Anda di halaman 1dari 441

ILMU PEMERINTAHAN

Disiplin dan Metodologi

ILMU PEMERINTAHAN 1
Disiplin dan Metodologi
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk penggunaan secara komersil dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,- ( lima ratus juta rupiah)

2 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
Khairul Anwar

ILMU
PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi

Penerbit Taman Karya


Pekanbaru
2020

ILMU PEMERINTAHAN 3
Disiplin dan Metodologi
ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi

Penulis:
Khairul Anwar
Editor:
Zulkarnaini

Sampul:
Syam_witra

Layout:
Arnain '99

Cetakan I:
Juli 2020

Penerbit
TAMAN KARYA
Anggota IKAPI
Puri Alam Permai C/12 Pekanbaru
E-mail: arnain.99@gmail.com
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh buku tanpa isin tertulis dari Penerbit

ISBN978-623-7512-xx-x

4 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
PRAKATA PENULIS

Syukur Alhamdulillah, dengan rahmat, taufik dan hidayah


Allah Ta’ala, penulis dapat menyelesaikan penulisan buku
Metodologi Ilmu Pemerintahan. Kehadiran buku ini di-
maksudkan sebagai bentuk partisipasi dalam pengembangan
ilmu pemerintahan. Buku ini terinspirasi dari dua pengalaman
yang sangat berharga dalam sejarah perjalanan akademik pe-
nulis. Pertama, praktik mengasuh perkuliahan Metodologi
Ilmu Politik dan Metodologi Ilmu Pemerintahan pada Jurusan
Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) Universitas Riau (UNRI). Kedua, pengalaman semasa
sekolah di program Doktoral Ilmu Politik Universitas Gadjah
Mada (UGM), Yogyakarta. Buku ini dimaksudkan sebagai upaya
untuk ikut serta memperkuat pemahaman akademis di kalangan
pelajar ilmu pemerintahan dan masyarakat umumnya tentang
paradigma, mazhab, aliran pemikiran, konsep dan berbagai teori
terkait domain Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. Penulis
berharap semoga buku ini dapat memenuhi harapan tersebut.
Penulis mulai merangkai berbagai bahan referensi terkait
bahan ajar Metodologi Ilmu Politik dan Pemerintahan dengan
dukungan dan saran dari berbagai pihak. Di kesempatan ini,
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai

ILMU PEMERINTAHAN 5
Disiplin dan Metodologi
pihak yang telah berpartisipasi mendukung proses penulisan
buku ini. Para pihak diantaranya adalah Bapak Dr. Raja Syofian
Samad, MA (Alm), dari beliaulah penulis mengenal apa ilmu
pengetahuan. Demikian pula terhadap Prof. Dr. Muhammad
Mohtar Mas'oed, MA sebagai guru yang merubah orientasi
akademik penulis secara benar dan lebih tajam dan buku ini
terinspirasi dari buku beliau berjudul Ilmu Hubungan
Internasional; Disiplin dan Metodologi. Selanjutnya buku
Metodologi Ilmu Pemerintahan karya Prof. Dr. Utang Sunaryo,
turut memberikan inspirasi.
Ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada Rektor
Universitas Riau, Prof. Dr. Ir. Aras Mulyadi MSc, Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dr. Syafri Harto, M.Si
yang banyak memberikan motivasi, informasi dan bantuan
teknis dalam penyelesaian buku ini. Demikian pula ucapan
terima kasih kepada ketua dan kolega tim pengampu mata kuliah
Metodologi Ilmu Politik, terutama terhadap dosen (alm) Dr.
Raja Syofian Samad, MA sebagai penanggung jawab mata kuliah
baik ketika penulis sebagai mahasiswa dan sudah dipercaya
menjadi dosen.
Pada tempatnya juga, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Adlin, S.Sos, MSi sebagai Ketua
Jurusan Ilmu Pemerintahan UNRI dan kawan-kawan staf
pengajar mata kuliah Metodologi Ilmu Pemerintahan. Kemu-
dian bang Ali Yusri, bang Erman, dan kawan-kawan sejawat bang
Isril, kak Wan Asrida, Hasannudin, MY. Tyas Tinov, Ishak,
Muchid Albintani, Syofian Hadi, Baskoro beserta Jumali dan
Eron penulis aturkan banyak terima kasih yang tak terhingga,
atas tunjuk ajar, koreksi, dan nasehatnya. Tanpa terkecuali para
mahasiswa yang tidak dapat disebut satu persatu pernah ber-
interaksi dalam perkuliahan Metodologi Ilmu Politik dan Me-
todologi Ilmu Pemerintahan.
Sudah barang tentu penulis tidak lupa mengucapkan sembah

6 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
sujud dan mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada kedua
orang tua; papa H. Djuma’ali Bin Baital dan mama tercinta Hj.
Hafsah bin H.Muhammad di Siak Sri Indrapura, kepada ayah
mertua H.Yusuf Muhammad (almarhum) dan ibunda mertua
(almarhumah) Hj. Nurhafifah, jika selama penulisan revisi ini ada
kealpaan yang penulis buat secara sadar ataupun tidak, penulis
mohon dimaafkan, dan mohon dido’akan. Khusus kepada Istriku
Yusfiati S.Si, MS yang sedang berjuang menyelesaikan studi
program doktoralnya di IPB-Bogor beserta anak-anakku
Mohtar Anwar, Yahya Syaifullah Anwar, dan Muhammad Amal
Anwar. Ayah mohon maaf atas keterbatasan waktu dan perhatian
ayah kepada kalian. Ayah sering membajak waktu dan kasih
sayang yang mestinya diberikan.
Pada akhirnya penulis mohon maaf kepada semua pihak
yang terkait tetapi karena keterbatasan penulis tidak dapat me-
nyebutkan satu persatu. Semoga mereka semua mendapat
hidayah_Nya. Amien.
Pekanbaru, 22 Juni 2020

Khairul Anwar

ILMU PEMERINTAHAN 7
Disiplin dan Metodologi
8 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................... 5
DAFTAR ISI ................................................................ 9
INDEKS GAMBAR ...................................................... 15
INDEKS TABEL ........................................................... 17

BAGIAN SATU :
DISIPLIN ILMU PEMERINTAHAN
BAB 1
ILMU PEMERINTAHAN ............................................ 21
Konteks Sejarah ..................................................... 25
Ontologi ................................................................ 27
Epistemologi .......................................................... 31
Aksiologi ................................................................ 41
Peta Pemikiran ....................................................... 45
Fenomena Pemerintahan ........................................ 62
Goverment dan Governance ................................... 66

BAB 2
PARADIGMA ILMU .................................................... 71
Tahapan Perkembangan Ilmu .................................. 72
Tradisional .............................................................. 80

ILMU PEMERINTAHAN 9
Disiplin dan Metodologi
Behaviorialisme ..................................................... 83
Post - Behavioralisme ............................................ 85
Strukturalisme ........................................................ 93
Post - Strukturalisme ............................................. 96
Institusionalisme .................................................... 98
Neo - Instirusionalisme ......................................... 99
Institusionallisme Pilihan Rasional ....................... 102

BAB 3
KEBENARAN DALAM ILMU .................................... 109
Definisi Kebenaran ................................................ 110
Kelompok Rasionalis ............................................. 111
Karl R. Popper .................................................. 114
Imre Lakatos ..................................................... 122
Thomas S. Kuhn ................................................ 124
Feyerabend ....................................................... 126
Laudans ............................................................. 128
Kelompok Post - Modernisme .............................. 136
Definisi Post - Modernisme ............................ 137
Ciri-ciri Post - Modernisme ............................ 141
Beberapa Teori Kebenaran ..................................... 142
Teori Korespondensi ........................................ 142
Teori Koherensi ............................................... 142
Teori Pragmatisme ........................................... 143
Keterbatasan Teori Kebenaran ............................... 143
Teori Korespondensi ........................................ 143
Teori Koherensi ............................................... 144
Teori Pragmatisme ........................................... 144
Teori Sintaksis .................................................. 144
Teori Logika ..................................................... 145
Teori Paradikmatik ........................................... 145

10 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
BAGIAN DUA :
DISIPLIN ILMU PEMERINTAHAN
BAB 4
KONSEP DAN BAHASA .............................................. 149
Definisi Konsep ..................................................... 150
Pembentukan Konsep ............................................. 153
Fungsi Konsep ........................................................ 156
Jenis-jenis Konsep ................................................. 159
Jenis Kata ............................................................... 163
Fungsi Bahasa ......................................................... 364

BAB 5
GENERALISASI........................................................... 165
Definisi Generalisasi ............................................. 166
Sifat Generalisasi ................................................... 167
Jangkauan Generalisasi .......................................... 171
Generalisasi dan Kausalitas ................................... 173

BAB 6
BEBERAPA TEORI ..................................................... 177
Pengertian Teori ..................................................... 178
Konteks Sejarah ..................................................... 179
Kekuasaan ............................................................... 192
Definisi ............................................................. 193
Unsur Kekuasaan .............................................. 194
Teori Elite .............................................................. 197
Teori Negara ........................................................... 213
Teori Negara Organis ....................................... 214
Teori Liberal ..................................................... 221
Teori Negara Pluralis ....................................... 222
Teori Negara Instrumentalis ............................. 225
Teori Otonomi Relatif Negara ......................... 227
Teori Demokrasi .................................................... 229
Perspektif Arus Utama ........................................... 231

ILMU PEMERINTAHAN 11
Disiplin dan Metodologi
Sosio - Kultural ................................................ 231
Berpusat pada Negara ....................................... 232
Kontingensi Elite ............................................. 233
Kontekstual ...................................................... 234
Model Politik dan Pemerintahan di Indonesia ....... 235
Model Bureaucratic Polity (BP) .................... 236
Model “Negara Pegawai” (Beamtenstaat) ...... 237
Model Otoritarianisme - Birokratik (OB) ....... 237
Model Negara Birokratik Kapitalis (NBK) ..... 239
Model Otoritarianisme -Birokratis - Koporatis (OBK) 240
Model Otorianisme Birokratik (OB) Rente .... 243
Model Negara Kapitalis Rente (NKR) ............. 245
Model Neopatrimonial sebagai Alternatif ....... 246
Beberapa Teori Ekonomi Politik ........................... 246
Sejarah Pemikiran .................................................. 247
Teori Ekonomi Politik ........................................... 269
Asal Usul .......................................................... 270
Gelombang Pemikiran ...................................... 272
Ekonomi - Politik Klasik ....................................... 273
Ekonomi - Politik Neoklasik ................................. 275
Ekonomi - Politik Modern .................................... 277

BAB 7
POSITIVISME & BEHAVIORALISME ..................... 287
Filsafat Positivisme ............................................... 287
Kaitan Positivisme ................................................. 289
Ciri-ciri Behavioralisme ........................................ 289
Teori Permainan ..................................................... 291

BAB 8
POST – BEHAVIORALISME
DAN POST - POSTIVISME......................................... 293
Definisi ................................................................ 293
Pokok Pikiran ......................................................... 294
Pendekatan ............................................................. 295

12 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
Karakteristik ........................................................... 303
Sejarah Post - Positivisme ..................................... 305
Ciri-ciri Post - Positivisme ............................. 306
Post - Positivisme: Teori Kritik ...................... 307
Post - Positivisme: Teori Kolonial .................. 308
Metode Perbandingan....................................... 310
Post - Positivisme: Teori Strukturasi .............. 312

BAB 9
PENDEKATAN
STRUKTURAL – FUNGSIONAL ............................... 321
Makna Sistem ......................................................... 321
Sistem Politik ........................................................ 324
Elemen Sistem Politik ........................................... 326
Keterbatasan Analisis Sistem ................................. 328
Struktural - Fungsional ........................................... 329
Asumsi Dasar ......................................................... 330

BAB 10
ANALISIS PERTUMBUHAN
DAN DUALISME EKONOMI ..................................... 335
Argumentasi ........................................................... 335
Konteks Kebijakan ................................................. 336
Teori Pertumbuhan ................................................. 338
Tahap-tahap Rostow................................................ 341
Teori Dualisme ....................................................... 346

BAB 11
ANALISIS DAN
PRAKTEK KEBIJAKAN PUBLIK ............................. 353
Kerangka Konseptual ............................................. 354
Beberapa Model Kebijakan .................................... 357
Model Elitis ..................................................... 357
Model Pluralis.................................................. 359
Sejarah Kebijakan ................................................... 360

ILMU PEMERINTAHAN 13
Disiplin dan Metodologi
Sejarah Pengusahaan .............................................. 363
Kebijakan dan Program .......................................... 368
Konteks Pertumbuhan Ekonomi ............................ 369
Konteks Dualisme Enclove.................................... 372

BAB 12
ANALISIS SISTEM
KONTEKS DEMOKRASI LOKAL ............................. 377
Makna Politik ......................................................... 377
Kontekstualisasi ..................................................... 381
Implementasi .......................................................... 385
Tantangan dan Strategi ............................................ 388

BAB 13
ANALISIS STRUKTURAL KONTEKS TANTANGAN
ILMU PEMERINTAHAN ............................................ 395
Market Failure ...................................................... 396
Civil Society ........................................................... 397
Kelompok Mandiri ................................................. 399
Volunteer ................................................................ 400

BAB 14
ANALISIS DINAMIKA
DEMOKRASI BARU DAN
GOVERNANCE PARA ARAS LOKAL ...................... 407
Kerangka Konseptual ............................................. 408
Asal Muasal ............................................................ 410
Periodesasi 1980-1998 ......................................... 411
Periodesasi 1999-2005 ......................................... 416
Model Governance ................................................. 420

DAFTAR PUSTAKA ..................................................... 423


TENTANG PENULIS ................................................... 439

14 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
INDEKS GAMBAR

Gambar 1.1 Filsafat Ilmu, Metodologi Ilmu ................. 29


Gambar 1.2 Keterkaitan Tiga Kaidah Pengembangan Ilmu 32
Gambar 1.3 Taksonomik Ilmu Sosial ............................ 34
Gambar 1.4 Posisi Taksonomik Ilmu Pemerintahan ..... 35
Gambar 1.5 Fungsi Ilmu Pengetahuan ........................... 45
Gambar 1.6 Dua Pendekatan ......................................... 62
Gambar 1.7 Metodologi Penilitian dan Pengembangan
Ilmu Pemerintahan ..................................... 64
Gambar 1.8 Perkembangan Awal RCI ............................ 68
Gambar 1.9 Implikasi SI dalam Analisis Kebijakan Publik 69
Gambar 2.1 Perkembangan Ilmu Pemerintahan ............ 79
Gambar 2.2 Perbedaan Behaviralisme dan Strukturalis 94
Gambar 4.1 Hubungan Teori, Proposisi dan Konsep .... 155
Gambar 6.1 Unsur-unsur “Power” ................................ 195
Gambar 6.2 Piramida Kekuasaan .................................. 198
Gambar 6.3 Stratifikasi Kelas ....................................... 200
Gambar 6.4 Perkembangan Teori Negara ...................... 214
Gambar 6.5 Sejarah Political Economy ....................... 273
Gambar 9.1 Struktur Kekuasaan .................................... 323
Gambar 9.2 Sistem Politik David Easton ...................... 325
Gambar 14.1 Perpolitikan Lokal Terkait Formulasi
Kasus Perkebunan Kelapa Sawit K2I ......... 419

ILMU PEMERINTAHAN 15
Disiplin dan Metodologi
Gambar 14.2 Tahapan Formulasi Kebijakan .................. 420
Gambar 14.2 Model Governance .................................. 423

16 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
INDEKS TABEL

Tabel 1.1 Ilustrasi Tentang Kontektualisasi dalam


Pengembangan Ilmu Pemerintahan ............ 42
Tabel 1.2 Pemetaan Metodologi ................................ 49
Tabel 2.1 Pergeseran Paradigma Administrasi Publik 92
Tabel 4.1 Pendefinisian Konsep ................................ 152
Tabel 4.2 Jenis-jenis Konsep ..................................... 159
Tabel 4.3 Derajat Abstraksi Konsep, Variabel
dan Indikator ............................................... 161
Tabel 4.4 Tingkat Abstraksi Konsep
Pembangunan Politik ................................. 162
Tabel 5.1 Tingkat Universalitas Generalisasi ............. 172
Tabel 14.1Aktor, Kepentingan, dan Tindakan .............. 421

ILMU PEMERINTAHAN 17
Disiplin dan Metodologi
18 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
BAGIAN SATU :

DISIPLIN ILMU
PEMERINTAHAN

ILMU PEMERINTAHAN 19
Disiplin dan Metodologi
20 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
BAB 1
ILMU PEMERINTAHAN

Bab ini akan diketengahkan pembahasan umum tentang


disiplin ilmu1 pemerintahan. Selanjutnya akan diuraikan lebih
rinci dalam Bab 2 hingga 14. Pembahasan Bab 1 ini mencakup
makna metodologi, antologi, epistemologi, aksiologi, definisi,
sejarah, konseptualisasi pemerintah dan pemerintahan, serta
tantangan dalam membangun teori empiris ilmu pemerintahan.
Untuk memulai pembahasan, dilakukan identifikasi ter-
hadap ilmu pemerintahan:2 apakah sebagai ilmu pengeta-

1
Lelbih jauh lihat Walter L.Walles, 1971. The Logic of Science in Sociology.
hal.18; Vernon Van Dyke,, 1965. Polical Science, Bab.7; Alan Issac, 1981.
Scope and Methode of Political Science: an Introduction to The
Methodology of Political Enquiry, Dorsey Press, Homewood, Illinois, Third
Edition (16-17); Fred N. Kerlinger, 1990. Asas-Asas Penelitian Behavioral,
Gadjah Mada University Press (14-17); Karl R.Popper, 2008. Logic of
Scientific Discovery (3-8).
2
Lihat Lasco, Leonard Williams, 2005. Political Theory, Kajian Klasik dan
Kotemporer (18-124); Soemargono, State of The Art Ilmu Pemerintahan,
dalam Labolo (ed). Beberapa Pandangan Dasar Tentang Ilmu Pemerintahan
(3-35). Ada sejumlah definisi para ilmuwan. Di Belanda, ilmu pemerintahan
didefinsikan, yaitu ilmu pemerintahan (bestuurswetenschappen), ilmu-ilmu
pemerintahan (bestuurswetenschappen), dan ilmu pemerintahan terapan
(bestuurs-kunde). U. Rosenthal merumuskan ilmu pemerintahan sebagai
ilmu yang otonom mempelajari bekerjanya struktur-struktur dan proses-

ILMU PEMERINTAHAN 21
Disiplin dan Metodologi
huan atau kajian. Menurut hemat penulis, akan lebih mudah
dimengerti, apabila dimulai dengan membuat pemetaan pe-
mikiran terkait isu, masalah, dan teorisasi terlebih dahulu dalam
ilmu pemerintahan. Pemetaan ini bertujuan menggambarkan
imajinasi pengetahuan terkait metodologi, tradisi pemikiran
dalam perkembangan dan pertumbuhan ilmu pemerintahan. Proses
pemetaan metodologi ini sekaligus dimaksudkan untuk mem-
bantu memahami perkembangan metodologi filosofis3 keter-
kaitan teori Politik dan Pemerintahan di Indonesia dewasa ini.4
Tesisnya adalah bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu pe-

proses pemerintahan umum, baik secara internal maupun eksternal; J.S.van


de Gevel dan PJ. Van de Goor dalam taksonomi ilmu pengetahuan deawasa
ini terdapat ilmu kenegaraan yang terdiri ilmu-ilmu pemerintahan, sejarah
politik, filsafat politik, ilmu hukum tata negara, ilmu politik, dan ajaran
hubungan internasional. Ilmu-ilmu pemerintahan pada hakekatnya merupakan
ilmu rangkuman, memanfaatkan ilmupolitik, ekonomi, hukum, sosiologi,
antropologi budaya, dan lain-lain. Ilmu pemerintahan terapan (bestuurs-
kunde); G.A.Van Poelje tahun 1942. Ilmu penerintahan ini mengacu kepada
praktik penyelenggaraan pemerintahan dan dibagi dua jenis, yaitu ilmu
pemerintahan ortodoks, merumuskan keputusan-keputusan normati dan
perintah-perintah berdasarkan pengalaman sendiri, intuisi, akal sehat. Ilmu
pemerintahan modern selalu melandaskan diri kepada fakta-fakta.
3
Lihat Richard Huggins (1997), John Turner (1997), Afan Gaffar (2008),
‘Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pengembangan Program Studi Ilmu
Pemerintahan di Indonesia”, dalam Labolo, (ed). Beberapa Pandangan
Dasar tentang Ilmu Pemerintahan, Bayumedia Publishing. Menurut Gaffar
(2008), tidak seperti halnya ilmu sosial lainnya, ilmu pemerintahan di
Indonesia boleh dikatakan mengalami krisis identitas. Secara jujur harus
diakui bahwa pada umumnya kita yang berkecimpung dalam mengembangkan
disiplin ilmu pemerintahan seringkali berhadapan dengan suatu pertanyaan
yang sering mengganggu, yaitu “apakah yang membedakan ilmu pemerintahan
dengan ilmu politik?” atau “dimanakah letak perbedaan antara ilmu pe-
merintahan dengan ilmu administrasi negara?”…Oleh karena itu, sudah
waktunya kita memberikan jawaban yang tepat atas pertanyaan tersebut.
4
Lihat Afan Gaffar 2008, Ibid. (306-308); Pratikno (2010); Purwo Santoso
(2010): Utang Swaryo. Sejarah ilmu pemerintahan pertama kali dikembangkan
di Universitas Gadjah Mada. Awalnya berkembang suatu posisi yang sangat
dipengaruhi oleh mazhab continental yang menyatakan bahwa pemerintahan
itu merupakan: 1) kegiatan yang menyangkut politik pengembilan keputusan
dalam negara (the politics of policy making), dan 2) pelaksanaan dari
kebijakasanaan itu sendiri (policy execution). Dari pandangan itu jelas sekali
terlihat bahwa ilmu pemerintahan itu identik dengan ilmu politik.

