang dipertanyakan. Dalam “Preman
Pensiun”, tidak hanya preman, namun setiap manusia tentu
memiliki karakter yang berbeda, ada yang baik dengan keluarga,
ada juga yang tidak. Di situ direpresentasikan sosok preman
yang baik terhadap keluarganya. Semestinya, sosok berbeda
juga ditampilkan agar cerita terkesan lebih alami sesuai dengan
kenyataan dan tidak terlalu ala sinetron. Begitu juga “Tetangga
Masa Gitu?”, semestinya perlu ditampilkan figur keluarga yang
438
lebih baik juga. Adi-Angel dan Bastian-Bintang
merepresentasikan keluarga yang sama-sama tidak baik. Bagi
partisipan E, keluarga yang baik memiliki didikan agama di
dalamnya, terutama dicontohkan oleh suami.
Kemudian partisipan G, menurutnya di “Tetangga Masa
Gitu?” Adi digambarkan sebagai suami yang aneh karena sifat
dan sikapnya sangat jauh dari sosok lelaki. Jika sudah menjadi
suami, seharusnya memiliki penghasilan, gentle, dan
berwibawa. Sebaliknya, Adi digambarkan suka merajuk dan
cengeng. Ia meragukan adakah wanita dalam kehidupan nyata
yang mau memiliki suami seperti Adi. Demikian juga di “Preman
Pensiun”, preman digambarkan garang dan ditakuti, namun di
satu sisi juga berhati lembut terhadap keluarganya. Ia
meragukan hal tersebut ada pada kehidupan nyata, karena dua
sifat yang sangat bertolak belakang terkesan aneh di dalam satu
diri manusia.
Ke tiga partisipan F, melihat adanya unsur hierarki pada
tingkatan preman yang diperankan oleh para suami di “Preman
Pensiun”. Hierarki yang dimaksud ialah cara kerja atau sistem
para preman nampak seperti pada dunia militer sesungguhnya
yang mengangkat hierarki kepemimpinan, sehingga anak buah
menjadi sangat patuh pada atasannya. Preman-preman terlihat
memiliki tanggung jawab tersendiri, di mana dapat dibedakan
mana urusan pekerjaan dan mana urusan keluarga. Berbeda

439
dengan “Tetangga Masa Gitu” yang disangsikannya. Pasangan
muda tidak nampak memiliki pekerjaan jelas namun atribut dan
identitas yang melekat sangat mapan, yaitu rumah besar,
perabotan bagus, dan mobil.
Menurut Morley (1992) serta Seiter dkk (1989), dalam
analisis resepsi penonton lebih berperan memaknai teks media.
Mereka secara sadar memiliki kekuatan dalam memahami
sekaligus menolak makna dominan dan hegemonik yang
cenderung ditampilkan media massa (dalam McQuail, 1997 :19).
Begitu juga dengan partisipan E dan G yang melihat bahwa
representasi suami di kedua sinetron cenderung tidak sesuai
kenyataan, namun partisipan F justru menilai ada gambaran
yang sesuai dengan kehidupan nyata dan ada pula yang terlihat
mengada-ada.
Partisipan E menyadari sosok suami di “Preman Pensiun”
tidak sepenuhnya sesuai realita. Berdasarkan pengalamannya di
masyarakat langsung, preman tidak selamanya memiliki niat
positif bagi keluarga melainkan ada pula yang justru merugikan
keluarganya sendiri. Penggambaran berbunga-bunga tersebut
dinilainya sebagai sosok suami sekaligus preman unreal,
sehingga terkesan hanya ada di sinetron belaka. Pada
“Tetangga Masa Gitu?”, penggambaran suami dianggap kurang
sesuai dengan kenyataan. Ia melakukan penolakan makna yang
ditampilkan media televisi mengenai representasi suami di

440
dalam keluarga tersebut karena pada kenyataannya ada
keluarga yang baik karena peran suami yang juga lebih baik.
Selanjutnya partisipan G juga mampu menentukan makna
seperti apa yang ia pahami. Preman biasanya sosok garang
yang pemarah, sehingga sulit mengontrol dirinya sendiri. Namun
ketika berhadapan dengan keluarga, ia berubah menjadi begitu
lembut. Partisipan G memposisikan diri sebagai suami yang
berpenghasilan tetap dan tidak memiliki perbedaan sikap ketika
bekerja atau di rumah. Ditambahkan pada “Tetangga Masa
Gitu?”, sudah sewajarnya suami bersifat tegas, wibawa, dan
tidak cengeng. Ketika di situ sosok suami berlawanan, ia ragu
dan melihat adanya ketidakmungkinan.
Selanjutnya, latar belakang sebagai purnawirawan TNI-AL
membuat partisipan F melihat ada kesamaan pada peran suami
di “Preman Pensiun”, dimana terlihat hierarki yang seolah sudah
terstruktur dengan rapi. Televisi sebagai media yang memuat
tayangan sinetron, merupakan hasil dari budaya pop yang
banyak merefleksikan sekaligus mengkonstruksi peristiwa
sosial, budaya, politik, dan ideologi pada masyarakat. Refleksi
kesamaan pada lingkup lain masyarakat, menjadi sisi real atas
pemaknaan yang dilakukan. Sebaliknya, kesan unreal muncul
pada “Tetangga Masa Gitu?”. Partisipan F menilainya janggal
karena pada kenyataannya orang, terlebih suami, yang tidak
terlalu banyak bekerja dan berkarya tentu penghasilan dan

441
keadaan ekonomi keluarganya juga tidak terlampau istimewa.
Penggambaran gaya hidup yang tidak sepadan, dinilai tidak
sesuai kenyataan.

Stereotipe Peran Suami berdasarkan Gender Role


Beberapa partisipan menyebutkan peran suami di dalam
sinetron nampak tidak sesuai dengan peran gender selama ini
yang sudah menjadi acuan masyarakat, terutama di “Tetangga
Masa Gitu?”. Partisipan F menilai peran gender lelaki sebagai
kepala keluarga tidak terlihat pada sosok suami, yaitu Adi. Ia
tidak memberi nafkah dan kekanakan. Perannya yang tidak
bertanggung jawab lahir batin dan tidak berwibawa, dianggap
sebagai hal yang tidak pantas dimiliki suami sebagai laki-laki.
Ke dua partisipan G, menilai bahwa tanggung jawab suami
sebagai pemenuh kebutuhan nafkah merupakan hal wajib.
Begitu juga dengan karakter dewasa dan berwibawa, harusnya
dimiliki pula oleh suami. Dalam sinetron tersebut, suami sering
diperlihatkan memiliki sifat kekanakan dan lebih bergantung
pada istrinya.
Demikian juga beberapa partisipan wanita. Menurut
partisipan C istri berjuang membanting tulang di luar sedangkan
suami banyak menghabiskan waktu di rumah. Hal tersebut tidak
pantas, karena bagaimanapun juga laki-laki harus keluar dan
wanita di rumah. Ia khawatir ada tindakan sewenang-wenang
dari istri apabila suami tidak lebih pintar atau berhasil darinya.
442
Selanjutnya partisipan B menilai, suami digambarkan
sebagai sosok yang banyak beraktifitas di dalam rumah, tidak
banyak mencari nafkah, serta penghasilan utama berasal dari
istri. Istri justru berkarir bagus dan cenderung lebih memiliki
wewenang dalam keluarga. Pasangan kerap terlibat dalam
konflik kecil namun selalu berdamai. Sifat saling mengerti dan
memaafkan harus dimiliki oleh sepasang suami-istri, namun
jangan melupakan tanggung jawab dan peran utama masing-
masing. Pemakluman secara terus menerus itu dianggapnya
sebagai sikap yang tidak pada tempat dan porsinya.
Dalam hal ini para partisipan menilai bahwa peran atau
karakter yang melekat pada diri suami harus disesuaikan pula
dengan jenis kelamin yang dimilikinya. Lahir dan tumbuh secara
biologis sebagai laki-laki kemudian menjadi suami, dianggap
sebagai kesatuan paket dengan sikap, peran dan karakter yang
sepatutnya mengikuti juga. Di tengah masyarakat dan
berdasarkan refleksi pengalaman pribadi, partisipan
menganggap bahwa suami istri merupakan perwakilan dari pria
wanita yang sudah ada peran dan tugasnya masing-masing.
Mereka memahami Adi sebagai suami tidak berhasil
mewakili pria dan sosok suami yang sudah ditentukan tugas
bakunya apa saja. Semua partisipan di atas menolak konstruksi
televisi melalui proses kode oposisional. Pria identik pada ranah
bekerja di luar dan wanita pada ranah domestik. Ketika Adi

443
berada pada ranah domestik terlebih dalam konteks suami-istri,
dianggap sebagai hal yang tidak disetujui karena dinilai tidak
sesuai dengan jalur yang selama ini sudah ada. Hal itupun
berujung kepada sosok suami yang semakin dianggap tidak
bertanggung jawab dan tidak mencerminkan jiwa laki-laki. Begitu
juga dengan karakternya yang kekanakan, manja, bahkan
cenderung tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri, dianggap
tidak sesuai dengan peran gender pria seharusnya. Dengan kata
lain beberapa partisipan di atas sepakat bahwa peran Adi tidak
sesuai dengan gender yang dibawanya, yaitu seorang suami
sebagai perwakilan dari pria, dianggap lebih pantas bersifat
dewasa, tegas, dan bisa diandalkan.

Kesesuaian dengan Kriteria Suami Ideal


Pertama partisipan E, lebih memaklumi sosok suami di
sinetron “Preman Pensiun” dibandingkan “Tetangga Masa
Gitu?”. Tanggung jawab yang sepatutnya dilakukan suami
sebagai salah satu standar ideal, tidak tampak pada diri Adi.
Tanggung jawab yang dimaksud merujuk pada nafkah utama
untuk keluarga, jiwa kepemimpinan, dan wibawa yang bisa
membuat istri dapat selalu mematuhi dan mengandalkan
suaminya sendiri. Ia bandingkan dengan peran suami di
“Preman Pensiun”, sudah berusaha untuk tetap bertanggung

444
jawab dan bersifat berani sehingga nampak lebih memiliki
wibawa.
Partisipan F menyampaikan pada “Tetangga Masa Gitu?”,
Adi memiliki fisik gagah namun bertolak belakang dengan
sifatnya yang manja dan suka merajuk. Di “Preman Pensiun”,
disayangkan suami menyembunyikan profesinya dari orang
terdekat yaitu keluarga. Dalam satu keluarga tidak boleh ada
kebohongan. Jujur terkadang dapat mengecewakan, namun
tetap harus diutamakan terutama dalam hubungan suami-istri.
Ke tiga, partisipan G mengatakan bahwa suami ideal
seharusnya bisa menjadi partner atas istrinya. Disebut dengan
partner karena diharapkan mampu bekerja sama dan saling
memahami. Tidak ada yang lebih atau siapa melayani siapa.
Suami-istri merupakan tim yang memiliki satu tujuan dan
kepentingan, sehingga apapun akan dilakukan demi kebaikan
bersama. Di “Tetangga Masa Gitu?”, Adi sebagai suami
bergantung pada istri terutama dalam hal nafkah sehingga
terkesan tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri. Suami
cenderung mendapatkan keuntungan, sebaliknya istri lebih
banyak berbuat untuk suami. Suami-istri tidak menjadi partner
yang saling bekerja sama karena berat sebelah tidak sepadan.
Di “Preman Pensiun”, jenis pekerjaan suami merugikan orang
lain. Tanggung jawab kepada keluarga perlu diapresiasi, namun

445
profesinya yang meresahkan tidak ideal karena suami-istri
hendaknya saling menciptakan rasa nyaman dan aman.
Hanya satu yaitu partisipan D sebagai suami yang
mengungkapkan bahwa tidak ada kriteria khusus suami ideal. Ia
sependapat dengan berbagai kekurangan suami yang
digambarkan kedua sinetron. Menurutnya, semua manusia
termasuk suami, memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-
masing. Setiap kekurangan pada diri pasangan, hendaknya
disyukuri oleh pasangannya agar hubungan menjadi lebih erat
sekaligus berwarna.
Sebagai khalayak aktif, partisipan E memaknai peran
suami pada posisi kode oposisional. Di “Tetangga Masa Gitu?”,
salah satu kriteria utamanya suami ideal ialah bertanggung
jawab terhadap keluarga terutama di ranah ekonomi. Berlatar
belakang sebagai suami bekerja dengan istri sebagai ibu rumah
tangga atas empat orang anak, membuatnya tidak kesulitan
membagi tugas atau peran suami-istri. Ia bekerja mencari nafkah
secara penuh di luar, sedangkan istri pada ranah domestik.
Sistem pembagian tersebut dianggapnya wajar dan sudah
memenuhi tugas masing-masing. Pada “Preman Pensiun”,
suami memiliki pekerjaan yang merugikan namun di sisi lain
masih bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga. Sikap
tersebut membuat suami terlihat mendapat pemakluman. Ia

446
seolah lebih mengedepankan tanggung jawab sebagai sebagian
karakter yang harus dimiliki suami ideal.
Begitu pula partisipan F, di “Tetangga Masa Gitu?” sifat
manja dan suka merajuk diakui tidak sesuai dimiliki seorang
suami. Ia memaknainya pada posisi kode oposisional.
Merefleksikan sebagai seorang kepala keluarga yang sudah
lebih dari 30 tahun dengan pekerjaan tetap sebagai tentara,
membuatnya beranggapan bahwa suami seharusnya menjadi
tulang punggung utama, mampu melindungi, dan menjadi contoh
bagi keluarganya. Ketika sosok suami direpresentasikan secara
berlawanan, ia memilih untuk menolak representasi tersebut.
Kemudian di “Preman Pensiun”, ia menolak suami yang terkesan
tidak jujur dan terbuka kepada keluarga, terutama istri. Ia
menyayangkan sikap suami yang memilih untuk menutupi
pekerjaan sebenarnya dari keluarga.
Ke tiga, partisipan G memilih melakukan pemaknaan
melalui posisi kode oposisional pula. Di “Preman Pensiun” tidak
ada rasa aman dan nyaman yang diberikan oleh suami untuk
keluarga dan di “Tetangga Masa Gitu?” juga proses take and
give suami-istri tidak seimbang. Berlatar belakang suami-istri
dual earner, ia merasa bisa menjadi partner bersama istri.
Keduanya sama-sama bekerja, sehingga ketika pulang ke rumah
saling membantu mengerjakan pekerjaan rumah lainnya.

447
Ketiganya berbeda dengan partisipan D yang justru
memilih proses dari kode yang dinegosiasikan. Ia menganggap
peran suami di kedua sinetron menunjukkan keunikan rumah
tangga. Di “Preman Pensiun”, suami sudah memberikan contoh
baik dengan memiliki niat positif dan tulus demi keluarga. Mereka
rela berkorban demi memenuhi kebutuhan dan membahagiakan
keluarganya masing-masing. Di “Tetangga Masa Gitu?”, ia
menilai suami yang tidak memberi nafkah dapat menjadi salah
satu sumber masalah. Akan tetapi pada praktiknya, istri bisa
menerima dan memahami meskipun dibumbui konflik. Prediksi
yang berbeda dengan gambaran sinetron dinilai sebagai hal
yang bisa saja terjadi. Peneliti melihat bahwa baginya tidak
banyak yang dapat disalahkan dari sosok Adi, karena jika rumah
tangga tetap bisa baik-baik saja maka ada pengertian dan
kesepakatan di dalamnya.
Beralih ke wanita yaitu partisipan A, B dan C. Di “Tetangga
Masa Gitu?”, sepakat memaknainya berdasarkan posisi kode
oposisional. Sama-sama menyebutkan tanggung jawab secara
garis besar sebagai salah satu kriteria utama suami yang ideal.
Mereka melihat suami yang lebih banyak menghabiskan waktu
di rumah, bergantung secara finansial kepada istri, dan tidak
dapat menjadi pemimpin yang tegas, dinilai jauh dari kesan ideal.
Konstruksi figur suami demikian tidak sesuai dengan yang ada
di masyarakat. Ketiganya menolak makna yang

448
direpresentasikan karena tanggung jawab suami sebagai kriteria
utama, tidak terlihat di dalamnya.
Pada “Preman Pensiun”, mereka memilih memaknai
melalui proses kode yang dinegosiasikan. Peran suami yang
direpresentasikan masih mencerminkan salah satu karakter
suami ideal karena adanya sikap melindungi dan bertanggung
jawab secara finansial terhadap keluarga. Akan tetapi jenis
profesi yang dipilih tidak dapat ditoleransi karena tidak halal dari
segi agama. Sederhananya, bertanggung jawab secara materil
non materil, bisa menjadi pemimpin yang memberi contoh baik,
dan memiliki pekerjaan halal, merupakan kriteria utama yang
harus dimiliki oleh suami jika ingin dikatakan ideal.

Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang masing-masing partisipan,
terdapat pola yang cukup berbeda antara partisipan pria dan
wanita dalam melakukan resepsi. Masing-masing kerap
merefleksikan representasi peran suami di kedua sinetron
dengan kehidupan dan identitas pribadinya yang berbeda-beda,
baru memaknai apakah sesuai sehingga setuju atau berlawanan
sehingga menolak. Oleh sebab itulah pemahaman dan
pemaknaan yang disampaikan juga beragam.
Berdasarkan keberagaman tersebut, peneliti menangkap
beberapa aspek yang dimaknai para partisipan atas peran suami
di kedua sinetron. Pada “Preman Pensiun”, agama sebagai
449
pedoman, kedekatan representasi peran suami dengan
kenyataan, dan kesesuaian representasi peran suami dengan
kriteria ideal masing-masing, menjadi unsur-unsur yang
dipahami. Hal itu berbeda dengan “Tetangga Masa Gitu?”,
bahwa agama sebagai pedoman, kedekatan representasi peran
suami dengan kenyataan, stereotype peran gender di
masyarakat, serta kesesuaian representasi peran suami dengan
kriteria ideal masing-masing partisipan, menjadi unsur-unsur
yang dipahami atas peran suami.
Selain itu, kerangka pemikiran, aturan agama, stereotype
peran gender di masyarakat, hingga ekspektasi pribadi masing-
masing suami-istri yang mereka nilai, menjadi rentetan yang
menuju pada kriteria suami seperti apa yang dianggap ideal.
Secara garis besar partisipan masih terpengaruh oleh aturan
agama dan stereotype peran gender di masyarakat dalam
menentukan kriteria tersebut. Keduanya tidak dapat ditinggalkan
penonton sebagai salah satu tolak ukur penting dalam
menentukan seperti apa kriteria suami ideal yang dikatakan
meliputi bertanggung jawab secara materil non materil, bisa
menjadi pemimpin yang memberikan contoh baik, berwibawa
dan memiliki pekerjaan halal.

450
Daftar Pustaka
Barker, Chris. 2013. Cultural Studies: Teori & Praktik.
Yogyakarta: Kreasi Wacana
Hall, Stuart. 1980. Encoding/Decoding in Television Discourse,
dalam Stuart Hall, dkk. Cultural, Media, Language.
London: Hutchinson
Ibrahim, Idi Subandy dan Suranto, Hanif. 1998. Wanita dan
Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik
Orde Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Ida, Rachmah. 2014. Metode Penelitian: Studi Media dan Kajian
Budaya. Jakarta: Prenada Media Group
Lindsey, Linda L. 1990. Gender Roles: A Sociological
Perspective. New Jersey: Prentice-Hall Inc
Livingstone, Sonia. 2000. Television and The Active Audience.
Manchester: Manchester University Press
McQuail, Denis. 1997. Audience Analysis. California: SAGE
Publication,Inc
Rowatt, G. Wade dan Rowatt, Jr Mary Jo. 1990. Bila Suami Istri
Bekerja. Yogyakarta: Kanisius
Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop.
Yogyakarta: Jalasutra
Wood, Julia T. 2007. Gendered Lives: Communication, Gender
and Culture. Belmont: Thomson Wadsworth

451
Website. (Tanpa Nama). 2012. “Preman Pensiun” dalam Drama
& Movies.
http://www.rcti.tv/program/view/495/PREMAN%20PENSI
UN (29 November 2015)
(Tanpa Nama). 2014. “Tetangga Masa Gitu?” dalam NET
Televisi Masa Kini.
http://www.netmedia.co.id/program/108/Tetangga-Masa-
Gitu (29 November 2015)

*) Mahasiswa Magister Media dan Komunikasi Universitas


Airlangga Surabaya. Riasita91@gmail.com

452
STUDI ANALISIS RESEPSI KOMUNITAS FUJOSHI
DI SURABAYA DAN SEKITARNYA
TERHADAP GAY RELATIONSHIP DI FILM BARAT

Athiraniday Subagio*

Pendahuluan
Studi ini ingin meneliti tentang penerimaan dan
pemahaman yang diterima oleh para fujoshi, yaitu perempuan
penggemar hubungan gay, terhadap film barat. Fujoshi yang
diteliti berdomisili di Jakarta dan Surabaya, sedangkan film barat
yang digunakan untuk menjadi acuan saat meneliti adalah film
serial Inggris, Sherlock Holmes dan, serta film layar lebar
Amerika, Avengers dan Avengers: Age of Ultron. Hal ini
dilakukan karena peneliti ingin mengetahui penerimaan dan
pemahaman apa yang dimiliki oleh para fujoshi sehingga mereka
bisa mengartikan bahwa perilaku tertentu antar karakter lelaki
yang ada di dalam film barat dianggap sebagai sebuah perilaku
yang mengindikasikan hubungan gay di dalam pandangan
mereka.
Fujoshi sendiri adalah sebuah istilah yang berasal dari
Jepang, dan fujoshi juga dimasukkan ke dalam salah satu bagian
yang berpengaruh dalam fandom gay. Di Indonesia sendiri,

453
istilah fujoshi sudah cukup populer di gunakan, terbukti dengan
banyaknya komunitas fujoshi yang beredar di media sosial, baik
yang skala nasional maupun skala daerah. Contohnya adalah
komunitas Fujoshi Riders Unlimited yang ada di Facebook,
komunitas ini dikhususkan untuk fujoshi dari Indonesia yang
menggemari seri Kamen Rider, ada pula Fujoshi Akut Indonesia
di mana fujoshi dari berbagai macam fandom berkumpul, dan
ada juga yang skalanya lebih kecil, seperti Sherlockian Surabaya
di mana di dalamnya terdapat beberapa fujoshi dari seri Sherlock
Holmes. Fujoshi di Indonesia sendiri juga memiliki grup di media
sosial Facebook dengan nama Fujoshi Independence Day, di
mana dalam grup tersebut, para fujoshi merayakan
dilegalkannya pernikahan LGBT di Amerika dengan melakukan
berbagai macam kegiatan seperti menggambar pasangan favorit
mereka, atau membuat cerita pendek untuk pasangan yang
disukai oleh mereka.
Fujoshi sempat diasosiasikan hanya dengan judul
animasi, komik, atau game dari Jepang saja. Namun seiring
dengan berkembangnya teknologi, judul buatan barat yang
menjadi populer di internet juga menjadi populer di kalangan
fujoshi. Hal ini juga didukung dengan banyaknya film-film barat
populer yang rilis di bioskop Indonesia. Populernya judul barat
ini akhirnya membuat fujoshi yang dulunya hanya identik dengan
perempuan penggemar gay untuk judul Jepang saja, kini mulai

454
merambah ke judul barat, utamanya judul barat yang populer di
Indonesia seperti Sherlock Holmes yang disiarkan di BBC dan
Avengers yang disiarkan di layar lebar.
Penerimaan dan pemahaman yang berbeda dari para
fujoshi ini juga sebelumnya sempat dijelaskan oleh Roland
Barthes dalam In Defence of Realism karya Raymond Tallis (hal.
164, 1998) bahwa:
“Para pembaca adalah sebuah ruang di mana semua
kuotasi yang membentuk sebuah tulisan tertulis tanpa
kehilangan suatu apapun; kesatuan dari sebuah teks tidak
berasal dari teks tersebut berasal, namun dari destinasinya.”
Hal ini menjelaskan bahwa sebuah teks bisa diartikan
berbeda oleh masing-masing orang, karena setiap orang, atau
pembaca, yang menjadi destinasi dari teks tersebut bisa jadi
tidak lagi memiliki pendapat yang sama dengan makna awal dari
teks yang diterima oleh mereka. Fujoshi yang menjadi objek dari
penelitian ini memiliki penemerimaan dan pemahaman bahwa
hubungan antara beberapa adalah hubungan gay. Peneliti
memberikan analisis dari pemahaman dan penerimaan para
fujoshi.
Sherlock Holmes, dan seri Avengers adalah judul yang
populer di kalangan fujoshi, hal ini diketahui karena besarnya
animo fujoshi terhadap kedua judul barat tersebut. Hal ini terbukti
dengan banyaknya merchandise buatan fujoshi yang dijual di

455
konvensi-konvensi pop-culture yang didatangi oleh peneliti sejak
tahun 2013 lalu. Kegiatan para penggemar kedua seri tersebut
pun terlihat cukup aktif di media sosial seperti Tumblr dan
Twitter.

Perkembangan Internet dan Sosial Media Sebagai Media


Untuk Para Fujoshi
Sebagai sebuah media, internet bisa dikatakan hampir tanpa
batas. Akses yang mudah dan koneksi yang cepat membuat
hampir semua orang bisa menikmati internet. Meskipun televisi
masih menjadi salah satu hal yang dikonsumsi secara massal,
tetapi televisi bukanlah media yang rutin dikonsumsi oleh para
fujoshi yang menjadi responden dari penelitian yang dilakukan.
Mereka adalah perempuan yang untuk menghabiskan waktu
mereka dengan mengonsumsi internet, baik itu lewat laptop,
komputer, atapun smart phone milik mereka sendiri, ketika
mengonsumsi acara di televisi pun, mereka cenderung
mengonsumsi hal-hal dari televisi berbayar atau televisi kabel.
Berdasarkan pengamatan peneliti mulai Juli 2015 hingga
April 2016, para fujoshi cenderung kurang perduli dengan isu-isu
yang disampaikan di dalam koran atau televisi, seperti isu politik.
Namun sebaliknya, mereka cukup sensitif terhadap isu-isu
sosial, seperti pembahasan yang cukup marak tentang LGBT
(Lesbian, Gay, Biseksual, Transeksual) yang sempat terkuak

456
pada akhir tahun 2015 hingga Februari 2016. Dukungan fujoshi
Indonesia terhadap gay ditunjukkan dengan adanya forum
bernama Fujoshi Independence Day yang ada di sosial media
Facebook. Meskipun menurut pengamatan peneliti ada
beberapa fujoshi yang tidak setuju dengan adanya pernikahan
sesama jenis di dunia nyata, namun para fujoshi yang
mendukung rela untuk menunjukkan dukungan mereka dengan
membuat forum tersebut.
Di internet, para fujoshi bisa memasuki forum apa saja
yang mereka mau tanpa harus menyuarakan identitas asli
mereka, tidak sedikit dari Fujoshi Independence Day yang
memakai nama samaran di dalam forum tersebut, hal ini
diketahui peneliti karena nama-nama yang mereka gunakan
adalah nama Jepang atau nama singkatan yang mirip dengan
karakter-karakter fiksi populer. Hal ini menandakan bahwa para
fujoshi memang memiliki keinginan untuk merahasiakan
identitas asli mereka kepada publik saat mereka melakukan
kegiatan yang berhubungan dengan penikmatan gay
relationship. Internet, terutama sosial media, telah memberikan
tempat bagi mereka untuk tidak mengungkapkan identitas asli
mereka dan melakukan apapun yang mereka inginkan dengan
identitas samaran tersebut.
Para fujoshi ini memiliki pemahaman tersendiri terhadap
sebuah hubungan antara lelaki, dan mereka pun bisa dikatakan

457
tidak lepas dari pengaruh internet akan hal tersebut. Mengapa
mereka memiliki persepsi tersebut terhadap judul-judul luar,
utamanya judul film barat, dan apakah penerimaan dan
pemahaman yang dimiliki oleh satu fujoshi dengan fujoshi yang
lain benar-benar sama mengenai apa yang menjadi indikasi
hubungan gay dalam sebuah judul inilah yang membuat peneliti
ingin memberikan analisis resepsi dari penelitian yang akan
melibatkan fujoshi tersebut.

Fandom
Fandom adalah sebuah kata yang digunakan untuk
mendefinisikan sebuah subkultur yang terdiri atas penggemar-
penggemar yang dikarakterisasikan dengan adanya perasaan
empati dari para satu penggemar terhadap penggemar lainnya
yang menyukai judul atau karakter atau hubungan antar karakter
yang sama dalam sebuah judul fiksi dan non-fiksi tertentu.
Penggemar yang termasuk sebagai penggemar yang bisa
dikategorikan sebagai salah satu dari anggota fandom ini
biasanya sangat memperhatikan hal-hal kecil yang ada di dalam
judul yang mereka sukai, dan memberikan tidak sedikit dari
waktu, uang, serta tenaga mereka demi judul yang mereka sukai
pula. Istilah ini berbeda dengan fannish yang digunakan untuk
menggambarkan penggemar kasual.

458
Penelitian awal-awal untuk media fandom mengatakan
bahwa para penggemar yang berada di bawah bendera fandom
ini berusaha untuk melawan stigma commodity audience. Para
penggemar yang tidak mau dikatakn sebagai commodity
audience membangun identitas mereka sendiri di dalam media-
media yang mereka konsumsi, dan hal ini dilakukan untuk
menepis stereotip negatif dari mereka yang dikatakan sebagai
konsumen yang pasif, tidak imajinatif, dan tidak berpendidikan.

Pop-Culture
Sebelumnya, istilah ini digunakan pada abad 19 sebagai
sebuah sebutan untuk budaya yang digunakan oleh masyarakat
yang tidak mendapatkan edukasi dan kelas bawah. Kata pop-
culture dulunya digunakan sebagai lawan kata dari official culture
yang mana kultur ini hanya bisa digunakan oleh orang yang
berpendidikan dan kelas lebih tinggi.
Sedangkan pop-culture atau budaya pop sendiri adalah
sebuah definisi untuk budaya yang diproduksi dan dikonsumsi
secara massal, John Storey (1998) dalam bukunya Cultural
Theory and Popular Culture , mendefinisikan bahwa pop-culture
atau budaya pop dapat dilihat sebagai budaya komersil yang
diproduksi secara massal yang mana tujuan dari diciptakannya
budaya ini adalah untuk konsumsi massa.

459
Tentunya, pop-culture ini berkatian dengan film barat
yang kini menjadi populer di kalangan perempuan di Indonesia,
salah satunya adalah kalangan fujoshi tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan
penelitian jenis kualitatif deskriptif dengan data diambil di
lapangan (field). Teknik pengambilan datanya dilakukan dengan
cara Focus Group Discussion atau FGD dengan para fujoshi
yang menjadi subjek dari berbagai kota, peneliti juga akan
melakukan observasi lapangan untuk melihat karya-karya
seperti apa yang sudah berani diperjual belikan di acara-acara
pop culture yang diselenggarakan di Surabaya dan Malang.
Peneliti menggunakan jenis kualitatif karena data yang
dihasilkan oleh penelitian kualitatif adalah data deskriptif, yakni
data yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
yang menjadi subjek FGD peneliti.
Responden terpilih untuk mengikuti Focus Group
Discussion adalah 6 perempuan yang berusia 17 hingga 27
tahun, mereka adalah Tya, Mizo, Gita, Biru, Sasa, dan Lio.
Responden dipilih berdasarkan pengamatan sementara
terhadap responden oleh peneliti dari sosial media Facebook
dan Tumblr serta referensi dari pihak ketiga tentang kegiatan
para responden sebagai fujoshi. Responden semua berjenis
kelamin perempuan dengan umur 17 hingga 27 tahun yang

460
berdomisili di Surabaya dan sekitarnya dan juga mengetahui
bahwa dirinya adalah seorang fujoshi.

Penggunaan Media Sehari-hari Para Fujoshi


Sebelum bisa menjadi seorang fujoshi, tentunya calon
fujoshi memiliki sebuah media yang mereka konsumsi untuk
mencari hal-hal yang berhubungan dengan gay fandom. Sama
halnya dengan semua responden yang ikut di dalam diskusi,
mereka semua mengaku bahwa mereka mengonsumsi media,
terutama sosial media, dengan rutin setiap hari.
Responden semuanya merupakan pengguna aktif media
internet, terkecuali Sasa, semua responden bersedia untuk
mengunduh atau streaming film yang ingin mereka tonton dari
internet. Menurut pengamatan langsung dari peneliti, tidak
semua dari mereka aktif untuk mengunggah status dalam sosial
media yang mereka miliki, Sasa yang pengguna Facebook
sering online tetapi ia jarang mengunggah status, sedangkan
Biru yang menggunakan Tumblr lebih sering melakukan reblog
daripada mengunggah posting tertentu, tetapi Biru mengaku
bahwa ia menggunakan Tumblr dengan rutin. Tumblr adalah
sosial media yang digunakan oleh semua responden, meski
menurut Global World Index atau GWI, Tumblr adalah sosial
media yang paling jarang diakses di kuartal pertama tahun 2015,
para responden mengaku bahwa mereka dapat dengan mudah

461
menemukan hal yang berhubungan dengan gay fandom dari
Tumblr.

Kedekatan Responden Dengan Kultur Fujoshi Dalam


Kehidupan Sehari-hari
Dengan adanya internet, para penggunanya bisa menjadi
dekat dengan hal yang mereka cari. Meskipun tidak bersentuhan
secara langsung, tetapi media internet mampu membuat para
penggunanya mau untuk berbagi mengenai hal-hal yang bahkan
sebenarnya bersifat pribadi bagi mereka, contohnya adalah
preferensi seksual, kehidupan sehari-hari, alamat rumah, dan
lain-lain.
Menurut pengamatan peneliti melalui forum online para
fujoshi responden di Facebook, Twitter, dan Tumblr selama
penelitian berlangsung, para fujoshi yang menjadi responden
memiliki kebiasaan untuk bertindak berbeda di dalam forum,
seperti mengunggah gambar dua lelaki saling melakukan
hubungan seksual hanya untuk berbagi dengan para fujoshi
lainnya, tetapi ada diantara mereka yang tidak melakukannya
sama sekali ketika mengunggah sesuatu di akun asli mereka.
Hal ini bisa dikaitkan dengan pernyataan dari Biru, bagi
perempuan ini, mengaku sebagai fujoshi di khalayak umum
adalah hal yang tidak mungkin ia lakukan karena baginya
menyukai hubungan gay bukanlah sebuah hal yang akan

462
diterima dengan mudah oleh lingkungannya, terlebih karena ia
menyukai hubungan gay yang tidak diceritakan di dalam film
yang ia tonton. Sebagai fujoshi, Biru menikmati hal-hal yang ia
inginkan secara rutin tetapi diam-diam. Biru sendiri mengaku
bahwa dirinya sudah ada di dalam dunia fujoshi sejak tahun 2012
dan ia memasuki dunia fujoshi karena ia dulunya pengguna
Tumblr. Saat pertama kali terpapar oleh hal-hal gay yang ia lihat
di dalam Tumblr, awalnya ia merasa tidak tertarik dengan hal
tersebut, namun karena setiap hari ia terpapar oleh gambar
bergerak atau gif yang ada di dalam Tumblr ia lambat laun
akhirnya mulai menyukai hal tersebut.

Makna Gay Fandom Bagi Para Fujoshi


Dari frekuensi konsumsi media gay dan kedekatan
mereka dengan kultur fujoshi, bisa disimpulkan bahwa para
fujoshi yang menjadi responden menganggap bahwa gay
fandom bukan hanya sekedar tempat untuk mencuci mata. Lio
dan Mizo menganggap bahwa untuk menikmati gay fandom
sudah menjadi hal yang seharusnya dilakukan oleh mereka
karena bagi mereka gay fandom adalah bagian hidup yang
penting. Frekuensi konsumsi media gay yang mereka lakukan
melewati media online menunjukkan bahwa mereka tidak hanya
menganggap gay fandom sebagai hal yang remeh. Mereka tidak
hanya terpapar, tetapi mereka berusaha mencari hal-hal tentang

463
gay fandom tersebut. Meskipun mereka hanya mencari
pasangan yang mereka sukai secara spesifik, tetapi mereka
secara rutin melakukannya.
Keenam responden pun memiliki cara yang berbeda-
beda dalam menjalani kehidupan mereka sebagai seorang
fujoshi. Mereka mengonsumsi hal-hal yang berhubungan
dengan gay fandom dengan alasan yang tidak sama. Sasa dan
Gita mengatakan bahwa ia mengonsumsi gay fandom setelah ia
menonton sebuah film karena setelah menonton film mereka
merasa bahwa mereka ingin mengetahui lebih lanjut tentang hal-
hal yang mereka lihat di dalam film yang berhubungan dengan
pasangan yang mereka anggap gay di film tersebut. Sasa
mengaku bahwa ia sering mengakses sosial media Tumblr
sebagai tempatnya mencari fan fiction dan fan art, sedangkan
Gita lebih sering mencarinya langsung dari Google.
Berbeda dengan Biru, Lio, Tya, dan Mizo. Mereka mengonsumi
gay fandom setiap hari. Menurut pengakuan Lio, ia bahkan tidak
bisa memisahkan antara kehidupan nyata dengan fantasinya
tentang gay. Ia merasa bahwa gay fandom sudah menjadi
bagian dari hidupnya dan ketika ia melihat dua orang terlihat
akrab, maka ia akan langsung mengaitkannya dengan
pasangan-pasangan yang ia sukai, bahkan meskipun ketika
pasangan tersebut adalah laki-laki dan perempuan.

464
Sedangkan bagi Tya, perjumpaannya dengan gay
fandom membuatnya sadar akan jati dirinya sebagai seorang
lesbian. Ia merasa bahwa setelah menjadi seorang fujoshi,
akhirnya ia menemukan bahwa dirinya adalah seorang lesbian.

Analisis Resepsi Fujoshi Responden


Dari temuan data yang sudah dijabarkan di sub bab-sub
bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pada awalnya, para
fujoshi ini tidak serta-merta menganggap bahwa hubungan antar
lelaki yang terjadi di depan mereka adalah hubungan gay.
Mereka digiring oleh faktor-faktor eksternal yang membuat
mereka akhirnya memahami sesuatu adegan tertentu atau
faktor-faktor tertentu adalah sesuatu yang bisa mereka
simpulkan sebagai sebuah hal yang menjurus kepada hubungan
gay.
Sebagai audiens, mereka aktif untuk mengolah hal yang
mereka terima di dalam sebuah film. Adegan-adegan yang
ditunjukkan tanpa ada sebuah bentuk romantisme yang tampak
secara kasat mata (menggenggam tangan, berciuman,
hubungan seksual) ternyata dimaknai oleh mereka sebagai
sebuah adegan yang akhirnya menghasilkan pemahaman
bahwa pasangan yang mereka sukai adalah benar adanya.
Adegan pertengkaran serta ketergantungan satu karakter dan

465
lainnya menjadi faktor yang mendorong para fujoshi untuk
memasangkan karakter tertentu.
Hal ini juga bisa dikaitkan dengan kecenderungan dari
para penggemar perempuan, tidak hanya fujoshi, untuk
menciptakan ulang sebuah teks dan gambar. Seperti pada hasil
penelitian Jung (2011:2.2)43 yang mengungkapkan bahwa
penggemar perempuan yang menggemari musik Korea
dianggap bekerja-sama untuk menciptakan ulang teks dan
gambar, kemudian menyebarkan isi yang mereka ubah tersebut.
Hal ini sama halnya dengan para fujoshi yang menjadi
responden, di mana tidak sedikit dari mereka yang menyebarkan
isi dari teks dan gambar yang telah mereka maknai sendiri.

Penerimaan dan Pemahaman Fujoshi


Stuart Hall (1973) dalam essai Encoding/Decoding
miliknya memiliki tiga premis sentral di mana premis-premis
tersebut menjabarkan tentang bagaimana sebuah pesan
diterima oleh audiensnya. Dalam premis pertama, dikatakan
bahwa kejadian yang sama bisa dipahami lebih dari satu cara,
hal ini pun terjadi dalam penelitian kali ini. Para fujoshi memiliki
pandangan yang berbeda di mana mereka memaknai sebuah

43Sebagaimana ditulis dalam Identitas dan Kenikmatan karya Ariel


Heryanto pada halaman 246-247.

466
adegan yang tidak menunjukkan romantisme sebagai adegan
yang menunjukkan ketertarikan antara satu orang dan lainnya.
Robbins (2008) juga mengatakan bahwa ada beberapa faktor
yang mempengaruhi sebuah pandangan, yakni faktor dalam diri
penerima teks dan faktor dari lingkungan dan sosial. Penerima
teks dikatakan memiliki lima faktor yakni, sikap, motif, minat,
pengalaman, dan harapan. Para fujoshi memiliki pengalaman
yang berbeda dengan penonton lainnya, sehingga hal tersebut
membentuk minat, motif, dan sikap yang berbeda dan akhirnya
menimbulkan harapan yang muncul dari sebuah adegan yang
mereka lihat. Faktor lingkungan pun berpengaruh terhadap apa
yang mereka pahami, para fujoshi yang menjadi responden
memiliki lingkungan yang mendukung, bukan dari dunia nyata,
tetapi dari dunia maya. Akses tidak terbatas di dalam dunia maya
membuat para fujoshi responden terus mencari apa yang
mereka inginkan. Paparan hal-hal yang rutin tersebut akhirnya
terus menanamkan kepada mereka tentang apa yang mereka
sukai sehingga mereka tidak bisa lepas karenanya.

Resepsi Fujoshi dan Kaitannya Dengan Sub Kultur


Hal ini kemudian bisa juga kita pahami sebagai sebuah
pemahaman yang menunjukkan resistensi terhadap dunia
mainstream. Pandangan umum mengenai adegan-adegan yang
dipahami sebagai gay tersebut adalah adegan yang sekedar

467
menunjukkan ketidaksetujuan dari dua orang lelaki akan sebuah
hal tertentu. Mizo mengatakan dalam wawancara bahwa dirinya
hanya mau menikmati hubungan gay saja karena menurutnya
heteroseksual sudah umum dan ada di mana-mana. Hal ini bisa
kita kaitkan dengan sub kultur anak muda. Menurut Chris Barker
(2000), kebudayaan dalam subkultur adalah kebudayaan yang
mengacu pada cara hidup atau peta makna, di mana hal ini
menjadikan dunia ini dapat dipahami oleh anggotanya. Kata ‘sub’
sendiri memiliki makna konotasi, yakni ‘sub’ ini
merepresentasikan suatu kondisi yang berbeda dari masyarakat
dominan (mainstream).
Fujoshi yang menjadi responden menganggap bahwa diri
mereka memiliki pandangan yang tidak mainstream karena
mereka lebih berfokus kepada hubungan gay daripada
heteroseksual. Heteroseksual dianggap sebagai sesuatu yang
dominan karena di dalam film-film yang dirilis oleh studio besar,
hanya ada 17.5% yang mengusung unsur LGBT44 dan hal ini
tidak berbeda dengan apa yang disajikan pada tahun 2014 45.
Film-film yang dirilis oleh studio besar dan ditonton juga oleh

44GLAAD’s Entertainment Media Team, GLAAD [Portal Berita], (dirilis


tanggal 02 Mei 2016) < http://www.glaad.org/blog/glaad-finds-
historic-low-percentage-hollywood-films-pass-vito-russo-test-fourth-
annual-studio> (diakses tanggal 09 Mei 2016)

45 Ibid

468
para responden (seperti yang sudah disebutkan dalam
wawancara, yakni, Avengers oleh Disney Marvel, Sherlock oleh
BBC, Teen Wolf, Star Trek, Harry Potter, dan Kingsman) pun
tidak memiliki hubungan gay yang secara kasat mata dapat
dilihat dan film-film ini memiliki pencapaian yang tinggi di dunia
perfilman.

Kesimpulan
Bisa disimpulkan bahwa para fujoshi ini melihat sesuatu
yang berbeda dari apa yang dilihat oleh pandangan dominan
yang diperlihatkan di dalam film-film tersebut, meskipun hanya
Mizo yang mengatakan bahwa ia memang bosan dengan
heteroseksual yang ditampilkan di dalam film-film, dalam
wawancara beberapa kali Lio mengatakan bahwa fandom yang
ia ikuti adalah minor. Sasa pun sempat mengatakan hal yang
sama dan Biru yang menutupi eksistensinya sebagai seorang
fujoshi dari orang yang tidak ia kenal secara dekat membuktikan
bahwa mereka menyadari bahwa diri mereka bukan berasal dari
kalangan yang dominan. Sub kultur yang dialami oleh para
fujoshi ini mengarah kepada bentuk pemahaman mereka
terhadap apa yang seharusnya bisa diterima di kalangan
masyarakat karena hanya Gita yang tidak mendukung tentang
adanya gay di dunia nyata, dan hal ini pun bentuknya hanya
sebagai ketidak dukungan bukan penolakan.

469
Daftar Pustaka
Barker, Chris. (2013). Cultural Studies: Teori dan Praktik.
Bantul:KREASI WACANA.
Heryanto, Ariel. (2008). Popular Culture in Indonesia: Fluid
identitites in post-authoritarian politics. Oxon: Routledge.
McHarry, Mark dan Pagliassotti, Dru. (2010). Boy’s Love Manga:
Essay on the Sexual Ambiguity and Cross-Cultural
Fandom of the Genre. North Carolina: McFarland.
Morely, David. (1992). Television, Audiences and Cultural
Studies. London dan New York: Routledge.
Sullivan, John L. (2013). Media Audiences: Effects, Users,
Institutions, and Power. California, SAGE Publications,
Inc.
Talis, Raymond. (1998). In Defence of Realism. Nebraska:
University of Nebraska Press.
Thronton, Sarah. (1995). Club Cultures: Music, Media and
Subcultural Capital. Cambridge: Polity Press.
Aoyama, Tomoko, (2009). ‘Eureka Discovers Culture Girls,
Fujoshi, and BL: Essay Review of Three Issues of the
Japanese Literary magazine, Yuriika (Eureka)’.
Intersections: Gender and Sexuality in Asia and the
Pacific 20.

470
Berndt, Jaqueline, (2010). ‘Theorizing comics/manga genre as
productive forum: yaoi and beyond’, Comics Worlds and
the World of Comics: Towards Scholarship on a Global
Scale, Series Global Manga Studies, Vol. 1.
Puspitasari, Ratih. (2013). ‘Persepsi Perempuan Penggemar
Kisah Fiksi RomantisAntar Lelaki (Fujoshi) Terhadap
Percintaan Antar Lelaki (Boy’s Love)’.
http://psikologi.ub.ac.id/wp-
content/uploads/2013/10/Jurnal-Persepsi-Perempuan-
Penggemar-Kisah-Fiksi-Romantis-Antar-Lelaki-Fujoshi-
Terhadap-Percinta.pdf, (diakses tanggal 10 November
2015).
Bacon-Smith, Camille, (1986), ‘Spock Among the Women’, New
York Times Sunday Book
Review.http://www.nytimes.com/1986/11/16/books/spock
-among-the-women.html?pagewanted=all, 16 November
1986, (diakses tanggal 12 September 2015).
McPherson, Alexandria, ‘What does "Fujoshi" mean? I've heard
Fujoshi love gays’,https://www.quora.com/What-does-
Fujoshi-mean, 26 April 2014, (diakses tanggal 10
November 2015)
R.M., ‘Fandom’, http://fandom101.tripod.com/about.html, n.d.,
(diakses tanggal 10 November 2015)

471
Yao, Tony, ‘The Great Power of Fujoshi’,
http://www/mangatherapy.com/, 5 Januari 2012, (diakses
tanggal 12 November 2015)

*) Mahasiswa Magister Media dan Komunikasi, Universitas


Airlangga, Surabaya

472
REPRESENTASI DAN KONSTRUKSI IDENTITAS
REMAJA PEREMPUAN PADA IKLAN CLEAN N
CLEAR VERSI“ APASIH ASYIKNYA JADI
REMAJA?”

Yul Rachmawati*

Pendahuluan
Iklan Clean n Clear foaming facial wash versi “apa sih
asyiknya jadi remaja” tidak hanya sekedar menawarkan produk
untuk segmentasi remaja, tetapi juga gaya hidup yang
‘seharusnya’ dimiliki oleh remaja saat ini. Melalui iklan,Clean n
Clear menawarkan konsep “asyik” ketika menjadi remaja
dengan gaya hidup urban yang diidentikan dengan pola
konsumsi yang dibangun para remaja. Esai ini berusaha melihat
bahwa identitas remaja bukanlah sesuatu yang ajeg, namun
mengalami konstruksi pada media massa, khususnya iklan.
Melalui teori identitas dan representasi dari Stuart Hall, esai ini
akan melihat bagaimana iklan Clean n Clear sebagai iklan
produk kecantikan mendefinisikan remaja dan menggunakan
gaya hidup remaja sebagai strategi dalam mempromosikan
produknya. Hasil analisis menunjukkan bahwa identitas remaja
yang ditampilkan dalam iklan Clean n Clear bukanlah sesuatu

473
yang netral tetapi sudah dikonstruksi, diberi makna, atau
diposisikan oleh Clean n Clear. Identitas kemudian bukanlah
menjadi suatu hal yang ajeg, namun bersifat cair yang
memungkinkan adanya pemosisian tertentu dan sangat
bergantung pada representasi.
Saat ini, remaja memiliki posisi yang cukup dilirik dalam
dunia hiburan, khususnya pada industri televisi. Kita dapat
saksikan bahwa remaja menjelma menjadi idola baru ditengah-
tengah masyarakat dan menghiasi layar kaca sebagai aktris,
aktor, presenter, penyanyi, penari, atau bintang iklan. Sebagai
bintang iklan, remaja diharapkan dapat mempromosikan produk
secara efektif dengan memberikan citra positif pada sebuah
merk tertentu. Iklan dengan segmentasi remaja kini semakin
bermunculan dilayar kaca Indonesia, salah satunya adalah
produk kecantikan wajah khusus remaja, yaitu Clean n Clear
yang diproduksi oleh Johnson n Johnson. Produk kecantikan
khusus remaja ini juga memilih remaja perempuan sebagai
bintang iklannya dan menawarkan berbagai varian produk yang
dapat digunakan oleh remaja perempuan.
Dalam iklan Clean n Clear versi “apasih asyiknya jadi
remaja”, produk yang ditawarkan adalah sabun pencuci muka
atau Clean n Clear foaming facial wash. Sebagai salah satu
produk kecantikan yang memiliki segmen remaja, Clean n Clear
tidak hanya sekedar menawarkan produk, tetapi juga gaya

474
hidup yang ‘seharusnya’ dimiliki oleh remaja saat ini. Melalui
iklan, Clean n Clear menawarkan konsep “asyik” ketika menjadi
remaja yang diidentikan dengan pola konsumsi remaja
perempuan dalam iklan. Identitas remaja perempuan dikonstruk
melalui konsep kebersamaan, kemandiriaan, kelembutan, dan
keaktifan sehingga memunculkan makna remaja perempuan
versi Clean n Clear. Selain itu, dipilihnya remaja perempuan
yang berwajah putih dan berambut lurus pada iklan menjadi
indicator bahwa konsep putih masih begitu saja diterima oleh
masyarakat Indonesia khususnya bagi remaja perempuan
sebagai citra ideal yang dipilihnya.
Esai ini berusaha melihat bahwa identitas remaja
bukanlah sesuatu yang ajeg, namun mengalami konstruksi pada
media massa, khususnya iklan. Apalagi jika kita lihat bahwa
remaja atau anak muda bukan sekedar seseorang atau
sekelompok orang yang ditunjukan dari usia yang ditentukan
secara biologis saja, namun menurut Parsons dalam Barker
bahwa anak muda merupakan suatu konstruk social yang
berubah dan muncul dalam jangka waktu tertentu (2004:338).
Dengan menggunakan teori identitas dan representasi dari
Stuart Hall, esai ini akan melihat bagaimana iklan Clean n Clear
sebagai iklan produk kecantikan yang mempunyai segmentasi
remaja mendefinisikan remaja dan menggunakan gaya hidup
remaja sebagai strategi dalam mempromosikan produknya.

475
Identitas dalam Iklan: Produksi dan Reproduksi
Representasi merupakan isu yang penting dalam Cultural
Studies, sebagaimana diungkapkan oleh Barker bahwa
representasi adalah bagaimana dunia ini dikonstruksi dan
direpresentasikan secara social kepada dan oleh diri kita
(2004:9). Melalui representasi, kita dapat memahami makna
yang terkandung pada objek tertentu, dalam kasus ini adalah
melalui iklan. Selanjutnya, iklan tidak hanya dipahami sebagai
sekumpulan gambar yang bergerak dan menawarkan produk
tertentu saja, namun juga mempunyai makna tekstual tertentu.
Makna dan representasi ini yang kemudian diproduksi,
ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks social
tertentu(Barker, 2004:9).
Hall menyebutkan bahwa representasi adalah produksi
makna melalui bahasa (1997:16). Representasi juga berarti
menyimbolkan dan berfungsi untuk menggambarkan objek
tertentu. Proses pemaknaan ini dapat dilihat melalui dua system
representasi, yaitu mental representation dan language.
Hall menyebutkan bahwa mental representation adalah
“meaning depend on the system of concept and image formed in
our thought swhich can stand for ‘represent’ the world, enabling
us to refer to things both inside and outside our heads”.
Representasi ini menghubungkan objek, manusia, dan peristiwa

476
secara keseluruhan dan membantu kita dalam menginterpretasi
segala sesuatu yang berada didunia sesuai dengan apa yang
berada di pikiran kita.Sedangkan bahasa akan berusaha
menerjemahkan apa yang berada pada benak kita, sehingga kita
dapat menghubungkan konsep kita dan menyampaikannya
dengan bahasa atau gambar visual yang disebut dengan
tanda(1997:17-18).
Berdasarkan konsep Hall mengenai representasi, media
dalam hal ini khususnya iklan juga berfungsi sebagai system
representasi karena media bekerja seperti bahasa yang
menggunakan elemen representasi untuk produksi dan sirkulasi
makna tentang obyek, manusia, peristiwa dsb. Iklan juga bekerja
untuk menggambarkan objek tertentu. Iklan Clean n Clear
sebagai sistem representasi menggambarkan remaja
perempuan dan memberikan produksi dan sirkulasi makna
atasnya.
Selain berfungsi sebagai bahasa, iklan juga turut menjadi
alat untuk mengonstruksi identitas. Identitas remaja dalam iklan
ini adalah bukan identitas yang bersifat netral, tetapi sudah diberi
makna oleh Clean n Clear. Menurut Hall, “…….identity as a
‘production’, which is never complete, always in process,…”
(1993:392). Identitas adalah suatu proses yang tidak pernah
selesai, namun selalu berubah menyesuaikan dengan
bagaimana hal tersebut diberi makna, sehingga menurut

477
Woodward identitas bersifat cair dan selalu berubah (2004:39).
Jika identitas bersifat cair, maka identitas dapat dibentuk,
diposisikan, dan direpresentasikan oleh yang lain, misalnya
dalam hal ini adalah iklan. Kemudian, identitas juga “are
produced, consumed, and regulated within culture” (Woodward,
1997:2). Dalam hal ini, identitas terus mengalami konstruksi
melalui budaya yang berada di masyarakat, misalnya adalah
budaya mengonsumsi atau konsumerisme. Melalui iklan Clean n
Clear, identitas remaja perempuan ini terus diproduksi,
dikonsumsi, dan diregulasikan menjadi gaya hidup tersendiri.
Sesuai yang dikatakan oleh Noviani bahwa iklan merupakan
“jendela yang signifikan untuk melihat proses produksi dan
reproduksi ideologi….” (2009:47). Ideologi konsumerisme terus
direproduksi melalui iklan Clean n Clear yang tentunya
mempunyai tujuan agar anak muda meniru pola hidup ideal yang
ditawarkan iklan. Dengan demikian, budaya mengonsumsi
memberikan pengaruh yang besar pada konstruksi identitas.
Seperti yang dikatakan Elliot & Wattanasuwan dalam Deutsch
dan Theodorou bahwa “identity is constructed in part through
consumption” (2010:230).
Selanjutnya, identitas juga dapat dilihat melalui simbol-
simbol yang terdapat pada diri kita, seperti “[h]ow we speak, the
clothes we wear….” (Woodward,2004:12). Sama halnya dengan
iklan Clean n Clear yang menggunakan berbagai symbol

478
misalnya pakaian pada para remaja perempuan tersebut untuk
memperlihatkan konstruksi identitas remaja perempuan dalam
bentuk gaya hidup yang ditawarkan.

Representasi Gaya Hidup Remaja Urban

Gambar empat orang remaja perempuan yang nampaknya


sedang berjalan merupakan gambar pembuka dari iklan Clean n
Clear. Keceriaan yang tersirat diwajah mereka dengan senyum
lebar seolah menunjukkan bahwa mereka adalah remaja yang
seakan tanpa beban. Dari awal iklan, konsep kebersamaan
diantara remaja sudah dibangun oleh iklan Clean n Clear dengan
aktifitas mereka yang berkelompok.
Seorang remaja perempuan yang berada di paling depan
berkata sembari tersenyum lebar “apa sih asyiknya jadi
remaja?” seolah menyiratkan bahwa mereka telah menjadi
remaja yang “asyik” dan berusaha membagi pengalamannya
kepada penonton. Dengan tatapan yang seolah-olah menatap

479
penonton, sang remaja perempuan berusaha membuat
penonton turut merasakan bagaimana menjadi remaja yang
asyik tersebut. Tayangan ini juga merupakan tayangan
pembuka untuk aktifitas konsumsi yang mereka lakukan pada
tayangan berikutnya. Mereka terlihat senang menikmati aktifitas
konsumsi karena dilakukan bersama teman-temannya yang
lain. Sehingga, konstruksi “asyik” pada gambar 1 dapat
dimaknai sebagai remaja yang tanpa beban, punya sahabat,
berkelompok dan beraktifitas seperti jalan-jalan.

2 3 4

Setelah mengawali iklan dengan narasi “apa asyiknya


jadi remaja”, aktifitas konsumsi pun dapat terlihat pada gambar
2, 3 dan 4. Gambar 2 menunjukkan bahwa remaja yang asyik
adalah remaja yang dapat berbelanja terutama pakaian dengan
para sahabat. Fokus fashion dipilih oleh Clean n Clear juga
bukan tanpa alasan. Listiani mengungkapkan bahwa fashion
pada anak muda menjadi penting karena menunjukan arena
“pencarian identitas dalam kolaborasi dengan teman sebaya
dan kebutuhan ditandai dengan perbedaan dari yang lain”
(2009:103). Remaja dalam tayangan tersebut sedang
480
melekatkan identitasnya pada sesuatu yang akan dipakai oleh
tubuhnya nanti. Ketika berbelanja, mereka pun sekaligus
membuat perbedaan untuk menunjukkan siapa diri mereka
sebenarnya bersama teman sebayanya. Aktivitas berbelanja
topi, celana, dan baju seperti yang dilakukan oleh remaja
perempuan pada gambar 1 bukanlah sekedar aktivitas biasa,
namun menjadi sebuah pencarian identitas, pembeda dan“
representasi diri untuk meningkatkan perpaduan internal
dengan anggota kelompok” (Listiani,2009:103). Jika kita melihat
lebih jauh, aktivitas yang dilakukan oleh remaja tersebut adalah
aktivitas konsumsi dalam skala komunal. Sehingga iklan ini
mengonstruksi bahwa remaja yang asyik adalah remaja yang
dapat berbelanja atau melakukan praktik konsumsi bersama
teman- temannya.

Kemudian, remaja perempuan yang berada di posisi


paling depan pada gambar 2 berkata dan seakan menatap
penonton bahwa remaja yang asyik adalah remaja yang
“belanja ga bareng mama”. Melalui narasi tersebut, iklan Clean
n Clear berusaha mengonstruksi identitas remaja yaitu ketika
mereka tidak lagi ditemani oleh ibunya ketika berbelanja.
Berdasarkan hal tersebut, definisi remaja ditentukan oleh
aktivitas yang bersifat independen dilakukan oleh para remaja
perempuan itu sendiri sehingga mereka memiliki kebebasan
untuk memilih sesuatu yang mereka sukai dan posisi ibu mulai

481
digantikan oleh sahabat-sahabat mereka yang dalam gambar
seolah memiliki selera yang sama dalam berpakaian. Erikson
dan Harter dalam Deutsch dan Thedoreau menyampaikan
bahwa “[d]uring adolescence youth are both individuating from
their parents and identifying themselves within social peer
groups” (2010:230). Beralihnya posisi ibu kepada sahabat serta
berkelompoknya mereka sebagai sebuah kelompok kecil seolah
mendefinisikan bahwa mereka adalah remaja yang ‘asyik’.
Walaupun tanpa kehadiran seorang ibu, para remaja
perempuan tersebut tidak terlihat khawatir sedikitpun,
sebaliknya mereka dapat memilih gaya berpakaian sesuai
dengan keinginan mereka.
Dari sisi tempat, dapat dilihat bahwa remaja tersebut
tidaklah pergi ke pasar untuk berbelanja, tetapi kemungkinan
adalah kesebuah Mall yang menyediakan berbagai pilihan
untuk gaya berpakaian anak muda. Sehingga, tempat
punmenjadipenting untuk memaknaibahwa remajayang asyik
adalah mereka yang tidak pergi ke pasar untuk membeli baju,
namun ‘harus’ ke Mall. Mall sendiri adalah tempat ketika praktik
konsumsi itu banyak terjadi. Hal ini juga sesuai dengan yang
diutarakan Woodward sebelumnya bahwa identitas juga dapat
dilihat melalui symbol - simbol. Dalam hal ini, mall menjadi
simbol adanya praktik belanja, sekaligus menjadi pembeda
untuk mendefiniskan remaja yang ‘asyik’ tersebut.

482
Selain berbelanja, asyiknya menjadi remaja dapat
dilihat melalui gambar 3 ketika remaja perempuan menonton
film ke bioskop. Konsep kebersamaan kembali dihadirkan oleh
iklan Clean n Clear, sesuai yang diucapkan oleh remaja
perempuan paling depan yang seakan terlihat berbicara pada
penonton yaitu “nonton film rame-rame”. Nampaknya konsep
mengenai kebersamaan sering ditonjolkan oleh Clean n Clear
dalam mengonstruksi identitas remaja perempuan sehingga
dapat disimpulkan bahwa remaja perempuan yang “asyik”
adalah ia yang dapat menjalani aktivitasnya bersama teman-
teman.
Jika kita lihat pada gambar 3, para remaja perempuan
tersebut tidak menonton di tempat yang “biasa”. Penggunaan
kacamata khusus yang digunakan mereka mengindikasikan
bahwa mereka menonton film di tempat yang menyediakan
fasilitas 3D/4D yang tentu tidak murah. Dapat dikatakan bahwa
praktik konsumsi berupa menonton film 3D/4D yang mereka
lakukan adalah konsumsi yang hanya dapat dilakukan oleh
kalangan menengah atas, sehingga praktik ini juga
mengindikasikan kelas sosial mereka sebagai masyarakat
urban.
Aktivitas yang ketiga untuk menunjukkan asyiknya jadi
remaja adalah dengan adanya aktivitas menginap bersama
yang dapat dilihat pada gambar 4. Seperti yang diungkapkan

483
oleh seorang remaja perempuan yang berada paling depan
yaitu “nginep di rumah temen”. Aktivitas menginap di rumah
teman menjadi penting karena mengindikasikan bahwa mereka
merupakan remaja yang aktif dari pagi hingga malam hari.
Selain itu, aktivitas tidur menjadi menyenangkan jika dilakukan
bersama teman-teman dengan saling bercanda dan lempar
guling ataupun bantal. Hal ini menunjukkan bahwa mereka
sangat akrab satu sama lain. Aktivitas ini semakin menunjukkan
status para remaja perempuan tersebut sebagai kelas
menengah dan urban.

5 6
Selanjutnya, Clean n Clear menyampaikan bahwa tiga aktivitas
yang dapat dilihat pada gambar 2, 3, dan 4 tadi akan menjadi
tidak berarti ketika para remaja perempuan tersebut menemukan
masalah kulit. Hal ini dapat dilihat pada remaja perempuan di
gambar 5 yang berkata bahwa “tapi ada yang bikin ga asyik :
masalah kulit”. Kulit menjadi masalah yang berarti karena
mereka adalah remaja yang aktif dari pagi hingga malam hari,
mulai dari aktivitas belanja, nonton film, hingga aktivitas

484
menginap di rumah teman. Aktivitas tersebut pastilah membuat
muka para remaja tersebut menjadi kotor, berminyak dsb
sehingga ketika masalah kulit itu ada, mereka tidak dapat
menjalankan aktivitas seperti biasanya lagi. Dari ekspresi wajah
pada gambar 5, mereka sangat ketakutan jika menghadapi
masalah kulit. Sehingga, narator kemudian mulai masuk dan
menawarkan solusi sekaligus mengajak pada tindakan konsumsi
kosmetik.
Narator: Sekarang kamu butuh fash wash
Remaja: Tapi yang mana?
Narator: Yang ngatasin masalah tapi ga ngerusak kulit
…Clean n Clear foaming facial wash

Narator pada iklan ini adalah suara perempuan dewasa


yang sedang memberikan saran pada dua remaja perempuan
yang kebingungan pada masalah kulit mereka. Narasi yang
disampaikan narator yaitu “sekarang, kamu butuh fash wash”
menjadi penting karena merupakan sebuah pernyataan
yang tegas. Kata sekarang mengindikasikan sebuah
transformasi dari anak-anak menuju remaja yang telah
membutuhkan sebuah sabun pembersih muka. Akhirnya,
remaja perempuan seakan hanya diidentikkan dengan
perlunya pada produk sabun muka. Sehingga, selain
permasalahan aktivitas Clean n Clear juga mendefinisikan
remaja dari pola konsumsi produk kecantikannya. Kebutuhan
yang diciptakan oleh narator adalah sebuah praktik konsumsi
485
yang ditawarkan kepada remaja untuk mengonsumsi produk
tertentu. Kebutuhan tersebut seakan dimunculkan oleh narator
perempuan yang bisa saja menggantikan posisi ibu yang tidak
nampak pada iklan tersebut. Narator yang hanya terlihat jarinya
pada gambar 6 tersebut muncul ketika para remaja
perempuan memiliki masalah kulit dan bingung untuk memilih
produk sabun muka. Akhirnya, remaja perempuan
dikonstruksikan untuk merasa ‘perlu’pada sebuah sabun muka.

Dalam hal ini, kulit menjadi sesuatu yang penting bagi remaja
karena mencirikan usia mereka yang masih muda. Clean n
Clear menyatakan bahwa produk yang lain dapat membuat
mereka menjadi tidak natural sebagai remaja, mereka hanya
butuh sebuah sabun pembersih muka yang tidak merusak kulit.

7 8
Konsep kecantikan yang tampil pada remaja putri dalam iklan ini
yaitu lembut dan halusnya kulit mereka, sehingga mereka pun
membutuhkan sebuah produk yang tidak akan
menghilangkan kelembutan dan kehalusan kulit mereka. Pada
gambar 7, Clean n Clear menunjukkan bahwa keunggulan
486
produk mereka adanya formulanya yang lembut sehingga
cocok untuk remaja. Wajah remaja yang sedang memakai
Clean n Clear pun terlihat ceria dan tidak menunjukkan kesan
sakit saat memakai Clean n Clear. Saat cuplikan ini, narator
mengatakan bahwa “Clean n Clear foaming facial wash,
lembuuuut banget, sehingga aman untuk kulit kamu”. Hal
tersebut menunjukkan bahwa remaja seakan ‘harus’ untuk
menggunakan bahan yang lembut dan aman untuk kulitnya.
Setelah adegan mencuci muka pada gambar 7 dengan
Clean n Clear, remaja yang telah memakai Clean n Clear
seakan menjadi aktif kembali dengan adanya adegan melompat
yang dapat dilihat pada gambar 8. Selain itu, keceriaan mereka
kembali lagi dengan senyum yang merekah pada wajah mereka.
Dengan mengusung tagline “Clean n Clear foaming facial
wash, untuk kulit bebas masalah”, Clean n Clear ingin
menunjukan bahwa setelah memakai Clean n Clear kulit para
remaja perempuan akan terbebas dari masalah-masalah
lainnya.
Secara keseluruhan dari iklan tersebut, bahwa aktivitas
konsumsi bagi remaja merupakan hal yang penting untuk
membedakan dirinya dan yang lain. Hal ini serupa dengan
Clean n Clear yang berusaha mendefiniskan remaja dengan
pola konsumsi mereka yang berbeda, mulai dari berbelanja,
nonton, dan menginap bersama. Deutsch dan Theodorou

487
mengatakan bahwa “[a]s youth construct their adolescent selves
and form their future aspirations, they do so within a culture in
which consumption is used to define social identities through the
marking and masking of difference the identification of self and
other” (2010:230). Konsumsi akan menunjukkan identitas sosial
dari remaja perempuan karena menunjukkan perbedaan
mereka dengan yang lain melalui apa yang mereka gunakan dan
tampilkan.
Hal ini akan mengidentifikasi diri mereka sebaga self atau
other. Melalui iklan Clean n Clear, self dapat mengacu pada
konsep “asyik” yang ditunjukkan dengan aktivitas konsumsi
yang dilakukan. Pola konsumsi yang remaja perempuan
lakukan juga akan menunjukkan kelas sosial mereka, yaitu kelas
menengah atau urban. Identitas keremajaan terus dibangun
melalui pola konsumsi yang tidak bersifat individu, tetapi
komunal atau peer group. Sebaliknya, remaja akan dilabelkan
sebagai tidak asyik jika tidak melakukan praktik konsumsi sesuai
dengan yang diwacanakan oleh iklan Clean n Clear.
Secara tidak sadar, konsumerisme ini telah bekerja pada
definisi mengenai remaja yang “asyik”. Seperti yang
diungkapkan Deutsch dan Theodorou bahwa “….consumerism,
as a social ideology, and consumption, as an individual activity,
are used to both mark and mask differences in the process of an
individual construction” (2010:230) . Praktik konsumsi dapat

488
menjadi tanda dan pembeda seseorang untuk menunjukkan
kelas sosialnya, sehingga hal ini akan mengonstruksi identitas
individu tersebut.
Praktik konsumsi ini, secara tidak sadar akan
memunculkan sebuah ideologi sosial yaitu konsumerisme yang
juga dapat mengonstruksi identitas remaja perempuan.

Gaya Hidup Remaja sebagai Strategi Marketing


Clean n Clear sebagai sebuah produk kecantikan untuk remaja
tentunya berusaha sedemikian rupa agar produknya dapat
memikat hati remaja perempuan. Pada iklannya, Clean n Clear
tidak hanya memasarkan produknya saja, namun juga gaya
hidup remaja urban yang sangat konsumtif. Selain konsumtif,
gambaran remaja yang aktif, tergabung dalam kelompok
bersama sahabat-sahabatnya, dan mandiri juga merupakan
identitas yang berusaha dilekatkan oleh Clean n Clear pada
remaja yang melihat iklan tersebut agar mengonstruk sosok
remaja ideal adalah seperti yang diwacanakan oleh Clean
n Clear.
Dengan membentuk identitas self remajanya, Clean n
Clear membuat remaja yang melihat iklan tersebut segera
dapat membentuk diri mereka menjadi seseorang yang ‘asyik’
menurut versi Clean n Clear. Konsumen remaja yang melihat
iklan produk tertentu biasanya akan mencari produk yang

489
sesuai dengan dirinya, entah itu dari kecocokan dengan kulit
mereka atau aktivitas mereka yang serupa dengan yang
diiklankan oleh produk tersebut.
Clean n Clear dengan keunggulan produknya yaitu
lembut untuk kulit remaja membuat konsumen yang membeli
juga menginginkan kulit lembut yang ditawarkan oleh Clean n
Clear. Konsep lembut ini jelas bertentangan dengan konsep
beauty is pain yang digadang-gadang selama ini, yaitu
untuk menjadi cantik itu sangat menyakitkan. Clean n Clear
menawarkan konsep cantik yang sederhana, yaitu kulit yang
bebas masalah seperti berminyak, komedo, dan jerawat
tanpa memunculkan rasa sakit.
Masalah kulit seperti berminyak, komedo, dan jerawat
adalah masalah kulit yang muncul pada seseorang yang aktif
sepanjang sehari. Remaja sebagai seseorang yang aktif
membutuhkan formula yang lembut untuk menjaga
kelembaban kulitnya. Dalam hal ini, Clean n Clear tidak
menawarkan konsep putih yang biasanya ditawarkan oleh
produk lainnya. Hal yang menarik adalah walaupun Clean n
Clear tidak menawarkan menjadi putih ketika memakai Clean n
Clear, namun bintang iklan yang dipilih oleh Clean n Clear
merupakan remaja perempuan yang berkulit putih dan
berambut lurus.

490
Sebagai produsen, Clean n Clear nampaknya masih
menggunakan konsep putih sebagai standar seseorang yang
cantik. Harapannya kulit putih tersebut menjadi representasi
perempuan Indonesia, namun mayoritas perempuan
Indonesia sendiri bukanlah perempuan berkulit putih yang
ditampilkan oleh iklan Clean n Clear. Warna kulit yang mewakili
perempuan Indonesia secara umum adalah sawo matang.
Walaupun begitu, Clean n Clear tidak menjadikan kulit sawo
matang sebagai bintang iklannya dan standar kecantikannya.
Selain konsep putih yang ditawarkan secara tidak
langsung dan tersirat oleh Clean n Clear untuk remaja
perempuan Indonesia, Clean n Clear juga berusaha
mendekati konsumennya dengan pendekatan karakter yang
sesuai dengan kepribadian konsumen. Remaja yang merasa
dirinya aktif, akan lebih memilih Clean n Clear sebagai sabun
pembersih mukanya karena aktivitas bintang iklan yang sama
dengan dirinya. Mereka sebagai anak muda akan memilih
produk yang sesuai dengan karakter dirinya atau jika tidak
demikian, remaja tersebut menginginkan menjadi remaja aktif
seperti bintang iklan yang berada di Clean n Clear.
Gaya hidup yang ditampilkan Clean n Clear sebagai gaya hidup
yang konsumtif melalui gambar dua hingga empat juga
membentuk definisi remaja urban pada saat ini. Dengan sangat
halus, Clean n Clear membungkus gaya hidup konsumtif

491
secara komunal tersebut dengan kata ‘asyik’. Kata ‘asyik’
terus dijadikan mimpi atau hasrat yang seakan harus dikejar
oleh konsumen remaja perempuan yang menyaksikan iklan
Clean n Clear. Dari aktivitas konsumsi yang membedakan
remaja perempuan dengan yang lainnya ini, kemudian akan
membentuk identitas kelas sosial mereka sebagai remaja
urban kelas menengah.
Selain itu, gaya hidup dilekatkan untuk mempersempit
jarak antara produsen yaitu Clean n Clear dan konsumen
sendiri. Gaya hidup yang biasa ditampilkan pada anak muda
coba ditampilkan kembali oleh Clean n Clear melalui iklan
tersebut. Menurut Hebdige dalam Barker menyebutkan bahwa
anak muda direpresentasikan sebagai konsumen dari fashion,
gaya, dan aktivitas hiburan (2004:341).
Sehingga, Clean n Clear mengambil contoh aktivitas
remaja perempuan yang terdapat pada gambar dua hingga
empat mulai dari belanja, nonton, dan tidur bersama. Tentunya,
hal ini adalah aktivitas yang sangat dekat dengan remaja dan
Clean n Clear mengambil celah untuk menjadikan gaya hidup
remaja sebagai komoditas yang dapat dipertontonkan.
Identitas remaja semakin dilekatkan oleh Clean n Clear
dengan adanya aktivitas yang dilakukan mereka secara
bersama-sama. Seperti yang dikemukakan oleh Harper dan

492
Thandi bahwa “..the strength of youth popular culture today is
in what people have in common with each other” (2000:19).
Sehingga, dalam beberapa scene iklannya, Clean n
Clear terus mereproduksi wacana tentang kebersamaan
mulai dari tayangan pembuka hingga terakhir. Remaja yang
berada di iklan ketika berada di wilayah publik selalu bersama
dengan teman-temannya, kecuali ketika remaja tersebut
berada di kamar mandi atau wilayah privat. Dalam wilayah
privat, remaja yang muncul hanyalah seorang diri, namun
setelah keluar dari kamar mandi untuk memakai Clean n Clear,
remaja dalam iklan kembali bersama-sama dengan temannya.
Dalam iklan, aktivitas remaja yang selalu bersama-
sama ditampilkan dalam ranah publik, tanpa menyinggung
aktivitas domestik sama sekali. Peran ibu yang hilang dalam
aktivitas berbelanja di publik atau kamar di ranah privat seakan
menjadi representasi bahwa remaja yang ‘asyik’ adalah remaja
yang tidak berkutat pada urusan domestik. Padahal, jika dilihat
dari segi kesibukan, aktivitas domestik pun tentu menimbulkan
rasa lelah yang memungkinkan kulit menjadi bermasalah
seperti jerawat, komedo, dan berminyak. Namun, Clean n Clear
meniadakan peran peremuan remaja tersebut di ranah
domestik, seperti membantu ibu di dapur, membersihkan
rumah dan sebagainya.

493
Gaya hidup yang terus direproduksi maknanya oleh
Clean n Clear menunjukkan bahwa gaya hidup dikomodifikasi
oleh Clean n Clear sebagai sesuatu yang bersifat menjual.
Sehingga, bukan hanya semata-mata produk kecantikan
berupa sabun pembersih wajah, namun gaya hidup ‘asyik’ ala
remaja kelas menengah yang dijual oleh Clean n Clear.
Gaya hidup ini merupakan sebuah strategi marketing dari
Clean n Clear untuk menarik hati para konsumennya yang
merupakan remaja. Namun, sebagai salah satu perusahaan,
mereka menganggap remaja merupakan satu segmen yang
harus disasar agar kepentingan ekonomi mereka berupa
keuntungan dapat berjalan.
Digunakannya remaja sebagai bintang iklan maupun
segementasi produk tertentu memanglah bukan hal yang baru.
Sebelum Clean n Clear tentunya banyak sekali produk
kecantikan yang memiliki segmen remaja perempuan. Hal ini
semakin menegaskan bahwa remaja menjadi keuntungan
sendiri bagi para kapitalis. Sesuai yang diungkapkan oleh
Harper dan Thandi bahwa [y]outh are big business, and
everyone is struggling for their attention: advertisers; large and
small businesses; media conglomerates; the sports, fashion,
and entertainment industries; faith communities; health
arenas; schools; community based organizations; families;
and even local, state, and federal governments

494
(2000:19).
Harper dan Thandi menyebutkan bahwa remaja
adalah bisnis yang besar. Para kapitalis tentunya tidak akan
melewatkan segemen ini untuk memasarkan produknya.
Semua pihak telah melakukan upaya yang keras untuk
memperebutkan segmen ini, salah satunya adalah industri
kecantikan yang menjadikan iklan sebagai mercusuar untuk
mempertahankan kepentingan
ekonominya.
Melihat hal tersebut, tentunya Clean n Clear juga
melakukan strategi marketing dengan cara apapun agar
remaja perempuan menjatuhkan pilihan pada Clean n Clear
sebagai sabun pembersih wajah mereka diantara produk-
produk lain. Dalam iklan ini, Clean n Clear menggunakan gaya
hidup ‘asyik’ pada remaja sebagai strategi marketingnya.
Selain itu, Clean n Clear yang memasang harga Rp 17.000,-
juga menyasar kelompok remaja menengah untuk membeli
produknya. Harga ini cukup bersaing di masyarakat untuk
ukuran sabun muka. Dengan harga Rp 17.000,- , Clean n
Clear akan menyesuaikan aktivitas yang dilakukan oleh remaja
dalam iklan dengan mayoritas remaja perempuan yang akan
membeli sabun muka tersebut, yaitu remaja kelas menengah.
Dengan demikian, iklan Clean n Clear menawarkan
sebuah gaya hidup remaja yang ‘asyik’, bukan hanya

495
mengonstruksi identitas remaja sebagai pengonsumsi,
namun juga sebagai strategi marketing untuk mendekatkan
konsumen kepada produsen. Jika kita melihat lebih dalam,
akhirnya relasi yang tercipta pada remaja yang terdapat di
iklan hanyalah sebatas relasi konsumerisme dan Clean n
Clear terus mereproduksi wacana tersebut dalam iklannya.

Kesimpulan
Clean n Clear sebagai produk kecantikan yang memilki
segmentasi remaja, mengonstruksi dan merepresentasikan
remaja perempuan melalui iklannya “asyiknya jadi remaja”.
Iklan tersebut merepresentasikan dan mengonstruksi identitas
remaja perempuan sebagai remaja perempuan kelas
menengah atau urban yang dapat dilihat dari aktivitas
konsumsinya seperti belanja, nonton film dan menginap
bersama. Konsep mengenai kemandirian dan kebersamaan
juga terus direproduksi oleh Clean n Clear untuk mengonstruksi
makna remaja yang “asyik”. Ideologi konsumerisme sangat
mewarnai iklan Clean n Clear ini, hingga relasi antar para
remaja perempuan dalam iklan pun merupakan relasi
konsumsi melalui fashion, gaya, dan aktivitas hiburan. Aktivitas
tersebut juga sangat identik dengan konsep kebersamaan
dalam sebuah peer group, yaitu ketika posisi orang tua telah
digantikan oleh sahabat-sahabatnya.

496
Selain itu, sebagai produk kecantikan remaja, Clean n
Clear menggunakan strategi marketing yaitu menjual gaya
hidup agar menjadi hasrat baru bagi remaja. Harapannya,
remaja akan mencari produk yang dekat dengan kepribadian
dirinya atau mencari produk yang dapat menjadikan diri remaja
tersebut menjadi pribadi yang ideal dengan konstruk ideal
remaja perempuan yang putih, berambut lurus, dan aktif.
Dengan demikian, identitas remaja yang ditampilkan
pada Clean n Clear bukanlah sesuatu yang netral tetapi
sudah dikonstruksi, diberi makna, atau diposisikan oleh
Clean n Clear. Identitas kemudian bukanlah menjadi suatu
hal yang ajeg, namun bersifat cair yang memungkinkan
adanya pemosisian tertentu dan sangat bergantung pada
representasi.

Daftar Pustaka
Barker, Chris. (2004). Cultural studies: Teori dan Praktek,
Yogyakarta: Kreasi Wacana
Deutsch, Nancy L dan Eleni Theodorou. (2010). Aspiring,
Consuming, Becoming: Youth Identity in a Culture of
Consumption. Youth Society 42 (2), hal 229-254. London :
Sage Publications
Hall, Stuart. (1997) . The Work of Representations. In
Representations: Cultural Representations and Signifying

497
Practices. (ed) Stuart Hall. Pp 15-29. London: Sage
Publications
_________. 1993. Cultural Identity and Diaspora. Ed Patrick
Williams and Laura Chrisman. Dalam Colonial
Discourse and Post-Colonial Theory: A Reader. Hal 392-
403. Cambridge : Harvester Wheatsheaf
Harper, Hicks dan Patricia Thandi. Understanding Youth
Popular Culture and Hip-hop Influence. SIECUS Report;
Jun/Jul 2000; 28, 5; ProQuest Research Library, hal. 19
Listiani, Winda. (2009). Pemetaan Unsur Paradigma Kajian
Gaya Hidup dan Konsumsi. Dalam (ed)Irwan Abdullah, et
all, Dinamika Masyarakat dan kebudayaan Kontemporer.
Hal.97-120. Yogyakarta: TICI Publications
Noviani, Ratna. (2009). Performativitas Gender dalam Iklan
Kontak Jodoh. Dalam (ed)Irwan Abdullah, et all,
Dinamika Masyarakat dan kebudayaan Kontemporer.
Hal.45-75. Yogyakarta: TICI Publications
Woodward, Kathyrn, ed. (1997). Identity and Difference. The
Open University
__________. (2004). Questioning Identity : Gender, Class,
Ethnicity. Routledge
www.youtube.com

*) Mahasiswa S2 Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah


Mada, Yogyakarta
498
MEDIA DAN
KOMUNIKASI
POLITIK
MEDIA MASSA & PENDIDIKAN DEMOKRASI
(Tantangan Perubahan Sosial dan Demokratisasi di
Indonesia)

Evie Ariadne Shinta Dewi*

Pendahuluan
Tulisan ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan
di Kota Bandung pada saat pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota Bandung tahun 2013, dimana data diperoleh salah
satunya dengan cara membagikan angket kepada guru mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) SMA/SMK se
kota Bandung. Karena penelitian ini dilakukan pada saat
pemilukada Kota Bandung, maka pertanyaan dalam angket
berkisar pada bagaimana mereka memperoleh informasi tentang
pemilu. Paparan berikut mengambarkan hasil survei
tersebut.Tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana para
Guru PKN di Kota Bandung memanfaatkan media komunikasi
dan informasi untuk mengoptimalkan pendidikan demokrasi
kepada siswa, yang dalam konteks pemilu mereka adalah
pemilih pemula dengan jumlah yang cukup signifikan. Dari data
hasil survei kepada para guru PKN di Kota Bandung ini penulis
mencoba menganalisis dan menarik benang merah antara

499
pendidikan demokrasi dengan proses demokrasi dikaitkan
dengan peran media massa dan perubahan sosial. Penelitian
deskriptif kualitatif ini menampilkan studi kasus di Kota Bandung
yang melaksanakan pendidikan pemilih dalam rangka pemilihan
walikota dan wakil walikota Bandung tahun 2013.Data diperoleh
dengan cara menyebarkan angket kepada 70 orang responden
yang semuanya guru PKN tingkat SMA/SMK se kota Bandung
yang di undang KPUD sebagai peserta sosialisasi pemilu. Selain
melalui angket, data juga diperoleh melalui pengamatan
berperan serta (participatory observation), wawancara
mendalam dan kajian pustaka. Data kuantitatif diolah dengan
menggunakan aplikasi statistik sedangkan data kualitatif
dipaparkan apa adanya tanpa interpretasi peneliti.
Salah satu efek proses demokratisasi mulai 1998 adalah
menguatnya pengawasan & perimbangan kehidupan sosial
politik, yang menurut Nurcholis Madjid merupakan ciri
masyarakat maju/ gezellschaft/ masyarakat patembayan bukan
paguyuban. Yaitu terdapat kompleksitas dan hubungan sosial
yg sejajar, dimana pengawasan melibatkan partisipasi
masyarakat luas yang terbuka dan merata. Dalam konteks ini,
menguatnya peran masyarakat dalam proses politik, seharusnya
sejalan dengan meningkatnya kualitas partisipasi masyarakat
dalam proses demokrasi. Salah satu hal penting yang dapat
menguatkan peran serta masyarakat dalam proses politik yang

500
demokratis adalah adanya pendidikan politik yang memadai
pada masyarakat. Di sisi lain, pilar ke empat demokrasi yang
ditasbihkan pada Media, tentu menuntut mereka untuk secara
profesional meningkatkan kualitas pendidikan politik masyarakat
melalui pesan-pesan yang disampikannya.
Paparan di bawah ini mencoba menyajikan beberapa
landasan konseptual yang dapat mengawal analisis saya
tentang peran media massa dan proses demokratisasi di
Indonesia, dengan mengacu pada studi kasus tentang
Pendidikan Politik pada Pilkada kota Bandung tahun 2013.

Pendidikan Demokrasi
Pendidikan demokrasi merupakan turunan dari pendidikan
politik, oleh karenanya penulis mencoba mengelaborasi secara
konseptual tentang hal ini. Bernhard Sutor, dalam tulisannya
Theoretical Fundamentals; in: Wolfgang W. Mickel (publisher),
Handbuch zur politischen Bildung, yang dipublikasikan oleh the
Federal Centre for Political Education Band 358, Bonn 1999, p.
66-67 , menyatakan bahwa pendidikan politik merupakan
kegiatan yang terarah/sistematis dengan dipandu oleh sasaran
dan nilai tertentu. “"Politics, education and, indeed, political
education are all forms of intentional action; they are guided by
objectives and values”

501
Mencermati definisi pendidikan politik menurut Sutor,
terdapat beberapa kata kunci yang penting diperhatikan oleh
para pelaku pendidikan politik, yaitu: 1) Intentional Action,
(guided by), 2) Objectives dan 3) Values.
Hal ini berarti bahwa pendidikan politik bukan aktivitas yang
hanya dilakukan sekali-sekali saja, tetapi merupakan proses
panjang yang sistematis dan terarah. Penulis menyatakan
bahwa mendidik (dalam hal apapun) tidak bisa mendadak,
demikian juga dengan pendidikan politik, tentu saja tidak dapat
dilakukan mendadak misalnya menjelang helat demokrasi
pemilu.
Selain itu, perlu dipahami bahwa semua aktivitas
pendidikan politik memeiliki sasaran yang jelas yang sudah
ditetapkan sejak dini. Pertanyaan sasaran atau target apa yang
ingin dicapai dalam pendidikan politik pada pemilih pemula
misalnya, merupakan pertanyaan mendasar yang harus
diformulasikan secara jelas dari awal, sebelum aktivitas
pendidikan dimulai.
Pendidikan politik, dan ini yang utama, harus mampu tidak
hanya menyampaikan nilai-nilai politik tetapi harus sampai pada
tahap internalisasi. Pemilih pemula misalnya, yang mendapat
penddikan demokrasi melalui guru-guru PKN nya, sebaiknya
tidak hanya mengetahui nilai-nilai politik yang tumbuh di
Indonesia, tetapi juga mampu menjadikan nilai-nilai tersebut

502
sebagai acuan perilaku politik mereka. Misalnya tentang nilai
kejujuran, siswa dapat menginternalisasikan nilai tersebut pada
perilaku politik, menolak money politics dalam event pemilu. Atau
siswa sebagai pemilih pemula, mampu memilih kandidat secara
cerdas berdasarkan pada acuan nilai-nilai yang telah mereka
internalisasikan dalam perilakunya.
Memang ini bukan hal mudah, tetapi ketika para guru PKN
sudah memahami tentang pentingnya tiga kata kunci dalam
pendidikan politik, maka pendidikan demokrasi tentu akan
menjadi hal mudah untuk dilaksanakan.

Politik dan Pendidikan Politik


Memahami pendidikan politik, maka tentu saja para guru
PKN ini juga harus terlebih dahulu memahami apa itu politik.
Dalam konteks ini politik selayaknya dipahami tidak hanya
sebagai realisasi dari nilai-nilai terpenting, melainkan cara
bagaimana mengatur konflik dan sebagai perjuangan untuk
mencapai sistem yang paling memungkinkan dalam
mengeorganisir sasaran-sasaran, dan ini adalah proses yang
tidak ada akhirnya.
Politik tidak hanya sekedar menerapkan nilai moral historis,
melainkan merupakan negosiasi antara seperangkat
kepentingan dan sasaran yang diminyaki oleh konflik-konflik
menurut situasinya. Nilai utama bukan sekedar item-item dalam

503
sebuah platform yang harus direalisasikan oleh politik,
melainkan lebih pada pengaturan pemikiran, dimana
orientasinya harus mengacu pada nilai-nilai dan proses
pengambilan keputusan yang argumentatif secara bersamaan.
Oleh karena, para guru PKN dan juga media massa, harus
mengambil peran sebagai educators, maka penyampaian
tentang nilai-nilai politik ini harus dapat diejawantahkan dalam
bentuk pesan-pesan informatif sarat nilai. Di sisi lain, partai
politik merupakan salah satu lembaga pelaksana proses politik
yang juga memiliki fungsi pendidikan politik, seyogyanya dapat
memasok nilai-nilai yang dianut parpolnya, sehingga informasi
tentang aktivitas politik mereka dapat disampaikan media massa
secara proporsional. Tujuan dan sasaran utama media
menyampaikan pesan-pesan politik dari partai adalah untuk
sepenuhnya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat.
Muaranya tentu karena masyarakat well educated tentang
politik, maka mereka akan memiliki political awareness dan
political will untuk berperan serta secara aktif dalam proses
politik bangsa ini
Seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa penulis percaya
mendidik tidak bisa mendadak, maka pendidikan politik
selayaknya dimulai sejak usia dini dari lingkungan terkecil
(keluarga). Materi pendidikan politik dalam keluarga, dapat di
mulai dengan mengenalkan tentang integritas, gender, keadilan,

504
kesetraan, hak menyatakan pendapat, dan lain-lain. Tentu saja,
pendidikan politik dalam keluarga dan masyarakat sangat
tergantung pada kultur yang berlaku. Tetapi pada hakekatnya
keluarga & sekolah merupakan media internalisasi pendidikan
politik bagi remaja. Wadah pendidikan politik dapat
menggunakan berbagai kelembagaan baik di sekolah, kampus,
maupun di lingkungan sosial seperti: organisasi kemahasiswaan
di Kampus, organisasi sosial dan organisasi massa. Lembaga-
lembaga ini menjadi media practice / latihan bagi para pemilih
pemula untuk mengenal dan mendalami proses politik. Terakhir,
pada ujungnya, masyarakat dapat memilih menjadi anggota
Parpol yang merupakan media implementasi hasil proses
pendidikan politik.
Secara sederhana, proses pendidikan politik yang tidak
“mendadak” dapat dicermati pada gambar berikut.

Gambar 1. Tahap-Tahap Proses Pendidikan Politik

505
Sumber : Bernhard Sutor, Theoretical Fundamentals; in:
Wolfgang W. Mickel (publisher), Handbuch zur politischen
Bildung, published by the Federal Centre for Political Education
Band 358, Bonn 1999, p. 66-67]

Klaus Rothe, dalam tulisannya Educational Tasks; in:


Wolfgang W. Mickel (publisher), Handbuch zur politischen
Bildung, Bonn 1999, p. 97, menyatakan bahwa terdapat empat
tujuan utama pendidikan politik yaitu, “ a)developing and
strengthening a democratic value awareness, b) understanding
the basic task of politics as being to solve current problems by
introducing binding decisions on contentious public issues, c) a
basic knowledge in all of the most important political issues with
regard to the future such as democracy and its threats, the
relationship between the economy and the ecology, the future of
the consumer-based society, globalization, and d) learning
certain skills such as how to approach information, media etc :
(1) Strengthening fundamental values & (2) Understanding the
political decision-making process “
Merujuk pada pernyataan Rothe, maka pendidikan politik
di Indonesia selayaknya dirancang dengan mengacu pada
empat tujuan utama, yaitu :
 Membangun dan menguatkan kesadaran masyarakat akan
nilai-nilai demokratis.

506
 Memahami tugas utama politik dalam memecahkan
persoalan-persoalan di masyarakat. Hal ini bisa dilakukan
dengan cara memperkenalkan kepada masyarakat proses
pengambilan keputusan atas issue-issue publik yang sedang
terjadi. Misalnya mengapa pemerintah perlu dikawal agar
tidak memperpanjang kontrak dengan perusahaan tambang
Freeport di Papua, karena pemerintah harus memenuhi
tuntutan konstitusi dan bekerja sepenuhnya untuk
kepentingan rakyat bukan untuk segelintir atau sekelompok
elite.
 Menyampaikan pengetahuan dasar atas semua issue politik
yang penting dengan berorientasi pada masa depan.
Misalnya praktek korupsi yang mengancam proses
demokrasi, hubungan antara ekonomi dengan masalah
lingkungan, masa depan masyarakat berbasis konsumsi,
globalisasi dan lain-lain.
 Mempelajari keterampilan tertentu seperti menguasai ilmu
dan keterampilan di bidang informasi, media, dan lain-lain.
Dalam konteks pendidikan politik, maka sasaran
pendidikan demokrasi adalah membawa masyarakat makin lekat
dan erat, karena pendidikan harus berfungsi tidak hanya
mendorong masyarakat mengadopsi nilai-nilai yang berlaku di
masa lalu. Pendidikan juga harus dapat menjawab tentang
mengapa dan bagaimana masyarakat harus hidup bersama

507
secara harmonis. Pada titik inilah tugas pendidikan adalah
memberi kesempatan pada semua orang untuk memainkan
perannya secara aktif dalam membentuk masyarakat di masa
depan.

Perubahan Sosial dan Peran Media Massa


Perubahan sosial secara umum dapat diartikan sebagai
suatu proses pergeseran atau berubahnya struktur/tatanan
didalam masyarakat, meliputi pola pikir yang lebih inovatif, sikap,
serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan
yang lebih bermartabat.
Pada dasarnya setiap masyarakat yang ada di muka bumi
ini dalam hidupnya dapat dipastikan akan mengalami apa yang
dinamakan dengan perubahan-perubahan. Adanya perubahan-
perubahan tersebut akan dapat diketahui bila kita melakukan
suatu perbanding¬an dengan menelaah suatu masyarakat pada
masa tertentu yang kemudian kita bandingkan dengan keadaan
masyarakat pada waktu yang lampau. Perubahan-perubahan
yang terjadi di dalam masyarakat,pada dasarnya merupakan
suatu proses yang terus menerus, ini berarti bahwa setiap
masyarakat pada kenyataannya akan mengalami perubahan-
peru¬bahan.
Tetapi perubahan yang terjadi antara masyarakat yang
satu dengan masyarakat yang lain tidak selalu sama. Hal ini

508
dikarenakan adanya suatu masyarakat yang mengalami
perubahan yang lebih cepat bila dibandingkan dengan
masyarakat lainnya. Perubahan tersebut dapat berupa
perubahan-perubahan yang tidak menonjol atau tidak
menampakkan adanya suatu perubahan. Juga terdapat adanya
perubahan-perubahan yang memiliki pengaruh luas maupun
terbatas. Di samping itu ada juga perubahan-perubahan yang
prosesnya lambat, dan perubahan yang berlangsung dengan
cepat.
Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat
pada umumnya menyangkut hal yang kompleks. Oleh karena itu
Alvin L. Bertrand menyatakan bahwa perubahan sosial pada
dasarnya tidak dapat diterangkan oleh dan berpegang teguh
pada faktor yang tunggal.
Lalu apa dampak perubahan sosial bagi kehidupan
masyarakat? Dalam artikel ini Anda akan diajak
untuk mempelajari proses dan dampak perubahan sosial bagi
kehidupan masyarakat. Anda sebagai anggota masyarakat
diharapkan lebih siap dalam menghadapi segala perubahan
sekaligus menjadi bagian dari perubahan tersebut. Perubahan
yang dimaksud tentunya perubahan yang mengarah kepada
kemajuan.
Masyarakat merupakan kumpulan individu dan kelompok
yang membentuk organisasi sosial yang bersifat kompleks.

509
Dalam organisasi sosial tersebut terdapat nilai-nilai dan norma-
norma sosial yang berfungsi sebagai aturan-aturan untuk
bertingkah laku dan berinteraksi dalam kehidupan masvarakat.
Adanya suatu perubahan dalam masyarakat akibat
perubahan sosial bergantung pada keadaan masyarakat itu
sendiri yang mengalami perubahan sosial. Dengan kata lain,
perubahan sosial yang terjadi tidak selamanya suatu kemajuan
(progress). Bahkan, dapat pula sebagai suatu kemunduran
masyarakat.kendati kecepatan perubahan tiap daerah berbeda-
beda bergantung pada dukungan dan kesiapan masyarakat
untuk berubah. Perbedaan perubahan tersebut dapat
mengakibatkan munculnya kecemburuan sosial, yang harus
dihindari.
Di Indonesia, menegakkan demokrasi melalui pendidikan
politik, dalam sebuah masyarakat yang sedang berubah tentu
tidak mudah. Semua elemen yang ada dalam struktur
masyarakat harus bahu membahu menciptakan demokratisasi
untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Dalam konteks
ini, media massa memegang peran penting. Karena faktanya,
perkembangan teknologi komuniaksi dan informasi telah
melahirkan masyarakat yang berorientasi pada media. Artinya
masyarakat yang menggunakan media massa sebagai rujukan
nilai-nilai dalam kehidupannya.

510
Media Massa sebagai suatu institusi memiliki peran yang
sangat penting dalam struktur politik negara, secara konseptua
dugaan ini di topang oleh banyak dalil, seperti dinyatakan oleh
Denis McQuail dalam bukunya Mass Communication Theory,
edisi ke dua tahun 1987, bahwa media merupakan industri yang
berubah dan menciptakan banyak lapangan kerja, barang dan
jasa serta menghidupkan industri lain yang terkait dengan media.
Selain itu Media massa merupakan sumber kekuatan-alat
kontrol, manajemen dan inovasi dalam masyarakat. Media juga
telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk
menggambarkan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat
karena media menyuguhkan nilai-nilai dan pembingkaian dalam
berita atau bentuk tayangan acara.