22 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
ngetahuan dengan basis keilmuan ilmu politik.5
Guna mendukung tesa di atas kita mulai memanfaatkan
justifikasi Robert M. McIver dalam karyanya “The Web of
Government”. Menurut Mc. Iver (1953) bahwa apabila kita
bicara tentang ilmu pemerintahan bukannya kita bermaksud
meragukan kelayakan ilmu politik sebagaimana yang di-
kemukakan sebagian pakar. Bahkan Bayu Suryaningrat (1985)
berpendapat bahwa ilmu pemerintahan sebagai disiplin tertua6
dibandingkan disiplin ilmu lainnya.
Secara faktual, harus diakui bahwa dalam ilmu pemerinta-
han terdapat sekumpulan pengetahuan sistimatis yang penting
tentang pelbagai tipe dan watak pemerintahan, tentang hubungan-
hubungan pemerintahan yang diperintah dalam pelbagai situasi
sejarah, tentang pemerintah menjalankan fungsinya. Kumpulan
pengetahuan yang demikian itu kiranya sesuai untuk disebut
Ilmu Pemerintahan.7 Dalam kondisi demikan, bukan berarti
penulis abai terhadap adanya perdebatan yang mempertanyakan
ilmu pemerintahan sebagai ilmu atau sebagai kajian. Diskursus
ini terus berlangsung hingga dewasa ini dan harus terus didorong
5
Monografh Politics & Government, Vol.4,No.I 2010 (1-98) Ilmu Pemerintahan
juga menghadapi sejumlah tantangan; Fred N. Kerlinger, 1990. Asas-Asas
Penelitian Behavioral, Gadjah Mada University Press. Kerlinger membedakan
secara tajan antara ilmu dan “common sense” , yaitu pada “sistimatik” dan
“terkendali.” Beda pertama, penggunaan pola konseptual dan struktur teo-
ritis nyata-nyata lain. Kedua, ilmuwan secara sistimatis dan empiris menguji
teori-teori dan hipotesis-hipotesisnya. Ketiga, pengertaian tentang kendali
dan control.keempat,antara ilmu dan common sense mungkin tidak begitu
tajam.
6
Lihat Bayu Suryaningrat, dalam Inu Kencana Syafiie, 2013. Ilmu Pemerintahan,
Jakarta: Mandar Maju. Menurut Bayu Suryaningrat, ilmu yang tertua adalah
ilmu pemerintahan karena sudah dipelajari sejak sebelum Masehi oleh para
filosof, yaitu Plato dan Aristoteles. Walaupun sering disebut sebut bahwa
ilmu tertua adalah filsafat,tetapi pada prinsipnya yang dibicarakan pertama
adalah filsafat pemerintahan. Hanya kemudian pemerintahan tersebut ber-
kembang menjadi suatu seni,kemudian menjelang abad ke XX menjadi ilmun
pengetahuan terapan, sebab dipergunakannya metode ilmiah dalam mem-
pelajari gejala pemerintahan. Pada dewasa ini pemerintahan berusaha keras
untuk menjadi disiplin ilmu pengetahuan murni yang berdiri sendiri.
7
Robert M. McIver, The Web of Government, The MacMillan Company, hal.7

ILMU PEMERINTAHAN 23
Disiplin dan Metodologi
demi kemajuan ilmu. Meskipun dalam perdebatan itu, penulis
tetap berargumen bahwa ilmu pemerintahan adalah ilmu penge-
tahuan dan basis keilmuannya adalah ilmu politik.8
Justifikasinya dapat penulis kemukakan adalah bahwa kedua
ilmu ini memiliki kaitan sejarah yang sangat erat. Selaras de-
ngan pandangan Afan Gaffar (2008)9; Pratikno (2003) bahwa
hubungan erat kedua ilmu ini dapat disimak dari berbagai buku
“legendaris” yang terbit di Inggris misalnya, buku R.M. Punnett
“British Government and Politics”10 dan buku Rod Hugue,
Martin Harrop & Shaun Breslin “Comparative Government
and Politics”.11 Menurut Partikno (2003), berbagai literatur
di atas menggunakan istilah government dan politics secara
bersamaan dengan menambah kata “and”. Artinya, apabila kedua
istilah ini mempunyai arti yang sama tidak mungkin keduanya
dirangkai dengan kata sambung “and’. Frase ini menunjukkan
adanya perbedaan pengertian “Government” and “Politics”.
Namun tetap berkaitan erat, “Ilmu politik rahim tempat lahirnya
ilmu pemerintahan”. Government merujuk struktur peme-
rintahan, mencakup legislatif, eksekutif, yudikatif, dan birokrasi
dan militer. Sementara, Politics membahas setting pemerin-

8
Lihat Pratikno, Melacak Ruang Kajian Pemerintahan dalam Ilmu Politik:
Sebuah Riset Awal, dalam Jurnal Kajian Ilmu Pemerintahan Kritis
Transformatif, Vol. 1. No.1, hal.15-21.
9
Lihat Afan Gaffar (2008), ”Beberapa Pokok Pemikiran Tentang Pengembangan
Program Studi Ilmu Pemerintahan di Indonesia”, dalam Labolo (dkk), Beberapa
Pandangan dasar Tentang Ilmu Pemerintahan, Malang: Bayu Media
Publishing, hal. 298-311. Dalam tulisan ini, Afan menyampaikan bahwa dalam
sejarahnya ilmu pemerintahan pertama kali yang dikembangkan di Universitas
Gadjah Mada berkembang suau posisi yang sangat di-pengaruhi oleh mazhab
continental yang menyatakan bahwa: (1) kegiatan politik pengambilan
keputusan dalam negara (The Politics of Policy Making); (2) pelaksanaan
dari kebijakan itu sendiri (Policy Execution). Dari pandangan ini jelas bahwa
ilmu pemerintahan itu identik dengan ilmu politik.
10
R.M. Punnet, “British Government and Politics”, dalam Pratikno, 2003. Ibid,
hal. 17.
11
Rod Hugue, Martin Harrop & Shaun Breslin “Comparative Government
and Politics”, dalam Pratikno, 2003, Ibid, hal. 17.

24 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
tahan yang mencakup kelompok kepentingan, partai politik,
partisipasi politik dan relasi masyarakat dan negara.12
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa iImu pemerin-
tahan dan ilmu politik berbeda. Namun sebagai ilmu pengeta-
huan, ilmu pemerintahan baru dapat dipahami dengan baik,
apabila memahami dengan baik teori, konsep, dan metode ilmu
politik.

KONTEKS SEJARAH
Ilmu pemerintahan mulai tumbuh tahun-tahun pertama
abad XX di Eropa.13 Sejak Prof. Dr. G.A Van Poelje tahun 1922
meletakkan dasar-dasar keilmuan ilmu pemerintahan melalui
bukunya Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde di
Belanda.14 Di Indonesia, awal abad 19 Van Deventer men-
dirikan sekolah Hoofden School, kemudian menjadi OSVIA
(Middelbarre Opleiding Shool Voor Inlandsh Ambtenaren).
Penerimaan diperoleh dari alumnus HIS (Holland Inlandsche
School), kemudian alumnus HIS dapat melanjutkan ke tingkat
MULO, dan lulusan MULO dapat melanjutkan MOSVIA se-
lama 3 tahun.15 Namun di sekolah-sekolah ini ilmu peme-
rintahan belum diajarkan secara terstruktur.

12
Lihat Pratikno, 2003. Ibid, hal. 17. dalam konteks yang sama, Riswanda Imawan
(2003) dalam Jurnal Kajian Pemerintahan,Vo.1.No.1, hal.49. menggagas
mazhab UGM atau mazhab Yogya dengan pemikiran; (1) redefinsi ilmu
pemerintahan;(2)mengurangi mata kuliah yang tidak perlu; (3) ilmu memiliki
tiga aspek; ilmu politik, administrasi, dan hukum.
13
Soewargono,Op.cit. hal. 10-11. Suatu pernyataan bahwa ilmu pemerintahan
yang berciri modern pertama sekali lahir di Rusia dan Australia pada abad
ke-17 dengan nama Kameralwissenschften… diajarkan di universitas-
universitas pada masa raja Frederik Willem (1713-1740).
14
Lihat Kertodipuro,Penerapan Ilmu Pemerintahan dan Sistem Pendiidkannya
Pada Institut Ilmu Pemerintahan dan Akedemi Pemerintahan Dalam Negeri
dalam Labolo, 2008. Beberapa Pandangan dasar Tentang Ilmu Pemerintahan,
Bayu Media Publishing, Malang, hal. 378.
15
Lihat Inu Kencana, Op.cit, 2013, hal. 6-7

ILMU PEMERINTAHAN 25
Disiplin dan Metodologi
Setelah Indonesia merdeka, Menteri Dalam Negeri,
Menteri Luar Negeri, dan Menteri Penerangan melakukan
kerjasama untuk mencetak tenaga-tenaga terampil yang akan
mengisi jabatan-jabatan pemerintahan dan mengatasi soal ke-
masyarakatan di masa depan. Sesuai kebutuhan tersebut di-
selenggarakanlah pengajaran Ilmu Pemerintahan di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada
(UGM), sebagai perguruan tinggi tertua di Indonesia.16 Se-
lanjutnya dalam tahun 1955, didirikan Jurusan Ilmu Peme-
rintahan pada Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik
(HESP).17 Dalam tahun 1956, didirikan Akademi Pemerintahan
Dalam Negeri (APDN) di Malang dengan tujuan menghasilkan
kader-kader pemerintahan Departemen Dalam Negeri.
Dalam perkembangannya, tahun 1960, Jurusan Ilmu Pe-
merintahan di Fisipol UGM ditiadakan dan seiring berlakunya
UU No.18 tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah, Jurusan
Ilmu Pemerintahan dibuka kembali di Fisipol UGM. 18 Se-
lanjutnya pada tahun 1992, pemerintah mengeluarkan Surat
Keputusan Presiden RI Nomor 42 tahun 1992 tentang pen-
dirian Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN)
dan dilanjutkan pendirian Institut Pemerintahan Dalam Negeri
(IIP) berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 119
Tahun 1967 di Jakarta.
Dewasa ini ilmu pemerintahan terus berkembang pesat.

16
Lihat Syafri Sairin, ”Mereka yang ingin menjadi Ilmuwan Sosial:Kasus
Universitas Gadjah Mada”, dalam Taufik Abdullah (ed), Ilmu Sosial dan
Tantangan Zaman, Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal.29-41. Purwanto dalam
Sairin mengungkapkan ketika Universitas Gadjah Mada didirikan Pemerintah
Indonesia pada akhir 1949, antusiasme masyarakat terhadap kehadiran
universitas ini cukup tinggi, maka selain Fakultas Kedokteran didirikan juga
Program Studi Ilmu-Ilmu Sosial yang berada di bawah payung Fakultas
Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik (HESP).
17
Lihat Inu Kencana, 2013. Ibid, hal.8
18
Lihat Afan Gaffar (1995); AAGN Ari Dwipayana ((2003); Inu Kencana, 2013,
Ibid, hal. 8

26 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
Di tengah-tengah diskursus terkait eksistensi ilmu-ilmu
sosial,19 khususnya ilmu pemerintahan dalam menghadapi
realitas sosial yang terdisrubsi sedemikian rupa konteks era
revolusi industri 4.0 dan society 5.0.

ONTOLOGI
Secara makna, kata “ilmu” di depan konsep ilmu peme-
rintahan memiliki arti dan isyarat adanya metodologi yang
menunjukkan subject matter, objek formal, dan focus of
interest. Sebab meminjam narasi logika Alan C. Isaac (1980)20,
Lawrence Newman (2013)21, K. Denzin, Yvonna S. Lincoln
(2009)22, yaitu apabila syarat-syarat, testability/veriabelity;
sistimatic; dan generlization ilmu pengetahuan dapat diterap-
kan kepada ilmu pemerintahan, maka dapat dikatakan bahwa

19
Lihat Syafri Sairin, 2006, Ibid. hal. 31-42. Ilmu sosial adalah ilmu yang
mempelajari perilaku dan aktivitas manusia dalam kehidupan bersama.
Perdebatan terkait tugas, fungsi dan manfaat ilmu sosial sudah berlangsung
lama, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara maju seperti
Amerika Serikat. Stuart Case tahun 1949 melakukan studi di Amerika Serikat
tentang pandangan masyarakat Amerika Serikat tentnag disiplin yang berada
di bawah payung ilmu sosial. Hasil studi Case (1949) yang dapat dianggap
masuk payung ilmu sosial adalah: (1) Cultural Antrpology; (2) Social
Psycology; (3)Sociology; (4)Economics; dan (5)Political Sience. Selaras
dengan kasus di atas, Koentjoraningrat (1969) dalam bukunya Arti
Antropologi Untuk Indonesia Masa Kini, memberikan pemahaman kepada
masyarakat Indonesia tentang tugas, fungsi dan manfaat ilmu-ilmu sosial
khusunya antropologi. Manfaat ilmu tidak hanya berfungsi praktis (alat
mencari pekerjaan bagi lulusannya) tetapi juga berfungsi akademik jangka
panjang.
20
Alan Issac dalam bukunya, 1981, Op.cit, hal.74-76.
21
Lihat W. Laurance Newman, 2013. Metode Penilitian Sosial: Pendekatan
Kualitatif dan Kuantitatif, Pearson, Jakarta, hal. 103-125. Newman
menyebutkan banyak orang bertanya apakah ilmu sosial benar-benar ilmu
pengetahuan. Mereka hanya berpikir mengenai ilmu alam (misalnya, fisika,
kimia dan biologi). Makna sains secara signifikan membentuk cara kita
melakukan ilmu sosial. Kita dapat mendefinisikan sains dalam dua cara: (1)
Hal-hal yang sebenarnya dilakukan para ilmuan dan; (2) Hal-hal yang
dianalisis filsuf sebagai makna inti dari sains abad ke-21.
22
Lihat Norman K. Denzin,Y. Vonna S. Lincoln, 2009. Handbook of Qualitative
Research, Pustaka Pelajar, Jakarta, hal. 394-395

ILMU PEMERINTAHAN 27
Disiplin dan Metodologi
ilmu pemerintahan adalah ilmu pengetahuan.23 Tentu dengan
status keilmiahan ilmu pemerintahan sebagai ilmu sosial.
Selain itu, dewasa ini ilmu pemerintahan sebagai ilmu
pengetahuan adalah institusi sosial yang memiliki metode dan
cara memperoleh pengetahuan, arah/jalan dan cara inilah disebut
metodologi. Namun sayang, sudah ada arah bersama, konsensus
tentang pengembangan ilmu pemerintahan. Tetapi, belum di-
laksanakan secara sungguh-sungguh.
Secara faktual, misalnya fenomena pergeseran ontologis
telah terjadi, tetapi berlangsung tanpa perdebatan filosofis.
Kuat dugaan karena basis epistemologis. Hal ini terbukti dari
bergesernya fokus kajian dari pemerintah (government) ke
interaksi antara negara dan warga negaranya (governance),
kajian ilmu pemerintahan yang tak banyak berubah baik dari
sisi teori, pendekatan dan metode “itu ke itu” saja. Sementara,
ilmu pemerintahan sudah memiliki metodologi ilmu sendiri.
Dapat ditunjukkan dengan diakuinya mata kuliah Metodologi
Ilmu Pemerintahan (MIP) dalam kurikulum nasional oleh
Kesatuan Program Studi Ilmu Pemerintahan Indonesia
(KAPSIPI). Pengakuan ini peluang sekaligus tantangan besar
bagi komunitas ilmu pemerintahan di Indonesia. Suatu bukti
bahwa sudah ada konsensus komunitas KAPSIPI dalam men-
jawab berbagai tantangan;24 keilmuan dalam bermetodologi.25
Sekaligus membangun arah pengembangan ilmu Pemerintahan

23
Lihat lebih jauh Vernon Van Dyke, 1965. Polical Science, Tiga syarat suatu
ilmu dikatan ilmu pengetahuan; testability/veriabelity; sistimatic, dan
generalisation.
24
Lihat Taufik Abdullah (ed), 2006. Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman, Raja
Press, Jakarta, hal. 5-6. Tantangan utama ilmu pengetahuan termasuk
tentunya ilmu pemerintahan ialah mendapatkan jawaban yang benar dan
tepat untuk pertanyaan realitas alam, masyarakat dan manusia (masalah
pemerintahan).
25
Tantangan keilmuwan Ilmu Pemerintahan sudah disuarakan oleh Prof. Dr.
Praktikno, M.Soc.Sci dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar, “Rekonsolidasi
Reformasi Indonesia: Kontribusi Studi Politik dan Pemerintahan dalam
Menopang Demokrasi dan Pemerintahan Efektif";

28 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
ke depan. Tujuannya adalah untuk mengungkap kebenaran ilmiah
dalam ilmu pemrintahan. Kebenaran dalam bermetodologi.
Secara etimologi, metodologi berasal dari kata metha,
hodos, dan logos. Secara umum artinya adalah jalan yang di-
tempuh mencapai kebenaran. Selaras dengan pengertian diatas,
Erawan (2004)26 menyampaikan bahwa metodologi dapat pula
diartikan adalah sebagai strategi, teori, atau asumsi dasar untuk
memilih suatu metode. Sebagai suatu strategi keilmuan, meto-
dologi ilmu pemerintahan sangat diwarnai cara bermetodologi
dalam ilmu politik. Sejalan dengan hal itu, Amal (1995)27 ber-
pendapat bahwa kata ilmu dalam ilmu politik sebagai basis

Kualitatif
Penelitian
Antalogi
Kuantitatif

Bahan
Filsafat Episte- Baku
mologi Metodologi Ilmu
Ilmu
Konstruksi

Axiologi Didaktik

Pengajaran

Metodik
Nilai
Sumber: Ndraha, 2010
Gambar 1.1 Filsafat Ilmu, Metodologi Ilmu

26
Bahan kuliah Metode Penelitian Sosial Program Doktoral Ilmu Politik,
UGM, Yokjakarta, 2005.
27
W.Lawrence Neuman, 2013. Metodologi Pemelitian SosialLPendekatan
Kualitatif dan Kuantitatif, Indeks, Jakarta, hal. 104-107.

ILMU PEMERINTAHAN 29
Disiplin dan Metodologi
keilmuan ilmu pemerintahan menunjuk pada metode-metode
yang dipergunakan dalam ilmu politik. Oleh sebab itu pula,
metodologi ilmu mempunyai pengaruh yang penting pada ruang
lingkup ilmu politik dan ilmu pemerintahan. Karena meto-
dologi ilmu menunjukkan sampai sejauhmana, dan apa yang
dapat dan tidak dapat dilakukan oleh ilmu pemerintahan.
Gambar 1.1 menjelaskan hubungan antara tiga liputan
filsafat ilmu: Metodologi Penelitian (MP), Metodologi Ilmu
(MI), dan Metodologi Pengajaran (MP). MP mempelajari bagai-
mana menemukan (mencari, menggali, memproduksi) bahan
mentah, bahan baku, dan bahan bangunan pengetahuan dari hasil
pengamatan terhadap fakta melalui pendekatan kualitatif dan
kuantitatif. MI mempelajari bagaimana menyusun dan mere-
kronstruksi bahan bangunan pengetahuan menjadi bangunan
pengetahuan (body-of-knowledge, BOK) yang bersangkutan
ilmu (science).
Pemahaman terhadap metodologi ilmu pemerintahan ini
akan berhubungan dengan pengetahuan akan klasifikasi posisi
tradisi pemikiran/mashab/gelombang pemikiran yang ada dalam
perkembangan ilmu pemerintahan. Masing-masing gelombang
pemikiran ilmu politik-pemerintahan ini memiliki pengikut-
pengikutnya. Masing-masing pengikut memiliki paradigma
dalam menjelaskan dan membuat prediksi fenomena peme-
rintahan. Para ilmuwan ini mempunyai perspektif-perspektif
ilmu yang menjadikan ilmu pemerintahan semakin dinamis
menuju ilmu pemerintahan sebagai ilmu pengetahuan, tentu
saja upaya ilmiah ini diharapkan pada akhirnya akan berdampak
kepada temuan-temuan teorisasi pemerintahan dan metode
keilmuan yang sesuai dengan perkembangan peradaban mas-
yarakat dunia.
Dalam mengembangkan ilmu ada kaidah standar yang harus
dipatuhi. Bahwa pengembangan ilmu apapun – tidak terkecuali
ilmu pemerintahan-secara simultan melibatkan tiga sisi. Per-

30 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
tama sisi antologis adalah substansi bahasan suatu bidang ilmu.28
Kedua sisi epistemologis29 yakni sampai ilmuwan pada kebe-
naran kajiannya. Ketiga, sisi aksiologis,30 yakni kegunaan ilmu
yang bersangkutan dikembangkan. Ketiganya harus dipahami
sebagai suatu kebulatan kajian. Perubahan dalam salah satu
sisinya, akan mengubah bentuk segitiga yang terbentuk dari
tiga sisi sebagaimana divisualisasikan dalam Gambar 1.2.

EPISTEMOLOGI
Secara epistemologi, sebuah teori ilmiah tentu saja di-
dukung oleh sejumlah fakta dan data.31 Secara empirik, dari

28
Purwo Santoso, dalam Monograh (etl), Op.Cit, hal. 24-25. Secara ontologis
perkembangan ilmu ditandai oleh berkembangnya cakupan dan ketuntasan
dalam menelaah suatu fenomena. Dalam konteks ini, Ilmu Pemerintahan
dinyatakan tidak berkembang manakala hal yang dikaji dari waktu ke waktu
tetaplah sama dan penjelasan yang ditawarkan juga.
29
Santoso, Ibid. hal. 24. Persoalan epistemologis adalah persoalan sampainya
seorang ilmuwan pada kebenaran suatu proposisi ilmiah.
30
Santoso, Ibid. hal. 24. Persoalan aksiologis adalah persoalan untuk apa suatu ilmu
dikembangkan.Kontrversi aksiologis adalah kelanjutan kotroversi epistemologis.
Ada mazhab yang bersekeras bahwa ilmu dikembangkan untukmenghasilkan
penjelasan, kalau perlu dalam bentu grand theory. Dengan teori ilmuwan memiliki
kemampuan memprediksi apa yang terjadi, dan tidak boleh melibatkan diri dalam
realita yang diteliti. Proposisi aksiologis ini adalah konsekuensi dari keberpihakan
pada mashab keilmuwan posi-tivistic. Namun bagi mereka mengadopsi mazhab
lain, memiliki pemahaman untuk apa ilmu dikembangkan. Bagi mereka, pengembangan
ilmu bukan hanya untuk emansipasi melainkan emansipasi itu sendiri. Kegiatan
keilmuwan adalah suatu praksis politik, dan teori-teori ilmiah yang dihasilkan
didedikasikan untuk ambil bagian dalam proses pemerintahan yang sedang dan
akan berlangsung. Jelasnya, bagi mazhab ini berkembangnya ilmu justru ditandai
oleh intensitas keterlibatan dan kedalaman pengaruhnya dalam proses pemerintahan.
31
Lihat Wirawan, 2013. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma; Fakta Sosial,
Definisi Sosial, & Perilaku Sosial, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 1-3.
Dalam paradigm fakta sosial ini melihat masyaratakat manusia dilihat dari sudut
pandang makro strukturnya. Menurut paradigma ini, kehidupan masyarakat
dilihat sebagai realitas yang berdiri sendiri, lepas dari persoalan apakah individu-
individu anggota masyarakat itu suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju.
Masyarakat jika dilihat dari struktur sosialnya tentulah memiliki separangkat
aturan yang secara analitis merupakan fakta yang terpisah dari individu warga
masyarakat akan tetapi dapat mempengaruhi perilaku kesehariannya. Teori-
teori besar dalam paradigma ini; (a)teori structural fungsional; (b) teori struktur
konflik; (c) teori system, dan (d) teori-teori sosiologi makro lainnya.

ILMU PEMERINTAHAN 31
Disiplin dan Metodologi
data dan fakta inilah menurut Vernon Van Dyke32 ilmu peme-
rintahan terus menerus diuji “testability” dalam mendapatkan
kebenaran ilmu. Dalam rangka mempertahankan posisi
keterujian tersebut, teori dan data harus dikaitkan dalam bingkai
analisis. Secara metodologis, untuk mensimplifikasikan teori
dan fakta atau fenomena secara sistimatik diperlukan metode
penelitian. Menurut W. Lawrence Neuman, inilah yang dilaku-
kan oleh para peneliti sosial yaitu, mengkombinasikan antara
teori atau ide dengan fakta secara sistimatik dan menggunakan-
nya dalam aktivitas penelitian.

Aspek Aspek
Antologis Ilmu Aksiologis
Pemerintahan

Aspek
Epistemologi
Sumber: Santoso, et al, 2010
Gambar 1.2 Keterkaitan Tiga Kaidah Pengembangan Ilmu

Dalam Gambar 1.2, aspek epistimologi digambarkan


sebagai alas pada sebuah segitiga. Visualisasi ini dimaksudkan
untuk menegaskan bahwa penguasaan aspek epistemologi
adalah hal yang tidak bisa ditawar, terlepas dari kemana pun
arah pengembangan ilmu pemerintahan. Mengingat pengem-
bangan dari sisi epistemologis adalah hal yang tidak bisa ditawar,
kita dihadapkan pada pilihan dua entry point: memulai dari
mana pengembangan dilakukan? 33 Apakah kita mengem-

32
Vernon Van Dyke,, 1965. Op.Cit, Bab.7;
33
Lihat Santosa (etl), Ibid, hal. 25.

32 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
bangkan ilmu dari dorongan ontologis sehingga semangatnya
adalah menjabar apapun pertanyaan yang menghantui para
ilmuwan, ataukah kita mengembangkan ilmu melalui dorongan
aksiologis sehingga kita mengembangkan ilmu karena tujuan
atau kepentingan yang ditetapkan sejak awal.
Dengan demikian, dalam mempelajari ilmu pemerintahan
pemahaman akan keterkaitan antara metodology, gelombang
pemikiran, tradisi pemikiran/mashab, teori, dan metode adalah
sesuatu yang sangat penting, karena disinilah sesungguhnya
logika gambaran “maju mundurnya” ilmu pemerintahan dimasa
lalu dan akan datang dan secara terus menerus direvisi dalam
rangka mendorong ilmu pemerintahan sebagai ilmu pengetahuan,34
melalui perkembangan dan pertumbuhan ilmu politik terutama
di Indonesia. Mengapa ilmu politik? Karena secara taksonomi
selaras dengan mashab “continental” ilmu pemerintahan adalah
sub-field ilmu politik. Perkembangan ilmu politik sebagai
induknya pengaruhnya dengan perkembangan dan pertumbuhan
ilmu pemerintahan.35
Dilihat dari sisi epistemologi, kedudukan ilmu pemerin-
tahan diantara ilmu-ilmu sosial di Indonesia diidentifikasi Afan
Gaffar dari Universitas Gadjah mada (UGM) dalam suatu
pembahasan, “Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pengembangan
Program Studi pemerintahan di Indonesia”. Gaffar (2008),36

34
Pendangan pentingnya keterkaitan metodologi ilmu politik ini diperkuat
tulisan Ramlan Surbakti, 1996. Perkembangan Mutakhir Ilmu Politik, dalam
Teori-Teori Politik Dewasa Ini, Miriam Budiardjo dan Tri Nuke Pudjiastuti
(ed) Raja Gravindo, Jakarta, hal. 1-8.
35
Sebagai bukti di Indonesia; misalnya gelar keilmuan di tingkat sarjana (S1)
Ilmu pemerintahan SIP (Sarjana Ilmu (P) Politik bukan Pemerintahan),
Metodologi Ilmu Politik diajarkan ditimngkat sarjana (s1) Ilmu Pemerintahan.
Sejak tahun 2015, SIP kata (P) berarti Pemerintahan atau Metodologi Ilmu
Pemerintahan.
36
Afan Gaffar (2008). “Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pengembangan
Program Studi pemerintahan di Indonesia, dalam Labolo (etl) Beberapa
Pandangan Dasar tentang Ilmu Pemerintahan, Bayumedia, Jakarta, hal.
301-302.

ILMU PEMERINTAHAN 33
Disiplin dan Metodologi
mengidentifikasi posisi ilmu mulai memahami definisi ilmu
pemerintahan.
Ilmu
Sosial

Ekonomi Ilmu Hukum Ilmu Politik

Ilmu Hub. Ilmu


Administrasi Pemerintahan
Negara Internasional

Sumber: Gaffar, 2008


Gambar 1.3 Taksonomik Ilmu Sosial

Ilmu pemerintahan adalah sebagai ilmu yang mempelajari


proses penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara.
Gaffar,menggarisbawahi “pemerintahan suatu negara” sebagai
objek utama dari ilmu pemerintahan. Sehingga jelas sekali apa
menjadi sasaran utama dari disiplin ini dan berbeda sekali
dengan sasaran utama ilmu politik. Oleh karena itu, ilmu peme-
rintahan merupakan satu “field” atau bagian dari ilmu politik
yang mempunyai kedukan yang sama dengan bagian-bagian lain
dari ilmu politik, misalnya administrasi negara,ilmu hubungan
internasional, ilmu perbandingan politik,kebijakan publik atau
lainnya (Gambar1.3).
Selain itu, dinamika diskursus taxanomis ilmu pemerintahan
itu berkembang pesat di Indonesia. Hal ini nampak dari
pandangan kedudukan ilmu pemerintahan versi Unievrsitas
Indonesia (UI). Miriam Budiardjo dan Maswadi Rauf menulis
“Perkembangan Ilmu Politik di Indonesia: Dimensi Pendidikan

34 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
dan Pengajaran”37 mengidentifikasi posisi ilmu pemrintahan
di Indonesia adalah sebagai berikut:
Gambar 1.4 Taksanomi Ilmu Pemerintahan versi UI
menunjukkan bahwa ilmu pemerintahan merupakan satu “field”
ilmu politik mempunyai kedukan yang sama dengan bagian-
bagian lain, misalnya Politik Indonesia, Hubungan Indonesia,
dan Ilmu Pemerintahan.

Ilmu
Politik

Politik Hubungan Ilmu


Indonesia Indonesia Pemerintah
an
Sumber: Budiardjo & Maswadi, dalam Ndraha,1997:17-18
Gambar 1.4 Posisi Taksonomik Ilmu Pemerintahan
(Versi Universitas Indonesia)

Secara metodologis dalam sejarah perkembangan ilmu


politik sebagai induk ilmu pemerintahan di Indonesia pertama
dikenal, metodologi “classic”, atau “tradisional” yang digunakan
para ilmuan politik dan pemerintahan dalam rangka men-
jelaskan dan memahami realitas politik. Dikatakan classic38
karena hingga sampai saat ini assumsi-assumsi dasar metodo-
logi ini masih tetap digunakan oleh para ilmuwan dan pem-
belajar ilmu pemerintahan.
Kata classic bukan berarti ditinggalkan atau bersifat kuno.
Menurut S.P. Varma (1999) sesuatu klasik didefinisikan sebagai
37
Miriam Budiardjo dan Maswadi Rauf, “Perkembangan Ilmu Politik di
Indonesia: Dimensi Pendidikan dan Pengajaran” dalam Alfian dan Hidayat
Mukmin, (eds), hal. 17.
38
Ramlan Surbakti,1996. Ibid, hal. 8.

ILMU PEMERINTAHAN 35
Disiplin dan Metodologi
suatu karya dengan mutu tersendiri, suatu karya pada tingkatan
utama dan diakui sempurna (Oxford English Dictionary).
Karya-karya seperti Republic dan Laws (Plato), Ethics dan
Politics (Aristoteles), City of God (Augustine), Treatise on
Law in the Leviathan (Thomass Hobees), Second Treatise
(John Locke), Social Contract (J.J. Rousseau), serta German
Ideology, Philosophy of Right (Hegel) dan Philosophic-
Economic Manuscripts (Karl Marx).
Kemudian Robert E. Goodin dan Hans-Dieter Klingemann
(1999) mencatat sejumlah artikel ilmiah yang semula menjadi
kontributor tetap journal classic ilmu politik dan kemudian
ditulis dalam buku (klasik) yang banyak berpengaruh terhadap
ilmuan dan perkembangan ilmu politik, seperti; Almond dan
Verba’s Civic Culture (1963), Campbell, Converse, Miller dan
Stokes American Voter (1960), Dhal’s Who Governs? (1961),
Dahrendrofs Class and Class Conflik in Industrial Society
(1959), Deutsch’s Nervers of Government (1963), Downs
Economic Theory of Democracy (1957), Eastons System
Analysis of Political Life (1965), Huntingtons Political Order
in Changing Societis (1968), Keys Responsible Elektorate
(1966), Lane’s Political Ideology (1962), Lindblom Intellegence
of Democracy (1965), Lipset’s Political Man (1960), Moore’s
Social Origins of Dictatorship and Democracy (1966),
Neustadt’s Presidential Power (1960), Olson’s Logic of Collective
Action (1965).39
Berbagai literatur ilmu politik tersebut, secara umum
menjelaskan bahwa metoodologi classic atau tradisional dapat
dibagi kedalam tiga pengelompokkan sub-bagian-bagian, yaitu
klasik, sejarah, dan kelembagaan.
Adapun gambaran keterkaitan antara bagian-bagian meto-
dologi klasik tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, meto-
39
Robert E.Goodin and Hans-Diter Klingemann (edt) dalam New Handbook
of Political Science, hal. 15

36 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
dologi klasik memiliki karakteristik utama memandang politik
dari segi “yang seharusnya” dan”apa yang sebaiknya.” Politik,
selanjutnya memikirkan “dengan cara apa sebaiknya” tujuan-
tujuan itu dicapai demi kebaikan bersama manusia yang tinggal
dalam polis. Negara dan masyarakat macam apa yang seharusnya
diwujudkan guna mencapai kebaikan bersama? Bagaimana
sebaiknya kekuasaan itu dilaksanakan agar tujuan Negara dan
masyarakat dapat dicapai? Pertanyaan-pertanyaan besar inilah
yang hendak dijawab. Yang diperhatikan ialah idea-idea politik
seperti kebaikan bersama, kepentingan umum, kebebasan, persamaan,
dan kebajikan.
Metode yang dipakai cenderung bersifat spekulatif,
karenanya kajian politik melalui metodologi klasik ini sangat
menonjolkan dimensi etika dan moral. Dengan perkataan lain,
Ramlan Surbakti menegaskan bahwa metodologi klasik ini
lebih menekankan aspek moral dan etik daripada aspek politik.
Salah satu gejala politik yang selalu diamati melalui strategi
klasik ini adalah hubungan antara konstitusi dengan tingkat
perkembangan masyarakat. Oleh sebab itu, dalam konteks ini
menurut Aristoteles dalam bukunya The Politics (1972), fungsi
ilmu politik adalah untuk menemukan jenis konstitusi mana
yang tepat untuk masyarakat baik.
Selaras dengan pembahasan sebelumnya, Surbakti (1996)40
mempertajam karakteristik ilmu politik klasik (dalam perkem-
bangannya banyak pengaruhnya dalam analisis ilmu pemerin-
tahan) adalah sebagai berikut: Pertama, kajian yang bersifat
normatif-preskriptif. Kajian tentang politik ditentukan oleh
prinsip-prinsip preferensi tentang apa yang dipandang tertinggi
dalam politik, yaitu apa yang terbaik bagi masyarakat (the best
regime,good society) dan cara terbaik untuk mencapai tujuan.
Kedua, tidak seperti ilmu politik kotemporer, klasik me-
mandang fakta dan nilai sebagai entitas yang berkaitan erat.
40
Ramlan Surbakti, 1996. Op.Cit. hal. 5-7

ILMU PEMERINTAHAN 37
Disiplin dan Metodologi
Keduanya tidak dipisahkan secara radikal karena fakta di-
tentukan oleh nilai. Semua pengetahuan empiris, mengenai
politik dan bukan politik,berangkat dari premis nilai yang tak
dinyatakan secara eksplisit (unspoken value premises). Setiap
teori politik yang didasarkan pada asumsi mengenai hakekat
manusia, masyarakat dan negara. Karena itu, seseorang tidak
mungkin mengkaji peranan hakim tanpa mengetahui asumsi
mengenai hukum dan pemisahan kekuasaan. Konsep perilaku
memilih berangkat dari individualisme (antara lain, one man
one vote), partisipasi politik berangkat dari asumsi demokrasi
sebagai sistem politik terbaik. Menurut paradigma kelasik ini,
hanya apabila asumsi-asumsi ini dijadikan tema-tema analisis-
kritis dan koheren suatu pengetahuan yang “ilmiah” (filosofis)
dapat dihasilkan.
Ketiga, berbeda dengan ilmu politik kontemporer yang
memandang common sense sebagai tak ilmiah, ilmuwan klasik
justru memulai kajiannya dari pengetahuan akal sehat sampai
akhirnya mencapai pengetahuan yang “ilmiah”. Ilmu politik
kelasik menegaskan pentingnya membedakan hal-hal politik
dari hal-hal yang bukan politik, dan memandang hal yang politik
tidak dapat dikaji secara empiris melainkan secara dialektis.
Dan kajian secara dialektis harus dimulai dari pengetahuan akal-
sehat dan memperlakukannya secara serius. Kajian secara
dialektis berarti menggunakan penalaran secara penuh, dari
tingkatan sederhana sampai abstrak, karena penalaran itulah
yang menjadi ciri manusia, inti semua diskusi, pilihan dan
tindakan politik.
Secara epistemologi, gelombang pemikiran kelasik banyak
m e w a r n“state of the art”41 dan analisis ilmu pemerintahan
a i

41
Lihat Taliziduhu Ndraha, (1981); (1997); (2006); (2007); Anderiasta Tarigan,
2014. Memahami Pemerintahan: Sketsa Teoritis, Refleksi Empiris dan
Kontemplasi Kritis, IPDN Press, Bandung, hal. 9-12. Paradigma versi Taliziduhu
ada 6; Paradigma klasik dominan pada generasi satu, dua, ketiga dan empat;
dalam analisis ilmu pemerintahan. Praradigma versi “continental” semua

38 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
jika memakai versi paradigma ilmu pemerintahan versi Talizi-
duhu. Mashab kelasik dominan dalam generasi pertama, kedua
ketiga, dan keempat. Generasi pertama, yaitu paradigma ilmu
pemerintahan sebagai studi ilmu hukum dan indologie berwatak
normatif yang mengedepan pedekatan legalistik dan antropo-
logis (1920-1940). Pendekatan legalistik peninggalan kolonial
masih dirasakan. Generasi kedua, sosok ilmu pemerintahan
dipandang dari sisi paradigma ilmu politik, dimana objek utama
kajiannya adalah kekuasaan. Selanjutnya, pada generasi ketiga;
diperkenalkan nilai efisiensi dan efektifitas yang dibawa ilmu
administrasi negara. Selanjutnya, generasi keempat, diper-
kenalkannya tradisi rekayasa sosial (social reengineering)
sebagai paradigma utama dalam perumusan kebijakan
pemerintahan. Generasi kelima, metodologi ilmu pemerintahan
digunakan ilmu lain, dan Generasi keenam, ilmu pemerintahan
sudah mempunyai cabang ilmu sendiri misalnya sosiologi
pemerintahan. Generasi ketujuh, apabila ilmu pemerintahan ini
sudah mempunyai metodologi sendiri misalnya Metodologi
Ilmu Pemerintahan.42 Ketujuh tahapan perkembangan ilmu
pemerintahan di atas menghadapi soal besar sisi ontologis.
Apakah memulai dari pertanyaan yang menghantui para ilmuwan?
Atau apakah dorongan antologis selaras tujuan atau kepentingan
sejak awal?
Dalam rangka menjawab pertanyaan terdapat model usulan
untuk mengembangkan ilmu pemerintahan oleh Purwo Santoso
(dkk) didasarkan pada pertimbangan praktis: Pertama,
pengembangan ilmu, semata-mata demi kepentingan ilmu,
memerlukan sumberdaya yang besar dan kalaulah pada akhirnya
mendatangkan manfaat tidak bisa ditunggu dalam waktu singkat.
Keterbasatasan sumberdaya yang dimiliki Indonesia meng-
giring penyelenggaraan pemerintahan. Manakala manfaat pe-
(enam) generasi yang menggambarkan perkembangan ilmu pemerintahan
diwarnai oleh mazhab klasik.
42
Lihat Swaryo, 2017. Op.Cit, hal.26.

ILMU PEMERINTAHAN 39
Disiplin dan Metodologi
ngembangan ilmu tidak didefinisikan sejak awal, maka yang
sebetulnya bisa mengambil manfaat adalah mereka yang menjual
dan membeli pengetahuan.
Kedua, ketika diperhatikan secara seksama pengembangan
ilmu apapun,apalagi pengembangan ilmu pemerintahan, pada
dasarnya adalah suatu praktek politik. Betapa tidak, dengan ilmu
pihak yang tahu bisa mensiasati pihak lain demi kepentingannya
sendiri. Oleh karena itu, yang penting didefinisikan buka apa
yang dipelajari (ontologi) melainkan untuk apa, dan untuk siapa
ilmu dikembangkan. Pertanyaan untuk apa dan untuk siapa
adalah persoalan antologis. Penguatan ontologis tanpa kesa-
daran akan kedua pertanyaan ini kirannya akan membuat pihak
yang sudah kuat akan terus memperkuat dirinya,dan pada akhirnya
akan dalam kendalinnya. Keputusan komunitas keilmuwan
pemerintahan untuk mencurahkan energi pengembangan pada
sisi ontologis perlu disepakati bersama; tegasnya perlu menjadi
komitmen bagi pengembangan ilmu politik dan pemerintahan.
kalulah boleh dikatakan secara terus terang, perlu politisasi
ilmu pemerintahan adalah suatu keniscayaan.
Santoso (dkk)43 lebih jauh menjelaskan bahwa Politisasi
bisa dijelaskan dalam dua tataran: yakni nomenklatur dan
praksis. Pada tataran nomenklatur, Ilmu Pemerintahan perlu
memperlihatkan perbedaannya dengan ilmu Administrasi
Negara dan Ilmu Hubungan Internasional. Ilmu Administrasi
Negara dikembangkan dalam premis keteraturan tatanan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan, sedangkan ilmu pe-
merintahan dikembangkan dalam relasi kuasa dimanan tujuan
tujuan yang dikejar adalah tujuan pihak yang berkuasa. Ilmu
Hubungan Internasional membicarakan relasi kuasa antar
nation, baik pada tataran kelembagaan maupun pada tataran
individual. Sedangkan Ilmu Pemerintahan membahas relasi kusa

43
Lihat Purwo Santoso (etl), dalam Monoghraph on Politics & Government,
Vo.4, No.1 2010:26

40 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
di setiap nation. Praktek pemerintahan di luar nation Indonesia
adalah wilayah sah kajian ilmu pemerintahan di Indonesia.
Sedangkan, pada tataran praksis bahwa pengembangan ilmu
adalah suatu praktek politik. Pengembangan ilmu dan pengem-
bangan praktek pemerintahan adalah agenda ganda bagi
ilmuwan pemerintahan. hanya saja, politik yang dimaksud tidak
harus dengan menduduki secara langsung jabatan-jabatan
pemerintahan.

AKSIOLOGI
Demikian selanjutnya, ilmu pemerintahan, dalam perkem-
bangnya banyak sekali dipengaruhi oleh cara pandang ilmu-
ilmu sosial terutama ilmu politik. Selaras dengan perkemba-
ngan paradigma ilmu sosial terutama ilmu politik. Selain
Kelasik berkembang behavioralisme, post-behaviralisme,
strukturalis, post-strukturalisme, institusionalisme, ne-
institusionalisme mewarnai mashab dan anlisis ilmu pemerin-
tahan serta fungsi-fungsi ilmu pemerintahan. Fungsi-fungsi
semisal Ndraha (1997) dan Gaffar (2008). Fungsi ilmu dibahas
sejalan dengan berbagai tantangan yang dihadapi oleh ilmu
pemerintahan agar tetap “survive” dalam konteks yang cepat
berubah era industri 4.0 dan Society 5.0.
Praktek pemerintahan di Indonesia dewasa ini paling tidak
direspon setidaknya tiga agenda, yang masing-masing me-
nyimpan muatan nilai tertentu, yakni44 demokratisasi, pengem-
bangan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, dan desen-
tralisasi. Dalam konteks ini, sebagai ilustrasi terdapat sejumlah
nilai-nilai sebagai kegelisahan ilmuwan terhadap aktualisasi
konteks-tualisasi ilmu pemerintahan adalah sebagai berikut:

44
Santoso, et all. 2010. Ibid. hal. 31

ILMU PEMERINTAHAN 41
Disiplin dan Metodologi
Tabel 1.1 Ilustrasi tentang Kontektualisasi dalam Pengembangan
Ilmu Pemerintahan
Konteks Khas
Manestasi Ilmu
Penyelenggaraan
No Demokrasi Pemerintahan
Pemerintahan di
Kontekstual
Indonesia
 DerajatKeragaman  Lahir terobosan
masyarakat yg sangat dalam teorisasi
ekstrim tentnag demokrasi
 Struktur kekuasaan sebagai praksis di
yang policentrik Indonesia
 Derajat kesenjangan  Terakumulasinya
sosial-ekonomi yang ketterampilan dan
1 Demokrasi tinggi terasahnya
 Kitidakjelasan sense kearifan
of public pengelolaan
 Kuatnya dorongan keberagaman
bagi pelembagaan dalam simpul
demokrasi yg penyelengaraan
berwatak proseduralis pemerintahan
 dsb
 Negara lemah atau  Terobosan
lembek (weak state teorisasi tentnag
atau soft state) dan transformasi
pada saat yang birokrasi dan
bersamaan rakyat teknokrasi
tidak memiliki sense pemerintahan
of citizenship atau berkat penguasaan
statementship metdologis ilmu
 Kuatnya birokratisme pemerintahan,misa
Instrumentalita dlm penyelenggaraan lnya tampil dalam
s lembaga- pemerintahan action reserch atau
2
lembaga  Disfungsi teknokrasi studi evaluasi
pemerintahan pemerintahan  Berkembangnya
 Pragmentasi model network
kelembagaan based governance
pemerintahan untuk
 Efektifnya dan penyelenggaraan
sabotase oleh pemerintahan di
network informal berbagai sektor
dalam dommain resmi dan lapis
penyelenggaraan
pemerintahan
 Terpetakannya
estasi Ilmu model-model
merintahan lokal dalam
ntekstual penyelenggaraan
 Ketegangan antara
pemerintahan di
eksponen nasional
terobosan daerah
dgn eksponen lokal
m teorisasi  Antisipasi
dalam
ag demokrasi lahirnya
penyelenggaraan
gai praksis di terobosan-
pemerintahan
nesia 42 terobosan dalam
 Kuatnya
ILMU PEMERINTAHAN
dorongan
kumulasinya Disiplin dan Metodologi teorisasi dan
outarkhis dalam
rampilan dan Desentralisasi modelling
penyelenggaraan
ahnya tentang
pemerintahan daerah
fan desentralisasi
otonom
elolaan dan
 Silih bergantinya
ragaman pelembagaan
sentralisme dan otonomi daerah
m simpul
desentralisasi dalam
elengaraan  Antisipasi
sejarah pemerintahan
erintahan terobosan dan
daerah
 Terpetakannya
tasi Ilmu model-model
rintahan lokal dalam
ekstual penyelenggaraan
 Ketegangan antara
pemerintahan di
eksponen nasional
erobosan daerah
dgn eksponen lokal
eorisasi  Antisipasi
dalam
g demokrasi lahirnya
penyelenggaraan
i praksis di terobosan-
pemerintahan
sia terobosan dalam
 Kuatnya dorongan
mulasinya teorisasi dan
outarkhis dalam
mpilan dan Desentralisasi modelling
penyelenggaraan
hnya tentang
pemerintahan daerah
n desentralisasi
otonom
olaan dan
 Silih bergantinya
gaman pelembagaan
sentralisme dan otonomi daerah
simpul
desentralisasi dalam
engaraan  Antisipasi
sejarah pemerintahan
ntahan terobosan dan
daerah
teorisasi dan
san modelling
si tentnag tentang kesatuan
rmasi Indonesia
si dan Sumber: Santoso, et all, 2010: 30-31
asi
ntahan
penguasaan
ogis ilmu Dalam konteks nilai di atas, bagaimana mazhab behavio-
ntahan,misa
mpil dalam ralisme, institusionalisme, dan strukturalisme mewarnai
eserch atau analisis dan fungsi ilmu pemerintahan? Dapat disimak aktua-
valuasi
mbangnya lisasi fungsi ilmu versi Gaffar. Menurut Gaffar (2007), bahwa
network ada dua fungsi ilmu pemerintahan, yaitu: Pertama, fungsi
governance
penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan atau fungsi
enggaraan
ntahan di akademis. Menurut ilmuwan ini, bahwa kajian-kajaian ilmu
ai sektor pemerintahan hendaklah relevan dengan realitas sosial.Selain
is
menemukan model-model analisis juga dibutuhkan menjelas-
kan tingkahlaku para aktor negara-non negara, yang ada di
lembaga-lembaga sosial politik (ekskutif, legislatif, birokrasi,
konstitusi, regulasi). Dengan demikian, dapat memotret lebih
utuh dinamika pemerintahan sesuai kontekstualisasinya.,ilmu
pengetahuan yang dihasilkan dapat diaktualisasikan dalam
menjalankan fungsi non-akademis.
Kedua, fungsi non-akademis. Seperti halnya dalam ilmu
politik, fungsi akademis dalam ilmu pemerintahan adalah fungsi
dalam meberikan perkuliahan, seminar, melakukan penelitian,
dan melaksanakan kegiatan pengabdian di tengah-tengah
masyarakat. Fungsi non akademis adalah fungsi dimana setiap
individu yang mengemban tugas dalam mengembangkan dan

ILMU PEMERINTAHAN 43
Disiplin dan Metodologi
mengajarkan ilmu pemerintahan hendaknya menanamkan nilai-
nilai yang menyangkut kehidupan kenegaraan di Indonesia,
seperti nilai demokrasi, nilai patriotisme, dan nilai-nilai yang
akan membuat insan anak didik mempunyai kapasitas kemam-
puan politik yang lebih baik dari kebanyakan warga masyarakat
yang lainnya.45 Kapasitas politik ini menjadi energi sosial
dalam membentuk dan menerapkan nilai konstitusi sebagai
karakter bagi suatu masyarakat.
Konstitusi merupakan tata atau bentuk yang memberikan
karakter bagi suatu komunitas. Sehingga suatu konstitusi akan
dapat menggambarkan bentuk kehidupan suatu masyarakat, gaya
hidupnya, selera moralnya, bentuk negara dan pemerintahannya,
dan jiwa hukumnya.
Secara lebih kongkrit, Aristoteles (1972) menyebut tiga
komponen utama suatu konstitusi; organisasi jabatan-jabatan
dalam suatu Negara beserta metode distribusinya; penetapan
kewenangan tertinggi (kedaulatan); dan tujuan yang hendak
dicapai oleh masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain,
konstitusi bagi suatu masyarakat tiada lain adalah masalah
bagaimana mengorganisir kehidupan bersama dalam mencapai
tujuan bersama. Bagaimana mengorganisir kehidupan bersama
dalam rangka mewujudkan masyarakat dan Negara yang seharusnya,
dalam konteks ini keterkaitannya dengan lembaga-lembaga
Negara. Lembaga-lembaga politik inilah yang menjadi pusat
perhatian metodologi “classic” institusionalisme dan struk-
turalisme.
Selaras dengan pendapat diatas, Ndraha (1997) memandang
bahwa ilmu pemerintahan umumnya mempunyai dua fungsi:
ke luar dan ke dalam.

45
Afan Gaffar, 2008. Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pengembangan Program
Studi Ilmu Pemerintahan di Indonesia, dalam Labolo, Beberapa Pandangan
dasar Tentang Ilmu Pemerintahan, Bayumedia, Malang, hal.308-309.

44 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
Fungsi Ilmu Pengetahuan

Ke Dalam Ke Luar

Menguji, Mengoreksi, Mengidentifikasi, merekam,


Mengembangkan diri menggambarkan, menguji,
meramalkan apa yang terjadi

Sumber: Ndraha,1997:19
Gambar 1.5 Fungsi Ilmu Pengetahuan

PETA PEMIKIRAN
Beberapa kalangan ilmuwan politik dan pemerintahan
melihat puncak berbagai usha untuk membangun paradigma dan
taksonomi ilmu pemerintahan berawal dari diskursus dalam
ilmu politik terutama perdebatan dalam gelombang pemikiran
behavioralisme.
Behavioralisme lahir sebagai kritik terhadap ketidakmampuan
tradisionalisme-menurut kacamata behavioralisme-untuk
menawarkan pendekatan ilmiah atas persoalan-persoalan politik
yang menghasilkan prediksi-prediksi berdasarkan data yang
diuji secara kuantitatif. Secara spesifik, elemen-elemen yang
mendefiniskan behavioralisme meliputi fakus pada pelaku-
pelaku politik dan perilaku mereka (atau sikap-sikap dan pendapat),
ilmu pengetahuan yang bebas nilai, dan kajian mengenai
pertanyaan-pertanyaan yang dapat dioperasionalkan melalui
formulasi hipotesis dan penelitian empiris yang kuantitatif.46
Menurut Sanusi (2019), mazhab behavioralisme dalam
46
Ricci, 1984, dalam T .Isyiyama, Marijike Breuning, 2013. Ilmu Politik Dalam
Paradigma Abad Ke-21, hal. 6-7

ILMU PEMERINTAHAN 45
Disiplin dan Metodologi
ilmu politik berkembang pesat pada tahun 1908 ketika Arthur
Bentley memperkenalkan pendekatan kelompok dalam bukunya,
The Process of Government: A Study of Social Pressure. Dalam
literatur ilmu politik, terdapat perbedaan istilah behavioralisme
dengan behaviorisme.47 Menurut Easton, teori behavioralsme
merupakan perkembangan lanjutan dari behaviorisme yang
merupakan akar dari ilmu psikologi. Asusmsi dasar teori beha-
vioralisme ini adalah bertolak dari reaksi manusia terhadap
stimulus tertentu, dan bukan memfokuskan diri pada stimulus.
Stimulus yang dimaksud adalah segala sesuatu yang berada
diluar diri manusia, termasuk struktur dan institusi.48 Dalam
ilmu pemerintahan, struktur dan institusi menjadi subjek kajian
perkembangannya sedemikian cepat. U. Rosenthal merumuskan
ilmu pemerintahan sebagai ilmu yang secara otonom mem-
pelajari bekerjanya struktur-struktur dan proses-proses peme-
rintahan umum, baik secara internal maupun eksternal.49 Se-
lanjutnya pemerintahan umum dimaksudkan Rosenthal adalah
keseluruhan struktur dan proses-proses yang melibatkan ke-
bijaksaan dan keputusan yang bersifat mengikat untuk dan atasa
nama kehidupan bersama.
Soewargono (2008) berpandangan bahwa dari berbagai
definisi ilmu pemerintahan dapat disimpulkan bahwa ada dua
cara pendekatan yang dipergunakan dalam mempelajari ilmu
pemerintahan, yaitu pendekatan fungsional dan pendekatan
struktural. Pendekatan fungsional dimaksudkan mempelajari
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Proses ini mengahasilkan
pemehaman tentang memerintah. Sementara pendekatan struk-
tural berupaya menelaah lembaga-lembaga dan orang-orang
47
Lihat David Easton “Introduction:The Current Meaning of “Behavioralisme”
in Political Science, dalam Sanusi, Analisis Kebijakan Publik Neo-
Institusionalisme, Teori dan Prakteik, LP3ES, hal. 17-18
48
Lihat Sanusi, Analisis Kebijakan Publik Neo-Institusionalisme, Teori dan
Prakteik, LP3ES, hal. 17-18
49
Soewargono dalam Labolo (edt), Beberapa Pandangan Dasar tentang Ilmu
Pemerintahan, Bayumedia Publishing, Malang, hal. 9-10.

46 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
yang melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Pendekatan ini
menghasilkan pemahaman tentang pemerintah. Dalam per-
kembangannya, kedua pendekatan dalam ilmu pemerintahan ini
pada awalnya menghasilkan berbagai model analisis keilmuan
bersifat normatif. Dalam ilmu politik muncul kritik dari tokoh
utama teori ini David Easton. Menurut ilmuan ini metode-
metode keilmuan ini melupakan realitas sosial yang ada. Dalam
konteks diskursus teoritik inilah muncul ruang bagi pendekatan
alternatif, yaitu pendekatan pasca tingkah laku(post-behavioralisme).
Pendekatan post-behavioralisme memiliki tesis bahwa
objek ilmu politik bergeser dari tingkah laku aktor-aktor politik
kepada lembaga-lembaga sosial-politik penting dalam negara
seperti konstitusi, regulasi, dan organisasi-organisasi legislatif,
yudikatif, dan birokrasi.50 Namun demikian, pendekatan psot-
behavioralisme ini tetap menempatkan tingkah laku manusia
atau masyarakat (social agents) sebagai inti pergerakan lembaga-
lambaga sosial-politik.
Perspektif ini menjadi basis analisis pendekatan struktural
dalam ilmu pemerintahan ketika menelaah para aktor peme-
rintah dalam melaksanakan kegiatan penyelenggaraan peme-
rintahan sehari-hari. Meskipun dalam praktiknya penedakatan
struktural dalam ilmu pemerintahan ini tidak hanya memper-
hatikan dianamika sosial-masyarakat, tetapi juga mempertim-
bangkan nilai, norma, aturan, hukum, regulasi, struktur ke-
kuasaan, struktur ekonomi, budaya sebagai basis analisis dalam
mengorganisasikan pemerintahan. Pandangan ini selaras
dengan teori behavioralisme dan strukturalisme dalam ilmu
politik. Kedua teori ini beranggapan bahwa tindakan manusia
tidak digerakkan oleh perilaku, melainkan digerakkan oleh tata
nilai dan aturan yang ada disekelilingnya. Dengan demikian,
manusia (yang memerintah dan diperintah) bukanlah entitas

50
Lihat Sanusi,2019, Analisis Kebijakan Publik Neo-Institusionalisme,Teori
dan Praktik, LP3ES, Jakarta, hal. 23-24.

ILMU PEMERINTAHAN 47
Disiplin dan Metodologi
yang merdeka, melainkan dikendalikan oleh kekuatan yang ada
diluar dirinya, yaitu struktur dan basis struktur yang melingkupi
pemerintahan negara adalah struktur politik.
Masalah pengorganisasian kehidupan bersama melalui
pelaksanaan kekuasaan adalah prosedur-prosedur yang secara
yuridis formal melekat pada lembaga-lembaga politik seperti;
lembaga legislatif, ekskutif, yudikatif, dan partai politik. Apa
tugas dan kewenangan lemga-lembaga politik ini, bagaimana
hubungan kwewenangan lembaga-lembaga Negara adalah
menjadi pusat perhatian. Dengan kata lain, metodologi kelem-
bagaan dalam ilmu politik termasuk tentunya ilmu pemerintahan
terutama memusatkan kajiannya pada lembaga-lembaga politik
yang secara yuridis formal mempunyai kewenangan untuk
membuat dan melaksanakan keputusan-keputusan politik. 51
Lembaga-lembaga politik yang dikaji itu ialah antara lain par-
lemen, mahkamah agung, kepresidenan, kabinet, birokrasi partai
politik, pemerintah lokal, dan system pemilihan.52 Secara faktual,
sejarah pertumbuhan teori politik dan pemerintahan inilah
menandakan terjadinya pergeseran paradigma bevavioralisme
kepada post-behavioralisme.
Post-behavioralisme adalah pendekatan yang menekankan:
(a) bahwa penelitian ilmu politik harus bermakna, yakni pene-
litian ini seharusnya mengedepankan masalah-masalah politik
urgen; (b) bahwa ilmu pengetahuan dan nilai-nilai-nilai harus
bertautan satu sama lain; dan (c) bahwa ilmu politik seharusnya
tidakmembangun model dengan menggunakan metode-metode
ilmiah yang ketat sebagaimana digunakan oleh ilmu-ilmu pasti
alam, dimana penelitian direduksi menjadi pertanyaan-pertanyaan
khusus dan terbatas, dan yang dapat diuji melalui serangkaian
tes ilmiah yang tersedia dalam metode penelitian ilmiah.53
51
Ramlan Surbakti, 1984. Perbandingan Sistem Politik, Surabaya: Mechpiso
Grafika, hal. 30.
52
Ramlan: Ibid: hal. 30.
53
T. Isyiyama dan Marijke Breuning (ed), 2013. Op.cit. hal.10-11.

48 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
Tabel 1.2 Pemetaan Metodologi
Tradisi
Metodologi Teori Metode
Pemikiran
Pengertian, Klasifikasi, Keteratu- Cara
Strategi, Cara Berfikir, ran berfikir, Menghubung-
Teori dan Mashab, dan Penjelasa, kan Teori
Asumsi Gelombang Memahami dengan Fakta
Classic Normatif Sistem Kualitatif,
Theory, Diskritif
Struktural-
Fungsional
Behavioralisme Positivisme Rational Eksprimental,
Choice, Crooss
Game Sectional
Theory
Post- Post- Critical Camparative
Behaviralisme Postivisme Theory, Methode,
Post Case Study
Colonial
After Post- Critical Strukturasi, Analytic
behavioralisme Realisme, Marphogen Normative,
Scientific Etic, Analytic
Realist Metode Narative
Analysis
Sumber: Anwar, 2009:12

Paham post-behavioralisme memandang studi-studi


kelembagaan biasanya berusaha menggambarkan secara des-
kriptif struktur kongkrit, tugas dan kewenangan lembaga-
lembaga politik. Kajian seperti ini cenderung bersifat yuridis
formal dan deskriptif meskipun dalam perkembanganya ter-
dapat kecenderungan metodologi “classic”. Kelembagaan
yang bersifat analitis seperti yang dipelopori oleh Samuel P.
Huntington sejak tahun 1960- an.
Menurut Huntington (1975), ada dua kriteria yang dapat
digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan dan kekuatan
suatu lembaga politik, yaitu ruang lingkup dukungan dan tingkat
kelembagaan. Yang dimaksud dengan ruang lingkup dukungan

ILMU PEMERINTAHAN 49
Disiplin dan Metodologi
bagi suatu lembaga politik adalah sejauh mana lembaga politik
tersebut mencakup atau mencerminkan kegiatan-kegiatan
politik dalam masyarakat atau sejauhmana lembaga politik
mempunyai akar dalam masyarakat luas. Apabila masyarakat
umum mau mengidentifikasi dirinya dengan lembaga politik
tersebut, dan masyarakat luas menyalurkan aspirasi dan kepenti-
ngannya melalui lembaga-lembaga politik yang ada. Kondisi
ini mewarnai bagaimana keterkaitan metodologi classic dengan
metodologi historis atau sejarah dalam ilmu pemerintahan.
Metodologi sejarah atau tradisional dalam ilmu politik
dipelopori oleh George H.Sabine (1937). Kerangka berfikir
yang ditawarkan metodologi ini terlihat dari pendefinisian
terhadap ilmu politik dengan amat sederhana. Alur pemikiran
yanmg ditempuh metodologi classic sejarah adalah bahwa
seluruh pokok persoalan yang dibahas para filosof politik
seperti; Plato, Aristoteles, Hobbes, Locke, Rousseau, Betham,
Mill, Green, Hegel, Marx dan lain-lainnya semuanya masuk
ke dalam ilmu politik.54 Di dalam sejarah lebih dari 2500 tahun
yang lalu,tercatat ada dua tempat dimana filsafat politik telah
berkembang dengan subur selama kurang lebih lima puluh
tahun, yakni: 1) Di Athena, antara tahun 350 tahun SM sampai
tahun 375 SM SM, pada saat Plato dan Aristoteles menulis
karya-karya besar mereka, dan 2) Di Inggris, diantara tahun
1640 sampai tahun 1690, pada saat Thomas Hobbes, John
Locke dan para pemikir lainnya. Kedua periode ini merupakan
periode perubahan penting dalam sejarah sosial dan intelektual
di Eropa.
Metodologi historis atau sejarah yang mempelajari
peristiwa politik masa lalu untuk mejelaskan gejala politik
sekarang. Asumsi dasarnya adalah bahwa sejarah adalah politik
masa lalu, dan politik masa kini adalah sejarah pada masa yang
akan datang. Yang diperhatikan metodologi ini adalah peranan

54
Lihat S.P. Varma, 1999, hal. 148

50 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
pemimpin dalam suatu peristiwa politik, sedangkan peranan
masyarakat bisasa kurang diperhatikan.
Dalam konteks teorisasi, keteraturan befikir yang di-
turunkan metodologi ini senantiasa mengacu pada situasi yang
agak khusus, sehingga rekrontruksi waktu, tempat dan keadaan
yang melahirkan teori-teori politik sangatlah perlu dipahami.
Kenyataan bahwa teori politik senantiasa berakar pada “situasi
khusus” tidak berarti bahwa ia tidak mempunyai keterkaitan
dengan masa yang akan datang. Teori politik yang pokok tidak
hanya meliputi analisa situasi sesaat tapi juga merujuk pada
situasi-situasi yang lain. Teori politik semacam itu, sekalipun
merupakan produk dari serangkaian keadaan sejarah tertentu,
akan tetapi mempunyai nilai dalam waktu-waktu mendatang.
Inilah sifat universal teori politik yang menyebabkannya tetap
ditoleh.55 Jalan yang ditempuh untuk memperoleh kebenaran
ilmu pengetahuan ini bergeser dari sejarah ke tradisi pemikiran
normatif. Bagaimana keterkaitan metodologi ini dapat di-
uraikan dibawah ini.
Metodologi klasik memandang politik dari segi “yang
seharusnya” dan “sebaiknya”, jadi masalah apa yang seharusnya
dari politik. Negara dan masyarakat macam apa yang seharusnya
diwujudkan guna mencapai kebaikan bersama? Kebaikan
bersama yang hendak diwujudkan tentu berkaitan dengan tujuan-
tujuan masyarakat itu sendiri, tujuan inilah nilai-nilai yang
harus dikejar. Bagaimana seharusnya dan sebaiknya tujuan-
tujuan masyarakat dan nilai-nilai yang menjadi harapan bersama
dalam hidup bernegara inilah yang menjadi pusat perhatian para
pemikir dari mazhab normatif.
Pada dasarnya para pendukung mashab atau gelombang
normative dalam tradisi keilmuan ilmu politik pada awalnya
cenderung memusatkan perhatian mereka pada tujuan-tujuan

55
George Sabine dalam S.P. Varma, 1994, hal. 149.

ILMU PEMERINTAHAN 51
Disiplin dan Metodologi
masyarakat.56 Mereka tertarik dalam memahami bagaimana atau
mengapa masyarakat bekerja, mengetahui apa yang menjadi
nilai-nilai ‘ harapan’ masyarakat. Para pengikut mazhab normatif
ini memulai penyelidikannya karena ia mengharapkan dapat
menyelidiki nilai-nilai moral dan politik, tetapi kemudian
persoalannya dari mana ia memperoleh nilai-nilai ini. Tentu
tidak menjadi soal bahwa ia menemukan nilai-nilai itu, nilai
moral dan politik kebanyakan disediakan kepadanya disediakan
oleh dunia sekelilingnya.57 Selanjutnya para pemikir gelombang
normatif dalam ilmu politik ini melihat bahwa nilai-nilai itu
ada tidak hanya dalam pikiran dari pemikir politik, tetapi juga
pikiran banyak pemikir lainnya baik pada masa dahulu maupun
sekarang, dan dalam pikiran banyak orang disekitarnya. Yang
dimaksud dengan nilai-nilai disini adalah fakta-fakta yang
dipergunakan oleh para teoritikus normatif untuk berpendapat
dan harus diperlukan bagaimana ia memperlakukan fakta-fakta
yang lain.58
Tugas utama dari pemikir normatif bukan pada mendaftar
nilai-nilai moral dan politik memilih satu atau lebih nilai-nilai
dan memusatkan pada nilai-nilai itu, tetapi tugas para pemikir
normatif adalah mengorganisir dan menyusun nilai-nilai, ba-
rangkali ia akan mengembangkan suatu hirarki tujuan-tujuan,
atau mengembangkan suatu prinsip umum baru untuk meng-
organisir bermacam-macam tujuan.
Dengan demikian, dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa
keterkaitan antara metodologi normative dan classic adalah
terletak pada proses identifikasi elemen nilai-nilai yang ada
dalam suatu masyarakat yang pada akhirnya menjadi tujuan atau
harapan bersama. Dalam perkembangannya paradigma classic
memiliki keterkaitan erat dengan munculnya teori sistem. Pada

56
Lihat Ichlasul Amal, 1995, hal. 106.
57
Amal, Ibid, hal. 107
58
Amal, Ibid, hal. 107

52 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
akhirnya banyak mewarnai bagaimana teori classic kelembagaan
berkembang.
Teori sistem adalah salah satu bentuk kongkrit dari hasil
perkembangan kemajuan metodologi classic kelembagaan.
Teori ini dapat dirmasukkan dalam pengelompokkan tradisi
pemikiran normatif dalam ilmu politik. Dikatakan normative,
teorisasi sistem memandang kehidupan politik selalu dalam
keadaan seimbang dan stabil dan bersifat linearistik dan tidak
dialetik. Keterkaitan mashab normative dengan teori system
berakumulasi dalam konseptualisasi sistem politik. Sistem
politik adalah sebagai sistem interaksi yang terjadi dalam
masyarakat, dimana dalam proses interkasi tersebut di-
alokasikan nilai-nilai yang “outhoritatif” mengikat masyarakat.
Harold Laswell menyebutkan delapan nilai, dan Karl Deutsch
menambahkan dua nilai yang dianggap berharga dalam setiap
masyarakat. Salah satu nilai yang penting dan sering dibahas
dalam ilmu politik dan pemerintahan adalah kekuasaan (power).
Ilmuan politik yang pertama mengembangkan pendekatan
analisa sistem kedalam kajian-kajian ilmu politik adalah David
Easton. Easton (1953) memandang politik sebagai suatu sistem.
Yang dimaksud dengan sistem adalah keseluruhan bagian-bagian
yang berhubungan satu sama lain secara fungsional. Setiap
bagian dalam sistem mempunyai fungsi sendiri yang satu sama
lain saling berinteraksi, saling berhubungan, dan saling keter-
gantungan secara fungsional. Artinya, kalau ada satu bagian
tidak berfungsi, maka bagian-bagian lainpun terpengaruh men-
jadi tidak berfungsi dengan baik. Sedangkan yang dimaksud
system politik oleh David Easton adalah sistem interaksi dalam
tiap masyrakat dimana didalamnya dialokasi nilai-nilai yang
mengikat masyarakat yang sedikit banyak bersifat absah. 59
Adapun yang menjadi bagian-bagian atau komponen system
politik adalah fungsi-fungsi politik yang dapat dibedakan men-
59
Lihat Easton, 1953, The Political System dan 1965, A Frame work of Political
Analysis, hal. 32.