Hasil Penelitian & Pembahasan


Data penelitian diperoleh melalui penyebaran angket
kepada para guru yang mengajar PKN di SMA/SMK se kota
Bandung pada saat sosialisasi pilkada kota Bandung tahun
2013. Hasil angket menggambarkan data demografi guru PKN
perempuan (71.4%) lebih banyak daripada laki-laki, (28.6%)
dengan rata-rata usia antara 20-50 tahun, yakni 18 orang
(25.7%) antara 20-30 tahun, 20 orang (28.6%) antara 31-40
tahun, 19 orang (27.1%) antara 41-50 tahun dan 13 orang
(18.6%) antara 51-60 tahun.

511
Tabel 2. Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin F %

1 Laki-Laki 20 28.6

2 Perempuan 50 71.4

Jumlah 70 100.0

Tabel 3. Usia
No Usia F %
1 20-30 tahun 18 25.7
2 31-40 tahun 20 28.6
3 41-50 tahun 19 27.1
4 51-60 tahun 13 18.6
Jumlah 70 100.0
Adapun berdasarkan pendidikan hampir semua lulusan S1,
yaitu 66 orang (94.3%), bahkan 1 orang (1.4%) S2, hanya 3
orang (4.3%) yang lulusan D3. Dilihat dari status kepegawaian
responden paling banyak berstatus Pegawai negeri Sipil (PNS),
yaitu 34 orang (48.6%), 12 orang (17.1%) Guru Swasta, dan
ternyata masih cukup banyak juga yang masih berstatus guru
honorer, yaitu 24 orang (34.3%).

512
Tabel. 4 Pendidkan
No Pendidikan F %
1 D3 3 4.3
2 S1 66 94.3
3 S2 1 1.4
Jumlah 70 100.0

Tabel 5. Status Kepegawaian


No Status Kepegawaian f %
1 Guru PNS 34 48.6
2 Guru Swasta 12 17.1
3 Guru Honorer 24 34.3
Jumlah 70 100.0

Kalau dilihat dari lama bekerja, nampaknya pengalaman


mereka sebagai guru PKN sudah cukup memiliki kapasitas, 18
orang (25.7%) bekerja selama 1-5 tahun, 10 orang (14.3%)
bekerja 6-10 tahun, 17 orang (24.3%) selama 11-15 tahun, 15
orang (21.4%) selama 16-25 tahun, 9 orang (12.9%) bekerja
lebih dari 25 tahun dan 1 orang (1.4%) tidak menjawab.

513
Tabel 6. Lama Bekerja
No Lama Bekerja f %
1 1-5 tahun 18 25.7
2 6-10 tahun 10 14.3
3 11-15 tahun 17 24.3
4 16-25 tahun 15 21.4
5 >25 tahun 9 12.9
6 Tidak ada jawaban 1 1.4
Jumlah 70 100.0

Dari data tersebut, penulis berpendapat bahwa proses


pendidikan demokrasi melalui pelajaran PKN kepada siswa
sebagai pemilih pemula di kota Bandung, harusnya sudah
berlangsung cukup baik, mengingat para guru ini banyak yang
berstatus PNS dengan usia ideal sebagai guru ditambah dengan
masa kerja yang cukup panjang antara 5-25 tahun, diasumsikan
mereka adalah para guru yang mumpuni dalam bidangnya,
sehingga idealnya mereka sudah sangat paham metode
penyampaian materi demokrasi pada anak didik. Begitu juga
dengan pengetahuan tentang pemilu, sebagai guru tentu mereka
lebih banyak mempelajari demokrasi dan pemilu. Hal ini sangat
jelas jika dibandingkan dengan kategori lain, seperti terlihat pada
tabel berikut:

514
Gambar 2. Pengetahuan Pemilu
Sumber : wawancara dengan Kasubag teknis, KPU Kota
Bandung, 2013.

Fakta lain dari survei ini memperlihatkan jika dilihat


berdasarkan sarana teknologi informasi dan komunikasi sebagai
penunjang akses pada media yang menyediakan sumber
informasi pemilu, 71.4% menyatakan memiliki telepon rumah,
karena hanya 20 orang (28.6%) yang tidak memiliki, bahkan
hampir semua 69 orang (98.6%) menyatakan memiliki
handphone dan 1 orang (1.4%) tidak memiliki. Jika melihat data
ini, selayaknya tidak ada kesulitan bagi para guru PKN ini untuk
sekedar mengakses informasi melalui telepon dan handphone,

515
apalagi jenis HP saat ini sudah didominasi dengan jenis
smartphone yang segala jenis fitur dan aplikasi mudah diperoleh.
Selain media komunikasi konvensional (telepon rumah)
dan modern (HP), para guru PKN ini nampaknya tidak asing
dengan media cyber, 43 orang (61.4%) menyatakan
menggunakan internet dan hanya 27 orang (38.6%) yang tidak
punya akses ke internet. Begitu juga dengan media elektronik
penyiaran, televisi menjadi media informasi yang paling tinggi,
yaitu 100.0% menyatakan memiliki televisi, berbeda sedikit
dengan Radio, dimana 64 orang diantaranya (91.4%) memiliki
radio dan 6 orang (8.6%) tidak memiliki radio. Berbeda dengan
TV dan Radio, TV Kabel nampaknya tidak dijadikan alternatif
sebagai media untuk mencari informasi pemilu, tetapi akses
media massa elektronik para guru PKN juga jauh lebih lengkap
karena mereka, walaupun hanya beberapa orang, berlangganan
TV Kabel 3 orang (4.3%) tetapi 67 orang diantaranya (95.7%)
tidak memiliki langganan TV Kabel.Dengan dukungan telepon
rumah, HP, akses internet, TV dan radio seharusnya para guru
PKN ini mendapatkan cukup informasi dari media massa,
walaupun sifatnya satu arah (one way communication).

516
Tabel 1
Sumber Informasi Pemilu
Sumber Ya Tidak Jumlah
No Informasi
F % F % f %
Pemilu
Keluarga Inti
5 72 1 27 7
1 (Ayah, Ibu, 100
1 .9 9 .1 0
Anak) .0
4 64 2 35 7 100
2 Kerabat
5 .3 5 .7 0 .0
4 70 2 30 7 100
3 Kantor
9 .0 1 .0 0 .0
4 58 2 41 7 100
4 Kolega
1 .6 9 .4 0 .0
6 87 12 7 100
5 Pemerintah 9
1 .1 .9 0 .0
Lingkungan
5 75 1 24 7
6 Tempat 100
3 .7 7 .3 0
Tinggal .0
Tokoh 2 35 4 64 7 100
7
Agama 5 .7 5 .3 0 .0
Tokoh 4 57 3 42 7 100
8
Masyarakat 0 .1 0 .9 0 .0

517
5 74 1 25 7 100
9 KPU
2 .3 8 .7 0 .0
5 81 1 18 7 100
10 Buku
7 .4 3 .6 0 .0
Artikel Ilmiah
1 18 5 81 7
11 di Jurnal 100
3 .6 7 .4 0
Berkala .0
Artikel
Popular di
Media 5 75 1 24 7 100
12
Massa 3 .7 7 .3 0 .0
(Koran/Majal
ah)
2 32 4 67 7 100
13 Website
3 .9 7 .1 0 .0
6 97 2. 7 100
14 Televisi 2
8 .1 9 0 .0
5 74 1 25 7 100
15 Radio
2 .3 8 .7 0 .0
Jejaring
Sosial 3 42 4 57 7
16
(Facebook,T 0 .9 0 .1 0 100
witter,dll) .0

518
Diskusi/Semi
5 77 1 22 7
17 nar/Sareseh 100
4 .1 6 .9 0
an .0
Obrolan
5 74 1 25 7
18 antar teman 100
2 .3 8 .7 0
di organisasi .0
Pengalaman
(karena
pernah
2 32 4 67 7 100
19 menjadi
3 .9 7 .1 0 .0
panitia
adhoc pada
pemilu/kada)

Berbeda dengan media massa elektronik dan cyber, media


massa cetak nampaknya tidak semasif media elektronik. Data
survei menggambarkan, berdasarkan langganan koran 38 orang
diantaranya (54.3%) memiliki langganan koran dan 32 orang
diantaranya (45.7%) tidak memiliki langganan koran. Setidaknya
setengah dari para guru PKN ini tetap dapat mengakses
informasi dari media massa cetak yang memang harganya
terjangkau, untuk melengkapi informasi yang sudah diperoleh
dari media elektronik. Walaupun untuk media massa cetak
berupa langganan majalah sangat minim, hanya 10 orang
519
(14.3%) menyatakan langganan majalah tetapi 60 orang (85.7%)
tidak memiliki langganan majalah. Apalagi langganan jurnal
ilmiah, nyaris tidak digunakan oleh para guru PKN ini, karena
hanya 4 orang (5.7%) yang langganan jurnal ilmiah sedangkan
66 orang (94.3%) tidak. Dari data yang dipaparkan barusan,
dapat diasumsikan dukungan teknologi komunikasi dan
informasi para guru PKN sudah sangat lengkap.
Kepemilikan teknologi komunikasi dan informasi para guru
PKN di kota Bandung cukup relevan perilaku penggunaan media
tersebut untuk mencari informasi pemilu, TV, Radio, Media
sosial, website, koran dan juga buku menjadi media favorite
tempat mereka mencari informasi pemilu. 57 orang diantaranya
(81.4%) dari buku, 13 orang (18.6%) dari Artikel Ilmiah di Jurnal
Berkala, 53 orang (75.7%) dari Artikel Popular di Media Massa
(Koran/Majalah), 23 orang (32.9%) dari Website, 68 orang
diantaranya (97.1%) dari Televisi, 52 orang (74.3%) dari Radio,
30 orang (42.9%) dari Jejaring Sosial (Facebook,Twitter,dll).
Bahkan, selain penggunaan media massa cetak, elektronik dan
cyber, para guru PKNjuga menggunakan keluarga inti, kerabat,
kantor, kolega, tokoh agama, tokoh masyarakat, pemerintah
daerah dan KPU sebagai sumber informasi pemilu.
Tabel berikut adalah gambaran sumber informasi pemilu
yang digunakan oleh para guru PKN di Kota Bandung pada saat
Pilkada 2013, dimana 51 orang diantaranya (72.9%) memiliki

520
sumber informasi pemilu dari keluarga inti, 45 orang (64.3%) dari
kerabat, 49 orang (70.0%) dari kantor, 41 orang (58.6%) dari
kolega, 61 orang (87.1%) dari pemerintah, 53 orang (75.7%) dari
lingkungan tempat tinggal, 25 orang diantaranya (35.7%) dari
tokoh agama, 40 orang (57.1%) dari tokoh masyarakat, 52 orang
diantaranya (74.3%) dari KPU. Plus informasi dari obrolan antar
teman di organisasi (66,1%) dan 23 orang (32.9%). Bahkan
kegiatan-kegiatan kepemiluan seperti diskusi politik dan
saresehan menjadi media alternatif mencari informasi pemilu, 54
orang (77.1%) mendapatkan informasi pemilu dari
Diskusi/Seminar/Saresehan, 52 orang (74.3%). Lebih jauh,
bahkan diantara para guru PKN ini ada yang secara aktif terjun
langsung dalam proses kepemiluan dari sehingga memiliki
pengalaman langsung karena pernah menjadi panitia adhoc
pada pemilu/kada.
Dari paparan data di atas, penulis ingin menyampaikan
bahwa guru PKN memiliki peran penting dalam pendidikan
demokrasi sebagai bagian dari pendidikan politik bangsa ini.
Kapasitas dan kapabilitas guru PKN cukup signifikan
diperhitungkan sebagai agent of political education, terutama
terhadap para siswa yang dalam struktur demokrasi merupakan
elemen penting, karena pemilih pemula selain jumlahnya cukup
signifikan, 30%, juga akan sangat menentukan kualitas
demokrasi di masa depan.Namun demikian, siapapun yang

521
menjadi agen pendidikan politik, dalam proses demokrasi di
Indonesia yang sedang berada dalam fase konsolidasi, maka
tentu akan menghadapi berbagai tantangan.
Fenomena saat ini, masyarakat terpolarisasi pada beberapa
tipe, seperti dinyatakan oleh Wolfgang Sander, 2002, dalam
tulisannya bertajuk Politische Bildung nach der
Jahrtausendwende (Political Education at the Turn of the
Millennium). Perspectives and Modernization Tasks, h. 37-38,
dimana masyarakat saat ini lebih berorientasi pada informasi,
pengetahuan dan pelayanan Masyarakat yang berorientasi pada
media. Sehingga jika dikategorisasikan, akan nampak tiga jenis
masyarakat saat ini, yaitu:
 Masyarakat yang berorientasi pada Media (Media-orientated
society)
 Masyarakat pasca tradisional dan pluralisasi (Pluralization
and the post-traditional society)
 Dan adanya Globalisasi (globalization).
Terjadinya beragam jenis masyarakat menandakan
terjadinya perubahan sosial yang cukup dahsyat di masyarakat
sebagai akibat adanya perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi. Maka tidak aneh jika peradaban dunia selalu berubah
dan tidak pernah terulang oleh satu kawasan, (Yunani /Romawi
Kuno-Islam-Amerika/Eropa). Dan menggunakan perspektif

522
futurisme, nampak bahwa trend peradaban akan beralih ke ASIA
(Jepang-China-Indonesia-India-Korea).

Kesimpulan
Mengacu pada tajuk tulisan ini yaitu Media Massa &
Pendidikan Demokrasi, suatu Tantangan Perubahan Sosial dan
Demokratisasi di Indonesia, maka peran dan fungsi media
massa memiliki epran penting dalam proses demokratisasi di
Indonesia. Kendati demikian, dalam kondisi masyarakat
Indonesia yang sedang mengalami perubahan pesat terutama
diakselerasi oleh makin berkembangnya teknologi komunikasi
dan informasi, juga makin tumbuh dan terbuka partisipasi
masyarakat pada proses demokrasi, mengahadapi tantangan
yang cukup berat.
Berkaca dari studi kasus pendidikan demokrasi di Kota
Bandung pada proses pilkada tahun 2013, nampak bahwa para
guru PKN cukup mumpuni sebagai agen sosialisasi dan
pendidikan demokrasi bagi para pemilih pemula, terutama
dikaitkan dengan peran media massa, nampak bagaimana para
guru PKN di kota Bandung memanfaatkan semua jenis media,
baik media massa cetak, elektronik dan cyber bahkan juga para
opinion ledaers dan lembaga sosial serta pemerintah sebagai
sumber informasi dalam melaksanakan pendidikan demokrasi
bagi anak didiknya.

523
Catatan dari hasil penelitian ini penulis menyatakan perlu
adanya optimalisasi peran dan fungsi media massa dalam
posisinya sebagai pilar ke empat demokrasi, untuk berupaya
lebih keras lagi melakukan pelembagaan nilai-nilai demokrasi di
negeri ini.

Daftar Pustaka
Baran, Stanley J. and Davis, Dennis K., 2012¸ Mass
Communication Theory: Foundations, Ferment, and
Future, Sixth Edition, Wadsworth, Cengage Learning
McQuail, Denis, 1987, Teori Komuniaksi Massa, Suatu
pengantar, yang disadur dari buku aslinya Mass
Communicatin Theory, 2nd ed, oleh penerbit Erlangga,
Jakarta.
Rothe, Klaus, 1999, Educational Tasks; in: Wolfgang W. Mickel
(publisher), Handbuch zur politischen Bildung, published by
the Federal Centre for Political Education Band 358, Bonn,
p. 97]
Sander, Wolfgang, 2002, Politische Bildung nach der
Jahrtausendwende (Political Education at the Turn of the
Millennium). Perspectives and Modernization Tasks, in:
Politik und Zeitgeschichte B 45, Federal Centre for Political
Education, p. 37-38

524
Sutor, Bernhard, 1999, Theoretical Fundamentals; in: Wolfgang
W. Mickel (publisher), Handbuch zur politischen Bildung,
published by the Federal Centre for Political Education
Band 358, Bonn, p. 66-67

*) Dr. Evie Ariadne Shinta Dewi, M.Pd., Pascasarjana Fakultas


Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Km 2, Jln. Raya
Bandung-Sumedang, Jatinangor, e-mail: evieasd@gmail.com

525
KOORDINATOR WARTAWAN, SUMBER BERITA DAN
MEDIA DALAM PEMBERITAAN POLITIK
(Telaah Peran Orang Ketiga dan Kawalan Berita di
Lingkungan DPR)

Nanang Haroni*

Pendahuluan
Seseorang yang menempatkan diri sebagai perantara
sumber berita dan jurnalis—sebut saja orang ketiga—
sebenarnya tidak cukup dikenal dalam konsep jurnalisme.
Karena hubungan antara sumber (orang) dan peristiwa dengan
jurnalis selalu diandaikan terjadi secara langsung. Alur kerja
media dapat difahami—secara singkat—bermula dari jurnalis di
lapangan yang berhubungan langsung dengan sumber berita,
lalu masuk ruang redaksi di mana para gatekeeper (redaktur,
editor) bekerja, lalu penayangan atau penerbitan. Bahwa ada
dinamika terkait keputusan memuat sebuah konten informasi
dalam proses ini, tentu itu tak terhindarkan.
Hanya dalam praktiknya, alur ini tak lagi sedemikian
sederhana. Berita tak serta merta dihasilkan oleh proses
alamiah; pencarian/ rilis—editing—penayangan/ penerbitan.
Pewarta tak selalu harus memburu sumber berita. Tapi

526
sebaliknya, berita atau sumber berita yang mencari pewarta.
Booming media online akhir-akhir ini misalnya, tidak
menghentikan laju tawar menawar dalam dinamika hubungan
pewarta dan narasumber semacam ini.
Di lingkungan berita tertentu, di ranah politik misalnya,
model hubungan sumber berita dan pewarta yang demikian
dianggap biasa. Memang tidak mungkin generalisir dan butuh
riset luas untuk memastikan potret hubungan ini secara akurat.
Tetapi hampir menjadi rahasia umum, bahwa seorang politisi,
partai politik, hingga fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
seolah memiliki ‘kewajiban’ lain di luar tugasnya sebagai wakil
rakyat. Yakni menjalin relasi yang sedekat mungkin dengan
media agar suara—citra—mereka gampang terkatrol. Media
dianggap penting agar kinerja mereka bisa diserap dengan baik
oleh rakyat, adalah argumen klise yang meskipun benar, tidak
akan benar-benar melampaui, misalnya, motif pencitraan.
Di sinilah, selain jalinan yang bersifat pribadi, orang-orang
tertentu yang menjadi jembatan antara narasumber dan pewarta
hadir. Mereka umumnya jurnalis, atau eks jurnalis yang
kemudian aktif di dunia politik praktis. Ia bisa memastikan
berita—statemen/ opini atas sesuatu—atau peristiwa si
narasumber bisa diberitakan. Seringkali pula, ia berperan dalam
mengundang jurnalis hadir di sebuah event tertentu, dan tentu,
mengatur serta memastikan angle mana saja yang seharusnya

527
muncul di media para pewarta sesuai ‘pesanan’ si pemberi order;
baik lembaga maupun perorangan.
‘Kawalan’ adalah istilah yang kerap terdengar dalam
relasi ini; di mana artinya, si koordinator ditugaskan atau
mengambil peran untuk memastikan sebuah pesan/ informasi
turun/ dimuat oleh media tertentu. Jumlah jurnalis (media) yang
‘dikawal’ sangat relatif. Tapi pasti, tidak semua media (jurnalis)
bisa ‘dikawal’ karena terbukti atau dianggap memang tidak bisa
dipesan baik untuk sekadar menurunkan sebuah berita, apalagi
mengatur tone beritanya.
Menariknya, praktik kerja para penghubung—yang
sependek pengetahuan peneliti—sudah berlangsung lama, kini
berkembang dan makin terorganisasi. Setidaknya ada dua jenis
perantara (penghubung) dalam kegiatan ini; tunggal dan
kelompok.
Perantara Tunggal; bermain sendiri sebagai koordinator
wartawan dalam acara-acara institusi maupun perorangan. Dia
dikenal oleh narasumber memiliki kemampuan mengkoordinasi
dan memastikan pesan ‘kawalan’ diterima oleh media (jurnalis)
dalam jumlah tertentu. Perannya, serupa PR (public relations),
tetapi tidak terikat. Tentu, ia berpartner dengan PR lembaga
dimaksud.
Perantara Kelompok; memainkan modus yang berbeda.
Mereka berkelompok, lalu melakukan pendekatan kepada

528
lembaga politik—dari partai hingga fraksi—untuk mendapatkan
kontrak kerja dalam jangka tertentu. Asumsinya, mereka dibayar
dalam jumlah dan jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan.
Praktik ini, tentu dilakukan diam-diam dan seringkali tidak tertulis
sama sekali untuk menjaga ‘kredibilitas’ mereka maupun institusi
pemberi order.
Relasi narasumber—pewarta, secara sosial, mungkin
saja dianggap wajar, baik langsung maupun melalui perantara
pihak ketiga. Tetapi di titik ini pula, soal etika dan hal-hal yang
berkaitan dengan prinsip kerja media kerap dikhawatirkan.
Bisakah seorang jurnalis yang begitu dekat secara personal
dengan seorang narasumber, mampu memberikan perspektif
yang sepenuhnya obyektif? Bagaimanakah jurnalisme di tingkat
ideal, memandang praktik hubungan narasumber—pewarta
yang memungkinkan seseorang atau institusi ‘meminta’ agar
pemberitaan bernada seperti yang mereka kehendaki?
Pertanyaan ini selalu hangat, setidaknya ketika kita
merujuk pada konsep berita sebagai bagian dari dunia jurnalistik
yang merupakan ilmu terapan (applied science) dari ilmu
komunikasi, yang mempelajari ketrampilan seseorang untuk
mencari, mengumpulkan, menyeleksi, dan mengolah informasi
yang mengandung nilai berita menjadi karya jurnalistik.
Penerapan keterampilan jurnalistik harus dilandasi oleh prinsip
yang mengutamakan kecepatan, ketepatan, kebenaran,

529
kejujuran, keadilan, keseimbangan dan tidak berprasangka atau
menerapkan asas praduga tak bersalah (Wahyudi, 1996: 6).
Bagaimanapun, prinsip-prinsip ini mengandaikan jurnalis bekerja
secara profesional di mana berita, diturunkan dengan
kemungkinan distorsi dan bisa sekecil mungkin.
Dengan latar belakang inilah, menarik meneliti lebih jauh
peran orang Ketiga ini dalam relasi narasumber—pewarta
(jurnalis), khususnya di lingkungan politik. Peneliti
mengkhususkan konteks pada praktik yang berlangsung di MPR/
DPR di mana arus berita politik berlangsung deras dan terus
menerus.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif;
yakni pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasikan
dan memahami suatu gejala sentral. Untuk mengerti gejala
sentral tersebut, peneliti melakukan wawancara secara umum,
luas dan mendalam hingga diperoleh data berupa kata-kata yang
kemudian dianalisis. Hasil itu dapat berupa gambaran atau
deskripsi yang memungkinkan peneliti membuat interpretasi
untuk menangkap arti terdalam (Semiawan, 2010: 7).
Penelitian bersifat deskriptif karena bertujuan
memberikan gambaran lengkap dan terperinci mengenai
bagaimana proses terbangunnya relasi antara informan
(perantara, koordinator media) dengan sumber-sumber
informasi, baik lembaga maupun perorangan. Juga tentu, terkait

530
nilai atau prinsip-prinsip penting dalam jurnalisme yang mungkin
diabaikan atau dilanggar dalam proses maupun hasil
persepakatan antar parapihak. Penguatan dan elaborasi data
peneliti lakukan dengan observasi sebagai data sekunder; yakni
teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung ke
objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan
(Riduwan, 2004 : 104).

Komunikasi Politik dan Objektivitas Media Massa


Urgensi media massa dalam komunikasi politik
sebenarnya hampir dianggap selesai perdebatannya karena
keniscayaannya. Secara ideal, media massa dianggap sebagai
sarana publisitas politik terhadap masyarakat luas. Tentunya,
demikian ditulis Wahid (2012: 23), tujuan publisitas itu sendiri
agar khalayak mengetahui agenda politik dan setelah itu, jadi
tumbuh simpati untuk kemudian menjatuhkan pilihan pada partai
(atau aktor politik bersangkutan).
Strömbäck (2010:76) secara spesifik menekankan
pentingnya para aktor politik menguasai 4 (empat) basis arena
yakni; arena parlemen (parliamentary arena), arena pemilihan
umum (the electoral arena), arena internal organisasi politiknya
(the internal arena), dan terakhir adalah arena media. Lebih
lanjut dijelaskan, arena media ini memiliki tujuan strategis untuk
memaksimalkan publisitas positif, mengecilkan publisitas

531
negatif, dan mempengaruhi berbagai cakupan isu dan masalah
kebijakan. Di dalam media ini sendiri, aktor utamanya adalah
wartawan, editor, dan gatekeeperdalam media.
Dunia politik praktis, memiliki motif, nilai, dan realitas
sendiri. Media di sisi lain, juga berjalan dengan nilai, prinsip dan
logikanya yang khas. Di ranah nilai, keduanya tak selalu
bertemu. Dalam realitasnya, politik praktis dan media massa,
bisa saling mendukung dan saling menguntungkan. Terutama
ketika menyangkut ‘penaklukkan’ atas selera khalayak dan
kepentingan merauh keuntungan material.
Tapi sejenak, mari kita melihat konteks kehadiran media
massa secara luas dan fundamental. McQuail (1994) mencatat
sejumlah standar dan kualitas yang (seharusnya) diterapkan
dalam kegiatan media massa. Nilai-nilai yang secara umum bisa
dipakai untuk menentukan kualitas kerja media massa, yaitu (1)
kebebasan; (2) keberimbangan; (3) keberagaman; (4) kualitas
kebenaran dan informasi; dan (5) peraturan sosial serta
solidaritas.
Media massa dan objektivitas, dua istilah ini terkait erat,
sekaligus menjadi perdebatan hampir tanpa henti. Dalam praktik
jurnalistik, konsep objektivitas memang tak selalu mudah
difahami. Bahkan objectivity disebut-sebut sebagai ide paling
kontroversial tidak hanya di televisi dan suratkabar atau majalah,
tapi juga dalam produksi film, akademisi dan lembaga kontrol

532
(Jeffres, 1986).
Para pemerhati melihat betapa tarik menarik antara
kebebasan dan tanggungjawab sedemikian ketatnya dalam
praktik jurnalistik. Mengutip Merrill (1989), Hirst dan Patching
(2005:34) memastikan bahwa kesalahan atau pelanggaran etika
jurnalistik terjadi dalam tarik menarik ini; kebebasan
(menyampaikan informasi) di satu sisi, dan tanggungjawab di sisi
lainnya. Dalam konteks ini, kebebasan dan tanggungjawab akan
selalu beririsan dengan gagasan inti dari konsep ideologi
jurnalistik, yakni akuntabilitas, obyektivitas, keberimbangan dan
akurasi.
Akuntabilitas, merupakan refleksi dari kehendak untuk
menyajikan informasi yang jujur, fair dan (akan) bermanfaat atau
berdampak positif bagi orang banyak dan kemanusiaan.
Obyektivitas dan keberimbangan, seharusnya, ‘menyelamatkan’
jurnalis dari kecenderungan bias dan tendensius. Akurasi
merupakan ruh profesionalime jurnalis yang memungkinkan
sebuah suguhan informasi diterima tanpa keraguan.
Di panggung jurnalistik, objektivitas pada mulanya tidak
dimaksudkan untuk pribadi wartawannya. Melainkan metode
yang mereka gunakan. Saat konsep tersebut pertama kali
berkembang, objektivitas tak dimaksudkan untuk menyiratkan
bahwa wartawan bebas dari bias. Justru sebaliknya. Istilah ini
muncul sebagai bagian dari jurnalisme terutama pada 1920-an,

533
ketika jurnalisme banyak diwarnai bias wartawannya, seringkali
tanpa sadar. Objektivitas meminta wartawan mengembangkan
sebuah metode untuk secara konsisten menguji informasi--
pendekatan transparan menuju bukti-bukti--dengan cepat
sehingga bias personal dan bias budaya tidak melemahkan
akurasi mereka (Kovach & Rosenstiel, 2006).
Betapapun tak mungkinnya menghilangkan sama sekali
pertanyaan tentang objektivitas, umumnya media ‘merasa’
sudah obyektif ketika informasi didapatkan dan disajikan sesuai
standar. Tentu ada ruang untuk menyampaikan opini. Dalam
tajuk rencana, misalnya. Tetapi ketika sudah terkait dengan
berita (news), sebenarnya hampir tidak ada perdebatan tentang
kewajiban menjaga obyektivitas, keberimbangan dan akurasi.

Jurnalistik dan Produk Berita


‘’Kegiatan menghimpun berita, mencari fakta dan
melaporkan peristiwa.’’ Demikianlah secara singkat, MacDougal
(dalam Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2006) merumuskan
definisi jurnalistik. Dengan substansi yang kurang lebih sama,
kita bisa menemukan definisi-definisi lain dari para ahli.
Misalnya, bahwa jurnalisitik merupakan pengetahuan, teknik
serta proses ilmu menuangkan ‘fakta’ dari beragam informasi
dan peristiwa yang ada dalam sajian berita atau tulisan di media
massa. Jurnalisitik sebagaimana juga ilmu terapan lain di bidang

534
komunikasi tak bisa terlepas begitu saja dari faktor-faktor yang
mempengaruhi, khususnya filsafat, ideologi bahkan wawasan
para jurnalisnya (Wibowo, 2003: 5). Atau, menurut J.B Wahyudi
(1996: 1), jurnalisitik merupakan salah satu ilmu terapan (applied
science) dari ilmu komunikasi yang mempelajari keterampilan
seseorang dalam mencari, mengumpulkan, menyeleksi, dan
mengolah informasi yang mengandung nilai berita menjadi karya
jurnalisitik, serta maupun elektronik.
Ilmu jurnalistik dituangkan dalam bentuk karya jurnalisitik
yang disajikan kepada khalayak melalui media massa secara
periodik baik cetak maupun elektronik. Media massa cetak
maupun elektronik memiliki sifat yang diwajibkan, yaitu: 1)
Publisitas, berarti dapat disebar luaskan kepada khalayak. 2).
Universalitas, berarti isi pesannya bersifat umum atau universal,
yang berarti dapat di baca, didengar atau dilihat oleh siapa saja.
3). Priodisitas, berarti disajikan kepada khalayak secara periodik
atau tetap. Disajikan disini berarti diterbitkan maupun disiarkan.
4). Kontinuitas, berarti berita yang disajikan berkesenambungan
sampai fakta dan pendapat yang mengandung nilai berita itu
tidak lagi di nilai penting atau menarik oleh sebagian besar
khalayak. 5) Aktualitas, berarti isi pesan mengutamakan nilai
kebaruan (ibid, 2).
Dari segi isi, produk utama jurnalistik adalah berita yang
menurut Assegaf (1993:110) adalah “Suatu fakta atau gagasan

535
(ide) yang akurat yang dapat menarik perhatian orang banyak,
sesuatu yang tepat waktu disiarkan dan dapat menarik perhatian
manusia “. Dean M. Lyle Spencer, sebagiamana dikutip George
Fok Mott dalam Iskandar Muda (2003: 21) menggambarkan
berita sebagai fakta yang akurat atau suatu ide yang dapat
menarik perhatian bagi sejumlah besar pembaca.
Fakta adalah dasarnya. Akurasi merupakan syarat
utamanya dalam definisi-definisi di atas. Menarik perhatian
adalah hal lainnya yang tak kalah penting. Pendek kata, berita
yang layak dan bisa dipublikasi adalah berita yang bernilai.
Adapun nilai berita (news value), merupakan karakteristik
intrinsik dari sumber berita baik tokoh, statemen, maupun
peristiwanya (lihat misalnya, Ishwara. 2011).
Nilai berita adalah prinsip yang menjadi sandaran
profesionalisme jurnalistik. Prinsip yang menjadi guideline untuk
mengarahkan dan mendisiplinkan awak media ketika
berhadapan dengan fakta atau informasi. Adapaun yang
terkandung dalam nilai berita antara lain; aktualitas (ukuran
kebaruan); magnitude (ukuran dampaknya); prominence (nilai
berita diukur dari kebesaran peristiwanya atau arti pentingnya.
Peristiwa yang diberitakan, adalah peristiwa yang dipandang
penting); human Interest (mengandung unsur haru, sedih, dan
menguras emosi khalayak); controversy (mengandung konflik
lebih potensial disebut berita dibandingkan dengan peristiwa

536
yang biasa-biasa saja); unusual (peristiwa yang tidak biasa,
peristiwa yang jarang terjadi); proximity, diartikan sebagai
kedekatan dengan khalayak, baik fisik/ geografis maupun
emosional (Sudibyo, 2009: 230 dan Eriyanto, 2002:120).
Bagaimana proses news gathering atau peliputan berita
dan news production atau produksi berita dijalankan, didasarkan
pada nilai-nilai tersebut. Jika dilihat secara seksama, sekali lagi,
nilai- nilai tersebut diandaikan ada atau bersifat intrinsik—
menyatu dengan objek berita. Ada aspek lain yang tak kalah
penting untuk dipertimbangkan, sesuai beragam definisi di atas,
yakni akurasi, cover both side (keberimbangan) dan gaya
penyajian di mana pasti terdapat perbedaan antara media cetak,
elektronik dan media online. Kenyataannya, sebuah peristiwa
memang tidak lantas dapat disebut sebagai sebuah berita,
kemasan yang baik dan menarik.
Menurut Eriyanto (ibid, 123), nilai berita adalah produk
dari konstruksi wartawan. Setiap hari ada jutaan peristiwa, dan
jutaan peristiwa itu semuanya potensial dibentuk menjadi berita.
Kenapa hanya peristiwa tertentu yang diberitakan? Dan kenapa
hanya sisi tertentu saja dari peristiwa yang ditulis oleh
wartawan? Semua proses ini ditentukan oleh apa yang disebut
nilai berita. Karenanya, nilai berita dapat dianggap sebagai
ideologi profesional wartawan, yang memberi prosedur
bagaimana peristiwa yang begitu banyak disaring dan

537
ditampilkan ke khalayak.

Rutinitas Media dan Gatekeeping


Siapa atau peristiwa apa saja yang harus diliput,
bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan
tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses
cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya hingga
sebuah berita sampai ke masyarakat meniscayakan adanya
rutinitas. Tepatnya, rutinitas media. Setiap institusi media
memiliki standar dan ukuran tersendiri dalam rutinitas ini. Tapi
mekanisme umumnya, tidak jauh berbeda satu sama lain.
Dalam rutinitas inilah Shoemaker dan Reese (1996)
menyebut adanya proses gatekeeping. Setiap media memiliki
gatekeepers, penjaga gawang, pihak yang memilah dan memilih
program atau berita mana yang layak dipublikasi dari sekian
banyak berita yang tersebar di masyarakat. Tuchmann (juga
dalam Shoemaker dan Reese: 108), menyebutkan bahwa
rutinitas media akan membuat setiap kejadian menjadi dapat
dikenali dan disusun kembali. Setiap kejadian atau peristiwa
yang terjadi di masyarakat harus dapat dipilah, dipilih, dan diolah
sedemikian rupa oleh organisasi media massa, sehingga apa
yang disampaikan kepada audiences merupakan berita pilihan
menurut media massa tersebut.
Demikian pentingnya peran gatekeepers, Straubhaar and

538
Rose (2002) menyebutnya sebagai pemegang kekuasaan
penuh dalam menentukan berita yang masuk. Mereka bisa
memadamkan ide- ide baru dengan menekan berita-berita
tentang peristiwa yang penting. Lebih jauh, secara teori,
gatekeeping dikemukan oleh White pada tahun 1949 sebagai
kegiatan pemilihan berita yang berlangsung dalam ruang
pemberitaan (newsroom). Dalam ruang pemberitaan, dilakukan
seleksi berita dari sejumlah besar berita. kemudian dari hasil
seleksi berita itu, terkumpul sejumlah berita yang kemudian
dimuat dalam surat kabar atau disiarkan melalui radio dan
televisi (McQuaill, 1993: 166).
Model teori gatekeeping lainnya juga dikemukakan oleh
Westley dan MacLean pada tahun 1957. Westley dan MacLean
merupakan peneliti komunikasi pertama yang membuat model
komunikasi untuk menggambarkan proses komunikasi massa
secara spesifik. Model komunikasi yang digambarkan oleh
Westley dan MacLean dapat menjelaskan situasi yang terjadi
dalam mekanisme gatekeeping yang dilakukan oleh para
gatekeepernya di ruang redaksi (Roger & Dominick. 2003: 132
dan Ruben and Stewart, 1984; 42). Berikut model gatekeeping
sebagaimana digambarkan Westley dan MacLean:

539
Model tersebut dapat dibaca sebagai berikut: proses
pengiriman yang dilakukan oleh A (sender) yang ditujukan
kepada C (mediator/gatekeeper) berasal dari informan yang
dihimpun dari berbagai sumber, dari masyarakat, bisa juga dari
sumber yang lain. Secara umum pesan-pesan tersebut akan
diproses gatekeeper, diseleksi sebelum disampaikan kepada B
(khalayak). Setelah menerima sebuah tayangan hasil dari proses
gatekeeping khalayak pembaca/ pemirsa akan memberikan
tanggapan kepada pelaku media (A) dan (C). Respons tersebut
menjadi bahan rujukan, untuk mericek kembali informasi, dan
melahirkan berita baru, begitu seterusnya. Respons khalayak,
dalam hal ini, tentu tidak hanya terkait dengan koreksi atau
protes misalnya. Tetapi seringkali, berupa realitas yang
540
memungkinkan pekerja media mempertimbangkan kelanjutan
berita, memperluas dan memperbesar gaungnya karena
pertimbangan komersial.
Siregar dan Pasaribu (2000: 173), menggambarkan
bahwa rutinitas dimulai dari rapat redaksi (perencanaan isi),
liputan dan tahap penulisan. Tulisan kemudian dipertimbangkan
kelayakannya dari berbagai aspek news valuenya. Selanjutnya
tulisan diserahkan kepada redaktur rubrik yang menangani
artikel untuk kemudian diperlukan penyuntingan atau tidak.
Setelah itu tulisan diberikan kepada redaktur artistik (editor) yang
menangani proses pracetak. Tahap selanjutnya setiap tulisan
dikemas menjadi satu media dan akan masuk proses sirkulasi ke
pembaca. Tahap akhir adalah evaluasi dengan
mempertimbangkan adanya respon, saran dan kritik yang ada
dari edisi yang telah dicetak. Berbeda secara teknis, tapi logika
rutinitas ini juga berlangsung di media televisi, online atau radio.
Meski ada gatekeepers, sesungguhnya proses seleksi
dimulai dari wartawan di lapangan di mana ia harus memilih
mana yang penting dan mana yang tidak, mana peristiwa yang
bisa diberitakan dan mana yang tidak (Eriyanto, 2002: 116). Jadi
sebenarnya, reporter melakukan gatekeeping di tahap awal dan
relatif fundamental di luar fakta bahwa seringkali, mereka bekerja
‘hanya’ berdasarkan pilihan yang sudah ditetapkan dalam
perencanaan redaksi.

541
Dalam hal ini, proses pemilihan berita merupakan
kebijakan media atau redaksi yang menurut Tebba (2005: 150),
merupakan dasar pertimbangan suat lembaga media massa
untuk memberikan atau menyiarkan suatu berita. Kebijakan
redaksional juga merupakan sikap redaksi suatu lembaga media
massa, terutama media cetak, terhadap masalah aktual yang
sedang berkembang yang biasanya dituangkan dalam bentuk
tajuk rencana.
Tebba menambahkan, ada beberapa dasar pertimbangan
media untuk menyiarkan atau tidaknya suatu peristiwa (ibid, 152-
155), yaitu: 1). Ideologis: pertimbangan ideologis media massa
biasanya ditentukan oleh latar belakang pendiri atau pemilik
media massa terebut. Baik itu agama ataupun nilai-nilai yang
dihayati, seperti nilai kemanusiaan, kebangsaan, dan
sebagainya. 2). Politik: Kehidupan pers merupakan indikator
demokrasi. Oleh sebab itu, pers tidak pernah lepas dari masalah
politik. Demokratis tidaknya suatu negara antara lain ditentukan
oleh kehidupan persnya, yaitu bebas atau tidak. Adanya pemilik
atau pimpinan media massa yang juga menjadi pemimpin suatu
partai politik, maka akan menyebabkan kedekatan media massa
dengan partai politik yang bersangkutan. 3). Bisnis: Dalam hal
ini, pemilik media massa lebih melihat kepada pertimbangan
siapa sasaran yang paling besar (segmentasi pasar), agar media
tersebut banyak dikonsumsi masyarakat. Misalnya dengan

542
melihat ekonomi masyarakat, pendidikan, dan sebagainya.
Dilihat dalam konteks relasi media dan sumber berita,
merujuk pada model Westley dan MacClean misalnya,
hubungan itu sebenarnya bisa terjadi—dan mempengaruhi isi—
tidak hanya antara reporter dan narasumber. Tapi juga bisa
terjadi langsung antara redaktur (gatekeepers) dengan
narasumber secara langsung. Dalam dinamika inilah, seorang
penghubung atau orang ketiga, bisa berhubungan tak hanya
dengan reporter, tapi juga dengan redaktur. Bahkan reputasi si
penghubung akan semakin baik jika ia juga memiliki relasi kuat
dengan pimpinan tertinggi media.

Hierarki Pengaruh
Diskusi ini, perlu juga kiranya melihat kembali apa yang
disebut oleh Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese
(1996) sebagai hierarchy of Influence atau hierarki pengaruh.
Dalam pandangan ini, media menciptakan konstruksi dan sudut
pandang tertentu terhadap realitas sosial yang dihadapi ketika
memproduksi realitas media di mana semua ini terjadi melalui
berbagai level mekanisme.
Terdapat beberapa faktor baik dari dalam maupun luar
media, yang dapat mempengaruhi isi media. Menurutnya, isi dan
kemasan media sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor perilaku
atau orientasi pekerja media, profesionalisme, kebijakan

543
perusahaan, pola kepemilikan bersama dan lingkungan
ekonomi, para pengiklan dan pengaruh ideologi. Kecenderungan
dan perbedaan setiap media dalam memproduksi berita, dapat
dilihat sejak proses penentuan sebuah berita yang ditampilkan
media, yaitu melalui pelapisan-pelapisan yang melingkupi
institusi media.
Berikut penjelasan mengenai level-level yang dapat
mempengaruhi isi pemberitaan, dalam teori Hierarchy of
Influence;
1. Level Individual; pada level ini sikap, kepentingan dan latar
belakang keyakinan seorang praktisi media dianggap
mempunyai pengaruh dalam menciptakan konstruksi sosial,
dengan kata lain seorang praktisi memiliki orientasi tertentu
untuk berhadapan dalam realitas yang terjadi. Level ini
melihat bagaimana aspek personal dari pengelola
mempengaruhi berita yang akan ditampilkan ke khalayak.
Selain personalitas, level ini juga berhubungan dengan
profesionalisme dari pengelola media. Latar belakang
pendidikan atau kecenderungan orientasi pada partai politi
sedikit banyak bisa memperngaruhi isi pemberitaan. Level ini
bisa memperngaruhi tayangan media di setiap tahapan pra
produksi, produksi dan pasca produksi.
2. Level Rutinitas; rutinitas media berhubungan dengan
mekanisme dan proses penentuan dan pembentukan berita.

544
Setiap media mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang
disebut berita, ciri-ciri berita yang baik, atau kriteria kelayakan
berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung
setiap hari dan menjadi standar prosedur bagi pengelola
media. Rutinitas sendiri berarti pola, atau praktek yang
berulang dan dibentuk pekerja media dalam melaksanakan
pekerjaan sehari-hari.
3. Level Organisasi; di level ini yang menjadi fokus adalah tujuan
organisasi media, yaitu tujuan ekonomi mencari keuntungan
atau income. Tujuan lain organisasi media adalah
memproduksi produk yang berkualitas, melayani publik, dan
mendapatkan pengakuan profesional. Level organisasi
berhubungan dengan struktur organisasi yang mempengaruhi
pemberitaan atau tayangan media. Pengelola dan wartawan
media bukan orang tunggal yang ada di dalam organisasi
media. Masing-masing komponen dalam organisasi media
bisa jadi mempunyai kepentingan masing-masing.
4. Level Ekstramedia; kekuatan dari pihak luar dapat
mempengaruhi kinerja media, seperti kekuasaan negara.
Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media.
Meskipun berasa di luar organisasi media, hal-hal di luar
organisasi media ini sedikit banyak dalam kasus tertentu
mampu mempengaruhi pemberitaan media.
5. Level Ideologi; level ideologi dapat diartikan sebagai kerangka

545
berpikir atau kerangka referensi yang dipakai oleh individu
untuk membentuk realitas dan bagaimana mereka
menghadapinya. Berbeda dengan level sebelumnya yang
tampak konkret, level ideologi ini abstrak.
Hierarki ini diilustrasikan serupa lingkaran berlapis di
mana level ideologi merupakan yang terluar. Media sangat
dipengaruhi oleh aspek ini, yang meskipun abstrak, dalam
praktiknya bisa sangat pragmatis. Ideologi mempengaruhi
‘pergerakan’ media secara umum, tapi pengaruh terdalam dari
isi media (seleksi konten, kemasan, pilihan kalimat), justru ada
pada level individual.

Pembahasan Istilah dan Peran ‘Orang Ketiga’


Istilah ‘orang ketiga’ mungkin terdengar umum. Tapi
dalam konteks ini, peneliti merujuk pada pihak yang menjadi
perantara antara narasumber dan jurnalis atau pekerja media.
Mereka bisa saja juga dalam keseharian disebut sebagai
koordinator media, agen berita atau mungkin sebutan lain. Tapi
bahkan, istilah-istilah ini memiliki kelemahan secara ilmiah.
Untuk alasan praktis penulisan, peneliti memilih istilah orang
ketiga dengan asumsi bahwa setidaknya, ada dua peran yang
biasa dimainkan oleh para perantara ini.
Pertama, koordinator media yang biasa menangani
konferensi pers baik skala kecil maupun besar, termasuk

546
mengkoordinasi acara-acara besar lembaga politik yang
(mungkin) berlangsung lebih dari satu hari. Umumnya, peran
yang diambil tidak hanya memastikan jurnalis melakukan liputan
dan menayangkan atau memuat beritanya. Tapi juga
memberikan pesan-pesan agar tone,jika perlu, angle berita
dimaksud bersifat positif.
Informan Ck, dalam penelitian ini, mengambil peran ini
sejak beberapa tahun lalu. Ck adalah eks jurnalis yang
belakangan berbisnis tetapi bersentuhan dengan dunia pers dan
dekat dengan dunia politik baik secara perorangan maupun
lembaga. Kemampuan dan keluwesan bergaul membawa Ck
pada ‘pekerjaan’ mobilisasi jurnalis untuk berbagai acara
lembaga politik dengan imbalan tertentu.
Kedua, kelompok jurnalis yang bekerja ‘sampingan’
melakukan liputan ‘khusus’ untuk para pemesan. Mereka
menawarkan kontrak tidak tertulis dengan lembaga, partai atau,
umumnya, fraksi di DPR dalam rangka pemberitaan secara rutin.
Liputan terkait lembaga maupun perorangan, dan setiap orang
dari kelompok ini menerima imbalan rutin setiap buan, selama
kontrak.
Informan Rd bekerja di wilayah ini. Ia seorang wartawan
aktif sebuah lembaga penerbitan, dan memiliki jaringan sesama
jurnalis sebagai sebuah tim. Menurut Rd, jumlah jurnalis (media)
dalam kelompok tergantung kesanggupan lembaga pemesan.

547
Rd juga mengatakan, tugasnya sebenarnya rutinitas biasa.
Kadang diketahui atasannya langsung di media tempatnya
bekerja, seringkali juga tidak. Hanya saja sebenarnya, ia sedang
melakukan branding lembaga atau pihak tertentu dengan
imbalan, yang menurutnya, jauh lebih rendah dari angka yang
harus dikeluarkan jika pihak pemesan memasang iklan.
Orang ketiga, sebenarnya mungkin saja dianggap
sebagai (salah satu) narasumber oleh pewarta atau pekerja
media. Sejauh misalnya, ia diasumsikan sebagai ‘jalan masuk’
kepada sumber berita. Tapi saat yang sama, lepas dari apakah
dia seorang jurnalis atau bukan, bagi narasumber, ia bisa
dipandang sebagai ‘orang media’.
Para perantara ini, sebenarnya—sejauh pengamatan
peneliti—ada dan memainkan peran hampir di semua bidang
liputan; politik, seni hiburan, ekonomi dan olahraga. Jadi
betapapun tak mudahnya mendefinisikan sosok dan peran
mereka dalam jurnalisme secara umum, itu tak menampik
kenyataan bahwa mereka ada dan memiliki peran penting,
khususnya dalam liputan- liputan politik. Ini juga menegaskan
fakta, bahwa mereka berada di wilayah abu-abu dalam praktik
jurnalisme. Karena meskipun berperan besar dalam sirkulasi
bahan berita, mereka (mungkin saja) tidak diakui keberadaannya
secara formal oleh baik institusi media, maupun institusi politik
yang meng-hire mereka.

548
Kawalan Berita dan Pembentukan Citra
Para informan tidak peduli dengan istilah yang digunakan
untuk mengarahkan sebuah berita. Dalam hal ini, terpenting
mereka memahami apa saja yang diinginkan oleh lembaga atau
pihak pemberi pesan berita. Jika itu terkait event, mereka akan
diberi arahan misalnya, harus memastikan informasi basic
acaranya terpapar, juga pesan acara tersebut bagi publik. Siapa
yang harus ditonjolkan dalam pemberitaan dan ke mana saja
arah wawancara dengan tokoh terpenting dalam acara, juga
merupakan pertimbangan penting.
Khusus bagi pihak ketiga tipe kedua, yakni yang bekerja
dalam kelompok, pesan-pesan disampaikan secara reguler.
Komunikasi berjalan secara intensif bahkan tak jarang, kelompok
ini melakukan pertemuan dengan pihak terkait untuk
mendiskusikan isu-isu yang sedang berkembang, bagaimana
seharusnya direspons, dan siapa saja yang sebaiknya
memberikan respons. Sesekali juga dilakukan evaluasi,
kemudian memunculkan isu baru atau merespons fenomena
baru, dan demikian seterusnya.
Informan Rd misalnya, menyatakan bahwa proses ini
tidak menjadi beban bagi dirinya dan media tempatnya bekerja.
Karena tokoh atau pihak yang ia beritakan, memang memiliki
nilai berita. Sesekali, Rd tidak bisa sepenuhnya mengontrol tone

549
berita karena pada akhirnya, kekuasaan untuk mengedit,
mengubah berita ada di tangan seorang redaktur. Tetapi kasus
seperti ini jarang terjadi.
Hal yang sama, sebenarnya juga dialami Ck. Ia tidak bisa
serta merta memastikan dan menjamin semua berita dari
peristiwa atau acara yang ia tangani akan hadir di media dengan
tone yang menyenangkan bagi pihak pemberi order. Tetapi
jumlah berita yang seperti itu, sangat jarang. Hal ini biasanya
terjadi karena media bersangkutan memang tidak atau bukan
media yang ‘bisa diatur’. Atau, jurnalis bersangkutan memang
tidak bisa mempengaruhi gatekeeper (redaktur) di lembaga
penerbitan tempatnya bekerja untuk memat berita dengan nada
yang diinginkan si pemesan.
Ck dan Rd sadar, apa yang mereka lakukan sebenarnya
tidak etis. Itulah sebabnya, praktik ini, khususnya dalam konteks
yang dilakukan Rd berlangsung secara tersembunyi atau
sekadar menjadi rahasia di antara para pihak. Tetapi mereka
merasa mendapatkan pembenaran karena: pertama, kegiatan
ini berjalan tanpa mengganggu rutinitas media. Artinya, dalam
konteks ini, jurnalis mendapatkan berita, menulisnya dengan
syarat yang cukup untuk dipublikasi (memiliki news value), dan
tidak ‘’benar-benar memaksa, atau menekan pihak lain untuk
dipublikasi. Atasan saya, bisa saja menolak atau mengubah
beritanya,’’ demikian dikatakan Rd.

550
Kedua, Rd dan kawan-kawan merasa sedang memainkan
peran sebagai ‘pemberi’ ruang iklan bagi pihak lain. Berita
adalah pencitraan lembaga atau tokoh politik. Pencitraan
konvensional yang biasa dilakukan adalah memasang iklan.
Sementara harga iklan mahal, mereka dimungkinkan
melakukannya dengan cara seperti ini. Jadi, ‘’sama-sama
menguntungkan.’’ Kalimat ini, dikatakan oleh kedua informan.

Kesimpulan
Dapatkah obyektivitas dipenuhi? Dipastikan tidak.
Informan menyadari hal itu. Dengan memutuskan untuk
bekerjasama, sejak awal mereka menyadari bahwa berita
obyektif tidak akan bisa dibuat. Karena sejak proses penggalian
informasi, kehendak untuk menyampaikan informasi dengan
sesungguhnya, kritis, memang sudah dilipat sementara.
Tidak sulit menyiasati masalah ini, jika dikaitkan dengan
nilai berita. Jurnalis hanya perlu memilih angle yang tepat untuk
menyembunyikan angle lainnya yang dianggap berbahaya bagi
citra seorang politisi atau lembaga bersangkutan. Menonjolkan
satu hal, dan meredam lainnya adalah hal lumrah dalam praktik
penulisan berita. ’’Agenda setting kan biasa di media. Yang kami
lakukan tidak seberapa. Bayangkan itu, televisi menyeleksi
secara besar-besaran berita apa saja yang bisa masuk ke sana
karena masalah kepentingan pemiliknya,’’ demikian informan

551
Rd.
Umumnya, kedua informan mengaku bahwa para
pemesan puas dengan pekerjaan mereka. Padahal tidak pernah
juga diukur sejauh mana berita-berita yang ’diatur’ ini
memberikan pengaruh terhadap elektabilitas mereka atau
menaikkan citra lembaga di mana mereka bernaung sebagai
politisi. Jumlah (kuantitas) berita sesuai barang bukti baik cetak,
media online maupun berita televisi biasanya menjadi ukuran
penting keberhasilan pekerjaan ini. Tentu saja, dalam jumlah
tersebut tone berita yang positif sangat diperhitungkan.
Setelah melakukan paparan di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa praktik transaksional dalam pemberitaan
media tampaknya semakin beragam caranya. Penelitian ini
dilakukan di tingkat reporter dalam rutinitas media, atau satu dari
sejumlah aktor di level individu dalam hierarki pengaruh
Shoemaker and Reese. Keinginan jurnalis untuk mendapatkan
keuntungan materi di luar lembaga kerja mereka, bertemu
dengan hasrat politisi atau lembaga politik untuk menjaga citra,
melakukan pencitraan dan akhirnya demi meningkatkan
elektabilitasi. Para pihak, tidak merisaukan pelanggaran etik dan
prinsip-prinsip dasar jurnalisme. Dalam waktu lama, kondisi ini
akan semakin menyuburkan sikap permisif dan profesionalisme
media sebenarnya tampak memprihatinkan. Profesionalisme
politisi, tentu, hal memprihatinkan lainnya.

552
Daftar Pustaka
Assegaf, Djafar. 1993. Jurnalisitk Masa Kini Pengantar Praktik
Kewartawanan, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan
Politik Media. Yogyakarta: LkiS.
Iskandar Muda, Dedy. 2003. Jurnalisitk Televisi, Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Ishwara, Luwi. 2011. Jurnalistik Dasar. Jakarta: PT. Kompas
Media Nusantara.
Jeffres, Leo, W. 1986. Mass Media Proccesses and Effects.
Illionis: Woveland Press
Kovach, Bill & Rosenstiel, Tom. 2004. Elemen Jurnalisme
(terjemahan). Jakarta: Institut Studi Arus Informasi dan
Kedubes AS.
McQuail, Denis,1994. Mass Communication Theory: An
Introduction (Third Edition), SAGE Publications, London
Roger, Wimmer D. & Joseph R. Dominick. 2003. Mass Media
Research Anintroduction. 7th. Amerika.
Riduwan. 2004. Metode Riset. Jakarta : Rineka Cipta
Ruben, Bren, D., & Lea P Stewart. 1984. Communication and
Human Behavior, Pearson Education, Inc. USA
Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu : Penjajahan Baru di
Jagat Media. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Straubhaar, Joseph and Robert La Rose. 2002. Media Now:

553
Communications Media in TheInformation Age. 3th Ed.
New York: Wadsworth Thomson Learning.
Semiawan, Prof. Dr. Cony R.. 2010. Metode Penelitian Kualitatif:
Jenis, Karakteristik danKeunggulannya. Jakarta: Grasindo.
Shoemaker, Pamela J. dan Stephen D. Reese. 1996. Mediating
the Message: Theories of Influences Mass Media Content.
Second Edition. New York. Longman.
Strömbäck, Jesper Michael A. Mitrook b & Spiro Kiousis. 2010.
Bridging Two Schools of Thought: Applications of Public
Relations Theory to Political Marketing. Journal of Political
Marketing, Vol. 9. London: Taylor & Francis GroupTebba,
Sudirman. 2005. Jurnalistik Baru. Jakarta: kalam Indonesia.
Wahyuwibowo, Indiwo Seto. 2003. Dasar – Dasar Jurnalistik.
Jakarta: Wacana Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Moestopo.
Wahyudi, JB. 1996. Dasar-dasar Jurnalistik Radio dan Televisi.
Cetakan ke: 1. Jakarta: Gajah Gita Nusa.
Wahid, Umaimah. 2011. Komunikasi Politik, Teori dan Praktek.
Jakarta: CV. Widya Media Komunikasi

*) Nanang Haroni Universitas Al Azhar Indonesia, Komplek


Masjid Agung Al Azhar, Jln Sisingamangaraja Kebayoran Baru
Jakarta 12110,
e-mail: nanangharoni@uai.ac.id, raisatahfata@yahoo.com

554
OPINI MASYARAKAT KABUPATEN SIDOARJO TERHADAP
PERSONAL BRANDING CAWABUP SIDOARJO
(Studi Kasus Tan Mei Hwa Sebagai Perempuan Tionghoa
Beragama Muslim Dalam Pencalonan Pilkada
Kabupaten Sidoarjo 2015)

Rama Dimas Ade Kusuma*

Pendahuluan
Studi ini tentang opini masyarakat Kabupaten Sidoarjo
terhadap personal brand Tan Mei Hwa sebagai perempuan
Tionghoa beragama muslim dalam pencalonan pilkada
Kabupaten Sidoarjo 2015. Tema ini menarik untuk diteliti karena
opini atau pendapat merupakan jawaban terbuka terhadap suatu
persoalan atau isu bahkan jawaban yang dinyatakan
berdasarkan kata-kata yang diajukan secara tertulis ataupun
lisan dan semua pembutukan opini didasarkan pada
pengalaman pibadi (frame of experience) dan pengalaman orang
lain secara langsung ataupun tidak langsung diketahui oleh
individu (frame of reference) (Sunarjo, 1997). Berbagai macam
pengalaman dalam hidup seseorang, salah satunya yakni
pengalaman dalam menghadapi pilkada baik pertama kali atau
sudah beberapa kali mengalami dalam memilih kandidat kepala

555
daerah. Karena itu peneliti hendak mengeksplorasi opini
masyarakat Kabupaten Sidoarjo dalam memaknai identitas
pribadi calon Wakil Bupati Tan Mei Hwa, dimana Tan Mei Hwa
merupakan bagian dari kelompok minoritas yang mencoba
memasuki ranah politik sebagai perempuan Tionghoa beragama
muslim dan berusaha mendapatkan hati masyarakat Kabupaten
Sidoarjo.
Menurut Priyatmoko, pemilu kepala daerah secara
langusng pada dasarnya merupakan kelanjutan dari proses yang
mulai berlangsung sejak akhir 1990-an. Ideologi politik,
kepentingan, pengelompokan, dan kepemimpinan politik yang
berbeda-beda muncul ke permukaan, mendeklarasikan
perbedaan-perbedaan diantara mereka secara terbuka
(Priyatmoko dalam Wignjosoebroto, 2008). Berlakunya UU
No.23/2004 menggantikan UU No.22/1999, yang berisikan
politik pembebasan daerah, secara tidak langsung daerah-
daerah diberi otonomi yang sangat luas, mencakup semua
urusan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang ditentukan
secara limitatif sebagai tanggung jawab pemerintah pusat.
Sehingga pada era otonomi daerah, dapat dikatakan salah satu
langkah maju yang besar dan babakan baru dalam sejarah politik
di Indonesia dengan diselenggarakannya pemilihan Kepala
Daerah secara langsung oleh rakyat. Secara teoritis menurut
Aminah pelaksanaan Pilkada merupakan sebuah momentum

556
peletakan dasar bagi fondasi kedaulatan rakyat dan sistem
politik serta demokrasi di ranah lokal (Aminah dalam
Wignjosoebroto, 2008).
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung
merupakan intitusi konstitutif sekaligus instrumental, secara
institusi konstitutif pilkada secara langsung harus
diselenggarakan semata-mata karena alasan nilai dan prinsip
yang sudah seharusnya diperkuat, tanpa terlalu atau bahkan
tidak sama sekali mengalkulasi besaran untung-ruginya secara
pragmatis. Sedangkan secara intrumental yakni bernilai-
tidaknya atau tinggi-rendahnya nilai penyelenggaraan Pilkada
secara langsung tidak melekat pada penyelenggaraannya saja,
melainkan lebih ditentukan oleh dampak atau konsekuensi yang
ditimbulkannya dan dengan kata lain ditentukan oleh asas
kemanfaatannya secara pragmatis (Priyatmoko dalam
Wignjosoebroto, 2008).
Masyarakat bukan sosok yang sederhana yang dengan
mudah menentukan kebulatan kehendaknya, dalam
kenyataannya masyarakat merupakan himpunan plural yang di
dalamnya terdapat banyak kepentingan dan kehendak, yang
kadang-kadang tidak sekedar saling berbeda, melainkan juga
cenderung saling berbenturan, bertentangan dan saling
berusaha ingin mengalahkan. Kadang ada kehendak atau
kepentingan tertentu yang dikemas sedemikian rupa atas nama

557
mayoritas, atau modernitas, kemajuan, stabilitas, atau lainnya
yang hendak mengatasnamakan masyarakat secara
keseluruhan. Sehingga dengan masa persiapan yang relatif
sangat terbatas partai-partai politik dituntut untuk menyiapkan
figur publik dengan tepat untuk Pemilihan Kepala Daerah,
“tokoh” atau “orang yang ditokohkan” atau “yang ditokoh-
tokohkan” yang resminya bisa diakui sebagai “kader politik” yang
dididik, disiapkan, dan dimatangkan kemampuan
kepemimpinannya melalui partai politik guna menduduki
jabatan-jabtan publik yang memegang kewenangan resmi untuk
menetapkan kebijakan-kebijakan yang mengikat rakyat.
Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu daerah yang
telah siap menyambut Pilkada secara serentak tahun 2015 dan
menjadi fokus lokasi penelitian berlangsung. Tokoh yang salah
satunya telah dipersiapkan partai politik dalam Pemilihan Kepala
Daerah di Kabupaten Sidoarjo 2015 tidak dipungkiri didominasi
oleh pasangan kaum pria, diantaranya H. MsG Hadi Sutjipto,
S.H, M.M dengan H. Abdul Kolik, S.E (HATIKU), H. Utsman
Ikhsan dengan Ida Astuti, S.H (USWATAN), Saiful Ilah S.H,
M.Hum dengan Nur Achmad Syaifuddin, S.H (BERSINAR), dan
Wareh Andono, S.H dengan H. Imam Sugiri, S.T, M.M (WANI).
Berbeda halnya dengan nomor urut 2 (dua) Utsman Ikhsan yang
merupakan satu-satunya pasangan menggandeng calon wakil
perempuan yakni Ida Astuti alias Tan Mei Hwa, partai politik

558
pengusungnya yakni partai PKS dan Gerindra, dimana kedua
partai bersama mendukung dan mengantarkan ke kantor KPUD
Sidoarjo di Jalan Cemengkalang pada tanggal 27 Juli 2015 pukul
14.00 (sumber: nasional.tempo.co).
Tan Mei Hwa lahir di Tulungagung 27 Juli 1968 merupakan
salah satu sedikit perempuan berketurunan etnis Tionghoa yang
sangat menekuni dunia dakwah islam, dakwahnya berawal pada
tahun 1993 yang ditekuni setiap harinya secara konsisten,
sehingga banyak masyarakat semakin mengenalnya dengan
pendakwah yang mencerahkan dan penuh dengan humor.
Tetapi dakwah yang dilakukan telah memiliki agenda kegiatan
rutin sebelum pencalonan dirinya sebagai calon Wakil Bupati
Kabupaten Sidoarjo. Tan Mei Hwa sebagai pendakwah telah
sering menghadiri sebuah pengajian dari desa ke desa,
perumahan ke perumahan secara rutin terutama kaum
perempuan muslim hingga terkenal secara massa ketika tausiah
di salah satu stasiun TV di Surabaya. Sehingga Tan Mei Hwa
menurut Aditya Nindyatman sebagai Ketua DPD PKS Jawa
Timur, sesuai dengan misi PKS sebagai partai dakwah (sumber:
www.pks.or.id)
Nyai Tan panggilan akrab masyarakat yang mengenalnya
tersebut, mengakui dirinya mendampingi Utsman guna
memperjuangkan aspirasi para perempuan di Kabupaten
Sidoarjo, seperti yang dikatakan Tan Mei Hwa:

559
Saya lebih banyak mengurus internal, seperti
mengurus wanita. Karena wanita itu mempunyai
potensi yang sangat luar biasa, jika dikembangkan.
Kemudian pendidikan, kaum dhuafa, dan yatim piatu,
dan ini yang pas cocok untuk ditangani seorang
perempuan. (sumber: www.suarasurabaya.net)
Komitmen sebagai pendakwah, Tan Mei Hwa menerapkan
strategi dengan berdakwah bersamaan dengan kampanye
dirinya sebagai calon Wakil Bupati Kabupaten Sidoarjo 2015
diberbagai daerah seperti Desa Sugihwaras – Kecamatan Candi,
Perum Griya Kartika – Kecamatan Sedati, Perum Anggaswangi
– Kecamatan Sukodono, Perum Candiloka – Kecamatan Candi,
Desa Ngingas – Kecamatan Krian, dan sebagainya. Namun tidak
hanya dakwah saja tetapi beberapa agenda juga menjadi
perhatian Tan Mei Hwa dalam strategi kampanye seperti
menghadiri kegiatan kemerdekaan Republik Indonesia di
Tropodo, bertemu dengan komunitas pengamen di Sop Ayam
Pak Min Sidoarjo, bertemu dengan kaum pemuda, senam dan
jalan sehat di Banjarwungu, hingga menghadiri takbir keliling di
Krian. (sumber: www.facebook.com – Uswatan Untuk Sidoarjo).
Disamping itu perempuan saat ini sudah menjadi perhatian lebih,
khususnya Tan Mei Hwa selain satu-satunya calon perempuan
sehingga mengerti permasalahan perepuan dan sebagai calon
pemimpin yang memberikan wadah pada perempuan di
Kabupaten Sidoarjo baik fatayat NU, pekerja, remaja, bahkan

560
kaum janda yang akan diperdayakan seperti yang dilansir dalam
artikel Jawa Pos (Jawa Pos, 24-9-2015)
Menurut Fitranisa (2011) sebenarnya etnis Tionghoa
terdiskriminasi hampir di semua sektor kehidupan meskipun
mereka mendapat kesempatan untuk mengembangkan ekonomi
nasional, termasuk kekayaan mereka sendiri. Pemerintah juga
menerapkan kebijakan satu budaya terhadap etnis Tionghoa
supaya membaur secara total ke dalam masyarakat Indonesia,
dengan menutup sekolah-sekolah Tionghoa, melarang
penerbitan media berbahasa Tionghoa, pelarangan penggunaan
bahasa Tionghoa di muka umum dan mengharuskan mereka
mengganti nama menjadi “lebih Indonesia”. Disamping itu
menurut Meij, identitas orang Tionghoa juga dibentuk dan
dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai kelompok yang
monolitik (Meij dalam Fitranisa, 2011). Berbeda halnya dengan
kondisi saat ini, mualaf Tionghoa ini memperoleh kebebasan
untuk mengekspresikan identitas religius mereka setelah era
pemerintahan Abdurrahman Wahid (Hoon, 2006). Disamping itu
saat era pemerintaham Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), pemerintah telah melegalisasi aturan kewarnegaraan
Indonesia yang baru (No.12/2006). Adanya pembaruan atas
peraturan kewarganegaraan di Indonesia, etnis Tionghoa lebih
leluasa untuk mengartikulasikan identitas mereka.

561
Tan Mei Hwa sebagai seorang perempuan, dapat
merasakan hal yang sama dengan politisi perempuan lainnya
yakni sering dikesampingkan banyak orang terutama kaum
patriarki yang menganggap perempuan tidak boleh bermain dan
berkiprah di ranah politik, akibatnya menjadi semakin sulit bagi
perempuan untuk mengonsolidasi posisi dan kedudukannya
serta semakin mempersempit ruang gerak sekaligus suara
perempuan yang terwakili. Menurut Bystrom et al. (2004),
berpendapat media massa dianggap sering menggambarkan
politisi perempuan mempunyai masalah atau dikaitkan dengan
isu domestik yang berkaitan dengan perilaku anak dan
suaminya, namun tidak dengan politisi laki-laki. Disamping itu
media juga dianggap telah mendeskripsikan politisi perempuan
dengan berbagai cara dan kata-kata yang menekankan pada
peran tradisional perempuan di rumah, persoalan penampilan
mereka di publik, dan perilaku politisi perempuan di masyarakat,
misalnya model rambutnya, gaunnya, atau kebiasaan jelek
minum-minuman atau menghabiskan uang milirian untuk belanja
online, dan sebagainya. Sedangkan kandidat laki-laki secara
umum lebih memiliki kebebasan dalam berpakaian dan
bertingkah laku karena publik telah terkoordinasikan atau
terbiasa untuk menerima laki-laki sebagai pemimpin.
Menurut Subiakto dan Ida (2012), meskipun perempuan
mempunyai ruang dan posisi yang menguntungkan diparlemen,

562
perempuan belum mampu memperjuangkan suara perempuan,
kebutuhan perempuan, dan proporsi pembagian persoalan
kesejahteraan dan keadilan bagi perempuan. Ketika perempuan
mempunyai andil untuk bicara, perjuangan terhadap kelompok
perempuan dan anak-anak serta kaum minoritas yang lain belum
mampu secara maksimal dikedepankan, dibandingkan
persoalan atau masalah yang dihadapi umum yang lebih
memihak kepentingan dominan laki-laki.
Permasalahan agama menjadi salah satu bagian yang tak
lepas dari seorang yang berketurunan Tionghoa, dimana
menurut perhimpunan INTI sebagai organisasi yang didirikan di
Jakarta di hadapan Notaris James Herman Rahardjo pada 5
Februari 1999 oleh 18 Warga Negara Republik Indonesia yang
peduli terhadap penyelesaian “Masalah Tionghoa”, masih
terdapat prasangka atau penilaian buruk dengan nada
"menghakimi" menyeruak seperti pernyataan, "Pasti ada motif
mencari untung jika Tionghoa menjadi muslim agar karir atau
urusan bisnis lancar serta tidak dicurigai macam-macam".
Memprihatinkan memang dalam memeluk Islam pun, etnis
Tionghoa masih dikait-kaitkan dengan prasangka besar sebagai
homo economicus.
Perhimpunan INTI mengatakan bahwa sebenarnya sejarah
masuknya Islam dengan etnis Tionghoa sangat erat. Ketika
Islam mulai masuk Indonesia, termasuk ke Jawa Timur sekitar

563
abad 14 dan 15, terdapat banyak sekali peran orang-orang
Tionghoa. Prof Dr Slamet Muljana dalam buku Runtuhnja
Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara Islam di
Nusantara (1968) yang kemudian dilarang pemerintah Orde
Baru.Menurut buku tersebut, penyebaran Islam di Nusantara
memang tidak hanya berasal dari para pedagang Arab, tetapi
juga ada peran dari para migran atau pendatang dari Tiongkok
(sumber: inti.or.id).
Tan Mei Hwa yang memiliki latar belakang kontroversi,
menjadikan solidaritas antara Partai Politik pengusung dan Tim
Pemenangan dalam membangun sebuah personal brand yang
berpengaruh, seperti yang dikatakan David McNally & Karl D.
Speak (2004) sebuah personal brand yang kuat terdapat tiga hal
mendasar yang menyatu. Pertama, kekhasan menjadi hal
penting supaya berbeda dengan kebanyakan orang, kekhasan
dapat berupa kualitas pribadi, tampilan fisik, atau keahlian.
Kedua, relevansi pada karakter dan latar belakang keahliannya,
sehingga dapat dipercayai dengan mudah oleh masyarakat
tanpa anggapan negatif omong kosong. Ketiga, konsistensi
dalam usaha branding dengan berbagai cara akan menghasilkan
keunggulan brand. Personal brand memberikan dampak dasyat,
dibuktikan kesuksesan Susilo Bambang Yudoyono
memenangkan pemelihan Presiden secara langsung dua kali
berturut-turut tahun 2004 dan tahun 2009. Junaedi (2013)

564
mengatakan pada saat pemilu 2009 berbagai iklan politik
menyerang SBY secara bertubi-tubi dan menohok kebijakannya,
namun citra yang telah terbangun dan melekat pada sosok SBY
ternyata tidak mudah dijatuhkan dengan iklan politik.
Tan Mei Hwa berada di Kabupaten Sidoarjo sangat
menarik dalam pemetaan suara partai politik, dimana memiliki 18
kecamatan, diantaranya memiliki 353 kelurahan dan memiliki
Daftar Pemilih Tetap 2015 sekitar 60% dari jumlah penduduk
yakni 1.367.945, jumlah pemilih perempuan 693.996 dan jumlah
pemilih pemilih laki-laki 673.949 (kpud-sidoarjokab.go.id). Basis
partai politik terbesar dari keseluruhan wilayah data tersebut
yakni partai PKB, sehingga harus memiliki personal brand yang
kuat dalam memenangkan kontestasi Pilkada 2015.
Berdasarkan data KPU Sidoarjo Suara Pileg 2014, PKB
menguasi diseluruh Dapil dengan hasil Dapil 1 terdapat 60.208,
Dapil 2 terdapat 52.757, Dapil 3 terdapat 33.197, Dapil 4 terdapat
50.649, Dapil 5 terdapat 38.449, Dapil 6 terdapat 28.370, dan
total seluruh dapil terdapat 263.630 suara (kpud-
sidoarjokab.go.id). Sedangkan Partai Politik yang mengusung
Tan Mei Hwa, meskipun sudah diusung oleh dua partai politik
PKS dan Gerindra tetapi pada kenyataannya hasil pileg 2014
tetap tidak dapat mengungguli suara PKB yang mendominasi di
Kabupaten Sidoarjo. Data yang diperoleh dari KPU Sidoarjo
suara Pileg 2014 gabungan antara PKS dan Gerindra yakni Dapil

565
1 terdapat 33.758, Dapil 2 terdapat 29.737, Dapil 3 terdapat
34.351, Dapil 4 terdapat 30.711, Dapil 5 terdapat 42.676, Dapil
6 terdapat 26.801, dan total seluruh dapil PKS dan Gerinda
terdapat 198.034 suara (kpud-sidoarjokab.go.id).
PKS sebagai partai politik yang telah berdiri 1970-an
dengan menggandeng partai Gerindra tetap memiliki keyakinan
dengan tokoh yang diusungnya dalam perhelatan pilkada 2015,
yakni Utsman Ikhsan dengan wakilnya Tan Mei Hwa (uswatan)
merupakan kandidat yang terpilih dan siap menantang calon
incumbent Saiful Ilah yang telah mengabdi 15 tahun mengabdi
untuk warga sidoarjo, dimana dua periode sebagai Wakil Bupati
dan satu periode sebagai Bupati beserta partai besar
pengusungnya yakni PKB (Jawa Pos, 7-10-2015).
Melihat berbagai kesuksesan dan kontroversi tokoh politik
tidak dipungkiri peran besar oleh Partai Politik, Partai Politik
merupakan organisasi yang memiliki sebuah ideologi untuk
memperoleh kekuasaan politik dan sebuah kedudukan politk
dengan cara konstitusionil dalam melaksanakan kebijakan-
kebijakan (Budiarjo, 1989). Partai politik di Indonesia yang
dinyatakan sah untuk pemilihan kepala daerah pada tahun 2015
terdapat 10 partai yakni Nasdem, PKB, PKS, PDIP, Gerindra,
Demokrat, PAN, Hanura, PBB, dan PKPI (sumber:
www.kpu.go.id), dimana partai politik yang telah lolos secara
administrasi akan secara langsung mempersiapkan

566
pengusungan seorang calon individu yang berkualitas untuk
merebut kemenangan pada pemilihan umum dalam sistem
demokrasi di Indonesia.
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan mengenai
fenomena dan pandangan secara akademis yang terjadi, peneliti
tertarik mengenai opini masyarakat Kabupaten Sidoarjo
terhadap personal brand Tan Mei Hwa sebagai perempuan
tionghoa beragama muslim dalam pencalonan pilkada
Kabupaten Sidoarjo 2015. Berbicara mengenai opini sebagai
proses yang menggabungkan pikiran, perasaan, dan usul yang
diungkapkan oleh warga negara secara pribadi terhadap pilihan
kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang
bertanggung jawab atas dicapainya ketertiban sosial dalam
situasi yang mengandung konflik, perbantahan, dan perselisihan
pendapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana
melakukannya (Rakhmat, 2001). Sehingga dengan
mengeksplorasi opini masyarakat Kabupaten Sidoarjo, dapat
mengetahui secara detail yang masyarakat pikirkan, rasakan,
memaknai, dan ingin diusulkan pada calon pemimpin secara
pribadi, dimana yang pada akhirnya dapat memberikan sebuah
refleksi atas kepercayaan, nilai, dan pengharapan pada calon
Wakil Bupati Tan Mei Hwa untuk kemajuan Kabupaten Sidoarjo
Beberapa penelitian sudah pernah dilakukan sebelumnya,
penelitian terdahulu salah satunya Yanny Hariati (2015) yang

567
menggunakan sudut pandang persepsi pemilih pemula terhadap
political personal branding. Namun yang berbeda dengan
penelitian ini berfokus pada opini masyarakat dan menggunakan
metode Focus Group Discussion (FGD) pada dua kelompok
yang telah ditentukan peneliti, sehingga peneliti mendapatkan
data yang komperhensif dan mendalam mengenai dari informan
yang beragam mengenai personal brand Tan Mei Hwa. Adapun
tujuan penelitian ini untuk mengeksplorasi opini masyarakat
Kabupaten Sidoarjo terhadap personal brand Tan Mei Hwa
sebagai perempuan Tionghoa beragama muslim dalam
pencalonan Pilkada Kabupaten Sidoarjo 2015.

Objek Kajian Studi


Menurut Rakhmat (2001) opini sebagai proses yang
menggabungkan pikiran, perasaan, dan usul yang diungkapkan
oleh warga negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan
yang dibuat oleh pejabat Pemerintah yang bertanggung jawab
atas dicapainya ketertiban sosial dalam situasi yang
mengandung konflik, perbantahan, dan perselisihan pendapat
tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana
melakukannya. Begitupun Nimmo (2001) berpendapat, opini
sebagai tanggapan aktif terhadap rangsangan, tanggapan yang
disusun melalui intepretasi personal yang diturunkan dan turut
membentuk citra. Setiap opini merefleksikan organisasi yang
568
kompleks yang terdiri atas tiga komponen, yaitu kepercayaan,
nilai, dan pengharapan.
Maka dalam peneliti mengharapkan tanggapan masyarakat
Kabupaten Sidoarjo akan apa yang dipikirkan, dirasakan,
bahkan hendak diusulkan terhadap personal brand yang melekat
pada identitas seorang Tan Mei Hwa. Sebab seperti yang
dikatakan oleh Sunarjo (1997) pendapat yang masyarakat
ungkapkan merupakan jawaban terbuka terhadap suatu
persoalan atau issue ataupun jawaban yang dinyatakan
berdasarkan kata-kata yang diajukan secara tertulis ataupun
lisan dan semua pembutukan opini didasarkan pada
pengalaman pibadi (frame of experience) dan pengalaman orang
lain secara langsung ataupun tidak langsung diketahui oleh
individu (frame of reference).

Karena pengalaman pribadi dan pengalaman pengetahuan


yang berbeda setiap individu, dapat dipastikan opini akan sangat
beragam dari berbagai sudut pandang. Tetapi tidak menutup
kemungkinan opini yang masyarakat Kabupaten Sidoarjo yang
didapat melalui metode Focus Group Discussion (FGD)
mengenai Tan Mei Hwa mempunyai satu garis lurus kesimpulan
yang sama, meskipun dengan perbendaharaan kata yang
berbeda-beda. Disamping itu opini tersebut merupakan refleksi
atas kepercayaan masyarakat terhadap Tan Mei Hwa, nilai yang

569
ada dalam diri Tan Mei Hwa, dan pengharapan masyarakat atas
Tan Mei Hwa sebagai pemimpin Kabupaten Sidoarjo.

Opini Masyarakat Sidoarjo tentang Partai Politik


Kehadiran partai politik yang terlibat dalam dunia politik
sangat terkait dengan sistem parlemen, sehingga secara tidak
langsung Partai Politik memiliki motif untuk mendapatkan
kekuasaan supaya mempunyai kewenangan untuk menentukan
arah dan kebijakan umum baik di tingkat lokal maupun nasional
(Firmanzah, 2007). Tidak dapat dipungkiri Partai Politik memiliki
pragmatisme politik yang berorientasi jangka pendek dari para
aktor politik untuk dapat memenangkan persaingan politik, maka
sering kali orientasi jangka pendek membawa sikap lebih
mementingkan kepentingan partai dan golongan dibandingkan
bangsa dan negara.
Hasil temuanpeneliti dalam kelompok Focus Group
Discussion (FGD), menyatakan bahwa sebagian besar
berpendapat partai politik menggunakanberbagai cara untuk
mendapatkan sebuah keuntungan atau kepentingan yang sama.
Masyarakat melihat Tan Mei Hwa merupakan kader terbaik yang
diusung oleh partainya tetapi ketika dipertanyakan akan sebuah
isu mahar sebuah pencalonan, menurut Bahari (2015) walaupun
calon itu berdasarkan mahar sebenarnya tidak masalah karena
partai politik siapa memberi apa dan siapa mendapatkan apa.

570
Tetapi menurut Purnomo (2015) meskipun tidak ada mahar, Tan
Mei Hwa dicalonkan oleh partai politiknya untuk mempopulerkan
partai pengusungnya melalui kepopuleran yang sudah terbentuk
sebelum pencalonan dari seorang pendakwah yang terkenal.
Hal tersebut sebenarnya sangat terkait dengan yang
dijabarkan oleh Firmanzah (2007) ketika tokoh politik yang
berpolitik didasari kalkulasi untung-rugi memiliki sebuah
ekspetasi bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan ketika
terpilih, melebih biaya yang dikeluarkan untuk dapat terpilih.
Sehingga terdapat dua arah yang sepaham antara tokoh politik
dan partai politik menginginkan sebuah keuntungan besar ketika
mendapatkan sebuah kemenangan dari kontestasi Pilkada dan
berkesempatan mengambil apa yang dapat diambil serta
menguasai yang dapat dikuasi. Namun meskipun kepentingan
dalam politik sudah bukan rahasia umum seperti yang dikatakan
Bahari (2015) untuk mengambil keuntungan dari partai politik
ketika berkoalisi dengan partai politik lain untuk memenangkan
dari satu calon itu tidak masalah, asalkan disitu tidak terjadi
pelanggaran-pelanggaran hukum di Indonesia, tidak ada
korupsi, tidak ada kolusi, dan tidak ada nepotisme didalamnya.

Opini Masyarakat Sidoarjo tentang Perempuan dan Politik


Indonesia memiliki hal yang mengejutkan setelah Pemilu
2004, terdapat perubahan besar terjadi dengan pengapdosian

571
hukum tentang kuota dalam Partai Politik yaitu UU Parpol
No.2/2008 dan UU Pemilu No.10/2008, dimana muncul wacana
tentang kuota perempuan 30% pada Pemilu yang harus
dilakukan pada pemilu 2009 (Soetjipto, 2011). Sehingga muncul
kontroversi hampir semua partai politik tidak siap dengan para
kader dan calon yang disiapkan untuk mengisi kuota ini,
akibatnya terjadi asal memasukkan seperti keluarga sendiri,
putrinya, artis perempuan, dan sosok lainnya yang muncul
menjadi “kader dadakan”.
Menanggapi hal tersebut masyarakat Kabupaten Sidoarjo
memiliki tanggapanyang berbeda, menurut Bahari (2015)
maksudnya perempuan itu terwakili, seperti sila kita ke
lima“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang
dimaksud keadilan sosial yang dimaksut adalah laki-laki dan
perempuan harus disamakan, dimata hukum harus sama tidak
ada bedanya. Begitupun pendapat Susanti (2015), setiap wanita
memiliki sifat kepemimpinan, nah mungkin sifat mereka dari kecil
mempunyai kepemimpinan atau cita-cita jadi pemimpin. Maka
sebenarnya yang terpikir oleh masyarakat bukan dari sisi
tuntutan secara undang-undang, melainkan sisi lain yang
menjadi pemicu perempuan harus naik dalam ranah politik dan
memperjuangkan aspirasi perempuan. Tetapi Fitria (2015)
berpendapat bahwa agak sangsi waktu itu menonton berita,
mungkin oknum dari suatu partai memang memilih wanita

572
sebagai calon itu karena untuk kemenangan saja, dan hal
tersebut sama seperti pernyataan Soetjipto (2011) bahwa kader
perempuan partai politik selalu dikenal sebagai kader yang loyal,
pekerja keras, vote getter yang tangguh untuk bekerja
mendulang suara bagi partai politik masing-masing, namun
mereka selalu tersisih dan paling tidak diperhitungkan
aspirasinya.
Budaya politik terhadap eksistensi perempuan di ranah
politik selama ini di Indonesia belum memberikan diskursus yang
positif, karena posisi dan peran tradisional perempuan di ranah
domestik lebih mengedepan dibandingkan kedudukan dan posisi
perempuan di ranah publik apalagi di bidang politik. Bahkan
Bystrom et al. (2004) berpendapat media massa dianggap sering
menggambarkan politisi perempuan mempunyai masalah atau
dikaitkan dengan isu domestik yang berkaitan dengan perilaku
anak dan suaminya, namun tidak dengan politisi laki-laki.Namun
pemikiran dalam satu kelompok Focus Group Discussion (FGD)
yang memiliki sebuah pendapat yang sama yakni menentang
apa yang menjadi streotype selama ini, semua mengatakan
bahwa tidak ada masalah ketika perempuan masuk dalam ranah
politik asalkan melakukan semua janjinya (Amiriyah, Rahmawati,
dan Susanti, 2015). Begitupun Fitria (2015) menegaskan bahwa
saat ini era wanita modern dan wanita tidak terpaku oleh profesi

573
yang mainstream, terlebih sudah punya kemampuan memimpin
untuk mewakili aspirasi perempuan.
Menurut Subiakto dan Ida (2012), meskipun perempuan
mempunyai ruang dan posisi yang menguntungkan diparlemen,
perempuan belum mampu memperjuangkan suara perempuan,
kebutuhan perempuan, dan proporsi pembagian persoalan
kesejahteraan dan keadilan bagi perempuan. Ketika perempuan
mempunyai andil untuk bicara, perjuangan terhadap kelompok
perempuan dan anak-anak serta kaum minoritas yang lain belum
mampu secara maksimal dikedepankan, dibandingkan
persoalan atau masalah yang dihadapi umum yang lebih
memihak kepentingan dominan laki-laki. Sehingga hal tersebut
menjadi harapan yang sama dari masyarakat Kabupaten
Sidoarjo, Bahari dan Rachmatdani (2015) berharap Tan Mei Hwa
lebih kepada pendidikannya karena salah satu poin strategi
dalam pendidikan, Tan Mei Hwa ingin membangun infrastruktur
perguruan tinggi. Disamping itu karena Tan Mei Hwa seorang
perempuan maka dia harus lebih fokus pada pemberdayaan
wanita Sidoarjo, contohnya di Sidoarjo ada Batik Jetis, mungkin
dapat dilebarkan lagi jangkauan produksinya sebab akan
menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) sehingga
menjadi kesempatan besar bagi Sidoarjo untuk membuka
lapangan pekerjaan baru. Serta mengharapkan Sidoarjo
dijadikan kota yang berbasis Pesantren, ketika generasi muda

574
dasar agamanya kuat maka untuk pembangunan Sidoarjo
kedepan sangat baik. Secara garis besar Subiakto dan Ida
beserta masyarakat Kabupaten Sidoarjo mengharapkan
perjuangan untuk perempuan dapat segera terwujud dan benar-
benar terlaksana dengan utuh tanpa intervensi dari berbagai
pihak yang menyangkut kepentingan.

Opini Masyarakat Sidoarjo tentang Isu Etnisitas dan Agama


Menurut Suryadinata (2002), terdapat tiga hal penting
dalam menganalisis politik Indonesia, yaitu Etnisitas, Agama dan
Militer.Isu Etnisitas dan Agama muncul menjelang pemilu 2009,
Rakyat Merdeka 11 Maret 2008 mengangkat berita berjudul:
Bachtiar Chamsyah Mau Jadi Presiden, “Tapi Mana Mungkin,
Saya Bukan Orang Jawa”. Pernyataan Bachtiar Chamsyah bisa
diartikan dalam dua hal: pertama, etnisitas merupakan salah
satu variabel yang menentukan elektabilitas kandidat. Kedua,
pernyataan Bachtiar Chamsyah merupakan sebuah teks yang
menunjukkan bahwa selama ini terjadi hegemoni dalam
pembentukan pesan seolah-olah hanya orang Jawa yang pantas
menjadi Presiden. Hegemoni tersebut dilakukan oleh kelompok
dominan untuk mengamankan posisi mereka tidak hanya dalam
institusi publik, melainkan juga dalam pendapat, nilai, standar
pengakuan melalui bagian terbesar masyarakat, serta adanya
hegemoni pengaruh budaya Jawa dalam politik Indonesia yang

575
merasa sungkan untuk membicarakan etnisitas dalam konteks
kekuasaan. Sedangkan terminologi “bukan orang Jawa”,
menggambarkan sebuah realitas bahwa selama ini terjadi
kesadaran palsu seolah-olah bahwa hanya orang Jawa yang
berhak menjadi Presiden, kesadaran Palsu tersebut dibentuk
melalui proses sejarah yang panjang, sejak Republik Indonesia
berdiri hingga saat ini hanya terdapat satu presiden dari luar
Jawa, yaitu B.J. Habibie (Widyawati, 2014).
Begitupun yang terjadi pada Pilkada Kabupaten Sidoarjo
yang memiliki kandidat pasangan yang merupakan seorang etnis
Tionghoa yang beragama islam. Peneliti mendapati beberapa
perbedaan pendapat dari kelompok Focus Group Discussion
(FGD) dengan kemunculan isu menjelang pemilu 2009, pada
intinya seluruh individu memiliki pemikiran yang postif dan
mengatakan tidak ada masalah mengenai pemimpin yang
beretnis Tionghoa. Bahkan Fitria (2015) mendengarkan
tanggapan tetangga-tetangga kalau lihat dakwah Tan Mei Hwa
yang dikomentari mengenai dakwahnya, bukan mengenai orang
cina atau jawa. Disamping itu Bahari dan Rachmatdani (2015)
juga memiliki pandangan yang berdasar semboyan Negara yakni
Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila, sehingga benar apa yang
dikatakan Eriyanto (2008) pengaruh etnisitas dan agama
terhadap perilaku memilih dalam Pemilu maupun Pilkada sangat

576
kontekstual pengaruhnya, bergantung pada daerah dan
karakteristik sosial budaya masyarakat.
Pada pemilu tahun 2009, terdapat isu agama ketika Jusuf
Kalla dan Wiranto dalam pemilihan Presiden. Pasangan tersebut
melontarkan slogan “Istri Muslimah” dan “Jilbab Loro”,
terkandung makna bahwa pasangan JK-Wiranto merupakan
representasi dari umat Islam, agama yang dianut oleh mayoritas
masyarakat Indonesia dan mendapatkan simpati sebagai
kandidat yang paling Islami. Tetapi mayoritas berpendapat
menggunakan agama sebagai unsur politik sah-sah saja, karena
tidak ada larangan dalam agama memang dan dulu agama
memang dijadikan unsur politik. Seperti yang diungkapkan
Bahari (2015) contohnya agama Islam disebarkan karena tujuan
politik, ada sahabat Nabi yang ke Nusantara untuk menikah
dengan anak Raja supaya agama Islam bisa masuk dan
kebetulan diperkuat Tan Mei Hwa kebetulan seorang pendakwah
dari etnis Tionghoa

Personal Brand Tan Mei Hwa dalam Opini Masyarakat


Sidoaro
Timothy P. O’Brien (2007) mengatakan personal brand
adalah identitas pribadi yang mampu menciptakan sebuah
respon emosional terhadap orang lain mengenai kualitas dan
nilai yang dimiliki orang tersebut. Penjelasan sama pernah ditulis
577
Montoya (2009), dimana personal brand merupakan image yang
kuat dan jelas ada di benak klien. Meskipun begitu personal
brand bukan semata menghadirkan personal image (citra),
meski image tentulah penting, tetapi harus didukung dengan
realita dan janji harus didukung dengan bukti.Sehingga jika
dikaitkan dengan pencalonan politik, personal brand idealnya
harus berakar pada basis karakter, kompetensi, dan kekuatan
(Haroen, 2014).

Karakter dari seorang tokoh politik menyumbangkan porsi


yang paling besar atas munculnya kepercayaan, kepercayaan
mengalahkan suka atau benci, sentimen atau tidak sentimen.
Karakter adalah sebuah kualitas personal, diri sebenarnya,
ekspresi dan pembuktian, tetapi bukan sebuah kepribadian.
Karakter merupakan sumber reputasi, sedangkan reputasi
adalah apa yang dipikirkan orang lain tentang seorang pribadi
(Purjear Jr, 2000). Bahari (2015) melihat karakter Beliau dari sisi
seorang pendakwah pasti semua orang menilai bahwa Beliau itu
baik, mencerdaskan umat melalui agama. Begitupun Fitria dan
Rachmatdani melihat kalau dakwah itu orangnya tegas dan
mempunyai niat serta tekad. Contohnya mulai dari Tan Mei Hwa
berkurban, berdakwah dimana-mana, Tan Mei Hwa juga
mendirikan salah satu pesantren, sehingga Tan Mei Hwa
mempunyai dasar sebelum menyalonkan sudah cukup.

578
Kompetensi menurut Rustiyah (1982) mengatakan bahwa
kompetensi mengandung pengertian pemilikan pengetahuan,
ketrampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan
tertentu. Susanti (2015) melihat kompetensi Tan Mei Hwa dari
Beliau yang terkenal dengan cara berdakwahnya, sehingga
sebagai masyarakat umum hanya terbatas apa yang terlihat dari
luar dan belum mengenal benar-benar secara detail kemampuan
apa lagi yang dimiliki oleh Tan Mei Hwa apabila menjadi
pemimpin di Kabupaten Sidoarjo.
Kekuatan sejatinya telah dimiliki setiap orang, hanya saja
ada yang sudah mengetahuinya dan ada yang belum
mengetahui. Menurut Haroen (2014) kekuatan seseorang
dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu kekuatan material dan non-
material. Kekuatan material lebih pada internal diri memiliki
sebuah kekayaan atau modal dan kekuatan non-material lebih
pada jaringan komunikasi, modal sosial, ketokohan, dan lain-
lain. Secara material keberhasilansebagai pendakwah,
menjadikan Tan Mei Hwa mendirikan sebuah lembaga bernama
Az-Zahra yang bergerak dibidang kemanusiaan, training,
konsultasi dan juga majelis dzikir yang melayani seluruh
golongan muslim maupun nonmuslim (sumber: mualaf.com).
Tetapi secara non-material Tan Mei Hwa memiliki jaringan
komunikasi yang terlah terjalin sebelum pencalonan dengan
melakukan dakwah secara rutin dari rumah ke rumah hingga

579
masuk dalam ranah media massa TV Lokal, disamping itu Tan
Mei Hwa menjadi pusat perhatian dalam kontentasi Pilkada
Kabupaten Sidoarjo karena menyangkut Tokoh yang memiliki
identitas seorang calon perempuan satu-satunya dan etnis
Tionghoa yang beragama muslim.
Tiga hal tersebut telah menjawab apa yang telah
dikemukakan David McNally & Karl D. Speak (2004)
mengatakan sebuah personal brand yang kuat terdapat tiga hal
mendasar yang menyatu. Pertama, kekhasan menjadi hal
penting supaya berbeda dengan kebanyakan orang, kekhasan
dapat berupa kualitas pribadi, tampilan fisik, atau keahlian.
Kedua, relevansi pada karakter dan latar belakang keahliannya,
sehingga dapat dipercayai dengan mudah oleh masyarakat
tanpa anggapan negatif omong kosong. Ketiga, konsistensi
dalam usaha branding dengan berbagai cara akan menghasilkan
keunggulan brand.

Kesimpulan
Kesimpulan secara keseluruhan dari opini yang
menggabungkan pikiran, perasaan, dan usul yang diungkapkan
oleh masyarakat Kabupaten Sidoarjo secara pribadi terhadap
calon pemimpin wakil Bupati Sidoarjo yakni Tan Mei Hwa. Bagi
masyarakat melihat calon kandidat adalah hal utama dalam
menentukan seorang pemimpin dan untuk memperdebatkan
580
gender, etnis dan agama sudah bukan saatnya lagi. Namun
Bahari (2015) mengatakan tetap menjadi pertimbangan kita
bersama, memang gender, etnis dan agama mempengaruhi
kualitas seorang pemimpin tidak dapat dipungkiri gender laki-laki
dan perempuan secara lahiriah sudah berbeda dan kemampuan
memimpinnya laki-laki memang gen untuk memimpin. Kemudian
untuk segi etnis kita juga harus pertimbangkan karena etnis
melekat pada pribadinya mengenai budayanya itu tadi dari etos
kerjanya dan untuk agama tetap harus dipertimbangkan. Serta
harapan yang utama bagi masyarakat Kabupaten Sidoarjo,
pemimpin yang ideal mengetahui kebutuhan warganya seperti
apa, seperti Walikota Bandung dan Walikota Surabaya, sadar
tugasnya sebagai pemimpin untuk masyarakat karena dia dipilih
oleh masyarakat, mengerti kemauan dan maksud dari
masyarakat, pemimpin yang kerja nyata jadi tidak hanya janji-
janji saja, dapat mengayomi dan mensejahterakan masyarakat
Sidoarjo.

Daftar Pustaka
Amiriyah, Siti. (2015). Wawancara Focus Gorup Discussion
(FGD). Surabaya: Transkip Wawancara.
Bahari, Maulana Bintang. (2015). Wawancara Focus Gorup
Discussion (FGD). Surabaya: Transkip Wawancara.