ILMU PEMERINTAHAN 53
Disiplin dan Metodologi
jadi fungsi-fungsi input dan fungsi out-put. Selanjutnya suatu
sistem biasanya bekerja dalam suatu lingkungan (environment)
yang luas baik lingkungan dalam (intra societal invironment)
maupun lingkungan luar (extra societal invironment) dan
batas antara suatu sistem dengan lingkungannya. Yang dimaksud
dengan lingkungan disini adalah sistem-sistem lain yang ada
di luar dan disekitar sistem tersebut, dan antara suatu sistem
dengan lingkungannya terdapat hubungan yang saling mem-
pengaruhi.
Karena politik dan pemerintahan dipandang sebagai suatu
sistem, maka sistem pemerintahan menurut teori ini pada
dasarnya selalu berada dalam keadaan keseimbangan yang stabil
dan dinamis. Artinya perubahan yang datang dari lingkungan
dapat disesuaikan oleh sistem itu sehingga sistem selalu dalam
keadaan stabil. Perubahan biasanya bersumber dari dalam
sistem itu sendiri dan dari luar lingkungan. Faktor yang paling
penting untuk mengintegrasikan sistem itu adalah consensus
nilai. Nilai-nilai inilah yang mengatur pola hubungan fungsional
dalam sistem tersebut.60
Dengan demikian, nilai-nilai yang pada akhirnya menjadi
tujuan-tujuan masyarakat dan tujuan Negara yang semula men-
jadi pusat perhatian kajian paradigma normative adalah ber-
sumber dari lingkungan sistem baik lingkungan dalam maupun
lingkungan luar. Selanjutnya nilai-nilai yang ada dalam mas-
yarakat ini akan berproses menjadi fungsi-fungsi politik bagi
suartu sistem politik (sebagai pengganti istilah Negara) baik
fungsi in-put (tuntutan) maupun fungsi out-put (dukungan) yang
pada akhirnya akan menjadi energi “bahan bakar” bagi be-
kerjanya sistem politik dalam mengolah (konversi) input
menjadi keputusan-keputusan politik (policy) untuk mengatur
masyarakat dalam mencapai tujuan bersama. Dalam perkem-
bangannya, teorisasi sistem yang memandang masyarakat
60
Lihat Pierre L. Van den Berghe, 1973, hal. 45

54 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
sebagai suatu sistem tumbuh pesat, ketika sudut pandang sistem
dikaitkan dengan fungsi-fungsi politik yang melekat dalam
suatu pemerintahan dan masyarakat manapun. Perspektif inilah
dalam sejarahnya dikenal teori struktural fungsional.
Salah satu persamaan teori sistem dan struktural-fungsional
adalah terletak pada cara pandang terhadap masyarakat atau
politik sebagai suatu sistem. Perbedaannya teori struktural-
fungsional cenderung melihat politik sebagai gejala serba hadir
dalam masyarakat apapun. Memurut teori ini dalam masyarakat
apapun mestilah terdapat fungsi-fungsi politik, dan dimana ada
fungsi politik disitu ada struktur politik, fungsi dan struktur
politik suatu masyarakat dilandasi oleh budaya politik tertentu.
Ada tiga asumsi dasar teori struktural fungsional yang
semula bersumber dari gagasan Talcott Parsons dan Marion
Levy yang kemudian dipakai Gabriel Almond ke dalam analisa
perbandingan sistem politik. Ketiga asumsi tersebut adalah
sebagai berikut : pertama, melihat masyarakat sebagai system
dan menekankan keseluruhan system itu sebagi unit analisis.
Kedua, menetapkan fungsi-fungsi tertentu sebagai persyaratan
atau sebagai harus ada, agar system sebagai keseluruhan dapat
terus berlangsung, Ketiga, menekankan adanya hubungan saling
ketertergantungan secara fungsional antar berbagai struktur di
dalam keseluruhan system (Surbakti, 1984:88).
Berdasarkan asumsi ini, maka Almond menetapkan tiga
peringkat atau jenis fungsi politik dalam setiap Negara: 1).
Fungsi-fungsi politik dalam rangka adaptasi dan pelestarian
system politik. Fungsi-fungsi politik yang termasuk kedalam
peringkat ini adalah sosialisasi politik dan rekruitmen politik.
Sosialisasi politik terkait dengan budaya politik, karena me-
nyangkut penanaman nilai-nilai, simbol-simbol, norma-norma,
kebiasaan yang bedrkaitan dengan politik yang di”ajarkan”
kepada individu. Sedangkan rekruitmen politik, yaitu proses
seleksi dan memilih atau mengangkat seseorang atau se-

ILMU PEMERINTAHAN 55
Disiplin dan Metodologi
kelompok orang untuk melaksanakan peranan-peranan politik
dalam system politik. 2) Fungsi konversi yaitu, proses yang
dilalui sisyem politik untuk mengubah input menjadi out-put.
Yang termasuk fungsi input adalah perumusan kepentingan,
pemanduan kepentingan, dan komunikasi politik. Sedangkan
fungsi-fungsi yang termasuk fungsi output adalah fungsi pem-
buatan aturan, pelaksanakaan aturan,dan penghakiman aturan.
3) Fungsi kapabilitas, yaitu fungsi-fungsi yang akan mempe-
ngaruhi lingkungan masyarakat yang termasuk fungsi ini adalah
kapabilitas ekstratif, distributif, regulatif, responsif, simbolik,
domistik dan internasional. Dengan mengetahui kapabilitas
sitem politik kita dapat menggambarkan perubahan yang terjadi
dalam suatu Negara. Dengan metode “deskriptif kualitatif” ?
Metotodologi classic atau tradisi pemikiran normative
selalu berupaya menemukan “apa yang seharusnya” dalam
politik.61 Secara sistimatik gagasan “keharusan” politik “moral
dan etik” yang ada dalam masing-masing fikiran ilmuan politik
classic dikomunikasikan dengan memilih cara menggambarkan
(diskriptif). Dalam konteks penyelidikan metode yang di-
gunakan cenderung “deskriptif kualitatif”. Metode ini lebih
tertarik dan percaya kepada deskripsi perilaku secara me-
nyeluruh (holistic) yang terjadi pada situasi yang alamiah
(natural). Bentuk penelitian semacam ini merupakan bentuk
penelitian tertua dalam perkembangan ilmu politik dan pe-
merintahan. Ilmuan politik dan pemerintahan yang melakukan
penelitian semacam ini antara lain Plato dan Aristoteles.
Bentuk-bentuk penelitian semacam ini pada awalnya
bertujuan terutama untuk memcahkan persoalan, bukan ber-
61
Lihat John R. Fisher dalam Marijan (2013), Ilmu Politik dalam Paradigma
Abad ke-21; Surbakti, 1996. Op.cit, hal. 6-7 Kalau ilmu politik kontemporer
menulai pengetahuan dan pernyataan normative tidak dapat dibuktikan benar
ataupun salah, klasik mengkalim sebaliknya. Bagi klasik, pernyataan normatif
seperti “negara yang baik” dapat diuji benar-salahnya melalui proses dialektis
dalam bentuk verbal (speech), bukan dalam bentuk historis (conventional),
bukan dalam bentuk aktual (matery) melainkan dalam bentuk potensi (form).

56 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
tujuan untuk mengembangkan teori politik, meskipun dalam
perkembangannya David Easton dan Gabriel A. Almond me-
makai metode ini mengembangkan teori. Karena itu tipe
penelitian ini pada awalnya dikatan bukan empirik, sebab tidak
mencari atau mengandalkan diri pada fakta. Biasanya penelitian
dilakukan untuk menggabungkan fakta politik dengan argu-
mentasi moral atau etik dalam membenarkan suatu tindakan
politik.Contoh yang tepat untuk tipe penelitian ini ialah karya
John Stuart Mill dalam “Copnsideration on Representative
Government” dalam tulisan ini Mill menganjurkan penggunaan
pemerintahan perwakilan demokratis karena (a) tujuan utama
pemerintahan sebaiknya memberikan kepada setiap warga
Negara kesempatan untuk berkembang kearah seluruh po-
tensinya (argumentasi moral), (b) pemerintahan demokratis,
dengan memberikan tanggung jawab rakyat, akan melakukan
tujuan tersebut (asumsi faktual).62
Dalam perkembangannya, metode diskriptif kualitatif
dipakai pula oleh David Easton untuk menggambarkan struktur
normative mekanisme bekerjanya suatu sistem politik (istilah
untuk menggantikan Negara) melaui teori sistemnya. Kemudian
Gabriel A. Almond dengan teori struktural fungsional, berupaya
menggambarkan struktur dan fungsi-fungsi normative system
politik yang seharusnya berjalan dalam suatu negara. Kedua
teori ini bersifat sangat linieristik, seakan-akan kehidupan
politik berjalan sangat alamiah dan bersifat yuridis-formal.Oleh
karena itu, metode yang digunakan juga cenderung bersifat
diskriptif. Namun, berbagai aspek ilmu sosial termasuk ilmu
politik dan pemerintahan mengalami perubahan kearah ilmu
pengetahuan yang sciensifik. Dalam sejarah pertumbuhan ilmu
politik dan pemerintahan dikenal mazhab behavioralisme.
Behaviriolisme63 adalah suatu “gerakan” yang dapat di-
62
Shivelly dalam Ramlan Surbakti, 1987, hal. 83
63
Lihat materi kuliah Metodologi Ilmu Politik, 1995. Universitas Gadjah Mada.

ILMU PEMERINTAHAN 57
Disiplin dan Metodologi
interpretasikan sebagai upaya pembaharuan guna mengembang-
kan aspek-aspek ilmiah ilmu politik dan kemudian ilmu peme-
rintahan secara serius, menurut ketentuan ilmu alam dan biologi,
dan sejalan dengan perkembangan perkembangan baru yang
terjadi dalam bidang psikologi dalam ilmu-ilmu sosial. 64
Kerangka metodologi behavioralisme menekankan pentingnya
kuantifikasi data serta penemuan-penemuan yang ada melalui
teori dan teknik-teknik penelitian ilmiah. Sehingga yang dapat
diakui sebagai data yang valitasnya didasarkan atas observasi,
yang diperoleh melalui penggunaan panca indra atau peralatan
mekanis. Prestasi yang telah dicapai behavioralisme dapat di-
sajikan dalam dua bidang, yaitu pembentukan teori dan temuan
teknik-teknik penelitian.Menurut para pendudukung gerakan
ini,pada periode ini perilaku (politik) merupakan sesuatu yang
dapat diamati secara objektif, dan benar-benar menjadi fokus
perhatian para ilmuan.
Secara historis akar behavioralisme ini dapat dilacak
dalam tulisan seorang ahli biologi Ludwig von Bertalanffy pada
tahun 1920.65 Kemudian pada tahun 1940, Panitia Penelitian
Perilaku politik dan Perbandingan Politik dari Dewan Riset
Ilmu Sosial melakukan suatu usaha pemilihan data dalam rangka

Sesuai catatan bahwa belum ada kespakatan batasan tegas terkait makna
behavioralisme dikalangan ilmuwan politik.Behavioral merupakan gerakan
protes dari political science tahun 1950-an. Protes atas rencanakerja ilmu
politik yang dianggap tradisional, formal legalistic, deskriptif ideografis,
tidak bersifat eksplanatoris. Diskurus ini mulai tahun 1920-an ketika C.E
Mariem, W.B. Munro dan G. Catlin menulis dalam APSA berjudul “The
Present State of the Study of Politics”. Para ilmuwan politik ini berharap ada
ilmu baru dalam ilmu politik yang berorientasi pada penyelesaian masalah
dalam masyarakat. C. Meriem—ilmu kebijaksanaan, Mundro, mengusulkan
ilmu politik mempunyai metode kerja dan meninggalkan afiliasi dengan filsafat,
hukum-hukum dasar. Catlin mengusulkan ilmu politik adanya eksprimen dan
menggunakan ilmu ekonomi. Dimana asumsi ekonomi dimulai dari asumsi
kelangkaan. Ilmu politik berhubungan dengan kekuasaan sebagai sesuatu
yang langka. Oleh karena itu menurut Catlin, ilmu politik merupakan pasar
dari kekuasaan.
64
Lihat S.P. Varma, 1999, hal. 30
65
Lihat S.P. Varma, 1999, hal .57

58 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
menjawab tantangan kaum metodologi klasik. Namun sejak
pertengahan kedua dekade 1960-an, behavioralisme benar-
benar merupakan fakta yang dapat diterima, ditandai oleh apa
yang telah dilakukan oleh Departemen Ilmu Politik Universitas
Chicago dibawah pimpinan Charles E. Merriam, Leonard White,
Quincy Wright, Harold Gonsnell dan Harold Lasswell dalam
pengembangan metodologi dan teknik-teknik pengumpulan
data-data penelitian ilmu politik.
Selanjutnya perkembangan ini diikuti pula oleh pusat
penelitian survei di Michigan dibawah kepemimpinan E.
Pendleton Herring dan Engus Campbell, seorang ahli psikologi
social serta bekerja sama dengan V.O Key. Jr David Trumman
dan Samuel Eldersveld. Pada tahun 1962 didirikanlah
Konsorsium Penelitian Politik antar universitas dipimpin oleh
Warren Miller yang diikuti sekitar 19 departemen dan sejak
tahun 1967 diikuti pula oleh seratus perguruan tinggi dan uni-
versitas.66 Konsorsium ini selanjutnya menjadi tempat penyim-
panan data bagi penelitian tentang perilaku politik.
Menurut David Easton, ada sejumlah komponen utama
behavioralisme: (1) Regularitas: Kaum behavioralis percaya,
bahwa terdapat keseragaman tertentu dalam perilaku politik
yang dapat diekspresikan dalam generalisasi atau teori yang
mampu menjelaskan serta meramalkan fenomena politik.
Bahkan jika suatu perilaku politik yang ditentukan oleh berbagai
macam faktor tidak selalu seragam dalam hal-hal tertentu,
manusia selalu bertingkah laku dengan cara yang kurang lebih
sama,meskipun dalam situasi yang berbeda; (2) Verivikasi:
Lebih jauh kaum behavioralis percaya, ilmu pengetahuan
supaya valid harus terdiri dari proposisi yang telah mengalami
pengujian yang bersifat empiris dan semua fakta yang ada harus
didasarkan pada observasi. Jadi menekankan pada fenomena
yang benar-benar yang dapat diamati; (3) Teknik: Kaum beha-
66
Ibid, 1999, hal. 32

ILMU PEMERINTAHAN 59
Disiplin dan Metodologi
vioralis mempunyai komitmen kuat terhadap pentingnya peng-
gunaan teknik yang tepat untuk mendapatkan dan menginter-
pretasikan data, serta pemanfaatan peralatan riset atau metode
yang mampu menghasilkan data yang valid, dapat dipercaya,
dan komparatif. Untuk menimbulkan sikap kritis terhadap
metodologi yang dipakai kaum behavioralis menganjurkan
penggunaan analisa multi-variasi, sample, model matematika,
stimulasi, dan sebagainya. Hal ini akan dapat membuat seorang
peneliti mampu mengesampingkan nilai-nilai yang ia miliki
dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai penelitian yang
dilakukan; (4) Kuantifikasi: menurut kaum bevaioralis suatu
jalan sejauh mungkin harus ditempuh melalui pengukuran dan
kuantifikasi, agar diperoleh pengetahuan yang tepat dan akurat
dari kompleksitas kehidupan politik; (5) Nilai: Kaum beha-
vioralis berpendapat, penilaian atau penafsiran etika berbeda
dengan keterangan yang bersifat empiris. Nilai dan fakta me-
rupakan dua hal yang terpisah dan secara analitis harus dijaga
agar tetap berbeda. Keduanya dapat dipelajari secara terpisah
atau dalam kombinasi, tetapi antara keduanya tidak dapat dicampur
adukkan; (6) Sistematisasi: Penelitian dalam ilmu politik harus
sistimatik dalam pengertian ia harus berorientasi pada teori.
Suatu penelitian tanpa dibimbing oleh teori tidak mempunyai
arti yang dalam dan teori tanpa didukung oleh data akan sia-
sia; (7) Ilmu Murni: Kaum behavioralis pada umumnya mem-
pertahankan apa yang mereka sebut sebagai ilmu murni. Artinya,
mereka setuju bahwa pemahaman teoritis bisa membuat ilmu
pengetahuan diterapkan terhadap masalah kehidupan, keduanya
merupakan bagian dari “scientific enterprise” (usaha ilmiah);
(8) Integrasi: Kaum behaviolis sependapat bahwa manusia
adalah makhluk sosial, apabila menarik garis batas antara ber-
bagai aktivitas seseorang baik sosial, politik, ekonomi, budaya
dan lainnya, maka tak satupun kegiatan tersebut yang dapat
dipahami tanpa menempatkan dalam konterks yang lebih luas.67
67
Lihat Anwar Sanusi, 2019, Ibid, hal. 20

60 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
Di tahun 1950-an, kritik keras muncul dari tokoh utama
teori behavioralisme David Easton. Para pendukung post-
behavioralisme berpandangan bahwa behavioralisme terlalu
asyik dengan model-model analisis dan metode-metode
keilmuan, sehingga melupakan realitas politik dan persoalan-
persoalan sosial yang ada. Kritik ini membuka ruang pen-
dekatan alternatif dalam ilmu nsosial-politik yang disebut pen-
dekatan pasca tingkah laku (post-behavioralism).
Pendekatan alternatif ini, menyatakan bahwa objek ilmu
politik harus digeser dari tingkah laku aktor-aktor politik
(individu atau kelompok) ke lembaga-lembaga sosial politik
penting di dalam negara seperti konstitusi, regulasi dan
organisasi-organisasi legislatif, yudikatif, dan birokrasi. Dis-
kursus inilah yang memberikan ruang mengemukanya pen-
dekatan strukturalisme dan institusionalisme dalam ilmu
sosial-politik termasuk tentunya ilmu pemerintahan.68
Surbakti (1996), menyatakan bahwa sejak tahun 1950-an
hingga tahun 1970-an konsep negara hilang sama sekali dalamn
perbendaharaan ilmu politik. Ilmuwan politik membahas
konsep-konsep misalnya kelompok kepentingan, partai politik,
perilaku pemilih, birokrasi dan politik, perilaku legislatif, elite
politik, analisis kebijakan publik, pembangunan politik. Namun,
tahun 1970-an akhir, kembali para ilmuwan politik mengkaji
negara dalam hubungannya dengan masyarakat dalam dua
kreteria, yaitu apakah negara mandiri dan apakah negara men-
jamin kepentingan umum.69
Masih menurut Surbakti, ada empat tipe negara, yaitu:
Pertama, negara pluralis menempatkan negara tak memiliki
kemndirian karena ditentulan oleh berbagai kelompok kepenti-
ngan yang bersaing. Tipe negara ini menganggap oersaingan
68
Anwar Sanusi, 2019. Ibid, hal.24-25
69
Arief Budiman (1982) dalam Ramlan Surbakti, 1996, Op.cit, hal. 27-28. Buku
ini menjelaskan empat tipe negara; tipe negara pluralis maupun marxis, dan
tipe negara organis dan korporatis.