581
Budiarjo, Miriam. (1989). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.
Gramedia.
Bystrom, Dianne G., Terry Robertson, Christine M. Banwart, &
Linda L. Kaid (2004). Gender and Candidate
Communication: Videostyle, Web Style, New Style. New
York: Routledge.
Eriyanto. (2008). Etnis dalam Pilkada. Jakarta: Lingkaran Survey
Indonesia.
Fahamsyah, Miftahul. (2015). Tan Mei Janji Memberdayakan
Para Janda. Surabaya: Jawa Pos 24-9-2015.
Firmanzah, Ph.D. (2007). Mengelola Partai Politik: Komunikasi
dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi.Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Fitranisa, Intan. (2011). Wacana Perempuan Tionghoa Dalam
Novel Indonesia Paska Reformasi. Jurnal Ilmu Komunikasi.
Surabaya: Universitas Airlangga.
Fitria, Aida. (2015). Wawancara Focus Gorup Discussion (FGD).
Surabaya: Transkip Wawancara.
Hariati, Yanny. (2015). Persepsi Pemilih Pemula Terhadap
Political Personal Branding: Studi Kasus pada Komunitas
Young on Top Malang. Tesis Media dan Komunikasi.
Surabaya: Universitas Airlangga.

582
Haroen, Dewi. (2014). Personal Branding: Kesuksesan
Berkiprah Di Dunia Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Junaedi, Fajar. (2013). Komunikasi Politik, Teori, Aplikasi, dan
Strategi di Indonesia. Yogyakarta: Buku Litera.
Mc. Nally D. and Speak, K. D. (2004). Be Your Own Brand. San
Fransisco: Berret-Koehler Publishers.
Nimmo, Dan. (2001). Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Purjear Jr, Edgar F. (2000). American Generalship: Character Is
Everything: The Art of Command. Presidio Press.
Purnomo, Dwi. (2015). Wawancara Focus Gorup Discussion
(FGD). Surabaya: Transkip Wawancara.
Rachmatdani, Fian Dwi. (2015). Wawancara Focus Gorup
Discussion (FGD). Surabaya: Transkip Wawancara.
Rahmawati, Brenda. (2015). Wawancara Focus Gorup
Discussion (FGD). Surabaya: Transkip Wawancara.
Rakhmat, Jalaluddin. (2001). Komunikasi Politik; Khalayak dan
Efek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Rustiyah. (1982). Masalah-Masalah Ilmu Keguruan. Jakarta:
Bina Aksara.
Soetjipto, Ani. (2011). Politik Harapan: Perjalanan Politik
Perempuan Indonesia Pasca Reformasi. Tangerang: PT.
Wahana Aksi Kritika.

583
Subiakto, Henry., & Rachmah Ida. (2012). Komunikasi Politik,
Media, dan Demokrasi. Jakarta: Kencana.
Sunarjo, Dra. Djoenaesih S., SU. (1997). Opini Publik.
Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta.
Suryadinata, Leo. (2002). Elections and Politics in Indonesia.
Singapore: ISEAS.
Susanti, Oktavia. (2015). Wawancara Focus Gorup Discussion
(FGD). Surabaya: Transkip Wawancara.
Widyawati, Nina. (2014). Etnisitas dan Agama: Sebagai Isu
Politik Kampanye JK-Wiranto Pada Pemilu 2009. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Wignjosoebroto, Soetandyo., dkk. (2008). Membangun
Kedewasaan Sikap Politik & Kualitas Demokrasi di Provinsi
Jawa Timur di Era Otonomi Daerah. Surabaya: Biro
Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah
Provinsi Jawa Timur.
Inti.or.id, diakses tanggal 24 November 2015
kpud-sidoarjokab.go.id, diakses tanggal 5 Oktober 2015
mualaf.com, diakses tanggal 5 oktober 2015
nasional.tempo.co, diakses tanggal 26 September 2015
www.facebook.com – Uswatan Untuk Sidoarjo, diakses tanggal
26 September 2015
www.kpu.go.id, diakses tanggal 26 September 2015
www.pks.or.id, diakses tanggal 26 September 2015

584
www.suarasurabaya.net, diakses tanggal 26 September 2015
________. (2015). Sutjipto Enam, Saiful Delapan. Surabaya:
Jawa Pos 7-10-2015

*) Rama Dimas Ade Kusuma, mahasiswa Program Magister


Media dan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik,
Universitas Airlangga, Surabaya

585
REPRESENTASI KEKUASAAN
DALAMDESAINIKLAN POLITIK RISMA-WHISNU
PADAPEMILIHAN KEPALADAERAHSURABAYA

Muh.Bahruddin*

Pendahuluan
Alat peraga kampanye calon Walikota dan Wakil
Walikota Surabaya Risma-Whisnu pada pemilihan Kepala
Daerah Surabaya periode 2015-2020, menarik untuk diteliti.
Desain iklan politik Risma-Whisnu tidak seperti desain iklan
politik pada umumnya. Dalam desain iklan politik “Bangga jadi
Surabaya”, kedua pasangan tampak sibuk bekerja dilapangan
dengan background konstruksi gedung tinggi di Surabaya. Hal
ini berbeda dengan dengan iklan politik pada umumnya yang
menampilkan pose kandidat politik yang menampilkan foto
wajah jarak dekat. Sedangkan pada desain iklan politik "Iki
Suroboyo" dan “Now and Then”, gambar kedua pasangan tidak
ditampilkan sebagai mana pasangan calon walikota dan wakil
walikota lain. Kedua desain iklan politik ini hanya menggunakan
warna merah sebagai background-nya. Dengan menggunakan
metode semiotika structural Saussure, iklan politik Risma-
Whisnu seolah ingin untuk menunjukkan kekuasaannya

586
sebagai petahana. Artinya, untuk memimpin Surabaya, seorang
walikota dan wakil walikota harus mau bekerja keras dan turun
ke lapangan sehingga lebih dekat dengan masyarakat. Sebagai
walikota dan wakil walikota Surabaya juga harus tahu seluk
beluk kota Surabaya sehingga tidak boleh sembarangan dalam
memimpin Surabaya. Interpretasi ini tampak dalam desain iklan
politik “Iki Suroboyo”. Slogan ini seolah memberikan pesan
“Jangan macam-macam, Ini adalah Surabaya”. Oleh karena itu,
calon walikota dan wakil walikota yang pantas memimpin
Surabaya sekarang maupun nanti adalah Risma-Whisnu. Hal ini
tampak dalam desain iklan politik “Now and Then”.
Alat peraga kampanye seperti seperti baliho, umbul-
umbul, spanduk, selebaran, dan poster menjadi salah satu
kekuatan penting dalam mendulang suara pada pemilihan
umum, termasuk pemilihan Walikota dan Wakil Walikota
Surabaya periode 2015-2020 yang dilaksanakan pada 9
Desember 2015. Penelitian ini difokuskan pada desain iklan
politik Calon Walikota (cawali) dan Calon Wakil Walikota
(cawawali) Surabaya Tri Rismaharini-Whisnu Sakti Buana. Hal
ini menarik karena selain sebagai calon petahana, desain iklan
politik Risma-Whisnu berbeda dengan iklan politik pada
umumnya. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana sebuah kekuasaan direpresentasikan

587
dalam desain iklan politik Risma-Whisnu pada pemilihan kepala
daerah Kota Surabaya.
Pelaksanaan kampanye cawali dan cawawali ditetapkan
KPU Surabaya pada tanggal 27 September hingga 5 Desember
2015. Dengan periode kampanye tersebut, tim kampanye harus
mampu memanfaatkan dengan baik sehingga iklan politiknya
lebih efektif dan komunikatif secara visual. Dalam Peraturan
Kampanye Pemilihan Umum (PKPU) nomor 7 tahun 2015
tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati dan / atau Walikota dan Wakil Walikota,
Pasal 28 ayat (2) disebutkan bahwa pemasangan alat peraga
berupa baliho dibatasi hingga 5 buah untuk setiap
kabupaten/kota, 20 buah umbul-umbul untuk setiap kecamatan,
dan 2 buah spanduk untuk setiap kelurahan. Pembatasan ini
tentu memaksa tim kampanye harus bekerja ekstra keras agar
desain alat peraga kampanye bisa disampaikan secara efektif
dan komunikatif sehingga menarik minat calon pemilih.
Dari dua pasangan calon yang maju dalam pemilihan
Walikota dan Wakil Walikota Surabaya, desain iklan politik
pasangan Risma-Whisnu yang mendapatkan nomor urut 2,
menarik untuk diteliti. Untuk menarik calon pemilih, tim
kampanye Risma-Wishnu yang menjadi lawan dari cawali dan
cawawali Rasiyo-Lucy justru merancang iklan yang tidak umum.
Dari tiga iklan yang dirancang, dua diantaranya berjenis softsell,

588
yaitu versi “IkiSuroboyo” dan “Now and Then”. Iklan politik ini
sama sekali tidak menampilkan gambar pasangan calon.
Menurut juru bicara Tim Pemenangan Risma-Wisnu,
Didik Prasetiyono, slogan “IkiSuroboyo” menjadi tema
kampanye dengan filosofi bahwa di tanah ini, Surabaya,
seluruh warga menggantungkan harapan dan perjuangan
hidupnya kearah yang lebih baik. Dia menegaskan bahwa
semangat pantang menyerah “IkiSuroboyo” telah menjadi ciri
Arek Suroboyo sejak dahulu. Bahkan Bung Tomo dan pejuang
kemerdekaan telah membuktikan pada 10 November 1945
(cakrawalanews.co). Iklan politik ini juga merupakan bagian dari
kepercayaan diri tim kampanye Risma-Whisnu sehingga tanpa
menggunakan gambar kandidatpun, masyarakat akan tahu
siapa Risma-Whisnu. Selainitu, dalam desain iklan politik
seperti poster, t-shirt, dan lain sebagainya, tim kampanye juga
menggunakan slogan berbahasa Inggris "Risma-Whisnu: Now
and Then" untuk menggambarkan situasi bahwa warga
Surabaya menginginkan Risma-Whisnu memimpin surabaya,
baik sekarang maupun nanti. Slogan tersebut memang tidak
terlepas dari status pasangan Risma-Whisnu sebagai petahana
(republika.co.id).
Sedangkan iklan lainnya menampilkan gambar Risma-
Whisnu yang sedang sibuk bekerja di lapangan dengan
menunjuk objek tertentu. Background yang digunakan dalam

589
iklan politik ini adalah konstruksi gedung bertingkat dijalan
A.Yani Surabaya. Slogandalam iklan politk ini adalah “Bangga
Jadi Surabaya”. Dalam periklanan politik, para calon legislative
dan kandidat mengemas pencitraan dirinya, lewat citraan visual
dengan menekankan pesan verbal yang bertema: “peduli wong
cilik”, “peduli orang miskin”, “pedulikesehatan bagi rakyat
miskin”, dan lain sebagainya. Semuanya merupakan janji politik
yang terlihat indah dan menentramkan hati calon pemilih, tetapi
seringkali realitasnya sulit untuk direalisasikan dikehidupan
nyata. Secara teoritis, proses pencitraan para caleg dan
kandidat yang dilukiskan lewat iklan politik, sejatinya mengajak
masyarakat untuk mengembangkan imajinasi prospektif dengan
iklan politik ideal (Tinarbuko, 2009:19).

Studi Semiotika
Studi tentang Semiotika kerap dilakukan oleh peneliti
atau akademisi di dunia seperti menganalisis foto, iklan, film,
novel, dan lain sebagainya. Roland Barthes adalah salah satu
tokoh yang menganalisis sebuah iklan. Iklan yang dipilih berasal
dari sebuah majalah Prancis untuk satu merek makanan Italia
(pasta, saus, dan aneka keju) yang dijual sebagai “Panzani”.
Iklan tersebut memperlihatkan sekumpulan keranjang belanja
berisipaket-paket pasta Panzani, saus, dan keju Parmesan,
juga produk-produk segar (tomat, merica hijau, bawang, dan

590
jamur). Barthes menarik keluar beragam makna iklan tersebut
yaitu dengan cara mencari makna literal atau denotasinya,
kemudian makna konotasinya. Iklan Panzani mengonotasikan
“ke-itali-an” (“italianicity”) seperti pasta dan produk untuk
membuat saus; nama perusahaan yang khas Italia; produk
berwarna merah, kuning, dan hijau yang mengulang-ulang
gagasan Italia melalui rujukan pada bendera nasional italia.
Barthes meneliti hubungan antara kode linguistic dengan citra
atau gambarnya (Stokes, 2007:77).
Sebelumnya, peneliti juga pernah melakukan penelitian
terkait iklan politik Risma-Bambang (Bahruddin, 2012:1-10)
tentang Mitos Kelas Menengah Atas dalam Desain Iklan Politik
Risma Bambang. Peneliti menggunakan pendekatan Barthes
untuk membongkar simbol-simbol yang terdapat dalam iklan.
Hasilnya, peneliti menemukan desain iklan politik Risma
Bambang telah melabeli dirinya dengan membangun mitos
tentang masyarakat kelas menengah keatas. Desain iklan
politik Risma-Bambang memanfaatkan kode – kode kultural
seperti sandal selop, penguin, atau kegiatan membaca untuk
mencitrakan masyarakat kelas menengah keatas sebagai
kelompok yang cerdas, santai, dan menyenangkan.
Dengan terbentuknya mitos ini, seolah simbol-simbol
desain iklan politik Risma- Bambang menjadi sesuatu yang
wajar dan alamiah dalam menerjemahkan masyarakat kelas

591
menengah keatas. Pada gilirannya masyarakat memberikan
pembenaran bahwa simbol-simbol tersebut untuk mencitrakan
kelas menengah keatas. Artinya, hasil kajian ini menunjukkan
bahwa sebuah desain telah mampu menciptakan persepsi
visual tentang kelas sosial dimasyarakat.
Yang membedakan dengan penelitian sekarang,
penelitian sebelumnya menggunakan pendekatan Barthes
untuk mencari mitos dari iklan politik. Mitos-mitos baru
diciptakan dalam merepresentasikan kelas sosial yang
didominasi oleh gambar-gambar yang dianggap mewakili kelas
sosial, khususnya kelas Menengah keatas. Untuk penelitian
sekarang, peneliti ingin mengungkap representasi kekuasaan
dalam iklan politik yang sebagian besar didominasi dalam
bentuk teks (tulisan).
Dalam pendekatan Barthes yang digunakan
sebelumnya, setiap analisis melibatkan simbol-simbol yang
berkaitan dengan masa lalu atau sejarah umum. Sedangkan
dalam pendekatan Saussure yang digunakan saat ini, lebih
memusatkan dirinya pada kajian struktur yang menopang
bahasa itu sendiri.
Sedangkan dalam pendekatan Saussure, relasi
struktural antara sebuah penandadan petanda, dalam hal ini,
sangat bergantung pada apa yang disebut konvensi
(convention), yaitu kesepakatan sosial tentang bahasa (tanda

592
dan makna) diantara komunitas bahasa. Hanya karena adanya
konvensi yang memungkinkan tanda memiliki dimensi sosial,
dan dapat digunakan didalam wacana komunikasi sosial.
Menurut Asep Ahmad Hidayat (2006:109), Ferdinand de
Saussure menolak gagasan yang mengatakan bahwa bahasa
adalah sebuah tumpukan kata yang secara berangsur
terkumpul sepanjang masa dan fungsi utamanya adalah untuk
menerangkan benda-benda di dunia atau realitas dunia. Dalam
pandangannya,kata-kata bukan simbol-simbol yang
berhubungan dengan referen, tetapi lebih merupakan “tanda”
(signs) yang tersusun dari dua bagian (seperti dua sisi lembar
kertas): tanda, baik tertulis maupun yang diucapkan, disebut
“penanda” (lesignifiant, signifier) yaitu yang memberi tanda atau
yang memberiarti, aspek bentuk dalam tanda atau lambang;
dan konsep (apa yang dipikirkan ketika tanda dibuat), disebut
“petanda” (lesignifie, signified), yaitu suatu yang ditandai atau
yang diartikan.
Menurut Ferdinand de Saussure (Piliang, 2012:152),
sebuah tanda terdiri dari penanda dan petanda. Penanda
mengacu pada petanda, yang selanjutnya mengacu pada
referensi atau realitas. Dalam pandangan Saussurean, makna
adalah apa-apa yang ditandakan (petanda), yakni kandungan
isi. Menurut Saussure, hubungan antara penanda dan petanda
bersifat arbitrer (diada-adakan), sebab tidak ada keterkaitan

593
logis. Berdasarkan pemahaman tersebut, Saussure tidak
tertarik untuk mengkaji bahasa dari sejarah perkembangan dan
artikulasinya, melainkan lebih memusatkan dirinya pada kajian
struktur yang menopang bahasa itu sendiri.
Inti dari pemikiran strukturalisme yang diprakarsai
Saussure adalah (1) strukturalisme tidak menganggap penting
kajian subjek sebagai pencipta (tanda, kode), tetapi melihatnya
lebih sebagai pengguna tanda dan kode yang telah tersedia, (2)
strukturalisme tidak menaruh perhatian pada hubungan sebab-
akibat, dan lebih memusatkan perhatian pada kajian tentang
relasi struktur, dan(3) strukturalisme tidak menganggap penting
pertanyaan tentang sejarah, waktu, dan perubahan pada
struktur,dan lebih memusatkan perhatian pada kajian tentang
sistem pada satu penggal waktu tertentu (Piliang, 2012:153).

Simbol dan Kekuasaan


Alfan Alfian (2009:255) menjelaskan bahwa dalam
politik, simbol yang abstrak perlu dikonkretkan agar tidak
memunculkan multitafsir. Hal ini bisa berpotensi menimbulkan
friksi sehingga berakibat fatal. Otoritas partai memiliki
kewenangan untuk untuk menafsirkan simbol yang diciptakan.
Selain itu, actor politik juga bisa menjadi simbol. Hal ini
juga biasa disebut ikon. Karena pada dasarnya setiap tokoh
memiliki karakter yang unik, bahkan menonjol. Tokoh yang

594
telah bekerja secara tulus untuk masyarakat atau publik akan
mendapat persepsi positif dan public menempatkan mereka
sebagai ikon perubahan.
Foucault menampilkan suatu perspektif kekuasaan
secara baru. Menurutnya, kekuasaan bukanlah sesuatu yang
hanya dikuasai oleh negara, sesuatu yang dapat diukur. Bagi
Foucault, kekuasaan ada dimana-mana karena kekuasaan
merupakan satu dimensi dari relasi. Artinya, di mana ada relasi,
disana ada kekuasaan. Foucault tidak menguraikan apa itu
kuasa,tetapi bagaimana kuasaitu berfungsi pada bidang
tertentu (Afandi,2011:132-149).
Menurut Foucault (Alfian, 2009: 216), kekuasaan bukan
lembaga, bukan struktur, juga bukan kekuatan tertentu yang
dianugerahkan kepada kita. Kekuasaan adalah sebuah nama
atribut untuk sebuah situasi strategis yang kompleks dalam
masyarakat tertentu. Dengan kekuasaan, orang dapat
memerintahkan kemauannya dan mengontrol kepatuhan orang
lain. Dengan kekuasan, perubahan dapat diciptakan sehingga
pemimpin dapat mewujudukan visi dan obsesinya.
Secara umum, Mariam Budhiardjo (Alifan, 2009:218)
mendefinisikan kekuasaan sebagai kemampuan pelaku untuk
memengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa
sehingga tingkah laku pelaku terakhir sesuai dengan keinginan
pelaku yang mempunyai kekuasaan.

595
Dalam catatan Wirawan (Alfian, 2009: 237), sumber
kekuasaan berupa (1) posisional; (2) sifat personal; (3)
keahlian; (4) peluang untuk mengontrol informasi. Dalam buku
berjudul “Menjadi Pemimpin Politik”, Alfian merangkup
pendapat para ahli bahwa sumber kekuasaan terdiri dari (1)
legitimasi: otoritas, peraturan, undang-undang; (2) control atas
sumber keuangan dan informasi; (3) keahlian: kritikalitas; (4)
hubungan sosial: kontak, pertemanan, kekuasaan dalam angka;
(5) karakteristik personal: kharismatik, menarik.

IklanPolitik
Piliang (2012:321-322) menjelaskan bahwa
perkembangan iklan telah memunculkan berbagai persoalan
sosial dan kultural, khususnya mengenai tanda yang digunakan,
citra yang ditampilkan, informasi yang disampaikan, makna
yang diperoleh, serta bagaimana semuanya memengaruhi
persepsi, pemahaman, dan tingkah laku masyarakat. Menurut
Piliang, sebuah iklan biasanya terdiri dari tiga elemen tanda,
yaitu gambar objek atau produk yang diiklankan, gambar benda-
benda di sekitar objek yang memberikan konteks pada objek
tersebut, serta tulisan atau teks, yang memberikan keterangan
tertulis, yang satu sama lainnya saling mengisi dalam
menciptakan ide, gagasan, konsep, atau makna sebuah iklan.

596
Periklanan adalah penggunaan media bayaran oleh
seorang penjual untuk mengomunikasikan informasi persuasive
tentang produk (ide, barang, jasa) atau organisasi yang
merupakan alat promosi yang kuat (Suyanto, 2004:3)
Iklan politik termasuk iklan non komersial. Menurut Dan
Nimmo (2004:135) kendati ada kemiripan dengan iklan
komersial, iklan politik memiliki sedikit perbedaan. Iklan
komersial hanya mempromosikan penjualan barang dan jasa.
Sedangkan iklan nonkomersial, terutama iklan politik,
mempromosikan citra yaitu imbauan yang ditujukan untuk
membina reputasi pejabat pemerintah atau yang menghendaki
menjadi pejabat pemerintah, memberi informasi kepada
khalayak tentang kualifikasi, pengalaman, latar belakang, dan
kepribadian seorang politikus, dan meningkatkan prospek
pemilihan kandidat atau mempromosikan program dan
kebijakan tertentu.
Dalam iklan politik, iklan dari petahana (incumbent)
seringkali bertujuan untuk mengingatkan pemilih pada partai
politik (tokoh politik) yang sedang berkuasa dan sekaligus
mengabaikan lawannya. Misalnya, slogan “Lanjutkan” dari
pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono adalah contoh
iklan yang dibuat dengan tujuan agar publik mempersepsi
bahwa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono telah

597
berhasil pada periode pertama dan layak untuk melanjutkan
kepemimpinannya (Junaedi, 2013:114).
Periklanan politik tabiatnya hampir sama dengan
periklanan komersial. Perkembangannya merupakan bagian
dari fenomena bisnis modern. Tidak ada partai politik yang ingin
maju dan memenangkan kompetisi bisnis (pemilu) tanpa
mengandalkan iklan. Berdasarkan hal itu, maka pucuk pimpinan
partai politik, elite politik, maupun mantan pejabat publik, LSM,
agamawan, saudagar, eksekutif, intelektual, dan kaum cerdik
pandai berlomba-lomba mengemas dirinya sebagai
representasi partai politik lewat iklan politik (Tinarbuko: 2009:1-
2).
Pawito (2009:239) menyebut periklanan merupakan
suatu strategi yang sangat penting dalam kampanye dan
pemasaran politik modern. Partai politik atau kandidat
pemasang iklan biasanya memberikan control yang nyaris
sempurna terhadap iklan mereka. Akan tetapi karakter
penyampaian pesan secara sangat massif dan menjangkau
public yang sangat luas dengan menggunakan media massa
menandai kelebihan. Menurut Pawito, periklanan dalam konteks
kampanye pemilihan membutuhkan kecermatan dalam banyak
hal. Perumusan isu atau pesan- pesan dan penggunaan
strategi atau teknik-teknik tertentu dalam penyampaian pesan
harus cermat.

598
Analisis terhadap Alat Peraga Kampanye
Alat peraga kampanye yang digunakan dalam desain
iklan politik Risma-Whisnu berbentuk baliho, spanduk, dan
poster. Secara umum desain iklan politik Risma-Whisnu
didominasi warna merah dan putih dengan karakter font
(tipografi) yang sama. Alat peraga kampanye yang berupa
baliho bergambar Risma-Wishnu dengan tagline “Bangga Jadi
Surabaya”. Sedangkan alat peraga kampanye lainnya, yang
berupa spanduk dan poster hanya copywrite saja, tanpa gambar
Risma- Whisnu. Dalam alat peraga kampanye yang berupa
spanduk memberi penekanan pada tagline “Iki Suroboyo”.
Sementara alat peraga kampanye yang berupa poster
menggunakan tagline sekaligus headline “NowandThen”.

599
Gambar 1 “Bangga Jadi Surabaya” Sumber: Dokumentasi
Peneliti, 2015

Desain iklan politik “Bangga Jadi Surabaya” tergolong


berbeda dengan iklan politik pada umumnya, yang biasanya
menonjolkan gambar kandidat secara closeup sehingga wajah
kandidat tampak besar. Juga tidak seperti gambar kandidat lain
yang sengaja pose untuk menunjukkan performa fisiknya
seperti senyum, kegagahan badannya, dan lain sebagainya
kepada masyarakat. Juga tidak seperti iklan politik lain yang
sengaja menunjukkan semangatnya dengan mengepalkan
tangannya.
Dari segi penanda, desain iklan politik “Bangga Jadi
Surabaya” ditandai dengan gambar Risma-Whisnu yang
sedang bekerja. Hal ini tampak dari gerakan tangan Risma yang
menunjuk objek tertentu didampingi Whisnu. Pandangan mata
cawali-cawawali ini melihat objek tertentu (tidak tampak).
Mereka tidak menatap reader sehingga gambar mereka tampak
alami dan tidak dibuat- dibuat sebagaimana kandidat lain.
Gambar pasangan Risma-Whisnu tampak sedang
bekerja dilapangan. Kesibukan bekerja ini didukung background
yang menampilkan konstruksi gedung tinggi di jalan A.Yani
Surabaya. Di tengah bangunan tersebut berkibar bendera
merah putih. Baju yang mereka kenakan adalah batik. Brand

600
name pasangan ini ditulis warna putih dengan menggunakan
nomor urut pasangan “2” sebagai pengganti huruf “S”yang
diletakkan ditengah nama mereka “Risma-Whisnu”,yang
keduanya memiliki huruf ‘S” ditengah. Background yang
digunakan dalam memperlihatkan brand pasangan ini adalah
merah dan diletakkan dipojok kanan atas. Sedangkan slogan
atau tagline dalam iklan ini adalah “Bangga jadi Surabaya”
dengan tulisan putih dan background warna hitam.
Dari konsep kekuasaan yang dibangun dalam iklan
politik ini, petanda diperlihatkan dalam gambar Risma-Whisnu
yang sibuk bekerja. Dalamkonsep kekuasaan, gambar ini
menampilkan kekuasaan karekteristik personal. Risma yang
terkenal pekerja keras ditampilkan seolah-olah sibuk bekerja.
Karisma Risma dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menarik
minat calon pemilih. Risma seolah dijadikan ikon pemimpin
Surabaya karena nama Risma tidak hanya dikenal dikota
Surabaya dan Indonesia, tetapi juga dimancanegara. Aksi
Risma-Whisnu ini didukung dengan karya nyata yaitu dengan
memperlihatkan background dalam iklan, yaitu gambar
konstruksi gedung tinggi di Jalan A.Yani Surabaya. Strategi ini
memang sangat dimungkinkan oleh calon dari incumbent
(petahana). Mereka akan menekankan prestasi-prestasinya
selama menjabat sebagai pemimpin suatu wilayah (Bystrom,
2004:48).

601
Gambar ini juga memperlihatkan kekuasaan posisional,
yaitu menunjukkan bahwa saat posisinya sebagai walikota
Surabaya, Risma selalu bekerja untuk kepentingan warga
Surabaya. Hal ini juga menunjukkan bahwa sebagai pejabat,
mereka tidak lantas duduk di kursi kantor dan tinggal
memerintah bawahannya. Mereka ingin menegaskan bahwa
pasangan ini adalah pekerja keras yang langsung turun
kelapangan dan mendedikasikan dirinya kepada masyarakat
Surabaya.
Petanda juga tampak dalam background konstruksi
gedung dan bendera merah putih. Konstruksi gedung
menunjukkan bahwa selama berkuasa mereka berhasil
membangun kota Surabaya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
konstruksi. Dipilihnya konstruksi (rancangan gedung yang
belum selesai), seolah ingin menunjukkan bahwa Risma-
Whisnu akan terus bekerja dan membangun infrastruktur –
infrastruktur guna program pembangunan di Surabaya.
Sedang bendera merah putih menunjukkan bahwa
Risma-Whisnu adalah sosok warga negara yang baik,
mengabdi pada negara. Sosok nasionalis.
Brandname pasangan ini dibalut warna putih dengan
background merah. Kedua warna ini adalah warna partai
pengusungnya, yaitu PDIP. Platform warna PDIP adalah merah.
Namun bisa jadi hal ini juga memperlihatkan bahwa merah putih

602
adalah warna Indonesia. Selain memiliki keberanian dan
ketegasan, juga memiliki kesucian danketulusan dalam bekerja.
Petandakekuasaanjugatampakdalam tagline “Bangga
Jadi Surabaya”. Tagline ini seolah ingin memperlihatkan bahwa
kinerja pasangan ini sangat baik selama berkuasa di Surabaya
sehingga masyarakat layak bangga. Tagline ini adalah hasil dari
konsep besar dari elemen-elemen desain yang meliputi,
gambar, warna, pose, dan lain sebagainya sehingga perpaduan
tersebut menghasilkan bahwa masyarakat seharusnya bangga
sebagai warga Surabaya yang selama ini dipenuhi kebutuhan
hidupnya. Inilah yang menurut Saussure sebagai signification,
yaitu bagaimana penanda dan petanda saling terkait dan padu,
serta menghasilkan eksekusi sesuai dengan konsepnya.

603
Gambar 2 “Iki Suroboyo” Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015
Penanda dalam desain iklan politik ini didominasi warna
merah sebagai background. Tidak ada gambar pasangan
kandidat. Bentuk alat peraga kampanye berupa spanduk
vertikal. Brandname pasangan diletakkan diatas, sama dengan
iklan “Bangga Jadi Surabaya”. Nama pasangan diletakkan
diatas dengan memperbesar huruf “S” ditengah kata Risma-
Whisnu. Satu huruf “S”menyatu dengan kedua nama pasangan
yang sama-sama berada di tengah Sedangkan tagline “Iki
Suroboyo” diletakkan dibawah. Dalam tagline “Iki Suroboyo”,
huruf “y” pada kata “Suroboyo” diganti dengan simbol angka 2
jari untuk menunjukkan bahwa pasangan ini memiliki nomor urut
2 dalam pemilihan kepala daerah kota Surabaya. Semua tulisan
dalam desain iklan politik ini berwarna putih.
Sedangkan petanda dalam desain iklan ini
memperlihatkan bahwa kekuasaan yang dibangun Risma-
Whisnu lebih eksplisit. Tagline “Iki Suroboyo” seolah ingin
memberikan pesan bahwa untuk memimpin Surabaya tidak
boleh sembarangan. Tagline “Iki Suroboyo” adalah bahasa asli
kota Surabaya. Kata ini biasanya digunakan untuk menegaskan
kepada lawan bicaranya agar tidak sembarangan dan hati-hati
dalam bertindak. Jika tagline ini diteruskan, maka bisa menjadi
seperti ini: “Iki Suroboyo Rek, Ojo Macem-Macem!, ”Pesan yang
terkandung dalam iklan ini adalah masyarakat jangan

604
sembarangan memilih walikota agar tidak berakibat fatal.
Karena itu Risma-Whisnu yang berpengalaman memimpin
Surabaya adalah kandidat paling layak untuk menjadi walikota
periode 2015-2020.
Tidak adanya gambar pasangan dalam iklan ini,
memperlihatkan, tim kampanye merasa yakin bahwa Risma-
Whisnu sangat dikenal masyarakat Surabaya, khususnya
cawali Risma, yang memiliki banyak penghargaandan memiliki
rekam jejak bagus dimata masyarakat. Oleh karenaitu, tim
kampanye Risma-Whisnu yakin bahwa semua masyarakat
Surabaya tahu siapa Risma meski tidak ada foto dalam iklan
politiknya.
Pada tingkatan Signification, desain iklan politik ini
memperlihatkan perpaduan warna merah dan putih yang
menunjukkan ketegasan, keberanian, ketulusan, dan kesucian.
Warna ini sejalah dengan konsep kekuasaan yang dituangkan
dalam tagline “Iki Suroboyo”. Konsep kekuasaan posisional
terlihat dalam desain iklan politik ini. Artinya, selama menjabat
sebagai Walikota Surabaya, Risma-Whisnu adalah pasangan
yang sudah dikenal masyarakat dan memiliki rekam jejak yang
baik sehingga gambar pasangan calon tidak lagi diperlukan lagi.
Tagline sekaligus headline “Iki Surobayo” seolah menantang
pasangan lain untuk bisa memimpin Surabaya. Namun
tantangan ini bernada retoris. Artinya, sekalipun desain iklan

605
politik menantang lawan “Siapa yang bisa memimpin
Surabaya?” tetapi iklan ini menegaskan lagi bahwa tidak ada
satupun yang bisa memimpin Surabaya kecuali Risma-Whisnu
karena “Iki Suraboyo (Ini adalah Surabaya)”. Warna merah
yang memiliki makna berani dan tegas, semakin mempertegas
bahwa saat ini pasangan Risma-Whisnu yang mampu berkuasa
di Surabaya.

Gambar3 “Now andThen” Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2015


Penanda dalam desain iklan politik pada gambar 3
menggunakan headline “Now and Then”. Sebagaimana desain
iklan “Iki Suroboyo”, desain iklan politik ini tidak menggunakan
gambar pasangan untukmenarik minat calon pemilih Surabaya.
Brandname pasangan diletakkan diatas dengan memperbesar

606
huruf “S” ditengah-tengah nama kedua calon. Dalam
desainiklanpolitikini, angka nomor “2” dipertegas dan diletakkan
di kiri atas. Sedangkan tagline “Iki Suroboyo” diletakkan di
bawah.
Petanda kekuasaan dalam desain iklan ini tampak dalam
headline “Now and Then”. Headline ini seolah menegaskan dua
desain iklan sebelumnya. Desain iklan politik ini menunjukkan
bahwa Risma-Whisnu adalah pasangan yang layak untuk saat
ini maupun untuk periode mendatang (2015-2020). Untuk masa
periode sekarang maupun nanti, menunjukkan bahwa dengan
kekuasaan posisional- karena pernah menjabat sebagai
Walikota Surabaya Risma-Whisnu berani mengklaim bahwa
walikota yang pantas untuk masyarakat Surabaya adalah
mereka. Karena itu Risma-Whisnu dianggap layak untuk
menjadi walikota dan wakil walikota lagi. Hal ini ditegaskan lagi
dengan tagline “Iki Suroboyo” yang menandakan bahwa
masyarakat harus hati-hati dan tidak sembarangan memilih
walikota Surabaya.
Dengan perpaduan penanda dan petanda (signification)
yang terdapat dalam desain iklan politik ini, kepercayaan diri
Risma-Whisnu ditunjukkan dalam tagline “Now and Then”
bahwa pasangan ini layak untuk memimpin Surabaya sekarang
maupun untuk yang akan datang. Kata ini dipertegas lagi
dengan tagline “Iki Suroboyo”. Sebuah tagline provokatif yang

607
menantang lawan untuk memimpin Surabaya. Ketegasan ini
didukung dengan warna merah yang memiliki makna tegas dan
berani.
Pada akhirnya, representasi kekuasaan yang digunakan
dalam desain iklan politik Risma-Whisnu melalui alat peraga
kampanye berupa baliho, spanduk, dan poster menunjukkan
bahwa dengan otoritas kekuasaan yang mereka pegang saat ini
(sebagai calon petahana) menunjukkan bahwa desain iklan
politik ini menggunakan kekuasaan posisional dan karakteristik
personal (karismatik). Dengan pendekatan semiotika Saussure,
penanda dan petanda dalam desain iklan politikRisma-Whisnu
memperlihatkan bahwa konsep besar kekuasaan diterjemahkan
dalam unsur-unsur desain yang disampaikan secara visual.
Kekuatan posisional dan karakteristik personal (karismatik)
ditunjukkan dengan rekam jejak Risma-Whisnu selama
menjabat Walikota Surabaya, yaitu dengan menampilkan aksi
Risma-Whisnu yang bekerja keras dan turun lapangan melihat
kondisi Surabaya dengan background konstruksi gedung seolah
memperlihatkan bahwa pembangunan di Surabaya tumbuh
pesat selama mereka memimpin.

Daftar Pustaka
Afandi,A.K.(2011).Konsep Kekuasaan Michel Foucault. Teosofi:
Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam. 01(02),132-149

608
Alfian, M.A. (2009). Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. Bystrom, D.G., dkk.
(2004).Gender and Candidate Communication. New
York:Routledge.
Bahruddin, M. (2012). Mitos Kelas Menengah ke Atas dalam
Desain Iklan Politik Risma-Bambang. Nirmana.14 (1), 1-
10.
Hidayat, A.A. (2006). FilsafatBahasa, Mengungkap Bahasa,
Makna danTanda. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Junaedi, Fajar.(2013).Komunikasi Politik: Teori, Aplikasi dan
Strategi di Indonesia. Yogyakarta: Buku Litera.
Nimmo,D.(2004).Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan
Media. Penerjemah: TjunSujarman. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Pawito. (2009).Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye
Pemilihan. Yogyakarta: Jalasutra.
Piliang,Y.A.(2012).Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya,
dan Matinya Makna. Bandung: Matahari
Stokes, J. (2007).How To Do Media and Cultural Studies.
Penerjemah: Santi Indra Astuti.Yogyakarta: Bentang.
Suyanto, M. (2004).Aplikasi Desain Grafis untuk Periklanan.
Yogyakarta: Penerbit Andi Tinarbuko, S. (2009).Iklan
Politik dalam Realitas Media. Yogyakarta dan Bandung:
Jalasutra.

609
http://cakrawalanews.co/2015/10/06/iki-suroboyo-jadi-apk-
kampanye-risma-whisnu/ (diakses 13 November 2015).
http://www.republika.co.id/berita/koran/politik-
koran/15/09/26/nv9wqx1-perang-slogan-pilkada-
surabaya-dimulai (diakses 29 Oktober 2015).

*) Muh. Bahruddin,
Dosen Desain Komunikasi Visual Stikom Surabaya

610
RELASI KUASA ANTARA AGENCY DAN STRUKTUR PADA
TELEVISI LOKAL RADAR TV PALU SULAWESI TENGAH

Nurul Akmalia*

Pendahuluan
Studi ini mengkaji relasi kuasa antara agency (pekerja
media) terhadap struktur dalam hal ini CEO (pemilik media) dan
regulasi internal organisasi pada televisi lokal ‘Radar TV’ di palu
Sulawesi tengah. Tulisan ini mencoba mendeskripsikan apa
yang terjadi dalam praktek organisasi media dan mengaitkannya
dengan teori-teori tentang pratek-praktek politik dan kekuasaan
pemilik media dalam organisasi media dan pengaruhnya
terhadap konten media. Penulis berusaha mengidentifikasi pihak
manakah yang mempengaruhi independensi pekerja media
dalam menghasilkan produk jurnalistik, serta akan melihat
bagaimana proses saling mempengaruhi oleh pekerja media
Radar Tv ketika pihak struktur membatasi agensi dalam
menghasilkan karya. Pengertian Media Lokal merujuk pada
suatu sistim atau jaringan media yang berada di suatu lokal atau
daerah tertentu. Dan Media Lokal adalah media massa yang
muatan isi medianya bersifat lokal atau khas kedaerahan atau
tentang daerah tertentu. Media Lokal memiliki kantor pusat

611
operasikegiatan, staf dan organisasi-manajemen di daerah
tertentu. Karena karakter “daerah” melekat pada unsur Media
Lokal ini maka orang sering menyebut Media Lokal sebagai Pers
Daerah (Sutrisno 2011 ;78). Penelitian ini mengelaborasi hasil
observasi dan wawancara mendalam untuk menghasilkan
deskripsi secara detail mengenai relasi kuasa antara pekerja
media dan pemilik media beserta regulasi media itu sendiri.
Kehadiran televisi lokal memiliki peran penting dalam
mengubah ketidakseimbangan fungsi media mainstream dalam
mengangkat isu-isu lokal. Keberadaan televisi lokal diharapkan
untuk menunjukkan budaya lokal dan acara lokal dengan
menyentuh kehidupan nyata dari masyarakat setempat.
Sehingga televisi lokal dapat mewakili identitas budaya
masyarakat lokal dengan konten budaya dan identitas berbasis
kearifan lokal. (Hall 1997 dalam Haryati 2013 :2 ) Namun
beberapa kondisi aktual, masih tidak sedikit televisi lokal saat ini
yang jauh dari harapan Siaran televisi lokal lebih banyak
menampilkan sajian program yang tidak jauh beda dengan
televisi nasional lainnya.Tidak hanya itu, ketentuan penyiaran
konten lokal pada jam tayang atau primetime, belum bisa
dipenuhi. ( Haryati 2013 : 5 ) Relasi kuasa antara agensi dan
struktur dalam sebuah organisasi media masa telah lama
menjadi objek penelitian yang menarik dalam berbagai studi
kasus dan telah menghasilkan sejumlah teori yang penting.

612
Dalam konteks penelitian ini peneliti akan mencoba menjelaskan
mengenai relasi kuasa antara agen dan struktur pada televisi
lokal. Radar TV adalah televisi lokal yang terafiliasi dalam
raksasa grup media massa Jawa Pos, yang tentunya
menimbulkan asumsi apakah didalam memproduksi sebuah
produk jurnalistik Radar TV juga dipengaruhi oleh kebijakan
serta regulasi pusat serta memberikan tekanan terhadap
kepentingan grup itu sendiri. yang kedua adalah Radar TV di
kota Palu di pimpin oleh seorang pengusaha Kamil Badrun,
yang juga menjadi kader salah satu partai politik yang
mengusungnya sebagai kandidat bakal calon Walikota Palu
tahun 2015.
Radar TV, televisi lokal di Kota Palu, Sulawesi Tengah
adalah salah satu televisi lokal yang menjadikan televisi nasional
sebagai acuan mereka dalam menentukan bentuk atau kemasan
program tayangan. Radar TV adalah televisi lokal yang berdiri
pada tahun 2012 yang mana termasuk dalam grup media massa
Jawa Pos Graha Pena. Selama perjalanan 3 tahun menjadi
televisi lokal yang mencoba memenuhi keinginan publik dengan
menyajikan informasi yang relevan, berimbang dan tentunya
memberikan manfaat bagi khalayak khususnya di Palu, Sulawesi
tengah. Media masaa lokal tentunya tidak terlepas dari beberpa
persoalan yang di alami oleh televisi yang berskala nasional.
Salah satunya adalah kendala yang sering dialami oleh para

613
pekerja media dalam menghasilkan sebuah produk jurnalistik.
Kepentingan-kepentingan yang terus meliputi wilayah kerja
mereka, mendesak para pekerja media mengahasilkan produk
jurnalistik yang sesuai dengan bentuk dari ideologi media itu
sendiri.
Penelitian ini akan mendeskripsikan Bagaimana relasi
kuasa antara Agency ( pekerja media ) dan Struktur internal
(CEO – Pemilik Media dan Aturan Internal Organisasi) serta
bagaimana pihak eksternal yang dalam hal ini adalah pengiklan,
pemerintah daerah, partai politik, dan perusahaan industri
mempengaruhi independesi pekerja media dalam menghasilkan
produk jurnalistik pada televisi lokal Radar TV Palu, Sulawesi
Tengah.

Ekonomi Politik Komunikasi


Pendekatan ekonomi politik memfokuskan pada kajian
utama tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik,
dinamika industri media, dan ideologi media itu sendiri. Perhatian
penelitian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan, kontrol
serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini,
institusi media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang
berhubungan erat dengan sistem politik. Secara umum, menurut
Vincent Mosco (1996), teori ekonomi politik adalah sebuah studi
yang mengkaji tentang hubungan sosial, terutama kekuatan dari
614
hubungan tersebut yang secara timbal balik meliputi proses
produksi, distribusi dan konsumsi dari produk yang telah
dihasilkan. Awal kemunculan dari teori ini didasari pada
besarnya pengaruh media massa terhadap perubahan
kehidupan masyarakat. Dengan kekuataan penyebarannya yang
begitu luas, media massa kemudian dianggap tidak hanya
mampu menentukan dinamika sosial, politik dan budaya baik
dalam tingkat lokal, maupun global, akan tetapi media massa
juga mempunyai peran yang sangat signifikan dalam
peningkatan surplus secara ekonomi.
Hal ini berangkat dari asumsi bahwa media massa
berperan sebagai penghubung antara dunia produksi dan
konsumsi. Melalui pesan-pesan yang disebarkan lewat iklan di
media massa, peningkatan penjualan produk dan jasa sangat
memungkinkan untuk terjadi ketika audiences terpengaruh
terhadap pesan yang tampilkan melalui media massa tersebut.
Untuk dapat memahami konsep ekonomi politik media secara
keseluruhan, Vincent Mosco (1996) menawarkan 3 konsep
dasar yang harus dipahami, yakni, (1) Komodifikasi
berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang
dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang
mempunyai nilai tukar di pasar (2) Spasialisasi, berkaitan
dengan sejauh mana media mampu menyajikan produknya di
depan pembaca dalam batasan ruang dan waktu (3) Strukturasi

615
berkaitan dengan relasi ide antar agen masyarakat, proses
sosial dan praktik sosial dalam analisis struktur. Dalam konsep
ketiga dai Moscow terdapat istilah Interplay atau proses saling
mempengaruhi antara agen dan struktur dalam suatu system
sosial. Gagasan tentang strukturasi ini pada mulanya
dikembangkan oleh Anthony Giddens (1984)
Secara makro, Peter Golding dan Graham Murdock
(dalam Curran dan Gurevitch, 1991:15-32) menunjukkan bahwa
perspektif ekonomi politik media bisa dibedakan menjadi dua
macam paradigma yaitu perspektif ekonomi politik dalam
paradigma liberal; dan perspektif ekonomi politik dalam
paradigma kritis. Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada
isu proses pertukaran pasar di mana individu sebagai konsumen
mempunyai kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas
yang sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan kepuasan
yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan
perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk
menentukan pilihannya. Golding dan Murdock menempatkan
perspektif ekonomi politik media pada paradigma kritis. Mereka
berpendapat bahwa perspektif ekonomi politik kritis berbeda
dengan arus utama dalam ilmu ekonomi dalam hal holisisme,
keseimbangan antara usaha kapitalis dengan intervensi publik;
dan keterkaitan dengan persoalan-persoalan moralitas seperti

616
masalah keadilan, kesamaan, dan kebaikan publik (public
goods).
Sifat holistik dalam perspektif ini merupakan satu dari
beberapa pertimbangan yang dibuat dalam konteks perspektif
ekonomi politik kritis. Holistik di sini berarti menunjukan adanya
keterkaitan saling mempengaruhi antara organisasi ekonomi dan
kehidupan politik, sosial, dan kultural. Analisisnya bersifat
historis dan secara moral menunjukkan keterkaitannya dengan
persoalan public good. Aspek historis dalam sifat holisme
perspektif ekonomi politik kritis berpusat pada analisa
pertumbuhan media, perluasan jaringan dan jangkauan
perusahaan media, komodifikasi dan peran negara.

Relasi Kuasa Antara Agency dan Struktur: Studi Kasus


Radar TV Palu
Strukturasi (Structuration) merupakan konsep sosiologi
utama Anthony Giddens sebagai kritik terhadap teori
fungsionalisme, intrepretatif dan teori strukturalisme. (Wirawan
2012 : 310 ) Inti teori strukturasi terletak pada tiga konsep utama
yaitu tentang “struktur”, ”sistem”, dan “dualitas struktur” , lebih
khusus lagi dalam hubungannya antara agen (pelaku, aktor) dan
struktur. (Giddens dalam Maufur dan Daryanto, 2010 : 25 )Media
dalam memenuhi tugas dan fungsi idealnya tentunya banyak
terjadi polemik dan berbagai kendala, baik antara media dan

617
khalayaknya, media dan pihak eksternal sebagai pengiklan, dan
media dan pemerintah. Jika dilihat lebih jauh lagi, dalam sebuah
struktur organisasi media massa itu sendiri juga banyak terjadi
polemic berhubungan dengan proses produksi informasi. Dalam
penelitian ini penulis mencoba melihat relasi kuasa antara
agency (pekerja media) dan struktur dalam sebuah televisi lokal.
peneliti mencoba menjabarkan melalui analisis pendekatan
ekonomi politik media. Pada dasarnya Pendekatan ekonomi
politik media juga dikatakan sebagai pendekatan teori dalam
kaitanya dengan kapitalisme media.
. Struktur dipandang sebagai penstrukturan sifat-sifat yang
memungkinkan pengikatan ruang dan waktu dalam system
sosial, sifat yang memungkinkan praktek sosial sejenis ada pada
berbagai ruang dan waktu, dan yang memberikan bentuk
sistematik ( Surbakti (1995) dalam Wirawan 2012 : 294). Struktur
itu sendiri, oleh Giddens dipandang sebagai aturan-aturan
(rules) dan sumber-sumber (resource). Aturan-aturan yang
dimaksud bersifat konstitutif dan regulative, guna memberikan
kerangka pemaknaan (intrepretatif scheme) dan norma. (
Wirawan 2012 : 295 ). Konsep agensi umumnya diasosiasikan
dengan kebebasan, kehendak bebas, tindakan kreativitas,
orisinilitas dan kemungkinan perubahan melalui aksi agen
bebas. Bagaimanapun juga kita perlu membedakan antara istilah
metafisis atau mistis agensi bebas di mana agen membentuk

618
dirinya sendiri (yaitu mewujudkan dirinya sendiri dari ketiadaan)
dengan konsep agensi sebagai sesuatu yang diproduksi secara
sosial dan diberdayakan oleh sumber daya sosial yang
disebarkan secara bervariasi, yang memunculkan berbagai
tingkat kemampuan (Lubis 2014 : 150 )
Menurut teori strukturasi, saat agen memiliki kuasa untuk
memproduksi tindakan juga berarti saat melakukan reproduksi
dalam konteks menjalani kehidupan sosial sehari-hari. Salah
satu proposisi utama teori strukturasi adalah bahwa aturan dan
sumberdaya yang digunakan dalam produksi dan reproduksi
tindakan sosial sekaligus merupakan alat reproduksi sistem
(dualitas struktur). Struktur tidak disamakan dengan kekangan
namun selalu mengekang dan membebaskan. Tentu saja hal ini
tidak mencegah sifat-sifat terstruktur sistem sosial untuk melebar
mauk ke dalam ruang dan waktu di luar kendali aktor-aktor
individu, juga tidak ada kompromi terhadap kemungkinan-
kemungkinan bahwa teori sistem sosial para aktor dibantu
ditetapkan kemabali dalam aktivitasaktivitasnya bisa
merealisasikan sistem-sistem itu. Reifikasi hubungan-hubungan
sosial atau naturalisasi diskursif keadaan-keadaan yang
bergantung secara historis pada produk-produk tindakan
manusia merupakan salah satu dimensi utama ideology dalam
kehidupan social (Giddens, 2011: 32).

619
Dalam konteks penelitian ini, Fenomena muncul ketika
fungsi ideal media lokal kemudian harus tarik menarik dengan
kooptasi atau intervensi dari pihak internal maupun eksternal.
Bagaimana kemudian strukturasi Giddens di praktekkan dalam
sebuah media lokal, dimana stuktur adalah CEO (pemilik media)
serta regulasi internal yang memberikan batasan-batasan
terhadap pekerja media yang bertindak sebagai agen, sehingga
adanya kekangan dan tekanan pihak struktur terhadap agen
dalam memproduksi sebuah produk jurnalistik yang berimbang.
Pemilik media memiliki kontrol yang besar dalam memproduksi
berita dan membentuk ideologi media, maka sudah barang tentu
gerbang yang paling sulit untuk ditembus adalah pemilik media
itu sendiri.
Adanya fenomena yang terjadi pada Radar TV palu
sebagai akibat dari adanya ketimpangan kekuasaan antara
agensi dan struktur hal ini semata-mata tidak jauh dari bayangan
kepentingan kapitalisme media itu sendiri. struktur dengan
kekuatan yang dimiliki menekan agen dalam mencetak produk
jurnalistik sesuai bingkai perusahaan, berdasarkan hasil
penelitian pada Radar TV, terungkap sebuah fenomena menarik
dimana pimpinan redaksi diberhentikan secara paksa oleh
pemilik media dikarenakan tidak menjalankan perintah sesuai
dengan kemauan perusahaan. Pimpinan redaksi berusaha
mengungkap kasus yang terjadi pada salah satu partai politik di

620
Kota Palu, namun pemilik media yang notabene adalah kader
dari partai tersebut memberikan larangan secara tegas dalam
mengungkap dan menayangkan kasus tersebut. Ketika tarik
menarik tersebut berujung pada pemberhentian secara paksa
pimpinan redaksi Radar TV Palu. Hal ini seperti yang
diungkapkan Ignatius Haryanto dalam Jurnal dewan pers edisi 5
tahun 2011 “Media lokal yang tergabung dalam grup media
besar cukup mengungkapkan isu-isu korupsi, tetapi ketika
menyangkut kepentingan korporasinya, isu korupsi cenderung
diabaikan”
Hal ini kemudian dapat kita tarik, bahwa relasi antara
agen dan struktur tidak hanya adanya tarik menarik kepentingan
internal media saja, tetapi pihak ekternal juga memiliki pengaruh
dalam membentuk realitas media dalam produk jurnalistik.
Kooptasi pihak eksernal dalam kajian penelitian ini dapat
digolongkan pada empat elemen yang bertindak sebagai struktur
eksternal. (1) pengiklan, seperti yang dikemukakan sebelumnya,
media lokal memiliki keterbatasan dana dalam memproduksi
program, maka kemudian pengiklan menjadi jawaban dari
maslah tersebut. Pengiklan tidak hanya membayar slot untuk
iklan, tetapi juga memiliki posisi tawar dalam menentukan isi dari
informasi yang di produksi. (2) pihak pemerintah daerah,
dibeberapa daerah televisi lokal hanya menjadi humas Pemda
yang muatan beritanya diisi oleh berbagai kegiatan pemda

621
setempat dari segi positif. Hal ini terjadi karena pemda telah
memberikan kekangan melalui dana pembinaan media, dan
iklan-iklan pemerintah daerah. (3) pihak partai politik, dan hal ini
juga telah menjadi bayangan dari media-media nasional dan
lokal di Indonesia. (4) adanya pengaruh dari pihak –pihak
perusahaan industry, ketika mereka beriklan dan memberikan
jaminan financial kepada sebuah media, maka media otomatis
menjadi public relation dari perusahaan tersebut, sehingga bila
terjadi kasus-kasus yang merugikan masyarakat media akan
mengemas berita itu sebaik mungkin dan implikasinya
menghasilkan produk jurnalistik yang jauh dari realitas.
Fenomena diatas menunjukkan bahwa dalam televisi
lokal Radar TV Palu, tidak adanya peluang yang diberikan oleh
pihak struktur internal dalam hal ini adalah CEO (pemilik media
) terhadap agency. Hal ini jelas terlihat ketika pemecatan
Pimpinan Redaksi secara sepihak oleh CEO, tanpa memberikan
peluang untuk bernegosiasi. Pekerja media jelas tidak memiliki
posisi tawar dimata struktur, para pekerja media tidak lebih dari
buruh berita yang menghasilkan keuntungan dalam industry
media. Dalam analisis teori strukturasi Giddens, seharusnya
struktur secara bersamaan memberikan kekangan dan juga
peluang terhadap agen dalam produksi dan mereproduksi pada
system sosial, dan hal ini tidak berlaku pada Radar TV Palu.
Kemudian berikutnya dalam penelitian ini juga ditemukan

622
Pekerja Media Tidak bisa bekerja sesuai dengan prinsip –
prinsip Jurnalistik dalam menyajikan produk jurnalistiknya.
Ketimpangan kekuasaan ini tentunya menunjukan relasi
saling mempengaruhi antara keduanya, namun struktur memiliki
dominasi yang sangat besar terhadap agen. Relasi kuasa antara
keduanya haruslah seimbang dalam produksi dan reproduksi
dalam sebuah organisasi media. Seperti konsep yang
dikemukakan oleh Anthony Giddens yang pada intinya
hubungan keduanya bukanlah sebuah dualisme yang saling
bertentangan satu sama lain, tetapi struktur dan agen bagaikan
mata uang yang memiliki dua sisi yang berbeda yaitu sebuah
dualitas bahwa pelaku bukanlah sesuatu yang sama sekali
terpisah dari struktur, dan srtuktur bukan hal yang terpisah dari
pelaku. Dualitas struktur dan pelaku terletak dalam proses
bahwa struktur merupakan hasil keterulangan praktik-praktik
sosial yang dilakukan oleh para pelaku dan tindakan –tindakan
para pelaku terbatas pada ruang dan waktu yang disebut
“struktur”.

Kepemilikan dan Konten Media: Pengaruh Pemilik terhadap


Konten Radar TV Palu
Konten media massa yang disajikan kepada khalayak
tentunya menjadi hasil sebuah pertarungan antara idealism agen
atau pekerja media dengan keterlibatan struktur dalam

623
menghasilkan sebuh karya junalistik. Untuk mengidentifikasi hal
tersbut, peneliti menggunakan theory yang mempengaruhi
konten media masa oleh Pamela J. Shoemaker dan Stephen D.
Reese (1996). Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese
(1996), dalam Mediating The Message: Theories of Influences
on Mass Media Content, menyusun berbagai faktor yang
mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang
pemberitaan. Mereka mengidentifikasikan ada lima faktor yang
mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi media
sebagai berikut:

(1) Level individual yaitu Faktor ini berhubungan dengan latar


belakang profesional dari pengelola media. Level indivual
melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari
pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan
ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti
jenis kelamin, umur, atau agama, dan sedikit banyak
mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Latar belakang
pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik
624
sedikit banyak bisa mempengaruhi profesionalisme dalam
pemberitaan media. (2) Level Rutinitas Media,Level ini
berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita.
Setiap media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa
yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria
kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang
berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi
pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini
juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita
dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput,
bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan
tangan siapa saja tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa
penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. (3) Level
organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara
hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan
wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi
berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu.
Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi
mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi
media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian
pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan
seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan.
Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus
strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Bagian

625
redaksi misalnya menginginkan agar berita tertentu yang
disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain
yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan.
Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga
mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri, berbagai
elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya
wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa
disajikan dalam berita. (4) Level Extra Media, Level ini
berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun
berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media
ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi
pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam
lingkungan di luar media yaitu (1) sumber berita, Sumber berita
di sini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang
memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai
kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai
alasan: memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu
kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang
mempunyai kepentingan, sumber berita tentu memberlakukan
politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang
sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang
tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali
tidak disadari oleh media. (2) Sumber penghasilan media,
berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan/pembeli media. Media

626
harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media
harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi
mereka. Misalnya media tertentu tidak memberitakan kasus
tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan
juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada
media. (3)Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan
bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-
masing lingkungan eksternal media. Level yang terakhir adalah
(5) Level ideologi diartikan sebagai kerangka berpikir atau
kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk
melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya.
Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level
ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi
seseorang dalam menafsirkan realitas.
Dengan menganalisis menggunakan teori mediating the
messege Hasil penelitian ini juga menunjukan Intervensi CEO
dalam hal ini pemilik media tidak hanya sebatas pada struktur
Redaksi saja, tetapi pada produk jurnalistik yang dihasilkan.
Pengaruh pemilik media memiliki power tidak hanya sebatas
perubahan struktur redaksi tetapi juga pada produk berita atau
program yang dihasilkan. Program dikemas by order baik konten
maupun waktu penayangan. Dalam memproduksi sebuah
program tidak melalui survey khalayak terlebih dahulu. Konten

627
lokal yang menjadi cirri khas dari televisi lokal juga tidak
signifikan.
Televisi lokal seharusnya menjadi harapan baru bagi
masyarakat dalam menggunakan media massa lokal sebagai
ruang publik yang sesungguhnya. Karena jangkauan televisi
nasional sangat luas, dan sudah dapat dipastikan tidak dapat
mengakomodir dan menyadiakan ruang yang cukup untuk
khalayak di masing-masing daerah. Televisi lokal seharusnya
memperbaiki kesalahan televisi nasional dalam
menyalahgunakan ruang publik.
Dialektika hubungan antara agen dan struktur adalah
hubungan timbal balik antara pekerja media sebagai agen pada
Radar TV dengan struktur dalam hal ini adalah CEO atau
pemilik media dan regulasi ditingkat internal maupun eksternal
media. Dalam menyusun realitas dan memproduksi sebuah
berita, pekerja media dituntut berbagai hal dalam
menggembarkan realitas ke dalam sebuah berita. Tuntutan yang
pertama adalah tuntutan yang bersifat teknis yaitu barkaitan
dengan kelengkapan unsur-unsur berita dan komposisi. Yang
kedua adalah tuntutan idealisme yang berasal dari objektifitas
wartawan dalam melihat sebuah peristiwa. Berita yang disajikan
harus sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran yang relevan dan
netral. Tuntutan yang ketiga adalah tuntutan pragmatisme. Hal
ini erat kaitannya dengan dinamika internal dan eksternal media.

628
Sudah sangat tentu bahwa setiap media memiliki kepentingan-
kepentingan tertentu seperti ekonomi, politik, serta ideology
media itu sendiri. ( Achdiat 2012 : 4 ) Namun pada kondisi
actual, tuntutan – tuntutan tersebut belum dapat dipenuhi oleh
media-media lokal di beberapa daerah, Meskipun dari waktu ke
waktu, pertumbuhan televisi lokal terus bertambah, semangat
membangun lokalitas siaran itu tak diimbangi daya untuk
bertahan.

Kesimpulan
Apa yang dilakukan oleh Radar TV Palu sebagai kajian
dalam studi ini mengindikasikan bahwa dalam menjalankan
media televisi, Radar TV belum berjalan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi media massa. Dimana struktur Seharusnya
memberikan kebebasan pada Agency dalam memproduksi
Produk Jurnalistik dan begitu juga Agen yang memaksimalkan
perannya sebagai penggerak roda organisasi dengn
menghasilkan produk jurnalistik yang sesuai dengan prinsip-
prinsip Jurnalistik dan kode etik yang berlaku. Ketimpangan
kekuasaan dalam relasi keduanya tidak akan terjadi jika struktur
dan agen berjalan beriringan dan menjadi dua hal yang tidak
dipisahkan. Selain melihat bagaimana relasi kuasa antara
struktur dan agen pada televisi lokal Radar TV Palu, Penelitian
ini sekaligus menjawab pertanyaan yang timbul mengenai

629
apakah yang terjadi pada televisi nasional, terdapat beberapa
kasus keterlibatan pemilik media dalam partai politik berujung
pada ketidakseimbangan berita yang dihasilkan, ternyata hal ini
juga terjdi pada media yang bertaraf lokal seperti Radar TV Palu.
Hal tersebut tentunya berdampak pada kinerja pekerja
media yang takut untuk bersuara dan berserikat. Padahal tugas
utama pekerja media adalah memiliki kebebasan berekspresi
dan berkreasi dalam menjalankan pekerjaannya. Akan tetapi, di
lokasi kerja para pekerja media seolah tidak punya ruang untuk
mengimplementasikan kebebasan berekspresi dan berserikat.
Hal ini adalah dilema. Sebab, ketika bekerja, wartawan menulis
dan menghasilkan berbagai karya tentang kemanusiaan dan
keadilan. Di samping itu, sebagai pekerja media, salah satu
tugas wartawan adalah mengawal independensi media,
setidaknya di lokasi kerja bertolak dari prinsip jurnalisme yang
berpihak pada publik, dan menjadi penyambung lidah bagi
mereka yang tertindas. Kewajiban ini melekat pada setiap
wartawan. Tapi, bagaimana tindakan agen ketika berada dalam
struktur dominasi media? Giddens memberikan penekanan pada
agen. Apa yang dilakukan agen, dan kekuatan besar yang
dimiliki agen. Artinya, dalam pandangan Giddens, agen memiliki
kemampuan mengubah dunia sosial. Bahkan secara lebih tegas
dinyatakan bahwa agen tidak menjadi agen tanpa kekuatan.
Sementara itu, individu berhenti menjadi agen saat kehilangan

630
kapasitas melakukan perubahan. Kecenderungan Giddens akan
kekuatan agen tak tertutupi. Walau Giddens mengakui, struktur
dapat menghalangi agen. Namun struktur juga mampu membuat
agen melakukan perubahan, sekaligus mampu membatasi agen.
Hal terpenting adalah Televisi lokal dalam hal ini Radar Tv
tentunya memiliki peranan sebagai pemberi informasi yang
memiliki nilai dan unsur kedekatan (proximity ) terhadap
masyarakat kota palu, sehingga diharapkan berita dan program
yang dihasilkan adalah sebagai bagian yang dibutuhkan oleh
khalayaknya. Dan tentunya dapat mewujudkan Semangat
undang-undang penyiaran no 32 tahun 2002 tentunya dalah
terwujudnya penataan yang baik bagi media massa di Indonesia.

Daftar Pustaka
Giddens, Anthony. (2010).Teori Strukturasi: Dasar-dasar
Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat, terjemahan
Maufur & Daryanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Haryanto, Ignatius. (2011).Menilik Pers Lokal 10 Tahun Setelah
Reformasi. Jurnal Dewan Pers Edisi No. 5 Mei 2011
Profesionalisme, Sejarah,dan Masa Depan Pers Daerah
Jankowski & Pren. (2002). Community Media in the Information
Age; Prespectives and Prospect. New Jersey: Hampton
Press

631
Ida, Rachmah.(2014). Metode Penelitian Studi Media dan Kajian
Budaya. Jakarta: Kencana
Lubis, Dr Akhyar Yusuf.(2014).Postmodernisme Teori dan
Metode. Depok: Rajawali pers
Morissan.(2009).Manajemen Media Penyiaran. Jakarta:
Kencana Prenada Media group
Mosco, Vincent.(1996).The Political Economy of Communication
; Rethinking and Renewal. London: Sage Publication
Nashir, Haedar. (2013). Memahami Strukturasi Dalam Perspektif
Sosiologi Giddens. Jurnal Pasca Sarjana Program
Sosiologi Universitas Gadjah Mada
Novianti, Wiwik. (2013).Televisi Lokal Dan Konsentrasi
Kepemilikan Media, Jurnal Komunikasi dan Informatika,
Balai pengkajian dan pengembangan komunikasi dan
informatika Bandung (BPPKI)
Priyono, Herry. (2000).Anthony Giddens: Suatu Pengantar.
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Shoemaker & Reese. (1996).Mediating the Message: Theories
of Influences on Mass Media Content. USA:Longman
SK., Ishadi.(2014).Media dan Kekuasaa: Televisi di hari-hari
terakhir Soeharto.Jakarta: Kompas
Susanto, Eko Harry M.Si. (2011).Dinamika Media Massa Lokal
dalam Membangun Demokratisasi di Daerah.

632
Sutrisno, Petrus Suryadi. (2011).Fenomena Kebangkitan
Industri Pers Daerah/Media Lokal Jurnal Dewan Pers
Edisi No. 5 Mei 2011 Profesionalisme, Sejarah,dan Masa
Depan Pers Daerah
Tim Peneliti dari Masyarakat Peduli Media. (2014).Analisis
terhadap Kecenderungan Pemberitaan 4 Grup Media
Nasional di Indonesia. Jurnal Dewan Pers Edisi No. 09,
Juli 2014, Mengungkap Independensi Media
Wirawan, Prof Dr. I.B.(2012). Teori-Teori Sosial dalam Tiga
Paradigma; Fakta Sosial, Definisi Sosial &Perilaku Sosial.
Jakarta: Kencana
Wahyudi, JB.(1986). Media Massa Televisi. Bandung

*) Nurul Akmalia, mahasiswa Program Magister Media dan


Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik, Universitas
Airlangga, Surabaya

633
POTRET KOMUNIKATOR POLITIK DI INDONESIA

Sumartono*

Pendahuluan
Kajian tentang komunikator politik menarik untuk
didiskusikan. Mengapa demikian? Pertama, komunikator politik
memiliki kedudukan sebagai sumber informasi. Sebagai sumber
informasi tentunya eksistensi komunikator politik memiliki
dampak terhadap potret partisipasi politik masyarakat (baca:
penerima pesan-pesan politik). Menurut Cangara (2011:31)
komunikator politik adalah mereka-mereka yang dapat memberi
informasi tentang hal-hal yang mengandung makna atau bobot
politik, misalnya Presiden, Menteri, anggota DPR, MPR, KPU,
Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD, Politisi, Fungsionaris Partai
Politik, Fungsionaris Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan
kelompok-kelompok penekan dalam masyarakat yang bisa
memengaruhi jalannya pemerintahan.
Kedua, dalam aktivitas politik komunikator politik
memegang peranan penting. Secara teoretis dan pragmatis,
komunikator baik dalam arti yang umum maupun dalam
pengertian komunikator politik memegang kendali dalam proses
komunikasi. Keberlangsungan suatu proses komunikasi sangat

634
ditentukan oleh eksistensi seorang komunikator. Pada peristiwa
komunikasi yang manapun, faktor komunikator merupakan suatu
unsur yang penting sekali peranannya. Sekalipun nantinya
keberhasilan komunikasi yang dimaksud secara menyeluruh
bukan hanya ditentukan oleh sumber, namun mengingat
fungsinya sebagai pemrakarsa dalam aktifitas yang
bersangkutan, maka bagaimanapun juga dapat dilihat betapa
menentukannya peran tersebut. Karena itu dalam mengamati
proses komunikasi politik, perlu sekali terlebih dahulu memahami
karakteristik masing-masing komunikator tersebut, setidak-
tidaknya secara umum, guna mendapatkan gambaran tentang
bagaimana kelak kemungkinan-kemungkinan yang timbul baik
dalam berlangsungnya proses komunikasi itu sendiri, maupun
dalam keseluruhan hasil komunikasi yang dilakukan.
Ketiga, dalam politik praktis, seorang komunikator
memiliki kesempatan untuk mempengaruhi opini publik. Bahkan
dalam skala luas, komunikator politik akan dapat memeranguhi
kehidupan sosial masyarakat sebab konstalasi politik juga
sangat ditentukan oleh sejauh mana para komunikator politik
mampu melontarkan gagasan-gagasannya. Sebab, biasanya
komunikator politik biasanya terdiri dari orang-orang yang
memiliki kapasitas di bidangnya sehingga apa yang
dikatakannya dapat menjadi referensi banyak orang (Tabroni,
2012 : 45).

635
Keempat, adanya distorsi yang acapkali dilakukan para
komunikator politik dalam melakukan aktivitas komunikasi
politiknya. Artinya, terdapatnya ketidakajegan antara harapan
dan kenyataan terutama para politisi. Antara janji-janji kampanye
dengan realitas sosial sering bertolak belakang. Mochtar
Pabotinggi menyebutkan dalam prakteknya proses komunikasi
politik sering mengalami empat distorsi.
1. Distorsi bahasa sebagai “topeng”; ada euphemism
(penghalusan kata); bahasa yang menampilkan sesuatu lain
dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi
sebenarnya, bisa disebut seperti diungkakan Ben Anderson
(1966), “bahasa topeng”.
2. Distorsi bahasa sebagai “proyek lupa”; lupa sebagai sesuatu
yang dimanipulasikan; lupa dapat diciptakan dan
direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas
puluhan bahkan ratusan juta orang.”
3. Distorsi bahasa sebagai “representasi”; terjadi bila kita
melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Contoh:
gambaran buruk kaum Muslimin dan orang Arab oleh media
Barat.
4. Distorsi bahasa sebagai “ideologi”. Ada dua perspektif yang
cenderung menyebarkan distoris ideologi. Pertama,
perspektif yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak
istimewa sekelompok orang --monopoli politik kelompok

636
tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan
tujuan tertinggi suatu sistem politik. Mereka yang menganut
perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi
sebuah sistem politik tanpa mempersoalkan apa yang
sesungguhnya dikehendaki rakyat.

Kriteria, Ragam dan Komponen Komunikator Politik


Sebagai ujung tombak aktivitas politik, komunikator politik
harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik secara verbai
maupun nonverbal. Ia harus dapat menyampaikan gagasan
kepada publik dengan baik. Pesan-pesannya harus mudah
diterima oleh publik. Ia juga harus memiliki kemampuan lobi
politik. Seorang kamunikator politik jangan hanya mengandalkan
berbicara saja karena penampilan fisik, gaya berpakaian, mimic
muka, gerakan tangan, dan cara berjalan pun merupakan bentuk
komunikasi nonverbal yang sama pentingnya (Tabroni, 2012 :
46).
Oleh karena itu, komunikator politik paling tidak harus
memiliki beberapa kriteria kemampuan. Pertama, kemampuan
berkomunikasi. Artinya, bahwa seorang yang mampu dan cerdas
dalam menyampaikan argumen, gagasan, dan pemikiran
kepada publik. Seorang komunikator politik dapat menurunkan
gagasan yang abstrak menjadi sebuah kalimat yang mudah
dimengerti oleh masyarakat. Dalam kapasitas apa pun, seorang

637
komunikator politik harus dapat memahamkan kepada pihak
yang ditujunya mengenai maksud dan target politiknya. Jika
seorang wakil rakyat, ia harus menjadi jembatan aspirasi rakyat.
Kepada eksekutif, ia harus memiliki daya tawar politik. Semua
kepentingan politiknya akan tercermin dari sejauh mana ia dapat
melakukannya lewat kemampuan berkomunikasi, baik terbuka
maupun tertutup.
Kedua, memiliki kesempatan dan kapasitas sebagai
pemimpin. Komunikasi bukan semata berbicara, kemampuan
berkomunikasi juga sangat dipengaruhi oleh aspek bahasa
tubuh dan karisma komunikatornya. Efektivitas sebuah
komunikasi akan sangat dipengaruhi oleh keseluruhan perilaku
komunikatornya, baik verbal maupun nonverbal.
Ketiga, memiliki keilmuan yang cukup dibidangnya.
Terkait dengan konten, seorang komunikator harus paham
tentang apa yang disampaikannya. Pesan dari sebuah
komunikasi politik akan lebih berbobot jika apa yang
disampaikannya adalah sesuatu yang sangat dikuasai oleh
komunikator. Lebih dari itu, keluasan wawasan tentang berbagai
hal akan sangat membantu proses komunikasi politik.
Meskipun setiap orang boleh berkomunikasi tentang
politik, namun yang melakukannya secara tetap dan
berkesinambungan jumlahnya relatif sedikit. Walaupun sedikit,
para komunikator politik ini memainkan peran sosial yang utama,

638
terutama dalam proses opini publik. Dan Nimmo (dalam Tabroni,
2012 : 46)) mengklasifikasikan komunikator utama dalam politik
sebagai berikut: politikus; professional; dan aktivis.

1. Politikus
Politikus adalah orang yang bercita-cita untuk dan atau
memegang jabatan pemerintah, tidak peduli apakah mereka
dipilih, ditunjuk, atau pejabat karier, dan tidak mengindahkan
apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, atau yudukatif. Daniel
Katz (dalam Nimmo, 1989) membedakan politikus ke dalam
dua hal yang berbeda berkenaan dengan sumber kejuangan
kepentingan politikus pada proses politik. Yaitu: politikus
ideolog (negarawan); serta politikus partisan.
a. Politikus ideolog adalah orang-orang yang dalam proses
politik lebih memperjuangkan kepentingan bersama/publik.
Mereka tidak begitu terpusat perhatiannya kepada
mendesakkan tuntutan seorang langganan atau
kelompoknya. Mereka lebih menyibukkan dirinya untuk
menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas,
mengusahkan reformasi, bahkan mendukung perubahan
revolusioner-jika hal ini mendatangkan kebaikan lebih bagi
bangsa dan negara.

639
b. Politikus partisan adalah orang-orang yang dalam proses
politik lebih memperjuangkankepentingan seorang
langganan atau kelompoknya.
Dengan demikian, politikus utama yang bertindak sebagai
komunikator politik yang menentukan dalam pemerintah
Indonesia adalah: para pejabat eksekutif (presiden, menteri,
gubernur, dsb.); para pejabat eksekutif (ketua MPR, Ketua
DPR/DPD, Ketua Fraksi, Anggota DPR/DPD, dsb.); para pejabat
yudikatif (Ketua/anggota Mahkamah Agung, Ketua/anggota
Mahkamah Konstitusi, Jaksa Agung, jaksa, dsb.)

2. Profesional
Profesional adalah orang-orang yang mencari nafkahnya
dengan berkomunikasi, karena keahliannya berkomunikasi.
Komunikator profesional adalah peranan sosial yang relatif
baru, suatu hasil sampingan dari revolusi komunikasi yang
sedikitnya mempunyai dua dimensi utama: munculnya media
massa; dan perkembangan serta merta media khusus
(seperti majalah untuk khalayak khusus, stasiun radio, dsb.)
yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen
informasi dan hiburan. Baik media massa maupun media
khusus mengandalkan pembentukan dan pengelolaan
lambang-lambang dan khalayak khusus. Di sini masuklah
komunikator profesional ”yang mengendalikan keterampilan

640
yang khas dalam mengolah simbol-simbol dan yang
memanfaatkan keterampilan ini untuk menempa mata rantai
yang menghubungkan orang-orang yang jelas perbedaannya
atau kelompo-kelompok yang dibedakan”. James Carey
(dalam Nimmo, 1989) mengatakan bahwa komunikator
profesional adalah makelar simbol, orang yang
menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu
komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa
yang lain ang berbeda tetapi menarik dan dapat dimengerti.
Komunikator profesional beroperasi (menjalankan
kegiatannya) di bawah desakan atau tuntutan yang, di satu
pihak, dibebabnkan oleh khalayak akhir dan, di lain pihak ,
oleh sumber asal. Seperti politikus yang dapat dibedakan
politikus ideolog dan partisan, profesional mencakup para
jurnalis pada satu sisi, dan para promotor pada sisi lain.
a. Kita membicarakan jurnalis sebagai siapun yang berkaitan
dengan media berita dalam pengumpulan, persiapan,
penyajian, dan penyerahan laporan mengenai peristiwa-
peristiwa. Ini meliputi reporter yang bekerja pada koran,
majalah, radio, televisi, atay media lain; koordinator berita
televisi; penerbit; pengarah berita; eksekutif stasiun atau
jaringan televisi dan radio; dan sebagainya. Sebagai
komunikator profesional, jurnalis secara khas adalah
karyawan organisasi berita yang menghubungkan sumber

641
berita dengan khalayak. Mereka bisa mengatur para
politikus untuk berbicara satu sama lain, menghubungkan
politikus dengan publik umum, menghubungkan publik
umum dengan para pemimpin, dan membantu
menempatkan masalah dan peristiwa pada agenda
diskusi publik.
b. Promotor adalah orang yang dibayar untuk mengajukan
kepentingan langganan tertentu. Yang termasuk ke dalam
promotor adalah agen publisitas tokoh masyarakat yang
penting, personel hubungan masyarakat pada organisasi
swasta atau pemerintah, pejabat informasi publik pada
jawatan pemerintah, skretaris pers kepresidenan,
personel periklanan perusahaan, manajer kampanye dan
pengarah publisitas kandidat politik, spesialis teknis
(kameraman, produser dan sutradara film, pelatih pidato,
dsb.) yang bekerja untuk kepentingan kandidat politik dan
tokoh masyarakat lainnya, dan semua jenis makelar
simbol yang serupa.

3. Aktivis
Aktivis adalah komunikator politik utama yang bertindak
sebagai saluran organisasional dan interpersonal. Pertama,
terdapat jurubicara bagi kepentingan yang terorganisasi.
Pada umumnya orang ini tidak memegang ataupun mencita-

642
citakan jabatan pada pemerintah; dalam hal ini komunikator
tersebut tidak seperti politikus yang membuat politik menjadi
lapangan kerjanya. Jurubicara ini biasanya juga bukan
profesional dalam komunikasi. namun, ia cukup terlibat baik
dalam politik dan semiprofesional dalam komunikasi politik.
Berbicara untuk kepentingan yang terorganisasi merupakan
peran yang serupa dengan peran politikus partisan, yakni
mewakili tuntutan keanggotaan suatu organisasi. dalam hal
lain jurubicara ini sama dengan jurnalis, yakni melaporkan
keputusan dan kebijakan pemerintah kepada anggota suatu
organisasi. Kedua, terdapat pemuka pendapat yang bergerak
dalam jaringan interpersonal. Sebuah badan penelitian yang
besar menunjukkan bahwa banyak warga negara yang
dihadapkan pada pembuatan keputusan yang bersifat politis,
meminta petunjuk dari orang-orang yang dihormati mereka.
Apakah untuk mengetahui apa yang harus dilakukannya atau
memperkuat putusan yang telah dibuatnya. Orang yang
dimintai petunjuk dan informasinya itu adalah pemuka
pendapat. Mereka tampil dalam dua bidang: a. Mereka sangat
mempengaruhi keputusan orang lain; artinya, seperti politikus
ideologis dan promotor profesional, mereka meyakinkan
orang lain kepada cara berpikir mereka. B. Mereka
meneruskan informasi politik dari media berita kepada
masyarakat umum. Dalam arus komunikasi dua tahap

643
gagasan sering mengalir dari media massa kepada pemuka
pendapat dan dari mereka kepada bagian penduduk yang
kurang aktif . banyak studi yang membenarkan pentingnya
kepemimpinan pendapat melalui komunikasi interpersonal
sebagai alat untuk mengetahui peristiwa-peristiwa yang
penting.
Selanjutnya, dalam komunikasi politik, komunikator politik
merupakan salah satu faktor yang menentukan efektivitas
komunikasi. Beberapa studi mengidentifikasi sejumlah
karakteristik yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi orang lain.
Richard E. Petty dan John T. Cacioppo dalam bukunya
Attitudes and Persuasion: Classic and Contemporary
Approaches, dikatakan bahwa ada empat komponen yang harus
ada pada komunikator politik, yaitu communicator credibility,
communicator attractiveness, communicator similarity dan
communicator power.

1. Kredibilitas
Kredibilitas sumber mengacu pada sejauh mana sumber
dipandang memiliki keahlian dan dipercaya. Semakin ahli dan
dipercaya sumber informasi, semakin efektif pesan yang
disampaikan. Kredibilitas mencakup keahlian sumber (source
expertise) dan kepercayaan sumber (source trustworthiness).

644
a. Keahlian sumber adalah tingkat pengetahuan yang dimiliki
sumber terhadap subjek di mana ia berkomunikasi.
Sementara kepercayaan sumber adalah sejauh mana
sumber dapat memberikan informasi yang tidak memihak
dan jujur. Para peneliti telah menemukan bahwa keahlian
dan kepercayaan memberikan kontribusi independen
terhadap efektivitas sumber. Dibuktikan oleh Petty bahwa,
“expertise was therefore important in inducing attitude
change, especially when that advocated position was
quite different from the recipients’ initial attitude.”Karena
sumber yang sangat kredibel menghalangi
pengembangan argumen tandingan, maka sumber yang
kredibel menjadi lebih persuasif dibanding sumber yang
kurang kredibel. Sebagaimana dikemukakan Lorge dari
hasil penelitiannya, bahwa “a high credibility source was
more persuasive than a low credibility source if attitudes
were measured immediately after the message” (Petty,
1996).
b. Sementara itu, aspek kepercayaan memiliki indikator-
indikator antara lain tidak memihak, jujur, memiliki
integritas, mampu, bijaksana, mempunyai kesungguhan
dan simpatik.

2. Daya tarik

645
Daya tarik seorang komunikator bisa terjadi karena
penampilan fisik, gaya bicara, sifat pribadi, keakraban, kinerja,
keterampilan komunikasi dan perilakunya. Sebagaimana
dikemukakan Petty (1996):
“Two communicators may be trusted experts on
some issue, but one may be more liked or more
physicallyattractive than the other… in part because
of his physical appearance, style of speaking and
mannerism, …the attractiveness is due to the
performance, communication skills, self evaluation
… by verbal and by the behavioral measure.”
Daya tarik fisik sumber (source physical attractiveness)
merupakan syarat kepribadian . Daya tarik fisik komunikator
yang menarik umumnya lebih sukses daripada yang tidak
menarik dalam mengubah kepercayaan. Beberapa item yang
menggambarkan daya tarik seseorang adalah tampan atau
cantik, sensitif, hangat, rendah hati, gembira, dan lain-lain.

3. Kesamaan
Sumber disukai oleh audience bisa jadi karena sumber
tersebut mempunyai kesamaan dalam hal kebutuhan,
harapan dan perasaan. Dari kacamata audience maka
sumber tersebut adalah sumber yang menyenangkan (source
likability), yang maksudnya adalah perasaan positif yang

646
dimiliki konsumen (audience) terhadap sumber informasi.
Mendefinisikan menyenangkan memang agak sulit karena
sangat bervariasi antara satu orang dan orang lain. Namun
secara umum, sumber yang menyenangkan mengacu pada
sejauh mana sumber tersebut dilihat berperilaku sesuai
dengan hasrat mereka yang mengobservasi.Jadi, sumber
dapat menyenangkan karena mereka bertindak atau
mendukung kepercayaan yang hampir sama dengan
komunikan.
Sumber yang menyenangkan (sesuai kebutuhan,
harapan, perasaan komunikan) akan mengkontribusi
efektivitas komunikasi, bahkan lebih memberikan dampak
pada perubahan perilaku. Bila itu terjadi, sumber tersebut
akan menjadi penuh arti bagi penerima, artinya adalah bahwa
sumber tersebut mampu mentransfer arti ke produk atau jasa
yang mereka komunikasikan.

4. Power
Power, menurut Petty (1996) adalah “the extent to which the
source can administer rewards or punishment.” Sumber yang
mempunyai power, menurutnya, akan lebih efektif dalam
penyampaian pesan dan penerimaannya daripada sumber
yang kurang atau tidak mempunyai power. Pada dasarnya,
orang akan mencari sebanyak mungkin penghargaan dan

647
menghindari hukuman. Sebagaimana dikemukakan oleh
Kelman (dalam Petty, 1996) bahwa, “people simply report
more agreement with the powerful source to maximize their
rewards and minimize their punishment.”
Jadi pada dasarnya harus ada tiga syarat untuk menjadi
seorang powerful communicator, yaitu: (1) the recipients of the
communication must believe that the source can indeed
administer rewards or punishments to them; (2) recipients must
decide that the source will use theses rewards or punishments to
bring about their compliance; (3) the recipients must believe that
the source will find out whether or not they comply (Petty, 1996).
Dengan dihasilkan dan terpeliharanya kepatuhan, artinya
komunikator dapat mempengaruhi atau mempersuasi perilaku
komunikan. Dalam upayanya mempersuasi komunikan,
biasanya ada dua faktor penunjang yang harus diperhatikan pula
oleh komunikator. Dua faktor tersebut adalah keterlibatan
sumber dan kepentingan isu bagi penerima. Keterlibatan yang
tinggi menghasilkan efektivitas pesan yang tinggi pula, dan isu
yang semakin dekat dengan kepentingan penerima biasanya
akan lebih mendorong efektivitas pesan.

Politisi sebaga Komunikator Politik


Sebagai komunikator politik politisi memang berada pada
posisi strategis untuk memainkan peran politik dalam suatu

648
setting politik tertentu. Menurut Nimmo (1993:72) politisi sebagai
komunikator politik memainkan peran sosial yang utama,
terutama dalam proses pembentukan opini publik. Politisi
berkomunikasi sebagai wakil suatu kelompok dan pesan-pesan
politikus itu adalah untuk mengajukan dan atau melindungi
tujuan kepentingan politik. Artinya komunikator politik mewakili
kepentingan kelompok, sehingga jika dirangkum maka politikud
mencari pengruh lewat media.
Menjadi sangat menarik mengkaji komunikasi politik
dalam konteks peran yang dilakukan oleh para komunikator
politik baik dalam hal mengkaji informasi yang dhadirkan dalam
mempertukarkan pesan-pesan politik maupun dalam konteks
setting dan Moment politik yang dihadirkan ketika bahasa politik
digunakan serta fungsi yang mereka jalankan dalam
kapasitasnya sebagai actor atau komunikator politik di DPR
dan/atau DPRD. Termasuk di dalamnya ketika terjadi kekerasan
dalam suatu situasi yang pesan itu dikomunikasikan dalamm
suatu perilaku komunikasi politik.
Orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang
jabatan pemerintah harus dan memang berkomunikasi tentang
politik, kita menamakan calon pemegang jabatan itu politikus, tak
peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk atau pejabat karir, dan
tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, atau

649
yudikatif. Pekerjaan utama mereka adalah aspek utama dalam
kegiatan ini (Nimmo, 1993:30).
Pekerjaan utama politisi di legislative adalah sebagai
aktor politik yang memerankan diri untuk dan atas nama rakyat.
Tetapi kenyataan memperlihatkan bahwa, seringkali politisi
justru bertindak hanya dan atas nama kelompok partai yang
dianggap mengantarkannya sebagai wakil rakyat, bahkan
adakalanya untuk kepentingan pribadi. Di sinilah terjadi ketidak-
konsistenan tersebut, karena mereka menganggap dirinya
sebagai orang besar yang mewakili kepentingan diri dan
kelompoknya sendiri. Keprihatinan terhadap komunikator politik
semacam ini pernah diketengahkan Filosop Friedrich Nietsche
(dalam Nimmo, 1993:53) antara lain: “orang besar kata anda?
Apa yang saya lihat hanyalah aktor yang menciptakan citra
idealnya sendiri, jika mreka mencita-citakan kepemimpinan
organisasi atau simbolik, para komunikator politik akan segera
bertanya kepada diri mereka, meskipun tidak selalu secara
langsung menjawab pertanyaan ini.”
Keprihatinan Friedrich Nietsche yang menyatakan bahwa
politikus hanyalah aktor yang menciptakan citra ideal untuk diri
mereka sendiri, dan citra adalah suatu integrasi mental yang
halus dari berbagai sifat yang diproyeksikan oleh orang itu,
dipersepsi dan diinterpretasikan rakyat menurut kepercayaan,
nilai dan pengharapan mereka. Maka seperti apakah citra politisi

650
kita? Menurut Nimmo (1989:17): “kebanyakan politisi mendapat
kesulitan besar untuk bisa dikenal bahkan untuk mempunyai
citra.” Mungkin karena itu pulalah maka berbagai upaya
dilakukan politisi untuk memperoleh citra positif tetapi dengan
dan atau tanpa disadari menggiringnya ke arah pembentukan
citrayang justru negatif.
Nimmo (1983:18) juga mengkaji tentang perilaku
komunikasi politik dan makna yang diberikan terhadap perilaku
itu bahwa keragaman perspektif tersebut merupakan manifestasi
dari latar belakang para sarjana yang mengembangkan
komunikasi politik pada akhirnya memunculkan perspektif yang
beragam pula yaitu :
1. Perspektif aksi diri; bahwa di dalam diri manusia terdapat
kekuatan (motif,, sikap, dorongan, rangsangan, kapasitas
dan lain-lain) yang menentukan perbuatannya. Jadi perilaku
manusia diinterpretasikan menurut faktor-faktor internalnya.
2. Perspektif interaksi; menempatkan kekuatan-kekuatan yang
menentukan kelakuan manusia sebagai berada di luar
individu, yang mengembangkan sesuatu dengan yang lain
dan saling hubungan sebab akibat. Kekuatan tersebut
adalah kedudukan sosial dan ekonomi, peran social,
tuntutan kelompok, ketentuan larangan budaya, kebiasaan,
dan hukum.

651
3. Perpsktif transaksi; yang memahami perbuatan
manusia (apa yang dipikirkan, dirasakan, dan apa yang
dilakukannya, timbul dari makna yang diberikan orang kepada
hal-hal fisik. Sosial dan hal-hal yang abstrak, makna diturunkan
melalui transaksi yang dilmiliki orang dengan sesamanya.
Politisi sebagai komunikator politik secara kondisional
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat. Selain
itu, ia juga dikenal sebagai seorang pemimpin. Nimmo (1989)
menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu hubungan di
antara orang-orang di dalam suatu kelompok yang di dalamnya
satu atau lebih orang (pemimpin) mempengaruhi yang lain
(pengikut) di dalam setting tertentu. Lebih lanjut, Ilmuwan politik
Lewis Froman (dalam Nimmo, 1989) merangkumkan
kecenderungan yang membedakan pemimpin dan bukan
pemimpin di dalam kelompok. Pemimpin (1) memperoleh
kepuasan yang beragam karena menjadi anggota kelompok; (2)
lebih kuat dalam memegang nilai-nilai mereka; (3) memiliki
kepercayaan yang lebih besar tentang kelompok itu dan
hubungannya dengan kelompok lain, pemerintah, masalah
politik, dan sebagainya; (4) kurang kemungkinannya untuk
berubah kepercayaan, nilai, dan pengharapannya karena
tekanan yang diberikan kepadanya; (5) lebih mungkin membuat
keputusan mengenai kelompok berdasarkan kepercayaan, nilai
dan pengharapan sebelumnya; dan (6) lebih berorientasi kepada

652
masalah, terutama mengenai masalah yang menyangkut
perolehan material, alih-alih kepuasan yang kurang nyata atau
pertanyaan yang penuh emosi.
Lebih dari itu, yang dilakukan pemimpin adalah
melakukan kegiatan berorientasi tugas, yaitu menetapkan dan
bekerja untuk mencapai prestasi atau tujuan kelompok,
mengorganisasi agar pekerjaan dapat dapat diselesaika; juga
melakukan kegiatanberorientasi orang, sosial, atau emosi
seperti perhatian terhadap keinginan dan kebutuhan pengikut,
penciptaan hubungan pribadi yang hangat, pengembangan rasa
saling percaya, pengusahaan kerja sama, dan pencapaian
solidaritas sosial.
Bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin politik
ia harus berperilaku sebagaimana yang diharapkan orang
terhadap pemimpin; pengikut mengaitkan kepemimpinan
dengan orang yang sesuai dengan pengertian mereka tentang
apa pemimpin itu. Beberapa komunikator merupakan pemimpin
karena posisi yang diduduki mereka di dalam struktur sosial atau
kelompok terorganisasi yang ditetapkan dengan jelas. Di luar
organisasi mungkin mereka tidak banyak artinya bagi orang.
Komunikator seperti itu kita sebut pemimpin organisasi. Namun,
komunikator yang tidak menduduki posisi yang ditetapkan
dengan jelas; atau, jika menduduki posisi demikian, mereka
berarti bagi orang karena alasan di luar peran keorganisasian.

653
Komunikator politik yang merupakan pemimpin karena arti yang
ditemukan orang dalam dirinya sebagai manusia, kepribadian,
tokoh yang ternama, dan sebagainya, kita beri nama pemimpin
simbolik.
Jelas bahwa sebagian besar politikus, komunikator
profesional, dan aktivis politik adalah pemimpin organisasi.
pejabat terpilih, atau karier mempunyai posisi formal
kepemimpinan di dalam jaringan komunikasi yang terorganisasi
yang membentuk pemerintah. Komunikator profesional sering
merupakan karyawan organisasi-wartawan yang bekerja pada
organisasi media massa, dan promotor sebagai anggota
organisasi memublikasikan kepentingan perusahaan, jawatan
pemerintah, kandidat atau partai politik. Jurubicara sebagai
komunikator aktivis adalah pembela organisasi. dari komunikator
politik utama yang dilukiskan lebih dulu, hanya pemuka pendapat
yang bekerja melalui keakraban yang disediakan oleh jaringan
komunikasi interpersonal berada terutama di luar struktur
organisasi yang diformalkan.
Pemimpin dan pengikut ibarat mata uang yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya. Apalah arti seorang pemimpin
tanpa kehadiran atau tanpa dukungan pengikutnya. Demikian
sebaliknya, tiadalah keteraturan ketika banyak pengikut tetapi
tidak ada pemimpin. Ibarat pepatah pemimpin tanpa pengikut
laksana sayur tanpa garam. Pengikut tanpa pemimpin akan

654
terasa hampa. Kepemimpinan dan kepengikutan adalah cara
komplementer untuk meninjau suatu transaksi tunggal.
1. Bagi para pemimpin ada beberapa ganjaran, misalnya,
pemimpin mempunyai peluang yang lebih besar untuk
menguasai keadaan dan mengendalikan nasibnya. Lebih
dari itu, ada sesuatu yang menarik dalam kemampuan
mempengaruhi orang lain, menegaskan kekuasaan di dalam
kelompok, dan bahkan memberikan keuntungan dan
kerugian. Kemudian ada ganjaran ekonomis. Pemimpin
organisasi biasanya menduduki posisi dengan gaji yang
menarik; pemimpin simbolik sering mendapat bantuan
keuangan dari pendukung yang kaya. Apa lagi, ada
keuntungan yang meningkat karena memiliki status yang
lebih tinggi, baik dalam arti bahwa anggota-anggota
kelompok menaruh rasa hormat kepada pemimpin mereka
maupun dalam arti bahwa pemimpin itu menguasai cukup
sumber nafkah melalui dukungan para pengikutnya –tinggal
di rumah mewah, pasukan sekretaris dan asisten,
transportasi yang nyaman, orang-orang yang melayani-
semua ini bisa merupakan milik yang menyenangkan dan
menjadi ganjaran yang pantas bagi para pemimpin.
2. Bagi para pengikut ada beberapa keuntungan yang
didapatkannya. Salisbury (dalam Nimmo, 1989) meyakini
ada tiga keuntungan utama yang diperoleh pengikut dari

655
transaksi kepemimpinan-kepengikutan. Pertama, ada
keuntungan material yang terdiri atas ganjaran berupa
barang dan jasa; kedua, keuntungan solidaritas yang berupa
ganjaran sosial atau hanya bergabung dengan orang lain
dalam kegiatan bersama –sosialisasi, persahabatan,
kesadaran status, identifikasi kelompok, keramahan, dan
kegembiraan; ketiga, keuntungan ekspresif yang berupa
keuntungan ketika tindakan yang bersangkutan
mengungkapkan kepentingan atau nilai seseorang atau
kelompok, bukan secara intrumental mengejar kepentingan
atau nilai. Beberapa orang , misalnya, mendapat kepuasan
hanya dengan mendukung seorang calon politik sebagai
cara mengatakan kepada orang lain bahwa mereka
menentang kejahatan, atau perang, atau kemiskinan, atau
korupsi.
Jika dirangkum, terdapat ikatan di antara pemimpin dan
pengikut yang ditempa oleh kepuasan material, sosial, dan
emosional yang diturunkan orang dari keikutsertaan dalam
politik. Kepuasan ini, terutama yang kurang berwujud, yaitu jenis
sosio emosional, muncul di dalam dan melalui proses
komunikasi. komunikasi menciptakan, mendorong, atau
menghancurkan rasa solidaritas di antara orang-orang dan rasa
puas pribadi dalam mengungkapkan harapan dan cita-cita,
ketakutan dan kegelisahan orang. Kemudian, sampai taraf yang

656
sangat luas, ikatan antara pemimpin dan pengikut adalah ikatan
komunikasi. Oleh sebab itu, komunikator politik utama
memainkan peran strategis, bertindak sebagai pemimpin politik
dengan menyiarkan pesan-pesan yang oleh para pengikutnya
dianggap berarti dan memuaskan, sesuai dengan kepentingan
dan nilai-nilai yang mereka yakini.
Selanjutnya menarik untuk dikaji bagaimana eksistensi
politisi dalam perspektif interaksi simbolik (dramaturgi). Goffman
mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka
ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang
lain. Ia menyebut upaya itu sebagai “pengelolaan pesan”
(impression management), yaitu teknik-teknik yang digunakan
aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi
tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater,
interaksi sosial yang mirip dengan pertunjukan di atas penggung,
yang menampilkan peran-peran yang dimainkan para aktor.
Untuk memainkan peran tersebut, biasanya sang aktor
menggunakan bahasa verbal dan menampilkan perilaku
noverbal tertentu serta mengenakan atribut-atribut tertentu,
misalnya kendaraan, pakaian dan asesoris lainnya yang sesuai
dengan perannya dalam situasi tertentu. Aktor harus
memusatkan pikiran agar dia tidak keseleo-lidah, menjaga

657
kendali diri, melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan
mengekspresikan wajah yang sesuai dengan situasi.
Menurut Goffman kehidupan sosial itu dapat dibagi
menjadi “wilayah depan” (front region) dan “wilayah belakang”
(back region). Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial
yang menunjukan bahwa individu bergaya atau menampilkan
peran formalnya. Mereka sedang memainkan perannya di atas
panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton. Sebaliknya
wilayah belakang merujuk kepada tempat dan peristiwa yang
yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah
depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan
(front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedang wilayah
belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back
stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai,
mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di
panggung depan.
Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua
bagian: front pribadi (personal front) dan setting front pribadi
terdiri dari alat-alat yang dianggap khalayak sebagai
perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting, misalnya
dokter diharapkan mengenakan jas dokter dengan stetoskop
menggantung dilehernya. Personal front mencakup bahasa
verbal dan bahasa tubuh sang aktor. Misalnya, berbicara sopan,

658
pengucapan istilah-istilah asing, intonasi, postur tubuh, kespresi
wajah, pakaian, penampakan usia dan sebagainya.
Mengacu pada teori Goffman, kita dapat menyaksikan
bagaimana pola tingkah politisi kita (baca: anggota legislatif atau
anggota dewan yang terhormat). Realitas perilaku politik --
seperti arogansi kekuasaan, tuntutan adanya dana aspirasi,
kurang pekanya anggota terhadap keadaan masyarakat, kasus
amoral, dan tindakan-tindakan negatif lainnya--- yang telah
ditampilkan anggota legislatif kita menjadi catatan negatif
munculnya kegaduhan politik di tanah air. Terakhir kasus
hadirnya Setya Novanto (Ketua DPR-RI) dan Fadli Zon (Wakil
Ketua DPR-RI) di kampanye calon presiden Donald Trumph
menjadi rangkaian cerita perilaku politik pemimpin yang
mendapat tanggapan negatif dari masyarakat. Padahal
sebagaimana kajian teori dramaturgi Ervin Gofffman, anggota
legislatif yang secara kondisional menjadi panutan mansyarakat
seyogyanya menampilkan perilaku yang mendukung tampilan
depannya. Bagi masyarakat tampilan depan seorang wakil
rakyat adalah menjalankan fungsi legislasi, bugeting, dan
pengawasan dengan sebaik-baiknya. Artinya, setiap
pembicaraan anggota legislatif senantiasa mengutamakan
kepentingan masyarakat; peka dan cepat tanggap terhadap
persoalan masyarakat; membuat inisiatif perundang-undangan
yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat; mendorong

659
terciptanya suasana yang kondusif dalam rangka kepentingan
masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Brian McNair, (2011). An Introduction to Political
Communication, USA : Routledge.
Dan Nimmo, (1989). Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan
dan Media(EdisiTerjemahan oleh Tjun Surjaman).
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hafied Cangara, (2007). Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta :
Raja Grafindo Persada.
-------------------, (2011). Komunikasi Politik, Konsep, Teori, dan
Strategi, Jakarta : Rajawali Pers.
Imam B Jauhari, (2012). Teori Sosial, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Jalaluddin Rakhmat, (1994), Psikologi Komunikasi, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Lely Arrianie, (2010). Komunikator Politik, Politisi dan Pencitraan
di Panggung Politik, Bandung: Widya Padjadjaran.
Mochtar Pabottinggi, (1993). Komunikasi Politik dan
Transformasi Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.

660
Petty, Richard. E. and John T. Cacioppo. (1996). Attitudes and
Persuasion: Classic and Contemporary Approaches.
Colorado: Westview Press, Inc.
Roni Tabroni, (2012). Komunikasi Politik pada Era Multimedia,
Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Zulkarnaen Nasution, (1990), Komunikasi Politik Suatu
Pengantar, Jakarta: Yudhistira.

*) SUMARTONO,
Dosen Komunikasi FISIPOL Universitas Ekasakti, Padang

661
PROBLEMA GRATIFIKASI DALAM MEDIA
RELATIONS DARI SEGI BUDAYA NASIONAL DAN
BUDAYA ORGANISASI PADA PERUSAHAAN DI
INDONESIA DI TENGAH MENINGKATNYA TUNTUTAN
TERHADAP TRANSPARANSI MEDIA

Ardimas (Sasdi)*

Pendahuluan
Praktek media relations sebagai salah satu kegiatan public
relations (PR) yang menjadi fokus penelitian ini tidak lepas
faktor sosial, budaya, ekonomi, politik dan tingkat aktivisme
masyarakat di suatu negara. Kelima faktor yang juga dikenal
sebagai faktor kontekstual atau faktor lingkungan saling terkait,
tetapi menurut para ahli yang paling erat kaitannya dengan
praktek PR adalah faktor budaya. Realita juga menunjukkan
bahwa praktek PR di tidak linear berupa langkah demi
langkah dari suatu kegiatan proses komunikasi semata
sebagaimana umumnya dijelaskan dalam teori, tetapi
merupakan hasil interaksi yang dinamis antara proses
komunikasi dan non-komunikasi baik di dalam maupun di luar
organisasi.
Jadi tidak mengherankan apabila ada usaha dari kalangan
akademisi dan praktisi PR dari negara-negara Asia, Timur

662
Tengah dan kawasan lain di dunia untuk menyesuaikan teori
dan praktek PR di negara mereka dengan teori dan praktek PR
yang umumnya berasal dari negara Barat yang linear dan tidak
begitu memperhitungkan faktor budaya. Penyesuaian tersebut
diperlukan karena perbedaan budaya antara negara-negara
Eropa dan Amerika utara yang disebut negara Barat, dan
negara-negara Asia dan Timur Tengah yang dikenal sebagai
negara Timur. Jadi tidak mengherankan bilamana ada
perbedaan yang digunakan oleh praktisi PR vis-à-vis
perusahaan kedua tipologi perusahaan dalam membangun
hubungan dengan media dan pejabat pemerintah. Di Cina,
misalnya, ada praktek guanxi, di Korea (Selatan) ada ddukgab,
di Jepang ada wa dan di India ada quid pro quo. Di Indonesia
ada istilah jurnalisme amplop yang diambil dari praktek amplop.
Nama lain untuk praktek yang mirip adalah favor bank dan
bribery in the form of cash for news.
Studi literatur menunjukkan praktek pemberian dan
penerimaan sesuatu oleh praktisi PR kepada orang media
dalam rangka membangun relasi dengan media
(mediarelations) ada kaitannya dengan budaya organisasi
(organizational/ corporate culture) dan budaya nasional (societal
culture). Fenomena sosial ini tidak hanya menarik untuk diamati
tetapi juga berguna untuk diteliti baik dari segi praktis maupun
akademis sehingga dapat membantu praktisi PR dalam

663
menjalankan pekerjaan tanpa harus melakukan ujicoba tetapi
berdasarkan bukti (evidence) serta memberikan wawasan pada
mahasiswa sebagai calon praktisi mengenai praktek PR di
Indonesia.

Gratifikasi Kepada Pers/Media


Proses yang dilakukan oleh praktisi PR membangun dan
memelihara hubungan dengan media menjadi begitu kompleks
karena proses ini tidak hanya berhubungan dengan budaya
tetapi juga bertali temali dengan pemahaman dan kepatuhan
orang media dan praktisi PR terhadap kode etik, kesejahteraan
wartawan, kesehatan bisnis media, kesediaan pengusaha
media untuk berinvestasi dalam bidang pendidikan dan
pelatihan wartawan, independensi dan transparansi media
sebagai pilar keempat demokrasi, dan praktek korupsi yang
menghinggapi hampir semua elemen bangsa.
Studi literatur menunjukkan meskipun ada kesadaran dan
usaha dari kalangan PR dan media untuk membangun praktek
media yang transparan dan professional sampai saat ini
persoalan di atas belum dapat dipecahkan. Beberapa kalangan
bahkan mengatakan pelanggaran etika di kalangan media
khususnya praktek gratifikasi semakin parah di Era Reformasi
karena semakin gampangnya warga negara mendirikan
perusahaan pers setelah pemerintah meluncurkan program

664
deregulasi media dengan keluarnya UU No. 40 tahun 1999
tentang Pers dan semakin sulitnya kontrol terhadap kegiatan
orang media dan perusahaan media yang banyak sekali.
Lahirnya UU No. 40 sesungguhnya bermanfat bagi demokrasi
yang baru tumbuh karena rakyat memiliki sumber informasi yang
lebih beragam sehingga mereka bisa secara aktif ikut serta
dalam menentukan kebijakan publik, tetapi di sisi lain hal ini
menambah rumitnya persoalan yang sudah sulit apalagi
semakin banyak pengusaha yang sekaligus juga politisi yang
terjun ke bisnis media. Begitu kompleksnya persoalan ini, tidak
heran bilamana ada kalangan tertentu di masyarakat yang
menganggap usaha menegakkan etika profesi di kalangan
praktisi PR dan media ibarat mengurai benang kusut atau
seperti teka teki mengenai mana yang dulu antara telur dan
ayam.
Persoalan pemberian dan penerimaan amplop, uang
transpor atau gifts, merchandise, voucher dan barang lain
melalui kegiatan door prizes oleh praktisi PR kepada wartawan
merupakan persoalan lama dan serius karena dapat
mempengaruhi wartawan dalam memberitakan sesuatu
kejadian. Pada awalnya amplop atau uang transpor diberikan
praktisi PR sebagai pengganti uang transpor orang media atau
sebagai ungkapan tanda ucapan terima kasih telah menghadiri
acara yang mereka adakan. Pada tahun 1980-an dan 190-an

665
instansi pemerintah bahkan memberikan uang bulanan kepada
wartawan yang meliput kegiatan instansi tersebut, tetapi praktek
ini sekarang makin jarang ditemui setelah diperkenalkannya
prinsip tata kelola pemerintah yang bersih (good government
governance) di instansi dan lembaga pemerintahan.
Studi literatur dan temuan wawancara yang peneliti lakukan
dengan praktisi media, pimpinan organisasi wartawan dan
akademisi menunjukkan bahwa pemberian dan penerimaan
amlop dan sejenisnya sesungguhnya merupakan merupakan
persoalan kecil dari sebuah gunung es karena dana yang
dikeluarkan relatif kecil bila dibandingkan dengan biaya
perjalanan wartawan keluar negeri yang dikeluarkan oleh
sponsor baik lembaga pemerintah maupun perusahaan swasta.
Disamping itu ada proyek pembangunan imej di kalangan
pejabat atau lembaga melalui pemuatan iklan di media tertentu
yang memerlukan dana besar. Yang terakhir dan lebih serius
adalah kerjasama segitiga yang melibatkan orang PR atau
konsultan, orang media dan calon kepala daerah mulai dari
bupati dan walikota sampai politisi tingkat pusat menjelang
kampanye pemilihan eksekutif yang membutuhkan dana yang
besar sekali. Tujuan pengungkapan kasus yang terakhir ini
sebatas untuk memberikan gambaran tentang berapa
kompleksnya persoalan di balik hubungan PR dengan media dan
kaitannya dengan budaya. Peneliti tidak akan membahas

666
masalah ini dalam disertasi ini karena fokus penelitian ini dibatasi
pada konteks hubungan antara praktisi PR vis-à-vis perusahaan
dan organisasi dengan media dalam konteks budaya organisasi.
Peneliti mempersilahkan peneliti lain untuk menelitinya karena
bidang ini bisa dijadikan suatu objek penelitian tersendiri.
Penelitian tentang gratifikasi dalam praktek PR dan
kaitannya dengan budaya tidak hanya menarik, tetapi diperlukan
sejalan dengan meningkatnya tuntutan masyarakat termasuk
kalangan media sendiri dalam satu dekade belakangan akan
transparansi media (media transparency) sebagai prasyarat dari
independensi media sebagai salah satu pilar demokrasi. Media
seharusnya bebas dari pengaruh pihak manapun dalam
memberitakan sesuatu kejadian atau peristiwa. Upaya untuk
mengurai persoalan yang sudah berlangsung lama apalagi
realita di lapangan menunjukkan praktisi PR begitu tergantung
pada wartawan dalam mengkomunikasikan pesan kepada
pemangku kepentingan (stakeholder) mereka, dan di sisi lain
orang media pun tidak hanya membutuhkan ‘subsidi’ informasi
dari praktisi PR tetapi juga dana untuk menambah pendapatan
mereka yang kecil. Jadi ada pertemuan dua kepentingan yang
tidak mudah dipecahkan.
Dilihat teori pertukaran sosial (communal exchange) dari
Erving Goffman (Hung, 2002, 13), pemberian uang atau benda
lain tersebut oleh praktisi PR tidak selalu ada kaitannya dengan

667
harapan akan menerima kebaikan (favors) di belakang hari
seperti diungkapkan oleh beberapa praktisi PR tetapi murni
bagian dari tradisi saling memberi dan menerima yang bertaut
dengan budaya simpati, empati dan peduli yang ada di kalangan
masyarakat Indonesia karena penerima telah melakukan
sesuatu dan mempererat hubungan. Tetapi Goffman juga
membahas pertukaran ekonomi (economic exchange). Menurut
teori pertukaran ekonomi orang memberikan sesuatu kepada
pihak lain dengan harapan akan menerima imbalan atas
kebaikan (favors) yang ditanamkan apabila diperlukan kemudian
hari. Dalam media relations bentuknya bisa berupa
penyembunyian fakta, tidak memberitakan sesuatu atau memuat
berita yang menguntungkan praktisi PR atau perusahaan
mereka.
Praktek PR di negara manapun di dunia termasuk
negara Barat di mana segala sesuatu berjalan sesuai
dengan hukum atau aturan (goes by the book) sedikit
banyak dipengaruhi oleh faktor kontekstual khususnya
faktor budaya sekalipun pengaruhnya kecil. Jadi tidak heran
apabila praktek PR di Amerika Serikat, misalnya, tidak sama
dengan praktek PR di Jerman, Belanda, Swedia atau negara
Eropa lainnya meskipun negara tersebut memiliki latar
belakang budaya, bahasa dan historis yang sama.
Perbedaan praktek PR antara negara-negara Timur dan

668
negara-negara Barat biasanya lebih besar dan tajam
sekalipun juga ada kesamaan karena prinsip ilmu yang
universal. Oleh karena itu teori komunikasi dan PR yang
umumnya berasal dari Amerika Serikat dan beberapa
negara Eropa Barat seperti Jerman dan Inggris tidak begitu
saja dapat diadopsi oleh negara lain tanpa penyesuaian.

Praktek Public Relations di Asia


Kesadaran akan perlunya negara lain melakukan
penyesuaian teori dan praktek PR dari negara Barat
mengemuka tahun 1980-an dan berlanjut ke dekade
berikutnya. Hamoud Al-Badr (2004, 193), misalnya,
mengatakan praktek PR yang dilakukan oleh Aramco,
perusahaan minyak Amerika Serikat yang masuk ke Arab Saudi
sejak tahun 1930-an untuk melakukan kegiatan eksplorasi
minyak dan gas di negara kaya minyak tersebut, pada awalnya
tidak berjalan mulus dan bahkan menimbulkan ketidakpuasan
baik dari Aramco maupun orang Arab Saudi karena Aramco
belum menemukan gaya dan strategi PR yang tepat. Salah satu
penyebabnya adalah Aramco tidak memahami konsep Islam
yang menekankan kedamaian dan hidup saling membantu yang
dipegang kuat oleh orang Arab Saudi.
Kebiasaan saling membantu di kalangan orang Arab Saudi
ini sejalan dengan rukun Islam ketiga yaitu zakat di mana setiap

669
Muslim yang mampu wajib hukumnya untuk mengeluarkan dua
setengah persen dari hartanya untuk membantu mereka yang
lemah ekonominya. Realita sosial ini belakangan disadari oleh
eksekutif Aramco yang menyesuaikan praktek PR mereka
melalui pendekatan sosial budaya melalui kegiatan pelayanan
komunitas atau sejenis praktek corporate social responsibility
sekarang untuk menumbuhkan simpati karyawan dan
masyarakat terhadap perusahaan. (Al-Badr, 2004, 194). Tetapi
Al-Badr mengatakan keberhasilan Aramco dalam PR di daerah
tambang minyak tidak lepas dari kesediaan orang Arab Saudi
untuk belajar budaya orang asing. Jadi kuncinya adalah
kesadaran dan kesediaan kedua belah pihak – Aramco dan
orang Arab Saudi -- untuk menyesuaikan diri dengan realitas
sosial yang baru.
Sejak itu semakin banyak peneliti yang melakukan studi
tentang praktek PR di Asia dan Timur Tengah seperti di Cina,
Jepang, Korea, dan Singapura. Mereka juga meneliti kaitan
praktek PR dengan budaya yang unik suatu negara dan tali
temalinya dengan filosopi kehidupan masyarakat seperti sikap
simpati, empati dan peduli serta pentingnya hidup rukun di
masyarakat. Para peneliti tersebut umumnya melakukan
penelitian sebagai proyek akhir studi mereka di jenjang magister
dan doktoral dalam bidang komunikasi di universitas-universitas
praktek budaya di tiap negara yang diteliti. (Sriramesh, 2004, 2)

670
Beberapa peneliti tersebut juga meneliti bagaimana
perusahaan multinasional yang beroperasi di Cina melakukan
komunikasi dengan pemangku kepentingan mereka untuk
memperlancar kegiatan bisnis mereka termasuk dengan
merekrut para ahli PR karena mereka tidak mau kehilangan
potensi bisnis yang luar biasa di negara yang berpenduduk 1.3
milyar tersebut. Tidak hanya itu perusahaan multinasional juga
menyesuaikan praktek PR mereka dengan budaya Cina
khususnya praktek guanxi, sebuah praktek yang kontroversial
karena adanya pemberian sesuatu oleh satu pihak kepada pihak
lain dalam rangka membangun hubungan. Media dan pejabat
penting pemerintah yang membuat kebijakan tentang alokasi
sumberdaya adalah khalayak utama praktisi PR.
Didorong oleh ketertarikan untuk mengetahui kaitan antara
praktek PR dengan faktor kontekstual dalam konteks yang lebih
luas Sriramesh dan Dejan Verčič, seorang peneliti dan teoritikus
PR asal Slovenia yang meraih gelar doktor dari London School
of Economics and Political Science, bahkan memprakarsai
sebuah kegiatan untuk mengorganisir puluhan ahli dari berbagai
negara untuk meneliti pengaruh budaya terhadap praktek PR di
negara mereka masing-masing pada tahun 1990-an dan 2000-
an. Proyek Sriramesh dan Verčič ini mirip dengan Project
Excellence dari Grunig et al yang menghasilkan teori utama
dalam bidang PR dan beberapa buku dan puluhan tulisan di

671
jurnal ilmiah terkemuka di dunia. Diantara buku yang disunting
sendiri oleh Sriramesh atau bersama dengan Verčič adalah: 1.
The Global Public Relations Handbook Theory, Research and
Practice (2003), 2. Public Relations in Asia: An Anthology (2004),
dan 3. Culture and Public Relations: Links and Implications
(2012).
Berapa peneliti Indonesia lain juga melakukan penelitian
tentang praktek PR, tetapi fokus penelitian mereka umumnya
manajemen krisis kecuali satu yaitu penelitian Gregoria Arum
Yudharwati dari Universitas Atmadjaya Yogyakarta yang meraih
gelar doktor komunikasinya dari RMIT University of Melbourne,
Australia (2011). Yudharwati menggunakan personal influence
model dalam meneliti gaya dan strategi perusahaan tambang
dengan penduduk di daerah pertambangan. Tetapi dari hasil
penelusuran pustaka maupun wawancara dengan pengajar dan
pengelola program ilmu komunikasi termasuk dekan Fakultas
Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung
yang lulusannya banyak menulis tentang PR dan media relations
belum ada penelitian emperis yang secara khusus mengaitkan
praktek gratifikasi dengan media relations dan budaya
perusahaan.
Penelitian sebelumnya masih sebatas kaitan praktek
amplop dengan media relations dan ruang lingkupnya masih
terbatas perusahaan Indonesia, tetapi belum ada studi

672
komparatif. Tidak munculnya kata suap atau gratifikasi dalam
penelitian terdahulu yang umumnya dilakukan oleh mahasiswa
program S1 dan S2 mungkin karena praktek pemberian amplop,
pemberian dan penerimaan gifts, merchandise, voucher, door
prizes serta jalan-jalan ke luar negeri baru dikategorikan sebagai
praktek gratifikasi oleh Dewan Pers sejak tahun 2006 dan
diperkuat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2013
seiring dengan gencarnya gerakan anti korupsi.

Kajian Gratifikasi Media di Indonesia


Meskipun demikian dari observasi peneliti orang media
sudah familiar dengan terminologi gratifikasi. Salah satu contoh
adalah sikap pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Indonesia cabang Surabaya yang mengkritik keputusan
pemerintah kotamadya Surabaya mensponsori perjalanan
wartawan ke Jepang karena itu dianggap sebagai gratifikasi.
(Tribunnews, 21 Agustus 2015; AJI Surabaya, 21 Agustus 2015).
Satu bulan sebelumnya Dewan Pers sebagai lembaga non-
pemerintah yang berfungsi membina perkembangan pers
Indonesia, dalam himbauannya meminta publik untuk tidak
melayani permintaan tunjangan Hari Raya, permintaan barang,
permintaan sumbangan dalam bentuk apapun yang mungkin
diajukan oleh organisasi pers, perusahaan pers, ataupun

673
organisasi wartawan karena itu dikategorikan sebagai gratifikasi.
(DetikCom, 14 Juli 2015).
Dalam rangka membangun tata kelola pemerintahan dan
korporasi yang baik (good government governance dan good
corporate governance), KPK ( surat nomor B.143/01-
13/01/2013 tanggal 21 Januari 2013 ) menghimbau pimpinan
lembaga negara dari pusat ke daerah, partai politik, organisasi
kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan
media massa agar tidak memberikan/menerima uang/ barang/
fasilitas lainnya dalam yang diberikan rangka mempengaruhi
kebijakan/keputusan/perlakuan pemangku kewenangan.46 Ini
berlaku untuk semua hal yang terkait dengan kedinasan. Bagi
yang menerima diminta untuk melaporkannya ke KPK paling
lambat 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal gratifikasi tersebut
diterima atau diancam dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta atau
paling banyak RP1 milyar sesuai pasal 12 B ayat 2 Undang-
undang No. 2 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
undang No. 31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.i
Dari segi akademis yang baru dan menarik tentu adalah
fenomena di balik dimasukkannya praktek pemberian amplop

674
sebagai gratifikasi. Praktek pemberian/ penerimaan amplop
dalam konteks media relations sudah berlangsung puluhan
tahun dan dianggap sebagai pelanggaran etika organisasi
sehingga tidak ancaman pidana baik terhadap pemberi maupun
penerima. Perubahan terminologi amplop ke gratifikasi yang
ditenggarai didorong oleh tuntutan masyarakat atas praktek
bisnis dan media yang transparan bukan persoalan kecil karena
menyangkut kehidupan wartawan yang sudah terbiasa
menerima amplop atau kebaikan (favors) lain dari sumber berita,
dan pengelola media yang selama ini ditenggarai menutup mata
kalau wartawan mereka menerima amplop dengan alasan tidak
sanggup memberikan gaji yang layak. Kode Etik Jurnalistik (KEJ)
yang berlaku sekarang pun harus diubah.
Perubahan lanskap fenomena sosial inilah yang semakin
memperkuat tekad peneliti untuk memberanikan diri untuk
meneliti kaitan gratifikasi dengan praktek media relations di
Indonesia dan budaya organisasi yang begitu kompleks karena
menyangkut banyak aspek dan sensitif. Sensitifitas ini pulalah
yang menjadi alasan mengapa peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif dalam mencoba mengungkap realitas
sosial di balik praktek pemberian dan penerimaan gratifikasi
dalam media relations yang berkaitan dengan budaya
organisasi, dan kemudian menjelaskannya dengan sistematis
dan bahasa yang mudah dipahami.

675
Untuk itu, peneliti terlebih dahulu akan menjelaskan
beberapa kata kunci yang sifatnya konseptual. Pertama, PR
adalahfungsi manajemen dalam membangun dan memelihara
komunikasi dua arah, pemahaman, penerimaan, dan kerjasama
antara organisasi dan khalayak (publics)47 (Harlow dalam Guth
dan Marsh, 2006, 5- 7). Sedangkan mediarelations menurut
Jane Johnston (2013, 6) adalah “the ongoing facilitation and
coordination of communication and relationships between an
individual, group or organization and the media”. Dari segi media
relaltions praktisi PR menjalankan dua peran yaitu sebagai
komunikator dan manajer hubungan (relationship manager).

Gratifikasi dan Budaya Organisasi


Konsep utama berikutnya dalam penelitian ini adalah
budaya organisasi yang dikatakan oleh Edgar H. Schein,
gurubesar manajemen di MIT sekaligus ahli terkemuka bidang
budaya organisasi, dalam bukunya the Corporate Culture
Survival Guide (2009, 27):
Culture is a pattern of shared tacit assumptions that was
learned by a group as it solved its problems of external
adaptation and internal integration, that has worked well
enough to be considered valid and, therefore, to be taught
to new members as the correct way to perceive, think, and
feel in relation to those problems.

676
Jadi budaya organisasi adalah budaya yang tidak terlihat
(tacit) yang dipelajari dan berguna untuk membantu anggota
organisasi mengatasi persoalan dalam beradaptasi dengan
pihak eksternal dan berinteraksi dengan pihak internal. Tidak
hanya itu budaya tersebut terbukti telah berjalan baik sehingga
dapat dianggap sah dan oleh karena itu dapat diajarkan kepada
seluruh anggota organisasi untuk menjadi panduan dalam
memahami, memikirkan dan merasakan segala sesuatu yang
terkait persoalan tersebut dalam berkomunikasi dengan pihak
internal dan eksternal. Elaborasi dari definisi di atas dalam
bidang PR, misalnya, apakah seorang praktisi PR sesuai dengan
budaya organisasi diperbolehkan memberikan sesuatu kepada
wartawan dalam rangka membangun hubungan, dan kalau
diperbolehkan dalam bentuk apa serta jumlahnya dan dalam
konteks apa.
Implikasinya tentu seorang praktisi PR dituntut untuk
memahami budaya organisasi perusahaan tempat mereka
bekerja, dan budaya organisasi berbagai perusahaan media.
Mungkin tidak terlalu sulit untuk memahami yang tertulis seperti:
1. company regulations, 2. code of conduct dan 3. filosopi
perusahaan, tetapi tidak semua budaya organisasi tertulis
seperti dijelaskan oleh Schein. Budaya organisasi yang masuk
tipologi kedua ini biasanya baru diketahui oleh pihak luar setelah

677
berinteraksi dengan orang yang ada di dalam organisasi
tersebut.
Praktek pemberian dan penerimaan sesuatu dalam media
relations bukan sesuatu yang unik Indonesia atau Cina, Jepang,
India, atau Korea, tetapi didapati di hampir semua negara di
dunia. Kesimpulan ini sejalan dengan temuan penelitian
Kruckeberg dan Tsetsura dalam Alan R. Freitag dan Ashli
Quesinberry Stokes dalam Global Public Relations: Spanning
Borders, Spanning Cultures (2009, 82). Keduanya meneliti
praktek media relations di 60 negara di dunia tahun 2002-2003
dan menemukan praktek yang mereka sebut sebagai bribery in
the form of ‘cash for news’dalam berbagai tingkatan. Negara
Barat seperti Finlandia, Denmark, Selandia Baru, Swiss, Jerman,
Irlandia dan Inggris adalah negara dengan praktek bribery in the
form of ‘cash for news’ terendah. Berada pada peringkat
terendah kedua adalah Amerika Serikat, Kanada dan negara
Eropa lainnya. Negara dengan peringkat terburuk adalah Arab
Saudi, Cina, Mesir, Pakistan, Bangladesh, dan Vietnam.
Indonesia berada pada urutan ke 27 bersama Nigeria, tetapi di
bawah Malaysia, Thailand apalagi Singapura yang berada
tingkat ke 17. (Kruckeberg dan Freitag, 2009, 82)

678
PERINGKAT KEMUNGKINAN SUAP

1. Finlandia 18. Polandia


2. Denmark, Selandia Baru, Swiss 19. Argentina, Mexico, Taiwan, Ukrania
3. Jerman, Irlandia, Inggris 20. Kroasia
4. Norwegia 21. Turki, Venezuela
5. Austria, Kanada, Belanda, 22. Af rika Selatan, Thailand
Swedia, Belgia, Amerika Serikat
6. Australia 23. Uni Emirat Arab
7. Irlandia, Israel, Italia 24. Malaysia
8. Spanyol 25. India, Kenya
9. Ciprus 26. Kuwait
10. Perancis, Portugis 27. Indonesia, Nigeria
11. Cile, Junani 28. Bahrain, Jordania
12. Estonia, Jepang 29. Mesir
13. Bosnia dan Herzegovina 30. Pakistan
14. Brazil, Hongaria 31. Bangladesh, Vietnam
15. Puerto Rico (bukan negara) 32. Saudi Arabia
16. Korea Selatan, Latvia, Russia, Slovakia 33. Cina
17. Bulgaria, Cekoslovakia, Hong Kong
(juga bukan negara), Lithuania, Singapura,
Mauritius, Slovenia

Catatan: Daftar ini disusun berdasarkan peringkat kemungkinan terjadinya


‘bribery in the form of “cash for news’.
Sumber: Kruckeberg and Tsetsura, 2003 (2003)

Hasil penelitian Kruckeberg dan Tsetsura ini menunjukkan


bahwa praktek gratifikasi dalam media relations di Indonesia
sudah sedemikian parah dan bahwa praktek jurnalisme amplop
tidak lagi sekedar perwujudan prinsip communal exchange yang
berakar dari tradisi saling memberi dan menerima yang ada di
hampir semua masyarakat Indonesia yang bertaut dengan sikap
empati, simpati dan peduli. Tetapi mungkin gabungan antara
679
prinsip communal exchange dengan prinsip pertukaran ekonomi
(economic exchange) atau murni praktek korupsi sebagaimana
dikatakan oleh sebagian kalangan.

Gratifikasi dan Transparansi Media


Transparansi media meliputi sumber informasi yang
beragam dan bersaing; penyampaian informasi jelas, dan
informasi mengenai pendanaan perusahaan media yang terbuka
pada publik. Sementara tindakan pemberian uang tunai atau
produk atau jasa oleh sumber kepada wartawan atau redaktur,
dan atau kegiatan yang secara tidak langsung mempengaruhi
perusahaan media untuk mempublikasikan liputan tertentu
masuk dalam kategori media non-transparansi. (Tsetsura dan
Grynko, 2009, 2) Mengutip Craig (1999, 2006, 2008), Tsetsura
dan Grynko (2009, 1) mengatakan kejujuran, independensi
mengemukakan pendapat, penilaian yang adil, dan nilai berita
(news values) adalah faktor utama yang menentukan prinsip
jurnalistik dan memperkokoh kredibilitas media. Jika satu atau
berberapa prinsip ini dilanggar, maka publik berhak untuk
mengetahui faktor yang mempengaruhi keputusan editorial
tertentu dari sebuah media.
Pentingnya media yang independen dengan menjadi ‘mata
dan telinga’ rakyat di suatu negara adalah karena perannya
sebagai satu pilar demokrasi yaitu memantau, mempertahankan

680
dan memajukan demokrasi. Peran ini hanya dapat dijalankan
oleh media apabila transparan dan akuntabel – dua elemen kunci
menuju independensi.
Tujuan utama (primer) penelitian ini adalah mengetahui
sekaligus menjelaskan realitas sosial tentang praktek gratifikasi
dan pengaruhnya terhadap pendekatan praktisi PR dalam
membangun hubungan dengan orang media setelah
ditetapkannya pemberian/ penerimaan amplop sebagai bentuk
gratifikasi. Bagaimana praktisi PR menyikapinya. Langkah
Dewan Pers yang diikuti oleh KPK tentang penetapan praktek
amplop sebagai gratifikasi merupakan lompatan besar dalam
sejarah penegakan hukum yang berguna bagi praktek media
yang transparan karena praktek serupa ddukgab di Korea dan
wa di Jepang tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum
sehingga baik pemberi maupun penerimanya tidak dapat
dikenakan sanksi hukum.
Tujuan sekunder adalah untuk mengetahui apakah praktek
gratifikasi dalam praktek mediarelations di Indonesia berakar
pada budaya saling memberi dan menerima, dan kecendrungan
feminitas yang terlihat pada sikap simpati, empati, peduli dan
compassion (kasihan). Ataukah praktek gratifikasi ini bagian dari
praktek korupsi yang terjadi di hampir seluruh lini kehidupan di
negara ini seperti yang ditenggarai oleh berapa kalangan.

681
Tujuan sekunder yang terakhir adalah untuk mengetahui
dan menjelaskan dalam hal apa perusahaan domestik
(Indonesia) dan asing sama atau berbeda apabila dikaitkan
dengan budaya organisasi. Apakah budaya organisasi berfungsi
menjadi salah satu panduan bagi praktisi PR dalam membangun
hubungan dengan media. Khusus untuk perusahaan asing
apakah induk perusahaan memaksakan agar nilai dan budaya
organisasi mereka diterapkan juga oleh anak perusahaan
mereka di Indonesia atau mereka memberikan kebebasan
kepada praktisi PR untuk melakukan penyesuaian dengan
praktek dan budaya lokal melalui pendekatan yang dikenal
sebagai glocalization (global dan localization) karena
pertimbangan bisnis seperti yang dilakukan oleh banyak
perusahaan asing yang beroperasi di Cina.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis, yaitu
salah satu dari empat paradigma atau basis kepercayaan utama
(metafisika) dari sistem berpikir: basis ontologi, epistemologi,
dan metodologi yang disebutkan oleh Guba dan Lincoln (1994)
(dalam Dedy N. Hidayat, 2002, 2). Keempat tipologi paradigma
adalah positivism (positivistik), post-positivism (pos-positivis),
critical theories et al (teori-teori kritis)dan constructivism
(konstruktivistik). Paradigma ini dinilai tepat untuk melihat dan
menjelaskan interaksi antara praktisi PR sebagai wakil

682
perusahaan dengan media – wartawan lapangan, redaktur dan
perusahaan media.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan ini dikatakan oleh Guba & Lincoln, 1994 (dalam
Zhang, 2010, 12) cocok untuk menjelaskan bagaimana realitas
dikonstruksi secara sosial dan pengalaman ditafsirkan melalui
konstruksi sosial. Dalam pendekatan kualitatif peneliti juga bisa
memahami masalah sosial dan pengalaman manusia
berdasarkan gambaran dengan cara mengungkapkan
pandangan informan secara rinci dalam seting alamiah.
Seperti dikatakan oleh Creswell (2003, 5-6) dalam Materi
Presentasi tentang Prinsip-Prinsip Penelitian Kualitatif:
Mendesain Penelitian Kualitatif, Universitas Nebraska, Lincoln,
5-6), dalam prakteknya peneliti mengeksplorasi dan kemudian
menjelaskan satu fenomena sentral, mengajukan pertanyaan
yang sifatnya umum dan mengumpulkan pandangan partisipan
dalam bentuk kata-kata atau gambar secara rinci, menganalisa
dan mengkodifikasi data untuk tujuan deskripsi dan tema serta
menerjemahkan makna dari informasi yang diperoleh
berdasarkan refleksi pribadi. Meskipun teknik pengumpulan data
dan informasi dalam penelitian kualitatif sesungguhnya banyak,
peneliti hanya menggunakan metode wawancara, obervasi,
analisis dokumen, danunobtrusive measures (metode observasi

683
di mana objek yang diamati tidak mengetahui mereka
diobservasi) karena dirasakan sudah memadai.
Penelitian menggunakan metode fenomenologi yang
cocok untuk melihat sekaligus menjelaskan fenomena sosial
mengenai pendekatan praktisi PR membangun hubungan
dengan media termasuk praktek gratifikasi dan bagaimana peran
budaya organisasi yang mengatur sikap dan perilaku tiap
anggota organisasi dalam beradaptasi dengan pihak eksternal
dan berinteraksi dengan pihak internal berinteraksi.
Objek penelitian dari makalah yang merupakan bagian
proyek penelitian peneliti untuk disertasi pada Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Jakarta
meliputi perusahaan domestik dan asing. Namun sebagai bagian
dari suatu penelitian yang masih berlangsung isi makalah ini
masih terbatas pada hasil studi literatur tentang topik penelitian
dan wawancara dengan praktisi PR di sekitar 8 perusahaan,
ditambah dengan hasil wawancara dengan mantan eksekutif
perusahaan konsultan PR, mantan praktisi PR dan pimpinan
organisasi wartawan.
Peran media sosial semakin diperhitungkan oleh
perusahaan sebagai saluran komunikasi dengan khalayak
mereka dengan mengikutkan media online dalam kegiatan
mereka bersama media mainstream -- suratkabar, majalah, dan
tabloid yang ada dalam daftar kontak mereka, namun belum bisa

684
menggeser peran media mainstream yang masih menjadi
andalan utama praktisi PR dalam media relations. Sebagian
media online tersebut bahkan adalah anak perusahaan media
cetak atau elektronik kecuali beberapa yang murni sebagai
media online yang berdiri sendiri seperti DetikCom.
“Media online diperlakukan seperti suratkabar, majalah,
tabloid atau media elektronik dan sudah masuk database kam.
Meeka diikutsertakan dalam setiap kegiatan media relations,”
ujar Henry Wijayanto, manajer Public Relations/Corporate
Communication PT XL Axiata, perusahaan telekomunikasi asal
Malaysia.

Pandangan Praktisi PR terhadap Pentingnya Media


Relations
Para praktisi PR tersebut juga sepakat tentang pentingnya
arti relasi dengan media bagi mereka dalam keadaan normal
apalagi saat krisis seperti munculnya berita negatif terhadap
organisasi atau eksekutif organisasi.
Kematian Hayriantira, asisten mantan Presiden Direktur XL
Axiata Hasnul Suhaimi, menarik perhatian publik karena
dikaitkan oleh media dengan eksekutif tersebut sekalipun
kemudian terbukti eksekutif yang bersangkutan tidak ada
sangkut pautnya dengan kematian korban yang ternyata dibunuh
oleh teman dekatnya. Berita media tentang kematian janda

685
cantik ini sejauh ini relatif ‘proporsional’ dan tidak berdampak
negatif terhadap nama baik XL berkat hubungan baik dengan
media yang selalu mengkonfirmasi berita mengenai kasus ini
kepada bagian PR XL Axiata.
Hampir semua para praktisi PR yang diwawancarai
mengatakan bahwa manfaat nyata hubungan baik yang paling
dirasakan oleh mereka adalah wartawan yang masuk dalam
kontak mereka selalu mencek data dan informasi tentang
organisasi/ perusahaan kepada mereka sebelum menulis atau
menyiarkan berita. Dengan begitu berita yang dimuat berimbang
sesuai dengan prinsip cover both sides yang menjadi rules of
thumb (kaidah baku) dalam dunia jurnalistik. Untuk itu para
praktisi PR ini membuka line telepon 24 jam sehari agar bisa
dihubungi oleh wartawan yang ingin meminta atau
mengklarifikasi suatu data atau informasi. Kebijakan para praktisi
PR ini didukung oleh perusahaan dengan memberikan waktu
dan dana yang dibutuhkan seperti pulsa dan fasilitas lain.
Perusahaan tidak hanya melakukan pendekatan berupa
komunikasi dengan media tetapi baik secara sendiri-sendiri atau
bersama dengan lembaga lain mengadakan pelatihan buat para
wartawan dalam rangka meningkatan kapasitas dan
pengetahuan mereka tentang bidang industri yang mereka liput.
Para praktisi PR mengatakan kesalahan dalam penulisan berita
tidak semata-mata karena niat buruk dari wartawan, tetapi bisa

686
terjadi karena ketidakpahaman mereka atas bidang yang mereka
liput apalagi bidang seperti eksplorasi minyak dan gas atau
perbankan.
Manfaat hubungan baik dengan media dan juga pejabat
pemerintah tidak hanya terbatas untuk keperluan komunikasi,
tetapi juga buat hal lain seperti membantu bagian HR ketika
terjadi demo buruh dengan menjelaskan kepada media duduk
persoalan sehingga berita yang dimuat berimbang. Tidak hanya
itu berkat hubungan baik dan network yang mereka bangun,
bagian PR bahkan dapat membantu mengatasi rintangan dalam
kegiatan operasional perusahaan dengan menghubungi pejabat
di daerah bilamana ada ‘gangguan’ terhadap operasi
perusahaan oleh oknum tertentu.
“Kunci keberhasilan praktisi PR adalah kreatifitas dan
inovasi disamping networking,” ujar Aminuddin, mantan
Corporate Secretary dan Senior Vice President Astra yang
sekarang menjadi Corporate Secretary grup Triputra milik
pengusaha terkemuka T.P. Rachmat.
Yang menarik ada tiga kata kunci dalam kamus para
praktisi PR untuk membangun dan memelihara hubungan
dengan media: 1. membangun dan menjaga hubungan dengan
orang media karena suatu saat mereka mungkin diperlukan, 2.
menghargai wartawan sebagai manusia atau memanusiakan
manusia dan 3. ngewongke (bahasa Jawa: berarti

687
mengorangkan manusia). Poin 2 dan 3 yaitu menghargai
wartawan sebagai individu dan professional lebih dari sekedar
memperlakukan wartawan dengan baik dan memberikan data
dan informasi yang dibutuhkan termasuk akses kepada sumber
di perusahaan. Tetapi ketiga kata ini merefleksikan pendekatan
budaya yang khas Indonesia.
Dalam membangun dan memelihara hubungan, praktisi PR
membangun hubungan dengan semua tingkat di perusahaan
media: 1. wartawan lapangan yang bertugas meliput; 2.
Redaktur/pemimpin redaksi yang mengatur penugasan
wartawan di lapangan dan menentukan apakah berita akan
dimuat atau disiarkan serta menentukan kebijakan operasional
media; dan 3. perusahaan media yang mempekerjakan
wartawan dan redaktur.
Hubungan praktisi dengan orang media tidak hanya
berlangsung pada tataran formal tetapi masuk ke ranah informal.
Misalnya, praktisi PR mengajak wartawan minum atau makan
sambil berdiskusi, menghadiri resepsi pernikahan wartawan atau
anak mereka, kematian wartawan atau keluarga mereka,
mengunjungi wartawan di rumah sakit, dll. Praktisi PR juga
mengirim ucapan selamat dan memberikan sesuatu seperti
seperti kue tart atau nasi tumpeng pada perusahaan pada saat
ulang tahun perusahaan media. Nasi tumpeng yang
mencerminkan budaya Indonesia sekaligus menunjukkan

688
kebersamaan di mana orang memakannya dalam suasana
penuh canda. Tidak hanya itu bahkan eksekutif puncak
perusahaan tertentu melakukan kunjungan ke rumah satu dua
wartawan senior dan berpengaruh hanya untuk silaturahmi.
Kasus yang terakhir ini jarang, tetapi ada.
Praktisi PR pada perusahaan asing yang umumnya
orang Indonesia sesungguhnya memiliki pendekatan yang
sama, tetapi keleluasaan mereka tidak sebesar rekan mereka
dari perusahaan Indonesia atau perusahaan asing asal Asia
yang memiliki ruang gerak lebih besar meskipun semua
perusahaan yang diteliti telah menerapkan prinsip good
corporate governance berstandar internasional. Penyebabnya
mungkin karena mereka terikat oleh budaya perusahaan yang
ketat dan pemisahan secara jelas hubungan pribadi (informal)
dan formal (professional) yang diatur dalam code of conduct
dan company regulations.
Sebagai sebuah contoh kasus, seorang praktisi PR
sebuah perusahaan minyak asal Perancis mengatakan
kepada peneliti dia pernah mengalami suatu masalah pelik
ketika menjanjikan bantuan finansial kepada sebuah
organisasi wartawan yang akan menyelenggarakan pelatihan
buat wartawan. Pimpinannya menolak kecuali ada
perusahaan lain yang bersedia membantu kegiatan itu.
Untung ada perusahaan minyak asing lain yang bersedia

689
membantu biaya pelaksanaan pelatihan wartawan tersebut.
Namun ini tidak berarti perusahaan asing sangat kaku dengan
memaksakan praktek perusahaan mereka seperti yang
diterapkan induk perusahaan. Perusahaan asing juga
bersedia mengikuti ketentuan pemerintah Indonesia seperti
memberikan per diem (uang saku) kepada wartawan yang ikut
kunjungan ke daerah operasi mereka sekalipun hal itu tidak
diatur oleh aturan perusahaan mereka.
“Kita ikut ketentuan pemerintah (Indonesia) sepanjang
ada landasan hukumnya,” ujar eksekutif PR senior sebuah
perusahaan minyak Perancis.
Hal yang sama juga diakui oleh praktisi PR perusahaan
minyak asal Inggris dan perusahaan air mineral asal Perancis,
tetapi umumnya perusahaan asing tidak memberikan bantuan
finansial kepada orang media atau pejabat pemerintah secara
tunai. Bantuan biasanya diberikan dalam bentuk barang atau
fasilitasi suatu kegiatan yang berwujud program corporate
social responsibility.
Misalnya, baik praktisi PR perusahaan domestik maupun
asing mengatakan mereka tidak memberikan amplop kepada
wartawan yang meliput kegiatan mereka. Namun sebagian besar
mengakui memberikan voucher, gifts, merchandise dan
doorprizes. Harga voucher ini bila ditukarkan dengan uang
jumlahnya bisa mencapai Rp500.000 dan bahkan Rp1juta,

690
sedangkan bentuk doorprizes macam-macam namun biasanya
berupa alat kerja yang dibutuhkan oleh wartawan seperti
kamera, notebook atau dompet tetapi bermerek terkenal.
Menurut Suwarjono dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Indonesia sebagian wartawan menerima voucher, merchandise
dan doorprizes tersebut dengan berbagai alasan dan
pertimbangan, tetapi sebagian lagi menolak atau menerima
tetapi kemudian mengembalikan pemberian praktisi PR ini
karena dilarang oleh perusahaan media mereka. Tetapi hampir
semua wartawan menerima gifts dan merchandise yang nilainya
kecil.

Kesimpulan
Seperti sudah dijelaskan pada bab pendahuluan ada tiga
(3) pertanyaan yang saling terkait ingin dijawab dalam penelitian
ini. Pertama, apakah ada pengaruh praktek pemberian/
penerimaan atau permintaan sesuatu terhadap praktek PR.
Sebagian dari pemberian ini diklasifikasikan sebagai gratifikasi
yang juga dijumpai di negara lain seperti dikatakan oleh
Sriramesh dan Verčič (2004, xvi; 2003, 2-5); 2. Kedua, apakah
ada budaya Indonesia yang unik seperti dijelaskan pada poin 1
dan apakah pemberian/ penerimaan tersebut sesuai dengan
budaya organisasi/ perusahaan atau tidak sehingga menjadi
kendala bagi praktisi PR dalam bekerja dan bagaimana praktisi

691
PR pada perusahaan domestik dan asing menyikapinya – sama
atau berbeda; 3. Ketiga, apakah praktek PR pada perusahaan
asing yang beroperasi di Indonesia mengikuti nilai dan budaya
perusahaan induk mereka secara utuh atau melakukan
penyesuaian praktek PR mereka dengan praktek dan budaya
lokal?
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kesamaan
pandangan di kalangan praktisi PR kedua jenis perusahaan
tentang pentingnya fungsi media sebagai alat komunikasi.
Namun juga ditemukan adanya perbedaan pendekatan yang
digunakan oleh praktisi PR dari kedua jenis perusahaan.
Kesamaan dan perbedaan ini terjadi karena: 1. Budaya
perusahaan/ organisasi kedua jenis perusahaan berbeda
sehingga keleluasaan mereka bekerja juga beda, 2. Praktisi PR
perusahaan domestik dan Asia sama-sama menekankan
pentingnya relasi jangka panjang (long term orientation) tetapi
penerapannya di lapangan tidak persis sama karena perbedaan
budaya organisasi sekalipun semua perusahaan menerapkan
prinsip good corporate governance, 3. Perusahaan asing tidak
kaku sekali seperti yang mungkin dibayangkan sebagian
kalangan dalam praktek bisnis termasuk PR mereka dengan
memberikan keleluasaan pada praktisi PR mereka
menyesuaikan praktek PR mereka. Tetapi penyesuaian harus
mengacu pada aturan dan hukum yang berlaku di Indonesia.

692
Kesamaan dan perbedaan di atas akan dibahas menurut
urutan untuk memudahkan pembaca. Seperti disinggung pada
temuan penelitian, baik praktisi PR perusahaan domestik
maupun asing memiliki pandangan yang sama tentang
pentingnya relasi dengan media dan mereka membuka diri 24
jam sehari untuk dihubungi oleh wartawan yang meminta data
dan informasi agar liputan berimbang sesuai prinsip cover both
sides.
Hampir semua praktisi PR perusahaan domestik dan asing
juga memiliki pandangan yang sama tentang pentingnya
peningkatan kapabilitas baik yang sifatnya teknik penulisan,
editing, etika media maupun pengetahuan tentang bidang yang
diliput. Solusi yang ditawarkan adalah pelatihan bagi wartawan
yang dipandang bermanfaat untuk wartawan dan perusahaan.
Melalui pelatihan para wartawan diharapkan akan dapat
memahami kegiatan perusahaan termasuk bidang yang sifatnya
teknis seperti industri minyak dan gas serta perbankan sehingga
mereka akhirnya bisa menulis dengan benar dan akurat. Untuk
itu mereka bersedia membiayai pelatihan wartawan secara
sendiri atau bersama-sama dengan perusahaan lain yang
sejenis atau kedutaan asing.
Kedua poin di atas dapat dipahami dari prinsip exchange of
resources dalam teori RMT dari Ledingham di mana perusahaan
mengeluarkan sesuatu -- dana, waktu dan pikiran untuk kegiatan

693
pelatihan, tetapi mendapat manfaat atas biaya yang dikeluarkan
berupa liputan media yang akurat dan berimbang yang berguna
dalam memelihara reputasi mereka.
Namun juga tidak dapat dimungkiri ada perbedaan praktek
PR antara kedua jenis perusahaan. Perusahaan asing sangat
terikat terhadap aturan perusahaan atau budaya perusahaan
sementara perusahaan domestik dan asing asal Asia sedikit
lebih fleksibel. Perbedaan lain yang elementer antara praktisi PR
dari kedua jenis perusahaan adalah pola hubungan. Pola
hubungan praktisi PR perusahaan asing cenderung formal.
Sementara pola hubungan praktisi PR perusahaan domestik dan
perusahaan asing asal Asia berlangsung pada formal dan
informal serta sangat menekankan hubungan jangka panjang
(long-term orientation).
Hampir miripnya pendekatan praktisi PR perusahaan
domestik maupun perusahaan asing dalam penekanan
pentingnya relasi bagi PR ditambah dengan pendekatan
bernuasa budaya seperti keluarnya kata ngewongke atau
memanusiakan manusia, dan pemberian/ pemberian sesuatu
terkait dengan realitas bahwa semua praktisi PR tersebut adalah
orang Indonesia. Tetapi penerapan bentuk penghormatan dan
pemberian/ penerimaan sesuatu yang saat ini dianggap
gratifikasi ini berbeda karena perbedaan budaya organisasi
perusahaan sekalipun seperti semua perusahaan seperti sudah

694
dijelaskan sebelumnya telah menerapkan prinsip good corporate
governance.
Tentang konsep pemberian dan penerimaan gratifikasi
sendiri seperti dikatakan oleh Kamsul Hasan perlu diperjelas
oleh otoritas yang berwenang seperti Dewan Pers, KPK dan
pemerintah bukan saja karena praktek ini sudah lama
berlangsung sehingga susah untuk dihapus, tetapi harus terang
benderang (crystal clear) mulai dari bentuk barang atau jasa
yang diberikan, batasannya kalau diukur dengan uang, dan
konteks pemberiannya. Kejelasan ini diperlukan untuk menjadi
pegangan baik praktisi PR maupun orang media serta
memudahkan pemantauannya sekalipun beberpa kalangan
meragukan apakah misalnya pemerintah mau mengawasi
praktek gratifikasi dalam media relations meningat mereka juga
memerlukan pers sebagai alat publikasi. Disamping itu
pertanyaan ini perlu dijawab karena teori RMT sendiri jelas
menyebutkan adanya pertukaran sumberdaya yang kemudian
dikategorikan pemberian/ penerimaan atas dasar communal
exchange yaitu praktek yang menjadi bagian dari budaya suatu
masyarakat seperti saling memberi dan menerima, dan atau
economic exchange yang dilakukan atas motif ekonomi. Faktor
lain yang harus dipertimbangkan adalah kacamata yang
digunakan untuk melihat fenomena sosial ini apakah dari
perspektif metaethics yang antara lain menyangkut baik dan

695
buruk, benar atau salah, adil atau tidak, fair atau tidak, atau
normative ethics yang menyangkut norma atau aturan dan
prinsip perilaku moral, atau applied ethics yang pada dasarnya
menyangkut penerapan metaethics dan normative ethics.seperti
dijelaskan oleh Louis A. Day (1991, 3-4)

Daftar Pustaka
Bardhan, Nilanjana and Sriramesh, Krishnamurthy (2004).
Public Relations in India: A Profession in Transition. In
Sriramesh (Ed.) Public Relations in Asia: An Anthology.
Singapore: Thomson.
Day, Louis A. (1991). Ethics in Media Communications: Cases
and Controversies. Belmont, California. Wadsworth
Publishing Company.
Freitag, Alan R. dan Ashli Quesinberry Stokes. (2009) Global
Public Relations: Spanning Borders, Spanning Cultures.
London. Routledge.
Grunig, James E. (1992). Excellence in Public Relations and
Communication Management. Mahwah, New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates
Guth, David W. and Charles Marsh (2006). Public Relations: A
Values Driven Approach. 3rd Edition. Boston, New York:
Pearson Education Inc.

696
Hung. Chun-ju Flora and Chen, Yi-Ru Regina (2004).
Glocalization: Public Relations in China in the Era of
Change. In Sriramesh (Ed.) Public Relations in Asia: An
Anthology. Singapore: Thomson.
Ledingham, John A. (2003). Explicating Relationship
Management as a General Theory of Public Relations.
Journal of Public Relations Research., 15 (2) -181-198.
Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Locker, Kitty O and Stephen Kyo Kaczmareck (2007). Business
Communication Building Critical Skills, Third Edition.
Boston, USA: McGraw-Hill.
Sriramesh, Krishnamurthy and Dejan Vercic (2003). The
Handbook of Global Public Relations: Theory, Research,
and Practice. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates.
-------------------------------------------- (2004). Public Relations
Practice and Research in Asia: A Conceptual Framework.
In Krishnamurthy Sriramesh’s Public Relations in Asia: An
Anthology. Singapore. Thomson.
Yudarwati, Gregoria Arum (2011).The Enactment of Corporate
Social Responsibility and Public Relations Practices:
Case Studies from the Indonesian Mining Industry.
https://www.google.co.id/search?tbm=bks&hl=en&q=Yud
arwati+public+relations+etd December11, 2015

697
WAWANCARA
Aji, Domy Alfianto, asisten Vice president Media Engagement
dan Activation Bank Permata, 6 Agustus 2015
Aminuddin, mantan Corporate Secretary dan Senior Vice
President Astra, 10 Agustus 2015
Dindin Mahfudz, mantan General Manager Humas Astra, 2014
Henry Wijayanto, Manajer Public Relations/Corporate
Communication PT XL Axiata, 21 Agustus 2015
Hartadi, Kristanto, Media Relations dari Corporate
Communication Division Total E& P Indonesie, 5 Agustus
2015
Hasan, Kamsul, Ketua Bidang Kompetensi dan mantan Ketua
PWI Jaya, 11 Nopember 2015.
Hidayat, Rahmat, direktur government relations PT Danone
Aqua, kuliah umum pada program Pascarasarjana Ilmu
Komunikasi Universitas Indonesia, 2014
Suwarjono, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia,
31 Juli 2015
Yuliandini, Tantri dan Moerdiyat, Budiman, Corporate
Communication Officers BP Indonesia, 7 Oktober 2015

698
FRAMING ANALYSIS OF VIVANEWS (VIVA.CO.ID) ON
PRESIDENT JOKOWIDODO’S STANCE IN FACING
CRIMINALIZATION OF KPK BY INDONESIAN POLICE

Yuri Alfrin Aladdin*

Preface
By the end of 100 days of his government tenure,
President Jokowi met a big challenge. A dispute between two law
enforcement institutions, namely Commision of Corruption
Eradication (KPK) and Indonesian Police (Polri) happened again
for the third time. The first and second time were happened in
Susilo Bambang Yudhoyono’s government.
Controversion began in January 9, 2015 when President
Joko Widodo (Jokowi) chosed Comisaris General Budi Gunawan
as candidate of Indonesian Police Chairman.
An Non-Governmental Organization (NGO) Indonesia
Corruption Watch (ICW) was a one side who reject the
appointing of Budi Gunawan. The organization said that Budi
Gunawan was suspected a “dirty man” as he has suspected
account in bank.
News portal Detiknews.com reported that the dispute
between KPK-Polri was emerged when accidently a high rank

699
police official Inspectour General Budi Waseso arrested KPK’s
commissioner Bambang Widjojanto on Friday (23/1/2015).

Pan and Kosicki Model Framing


In this research, researcher use framing model of
Zhongdang Pan and Kosicki. In this model framing there was
framing conception which was linked each other, namely
psychology and sosiology.
According to Pan and Kosicki, framing actually involved
both conceptions The relation between both conceptions will be
seen when the news was produced and constructed by the
journalist.

700
Picture of Model Framing Scheme Pan and Kosicki

Structure FRAMING Devices Observation Unit

Syntactic Headline, lead,


News Scheme information background,
How journalis source quotation,
compose the statement
story

Script

How journalist News Elements


tells the story 5W+1H
Thematic

How journalist
write the story
rhetoric Detail Coherence Paragraph, proposision,
Form of sentences sentences, relation
How journalists Pronouns between sentences
pressing the facts

Leksikon Graphic Words, idioms,


Metaphora pictures/photo/graphics

Object dan Subject of the Research


PT Visi Media Asia Tbk is an integrated media company
based on Indonesia and established since 2004. The media
company has delivered various of news through its various
media. The company , owned by tycoon Aburizal Bakrie has
operated TV station namely ANTV, TVOne, and Vivanews.com

701
(Viva.co.id) since 2008. As quoted from
http://www.vivagroup.co.id/about-us/corporate-overview/,
viva.co.id has high rating with 3,38 page view in 13 minutes’
duration per visit.

Commision of Coruption Eradication (KPK)


KPK was established based on Law No 30/2002. KPK got
mandate to eradicate corruption profesionnaly , intensively , and
continously. KPK is an independent state institution, which is free
from any intervention.
KPK’s website http://www.kpk.go.id/id/tentang-
kpk/sekilas-kpk, said that the institution was not formed in order
to take over other state institutions’ job in corruption eradication.
The law expalanation said that KPK act as a trigger mechanism
institution, namely to push or as stimulus for the other institution
to become more effective in corruption’s eradication.
Result of News and Feature’s Article
The framing analysis was conducted to the news and
feature in vivanews (viva.co.id) and metrotvnews.com related
with President Joko Widodo’s stance to KPK’s criminalization by
Indonesian Police in period of Januari-Februari 2015.
By the framing analysis model of Pan and Kosicki, the
research tried to examine how the news and feature were framed
by Vivanews (Viva.co.id) and Metrotvnews.com.

702
Analysis of Article 1
Tabel 3.1. Framing Analysis Pan dan Kosicki ; Article 1
Structure Observation Unit Observation Result
Syntactic Title Conflict of KPK-Polri,
Structures Jokowi:Don’t do
Criminalization
Lead President Joko Widodo
(Jokowi) reiterated his
statement related with
dispute between
Commision of Corruption
Eradication and
Indonesian Police at
State Palace, Sunday
(25/1). Jokowi admitted
he had got several
advices and facts related
with the polemic between
the two institutions.
Background The dispute between
Information KPK-Polri ended in
arresting KPK

703
Commisioner Bambang
Widjoyanto
Source Quotation - According to him,
although the advices
and facts were not too
many, however he
agreed the two
institution should keep
their dignity, including
the other institution
such as Attorney
General and Supreme
Court.
- “Therefore, don’t do
criminalization. Dont do
criminalization,” said
Jokowi.
Statement/Opinion There’s no journalist’s
opinion in the news
related with the Jokowi’s
statement.
Ending In the statement at State
Palace, Jokowi
accompanied with a

704
number of high rank of
goverment official, Polri
and KPK

Tabel 3.2. Analisis Framing Analysis Pan dan


Kosicki;Article 1
Structure Observation Observation Result
Unit
Structure of what President Joko Widodo
the script reiterated his statement
related with the dispute
between KPK-Polri
where State palace, Jakarta
when Sunday, Januari 25, 2015
who President Joko Widodo
Why Jokowi admitted got advices
and fact several times
related with the dispute
between KPK-Polri
How Although advices and facts
not yet in a big number,
however president agreed,
the two sides, KPK-Polri
should keep the dignity of the

705
law force institution,
including attorney general
office and supreme court.
“therefore, don’t do
criminalization,” said Jokowi.
Thematic Paragraph, The theme of the article is
Structure Proposition, President Jokowi’s respon i
sentence, the dispute between KPK-
relation Polri. There is a coherence of
between cause-consequence. It was
Sentence said in the first paragraph
that President Jokowi
reiterated his statement
rekated with the dispute
between KPK-Polri,
meanwhile in second
paragraph was said that the
statement expressed after
he got advices and facts
related the dispute
Rhetorical Word, idiom, - There’s a subtitle “Jokowi
Structure pictures, asked advices from a
graphic number of public figures
on the dispute between

706
KPK-Polri, pointed the
journalist pressing on
Jokowi’s stance which was
very be careful and slow to
the case.
- The sentence “ President
Joko Widodo reiterated
his statement ..” showed
that the President’s
previous statement related
with KPK-Polri tend to be
ignored by his men.
- Sentence “therefore, dont
do criminalization. Dont do
criminalization,” said
Jokowi ...implicitly that
Jokowi was forced to
reiterated twice the
statement “...Dont do
criminalization” , showing
that President was forced
to press the sentence in
order to be got attention by
his men.

707
- There was a President
Jokowi’s photo giving his
speech to the journalists
while a number of law
scholars stand behind
him. The picture showed
that Jokowi has asked
advices to the law experts
related with the dispute
between KPK-Polri. The
picture showed also that
he got support from law
expert.

Analysis :
1. Syntactic Structures :
The title made by the writer, could be intepreted to be two
things. Firstly, it want to show that President Jokowi did not
want any criminalization toward KPK through his statement
“Dont do criminalization.” The title was choosed by the writer
to show that Jokowi actually did not comfort by Polri’s act by
arresting Bambang Widjoyanto (BW).

708
The Polri’s act got criticized widely by public and Human
Right activists. It was for President to make the statement as
quoted in the title : “Don’t do criminalization”.
The news background related with the arresting of KPK
Commisioner Bambang Widjoyanto by police in early January
2015, so that the statement and stance of President Jokowi
was related directly to the arresting case.
The writer gave a closing in the news by saying that at
the press conference, President Jokowi was accompanied by
his high rank aides and some of KPK Commisioners, as well
as some high rank Polri’s officials.
2. Script Structure
Based on script structure, it was seen that the pressing
on “how” by showing howPresident Jokowi had to accept
several time advices and facts from his aides, as well as his
statement: “Don’t do Criminalization”.
3. Thematic Structure
The news article thematicly wanted to lead readers
opinion that President Jokowi had tried hard to show his
stance to avoid criminalization on KPK by Polri, although his
stance was a bit slowly and tend to be ignored by Polri.
4. Rhetoric Structure
Subtitle “Jokowi asked advices from a number of public
figures on dispute between KPK-Polri” showed that the writer’s

709
wanted to lead people opinion that Jokowi was a bit slow in
determine his stance on this case.

In the straight news article, readers were led their opinion


that President Jokowi was just only asked Polri to stop their
criminalization act toward KPK, not really to curse or give
sanction to the Polri’s high rank officials who had given
instruction to arrest Bambang Widjoyanto. The article showed
that although President Jokowi follow the public demand to ask
Polri to stop its action, but Jokowi did not make a firm action to
the Polri high rank officials.
The news tend to lead reader opinion that Jokowi has tried
to show his stance in order to avoid KPK criminalization by Polri,
although the decision was seen a bit slow and tend to be ignored
by Polri.
Article 2
Tabel 3.3 Framing Analysis of Pan and Kosicki
Structure Observation Observation Result
Unit
Syntactic Title Jokowi’s
Structure Commitment to
Eradicate Corruption
was Being
Questioned

710
Lead Coalition of Anti-
Corruption Civil
Society considered that
President Joko Widodo
(Jokowi) step to not
inaugurate
Com.Gen.Budi
Gunawan as Polri
Chairman was not to
stop criminalization act
to the Commision of
Corruption Eradication
(KPK).
Background There was a
Information demonstration held by
human right activists
and students from
various universities in
order to criticized 100
days of Jokowi’s
government which was
assumed fail in uphold
democratization,
reflected the

711
inconsistent of Jokowi
in facing the dispute
between Polri-KPK.
Sources “Up to now,
Quotation criminalization act to
KPK is still going on
continously and
systematicly,” said
Alghifari, one of mass
organization
representative in
Jakarta, Thursday ,
February 19, 2015.
Statement/Opini There’s is no writer
opinion coming into the
article.
Closing Coalition of Anti-
Corruption Civil
Society Alghifari asked
KPK to investigate
continously the
corruption case of
Com.Gen.Pol Budi
Gunawan.

712
Tabel 3.4. Framing Analysis of Pan and Kosicki, Article 2

Structure Observation Observation Result


Unit
Script What Coalition of Anti-
Structure Corruption Civil Society
considered that President
Joko Widodo (Jokowi)
step to not inaugurate
Com.Gen.Budi Gunawan
as Polri Chairman was
not to stop criminalization
act to the Commision of
Corruption Eradication
(KPK).
Where In Jakarta
When Thursday, February 19,
2015
Who Alghifari, activist of an
NGO Coalition of
AntiCorruption Civil
Society.
Analysis :

713
Why “Up to now,
criminalization act to KPK
is still going on
continously and
systematicly,” said
Alghifari
How One of criminalization
form, according to him,
could be seen that there
was summoned as a
suspect to a KPK’s
investigator, Novel
Baswedan. Apart from
that, there were more
than 21 KPK’s
investigators potencial
to be suspect in near
time.
Thematic Paragraph, The straight news article
Structure Proposition, themed about human
sentence, relation right activist’s
between consideration that
sentences Jokowi’s decision to
cancel Budi Gunawan’s

714
inaguration will not
impact to the KPK’s
criminalization.
Retoric Word, idioms, The subtitle : "Up to now,
Structure pictures, graphics criminalization act to KPK
is still going on
continously and
systematicly”, tend to
show that Jokowi’s
government failed to stop
criminalization to KPK.
1. Syntactic Structure
Title “Jokowi’s Commitment to Eradicate Corruption
was Being Questioned” showed that the writer tried to lead
readers to question Jokowi’s commitmen in corruption
eradication.
Lead “Coalition of Anti-Corruption Civil Society
considered that President Joko Widodo (Jokowi) step to not
inaugurate Com.Gen.Budi Gunawan as Polri Chairman was
not to stop criminalization act to the Commision of Corruption
Eradication (KPK)” showed that people dissapointed on
Jokowi and assumed that Jokowi was a bit slow to abort the
inaugurated Com.Gen Pol.Budi Gunawan as Indonesian
Police Chairman.

715
Background information about demostration held by
activist and students to criticized Jokowi showed that Jokowi
was failed to uphold democracy in Indonesia. There’s no writer
opinion came in the news.
2. Script Structure
The element “what” was too dominant in the news, reflected
in the first paragraph.
3. Thematic Structure
The straight news article the med human right activist
consideration that the President’s decision on
aborttheinaugurateofCom.gen.Pol.BudiGunawanas
Indonesian Police Chairman was not impact to the
criminalization of KPK.
4. Rhetoric Structure
Quotation box stated that: “Up to now, criminalization act
to KPK is still going on continously and systematicly”, showed
that the writer want to press the tendency that Jokowi’s
government failed to stop criminalization to KPK.

Conclusion Article 2 :
Readers’s opinion was led to conclusion that President
Jokowi was failed to uphold Democracy, reflected from
undecisive of Jokowi in facing the dispute case between KPK
and Polri. In addition, public opinion was also directed at the

716
conclusion that the President Jokowi failed to uphold democracy,
reflected indecision Jokowi face - KPK Police dispute case.
Jokowi considered not with quick asked the police to stop
the case As well as removing Officials Arrest Against Police Who
do KPK Commissioner Bambang Widjajanto. Jokowi also
considered to ignore the findings of the Commission on fat
account Komjen Pol Budi Gunawan, once considered ignoring
the aspirations of the people, because it still nominate former
aide to President Megawati as the sole candidate for police chief.

Conclusions
Based on the analysis of articles sampled for this study, I
could sum up my study, first, framing did by Vivanews
(Viva.co.id) in order to led readers opinion that President Jokowi
was just only asked Polri to stop its criminalization act to KPK,
not to curse or give sanction to the Polri’s high rank officials;
Second, Framing of Vivanews (Viva.co.id)’s news related with
Presiden Jokowi’s stance showed that the writer led readers
opinion that Jokowi’s government failed to uphold law
enforcement and people dissapointed with Jokowi’s
performance.

REFERENCES

717
Agus, Salim. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial Buku
Sumber untuk PenelitianKualitatif. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Asegaff, Djafar. 1991. Jurnalistik MasaKini. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Bungin, Burhan. 2006. SosiologiKomunikasi: Teori, Paradigma,
dan Diskursus TeknologiKomunikasi di Masyarakat.
Jakarta: Kencana Prenada Media.
Denzin, dkk.(2009), Handbook of Qualitative Research.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Eriyanto. 2002. Analisis Framing Konstruksi, Ideologi dan Politik
Media. Yogyakarta: LKiS.
Hamidi. 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi:
Pendekatan Praktis PenulisanProposal dan Laporan
Penelitian. Malang: UMM Press.
Ishadi SK. 2014. Media dan Kekuasaan Televisi di Hari-hari
Terakhir PresidenSoeharto. Jakarta: Kompas Media
Nusantara.
Khaeron, Herman. 2013. Etika Politik: Paradigma Politik Bersih,
Cerdas, Santun Berbasis Nilai Islami. Bandung: Nuansa
Cendekia.
Kriyantono, Rachmat. 2006, Teknik Praktis Komunikasi: Disertai
Contoh PraktisRiset

718
Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi,
Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Morissan, dkk. 2013. Teori Komunikasi Massa, Media, Budaya,
dan Masyarakat. Bogor: Ghalia Indonesia.
Sayuti, Solatun. 2014. Komunikasi Pemasaran Politik. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Sobur, Alex. (2006). Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk
Analisis Wacana, AnalisisSemiotik dan Analisis Framing.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Littlejohn, Stephen W., and Karen A Foss. (2009). Teori
Komunikasi ;Theories of HumanCommunication Edisi 9,
Jakarta : Salemba Humanika.
Internet :
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/581909-konflik-kpk-
polri--jokowi--jangan-ada-kriminalisasi
http://sorot.news.viva.co.id/news/read/583997-rapor-merah-
100-hari
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/592091-komitmen-
jokowi-memberantas-korupsi-dipertanyakan
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/581920-jokowi--kpk-
polri-tak-boleh-sok-di-atas-hukum
http://www.vivagroup.co.id/about-us/corporate-overview/

719
*) Yuri Alfrin Aladdin
Communication Science Magister Degree Program - Bunda
Mulia University’s Post Graduate Program
Jln. Lodan Raya No.2, Jakarta Utara 14430,yalfrin@gmail.com

720
INKLUSI DAN EKSKLUSI DALAM BERITA
PEMBATALAN CALON BUPATI DAN WAKIL BUPATI
MOJOKERTO TAHUN 2015
(Analisis Wacana Theo Van Leeuwen pada Harian Radar
Mojokerto Jawa Pos)

Paradisa Eva Dewanti*

Pendahuluan
Pemilihan Kepala Daerah merupakan suatu proses
perwujudan demokrasi di Indonesia yang dapat menentukan
bagaimana suara rakyat terdengar untuk berpartisipasi dalam
pembangunan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8
tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 1
Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota
menjadi Undang-Undang mengatur pemilihan umum kepala
daerah yang saat ini dilakukan secara serentak dari beberapa
kota kabupaten pada Desember 2015 ini. Demokrasi merupakan
perwujudan penyeruan suara rakyat atas aspirasi yang
dimilikinya, dan perwujudan tersebut dapat melalui berbagai alat
yang dalam hal ini pers dapat dikatakan merupakan alat yang
sangat tepat sebagai penyalur aspirasi masyarakat.

721
Suwardi (1993:70) menyatakan bahwa secara implisit
diketahui bahwa pers telah digunakan sebagai alat, tidak saja
dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial saja, akan tetapi
juga dalam kehidupan militer. Berkaitan dengan hal tersebut,
maka pemberitaan pers sangat menentukan bagaimana
perubahan cara pandang masyarakat terhadap suatu kasus
yang berasal dari isu, dalam hal ini yakni terutama pada kasus
konflik antar kandidat calon bupati dan calon wakil bupati
kabupaten Mojokerto pada pemilihan umum kepala daerah
Kabupaten Mojokerto tahun 2015. Dalam Pemberitaan suatu
pencitraan kandidat yang berkonflik, setiap media melakukan
pengemasan image dengan cara yang berbeda-beda, seperti
yang disebutkan Baudrillard dalam bukunya Simulations
(1983:6) berpendapat:

“Such would be the successive phases of the image: it is


the reflection of the profound reality; it masks and
denatures a profound reality; it masks the absence of a
profound reality; it has no relation to any reality
whatsoever; it is its own pure simulacrum”.

Studi ini bermaksud mengkaji tentang pemberitaan yang


dilakukan oleh media-media lokal calon bupati dan wakil bupati
Mojokerto tahun 2015, terutama pemberitaan terhadap sosok
Choirun Nisa dan wakilnya yang controversial. Metode yang
digunakan adalah analisis wacana Theo Van Leeuwen dengan
722
unit analisis teks berita pada kasus pembatalan calon bupati
Mojokerto tahun 2015 pada harian radar mojokerto jawa pos
edisi 15 November 2015 dan 16 November 2015, teknik
pengumpulan data dengan sumber primer: kliping dan studi
pustaka.

Citra Politik
Ada empat bentuk citra dalam teks yaitu citra yang memiliki
referensi di luar teks, citra yang membelokkan realitas di luar
teks, citra yang menutupi realitas dan citra yang tidak memiliki
hubungan apapun dengan realitas di luar teks. Berkaitan dengan
hal tersebut, studi pemberitaan konflik antar kandidat calon
bupati dan wakil bupati yang dihadirkan di dalam teks media,
menjadi studi yang layak dibahas dalam penelitian. Karena
pembahasan dalam teks yang menampilkan konflik antar
kandidat Bupati Mojokerto dapat menimbulkan persepsi
masyarakat terhadap suatu citra/image seseorang yang nanti
dipilihnya sebagai bupati dan wakil bupati yang akan memimpin
daerah. Studi ini secara lebih lanjut ingin membongkar wacana
konflik politik antar kandidat Bupati dan Wakil Bupati Mojokerto
tahun 2015 yang berujung pada pembatalan pasangan salah
satu calon yang bernama Hj.Choirun Nisa-Arifudinsyah yang
hadir ataupun tidak dihadirkan dalam teks. Secara lebih spesifik
untuk melihat bagaimana suatu kelompok atau seseorang

723
dimarginalkan posisinya dalam suatu wacana. Bagaimana suatu
kelompok dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan
suatu peristiwa dan pemaknaannya, sementara kelompok lain
yang posisinya lebih rendah cenderung untuk terus menerus
sebagai obyek pemaknaan, dan digambarkan secara tidak
benar. Fairclough dan Wodak dalam Badhara (2013:38), “Van
Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana untuk
mendeteksi dan meneliti proses pemarginalan seseorang atau
kelompok dalam suatu wacana”. McQuail dalam Subiakto,
(2014:131) menyatakan bahwa media sering dianggap sebagai
a mirror of events in society and the world, implying a faithful
reflection. Yaitu cermin berbagai peristiwa yang ada di
masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya.
Karenanya para pengelola media menampilkan berita sering
merasa “tidak bersalah” jika isi media penuh dengan kekerasan,
konflik, dan berbagai keburukan lain, karena memang menurut
mereka faktanya demikian, media hanya sebagai refleksi fakta,
terlepas dari suka atau tidak suka. Padahal, sesungguhnya
angle, arah, dan framing dari isi yang dianggap sebagai cermin
realitas ini diputuskan oleh para professional media, dan
khalayak tidak sepenuhnya bebas untuk mengetahui sesuatu
yang mereka inginkan.
Dalam eksistensi media, media massa modern merupakan
hasil persilangan dari kehendak pasar, produk dan teknologi

724
pada Subiakto dan Ida (2014:132). Sehingga institusi media tak
bisa terlepas dari ideologi dan fungsi ekonomi sebuah
pemberitaan serta, isi media tak lain merupakan fungsi yang
memenuhi selera khalayak yang beragam. Sedangkan McQuail
(1989:3) mengatakan “Media massa merupakan sumber
kekuatan, alat control, manajemen, dan inovasi dalam
masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti
kekuatan atau sumber daya lainnya”. Berkaitan dengan hal
tersebut, media memberikan pesan yang dianggap penting bagi
masyarakat, sehingga dapat mempengaruhi pola pikir
masyarakat dan menginterpretasikan suatu permasalahan
sesuai apa yang dilihatnya. Makna yang tertampilkan dari
sebuah pemberitaan bisa menghasilkan makna yang berbeda-
beda sesuai cara pandang masyarakat luas.
Seperti pada Moerdijati (2012:98) “Pesan yang dipersepsi
ditafsirkan oleh penerima dan menghasilkan makna, makna
pesan bisa berbeda-beda antara satu orang dengan orang
lainnya, karena beberapa faktor misalnya perbedaan budaya
dan tingkat pengenalan pada pesan tersebut”. Dalam hal ini
media massa menyalurkan pesan dalam komunikasi massa
kepada khalayak, ciri utama komunikasi massa dalam McQuail
(1989:33) “Sumber komunikasi massa bukanlah satu orang
melainkan suatu organisasi formal, dan ‘sang pengirim’
seringkali merupakan komunikator profesional, pesan tersebut

725
seringkali diproses, distandarisasi, dan selalu diperbanyak.
Pesan itu juga merupakan suatu produk dan komoditi yang
mempunyai nilai tukar”. Moerdijati (2012:177) juga mengatakan
bahwa efek komunikasi massa bisa dipahami dari pesannya
maupun kehadiran media tersebut sendiri.
Steven M.Chaffe dalam Moerdijati (2012:178) mengatakan
“Pendekatan pertama dalam melihat efek komunikasi massa
adalah medianya, sedangkan pendekatan kedua melihat jenis
perubahan yang terjadi pada diri khalayaknya”. Dari hal tersebut,
peneliti melihat suatu media sangat berperan penting untuk
merubah persepsi masyarakat terhadap suatu isu, terutama
dalam hal ini isu politik. Hal ini juga dapat dilihat dari pernyataan
McQuail (1989:32) “Publik cenderung terbentuk oleh karena
adanya suatu masalah atau sasaran tertentu dalam kehidupan
publik. Tujuannya ialah untuk memenangkan suatu kepentingan
atau pandangan dan untuk mengadakan suatu perubahan
politik”.

Pemberitaan CaBup dan CaWabup Mojokerto


Pemberitaan Pembatalan Choirun Nisa sebagai calon
Bupati dan Wakil Bupati pada Pemilihan Umum Kepala daerah
Kabupaten Mojokerto tahun 2015. Pemilukada Kabupaten
Mojokerto Tahun 2015 diikuti oleh 3 (tiga) pasangan yaitu :
Choirunnisa_arifudinsyah dengan partai pengusung PKB, PPP,
726
HANURA, PBB; Mustofa-Pungkasiadi dengan partai pengusung
PDIP, Demokrat, PAN, GOLKAR, GERINDRA, NASDEM, PKS
dan Misnan-Rahma yang merupakan calon independen.
Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Mojokerto
tertera dalam Surat Pengumuman Nomor:179/KPU-Kab-
014.329790/VII/2015.
Adapun Hasil Penetapan Pasangan Calon Bupati dan
Wakil Bupati Mojokerto Dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati
Mojokerto Tahun 2015 berjumlah 3 (tiga) pasangan sebagai
berikut
A. Nama Calon Bupati: H. MUSTOFA KAMAL PASA, SE
Nama Calon Wakil Bupati : H. PUNGKASIADI SH.
B. Nama Calon Bupati: MISNAN
Nama Calon Wakil Bupati: RAHMA SHOFIANA W.A
C. Nama Calon Bupati: DRA. HJ. CHOIRUN NISA, M.PD
Nama Calon Wakil Bupati: H. ARIFUDINSJAH, SH

Kubu kandidat calon Bupati Mojokerto yang bernama Musthofa


Kamal Pasha mengklaim bahwa Rekomendasi dari partai PPP
turun padanya. Tetapi Kubu choirunnisa juga mengklaim bahwa
rekomendasi yang turun juga kepada beliau. Menimbulkan
konflik yang ramai di Media, yang kemudian pembuktian
dilakukan melalui berbagai proses dengan melalui gugatan ke
Mahkamah Agung oleh kubu Mustofa Kamal Pasha.

727
Kemudian pembuktian tersebut rekom PPP memang
berada pada kubu Nisa, sehingga timbul ketidakpuasan kubu
musthofa dengan mengajukan tuntutannya ke Mahkamah Agung
terkait rekomendasi PPP tersebut.(sumber: Harian Jawa pos
tanggal 22 Agustus 2015) yang kemudian pada akhirnya
pasangan Nisa-Syah telah resmi digugurkan sebagai pasangan
calon Bupati dan Wakil Bupati Mojokerto. Pembatalan Pasangan
Calon Bupati Nisa-Syah tersebut di dilegalisasi dengan bukti
Fatwa MA atas Petikan Amar Putusan Perkara Nomor 539
K/TUN/PILKADA/2015 yang masih dianggap multi tafsir. Pada
kasus pembatalan Pasangan Calon ini, telah terjadi amuk massa
yang terjadi pada tanggal 5 November 2015, yang diperlihatkan
pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Amuk Masa Pasca Pencoretan Paslon Nisa-Syah

Sumber: www.Tempo.co.id
Kasus yang marak di isukan juga bahwa kubu Nisa mengklaim
memiliki suara 70% masyarakat (sumber: Pernyataan dari tim
sukses kubu Nisa), sehingga dalam hal ini, terjadi suatu
728
pandangan strategi politik dari setiap kubu kandidat calon bupati
dan wakil bupati, Melihat beberapa kasus tersebut maka peran
pers sebagai penyalur wacana atau berita Isu politik dalam
pemberitaan di media massa sangatlah berpengaruh dalam
pengkonstruksian pola pikir dari masyarakat pemilih. Hal
tersebut terlihat dalam kasus yang terjadi pada pemilihan bupati
pada periode sebelumnya yakni tahun 2009, terjadinya konflik
amuk massa dengan membakar kantor DPRD Kabupaten
Mojokerto. Yang terdapat dalam Asia Report (2010:12) yang
berbunyi “Pada tanggal 21 Mei 2010, pendukung bakal calon
bupati Mojokerto Dimyati Rosid yang juga seorang kyai terkenal,
marah atas tidak diloloskannya sang kandidat dan melempar
bom molotov serta membakar mobil di kantor DPRD Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur”, yang dapat diperlihatkan pada gambar
1.2.

729
Gambar 1.2 Kerusuhan Pilkada Kabupaten Mojokerto 2010

Sumber: http://nasional.news.viva.co.id
Hal tersebut dapat dikatakan bahwa terjadinya proses
perubahan pola pikir masyarakat dari penyampaian pesan
pemilik informasi, dan pers salah satunya juga merupakan
sumber informasi dari pemberitaan politik, seperti dalam Henry
Subiakto dan Rachmah Ida (2014:197) menyatakan “Dalam
pelaksanaan Pilkada beberapa tahun terkahir ini, media massa
di Indonesia juga diharapkan memiliki peran cukup besar
terhadap Political Empowerment terhadap warga Negara di
berbagai daerah”. Hal tersebut artinya dengan adanya
pengenalan politik pada elemen masyarakat melalui media
massa diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat
untuk meredam amuk massa dan sikap-sikap negatif yang
ditimbulkan dari interpretasi yang berbeda dalam menafsirkan
konflik politik yang hadir.

730
Berkaitan dengan hal tersebut, pemberitaan pembatalan
Kandidat Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Mojokerto
Choirun Nisa yang terrepresentasi dalam surat kabar bergantung
pada bagaimana pengemasan berita yang menimbulkan wacana
yang berada di dalam media lokal tersebut. Wacana menurut
Focault dalam Aris Badara( 2013:11),“Wacana: kadang kala
sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala
sebagai sebuah individualisasi kelompok penyataan, dan
kadang sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah
pernyataan”. Pemberitaan di surat kabar atau Media Massa
membentuk keberpihakan pembaca dalam menganalisis suatu
permasalahan. Hal ini dapat dikaitkan dengan pendapat Aris
Badara (2013:5) :
“Surat Kabar sebagai representasi simbolis
dan nilai masyarakat telah membentuk
stereotip yang sering merugikan pihak
tertentu. Mereka cenderung ditampilkan di
dalam teks sebagai pihak yang bersalah,
Marginal dibandingkan dengan pihak lain.
Surat Kabar sering pula menjadi sarana salah
satu kelompok mengukuhkan posisinya dan
merendahkan kelompok lain. Surat Kabar,
melalui wacana beritanya dapat menentukan
sesuatu apakah ia buruk ataukah baik
dimasyarakat. Proses pemarginalan melalui
wacana berlangsung secara wajar, apa
adanya, dan dihayati bersama. Khalayak
dalam hal ini pembaca, tidak merasa dibodohi
atau dimanipulasi oleh adanya wacana berita
surat kabar yang memarginalkan pihak
731
tertentu. Bentuk pemarginalan pihak tertentu
yang dapat dilakukan surat kabar antara lain
melalui penekanan bagaimana aktor tertentu
diposisikan dalam teks”

Pilihan media yang menitikberatkan pada media cetak


khususnya harian Radar Mojokerto yang dibawahi Harian Jawa
Pos dikarenakan surat kabar ini dirasa paling kuat dalam menuju
khalayak pemilih. Koran ini adalah market Leader di Jawa Timur
dengan oplah sekitar 400.000 eksemplar per hari. Dengan
jumlah yang sedemikian besar tersebut, maka peran Harian
Radar Mojokerto yang dibawahi Jawa Pos tentu tidak kecil dalam
mewacanakan apapun kepada khalayak pembaca di Kabupaten
Mojokerto Jawa Timur.

Framing Koran Lokal Mojoerto


Berpijak dari permasalahan di atas, Radar Mojokerto
melakukan framing pemberitaan seputar pembatalan Calon
Bupati dan Wakil Bupati yang terjadi, yang diduga redaksi
melakukan pengkonstruksian realitas yang dikaitkan ideologi
yang dimiliki oleh media. Inklusi dan eksklusi sering dilakukan
media dalam menampilkan berita konflik politik yang terjadi.
Sehingga wacana berita pembatalan calon Bupati dan wakil
Bupati Mojokerto dirasa penulis dapat di analisis dengan analisis
wacana Theo Van Leeuwen yakni dengan meneliti proses

732
pemarginalan seseorang atau kelompok dalam suatu wacana
yang dikemukakan Fairlough dan Wodak dalam Badara aris
(2013:38). Dan pendefinisian posisi suatu kelompok bergantung
bagaimana media menampilkan atau tidak menampilkan peran
kelompok tersebut dalam suatu teks berita, seperti yang
dijelaskan oleh Eriyanto (2012:172) “Salah satu agen terpenting
dalam mendefinisikan suatu kelompok adalah media. Lewat
pemberitaan yang terus-menerus disebarkan, media secara
tidak langsung membentuk pemahaman dan kesadaran di
kepala khalayak mengenai sesuatu, wacana yang dibuat media
bisa jadi mendelegitimasi suatu hal atau kelompok dan
melegitimasi dan memarjinalkan kelompok lain”. Berpijak dari
permasalahan di atas penulis ingin dapat melihat Bagaimana
Media Radar Mojokerto menghadirkan (inklusi) atau tidak
menghadirkan (eksklusi) tokoh dalam pemberitaan pembatalan
calon Bupati Mojokerto pada pemilihan umum kepala daerah
2015?

733
734
Tabel 1
Analisis Teks 1

Judul Nisa Dicoret, Jalan MKP Mulus


Narasumber Ketua KPU Kabupaten Mojokerto dan
hasil reportase wartawan Harian Radar
Mojokerto Sendiri
Frame/poko “Pencoretan Pasangan Calon Nisa-Syah
berita masih dianggap multitafsir, tercoretnya
Nisa membuat jalan MKP (Mustofa Kamal
Pasa) menduduki kursi Mojokerto 1
diprediksi kembali mulus.” Harian Radar
Mojokerto merepresentasikan hasil
putusan dari MA masih Multi tafsir.

735
Representasi Harian Radar Mojokerto tidak memberikan
tempat yang seimbang bagi
kelompok/individu yang ditampilkan,
terjadi proses marjinalisasi dari pihak yang
menjadi obyek pemberitaan. Mustofa
Kamal Pasa yang termasuk pada subyek
pembicaraan justru tidak diperlihatkan,
bahkan dihilangkan oleh media dalam
pemberitaan
Eksklusi dan -Harian Radar Mojokerto mengeluarkan
inklusi pihak yang menjadi subyek yang
dianggap melegitimasi.
- Harian Radar Mojokerto
mendeskripsikan kegiatan yang akan
dilakukan oleh pihak yang menjadi objek
pemberitaan, dan meruntutkan secara riil
tanpa melihat kekuasaan yang dilakukan
oleh pihak yang menjadi Subjek
pemberitaan.

736
737
Tabel 2
Analisis Teks 2

Judul Merasa Dizalimi, minta doa


Nisa memilih melawan
dengngan menggugat KPU
Narasumber Choirun Nisa (calon bupati
Mojokerto yang dibatalkan
pencalonannya), dan Kapolres
AKBP Budhi Herdhi Susianto
Frame/poko berita “Harian Radar Mojokerto”
merepresentasikan
738
kekecewaan dari Choirun Nisa
sebagai calon Bupati yang gagal
mengikuti pemilihan umum
kepala daerah kabupaten
Mojokerto tahun 2015 dan
merasa sedang didzalimi
(disudutkan).
Representasi Harian Radar Mojokerto
menonjolkan kekecewaan yang
mendalam yang dialami oleh
Choirun Nisa dengan bahasa
yang halus dan persuasif.
Kelompok yang termarjinal
dalam berita tidak ditonjolkan /
tidak dimunculkan dengan
makna yang positif.
Eksklusi dan inklusi Harian Radar Mojokerto tidak
menampilkan pihak yang
membuat kekecewaan dari
Choirun Nisa jadi yang eksklusi
tersebut adalah pihak yang
menyudutkannya, di dalam
berita, inklusi secara runtut
memiliki unsur persuasif secara

739
jujur apa yang dirasakan oleh
pihak yang tersudutkan tanpa
merubah dan menutup-nutupi.

Kesimpulan
Hasil analisis dalam melakukan eksklusi dan inklusi pihak
yang terepresentasi dalam berita, Radar Mojokerto lebih berani
memihak pada kelompok yang termarjinal (Choirun Nisa), dan
melakukan eksklusi pada pihak yang menjadi Subjek Berita
yakni pihak Mustofa Kamal Pasa. Hal tersebut artinya Harian
Radar Mojokerto berani memihak seperti yang masyarakat
inginkan. Media ini lebih mengutamakan kejujuran dan lebih
menonjolkan pihak yang termarjinal secara inklusi. Hal tersebut
dapat dilihat melalui upaya media ini dalam menyeimbangkan
informasi dengan melakukan wawancara yang seimbang.

DAFTAR PUSTAKA
Badhara,Aris. 2013.Analisis Wacana Teori, Metode, dan
Penerapannya pada Wacana Media. Jakarta:Kencana
Baudrillard, Jean.1983.Simulacra and Simulation.Michigan
Eriyanto, 2011.Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks
Media.LKIS Group:Yogyakarta
McQuail, Denis.1987. Teori Komunikasi Masa Suatu Pengantar.
Jakarta:Erlangga

740
Moerdijati, Sri.2012.Buku Ajar Pengantar Ilmu
Komunikasi.Revka Petra Media:Surabaya
Subiakto, Henry dan Ida, Rachmah. 2014. Komunikasi Politik,
Media, dan Demokrasi.Kencana:Surabaya
Suwardi, Harsono.1993.Peranan Pers dalam Politik di
Indonesia.Pustaka Sinar Harapan: Jakarta
Surat Pengumuman Nomor:179/KPU-Kab-014.329790/VII/2015
Tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati Dan Wakil
Bupati Mojokerto Dalam Pemilihan Bupati dan Wakil
Bupati Mojokerto
Petikan Amar Putusan Perkara Nomor 539
K/TUN/PILKADA/2015
Harian Jawa pos tanggal 22 Agustus 2015
Harian Jawa pos tanggal 15 November 2015
Harian Jawa pos tanggal 16 November 2015
Asia Report No.197-8 Desember 2010. Indonesia:Mencegah
Kekerasan Dalam Pemili Kepala Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2015
tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 1 Tahun
2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/152816-
8_bom_molotov_bakar_12_mobil
http://pilkada.tempo.co/read/news/2015/11/23/304721433/mass
a-nisa-syah-protes-ketua-kpu-mojokerto-dihujani-sandal

741
*) Paradisa Eva Dewanti, PNS Pemkab Mojokerto. Yang
bersangkutan adalah mahasiswa S2 Media dan
Komunikasi Universitas Airlangga penerima beasiswa
KemKominfo 2014

742
ACARA WEDHANG COR DI JTV JEMBER DALAM
PERSPEKTIF HABERMAS
(Studi Eksploratif Tentang Acara Wedhang Cor di JTV
Jember dalam Konsep Ruang Publik Habermas)

Finish Rimbi Kawindra*

Pendahuluan
Munculnya televisi lokal merupakan pilihan baru bagi
masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang hiburan,
pendidikan, dan sebagainya. Televisi lokal ini pun secara tidak
langsung mampu menjadi tempat masyarakat untuk forum debat
mengenai isu – isu yang muncul secara lokal di daerah tersebut.
Televisi lokal juga mampu memberikan angin segar bagi
penonton yang telah terpapar tayangan bersifat ‘jakarta minded
information’ (sudibyo, 2004:101). Sehingga penonton televisi
lokal tersebut mampu menikmati tayangan yang bersifat lokalitas
dan mengikuti perkembangan serta dinamika politik, sosial dan
ekonomi yang ada di daerahnya. Media massa yang merupakan
representasi dari ruang publik memang tidak akan pernah
terlepas dari intervensi, khususnya ekonomi. Namun, media
massa juga tidak serta merta meraup keuntungaan dalam hal
ekonomis saja, melainkan mampu menjadi medium dalam ruang

743
publik bagi masyarakat. Hal ini disebabkan karena pers mampu
berperan dalam memperjuangkan sebuah ruang kebebasan
untuk menampung suatu opini publik atau dalam bentuk wacana
publik. Sehingga dapat dilihat nantinya bagaimana dan seperti
apa ruang publik yang mampu terbangun pada tayangan yang
ada dalam televisi tersebut pada masyarakat. Seperti halnya
televisi lokal yang telah berkembang di daerah – daerah, Jember
merupakan salah satu daerah yang juga memilikinya. Dikutip
dari website yang di milikinya, JTV Jember mulai beroperasi
pada tanggal 9 Desember 2007 dan merupakan televisi pertama
yang mengudara di Jember. JTV Jember ini juga berafiliasi
dengan JTV (Jawa Pos Televisi) yang juga telah melahirkan
beberapa televisi lokal selain Jember. JTV Jember ini mampu
memantapkan diri selama kurang lebih 8 tahun untuk
berkonstrasi mengusung konten lokal kabupaten Jember.
Seperti tagline nya yang berbunyi “TV-ne Wong Jember”48
diharapkan mampu menjadi referensi bagi masyarakat Jember
untuk mendapatkan informasi terkini dengan lokalitas yang
terkandung di dalamnya. JTV Jember juga memiliki beberapa
acara atau program yakni Wedang Cor, Suwar – suwir News ,
acara musik dangdut dan lain sebagainya
(www.jtvjember.com).Acara atau tayangan dapat dijadikan

48 Dikutip dari www.jtvjember.com (diakses tanggal 28 Oktober 2015)

744
contoh bagi masyarakat lokal di Jember adalah acara Wedhang
Cor. Acara Wedhang Cor ini merupakan tayangan yang
menampilkan sebuah obrolan atau cangkru’an santai dengan
membahas isu –isu yang s edang berkembang di Jember.
Menurut Faisal, salah satu penyelenggara acara Wedhang Cor
menyatakan bahwa acara yang tayang setiap hari senin hingga
kamis pukul 15.00 lebih banyak diisi oleh perbincangan dengan
berbagai narasumber. Acara Wedhang Cor ini juga menurut
faisal, salah satu penyelenggara acara wedhang Cor sarat akan
kelokalan budaya yang dimiliki Jember. Selain itu pula
masyarakat pun dipersilahkan untuk datang sebagai penonton
dan penanya saat adanya sesi tanya jawab. Sehingga interaksi
yang terjadi tidak hanya dari narasumber dan pembawa acara
saja, namun juga penonton juga dapat ikut berpartisipasi dalam
acara tersebut.49 Dari pemaparan tersebut, maka acara
Wedhang Cor dipilih oleh peneliti untuk dilihat bagaimana
sebuah ruang publik terbentuk dan terkonsep di dalamnya
sebagai tempat aspirasi dari masyarakat Jember. Hal tersebut
juga akan melihat isu – isu yang berkembang mampu
disuguhkan pada acara tersebut. Rumusan masalah Bagaimana
Wedhang Cor di JTV Jember dilihat melalui konsep Habermas?

49 Data pra penelitian dengan melakukan wawancara singkat.

745
Konsep Habermas ini membahas tentang ruang publik
yang mendeskripsikan sebuah ruang institusi dan praktek di
antara perhatian privat kehidupan sehari – hari dalam
masyarakat sipil dan negara. Pada konsep ini pula disebutkan
adanya ‘ruang publik borjuis’ yang terdiri dari ruang sosial di
mana sekelompok individu mendiskusikan masalah publik umum
mereka dan untuk mengatur dalam rangka melawan kebijakan
yang tidak sesuai atau penindasan kekuasaan sosial dan publik.
Ruang publik ini berawal dengan ketertarikan masyarakat
aristokratik yang menginginkan melepaskan diri dari istana.
Intensitas publik dengan jumlah besar terbentuk di teater – teater
, museum – museum dan konser ala masyarakat borjuis.
Kemudian ruang publik tersebut berkembang pada salon dan
kedai kopi ( di Inggris, Perancis, dan Jerman) yang memiliki
kriteria institusional. Pertama, mereka mengesampingkan
masalah kesetaraan status. Persamaan yang terjadi dianggap
sebagai satu – satunya landasan bagi pengukuhan argumen
lebih baik dalam memenangkan perlawanan terhadapa hirarki
sosial. Kedua, diskusi di dalam publik secamam itu
mengandaikan adanya problematisasi wilayah – wilayah yang
sampai saat itu masih belum dipersoalkan, dimana gereja
memiliki otorisasi dari gereja memonopoli interpretasi dalam
ranah filsafat, sastra dan seni sehingga ruang publik turut
memunculkan kepedulian umum. Ketiga, proses yang

746
mengubah kebudayaan menjadi komoditas (sehingga
membuatnya menjadi objek diskusi) mampu menciptakan
sebuah publik yang inklusif.50 Dalam perspektif Habermas, ruang
publik didefinisikan sebagai ruang di mana setiap individu dapat
masuk dan turut serta dalam percakapan tanpa tekanan dari
pihak lain. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan tipe eksploratif. Tipe ini dipilih karena untuk
mengeksplorasi temuan – temuan atas fenomena sosial yang
terjadi pada program Wedhang Cor agar menjadi sebuah ruang
publik. Untuk menganalisis penelitian ini, akan dipakai analisis
wacana kritis dari Norman Fairclough.