ILMU PEMERINTAHAN 61
Disiplin dan Metodologi
antara aktor politik akan dapat mewujdkan kepentingan umum.
Kedua, negara marxis menempatkan negara tidak memiliki
kemandirian karena didikte kelas yang memiliki sarana dan alat
produksi. Tipe negara ini melihat kepentingan umum tidak akan
dapat diwujudkan oleh kelas pemiliki sarana produksi. Kondisi
ini berimplikasi pada pemahaman kalangan para pembelajar
ilmu pemerintahan terhdap konseptualisasi pemerintah dan
pemerintahan dewasa ini.
Kekuasaan dan
Kenegaraan (PKK)

Ilmu
Manusia dan Fenomena Pemerintahan/
Lingkungan Pemerintahan Paradigma Baru
(KYBERNOLOGI)

Ilmu
Pemerintahan
(Paradigma Lama)

Sumber: Ndraha, 2007:142


Gambar 1.6 Dua Pendekatan

FENOMENA PEMERINTAHAN
Sebagaimana kita pahami lewat studi ilmu politik, gejala
pemerintahan merupakan bagian yang terpisahkan dari pusaran
kekuasaan. Fenomena pemerintahan adalah gejala sosial,
dimana ada masyarakat disitu ada pemerintahan, sama seperti
ilmu hukum, ilmu politik, dan administrasi. Fenomena peme-
rintahan dapat diklasifikasi dan dikategorisasi dan digenera-
lisasikan dalam rangka merumuskan teori. Adapun yang men-
jadi indi-kator adanya gejala pemerintahan itu adalah, adanya
norma, aturan, kerjasama, hak dan kewajiban, keputusan, ke-
kuasaan, dan kepala.70
70
Lihat Taliziduhu Ndraha, 2006. Kybernologi: Sebuah Sciencetific Enterprise,

62 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
Secara etimologis istilah government dan segala bentuk
implikasinya merupakan jantung dari studi ilmu politik.
Implikasinya menurut Finer, dalam Labolo (2006) bahwa
istilah pemerintah (government) setidaknya merujuk pada
empat pengertian pokok,71 yaitu pertama, pemerintah merujuk
pada suatu proses pemerintahan, dimana kekuasaan diopera-
sionalkan oleh mereka yang memegang kekuasaan secara sah.
Dalam konteks itu, semua proses yang berlangsung dalam
bingkai pengelolaan kekuasaan dipandang merupakan aktivitas
yang menunjukkan pada formal pemerintah. Realitas ini dapat
dilihat ketika seseorang menyadari bahwa semua aktivitas
keteraturan dan ketertiban hingga urusan yang berbelit-belit
dalam birokrasi merupakan mekanisme yang didesain secara
sengaja oleh pemerintah. Bahkan keadaan mencekam bagi
keamanan setiap individu merupakan indikasi tentang hadir
tidaknya sebuah pemerintahan.72
Kedua, istilah pemerintah menunjukkan pada keberadaan
dimana proses pemerintahan tersebut berlangsung. Seringkali
penamaan suatu entitas pemerintah menunjukkan secara
langsung dimana pemerintah tersebut berada. Sebagai contoh,
kita dapat menyebut suatu pemerintah di tingkat pusat dan
daerah. Istilah ini juga menunjukkan institusi, lembaga maupun
organisasi pelaksana dalam proses pemerintahan.
Ketiga, pemerintah menunjukkan secara langsung person
(orang) yang menduduki jabatan-jabatan pemerintah sebagai
pelaksana kekuasaan. Dalam kenyataan ini kita sering menyebut
Pemerintah Barack Obama atau Pemerintah Susilo Bambang
Yudhoyono.
Sirao Credentia Center, Jakarta, hal. 465-468. Selanjutnya Ndraha, Ilmu
Pemerintahan di Lingkungan Institut Ilmu Pemerintahan, Sebuah Perspektif
dalam Labolo, Megandaru Widhi Kawuryan, Hyronimus Rowasiu, 2008.
Beberapa Pandangan dasar tentang Ilmu Pemerintahan. Bayumedia
Publishing, Malang, hal. 195-468
71
Labolo, 2014, Op.cit. hal. 17-18
72
Thomas Hobbes, dalam Labolo, 2014, Ibid, hal. 17-18

ILMU PEMERINTAHAN 63
Disiplin dan Metodologi
Keempat, istilah pemerintah juga mengacu aspek bentuk,
metode atau sistem pemerintahan dalam suatu masyarakat, yaitu
struktur dan pengelolaan badan pemerintah serta hubungan
antara yang memerintah dan yang diperintah. Sistem peme-
rintah menggambarkan keseluruhan interaksi pemerintah sa-
ling berkaitan dan tergantung dalam pengelolaan pemerintahan
dan riset pemerintahan.

Ilmu Pemerintahan

Penelitian Pengembangan

Asas – Asas Berbagai Jenis Studi


Penelitian Pengembangan

Sumber: Ndaraha, 2007:17


Gambar 1.7 Metodologi Penelitian dan Pengembangan
Ilmu Pemerintahan

Dalam perkembangannya, kajian-kajian ilmu politik hingga


akhir tahun 1970-an tidak menjadikan negara sebagai objek
pembahasan yang diulas secara sungguh-sungguh, negara
dibahas sebagai variabel akbiat tersembunyia. Dalam kondisi
demikian, muncullah suatu perspektif baru dalam memandang
relasi negara dan masyarakat yang diinisiasi oleh Theda Skocpol,
Krasner, Eric Nordlinger, Peter Evans dan lain-lain.73 Per-
73
Lihat Skocpol Theda, State and Social Revolution: A Comparative Analysis
of France, Russia and China (Cambrige: University Press,1979); Stephen
D. Krasner, Defending the National Interest: Raw Materials Investment
and U>S.Foreign Policy (Princeton: Princeton University Press, 1978);
Peter Evans, Dietrich Rueschemeyer dan Theda Skocpol, eds., Bringging
the state Back In (Cambridge: Cambridge University Press, 1985) dalam
Surbakti, 1996. Loc.cit. hal. 28-29

64 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
spektif baru ini dikenal sebagai pendekatan kelembagan baru
(Neo-Institutional Approach).
Pendekatan iniittutionalisme baru memiliki akarnya pada
awal hingga pertengahan 1980-an. Sebagai pendiri terkemuka
pendekatan ini adalah James G. March and Johan P. Olsen,
menerbitkan suatu tulisan yang amat berpengaruh dalam The
American Political Sicience Review pada tahun 1984 berjudul
“The Institutionalism: Organizational Factors in Political
Life”, yang kemudian diikuti terbutnya buku pada tahun 1989
bberjudul,”Rediscovering Institutions dan tahun 1995, “De-
mocratic Governance”. Sampai tahun akhir 1990-an, institu-
sionalisme baru berkembang menjadi salah satu pendekatan
yang dominan dalam ilmu politik, khususnya di kalangan orang-
orang yang belajar politik Amerika Serikat dan para ahli politik
komporatif dalam ilmu hubungan internasional.74
Setidaknya terdapat empat karakteristik utama yang melekat
dalam pendekatan kelembagaan baru (Neo-Institutional Approach):
(a) lembaga-lembaga yang menjadi objek utama kajian ilmu
sosial; (b) sejarah kelembagaan, bukan pola-pola perilaku yang
semestinya dijelaskan; (c) makna dan tindakan bukan perilaku,
yang mestinya menjadi gejala yang dipahami; dan (d) belajar
(learning) dan adaptasi, bukan tanggapan buta atas stimulus
langsung, yang menjadi daya pendorong di balik perubahan
sosial.75 Beberapa karakteristik pendekatan inilah banyak ber-
pengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu peme-
rintahan termasuk di Indonesia. Sebagai contoh konsep good
governance menjadi bingkai baru dalam kajian-kajian baru
ilmu pemerintahan era tahun 1990-an hingga dewasa ini.

74
John T. Isyimyama and Marijke Breuning, 2013, Loc.cit, hal. 36-37
75
Ramlan Surbakti, dalam Budiardjo dan Tri Nuke Pujiastuti, 1996. Op.cit, hal.
29

ILMU PEMERINTAHAN 65
Disiplin dan Metodologi
GOVERMENT DAN GOVERNANCE
Dapat disebutkan beberapa ilmuwan yang terus menerus
mengembangkan konsep governance diantaranya; Rhodes
(1996), Gerry Stoker (1998), dan Hyden (1996). Ilmuwan pe-
merintahan yang mengembangkan konsep governance dalam
berbagai diskursus dan riset ilmu pemerintahan masa kini.
Rhodes dalam Hamdi (2002) menyatakan bahwa governance
menegaskan suatu perubahan dalam makna pemerintahan, yang
menunjukkan suatu proses pemerintahan yang baru; atau suatu
kondisi yang berubah dari penguasaan yang tertata; atau metode
baru dengan mana mmasyarakat diperintah. Dengan pemahaman
itu, Gerry Stoker dalam Hamdi (2002) mencatat lima proposisi
mengenai governance:76
1. Merujuk pada seperangkat institusi dan aktor yang terdapat
pada dan di luar pemerintah.
2. Mengidentifikasi kekburan batas dan tanggung jawab untuk
menangani isyu-isuu sosial dan ekonomi.
3. Mengidentifikasi ketergantungan kekuasaan yang terdapat
dala antara institusi yang melakukan tindakan kolektif.
4. Adalah tentang jaringan aktor yang bersifat mandiri dan
mengatur sendiri.
5. Mengakui kapasitas untuk menyelesaikan sesuatu yang tidak
bersandar pada kekuasaan pemerintah untuk memberikan
komando atau menggunakan otoritasnya. Governance me-
mandang pemerintah mempunyai kemampuan untuk meng-
gunakan alat dan teknik baru dalam mengarahkan dan
menuntun.
Demikian pula Hyden dalam Hamdi (2002) menyatakan
bahwa ada empat variable untuk konsep governance, yakni:
1. Authority, yang berarti eksistensi kekuasaan yang legitimet;
2. Reciprocity, yang berarti pengembangan pandangan bahwa
76
Garry Stoker, dalam Muchlis Hamdi, 2002. Bunga Rampai Pemerintahan,
Yarsif Watampone, Jakarta, hal. 13-14

66 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
penggunaan kekuasaan tidak selalu merupakan ‘zero-sum
game’ tetapi juga dapat menjadi ‘positive-sum game’;
c. Trust, yang dibudidayakan oleh orang-orang yang hidup
bersama dan terikat, secara kompetitif atau koperatif dalam
mengejar tujuan bersama; dan
d. Accountability, yang memperkuat kepercayaan dan sebalik-
nya.
Dengan demikian, nampak bahwa pengembangan konsep
governance oleh para ilmuwan pemerintahan sebagai bukti
perspektif kelembagaan baru (Neo-Institutional Approach)
berpengaruh besar ke dalam diskursus dan riset pemerintahan
dewasa ini dan di masa depan. Tantangan bagi ilmuwan politik
dan pemerintahan terus terjadi dengan kecenderungan feno-
mena politik dan pemerintahan dan hubungan pemerintahan
yang berkembang pesat lepas batas waktu dan ruang. Hal ini
nampak dari perkembangan perspektif institusionalisme baru
dewasa ini. Menurut Hall dan Taylor (1996), dalam Mark C.
Miller (2013)77 dan Sanusi (2019)78, setidaknya terdapat tiga
gelombang besar institusionalisme baru; institusionalisme
pilihan rasional, institusionalisme sosiologis, dan institusiona-
lisme historis. Pembahasan kaitan perspektif institusionalisme
baru dengan ilmu pemerintahan akan disampaikan dalam Bab
II buku ini.
Pertama, institusionalisme pilihan rasional berakar dalam
ilmu ekonomi dan analisis modeling formal.79 Institusiona-

77
Hall dan Taylor, dalam Mark C. Miller, dan John T. Ishiyama and Marijke
Breuning (ed), 2013. Ilmu Politik dalam Paradigma Abad Ke-21, Sebuah
Referensi Panduan Tematis, Murai Kecana, Jakarta, hal. 40-43
78
Anwar Sanusi, 2019. Analisis Kebijakan Publik Neo-Institusionalisme:
Teori dan Praktik, LP3ES, Jakarta, hal. 42-65
79
Lihat Deliarnov, 2006. Ekonomi Politik: Mencakup Beberapa Teori dan
Konsep Yang Konprehensif, Erlangga, Jakarta, hal. 134-135. Buku ini
menjelaskan bagaimana Kenneth Arrow, dianggap sangat berjasa dalam
menyebabkan paradigm pilihan rasional (rational choce theory) mendapat
tempat dalam ilmu Ekonomi-Politik, selain Anthony Downs dengan karyanya
An Economic Theory of Democracy (1957) dan Moncur Olson dalam buku

ILMU PEMERINTAHAN 67
Disiplin dan Metodologi
lisme sosiologis berakar dalam sosiologi, antropologi, dan
kajian budaya. Dan institusionalisme historis berakar dalam
disiplin sejarah dan hukum. Hay (2006) dan Ansell (2006)
membagi pendekatan ini menjadi sub-sub yang lebih kecil
label-label baru semisal institusionalisme konstruksionis dan
institusionalisme jaringan. Salah satu pendekatan popular arus
ini adalah teori permainan untuk menjelaskan pengambilan
keputusan politik.
Institusi Sebagai
Agregat
Kepentingan
Teori Pilihan Teori Rational Choice Teori
Rasional Institutionalisme (RCI) Institusional

Pilihan Tindakan
Individu

Sumber: Sanusi, 2019: 132


Gambar 1.8 Perkembangan Awal RCI

Kedua, institusionalisme sosiologis. Pendekatan ini ber-


akar dalam teori organisasi, antropologi, dan kajian budaya.
Aliran ini menekankan gagasan budaya institusional. Para ahli
ini memandang aturan, norma, dan struktur institusi bukan
sebagai secara rasional melekat atau didikte oleh asas-asas
efisiensi, melainkan dikinstruksi secara budaya. Pandangan ini
berpengaruh dalam analisis pemerintahan misalnya proses
pembuatan kebijakan publik.

The Logic of Collective Action (1965). Teori pilihan rasional berusaha


mengembangkan aksioma-aksioma tentang pilihan terbaik dan preferensi
yang sudah digagas oleh pakar-pakar Klasik dan Neoklasik sebelumnya.

68 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
Standar

Kebijakan
Individu Ukuran
Masyarakat

Efektifitas

Sumber: Sanusi, 2019: 178


Gambar 1.9 Implikasi SI dalam analisis Kebijakan Publik

ILMU PEMERINTAHAN 69
Disiplin dan Metodologi
70 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
BAB 2
PARADIGMA
ILMU PEMERINTAHAN

Apabila kita telusuri literatur-literatur ilmu pemerintahan,


maka ditemukan ada tiga paradigma ilmu pemerintahan, yaitu
pemerintahan sebagai a ruling process; pemerintahan sebagai
a governing process; dan pemerintahan sebagai an adminis-
tering process.1 Selain itu, terdapat tiga gelombang pemikiran
atau kubu dalam memandang eksistensi ilmu pemerintahan,
yaitu kubu kybernologi, kubu Universitas Gadjah Mada (UGM)
dan Universitas Indonesia (UI), dan kubu generasi baru me-
mandang ilmu pemerintahan sebagai arena interaksi state dan
non-state actor.2 Sebelum menjelaskan tiga paradigma ilmu
pemerintahan dan arus pemikiran tersebut diatas, buku ini
menguraikan terlebih dahulu logika tahapan perkembangan
ilmu pengetahuan Thomas Kuhn (1989) dalam bukunya The
Strukture of Scientific Revolution.3 Karena dalam buku inilah
1
Lihat Ryaas Rasyid, 2007. Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika
dan Kepemimpinan, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, hal. 15-20
2
Anderiasta, 2014. Memahami Pemerintahan: Sketsa Teoritis, Refleksi
Empiris dan Kontemplasi Kritis, IPDN Press, Jakarta, hal. 14
3
Thomas S. Kuhn, The Strukture of Scientific Revolution. Pertama terbit
pada tahun 1962 dalam bentuk esai, dalam esai ini diketengahkan konsep sentral
paradigma. Karya ini dipandang para ilmuwan sebagai karya monumental
mengenai sejarah dan filsafat sains.

ILMU PEMERINTAHAN 71
Disiplin dan Metodologi
didapatkan penjelasan apa itu paradigma (paradigm) dan bagai-
mana suatu ilmu tumbuh dan berkembang?

TAHAPAN PERKEMBANGAN ILMU


Karya Kuhn (1989) ini memang tidak membahas perkem-
bangan ilmu pemerintahan. Buku ini membahas perkembangan
ilmu pengetahuan alam, terutama fisika dan kimia. Dengan kata
lain, membahas paradigma dalam ilmu pengetahuan dan bukan
paradigma dalam ilmu sosial. Menurut Zainuddin Maliki (2012),
jika analoginya konsep paradigma dapat diterapkan dalam ranah
ilmu pengetahuan, maka masuk akal untuk diandaikan bahwa
paradigma juga dapat diterapkan untuk membangun jalan bagi
mereka yang mencoba memikirkan berbagai aspek kehidupan
sosial. Sejak tahun 1970-an, sejumlah ahli sosiologi melakukan
hal itu.4
Namun pemikiran yang dikembangkan didalamnya telah
mempengaruhi pemahaman para ilmuwan lain diluar ilmu
eksakta tentang ilmunya masing-masing.5 Menurut penulis
tentu saja termasuk ilmuwan politik dan pemerintahan.
Meskipun pada model ini terdapat sejumlah kelemahan ter-
utama, apabila kita bermaksud menggunakannya dalam meng-
uraikan perkembangan ilmu sosial termasuk ilmu pemerintahan.6
Namun, menurut penulis masih banyak kemudahan dan manfaat

4
Lihat Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, hal.14-20.
5
Mohtar Mas’oed. 1990. Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan
Metodologi, LP3ES, Jakarta, hal.7-8.
6
Lihat Zainuddin Maliki, 2012, opcit, hal. 15-17. Menurut Kuhn, “Posisi
paradigma begitu sentral. Sebab tanpa paradigma pengetahuan untuk
memandu, mengintegrasikan dan menafsirkan karya, maka para ilmuan akan
menciptakan informasi yang bersifat acak dengan paradigma ilmiah itu,
mereka akan dapat memformulasikan teori yang dapat mengorganisasikan
pengetahuan dan memberikannya makna. Dalam pandangan Kuhn, sulit
melakukan pemaknaan kepada kehidupan sosial, memahami relasi antara
realitas yang ada, mengevaluasi dan menganilisnya tanpa metodologi yang
dirumuskan sebelumnya dan disinilah perlunya paradigma.”

72 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
menggunakan model ini, terutama terkait sejarah dan filsafat
sains. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Stephen Cotgrove
menyatakan bahwa paradigma memberikan kerangka makna,
sehingga pengalaman memiliki makna dan dapat dipahami.7
Namun demikian ia bersifat normatif dan juga berdimensi
kognitif, yang tidak hanya menunjukkan “apa” akan tetapi juga
“bagaimana seharusnya”. Paradigma sosial dengan demikian
dapat diartikan sebagai “miniatur pandangan dunia” yang di-
lakukan oleh masyarakat.8
Lalu, bagaimana sebenarnya pandangan Kuhn tentang
paradigma?9 Secara singkat menurut Kuhn, ilmu-ilmu pengeta-
huan alam berkembang bertahap-tahap. Pada tahap awalnya,
kegiatan keilmuan itu terutama adalah penelitian sederhana
dalam bentuk pengumpulan fakta secara acak. Dalam proses
ini semua bahan penelitian dikumpulkan dan dianggap sama
penting dan relevan, tanpa ada upaya pemilahan atau klasifikasi.
Dari kegiatan yang tidak terarah ini, muncul banyak fakta dan
generalisasi yang saling bertentangan. Hasil penyelidikan yang
dilakukan seorang ilmuwan bertentangan dengan hasil penye-
lidikan ilmuwan lainnya. Begitulah, kegiatan keilmuan tanpa
arah ini berjalan terus menghasilkan banyak perdebatan, polemik
dan argumentasi. Dengan berlalunya waktu, perbedaan-perbedaan
pandangan itu menyurut ketika salah satu dari berbagai “aliran
pemikiran” itu membuktikan kemampuannya, melebihi yang
lain, untuk mengintegrasikan berbagai informasi pengetahuan
yang tersebar tidak teratur itu.10 Proses pengintegrasian gagasan-
gagasan inilah yang disebut Kuhn sebagai “paradigma”. Se-
lanjutnya, konsep dasar inilah yang menjadi tesis sentral Kuhn

7
Lihat Stephen Cotgrove, The Sicience of Sosiology: An Introduction to
Sociology, dalam Maliki, 2012, Op.cit. hal. 20
8
Zainuddin Maliki, 2012, Ibid, hal. 20
9
Lebih jauh lihat Thomas S.Kuhn ,1962. The Structure of Scientific
Revolutions, Chicago: University of Chicago Press
10
Mohtar Mas’oed, Ibid, hal. 8

ILMU PEMERINTAHAN 73
Disiplin dan Metodologi
mengenai “revolusi keilmuan” dalam menjelaskan per-
kembangan ilmu pengetahuan.
Definisi Kuhn (1970) tentang paradigma memang kurang
begitu jelas atau menggunakan istilah Winarno (1993 ) bersifat
“majemuk”. Namun menurut Mas’oed (1990) secara sederhana
paradigma bisa diartikan sebagai “aliran pemikiran yang
memiliki kesamaan asumsi dasar tentang suatu bidang studi,
termasuk kesepakatan tentang kerangka konseptual, petunjuk
metodologis dan teknik analisis”. Menurut pemahaman Masterman,11
konsep paradigma Kuhn dapat dirumuskan kedalam tiga tingkat
pengertian. Pada tingkat abstraksi tertinggi konsep paradigma
Kuhn, yang oleh Masterman disebut sebagai “metaphysical
paradigma” (meta paradigm), dapat dimengerti sebagai suatu
pandangan dunia keilmuan (a total world view, gestalt, atau
weltanschauung) di dalam suatu ilmu pengetahuan tertentu.
Di dalam perumusan Kuhn, metaphysical paradigm, ia
definisikan sebagai keseluruhan konstelasi keyakinan-keyakinan,
nilai-nilai, teknik-teknik dan sebagainya yang dianut oleh
anggota-anggota suatu komunitas keilmuan tertentu. Sebagai
metaphysical paradigm paradigma memungkinkan ilmuan
memahami dunia yang sangat luas dan kompleks ini, yang
sebaliknya tidak mungkin dipahami seandainya mereka harus
memahaminya secara random.
Selanjutnya Budi Winarno (1993) mengutip buku Kuhn
“The Structure of Scientific Revolution” menuliskan bahwa
metaphysical paradigm memiliki fungsi penting; mendefi-
nisikan entitas-entitas yang menjadi perhatian komunitas
keilmuan, merumuskan kemana entitas-entitas itu harus dicari
atau ditemukan, dan merumuskan pemahaman yang mereka
harapkan ketika entitas-entitas yang menjadi perhatian ilmuan
telah ditemukan dan diuji. Pada tingkat abstraksi yang lebih
rendah, yang oleh Masterman diberi label sebagai “sociological
paradigm”.
11
Winarno, mengutip Lakatos dan Musgrave, 1970.