WEDHANG COR SEBAGAI PROGRAM ACARA


Nama yang unik dimunculkan untuk acara televisi yakni
‘Wedhang Cor’ ini bukan tidak memiliki arti atau makna.
Wedhang sendiri memiliki arti sebagai minuman yang
bermanfaat untuk menghangatkan tubuh pada saat udara dingin
dan berupa air panas, kopi, teh, jahe dan lain sebagainya (KBBI).
Wedhang banyak kita jumpai dan sudah menjadi khas di setiap
daerah di Indonesia. Sebelum adanya Wedhang Cor yang
merupakan minuman hangat khas Jember, didahului dengan
beberapa minuman hangat yang sudah terkenal sebelumnya.

50Jurgen Habermas.2010.Ruang Publik : Sebuah Kajian tentang Kategori Masyarakat Borjuis.


Bantul:Kreasi Wacana, hlm.54

747
Diantaranya Bajigur, Bandrek, Ronde, Sekoteng, Sarabba, Bir
Pletok, Wedhang Uwuh, Teh Talua, Kembang Tahu, Wedhang
Secang dan lain sebagainya. Wedhang Cor ini merupakan
minuman hangat yang terdiri dari susu, ketan hitam/tape ketan
dan jahe. Kata ‘Cor’ sendiri dipakai dengan menggunakan istilah
pada pembuatan cor-coran pada bangunan. Pada saat
melakukan pembuatan wedang ini, penjual nya sangat cepat dan
cekatan dalam meracik seperti orang pembuat cor – coran
bangunan. Acara cangkruk’an ini diberi nama ‘Wedhang Cor’
karena ingin memberikan label sesuatu yang merupakan khas
Jember. Selain itu pula Wedhang Cor ini dinikmati di pinggir jalan
dan tempat para pemuda serta masyarakat bertukar pikiran,
berkumpul atau cangkruk’an. Sehingga sangat tepat apabila
acara ini mengadopsi nama dari ‘Wedang Cor’. Acara ini dipandu
oleh dua pembawa acara yakni Cak Bei dan Londo. Acara ini
ditayangkan secara langsung di JTV Jember dan selalu
mengundang beragam bintang tamu dari semua kalangan.
Acara ini menarik karena tidak terlihat kaku dan mampu
berinteraksi dengan penonton yang ada. Bahasa yang
digunakan juga tidak selalu berbahasa Indonesia yang baik,
namun juga menyelipkan bahasa khas dari Jember yang ada.
Acara ini menyuguhkan obrolan dengan narasumber terkait isu
– isu yang sedang berkembang saat itu. Selain itu pula,
Wedhang Cor ini juga mengemas interaksi anatara pembawa

748
acara dan penonton juga . Dalam acara ini berbagai kasus yang
sedang hangat dibahas dengan harapan adanya keikutsertaan
masyarakat yang ada di dalam ataupun di luar studio.

WEDHANG COR DAN RUANG PUBLIK


Menurut hal yang dikemukakan oleh Laswell (1948) fungsi
dari komunikasi di masyarakat merupakan pengawasan
terhadap lingkungan, hubungan setiap bagian di masyarakat
dalam merespon lingkungan mereka dan transmisi dari warisan
kebudayaan.51 Hal ini mampu berurutan melalui proses
pemberian informasi, pemberian komentar atau pendapat yang
membantu dalam memahami penggalan informasi, serta juga
pembentukan kesepakatan atau konsensus yang ada pada
media massa. Selain itu pula, media massa juga mengambil
peran yang tak kalah penting yakni mampu untuk
menyosialisasikan nilai dalam masyarakat. hal ini seiring dengan
fungsi media massa yakni sebagai alat untuk mengawasi
lingkungan, menghubungkan bagian – bagian dalam
masyarakat, mengirimkan warisan sosial, dan memberikan
hiburan (Sunarto, 2000:2). Sehingga dengan fungsi – fungsi
tersebut, media massa mampu untuk berperan ideologis guna
menampilkan nilai – nilai yang menjadi dominan dan menjadi

51 Deddy Mulyana.2007. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

749
tuntunan di masyarakat.Melihat betapa pentingnya media massa
mampu menjadi media untuk membawa dan mempekenalkan
fenomena, maka tak khayal jika masyarakat mampu mengakses
begitu cepatnya informasi atau isu tersebut melalui media.
Seperti yang diungkapkan oleh Habermas bahwa dirinya
menyoroti kemampuan pers atau media massa untuk menjadi
sebuah ruang publik. Selanjutnya media massa media massa
dengan kandungan informatifnya mampu bersentuhan langsung
dengan wilayah publik (Eriyanto, 2001:85). Media massa yang
ada di tengah masyarakat, dalam hal ini televisi haruslah mampu
untuk menjadi sebuah ruang publik bagi masyarakat. Hal ini
karena bagi masyarakat ruang publik sangat dibutuhkan untuk
dapat membantu mereka menyuarakan pendapat atau kritikan
terhadap suatu isu yang mampu mempengaruhi kebijakan
kekuasaan nantinya. Opini publik ini dapat dikatakan merupakan
hasil akhir dari terbentuknya ruang publik di masyarakat.

Ruang publik memang tak pernah bisa lepas dari sebuah


demokrasi. Dijelaskan bahwa demokrasi yang berkembang saat
ini merupakan hasil dari sebuah kesepatakan bersama. Dalam
kesepakatan tersebut, kehadiran fisik partisipan haruslah
dilampaui, yakni warga negara, yang tidak dapat menghadirinya
dapat menyumbangkan pendapatnya secara virtual untuk
sebuah kesepakatan bersama tersebut (Santoso,2007:23). Dari
itulah media massa termasuk televisi mampu berperan dalam
750
membantu masyarakat untuk menyampaikan pendapat mereka
lewat pendapat tanpa adanya kehadiran fisik.Pada acara
Wedhang Cor ini, interaksi yang ada dan terjadi pada saat acara
berlangsung mampu menunjukkan adanya ruang publik yang
terbentuk. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh penonton yang
berada di studio saja (dengan kehadiran fisik) tapi juga penonton
yang berada di luar mampu berpendapat sesuai dengan
keinginannya pada bahasan yang sedang dikaji dalam acara
tersebut (tanpa kehadiran fisik). Dalam pelaksanaannya, media
massa seperti televisi, surat kabar dan radio harus dapat menjadi
tempat bagi sikap kritis publik atau pun debat rasional tentang
isu – isu dan problematika yang ada di kehidupan masyarakat
(Blumber dan Gurevith).52 Sehingga sebagai media ruang publik,
televisi juga harus mampu menjembatan opini kritis yang muncul
dari masyarakat. Dengan adanya acara Wedhang Cor ini,
mampu untuk menjadi wadah untuk membahas isu atau kabar
hangat yang sedang terjadi di wilayah lokal khususnya
Kabupaten Jember. Sehingga dengan adanya media yang
menjembatani ini, masyarakat dapat langsung mengutarakan
pendapat mereka yang sulit diutarakan dalam kesehariannya
tentang isu dan problematika yang sedang dibahas tersebut.
Namun, Berdasarkan definisi Habermas tersebut, dalam ruang

52 Dikutip pada , pada www.duniaesai.com (diakses tanggal 3 November 2015)

751
publik setiap orang bebas masuk dan turut berbicara tanpa ada
tekanan koersif yang mengarah pada kesepakatan pragmatis.
Namun pendapat Habermas tersebut dikritik oleh para post-
strukturalis seperti Lyotard (trans. Massumi, 1984) yang
menganggap bahwa ruang publik habermasian tersebut adalah
sebuah utopia.53 Ia mempertanyakan potensi emansipatoris dari
model konsensus melalui debat rasional. Postrukturalis
mempertanyakan tujuan ‘pencerahan’ ala Habermas yaitu
penggunaan subjek rasional otonom sebagai dasar universal
untuk demokrasi. Padahal seseorang tidak bisa sepenuhnya
otonom dalam posisinya melainkan terpengaruh oleh pelbagai
kekuatan lain; pengaruh pemikiran dari orang – orang
sebelumnya, dari perspektif gendernya, latar belakang sosial
dan kulturalnya.

PENGARUH PEMBENTUKAN RUANG PUBLIK PADA


ACARA WEDHANG COR
Telah dibahas sebelumnya jika dalam menyampaikan
suatu pendapat pada sebuah ruang publik, seseorang tidak akan
mampu sepenuhnya otonom. Hal ini dipengaruhi beberapa
faktor, yakni sebagai berikut : Faktor kekuasaan yang berada di
belakang individu tersebut; Faktor budaya di sekitarnya; serta
konstruksi sosial pada individu tersebut. Faktor pertama

53
Lyotard, Jean François. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. (Tans) Geoff Bennington
and Brian Massumi. Minneapolis, University of Minnesota
752
merupakan Faktor Kekuasaan yang mempengaruhi individu
tersebut. Salah satu objek penelitian Foucault adalah kondisi-
kondisi dasar manusia yang menyebabkan lahirnya satu
diskursus atau wacana.54 Melalui telaahnya tresebut, Foucault
menunjukkan hubungan antara diskursus ilmu pengetahuan
dengan kekuasaan. Diskursus ilmu pengetahuan yang hendak
menemukan yang benar dan mengeliminasi yang salah pada
dasarnya dimotori oleh kehendak untuk berkuasa. Di sini
menjadi jelas bahwa kehendak untuk kebenaran adalah
ungkapan dari kehendak untuk berkuasa. Tidak mungkin
pengetahuan itu netral dan murni. Di sini selalu terjadi korelasi
yaitu pengetahuan mengandung kuasa seperti juga kuasa
mengandung pengetahuan. Penjelasan ilmiah yang satu
berusaha menguasai dengan menyingkirkan penjelasan ilmu
yang lain. Selain itu, ilmu pengetahuan yang mewujud dalam
teknologi pun gampang digunakan untuk memaksakan sesuatu
kepada masyarakat. Faktor kekuasaan yang banyak
mempengaruhi pemikiran dan pendapat orang lain itu berasal
dari organisasi yang menaunginya, partai yang dia ikuti, tokoh
yang digandrunginya dan lain sebagainya. Hal – hal tersebut
mampu secara tidak sadar mempengaruhi pola pemikiran dan
pengetahuan mereka terhadap suatu fenomena. Sehingga juga

54
Michel Foucault,. (1996) [1984]. 'The ethics of the concern for self as a practice of freedom.' In Sylvère
Lotringer (ed.) Foucault Live (Interviews, 1961-1984). Tr. Lysa Hochroth and John Johnston. 2nd edition.
New York: Semiotext(e).
753
mempengaruhi pendapat yang diutarakan di ruang publik
tersebut. Kedua yakni faktor budaya yang mempengaruhi
pendapat nya. Hal ini dilihat hidup dibudaya seperti apa dan
bagaimana individu tersebut. Kabupaten Jember merupakan
daerah Pandhalungan yakni percampuran dari beberapa etnis
atau budaya. Suku yang banyak berdiam di Jember adalah Jawa
dan Madura sehingga percampuran keduanya itulah yang
disebut budaya Pandhalungan. Secara garis besar, karateristik
dari masyarakat kebudayaan Pandhalungan ini antara lain
sebagai berikut : Mayarakat pandhalungan ini sebagian besar
merupakan agraris tradisional, dimana berada di tengah –
tengah antara tradisional dan industri.; mayoritas masyarakat
pandhalungan masih terjebak atau belum bisa lepas dari tradisi
lisan tahap pertama (primary orality). Dalam artian, mereka
menyukai berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesama dan
mengikuti mayoritas pendapat yang telah berkembang di
masyarakat umum.; mudah beradaptasi pada sebuah
perubahan.; ekspresif (menunjukkan ekspresi saat marah atau
senang secara transparan).; Mengikuti apa yang dijadikan
keputusan oleh tokoh yang dipanuti baik itu tokoh masyarakat
hingga tokoh agama.; serta memiliki keterikatan kekeluargaan
yang erat. Terakhir adalah faktor konstruksi sosial yang ada
pada indiviidu tersebut. Dalam berpendapat seseorang
kemungkinan menggunakan apa yang telah diyakini benar dari

754
pengetahuan dan realitas yang telah dia jalani dari dulu di
kesehariannya. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Peter L.
Berger bahwa pemahaman seseorang merupakan kenyataan
yang dibangun secara sosial dengan meggunakan kenyataan
dan pengetahuan yang dimilikinya.55

Kesimpulan
Pemanfaatan media massa untuk ruang publik mampu
dirasakan terutama pada media televisi yang berbasis audio dan
visual. Pembentukan ruang publik ini melalui acara dalam bentuk
cangkru’an atau talk show terkait dengan fenonema, isu dan
permasalahan yang terjadi di daerah tersebut. Namun, dalam
konsep ruang publik yang diutarakan oleh Habermas, ada
sebuah kritik yang menyebutkan bahwa hal tersebut masih
bersifat utopia. Kritikan tersebut mengatakan bahwa seseorang
tidak akan mampu berpendapat dalam ruang publik secara netral
dan otonom, melaikan adanya pengaruh yang muncul dibalik
pendapat tersebut. Pada penelitian ini, Acara Wedhang Cor
mampu menjadi ruang publik bagi masyarakt Jember khususnya
sebagai jembatan aspirasi dan pendapat. Konsep ruang publik
Habermas juga tergambar dari proses produksi acara tersebut

55Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan politik “Memahami Teori


Konstruksi Sosial” karya I.B. Putera Maruaba.

755
dengan adanya interaksi antara narasumber, pembawa acara
dan masyarakat yang ada di luar maupun di dalam studio
tersebut. Dengan adanya acara tersebut, masyarakat mampu
untuk ikut serta dalam sebuah diskusi , pedebatan atau
sarasehan atas problematika yang terjadi. Pengaruh yang mu
ncul dalam proses pengungkapan pendapat di ruang publik
dapat dibagi menjadi tiga yakni faktor kekuasaan, budaya dan
konstruksi sosial dari masing – masing individu.

Daftar Pustaka
Eriyanto.2001. Analisis Wacana. Yogyakarta. Indonesia
Fairclough, Norman.2003. Language and ower : Relasi Bahasa
dan Kekuasaan dan Ideologi. Malang : Boyan Publishing.
Foucault, Michel. (1996) [1984]. 'The ethics of the concern for
self as a practice of freedom.' In Sylvère Lotringer (ed.)
Foucault Live (Interviews, 1961-1984). Tr. Lysa Hochroth and
John Johnston. 2nd edition. New York: Semiotext(e).
Habermas, Jurgen.2010. Ruang Publik : Sebuah Kajian tentang
Kategori Masyarakat Borjuis. Bantul:Kreasi Wacana
Khotimah , Siti Khusnul.2013. Berdemokrasi di Ruang Publik :
langsung, Umum, Bebas dan Tanpa Rahasia dalam Media
Sosial Twitter @triomacan2000. Malang.
Kurniawan, Robi Cahyadi. Ruang Publik Pasca Era Reformasi.
Lampung:[t.th]

756
Lyotard, Jean François. The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge. (Tans) Geoff Bennington and Brian Massumi.
Minneapolis, University of Minnesota
Maruaba, Putera I.B. Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan
Politik “Memahami Teori Konstruksi Sosial”
Mulyana, Deddy.2007. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya
Moleong, Lexy J. 2001.Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung
: PT. Remaja Rosdakarya
Santoso, Yudi.2007. Ruang Publik : Sebuah Kajian Tetang
Kategori Masyarakat Borjuis. Yogyakarta : Kreasi Wacana
Simarmata, Salvatore. 2014. Media Baru, Ruang Publik Baru
dan Transformai Komunikasi Politik di Indonesia. Jakarta
Sunarto.2000. Analisis Wacana – Ideologi Gender Media Anak –
Anak. Pondok Tlogo Sari Indah. Indonesia
Sudibyo, Agus.2004.Ekonomi Politik Media Penyiaran.
Yogyakarta : LkiS
Wicandra, Obed Bima. 2013. Merebut Kuasa atas Ruang Publik
: Pertarungan Ruang Komunitas Mural di Surabaya. Surabaya.
UU penyiaran No. 32 Tahun 2002
www.jtvjember.com (diakses tanggal 28 Oktober 2015)
www.duniaesai.com (diakses tanggal 3 November 2015)

*) Mahasiswa Magister Media dan Komunikasi, Universitas


Airlangga.
757
MEDIA SOSIAL &
INTERNET
CYBERCRIME: MEDIATISASI, VOYEURISM, DAN
HYPERSPACE DI INTERNET

Fina Zahra*

Pendahuluan
Akhir Agustus 2014, dunia hiburan Hollywood sempat
geger karena foto-foto nude beberapa artis yang bocor di
internet. Kontan saja, kejadian tersebut mendapat sorotan besar
dari publik. Kejadian tersebut diberitakan di berbagai media
massa secara beramai-ramai. Pihak artis melalui juru bicaranya
menyampaikan bahwa foto-foto tersebut diretas dari ponsel,
diedit, dan sebagainya. Pihak kepolisian dan ahli informatika pun
segera dikerahkan untuk menangkap pelakunya dan mencari
tahu cara serta motif pelaku membocorkan foto-foto pribadi
tersebut. Beragam komentar bermunculan, sebagian
mengecam pelaku yang membocorkan, namun tak sedikit yang
menyalahkan para artis yang tak berhati-hati hingga menjadi
korban. Sementara itu, dalam beberapa kasus lain yang tidak
dibahas dalam tulisan ini, diasumsikan bahwa penyebaran foto-
foto nude dilakukan dengan sengaja untuk membuat „sensasi‟
agar terkenal.

758
Fenomena „bocornya‟ foto nude para artis telah banyak
dianalisis oleh para ahli informatika dan teknologi. Dalam artikel
berjudul “Kenapa Foto-foto Telanjang Artis Hollywood Bisa
Bocor? Ini jawabnya” yang diterbitkan suarapembaruan.com
(02/09/2014), foto-foto yang „bocor‟ tersebut dapat disebabkan
rapuhnya keamanan perangkat penyimpanan iCloud di internet,
lemahnya sandi yang digunakan pemilik akun penyimpanan,
atau disebabkan modus penipuan. Tindakan membobol dan
menyebarkan foto-foto tersebut dapat dianggap sebagai sebuah
tindakan cybercrime sebagaimana didefinisikan oleh Bell
(2004), cybercrime adalah aktivitas ilegal atau kriminal yang
dilakukan melalui jaringan elektronik global (internet). Namun,
cybercrime bukan sekadar kriminalitas yang dilakukan melalui
internet, melainkan hanya dapat dilakukan menggunakan
internet. Dengan demikian, cybercrime merepresentasikan
aktivitas kriminal yang baru sebagai konsekuensi adanya
informasidan teknologi cyber.
Tulisan ini memandang penyebar foto sebagai pihak
yang meretas dan sengaja menyebarkan foto-foto pribadi dari
akun para artis. Tulisan ini juga mengesampingkan asumsi
bahwa foto-foto tersebut sengaja disebar oleh pihak artis sendiri
demi menaikkan popularitas. Para artis diasumsikan
menyimpan foto-fotonya tanpa bermaksud menampilkannya ke
publik, namun mengunggahnya dengan tujuan mengirimnya ke

759
pihak-pihak tertentu. Penyebar foto dianggap sebagai pelaku,
sedangkan para artis yang fotonya „bocor‟ dianggap sebagai
korban.
Foto yang „bocor‟ dan dipermasalahkan merupakan
koleksi pribadi yang disimpan di ponsel korban dan tidak
seharusnya beredar secara bebas. Penyebaran foto yang
seharusnya merupakankoleksi pribadi menjadikan pihak yang
disebarkan fotonya menjadi perhatian publik dan mendapat
respon negatif dari masyarakat. Pelaku memang dianggap
sebagai tersangka utama serta menjadi buronan pihak
berwajib, siapa dan bagaimana teknisnya menjadi pokok
pembahasan di media. Pertanyaan mengenai bagaimana relasi
media dan subjek tidak banyak dibahas, seolah
mengasumsikannya sebagai pelampiasan hasrat semata.
Sementara itu, korban mendadak menjadi bagian yang cacat
dalam masyarakat. Korban tersebut yang tadinya sangat
dihormati menjadi „anjlok‟ kehormatannya di mata masyarakat.
Di tengah maraknya pemberitaan foto-foto yang „bocor‟,
detik.com kembali menerbitkan salah satu artikelnya
(25/05/2012) berjudul “Inilah Alasan Ilmiah Kenapa Wanita
Suka Kirim Foto Seksi Ke Pasangan”, mengulas kejadian
semacam ini yang populer disebut sebagai sexting. Dalam
beberapa kasus bocornya foto dan video nude, ternyata foto
dan video tersebut sengaja dikirimkan antarpasangan. Kasus

760
paling sering ialah wanita yang mengirimkan foto nude-nya
kepada pacarnya atau pria yang mengirim foto penisnya.
Menurut artikel tersebut, sexting terjadi karena dorongan alami
dari otak, bukan pengaruh budaya modern atau teknologi.
Artikel tersebut menyebutkan hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa wanita melakukan sexting dengan foto
nude dirinya untuk mendapat perhatian pasangannya dan
didasarkan pada kenikmatan karena merasa diinginkan.
Sementara itu, pria melakukan sexting karena ingin pamer.
Masih menurut penelitian dalam artikel tersebut,
kecenderungan yang terjadi pada pria sebagaimana nenek
moyang primatanya, yaitu monyet jantan menunjukkan
penisnya kepada lawan jenisnya untuk menunjukkan minat
seksual. Pria menunjukkan hal serupa untuk pamer. Artikel
yang diunggah oleh detik.com tersebut menyimpulkan bahwa
sexting sebagai bagian dari pemuasan hasrat manusia dan
telah ada sebelum adanya teknologi media seperti internet.
Simpulan tersebut memunculkan tanda tanya mengingat hal
tersebut merupakan sebuah fenomena, dan dalam prosesnya
jelas melibatkan teknologi media.
Kasus penyebaran foto pribadi para artis dianggap
sebagai publikasi ilegal dan selalu mendapat sorotan besar dari
masyarakat serta paparazzi. Mesin pencari di internet pun
menjadi sibuk mencari foto-foto tersebut. Sementara itu, korban

761
menjadi kalang kabut mencoba memblokir pencarian atas foto-
fotonya dan menjauhi masyarakat. Kasus penyebaran foto nude
tidak hanya mungkin dialami oleh para artis. Mengingat kini
setiap orang dapat dengan mudah mengambil dan menyimpan
foto pribadi di dalam gadget, besar pula kemungkinan
mengalami kasus-kasus serupa. Berpijak pada asumsi
tersebut, tulisan ini mempertanyakan beberapa hal sebagai
berikut.
a. Bagaimana relasi dan kondisi media mempengaruhi
pelaku dalam menyebar foto-foto dan mengapa demikian?
b. Bagaimana media mempengaruhi korban dalam perilaku
mengambil dan menyimpan foto?

Mediatisasi Menurut Hjarvard


Internet telah menjadi bagian penting dalam kehidupan
masyarakat masa kini, terutama bagi generasi yang lahir
setelah tahun 90-an. Kemudahan akses terhadap internet
didukung oleh makin terjangkaunya smartphone. Implikasi
kolaborasi kedua hal tersebut menjadikan masyarakat sekarang
seolah mampu mengakses berbagai hal dan berkomunikasi ke
seluruh penjuru dunia melalui genggamannya. Kapanpun dan
dimanapun, pengguna smartphone dapat mengakses dan
berbagi informasi di internet. Intensitas yang terus-menerus ini

762
harus diakui menimbulkan perubahan sikap masyarakat dan
struktur sosial.
Tulisan Hjarvard berjudul “The Mediatization of Society”
(2008) menawarkan mediatisasi sebagai konsep untuk
menggolongkan suatu kondisi dalam keseluruhan lingkup
masyarakat yang sedang berkembang dan budaya dimana
logika media berpengaruh terhadap institusi sosial lainnya.
Sederhananya, mediatisasi ialah kondisi ketika media
mempengaruhi masyarakat baik interaksi antarindividu maupun
dalam tatanan sosial. Di dalam tulisannya tersebut, Hjarvard
memaparkan pendapat beberapa ahli tentang mediatisasi
beserta contoh-contoh kasusnya, namun ia banyak mengadopsi
teori Krotz dan Schulz yang mendefinisikan mediatisasi sebagai
proses perubahan sosial dan kultural. Mediatisasi telah menjadi
topik yang banyak diperbincangkan di era posmodern karena
dianggap mampu menjelaskan bagaimana media telah
mempengaruhi konsumennya secara kompleks dengan
mengubah hubungan antarmanusia sehingga mengubah
budaya dan tatanan sosial. Mediatisasi dalam tulisan Hjarvard
tersebut tidak membicarakan pengaruh media yang baik atau
buruk, namun melihatnya sebagai sebuah konsekuensi
perkembangan hubungan manusia dengan media.
Dalam menganalisis mediatisasi, Winfried Schulz (2004)
sebagaimana dikutip Hjarvard (2008:109), menyebutkan empat

763
proses bagaimana media mengubah interaksi dan komunikasi
antarmanusia. Pertama adalah extend; yakni memperluas
kemampuan komunikasi manusia secara ruang dan waktu;
kedua, substitute; media menggantikan aktivitas sosial yang
tadinya dilakukan secara face to face; ketiga, media memacu
terjadinya amalgamation; yakni kondisi di mana media telah
melebur dalam kehidupan sehari-hari. Lalu keempat,
accommodation; masyarakat harus menyesuaikan dirinya
dengan logika media yang melingkupi format, penilaian, dan
rutinitas media.
Hjarvard mengkombinasikan tahapan-tahapan yang
telah dijabarkan oleh Schulz dengan pendapat Krotz (2007)
yang memperlakukan mediatisasi sebagai metaproses
sebagaimana individualisasi berelasi dengan globalisasi. Media
mengubah perilaku dan interaksi antarindividu hingga konteks
sosial dan kultural. Hjarvard kemudian menyederhanakannya
menjadi dua bentuk mediatisasi, yaitu direct dan indirect
(2008:114). Direct mediatization adalah kondisi dimana perilaku
manusia dipindah menggunakan media yang baru. Hjarvard
mencontohkannya dengan kegiatan online banking.
Menggunakan online banking, kegiatan transfer, pemabayaran,
dan sebagainya tidaklagi perlu dilakukan di bank, namun dapat
melalui komputer yang terkoneksi dengan internet. Perubahan
tersebut akhirnya mempengaruhi perilaku antarpengguna dan

764
terjadi secara massal. Indirect mediatization adalah bentuk yang
menyerupai accommodation versi Schulz, sebab
aktivitaspenggunanya berubah karena harus menyesuaikan
bentuk, konten, dan aturan oleh mekanisme maupun simbol
media. Hjarvard mencontohkannya dengan aktivitas makan di
McDonalds. Ketika makan di McDonald‟s, konsumen
melakukan kegiatan makan seperti biasanya, namun ia
melakukannya untuk mendapatkan figur-figur tertentu sebagai
„hadiah‟ jika membeli makan di McDonald‟s.
Tulisan ini menggunakan model analisis Schulz untuk
dapat melihat detail prosesnya, kemudian untuk lebih
menyederhanakannya dalam mengambil simpulan
menggunakan pengkategorian menurut Hjarvard.

Mediatisasi Sebagai Pendekatan


Media internet telah mengubah interaksi dan komunikasi
antarmanusia. Dalam kasus „bocornya‟ foto-foto pribadi para
artis, mereka menjadi korban cybercrime seringkali baru tahu
setelah fotonya telah tersebar luas.
Menggunakan empat tahap mediatisasi sebagaimana
diusulkan oleh Winfried Schulz sebagaimana dikutip Hjarvard
(2008:109), internet telah memperluas komunikasi secara ruang
dan waktu. Melalui internet, foto-foto tersebut dapat lebih mudah
diakses. jika pelaku mampu meretas sandi dan keamanan

765
perangkat, tanpa harus meminta izin terlebih dahulu, pelaku
dapat mengunduh dan menyebar luaskan foto-foto tersebut.
Dalam hal ini, terjadi pula subtitusi dimana dalam prosesnya
tidak memerlukan interaksi face to face, cukup melalui teknologi
internet. Sifat media internet yang cepat dan masif
memungkinkan foto-foto yang telah diretas dapat disebarkan ke
banyak pihak sekaligus dalam satu waktu. Seolah tak
terhindarkan, amalgamation terjadi; foto-foto tersebut dapat
diterima di tengah kegiatan lain yang sedang dilakukan, dapat
pula disebar lagi dari satu pengguna internet kepada pengguna
lainnya bersamaan dengan kegiatan mengedit foto tersebut
misalnya. Semua dapat dilakukan sekaligus melalui internet
dalam gadget yang kini telah dimiliki oleh hampir setiap orang.
Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa pelaku penyebaran
cukup sulit dilacak. Sementara itu, pelaku mau tidak mau
mengikuti logika media; pelaku harus bisa terkoneksi dengan
internet, mampu memecahkan sandi yang menjadi proteksi dan
harus menghapus jejaknya di internet supaya tidak ketahuan.
Sekali foto tersebut tersebar, sangat sulit untuk menariknya
kembali. Pelaku juga tidak tahu foto-foto tersebut telah
disebarkan kepada siapa saja, ke belahan bumi mana.
Direct mediatization dalam penjabaran tersebut adalah
tahap dimana pelaku dapat meretasdan menyebarkan foto
melalui internet tanpa diketahui oleh pemilik foto, tanpa harus

766
meminta izin terlebih dahulu. Kegiatan yang dilakukan sama-
sama mengambil foto milik orang lain, kemudian
menyebarkannya kepada orang lain. Namun, kegiatan tersebut
memberikan beberapa pilihan, yaitu dapat dilakukan secara
tersamar, anonim, cepat dan massal, serta dapat dilakukan
bersama dengan kegiatan lainnya. Kegiatan tersebut
berpengaruh secara sosial karena pada akhirnya banyak orang
yang akan tiba-tiba menerima foto tersebut dan kemungkinan
langsung menyebarkannya. Indirectmediatization adalah ketika
meretasnya, pelaku harus memiliki akses yang cukup dan
bisamemecahkan sandi serta harus bisa menghapus jejaknya di
internet supaya tidak ketahuan. Pelaku juga tidak tahu secara
menyeluruh foto tersebut tersebar kemana dan kepada siapa
saja.
Dalam beberapa artikel yang memberitakan „bocornya‟
foto para artis Hollywood, cacat dalam sistem iCloud ditengarai
sebagai penyebabnya. Mediatisasi sebagai sebuah pendekatan
dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana media
mempengaruhi penggunanya dalam perilaku mengambil dan
menyimpan foto-fotonya Pertama, tahap extend; melalui ponsel
yang terintegrasi dengan iCloud, pengguna dapat mengakses
foto-fotonya kapanpun dan dimanapun selama ia dapat
mengakses internet. Proses extend terjadi bersamaan dengan
substitution; iCloud mampu menggantikan kegiatan menyimpan

767
dan mencetak foto serta menggantinya dengan cara berbagi di
internet. Memperlihatkan foto tidak lagi harus dilakukan face to
face, namun tetap dapat dilakukan meski terpisah ruang dan
waktu. Ketiga, iCloud yang sudah dijadikan sebagai aplikasi
dalam gadget telah melebur dalam keseharian. Karena tidak lagi
perlu membawa banyak foto dalam bentuk fisiknya, berbagi foto
dapat dilakukan bersamaan dengan aktivitas lain semisal di
tengah kegiatan kantor, memasak, berbelanja, dan sebagainya.
Amalgamation dalam keseharian tersebut menyebabkan
pengguna harus menyesuaikan diri dengan logika media;
terbatasnya memori pada ponsel menuntut pengguna
terintegrasi dengan iCloud, pengguna juga harus memiliki akun
dan memasang sandi agar foto-fotonya tidak dapat diakses
orang lain. Pada saat yang bersamaan foto-foto tersebut telah
dilihat oleh pengelola iCloud sementara pengguna mau tidak
mau harus memaklumi hal tersebut. Jika foto-foto tersebut
akhirnya „bocor‟, sangat sulit bagi pemilik foto untuk
menghentikan penyebarluasannya.
Direct mediatization dalam penjabaran tersebut adalah
tahap dimana korban sebagaipengguna menggunakan internet
sebagai media yang menggantikan surat maupun face to face.
Perubahan tersebut memunculkan beberapa pilihan seperti foto
yang diunggah merupakan foto yang telah diedit atau
menonjolkan citra tertentu, serta memungkinkan untuk

768
mengirimkan foto nude. Perubahan perilaku pengguna satu
dapat menyebabkan perubahan secara sosial karena orang
yang ingin dapat mengakses foto serta mengomentarinya harus
melakukannya melalui internet. Indirectmediatization adalah
ketika ingin mengakses foto, orang diharuskan memiliki akun
tertentu, untukmengunggah dan memproteksi harus memiliki
sandi yang tidak boleh salah ketika akan mengaksesnya
kembali.

Hyperspace dan Voyeurism


Setelah menggunakan mediatisasi sebagai pendekatan,
diketahui bahwa internet sebagai media telah mempengaruhi
pelaku hingga dapat menggantikan proses „pencurian‟ dan
penyebaran foto sekaligus mengakomodir beberapa kegiatan
dalam real life. Selanjutnya muncul pertanyaan mengapa hal
tersebut bisa dilakukan di internet.
Internet sebagai media dalam penyebaran foto para artis
memiliki sifat yang berbeda dengan media lain seperti koran dan
televisi. Di internet, penggunanya dapat menjadi konsumen
terhadap konten pihak lain sekaligus menjadi produsen karena
dapat langsung memberikan tanggapan dan menyebarluaskan
informasi. Ruang dan waktu seolah „diringkas‟ di dalam internet,
sehingga internet memiliki syarat sebagai sebuah hyperspace,

769
yaitu keadaan runtuhnya makna ruang sebagaimana yang
diyakini selama ini.
Hyperspace: yakni keadaan runtuhnya makna
ruang sebagaimana dipahamiberdasarkan prinsip
geometri Euclidian (ruang 2 dan 3 dimensi) dan
hukum mekanika Newton (kecepatan adalah daya
dibagi massa), dengan berkembangnya ruang
semu dan simulasi elektronik (dirujuk oleh
Hidayat, 2012:97).
Internet sebagai dunia yang tidak lagi mengenal batasan ruang,
berpengaruh pada kaburnya ruang privat dan ruang publik.
Istilah privat-publik menjadi tak lagi relevan, sebab dengan
sendirinya semua ruang merupakan ranah publik. Semua ruang
dalam internet dapat dijangkau oleh siapa saja, tanpa diketahui
oleh pemilik akun, tanpa meminta izin terlebih dahulu. Kondisi
tersebut juga memediasi rasa ingin tahu akan kehidupan orang
lain yang menjadi sifat alamiah manusia. Sebelum ada teknologi
komunikasi yang canggih, akan sulit mencari tahu tentang
kehidupan orang lain, karena bisa jadi dinilai tidak sopan dan
mendapat hukuman yang tidak sedikit. Namun kini, melalui
internet, mengintip kehidupan orang lain dapat dilakukan secara
relatif aman dan mudah. Perubahan tersebut membentuk
masyarakat voyeurism. Masyarakat voyeurism adalah kategori
masyarakat yang gemar mengintip kehidupan orang lain.
Voyeurism diambil dari konsep psikoanalisis tentang
penyimpangan seksual yang mendapat kepuasan dari mengintip
sesuatu atau orang lain (Butler dalam Kellner--ed., 2006:73).
770
Di masa kini, voyeurism tampaknya menjadi alasan yang
lebih masuk akal mengapa masyarakat mengabaikan batasan
privat-publik. Hal ini tak lain karena voyeurism merupakan salah
satu ciri masyarakat di masa kini. Danesi (2004:279) menyebut
dunia saat ini dengan cepatnya tengah menjadi sebuah
„pertunjukan intip‟ besar. Masyarakat dunia menunjukkan gejala
voyeurism dalam skala besar di dalam galaksi digital.

Seksualitas Sebagai Komoditas Spectacle


Kasus yang dibahas dalam tulisan ini berasumsi bahwa
korban mengunggah foto ke internet sebagai media berbagi foto.
Artinya, foto-foto tersebut sengaja ditampilkan kepada pihak
tertentu lewat internet. Internet sebagai media yang telah
melebur dalam keseharian telah dibahas sebelumnya, tapi
mengapa korban menjadi begitu bergantung dengan internet
dan seolah terobsesi untuk menampilkan dirinya yang
sedemikian rupa melalui internet?
Internet menjadi ruang yang pas untuk menampilkan „diri
yang lain‟, sebab internet dapat dimaknai secara luas sebagai
praktik dekonstruksi esensialisme dimana identitas dan tubuh
mungkin kehilangan koneksi (Don Slater dikutip Bell, 2001:113).
Artinya setelah memasuki dunia cyber, seseorang dapat
membentuk identitasnya yang lain, tidak harus menetap pada
identitas sebagaimanadi dunia real life. Identitas yang dimaksud

771
merujuk pada pendapat Hall (2000) yang menentang
esensialisme dan menyatakan bahwa identitas bersifat temporal,
spasial, dan selalu berproses (Bell, 2004:113). Identitas dalam
hal ini melingkupi ras, kelas, gender, dan seksualitas.
Internet memungkinkan mengirim foto nude yang tidak
dapat dilakukan jika tanpa media internet. Hal tersebut dapat
digolongkan sebagai hypersexuality. Hypersexuality menurut
Piliang adalah gejala pengumbaran kepuasan seks yang
melampaui wilayah seksualitas itu sendiri (dirujuk oleh Hidayat,
2012:97). Hypersexuality adalah fenomena hiper yang menyertai
fenomena hiperrealitas yang diungkapkan oleh Baudrillard.
Dalam istilah hypersexuality, media dianggap sebagai faktor
penting dalam prosesnya.
Hypersexuality masih dianggap sebagai ketabuan meski
telah memasuki dunia cyber. Namundemikian, fenomena
tersebut dapat dijelaskan dengan mengadopsi teori spectacle
sebagaimana dijelaskan oleh Guy Debord. Spectacle digunakan
untuk menyebut kondisi masyarakat yang senang menampilkan
dirinya. Dalam spectacle, hubungan sosial antarmanusia
dimediasi oleh citraan-citraan (Debord dalam Kellner---ed.,
2006:118). Disebut citraan karena apa yang ditampilkan
merupakan hasil ilusi atau sengaja ditampilkan sebaik mungkin.
Karenanya, setiap orang berlomba menampilkan citra dirinya
sebaik mungkin. Melalui teknologi kamera dan internet yang

772
semakin canggih serta terjangkau, spectacle mewujud dengan
cara mengeksplorasi teknologi seperti dalam kamera ponsel,
berfoto dengan pose sebaik mungkin, bila perlu mengedit
hasilnya, lalu mengunggahnya. Momen yang diabadikan
menjadi lebih bervariasi, tidak lagi hanya momen-momen
penting namun juga foto yang bersifat vulgar yang dahulu hanya
disembunyikan di dalam kamar tidur. Aplikasi editing yang
canggih melalui fitur di ponsel atau di internet menghasilkan
gambar yang jelas dan indah. Kemudahan-kemudahan dalam
media ini lah yang kemudian memicu pengguna untuk lebih
banyak menampilkan dirinya.
Salah satu ungkapan Hall yang terkenal, “who we are is
defined by who we are not”, bagaimana kedirian kita didefinisikan
oleh sesuatu yang bukan diri kita (dikutip oleh Bell, 2001:117).
Konsekuensi dari logika tersebut ialah diri selalu berupaya untuk
membangun narasi yang confidence, yakni yang dapat dikenali
dan diakui oleh orang lain. Diri selalu melihat dan
membandingkan dengan orang lain; apa saja yang dianggap ada
pada orang lain dan absen pada diri sendiri. Di dalam
masyarakat voyeurism, mendefinisikan identitas dapat dilakukan
dengan melihat atau meretas akun pengguna lain serta
membentuk citra diri melalui postingan dan foto yang menarik
untuk dillihat. Sebagaimana telah disebutkan bahwa seksualitas
merupakan salah satu bagian dalam pembentukan identitas di

773
dunia cyber, mengunggah foto-foto nudejuga dapat dijadikan
sebagai salah satu upaya membentuk identitas dalam dunia
cyber.
Citra diri telah dianggap sebagai pembentuk identitasnya,
asli dan riil, meski dalam kenyataannya penuh ilusi dan
penopengan. Internet dalam hal ini, tidak lagi hanya berfungsi
sebagai media komunikasi yang „meringkas‟ ruang dan waktu,
namun lebih dari itu, telah menjadi ajang kontestasi identitas
masyarakat penggunanya.
Masyarakat di masa kini adalah masyarakat yang
termediatisasi oleh internet. Kegiatan menyimpan foto,
memperlihatkannya, serta mengirimnya kepada orang lain tidak
lagi harus dilakukan face to face. Kegiatan mengintip, „mencuri‟
foto dan menyebarkannya dapat dilakukan tanpa diketahuioleh
pemilik foto. Internet telah menyatu dalam keseharian pengguna
sampai pada level sosial dan kultural. Pada saat yang
bersamaan, para pengguna internet harus menyesuaikan
dengan format serta ketentuan internet. Korban harus memiliki
akun dan sandi untuk menyimpan fotonya, dan pelaku harus bisa
memecahkan sandi tersebut.
Sifat internet yang sangat efisien „meringkas‟ ruang dan
waktu menjadikannya mudah melebur dalam keseharian
masyarakatnya. Hyperspace kemudian menjadi definisi ruang
yang baru dan memudarkan batasan antara privat dan publik

774
seolah-olah menjadi ranah publik semata. Kondisi yang demikian
mengakomodir sifat ingin tahu manusia hingga terwujud
masyarakat voyeurism. Voyeurism sebagai situasi global
memicu fenomena cybercrime.
Korban telah termediatisasi hingga mengalami
hypersexuality. Korban memanfaatkan internetsebagai media
untuk membentuk „diri yang lain‟. Upaya yang dilakukan
menggunakan seksualitasnya sebagai komoditi spectacle untuk
membangun narasi diri yang confidence.

Daftar Pustaka
Bell, David. (2001). An introduction to Cyberculture: The Key
Concept. London: Routledge.
Bell, David J., and Loader, Brian D., and Pleace, Nicholas, and
Schuler, Douglas--ed. (2004). Cyberculture: The Key
Concept. London: Routledge.
Butler, Andrew M. “Psychoanalysis” dalam Kellner, Douglas M.,
dan Durham, Meenakshi G--ed. (2006). Mediaand
Kultural studies KeyWorks. Cambridge: Blackwell.
Danesi, Marcel. (2004). Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta:
Jalasutra.
Debord, Guy. (2006). “The Commodity as Spectacle” dalam
Kellner, Douglas M., dan Durham, Meenakshi G (ed).

775
Media and Kultural studies KeyWorks. Cambridge:
Blackwell.
Hidayat, Medhy A. (2012). Menggugat Modernisme. Yogyakarta:
Jalasutra.
Hjarvard, Stig. (2008). The Mediatization of Society, Nordicom
Review 29 (2008) 2., hlm.105-134.

Internet:
detik.com. (25/05/2012). “Inilah Alasan Ilmiah Kenapa Wanita
Suka Kirim Foto Seksi Ke Pasangan”. (diaksespada
18/01/2015, pukul 7:05 WIB).
suarapembaruan.com. (02/09/2014)“Kenapa Foto-Foto
Telanjang Artis Hollywood Bisa Bocor Ini
Jawabnya”.(diakses pada 18/01/2015, pukul 7:05 WIB).

*)Program Studi S2 Kajian Budaya dan Media


Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Jalan Teknika Utara, Pogung, Sleman, Yogyakarta, 55281
Email: fazha92@gmail.com

776
MEDIA SOSIAL: (RE)KONSEPTUALISASI KOMUNIKASI
INTERPERSONAL

Yuli Candrasari*

Pendahuluan
Kehidupan masyarakat banyak tergantung pada teknologi
baru dan perangkat ultra modern di masa global sekarang ini.
Teknologi telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat saat
ini. Teknologi telah tertanam dalam eksistensi setiap individu dan
tidak mungkin bisa menghindar. Kehadiran internet telah
merevolusi cara individu berinteraksi dan berkomunikasi.
Kehadiran smartphone dan tablet telah membuat banyak
kemudahan bagi penggunanya dalam mengakses informasi dan
dalam melakukan interaksi serta komunikasi.
Pada dasarnya kehadiran teknologi selalu memberikan
perubahan dalam kehidupan masyarakat. Baik perubahan sosial
maupun budaya. Sebagaimana diuraikan dalam teori
Determinisme Teknologi yang mengkaji tentang komunikasi
manusia dalam hubungannya dengan teknologi. Teknologi akan
mengubah kehidupan manusia terutama budaya masyarakat.
Teknologi akan mengubah pada level makro kehidupan
masyarakat dan juga mempengaruhi level mikro yaitu

777
mempengaruhi psikologis individu (Thurlow, et.all, 2004: 40).
Pada masa lalu kehadiran televisi dan telepon telah mengubah
cara hidup manusia dalam memandang dunia termasuk
mengubah gaya hidup manusia. Kehadiran kedua teknologi
tersebut telah membuat kita mampu berkomunikasi dan melihat
dunia menjadi lebih dekat secara bersama-sama dan dalam
waktu yang sama. Demikian juga dengan internet telah
membawa dampak besar dalam kehidupan masyarakat dunia.
Internet mampu melampaui hambatan ruang dan waktu.
Menggunakan internet individu dapat menjelajah dunia dengan
bebas. Saat ini kehidupan masyarakat telah didominasi oleh
teknologi (internet).
Kehadiran internet telah mengubah pola interaksi dan
komunikasi individu. Dengan beragam kemudahan dan fasilitas
yang ada dalam internet maka para pengguna merasa sangat
dimanjakan. Internet mampu menghubungkan individu satu
dengan yang lainnya tanpa melihat adanya hambatan jarak yang
jauh dan mampu menembus batas-batas geografis.
Internet melahirkan bentuk-bentuk baru dari sosialisasi
dan interaksi sosial melalui bentuk hubungan virtual seperti
chatting, forum virtual, jejaring sosial, dan lainnya. Bentuk-
bentuk interaksi sosial dan komunikasi dalam dunia virtual
tersebut dilakukan dengan menggunakan media sosial di
internet. Kehadiran media sosial sangat disambut baik oleh para

778
pengguna internet (netizen). Situs-situs seperti Facebook,
Twitter, Instagram, Path telah banyak digunakan oleh para
netizen. Menurut data tahun 2015, Facebook saat ini memiliki 1,2
Milyar pengguna di seluruh dunia, Twitter sebanyak 645 ribu
pengguna, Instagram 415 ribu pengguna, Linkedln 300 ribu
pengguna, path 30 ribu (www.seoterpadu.com/2015).
Bentuk-bentuk baru dari sosialisasi dan interaksi virtual
tersebut yang disebut Walther (1996) sebagai "komunikasi
hyperpersonal". Komunikasi hyperpersonal merupakan bentuk
interaksi dalam ruang virtual yang memiliki karakteristik seperti:
a) mudah, karena memerlukan tidak memerlukan keahlian
khusus dalam menjalin hubungan untuk mencapai hasil yang
memuaskan; b) rekreasi, karena merupakan bentuk baru hiburan
untuk sebagian besar pengguna internet; c) jauh, karena
umumnya terjadi antara kelompok besar orang dan melalui
beberapa saluran; d) intens, karena membutuhkan waktu dan
tingkat keterlibatan individu pengguna internet.

Computer Mediated Communication (CMC): Sebuah


Perspektif Interaksi sosial dan Komunikasi Termediasi
Internet
Computer-Mediated Communication (CMC) merupakan
proses komunikasi yang terjadi melalui internet. Pada dasarnya
tidak ada definisi yang baku tentang CMC. John December

779
(1997) menyatakan bahwa CMC sebagai sebuah proses
komunikasi manusia melalui computer yang melibatkan individu,
situasi tertentu, yang melibatkan media dalam mencapai
berbagai tujuan. Kayla D Hales (2011: 24) mendefinisikan CMC
sebagai bentuk komunikasi elektronik yang terjadi diantara
individu. Dengan demikian jika komunikasi terjadi diantara
manusia dan dimediasi oleh teknologi internet maka hal itu
menjadi wilayah kajian dari CMC.
Pada awalnya CMC dipandang hanya cukup efektif untuk
mencari informasi dan tidak efektif untuk menjalin interaksi sosial
dan komunikasi. Pandangan tersebut didasari pada satu hal
yang dianggap sebagai kelemahandalam aspek sosial dari CMC.
Yaitu hilangnya beberapa symbol non verbal serta lemahnya
kontrol individu terhadap dampak teknologi pada interaksi
mereka. Berbeda dengan komunikasi interpersonal yang terjadi
secara tatap muka di mana individu mampu mengontrol proses
komunikasi tersebut serta didukung adanya simbol non verbal
yang membuat proses komunikasi tersebut menjadi efektif.
Di mana sebenarnya simbol-simbol non verbal tersebut
memiliki peran yang besar dalam proses komunikasi antar
pribadi. Jika kata saja sebagai bahasa verbal yang digunakan
dalam proses komunikasi antar pribadi maka akan sulit
memberikan makna terhadap pesan yang hanya berupa kata-
kata. Diperlukan dukungan bahasa non verbal untuk

780
memberikan makna pada bahasa verbal. Sebagaimana
dikemukakan oleh Seymour O‟Connor dalam tulisan Mariangela
Marcello (2006) bahwa “kata” hanya berperan sebesar 7% dalam
proses komunikasi, selebihnya adalah peran bahasa atau simbol
non verbal yang berperan memperlancar proses komunikasi.
Seiring dengan perkembangan teknologi maka perspektif dan
pandangan yang menunjukkan kelemahan sosial dari CMC
tersebut menjadi berkurang. Hal ini dikarenakan kehadiran
teknologi saat ini mampu mengatasi beberapa kelemahan dari
CMC. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Walther (1993)
bahwa ada sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa CMC
dapat membuat individu menjalin hubungan yang mendalam
serta berkomunikasi secara lebih intens. Hal itu dikarenakan
dalam perkembangannya CMC memiliki karakteristik seperti
“fasilitas” yang diberikan CMC sangat memadai dalam
mendukung proses komunikasi. Dengan CMC berbagai bentuk
dapat dikomunikasikan seperti: teks, audio, video, grafik,
animasi, dan lainnya. CMC juga dapat meningkatkan komunikasi
yang bersifat multimedia yaitu komunikasi yang melibatkan
berbagai unsur perasaan dan daya tarik panca indera kita.
Interaktivitas CMC membuat komputer menjadi alat yang
responsif dan reflektif. Selain itu juga CMC memiliki synchronicity
yang baik, artinya komunikasi bersifat cepat dan umpan balik
juga dapat diperoleh dengan cepat. Terakhir CMC bersifat

781
hypertextuality artinya komunikasi yang berlangsung tidaklah
linier (satu arah).
Dengan karakteristik yang ada pada CMC, individu yang
berkomunikasi dapat saling mengontrol proses komunikasi yang
berlangsung. Artinya bahwa dalam komunikasi yang termediasi
internet setiap individu yang terlibat interaksi dan komunikasi di
dalamnya mampu secara aktif menciptakan pesan dan
memaknai pesan. Mereka bukan penerima yang pasif. Karena
itu dalam perspektif ini pada dasarnya memandang bahwa CMC
tidaklah netral dan “bebas” tetapi CMC mampu membuat
interaksi dan komunikasi yang terjadi menjadi emosional dan
mampu menciptakan hubungan yang personal.
Bentuk-bentuk kedekatan hubungan yang dikonstruksi
dengan simbol non verbal seperti sentuhan, ekspresi muka
digantikan atau disederhanakan dengan emoticon yang ada di
internet. Selain itu juga dikenalnya “avatar” sebagai obyek yang
bisa menggantikan atau mewakili sesuai dengan keinginan kita.
Dalam internet siapapun bisa menjadi apa seperti yang
diinginkannya. Demikian juga identitas sosial. Untuk masuk ke
dalam internet setiap orang harus log in terlebih dahulu. Dalam
proses Log in tersebut maka setiap individu diwajibkan untuk
memberikan identitas. Di sinilah dimungkinkan terjadinya
identitas yang dipalsukan. Di internet setiap individu memiliki
kebebasan untuk mengkonstruksikan diri seperti yang

782
diinginkannya. Terutama pada situs-situs jejaring social atau
instant messaging, individu dapat menampilkan dirinya setelah
melalui proses pengkonstruksian. Fitur utama dari Cyberspace
adalah interaksi melalui identitas baru di mana identitas tersebut
dapat dikontrol dan dibangun oleh setiap individu.

Media Sosial dan (re)Konseptualisasi Komunikasi


Interpersonal
Media sosial adalah sebuah media online, dengan para
penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan
menciptakan isi. Pendapat lain mengatakan bahwa media sosial
merupakan media online yang mendukung interaksi sosial dan
media sosial menggunakan teknologi berbasis web yang
mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif. Secara
sederhana media sosial didefinisikan sebagai sebuah software
yang mampu membuat individu berinteraksi antara dengan
individu lain dan membangun jejaring sosial yang dapat
meningkatkan capital social (Konijn, et.all, 2008: 21). Istilah
“media sosial” adalah istilah baru; namun ide untuk
menggunakan media sebagai sarana untuk bersosialisasi telah
ada sejak lahirnya telegraf dan telepon.
Media sosial saat ini merupakan media interpersonal.
Karena media sosial mampu mendukung individu untuk saling
berbagi pesan secara personal. Media sosial bukan media yang

783
menghubungkan manusia dengan mesin yang membuat
keberadaan media menjadi “perkasa”. Media sosial telah
memudahkan individu untuk berhubungan dengan individu lain
dengan membangun jejaring sosial dan jejaring masyarakat
baru. Castell dalam Konjin (2008: 23) menggambarkan bahwa
masyarakat jejaring sebagai sebuah budaya yang dikontruksikan
secara virtual oleh system media mampu menembus jarak dan
saling terhubung.
Penelitian yang dilakukan Denise Carter (2005)
menyatakan bahwa individu yang hidup yang menghuni ruang
sosial di cyberspace maka individu akan „tinggal di dalamnya‟
dan „mengkonstruk‟ ruang baru di realitas virtual sehingga
individu akan menjauh dan terpisahkan dari dunia nyata. Lebih
lanjut penelitian tersebut menyebutkan bahwa cyberspace
merupakan tempat lain untuk bertemu dengan individu. Individu
yang berada dalam cyberspace maka ia akan banyak
menginvestasikan banyak hal untuk memelihara hubungan yang
terjalin secara online sebagai ruang social lain dalam kehidupan
individu. Alih-alih ruang sosial dalam cyberspace dihapus dari
kehidupan nyata, individu akan berasimilasikan cyberspace
dengan kehidupan offline mereka setiap hari.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehadiran
media sosial semakin mengukuhkan bahwa CMC efektif bagi
para penggunanya untuk menjalin interaksi sosial dan

784
komunikasi. Sebagaimana hasil beberapa penelitian yang
menyebutkan bahwa para netizen sebagian besar
menggunakan internet lebih banyak untuk membuka situs
jejaring sosial daripada untuk mengakses situs mesin pencarian.
Hasil riset yang dilakukan oleh APJII tahun 2014 tentang situs
yang paling sering dikunjungi netizen adalah situs jejaring sosial
(media sosial), mengalahkan pencarian informasi
(browsing/searching) di posisi kedua. Posisi ke-3 chatting
(messaging), pencarian berita (ke-4), video (ke-5), email (ke-6).
Pencarian berita dan penggunaan email saat ini anjlok tak
populer. Sedangkan alasan netizen dalam menggunakan
internet yang pertama adalah untuk melakukan komunikasi dan
sosialisasi, dan yang kedua adalah untuk mencari informasi.
Artinya bahwa media sosial telah menjadi bagian dalam proses
interaksi dan komunikasi masyarakat saat ini. Media sosial
memudahkan bagi individu untuk membangun dan menjaga
hubungan interpersonal. Sebagaimana yang dituliskan oleh
Parks dan Floyd (1996) bahwa individu yang menggunakan
media sosial dalam rangka membangun hubungan on-line
dengan cara yang sama seperti membangun hubungan secara
tatap muka.
Fakta tersebut disebut oleh Zapatero, Brandle, dan San-
Roman (2013) sebagai Ruang sosio-komunikatif baru. Di mana
ruang sosio-komunikatif baru tersebut ditandai dengan adanya

785
interaksi dan keterlibatan di antara pengguna internet baik yang
dikenal atau tidak dikenal tanpa ada rasa kecemasan pada
masing-masing pengguna internet ketika mereka saling
berinteraksi dan berkomunikasi. Hal inilah yang menjadikan para
pengguna internet merasa nyaman menggunakan media sosial
guna membangun hubungan interpersonal dan menjalin
komunikasi interpersonal. Berbeda dengan komunikasi
interpersonal yang mensyaratkan adanya saling mengenal
diantara individu yang terlibat dalam komunikasi agar
komunikasi berjalan dengan baik.
Sebagaimana dalam teori Pengurangan Ketidakpastian
(Uncertainty Reduction Theory) yang dikemukakan Berger dan
Calabrese (1975). Dalam teori ini dijelaskan bahwa ketika terjalin
komunikasi antar dua orang yang tidak saling kenal sebelumnya,
maka biasanya dilakukan proses pencarian informasi guna
mengurangi ketidakpastian. Ketidakpastian ini bisa dikurangi
setahap demi setahap diantaraya dengan melakukan
„selfdisclosure’ (membuka diri). Dalam tahapan ini disyaratkan
adanya kejujuran untuk membuka identitas diri guna
melancarkan proses komunikasi. Mengingat dalam proses
komunikasi tatap muka individu cenderung akan memberikan
jarak pada orang asing atau orang yang belum dikenalnya.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Miller dan Steinberg
(1975) bahwa dalam komunikasi interpersonal untuk

786
membangun hubungan menjadi lebih baik atau menjadi lebih
akrab maka diperlukan adanya saling terbuka diantara individu
yang terlibat di dalamnya. Seperti yang diungkapkan juga dalam
salah satu teori komunikasi interpersonal dalam rangka
membangun hubungan. Yaitu Teori Penetrasi Sosial yang
dikemukakan Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Salah satu
asumsi dari Teori Penetrasi Sosial disebutkan bahwa untuk
mengembangkan hubungan interpersonal maka diperlukan
adanya keterbukaan diri dari masing-masing individu yang
terlibat dalam hubungan interpersonal. Saling membuka diri
akan memudahkan bagi masing- masing individu untuk saling
mengenal dan memudahkan hubungan menjadi lebih dekat dan
akrab (West & Turner, 2008: 199).
Faktanya dalam CMC ketika individu mengunakan media
sosial membuka diri secara personal tidak menjadi syarat
penting dalam menjalin hubungan interpersonal. Mengingat
dalam CMC identitas diri bisa jadi berbeda dengan identitas
pengguna ketika di dunia offline. Setiap pengguna internet
memiliki kebebasan untuk mengkonstruksikan identitas dirinya
sesuai dengan keinginannya. Hal ini sejalan dengan teori
Cuelessness, yang menyatakan bahwa dalam CMC penanda
identitas (misalnya status, pekerjaan, usia, dan jenis kelamin)
tidak selalu ada bahkan tidak jarang berbeda dengan identitas
offline. Demikian juga dengan beberapa isyarat non verbal

787
(misalnya gerak tubuh, ekspresi wajah, nada suara dan
penampilan) yang tidak selalu ditemukan dalam CMC (Thurlow,
Lengel & Tomic, 2004: 49). Kebebasan dalam mengkonstruksi
identitas tersebut nampaknya menjadi salah satu alasan bagi
para penggunan internet untuk merasa nyaman ketika harus
berhubungan dengan orang lain yang belum dikenal
sebelumnya. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan
oleh Zapatero, Brandle dan San-Roman (2013) bahwa para
pengguna internet merasa lebih nyaman melakukan interaksi
dalam media sosial daripada melalui komunikasi tatap muka
secara langsung. Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa
sebagian besar responden merasa lebih mudah dalam
membangun hubungan interpersonal dalam dunia maya
daripada membangun hubungan melalui interaksi secara tatap
muka. Hanya berdasarkan pada kesamaan minat atau
kesamaan pendapat maka setiap pengguna internet dapat
melakukan komunikasi secara efektif. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Madge, Wellens & Hooley (2009) terhadap
remaja pengguna internet menyebutkan bahwa ada
ketergantungan yang besar pada diri remaja terhadap situs
jejaring sosial seperti Facebook yang digunakan remaja untuk
mempertahankan pertemanan mereka dan juga untuk
mendapatkan persahabatan baru di dunia maya.
Dalam media sosial proses komunikasi interpersonal

788
yang tejadi selain tidak mensyaratkan adanya saling mengenal
terlebih dahulu juga tidak mensyaratkan adanya kehadiran
secara fisik sebagai komunikasi interpersonal yang dilakukan
secara tatap muka. Sebagaimana pandangan dari beberapa
penelitian tentang komunikasi interpersonal selama ini yang
menyatakan bahwa dalam proses komunikasi interpersonal
maka harus terjadi secara tatap muka (Gumpert & Cathcart,
1986; Meyrowitz, 1985). Pandangan tersebut berbeda dengan
perspektif ekologi media yang dituliskan oleh Barnes (2008: 15)
yang selama ini telah mengamati bagaimana konteks
komunikasi yang termediasi dapat menggantikan bentuk tatap
muka dalam proses komunikasi interpersonal. Kenyataannya
saat ini melalui media sosial setiap individu yang
menggunakannya mampu menjalin komunikasi interpersonal
secara interaktif meskipun tidak secara face-to-face. Media
sosial telah mengubah cara orang melakukan komunikasi
interpersonal tanpa tatap muka. Meskipun pada awalnya banyak
yang menilai bahwa komunikasi interpersonal tanpa tatap muka
akan menyebabkan terjadinya pertukaran impersonal dan
penyampaian pesan tidak efektif, tetapi kenyataannya saat ini
tanpa tatap muka proses komunikasi interpersonal dapat
berlangsung. Mengingat dalam media sosial konsep kehadiran
secara fisik berbeda dengan komunikasi tatap muka. Dikatakan
oleh Walther & Tidwell (1996) sebagaimana dikutip oleh

789
McQuillen (2003: 617) bahwa sentuhan seseorang secara
emosional sebenarnya sama dengan sentuhan seseorang
secara fisik. Dalam teori Social Presence Artinya kehadiran
sosial tidak lagi diartikan sebagai suatu yang hadir secara fisik
namun adanya keterlibatan langsung kedua belah pihak dalam
komunikasi interpersonal dalam CMC. (Baym, N, 2002) Lebih
lanjut dijelaskan bahwa kehadiran sosial dalam CMC adalah
adanya kehadiran bersama melibatkan orang-orang yang
berinteraksi dan keinginan untuk mengakses orang lain dalam
hubungan psikologi. Dengan demikian kehadiran secara tatap
muka bukan lagi menjadi penting dalam komunikasi
interpersonal yang termediasi internet karena pada dasarnya
adanya keterlibatan individu dalam komunikasi serta adanya
keinginan untuk mengakses orang lain di media sosial maka hal
itu sudah merupakan bentuk dari kehadiran sosial.
Di samping hal tersebut menggunakan media sosial tidak
memerlukan social skill khusus dalam melakukan komunikasi
interpersonal dengan individu lain. Artinya individu yang memiliki
kesulitan dalam bersosialisasi di dunia nyata maka dengan
menggunakan media sosial kesulitan tersebut bisa di atasi.
Demikian juga dengan individu yang memiliki karakter yang
tertutup dalam kesehariannya namun di media sosial dia dapat
mengungkapkan segala hal yang dirasakannya. Sebagaimana
penelitian yang dilakukan Ratih (2003) didapatkan bahwa remaja

790
putri ketika menggunakan facebook menjadi lebih terbuka untuk
mengungkapkan pendapat, pengalaman maupun perasaannya.
Seringkali individu menganggap bahwa akun atau laman
dalam media sosial adalah akun pribadi sehingga mereka
merasa bisa bebas melakukan apa saja dalam akun pribadinya.
Setiap individu bebas menuliskan atau pun mengunggah dalam
laman pribadi di media sosial. Ada yang kurang menyadari
bahwa sebenarnya ketika tulisan atau gambar diunggah di laman
pribadi media sosialnya maka hal itu telah tersebar di seluruh
dunia dan dapat menjadi miliki publik.
Barnes (2001: 24) menuliskan bahwa terdapat empat
alasan mengapa media sosial mampu membangun hubungan
interpersonal yang baik meskipun tanpa tatap muka. Pertama,
setiap orang bebas memilih kapan waktu yang tepat untuk
mengungkapkan tentang identitas diri secara benar. Kedua,
orang melakukan interaksi dan komunikasi dengan orang lain
dilakukan secara sukarela dan dengan bebas ia dapat
menentukan kapan komunikasi tersebut dimulai dan harus
diakhiri. Berbeda dengan komunikasi tatap muka di mana untuk
mengakhiri percakapan harus terjadi kesepakatan bersama
diantara kedua belah pihak. Ketiga, setiap orang ketika
melakukan komunikasi melalui media sosial dalam posisi bebas
(bisa sambil melakukan aktifitas yang lain). Berbeda dengan
komunikasi interpersonal secara tatap muka di mana pihak yang

791
terlibat di dalamnya harus saling memperhatikan, terjadi kontak
mata, terdapat pengaturan gerak tubuh maupun penampilan
yang terkadang harus diatur terlebih dahulu. Keempat, dalam
komunikasi interpersonal yang termediasi internet ini setiap
orang dapat menutupi “kelemahan” diri baik kelemahan secara
fisik maupun non fisik. Sehingga proses komunikasi dapat
berjalan secara egaliter tanpa memandang apakah lawan bicara
memiliki kekurangan. Biasanya dalam komunikasi interpersonal
secara tatap muka akan terjadi kesenjangan komunikasi ketika
kita berkomunikasi dengan orang yang memiliki kekurangan
secara fisik mauapun non fisik.

Kesimpulan
Kedepan proses komunikasi interpersonal akan menjadi
lebih mudah dan sederhana sebagaimana komunikasi yang
terjadi di dunia maya. Mengingat individu yang sudah terbiasa
“hidup” di dunia maya akan berusaha mengasimilasikan apa
yang dialaminya di dunia maya ke dalam dunia offline. Bentuk
hubungan individu tidak lagi fisik tetapi “interface”, yaitu
hubungan yang diwakili oleh perangkat (teknologi komunikasi).
Bahkan Barnes (2008: 23) menuliskan bahwa media sosial
merupakan media interpersonal. Mengingat media sosial sangat
mendukung terjadinya pertukaran pengalaman personal
diantara individu dengan cara yang unik. Media sosial tidak

792
menghubungkan antara manusia dengan mesin yang akan
menjadikan media menjadi memiliki kekuatan penuh. Sebaliknya
media sosial justru memudahkan hubungan antara individu satu
dengan lainnya dengan menggunakan “mesin” guna
mempercepat membangun jaringan sosial dan membangun
jaringan masyarakat baru.
Maka konsep komunikasi interpersonal yang
mensyaratkan adanya kehadiran secara fisik, saling mengenal,
sampai dengan menjaga jarak dengan orang asing tidak lagi
ada. Faktanya para pengguna internet bisa sangat terbuka
menerima pertemanan dengan orang asing sekalipun dan dapat
menjalin komunikasi secara intens tanpa harus menjaga jarak.
Hal ini sejalan dengan pandangan teori Hyperpersonal
Communication yang dikemukakan oleh Walther (1996). Bahwa
komunikasi hyperpersonal sebagai komunikasi online ternyata
lebih membangkitkan orang untuk bersosialisasi dan lebih intim
dengan orang lain daripada komunikasi tatap muka. Bahkan
kedua belah pihak tersebut melakukan komunikasi hanya karena
adanya kesamaan di antara mereka yang pada akhirnya dapat
menjalin hubungan personal yang lebih dekat dan saling tertarik
sehingga hubungan kedua belah pihak dapat berlangsung
secara intens. Meskipun representasi diri komunikator maupun
komunikan dalam media online tersebut hanya didukung dengan
gambar grafis.

793
Pada akhirnya individu mulai menyadari dan menerima
bahwa dalam proses komunikasi interpersonal tidak harus
kehadiran fisik menjadi prasyarat dalam berkomunikasi tetapi
hanya dengan melihat ruang dan konteks dalam CMC (media
sosial) maka proses komunikasi interpersonal bisa berlangsung
dengan baik.

Daftar Pustaka
Barnes, B., Susan. 2008. Understanding Social Media from The
Ecological Perspective. Dalam Mediated Interpersonal
Communication. Ed. Konijn, A., E., Utz, Sonja, Tanis,
Martin., & Barnes, B. Susan. New York: Routledge.
Denise, Carter. 2005. Living in Virtual Communities: An
Ethnography of Human Relationships in Cyberspace.
Information, Communication, and Society. Juni 2005. Vol.
8 Issue 2. p. 148-167.
December, J. 1997. Notes on Defining Computer-Mediated
Communication. Computer-Mediated Communication
Magazine, 3 (1), http://www.december.com/
Kayla. D. Hales. 2011. You, Me, and IT: Multimedia Relationship
Maintenance in The 21st Century. USA: UMI. Proquest.
Konijn,A. Elly., et.al. 2008. Mediated Interpersonal
Communication. London: Routledge.
Marcello, Mariangela. 2006. Interpersonal Communication,

794
Empathy and Globalization: Does Globalization Bring about
Loss of Identity? INTERNATIONAL JOURNAL OF
LEARNING, VOLUME 13, NUMBER 4.
McQuillen.S., Jefferey. 2003. The Influence of Technology on
The Initiation of InterpersonalRelationship. Spring 2003;
123; 3; Proquest Professional Education.
Miller, G.R., & Steinberg, M. 1975. Between People: A New
Analysis of InterpersonalCommunication. Chicago: Illinois,
Science Research Associates Inc.
Parks,M.R,. & Floyd, K. 1996. Making Friends in Cyberspace.
Journal Communication, 46, 80-97.
Ratih. 2003. Penggunaan Facebook pada Remaja di Surabaya.
UPN Veteran Jawa TimurSurabaya.
Thurlow, C., Lengel, L., Tomic, A. 2004. Computer Mediated
Communication: SocialInteraction and The Internet.
London: Sage
Zapatero, Caceres, MD, Brandle, G., San-Roman, Ruiz. 2013.
Interpersonal Communication in The Web 2.0. The
Relations of Young People with Strangers. Revista Latina
de Comunicacion Social. Financed Research. P. 436-456
APJII. 2014. Survey Pengguna Internet di Indonesia 2014.
Puskakom UI.
www.seoterpadu.com/2015

795
*) Yuli Candrasari, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UPNV Jatim
Surabaya Jl. Raya Rungkut Madya Gunung Anyar Surabaya.
Mahasiswa S3 Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran
Bandung,
Email: yuli_cnd@yahoo.co.id/yulicnd61@gmail.com

796
KORELASI ANTARA TERPAAN MEDIA ONLINE DAN
PERILAKU ENTITAS DALAM MENINDAKLANJUTI
REKOMENDASI HASI PEMERIKSAAN PADA
BPK PERWAKILAN JAWA TIMUR

Henry Mei Zeptian*

Pendahuluan
Penggunaan new media dalam komunikasi di lingkup
pemerintahan masih belum bisa menggeser penggunaaan
media lama atau media konvensional. Salah satunya
perkembangan new media yang tidak dapat dihindari adalah
media online. Keberadaan media online tidak terbatas ruang dan
waktu sehingga penggunanya dapat menggunakan dimanapun
dan kapanpun yang mereka kehendaki. BPK RI merupakan
lembaga tinggi Negara yang dipercaya untuk dapat mewujudkan
good corporate dan good governance. Sesuai dengan undang –
undang nomor 15 tahun 2006 yang mengamanatkan kepada
BPK RI untuk melaksanakan tugas dalam memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara serta
melaksanakan pemantauan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil
Pemeriksaan (TLRHP) yang dilaksanakan entitas.

797
BPK RI saat ini telah memiliki 34 perwakilan yang tersebar
di seluruh provinsi di Indonesia. Sampai saat ini BPK Perwakilan
di setiap provinsi yang mempunyai paling banyak entitas adalah
BPK Perwakilan Jawa Timur dengan jumlah sebanyak 39 entitas
(Sumber: IHPS BPK RI). Entitas kegiatan TLRHP dari BPK
Perwakilan Jawa Timur yang dimaksud adalah seluruh
Pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Daerah ataupun Badan
lainnya yang berada dalam wilayah kerja Provinsi Jawa Timur.
Adapun total entitas yang ada dalam wilayah Provinsi Jawa
Timur sebanyak 39 entitas yang terdiri dari 1 Pemerintah
Provinsi, 9 Pemerintah Kota, dan 29 Pemerintah Kabupaten.
Penggunaan media online berupa e-mail yang dilakukan
pihak BPK perwakilan Jawa Timur merupakan alternatif
komunikasi dengan pihak entitas dalam rangka untuk
peningkatan efektifitas pelaksanaan TLRHP. Berdasarkan
konfirmasi lebih lanjut dengan pihak BPK Perwakilan Jawa
Timur, ditemukan bahwa meskipun sudah diterpa media online
dengan frekuensi yang sering dan durasi yang tinggi, akan tetapi
tanggapan maupun feedback dari entitas beragam, tidak
semuanya aktif memberikan tanggapan maupun umpan balik
dan tetap ada beberapa entitas yang masih pasif dengan
menunggu media konvensional. Akan tetapi berdasarkan data di
lapangan untuk pelaksanaan TLRHP yang belum selesai
mengalami pergerakan fluktuatif antara peningkatan dan

798
penurunan. Jika melihat dari komunikasi yang dilakukan oleh
pihak BPK Perwakilan Jawa Timur dan entitas yang mengalami
peningkatan, seharusnya juga terjadi dalam pelaksanaan
kegiatan TLRHP. Apalagi hal tersebut didukung dengan terpaan
media online dengan frekuensi yang sering dan durasi yang
tinggi sudah dilakukan oleh pihak BPK Perwakilan Jawa Timur.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk
mengetahui hubungan dari dua variabel. Pengumpulan data
yang digunakan melalui kuisioner dan wawancara yang ditujukan
kepada seluruh populasi yang berjumlah 39 responden yang
berasal dari seluruh entitas BPK Perwakilan Jawa Timur.

Efek Komunikasi Massa


Komunikasi massa mempunyai efek atau pengaruh
adalah hal yang tidak terbantahkan lagi, terlebih erat kaitannya
dengan media massa sebagai saluran pesan komunikasi massa
tersebut. Berdasarkan batas pengelompokannya, Keith
R.Stamm dan John E. Bowes membagi efek komunikasi massa
menjadi dua bagian dasar, yakni :
a. Efek Primer
Efek primer terjadi apabila seseorang mengatakan telah terjadi
proses komunikasi terhadap objek yang dilihatnya. Efek ini
meliputi terpaan, dan perhatian.

b. Efek Sekunder
799
Efek sekunder ini secara singkat dan sederhana
merupakan efek lanjut setelah terjadinya efek primer. Pengaruh
tingkat kedua pada komunikasi massa ini akan terbentuk
sebagai konsekuensi setelah komunikan diterpa efek primer
komunikasi. (Nurudin. 2007: 206).
Efek sekunder ini meliputi perubahan tingkat kognitif
(perubahan pengetahuan atau keyakinan), tingkat afektif
(perubahan emosi/perasaan), serta tingkat behavioral
(perubahan perilaku, seperti: menerima, memilih, dan menolak).
Efek kognitif terjadi bila ada perubahan pada apa yang diketahui,
dipahami, atau dipersepsi khalayak. Efek ini berkaitan dengan
transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan atau
informasi. Efek afektif timbul bila ada perubahan pada apa yang
dirasakan, disenangi, atau dibenci khalayak. Efek ini ada
hubungannya dengan emosi, perilaku, atau nilai. Efek behavioral
merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati; yang meliputi
pola-pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan berperilaku
(Rakhmat, 2015: 219).

Terpaan Media Online (Media Exposure)


Menurut rosengren (1974), penggunaan media sendiri
terdiri dari jumlah waktu yang digunakan dalam berbagai media,
jenis isi media, media yang dikonsumsi atau dengan media
secara keseluruhan. Sehingga terpaan media adalah banyaknya

800
informasi yang diperoleh melalui media, yang meliputi frekuensi,
atensi dan durasi penggunaan pada setiap jenis media yang
digunakan. Keseringan melihat media massa akan
mempengaruhi kognisi, afeksi dan perilaku khalayak. (Rakhmat,
2015:23).
Frekuensi penggunaan media mengumpulkan data
khalayak tentang berapa kali seminggu seseorang
menggunakan dalam satu bulan; sedangkan pengukuran
variabel durasi penggunaan media menghitung berapa lama
khalayak bergabung dengan suatu media (berapa jam sehari);
atau berapa lama (menit) khalayak mengikuti suatu program
(audience’s share on program) (Ardianto, 2014: 168).
Shore (1985:26) memberikan definisi sebagai berikut:
media exposure is more complicated than acces because
is ideal not only with her a person is within physical (range
of particular medium) but also whether person is actually
expose to message. Exposure is hearing, seeing, reading
or most generally, experiencing with at least a minimal
amount of interest the media message. The exposure
might occure to an individual or group level. Terpaan
media lebih lengkap daripada akses. Terpaan tidak hanya
menyangkut apakah seseorang secara fisik cukup dekat
dengan kehadiran media akan tetapi apakah seseorang
itu benar-benar terbuka dengan pesan-pesan media
tersebut. Terpaan merupakan kegiatan mendengar,
melihat, membaca pesan-pesan dalam media ataupun
pengalaman dan perhatian terhadap pesan tersebut yang
terjadi pada individu maupun kelompok.

801
Terpaan media akan mempengaruhi perubahan sikap
dan perilaku seseorang. Jadi, apabila seseorang terus menerus
diterpa oleh informasi media yang dipercayainya, hal pertama
yang terjadi adalah bertambahnya pengetahuan dan selanjutnya
ada kemungkinan terjadi perubahan perilaku (Effendy, 2005:10).

Email merupakan bagian dalam Media Baru (New Media)


Perkembangan New Media yang tidak dapat dihindari
adalah media online. Media online adalah gagasan baru dalam
bermedia, namun media baru masih mengikut pada media lama
dan bahkan sering memanfaatkan media lama sebagai tolak
ukur dalam segi isi yang diterapkan di internet (Severin and
Tankard, 2005:458)
Keberadaan media online tidak terbatas ruang dan waktu
sehingga penggunanya dapat menggunakan dimanapun dan
kapanpun yang mereka kehendaki. Akan tetapi perkembangan
media online tentu saja tidak dapat terlepas dari pengaruh
internet.

Key Characteristic differentiating new from old media,


interactivity, social presence (or sociability), Media
richness, Autonomy, Playfullness, Privacy,
Personalization. Perbedaan utama media baru
dibandingkan dengan media lama, diantaranya
interaktivitas, kehadiran sosial, kekayaan media, otonomi,
unsur bermain, privasi dan personalisasi. (McQuail,
2009:157)

802
Electronic mail (emai) atau yang disebut sebagai surat
elektronik mempunyai ciri sebagai berikut

Electronic mail, has the following properties


 The user produces, sends, and usually also receives
mail at a computer screen, a terminal, or a personal
computer.
 The messages sent have a data structure, which can
be handled by a computer. This structure can be more
or less advanced: it can, for example, allow the user to
ask his computer to find the last received letter from
person N about the subject XYZ, or to find the outgoing
message, to which a certain incoming message
replies.
Surat elektronik, memiliki ciri sebagai berikut:
 Pengguna membuat, mengirimkan dan biasanya
menerima pesan elektronik dalan komputer
pribadinya.
 Pesan yang dikirim memiliki struktur data yang diatur
oleh komputer. Pengaturan struktur data tersebut
dapat lebih canggih lagi, misalnya: pengguna ingin
menemukan pesan yan terakhir dikirimakan dari
pengguna N mengenai subject XYZ atau ingin
menemukan pesan yang keluar dan kemana balsan
dari pesan tersebut. (Palme, 2003: 10)

Berdasarkan uraian diatas, dapat dijabarkan lebih lanjut


mengenai kerangka konseptual peneliti mengenai korelasi
antara intensitas penggunaan media online dan peningkatan
respon entitas kegiatan TLRHP, yang digambarkan sebagai
berikut:

803
PERILAKU
TERPAAN ENTITAS DALAM
MEDIA ONLINE MENINDAKLANJ
UTI HASIL
(email)
PEMERIKSAAN

1. FREKUENSI
4. KOGNITIF : PEMAHAMAN
2. DURASI 5. AFEKTIF : KEPUASAN
3. ATENSI 6. BEHAVIORAL : UMPAN BALIK

Gambar 1. Kerangka Konseptual

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu

a) Variabel 1: Variabel Terpaan Media Online (X)


Variabel terpaan media ini diukur dengan menggunakan 3
indikator, diantaranya Frekuensi, Durasi dan Atensi.
b) Variabel 2: Perilaku Entitas dalam menindaklanjuti
Rekomendasi Hasil Pemeriksaan (Y)
Variabel Perilaku Entitas dalam menindaklanjuti Rekomendasi
Hasil Pemeriksaan ini diukur dengan menggunakan 3
indikator, diantaranya Pemahaman, Kepuasan dan Umpan
Balik (feedback).

Korelasi antara terpaan media online dan perilaku entitas


804
Dari output dalam SPSS menunjukkan bahwa hubungan
(korelasi) antara terpaan media online dan perilaku entitas dalam
menindaklanjuti rekomendasi hasil pemeriksaan adalah positif
dengan nilai 0,485 dan nilai sig correlation sebesar 0,002. Jadi
diperoleh hasil sebagai berikut :
 Sig correlation = 0,002 < α = 0,01
 Keputusannya adalah H1 diterima dan H0 ditolak. Jadi hasil
dalam penelitian ini dalam menjawab rumusan masalah yaitu
bahwa terdapat hubungan (korelasi) yang cukup kuat antara
terpaan media online dan perilaku entitas dalam
menindaklanjuti rekomendasi hasil pemeriksaan pada BPK
Perwakilan Jawa Timur.
 Hubungan antara variabel tersebut cukup kuat dan searah.
Dimana jika variabel terpaan media online meningkat maka
akan membuat variabel perilaku entitas dalam menindaklanjuti
rekomendasi hasil pemeriksaan juga akan meningkat, begitu
juga sebaliknya.
Korelasi yang cukup kuat antara kedua variabel tersebut
terjadi sangat beralasan, karena di dalam observasi, peneliti
melihat bahwa penggunaan email dalam kegiatan TLRHP sudah
efektif, tetapi masih belum maksimal. Pernyataan peneliti tersebut
didukung oleh hasil wawancara antara peneliti dengan salah satu
responden yang berasal dari entitas kota batu.
“Penggunaan email dalam kegiatan TLRHP ini, akan lebih
efektif lagi jika dibarengi dengan media lain seperti chat
805
messanger, telephone atau media lain yang akan sangat
membantu terutama untuk mengkonfirmasi penjelasan.”
(wawancara dengan pejabat inspektorat kota Batu tanggal 4
Maret 2016)

Belum maksimalnya komunikasi yang dilakukan


disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah penggunaan
email tidak bisa dilakukan secara sendiri, tapi haruslah ada
beberapa media online yang lainnya seperti chat messanger,
website internal dan media online lainnya yang dapat menunjang
komunikasi yang terjadi dalam pelaksanaan TLRHP di lapangan.
Selain itu juga dikarenakan penggunaan media online di
dalam komunikasi organisasi pemerintahan atau birokrasi
pemerintahan masih belum ada payung hukum maupun dasar
peraturannya sehingga masih beresiko terkait kerahasiaan
maupun keamanan dari data TLRHP ini. Oleh karena itu entitas
tetap menggunakan media konvensional, yaitu surat kedinasan
atau surat formal yang masih ada pengesahan dari masing –
masing pejabat maupun pihak berwenang di dalam suatu
organisasi. Pernyataan peneliti tersebut didukung juga oleh hasil
wawancara antara peneliti dengan salah satu responden yang
berasal dari entitas kabupaten Tuban
“Email memang sangat membantu, tapi selama belum ada
peraturan yang mengatur, dalam birokrasi pemerintahan
yang utama tetaplah haruslah surat kedinasan.”(wawancara
dengan pejabat inspektorat kabupaten Tuban tanggal 20
April 2016)

806
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa bivariate dengan
menggunakan uji pearson’s correlation didapatkan bahwa nilai
koefisien korelasi sebesar 0,485 dengan tingkat signifikansi
0,002. Nilai tersebut menunjukkan bahwa hubungan yang terjadi
diantara kedua variabel tersebut cukup kuat.
Hasil dari uji korelasi tersebut berarti terdapat korelasi
yang positif antara variabel terpaan media online (email) dengan
variabel perilaku entitas dalam menindaklanjuti rekomendasi
hasil pemeriksaan. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi
entitas diterpa media online, maka akan semakin tinggi juga
perilaku entitas dalam menindaklanjuti rekomendasi hasil
pemeriksaan.
Hasil dari penelitian ini merupakan potret keseluruhan dari
pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan BPK
Perwakilan Jawa Timur selama Periode Tahun 2015. Jika
dikaitkan dengan teori, maka penelitian ini sesuai dengan teori
yang dikemukakan oleh Jalaluddin Rakhmat yang menyatakan
bahwa keseringan melihat media massa akan mempengaruhi
kognisi, afeksi dan perilaku khalayak. (Rakhmat, 2015:23) serta
sejalan pula dengan teori yang dikemukakan oleh Effendi
(2005:10) yang menyatakan bahwa terpaan media akan
mempengaruhi perubahan sikap dan perilaku seseorang.

807
Penggunaan email yang dilakukan dalam pelaksanaan
TLRHP sebenarnya sudah berjalan efektif meskipun belum
maksimal. Belum maksimalnya dikarenakan beberapa hal
diantaranya
1) Penggunaan email tidak bisa dilakukan secara sendiri, tapi
haruslah ada beberapa media online yang lainnya seperti
chat messanger, website internal dan media online lainnya
yang dapat menunjang komunikasi yang terjadi dalam
pelaksanaan TLRHP di lapangan.
2) Penggunaan media online di dalam komunikasi organisasi
pemerintahan atau birokrasi pemerintahan perlu ada payung
hukum maupun dasar peraturannya, karena terkait
kerahasiaan maupun keamanan dari data TLRHP ini..

Daftar Pustaka
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 2007.
Peraturan Nomor 01 Tahun 2007 tentang Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara, Jakarta: Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 2010.
Peraturan Nomor 02 Tahun 2010 tentang Pemantauan
Pelaksanaan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil
Pemeriksaan. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia.
808
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 2014. Ikhtisar
Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2014,
Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Baran, J.Stanley & Dennis K. Davis. 2010. Mass Communication
Theory: Foundations, Ferment and Future. California:
Wadsworth Publishing Company.
Berger, Arthur Asa. 2006. Media and Communication Research
Methods. London: Sage Publicatios.
Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Effendy, Onong Uchjana. 2008. Dinamika Komunikasi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Efendy, Onong Uchana. 2005. Ilmu Komunikasi Teori dan
Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya
Hewitt, Paul. 2006. Electronic mail and internal communication:
a three-factor model. Eastleigh, United Kingdom:
Corporate Communications: An International Journal Vol.
11 No. 1, 2006 Emerald Group Publishing Limited.
Horrigan, J.B. 2002. New Internet Users: What They Do Online,
What They Don’t, and Implications for the, Net’s Future.
Pew Internet and American Life Project.
Ida, Rachma. 2014. Metode Penelitian Studi Media dan Kajian
Budaya. Surabaya: Prenada Media.

809
Kriyantono, Rachmat. 2010. Teknik Praktis Riset Komunikasi.
Jakarta: Kakilangit Kencana
Littlejohn, Stephen W. Foss, Karen A. 2009. Teori Komunikasi
Theories of Human Communication. Jakarta: Salemba
Humanika.
McQuail, Denis. 2009. Teori Komunikasi Massa McQuail, Edisi 6
Buku 1. Jakarta: Salemba Humanika
McQuail, Denis. 2009. Teori Komunikasi Massa McQuail, Edisi 6
Buku 2. Jakarta: Salemba Humanika
Moss, Sylvia dan Tubbs, L. Stewart. (2000). Human
Communication: Prinsip –Prinsip Dasar. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Palme, Jacob. 2003. Electronic mail. London: Artech House
Boston.
Pemerintah Republik Indonesia. 2006. Peraturan Nomor 08
Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja
Instansi. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
Rakhmat, Jalaludin. 2015. Psikologi Komunikasi. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Robbins, Stephen P. 2003. Organizational Behavior. Prentice
Hall, New Jersey

810
Sears, David. Jonathan L. Freedman, dan L. Anne Peplau. 1985.
Social Psychology, Fifth Edition (Psikologi Sosial, Edisi
Kelima). Jakarta: Erlangga.
Severin, Werner J dan James W. Tankard. 2005. Teori
Komunikasi. Kencana. Jakarta.
http://www.cnnindonesia.com/politik/20151012135649-32-
84422/jokowi-menteri-harus-tindaklanjuti-hasil-pemeriksaan-
bpk/
http://tribunnews.com/2014/12/24/tindaklanjut-temuan-bpk-
tergantung-pemda
http://denpasar.bpk.go.id/?p=6579
http://bpk.go.id/

*) Pegawai Negeri dan Mahasiswa Magister Media dan


Komunikasi, Universitas Airlangga, penerima beasiswa
Kemkominfo 2014

811
Pembelajaran Fotografi Produk menggunakanVideo
Tutorial

Dr. Ir. Francisca H. Chandra, M.T. (1), Yulius Widi Nugroho,


S.Sn., M.Si.(2)*

Pendahuluan
Pesatnya perkembangan fotografi dewasa ini berdampak
dengan banyaknya lembaga pendidikan yang bisa
menghantarkan untuk mengetahui dunia fotografi jauh lebih
dalam lagi.
Beberapa orang memiliki kelebihan dengan bisa
memotret dengan alamiah atau belajar secara otodidak, namun
ada juga yang mendapatkannya dengan mengikuti kursus atau
sekolah formal. Pada tahun 1980-an apabila ingin memperdalam
ilmu fotografi haruslah keluar negeri. Namun saat ini di dalam
negeripun sekarang sudah menjamur tempat tempat belajar
fotografi khususnya di kota-kota besar di Indonesia. Selain itu
hadirnya internet membuka kesempatan untuk belajar fotografi
secara mandiri.
Belajar merupakan kebutuhan hakiki manusia, dengan
belajar manusia memperoleh peningkatan pengetahuan,
ketrampilan dan kompetensi. Berbagai upaya dilakukan oleh

812
pengajar untuk membantu siswa agar dapat mencapai tujuan
belajar. Salah satu metode pembelajaran yang memanfaatkan
teknologi informasi adalah metode Flipped Classroom. Sesuai
dengan namanya “flip” membalik, dalam metode “Flipped
Classroom” urutan pembelajaran yang biasanya dilakukan
dalam metode tradisionil, maka dalam metode Flipped
Classroom, urutan tersebut “dibalik”. Jika pada pembelajaran
tradisionil urutannaya adalah : pengajar menjelaskan teori, lalu
memberikan latihan soal untuk dikerjakan dirumah, maka pada
metode pembelajaran Flipped Classroom, materi atau teori
harus dipelajari dirumah, sedangkan dikelas siswa mengerjakan
soal atau latihan yang biasanya dikerjakan dirumah. Materi yang
diberikan untuk dipelajari haruslah dalam bentuk media yang
mampu “memaksa” siswa untuk mempelajarinya.
Media belajar diakui sebagai salah satu faktor
keberhasilan belajar. Dengan media, peserta didik dapat
termotivasi, terlibat aktif secara fisik maupun psikis,
memaksimalkan seluruh indera peserta didik dalam belajar, dan
menjadikan kebermaknaan dalam pembelajaran. Alasan-alasan
inilah yang membuat banyak pengembang media yang
mengembangkan media pembelajaran sebagai bentuk upaya
optimalisasi potensi dan proses pembelajaran hingga mencapai
target yang diharapkan.

813
Multimedia adalah kombinasi antara teks, grafik, audio,
gambar gerak (animasi dan video) yang dapat membuat daya
tarik pengguna. Dengan kelebihan inilah, menjadikan multimedia
digunakan dalam proses pembelajaran. Melalui multimedia,
pengguna/peserta didik tidak sekedar melibatkan kemampuan
inderawi yang ada serta memiliki kekuatan daya tarik semata,
namun juga dapat memberikan stimulan yang baik dalam
merespon pengetahuan yang diajarkan secara komprehensip.
Sistem multimedia terdiri dari kombinasi media tradisional
yang dihubungkan dengan komputer untuk menyajikan teks,
grafis, gambar, suara, dan video. Multimedia melibatkan lebih
dari sekedar pengintegrasian bentuk-bentuk tersebut ke dalam
suatu program terstruktur, yang terdiri dari unsur-unsur saling
melengkapi satu dengan yang lain.
Media pembelajaran adalah komponen integral dari
sistem pembelajaran. Adapunmanfaat media pembelajaran
adalah memperlancar interaksi antara guru dengansiswa,selain
itu ada beberapa keuntungan menggunakan media dalam
prosespembelajaran sebagai berikut (a)Penyampaian materi
pembelajaran dapatdiseragamkan,(b)Proses pembelajaran
menjadi lebih interaktif,(c)Efisiensi dalam waktudan tenaga, (d)
Meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.
Sedangkan menurutHeinich, Molenda, Russel (2005) ada
beberapa “keuntungan penggunaan media dalam pembelajaran”

814
sebagai berikut (a)Membangkitakan ide-ide atau gagasan-
gagasan yang bersifat konseptual, sehingga mengurang
kesalahpahaman siswa dalam mempelajarinya,
(b)Meningkatkan minat siswa untuk materi pelajaran,
(c)Memberikan pengalaman pengalaman nyata yang
merangsang aktivitas diri sendiri untuk belajar, (d) Dapat
mengembangkan jalan pikiran yang berkelanjutan, e)
Menyediakan pengalaman pengalamanyang tidak mudah
didapat melalui materi-materi yang lain dan menjadikan proses
belajar mendalam dan beragam.
Keunggulan video adalah dapat menyajikan informasi,
mengambarkan suatu proses dan tepat mengajarkan
keterampilan, menyingkat dan mengembangkan waktu serta
dapat mempengaruhi sikap dan dapat di ulang. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa media pembelajaran dapat meningkatkan
minat siswa dalam belajar, focus terhadap materi, dapat lebih
membuka pikiran, lebih aktif dengan tanggapan dan pertanyaan
(lebih kritis), sehingga suasana kelas lebih menyenangkan dan
meningkatkan kualitas hasil belajar (J.E Kemp 1985).

Media Video
Sebuah media pembelajaran pasti mempunyai kelebihan
dan kekurangan masing-masing, begitu juga dengan media
video. Dalam penayangannya video tidak dapat berdiri sendiri,

815
media video ini membutuhkan alat pendukung seperti monitor
atau LCD untuk memproyeksikan gambar maupun speaker aktif
untuk menampilkan suara agar terdengar jelas. Sebagai media
pembelajaran, video mempunyai kelebihan dan keterbatasan.
Kelebihan dan Kelemahan Video menurut Ronald Anderson
(1987: 105) media video memiliki kelebihan, antara lain :
a. Dengan menggunakan video (disertai suara atau tidak), kita
dapat menunjukkan kembali gerakan tertentu.
b. Dengan menggunakan efek tertentu dapat diperkokoh baik
proses belajar maupun nilai hiburan dari penyajian itu.
c. Dengan video, informasi dapat disajikan secara serentak
pada waktu yang sama di lokasi (kelas) yang berbeda dan
dengan jumlah penonton atau peserta yang tak terbatas
dengan jalan menempatkan monitor di setiap kelas.
d. Dengan video siswa dapat belajar secara mandiri.

Sedangkan keterbatasan penggunaan media video, antara


lain :
a. Biaya produksi video sangat tinggi dan hanya sedikit orang
yang mampu mengerjakannya.
b. Layar monitor yang kecil akan membatasi jumlah penonton,
kecuali jaringan monitor dan sistem proyeksi video
diperbanyak.

816
c. Ketika akan digunakan, peralatan video harus sudah
tersedia di tempa penggunaan.
d. Sifat komunikasinya bersifat satu arah dan harus diimbangi
dengan pencarian bentuk umpan balik yang lain.
Sifat komunikasi dalam penggunaan media video hanya
bersifat satu arah, siswa hanya memperhatikan media video, hal
inilah yang perlu diperhatikan oleh guru. Karena video bersifat
dapat diulang-ulang maupun diberhentikan, maka pengajar bisa
mengajak berkomunikasi dengan siswa tentang isi/pesan dari
video yang dilihat, maupun tanya jawab tentang video yang
disimak. Jadi komunikasi tersebut tidak hanya satu arah.
Manfaat media video menurut Andi Prastowo (2012 : 302),
antara lain :
a. Memberikan pengalaman yang tak terduga kepada peserta
didik,
b. Memperlihatkan secara nyata sesuatu yang pada awalnya
tidak mungkin bisa dilihat, menganalisis perubahan dalam
periode waktu tertentu,
c. Memberikan pengalaman kepada peserta didik untuk
merasakan suatu keadaan tertentu, dan
d. Menampilkan presentasi studi kasus tentang kehidupan
sebenarnya yang dapat memicu diskusi peserta didik.
Ada 2 macam video sebagai pembelajaran. Pertama,
video yang sengajadibuat atau didesain untuk pembelajaran.

817
Video ini dapat menggantikan pengajar dalam mengajar. Video
ini bersifat interaktif terhadap siswa. Hal inilah yangmenjadikan
video ini bisa menggantikan peran guru dalam mengajar.
Videosemacam ini bisa disebut sebagai “video pembelajaran”.
Pengajar yangmenggunakan media video pembelajaran
semacam ini dapat menghematenergi untuk menjelaskan suatu
materi kepada siswa secara lisan. Peran pengajar ketika memilih
menggunakan media pembelajaran ini hanyalah
mendampingisiswa, dan lebih bisa berperan sebagai fasilitator.
Selain dilengkapi denganmateri, video pembelajaran juga
dilengkapi dengan soal evaluasi, kuncijawaban, dan lain
sebagainya sesuai dengan kreatifitas yang membuatnya.
Biasanya satu video berisi satu pokok bahasan.
Kedua, video yang tidak didesain untuk pembelajaran,
namun dapatdigunakan atau dimanfaatkan untuk menjelaskan
sesuatu hal yang berkaitandengan pembelajaran. Contohnya
adalah video dokumenter tentang pemotretan alam liar.Dengan
video pemotretan alam liar tersebut dapat ditampilkan, selain
menarik perhatian siswa, dapatmenjadikan siswa melihat proses
dan kondisi sebenarnya secara lebih detail dan
konkretdibandingkan hanya menggunakan media gambar saja.
Penggunaan video inijuga dapat mengaktifkan daya kreatifitas
siswa, menimbulkan pertanyaan-pertanyaankritis siswa serta
menjadikan pembelajaran lebih bermakna bagisiswa. Hanya

818
saja media video seperti ini membutuhkan penjelasan
danpengarahan lebih lanjut dari pengajar, karena video ini bukan
video yanginteraktif. Oleh karena itu penggunaan media video ini
memerlukanketerampilan pengajar, agar dapat tercapai dengan
baik.

Video Tutorial
Video yang dibuat sebagai pembelajaran sering juga
disebut video tutorial. Video tutorial adalah rangkaian gambar
hidup yang ditayangkan oleh seorang pengajar yang berisi
pesan-pesan pembelajaran untuk membantu pemahaman
terhadap suatu materi pembelajaran sebagai bimbingan atau
bahan pengajaran tambahan kepada sekelompok kecil peserta
didik (Aria Pramudito: 2013).
Video merupakan rekaman peristiwa yang biasanya tanpa
alur cerita yang tersusun rapi. Pada jaman sekarang, video
adalah sebutan untuk content yang ditampilkan menggunakan
suatu device atau software. Durasi yang terdapat pada video,
biasanya cenderung lebih pendek apabila dibandingkan dengan
film yang mempunyai durasi lebih panjang. Meskipun hanya
berupa video yang cenderung memiliki durasi yang pendek,
masyarakat lebih memahami video tutorial yang merupakan
format terbaru dan yang paling efektif.