74 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
Paradigma merupakan dasar berpijak dalam melihat suatu
realitas. Kekuatannya justru terletak pada kemampuannya
membentuk apa yang dilihat, bagaimana cara melihat sesuatu.
Ia mempengaruhi teori yang dipilih dan metode yang digunakan.
Oleh karena itu, paradigma dimengerti sebagai “exemplar.”
Paradigma dapat dimengerti sebagai “exemplar” yang oleh
Kuhn didefinisikan sebagai suatu elemen di dalam metaphysical
paradigm. Pencapaian-pencapaian berupa solusi kongrit masalah-
masalah yang apabila dipergunakan sebagai model dapat me-
nggantikan aturan-aturan eksplisit untuk memecahkan banyak
masalah-masalah lain dari normal science. Pengertian para-
digma sebagai exemplar dipergunakan Kuhn untuk meng-
gantikan pengertian paradigma yang pertama di dalam upaya
mengakomodasi kritik-kritik terhadap pemahamannya tentang
ilmu pengetahuan yang sangat menekankan elemen-elemen
irrasionalitas dan subjektivitas. Pada tingkat abstraksi terendah,
yang oleh Masterman disebut sebagai “construct paradigm”.12
Akan tetapi, suatu teori yang dominan (paradigma), bila tiba-
tiba dihadapkan dalam suatu pengecualian (anomali), maka
tidak berarti bahwa teori tersebut batal atau tidak diperhatikan.
Dalam perkembangannya, anomalinya menjadi banyak, sehingga
lebih banyak daripada yang normal, maka akan terjadi revolusi
yang mengakibatkan tampilnya paradigm baru.13
Konsep paradigma Kuhn, sangat penting bagi pemahaman
tentang karakter dan tingkat perkembangan ilmu-ilmu pengeta-
huan pada umumnya dan ilmu-ilmu sosial dan ilmu pemerintahan
khususnya. Sebab paradigma menyangkut pula masalah “pengakuan”
suatu komunitas. Masterman misalnya menyatakan bahwa
konsep paradigma dapat dipergunakan sebagai parameter untuk
membuat system klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan. 14 Ber-
12
Winarno, Op.cit, 1993, hal. 69
13
Heraty Nurhadi, 1998. Seri Kuliah Parogram Doktor Universitas Indonesia,
Jakarta. hal.17
14
Masterman dalam Budi Winarno, mengutip Imre Lakatos, dan Musgrave:
1993, hal.70

ILMU PEMERINTAHAN 75
Disiplin dan Metodologi
dasarkan luas sempitnya pengakuan paradigma oleh para ilmuan,
ilmu pengetahuan dapat dibedakan atas: paradigmatic, untuk
ilmu pengetahuan yang memiliki paradigma; non-paradigmatic,
bagi ilmu pengetahuan yang praktis tidak memiliki paradigma;
dualparadigmatic, untuk ilmu pengetahuan yang memiliki dua
paradigma; multiple paradigmatic, bagi ilmu pengetahuan
yang memiliki banyak paradigma.
Selaras uraian diatas, Winarno (1999) menyatakan bahwa
konsep paradigma yang dikemukakan oleh Kuhn itu, kendati
perumusannya tidak terutama dibuat di dalam konteks ilmu-
ilmu sosial, ternyata telah memberikan kepada ilmu-ilmu
sosial termasuk ilmu pemerintahan. Peluang yang luas bukan
hanya untuk mengukuhkan pengakuannya sebagai ilmu pe-
ngetahuan sebagaimana yang tanpa banyak keraguan telah sangat
lama diperoleh oleh ilmu-ilmu pengetahuan lain, akan tetapi
lebih-lebih untuk mengembangkan kemajemukan metodologi
mereka, tanpa keharusan yang sebelum itu dipinjam dari ilmu-
ilmu pengetahuan kealaman. Selanjutnya Winarno, menyebutkan
dengan karakter mereka sebagai ilmu-ilmu pengetahuan yang
memiliki paradigma ganda, ilmu-ilmu pengetahuan sosial kini
memiliki paradigma ganda, ilmu-ilmu pengetahuan sosial kini
memiliki keabsyahan mereka untuk mengembangkan kema-
jemukan metodologi sesuai dengan karakter subjek kajian dari
relasi antara para ilmuawan sosial dengan subjek kajian mereka.15
Ilmu yang sudah memiliki suatu paradigma yang disepakati
menurut Kuhn, sudah mencapai tahap normal science, yaitu
tahap ketika tidak ada lagi perbedaan pandangan yang mendasar.
Para praktisi dalam ilmu yang sudah mencapai tahap ini sudah
memiliki kesamaan pemahaman tentang fakta, kesepakatan
tentang aturan-aturan main dalam penelitian dan patokan-
patokan keilmuwan. Pendek kata, mereka sudah memiliki ke-

15
Winarno, Ibid, 1999, hal. 71

76 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
samaan pemahaman tentang kenyataan.16 Kuhn menggambarkan
kegiatan keilmuan pada tahap normal science ini dengan
memakai metafora orang yang berusaha memecahkan teka-teki
menyusun kembali jigsaw puzzle (permainan menyusun
potongan-potongan gambar) sehingga menjadi gambar yang
bermakna. Asalkan pemain itu cukup lihai, dia pasti bisa me-
mecahkan persoalan itu. Contoh yang lebih umum adalah teka-
teki silang yang sering dimuat oleh koran atau majalah. Pengisi
teka-teki ini juga yakin bahwa jawaban terhadap pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh pembuat teka-teki itu pasti ada;
hanya saja belum diungkapkan oleh si pembuat.
Begitulah, masalah-masalah yang diteliti dalam kerangka
paradigma adalah masalah-masalah yang diyakini ada jawaban-
nya, atau dengan kata lain, bisa diselesaikan. Lalu bagaimana
kalau salah satu potongan jigsaw itu hilang? Atau kalau pabrik
pembuatnya menambah potongan baru yang tidak lazim? Ini
tentu menimbulkan hasil yang baru, tidak terduga dan bahkan
tidak dapat diterima, timbullah anomaly. Kesadaran tentang
terjadinya anomali inilah yang menandai awal proses keilmuan
baru, yaitu pengakuan bahwa fakta yang ada tidak sesuai dengan
yang diduga akan terjadi oleh paradigma itu. Anomali ini me-
nyebabkan timbulnya ketidakpastian yang mirip dengan keadaan
sebelum ada partadigma itu.17
Dalam kondisi demikian, para ilmuan dalam paradigma
yang berbeda saling “berdebat membuktikan” tentang kenyataan
yang sesungguhnya terjadi, pada akhirnya muncul keraguan
akan kemampauan paradigma yang ada, sehingga mendorong
para ilmuan mencari alternatif paradigma. Menurut Mas’oed
(1999), dalam kondisi “ketidakpastian” tidak berarti bahwa”
mereka (para ilmuan) lalu tiba-tiba atau begitu saja membuang

16
Lihat Mas’oed, 1990. Ilmu Hubungan Internasional,Disiplin dan Metodologi,
LP3ES, Jakarta, hal. 9-10
17
Op.cit, hal.19

ILMU PEMERINTAHAN 77
Disiplin dan Metodologi
paradigma yang mereka anggap gagal membantu menjelaskan
kenyataan itu. Pada saat seperti inilah muncul para innovator
(atau menurut Kuhn “wildmen of science”), masing-masing
dengan paradigmanya sendiri-sendiri, yang membuat asumsi-
asumsi yang berbeda. Dan berulanglah proses itu, dimana
sebuah paradigma baru atau yang merupakan perbaikan dari yang
lama muncul mengungguli yang lain dan mendefinisikan kembali
atau menciptakan suatu “pandangan dunia” yang baru. Rangkaian
inilah apa yang disebut Kuhn sebagai “revolusi” keilmnuan.
Selanjutnya menurut Kuhn, alasan diterimanya suatu pa-
radigma baru oleh penganutnya ternyata seringkali sangat
bersifat politis. Suatu paradigma yang keluar sebagai pemenang
didalam revolusi keilmuan adalah paradigma yang banyak
menghimpun penganut; yang tidak perlu harus berarti memiliki
kemampuan penjelasan yang paling besar. Sebaliknya faktor-
faktor irrasionalitas dan subjektivitas seringkali justru sangat
menentukan lahirnya suatu paradigma baru.18 Menurut Ndraha
dalam Suwaryo (2017), ilmu pemerintahan secara paradigmatik
mengalami perkembangan secara bertahap, yaitu:
TAHAP I: Gejala-gejala pemerintahan dikaji oleh ilmu yang
ada pada waktu itu. Jadi merupakan salah satu kajian ilmu
tertentu, misalnya sosiologi, hukum, politik, dan sebagainya.
Jadi disini gejala-gejala pemerintahan baru menjadi objek
umum. Semua ilmu yang ada pada waktu itu berkepentingan
untuk menyoroti, mengkajinya secara umum.
TAHAP II: Gejala pemerintahan dipelajari oleh disiplin ilmu
pengetahuan yang ada, sehingga terbentuklah spesialisasi
disiplin yang bersangkutan, misalnya sosiologi mempelajari
gejala pemerintahan, maka lahirlah disiplin baru, yaitu sosiologi
pemerintahan. Pada tahap ini suatu ilmu (luar ilmu pemerin-
tahan) mengkaji lebih spesifik dan inten, sehingga gejala pe-
merintahan menjadi kajian cabang ilmunya.
18
Lihat Winano, hal. 67.

78 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
TAHAP III: Terbentuknya kelompok ilmu pengetahuan (body
of knowledge) yang dikonstruksikan dari konsep-konsep
sumbangan disiplin ilmu tertentu, maka lahirlah ilmu pe-
merintahan. Pada saat ini ilmu pemerintahan masih bersifat
idiografik elektis (gagasan-gagasan tertulis yang normative).
Ini merupakan ilmu pemerintahan generasi pertama. Jadi
betuurkunde yang bersifat ideografik-elektis, belum bestuur-
wetenshaap. Pada saat ini orang yang mempunyai perhatian
terhadap gejala pemerintahan mencoba mengorganisir untuk
merumuskan dan mendeskripsikan gejala-gejala pemerintahan
dengan meminjam/menggunakan konsep ilmu lain.
TAHAP IV: Ilmu pemerintahan pada tahap ini mempunyai
metodologi sendiri (MIP). Ilmu pemerintahan mempunyai
kemampuan untuk eksplanasi dan prediksi. Tahap ini merupakan
tahap awal terbentuknya pemerintahan sebagai suatu ilmu yang
nenpunyai persyaratan sebagai suatu ilmu.
TAHAP V: Metodologi ilmu pemerintahan digunakan oleh ilmu lain
TAHAP VI: Ilmu Pemerintahan sudah mempunyai cabang ilmu
tersedniri misalnya sosiologi pemerintahan.
TAHAP VII: Apabila cabang ilmu pemerintahan ini sudah mem-
punyai metodologi sendiri misalnya Metodologi Sosiologi
Pemerintahan.

Sebagai salah satu


Tahap II
kajian sosiologi

Sosiologi
Pemerintah
Sebagai salah satu
an kajia ilmu Tahap VI
pemerintahan

Gambar 2.1 Perkembangan Ilmu Pemerintahan

ILMU PEMERINTAHAN 79
Disiplin dan Metodologi
TRADISIONAL
Model perkembangan ilmu pengetahuan Thomas Kuhn
diatas dapat dipinjam untuk menjelaskan perkembangan ilmu
pemerintahan sejak awal mulanya sampai dewasa ini. Buku ini
ingin menunjukkan bahwa perkembangan ilmu pemerintahan
mirip dengan narasi Kuhn tentang ilmu pengetahuan alam. Ilmu
pengetahuan ini berkembang dalam tahap-tahap, dan setiap
tahap didominasi oleh semacam “paradigma”. Selanjutnya,
teori-teori ilmu pemerintahan umumnya dianut atau ditolak
lebih berdasar kesepakatan, bukan berdasar proses falsifikasi
seperti yang ditawarkan oleh model-model perkembangan ilmu
pengetahuan lainnya. Dengan meminjam kacamata Kuhn ini,
berikut akan dibahas perkembangan ilmu pemerintahan selama
ini dan perkembangan ilmu pemerintahan tidak dapat dipisahkan
dengan perkembangan ilmu politik sebagai ilmu rumpun
induknya.
Sejak semula, masalah-masalah politik dan kehidupan
pemerintahan telah dipelajari oleh manusia. Data-data tentang
pemerintahan telah dihimpun sejak zaman Yunani Kuno oleh
Herodotus (450 sebelum Masehi), Plato (427-347 sebelum
Masehi) dan Aristoteles (384-322 sebelum Masehi), bahkan
Aristoteles telah melakukan penelitian-penelitian sederhana
degan cara mengumpulkan data dan fakta sebanyak 158 peme-
rintahan yang ada dalam rangka mencapai suatu generalisasi
ilmu pengetahuan.
Sementara itu, di Asia ada beberapa pusat kebudayaan
antara lain India dan Cina, yang telah mewariskan tulisan-tulisan
praktik pemerintahan yang bermutu. Tulisan-tulisan dari India
terkumpul antara lain dalam kesustraan Dharmasastra dan
Arthasastra yang berasal dari masa kira-kira 500 sebelum
masehi (SM). Diantara filsuf Cina yang terkenal ialah Confucius
atau Kung Fu Tzu (+500 SM), Mencius (+ 350 SM) dan mazhab
legalitas (antara lain Shanhg Yang + 350 SM). Di Indonesia

80 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
ditemukan juga beberapa karya tulisan yang membahas sejarah
dan kenegaraan, seperti misalnya Negara Kertagama yang ditulis
masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan ke-15 Masehi dan babad
tanah Jawi.19
Perkembangan selanjutnya, di Negara-negara benua Eropa
seperti Jerman, Austria dan Perancis, bahasan mengenai politik
dan pemerintahan dalam abad ke-18 dan ke-19 banyak dipenga-
ruhi oleh ilmu hukum dan sejarah. Karena itu, banyak argumen-
tasi yang terkadang bertentangan satu dengan yang lain, ada
yang menekankan moral politik-pemerintahan dan ada yang
lebih memperhatikan pentingnya metode-metode ilmiah dalam
studi-studi pemerintahan. .
Di Inggris permasalahan pemerintahan dianggap termasuk
filsafat, terutama moral philosophy, dan bahasannya dianggap
tidak dapat dilepaskan dengan sejarah, sehingga pendekatan
normative dan legal-formal sangat menonjol.
Perkembangan yang berbeda terjadi di Amerika .Akan
tetapi dengan didirikannya Ecolo Libre des Sciences Politiques
(1870) dan London School of Economics and Political Science
(1895) ilmu politik untuk pertama kali dianggap sebagai
disiplin tersendiri yang memiliki metodologi dan metode yang
diakui oleh komunitas ilmuan classic, dimana selanjutnya
karya-karya classic ilmuan politik berpengaruh pada perkem-
bangan ilmu pemerintahan.
Perkembangan yang berbeda terjadi di Amerika Serikat.
Mula-mula tekanan yuridis seperti yang terdapat di Eropa
mempengaruhi masalah pemerintahan. Akibatnya unsur legal-
formal dan aspek kelembagaan formal menjadi menonjol. Apa
yang seharusnya dari pemrintahan dan memfokuskan perhatian
pada nilai yang menjadi tujuan masyarakat .Sementara itu, di
Eropa Timur pendekatan tradisionil dari segi sejarah, filsafat
dan yuridis ini masih tetap dipakai pada waktu Sesuai dengan
19
Budiardjo, Ibid. hal.1

ILMU PEMERINTAHAN 81
Disiplin dan Metodologi
perkembangan ilmu poitik tentu termasuk pula kajian-kajian
yang dilakukan ilmuan politiknya ,muncul banyak fakta temuan
dan tentu secara metodologis disepakati okeh kaum pendukung
normative dalam ilmu politik. Namun seiring dengan kondisi
ini, muncul keinginan membebaskan diri dari tekanan yuridis,
histories, dan normative kepada pengumpulan data empiris,
bersamaan dengan perkembangan sosiologi, pshicologi, kedua
cabang ini banyak mempengaruhi metodologi dan terminologi
ilmu politik. Waktu berjalan begitu cepat ilmu politik berkem-
bang begitu pesat di Amerika ditandai dengan didirikannya
American Political Science Association (APSA) pada tahun
1904. Kemudian, didirikannya sejumlah fakultas dan llmu politik
mulai diajarkan di kampus-kampus, baik di Amerika, Belanda
termasuk Indonesia.
Setelah memasuki abad ke 19 dan 20 ilmu politik dan
(pemerintahan) berkecmipung pula dalam persoalan metode-
metode ilmiah. Pada awalnya ilmu politik ketika itu dihadap-
kan antara lain kepada pertanyaan apakah ilmu politik itu ilmu
penegetahuan? Sementara posisi taksonomi pada waktu itu ilmu
pemerintahan dipandang sebagai bahagian ilmu politik. Untuk
menjawab pertanyaan klasik apakah ilmu politik itu ilmu pe-
ngetahuan, tokoh-tokoh pelopor ilmu politik pada abad ini ialah
sarjana University of Chicago Charles E. Miriram “New Aspec
of Politics (1925), dan George E.G. Catlin “The Science and
Method of Politics (1927) berusaha melepaskan diri dari te-
kanan dan kungkungan pemikiran nornatif yang legal-formal,
kepada gagasan pemikran yang empiris dan menggunakan
metode ilmiah yang canggih. Dalam implementasinya gagasan-
gagasan tersebut berkembang kedalam beberapa aliran pemikiran
yang masing-masing ada pengikutnya. Menurut Salvdori,20 pada
waktu itu berdasarkan ukuran nasional ada aliran-aliran yang
merupakan lima tipe ilmu politik, yaitu ilmu politik Amerika
20
Salvdori, dalam The Liang Gie, 2000

82 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
Serikat, ilmu politik Inggris, ilmu politik Prancis, ilmu politik
Jerman dan Ilmu politik Soviet, ilmu politik di Negara-Negara
lainnya yang umumya dapat digolongkan dalam salah satu tipe
tersebut diatas. Diantara aliran-aliran itud, aliran “Chicago”
demikian besarnya pengaruhnya. Aliran ini dipimpin oleh
Miriam ketika itu tidak hanya di Amerika, tetapi bagi perkemba-
ngan ilmu politik di sejumlah Negara dengan pengikut-
pengikutnya.21 Berdasarkan luasnya cakupan dan pengikut aliran
pemikiran ini secara tidak langsung membuktikan kemampuannya
mengintegrasikan berbagai informasi pengetahuan yang ter-
sebar. Proses ini menciptakan sesuatu yang dalam termino-
logi Kuhn disebut “paradigma” baru yang mengusung perang-
kat metode ilmiah, sebelumnya paradigma “classic” mengusung
“nilai” dan tujuan-tujuan masyarakat.
Paradigma baru itu terkenal dengan nama “behavioralisme
paradigm” (paradigma tingkah-laku). Paradigma ini timbul
dalam masa sesudah perang Dunia II, terutama dalam dekade
lima puluhan, sebagai gerakan pembaharuan yang ingin me-
ningkatkan mutu ilmu politik. Gerakan ini terpengaruh oleh
karya-karya sarjana sosiologi, Max Weber dan Talcott Parson,
diamping penemuan-penemuan baru dibidang psikologi.
Sarjana-sarjana ilmu politik yang terkenal karena pendekatan
tingkah laku politik ini ialah Gabriel A. Almond yang terkenal
dengan pendekatan struktural-fungsional (structural-functional
analysis), David Easton dengan teori system (general system
analysis), Karl W. Deutsc (comunication theory), David
Truman, Rabert Dahl dan sebagainya.22

BEHAVIORIALISME
Salah satu pemikiran penganut mashab behavioralisme
ini adalah tingkah laku politik lebih menjadi fokus, daripada
21
Salvdori, dalam The Liang Gie, 2000
22
Budiardjo, Op.Cit, hal. 5

ILMU PEMERINTAHAN 83
Disiplin dan Metodologi
lembaga-lembaga politik atau kekuasaan atau keyakinan politik.
Akan tetapi yang lebih menonjol lagi ialah penampilan suatu
oritensi tertentu yang mencakup beberapa konsep pokok. Me-
nurut Budiardjo (2000), konsep-konsep pokok dari kaum
behavioralis dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Tingkah-
laku politik memperlihatkan keteraturan (regularitas) yang
dapat dirumuskan dalam generalisasi-generalisasi; (2)
Generaliasi-generalisasi ini pada azaznya harus dapat dibuktikan
(verivication) kebenarannya dengan menunjuk pada tingkah
laku yang relevan; (3) Untuk mengumpulkan dan menafsirkan
data diperlukan teknik-teknik penelitian yang cermat; (4) Untuk
mencapai kecermatan itu diperlukan pengukuran dan kwanti-
fikasi; (5) Dalam membuat analisa politik nilai-nilai pribadi si
peneliti sedapat mungkin tidak main peranan (value-free); (6)
Penelitian politik mempunyai sikap terbuka terhadap konsep-
konsep, teori-teori dan ilmu sosial lainnya termasuk ilmu pe-
merintahan. Dalam proses interaksi dengan ilmu pemerintahan
misalnya dimasukkan istilah baru seperti sistim politik, fungsi,
peranan, struktur, budaya politik dan sosialisasi politik di
samping istilah lama seperti Negara, kekuasaan, jabatan, institute,
pendapat umum dan pendidikan kewarganegaraan.
Sementara itu pelopor-pelopor paradigma tradisional atau
klassik tidak tinggal diam dan terjadilah polemik yang sengit
antara paradigma klasik yang normative dengan paradigma
behavioralisme. Sarjana-sarjana seperti Eric Voegelin, Leo
Strauss, John Hallowel memerangi paradigma behavioralisme
dengan argumentasi bahwa pendekatan tingkah laku terlalu lepas
dari nilai dan tidak memberi jawaban atas pertanyaan yang
bedasarkan pandangan hidup tertentu seperti misalnya : sistim
politik apakah yang paling baik, atau masyarakat yang sebaiknya
dituju, dan sebagainya. Juga dilontarkan kritik bahwa tidak ada
relevansi dengan politik praktis dan menutup mata terhadap
masalah-masalah sosial yang ada (Budiardjo 2000). Dalam
kondisi demikian, masing-masing pihak tampak “kehilangan

84 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
kepercayaan” terhadap kerangka metodologis dan metode yang
ada.karena dianggap kurang sesuai dengan realitas yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat. Menurut Kuhn, kondisi semacam
inilah yang disebutnya “anomaly”. Kesadaran tentang terjadinya
anomali inilah yang menandai awal proses keilmuan baru, yaitu
pengakuan bahwa fakta yang ada tidak sesuai dengan yang diduga
akan terjadi oleh paradigma itu.23
Menurut Mas’oed (1990), namun hal ini tidak berarti
bahwa mereka lalu tiba-tiba atau begitu saja membuang para-
digma yang mereka anggap gagal membantu menjelaskan ke-
nyataan itu. Biasanya mereka masih berusaha melakukan
perubahan atau perbaikan pada paradigma lama itu. Pada saat
seperti inilah muncul para innovator (atau menurut Kuhn
wildmen of science), masing-masing dengan paradigmanya
sendiri-sendiri (behavioralisme dan classic), yang memuat
asumsi-asumsi yang berbeda. Dan berulanglah proses itu,
dimana sebuah paradigma baru atau yang merupakan perbaikan
dari yang lama muncul mengungguli yang lain dan mendefinisi-
kan kembali atau menciptakan suatu “pandangan dunia” yang
baru.