819
Materi Pembelajaran
Video pembelajaran ini sangat singkat dan direncanakan
dibuat berseri dengan durasi rata-rata 1 hingga 2 menit,
mengingat media video membutuhkan space lebih besar
sehingga terlalu berat untuk diunggah atau diunduh. Materi yang
disampaikan adalah tentang pemotretan benda atau produk.
Pada video pertama ditampilkan pengenalan material subjek
benda, yaitu membedakan karakter benda berkilau dan yang
tidak berkilau. Tujuannya agar pelaksanaan pemotretan berjalan
lancar dan baik.
Ketika memotret benda berbahan kaca (benda berkilau),
tidak harus memperhatikan di mana cahaya berasal. Dalam
penataan cahaya, akan terlihat sumber cahaya tercermin dalam
permukaan subjek. Ini tidak bagus dan harus dihindari. Juga,
pastikan kamera dan fotografer tidak tercermin dalam tembakan.
(Robert Morrissey :2007)
Selain itu juga dibahas tentang karakter subjek foto yang
tidak berkilau, yaitu dengan memahami bayangan yang jatuh di
sekitarnya dan di detail subjek foto. Fotografer harus jeli
menangkap bayangan tersebut, jika memang bayang yang
ditangkap ciptakan bayangan dengan lighting yang ada. Jika
tidak mengiginkan bayangan pilihlah lampu yang siatnya lembut
untuk meminimalkan bayangan yang terbentuk.

820
Dengan memahami karakter subjek foto diharapkan
fotografer akan sadar bahwa foto yang dihasilkan akan lebih baik
dan dapat maksimal dalam menampilkan kelebihan subjek foto
(produk yang difoto).

Produksi Video
Untuk pembuatan video pembelajaran ini menggunakan
cara pembuatan video secara umum yaitu diawali dengan
perancangan konsep visual atau sering disebut storyboard.
Dalam pembuatan gambar bergerak (video) selalu dibutuhkan
storyboard sebagai acuan bagaimana tampilan visual atau sudut
pengambilan video dilakukan beserta jalannya alur cerita atau
materi yang akan disampaikan.Berikut langkah-langkah
pembuatan video tutorial dijelaskan pada Gambar 1.1

Storyboard

Mempersiapkan Objek dan Cahaya

Shooting

Editing

821
Gambar 1.1 Skema proses pembuatan

1. Storyboard
Langkah awal pembuatan video pembelajaran ini adalah
pembuatan storyboard, hal ini untuk memudahkan memudahkan
dalam menentukan camera angle (sudut pengambilan pada
kamera). Kemudian melakukan persiapan menata objek dan tata
pencahayaan sebelum shooting yang sebenarnya, agar
pelaksanaannya tidak terlalu banyak mengulang karena
kesalahan.

Scene 1: Diawali tampilan dua macam benda dengan


karakter yang berbeda.

822
Scene 2: Objek boneka dikeluarkan sementara, kemudian
menjelaskan objek gelas dan pantulan cahaya pada gelas.

Scene 3: Dicoba dari beberapa sudut cahaya hingga


menghasilkan pantulan yang berbeda.

Scene 4: Objek boneka dimasukkan kembali, kemudian


objek gelas dikeluarkan.
823
Scene 5: Menjelaskan bayangan disekitar benda dan detail
benda.

Scene 6: Dicoba dari beberapa sudut cahaya hingga


menghasilkan pantulan yang berbeda. Kemudian selesai.

2. Persiapan Objek dan Cahaya


Langkah berikutnuya mempersiapkan objek yang akan
diambil, yaitu dua objek yang berkarakter mengkilap dan tidak
mengkilap. Pada video ini dipersiapkan objek gelas dan boneka
puzle. Tidak lupa terlebih dulu mempersiapkan background
warna putih, menggunakan kertas putih lebar hingga memenuhi
frame video. Lighting atau cahaya yang digunakan adalah
824
cahaya continuous light, dari lampu spot dua arah (kanan dan
kiri) dan satu lampu ruangan (dari atas)
3. Shooting (Pengambilan gambar video)
Pengambilan gambar dilakukan sekaligus pengambilan
suara. Sebenarnya lebih bagus dilakukan secara terpisah untuk
agar suara lebih jernih dan terkontrol. Menggunakan tripod agar
kamera tidak bergerak, karena dari awal diset tidak ada
pengambilan angle dengan kamera bergerak. Pada video kali ini
dilakukan 3 shoot mengingat materi pembelajarannya sedikit.
4. Editing
Langkah terakhir adalah edit 3 video mentah tadi
digabungkan menjadi satu dan disesuaikan ukuran penyajian
akhirnya. Kemudian juga ditambah scene pembukaan (title) dan
penutup pada akhir video. Editing menggunakan editing video
software.
Hasil pembelajaran dengan menggunakan metode Flipped
Classroom untuk mata kuliah Fotografi Produk menunjukkan
peningkatan hasil belajar dan mahasiswa menyukai adanya
video tutorial karena mereka dapat menayangkannya kannya
berulang-ulang. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian
sebelumnya (Djajalaksana, 2013, Lioe et al, 2013, Yelamarthi,
2015, Maher,2014) yang menunjukkan peningkatan hasil belajar
dari implementasi Flipped Classroom. Namun ternyata tidak
semua mahasiswa mau menonton materi tersebut sebelum

825
perkuliahan, atau kalaupun mereka menontonnya mereka hanya
melakukannya sambil lalu. Saat ini untuk membuat video
pembelajaran yang sederhana tidak terlalu sulit, tidak
memerlukan perangkat khusus, namun tentunya hasil yang
diperoleh adalah tidka memadai baik dari segi kualitas gambar
maupun penyajian. Tentunya ini merupakan tantangan tersendiri
bagi pengajar. Selain itu pada Flipped Classroom video tidak
dapat berdiri sendiri. Agar tujuan pembelajaran yang optimal
dapat tercapai selain memanfaatkan teknologi maka metode dan
strategi pembelajaran lainnya sangatlah perlu. Pengajar harus
mempu mengintegrasikan pemakaian media dan strategi seperti
misalnya belajar berkelompok, belajar berpasangan, peer
coaching, yang semuanya yang menunjang active learning.
Selanjutnya tentunya dengan memberikan kepada mahasiswa
video tutorial dengan penyajian dan content yang berkualitas.
Dengan media video peserta didik dapat berdiskusi atau minta
penjelasan kepada teman sekelasnya, lebih berkonsentrasi, dan
lebih terfokus dan lebih kompeten. Selain itu peserta didik
menjadi aktif dan termotivasi untuk mempraktekan latihan-
latihan karena contoh dari media video sangat jelas
menggunakan audio visual yang sangat mudah ditangkap dan
menarik.

826
Daftar Pustaka
Andi Prastowo. (2012). Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar
Inovatif.Yogyakarta: Diva PressMhd.
Aria Pramudito, (2013). Pengembangan Media Pembelajaran
Video Tutorial pada Mata Pelajaran Kompetensi Kejuruan
Standar Kompetensi Melakukan Pekerjaan dengan Mesin
Bubut di SMK Muhammadiyah 1 Playen, Jurnal
Pendidikan Teknik Mesin, Universitas Negeri Yogyakarta
Djajalaksana, Y, dan Adelia, (2013). Studi Eksploratori atas
Penerapan Konsep “Flipped Classroom untuk matakuliah
Statistika dan Probalistika di Program Studi Sistem
Informasi
Kemp, J. E. & Dayton, D. K. (1985). Planning and producing
instructional media. New York: Harper and Row Publisher
Lailan Arqam. (2010). Pengembangan Multimedia Pembelajaran
Pada Mata Pelajaran Kemuhammadiyahan Bagi Siswa
Kelas I Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.
Tesis UNS
Lioe, L.T., Teo, C.W., C.L, and Lee, S. (2013) Asseing the
effectiveness of Flipped Classroom Pedagogy in
promoting students learning experience. Human Computr
Interaction – Nanyang Girl’s High School Education
Seminar

827
Robert Morrissey, (2007), Mastering Light Guide for Commercial
Photographer, Amherst Media, Inc.
Maher, M. L., Lipford H., and Singh V. (2014). Flipped Classroom
Strategies Using Online Videos.
http://cei.uncc.edu/sites/default/files/CEI%20Tech%20Re
port%203.pdf diakses tanggal 9 September 2015
Maher, M. L., Latulipe C., Lipford H., & Rorrer A. (2015). Flipped
Classroom Strategies for CS Education. SIG CSE 115
Proceeding of the 46th ACM Technical Sympsosum on
Computer Science Education. pages 218-223.
Smaldino S. E., Russel J. D., Heinich R., and Molenda M. (2005).
Instructional Technology and Media for Learning .Eight
Edition. Pearson Merrill Prentice Hall.
Yelamarthi, Kumar. (2015). A Flipped First-Year Digital Circuits
Course for Engineering and Technology Students. IEEE
Transactions on Education, Vol. 58, No. 3 August 2015.

*) Dr. Ir. Francisca H. Chandra, M.T. (1), Yulius Widi Nugroho,


S.Sn., M.Si.
Sekolah Tinggi Teknik Surabaya
e-mail: : fhc@stts.edu(1), yulius@stts.edu(2)

828
BUDAYA MEDIA DAN PARTISIPASI ANAK DI ERA DIGITAL

Salman Hasibuan*

Pendahuluan
Pengaruh globalisasi membawa penyebaran teknologi,
ekonomi, pertukaran politik dan budaya ke penjuru dunia tanpa
dibatasi oleh wilayah. Media dan teknologi komunikasi dalam hal
ini memainkan peranan penting dalam “memediasi” proses
tersebut sehingga keberadaannya telah menjadi poros utama
globalisasi media (Littlejohn and Foss, 2009). Sesuai dengan
premis Marshall McLuhan (1994) yakni global village, dimana
batas-batas antar negara telah hilang dan dunia luas telah
menyusut menjadi sebuah kampung global dengan adanya
teknologi digital.
Pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik- termasuk Indonesia,
sejak pertengahan tahun 1970-an telah merubah kehidupan
masyarakat. Pada awal tahun 1980-an kondisi ekonomi
masyarakat turut membaik, sehingga mulai muncul istilah orang
kaya baru (OKB). Termasuk juga golongan lapisan ekonomi
menengah mendapat keuntungan dari kondisi lonjakan ekonomi
tersebut, sehingga sebagian sudah mulai keluar rumah menuju
McDonald untuk makan, membeli telepon selular, televisi,

829
peralatan elektronik dan beragam pilihan gaya hidup lain (Antlöv,
1999).
Konsekuensi dari produk-produk tersebut yakni
melahirkan budaya media (global media). Budaya media muncul
dalam kehidupan sehari-hari, membentuk pandangan dunia
(world view), politik dan perilaku dalam kehidupan sosial
masyarakat dan menyediakan material-material yang dapat
digunakan oleh masyarakat (termasuk anak) untuk membangun
identitas diri sebagai bagian dari masyarakat tekno-kapitalis
(Kellner, 1995).
Anak-anak yang lahir setelah era tahun 1980-an
merupakan generasi yang hidup dimana teknologi informasi dan
beragam aplikasi sosial dimulai secara daring (online). Palfrey
dan Gasser (2008) menyebut mereka sebagai pribumi digital
(digital native) dan Tapscott (2009) memberi julukan sebagai
generasi internet (net generation). Media dan teknologi
komunikasi memiliki andil sangat besar membawa beragam
produk budaya, teknologi, sosial, politik dari seluruh dunia
(globalisasi) ke dalam kehidupan masyarakat, memasuki
pelosok-pelosok daerah di penjuru negeri, bahkan menerobos
ruang-ruang keluarga dan membawa konsekuensi bagi
kehidupan individu di masyarakat.
Budaya media telah membawa dampak terhadap cara
individu berpikir dan bertindak. Begitu juga dengan kehidupan

830
anak-anak, kehidupan sehari-hari mereka telah dirembesi oleh
budaya media melalui produk-produk yang digunakan, makanan
dan minuman yang dikonsumsi, program televisi yang ditonton
dan perangkat digital yang dimainkan.
Anak-anak kini lebih banyak menghabiskan waktu
bermain games online, berinteraksi dengan media gadget,
seperti telepon selular, laptop dan video games. Aktivitas yang
bersentuhan dengan teknologi lebih mewarnai kehidupan anak,
daripada berinteraksi dengan teman sebaya di lingkungan
rumah, bermain sepak bola, bersepeda dan aktivitas bermain
sejenisnya.
Budaya media kini sudah mendominasi setiap kehidupan
anak-anak, maka banyak pihak yang berargumen bahwa media
dapat elektronik dapat berpengaruh negatif terhadap mental dan
kesehatan anak, memicu obesitas dan menimbulkan prilaku
konsumtif (Bar-on, 2000; Blass, et.al, 2006; Kappos, 2007;
Cristea, et.al, 2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap
sebanyak 589 anak usia 9 sampai 15 tahun di Jakarta,
ditemukan lebih dari setengah anak-anak mengatakan bahwa di
dalam kamar mereka tersedia telepon seluler (81%), televisi
(70%), video game (53%), buku (73%) dan majalah (55%). Hal
yang menarik dari penelitian tersebut yakni persentase tertinggi
ketersediaan media di tempat tidur bukanlah televisi, melainkan

831
telepon seluler. Bahkan telepon seluler tersebut merupakan milik
pribadi anak (Hendriyani, Hollandr, d'Haenens, Beentjes, 2012).
Nuansa modernisasi telah merubah kebiasaan individu-
individu dari cara yang tradisional menjadi sebuah kehidupan
yang lebih kompleks dengan ragam kemajuan teknologi dan
tentunya perubahan gaya hidup yang begitu cepat.
Abu Bakar dkk (1984) mencatat bahwa setidaknya
terdapat sebanyak dua puluh dua jenis permainan tradisional
anak-anak di Sumatera Utara yang kerap dimainkan anak di luar
rumah. Namun konteks interaksi anak-anak tersebut kini
berubah seiring perubahan budaya media di lingkungan
masyarakat. Perubahan yang terjadi pun tampak radikal,
sehingga waktu serta ruang aktivitas bermain anak di luar rumah,
sudah bergeser dari permainan bola kaki di lapangan rumput
hijau, kini berubah konteks menjadi permainan bola kaki di
ruangan berpenyejuk udara. Sebuah kontek budaya bermain
yang berubah dari tradisional menuju digital dan virtual (Prensky,
2005).
Dinamika sosial ekonomi masyarakat yang berubah, juga
memberi dampak besar bagi perubahan landskap media dan hal
itu terjadi disebabkan evolusi dalam kemutakhiran teknologi
media (digital media). Kemutakhiran media memberi peluang
bagi masyarakat agar memanfaatkan kemajuan teknologi
tersebut untuk memperlancar dan mempermudah aktivitas

832
manusia. Tidak hanya itu,evolusi di bidang teknologi media juga
memunculkan beragam bentuk keterlibatan masyarakat dalam
menggunakan media, khusunya akses terhadap internet.
Kini, waktu yang dihabiskan anak-anak dengan media
setiap harinya lebih banyak. Waktu yang dihabiskan untuk
menonton televisi rata-rata 3 jam di hari sekolah dan 7.4 jam
pada hari libur, waktu bermain permainan elektronik 3.8 jam dan
waktu dihabiskan untuk bermain internet rata-rata 2.1 jam. Data
dari Nielsen Media menunjukkan bahwa satu dari setiap empat
penonton televisi di Indonesia adalah anak, dan waktu yang
dihabiskan anak-anak menonton televisi rata-rata tiga jam per
hari (Hendriyani, et.al, 2011; 2012).
Dimensi politik, budaya, ekonomi dan perubahan
teknologi telah merubah landskap media. Beragam haluan
memberi sorotan tajam terhadap perubahan landskap media
yang menyelimuti kehidupan anak-anak, termasuk pandangan
skeptis yang memandang budaya media secara total dikontrol
oleh korporasi berdarah kapitalis, sehingga anak-anak berada
pada posisi apatis yang hanya bisa menerima cara hidup yang
pilihan-pilihannya sudah mereka tentukan.

Paradoksal Konsumen dan Partisipan Aktif


Pengaruh budaya media terhadap bentuk partisipasi anak
di lingkungan bermedia seperti dijelaskan di awal, kini

833
tampaknya menjadi sebuah kondisi paradoks. Media pada satu
sisi membawa kekuatan global ke dalam kehidupan anak.
Kepentingan ekonomi korporasi kapitalis melalui media telah
membidik anak-anak sebagai target konsumen (Poyntz, 2010),
sehingga anak-anak digiring untuk menikmati produk-produk
teknologi yang sudah ditentukan bentuk dan jenisnya oleh
korporasi besar dan semua itu telah merubah cara anak-anak
bersosialisai di lingkungan masyarakat.
Pada sisi lain, media justru menyediakan sumber-sumber
yang kaya informasi dan sangat potensial dan semua itu dapat
bermanfaat sebagai modal untuk memperoleh pengetahuan,
membentuk identitas, meningkatkan keterampilan dan potensi
diri anak di tengah kompleksitas lingkungan bermedia
masyarakat.
Tidak dipungkiri pada kenyataanya, bahwa media dan
korporasi kapitalis memiliki hubungan yang harmonis, bekerja
sama dengan baik dalam membentuk atau menghasilkan pikiran
dan perilaku serta berhasil membujuk individu untuk bisa
beradaptasi dengan nilai, kepercayaan korporasi (Kellner, 1995).
Buku berjudul "The Corporation", yang ditulis oleh
seorang profesor hukum dari University of British Columbia yakni
Joe Bakan. Bakan mengajukan sebuah premis bahwa korporsi
sebagai sebuah institusi yang memiliki mandat secara legal yang
didefenisikan sebagai usaha untuk mendapatkan, tanpa henti,

834
dan tanpa kecuali, untuk memperoleh keuntungan tanpa
mempedulikan apakah upayanya tersebut berdampak
merugikan kepada pihak-pihak lain. Bakan juga menyebut
korporasi sebagai institusi yang memiliki kekuatan untuk
melemahkan (wields) orang lain dan masyarakat (Bakan, 2004).
Bakan menuliskan bahwa ternyata perusahan telah jauh
berpikir dan meneliti, mengamati dan menghitung dampak
rengekan anak-anak, dan menemukan bahwa 20 hingga 40
persen pembelian tidak akan terjadi jika anak-anak tidak
merengek pada orang tuanya. Pengaruh anak-anak juga meluas
hingga ke produk-produk yang tidak diperuntukkan bagi anak-
anak, bahkan ke barang-barang canggih untuk orang dewasa,
seperti mobil, sehingga banyak atribut mobil yang benar-benar
menarik bagi anak-anak. Menjadikan anak-anak sebagai
konsumen masa depan, bahkan perusahaan menyebut bukan
sebagai anak-anak, melainkan sebagai konsumen yang sedang
berkembang, sehingga menjadi sasaran empuk bagi pemasaran
perusahaan melalui salah satunya yakni televisi (Bakan, 2004:
129-130).
Premis yang dikemukakan Bakan (2004) menjadi
gambaran bahwa korporasi global sangat ambisius untuk
mengeksploitasi peluang, salah satunya melalui pemanfaatan
modernisasi di bidang teknologi dan media untuk menjadikan
anak sebagai sasaran konsumen produk-produk perusahan.

835
Seperti pandangan Chomsky (2002) bahwa modernisasi media
dan globalisasi telah membawa kekuatan besar ke penjuru
dunia. Maka konsumerisme seperti yang telah dipropagandakan
oleh perusahaan global menjadi kian tumbuh subur melalui
kejayaan era teknologi informasi saat ini.
Alasan utama terkait intensitas pemasaran yang
menjadikan anak sebagai target utama yakni: 1) peningkatan
yang luar biasa dalam jumlah ketersediaan saluran (channel)
televisi dan teknologi interaktif digital, yang membuka celah-
celah baru untuk menciptakan ruang pertumbuhan media untuk
anak dan produk-produk lainnya, 2) kemudahan bagi anak untuk
mendapatkan income serta kekuatan mereka untuk
mempengaruhi orang tua untuk membelikan sesuatu, 3) anak-
anak merupakan potensi besar untuk menjadi konsumen masa
depan perusahaan (Calvert, 2008; Buckingham, 2009; Nicholls
& Cullen, 2004; Šramováa, 2015).
Dalam pandangan Strukturasi Giddens (Rose, 1991)
mengenai struktur (media dan korporasi) dan agensi (anak).
Struktur dalam menjalankan kegiatannya memiliki dualitas fungsi
yakni power untuk memaksakan kepentingan (constraining)
kepada agensi dan di satu sisi memberdayakan (enabling)
agensi. Struktur dan agensi saling berhubungan dan saling
tergantung, struktur membutuhkan agensi dan agensi
membutuhkan struktur (Buckingham and Sefton-green, 2003).

836
Media pada suatu titik memiliki kekuatan dan peluang
memanfaatkan kekuatannya untuk membujuk, mendesak
bahkan memaksa anak untuk membeli dan menggunakan
produk-produk korporasi. Pada titik lain, anak juga memiliki daya
untuk menjadikan produk media sebagai sumber kekuatan untuk
memberdayakan diri, membentuk identitas dan menemukan
bentuk partisipasi di tengah kompleksitas kehidupan sosial-
budaya multimedia.
Memanfaatkan sumber-sumber yang disediakan media,
dengan cara itu anak-anak dapat mentransformasi televisi, film,
komputer, games dan teknologi media lainnya untuk
dimanfaatkan sebagai instrumen yang memberi nilai positif bagi
kehidupan anak di masa depan. Partisipasi penuh di dalam
lingkungan budaya media, memberikan anak-anak peluang
besar untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan
sebagai modal sosial.
Era digitalisasi saat ini, memunculkan konvergensi media
yang memungkinkan anak-anak menjadi partisipan aktif. Bentuk
partisipasi pun lebih terbuka (open-ended), konsumen lebih
memiliki kontrol atas penggunaan media yang diinginkan, serta
kontrol media menjadi berkurang dan masa kini produser media
harus mengakomodir keinginan konsumen untuk bisa
berpartisipasi dalam ragam penggunaan media atau mereka
akan ditinggalkan konsumen (Jenkins, 2006)

837
Uses and Gratification: Penjajakan Motif Anak Bermedia
Berbeda orang tentu berbeda pula pilihan permainannya
dan berbeda juga alasan mereka bermain. Permainan yang
sama, akan memiliki perbedaan makna dan hasil bagi masing-
masing anak. Berbeda motivasi bermain game online, menonton
televisi, memainkan gadget, maka akan berbeda pula kepuasan
yang didapatkan dari permainan tersebut, itu merupakan
pemahaman sederhana dari uses and gratification.
Poin utama teori yang dikembangkan Elihu Katz, Jay G.
Blumler dan Michael Gurevitch yakni untuk menjelaskan
bagaimana orang menggunakan media untuk memuaskan
kebutuhan mereka, memahami motif tindakan bermedia,
mengidentifikasi fungsi serta konsekuensi yang menyertai dari
kebutuhan, motif dan tindakan tersebut (Guosong, 2009). Ketika
industri media menyediakan beragam platform dan konten media
dan untuk mengetahui apakah penggunaan media berbahaya
atau justru bermanfaat, maka uses and gratification bisa
dipergunakan untuk menjajaki motif, manfaat dan kebutuhan
anak terhadap penggunaan media tersebut.
Teori uses and gratification digunakan untuk menjelaskan
mengapa masyarakat secara aktif mencari konten televisi
tertentu. Setidaknya bisa dilihat tiga aspek penggunaan teori
uses and gratification: 1) untuk menjelaskan bagaimana individu

838
menggunakan media, teknologi untuk memuaskan
kebutuhannya, 2) mengungkap motif yang mendasari individu
menggunakan media, 3) mengidentifikasi konsekuensi positif
dan negatif dari penggunaan media. Keputusan untuk
menggunakan teknologi media termotivasi oleh tujuan dan
kebutuhan dimana penggunaannya berdasarkan keinginan
pribadi. Berbeda individu cenderung menampilkan jenis
penggunaan yang berbeda, dalam situasi komunikasi yang
berbeda dan pada waktu yang berbeda dimana proses
komunikasi terjadi (Ruggiero, 2000; Levy dan Windahl, 1984).
Seperti halnya menonton televisi, penggunaan media
tersebut menggambarkan keterlibatan aktif anak menonton
siaran program televisi. Anak-anak tertarik secara emosional,
mereka memperbincangkan tontonan dalam percakapan dengan
teman, merasa terhubung dengan segala yang terjadi di
berbagai dunia merupakan bagian dari bentuk khalayak aktif.
Mendiskusikan konten televisi dengan teman, yang menurut
Livingstone (2002) sebagai sebuah pemenuhan identitas diri dan
legitimasi terhadap nilai-nilai yang diperoleh di dalam diri
individu.
Schiller (1989), melalui tulisan di dalam buku Culture Inc:
the Corporate Takeover of Public Expression memiliki
pandangan optimis tentang khalayak aktif dan memberi
himbauan pada paradigma khalayak aktif ini, bahwa penekanan

839
utama yang perlu dilihat dari khalayak aktif yakni pada bentuk
perlawanan (resistance), subversi (subversion), dan
pemberdayaan (empowerment) dari penonton atau khalayak
(dalam Antoni, 2004).
Pada poin empowerment dapat dilakukan dengan
berusaha mengidentifikasi apa yang telah diketahui oleh anak-
anak mengenai teknologi media yang telah mereka gunakan.
Upaya ini merupakan prasyarat untuk mempromosikan literasi
media kepada anak. Terdapat tiga faktor yang menurut
Buckingham dkk (2005) bagian dari dukungan bagi anak untuk
mengembangkan tingkat kompetensi mereka dalam menangani
media yakni: 1) tingkat keseluruhan perkembangan kognitif,
emosional dan sosial, 2) pengalaman mereka tentang dunia
secara umum, 3) dan pengalaman khusus mereka dengan
media.
Literasi media bukan hanya termasuk cara untuk
memahami, menginterpretasi dan mengkritisi media, tetapi lebih
jauh dimaknai untuk pemupukan kreatifitas dan ekspresi dalam
interaksi sosial. Ketika anak-anak berhadapan dengan beragam
bentuk teknologi digital terbaru, lalu hal itu diperbicangkan dalam
berinteraksi dengan teman sebaya, orang dewasa, dan aktivitas
tersebut di bawah pengawasan orang tua, maka tindakan
tersebut merupakan bentuk pengembangan kemampuan literasi
media anak.

840
Partisipasi anak bermedia merupakan hasil bentukan dari
budaya sosial masyarakat yang berkembang saat ini. Untuk itu
masyarakat juga harus bertanggung jawab untuk memberi
pendampingan (budaya partisipasi) terhadap anak-anak dengan
mengembangkan kompetensi dan keterampilan yang mereka
butuhkan untuk terlibat dalam landskap media yang kini telah
berubah.
Budaya partisipasi yang digerakkan oleh lingkungan
masyarakat bermedia dapat merubah pemaknaan baru terhadap
literasi media dari bentuk pemenuhan kreatifitas diri (self
expression) menjadi keterlibatan komunitas (community
involvement). Dengan demikian, pemaknaan yang baru itu atau
new media literacy dapat dipandang sebagai suatu keterampilan
sosial, suatu cara berinteraksi dengan komunitas yang lebih
luas, tidak lagi secara sederhana sebagai penguasaan
keterampilan untuk ekspresi individu (Jenkins et. al, 2006).
Wujud (output) yang diharapkan adalah munculnya kesadaran
kolektif dan kolaboratif dari lingkungan masyarakat bermedia
dengan cakupan lebih luas untuk menggaungkan gerakan
literasi media, sehingga gerakan literasi media mampu dilakukan
secara terintegrasi, bisa masuk ke lingkungan rumah,
masyarakat, sekolah dan diharapkan kesadaran tersebut juga
muncul dari korporasi dan media.

841
Implikasi terhadap Penelitian: Catatan Penutup
Perkembangan teknologi dan perubahan kehidupan
bermedia di lingkungan keluarga dan masyarakat telah
membawa perubahan penting dalam kehidupan anak-anak
pribumi digital. Perdebatan yang cukup populer mengenai anak
dan teknologi media yakni seputar dampak negatif dan manfaat
yanng diperoleh dari penggunaan tersebut. Untuk melihat
peranan media dan teknologi lainnya bagi diri anak, maka para
peneliti perlu memposisikan anak sebagai subjek atau partisipan
yang memiliki ruang untuk menginterpretasikan, memberi
pemaknaan sendiri terhadap tindakan bermedia yang mereka
lakukan (Punch, 2002).
Desain penelitian perlu diarahkan kepada perspektif anak
sebagai subjek, bukan objek penelitian, terlebih penelitian yang
dipahami dari perspektif orang dewasa masih didominasi oleh
pemahaman bahwa anak merupakan individu yang tidak
kompeten (Mahon et al., 1996), memiliki keterbatasan bahasa
dan kurang mampu dalam mengartikulasikan keinginan, maksud
atau pun pendapat (Ireland dan Holloway, 1996).
Dorongan masyarakat global melalui Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hak-Hak Anak atau United
Nations Conventions on the Rights of the Child (UNCRC) tahun
1989, yang termuat pada artikel 12 dan 13 bahwa UNRC
mengharuskan anak-anak untuk dilibatkan, diinformasikan dan

842
turut diajak berkonsultasi mengenai seluruh keputusan yang
akan mempengaruhi kehidupan mereka. Untuk itu para peneliti
perlu mengedepankan perspektif anak dalam desain penelitian
dan menjadikan anak-anak sebagai “active researcher” atau “co-
researcher” karena keterlibatan mereka sebagai partisipan di
dalam penelitian (Kellet, 2005).
Partisipasi aktif anak di era digital merupakan sebuah
fenomena sosial yang perlu dikaji. Memandang bahwa anak
merupakan bagian integral dari masyarakat, yang secara aktif
terlibat dalam praktik sosial yang mengalami perubahan seiring
budaya media yang tercipta (Corsaro, 2005; Mayall, 1998;
Hutchby & Moran-Ellis, 1998).
Teori strukturasi Giddens seperti yang sudah diulas di
atas, merupakan sebuah pendekatan yang bisa digunakan untuk
melihat dinamika dialektik yang terjadi antara anak-anak dan
teknologi media yang mereka gunakan. Begitu juga teori uses
and gratification, dapat digunakan sebagai instrumen atau pisau
analisis yang bisa digunakan untuk mengkaji baik motif,
pemahaman, manfaat atau pemenuhan kebutuhan diri sebagai
bagian dari aktor sosial yang ingin dicari oleh anak.
Untuk melihat motif penggunaan teknologi media yang
dimainkan anak dan kepuasaan yang mereka peroleh dari
pemakaian tersebut, serta untuk melihat apakah penggunaan
teknologi tersebut berbahaya bagi anak atau justru memberi

843
potensi-potensi yang bermanfaat bagi anak, maka penelitian
yang akan dilakukan perlu menghasilkan atau menemukan
karakteristik-karakteristik anak yang bisa melakukan perlawanan
terhadap media, anak yang bisa memanfaatkan teknologi media
untuk memperoleh kepuasan diri dan keterampilan yang bisa
bermanfaat di masa depan.
Temuan-temuan lainnya juga diharapkan dapat
menemukan kategori atau karakteristik anak yang memang
rawan atau belum mampu untuk memanfaatkan teknologi media
sebagai sarana pemenuhan kebutuhan diri. Kekayaan dari
penemuan penelitian-penelitian yang dilakukan para sarjana
komunikasi, yang melakukan kajian terhadap penggunaan
teknologi oleh anak-anak, diharapkan dapat menjawab
kekhawatiran, memberi solusi bagi masyarakat atau menjadi
informasi yang sangat bermanfaat bagi banyak pihak untuk
menjawab tantang globalisasi, penyebaran kemajuan teknologi
serta partisipasi anak di era digital ini.
Kehadiran teknologi media memang tidak bisa
dihindarkan dari kehidupan masyarakat kampung global. Bagi
anak-anak native digital, keberadaan media dan beragam jenis
teknologi digital sudah menyelimuti hari-hari mereka. Mulai di
dalam kandungan sebagian anak-anak sudah diperdengarkan
musik Mozard oleh orang tua menggunakan menggunakan
perangkat pemutar musik, beranjak usia beberapa tahun mereka

844
juga disuguhkan oleh video- video kartun animasi dan game
console. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa lingkungan
sekitar anak sudah melibatkan partisipasi mereka dalam
beragam jenis teknologi media.
Kompleksitas lingkungan bermedia membawa beragam
pengaruh bagi anak dan menimbulkan variasi corak pandang
mengenai pengaruh tersebut bagi anak, antara positif dan
negatif. Untuk melihat permasalahan media dan partisipasi anak
di era global media ini, memerlukan sudut pandang yang lebih
dialektik, penuh kehati-hatian untuk dapat memberi penilaian
terhadap masing-masing komponen. Kekuatan media pada satu
titik memang memiliki peran signifikan untuk mempengaruhi
kehidupan anak, namun partisipasi anak dalam bermedia juga
bukan sebatas sebagai passive victim, melainkan banyak hal
positif yang bisa mereka manfaatkan sebagai modal sosial di
masa yang akan datang.

Daftar Pustaka
Antlöv, Hans. (1999). The new rich and cultural tensions in rural
Indonesia. In: Pinches, M (ed.) Culture and Privilage in
Capitalist Asia. London: Routledge, pp.189-208.
Antoni. (2004). Riuhnya Persimpangan itu: Profil dan Pemikiran
Para Penggagas Alternatif Kajian IlmuKomunikasi. Solo: Tiga
Serangkai.

845
Bakan, J. (2004). The Corporation. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Bakar. Abu, Saragih. J.M, Usman.B.CH, Sukapiring. Peraturen,
Tanjung.Z. (1984). Permainan Anak-Anak DaerahSumatera
Utara. Medan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bar-on, M. (2000). Current topic: the effects of television on child
health: implications and recommendations.Arch.
Dis.Child.83, 289-1357.
Blass, E.M., Anderson, D.R., H.L., Pempek, T.A., Price, I.,
Koleini, M.F. (2006). On the road to obesity: television viewing
increases intake of high-density foods. Physiol. Behav. 88,
597-604.
Buckingham, D., Sefton-Green. (2003). "Gotta Catch 'em all:
Structure, Agency and Pedagogy in Children's Media
Culture", Media, Culture & Society, 25: 379-299.
Buckingham, David, Banaji, Burn, Carr, Cranmer, Willet. (2005).
The Media Literacy of Children and Young People. London,
UK: Ofcom.
Buckingham. (2009). The impact of the commercial world on
children’s wellbeing. London, United Kingdom,Department for
Children, Schools and Families.
Calvert, S.L. (2008). Children as Consumers: Advertising and
Marketing. The Future of Children, 18 (1), pp.205-234.
Corsaro, W.A. (2005). Collective action and agency in young
children's peer culture. In J. Qvortrup (ed.) Studies in modern

846
childhood: society, agency and culture: 231-247. Palgrave
Macmillan.
Chomsky, N., Mitchell, P. R., & Schoeffel, J. (2002).
Understanding power: The indispensable Chomsky. New
York: New Press.
Cristea, Andriana. A., Apostol, Mihaela. S., Dosesu,
Tatiana.Corina. (2014). The Impact of Mass-Media On
Consumer Behaviour Among Children and Young People.
Knowledge Horizons-Economics.Vol.6 (3).107- 110.
Guosong Shao, (2009) "Understanding the appeal of user‐
generated media: a uses and gratification perspective",
Internet Research, Vol. 19 Iss: 1, pp.7 - 25.
Hendriyani, Ed Hollander, Leen d'Haenens & Johannes
Beentjes. (2011). Children's Television in Indonesia,Journal
of Children and Media, 5:01, 86-101.
______________.(2012). Children's media use in Indonesia.
AsianJournal of Communication. Vol.22, No.3, p. 304-319.
Hutchby, I., Moran-Ellis, J. (1998). Situating children's social
competenc. In I. Hutchby & J. Moran-Ellis (eds), Children and
social competence: Arenas of Social Action. London: Falmer
Pess, pp.7-26.
Ireland, L. and I. Holloway. (1996). Qualitative Health Research
with Children. Children &Society 10: 155–64.
Jenkins, H. (2006). Convergence culture: Where old and new

847
media collide. New York: New York University Press.
Kappos, Andreas. D. (2007). Theimpact of electronic media on
mental and somatic childrens's health. Int. J.Hyg. Environ.
Healt. 210, 555-562.
Kellet, M. (2005). Children as active researchers: a new research
paradgm for the 21st century?. Retrieved November 12,
2015, from
http://www.ncrm.ac.uk/research/outputs/publications/method
sreview/MethodsReviewPaperNCRM-003.pdf
Kellner, Douglas. (1995). Media Culture: Cultural studies, identity
and politics between the modern and thepostmodern.
London: Routlegde.
Levy, M., Windahl, S. (1984). Audience activity and gratifications:
A conceptual clarification and exploration. Communication
Research, 11, 51-78.
Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2009). Encyclopedia of
communication theory. Thousand Oaks, CA: SAGE
Publications.
Livingstone, S. (2002). Young People and New Media, London:
Sage.
Lucas, K., & Sherry, J. L. (2004). Sex differences in video game
play. Communication Research, 31(5), 499.
Mahon, A., C. Glendinning, K. Clarke and G. Craig. (1996).
Researching Children: Methodsand Ethics, Children and

848
Society 10(2): 145–54.
Mayall, B. (1998). Towards a sociology of child health.Sociology
of Health & Illness, 20 (3).269-88.
McLuhan, Marshall. (1994). Understanding Media: The
Extension of Man. London; The MIT Press.
Nicholls ,A., Cullen, P. (2004). The child-parent Purchase
Relationship: Pester Power, Human Rights and RetailEthics.
Journal of Retailing and Consumer Services, Vol.11, pp.75-
86.
Poyntz, Stuart R. (2010). The Participation Paradox, or Agency
and Sociality in Contemporary YouthCultures. Jeunesse:
Young People, Texts, Cultures 2: 110–9.
Prensky, M. (2005). Computer games and learning: Digital
gamebased learning. In J. R. J. Goldsten(Ed.).Handbook of
computer game studies (pp. 97–122). Cambridge: MIT Press.
Punch, S. (2002). Research with Children: The Same or Different
from Research with Adults?. Childhood, 9 (3): 321-341.
Rose, Daniel. (1991). Anthony Giddens. In Beilharz, Peter
(Ed.).Social Theory: A Guide to Central Thinkers.
Sydney: Allen and Unwin. Ruggiero, T. E. (2000). Uses and
gratifications theory in the 21st century. Mass communication
& society, 3(1), 3-37.
Schiller, H. I. (1989). Culture, Inc: The corporate takeover of
public expression. New York: Oxford University Press.

849
Sherry, J. L., & Lucas, K., Greenberg, B. S., & Lachlan, K. (2006).
Video game uses and gratifications as predictors of use and
game preference. In: P. Vorderer & J. Bryant (Eds.), Playing
video games: Motives, Responses, and Consequences(213-
224). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Šramováa, B. (2015). Marketing And Media Communications
Targeted To Children As Consumber. Procedia-Social and
Behavioral Sciences, 191, pp. 1522-1527.
Tapscott, Don. (2009). Grown Up Digital: how the net generation
is changing your world. New York: McGrow Hill.

*) Salman Hasibuan, Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu


Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Jln.
Prof.A.Sofyan No. 1 Kampus USU Padang Bulan Medan 20155,
e-mail: salman.hasibuan@yahoo.com

850
KOMUNIKASI PENGELABUAN DI ERA TEKNOLOGI
DIGITAL

Reny Yuliati*

Pendahuluan
Komunikasi Pengelabuan (Deceptive Communication)

Pengelabuan (deception) adalah “suatu pesan yang


ditransmisikan seorang pengirim (sender) untuk
mengembangkan suatu kepercayaan yang salah pada penerima
(receiver) supaya penerima menyimpulkan pesan tersebut
secara keliru” (Buller & Burgeon, 1996). Pengelabuan
(deception) dan berbohong (lying) sebenarnya berbeda (Bok,
1978), namun dalam penggunaannya sering dipertukarkan
(Buller & Burgeon, 1996; Ekman, 1988). Berbohong didefinisikan
sebagai suatu cara spesifik dari pengelabuan, ketika
“mengkomunikasikan sesuatu yang salah kepada orang lain”
(Anolli dan Ciceri, 1997). Oleh karena itu, didalam konsep
pengelabuan (deception) terdapat kebohongan, dan berbohong
sudah pasti merupakan bagian dari pengelabuan. Dalam
penelitian ini, konsep berbohong dan pengelabuan akan
dipergunakan secara bergantian.

851
Dalam definisi pengelabuan diatas, para ahli setidaknya
telah sepakat bahwa terdapat hal penting untuk bisa
mengkategorikan suatu pesan sebagai pengelabuan (deceptive
message), yaitu adanya niat atau keinginan dari pengirim untuk
mengirimkan pesan yang bertujuan untuk mengelabui
kepercayaan orang lain dengan sengaja. Sehingga ketika
seseorang tidak mempunyai niat untuk mengelabui kepercayaan
orang lain, maka tindakan tersebut bukan termasuk
pengelabuan.
Berbohong dan pengelabuan telah ada sejak lama dalam
kehidupan manusia semenjak sistem sosial terbentuk. Pada saat
itu, berbohong dan menipu adalah salah satu cara supaya dapat
terus hidup (survive) diantara para kompetitor dan musuh
lainnya. Orang yang mempunyai kemampuan mengelabui akan
lebih mempunyai banyak keuntungan, dibandingkan orang yang
tidak mempuyai keahlian tersebut (Knapp, 2008).
Hingga pada era saat ini, pengelabuan adalah fenomena
sosial yang signifikan terjadi pada masyarakat kontemporer
(Miller & Stiff, 1993). Pengelabuan sendiri dapat dijumpai
dimana-mana, ketika kita melihat televisi, kita melihat politikus
sedang berkampanye mengenai janji-janjinya jika ia kelak
terpilih, begitupun ketika membaca majalah, kita sering terpapar
dengan janji iklan mengenai produknya yang diunggulkan lebih
baik dibanding produk lain, bahkan selama kita berinteraksi baik

852
dengan orang terdekat ataupun orang yang asing sekalipun, kita
juga sering menemui pengelabuan. Lippard (1988) menyatakan
bahwa justru pengelabuan dalam komunikasi interpersonal yang
paling umum dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam suatu
penelitian menunjukkan bahwa rata-rata individu mengatakan
dua pernyataan yang mengandung pengelabuan setiap harinya
(DePaulo et al, 1996). Sedangkan penelitian yang lain
menyatakan bahwa orang cenderung berbohong rata-rata 13.3
kali seminggu dimana jika dihitung per harinya maka rata-ratanya
adalah 1.9 kali (Hample, 1980). Dalam penelitian Hancock et al
(2004) dengan cara merekam komunikasi sehari-hari partisipan
penelitiannya selama seminggu, menyimpulkan bahwa 26% dari
komunikasi sehari-hari kita mengandung pengelabuan.
Dalam pengaplikasian mengenai pengelabuan, terdapat
dua kategori pengelabuan yang berbeda yang dapat dipisahkan
oleh persepsi mengenai seberapa seriuskah dampak
pengelabuannya. Yang pertama adalah kebohongan kecil (minor
lies atau disebut juga “white lies”) dimana biasanya muncul
dalam percakapan. Pengelabuan jenis ini biasanya adalah untuk
menyelamatkan muka orang lain dan untuk membuat orang lain
senang. Atau dengan kata lain, pengelabuan white lies lebih
berfokus pada orang lain. Sedangkan pengelabuan jenis yang
kedua adalah pengelabuan yang menimbulkan dampak serius
yang dapat merugikan orang lain berkaitan dengan hilangnya

853
harta benda. Pengelabuan yang merugikan orang lain ini
dianggap melanggar norma sosial yang ada di masyarakat,
sehingga biasanya akan menimbulkan perasaan bersalah
apabila melakukannya. Namun, dalam prakteknya beberapa
orang tetap melakukannya demi memperoleh keinginan dan
keuntungan pribadi.

Teknologi Komunikasi dan Pengelabuan


Munculnya teknologi sekarang ini, menyebabkan interaksi
tidak hanya melalui tatap muka saja namun juga melalui saluran
komunikasi bermediasi komputer (CMC). Munculnya saluran
baru dalam interaksi ini memang memberikan berbagai
kelebihan, seperti meningkatkan peluang dalam interaksi sosial
(Harman et al, 2005), membebaskan hubungan interpersonal
tanpa batasan jarak fisik dan mendorong adanya kedekatan
hubungan (Parks & Floyd, 1996). Kelebihan-kelebihan yang
ditawarkan oleh CMC, pada akhirnya membuat saluran ini
menjadi sangat populer pada masyarakat era sekarang ini
(Nielsen, 2014). Berdasarkan survei yang dilakukan Ipsos,
ditemukan fakta menarik yaitu bahwa masyarakat Indonesia
merupakan salah satu negara yang penduduknya lebih aktif
berinteraksi dan bersosialisasi di dunia maya ketimbang di dunia
nyata. Survei yang dilakukan pada 24 negara di dunia,
menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga setelah China

854
dan India dalam hal keaktifan penduduknya di dunia maya untuk
berinteraksi (Beritasatu, 2012). Hadirnya teknologi internet
memberikan solusi yang mudah untuk bersosialisasi dengan
orang lain, dan dapat mengakomodasi percakapan terjadi pada
saat yang sama pula.
Disamping kelebihan-kelebihan diatas, di sisi lain CMC
juga mempunyai kekurangan, salah satunya adalah membuat
pengelabuan semakin mudah dan membuka peluang baru
praktek pengelabuan (Utz, 2005). Adanya anonimitas pada
CMC, selain membuat orang bisa menjadi lebih terbuka dan jujur
(Pavlicek, 2005), namun disisi lain anonimitas pada CMC juga
cenderung mendorong orang untuk menciptakan pesan
pengelabuan kepada lawan bicaranya (Levmore, 1996).
Berdasarkan data dari Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda
Metro Jaya kasus-kasus cyber crime di Indonesia didominasi
oleh kasus pengelabuan yang merugikan pihak lainnya (Gesita,
2013). Pengelabuan jenis ini kerap kali disebut dengan
penipuan online. Jumlah laporan penipuan online mencapai 40
persen dari seluruh kasus cyber crime, dan kasus-kasus tersebut
cenderung meningkat setiap tahunnya (Gesita, 2013; Syarif,
2015).

Tipe Pengelabuan Dalam CMC

855
Tipe pengelabuan yang biasa dilakukan melalui medium
CMC disebut sebagai pengelabuan digital (digital deception).
Terdapat dua kategori umum pengelabuan digital, yaitu identity-
based deception dan message-based deception (Hancock,
2007). Identity-based deception adalah pengelabuan pada
karateristik dan identitas deceiver, seperti kebohongan
mengenai jenis kelamin, warna kulit, usia, status ekonomi dan
sebagainya. Penggunaan nama akun seperti “BeautifulGirl93”
oleh seseorang untuk mengelabui lawan bicaranya agar
terkesan seakan-akan pengguna akun tersebut adalah seorang
perempuan muda yang cantik merupakan salah satu contoh
identity-based deception. Sedangkan message-based deception
lebih kepada pengelabuan isi atau konten pesan komunikasi
yang dipertukarkan kepada lawan bicara. Message-based
deception terjadi dimana terdapat pertukaran informasi yang
dibuat oleh komunikator secara sengaja agar komunikan
memaknai pesan secara keliru dalam percakapan yang terjadi
antara komunikator dan komunikan. Sebagai contoh, seorang
mengatakan bahwa ia sedang mengalami kesulitan keuangan
karena dirinya sedang sakit dan memerlukan biaya untuk
berobat (sedangkan faktanya ia dalam keadaan sehat) kepada
lawan bicaranya, merupakan bentuk dari message-based
deception.

856
Identity-based deception maupun message-based
deception bisa berdiri sendiri, namun juga bisa berkaitan.
Misalkan seseorang mengelabui pada identity-based deception,
sekaligus mengelabui pada pertukaran informasinya (message-
based deception). Seseorang melakukan identity-based
deception pada profil akunnya, tetapi jujur dalam percakapan.
Atau terdapat juga kasus dimana profil seseorang ditampilkan
dengan sebenarnya, namun pada saat percakapan, informasi
yang disampaikan cenderung mengelabui lawan bicaranya
(message-based deception).
Kedua tipe pengelabuan dalam CMC yang hanya
didasarkan pada teks saja, seperti pada aplikasi chatting, akan
cenderung lebih sulit dilakukan pendeteksian. Karateristik CMC
berbasis teks yang menawarkan anonimitas visual atau tidak
adanya tampilan fisik, menyebabkan petunjuk nonverbal dan
vokal yang ada pada komunikasi tatap muka tidak lagi tersedia
untuk komunikan, padahal petunjuk-petunjuk tersebut sangat
penting dalam mendeteksi pengelabuan (Levine, 2014: 683).
Oleh karena itu, deteksi pengelabuan akan lebih sulit dalam
medium CMC dibandingkan dengan pendeteksian pengelabuan
melalui tatap muka (Twitchell et al, 2005). Hal ini diperkuat oleh
Rao dan Lim (2000) yang menunjukkan bahwa sejumlah besar
petunjuk yang berhubungan dengan pengelabuan pada tatap
muka tidak lagi tersedia pada CMC.

857
Pembahasan
Dari latar belakang diatas, maka sangat penting untuk
mengkaji perilaku individu dalam komunikasi pengelabuan
melalui CMC. Dalam penelitian ini, fokus penelitian ada pada
komunikan yang dikelabui oleh komunikatornya. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripskan bagaimana
persepsi komunikan terhadap komunikator yang mengelabui
dibandingkan persepsi komunikan terhadap komunikator yang
jujur pada suatu interaksi melalui medium komunikasi
bermediasi komputer (CMC).
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen untuk
mengkaji perilaku pengelabuan dengan model sinkron CMC
berbasis teks yaitu chatting. Partisipan penelitian ini adalah 40
mahasiswa yang mengambil kelas mata kuliah Statistik di
sebuah perguruan tinggi di Indonesia. Adapun skenario dalam
penelitian ini adalah memberitahu mahasiswa bahwa terdapat
polling untuk pengambilan keputusan model ujian akhir (UAS)
yang akan berlangsung beberapa bulan ke depan. Terdapat dua
pilihan model ujian akhir yang ditawarkan, yaitu berupa paper
individu atau paper kelompok. Peneliti memberikan 2 (dua)
lembar kertas kepada mahasiswa. Halaman pertama berisi
penjelasan kedua model ujian akhir baik tugas individu ataupun
tugas kelompok agar mahasiswa dapat membaca secara

858
seksama, dan dihalaman berikutnya, mereka diminta untuk
memilih berdasarkan preferensi pribadi diantara kedua rencana
model tersebut untuk dijadikan ujian akhir.
Dari jawaban polling oleh mahasiswa, peneliti membagi
obyek penelitian kedalam dua preferensi model ujian akhir yang
diinginkan, menyukai paper individu dan paper kelompok.
Kemudian secara random peneliti measangkan obyek penelitian
menjadi pasangan berdasarkan preferensi tersebut. Dalam satu
pasangan, obyek penelitian dibagi menjadi dua peran, yaitu
peran A dan peran B. Peran A (sebagai komunikator) diminta
untuk mengelabui atau jujur dalam memberikan pendapatnya
sesuai dengan petunjuk yang diberikan, sedangkan peran B
(sebagai komunikan) sebagai lawan bicara dari A, dimana
mereka tidak tahu apabila orang A dapat saja berbicara jujur
maupun mengelabuinya.
Setelah peneliti mengacak partisapan dan
mengelompokkanya menjadi peran A dan B dan
memasangkannya menjadi pasangan diadik, langkah
selanjutnya peneliti menghubungi partisipan secara terpisah
untuk bersedia mengikuti suatu studi mengenai “Percakapan
melalu medium chatting” pada tempat yang terpisah antara
peran A dan peran B. Ruangan pada peran A dan peran B sama-
sama telah dipersiapkan perangkat komputer yang telah saling
terhubung dalam suatu jaringan, sehingga meskipun pada

859
tempat terpisah, kedua peran partisipan yang terpisah dapat
saling berkomunikasi melalui chatting. Peran B sebagai
komunikan diberitahu bahwa hasil polling model UAS adalah
50:50, sehingga tidak bisa diambil keputusan apakah paper
individu ataupun kelompok yang dijadikan UAS mendatang. Oleh
karena itu, peran B ditugaskan untuk berdiskusi dengan lawan
bicara mereka melalui chatting, yang mereka sendiri tidak
ketahui karena menggunakan nama samaran (anonymous). Di
akhir diskusi mereka diminta untuk melakukan polling ulang
apakah pilihannya berubah atau tetap setelah berdiskusi dengan
lawan bicara, beserta dengan beberapa pertanyaan mengenai
persepsi mereka terhadap lawan bicara mereka.Untuk peran A,
mereka dibagi menjadi dua tipe produksi pesan, yaitu
pengelabuan dan jujur. Untuk peran A yang pengelabuan,
mereka diinstruksikan untuk membujuk lawan bicaranya untuk
memilih model ujian akhir yang sebenarnya bukan preferensi
mereka yang sebenarnya, Sedangkan peran A yang jujur,
mereka diinstruksikan untuk membujuk lawan bicaranya untuk
memilih model ujian akhir yang sesuai dengan preferensi mereka
yang sebenarnya.
Berdasarkan penelitian kepada 40 partisipan, maka
didapatkan hasil persespsi komunikan terhadap komunikator
yang dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:

860
Tabel 1
Persepsi Komunikan Terhadap Komunikator
Jujur 4
Dominan* 4.7
Pengelabuan
Jujur 4.3
Keaktifan* 4.9
Pengelabuan
Jujur 4.2
Keterbukaan 5.1
Pengelabuan
Jujur 4.6
Keramahan 4.5
Pengelabuan
Jujur 4.8
Koperatif 4.8
Pengelabuan
Jujur 5.2
Menghargai
4.8
Pendapat Pengelabuan
Jujur 5.1
Kejujuran* 5.8
Pengelabuan
Jujur 4.4
Reliabel
Pengelabuan 4.7
* : signifikan (<0.05)

Jika dilihat dari tabel 1 diatas, maka dapat diketahui


mengenai bagaimana pandangan komunikan terhadap
komunikator ketika komunikator berkata jujur maupun
mengelabui dalam suatu diskusi melalui medium teknologi,
yaitau CMC. Perbedaan yang signifikan terdapat pada level
861
dominan, keaktifan dan kejujuran. Komunikator yang
mengelabui, dianggap sebagai orang yang cenderung
mendominasi, aktif dan lebih jujur dalam percakapan. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Burgoon (2003) yang
menyatakan bahwa orang yang mengelabui dalam medium CMC
akan dianggap lebih jujur dibandingkan ketika harus mengelabui
melalui tatap muka. Selain tidak adanya petunjuk nonverbal
seperti gerakan mata, intonasi suara, dan sebagainya yang
dapat menjadi indikator penting dalam mendeteksi pengelabuan,
produksi pesan pengelabuan juga relatif tidak menimbulkan
kecemasan yang berlebih sebagaimana yang terdapat pada
komunikasi pengelabuan tatap muka. Oleh karena itu,
komunikasi pengelabuan dalam CMC justru membuat
komunikator semakin aktif dalam menciptakan pesan, sehingga
akhirnya dalam percakapan cenderung lebih mendominasi.
Sebagaimana yang dipostulasikan pada Teori Manipulasi
Informasi (Information Manipulation Theory), bahwa dalam
produksi pesan pengelabuan melanggar salah satu atau
beberapa maxim Grice, yaitu kuantitas, kualitas, relevansi dan
manner (lihat McCornack, 1992).
Adanya dominasi dan keaktifan mencerminkan bahwa
selain melanggar maxim kualitas (kebenaran informasi), juga
melanggar maxim kuantitas (jumlah informasi yang
disampaikan). Orang yang mengelabui menurut Teori Manipulasi

862
Informasi, memberikan informasi yang terlalu sedikit (menutup-
nutupi informasi penting lainnya) atau justru memberikan
informasi yang terlalu banyak. Strategi pelanggaran maxim
kuantitas pada penelitian ini, dapat terlihat dari mendominasinya
komunikator dalam percakapan dengan memberikan informasi
sebanyak mungkin yang sebenarnya hanya untuk mengecoh
lawan bicaranya. Dari penelitian ini pula, maka dapat
disimpulkan bahwa dengan banyaknya informasi yang diberikan
komunikator disaat mengelabui, maka komunikan merasa
bahwa apa yang diungkapkan oleh komunikator adalah jujur.

Kesimpulan
Manusia merupakan pendeteksi pengelabuan yang
buruk. Hal ini diperkuat dengan munculnya teknologi baru yang
mereduksi tampilan visual dan memperbesar anonimitas. Oleh
karena itu, untuk menghindari praktek-praktek pengelabuan
yang merugikan pada CMC, maka sebaiknya komunikasi yang
kontennya berpotensi pengelabuan, sebaiknya dilakukan secara
langsung tanpa perantara teknologi.

Daftar Pustaka
Anolli, L. & Ciceri, R. 1997. The Voice Of Deception: Vocal
Strategies of Naive and Able Liars. Journal of Nonverbal
Behavior. Vol 21 (4). Hal 259-284.

863
Bok, S. 1978. Lying: Moral Choice in Public and Private Life. New
York: Vintage Books.
Buller, D.B., & Burgoon, J. K. 1996. Interpersonal Deception
Theory. Communication Theory. Vol 6. Hal 203 -242.
Burgoon, J. K., Stoner, G.M., Bonito, J.A., Dunbar, N.E. 2003.
Trust and Deception In Mediated Communication.
Proceeding of the 36th Hawaii International Conference
on System Sciences. USA.
DePaulo, B.M., Kirkendol, S.E., Kashy, D.A., & Wyer, M.M. 1996.
Lying in Everyday Life. Journal of Personality and Social
Psychology. Vol. 70. No. 5. 979-995.
Ekman, P. 1988. Lying And Nonverbal Behavior: Theoritical
Issues And New Findings. Journal of Nonverbal Behavior.
Vol 12. Hal 162 – 176.
Gesita, Norma. 2013. Kasus Penipuan Dominasi Kejahatan
"Cyber". 15 April 2013.
<http://tekno.kompas.com/read/2013/04/15/22095149/ka
sus.penipuan.dominasi.kejahatan.quotcyberquot>
Hample, D. 1980. Purposes and Effects of Lying. Southern
Speech Communication Journal. Vol 46 (1). Hal 33-47.
Hancock, J.T., Thom-Santelli, J., & Ritchie, T. 2004. Deception
and Design: The Impact of Communication Technology on
Lying Behavior. CHI. APRIL 24–29, Volume 6 Number 1.

864
Hancock, J. T. 2007. Digital Deception: Why, When and How
People Lie Online. Chapter for the Oxford Handbook of
Internet Psychology.
Harman, J., Hansen, C., Cochran, M., Lindsey, C. 2005. Liar,
Liar: Internet Faking But Not Frequency of Use Effects
Social Skills, Self-Esteem, Social Anxiety, And
Aggression. CyberPsychology. Vol 8 (1). Hal 1-6.
Knapp, M. L. 2008. Lying and Deception in Human Interaction.
Boston: Pearson Education.
Levine, T.R. 2014. Encyclopedia of Deception. Thousand Oaks:
Sage Publications.
Lippard, P.V. 1988. “Ask Me No Questions, I'll Tell You No Lies”:
Situational Exigencies For Interpersonal Deception.
Western Journal of Speech Communication. Vol 52. Issue
1. Hal 91-103.
McCornack, S. A. 1992. Information Manipulation Theory.
Communication Monographs. Vol 59. Hal 1-16.
Miller, G.R. & Stiff, J.B. 1993. Deceptive Communication.
London: Sage Publications.
Parks, M.R. & Floyd, K. 1996. Making Friends in Cyberspace.
Journal of Communication. Vol 46 (1). Hal 80.
Pavlicek, A. 2005. Anonymity on The Internet and Its Influence
on The Communication Process. Dissertation. Institute of

865
Communication Studies and Journalism. Faculty of Social
Sciences. Charles University.
Rao, V.S., & Lim, J. 2000. The Impacts of Involuntary Cues on
Media Effects. Proceedings of the 33rd Hawaii
International Conference on System Sciences
Syarif, Helmi. 2015. Kejahatan di Dunia Maya Terus Meningkat.
Rabu, 18 Februari 2015. <http://www.koran-
sindo.com/read/966017/149/kejahatan-di-dunia-maya-
terus-meningkat-1424243681>
Twitchell, D.P., Forsgren, N., Wiers, K., Burgoon, J.K., &
Nunamaker, J.F. 2005. Detecting Deception in
Synchronous Computer-Mediated Communication Using
Speech Act Profiling. Intelligence and Security
Informatics. Lecture Notes in Computer Science. Volume
3495. Hal 471-47.
Utz, S. 2005. Types of Deception and Underlying Motivation:
What People Think. Social Science Computer Review. Vol
23. No 1. Hal 49 – 56.

Website
Beritasatu. 2012. Survei: Penduduk Indonesia Aktif Berinteraksi
di Dunia Maya. Indonesia menempati posisi ketiga dibawah
China dan India. Diupload pada tanggal Jumat, 10 Agustus 2012.
Diakses pada tanggal 7 September 2015.

866
<http://www.beritasatu.com/iptek/65346-survei-penduduk-
indonesia-aktif-berinteraksi-di-dunia-maya.html>

*) Reny Yuliati
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi
Universitas Indonesia
Email: reny_nym@yahoo.com

867
MENGEJAR KETERTINGGALAN TEKNOLOGI
KOMUNIKASI:STUDI INFORMATION SELF-EFFICACY
SISWA SMA ASAL INDONESIA TIMUR PADA
PELAKSANAAN UN CBT DI KOTA MALANG

Nindi Aristi, S.Sos., M.Comn.*

Pendahuluan
Sejak tahun 2014 pemerintahan Indonesia berganti
kepemimpinan sehingga menimbulkan beberapa perubahan
kebijakan khususnya dalam dunia pendidikan. Menteri
Pendidikan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan,
mengeluarkan kebijakan tentang sistem evaluasi pembelajaran
khususnya bagi siswa sekolah dasar, sekolah menengah
pertama dan sederajat, serta sekolah menengah atas dan
sederajat.
Kebijakan tersebut terangkum dalam keputusan Permen
Dikbud No. 5 Tahun 2015 tentang kriteria kelulusan peserta
didik, penyelenggaraan ujian nasional, dan penyelenggaraan
ujian sekolah/madrasah/pendidikan kesetaraan pada SMP/MTs
atau yang sederajat dan SMA/MA/SMK atau yang sederajat.
Pada Permen Dikbud No.5 Tahun 2015 pasal 20 disebutkan
bahwa: Pelaksanaan UN SMP/MTs, SMA/MA/SMAK/SMTK dan

868
SMK/MAK dapat dilakukan melalui ujian berbasis kertas
dan/atau ujian berbasisi computer (computer based test).
Ujian Nasional yang berbasiskan paper based test diganti
dengan computer based test dengan memberikan kesempatan
bagi seluruh sekolah untuk secara mandiri menilai
kemampuannya dalam implementasi sistem tersebut. Dasar
yang menjadi landasan perubahan ini adalah:
1) UN CBT bukan UN Online, yang mana konsep ujiannya
melalui komputer yang tersedia di sekolah. Sistem CBT
menurut Anies Baswedan sangat pas diterapkan di
Indonesia, mengingat Indonesia merupakan Negara yang
besar sehingga untuk menggelar ujian yang diikuti 7,3 juta
orang dalam jam yang sama memiliki tantangan tersendiri
khususnya logistik.
2) Dari aspek keamanan UN yang dikerjakan di komputer
akan mudah tersimpan datanya. Hal ini pun menandakan
dimulainya segala hal dapat dikerjakan melalui bantuan
komputer.
Terdapat pro dan kontra pada kebijakan UN CBT tersebut,
bagi pengamat yang kontra beranggapan bahwa sekolah-
sekolah di Indonesia masih belum siap untuk melaksanakan
ujian yang computer based test karena belum memadainya
peralatan pendukung ujian tersebut. Namun MenteriDikdasmen

869
tetap memutuskan untuk melaksanakan UN CBT di seluruh
Indonesia.
Pada awal implementasi UN CBT diselenggarakan untuk
jenjang sekolah setingkat SMA dan sederajat yang secara
serentak dilaksanakan pada tanggal 13 - 15 April 2015.
Berdasarkan data yang dikutip dari website Kemendikbud
terdapat 556 SMA yang telah menyatakan kesanggupannya
untuk melaksanakan UN CBT.

Tabel 1. daftar jumlah sekolah yang melaksanakan UN


computer based test tahun 2015 berdasarkan wilayah
propinsinya
sumber: website Kemendikbud, 2015

Jumlah SMA atau


NO Propinsi sederajat yang
menerapkan UN cbt
1 DKI Jakarta 30
2 Jawa Barat 56
3 Jawa Tengah 87
4 DI Yogyakarta 36
5 Jawa Timur 159
Nagroe Aceh
6 3
Darussalam
7 Sumatera Utara 21
8 Sumatera Barat 1
9 Riau 12

870
10 Jambi 6
11 Sumatera Selatan 8
12 Lampung 14
13 Kalimantan Barat 3
14 Kalimantan Tengah 2
15 Kalimantan Selatan 13
16 Kalimantan Timur 17
17 Sulawesi Utara 2
18 Sulawesi Selatan 23
19 Sulawesi Tenggara 2
20 Bali 1
21 NTT 1
22 Papua 10
23 Bangka Belitung 7
24 Gorontalo 2
25 Banten 23
26 Kepulauan Riau 3
27 Sulawesi Barat 5
28 Kalimantan Utara 5
Sekolah Indonesia
29 1
Singapura
Sekolah Indonesia
30 1
Kuala Lumpur
Dari data diatas Propinsi Jawa Timur menjadi propinsi yang
tertinggi dalam melaksanakan UN CBT untuk tingkat SMA dan
sederajat dibandingkan dengan propinsi lainnya. Di Propinsi
Jawa Timur jumlah SMA dan sederajat yang menyelenggarakan
UN CBT sebagian besar terdapat di kota Malang yang mencakup

871
126 SMA dan sederajat. Tercatat 30 sekolah setingkat SMA dan
SMK yang melaksanakan UN CBT di kota Malang.
Hal ini cukup mengejutkan banyak pihak yang
memperkirakan sekolah-sekolah di Jakarta, Yogyakarta dan
kota-kota besar lainnya lebih siap menyelenggarakan UN CBT
karena ketersediaan fasilitas pendukung. Dinas Pendidikan
Propinsi Jawa Timur menyatakan bahwa langkah persiapan
telah mereka lakukan dalam menyambut penyelenggaraan UN
CBT perdana yang melingkupi: persiapan sarana komputer,
persiapan jaringan internet yang bekerjasama dengan beberapa
provider, persiapan daya listrik yang dilengkapi dengan alat
genset, serta persiapan SDM yang melek IT.
Khususnya di kota Malang siswa SMA dan sederajat yang
mengikuti UN CBT tidak hanya berasal dari wilayah Pulau Jawa
saja namun di sebagian besar SMA di kota Malang siswanya
banyak pula yang berasal dari Indonesia Timur. Para pelajar
SMA yang berasal dari Indonesia Timur tersebut disekolahkan
ke SMA di kota Malang dalam program beasiswa dari
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta beasiswa
dari beberapa perusahaan yang bekerjasama dengan Dinas
Pendidikan Kota Malang.
Sebagai contoh, sejak tahun 2011 kerjasama telah terjalin
antara PT Pertamina dengan Dinas Pendidikan kota Malang
yang bertujuan untuk memberikan beasiswa bagi para pelajar di

872
wilayah Indonesia Timur agar dapat melanjutkan sekolah ke
jenjang SMA di SMA 10 kota Malang. Selain itu, terdapat
beasiswa ADEM yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan
Dasar dan Menengah bagi lulusan SMP agar dapat bersekolah
di Pulau Jawa. Para siswa tersebut, akan mendapatkan
beasiswa selama tiga tahun, dan dipertimbangkan meneruskan
beasiswa untuk S1. Selama tiga tahun siswa akan mendapatkan
biaya hidup dan biaya pendidikan tidak kurang dari 20 juta
perorang pertahun.
Secara sosiologis dan psikologis memang muncul
beberapa hambatan bagi siswa dari wilayah Indonesia Timur
dalam proses adaptasi dengan lingkungan baru di kota Malang
namun hal tersebut bukanlah menjadi dua masalah utama.
Terdapat masalah lain yang berkenaan dengan kemampuan
adaptasi secara komunikasi dan penggunaan teknologi
komunikasi yang menjadi hal utama dalam pelaksanaan UN
CBT.
Kemampuan komunikasi dalam memahami materi
pembelajaran merupakan tantangan tersendiri bagi siswa dari
wilayah Indonesia Timur. Beberapa ungkapan bahasa Indonesia
yang disempurnakan (EYD) memiliki arti yang berbeda dengan
bahasa Indonesia yang mereka gunakan sehari-hari, hal ini tentu
saja akan berimplikasi pada tingkat pemahaman soal UN CBT.

873
Hambatan lainnya yang juga penting diperhatikan adalah
kemampuan penggunaan teknologi komunikasi seperti komputer
atau laptop yang dimiliki siswa dari wilayah Indonesia Timur. UN
CBT yang berbasiskan pengerjaan soal ujian melalui komputer
akan bergantung pada penguasaan mereka menggunakan
komputer.

Information Self-Eficacy
Information self-efficacy memiliki arti kemampuan yang
dimiliki seseroang yang dapatmelakukan perilaku atau tindakan
tertentu secara benar (Cassidy and Eachus, 1998). Bandura
(1997) mendefinisikan self-efficacy sebagai kemampuan
seseorang untuk mengorganisasikan dan melakukan
serangkaian tindakan untuk mencapai tujuan tertentu.
Self- efficacy beliefs determine how long individuals will
persevere and how resilient they will be in the face of
difficulties and how much effort they will expend on an
activity. Individuals with a high self-efficacy perception
expect to succeed and will persevere in an activity until it
is completed. On the contrary, individuals with low self-
efficacy perception, anticipate failure and are less likely to
persist doing challenging activities. The higher the sense
of efficacy, the greater the effort, persistence, and
resilience (Pajares, 2002; Kear, 2000), which are two
factors crucial for information problem solving, self-
regulated learning, and lifelong -learning. Bandura
underlines that individuals who develop a strong sense of
self-efficacy are well equipped to educate themselves
when they have to rely on their own initiative (Bandura,
874
1986). This is why strong self-efficacy perception for
information literacy becomes a necessity to accomplish
lifelong learning. (Cassidy & Eachus, 1998)
Berdasarkan pemaparan diatas maka penelitian ini
difokuskan tentang “information self-efficacy siswa SMA asal
Indonesia Timur pada pelaksanaan UN CBT 2015 di kota
Malang”.
Bertitik tolak dari pemaparan fenomena pada latar
belakang maka permasalahan yang diteliti dapat dirumuskan:
“Bagaimana information self-efficacy siswa SMA asal Indonesia
Timur pada pelaksanaan UN CBT 2015 di kota Malang?” yang
secara lebih spesifik permasalahan yang diteliti diidentifikasikan
sebagai berikut:
a. Bagaimana proses adaptasi materi pembelajaran yang
dilakukan siswa SMA asal Indonesia Timur?
b. Bagaimana proses adaptasi perkembangan teknologi
komunikasi yang dilakukan siswa SMA asal Indonesia Timur?
Penelitian ini dirancang menggunakan mixed method
dengan mengaplikasikan metode kuantitatif dan metode
kualitatif. Metode kuantitatif yang diterapkan adalah metode
penelitian deskriptif dengan alasan pada tahun pertama
pelaksanaan UN CBT sehingga penting untuk memeroleh
gambaran mengenai implementasi kebijakan UN CBT.
Metode kualitatif yang digunakan menggunakan teknik
participatory research appraisal (PRA), yaitu kegiatan penelitian

875
yang menggunakan metode partisipatif. Pelaksanaan kegiatan
penelitian ini dari mulai menyusun desain, instrumen,
pengumpulan data, pengolahan data, selalu bersama
masyarakat yang diperankan bukan sebagai objek dalam
penelitian melainkan sebagai subjek dalam penelitian (Kusnaka
dan Harry Hikmat, 2004:25)
Peneliti mengidentifikasikan minat, tujuan dan
penggunaan kebutuhan para siswa SMA asal Indonesia Timur
sehingga dapat disusun bahan kajian dan model adaptasi
penggunaan teknologi dan informasi yang tepat dan sesuai
dengan kebutuhan sasaran.

Penelitian ini mendorong sasaran (dalam hal ini para


siswa SMA asal Indonesia Timur) ikut serta secara aktif dalam
mengidentifikasikan permasalahan kemudian dilanjutkan pada
perencanaan kegiatan pembelajaran dan pendampingan
(sebagai langkah solutif) hingga ke penerapan program kegiatan
yang melibatkan kelompok sasaran.
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
1) Kuesioner. Kuesioner disebarkan kepada responden yang
dalam penelitian ini adalah para siswa SMA asal Indonesia
Timur di kota Malang, terdapat 30 siswa SMA yang menjadi
responden.

876
2) Wawancara mendalam. Wawancara mendalam akan
dilakukan kepada beberapa narasumber yang terkait
dengan kebutuhan penelitian ini.
3) Observasi. Pengamatan langsung atas kemampuan
information self-efficacy yang didemonstrasikan oleh
responden.
4) Studi Pustaka. Studi Pustaka dilakukan untuk memperoleh
data sekunder tentang evaluasi pembelajaran di setiap
sekolah di Indonesia. Selain itu studi pustaka pun
digunakan untuk mendapatkan berbagai konsep dan teori
yang memberi pemahaman tentang perkembangan
teknologi komunikasi, serta riset literasi media.
Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
kota Malang tercatat 126 SMA dan yang sederajat, 29
diantaranya melaksanakan UN CBT. Dari 29 sekolah tersebut
terdapat 10 SMA yang menjalankan program beasiswa bagi
siswa Indonesia Timur, yang merupakan program kerjasama
Dinas Pendidikan kota Malang dengan pemerintah Propinsi
Papua serta beberapa perusahaan.
Dalam pemilihan sampel lokasi maka kami menentukan
dengan teknik acak sederhana dari 10 SMA tersebut. Setelah
dilakukan teknik pengambilan sampel lokasi maka kami
mendapatkan sampel di 3 (tiga) SMA di kota Malang yakni: SMA
Negeri 3, SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 10.

877
Penelitian Studi Information Self Efficacy Siswa SMA asal
Indonesia Timur pada pelaksanaan UN CBT dilakukan dengan
menggunakan dua teknik pengumpulan data dan dua metode
penelitian (kuantitatif dan kualitatif). Pengumpulan data
responden atau narasumber dilakukan dengan pengisian
kuesioner secara kuantitatif serta secara kualitatif melalui
wawancara dan FGD.
Salah satu beasiswa yang diberikan oleh Kementerian
Pendidikan Dasar dan Menengah adalah beasiswa ADEM
(Afirmasi Pendidikan Menengah). Beasiswa ADEM ini adalah
bentuk perhatian nyata dalam percepatan pembangunan di
Provinsi Papua dan Papua Barat yang telah diberikan
kewenangan yang lebih besar dalam mengurus dan membangun
wilayahnya khususnya mengembangkan kualitas sumberdaya
manusia agat dapat sejajar dengan daerah lainnya di Indonesia.
Pada tahun 2015 sedikitnya 1000 pelajar Propinsi Papua
yang telah lulus SMP menerima beasiswa dari Pemerintah Pusat
melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik
Indonesia. Para siswa penerima beasiswa ini akan bersekolah
pada SMA yang kualitasnya jauh lebih tinggi bila dibandingkan
dengan sekolah-sekolah yang ada di Papua.

Beasiswa ADEM ini memberikan bantuan biaya sekolah


dan biaya hidup yang sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah

878
yang disalurkan langsung ke rekening masing- masing penerima
beasiswa sedangkan biaya sekolah disalurkan ke sekolah
tempat anak tersebut sekolah. Propinsi Jawa Timur dalam
program beasiswa ADEM selama lima tahun berturut-turut telah
menerima siswa dari Papua yang ditempatkan di beberapa SMA
di Jawa Timur. Penerima beasiswa ADEM tersebut ditempatkan
tersebar di beberapa kabupaten, yakni Kabupaten Madiun,
Malang, Batu, Blitar, Kediri dan Kota Malang. Siswa penerima
beasiswa ADEM tersebut berasal dari berbagai kota kabupaten/
kota di Provinsi Papua diantaranya dari Kota Jayapura,
Kabupaten Keerom, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Jayawijaya,
Kabupaten Mamberamo Tengah, Kanupaten Mamberamo Raya,
Kabupaten Nguga, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Yalimo,
dan Kabupaten Tolikara.
Selain dari beasiswa Pemerintah, juga terdapat beasiswa
dari beberapa perusahaan, salah satunya adalah Beasiswa
Sekolah Sobat Bumi dari Pertamina. Beasiswa ini pun
memberikan fasilitas yang sama dengan beasiswa dari
Pemerintah, namun di kota Malang PT Pertamina bekerjasama
dengan SMA Negeri 10 Malang untuk menitipkan para siswa
penerima beasiswa agar dapat melanjutkan studinya.

Information Interchange

879
Pada penelitian ini mengacu pada teori Information
Interchange (Marcella & Baxter dalam Fisher et.al, 2008:204-
209) menyebutkan terdapat perbedaan signifikan peran dan
tujuan informasi yang ‘para komunikatee’ miliki, peroleh, pilah,
akses dan gunakan dalam interaksi yang kompleks di antara
setidaknya dua pihak dengan konsepsi tujuan yang berpotensi
konflik dalam proses tukar menukar informasi, yang mana semua
komunikatee dipengaruhi oleh agenda atau konteksnya masing-
masing. Teori ini juga mengakui bahwa para komunikatee akan
mendemonstrasikan informasi dengan tingkat keaktifan atau
kepasifan yang beragam dalam konteks perilaku informasi yang
berbeda dan bahwa setiap aktor mungkin mengasumsikan peran
yang berbeda dan tingkat keaktifan/motivasi/keterpaan informasi
yang berbeda dalam beragam konteks kehidupan. Secara
skematik, kerangka teoretis Information Interchange (disadur
dari Fisher: 2008: 207) yang digunakan dalam penelitian ini
dapat digambarkan dalam bentuk bagan kerangka pemikiran di
berikut ini.

Tabel 2. Proses komunikasi information interchange dalam


hubungan dan peran yang dimiliki penyedia informasi dan
pengguna informasi
Berdasarkan teori Information Interchange, Kementerian
Pendidikan Dasar dan Menengah sebagai penyedia informasi

880
mengungkapkan bahwa pihaknya telah mendiseminasikan
kebijakan tentang perubahan penilaian ujian nasional sejak awal
Penyedia Informasi Pengguna Informasi
(Kementerian (Para siswa SMA
Pendidikan Dasar asal Indonesia
dan Menengah) Timur)
Tujuan diseminasi Pencarian informasi
untuk menciptakan berdasarkan minat,
masyarakat melek manfaat dan
informasi kegunaan praktis

Tujuan diseminasi Pengguna informasi


untuk menciptakan memiliki kebutuhan
respon positif atas yang rendah atas
informasi UN CBT informasi UN CBT.
Pengguna informasi
membutuhkan
informasi yang
objektif dan
terpercaya dalam
pengambilan
keputusan
Penyedia informasi Pengguna informasi
berasumsi bahwa memiliki kebutuhan

881
masyarakat memiliki informasi yang
kebutuhan yang berbeda
sama dan dapat
diprediksi
Pengguna
informasi memiliki
karakteristik yang
hampir mirip antara
satu dan lainnya di
wilayah tertentu.
Untuk mengetahui Pengguna informasi
opini masyarakat, memberikan respon
penyedia informasi berbeda kepada
mengukur respon penyedia informasi
pengguna informasi berdasarkan
terhadap informasi keuntungan yang
yang diperolehnya
didiseminasikan
Penyedia informasi Pengguna informasi
menekankan merasa bahwa
kebutuhan informasi pemerintah tidak
dan penyatuan mudah dimengerti
pendapat serta tujuan kebijakan
kebutuhan

882
menciptakan yang
masyarakat melek didiseminasikan
informasi
Penyedia informasi Pengguna informasi
terkadang kurang
beranggapan memperhatikan isu
kurang fokus pada utama kebijakan
isu utama kebijakan namun lebih
dan pengemasan cenderung menilai
pesan yang kurang negatif atas
efektif penyampaian pesan
Penyebarluasan Kebutuhan informasi
informasi cenderung reaktif
diharapkan proaktif dan tidak dapat
dan purposif diprediksikan
tahun 2015 kepada seluruh sekolah menengah pertama dan
menengah atas di Indonesia namun tetap membuka ruang bagi
sekolah yang menyatakan tidak sanggup untuk melaksanakan
ujian nasional berbasiskan komputer (lihat data di Tabel 1). Bagi
siswa SMA asal Indonesia Timur yang menempuh studinya di
beberapa SMA di kota Malang hal ini tidak dapat ditawar lagi
karena sekolahnya menyatakan kesiapan melaksanakan ujian
nasional berbasiskan komputer. Hal ini menjadi tantangan
tersendiri bagi para siswa tersebut.

883
Proses adaptasi para siswa SMA asal Indonesia Timur
berkaitan dengan adaptasi sosial, budaya, materi dan
lingkungan pembelajaran, serta perkembangan teknologi.
Penelitian ini memfokuskan pada adaptasi materi dan
lingkungan pembelajaran serta perkembangan teknologi. Proses
adaptasi ini telah dimulai sebelum keberangkatan mereka ke
Pulau Jawa secara mandiri maupun adanya sosialisasi dari
Pemerintah Daerahnya.
Adanya kesenjangan dari aspek pemahaman materi
pembelajaran yang sangat dirasakan oleh sebagian besar siswa
SMA asal Indonesia Timur menyebabkan mereka sedikit
tertinggal pada 2 (dua) bulan pertama. Upaya yang mereka
lakukan saat mencari informasi seputar pelajaran sekolah adalah
berdiskusi dengan guru dan teman sekolah secara tatap muka,
sedangkan penggunaan telepon genggam hanya dilakukan jika
membutuhkan konfirmasi pengerjaan tugas. 98% narasumber
menyatakan bahwa akan mencari informasi melalui mesin
pencarian seperti Google hanya saat buku referensi yang
mereka baca kurang dapat memberikan penjelasan serta
ilustrasi yang mereka butuhkan. Alasan diskusi tatap muka
menjadi pilihan utama narasumber dalam meminimalisir
kesenjangan materi pembelajaran karena guru dan teman
sekolah masih menjadi sumber (komunikator) yang terpercaya
serta dapat melakukan konfirmasi secara langsung dan berulang

884
kali hingga mereka memahami betul materi pelajarannya.
Sedangkan jika mereka hendak menggunakan telepon genggam
untuk diskusi maka mereka harus menyediakan dana ekstra
sehingga komunikasi yang terjadi melalui SMS dan hanya
sebatas diskusi singkat.
Selanjutnya pada penelitian ini kami juga menanyakan
pengetahuan seputar UN CBT, seluruh narasumber menyatakan
mengetahui UN CBT melalui variasi sumber informasi
diantaranya: kakak kelas, teman sekolah, dan pengumuman dari
pihak sekolah. Tidak ada satu narasumber pun yang mengetahui
informasi UN CBT dari Kementerian Pendidikan Dasar dan
Menengah baik melalui sosialisasi langsung maupun website
resmi kementerian. Hal ini sesuai dengan asumsi teori
Information Interchange yang beranggapan bahwa terdapat
perbedaan peran dan persepsi yangdimiliki oleh penyedia
informasi (Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah)
dengan pengguna informasi (siswa SMA asal Indonesia Timur).
Selain materi pembelajaran yang menjadi titik
kesenjangan, terdapat pula aspek teknologi komunikasi yang
menjadi hambatannya. Tantangan teknologi komunikasi yang
dihadapi terbagi menjadi dua yakni: aksesibiltas atas teknologi
komunikasi serta kemampuan teknis penggunaan teknologi
komunikasi. 90% narasumber mengungkapkan bahwa mereka
memiliki akses teknologi komunikasi yang tinggi terutama

885
dengan kepemilikan telepon genggam pribadi dan ketersediaan
komputer yang tersedia di SMA masing-masing. Dengan
demikian para siswa SMA asal Indonesia TImur yang menjadi
narasumber penelitian ini dapat digolongkan kedalam kategori
melek teknologi komunikasi.
Melek teknologi komunikasi yang dimiliki siswa SMA asal
Indonesia Timur seharusnya dibarengi pula dengan kemampuan
mengoperasikan teknologi komunikasi agar dapat mengikuti
pelaksanaan UN CBT di SMA masing-masing. Penggunaan
telepon genggam dengan mengeksplorasi berbagai aplikasi
yang terdapat di media sosial dapat menjadi latihan pribadi
setiap siswa SMA asal Indonesia Timur, walaupun terdapat
waktu tertentu dalam penggunaannya seperti yang diterapkan
oleh pengelola SMA Negeri 10 Malang.

Kesimpulan
Ujian nasional berbasiskan komputer yang menuntut
setiap peserta ujian menjawab seluruh pertanyaan dalam tes
ujian dengan menggunakan komputer menjadi kendala bagi
siswa SMA asal Indonesia Timur disebabkan di daerah asalnya
(sebagian besar berasal dari Papua) tidak memiliki kurikulum
pembelajaran komputer atau teknologi informasi dan komunikasi
(TIK) sehingga mereka merasa ragu dan kuatir tidak dapat
mengoperasikan komputer. Beragam cara dilakukan oleh pihak

886
sekolah (SMA) untuk mensosialisasikan penggunaan komputer
saat ujian nasional, salah satunya adalah diberlakukannya
sistem ujian tengah dan akhir semester berbasiskan komputer
agar para siswa terbiasa mengoperasikan komputer.
Cara ini terbukti mampu meningkatkan kemampuan siswa
SMA asal Indonesia Timur dalam mengoperasikan komputer.
Hal ini pun mampu meningkatkan rasa percaya diri siswa untuk
menghadapi ujian nasional berbasiskan komputer. Proses
adaptasi teknologi komunikasi ini dilakukan secara berkelanjutan
agar terinternalisasi serta membentuk kemampuan dasar siswa
SMA asal Indonesia TImur, namun sayangnya hal ini tidak
dipelopori oleh Pemerintah (Kementerian Pendidikan Dasar dan
Menengah) sehingga tidak menyentuh sekolah-sekolah (SMP
dan SMA) lainnya. Hasil penelitian ini membentuk dua simpulan
sebagai berikut:
1) Adaptasi materi pembelajaran dilakukan dengan
melakukan diskusi tatap muka dengan guru sekolah dan
teman sekolah. Penggunaan telepon genggam hanya
diperlukan untuk konfirmasi pelajaran.
2) Adaptasi teknologi komunikasi dimulai dari aksesibilitas
siswa SMA asal Indonesia Timur atas telepon genggam
dan komputer yang kemudian diinternalisasi melalui
kebijakan sekolah yang mengadakan ujian tengah dan
akhir semester dengan menggunakan komputer.

887
Daftar Pustaka
Adimihardja, Kusnaka., Hikmat, Harry. (2004). Participatory
Research Appraisal dalam PelaksanaanPengabdian
kepada Masyarakat. Humaniora Utama Press. Bandung.
Bem, D.J. (1970). Beliefs, Attitudes, and Human Affair . Cole
Publishing Company. Belmont, California. Chordia Chu.
(1994). The Ecological of Public Health. Griffith University
Press.
Cohen, J.M. (1977). Rural Development: Participation Concept
and Measurement Project Design,Implementation and
Evaluation. Pergamon Press Ltd. Great Britain.
Collin, B.E. (1970). Social Psychology. Addison-Wesley.
Massachussets.
Depari, E., dan McAndrews, C. (1978). Peranan Komunikasi
Massa dalam Pembangunan. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
Fisher, Karen, et.al. (2008). Theories of Information Behavior.
Ess Ess Publications. New Jersey. Khairuddin, H. (1992).
Pembangunan Masyarakat: Tinjauan Aspek Sosial,
Ekonomi dan Perencanaan. Liberty. Yogyakarta.
Mubyarto. (1984). Strategi Pembangunan Pedesaan. Pusat
Penelitian Pembangunan Pedesaan danKawasan. UGM.
Yogyakarta.

888
Ndraha, T. (1982). Metodologi Pembangunan Desa. Bina
Aksara. Jakarta.
Pareek U. (1985). Mendayagunakan Peran-peran
Keorganisasian. PT. Pustka Binaman Pressindo. Jakarta.
Rakhmat, Jallaluddin. (1991). Psikologi Komunikasi. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Rogers, Everett M. (1982). Komunikasi dan Pembangunan:
Perspektif Kritis. LP3ES. Jakarta.
Rogers, Everett M dan Shoemaker, Floyd. (1971).
Communication of Innovation: A Cross-CulturalApproach.
The Free Press. New York.
_____________. (1987). Memasyarakatkan Ide-ide Baru.
(disarikan oleh Abdillah Hanafi). Usaha Nasional.
Surabaya.
Sastropoetro, R.A.S. (1988). Partisipasi, Komunikasi, Persuasi
dan Disiplin dalam PembangunanNasional. Alumni.
Bandung.
Susanto, A.S. (1974). Komunikasi dalam Teori dan Praktek.
Binacipta. Bandung.
Tjondronegoro, S.M.P. (1978). Modernisasi Pedesaan: Pilihan
Strategi Dasar Menuju Lepas Landas. Prisma No. 3/ Tahun
VII-April 1978.
United Nations. (1963). Community Development and National
Development. New York.

889
*)Nindi Aristi, S.Sos., M.Comn.
Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran
Email: n_aristi@yahoo.com

890
KETERGANTUNGAN REMAJATERHADAPMEDIASOSIAL:
TRANSFORMASIBUDAYAREMAJA

Dyva Claretta*, TatikNuryanti**

Pendahuluan
Pada awal-awal lahir internet lebih banyak digunakan
sebagai media untuk mendapatkan informasi tentang segala hal.
Pesatnya perkembangan internet kemudian terjadi pergeseran
fungsi dari internet. Beberapa waktu lalu internet digunakan
untuk melepaskan diri dari depresi atau rasa kesepian. Tetapi hal
itu terbantahkan karena beberapa penelitian komunikasi saat ini
menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara
penggunaan internet dengan kesehatan psikologis individu.
Artinya internet telah memberikan “amunisi” bagi setiap
penggunanya untuk lebih mengekspresikan dan
mengaktualisasikan diri didunia maya. Didukung dengan hasil
penelitian tersebut dan mudahnya internet diterima masyarakat
membuat jumlah pengguna internet bertambah setiap waktu.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika menyebutkan
bahwa pengguna internet hampir setengahnya adalah remaja
awal dengan usia 8-17 tahun (49%) dan remaja akhir dengan
usia 18-25 tahun sebesar 51% (Clark,1998:159). Dengan internet
891
para remaja tersebut menghabiskan waktunya untuk
mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan mudah dan
bebas. Pertumbuhan penggunaan Internet di Indonesia juga
terus meningkat. Jika ditahun 2010 lalu rata-rata penetrasi
penggunaan Internet di kota urban Indonesia masih 30-35
persen, di tahun 2011 ini ditemukan oleh Mark Plus Insight
bahwa angkanya sudah dikisaran 40-45 persen. Menurut Mark
Plus Insight, jumlah pengguna Internet di Indonesia pada tahun
2011 ini sudah mencapai 55 juta orang, meningkat dari tahun
sebelumnya diangka 42 juta (Kertajaya, 2010:78). Dari jumlah
tersebut ternyata sebagian besar cenderung berusia muda. Hasil
penelitian Yahoo dan Taylor Nelson Sofres (TNS) Indonesia
menunjukkan pengakses terbesar di Indonesia adalah mereka
yang berusia antara 13-19 tahun. Sementara pada peringkat dua
ditempati oleh pengguna berusia 20-24 tahun dengan
prosentase 42 persen dan urutan terakhir ditempati usia 45-50
tahun. Selanjutnya penelitian tersebut menyebutkan bahwa 62%
anak-anak mengakses internet untuk situs-situs media sosial.
Sedangkan sebanyak 43% untuk mengakses ke game online dan
23% untuk melakukan “dating” (Norton Online Living Report,
2010). Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa media
tersebut sangat ”memanjakan” penggunanya dalam mengakses
internet. Ketika internet semakin berkembang dan memiliki daya
Tarik luar biasa bagi kehidupan remaja maka internet akan

892
menjadi bagian dari kehidupan mereka. Salah satu alas an orang
menggunakan internet adalah untuk berkomunikasi dengan
orang lain. Melalui penggunaan media social yang ada pada
internet seperti email, instant message, situs jejaring social, blog
individu dapat berkomunikasi dengan individu lain. Hal ini
dikarenakan kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia adalah
dorongan untuk selalu berkomunikasi dan berinteraksi dengan
individu lain. Komunikasi yang terjadi pada internet cenderung
melengkapi komunikasi yang sudah ada. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Bargh dan McKenna (2000) menunjukkan bahwa
komunikasi melalui internet dapat memberikan efek positif bagi
individu dalam membangun dan membina hubungan social
menjadi hubungan social yang kuat dan memuaskan kedua
belah pihak.

Remajadan PerilakuKecanduan Internet


Sebagaimana hasil penelitian yang ada bahwa situs yang
paling banyak dikunjungi oleh remaja adalah media social
terutama situs jejaring sosial. Bahkan facebook menduduki
peringkat pertama sebagai situs yang banyak dikunjungi
mengalahkan situs mesin pencari google. Penelitian yang
dilakukan oleh Pelling,L,Emma (2009) terhadap remaja usia17-
24 tahun yang menunjukkan bahwa dalam sehari mereka
mengunjungi 4 kali situs jejaring social bahkan terkadang lebih.

893
Tingginya penggunaan situs jejaring social pada remaja
dikarenakan pada usia remaja dalam perkembangan
psikologisnya remaja selalu ingin berkelompok atau berteman
sebanyak-banyaknya. Selain dikarenakan sifat dasar manusia
sebagai makhluk social yang ingin selalu berinteraksi denganl
ingkungannya.
Faktanya internet melalui situs jejaring social mampu
memberikan apa yang menjadi kebutuhan remaja yaitu
kebutuhan untuk aktualisasi diri serta untuk menjalin
pertemanan. Sebagaimana tahapan psikologis bahwa usia
remaja merupakan tahap dimana individu ingin mendapatkan
teman sebanyak-banyaknya baik dengan usia sebaya maupun
orang dewasa Sarwono, WS,2005:29). Kondisi tersebut akhirnya
mendorong remaja lebih banyak memilih internet dengan segala
akses kemudahannya. Hal inilah yang kemudian membuat
remaja tidak bias lepas dari internet.
Dalam sebuah artikel majalah CMC yang berjudul ”I’m
online, you’re online, salah satu tokoh CMC, Steve Jones (1996)
menuliskan sebuah ide bahwa suatu saat akan muncul
kecanduan internet pada individu. Kecanduan terhadap internet
ini akan menjadi ”ketakutan” baru dalam kehidupan masyarakat
karena perkembangan teknologi (internet) yang pesat.
Kecanduan terhadap internet pada dasarnya bukan
kencanduan terhadap teknologinya melainkan kecanduan pada

894
pilihan dan perhatian orang yang lebih memilih menggunakan
internet untuk membangun interaksi social secara online.
Perkembangan internet yang pesat dan mudah diakses
dengan beragam fasilitas yang ada didunia maya nampaknya
menimbulkan ketakutan pada masyarakat. Mengingat internet
mampu menghubungkan individu dengan menembus batas
ruang dan waktu. Seberapa banyak waktu yang dihabiskan
individu untuk berselancar ada dunia maya? Pertanyaan seperti
ini yang mengarah pada kecurigaan adanya kecanduan internet.
Terutama berkaitan dengan banyaknya waktu yang dihabiskan
ketika ”online”.
Thurlow, et.al (2004) menuliskan ketergantungan dengan
mengacu pada American Psychiatric Association’s Diagnostic
and Statistical Manual Mental Disorders (DSM) bahwa
kecanduan masuk dalam kategori ”ketergantungan zat”. Artinya
adanya kerusakan secara psikologis dalam tubuh individu.
Gejala-gejala adanya kecanduan tersebut adalah: kehilangan
kendali, menarik diri dari masyarakat, dan adanya penggunaan
atau konsumsi yang berulang meskipun telah merusak tubuh.
Namun tidak bisa dipastikan bahwa gejala kecanduan terhadap
zat terlarang tersebut bias digunakan untuk mengukur
kecanduan internet.
Goldberg pada tahun 1995 menuliskan pengertian tentang
Internet Addiction Disoreder yaitu: Pola maladaptive dalam

895
menggunakan internet, yang menimbulkan kerusakan atau
kesulitan yang disertai dengan gejala:
a. Tolerance yang ditandai adanya peningkatan waktu yang
digunakan untuk menggunakan internet demi mencapai
kepuasan
b. Gejala menarik diri: adanya kecemasan, berpikir obsesif
tentang apa yang terjadi di internet atau bermimpi tentang
internet, terjadi gerakan mengetik baik disengaja maupun
tidak disengaja
c. Banyaknya waktu yang digunakan untuk berselancar di dunia
maya (seperti membeli bukuinternet, selalu browsing website
baru, mendownload semua file yang ada di internet)
d. Berkurangnya atau tidak dilakukannya kegiatan sosial,
pekerjaan, atau rekreasi karena lebih banyak menggunakan
internet.

Bahwa individu yang menggunakan media sosial telah


menghabiskan waktunya untuk menjalin dan membangun
hubungan dengan individu lain di dunia maya. Waktunya
dihabiskan di dunia online. Mengacu pada beberapa indicator
diatas maka individu yang lebih banyak menghabiskan waktunya
didepan internet dapat dikategorikan sebagai remaja yang
kecanduan internet. Beberapa studi menunjukkan bahwaf aktor-
faktor psikologi social atau personality seperti kesepian, depresi,

896
motivasi yang buruk, ketakutan untuk ditolak, sensasi pencarian
(berselancar) dan kebutuhan untuk didukung merupakan factor
yang menjadi penyebab munculnya perilaku kecanduan internet
pada remaja. Bahkan studi lainnya yang dilakukan Seo, Kang
dan Yom padat ahun 2009 menunjukkan bahwa ada korelasi
positif antara masalah-masalah pribadi dengan kecanduan pada
internet (Zhong, Xin, et.all, 2011:1021).
Bahkan penelitian yang dilakukan diKorea Selatan tahun
2008 oleh Park, Kim, dan Cho menemukan bahwa faktor-faktor
seperti pola asuh orang tua, pola komunikasi keluarga dan
kohesifitas keluarga juga adanya factor kekerasan dalam
keluarga cenderung membentuk perilaku kecanduan internet
pada remaja (Zhong, Xin, 2011:1023).

Jejaring Sosialdan Remaja


Karakteristik media sosial yang mampu menghubungkan
individu dengan individu lain dengan menembus ruang dan waktu
menjadi daya tarik tersendiri bagi penggunanya. Media social
khususnya jejaring sosial dapat membantu remaja dalam
membangun jati diri, termasuk membangun hubungan social dan
berkomunikasi dengan remaja lainnya. Popularitas dan
tingginya penggunaan situs jejaring social pada akhirnya menjadi
pilihan komunikasi bagi remaja Sebuah penelitian yang dilakukan
Lenhart (2009) tentang ”Bagaimana remaja berkomunikasi setiap

897
harinya ”ternyata menunjukkan bahwa remaja usia 12-17 tahun
sebanyak 51% berkomunikasi melalui internet dengan
mengakses situs jejaring sosial. Hanya 29% remaja yang
berkomunikasi dengan temannya secara tatap muka (face-to-
face communication). Hal ini menunjukkan betapa dunia maya
(melalui situs jejaring sosial) telah mampu menggantikan bentuk
komunikasi dalam kehidupan social remaja.
Ramainya penggunaan media sosial, khususnya
dikalangan remaja ternyata tidak diikuti dengan pengetahuan
dan bimbingan yang memadai dari para orang tuanya. Banyak
orang tua yang masih awam bahkan melakukan ”pembiaran”
ketika sang anak menggunakan internet. Selain itu orang tua
dengan kesibukannya sehingga kurang memperhatikan anak-
anaknya sehingga guna melepaskan kesepiannya anak-anak
menghabiskan waktunya dengan menggunakan internet maka
hal ini cenderung akan mendorong pada perilaku addictive pada
internet. Beberapa penelitian yang dilakukan di Cina pada tahun
2010 menunjukkan bahwa 14,1% remaja mengalami kecanduan
pada internet. Sedangkan penelitian yang dilakukan di
masyarakat barat dan Eropa sebagaimana yang dikutip oleh
XinZhong, et.al (2011) menunjukkan 17,9% remaja mengalami
kecanduan pada internet. Bahkan para orang tua menganggap
berselancar di internet hal yang biasa bagi anak-anak sekarang.
Akibatnya banyak remaja yang menggunakan internet tanpa

898
control atau pun pengawasan dari orang tua. Beberapa studi
yang dilakukan di masa lalu menunjukkan ada hubungan antara
faktor lingkungan dan keluarga dengan perilaku kecanduan pada
internet (Xin Zhong, 2011: 1022)
Orang tua cenderung “percaya” dan membiarkan anak
ketika sang anak sering “asyik” sendiri berkutat dengan media
onlinenya baik melalui handphone maupun netbooknya. Selain
itu juga aturan yang dibuat para orang tua terhadap penggunaan
internet masih sangat longgar. Bisa jadi orang tua menilai bahwa
ketika anak ”berdiam diri” dirumah sambil mengakses internet
adalah hal yang lebih baik dari pada anak diluar rumah. Padahal
anak-anak dalam menggunakan internet cenderung lebih
individual dan hidup dalam dunianya sendiri.
Artinya bahwa banyak anak remaja yang tidak tahu atau
tidak menyadari dampak negatif dari internet. Bahkan mereka
juga tidak tahu bagaimana menggunakan internet secara aman.
Mereka pun jarang mengkomunikasikan apa yang sudah mereka
akses melalui internet dengan orang tua mereka. Sebagaimana
hasil penelitian Boyd (2006: 84) yang menyebutkan bahwa hanya
37% orang tua yang selalu mengkomunikasikan bersama
anaknya setiap kali anaknya menggunakan internet.
Situs jejaring sosial mampu memenuhi memberikan
kenyamanan dan kepuasan individu dalam berkomunikasi dan
berinteraksi dengan pihak lain. Beberapa studi menunjukkan

899
bahwa berinteraksi melalui media social seperti email dan
messenger biasanya hanya dilakukan pada teman-teman yang
sudah dikenal dengan baik. Sedangkan membina hubungan dan
berkomunikasi melalui situs jejaring social lebih efektif dari pada
menggunakan media social lainnya. Bahkan situs jejaring social
mampu membangun dan membina hubungan yang sudah buruk
menjadi lebih baik karena tingginya kepercayaan individu
terhadap situs jejaring social sebagai sarana untuk
berkomunikasi dan berinteraksi (Pollet, V.Thomaset. all: 2011).
Situs jejaring social mampu memberikan sarana bagi individu
untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan individu lain. Situs
jejaring sosial telah menjadi saluran komunikasi penting yang
digunakan individu untuk menciptakan pesan, membagi ide-ide
yang dimilikinya, mengekspresikan opini dan menggunakan
informasi yang ada di media sosial sebagai informasi dan
pengetahuan baru bagi individu.
Pada situs jejaring social individu mampu berinteraksi dan
berkomunikasi dengan individu lain meskipun dipisahkan oleh
jarak geografis yang jauh bahkan terkadang diantara individu
tersebut belum saling mengenal dengan baik. Pada situs jejaring
social setiap individu dalam mengkonstruksikan profil dirinya
seperti latar belakang pendidikan, ketertarikannya pada sesuatu
hal, hobby dan informasi demografis lainnya untuk disebarkan
kepada individu lain.

900
Remaja sekarang ini tumbuh dan berkembang bersama
dengan Internet dimana Internet telah menjadi bagian dari
kehidupan remaja. Usia remaja merupakan tahap pembentukan
konsep diri. Dimana pada usia remaja sedang terjadi proses
pencarian konsep diri tersebut. Pada proses tersebut maka
lingkungan sosial akan memberikan kontribusi yang signifikan
pada proses pembentukan jati diri remaja. Pada proses
perkembangan diri remaja tersebut remaja membutuhkan
teman atau orang lain untuk saling berbagi. Internet mampu
menghubungkan teman dan keluarga juga mampu membantu
remaja dalam melebarkan dan memperbanyak pertemenannya.
Studi yang dilakukan Ando dan sakamoto (2008) menyatakan
bahwa remaja yang memiliki “teman-teman cyber” dapat
membantu remaja dalam mengusir kesepiannya dan
mengurangi kecemasan sosialnya. Selain itu juga Internet
mampu meningkatkan keakraban dengan sahabat-sahabatnya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
situs jejaring social dapat meningkatkan self-esteem remaja.
Sebagaimana yang diketahui bahwa masa remaja merupakan
proses dimana remaja mencari jati diri. Dalam pembentukan jati
diri dan konsep diri itulah maka media social khususnya situs
jejaring sosial yang mampu mempresentasikan individu dengan
baik dinilai oleh kalangan remaja sebagai sarana yang tepat.
Artinya budaya yang selama ini hidup dilingkungan sosial

901
kitayaitudiantaranyabudaya untuk bertegur sapa (secara fisik),
peduli dengan lingkungan sekitarnya, nampaknya akan segera
pudar di kalangan remaja berganti dengan budaya baru dan nilai-
nilai baru yang di yakini remaja setelah menggunakan situs
jejaring sosial. Akibatnya remaja tidak peduli dengan kehidupan
social dan interaksi social secara nyata.

Transformasi Budaya pada Remaja


Saat ini internet telah masuk dalam sendi-sendi kehidupan
remaja. Akibatnya pola komunikasi dan pola interaksi pun
mengalami banyak perubahan. Studi yang dilakukan oleh Bargh
dan McKenna (2000) dan Valken burg dan Peter (2006) membagi
masyarakat pengguna internet dalam dua kelompok yaitu
kelompok “cyber pessimists” dan kelompok “cyber optimists”.
Mereka yang ada pada kategori “cyber pessimists” menilai
bahwa internet akan memberikan efek negative pada kehidupan
social. Waktu yang dihabiskan untuk “berselancar” didunia maya
akan menghilangkan waktu untuk bersosialisasi terutama
dengan keluarga dan melakukan aktifitas tatap muka lainnya.
Sedangkan mereka yang ada dalam kategori “cyber optimists”
berpendapat bahwa internet memiliki efek yang postif bagi
kehidupan social individu. Komunikasi yang dilakukan dalam
dunia maya cenderung untuk melengkapi bentuk-bentuk

902
komunikasi yang lain, sehingga dapat membina hubungan
menjadi lebih menyenangkan.
Pada dasarnya komunikasi melalui media social dapat
membuat individu lebih mudah dalam mengembangkan
networking. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh
Gonzales & Hancock (2011:82) bahwa situs jejaring social
memberikan sarana bagi individu untuk mempresentasikan diri
dengan mengkonstruksikan terlebih dahulu baik identitasnya,
pemikirannya maupun foto diri untuk disebarkan kepada orang
lain. Oleh karena itu komunikasi dengan menggunakan media
social bagi individu lebih leluasa dan merasa lebih nyaman
karena identitas diri individu bias tersamar. Dalam media social
individu bias saling membuka diri dan saling berbagi informasi
maupun pengetahuan. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan
individu pengguna internet yang sebagian besar adalah remaja
lebih memilih menghabiskan waktunya di depan computer untuk
berinteraksi dan berkomunikasi dengan individu lain. Media
social mampu memenuhi kebutuhan remaja dalam
mengaktualisasikan dirinya dan dalam membangun serta
membina pertemanan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan
oleh EmmaL. Pelling, et.all (2009) menunjukkan bahwa
selfidentity memberikan pengaruh pada tingginya perilaku
remaja dalam menggunakan situs jejaring social. Bahkan yang
mengejutkan penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa situs

903
jejaring social bagi remaja telah menjadi bagian penting dalam
menunjukkan identitas diri remaja, oleh karena itu penggunaan
situs media social semakin tinggi pada kalangan remaja.
Selanjutnya penelitian tersebut menuliskan bahwa remaja
yang memiliki self-identity yang kuat dalam situs jejaring social
yang digunakannya dan memiliki kebutuhan untuk berinteraksi
yang kuat dengan individu lain cenderung memiliki perilaku
kecanduan pada situs jejaring social. Penelitian yang dilakukan
oleh Pollet, et.all (2011:255) bahwa individu yang menggunakan
Instant messaging dan situs jejaring social memiliki dukungan
kelompok yang lebih besar, simpati kelompok yang baik, dan
jumlah pertemanannya lebih banyak daripada mereka yang
tidak menggunakan media social. Selanjutnya penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa responden yang menghabiskan
waktunya dengan menggunakan situs jejaring sosial memiliki
teman online lebih banyak dan sering melakukan kontak setiap
minggunya tetapi secara offline tidak pernah dilakukan untuk
mengontak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep
sosialisasi pada diri remaja sudah bergeser. Remaja lebih
banyak melakukan sosialisasi yang termediasi oleh internet.
Termasuk bagaimana remaja dengan mudah mendapatkan
teman melalui jejaring sosial. Sebagian besar remaja pengguna
internet tampak merasa nyaman dalam menggunakan internet.
Tingginya tingkat penggunaan internet tersebut perubahan

904
dalam kehidupan social mereka. Mengingat internet sebagai
sebuah bentuk dari perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi akan memberikan dampak cultural dan social pada
kehidupan manusia, apalagi anak-anak atau remaja, dimana
pada usia tersebut masih sangat rentan terhadap pengaruh dari
lingkungannya termasuk internet.
Tidak bias dipungkiri bahwa internet banyak memberikan
kemudahan bagi penggunanya khususnya remaja. Tetapi yang
harus disadari remaja bahwa internet pun akan sangat rentan
dampak negatifnya. Karena usia anak atau remaja awal masih
labil sehingga mudah terpengaruh oleh lingkungannya, termasuk
internet. Hal-hal yang akan merusak perkembangan anak akibat
seringnya mengakses internet diantarnya adalah: masalah
banyak dan mudahnya akses pornografi, pemangsa seksual
yaitu oknum yang memanfaat internet untuk memangsa anak-
anak dengan memanfaatkan situs jejaring social maupun
chatting untuk melakukan hubungan seks, dan yang terakhir
adalah kecanduan internet yaitu anak akan banyak
menghabiskan waktu dengan berselancar diinternet sehingga
lebih tertutup dan hanya mau berhubungan dengan orang
tertentu, sehingga anak mengabaikan kehidupan social. Bisa jadi
nilai-nilai sosial dan norma social bahkan nilai kebangsaan akan
hilang dalam kehidupan anak- anak digantikan dengan nilai dan
norma social baru yang mereka dapatkan dari internet.

905
Terlepas dari bagaimana media sosial mampu membuat
remaja merasa tidak kesepian karena media social mampu
menghubungkan antar individu namun media social memiliki
dampak dalam kehidupan remaja. Diantaranya remaja menjadi
apatis atau tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya dan
membuat remaja kurang bersosialisasi dengan masyarakat
sekitar, karena remaja menjadi lebih suka dan merasa nyaman
bersosialisasi didunia maya. Hal ini mengakibatkan remaja
menjadi jarang keluar rumah, lebih suka menghabiskan
waktunya di depan laptop atau gadget yang dimilikinya sampai
lupa waktu. Dampak tersebut tidak berhenti pada tahapan
habisnya waktu remaja dengan internet, tetapi yang juga harus
mendapatkan perhatian adalah menurunnya keinginan remaja
untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan keluarga. Sebuah
penelitian yang dilakukan Young Soo Shim pada tahun 2004
menyatakan bahwa remaja yang menggunakan internet
cenderung berkurang keinginannya untuk berkomunikasi secara
tatap muka dengan keluarganya. Lebih jauh penelitian tersebut
menyebutkan bahwa remaja yang memiliki kebiasaan
menggunakan internet maka akan berkurang keinginannya untuk
meluangkan waktu bersama dengan keluarganya.
Dengan demikian telah terjadi sebuah transformasi dalam
kehidupan remaja terutama ketika remaja harus memaknai
konsep interaksisosial, sosialisasi, dan komunikasi. Bagi remaja

906
pengguna internet nilai-nilai tentang keluarga yang seharusnya
didalamnya terdapat kebersamaan dalam satu waktu berubah
menjadi sebuah kebersamaan yang tidak harus bersama dalam
satu waktu. Remaja cenderung menghabiskan waktu untuk
berselancar di internet dari pada menghabiskan waktu bersama
keluarga. Demikian juga dengan nilai sosialisasi dimana remaja
lebih “menikmati” melakukan proses sosialisasi yang termediasi
melalui media internet. Dimana dalam proses sosialisasi yang
termediasi tersebut remaja merasa lebih mudah dalam
mendapatkan banyak teman dalam waktu yang singkat.
Terjadinya perubahan social tersebut sebaiknya harus menjadi
perhatian baik bagi orang tua maupun remaja mengingat
perubahan tersebut akan berdampak negative jika tidak
diantisipasi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh seorang
psikolog Israel Yair Amichai-Hamburger dan Elishia Ben (2003)
menunjukkan bahwa penggunaan internet tidak saja membuat
individu menjadi terasing tetapi juga akan membuat individu
terisolasi karena banyaknya waktu yang dihabiskan untuk
berselancar didunia maya (Thurlow,2004:155). Hal inilah yang
harus menjadi perhatian bersama yaitu terisolasinya remaja atau
bisa dikatakan remaja merasa asing dengan lingkungan social
terdekatnya.

Daftar Pustaka

907
Ando, R & Sakamoto A. 2008. The effect of Cyber-friend son
Loneliness and Social Anciety: Differences between
high and lowself-evaluated physical attractiveness
groups. Human Behavior, 24,p. 993-1009
Boyd,.d.2006. Identity Production in a Networked Culture. In
American Association for The Advancement of Science.
Clark,L.S.1998. Dating on the net: Teen sand The Rise of
“Pure Relationship”. InS.G.
Jones (ed), Cyberspace 2.0: Revisiting Computer-Mediated
Communication and Community (p.159-183). Thousands
Oaks, CA: Sage
Gonzales, L.M. dan Hancock, T. J. 2011. Mirror, Mirror on My
Facebook Wall: Effects of Exposure to Facebook on
Self Esteem. Cyber psychology, Behavior, and Social
Networking. Volume 14 Number 1-2.p: 79-83
Lenhart, Amanda., Maden, Mary., et. al. 2007. Teens and Social
Media. Washington DC: Pew Internet & American Life
Project
Maden, Maryet. al. (2007) Digital Fotprints: Online Identity
Management and SearchinThe Age of Transparency.
McKennaKYA, BarghJA. 2000. Plan 9 from Cyberspace: The
implications of the Internet for Personality and
Socialpsychology. Personality & Social Psychology
Review 4.p. 57-75

908
Pelling, L. E., Behav, B., White, M. K. 2009. The Theory of
Planned Behavior Applied to Young People’s Use of
Social Networking Web Sites. Journal of Cyber
Psychology & Behavior. Vol12, Number 6.2009.
Pollet, V.T., Roberts, GB., Dunbar, M. I. R. 2011. Use of Social
Network Sites and Instant Messaging Does Not Lead
to Increased Offline Social Network Size, or to
Emotionally Closer Relationships with Offline
Network Members. Cyber psychology, Behavior, and
Social Networking. Volume 14.p:253-258
Sarwono,W.,Sarlito.Prof.DR. 2005. Psikologi Remaja. Jakarta:
Rajawali Pers
Shim, SooYoung. 2004. THE IMPACT OF THE INTERNET ON
TEENAGERS’ INTERPERSONAL COMMUNICATION
BEHAVIORS: THE RELATIONSHIP BETWEEN
INTERNET. Dissertation. Carbondale: Southern Illinois
University
Thurlow,C.,Lengel,L.,Tomic,A. 2004. Computer Mediated
Communication: Social Interaction and The Internet.
London: Sage
Zhong,Xin,ZuSi,ShaSha,et.all. 2011. The Effect of A Family-
Based Intervention Model on Internet-Addicted
Chinese Adole scents. Social Behavior and
Personality. No.39 (8).p:1021-1034.

909
Pew Internet & American Life Project Survey of Parents and
Teens.
www.pewinternet.org/pdfs/PIPSNSDataMemoJan2007.p
df
www.teknokompas.com www.teknojurnal.com/2011/03 Wright,
Susan & Camahort Elisa. 2009. Women and Social
Media Study.

*) Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi-FISIPUPNV Jatim Jl.


Rungkut Madya Gunung Anyar Surabaya.
Email: claretta.dici@gmail.com
**) Dosen Ilmu Komunikasi STIKOM Muhammadiyah Jayapura
Jl.Abe Pantaino. 25 Tanah Hitam Abepura Jayapura
Email: tatik_nuryanti@yahoo.com

910
KOMUNIKASI
DALAM
PEMBANGUNAN
MANIFESTASI FUNGSI TERAPEUTIK DALAM KESEHATAN
JANTUNG: DISKURSUS DALAM WEBSITE YAYASAN
JANTUNG

Dwi Kartikawati*

Pendahuluan
Realitas perkembangan tehnologi komunikasi dan
informasi melalui internet semakin pesat, dari segi jumlah
penggunanya semakin hari semakin meningkat. Kebutuhan
masyarakat untuk mendapatkan informasi semakin tinggi,
apalagi dengan munculnya beragam media massa. Internet atau
media online merupakan media baru yang memiliki peranan
yang sangat penting dalam menyampaikan informasi dan
menjadi media komunikasi untuk masyarakat. Dalam hal ini
informasi yang berkaitan dengan isu kesehatan jantung. Menurut
Pusat data Informasi Kementrian Kesehatan RI, Secara global
Penyakit Tidak Menular yang menjadi penyebab kematian nomor
satu setiap tahunnya adalah penyakit kardiovaskuler. Penyakit
kardiovaskuler adalah penyakit yang disebabkan gangguan
fungsi jantung. Pada tahun 2008 diperkirakan sebanyak 17,3 juta
kematian disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Lebih dari 3
juta kematian tersebut terjadi sebelum usia 60 tahun dan

911
seharusnya dapat dicegah. Kematian “dini” yang disebabkan
oleh penyakit jantung terjadi berkisar sebesar 4% di negara
berpenghasilan tinggi sampai dengan 42% terjadi di negara
berpenghasilan rendah.
Bila diamati, meningkatnya angka penderita Penyakit
Jantung dan Pembuluh Darah di Indonesia sebagian besar
adalah karena pergeseran “Gaya Hidup” yang tidak sehat yaitu
makan makanan yang tidak sehat, kemudian mengonsumsi
rokok ataupun minum-minuman keras, kurang olahraga, kurang
istirahat serta stress yang tidak dikelola dengan baik. Apalagi
didukung dengan kondisi belum tingginya kesadaran masyarakat
untuk selalu memeriksakan kesehatannya termasuk kesehatan
jantung. Berbagai macam kondisi yang memprihatinkan
tersebut mendorong Yayasan Jantung Indonesia(Indonesian
Heart Foundation) untuk bergerak mengupayakan kesadaran
masyarakat untuk berupaya melakukan peningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya
pencegahan Penyakit Jantung dan Pembuluh darah melalui
pemasyarakatan Panca Usaha Jantung Sehat. Meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya
upaya pencegahan Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
melalui pemasyarakatan Panca Usaha Jantung Sehat. Turut
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas sehat
sejahtera bebas penyakit jantung dan pembuluh darah.

912
Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menjaga
kesehatan dirinya melalui penyuluhan tentang penyakit jantung
dan pembuluh darah serta upaya pencegahannya. Salahsatunya
adalah menyebarkan informasi dengan melalui pesan di website
http://www.inaheart.or.id/.
Dalam hal ini penelitian ini memfokuskan pada berbagai
informasi kesehatan jantung melalui media website terutama
yang berkenaan dengan fungsi pesan teraupetik. Terapeutik
adalah segala sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan
(As Hornby dalam Nurjanah, 2005). Pesan teraupetik adalah
berisi motivasi, pesan-pesan yg diberikan pada pasien guna
menumbuhkan rasa optimisme serta kemajuan kesehatan
penderita atau pembaca pada umumnya. Analisis wacana Van
Dijk digunakan untuk membedah teks-teks yang berkenaan
dengan komunikasi kesehatan jantung yaitu yang berisi pesan-
pesan teraupetik, karena sebagaimana dipahami bahwa Van
Dijk menekankan pada bahwa wacana adalah untuk
menyampaikan gagasan fenomena ini sebagai suatu yang
berproses melalui artikulasi kebahasaan dan dimengerti sebagai
sarana untuk memproduksi atau mereproduksi wacana tersebut
atas kepentingan tertentu. Untuk itu permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini adalah: Bagaimana manifestasi
fungsi teraupetik dalam wacana komunikasi kesehatan jantung
melalui website Yayasan Kesehatan Jantung?.

913
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme,
dengan metode kualitatif. Penelitian kualitatif didefinisikan
sebagai “....an inquiry process of understanding based on distinct
methodological traditions of inquiry that explore a social or
human problem. The researcher builds a complex, holistic
picture, analyzes words, reports detailed views of informants,
and conducts the study in a natural setting (Cresswell,1998:15).
Dalam hal ini peneliti menekankan pada value laden dan mencari
jawaban atas pertanyaan yang menekankan pada bagaimana
pengalaman sosial dikreasikan dan dapat memberikan makna
(Denzin dan Lincoln, 2000: 8). Dari analisis wacana ini akan lebih
melihat pada bagaimana (how) terhadap pesan atau teks
komunikasi, dan melalui analisis wacana ini, kita tidak hanya
melihat bagaimana isi dari teks berita, namun peneliti akan lebih
fokus untuk melihat bagaimana pesan itu di sampaikan melalui
kata frase, kalimat, dan metafora terhadap suatu pesan berita
yang di sampaikan, dan melihat bagaimana bangunan struktur
kebahasaan dari sebuah teks berita tersebut. Analisa Teks dan
Struktur Teks. Van Djik membagi elemen wacana ini dalam tiga
tingkatan, yaitu struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro.
Dalam pandangan Van Dijk, analisis wacana itu tidak dibatasi
pada struktur teks saja tetapi juga melihat kognisi sosial dan
analisis sosial. Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi
bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan

914
oleh pemakai bahasa, atau lebih tepatnya proses kesadaran
mental dari pemakai bahasa. Inilah yang disebut kognisi sosial.
Kognisi sosial adalah dimensi yang digunakan untuk
menjelaskan bagaimana suatu teks itu diproduksi baik oleh
individu atau kelompok pembuat teks. Cara memandang atau
bagaiamana melihat suatu realitas sosial tertentu. Dalam
pandangan Van Dijk analisis wacana tidak hanya dibatasi pada
struktur teks saja, karena struktur wacana itu sendiri dapat
menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Untuk
mengetahui bagaimana makna dari teks, perlu dibutuhkan suatu
analisis kognisi dan konteks sosial. Konteks analisis sosial
adalah melihat bagaimana teks itu dihubungkan lebih jauh
dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang di
masyarakat atas wacana. Ini merupakan wacana yang
berkembang dalam masyarakat, sehingga untuk meneliti teks
perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaimana
wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam
masyarakat. sosial lain yang terkait (Van Dijk, 1993: 246). Dalam
penelitian kualitatif ini manusia sangat berperan untuk dijadikan
sebagai instrument utama, sehingga nantinya dengan segala
usaha secara subyektifitas dan kekurangan data, itu di perlukan
suatu pengajuan validitas dan akurasi data.

Komunikasi Kesehatan dan Media Baru

915
Dalam tinjauan teori atau konsep yang digunakan dalam
penelitian ini adalah komunikasi kesehatan meliputi cakupan
luas pesan dan media dalam konteks pembinaan kesehatan,
promosi kesehatan, pencegahan penyakit, treatmen dan
advokasi, termasuk variasi dalam situasi, struktur, pesan, relasi,
identitas, tujuan dan strategi pengaruh sosial (Salisah, 2011:
180-181). Penggunaan tehnik-tehnik pengelolaan pesan antara
lain kategori pesan informatif dan kategori pesan persuasif
(Cangara, 2005). Pesan Teraupetik yang merupakan pesan
berisi motivasi, pesan-pesan yg diberikan pada pasien guna
menumbuhkan rasa optimisme serta kemajuan kesehatan
penderita atau pembaca pada umumnya. Teraupetik adalah kata
sifat yang dihubungkan dengan seni dari penyembuhan yang
berarti segala sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan
(As Hornby dalam Nurjanah, 2001). Internet sebagai media
komunikasi, dalam internet menyediakan fasilitas browser yang
merupakan sarana menyampaikan berbagai informasi
(eksposure) oleh institusi atau perorangan secara online dan
bersifat virtual (maya) yang memiliki kaitan link informasi tidak
terbatas (Effendi, 2010: 135)
.Internet adalah salah satu bentuk dari media baru (new
media).Internet memiliki kemampuan untuk mengkode,
menyimpan, memanipulasi dan menerima pesan (Ruben,
1998:110). Pada tahun 1991 Tim Berner-Lee dari Laboratorium

916
CERN di Swiaa yang memunculkanHypertext Markup Language
(HTML) dan memunculkan pertama browser Web sebagai upaya
memecahkan lalu lintas dokumen dalam sistem komputer, dan
ini menjadi dasar kelahiran World WideWeb atau website
(Straubhaar, Larose Davenport, 2012: 249- 250). Informasi
dalam web secara umum dapat dikategorikan menjadi 3 macam,
yaitu informasi yang bersifat umum ( berita on line, info
pelayanan umum dan sebagainya ), kemudian informasi khusus
(web dengan isi informasi tentang suatu lembaga, atau informasi
dalam berbagai kategori ) sedang yang terakhir adalah informasi
komersial. Serta konsep manifestasi menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah perwujudan atau bentuk dari sesuatu
yang tidak kelihatan.

Pembahasan
Hasil penelitian merujuk kepada tiga hal yang meliputi
analisis teks, analisis kognisi sosial dan analisis sosial. Adapun
hasil analisis teks dapat dipaparkan sebagai berikut;

Tabel 1: Analisis Teks Website berjudul Obat Alami


Jantung Koroner
Struktur
Elemen Temuan
wacana

917
Mengenai berbagai
Struktur makro Topik/tema macam obat alami jantung
koroner
Pembuka: Dimulai bahwa
setiap orang mengenai
penyakit jantung koroner
Isi: beberapa obat alami
yang mampu
Superstuktur menyembuhkan penyakit
Skema/ alur
(skematik) jantung koroner
Penutup: Segala penyakit
pasti bisa di sembuhkan.
memanfaatkan obat-
obatan alami yang tidak
akan berbahaya bagi tubuh
Penyakit koroner
dikarenakan otot jantung
mengalami kerusakan
Struktur mikro
Latar yang disebabkan karena
(semantik)
kekurangan oksigen. Hal
ini bisa terjadi karena gaya
hidup yang salah

918
Mampu menceritakan detil
Detil empat obat alami jantung
koroner
Obat alami itu dekat
Maksud
dengan kita dan aman
Setiap penyakit ada
Pra anggapan
obatnya
Sebenarnya banyak cara
Nominalisasi
mencegah jantung koroner
Bentuk kalimat aktif
Penyakit Jantung
Koroner adalah penyakit
Bentuk kalimat dimana detak jantung
seseorang bermasalah,
tidak berjalan
sebagaimana semestinya.
Struktur mikro
Hal ini bisa terjadi karena
(sintaksis)
gaya hidup yang salah,
seperti merokok, obesitas
atau makan-makanan
Koherensi
yang tidak sehat Anda bisa
memulai mengkonsumsi
bahan ini untuk jantung
anda

919
Kata ganti Kata “Anda”
anda memanfaatkan obat-
Struktur mikro obatan alami yang tidak
Leksikon
(stilistik) akan berbahaya bagi tubuh
anda.
gambar tanaman obat-
Grafis
Struktur mikro abatan alami tersebut
(retoris) Segala penyakit pasti bisa
Metaphore
di sembuhkan

Tabel 2: Analisis Teks Website berjudul Tujuh Cara


Mudah dan Praktis Mencegah Penyakit Jantung

Struktur
Elemen Temuan
wacana
Berbagai macam cara
Struktur makro Topik/tema mencegah Penyakit
Jantung
Pembuka: sakit jantung
Superstuktur
Skema/ alur merupakan penyakit yang
(skematik)
bisa dikenali sejak dini

920
Isi: ada 7 cara mudah yang
bisa dipraktekkan
untuk mencegah penyakit
jantung
penutup Selain mencegah
anda bisa rutin berolahraga
2 hingga 3 kali seminggu
lebih sering ditemukan
kasus orang sakit jantung
sudah dalam keadaan yang
Latar parah. Sehingga
penanganannya
membutuhkan biaya yang
tidak sedikit
Tujuh cara detil sekali
Struktur mikro Detil
dalam penejelasnanya
(semantik)
bisa dipraktekkan sendiri
Maksud untuk mencegah penyakit
jantung
Lebih sering yang sudah
Pra anggapan parah keadaannya
jantungnya
Mengurangi konsumsi
Nominalisasi
makanan tersebut bisa

921
mencegah penyakit jantung
yang harus ekstra
memompa darah yang
memiliki kandungan garam
dan gula yang pekat.
Anda bisa mencegah
Bentuk kalimat
penyakit jantung
Dengn cara konsumsi
bubur gandum, jangan
menahan pipis, rutin
Struktur mikro membereskan gigi,
Koherensi
(sintaksis) berhenti menghisap rokok,
konsumsi makanan kaya
antiksidan, cukup istirahat
anda, jaga pola makan
Kata ganti penyebutan
Kata ganti
“anda”
Mengurangi konsumsi
Struktur mikro makanan tersebut bisa
Leksikon
(stilistik) mencegah penyakit jantung
yang harus “ekstra”
Struktur mikro Ilustrasi gambar jantung
Grafis
(retoris) dengan alat stetioskop.

922
Mengibaratkan jantung
adalah mesin
Jantung yang harus ekstra
memompa darah ketika
Metaphore anda makan makanan
dengan kandungan garam
dan gula yang pekat

Tabel 3: Analisis Teks Website berjudul Sembilan


Makanan bergizi Bagi Jantung

Struktur
Elemen Temuan
wacana
Struktur makro Topik/tema Makanan Bergizi Jantung
Pembuka jantung
merupakan bagian yang
teramat penting bagi tubuh
kita
Superstuktur
Skema/ alur Isi Apa yang kita konsumsi
(skematik)
setiap hari juga akan
berdampak pada organ
tubuh kita, terutama
jantung maka ada daftar

923
makanan yang sehat untuk
jantung
Penutup Daripada anda
mengkonsumsi obat-
obatan, lebih baik anda
cegah penyakit jantung
tersebut
Jantung adalah bagian
teramat penting, yang
memompa darah ke
seluruh tubuh, jika
Latar kestabilannya terganggu
maka fungsi pada tubuh
kita juga akan bermasalah,
maka dari itu kita harus
Struktur mikro
menjaganya dengan baik.
(semantik)
Detil Jenis makanan detil
Karena makanan yang
terlalu banyak
Maksud mengandung lemak jahat
akan berakibat tidak baik
bagi diri kita sendiri.
lebih baik anda cegah
Pra anggapan
penyakit jantung tersebut

924
dengan makan-makanan
yang sehat.
Makanan yang terlalu
banyak mengandung
Nominalisasi
lemak jahat akan berakibat
tidak baik
makanan bergizi bagi
Bentuk kalimat
jantung
Maka dicantumkan
Struktur mikro
Koherensi berbagai daftar makanan
(sintaksis)
sehat untuk jantung
Kata ganti penyebutan
Kata ganti
“Anda”, “sahabat”
alpukat memiliki lemak
Struktur mikro
Leksikon baik yang bisa membantu
(stilistik)
melawan lemak jahat.
Gambar buah buahan
Grafis adan makanan sehat buat
Struktur mikro
jantung
(retoris)
Salam Jantung Sehat
Metaphore
untuk Semua

925
Tabel 4: Analisis Teks Website berjudul Penyakit
Jantung Bawaan

Struktur
Elemen Temuan
wacana
Penyakit Jantung Bawaan
Struktur makro Topik/tema dan Langkah-langkah
Mengatasinya
Pembuka penyakit jantung
bawaan merupakan
sebuah penyakit yang
sering terjadi khususnya
pada balita atau kita bisa
menyebutnya sebagai
penyakit jantung bocor
Superstuktur Isi pengobatan pada
Skema/ alur
(skematik) penyakit jantung bawaan
kita bisa menggunakan
beberapa langkah,
Penutup angkah-
langkah yang bisa kita
lakukan untuk
penyembuhan pada
mereka yang mengidap

926
penderita penyakit jantung
bawaan bisa bermanfaat
Kelainan yang terjadi pada
penyakit jantung bawaan
biasanya terjadi pada
sekat pemisah yang ada
Latar pada bilik atau serambi
jantung antara kanan dan
kiri yang tidak bisa
menutup dengan
sempurna.
Yang sering di alami oleh
Struktur mikro
mereka yang mengidap
(semantik)
penyakit jantung bawaan
adalah sekat pemisah
tidak bisa menutup secara
sempurna, maka bagi
Detil
mereka yang mengidap
penyakit jantung bawaan
akan mengalami
percampuran antara darah
besih dan darah kotor
sehingga kinerja dari

927
jantung akan mengalami
sebuah masalah
Gejala yang sering dialami
oleh mereka yang
mengidap penyakit
jantung bawaan adalah
nafas yang selalu
memburu, sangat sulit
untuk menaikan berat
Maksud
badan, bibir kuku dan kulit
menjadi biru atau kita bisa
menyebutnya dengan
sianosis, kesulitan ketika
melakukan sebuah
olahraga atau aktivitas
lainya.
untuk melakukan sebuah
pengobatan pada penyakit
jantung bawaan kita bisa
Pra anggapan menggunakan beberapa
langkah, terapi medis,
intervensi non bedah,
tindakan bedah

928
tindakan bedah denititif
adalah sebuah tindakan
untuk membantu atau
memastikan sisiologi yang
normal dan bisa
Nominalisasi
melakukan sebuah
pembenaran anatomik
pada mereka yang
mengidap penyakit
jantung bawaan.
langkah-langkah yang
bisa kita lakukan untuk
penyembuhan pada
Bentuk kalimat
mereka yang mengidap
penderita penyakit jantung
bawaan
Struktur mikro
untuk melakukan sebuah
(sintaksis)
pengobatan pada penyakit
jantung bawaan kita bisa
Koherensi menggunakan beberapa
langkah terapi medis,
intervensi non bedah,
tindakan bedah

929
Yang sering di alami oleh
mereka yang mengidap
penyakit jantung bawaan
Kata ganti
adalah sekat pemisah
tidak bisa menutup secara
sempurna
mereka yang mengidap
Struktur mikro
Leksikon penderita penyakit jantung
(stilistik)
bawaan
Grafis Gambar jantung
Struktur mikro Pengidap penyakit jantung
(retoris) Metaphore bocor yang sering di derita
pada anak sejak kecil.

Secara keseluruhan, pada Analisis teks, maka teks-teks


ini mampu memaparkan segi semantik atau makna yang
ditekankan dengan baik, seperti pendeskripsian latar dan detil
secara keseluruhan teks. Dalam pemilihan kata atau leksikon,
penulis menggunakan kata -kata yang berkonotasi “positif”.
Ideologi yang terlihat adalah terutama pada ideologi himbauan
dan ideologi kesadaran masyarakat. Dalam hal ini diperlukan
realisasi diri, penerimaan diri, dan peningkatan penghormatan
diri. Dalam arti sesungguhnya upaya untuk kesehatan jantung
adalah upaya kesadaran masyarakat sendiri yang sebenarnya

930
memiliki kemampuan untuk mengatasi dirinya sendiri. Pemilihan
kata “Anda” dan “sahabat”, dalam keseluruhan teks, karena
Yayasan Jantung Indonesia lebih melihat kepada keadaan diri
pembaca siapapun dia bahwa dirinya yang memiliki upaya
sendiri dalam rangka menyadarkan dirinya, dan Yayasan
Jantung Indonesia yang memompa motivasi tersebut dan
mengibaratkan sebagai sahabat. Jadi fungsi teraupetik disini
ditujukan lebih kepada bagaimana motivasi diri untuk
mengupayakan secara “preventif” bahwa dengan kata lain
jantung adalah alat kita, tanpa dia kita tidak bisa apa-apa.
Memang tidak semua orang ingin mempertahankan
kesehatannya. Banyak orang yang tidak mau mengadopsi
prilaku sehat atau mengubah perilaku yang tidak sehat. Berbeda
dengan orang-orang yang menganggap penyakit sebagai
ancaman, biasanya mereka akan mengatasi keterbatasan dalam
praktik kesehatan yang berubah dan melihat keuntungan dalam
mengadobsi perilaku yang baru. Sehingga yang paling
dibutuhkan adalah masyarakat yang berperan aktif hidup sehat,
karena hidup sehat adalah mudah, motivasi yang tumbuh dari
diri (kesadaran sendiri). Adapun tehnik penyusunan pesan
menggunakan tehnik “ motivational appeals” yaitu suatu tehnik
yang disusun untuk menumbuhkan internal psikologis khalayak
sehingga mereka dapat mengikuti pesan pesan itu.

931
Sedangkan pada Analisis kognisi sosial, yaitu Yayasan
Jantung Indonesia yang memiliki website tersebut tentunya
memiliki nilai-nilai tertentu dan ideologi dari kehidupannya yang
memengaruhi teks-teks yang dihadirkan tersebut. Dalam hal ini
Yayasan Jantung Indonesia (Indonesian Heart Foundation)
adalah lembaga nirlaba yang fokus kepada peningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya
upaya pencegahan Penyakit Jantung dan Pembuluh darah
melalui pemasyarakatan Panca Usaha Jantung Sehat. Yayasan
Jantung Indonesia memiliki 31 kantor cabang utama (data tahun
2010), 61 cabang dan Pertumbuhan Klub Jantung Sehat, yang
hingga saat ini telah berjumlah lebih dari 3700 klub (data tahun
2009) yang tersebar di seluruh indonesia. Yang menangani
Website ini menjadi bagian penting dari badan komunikasi
informasi yang bertanggungjawab bertanggung jawab untuk
memberikan informasi, penyuluhan, bimbingan kepada
masyarakat tentang kesehatan jantung, penyakit jantung dan
upaya pencegahannya. Sehingga terlihat sekali bahwa yayasan
sangat mengedepankan kelima usaha yang menjadi visi utama
yang tercantum dalam teks-teksnya antara lain berkenaan
dengan keseimbangan gizi, mengenyahkan rokok, menghadapi
dan mengatasi stress, mengawasi tekanan darah dan teratur
berolahraga. Yang paling utama menurut yayasan jantung
Indonesia (YJI) selalu mengajak semua lapisan masyarakat

932
untuk bersatu suatu gerakan menciptakan lingkungan yang
menopang gaya hidup jantung sehat, di manapun tinggal,
bekerja maupun bermain. Karena seringkali manusia tidak dapat
memilih pola hidup jantung-sehat karena faktor lingkungan,
seperti tidak adanya pilihan makanan yang sehat, tidak adanya
ruang yang terbebas dari asap rokok.
Pada level analisis yang terakhir yaitu Analisis
sosial(konteks sosial) berkaitan dengan hal-hal yang
memengaruhi pemakaian bahasa, dan terbentuknya sebuah
wacana. Seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi sosial yang
sedang terjadi saat itu. Pada konteks sosial tertentu, sebuah
wacana dapat diteliti, dianalisis, dan dimengerti. Konteks ini juga
berkaitan dengan who atau siapa dalam hubungan komunikasi.
Siapa yang menjadi komunikatornya, siapa komunikannya,
dalam situasi bagaimana, apa mediumnya, dan mengapa ada
peristiwa tersebut. Dalam analisis sosial ini, meneliti wacana
yang sedang berkembang di masyarakat pada konteks
terbentuknya sebuah wacana dalam masyarakat. Bagaimana
masyarakat memproduksi dan mengkonstruksikan sebuah
wacana. Maka hal tersebut dapat dilihat dari kondisi sekarang
yang disebut sebagai modernisasi justru telah menyebabkan
lapisan masyarakat tertentu atau bahan hampir seluruh lapisan
masyarakat yang ada sekarang, menempuh gaya hidup yang
menunjukkan ciri-ciri pola makan yang tidak sehat (fastfood)

933
yang dapat menyebabkan obesitas, diabetes dan hipertensi,
tidak aktif berolahraga / bergerak, kebiasaan merokok, konsumsi
alkohol yang berlebihan dan stress dapat memicu terjadinya
penyakit jantung muncul lebih dini. Bahkan Hasil SKRT (Survey
Kesehatan Rumah Tangga) tahun 1995 menunjukan bahwa 83
per 1000 penduduk menderita Hyperyensi, 3 Per 1000 penduduk
mengalami penyakit jantung iskemik dan stroke, 1,2% penduduk
mengalami diabetes, 6,8% mengalami kelebihan berat badan
dan 1,1% Obesitas. Penyakit kanker merupakan 6% penyebab
kematian di Indonesia. Penyakit kardiovaskuler sebagai
penyebab kematian telah meningkat dari urutan ke11
(SKRT1972) menjadi urutan 3 (SKRT1986) dan menjadi
penyebab kematian utama (SKRT1992 dan 1995). Organisasi
Kesehatan dunia (WHO) memperkirakan penyakit tidak menular
telah menyebabkan sekitar 60% kematian dan 43% seluruh
kesakitan didunia. Angka kematian dan kesakitan tersebut
sebagian besar terjadi pada penduduk dengan Sosial Ekonomi
menengah kebawah. Penyakit-penyakit akibat gaya hidup
tersebut dapat dicegah dengan meniadakan faktor resiko dan
merubah perilaku. Untuk itu harus diupayakan hubungan yang
sinergi dari seluruh pihak baik dari pemerintah, Yayasan Jantung
Indonesia dan juga masyarakat untuk mewujudkan kehidupan
yang sehat terutama kesehatan jantung baik secara promotif,
kuratif dan preventif.

934
Kesimpulan
Dari analisis teks yang telah dilakukan secara
keseluruhan dapat dipahami bahwa bagaimana sebuah pesan
yang mengandung fungsi teraupetik diwujudkan dan
diekspresikan dalam bentuk teks yang mengandung
“motivational appeals”. Dari analisis ini peneliti mampu
memaparkan segi semantik atau makna yang ditekankan
dengan baik, seperti pendeskripsian latar dan detil secara
keseluruhan teks. Dalam pemilihan kata atau leksikon, penulis
menggunakan kata -kata yang berkonotasi “positif. Selain itu
juga bisa mendalami apa makna yang terkandung dalam setiap
detil teks, apakah ditampilkan secara eksplisit atau implisit.
Dalam artikel-artikel website Yayasan jantung Indonesia yang
menjalankan fungsi teraupetik lebih kepada bagaimana sikap
masyarakat atau pembaca yang disebut sebagai “Anda” karena
memang diri sendirilah yang bertanggungjawab untuk
menyehatkan dirinya dan menerapkan hidup sehat tentunya.
Bahasa yang digunakan sangat berisi unsur motivasi
walaupun tidak pada keseluruhan teks, contoh semua penyakit
pasti bisa disembuhkan, jantung menitipkan salam sehat untuk
kita, jantung akan memompa ekstra terhadap makanan kita, dan
seterusnya. Hal ini semuanya menjadi pemompa semangat diri
bahwa kitalah sebenarnya yang bertanggung jawab pada

935
kesehatan jantung kita. Ideologi yang kelihatan adalah ideologi
himbauan dan peningkatan kesadaran masyarakat. Pada kognisi
sosial dan analisis sosial maka Yayasan Jantung Indonesia
selalu melaksanakan program ataupun penyampaian pesan
kepada khalayak masyarakat luas terutama kepada lima panca
usaha meliputi keseimbangan gizi, mengenyahkan rokok,
menghadapi dan mengatasi stress, mengawasi tekanan darah
dan teratur berolahraga.
Kesemuanya itu tidak lepas dari keprihatinan semua
pihak pada kondisi sekarang yang disebut sebagai modernisasi
justru telah menyebabkan lapisan masyarakat tertentu atau
bahan hampir seluruh lapisan masyarakat yang ada sekarang,
menempuh gaya hidup yang justru dapat memicu terjadinya
penyakit jantung muncul lebih dini. Sudah banyak usia muda
terserang jantung koroner, maka sinergisitas antara pemerintah,
Yayasan jantung Indonesia dan masyarakat sendiri harus
diwujudkan dalam kegiatan yang menunjang kesehatan secara
keseluruhan.

Daftar Pustaka

Cangara, Hafied.(2006). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta :


Raja Grafindo Persada

936
Creswell.John W. (1991).Qualitative Inquiry and Research
Traditions:Choosing Among FiveTraditions, New York :
Sage
Denzin, K Norman, & Lincoln, Yvonna S. (2000). Handbook of
Qualitative Research. London: Sage.
Effendi, Mochtar.(2010). Peranan Internet Sebaga Media
Komunikasi. Jurnal Dakwah Dan Komunikasi Vol.4
Eriyanto.( 2005). Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks
Media. Yogyakarta : LKIS
Nurjanah, Intansari. 2005. Komunikasi Terapeutik (Dasar-dasar
Komunikasi Bagi Perawat). Yogyakarta: Mocomedia
Salisah, Nikmah Hadiati. (2011). Komunikasi Kesehatan:
Perlunya Multidisipliner Dalam Ilmu Komunikasi, Jurnal
Ilmu Komunikasi, Vol. 1, No.2, Oktober 2011, pp:
Ruben, Brent D, Stewart, Lea P. (1998).Communication and
Human Behaviour. USA:Alyn and Bacon No.1 Januari-Juni
2010 pp.130-148
Sosiawan, Edwi Arief. 2000. Kajian Internet Sebagai Media
Komunikasi Interpersonal Dan Mass
http://edwi.upnyk.ac.id/Internet%20as%20media.pdf
Straubhaar, Joseph, Robert Larose, lucinda Davenport.
2012.Media Now: Understanding Media, Culture, and
Technology, 7th edition. USA: Wadsworth, Cengage
Learning

937
Teun Van Djik.(1993). Discourse and Society. Vol 4 (2).London:
Newbury Park and New Delhi: Sage

*) Dwi Kartikawati
National University
Sawo Manila Street, Pasar Minggu, Jakarta
dookartika@yahoo.com

938
Representasi Kuasa Elit Desa di Dunia Maya: Kajian
tentang Media Internet Desa Online di Kabupaten Jember

Kun Wazis*

Pendahuluan
Kehadiran media baru (new media) yang bersumber pada
jaringan internet telah membentuk suatu masyarakat maya
(cyber community) dengan karakteristik interaksi sosial berjarak
di ruang virtual. Sebagai media komunikasi di era global, internet
tidak hanya menjadi artifak (benda), namun sekaligus
membentuk budaya siber (cyberculture). Hubungan komunikasi
bermedianya diimajinasikan melalui teks-teks bahasa maya
ketika mendialogkan realitas masyarakat dengan lalu lintas yang
sangat cepat, tidak terbatas ruang, dan tidak dikendalikan waktu,
sebagaimana terwujud dalam bentuk kekuatan desa global
(global village). Kehadiran Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa ikut mendorong pemerintah elit desa di Indonesia
untuk menyalurkan ekspresi pelayanan masyarakat desa melalui
ruang virtual. Pesan-pesan pembangunan dalam media online
yang mestinya bertujuan untuk kemandirian warga desa
cenderung merepresentasikan teks-teks hegemoni kekuasaan
elit desa saja. Melalui analisis media siber, dengan mengkaji

939
realitas 28 media komunikasi bernama desa online di Kabupaten
Jember ditemukan bahwa ruang maya tersebut telah terdominasi
oleh teks kuasa elit desa, bukan ruang ekspresi masyarakat
desanya. Bukti empirisnya, ruang media (media space),
dokumen media (media achive), objek media (media object), dan
pengalaman (experiental stories) desa online tersebut berisi
pesan-pesan birokrasi elit desa, sedangkan suara-suara
partisipasi warga desa tidak mendapatkan ruang yang bebas di
jendela maya tersebut.
Penemuan komputer pada tahun 1960-an dan terus
berkembang sampai pada tahun 1990-an, sehingga melahirkan
teknologi internet, para ahli tercengang dengan begitu pesat
perkembangan teknologi ini yang oleh mereka disebut “sebagai
yang tidak terduga”. Internet begitu memukau dan begitu cepat
berkembang dengan varian-varian programnya yang menjadikan
bumi ini dalam cengkeraman teknologi. Internet telah
berkembang menjadi sebuah teknologi yang tidak saja mampu
mentransmisikan berbagai informasi, namun juga telah mampu
menciptakan dunia baru dalam realitas kehidupan manusia, yaitu
sebuah realitas materialistis yang tercipta dalam dunia maya
(Bungin, 2013: 136). Bukti terciptanya dunia baru itu bisa dilihat
dari meningkatnya penghuni ruang virtual internet tersebut.
Berdasarkan data yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet di Indonesia atau APJII hingga akhir 2012 menunjukkan

940
bahwa perkembangan pemakai internet setiap tahun semakin
meningkat. Ambil contoh, bahwa hingga 2008 saja sudah
tercatat sekitar 25 juta pengguna internet di Indonesia dan pada
tahun 2012 menjadi 63 juta pengguna internet. Diperkirakan
pengguna ini akan meningkat jauh menjadi 139 juta pada tahun
2015. Lebih jauh, data perkembangan pengguna internet di
Indonesia yang meningkat ini juga ditampilkan oleh
internetworldstats.com yang menyebut bahwa terdapat lonjakan
pengguna atau pengakses internet dari 2 juta pada tahun 2000
menjadi 39.600 juta pada tahun 2012. Sedangkan peringkat
Indonesia berada di urutan ke-4 dari pengguna terbanyak
internet di Asia, urutan pertama ditempati oleh China memiliki
485 juta pengakses internet, India sebanyak 100 juta, kemudian
Jepang dengan 99,182 juta (Nasrullah, 2013: 138-139).
Secara sosiologis, penerapan teknologi dan informasi
dalam kehidupan telah mengubah ragam interaksi masyarakat.
Media telah menggiring individu memasuki ruang yang
memungkinkan saling berinteraksi. Internet kini telah
membentuk ruang maya bertegur sapa secara interaktif yang
kemudian kita kenal dengan istilah cyberspace. Sebagaimana
halnya dalam ruang nyata, setiap orang berinteraksi,
berkomunikasi, berdiskusi, membaca buku, majalah atau surat
kabar, berbagi gagasan dan informasi, bercengkerama,
mengakses hiburan. Aktivitas sosial yang melibatkan individu

941
dan kelompok ini secara praktis biasa disebut sebagai
kebudayaan. Di jagat internet, kita pun dapat melakukan hal
yang sama sehingga pada titik tertentu, cyberspace ini
melahirkan apa yang disebut dengan cyberculture, atau sebut
saja kebudayaan yang muncul di dunia maya (Muhtadi, 2012:
60).
Kehadiran internet pada kenyataannya menimbulkan
situasi sosial yang paradoks. Berdasarkan pengamatan
Mulyana (2008: 170-171) belakangan, maraknya penggunaan
internet oleh individu di rumah-rumah atau warnet atau tempat
hiburan, menunjukkan gejala yang kurang sehat. Internet
digunakan terutama untuk membuka situs-situs yang
“membahayakan moralitas” (seperti gambar-gambar wanita
telanjang) atau paling banter melakukan chatting yang
membuang-buang waktu, bukan terutama digunakan untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang konstruktif, misalnya mencari
data. Walhasil, kemajuan teknologi komunikasi (satelit
komunikasi, internet, antene parabola, televisi raksasa layar-
datar, telepon selular, dan sebagainya) tidak selalu berkorelasi
dengan kebahagiaan manusia.
Dalam komunikasi, lanjut Mulyana, kemajuan teknologi
komunikasi tidak otomatis membuat komunikasi tatap-muka
tidak penting. Mereka yang bekerja dalam organisasi percaya
bahwa penggantian percakapan tatap muka dengan surat

942
elektronik atau pertemuan lewat video, dapat menambah
perasaan terasing, tidak puas, terkucil, atau perasaan yang
menurut Pace dan Faules adaah “tempat ini benar-benar tanpa
sentuhan pribadi”. Oleh karena itu, tidak mengejutkan bahwa
sebagian orang yang semula senang bekerja di rumah dengan
menggunakan komputer yang terhubung ke kantor mereka
(telecommuting), akhirnya kembali ke pola kerja mereka yang
lama. Karena lewat cara kerja konvensional tersebut mereka
memperoleh sentuhan manusiawi yang membuat mereka
merasa tetap sebagai manusia.
Persoalan lain yang dihadapi oleh penghuni dunia maya
adalah keterasingan (alienasi) orang dengan lingkungan
sekitarnya secara riil: semacam orang yang dekat malah seperti
jauh dan orang yang berada di luar jangkauannya kemudian
seakan-akan dekat. Pada sisi yang lain, masalah yang dialami
mereka bukanlah sekadar persoalan gagap teknologi.
Problematika yang dihadapi desa, menurut Nurudin (2007: 101),
masih mengemuka dengan melihat desa sebagai sebuah
karakteristik yang mempunyai ciri khas tersendiri. Ciri khusus
yang berhubungan dengan komunikasi adalah komunikasi lebih
banyak dilakukan dengan komunikasi antarpersona. Ini
diakibatkan, masyarakat desa belum percaya sepenuhnya
terhadap media massa atau juga sejalan dengan tingkat
pendidikannya. Oleh karena itu, informasi dari orang lain yang

943
bisa dipercaya lebih menemukan hasil, misalnya melalui
pemimpin opini.
Berdasarkan pandangan Nurudin tersebut, kehadiran elit
desa dalam menyampaikan pesan melalui berbagai media
komunikasi, termasuk internet dimungkinkan dapat menemukan
relevansinya. Citra apa yang dibangun oleh elit desa dalam
saluran media diasumsikan dapat mempengaruhi masyarakat
desa seperti konstruksi yang dibangun elit desa. Hal ini sejalan
dengan proposisi-proposi umum dalam sosiologi yang
ditawarkan Burton (2012: 26) bahwa media telah menciptakan
audiensi yang luas dan memiliki pengaruh terhadap para
audiensi. Pada proposisi yang lain, Burton menegaskan bahwa
media dapat dilihat sebagai agen kontrol sosial disebabkan: 1)
efek-efek media terhadap audiensi tergantung pada kondisi-
kondisi sosial; 2) materi media mengandung pelbagai
representasi yang memengaruhi ide-ide tentang pelbagai
kelompok sosial; 3) terdapat hubungan antara media massa dan
perubahan sosial; 4) perkembangan teknologi media
berhubungan dengan perkembangan dalam masyarakat; 5)
terdapat hubungan antara budaya populer media dan identitas
sosial atau perbedaan sosial; 5) budaya media populer dapat
dipahami paling baik dalam konteks sosial; studi tentang budaya
(media) berkaitan erat dengan pemahaman tentang struktur
dominan dan pandangan dominan dalam masyarakat kita.

944
Elit Desa dan Jember Sebagai Konteks Studi
Dalam perkembangannya, para elit desa di Indonesia
dituntut harus mampu menghadirkan media komunikasi internet
berdasarkan konstruksi ide-ide elit tersebut. Saluran inilah yang
dipandang paling murah dan dapat mempublikasikan secara ide-
ide yang merupakan representasi para elit. Akibatnya, sebagian
dari tuntutan ini, web site yang dibuat oleh elit desa bukanlah
merepresentasikan wajah desa sejatinya, tetapi lebih pada
kepentingan elit desa itu sendiri. Sebab, para elit desa ini, mau
tidak mau juga harus menyelaraskan kepentingan pemerintah
pusat, dalam hal ini Kementerian Desa Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi yang menargetkan bahwa pada
tahun 2015 ini dapat membangun 5.000 desa berbasis online
atau desa dengan basis internet (www.publicapos.com, 2015).
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa kehadiran
desa online tersebut salah satu fungsi untuk mempercepat
kesiapan kemandirian desa didalam melaksanakan otonomi
desa sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa. Salah satu tantangan yang harus
diwujudkan para elit desa sebagaimana ditetapkan dalam
undang-undang desa tersebut adalah pembangunan desa, yaitu
upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-
besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Selain itu, undang-

945
undang desa tersebut mengamanatkan pemberdayaan
masyarakat desa, yakni upaya mengembangkan kemandirian
dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan
pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan,
kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui
penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan
yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
masyarakat.
Wilayah Kabupaten Jember yang memiliki 249 desa di 31
kecamatan pada kenyataannya sudah memiliki jaringan media
komunikasi berbasis internet bernama desa online sebanyak 28
desa yang dikelola oleh pemerintah desa. Penguasaan media
desa online melalui perangkat desa dengan menggandeng
lembaga bisnis pendidikan karir Magistra Utama memunculkan
asumsi bahwa penguasaan media informasi publik itu oleh elit
sudah berjalan sebelum undang-undang desa diberlakukan.
Perlu dipahami bahwa desa online sebagai media merupakan
produk budaya sekaligus sumber pembentukan budaya yang
ada dalam masyarakat. Oleh karena itu pengamatan terhadap
media dan hubungannya dengan masyarakat akan selalu
memberikan gambaran yang dinamis sejalan dengan perubahan
yang terjadi dalam masyarakat. Berkaitan dengan itu, secara
kritis dapat terlihat hubungan ideologis antara media,
masyarakat, pemerintah, dan pasar (Maryani, 2011: 9).

946
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik meneliti media desa
on line tersebut dalam untuk membaca representasi kekuasaan
elit desa melalui pesan-pesan yang ditampilkan dalam ruang
maya tersebut dengan judul penelitian “Representasi Kuasa Elit
Desa di Dunia Maya: Studi tentang Media Internet Desa Online
di Kabupaten Jember”, sebagai kajian ilmiah kritis.

Ruang Publik Media Cyber Desa Online


Ruang publik media desa online di Kabupaten Jember
secara teks bisa dilihat terlebih dahulu melalui situs dengan
mencarinya secara mudah. Dengan menggunakan mesin
pencari berita seperti google, web site desa online di kabupaten
Jember langsung ditemukan. Hal ini sebenarnya berlaku untuk
semua jenis web site yang untuk mempermudah
menemukannya dengan mengklik teks yang menunjukkan
realitas yang akan di lihat. Jika desa online di Jember, maka
siapa saja yang ingin mengetahuinya tinggal klik desa online
Jember langsung muncul banyak alamat desa Online jember
sesuai dengan nama desa, yakni 28 desa yang dijadikan objek
penelitian peneliti. Dengan demikian, secara jelas, desa Online
menjadi salah satu ruang publik yang hadir sebagai ranah yang
dapat disentuh oleh khalayak yang heterogen, dimanapun dan
kapanpun sepanjang akses internet dapat terjangkau. Menurut
Triastuti, salah satu staf di Magistra Utama Jember, pembuatan

947
website Desa Online di kabupaten Jember sudah dilaksanakan
sejak tahun anggaran 2012 yang melibatkan perwakilan
perangkat desa di Kabupaten Jember. Hanya saja, memang
belum semua desa sudah memiliki website. “Targetnya, semua
desa di kabupaten Jember,” katanya.
Bermodal alamat tersebut, peneliti menelusuri dengan
mengobservasi realitas web tersebut. Dapat dijelaskan, bahwa
untuk desa di Jember ada dua web yang digunakan, yakni
menggunakan fasilitas blog dan menggunakan link situs
worldpress.com. Dalam penelitian ini, peneliti terfokus pada web
worldpress yang menjadi link utama dari seluruh desa online di
Kabupaten Jember. Melalui pesan teks yang dijelaskan dalam
media desa online Jenggawah, dan 27 website desa Online di
Jember dijelaskan bahwa web site desa online ini merupakan
prakarsa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember di bawah
kepemimpinan MZA Djalal melalui bagian pemerintahan desa
Kabupaten Jember untuk membuat “situs” desa on line. Untuk
kepentingan pembuatan media tersebut, bagian Pemerintahan
Desa Pemkab Jember menggandeng lembaga pendidikan
Magistra Utama, sebuah lembaga yang berprofesi sebagai
institusi karir yang membina berbagai tenaga-tenaga kerja baru.
Pelatihan dilaksanakan selama dua bulan dengan
melibatkan perwakilan dari seluruh perangkat desa yang
ditunjuk, yakni perwakilan dari 28 desa. Pilihan 28 desa tersebut

948
sebagai keberwakilan tahap pertama dalam pembuatan website
tersebut. Untuk selanjutnya, Magistra Utama diminta sebagai
pengawal pendamping program tersebut jika para elit desa atau
perangkatnya kesulitan mengakses data-data yang akan
dipublikasikan. Berdasarkan berita yang diturunkan oleh website
desa online di 28 desa tersebut, secara serentak memuat berita
mengenai pelatihan yang dilakukan Pemerintahan Desa bekerja
sama dengan Magitra Utama dalam membuat web. Hanya saja,
isi teks berita hanya terbatas pada aktivitas pemerintahan desa
saja. Peneliti tidak tertarik untuk mengungkap argumentasi para
elit secara langsung, namun lebih pada pesan yang telah
diproduksi dan dipublikasikan melalui ruang publik desa Online
tersebut.
Peneliti mengambil fakta web desa Online secara acak
dengan mengambil identitas Desa Sukowono, Kecamatan
Sukowono yang ditampilkan dalam website. Dijelaskan bahwa
pembuatan website Online itu sudah dimulai sejak tahun 2012
sebagai bentuk program Desa Online yang merupakan
kolaborasi antara Pemkab Jember, PT Telkom Jember, dan
Magistra Utama. Tujuan dari pembuatan media desa Online itu
adalah sebagai jembatan untuk mempermudah urusan antara
pemerintahan desa dengan masyarakat desa, selain untuk
menambah wawasan bagi pemerintah desa dengan masyarakat
setempat terkait dengan media komunikasi berbasis internet

949
tersebut. Tergambar jelas bahwa program ini adalah program elit
pemerintah yang kemudian menggandeng stakeholder, yakni PT
Telkom dan Lembaga Pendidikan Profesi Magistra Utama. PT.
Telkom sebagai BUMN yang mengerjakan berbagai program
pemerintah di bidang jaringan informasi dan telekomunikasi
dapat dipahami jika dapat bersinergi dengan Pemkab Jember
dalam program tersebut.
Demikian halnya dengan Program Magistra Utama yang
disebutkan dalam website resminya sebagai lembaga
pendidikan profesi yang bermitra dengan pemerintah
memberikan sambutan positif terhadap program berjaringan
internet. Dalam aspek ini, sebagai lembaga profesi, kemitraan
tidak hanya sekadar memberikan manfaat secara akses
jaringan, namun juga aspek ekonomi dan penguatan posisi
Magistra Utama sebagai lembaga profesi. Peneliti melihat
secara kritis, persoalan ekonomi selalu menjadi pertimbangan
penting dalam membangun kerja sama dengan pihak lain,
meskipun yang ditawarkan adalah manfaat bagi para
penggunanya. Berdasarkan observasi penulis, setelah pelatihan
tersebut, dinamika website desa Online masih berjalan statis,

950
terbukti tidak adanya perkembangan pesan yang ditampilkan
sejak didirikan tahun 2012 tersebut.
Gambar 1
Tampilan Website Desa Sukowono Online dan Berita

Program Desa Online


Diakses Peneliti Agustus 2015

Struktur Media dan Penampilan Media Desa On Line


Berdasarkan pesan teks yang digambarakan dalam
website Online tersebut, secara umum, struktur media berada di
bawah kendali perangkat desa. Pemerintahan desa yang
menjurut penelitia bertanggung jawab penuh terhadap kebijakan
redaksional media online tersebut. Sesuai hierarkinya, pejabat
pemerintahan di bawahnya secara otomatis menjadi pengelola
redaksi media online tersebut. Merekalah yang secara rutin

951
melakukan berbagai pengamatan terhadap perkembangan isi
penampilan media online tersebut atau dalam bahasa jurnalistik
biasa disebut dengan dewan redaksi atau cukup bagian redaksi
saja. Tugasnya adalah mengendalikan seluruh isi media sesuai
dengan kebijakan redaksi, yakni elit desa. Melalui penampilan
media, sirkulasi informasi diatur oleh pemerintah desa agar lalu
lintas informasi yang ditampilkan menggambarkan imajinasi
pemerintah desa di ruang media maya tersebut.
Observasi terhadap penampilan media desa on line
Jember, peneliti melakukan proses akses sebagaimana
dilakukan pada akses internet pada umumnya, yakni
menggunakan mesin pencari berita Google dan langsung di-klik
sesuai desa yang diinginkan. Dapat dijelaskan, website yang
ditampilkan dalam desa Online di Jember mengikuti model yang
ditawarkan situs worldpress. Dalam hal ini, pembuat website
tidak perlu bersusah payah mendesain perwajahan untuk
halaman laman mereka karena sudah ada tampilan yang
ditawarkan oleh world.press.com dan hanya tinggal mengisinya
saja sesuai dengan menu yang diinginkan. Pembuat blog hanya
cuup bermodal komputer dan jaringan akses internet yang
memadai, maka mereka selanjutnya dalam secara gratis
menampilkan pesan-pesan melalui ruang virtual tersebut.
Berikut peneliti menyajikan tampilan web desa Online
Jenggawah yang dapat menggambarkan bahwa wajah Online

952
sebenarnya murah dan tidak sulit dilakukan bagi kalangan
profesional, bahkan yang baru dalam taraf belajar sekalipun
sebagaimana dapat diakses melalui
https://jenggawah.wordpress.com/tag/pelatihan-komputer-desa-
on-line-magistra-utama/.
Berdasarkan tampilan media tersebut dapat dijelaskan
bahwa media online desa Jember dan 27 desa lainnya adalah
berakar pada satu akses situs link yang berasal dari
worldpress.com yang selama ini dikenal sebagai media jaringan
berbasis internet yang menyediakan layanan gratis bagi para
peselancar di dunia maya. Dengan mendaftar melalui akun yang
dikirimkan melalui web tersebut, maka bagi pengguna dapat
memanfaatkan menu-menu yang ditawarkan secara beragam.
Penampakan setiap wajah halaman (lay out) tersedia dalam
banyak jenis, sehingga jika dipilih satu untuk banyak orang, bisa
serentak menu atau penampakkanya. Selama peneliti dilakukan,
penampilan di 28 web desa on line itu adalah serupa. Menu
utamanya sebagai pokok rubrikasinya adalah Beranda,
Kependudukan, Links, Pemerintahan, Potensi Desa, Sejarah
Desa, dan Visi Misi. Berdasarkan akses terakhir peneliti, yakni 1
September 2015, tidak ada perubahan penampilan web tersebut,
baik kombinasi warna dan desain grafisnya yang kesemuanya
hanya mengandalkan produk worldpress.com yang sudah paten.
Misalnya, untuk Desa Jengawah yang ditampilan sebagai

953
halaman muka laman diberi tag line “Situs Resmi Desa
Jenggawah Kabupaten Jember” yang serupa dengan 28 desa
lain hanya menyesuaikan perubahan nama desanya saja. Bagi
ahli web, cara ini merupakan langkah paling mudah karena tidak
melakukan kreasi apapun, kecuali mengganti isinya saja.
Menu Beranda yang ditampilkan adalah berita berjudul
“Pendampingan Langsung di Desa oleh Instruktur Magistra
Utama” diikuti penjelasan mengenai kegiatan dan foto para
perangkat desa seusai latihan. Berita berikutnya yang
ditampilkan adalah “Pelatihan komputer desa on line Bersama
Magistra Utama” yang menjelaskan tentang upaya pemkab
Jember bagian pemerintahan desa yang bekerja sama dengan
Magistra Utama sebagai instruktur yang membimbing para elit
desa menguasai media on line sebagai sarana sosialisasi
program-program desa. Menu Kependudukan berisi tentang
batas-batas wilayah desa tersebut yang mendeskripsikan secara
ringkas batasan yang berada di sekitar desa tersebut. Misalnya,
batas wilayah desa Jenggawah di sebelah utara berbatasan
dengan Desa Klompangan Kecamatan Ajung, sebelah selatan
Desa Wonojati Kecamatan Jenggawah, dan sebelah timur
berbatasan dengan Desa Lengkong Kecamatan Mumbulsari.
Dikatakan ringkas, dalam menu ini, pihak elit desa tidak
menghadirkan peta desa, sehingga cukup memberian informasi
yang singkat dan ringkas saja.

954
Menu Link yang ditampilkan adalah jaringan Pemkab
Jember, Magistra Utama, dan 28 desa online tersebut, yakni
Desa Mayang (Kecamatan Mayang), Desa Sumberrejo
(Kecamatan Ambulu), Desa Wringin Agung, Desa
Sumberlesung, Desa Wonorejo, Desa Klompangan (Kecamatan
Ajung), Desa Karangsono, Desa Mumbulsari (Kecamatan
Mumbulsari), Desa Darsono (Kecamatan Arjasa), Desa Kalisat
(Kecamatan Kalisat), Desa Tutul (Kecamatan Balung), Desa
Sukowiryo, Desa Jenggawah (Kecamatan Jenggawah), Desa
Bagorejo, Desa Suci (Kecamatan Panti), Desa Sanenrejo, Desa
Kertosari, Desa Yosorati, Desa Sempolan (Kecamatan Silo),
Desa Grenden (Kecamatan Puger), Desa Sumberjambe
(Kecamatan Sumberjambe), Desa Baletbaru (Kecamatan
Sukowono), Desa Semboro (Kecamatan Semboro), Desa
Sukorambi (Kecamatan Sukorambi), Desa Sukoreno, Desa
Tanggulkulon (Kecamatan Tanggul), Desa Dukuhdempok
(Kecamatan Wuluhan), Desa Curahmalang.
Menu Pemerintahan berisikan daftar nama perangkat
desa tersebut, mulai dari RT dan RT yang ada di wilayah
tersebut. Mereka juga menampilkan cara-cara pengurusan Kartu
Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga disertai dengan syarat-
syarat yang harus dilakukan untuk memahami prosedur. Tidak
ditampilkan nomer telepon para perangkat desa tersebut dan
hanya menyebutkan nama-nama dengan khas Madura, seperti

955
P. Narto yang menunjukkan bukan nama sebenarnya, tetapi
merepresentasikan nama anak pertamanya sebagai sebutan. P
berarti Paen yang artinya bapaknya. Jika disebut P. Narto, maka
yang dimaksud adalah bapaknya Narto. Sedangkan nama
aslinya (nama daging dalam istilah Madura) jarang sekali ditulis
dan kalau ditulis pun nama asli disertai dengan alias. Misalnya,
Muhidin alias P. Narto. Menu Potensi Desa mengungkapkan
potensi desa secara ringkas dan bersifat umum. Menjelaskan
berbagai jenis sumber daya manusia di desa yang
menggambarkan identitas desa, namun masih sebatas
informatif, yakni mengungkapkan wilayah Jenggawah memiliki
potensi sumber daya manusia yang mayoritas bekerja sebagai
petani.
Menu Visi dan Misi mencantumkan nama visi dan misi
tersebut sesuai dengan desa masing-masing. Hanya saja, untuk
tampilan ini, tidak semua desa mengisinya sehingga tidak bisa
digambarkan tentang visi dan misi desa tersebut. Dalam konteks
ini, visi misi desa belum sepenuhnya dapat dijelaskan oleh
penelitia dan peneliti tidak memiliki kepentingan untuk
menghadirkan visi dan misi desa karena dapat mempengaruhi
posisinya sebagai peneliti. Pembacaan ruang dalam konteks
tidak adanya gambaran visi dan misi mengindikasikan bahwa
desa sejatinya masih gamang untuk memotret visi misi yang
sesuai dengan semangat undang-undang otonomi desa

956
tersebut. Logika yang mestinya dibangun adalah jika undang-
undang sudah hadir, maka visi dan misi mestinya juga harus
dihadirkan apabila sudah ada kesiapan. Berdasarkan struktur
dan penampakan media on line tersebut jelas
merepresentasikan kekuasaan elit desa dalam mengahadirkan
dominasi kekuasaannya dalam menyelenggarakan
pemerintahan desa. Struktur yang ditampilkan adalah perangkat
yang memberikan indikasi yang kuat bahwa posisi perangkat
desa, dalam konteks ini, adalah penting diketahui oleh publik
secara luas. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanaya menu
pembanding, misalnya link untuk warga, atau sengaja tidak
dinampakkan aspirasi warga dari struktur yang dibangun
konteks. Dalam kacamata Hubermas, ruang publik (public
sphere) media desa online itu sudah didominasi oleh kekuatan
tertentu, yakni struktur elit desa yang merupakan kepanjangan
dari elit bagian pemerintahan Kabupaten Jember, yang dalam
hal ini dibawah kepemimpinan Bupati MZA Djalal. Dalam ruang
ini peneliti tidak menemukan ruang yang dihadirkan oleh elit desa
sebagai kolom warga untuk bisa memberikan ruang kepada
masyarakat luas dalam menyampaikan identitas dirinya. Justru,
dalam web tersebut, para elit desa yang mendominasi nampak
dalam akan terus-menerus memenangkan kontestasi dengan
media online yang dibuatnya sendiri.
Pembacaan ruang ini menjadi penting karena elit desa

957
menghadirkan strukturnya sendiri, sementara struktur lain
ditutupi atau tidak diakmodasi hadir. Dengan demikian,
pembacaan publik dimana saja yang mengakses desa on line di
Jember akan mengetahui dari satu sisi perspektif, yakni elit desa.
Bisa saja, para elit desa tersebut berargumentasi bahwa media
tersebut sebagai wahana informasi kepada warga sekitar,
namun dengan memanipulasi ruang warga dalam ruang dunia
maya yang “super” luas itu justru menerjemahkan bahwa elit
desa memang berkuasa untuk menurunkan makna apa saja
sebagaimana nampak dalam penampakan perwajahan media
desa on line tersebut. Secara tegas yang mengemuka dalam
sajian tersebut adalah ideologi kekuasaan yang berbicara
dengan simbol-simbol yang nampak. Web Online dengan nama
desa tertentu kemudian diiringi dengan teks-teks pelayanan Hal
ini wajar, karena penggambaran dalam halaman muka tersebut
yang paling menonjol adalah situs resmi desa dan
penggabungan pemerintah Kabupaten Jember sebagai
dominasi penampakan dalam wajah media. Didekati dengan
perspektif McLuhan bahwa “Medium is Message” bahwa media
perantara adalah pesan itu sendiri, maka semakin jelas bahwa
media desa on line ini sangat menyiratkan representasi ideologi
kekuasaan elit desa dalam mengusung citra dirinya hadir di
dunia internet dengan menafikkan kehadiran rakyat di ruang
komunikasi virtual itu.

958
Isi dan Makna Teks Media Desa On Line
Isi pesan dalam media desa on line seluruhnya adalah
suara elit pemerintahan, baik dari pihak kabupaten maupun
desa. Sepanjang observasi peneliti secara online, dapat
ditegaskan bahwa dengan membaca isi beranda, peneliti
mendapati makna bahwa media desa on line dihadirkan oleh
pemerintah kabupaten Jember melalui pemerintahan desa dan
bekerjasama dengan Magistra Utama sebagai mitra dalam
membuat website tersebut. Kemitraan dengan Magistra Utama
tersebut berdasarkan observasi melalui website resmi Magistra
Utama, yakni www.magistrautama.co.id memberikan definisi
kuatnya akses jaringan yang dimiliki oleh lembaga yang berpusat
di Malang. Selain berpengalaman di dalam negeri, Magistra
Utama juga menjalin dengan pihak luar negeri. Isi informasi yang
ditampilkan dalam website desa online tersebut juga dapat
dimakna secara visual. Sebab, ketika kita meng-klik beranda
ternyata isinya, selain pemerintahan desa, ternyata pesan-pesan
Magistra Utama juga cukup mendominasi melalui judul pesan
“Pendampingan Langsung di Desa oleh Magistra Utama”.
Penonjolan ini memberikan makna yang tegas bahwa lembaga
bisnis atau ekonomi dengan pendidikan karir sebagai kekuatan
utamanya mendapatkan ruang yang luas dalam pendampingan
langsung kepada pemerintah desa yang memiliki otoritas untuk

959
membuat web desa online tersebut.
Dilihat dari tema yang diusung jelas mengambarkan
kekuatan ekonomi yang mendominasi tau bernegosisasi dengan
desa untuk membuat desa online dengan menu yang mereka
sepakati. Representasi kekuasaan elit dalam konteks dominasi
bisa dilihat dari penonjolan pesan-pesan yang disampaikan
didominasi oleh pemerintahan desa dan tanpa menghadirkan
pembanding dari warga sebagai kolom yang mestinya juga
memiliki ruang untuk dihadirkan. Dengan begitu, asumsi tentang
dominasi struktur elit desa bahwa sejatinya media online
merepresentasikan kekuasaan elit desa dalam melaksanakan
pemerintahan desa menemukan relevansinya. Peneliti juga
kesulitan memaksakan logika bahwa konstruksi menu desa on
line itu tanpa ada maksud atau tidak merepresentasikan
kekuasaan elit desa sebagaimana terlihat dalam web desa
online.
Dua pesan yang diturunkan dalam beranda utama
dengan “head line” judul menyebut nama Magistra Utama
memberikan pemaknaan dominatif Magistra Utama dalam
menempati ruang virtual desa online tersebut. Dilihat dari aspek
skema jelas menunjukkan peran penting Magistra Utama dalam
memberikan pelatihan elit desa dalam mengoperasikan web site
desa online. Dalam persepektif elit desa, Magistra Utama adalah
institusi penting dalam mengajari mereka menguasai dunia

960
internet untuk memublikasikan pesan-pesan elit desa.
Representasi dalam konteks makro adalah bahwa elit desa
merepresentasikan elit kekuasaan, dalam hal ini adalah
pemerintah Kabupaten sebagai medium tertinggi di wilayah
Kabupaten. Isi beranda dalam kacamata kritis jelas hanya
memublikasikan kegiatan birokratis elit pemerintahan desa. Hal
ini bisa dilihat bahwa dalam menu tersebut tidak dihadirkan
warga sebagai representasi rakyat yang dapat memenuhi ruang
virtual tersebut. Dominasi kekuasaan elit desa justru malah
nampak dalam desain isi media internet desa online tersebut.

Interaksi dalam Media Komunikasi Desa On Line


Dalam konteks penelusuruan seluruh isi dokument
terhadap informasi, pesan, dan berita yang ditampilkan oleh
media desa online, peneliti tidak mendapatkan interaksi yang
terjadi antara warga sekitar dengan para elit yang mengelola
desa online tersebut. Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya ruang
dialog yang dibuat sebagai media interaktif antara warga dengan
elit, seperti aspirasi masyarakat melalui SMS, nomer telepon
desa atau perangkat desa yang ditampilkan untuk dihubungi
maupun alamat lengkap desa beserta nomer telepon yang bisa
dikonfirmasi. Dengan melihat ruang virtual tersebut,
menunjukkan bahwa elit desa belum memberikan ruang yang
terbuka bagi masyarakat. Dengan demikian, pelayanan

961
pemerintahan desa melalui media online belum menjadi sarana
yang efektif dalam masyarakat desa. Interaksi dengan
masyarakat mestinya dapat terbaca melalui ruang yang
disediakan dalam blog tersebut. Karena ingin melihat identitas
pesan yang diproduksi di media maya, peneliti sengaja tidak
melakukan konfirmasi terhadap aparat pemerintahan desa
karena hasil riset ini nantinya akan dapat dijadikan masukan
berarti bagi elit pemerintah desa dalam menampilkan pesan-
pesan pembangunan yang bersifat partisipatoris.
Peneliti mengamati secara intens, dan pada satu
kesimpulan awal bahwa media tersebut belum sepenuhnya
dikelola sebagai program yang serius. Padahal, dengan
pelatihan selama dua bulan yang dilakukan oleh Magistra
Utama, semestinya bisa menjadi modal awal untuk
menyuguhkan media interaktif dengan masyarakat. Sebenarnya,
dengan membuka ruang seluas-luasnya misalnya SMS, Link
dengan media sosial, link dengan media massa, link dengan
lembaga pendidikan, maupun link dengan usaha kecil dan
menengah di desa setempat akan memberikan akses yang
memadai bagi khalayak. Tidak ada satu pun jenis produk lokal
desa yang ditampilkan dalam web tersebut, sebagaimana
tergambar dalam laman berikut.
Peneliti mencoba mengakses website desa online lainnya
juga menampilkan wajah yang sama. Yang membedakan hanya

962
warna maupun pilihan desain web yang dipilih. Ruang interaktif
maupun dialog warga tidak dihadirkan dalam web tersebut.
Peneliti juga tidak menemukan indikasi interaksi antarwarga
dalam ruang virtual tersebut karena beberapa faktor. Pertama,
tidak adanya perubahan sama sekali terhadap isi dan
perwajahan web yang menunjukkan tidak adanya masukan,
saran, dan interaksi dengan warga, sehingga menjadikan web
tersebut sebagai media ujicoba yang sifatnya merespon
imajinasi warga terkait dengan website tersebut. Kedua,
informasi dan berita yang disajikan tidak mengalami perubahan
yang berarti sehingga data yang ditampilkan bukanlah produk
yang up to date dan tidak ada pembaharuan sama sekali.
Dengan pelatihan yang sudah dilakukan, sebenarnya bias saja
dilakukan perubahan maupun penambahan informasi karena
yang sifatnya online dapat sewaktu-waktu dilakukan konstruksi
ulang terhadap data yang ditampilkan

Motif Elit Desa Memproduksi Media Desa On Line


Dalam rangka memperoleh motif elit dalam memproduksi
media online tersebut, peneliti berusaha konsisten untuk
membaca ruang publik desa online itu sebagai identitas yang
ditampilkan pemilik web. Berdasarkan observasi peneliti, tidak
ada motif lain dari para elit desa kecuali merepresentasikan diri
mereka terhadap kepentingan elit penguasa di Kabupaten

963
Jember, dalam hal ini bagian pemerintahan desa Pemkab
Jember kecuali untuk meneguhkan kekuasaan mereka di dunia
virtual bernama desa online.
Hal ini sejalan dengan pendapat Burton bahwa
representasi selalu terkait dengan ideologi yang mengusung
makna-makna dalam teks yang dihadirkan dalam banyak ruang,
termasuk ruang virtual desa online tersebut. Terlebih lagi,
dengan didekati dari analisis wacana dalam konteks isi dan
makna dibalik teks yang dihadirkan, maka semakin lengkaplah
bahwa elit desa telah menghadirkan produksi kekuasaan elit
desa sebagai representasi kekuasaan ideologi elit pemerintahan
kabupaten Jember.
Bahasa yang digunakan bahwa media desa on line
digunakan untuk mempermudah pelayanan terhadap
masyarakat desa bisa adalah bagian dari kerja birokrasi di
pedesaan. Produk-produk pengurusan Kartu Tanda Penduduk
(KTP), Kartu Keluarga (KK), dan Surat Keterangan Catatan
Kepolisian (SKCK) yang dipublikasikan melalui media desa
online tersebut semuanya berbasis kepada kekuasaan birokrasi
yang harus diikuti oleh masyarakat. Tidak adanya ruang untuk
komunikasi bagi masyarakat desa melalui pintu virtual di laman
desa online yang dibuat memberikan makna yang tegas bahwa
kekuasaan berada dalam posisi mendominasi terhadap
masyarakat.

964
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut, peneliti
menyimpulkan sejumlah hal penting, yaitu: 1) pesan-pesan
pembangunan yang ditampilkan dalam media desa online di
Kabupaten Jember masih didominasi oleh elit pemerintahan
desa sehingga muatannya bersifat top down; 2) isi dan makna
teks dalam pesan yang diproduksi melalui media desa online
masih bersifat birokratis dan tidak partisipatoris karena tidak
adanya pelibatan warga dalam ruang virtual; 3) tidak adanya
ruang interaksi sosial warga di website desa online sehingga
memperkuat kesan dominasi elit dan mengesankan masyarakat
desa tidak membutuhkan interkasi dalam dunia maya; 4) motif
yang ditampilkan mengesankan representasi elit sebagai
penguasa otoritatif dunia maya desa online.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti menyarankan sebagai
berikut: 1) pemerintah elit desa seharusnya menampilkan pesan-
pesan pembangunan yang produktif untuk khalayak agar tidak
memberikan kesan dominatif elit desa; 2) isi teks pesan perlu
melibatkan partisipasi warga sehingga suara masyarakat dapat
terimajinasikan melalui ruang virtual; 3) perlunya warga desa
membuat blog sendiri apabila dunia maya (internet) sudah
dirasakan sebagai bentuk kesadaran dalam berinteraksi sosial
melalui lalu lintas online; 4) masyarakat desa perlu mengkritik

965
website yang ditampilkan oleh elit desa apabila tidak
merepresentasikan kepentingan warga sebagai bentuk sikap
kritis partisipatoris sehingga menjadi masukan bagi
penyelenggaran pemerintahan desa.

Daftar Pustaka
Ayun, dkk. (2015). Cyberspace and Culture. Yogyakarta: Buku
Litera.
Arikunto, Suharsimi, (2000). Manajemen Penelitian. Jakarta:
Rineka Cipta.
Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia.
Bungin, Burhan. (2013). Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Burton, Graeme. (2012). Media dan Budaya Populer.
Yogyakarta: Jalasutra.
Cangara, Hafied. (2004). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Effendy, Onong Uchjana. (2003). Ilmu Komunikasi; Teori dan
Praktek, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hardt, Hanno, (2007) Critical Communication Studies: Sebuah
Pengantar Komprehensif Sejarah Perjumpaan Tradisi
Kritis Eropa dan Tradisi Pragmatis Amerika, Yogyakarta:
Jalasutra, 2007.

966
Hubeis, Aida Vitayala, dkk, (2010). Komunikasi Inovasi, Jakarta:
Penerbit Universitas Terbuka.
Muhtadi, Asep Saeful, (2012). Komunikasi Dakwah: Teori,
Pendekatan, dan Aplikasi, Bandung: Simbiosa Rekatama
Media.
Moloeng, Lexy J, (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif,
Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Mulyana, Deddy, (2007) Ilmu Komunikasi, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nasrullah, Rulli, (2013). Cyber Media, Yogyakarta: Idea.
Nurudin, (2007). Sistem Komunikasi Indonesia, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Pawito, (2009). Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye
Pemilihan, Yogyakarta: Jalasutra.
Rakhmad, Jalaluddin, (2001). Metodologi Penelitian Komunikasi,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Romli, Asep Samsul, (2001). Jurnalisme On Line, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2010.
Syam, Nina W., (2013). Model-Model Komunikasi: Perspektif
Pohon Komunikasi, Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Schroder, Peter, (2013). Strategi Politik, Jakarta: Frederich
Numann Stiftung fur die Freiheit, 2013.
Sugiyono, (2009). Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV.
Alfabeta.

967
Surbakti, Ramlan, (2007). Memahami Ilmu Politik, Jakarta:
Grasindo.
Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,
hukumonline.com.
Winarni, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Malang: UMM
Press, 2003

*) Kun Wazis, IAIN Jember

968
Penerapan Komunikasi Antarpersona dalam Program
Pemberdayaan Perempuan: Studi Kasus Penerapan
Komunikasi Antarpersona dalam Program Pemberdayaan
Perempuanterhadap Perempuan Pekerja Seks Komersial
(PSK) di Balai Rehabilitasi SosialKarya Wanita (BRSKW)
Palimanan, Cirebon

Ida Ri’aeni & Uun Machsunah*

Pendahuluan
Komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan
kepuasan terpenuhinya kebutuhan interaksi dengan manusia-
manusia lainnya. Hampir setiap orang membutuhkan hubungan
sosial dengan orang-orang lainnya, dan kebutuhan ini terpenuhi
melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan
untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa
berkomunikasi akan terisolasi. Pesan-pesan itu mengemuka
lewat perilaku komunikasi. Dalam relasi sosial, selalu saja ada
masalah-masalah sosial yang terjadi. Komunikasi bisa menjadi
cara dalam memahami dan memberi solusi terhadap suatu
masalah sosial, misalnya saja dengan pendekatan-pendekatan
dialogis terhadap pelaku sosial. Dalam hal ini, salah satu
masalah sosial yang terus bergulir adalah keberadaan pekerja

969
seks komersial (PSK) di wilayah Kabupaten Cirebon yang saat
ini diperkirakan mencapai 3.000 orang dinilai sangat rentan
untuk turut menularkan virus HIV-AIDS di wilayah setempat.
Praktik seks bebas seperti prostitusi tanpa pengaman
sangat rentan bagi penyebaran HIV-AIDS. Mobilitas mereka
sangat tinggi dan bisa berhubungan kelamin dengan siapa saja.
Cirebon yang termasuk daerah pantura tidak luput dari
keberadaan PSK. Bahkan, menurut Sekretaris Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Cirebon, H. Deni
Agustin, yang mengejutkan, lelaki hidung belang yang
memanfaatkan jasa PSK tersebut sekitar 14.000 di antaranya
merupakan penduduk Kabupaten Cirebon.
(www.pikiranrakyat.com. 13 Juli 2011,
www.dinkescirebonkab.go.id). Hampir setiap kecamatan di
Kabupaten Cirebon rata-rata melaporkan adanya kasus HIV-
AIDS, dari jumlah akumulatif kasus HIV positif sampai dengan
tahun 2010 yang mencapai 531 kasus, Kedawung merupakan
kecamatan paling tinggi jumlahnya. Disebutkan, penularan HIV
AIDS di Kabupaten Cirebon sebanyak 69 % melalui hubungan
seks, sisanya melalui penyalahgunaan napza suntik dan lainnya.
Sebanyak 51 % penularan terjadi pada orang yang sudah
menikah, di samping itu 50% kasus HIV-AIDS terdapat pada usia
21 hingga. 30 tahun. (www.dinkescirebonkab.go.id)

970
Di Indonesia penanganan ekses yang ditimbulkan praktik
prostitusi yang ditindak adalah PSK-nya, bukan germonya.Di sisi
lain dia mengungkapkan, kasus kumulatif HIV-AIDS di Jawa
Barat sampai dengan tahun 2010 mencapai 5.680. Jabar
termasuk peringkat ke-7 dari 15 provinsi di Indonesia yang
melaporkan kasus HIV-AIDS. Masyarakat bisa membantu
mensosialisasikan bahaya HIV-AIDS dengan melakukan upaya
pencegahan dan penanggulangan. Pencegahan bisa dibantu
dengan sosialisasi memberikan penerangan kepada sesama
masyarakat lainnya. Selain kewaspadaan terhadap HIV/AIDS,
Kepolisian Resort Kota Cirebon, Jawa Barat, juga seringkali
merazia sejumlah pasangan mesum. Mereka tak berkutik saat
digerebek di dalam hotel kelas melati. Tak hanya itu, polisi turut
merazia pekerja seks komersial (PSK), yang tetap mangkal pada
Ramadhan. Wanita-wanita tersebut ditangkap di warung
remang-remang di sepanjang jalur Pantai
Utara. (www.metrotvnews.com, 8 Agustus 2011.) Selain di
tempat tersebut, Razia juga dilakukan di tempat seperti kos-
kosan dan salon yang ditengarai menjadi tempat praktek
prostitusi terselubung di Kota Cirebon.
(www.radarcirebon.com29 Desember 2014,
www.cirebontrust.com12 November 2015,
www.m.merdeka.com23 November 2015)

971
Pada saat razia, petugas sempat menemukan dua
pekerja seks komersial (PSK) yang tengah hamil 9 bulan,
terjaring dalam razia yang digelar jajaran Kepolisian Resor
(Polres) Cirebon Kota. Keduanya pun digiring ke Markas Polres
Cirebon Kota untuk dimintai keterangan.Kedua PSK tersebut
diciduk petugas dari tempat mangkal mereka di Jalan Sukalila,
Kota Cirebon. Tidak ada perlawanan saat kedua PSK itu dibawa
petugas. Mereka terlihat pasrah.Selain Kedua PSK tadi Ayu dan
Sri, ada lagi seorang PSK hamil yang ikut terjaring. Dia adalah
Eneng alias Erna (29) yang mengaku tengah mengandung 5
bulan.Razia yang digelar jajaran Polres Cirebon Kota dilakukan
sebagai upaya untuk menciptakan Kota Cirebon yang aman dan
tertib. Apalagi selama ini Kota Cirebon dikenal sebagai Kota
Wali,(www.tribunnews.com, 5 Oktober 2011). PSK yang
mengaku tengah hamil 3 bulan dan masih beroperasi dalam
aktivitas prostititusi, juga terjaring dalam operasi pekat
(pemberantasan penyakit masyarakat). Mereka yang terjaring
razia biasanya diserahkan ke pusat rehabilitasi Palimanan,
Cirebon. Dengan alasan kehamilan, PSK ini menolak untuk
dibawa ke pusat rehabilitasi tersebut. (www.radarcirebon.com,
26 Agustus 2015)
Dalam program rehabilitasi masalah tuna susila yang ada
di Kota Cirebon dan sekitarnya, komunikasi antar persona
memegang peranan penting dalam proses bimbingan.

972
Komunikasi sangat penting bagi kehidupan kita sehari-hari,
dalam program ini terkait pada bagaimana menampung keluh
kesah, memberi pemahaman tentang sesuatu hal yang tidak
bisa dilakukan hanya melalui sosialisasi secara berkelompok,
menciptakan kedekatan dan rasa nyaman antara pekerja yang
melakukan bimbingan dengan klien yang dibimbingnya. Tanpa
komunikasi kita tidak dapat berinteraksi dengan orang lain. Tidak
ada satupun manusia yang dapat bertahan untuk tidak
berkomunikasi karena dalam setiap kegiatan atau aktivitas
manusia melakukan komunikasi atau interaksi dengan baik.
Tujuan utama kajian ini adalah untuk mengeksplorasi penerapan
komunikasi interpersonal dalam program pemberdayaan
perempuan yang dilakukan di Balai Rehabilitasi Sosial Karya
Wanita (BRSKW) Palimanan, Cirebon.

Balai Rehabilitasi Sosial Karya Wanita: Wilayah Studi


Sejarah keberadaan Balai Rehabilitasi Sosial Karya
Wanita (BRSKW) Palimanan Cirebon atau yang populer di
tengah masyarakat sebagai Panti Silih Asih Palimanan bermula
pada Tahun 1956. Pada awalnya berdirinya, Balai ini merupakan
asrama atau penampungan sosial, untuk para tuna sosial seperti
: gepeng, yatim piatu, dan wanita tuna susila. Balai ini diberi
nama Panti Pendidikan Wanita “Sedar”, Khusus memberikan
pendidikan kepada wanita penyandang masalah sosial tuna

973
susila di bawah koordinasi Pemerintah Daerah Tingkat II
Kabupaten Cirebon.
Tahun 1964, Panti Pendidikan Wanita “Sedar”,
dihentikan aktifitasnya karena keterbatasan biaya dan tenaga
pengelola.Tahun 1972, Pada tanggal 28 Agustus 1972, Panti
Pendidikan Wanita “Sedar”, menjadi Proyek Laboratories
Penyantunan Rahabilitasi Wanita Tuna Susila Departemen
Sosial Di Propinsi Jawa Barat. Dan diresmikan menjadi Panti
Pendidikan Wanita “Silih Asih” oleh Bapak Kartono
Notodarmodjo (Direktur Jenderal Kesejahteraan Anak, Keluarga
dan Masyarakat).
Tahun 1979, Dengan Terbitnya SK. Menteri Sosial RI.
No. 41/HUK/KEP/XI/79 Tanggal 1 November 1979, Panti
Pendidikan Wanita berubah menjadi Sarana Rehabilitasi Wanita
Tuna Susila. “Silih Asih’ Palimanan. Tahun 1994, Berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Sosial RI. No. 14/HUK/1994. Tanggal
24 April 1994 tentang Pembakuan nama unit Pelaksanan Tehnik
Pusat / Panti/ Sasana di lingkungan Departemen Sosial, maka
nama Sasanan Rehabilitasi Wanita Tuna Susila berubah
menjadi Panti Sosial Karya Wanita.’Silih Asih’ Palimanan.Tahun
2000, Pada tanggal 7 Juli 2000, Panti Sosial Karya Wanita “Silih
Asih” Cirebon, diserahkan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah
daerah Propinsi Jawa Barat.Tahun 2002, Berdasarkan peraturan
daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2002 tentang

974
Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2000
tentang Dinas Daerah Propinsi Jawa bBarat dan Peraturan
Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2002 entang tugas
pokok, fungsi dan rincian Tugas Unit Pelaksana Teknis Dinas di
Lingkungan Dinas Sosial Propinsi Jawa Barat, Panti Sosial Karya
Wanita “Silih Asih” Cirebon, berubah menjadi Balai Pemulihan
Sosial Wanita Tuna Susila (BPSPSK) Cirebon.
Tahun 2010, Berdasarkan Peraturan Gubernur Propinsi
Jawa Barat Nomor 113 Tahun 2009, 11 Desember 2009 tentang
Organisasi dan tata kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas dan
Badan di Lingkungan Provinsi Jawa Barat. Balai Pemulihan
Sosial Wanita Tuna Susila (BPSPSK) Cirebon, menjadi Balai
Rehabilitasi SosialKarya Wanita (BRSKW) Palimanan Cirebon.
Persyaratan Penerimaan Calon BRSKW Cirebon (Sumber:
Panduan Kerja BRSKW Palimanan Cirebon tahun 2010) adalah
penyandang masalah yaitu wanita tuna susila dengan kriteria
sebagai berikut :
1. Berusia 17 tahun atau usia produktif.
2. Sehat jasmani dan rohani
3. Tidak memiliki penyakit menular yang membahayakan
kecuali penyakit kelamin
4. Wajib tinggal di Balai atau asrama.
5. Wajib mengikuti ketentuan yang berlaku di balai.
6. Calon klien tidak dalam urusan dengan Kepolisian.

975
Sejak tahun 2010, sasaran pelayanan panti ini (Sumber:
Profil BRSKW 2010) adalah (1) Wanita Tuna Susila atau Pekerja
Seks Komersial (PSK) yakni mereka yang karena berbagai faktor
melakukan pekerjaan asusila. Termasuk dalam hal ini adalah
wanita tuna susila yang membutuhkan perlindungan secara
khusus (antara lain penelantaran, perlakuan salah), eksploitasi,
diskriminasi, kekerasan dan berada pada situasi berbahaya.
Klien atau siswa yang menjadi sasaran pusat rehabilitasi ini
dengan Kriteria sebagai berikut:Berusia 15 tahun sampai dengan
45 tahun (usia produktif);Sehat jasmani, kecuali penyakit
kelamin;Sehat rohani, dalam arti tidak sakit ingatan / tuna
laras;Wajib tinggal di asrama dan mematuhi ketentuan yang
berlaku di Balai; Wajib mengikuti program bimbingan sosial, fisik,
mental dan keterampilan selama 4 bulan; Tidak tersangkut
urusan kepolisian / tindak pidana. (2) Perempuan Eksperimen
(Perek), Wanita ABG yang biasa mejeng di pinggir-pinggir jalan
dan cenderung bertindak Tuna Susila di diskotik cape, tempat
hiburan, mall, warung dan lain-lain. Belakangan ini, istilah cabe-
cabean merupakan panggilan dari kelompok sasaran jenis ini.
(3) Perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang
berada di sekitar lingkungan penyandang masalah tuna susila
yang mampu berperan aktif sebagai sumber dan pendukung
dalam proses pelayanan dan rehabilitasi sosial wanita tuna
susila. (4) Masyarakat, yaitu: a.Mucikari / germo dalam rangka

976
motivasi untuk memperoleh klien; b.Masyarakat, lingkungan
sosial asal klien dan lingkungan tempat kerja yang perlu
dipersiapkan agar mau menerima klien dalam rangka penyaluran
dan pembinan dan bimbingan lanjut;c.Masyarakat, organisasi
sosial, pengusaha, dermawan, tokoh masyarakat dan lain – lain
yang diharapkan dapat mendukung dan berpartisipasi dalam
pelaksanaan kegiatan pelayanan rehabilitasi sosial eks wanita
tuna susila; e.Potensi dan sumber – sumber yang dapat
digunakan untuk pengembangan pelayanan rehabilitasi sosial
eks wanita tuna susila.
Kapasitas tampung Penerima Program Pelayanan
Kesejahteraan Sosial dalam perkembangan terdapat pada
lampiran data BRSKW Palimanan Cirebon. Jumlah yang dilayani
mulai tahun 2011 sampai dengan sekarang sebanyak 110
orang untuk setiap angkatan dan dalam 1 (satu) Tahun
Anggaran sebanyak 220 orang dengan jangkauan pelayanan
seluruh Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Barat, yakni
Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Kabupaten Kuningan,
Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, Kabupaten
Sumedang, Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta,
Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kota
Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Sukabumi,
Kota Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung Barat,
Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten

977
Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Kota Banjar,
Kabupaten Ciamis.
Sasaran pelayanan yang dibina di BRSKW Cirebon hasil
Koordinasi Tim Penanggulangan Penyandang Masalah Wanita
Tuna Susila di masing - masing kabupaten / Kota melalui hasil
penertiban tim gabungan daerah setempat. Visi BKRSW adalah
Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi warga binaan sosial
wanita tuna susila secara professional dalam suasana silih asah,
silih asih dan silih asuh. Sedangkan misinya yaitu: (1)
Meningkatkan kemampuan profesional sumber daya manusia
pelaku pelayanan kesejahteraan sosial bagi wanita
binaansosial tuna susila, (2) Mengembangkan potensi
penyandang masalah wanita binaan sosial tuna susila, (3)
Memberikan pelayanan dan rehabilitasi kesejahteraan sosial
kepada penyandang masalah sosial wanita tuna susila,
ABGPerek dan pelayan warung remang-remang, cafe, diskotik,
panti pijat plus dan lain-lain.
Untuk kelancaran pelaksanaan program kegiatan,
BRSKW Palimanan Cirebon bekerjasama dengan Instansi
terkait, antara lain :Pemerintah Kabupaten / Kota se Provinsi
Jawa Barat; Dinas Sosial / Kantor Dinas Sosial / Kesejahteraan
Sosial Kabupaten / Kota; Polda Jawa Barat, Polwiltabes
Bnadung, Polresta dan Polres di jajaran Polda Jabar;
Pemerintah Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon; Dinas

978
Kesehatan Kabupaten Cirebon; Rumah Sakit Umum Daerah;
Puskesmas Kecamatan Palimanan; Polres Cirebon dan Polreta
Cirebon; Polsek Palimanan; Koramil Palimanan; Kecamatan
Palimanan; PKK Kecamatan Palimanan/Kabupaten Cirebon;
Dharma Wanita Persatuan Kabupaten Cirebon Unit Kerja Kantor
Sosial; Dinas Pendidikan Kabupaten Cirebon; Depag Kabupaten
Cirebon; KUA Kecamatan Palimanan; Pondek Pesantren
Kempek; SKB Kabupaten Cirebon; UPTD Penyuluhan dan
Pembibitan Pertanian Cirebon; Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Cirebon; Dinas Koperasi dan PKM Kabupaten
Cirebon; STKS Bandung; BKKKS Provinsi Jawa Barat; PSBK
Budhi Darma; GOW Kabupaten Cirebon; Organisasi Sosial,
LSM; serta Aparat Pemerintah Daerah sesuai daerah asal klien
dan lain-lain.
Untuk mendukung studi yang dilakukan ini, peneliti
memilih beberapa pekerja sosial sebagai informan penelitian.
Mereka adalah:
1. Ibu Nani, Pekerja Sosial di BRSKW Palimanan Cirebon.
2. Ibu Nining, Pekerja Sosial di BRSKW Palimanan Cirebon.
3. Bapak Asep Sukirman, Kepala BRSKW Palimanan Cirebon
4. Bapak Nursetyo Wahyono, Pekerja Sosial Madya di
BRSKW Palimanan Cirebon. Informan bertugas sebagai
instruktur / Pembimbing dalam menyelenggarakan
Bimbingan Keterampilan Sosial bagi Klien Tuna Susila,

979
menyiapkan modul bimbingan bagi para instruktur/
pembimbing.

Pembahasan
Pada saat peneliti berkunjung, informasi yang didapatkan
dari Informan penelitian adalah sebagai berikut: “BRSKW saat ini
sedang tidak ada kegiatan belajar. Tidak ada kelas untuk para
siswi. Beberapa rekan kerja (pegawai) di Silih Asih sedang ke
Bandung untuk pelatihan, bebenah administrasi, dan lainnya.“
(Wawancara dengan Bu Nining dan Bu Nani, Karyawan di Silih
Asih, 16 November 2011).
“BRSKW yang dahulu bernama PRW Silih Asih. Pada era
Presiden Gusdur diganti nama menjadi BRSKW dilimpahkan ke
provinsi Jawa Barat. Tiap angkatan menampung 110 siswa, dua
periode selama setahun. Tidak ada siswi di BRSKW yang betah,
maunya kabur melulu. Penyakit-penyakit yang diidap siswi:
gonorhoe, HIV Aids. Penyakit ini cenderung ada di setiap
angkatan, berkisar antara 2,3,4 sampai 5 orang siswi. Siswi
berasal dari razia dinas sosial provinsi di Bandung, sekitar 50 %
jumlah terbanyak dari hasil razia, selebihnya(sisanya) berasal
dari Indramayu, kabupaten dan kota Cirebon. Dalam proses
pembelajaran di kelas, siswi diajari antara lain keterampilan-
keterampilan yang berkaitan dengan bidang perempuan yakni
merias pengantin, gunting rambut (salon) dan tata boga seperti

980
memasak, membuat kue, serta menjahit. Diharapkan setelah
menjalani “sekolah karantina” di BRSKW siswi tidak melakukan
aktivitasnya yang dulu sebagai PSK. Mereka yang dibekali
dengan keterampilan dan disesuaikan dengan minat (bakat)
yang mereka miliki ketika keluar mereka akan disupport
(diberikan) fasilitas dasar untuk mengembangkan diri ketika
berbaur kembali dengan masyarakat. Misalnya yang hobi dan
punya kecenderungan minat menjahit akan diberikan mesin jahit.
Namun faktanya, para siswi sampai sejauh ini belum nampak
jelas “hasil” yang diharapkan setelah lulus dan keluar dari
karantina BRSKW
Asep Sukirman menyatakan bahwa hal itu bukannya tidak
disadari lembaga yang dipimpinnya tapi faktor anggaran (dana)
yang menjadi kendala.tidak ada anggaran dari dinas provinsi.
Selain itu, mengenai keberadaan biro konsultasi atau konseling
sebagai bagian dari bimbingan yang dilakukan secara pribadi
secara perorangan dengan metode face to face communication,
ternyata juga tidak ada. Padahal biro ini sangat diperlukan untuk
menampung keluh kesah siswi dan semua permasalahan yang
dialami mereka. Biro ini bisa meminimalisir masalah serta
mengantisipasi dan mengurai (memecahkan) masalah-masalah
yang menimpa para siswi, apapun masalahnya. Asep Sukirman
lagi-lagi mengatakan selain tidak (belum adanya) ruangan, juga
tidak ada anggaran. Apalagi untuk orang yang menanganinya.

981
Hal ini berkaitan dengan tidak adanya pemantauan dari
BRSKW setelah mengikuti program belajar. Pihak BRSKW lepas
tangan, tidak ada wajib lapor dari siswi, tidak ada kontrol maupun
pendampingan agar siswi tidak terjun lagi ke dunia PSK yang
menjadi lahan nafkah hidup keluarganya.” (Wawancara dengan
Drs Asep Sukirman, 22 November 2011).
Peneliti juga berbincang dengan Nursetyo Wahyono (20
Desember 2011) seputar aktivitas BRSKW melanjutkan dan
melengkapi data dan informasi dari Bapak Asep Sukirman.
Nursetyo memberikan data yang diinput ke flashdisk yakni: File
klien BRSKW Cirebon, Panduan kerja, Bagan tujuan
standarisasi BRSKW, Desain perancangan virtual class, Modul:
Bimbingan Ketrampilan Sosial bagi Klien BRSKW Cirebon (1 dan
2) oleh Nursetyo Wahyono, A. Ks, Silabi Bimbingan, Jam latihan
bimbingan, Pedoman kerja 09, Profil BRSKW Palimanan
Cirebon 2011 dan Evaluasi PRG PKS beserta lampirannya.
Menurut Nursetyo Wahyono, Seksi Rehabilitasi Sosial
adalah salah satu bagian yang ada dalam BRSKW dan
berhubungan langsung dengan pembinaan klien. Tugas dari
Seksi Rehabilitasi Sosial adalah mem punyai tugas pokok
melaksanakan pelayanan bimbingan fisik, mental, sosial dan
keterampilan klien wanita tuna susila; dan dalam
menyelenggarakan tugas pokok sebagaimana dimaksud, seksi
pemulihan sosial mempunyai tugas :

982
a. Pelaksanaan bimbingan fisik, mental, sosial dan
keterampilan wanita tuna susila;
b. Pelaksanaan bantuan psikososial, pendampingan dan
bantuan hukum klien wanita tuna susila;
Rincian tugas Seksi Rehabilitasi Sosial tersebut meliputi
menyusun rencana kerja Seksi Pemulihan Sosial; melaksanakan
pelayanan bimbingan fisik, mental, sosial,dan keterampilan klien
wanita tuna susila; melaksanakan bantuan psikososial,
pendampingan dan bantuan hukum klien wanita tuna susila;
melaksanakan koordinasi dengan unit kerja terkait; dan
melaksanakan evaluasi dan pelaporan kegiatan Seksi
Pemulihan Sosial.
Pengelola BRSKW Palimanan Cirebon biasanya
mengadakan evaluasi dalam kurun waktu tertentu. Evaluasi
program ini dilakukan dengan menyebar kuesioner dan
melakukan wawancara kepada klien (Pekerja Seks Komersial)
selama menjalani masa bimbingan di pusat rehabilitasi tersebut.
Beberapa evaluasi program di BRSKW Palimanan, Cirebon
menyentuh aspek karakteristik klien, latar belakang, kondisi
sosial klien, lama bekerja, gambaran penghasilan, masalah yang
dihadapi, hingga minat dan harapan pada kehidupan di masa
yang akan datang. Beberapa pertanyaan pada proses evaluasi
sudah melakukan pendekatan yang menjadi prinsip komunikasi
interpersonal, di mana aspek spontan dan informal, saling

983
menerima feedback secara maksimal, serta partisipan berperan
fleksibel dilakukan dalam menggali informasi terhadap klien.
Namun, seperti dikatakan Kepala BRSKW Palimanan, Cirebon,
Bpk Asep Sukirman bahwa selanjutnya, selama klien PSK
tersebut berada dalam pembinaan BRSKW, program yang
diterapkan lebih banyak pada aktivitas bimbingan dasar,
ketrampilan dan penunjang.

Aktivitas yang dilakukan Murid atau Klien BRSKW


tersebut merupakan kegiatan bimbingan sebagai berikut:
A. Kelompok Dasar, Meliputi (a) Agama Islam : (untuk non Islam
disesuaikan) Baca Tulis Al Qur’an, Fiqih, Akhlaq, dan Tauhid;
(b) Pendidikan Pancasila Dan Kewarnegaraan; (c) Budi
Pekerja / Etika Sosial; (d) Kedisiplinan; (e) Keamanan dan
Ketertiban Masyarakat; (f) Bimbingan Sosial Kelompok; (g)
Bimbingan Sosial Pencegahan HIV / AIDS.
B. Kelompok Penunjang : (1) Senam Kesegaran Jasmani; (2)
Kerumahtanggaan; (3) Kebersihan Lingkungan; (4)
Kelompok Belajar Kejar Paket A; (5) Dinamika Kelompok; (6)
Terapi Kelompok; (7) Pemberdayaan Kesejahteraan
Keluarga; (8) Kesehatan Gizi; (9) Kesehatan Masyarakat;
(10) Kesehatan Ibu Dan Anak; (11) Kesenian; (12) Olah Raga
Rekreatif; (13) Hubungan Antar Manusia; (14) Usaha
Kesejahteraan Sosial

984
C. Kelompok Keterampilan Kerja, meliputi : (1) Menjahit; (2)
Membordir; (3) Tata Rias Rambut; (4) Olahan Pangan; (5)
Tata Boga / Memasak; (6) Industri Rumah Tangga dan (7)
Hasta Karya / Kerajinan Tangan
Setelah berakhirnya masa pelayanan pemulihan sosial
dan latihan keterampilan, kepada seluruh klien diberikan alat dan
bahan keterampilan sesuai dengan dana dan jenis keterampilan.
Alat dan bahan ini sebagai perangsang bagi klien untuk
menerapkan dan mengembangkan keterampilannya setelah
berada bersama keluarga dan lingkungan sosialnya. Selain
program bimbingan di atas, berikut merupakan Hasil Evaluasi
Program Pelayanan Kesejahteraan Sosial Pada Tingkat Mikro
yang berhubungan dengan pendekatan interpersonal dalam
penggalian informasinya ( Sumber: Data BRSKW Palimanan,
2011):

Tabel 1. Populasi KlienBerdasarkan Dinas Pengirim


Jumlah Tidak
Penerimaan Meme Meme
Dinas
No nuhi nuhi
Pengirim Angka Angka
Syarat Syara
tan I tan II
t
Dinas Sosial
1 76 63 139 19
Kota Bandung
985
Dinsosnakertr
2 ans Kota 9 5 14 2
Cirebon
Dinsosnakertr
ans
3 4 4 8 1
Kabupaten
Garut
Dinas Sosial
4 Kabupaten 14 - 14 -
Karawang
Dinsosnakertr
5 ans Kab. 10 - 10 -
Majalengka
Dinsos & Sat
Pol Pamong
6 13 28 42 4
Praga Kota
Tasikmalaya
Jumlah 126 100 200 26

Tabel. 2 Karakteristik KlienBerdasarkan Usia


Jumlah
NO KATEGORI Angkatan
Angkatan I
II

986
1 15 s.d. 19 15 24
2 20 s.d. 24 23 24
3 25 s.d. 29 24 11
4 30 s.d. 35 11 12
5 35 s.d. 39 13 17
6 40 s.d. 44 14 12
Jumlah 100 100

Tabel. 3.Karakteristik KlienBerdasarkan Tingkat Pendidikan


Jumlah
NO KATEGORI Angkatan
Angkatan I
II
1 TIDAK SEKOLAH 6 7
2 DO SD 30 24
3 SD 29 27
4 DO 13 14
5 SLTP 11 16
6 DO SLTA 13 6
7 SLTA 2 4
8 PERGURUAN TINGGI 1 2
Jumlah 100 100

987
Tabel. 4Karakteristik KlienBerdasarkan Status Perkawinan.
NO KATEGORI Jumlah
Angkatan
Angkatan I
II
1 Hidup Bersama 11 7
2 Menikah 22 10
3 Janda (Cerai) 10 50
4 Janda (Meninggal) 60 7
5 Belum Menikah 23 16
Jumlah 100 100

Tabel. 5Latar Belakang Klien Status


KependudukanBerdasarkan Asal Daerah.
NO KATEGORI Jumlah
Angkatan
Provinsi Jawa Barat Angkatan I
II
1 Kota Bandung 26 21
2 Kabupaten Bandung 24 19
3 Kota Cimahi 1 3
Kabupaten Bandung
4 2 2
Barat
5 Kabupaten Cianjur 1 4
6 Kabupaten Sumedang 2 2
7 Kabupaten Subang 5 1
988
8 Kabupaten Garut 2 9
Kabupaten
9 5 13
Tasikamalaya
10 Kota Tasikmalaya 4 8
11 Kabupaten Ciamis - 7
12 Kota Banjar 1 2
13 Kota Cirebon 2 -
14 Kabupaten Cirebon - 2
15 Kabupaten Kuningan - 2
16 Kabupaten Majalengka 11 -
17 Kabupaten Indramayu - -
18 Kabupaten Purtwakarta 1 -
19 Kabupaten Karawang 7 -
20 Kota Bekasi - -
21 Kabupaten Bogor - -
22 Kota Bogor - -
23 Kota Depok - -
23 Kota Sukabumi - -
24 Kabupaten Sukabumi - -
Luar Jawa Barat
25 Kabupaten Cilacap 2 1
26 Kabupaten Brebes 2 1
27 Kabupaten Pelakongan - 1

989
28 Kanupaten Klaten - 1
29 Kabupaten Karanganyar - 1
30 Kabupaten Kebumen - -
31 Kota Palembang - 1
Jumlah 100 100

Tabel 6.Alasan Memilih Pekerjaan Sebagai PSKMenurut tujuan


selama menjadi PSK
Jumlah
NO KATEGORI Angkatn I Angkatn
II
1 Mencari Uang 96 87
2 Melupakan masa lalu 22 23
3 Mencari kasih sayang 15 12
4 Mencari orang yang 11 10
dapat melindungi
5 Mencari kepuasan 3 5
seksual
6 Tidak tahu 2 3

Tabel 7. Menurut alasan-alasan memilih pekerjaan menjadi


PSK
990
Jumlah
NO KATEGORI Angkatan I Angkatran
II
Alasan dari diri sendiri
1 Tidak puas dengan 75 68
keadaan ekonomi
2 Tidak mempunyai 35 31
pendidikan yang tinggi
3 Tidak memiliki 33 28
keterampilan / keahlian
4 Kegagalan perkawinan 28 23
5 Merasa kesepian 7 9
6 Tidak puas dengan 5 6
kehidupan seksual
7 Iseng / ketagihan 1 1
8 Lainnya 3 4
Alasan dari keluarga / 67 59
orang lain
1 Tekanan Ekonomi 20 21
keluarga
2 Sakit hati oleh suami 11 9
3 Diajak teman-teman 3 1
sekampung / sekota
4 Sakit Hati sama saudara 3 2
991
5 Sakit hati oleh kekasih 1 1
(ditinggalkan)
6 Tidak tahu dibawa ke 1 1
tempat kerja sekarang
7 Sakit hati oleh orang tua 1 1
8 Ada yang memperkosa 1 1
9 Lainnya 6 7

Tabel 8.Lingkungan Keluarga dan Lingkungan Sosial,


Pengetahuan Orang Tua Tentang Keneradaan Dirinya dan
Sebaliknya.

Pengatahuan Orang Tua


Pengetahun
Tidak Kurang Tah Jumlah
Klien
Tahu Tahu u
Tidak 8 10 22 40
mengetahui
Kurang 8 12 4 24
mengetahui
Mengetahui 44 10 82 136
Jumlah 60 32 108 200

Tabel 9. Pekerjaan Saudara dan tetangga di daerah Asal Klien


KATEGORI Saudara Tetangga

992
Tidak ada yang 9 7
bekerja
Seperti dirinya 74 26
Ada yang bekerja 7 46
Tidak tahu 10 21
Jumlah 100 100

Tabel 10. Pekerjaan Saudara dan tetangga yang menjadi PSK.


Tetangga
Saudara Tidak Ada Tidak Jumlah
ada Tahu
Tidak Ada 28 35 12 75
Ada 3 6 3 12
Tidak Tahu 2 5 6 13
Jumlah 33 46 21 100

Tabel. 11.Tingkat Perasaan saat pulang ke daerah asal.


No. Katergori Jumlah
1 Penuh kebanggaan 7
2 Senang 23
3 Biasa-biasa saja 33
4 Merasa tertekan 24
5 Takut 10
6 Tidak pernah pulang 3
993
Jumlah 100

Tabel. 12 Kebiasaan yang dilakukan yang dapat menggangu


kesehatan
No Jenis pengeluaran Prosen
1 Suka merokok 85, 19
2 Suka minum-minuman keras 65, 58
3 Kecanduan obat perangsang 10..69
4 Suka tidur tidak 54.98
teratur/begadang

Tabel. 13Cara mencegah kehamilan


No Kategori Jumlah
Angkatan Angkata
I n II
1 Suntik 46 33
2 Menggunakan Pil 23 24
3 Menggunakan jamu- 11 10
jamu tradisional
4 Menggunakan 5 20
kondom/tisue
5 IUD 3 2
6 Lain-lain 12 11
Jumlah 100 100
994
Tabel. 14 Aset Yang DimilikiMenurut Investasi penghasilan dari
pekerjaan
No Kategori Jumlah
1 Membeli pakaian 88
2 Membeli perhiasan 84
3 Memberi perabot rumah 44
4 Membeli rumah 37
5 Membeli tanah 33
6 Membeli barang-barang 29
elektronik
7 Membeli ternak 12
8 Tidak membeli apa=apa 7

Tabel. 15 Status pemilikan rumah pribadi


Jumlah
No Kategori Di Di daerah
Bandung asal
1 Milik sendiri 3 6
2 Sewa per bulsn 75 79
3 Menumpang pada 10 5
mucikari
4 Ikut keluarga 17 10
Jumlah 100 100
995
Tabel. 16 Tindakan yang paling sering dilakukan apabila ada
salah seorang rekan yang sakit
No Kategori Prosen
1 Mengantarkannya ke dokter 75.22
2 Merawatnya hingga sembuh 40.26
3 Membantu secara ekonomis 29.87
4 Tidak peduli 6.49

Tabel. 17 Tindakan yang paling sering dilakukan apabila ada


rekan yang tidak mendapat tamu
No Kategori Prosen
1 Meminjami uang 44.16
2 Membayarkan utang 15.58
3 Membayarkan jajan 54.55
4 Memberi uang 11.69
5 Membiarkan saja/Tidak peduli 11.79
6 Lainnya 19.48

Tabel. 18 Tindakan yang dilakukan apabila ada pendatang baru


No Kategori Prosen
1 Tidak peduli 20.78
2 Tidak berusaha ubtuk langsung 3.00
mengenalnya
996
3 Berusaha untuk mengenalnya 61.04
4 Berusaha untuk mengenalnya 14.20
dan langsung akrab

Tabel. 19 Keikutsertaan dalam kegiatan kemasyarakatan


No Kategori Prosen
1 Tidak pernah hadir 79.35
2 Kadang-kadang hadir 22.09
3 Sering hadir 3.90
4 Selalu hadir 24.68

Tabel. 20 Masalah yang dihadapi dalam kegiataan


ketunasusilaan
No Kategori Prosen
1 Ekonomi 33.77
2 Hubungan sosial 11.69
3 Kesehatan 2.60
4 Lainnya 5.10

Tabel. 21 Cara atau upaya utama untuk mengatasi masalah


Jumlah
No Kategori Angkatan Angkatan
I II
1 Membiarkan 25 22
997
2 Berusaha sendiri 49 50
3 Berkonsultasi dengan 26 28
rekan bekerja
Jumlah 100 100

Tabel.22Harapan tentang pekerjaanuntuk kehidupan di masa


yang akan datang
Jumlah
No Kategori Angkatan Angkatan
I II
1 Mendapat pekerjaan lain 50. 52
lebih baik, tapi tidak tahu
pekerjaan apa yang
cocok
2 Mendapat pekerjaan lain 41. 37
lebih baik, dan tahu
pekerjaan apa yang
cocok
3 Tetap pada pekerjaan 5 5
yang sekarang, bahkan
berupaya untuk
meningkatkan
4 Lainnya 4 6
Jumlah 100 100

998
Tabel.23Harapan kepada pemerintah

No Kategori Jumlah

1 Bantuan permodalan 40
2 Bantuan bimbingan dan 33
keterampilan
3 Bantuan perlindungan 28
4 Bantuan sarana dan 18
prasarana
5 Lainnya 11

Tabel.24Harapan tentang tempat tinggal


Jumlah
No Kategori Angkatan Angkatan
I II
1 Memiliki rumah sendiri 10 11
ditempat kerja/rantauan
2 Memiliki rumah di daerah 75 74
asal
3 Lainnya 15 15
Jumlah 100 100

Tabel.25Harapan terhadap masa depan anaknya


999
No Kategori Jumlah

1 Pendidikan yang lebih tinggi 46


2 Pekerjaan yang lebih baik 41
3 Saleh / tidak bekerja seperti 39
dirinya
4 Lainnya 7

Tabel.26 Harapan terhadap keluarga


Jumlah
No Kategori Angkatan Angkatan
I II
1 Agar memahami / 60 61
mengerti
2 Mohon tetap diterima 34 32
sebagai anggota
keluarga
3 Agar turut mendukung / 3 5
mendorong
4 Lainnya 3 2
Jumlah 100 100

Tabel. 27 Pemeriksaan dan PengobatanMenurut Hasil


Laboratorium

1000
Jumlah
No Kategori Angkatan Angkatan
I II
1 Usus Buntu 5 7
2 TBC 2 3
3 Kencing Nanah atau GO 22 19
(Gonorhoe)
4 HIV + 1 5
5 Herpes 25 23
6 Bisul 7 4

Hasil pemeriksan dan pengobatan laboratorium sebanyak


200 klien, khusus bagi klien menderita penyakit, usus buntu,
TBC, GO, Herpes, Bisul diberikan pelayanan pengobatan
sampai sehat di PUSKESMAS Palimanan dan RSUD
Arjawinangun. Untuk 6 klien yang hasil Laboratorium .mendapat
perhatian khusus konseling dan pengobatan gratis dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Cirebon dan setelah masa bimbingan
dirujuk ke Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota klien berasal.
Kegiatan Pasca Rehabilitasi terhadap Alumi Pasca
Pemulihan Sosial adalah :Bimbingan dan Pembinaan Lanjut,
Bimbingan lanjut dileksanakan oleh Petugas BPSPSK
Palimanan Cirebon dan Dinas Sosial atau Petugas Sosial di
daerah asal klien (alumni), Kepada keluarga dan atau orang tua

1001
alumni, Melalui perusahaan / pabrik-pabrik yang telah
memperjakan alumni, Organisasi dan atau usaha perorangan
yang telah atau masih memperkerjakan alumni, Informan yang
memungkinkan diperoleh data secara tetap dan akurat dan
Reuni dengan alumni yang di dalam Balai.
Secara lengkap, tolak ukur keberhasilan pelayanan
rehabilitasi sosial klien BRSKW dapat melalui kondisi alumni dan
masyarakat, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
A. Dilihat dari Alumni dengan indikator keberhasilan
adalah: (1) Alumni tidak melakukan tindak tuna susila;
(2) Telah menikah dan menjadi keluarga yang sakinah;
(3) Sudah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
memotivasi dirinya dan menolak melakukan kegiatan
tindak tuna susila; (4) Memahami, memiliki dan
menguasai keterampilkan kerja tertentu yang dapat
dipergunakan sebagai bekal untuk mendapat mata
pencaharian bagi dirinya atau keluarganya; (5) Sudah
mempunyai pekerjaan yang tetap dalam bentuk usaha
wiraswasta menjadi pegawai pabrik / perusahaan atau
bentuk lainnya yang dapat diterima sesuai norma
masyarakat; (6) Sudah dapat beradaptasi dengan
lingkungan sosialnya secara wajar, baik di lingkungan
keluarga maupun lingkungan masyarakat dalam
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan khususnya

1002
kewanitaan; (7) Telah memiliki kemampuan dan
keterampilan untuk mempergunakan dan
meningkatkan sumber-sumber pelayanan sosial
sebagai salah satu bentuk partisipasi mereka untuk
dapat membantu dirinya sendiri, keluarga maupun
kelompok yang membutuhkannya; (8) Eks wanita tuna
susila yakni mereka yang karena faktor tertentu tidak
lagi melakukan pekerjaan asusila sebagai sumber mata
pencaharian.
Termasuk dalam hal ini :
a. Eks wanita tuna susila yang tinggal bersama dengan
keluarganya;
b. Eks wanita tuna susila yang tinggal di luar
lingkungan keluarganya

B. Dilihat dari Masyarakat :


1. Dapat memahami dan menghayati bahwa
permasalahan sosial tuna susila bukan hanya
tanggung jawab Pemerintah saja, akan tetapi juga
merupakan tanggung jawab masyarakat sebagai
mitra Pemerintah dalam menyelesaikan
permasalahan sosial.
2. Dapat menerima kembali kehadiran eks klien dan
memberikan kesempatan hidup layak secara

1003
normative di dalam lingkungan masyarakat dan
mengusahakan lapangan kerja / usaha secara layak
kepada mereka.
3. Telah memiliki daya tangkal terhadap kemungkinan
berkembangnya / timbulnya permasalahan sosial
tuna susila terutama di daerah asal eks penyandang
tuna susila..
4. Memberikan kesempatan secara terbuka kepada
Wanita Eks Tuna Susila untuk beradaptasi dalam
pembangunan di masyarakat, baik di bidang
kewanitaan, keagamaan dan kegiatan lainnya.

Kesimpulan
Pendekatan antar persona yang dilakukan dalam
bimbingan klien di Balai Rehabilitasi Sosial Karya Wanita
(BRSKW) Palimanan Cirebon sudah dilakukan dalam beberapa
hal, dengan penerapan yang belum optimal. Salah satu
pendekatan interpersonal dilakukan pada proses penggalian
data dan wawancara seputar kondisi klien dan pada proses
evaluasi program. Pada program bimbingan lebih banyak
dilakukan secara massal dan lebih pada aspek pengetahuan dan
ketrampilan, namun minim konsultasi secara personal. Biro
konsultasi yang disediakan khusus untuk menampung
permasalahan klien atau siswa BRSKW juga belum ada. Dari

1004
evaluasi tersebut, Pengelola BRSKW menetapkan indikator
keberhasilan ketiga program bimbingan tersebut, yaitu aspek
bimbingan dasar, ketrampilan dan penunjang. Indikator
Keberhasilan Program Rehabilitasi yang ditetapkan tersebut
adalah sebagai berikut:
• Eks klien tidak lagi melakukan kegiatan tuna susila.
• Eks klien mempunyai pekerjaan, baik dalam bentuk
wirausaha, karyawan atau pekerjaan lain sesuai dengan
norma-norma kehidupan yang ada dimasyarakat.
• Eks klien dapat melaksanakan peran dan fungsi sosialnya
kembali dalam keluarga dan masyarakat.
Namun, dari penetapan indikator keberhasilan, belum
dipastikan tingkat keberhasilan program sehingga klien yang
pernah singgah menjadi murid binaan BRSKW tidak lagi
melakukan aktivitas pekerjaannya dan kembali menjalani
kehidupan normal dalam lingkungan masyarakat dengan
mengandalkan pekerjaan yang layak secara norma sosial. Hal
ini tentu perlu kajian yang lebih lanjut mengingat klien binaan
BRSKW ini ada yang beberapa kali terkena penjaringan dan
beberapa kali pula masuk dalam program pembinaan.
Optimalisasi pendekatan antar persona dalam program
bimbingan dan pemberdayaan di BRSKW perlu ditingkatkan lagi
mengingat keberhasilan program bisa lebih baik lagi. Faktor
kedekatan dan kenyamanan secara personal yang dibangun

1005
antara pekerja yang bertugas melakukan rehabilitasi dengan
klien yang dibimbingnya melalui komunikasi antar personal
diharapkan bisa lebih meningkatkan keberhasilan program.()

Daftar Pustaka
Abdurahman dan Maman.(1988). Geografi Perilaku : Suatu
Pengantar Studi Tentang Persepsi Lingkungan. Dirjen
Dikti,Jakarta.
Basrowi & Sudikin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif
Mikro. Surabaya: Insan Cendekia.
Effendy, Onong Uchjana. (2004). Ilmu Komunikasi Teori dan
Praktek. CV Remadja Rosda Karya, Bandung.
Fisher, B. Aubrey, 1986, Teori-teori Komunikasi. Penyunting:
Jalaluddin Rakhmat, Penerjemah: Soejono Trimo.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Fremont E. Kast, James E. Rosenzweig (2002), Organisasi dan
Manajemen 1, Jakarta, Bumi Aksara.
Gibson, James L; Ivancevich, J.M , Danelly, Jh.JR. (1988).
Organisasi dan manajemen:struktur, prilaku dan proses,
Terjemahan Djoerban wahid. Jakarta: Aksara Baru
Liliweri, Alo. 2011. Komunikasi Serba Ada, Serba Makna.
Jakarta, Kencana.

1006
Littlejohn, Stephen W (1994). Theories of Human
Communication, 5th Edition. Belmont CA,Wadsworth
Publising Company
Mulyana, Dedy, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif
(Paradigma Baru Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya).
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. 2000. PT Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Peter Salim, (1985), The Contemporary Englihs-Indonesia
Dictionary, Jakarta : Modern English Press.
Robbins. StephenP. (2002), Perilaku Organisasi 1, Konsep,
Kontroversi, Aplikasi, Jakarta, PT.Prenhallindo,
Sidney, Siegel (1985) – Statistika Non Parametrik untuk ilmu-
ilmu sosial, Jakarta, Gramedia.
Veeger, K.J. Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas
Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Cakrawala
Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia, 1985.
Tim BRSKW. Data Isian Klien BRSKW Cirebon, Tidak
Dipublikasikan.
Tim BRSKW. Panduan Kerja 2010, BRSKW Palimanan. Tidak
Dipublikasikan.
Tim BRSKW. Bagan tujuan standarisasi BRSKW, Palimanan
Cirebon. Tidak Dipublikasikan.

1007
Tim BRSKW. Desain perancangan virtual class, BRSKW
Palimanan Cirebon. Tidak Dipublikasikan.
Wahyono, Nursetyo A. Ks. Modul: Bimbingan Ketrampilan Sosial
bagi Klien BRSKW Cirebon (1 dan 2). Tidak
Dipublikasikan.
Wahyono, Nursetyo. Silabi Bimbingan, Jam latihan bimbingan,
Pedoman kerja 09. Tidak Dipublikasikan.
Tim BRSKW. Profil BRSKW Palimanan Cirebon 2011, Tidak
Dipublikasikan.
Tim BRSKW. Evaluasi PRG PKS, Tidak Dipublikasikan.
http://www.pikiran-rakyat.com, 13 Juli 2011 diakses 10
November 2015 22:18
www.metrotvnews.com, 8 Agustus 2011 diakses 10 November
2015 23:15
www.tribunnews.com, 5 Oktober 2011 diakses 10 November
2015 23:30
www.radarcirebon.com/waduh-psk-ngaku-hamil-3-bulan.html, R
abu, 26 Agustus 2015 diakses 12 November 2015 23:32
www.radarcirebon.com/kosan-tempat-prostitusi-terselubung.ht
ml, Senin, 29 Desember 2014, diakses 12 November 20
15 23:40
www.cirebontrust.com/razia-pekat-psk-ini-lari-ke-semak-semak-
dan-ngumpet-di-gerobak-sampah.html, 16Juni 2015, dia
kses 12 November 2015 23:41

1008
www.m.merdeka.com/peristiwa/tempat-prostitusi-berkedok-salo
n-resahkan-warga-cirebon.html, Tempat prostitusi berk
edok salon resahkan warga Cirebon, diakses 23 Novemb
er 2015 03:20
http://dinkes.cirebonkab.go.id/wp-content/uploads/2013/06/aids-
hiv-2-150x150.jpg3 Rumah Sakit Siap Layani Pasien OD
HAJune 20, 2013 diakses 23 November 2015 03:25
http://dinkes.cirebonkab.go.id/wp-content/uploads/2013/04/Slid
e1-150x150.jpg Pelatihan Sistem Informasi HIV AIDS (SI
HA)April 28, 2013 diakses 23 November 2015 03:26.

*) Ida Ri’aeni & Uun Machsunah,


Program Studi Ilmu Komunikasi,
Universitas Muhammadiyah Cirebon

1009
STRATEGI KOMUNIKASI KADER KB PEREMPUAN PADA
METODE KONTRASEPSI VASEKTOMI ATAU MOP DALAM
BUDAYA MASYARAKAT PATRIARKI
(Studi Strategi Komunikasi Kader KB Perempuan dalam
Mengedukasi Pasangan Usia Subur di Kota Mojokerto)

Herman Yoseph Apri Setyawan*

Pendahuluan
Mungkin tidak semua orang familiar dengan kata
Vasektomi atau metoda operasi pria (MOP). Vasektomi atau
MOP yang pertama kali dikerjakan oleh ahli bedah Inggris pada
tahun 1894 ini adalah salah satu kontrasepsi mantap bagi pria
dengan biaya murah, efektif, sederhana, dan aman, yaitu
dengan cara memotong kedua saluran sperma (Vas Deferens)
sehingga pada saat ejakulasi cairan mani yang dikeluarkan tidak
lagi mengandung sperma sehingga tidak terjadi kehamilan.
Vasektomi ini merupakan satu metode kontrasepsi dengan
melakukan tindakan operasi kecil yang memakan waktu singkat
sekitar 10-15 menit dan tidak memerlukan anestesi (bius) umum.
Cukup dengan bius lokal saja sehingga relatif lebih aman.
(BKKBN 2006 :1).

1010
Walaupun vasektomi merupakan tindakan yang
sederhana, aman dan murah tetapi pada kenyataannya peserta
vasektomi lebih sedikit dibandingkan tubektomi (sterilisasi
wanita). Hal ini dikarenakan masih banyak masyarakat yang
beraggapan bahwa KB itu urusan wanita. (BKKBN 2006:1).
Selain itu operasi vasektomi sering kali diidentikan dengan
pengebirian atau dengan kata lain sifat kejantanan atau
keperjakaan pria akan menurun. Keder adalah setiap anggota
masyarakat yang secara sukarela, mau berpartisipasi dalam
program pembangunan untuk membantu masyarakat sekitarnya
secara ikhlas. Kader pada umumnya berada di desa atau
kelurahan dimana program tersebut dikembangkan.
(BKKBN,TPKK, 2008:63). Belum ditemukan literatur yang
mengharuskan kader harus berjenis kelamin perempuan, namun
yang terjadi di Kota Mojokerto dari 219 orang semuanya
perempuan. Kader KB perempuan yang merupakan ujung
tombak di lapangan memiliki tugas dan fungsi menjadi pemandu
bagi calon akseptor, memberi pelayanan KIE (Komunikasi,
Informasi dan Edukasi) kepada pasangan usia subur (PUS) yang
akan memilih alat/cara kontrasepsi yang baik bagi dirinya (Sardin
Paddadja,BKKBN, 1993:ii).
Kota Mojokerto termasuk dalam masyarakat Jawa
dikenal lekat dengan nilai-nilai dan praktek-praktek budaya
patriarki. Oleh karena itu pembahasan mengenai kader

1011
perempuan dalam mengedukasi pasangan usia subur (PUS)
pada kontrasepsi vasektomi atau MOP, akan sangat tepat
apabila dikaitkan dengan budaya patriarki. Hal ini disebabkan
dalam berinteraksi, perempuan dianggap “tabu” membicarakan
alat vital laki-laki. Alasan lain mengenai tugas dan fungsi kader,
kader KB perempuan dianggap mampu mengkomunikasikan
kontrasepsi vasektomi atau MOP seperti yang tertuang dalam
Surat Keputusan Wali Kota Mojokerto nomor :
188.45/75/417.111/2014 tentang Petugas Pembantu Keluarga
Berencana Kelurahan(PPKBK) dan Sub Petugas Pembantu
Keluarga Berencana Kelurahan (Sub PPKBK). Karena terikat
nilai-nilai yang secara sosial, maka kader KB perempuan dalam
menjalankan tugas dan peran sosialnya penuh dengan
problematika. Sebagai perempuan, kader KB perempuan
dituntut untuk patuh terhadap tata nilai dan norma dalam
masyarakat sebagaimana profesi kader KB yang disandangnya,
kader KB perempuan secara tak langsung dituntut menjadi juru
penerang dan pendidik bagi pasangan usia subur, terutama
dalam metode kontrasepsi vasektomi atau MOP yang
memfokuskan pada penis (kelamin laki-laki) sebagai obyeknya.
Kondisi di lapangan yang dialami kader KB perempuan
dalam menjalankan komunikasi, informasi, dan edukasi kontap
vasektomi atau MOP kepada pasangan usia subur menjadi
sebuah hambatan bagi kader KB perempuan dalam menjalakan

1012
perannya sebagai kader, laki-laki yang menjadi komunikan dan
kader perempuan sebagai komunikator terhambat dengan
budaya patriarki yang memposisikan laki-laki lebih tinggi dari
perempuan, dilain pihak kader KB perempuan membicarakan
alat vital laki-laki telah melanggar konsep kesopanan berbicara
wanita dalam budaya Jawa, yang dalam hal ini tugas dan fungsi
kader KB mengharuskan kegiatan ini dilakukan.
Studi ini mengajukan dua masalah: Pertama,
bagaimanakah strategi komunikasi kader KB perempuan dalam
melaksanakan KIE Metode kontrasepsi Vasektomi atau MOP
pada pasangan usia subur yang taat dengan tata nilai dan norma
dalam masyarakat (patriarchal system). Kedua, apakah secara
kultural pasangan usia subur dalam mengambil keputusan
menjadi akseptor Metode Operasi Pria (MOP) atau Vasektomi
sejauh mana budaya, agama, dan pengalaman-pengalaman
individual bersifat suportif atau justru resisten terhadap program
tersebut.
Atas dasar asumsi tersebut, maka tujuan studi ini adalah
untuk mengetahui kegiatan komunikasi kader perempuan dalam
metode kontrasepsi Vasektomi atau metode operasi pria (MOP)
yang mencerminkan unsur-unsur komunikasi yang berhasil baik
dari sisi komunikator, pesan (materi/modul), saluran komunikasi,
dan karakteristik komunikan. Kemudian untuk menganalisis
hambatan-hambatan struktural, kultural, politis, teknis dan

1013
sosiologis terhadap sejumlah hambatan-hambatan komunikasi
kader KB perempuan yang berfokus pada pasanga usia subur
khususnya akseptor laki-laki.

Strategi Komunikasi Kader KB


Strategi pada hakikatnya adalah perencanaan
(planning) dan manajemen (management) untuk mencapai
suatu tujuan. Tetapi untuk mencapai tujuan tersebut, strategi
tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah
saja, melainkan harus menunjukan bagaimana taktik
operasionalnya. Demikian pula strategi komunikasi merupakan
panduan dan perencanaan komunikasi (communication
planning) dan manajemen komunikasi (communication
management) untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mencapai
tujuan tersebut strategi komunikasi harus dapat menunjukan
bagaimana operasionalnya secara taktis harus dilakukan
dalam arti kata bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda
sewaktu-waktu bergantung dari situasi dan kondisi. Strategi
komunikasi merupakan penentu berhasil tidaknya kegiatan
komunikasi secara efektif. Dengan demikian, strategi
komunikasi, baik secara makro (plammed multi-media
strategi) maupun secara mikro (single communication medium
strategi) mempunyai fungsi ganda (Effendy, 2000 : 300).

1014
Kata patriarki mengacu pada sistem budaya dimana
sistem kehidupan diatur oleh sistem “kebapakan”. Patriarki atau
“Patriarkat” merujuk pada susunan masyarakat menurut garis
Bapak. Ini adalah istilah yang menunjukkan ciri-ciri tertentu
pada keluarga atau kumpulan keluarga manusia, yang diatur,
dipimpin, dan diperintah oleh kaum bapak atau laki-laki tertua.
Artinya, hukum keturunan dalam patirarkat menurut garis
bapak. Nama, harta milik, dan kekuasaan kepala keluarga
(bapak) diwariskan kepada anak laki-laki (Ensiklopedia
Indonesia 1984). Kini istilah itu secara umum digunakan untuk
menyebut “kekuasaan laki-laki”, khususnya hubungan
kekuasaan antara laki-laki terhadap perempuan yang di
dalamnya berlangsung dominasi laki-laki atas perempuan yang
direalisasikan melalui bermacam-macam media dan cara
(Bhasin, 1996). Sistem kebapakan ini menjadi cara pandang
yang berlaku secara umum, sehingga otomatis kaum
perempuan tidak terepresentasikan dalam cara pandang ini.
Pada titik inilah, menurut Irigaray, posisi perempuan begitu
menyakitkan dan paradoks (Lechte, 2003: 249). Untuk berbicara,
mereka harus berbicara seperti pria. Untuk bisa memahami
seksualitas, mereka harus membandingkannya dengan versi
pria. Perempuan dapat berada dengan cara mengikuti sistem
“laki-laki”. Tapi dengan cara itu, sama saja perempuan

1015
mendapatkan identitas yang bukan identitas dirinya sendiri
(Lechte, 2003: 250).
Kader adalah seseorang yang mampu dan rela
menyumbangkan pemikiran, tenaga dan waktunya untuk
membantu pengelolaan kegiatan gerakan Keluarga Berencana
(KB) di wilayahnya (BKKBN .1993: 2). Kader KB yang
merupakan tenaga sukarela yang berasal dari masyarakat
setempat, dengan harapan bahwa opini prakarsanya akan dapat
menggerakan ibu-ibu dan keluarga-keluarga dengan pasangan
usia subur (PUS) untuk ikut serta secara aktif didalam program-
program UPGK (usaha peningkatan gizi keluarga) dan KB
mehuju terwujudnya NKKBS (norma keluarga kecil bahagia
sejahtera (Soetandyo . 1986).

Komunikasi Konseling
Konseling adalah kegiatan percakapan tatap muka dua
arah antara klien dengan petugas yang bertujuan memberikan
bantuan mengenai berbagai hal yang ada kaitannya dengan
pemilihan kontrasepsi, sehingga akirnya calon peserta KB
mampu mengambil keputusan sendiri mengenai alat/metode
kontrasepsi apa yang terbaik bagi dirinya. (BKKBN,2006:19).
Dengan melakukan konseling berarti kader KB perempuan telah
membantu pasangan usia subur dalam memilih dan
memutuskan jenis kontrasepsi yang akan digunakan sesuai

1016
dengan pilihannya sendiri. Konseling yang baik akan
meningkatkan keberhasilan KB dan akan membuat pasangan
usia subur menggunakan kontrasepsi lebih lama. Serta
mencerminkan baiknya kualitas pelayanan yang diberikan.
Konseling awal / pendahuluan adalah konseling yang dilakukan
pertama kali sebelum dilakukan konseling spesifik. Konseling
awal / konseling pendahuluan ini biasanya dilakukan oleh kader
KB perempuan yang telah mendapat pelatihan tentang kontap
pria. (BKKBN,2006:20). Konseling spesifik adalah konseling
yang dilakukan setelah konseling pendahuluan atau konseling
awal, dimana dalam tahapan konseling ini lebih ditekankan pada
aspek individual dan privasi. (BKKBN 2006:21-22). Konseling
pra tindakan adalah konseling yangdilakukan pada saat akan
dilakukan prosedur vasektomi. Pada konseling pra tindakan
yang bertindak sebagai konselor adalah dokter yang akan
melakukan tindakan.(BKKBN, 2006:23). Konseling pasca
tindakan adalah konseling yang dilakukan setelah tindakan
vasektomi selesai dilakukan. Pada konseling pasca tindakan ini
yang bertugas sebagai konselor adalah dokter yang telah selesai
melakukan tindakan vasektomi. (BKKBN,2006:23-24).
Ditinjau dari jenis datanya pendekatan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Adapun yang dimaksud dengan penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang

1017
apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada
suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007:6). Adapun jenis
pendekatan penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif
yaitu penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan
masalah yang ada sekarang berdasarkan pengalaman
keberhasilan kader KB perempuan dalam mengedukasi
pasangan usia subur pada kontrasepsi vasektomi atau MOP.
Jenis penelitian deskriptif kualitatif yang digunakan pada
penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
sertategi komunikasi kader KB perempuan dalam mengedukasi
pasangan usia subur pada alat kontrasepsi vasektomi atau MOP
secara mendalam dan komprehensif. Selain itu, dengan
pendekatan kualitatif diharapkan dapat diungkapkan situasi dan
permasalahan yang dihadapi kader KB perempuan dalam
kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi pada pasangan usia
subur di Kota Mojokerto.

Pembahasan
Komunikasi, Informasi dan Edukasi Metode Kontrasepsi
Vasektomi

1018
Pengetahuan pria tentang alat/cara KB bila dirinci
menurut jenisnya maka alat/cara KB yang paling dominan
dikenal pria adalah pil dan suntikan, dengan persentase yang
hampir sama yaitu 93 persen. Pengetahuan tentang cara KB
kondom cukup tinggi, yaitu 87 persen, hal ini cukup beralasan
mengingat kondom merupakan cara KB pria yang sangat
popular di kalangan masyarakat dan relatif mudah untuk
mendapatkannya. Pengetahuan tentang IUD dan susuk KB di
kalangan pria kawin masing-masing tercatat 65 persen dan 63
persen. Sementara itu sterilisasi wanita (MOW) dan vsektomi
atau MOP terbukti masih rendah, karena masing-masing hanya
diketahui oleh 40 persen dan 31 persen pria. Pengetahuan pria
mengenai sterilisasi pria yang rendah ini sangat memprihatinkan,
mengingat sterilisasi pria merupakan salah satu alat/cara KB
jangka panjang bagi pria. Temuan ini perlu mendapatkan
penanganan yang serius dari para pengelola program. (SDKI
2014:28). Berangkat dari data diatas, strategi komunikasi kader
KB memberikan kontribusi yang cukup besar, seperti yang
disampaikan salah seorang kader yang sudah 15 tahun menjadi
kader KB di Kota Mojokerto berbekal ijasah SMA. Responden
yang memiliki setrategi tersendiri dalam melakukan konseling
masalah vasektomi, dari segi tempat melakukan publikasi kader
kb yang satu ini menuturkan :
“Awalnya saya mengumumkan alat kontrasepsi
vasektomi atau MOP pada pertemuan PKK,
1019
akirnya ada salah seorang pasangan usia subur
yang tertarik untuk ikut program tersebut, dan saya
di undang kerumahnya untuk melakukan konseling
awal,”
Dari pernyataan yang di kemukakan kader KB strategi
komunikasi menurut cara pelaksanaan dan menurut bentuk
isinya. Hal tersebut dapat diuraikan lebih lanjut, bahwa yang
pertama, semata-mata melihat komunikasi itu dari segi
pelaksanaannya dengan melepaskan perhatian dari isi
pesannya. Canalizing adalah memahami dan meneliti
pengaruh kelompok tarhadap individu atau khalayak. Untuk
berhasilnya komunikasi ini, maka haruslah dimulai dari
memenuhi nilai-nilai dan standar kelompok dan masyarakat
dan secara berangsur-angsur merubahnya ke arah yang
dikehendaki. Akan tetapi bila hal ini kemudian ternyata tidak
mungkin, maka kelompok tersebut secara perlahan-lahan
dipecahkan, sehingga anggota-anggota kelompok itu sudah
tidak memiliki lagi hubungan yang ketat. Dengan demikian
pengaruh kelompok akan menipis dan akhirnya akan hilang
sama sekali. Dalam keadaan demikian itulah pesan-pesan
akan mudah diterima oleh komunikan. ( Arifin, 1994 : 73 ). Alasan
lain yang juga disampaikan oleh kader KB perempuan dalam
mengedukasi pasangan usia subur ialah:
“Di rumah seorang pasangan usia subur, kalau di
tempat umum atau pada saat pertemuan
kebanyakan akseptor laki-laki merasa malu.”

1020
Kata malu menujukkan bagaimana kader perempuan
harus mampu melihat, bagaimana mereka harus menentukan
sasaran dengan tepat, dari hasil wawancara yang dilakukan
mengenai bagaimana kader KB perempuan menentukan
sasaran akseptor vasektomi atau MOP haruslah tepat. Seperti
penuturan saat ditanya tentang bagaimana menentukan
sasaran, kader KB perempuan menuturkan:
“Kita mempunyai hasil pendataan dari hasil
pendataan terlihat siapa saja yang belum ikut KB,
dimana istri tidak cocok untuk mengikuti KB karena
kondisi kesehatan, contohnya karena alergi atau
ganguan tekanan darah istrinya tidak boleh ikut KB
jadi yang laki-laki kita motivasi.”
Dari pernyataan tersebut, penentuan sasaran selama ini
bukan pada semua pasangan usia subur tapi lebih pada
kebutuhan bagaimana pasanganya tidak bisa menggunakan alat
kontrasepsi yang ada sehingga pasangan laki-laki mau tidak
mau harus menggunakan salah satu alat kontrasepsi antara lain
vasektomi atau MOP. Terkait menggunakan media agar
memudahkan kader KB perempuan dalam melakukan
komunikasi, informasi dan edukasi kontrasepsi vasektomi atau
MOP serta memberi pemahaman pada pasangan usia subur
kader KB perempuan dibekali buku pegangan kader, serta KIE
KIT yang berisi alat peraga dan contoh alat kontrasepsi sehingga
dalam menjalankan tugasnya kader KB perempuan menjadi
lebih mudah, seperti penuturannya sebagai berikut :

1021
“Saya membawa lembar balik untuk menerangkan
kepada sasaran, pertama kita berkunjung ke calon
akseptor. Akseptor harus ditemani atau didampingi
istri agar lebih mudah untuk menjelaskan proses
operasi ringan. Dari lembar balik ini saya mencoba
menerangkan rangkaian tentang KB vasektomi
atau MOP seperti, operasi ringan ini hanya untuk
mengikat saluran seperma, operasi MOP ini
bersifat permanen dan tidak mengganggu aktivitas
seksual, setelah pelaksanaan untuk menghindari
terjadinya kehamilan dianjurkan menggunakan
kondom saat melakukan hubungan seksual
minimal 12 kali”
Urutan yang dilakukan kader dalam mengedukasi
pasangan usia subur sudah sesuai dengan standar operasional
prosedur yang ditetapkan BKKBN, serta menjawab kebutuhan
pasangan usia subur. Tentunya akan sangat membantu
akseptor untuk memahami serta menerima panduan kader KB
dalam pemilihan alat kontrasepsi. Dalam hal ini kader
menerapkan Konseling awal/ pendahuluan adalah konseling
yang dilakukan pertama kali sebelum dilakukan konseling
spesifik. Konseling awal/ konseling pendahuluan ini biasanya
dilakukan oleh kader KB perempuan yang telah mendapat
pelatihan tentang kontap pria. (BKKBN,2006:20). Dalam
konseling awal umumnya akan diberikan gambaran umum
tentang vasektomi. Walaupun secara umum, tetapi penjelasanya
harus tetap obyektif, baik keunggulan maupun keterbatasan
vasektomi dibandingkan dengan metode kontrasepsi lainya,
syarat-syarat peserta vasektomi, serta komplikasi dan angka
1022
kegagalan yang mungkin terjadi. Pastikan klien mengenali dan
mengerti tentang keputusannya untuk menunda atau
menghentikan fungsi reproduksinya dan mengerti bahwa
vasektomi adalah tindakan operatif dengan berbagai resiko yang
mungkin terjadi. Apabila klien dan pasangannya telah tertarik
dan ingin mengetahui lebih lanjut tentang vasektomi rujuklah ke
RS atau klinik pelayanan vasektomi yang mempunyai koselor
kontrasepsi mantap untuk tahap konseling spesifik.
Dalam konseling yang dilakukan kader juga menyelipkan
konseling pasca tindakan, Konseling pasca tindakan adalah
konseling yang dilakukan setelah tindakan vasektomi selesai
dilakukan. Pada konseling pasca tindakan ini yang bertugas
sebagai konselor adalah dokter yang telah selesai melakukan
tindakan vasektomi. (BKKBN,2006:23-24). Dalam konseling
pasca tindakan dalam petunjuknya seharusnya dilakukan dokter
yang melakukan tindakan, tapi dalam pelaksanaannya banyak
dijumpai dokter hanya melakukan tindakan tidak pernah
melakukan konselin baik konseling awal, konseling sepesifik
bahkan konseling pasca tindakan. Dalam pelaksananan operasi
vasektomi berkaitan dengan proses perencanaan dan
pengagaran yang semuanya ditanganani Badan KB dan PP Kota
Mojokerto. Sedangkan pihak Rumah Sakit hanya sebagai
pelaksana tindakan atau yang sering disebut dengan proyek.
Dalam proses ini pelaksanaan operasi kurang memperhatikan

1023
arti pentingnya komunikasi, beban ini ditanggung kader KB
perempuan sebagai juru penerang program keluarga berencana.

Konseling Kontrasepsi Vasektomi atau MOP dalam Budaya


Masyarakat Patriarki
Kata patriarki mengacu pada sistem budaya di mana
sistem kehidupan diatur oleh sistem “kebapakan”. Patriarki
atau “Patriarkat” merujuk pada susunan masyarakat menurut
garis Bapak. Ini adalah istilah yang menunjukkan ciri-ciri
tertentu pada keluarga atau kumpulan keluarga manusia,
yang diatur, dipimpin, dan diperintah oleh kaum bapak atau
laki-laki tertua. Artinya, hukum keturunan dalam patirarkat
menurut garis bapak. Nama, harta milik, dan kekuasaan
kepala keluarga (bapak) diwariskan kepada anak laki-laki
(Ensiklopedia Indonesia 1984). Kini istilah itu secara umum
digunakan untuk menyebut “kekuasaan laki-laki”, khususnya
hubungan kekuasaan antara laki-laki terhadap perempuan yang
di dalamnya berlangsung dominasi laki-laki atas perempuan
yang direalisasikan melalui bermacam-macam media dan cara
(Bhasin, 1996).
Sistem kebapakan ini menjadi cara pandang yang berlaku
secara umum, sehingga otomatis kaum perempuan tidak
terepresentasikan dalam cara pandang ini. Komonikasi menjadi
komponen yang penting dalam pelaksanaan program keluarga

1024
berencana tapi dalam pelaksanaannya kader KB di Kota
Mojokerto yang kesemuanya perempuan memiliki batasan
dalam bertingkah laku. Karena terikat nilai-nilai yang secara
sosial, maka kader KB perempuan dalam menjalankan tugas
dan peran sosialnya penuh dengan problematika. Sebagai
perempuan, kader KB perempuan dituntut untuk patuh terhadap
tata nilai dan norma dalam masyarakat sebagaimana profesi
kader KB yang disandangnya, kader KB perempuan secara tak
langsung dituntut menjadi juru penerang dan pendidik bagi
pasangan usia subur, terutama dalam metode kontrasepsi
vasektomi atau MOP yang memfokuskan pada penis (kelamin
laki-laki) sebagai obyeknya. Seperti penuturan kader berikut:
“Saya menjelaskan tentang keuntungan dan
kelebihan mengikuti vasektomi, dan harus
didampingi istrinya, ya, saya menerangkan dengan
hati-hati biar tidak menjadikan pasangan usia subur
menjadi kebingungan. Dan ada yang setelah ikut
vasektomi minta agar keikutsertaannya
dirahasiakan”
Kondisi dilapangan yang dialami kader KB perempuan
dalam menjalankan komunikasi, informasi, dan edukasi kontap
vasektomi atau MOP kepada pasangan usia subur menjadi
sebuah hambatan bagi kader KB perempuan dalam menjalakan
perannya sebagai kader, laki-laki yang menjadi komunikan dan
kader perempuan sebagai komunikator terhambat dengan
budaya patriarki yang memposisikan laki-laki lebih tinggi dari
perempuan, dilain pihak kader KB perempuan membicarakan
1025
alat vital laki-laki telah melanggar konsep kesopanan berbicara
wanita dalam budaya Jawa, yang dalam hal ini tugas dan fungsi
kader KB mengharuskan kegiatan ini dilakukan. Kader KB
perempuan memiliki batasan dalam menyampaikan materi
vasektomi atau MOP walaupun batasan ini tidak tertulis,
Masalahnya, tidak semua orang bisa terlibat mau
mendengarkan. "Ini yang membuat perbincangan masalah seks
sering dipandang sebagai hal yang tidak etis. Di satu pihak,
mereka bisa menerima seks adalah bagian dari komunikasi
keluarga. Namun kalau harus diperbincangkan di muka umum,
apalagi sampai membicarakan alat vital, hal ini masih dianggap
tabu. Penelitian yang dilakukan, Siti Sudartini, (jurnal ilmiah
kebahasaan dan kesastraan hal 27-33, edisi 38, 2010) dalam
“Konsep Kesopanan Berbicara oleh Wanita dalam Budaya Jawa”
mencatat bahwa kecenderungan yang terjadi pada masyarakat
yang menganut budaya patriarkis, sistem dan oriaentasi nilai-
nilai yang berkembang dan diyakini oleh masyarakat jawa
cederung memandang wanita lebih rendah daripada laki-laki.
Artinya, dapat dikatakan bahwa wanita menempati posisi second
class, kelas kedua dalam masyarakat.
Selain pengetahuan tentang KB yang dimiliki, sikap pria
terhadap KB juga ikut berperan dalam menentukan apakah
seseorang pria bersedia menjadi peserta KB atau mengijinkan
pasangannya untuk menggunakan salah satu alat/cara KB. Pada

1026
umumnya sikap yang positif terhadap program KB akan lebih
memudahkan mereka untuk dapat menerima program KB.
Penerimaan program KB dapat berdampak pada partisipasi
mereka terhadap program yang ditandai dengan kesertaan
mereka menjadi peserta KB. Di lain pihak, kurangnya
pengetahuan dapat menimbulkan persepsi atau sikap yang
keliru terhadap program KB. Persepsi yang kurang benar akan
menghambat penerimaan mereka terhadap program KB,
sehingga mereka cenderung menolak untuk menjadi peserta KB.
Seperti yang dituturkan kader KB berikut:
“Kebanyakan yang perempuan melarang suami
ikut MOP karena takut istri selingkuh tapi tidak
meninggalkan bekas mas, pengertian MOP sama
dengen dikebiri, dan yang sering terjadi calon
akseptor merasa malu jika diketahui oleh tetangga
atau saudara setelah ikut MOP”
Di antara berbagai pernyataan yang mencerminkan sikap
pria terhadap keluarga berencana, pernyataan sikap yang paling
banyak disampaikan oleh pria adalah bahwa “KB Urusan Wanita”
(42 persen), berikutnya adalah pernyataan “Wanita Seharusnya
yang Disterilisasi” (30,2 persen). Pernyataan “Sterilisasi Pria
sama dengan Dikebiri”, dikemukakan oleh pria dengan
persentase yang lebih rendah yaitu 14 persen. (SDKI 2014:37).
Artikel yang dirilis JPPN.com Sabtu, 20 September 2014 dengan
judul “Makin Ganas di Ranjang usai Vasektomi”
mengungkapkan vasektomi, program keluarga berencana (KB)

1027
yang menantang pria berani memutuskan sebagai pelaku utama
KB. Sayangnya, edukasi seks sangat minim di masyarakat.
Sehingga masih ada saja yang percaya vasektomi
menghilangkan gairah seksual. Malahan, makin menyedihkan
ada yang tidak berkonsultasi dahulu ke dokter, mereka lantas
melakukan wejangan tertentu.
Vasektomi atau MOP adalah salah satu kontrasepsi
mantap bagi pria dengan biaya murah, efektif, sederhana, dan
aman yang bagi pasangan usia subur menjadi alternatif untuk
mejarangkan atau menunda kehamilan. Karena kegagalan
pelaksanaan Keluarga Berencana akan mengakibatkan hasil
usaha pembangunan menjadi tidak berarti dan dapat
membahayakan generasi yang akan datang. Komunikasi
sebagai aspek penting berjalannya program KB, dari sinilah
konsep keluarga kecil bahagian dan sejahtera disampaikan.
Kader KB perempuan yang secara sukarela dan berasal dari
masyarakat menjadi strategi pemerintah yang tepat untuk
mendekatkan program keluarga berencana ditengah
masyarakat.

Kesimpulan
Kader KB Perempuan yang bertindak sebagai
komunikator, ataupun para pasangan usia subur sebagai
sasaran yang berkedudukan sebagai komunikan, kedua-duanya

1028
akan berperilaku menurut pola-pola yang amat dipengaruhi oleh
skenario-skenario budaya setempat yang telah ada. ini berarti
bahwa asumsi-asumsi mengenai soal pengefektifan komunikasi
yang diperoleh dari budaya luar Kota Mojokerto tak akan dapat
mudah diterima begitu saja untuk menyelesaikan soal-soal KIE
di Kota Mojokerto. Kader KB perempuan di Kota Mojokerto
belum mampu atau tidak bisa menghindar dari kenyataan,
bahwa budaya sangat mempengaruhi etika berperilaku seorang
perempuan baik sebagi pribadi ataupun sebagai kader yang
mempunyai tugas pokok dan fungsinya. Perempuan menurut
tata nilai yang lahir dari masyarakat dikontruksikan tabu
membicarakan soal alat vital laki-laki. Walaupun sejatinya
konsep edukasi sangatlah perlu dipahami baik bagi pasangan
usia subur ataupun masyarakat pada umumnya.

Daftar Pustaka
Arifin, Anwar. 1994. Strategi Komunikasi, Sebuah Pengantar
Ringkas. Bandung : CV. ARMICO
BKKBN, 2006. Panduan Pelayanan Vasektomi Tanpa Pisau :
BKKBN Propinsi Jawa Timur, 2008
BKKBN dan TPKK, 2008. Buku pegangan Program Peningkatan
Kualitas Lingkungan Keluarga.
Moleong, Lexy J. (2007) Metodologi Penelitian Kualitatif,
Remaja Rosdakarya Offset, Bandung

1029
BKKBN dan UNFPA, 2014, Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia 2012 “Modul Pria” BKKBN Jakarta Indonesia.
Media
“Makin Ganas di Ranjang usai Vasektomi” 20 September 2014
dengan judul JPPN.com Sabtu
Penelitian Ilmiah
Siti Sudartini, 2010, “Konsep Kesopanan Berbicara oleh Wanita
dalam Budaya Jawa” WIDYAPARWA, jurnal ilmiah
kebahasaan dan kesastraan hal 27-33, edisi 38, Balai
Bahasa Yogyakarta.
Soetandyo Wignjosoebroto, MPA. Universitas Airlangga,1986,
“Program Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) dan
perubahan pengetahuan sikap praktek (PSP) Ibu-ibu di
Kabupaten-Kabupaten Propinsi Jawa Timur yang
Mengikuti Program KB Gizi Terpadu”, BKKBN
Undang-undang
Keputusan Wali Kota Mojokerto, Nomor:
188.45/75/417.111/2014, Petugas Pembatu Keluarga
Berencana Kelurahan dan Sub Petugas Pembantu
Keluarga Berencana Kelurahan.

*) Herman Yoseph Apri Setyawan, mahasiswa Program


Magister Media dan Komunikasi Universitas Airlangga
Surabaya, dan penerima beasiswa KemKominfo 2014

1030
PENERIMAAN PUBLIK TERHADAP ANJUNGAN
TRANSAKSI MESIN SATUAN ADMINISTRASI MANUNGGAL
SATU ATAP JAWA TIMUR (ATM SAMSAT JATIM)

Atik Kamulasari*

Pendahuluan
Inovasi dalam pelayanan publik merupakan sesuatu yang
harus dilakukan di era saat ini. Kemudahan, kecepatan dan
ketepatan dalam layanan adalah prioritas utama bagi
masyarakat. Tetapi, inovasi tersebut tidak akan ada artinya tanpa
diiringi dengan sosialisasi kepada masyarakat sebagai pihak
penerima inovasi karena masyarakat mengetahui adanya suatu
inovasi melalui sosialisasi, yang selanjutnya mereka pula yang
mengambil keputusan untuk menerima atau menolak inovasi
tersebut. Hal inilah yang direspon oleh Dinas Pendapatan
Provinsi Jawa Timur dalam pelayanan Pajak Kendaraan
Bermotor (PKB). Untuk meningkatkan pelayanan pembayaran
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), maka Dinas Pendapatan
Provinsi Jawa Timur mengeluarkan ATM Samsat Jatim. Pilihan
media sosialisasi akan menentukan tingkat pengetahuan
penerimanya. Terdapatnya produk baru seperti ATM Samsat
Jatim ini seharusnya disosialisasikan secara gencar di

1031
masyarakat agar masyarakat mengetahui bahwa ada inovasi
dalam hal pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang
lebih cepat dan mudah. Melalui pilihan media sosialisasi yang
tepat, maka inovasi tersebut akan lebih mudah diketahui dan
diterima oleh masyarakat. Pilihan media sosialisasi itu, salah
satunya adalah melalui media massa dan internet. Media massa
dipahami juga sebagai media komunikasi dan informasi yang
melakukan penyebaran informasi secara massa dan dapat
diakses oleh masyarakat secara massal.
Media massa memegang peranan penting, bukan hanya
membuat orang agar mengerti tentang sesuatu, namun lebih dari
itu, yakni agar orang berubah sikap dan perilakunya. Tidak hanya
orang secara individu saja, melainkan masyarakat secara luas
(Effendy, 2004:49). Media massa merupakan salah satu alat
dalam proses komunikasi massa karena media massa mampu
menjangkau khalayak yang lebih luas dan relatif lebih banyak,
heterogen, anonim, pesannya bersifat abstrak dan terpencar.
Media massa dipahami juga sebagai media komunikasi dan
informasi yang melakukan penyebaran informasi secara massa
dan dapat diakses oleh masyarakat secara massal
(Bungin,2006:7).

Untuk itulah peneliti tertarik melakukan penelitian


“Penerimaan Publik Terhadap Anjungan Transaksi Mesin

1032
Satuan Administrasi Manunggal Satu Atap Jawa Timur (ATM
Samsat Jatim)”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana
penerimaan publik terhadap Anjungan Transaksi Mesin Satuan
Administrasi Manunggal Satu Atap Jawa Timur (ATM Samsat
Jatim).
Pada penelitian ini digunakan pendekatan penelitian
kualitatif. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yang akan
mengidentifikasi penerimaan publik, khususnya Wajib Pajak
Kendaraan Bermotor terhadap ATM Samsat Jatim di Surabaya
dan pemanfaatannya. Tipe penelitian yang digunakan pada
penelitian ini adalah penelitian deskriptif karena penelitian ini
ingin memberikan gambaran mengenai realitas, terutama
tentang penerimaan publik, khususnya Wajib Pajak Kendaraan
Bermotor terhadap ATM Samsat Jatim dan pemanfaatannya.
Pada penelitian ini data terbagi menjadi dua yakni data
primer dan data sekunder.Teknik pengumpulan data primer
dengan menggunakan indepth interview, sedangkan data
sekunder diperoleh melalui dokumentasi.

Difusi Inovasi
Teori difusi inovasi menyatakan bahwa suatu inovasi
memencar atau menyebar dalam pola yang dapat diperkirakan.
Beberapa orang akan segera mengadopsi atau menerima suatu

1033
inovasi begitu mereka mengetahuinya, sementara orang lain
membutuhkan waktu lebih lama untuk mencoba sesuatu yang
baru. Ketika suatu teknologi baru atau inovasi baru diterima
dengan sangat cepat oleh banyak orang, maka fenomena ini
disebut explode into being atau meledak hingga menjadi ada.
Terdapat 5 (lima) kategori penerima inovasi yaitu inovator,
penerima awal (early adopters), mayoritas awal (early majority),
mayoritas terlambat (late majority) dan kelompok tertinggal
(laggards).
1. Inovator
Mereka yang masuk ke dalam kategori inovator adalah
mereka yang ingin mencoba sesuatu yang baru dan memiliki
sifat senang berpetualang. Hubungan sosial mereka
cenderung lebih bersifat global (kosmopolitan) dibandingkan
dengan kelompok lainnya. Orang-orang semacam ini
cenderung suka membentuk kelompok dan walaupun mereka
dapat tinggal di berbagai negara berbeda, tetapi mereka tetap
saling berkomunikasi, tidak peduli jarak geografis yang
memisahkan mereka.
2. Penerima Awal
Penerima awal memiliki hubungan sosial yang lebih lokal
dibandingkan inovator yang kosmopolitan. Penerima awal
terdiri atas orang-orang terpandang, dihormati, dan disegani
di lingkungan lokal mereka karena keberhasilan mereka di

1034
berbagai bidang. Mereka juga memiliki keinginan untuk
mencoba sesuatu yang baru dan terbuka terhadap inovasi.
Kedudukan mereka sebagai bagian integral dari masyarakat
lokal yang terpandang menjadikan pendapat mereka didengar
dan dihormati. Orang-orang semacam ini biasanya selalu
dicari ketika suatu inovasi ingin diperkenalkan kepada
masyarakat dimana mereka tinggal dan pendapat atau
pandangan mereka terhadap inovasi selalu dihargai.
3. Mayoritas Awal
Mereka yang ada di kategori ini biasanya bukan yang pertama
menerima inovasi. Mereka biasanya membahasnya terlebih
dahulu dan cenderung memerlukan waktu cukup lama untuk
mengambil keputusan dalam menerima inovasi tersebut.
4. Mayoritas Terlambat
Pada kelompok ini, memiliki sikap skeptis dan lebih berhati-
hati dalam menilai penerimaan suatu inovasi.
5. Kelompok Tertinggal
Kelompok ini merupakan kelompok yang paling akhir
menerima inovasi. Kelompok tertinggal terikat pada masa lalu
yaitu pada cara tradisional dalam melakukan sesuatu dan
mereka enggan melakukan sesuatu yang baru.(Morissan,
2010:141-144).
Sedangkan dalam proses difusi dan adopsi inovasi, terdapat 4
(empat) tahapan penting antara lain:

1035
1. Pengetahuan
Ini merupakan tahap awal proses difusi, dimana informasi
disampaikan mealalui sejumlah saluran komunikasi, baik
melalui media massa, media telekomunikasi ataupun
hubungan interpersonal.
2. Persuasi
Dalam proses difusi, calon penerima inovasi akan
mempertimbangkan keuntungan yang akan diberikan inovasi
bersangkutan kepada dirinya. Maka, ia akan menerima atau
menolak inovasi tersebut.
3. Keputusan
Di tahap ini, calon penerima inovasi membuat keputusan
apakah menerima atau menolak inovasi tersebut.
4. Penegasan
Ketika keputusan telah ditentukan, biasanya individu mencari
pengesahan atau validasi atas keputusan yang telah
dibuatnya.
Kecepatan proses penerimaan suatu inovasi yang
disebarkan pada masyarakat dipengaruhi juga oleh saluran
komunikasi atau media. Namun, inovasi tidak terjadi secara
mulus atau tanpa resistensi. Banyak dari kasus inovasi
diantaranya justru terkendala oleh berbagai faktor. Biasanya
budaya menjadi faktor penghambat terbesar dalam menerapkan
sebuah inovasi yakni budaya yang tidak menyukai resiko. Hal ini

1036
berkenaan dengan sifat inovasi yang memiliki segala resiko,
termasuk resiko kegagalan (Sari, 2015).

Penerimaan Masyarakat Terhadap Inovasi


Suatu proses diterimanya sebuah inovasi pada umumnya
tidak akan terjadi secara langsung dalam suatu tahapan
melainkan harus melewati perubahan-perubahan dan tidak
semua inovasi diterima masyarakat. Horton dan Hunt (1992)
mengemukakan bahwa sebuah perubahan yang disarankan
atau suatu inovasi akan mengalami penolakan dari masyarakat
apabila 1)perubahan itu dipaksakan oleh pihak lain,
2)perubahan itu tidak dipahami, 3) perubahan itu dinilai sebagai
ancaman terhadap nilai-nilai penduduk. Dalam hal ini berlaku
proses penerimaan selektif karena beberapa inovasi diterima
dengan inovasi lainnya memerlukan penundaan yang lama,
artinya ada inovasi yang ditolak sepenuhnya dan ada inovasi
lainnya yang diterima sebagian. Penerimaan masyarakat
terhadap suatu inovasi, sangat dipengaruhi oleh tingkat
pemahaman masyarakat tentang inovasi tersebut. Untuk itulah
sosialisasi mutlak dilakukan. Suatu masyarakat pada umumnya
mencoba menggunakan inovasi dengan cara yang lama yang
biasa mereka lakukan. Bilamana cara tersebut mengalami
kegagalan, barulah masyarakat mencoba cara baru untuk
memanfaatkan inovasi tersebut. Aspek pengetahuan dan

1037
pemahaman masyarakat terhadap suatu inovasi sangat
berpengaruh terhadap perilaku masyarakat untuk menerima
atau menolak sebuah inovasi. Rogers (1974) mengemukakan
bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Lebih lanjut Rogers mengemukakan bahwa
sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang
tersebut terjadi proses yang berurutan antara lain :
1) awareness (kesadaran) yakni orang tersebut menyadari
dalam artian bahwa mengetahui stimulasi (objek) terlebih
dahulu.
2) interest yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.
3) evaluation yakni mempertimbangkan baik-buruknya.
4) trial yakni orang telah mencoba perilaku baru.
5) adaptation yakni telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulasi.

ATM Samsat Jatim Sebagai Suatu Inovasi


ATM Samsat Jatim merupakan inovasi yang dikeluarkan
oleh Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Timur bekerja sama
dengan Polda Jatim dan PT. Jasa Raharja wilayah Jawa Timur.
Sejak diluncurkan dan diresmikannya ATM Samsat Jatim
pada tanggal 8 Juli 2014 oleh Gubernur Jatim, Soekarwo, di
Grand City Mall Surabaya, ternyata sebagian masyarakat masih

1038
belum mengenal ATM Samsat Jatim ini. Dalam perkembangan
kurun waktu 4 (empat) bulan sejak diluncurkan, pengguna ATM
Samsat Jatim sebanyak 200 orang. (Republika.co.id, 15 Oktober
2014).
Dengan adanya ATM Samsat Jatim ini, masyarakat
sebagai Wajib Pajak semakin dipermudah dan diuntungkan
dalam pelayanan. Wajib Pajak tidak perlu lagi antri dan
menyerahkan berkas melalui petugas, apalagi melalui calo.
Dalam hal waktu, menggunakan ATM Samsat Jatim ini lebih
hemat karena hanya memerlukan waktu sekitar 5 (lima) menit
transaksi pembayaran pajak dan pengesahan STNK sudah
selesai. Sedangkan transaksi yang secara manual dan
tradisional memerlukan waktu lebih dari itu.
Sosialisasi dan edukasi ATM Samsat Jatim juga dilakukan
melalui internet, yang dipublikasikan di YouTube pada tanggal
19 Januari 2015 dengan judul “ATM Samsat Jawa Timur :
Merubah Kantor Menjadi Mesin”. Dalam publikasi ini terdapat
informasi mengenai ATM Samsat Jatim, yang disertai dengan
beberapa prestasinya.
Pembayaran menggunakan ATM ini mempunyai banyak
keuntungan, pelayanan self service ini mencegah adanya
korupsi karena tidak melibatkan petugas serta menghilangkan
praktek percaloan. Selain itu, layanan ini tidak berbatas waktu,
jarak, dan tempat. Sehingga, akses pelayanan publik ini lebih

1039
mudah dan cepat. ATM Samsat ini merupakan alternatif pilihan
cara pembayaran pajak kendaraan bermotor karena semakin
lama jumlah wajib pajak dan objek pajak kendaraan bermotor
semakin meningkat. Sebagai gambaran, menurut data dari
Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Timur bahwa jumlah objek
pajak kendaraan bermotor di Jawa Timur pada tahun 2014
sebanyak 13.700.036, yang terdiri dari roda dua sebanyak
12.093.135 unit dan roda empat sebanyak 1.606.901 unit, yang
kesemuanya membutuhkan pelayanan identifikasi dan registrasi
kendaraan bermotor serta pembayaran pajaknya. Untuk itulah,
keberadaan ATM Samsat ini sangat membantu pelayanan
kepada wajib pajak.
Dari jumlah Wajib Pajak Kendaraan Bermotor sebanyak
13.700.036 di tahun 2014 itu, yang menggunakan ATM Samsat
Jatim hanya 200 orang sampai dengan bulan Oktober 2014 atau
setelah 4 (empat) bulan sejak ATM Samsat Jatim diresmikan. Ini
berarti hanya 0.001%.
Keberadaan ATM Samsat Jatim sejak diresmikan satu
tahun yang lalu, ternyata masih sebagian kecil masyarakat yang
menggunakan ATM Samsat Jatim ini. Hal ini terlihat pula di ATM
Samsat Jatim yang berada di Samsat Kota Malang masih sepi
pengguna. Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor secara
otomatis dari debet rekening itu masih belum banyak
dimanfaatkan para Wajib Pajak di Samsat Kota Malang. Salah

1040
seorang Wajib Pajak, Herman Widodo, menyatakan belum bisa
sepenuhnya percaya dengan model pembayaran otomatis
seperti ATM Samsat Jatim.
Ini artinya masyarakat lebih memilih cara manual dan
tradisional dengan datang langsung ke kantor samsat serta
proses pembayaran secara umum. Untuk itulah sangat penting
adanya sosialisasi dan edukasi secara intens tentang ATM
Samsat Jatim.

Penerimaan Wajib Pajak terhadap ATM Samsat Jatim,


sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang salah satunya
adalah faktor sosialisasi. Sosialisasi tentang kemudahan cara
pembayaran pajak melalui ATM Samsat Jatim akan
mempengaruhi kelancaran pembayaran pajak kendaraan
bermotor di provinsi Jawa Timur.

Kesimpulan
ATM Samsat Jatim merupakan sebuah alternatif yang
ditawarkan dalam pembayaran pajak kendaraan bermotor
secara cepat dan tepat. Pembayaran menggunakan ATM ini
mempunyai banyak keuntungan, pelayanan self service ini
mencegah adanya korupsi karena tidak melibatkan petugas
serta menghilangkan praktek percaloan. Selain itu, layanan ini
tidak berbatas waktu, jarak, dan tempat. Sehingga, akses
pelayanan publik ini lebih mudah dan cepat.
1041
Tetapi, dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ATM
Samsat Jatim sebagai suatu inovasi masih belum diterima
sepenuhnya oleh masyarakat. Faktor budaya masih menjadi
faktor penghambat dalam menerapkan ATM Samsat Jatim
sebagai sebuah inovasi yakni budaya yang tidak menyukai
resiko. Hal ini berkenaan dengan sifat inovasi yang memiliki
segala resiko, termasuk resiko kegagalan. Di sisi yang lain, faktor
sosialisasi juga menjadi sangat penting agar ATM Samsat Jatim
lebih mudah diterima oleh Wajib Pajak Kendaraan Bermotor di
Jawa Timur. Sosialisasi dan edukasi yang intens tentang ATM
Samsat Jatim akan membawa masyarakat Jawa Timur lebih
mengenal, menerima dan bahkan memanfaatkan ATM Samsat
Jatim sebagai inovasi yang menguntungkan bagi masyarakat itu
sendiri.

Daftar Pustaka
Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi. Jakarta, Kencana
Prenada Media Group.
Cahyana, Yan Yan dan Bagong Suyanto (Peny.). 1996. Kajian
Komunikasi dan Seluk Beluknya, Surabaya, Airlangga
University Press.
Effendy, Onong Uchjana. 2004. Dinamika Komunikasi. Bandung,
Remaja Rosdakarya.

1042
Moerdijati, Sri. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi, Surabaya, PT.
Revka Petra Media.
Mulyana, Deddy. 2010. Ilmu Komunikasi, Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya.
Morissan, Andy Corry Wardhani dan Farid Hamid. 2010. Teori
Komunikasi Massa, Bogor. PT. Ghalia Indonesia.
Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia
Indonesia.
Sari, Ratna dan Prasetyo Isbandono.2015. Siklus
Pengembangan Inovasi Pada Anjungan Transaksi Mesin
Samsat Jawa Timur (ATM Samsat Jatim) di Dinas
Pendapatan Provinsi Jawa Timur, e-Journal, Universitas
Negeri Surabaya.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D, Bandung, Alfabeta.
Wardhani, Diah. 2008. Media Relations: Sarana Membangun
Reputasi Organisasi. Yogyakarta. Graha Ilmu.
Widodo, Dr. Widi, dkk. 2010. Moralitas, Budaya, dan Kepatuhan
Pajak, Bandung, Alfabeta.
Widjaja, Prof. Drs. H.A.W.2010. Komunikasi: Komunikasi dan
Hubungan Masyarakat, Jakarta, Bumi Aksara.

*) Pegawai Negeri Sipil dan Mahasiswa Magister Media dan


Komunikasi, Universitas Airlangga, penerima beasiswa
Kemkominfo 2014

1043
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PADA PERKAWINAN
CAMPURAN MASYARAKAT SUKU SASAK DENGAN
WARGA NEGARA ASING DI PULAU LOMBOK

Novita Maulida*

Pendahuluan

Budaya pada dasarnya merupakan nilai-nilai yang muncul


dari proses interaksi antar-individu. Nilai-nilai ini diakui, baik
secara langsung maupun tidak, seiring dengan waktu yang
dilalui dalam interaksi tersebut. Bahkan terkadang sebuah nilai
tersebut berlangsung di dalam alam bawah sadar individu dan
diwariskan pada generasi berikutnya. Perkawinan campuran
saat ini juga sudah menjadi fenomena yang banyak terjadi di
masyarakat Indonesia (Sihombing & Yusuf, 2013). Hal ini dapat
dilihat berdasarkan survei online yang dilakukan Indo-MC pada
tahun 2002 dari 574 responden, tercatat 547 diantaranya adalah
perempuan warga negara Indonesia (WNI) yang menikah
dengan warga negara asing (WNA). Menurut catatan dari
organisasi yang mengatasi permasalahan perkawinan antar
warga negara, yaitu Aliansi Pelangi Antar Bangsa (APAB) pada
tahun 2009, menyebutkan bahwa pada saat ini terdapat lebih
dari 4200 wanita di Indonesia yang menikah dengan laki-laki
asing. Data ini diyakini terus mengalami peningkatan setiap
1044
tahunnya, meskipun data terakhir masih belum dipublikasikan
(Sihombing & Yusuf, 2013). Banyak permasalahan yang dapat
timbul dari adanya pernikahan campuran tersebut. Disini penulis
sangat tertarik bagaimana pasangan perkawinan campuran
dalam menghadapi konflik yang terjadi di antara mereka dengan
akar budaya yang sudah sangat berbeda satu sama lain, kita
ketahui sekarang bagaimana konflik-konflik yang terjadi
membutuhkan manajemen konflik yang tepat agar pasangan
dapat mengelola konflik yang terjadi sehingga membuat
pernikahan keduanya menjadi utuh dan langgeng. Manajemen
konflik merupakan salah satu faktor signifikan yang dapat
membantu pasangan perkawinan mengelola konflik yang ada.
Manajemen konflik merupakan proses pihak yang terlibat konflik
dalam menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk
mengendalikan konflik agar menghasilkan penyelesaian konflik
yang diinginkan (Gunawan, 2011). Sehingga dapat disimpulkan
penelitian komunikasi antarbudaya memfokuskan perhatian
pada bagaimana budaya-budaya yang berbeda itu berinteraksi
dengan proses komunikasi dan bagaimana komponen-
komponen komunikasi berinteraksi dengan komponen-
komponen budaya.Berangkat dari banyaknya fenomena
perkawinan campuran yang cenderung berpotensi menimbulkan
konflik, mendorong peneliti untuk memutuskan mengambil topik
Komunikasi Antarbudaya pada perkawinan Campuran
1045
masyarakat Suku Sasak dengan Warga Negara Asing di Pulau
Lombok. Perkawinan campuran adalah sebuah fenomena yang
unik dibandingkan dengan perkawinan-perkawinan pada
umumnya, karena di dalamnya banyak sekali terdapat
perbedaan. Setiap pasangan perkawinan campuran merupakan
dua individu dengan latar belakang budaya yang berbeda. Dari
konflik-konflik yang bermunculan pada pasangan yang menjalani
perkawinan campuran, mulai dari permalasahan latar belakang
budaya, bahasa, peran gender, dan aspek lain seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, tentunya membutuhkan
manajemen konflik untuk memelihara dan mempertahankan
hubungan. Penelitian ini dapat dikategorikan dalam jenis
penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.
Kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain lain;
secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata –
kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan menggunakan berbagai metode alamiah. (Lexy J.
Moleong, 2012: 6). Sedangkan menurut Sugiyono (2010: 1),
penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi yang
alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti
adalah sebagai instrumen kunci , teknik pengumpulan data
dilakukan secara trangulasi (gabungan), analisis data bersifat
1046
induktif yang artinya suatu analisis berdasarkan data yang
diperoleh kemudian dikembangkan sehingga menjadi hipotesis,
dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari
generalisasi.Pada penelitian ini, subyek penelitian berjumlah 4
orang, yang merupakan 2 pasangan suami istri pelaku
perkawinan campuran yang terdiri dari wanita sasak dan pria
berkewarganegaraan asing ataupun sebaliknya. Pemilihan
subyek penelitian berdasarkan purposive sampling, yaitu
pengambilan sampel secara sengaja dengan cara menentukan
sendiri berdasarkan pertimbangan tertentu (Idrus, 2009). Kriteria
yang digunakan untuk menentukan subyek antara lain:
pasangan suami istri yang berbeda kewarganegaraan dengan
latar belakang budaya yang berbeda, yaitu istri dengan budaya
sasak dan pria dengan budaya asal kewarganegaraannya
maupun sebaliknya, pernah mengalami konflik perkawinan
dalam hubungan rumah tangga, usia perkawinan minimal 2
tahun, dan menetap dalam satu rumah.

Kepercayaan, Nilai dan Sikap dalam Komunikasi


Antarbudaya
Kepercayaan secara umum dapat dipandang sebagai
kemungkinan-kemungkinan subjektif yang diyakini individu
bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik-
karakteristik tertentu. Kepercayaan melibatkan hubungan antara
1047
objek yang dipercayai dan karakteristik-karakteristik yang
membedakannya. Derajat kepercayaan kita mengenai suatu
peristiwa atau suatu objek yang memiliki karakteristik tertentu
menunjukkan tingkat kemungkinan subjektif kita dan,
konsekuensinya, juga menunjukkan kedalaman atau intensitas
kepercayaan kita. Tegasnya, semakin pasti kita dalam
kepercayaan kita, makin besar pulalah intensitas kepercayaan
tersebut.Kepercayaan dan nilai memberikan kontribusi bagi
pengembangan dan isi sikap. Kita boleh mendefinisikan sikap
sebagai suatu kecenderungan yang diperoleh dengan cara
belajar untuk merespons suatu objek secara konsisten. Sikap ini
dipelajari dalam suatu konteks budaya bagaimanapun
lingkungan kita akan turut membentuk sikap dan kesiapan untuk
merespons perilaku kita.Nilai-nilai adalah aspek evaluatif dari
sistem-sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Dimensi-dimensi
evaluatif ini meliputi kualitas-kualitas seperti kemanfaatan,
kebaikan, estetika, kemampuan memuaskan kebutuhan, dan
kesenangan. Meskipun setiap orang mempunyai suatu tatanan
nilai yang unik, terdapat pula nilai-nilai yang cenderung
menyerap budaya. Nilai –nilai ini dinamakan nilai-nilai budaya.
Nilai nilai ini umumnya normatif dalam arti bahwa nilai nilai
tersebut menjadi rujukan seorang anggota budaya tentang apa
yang baik dan apa yang buruk, yang benar dan salah, yang sejati
dan palsu, positif negatif, dan sebagainya.
1048
Komunikasi Antarbudaya dalam Perkawinan Campuran
Perkawinan merupakan penyatuan dua pribadi yang unik,
dengan membawa sistem keyakinan masing-masing
berdasarkan latar belakang budaya serta pengalamannya.
Perbedaan-perbedaan yang ada perlu disesuaikan satu sama
lain untuk membentuk sistem keyakinan baru bagi sebuah
keluarga. Proses inilah yang seringkali menimbulkan
ketegangan.Perkawinan oleh R. Verderber dan K. Verderber
(1998: 382) dikelompokkan sebagai salah satu bentuk relasi
intim, yang disebut sebagai relasi pasangan. Perkawinan
dianggap sebagai puncak dari hubungan kedekatan yang paling
baik. Meskipun begitu, tidak ada satu pun tipe perkawinan yang
ideal. Anna Fitzpatrick (dalam Littlejohn, 2002: 253)
mengatakan, bahwa perkawinan dapat dikarakteristik dengan
bagaimana pasangan memanfaatkan ruang, waktu dan energi
mereka serta meningkatkan ekspresi perasaan, menggunakan
kekuasaan dan membagi filosofi perkawinan.mengidentifikasi
tiga dimensi yang dapat membedakan tipe-tipe perkawinan.
Pertama, tipe ketergantungan, yaitu adanya kebutuhan untuk
berbagi rasa satu sama lain. Kedua, tipe ideologi, yaitu
perkawinan berjalan sesuai dengan kepercayaan tradisional dan
nilai-nilai yang dianut oleh pasangan. Dan ketiga, tipe
komunikasi, yaitu cara yang dilakukan oleh pasangan untuk
1049
mengatasi konflik dalam perjalanan perkawinan. Dalam proses
Komunikasi Antarbudaya, unsur-unsur yang sangat menentukan
ini bekerja dan berfungsi secara terpadu bersama-sama seperti
komponen, karena masing-masing saling membutuhkan dan
berkaitan. Tetapi dalam penelaahan, unsur-unsur tersebut
dipisah pisahkan agar dapat diidentifikasi dan ditinjau secara
satu persatu (Mulyana, 2001).
Banyak hal yang bisa dimunculkan pada komunikasi
Antarbudaya yang dapat mempengaruhi pasangan beda negara,
hal-hal semacam inilah yang akan memicu konflik yang terjadi
antara pasangan beda negara, secara teoritik gambaran
hambatan yang dapat ditemui dalam komunikasi
antarbudaya1).hambatan yang bersumber pada unsur
kebudayaan tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi
antarbudaya. Perbedaan budaya ini lebih kental terasa pada
aspek sistem kepercayaan, pandangan hidup tentang dunia, dan
organisasi sosial. 2) Hambatan perbedaan persepsi dan sikap
persepsi masih berada pada wilayah penalaran, ia akan
menjelma menjadi sikap (pendirian) menerima atau menolak.
Artinya, seseorang atau kelompok orang yang memiliki
kepercayaan yang berbeda akan memiliki persepsi dan sikap
yang berbeda dalam memandang suatu realitas.3) Hambatan
perbedaan perspektif hambatan pengaruh unsur-unsur
1050
kebudayaan terhadap perspektif masing-masing orang mungkin
berbeda-beda sudut dan cara pandangnya, tergantung dari ide
dan konseptualisasi yang kita ketahui mengenai suatu peristiwa
yang berlangsung. 4) Hambatan stereotif dan prasangka
prasangka adalah apa yang ada dalam pemikiran kita terhadap
individu dan kelompok lain seperti dalam hubungan ras dan etnis
atau melalui media massa yang popular. Prasangka memiliki
kecenderungan bersifat negatif terhadap kelompok atau hal-hal
khusus seperti ras, agama, dan lain-lain. Prasangka menjadi
focus kajian berangkat dari adanya pandangan negatif yang di
iringi oleh adanya pemisahan yang tegas antara perasaan
kelompokku dan perasaan kelompok lain. Apabila permulaan
komunikasi sudah diawali oleh prasangka, maka komunikasi pun
tidak akan berjalan efektif. (dalam Purwasito, 2003:177)

Temuan Data dan Analisisnya


Dalam penelitian ini temuan data yang peneliti sudah
kumpulkan yaitu berdasarkan hasil wawancara mendalam pada
lima responden yaitu dua pasangan menikah yang masing-
masing berasal dari satu pasangan Belanda-Sasak, Japan-
Sasak dan satu pasangan bercerai sebagai pembanding
bagaimana konsisten pasangan yang masih berumah tangga
dan yang tidak mampu mempertahankan rumah tangganya, dari
hasil penelitian yang dilakukan bagaimana pasangan Belanda-
1051
Sasak yang usia perkawinannya berjalan empat tahun dan
pasangan Jepang-Sasak, saling menghargai satu sama lain,
tidak ada masalah pada kepercayaan yang dianut karena agama
sudah sama, bentuk-bentuk konfliknya hanya terjadi pada
perbedaan mendasar soal menyikapi gaya hidup, cara makan,
cara menyelesaikan masalah yang terjadi, jika pasangan yang
berasal dari Belanda dalam menyelesaikan masalah dengan
jalan kekeluargaan disebabkan mereka lebih bisa terbuka
dengan keluarga pasangan, beda dengan pasangan Japan-
Sasak, Pasangan yang berasal dari Japan ini lebih tertutup
dengan keluarga dikarenakan kepribadian yang introvert
sehingga dibutuhkan waktu yang lama dalam beradaptasi
dengan keluarga dan kebudayaan sasak, pasangan Eropa lebih
disiplin dalam hal ekonomi keluarga dan keuangan sedangkan
pasangan Jepang lebih disiplin soal keseharian contohnya soal
jam makan, menerapkan disiplin pada anak, pada intinya kedua
pasangan ini menitikberatkan pada aspek kejujuran satu sama
lain, sehingga keharmonisan bisa dapat tercapai. Jika
dibandingkan dengan pasangan kasus bercerai yaitu pasangan
Kanada-Sasak, dimana keduanya membina Rumah Tangga
selama dua tahun, tidak ada komunikasi dan keterbukaan antara
pasangan ini, sehingga ego masing-masing masih keras dan
tidak ada upaya untuk mempertahankan rumah tangganya, hal
ini juga disebabkan budaya yang sangat berbeda satu sama lain.
1052
Kesimpulan
Sehubungan dengan hal tersebut, sangat penting bagi
pasangan yang menjalani perkawinan campuran untuk
memahami kapan dan bagaimana konflik muncul, serta
bagaimana pengaruhnya terhadap pembentukan sikap dan
perilaku, sehingga pasangan perkawinan campuran dapat
belajar untuk mengelola konflik dengan baik (Kreider, 2000). Jika
konflik dikelola dengan baik dan saling menguntungkan bagi
kedua belah pihak yang sedang mengalami konflik, maka suatu
hubungan akan menjadi baik pula. Tetapi jika konflik tidak
dikelola dengan baik, maka suatu hubungan akan semakin
memburuk. Kemampuan pasangan dalam mengelola dan
menyelesaikan konflik merupakan prediktor utama di dalam
sebuah hubungan perkawinan (Byadgi, 2011).
Menurut apa yang disampaikan oleh ketiga pasangan
subyek dalam penelitian ini, perkawinan campuran yang dijalani
oleh ketiga pasangan subyek tersebut tidak lepas dari hambatan
yang menjadi kendala bagi perkawinan mereka. maka dalam
penelitian ini faktor-faktor yang menjadi hambatan dan menjadi
penyebab konflik dari ketiga pasangan subyek antara lain:
perbedaan Individu dan kebiasaan sehari hari. Perbedaan
individu tidak selalu membawa pasangan menuju timbulnya
konflik, tetapi perbedaan individu memberikan potensi
1053
munculnya konflik dan meningkatkan kemungkinan bahwa
konflik dapat terjadi. Dari adanya perbedaan individu tersebut,
tidak jarang menimbulkan perbedaan pendapat di antara
mereka. Hal ini bisa dilihat dari subyek Eropa-sasak, dimana
mereka seringkali terlibat konfik yang disebabkan oleh
perbedaan pendapat dan perbedaan kebiasaan. Pada subyek
Japan-Sasak, perbedaan individu terlihat dari perbedaan
karakter yang dimiliki oleh keduanya, dimana pasangan Japan
cenderung lebih tertutup dan susah beradaptasi dengan
keluarga Pasangan, akan tetapi pada intinya semua Informan
setuju bahwa landasan atau pondasi dalam perkawinan yang
baik ialah Keterbukaan dan Kejujuran satu sama lain, sehingga
kunci langgengnya suatu hubungan perkawinan terletak pada
poin tersebut.

Daftar Pustaka
Byadgi, 2011 Byadgi, S. (2011). Conflict Management and
Marital Satisfaction Among Dual Earning Couple. Thesis.
(tidak diterbitkan). Dharwad: College of Rural Home Science
University of Agricultural Science.
Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial.
Yogyakarta : Erlangga
Kreider, 2000 Kreider, R. M. (2000). Interracial Marriage and
Marital Instability. Paper: Population Association of America
1054
(Liliweri, Alo, 2003. Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Moleong, Lexy. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung
: PT. remaja Rosdakarya.
Mulyana, 2001. Mulyana, Deddy, Rahmat Jalaluddin, 2001.
Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Cetakan Ke-
1.Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Sihombing, S., & Yusuf, E. A. (2013). Gambaran Pola
Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik pada Wanita
Indonesia Yang Menikah dengan Pria Asing (Barat). Jurnal
Universitas Sumatera Utara Vol. 2 Nomor 1 Maret 2013.

Sugiyono (2010), Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan


R& D, Alfabeta Bandung.

*) Novita Maulida, Mahasiswa Magister Media dan Komunikasi


jurusan Studi Media (maulidanovita@rocketmail.com)

1055

Anda mungkin juga menyukai