POST-BEHAVIORALISME
Dalam hubungan ini perlu disebut timbulnya “revolusi
post-behavioralisme”. Gerakan ini timbul di Amerika pada
pertengahan dekade enam puluhan dan mencapai puncaknya
pada akhir dekade enam puluhan ketika pengaruh berlangsung-
nya perang Vietnam dan kemajuan-kemajuan teknologi antara
lain di bidang persenjataan dan diskriminasi ras melahirkan
gejolak-gejolak sosial yang luas. Gerakan protes ini terpe-
ngaruh oleh tulisan-tulisan cendekiawan seperti Herbert
Marcuse, C.Wright Mills, Jean Paul Sarte, dan banyak men-
23
Lihat Mas’oed, 1990. Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan
Metodologi, LP3ES, Jakarta, hal.10

ILMU PEMERINTAHAN 85
Disiplin dan Metodologi
dapat dukungan di kampus-kampus universitas. Reaksi dari
kelompok ini berbeda daripada sikap kaum tradisionil; yang
pertama lebih memandang ke masa depan, sedangkan kelompok
kedua lebih memandang kemasa lampau. 24 Reaksi post-
behavioralisme ditujukan untuk merubah penelitian dan
pendidikan ilmu politik menjadi suatu ilmu pengetahuan yang
murni, sesuai dengan pola ilmu eksakta dengan sandaran pe-
mikiran positivisme. Sebelumnya disadari bahwa penjelasan
tingkah laku manusia secara empiris mengikuti aksi reaksi
dalam fisika ternyata dapat menyesatkan. Sebab pola hubungan
tingkah laku manusia cenderung berupa interaksi. Kegagalan
inilah yang mendorong lahirnya paradigma post-positivisme.
Post-positivisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1)
mencoba memperoleh gambaran yang lebih luas; (2) bersifat
holistik; (3) berusaha memahami makna (atau pemahaman yang
mendalam); (4) memandang hasil penelitian sebagai spekulatif.25
Menurut pendukung paradigma ini manusia adalah “control”
bukan objek. Karena itu dalam melakukan penelitian metode
yang canggih, kwantitatif dan yang empiris tidak cukup, re-
levansi penelitian adalah hal yang penting daripada penelitian
yang cermat. Penelitian yang abstrak hanya menjadikan ilmu
politik lepas dari kontak dan realitas sosial. Jika kondisi ini
yang terjadi ilmuan politik secara histories akan terlupakan
oleh sejarah akan datang. Kesadaran metodologis dan teknik-
teknik penelitian yang diyakini pendukung post-positivisme,
ilmuwan yang menyadari anomaly ini terus berdebat dan
cenderung mengungguli pandangan masing-masing dan kondisi
ini menyebabkan krisis kepercayaan, seperti kondisi belum
munculnya paradigma. Ilmuwan pada akhirnya berusaha mencari
alternatif berfikir, perdebatan ini berflangsung terus menerus
dan pada akhirnya dalam model Kuhn apa yang disebutnya
sebagai “revolusi ilmu pengetahuan”.
24
Budiardjo, 2000, hal. 23
25
Starmanto dalam Ida Bagoes Mantra, 2004, hal. 26

86 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
Dituntun paradigma post-positivisme, para ilmuwan
menciptakan instrument-instrumen baru dan mengarahkan pada
hal-hal yang baru. Munculnyua paradigma baru ini tergantung
pada kemampuannya menyelesaikan atau memecahkan ano-
maly yang diketemukan dalam paradigma lama. Selain itu, ia
juga harus melanjutkan sebahagian besar kemampuan peme-
cahan masalah kongkrit yang dimiliki oleh ilmu tersebut se-
bagai hasil karya paradigma lama yang digantinya. Dalam
pengertian ini, sebahagian besar revolusi keilmuan lebih mirip
dengan “kudeta istana” yang terjadi dibanyak Negara dunia
ketiga (dimana perubahan kepemimpinan tidak diikuti dengan
perubahan keseluruhan aturan main) daripada revolusi Perancis
atau Rusia.26 Revolusi keilmuan dimaksudkan pula tidak berarti
bahwa paradigma lama ditinggal begitu saja. Artinya, sebagai
contoh dalam perkembangan ilmu politik, meskipun paradigma
normative tidak lagi satu-satunya paradigma, yang kemudian
ada lagi paradigma positivisme, post-positivisme, dan after
post-positivisme. Tapi paradigma classic masih tetap dipakai,
hanya saja bukan lagi sebagai paradigma yang “dominan”.
Dalam ilmu pemerintahan, misalnya masalah pengelolaan
kekuasaan sudah hadir sejak awal kehidupan manusia. Sejak
Plato memandang pemerintahan berdasarkan wibawa, kecen-
dekiaan, dan kebijakasanaan sang penguasa dan mensyaratkan
bahwa penguasa seyogyanya juga seorang filosof (the
Philosopher King). Maka, paradigma dalam ilmu pemerintahan
sudah mulai terbentuk, yaitu the ruling. Dalam perjalannya,
pandangan ini berkembang. Karena pemerintah tidak mampu
memproklamirkan diri sebagai satu-satunya sumber kekuasaan
yang absah. Masyarakat sudah menjadikan dirinya sendiri
sebagai sumber kekuasaan. Selanjutnya, dibangun berbagai
konsensus etis yang dituangkan ke dalam aturan hukum yang
26
Lihat Mas’oed, 1990. Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan
Metodologi, LP3ES, Jakarta, hal. 9-10

ILMU PEMERINTAHAN 87
Disiplin dan Metodologi
bersifat mengikat.27
Model Kuhn itu dapat pula digunakan untuk menunjukkan
perkembangan teori-teori ilmu politik dan pemerintahan.
Dalam perkembangannya apakah suatu teori ilmiah politik
termasuk teori ilmu pemerintahan diterima atau ditolak,
ternyata bukan ditentukan semat-mata oleh pertimbangan
rasional, atau kekuatan logika, tetapi lebih banyak ditentukan
oleh pertimbangan “irrasional”, yaitu kesepakatan dalam
komunitas ilmuwannya. Dengan kata lain, kriteria ujian bagi
suatu teori menurut Kuhn bukanlah kemampuan untuk bertahan
terhadap falisifikasi, tetapi kemampuan meyakinkan sebahagian
besar anggota komunitas kelimuan itu.28 Dengan demikian, per-
soalan siapa yang mendukung,bagaimana dukungan itu dicapai,
kapan dukungan itu menjadi kesepakatan adalah hal yang penting
selain pertimbangan rasionalitas dalam perkembangan ilmu
pemerintahan. Selanjutnya bagaimana posisi peneltian dalam
ilmu pemerintahan?
Adapun posisi aktifitas penelitian dalam konteks bingkai
berfikir Kuhnian adalah cenderung pada tahapan menginteg-
rasikan berbagai informasi yang semula tidak terduga oleh
paradigma post positivisme yang dalam model Kuhn disebut
anomaly.
Secara ontology, menurut pendukung mashab post-
positivisme pendekatan yang luas dan holistik adalah keharusan
bagi studi-studi ilmu pemerintahan agar tidak lepas dari realitas
yang ada. Akan tetapi, pendekatan yang menyeluruh dan makro
tersebut dalam sejarahnya menuntut “kelenturan-kelenturan”
yang sifatnya bisa mikro-bisa makro, sebagai konsekuensi
pentingnya nilai dalam penelitian-penelitian pemerintahan.
Konteks persoalan tersebut adalah ruang/tempat/wilayah,
27
Ryaas Rasyid, 2007. Makna Pemerintahan: Tinjauan dari segi Etika dan
Kepemimpinan, hal. 16-21
28
Ibid, 1999: 13. Bagian ini didasarkan pada eksplanasi Mohtar Mas’oed, Ilmu
Hubungan Internasional, Disiplin dan Metodologi. Bab I

88 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
waktu, dan objek pendukung penelitian. Penelitian ini mem-
punyai keinginan mendekonstruksi “kelenturan-kelenturan”
persoalan yang sebenarnya dalam penelitian sosial sangat
classic tersebut. Hal ini dapat dilihat dari latar belakang
dilakukannya penelitian. Area studi tidak hanya dilihat sebagai
wilayah, ruang, tempat, tapi diartikan juga sebagai tatanan waktu
yang “berubah” perubabahan bukan kemajuan, tapi dapat
diartikan juga kemunduran atau kemiskinan (wilayah yang
berkurang), seperti apa yang dialami oleh masyarakat suku Sakai
dan Melayu.
Dapat pula dilihat sebagai kemajuan seperti yang dialami
oleh umumnya para elite pusat dan lokal. Kemudian waktu da-
lam studi ini mengandung makna juga dinamika perkebunan
dari masa kolonial hingga kemerdekaan ini. Ini fakta dan bukan
utopia, hanya untuk memudahkan dibuat simbol waktu, metode
untuk mengidentifikasi agar relevan dan dapat ditindak lanjuti
oleh pelaku (struktur) seperti yang dianjurkan oleh pengikut
paradigma post-postivisme perlu kelenturan-kelenturan (ini
masalah seni, pengalaman atau bagaimana mengintegrasikan
berbagai informasi yang berserakan). Singkat kata, secara
epistimologi menurut studi ini peneliti tetap “pengendali seka-
ligus control”, meskipun bukan berarti informan dapat diartikan
“objek”. Semula post-positivisme menuntut bersatunya subjek
peneliti dengan saubjek pendukung objek penelitian. Alur
berfikir ini akan banyak mendapat tantangan dan peluang atau
kemungkinan-kemungkinan apabila dikaitkan dengan subjek
penelitian. Subjek bukan hanya masalah dassain-dassollen,
namun menyangkut pula masalah-masalah sosial misalnya
kekerasan an konflik. Jadi gagasan dalam rencana penelitian
ini sebagai sebuah fenomena gunung es, puncak yang terlihat,
badan dan kaki gunung justru lebih besar masih tanda tanya
dalam bentuk pertanyaan penelitian.
Adapun yang menjadi pertanyaan penelitian dalam studi

ILMU PEMERINTAHAN 89
Disiplin dan Metodologi
adalah; bagaimana proses pengambilan keputusan pembangunan
diambil, apa faktor-faktor yang mempengaruhi, siapa yang
diuntungkan dan siapa dirugikan, apa peran Negara, dan apa
implikasi politiknya bagi pemberdayaan masyarakat. Perta-
nyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan yang mendesak harus
dijawab bersama. Asumsinya adalah bahwa kebijakan adalah
suatu tindakan kolektif bukan tindakan individual, dimana
masing-masing aktor memiliki kepentingan-kepentingan yang
berbeda, sumberdaya politik, basis sosial, dan jaringan nya
sendiri-sendiri. Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidak
hanya dari kaca baca ilmu tertentu, tapi justru penjelasan ilmu
politik atau pemerintahan yang relevan. Sebab proses poliitik
tidak dapat dipahami dengan baik tanpa mengkaitkan dengan
proses pemerintahan yang berlangsung masa kolonial hingga
sekarang, tingkat lokal, domistik, dan global.
Secara metodologis post-behavioralisme dan tuntutan
pardigma post-positivisme adalah tuntutan kepada ilmu peme-
rintahan agar tidak kehilangan kontak dengan realitas-realitas
sosial. Hanya saja mashab ini dirasa kurang mempertimbangkan
nilai-nilai lokal, padahal untuk konteks Indonesia inilah
realitasnya. Suatu peneltian bertujuan ingin mengungkapkan
realitas lokal tersebut.
Sejak tahun 1967, kritik keras muncul dari tokoh utama
teori behavioralisme tergabung dalam caucus for a New
Political Science antara lain Peter Bacharach, Cristian Bay,
Hans Morganthau, dan Theodore Lowi dan David Easton.
Menurut ilmuwan politik ini behavioralisme terlalu asyik
dengan model-model analisis dan metode-metode keilmuan,
sehingga melupakan realitas politik dan persoalan-persoalan
sosial yang ada. Kritik ini membuka ruang pendekatan alternatif
dalam ilmu nsosial-politik yang disebut pendekatan pasca
tingkah laku (Post-Behavioralism). Menurut pendekatan alter-
natif ini, objek ilmu politik harus digeser dari tingkah laku

90 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
aktor-aktor politik (individu atau kelompok) ke lembaga-lembaga
sosial politik penting di dalam negara seperti konstitusi,
regulasi dan organisasi-organisasi legislatif, yudikatif, dan
birokrasi.29 Tahun 1969, David Easton menyatakan bahwa post-
behavioralisme ingin membuktikan dirinya sebagai kekuatan
transformasi dalam disiplin ilmu politik. Kekuatan ini ber-
pengaruh besar dalam riset-riset ilmu pemerintahan terapan
dewasa ini.
Pada sarnya, masih menurut Easton, kemunculan mashab
post-behavioralisme ini dalam dua tingkatan: Pertama, post-
behavioralisme dapat diidentifikasi seebagai kelompok ahli
ilmu politik yang tidak puas terhadap implikasi behavioralisme.
Kedua, post-behavioralisme sebagai cara pandang intlektual
atau pendekatan baru dalam penelitian.30 Diskurus inilah yang
memberikan ruang mengemukanya pendekatan strukturalisme
dalam disiplin ilmu politik.
Bagi ilmu pemerintahan, kemunculan arus post-behavio-
ralisme ini membawa pemikiran baru dalam memperkuat
studi-studi pemerintahan terapan sesuai bentuk-bentuk masalah
sistem pemerintahan modern. Sebagaimana uraian dalam bab
1 bahwa Ilmu pemerintahan terapan (bestuurs-kunde) di-
perkenalkan G.A.Van Poelje tahun 1942. Ilmu penerintahan ini
mengacu kepada praktik penyelenggaraan pemerintahan dan
dapat dibagi dua jenis, yaitu ilmu pemerintahan ortodoks,
merumuskan keputusan-keputusan normatif dan perintah-
perintah berdasarkan pengalaman sendiri, intuisi, akal sehat.
Ilmu pemerintahan modern selalu melandaskan diri kepada
fakta-fakta dan data dengan dukungan metodologi empirik yang
kuat. Berbagai penelitian terkait pemerintahan modern hadir
misalnya peranan dan kedudukan birokrasi pemerintahan dalam
konteks globalisasi.
29
Sanusi, 2019. Loc. cit,. hal. 24-25
30
Ellen Grigsby, dalam John T. Isyyama and Marijke Breuning (ed), 2013. Ilmu
Politik dalam Paradigma Abad Ke-21: Sebuah Referensi Panduan Tematis,
hal.11

ILMU PEMERINTAHAN 91
Disiplin dan Metodologi
Dalam praktik, birokrasi, dan khususnya birokrasi peme-
rintahan, dinilai menampilkan karakteristik (yang tidak sejalan
dengan karakteristik birokrasi rasional; efisien, bersumber dari
kekuasaan yang bersifat legal-rasional, tidak diskriminatif,
system aturan dan prosedur yang jelas dan terbuka) yang terjadi
sebaliknya.31 Birokrasi sebagai organisasi yang besar dan ber-
tingkat dari pusat hingga ke daerah adalah pembantu penguasa
dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Birokrasi
pemerintah sipil tetap dikesankan sebagai organisasi yang
lamban, bertele-tele, tidak efisien, boros, korup dan sebagainya
dalam pelayanan publik. Padahal menurut Osborne, dalam
Hamdi (2002) yang mencoba membesarkan hati, dengan me-
ngatakan yang jelek adalah birokrasi, tetapi tidak otomatis,
birokratnya juga jelek.32 Dalam memberikan justifikasi Osborne
diatas, maka kedudukan post-bahavioralis dan strukturalisme
serta institusionalisme memperkuat kajian pemerintahan dewasa
ini. Ada tiga paradigma dalam pelayanan publik, dimana go-
vernance “interface” pergeseran tiga paradigma ini.33
Tabel 2.1 Pergeseran Paradigma Administrasi Publik
Old Public New Public New Public
Aspek
Aministration Management Service
Dasar Teori Politik Teori Ekonomi Teori
Teoritis, Demokrasi
Epistemologi
Konsep Kepentingan Kepentingan Kepentingan
Kepentingan publik secara publik mewakili publik adalah
Publik politis agregasi hasil
dijelaskan, kepentingan dialog berbagai
diekpresikan individu nilai
dalam aturan
hukum
Responsifitas Clients dan Customer Citizen’s
Birokrasi constituent
publik
Peran Rowing Steering Serving
Pemerintah
Akuntabilitas Hierarki Berekerja Multi aspek;
31
Hamdi, 2002, Ibid,Administratif
hal. 82 nsesuai dengan akuntabilitas
32
Hamdi, 2002. Ibid,dengan
hal. 83 jenjang kehendak pasar hukum, nlai-
33
Hamdi, 2002. Ibid,yang
hal. 83
tegas nilai,
komunitas,
norma politik,
92 ILMU PEMERINTAHAN
strandar
Disiplin dan Metodologi
profesional
Struktur Birokratik Disentralisasi Struktur
Organisasi ditandai dgn organisasi oleh kolobaratif
otoritas top- para agen secara internal
down dan eksternal
Asumsi thd Gaji, keuntungan Semangat Pelayanan
motivasi proteksi entrepreneur publik dengan
pegawai dan keinginan
Aspek
Aministration Management Service
Dasar Teori Politik Teori Ekonomi Teori
Teoritis, Demokrasi
Epistemologi
Konsep Kepentingan Kepentingan Kepentingan
Kepentingan publik secara publik mewakili publik adalah
Publik politis agregasi hasil
dijelaskan, kepentingan dialog berbagai
diekpresikan individu nilai
dalam aturan
hukum
Responsifitas Clients dan Customer Citizen’s
Birokrasi constituent
publik
Peran Rowing Steering Serving
Pemerintah
Akuntabilitas Hierarki Berekerja Multi aspek;
Administratif nsesuai dengan akuntabilitas
dengan jenjang kehendak pasar hukum, nlai-
yang tegas nilai,
komunitas,
norma politik,
strandar
profesional
Struktur Birokratik Disentralisasi Struktur
Organisasi ditandai dgn organisasi oleh kolobaratif
otoritas top- para agen secara internal
down dan eksternal
Asumsi thd Gaji, keuntungan Semangat Pelayanan
motivasi proteksi entrepreneur publik dengan
pegawai dan keinginan
administrator masyarakat

Sumber: Mulyadi, 2015:227

Pergeseran ketiga paradigma Tabel 2.1 menjelaskan


pergeseran paradigma administrasi Publik namun beberapa
akademisi yang menyatakan bahwa governance merupakan
salah satu paradigm dalam pelayan public, bahkan menyem-
purnakan konsep-konsep sebelumnya. Pergeseran ketiga
paradigma tersebut ambil contoh pergeseran paradigma ad-
ministrasi publik.

STRUKTURALISME
Metodologi behavioralisme atau post-behavioralisme
dan strukturalisme sama-sama memiliki fokus pengamatan
kepada dinamika politik dan pemerintahan. Namun perbedaan-
nya menurut Sanusi (2019) adalah arus pemikiran strukturalis
menempatkan nilai, norma, aturan, hukum, regulasi dan se-
bagainya (struktur atau institusi) sebagai pusat energi sosial
pelayanan dan tujuan bernegara-berbangsa. Sementara be-

ILMU PEMERINTAHAN 93
Disiplin dan Metodologi
havioralisme dan post-behavioralisme menempatkan pe-
rilaku manusia atau masyarakat (social agent) sebagai inti
pergerakan peradaban. Dalam behavioralisme, perilaku
membentuk individu dari dalam, kemudian individu menentukan
pilihan tindakan. Sedangkan dalam strukturalisme, struktur dan
institusi memebentuk alam pikir individu dari luar sebelum
individu menentukan pilihan tindakan.34 Gambar 2.2 ilustrasi
perbedaan diantara kedua mashab di atas.
Struktuuralisme/
Behavioralisme
Institusionalisme

Struktur Institusir
Individu

Perilaku Perilaku

Individu Struktur Instirusir

Pilihan
Pilihan
TIndakan
TIndakan

Sumber: Sanusi, 2019


Gambar 2.2 Perbedaan Behaviralisme dan Strukturalis

Thesa utama paham strukturalisme adalah bahwa tindakan


manusia tidak digerakkan oleh perilaku, melainkan digerakkan
oleh tata nilai dan aturan yang ada disekelilingnya.35Atau dengan

34
Sanusi, Op.cit, hal. 25
35
Lihat Sanusi, 2019

94 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
kata lain tindakan manusia ditentukan oleh struktur yang me-
lingkupinya. Secara rasional manusia merdeka atau bebas,
namun karena proses interkasi yang panjang antara manusia
terbentuklah struktur, dan manusia menjadi tidak merdeka lagi,
manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan tindakan. Dengan
demikian, menurut para pendukung mashab strukturalis,
struktur hadir bukan dibentuk oleh manusia melainkan proses
interaksi antara manusia. Struktur ada melalui suatu mekanisme
ide antar manusia dan kenyataan empiris.
Ilmu politik dalam mashab strukturalis (termasuk ilmu
pemerintahan) kotemporer, seperti halnya ilmu sosial positi-
vistik lainnya, ditandai oleh karakteristik berikut.36 Pertama,
kajian yang berangkat dari asumsi mengenai determinisme dan
“hukum kausal universal”. Pengetahuan dalam bentuk hubungan
sebab akibatlah yang disebut pengetahuan ilmiah. Kedua,
membedakan fakta dengan nilai. Fakta didasarkan atas observasi
empiris, dank arena dapat diuji kebenarannya. Sitem nilai sejati
dianggap tidak pernah ada karena berbagai nilai yang ada setara
secara penalaran dan yang satu konflik dengan yang lain. Ilmu
politik dapat mendeskripsikan nilai tanpa membuat penelilaian
yang satu lebih baik daripada yang lain. Ketiga, tujuan ilmu
pengetahuan ialah membangun teori dengan mengeneralisasi
hubungan kausal diantara pengetahuan faktual. Fungsi teori ialah
menjelaskan mengapa fenomena tertentu terjadi seperti itu,
bahkan meramalkan peristiwa apa yang akan terjadi pada masa
yang datang berdasarkan teori tertentu. Keempat, membuat
perbedaan logis antara ilmuwan yang memiliki nilai sendiri
dan mempelajari sikap dan pendapat yang didasari oleh nilai-
nilai tertentu. Untuk itu, seorang ilmuwan dianjurkan tidak
bertindak sebagai aktor politik melainkan sebagai pengamat
politik. Dan kelima, manakala ilmuwan politik tertarik mengkaji

36
Max Weber, The Methodology of The Social Science,dalam Budiardjo danTri
Nuke Pudiastuti (ed). Teori Politik Deawasa Ini, hal.4-5

ILMU PEMERINTAHAN 95
Disiplin dan Metodologi
kebijakan publik, ia tidaklah merumuskan nilai-nilai dasar dan
tujuan masyarakat, melainkan memberikan pertimbangan nilai
yang bersifat instrumental. Yang diberikan aadalah jawaban atas
pertanyaan mengenai sarana dan cara yang paling efisien men-
capai tujuan (means-end analysis), tetapi tanpa beruapaya
membenarkan tujuan itu sendiri, dengan memberikan pen-
jelasan mengapa kondisi-kondisi dan sejumlah tindakan ter-
tentu akan menyebabkan pencapaian tujuan tertentu.
Menurut Sanusi (2019), struktur adalah sebuah konsep
yang dirumuskan untuk membeda dengan realitas kongkret atau
empiris. Bagi pandangan strukturalis klasik, struktur bersifat
permanen dan mandiri. Ia berkembang tanpa dipengaruhi
berbagai perubahan yang ada diluar dirinya. Struktur kedap dari
pengaruh berbagai hal di liuar dirinya. Sementara terdapat
pandangan bahwa sesungguhnya struktur posisinya dan institusi
bersifat inklusif dan dinamis. Perubahan struktur dan institusi
lazim terjadi. Dalam perdebatan inilah muncul pemikiran baru
yang dikenal aliran pasca-strukturalisme (Post-Structuralism).

POST-STRUKTURALISME
Arus baru dalam ilmu politik ini nampak dari beberapa
pemikiaran misalnya bagaimana Jacques Derrida melakukan
kritik terhadap masalah internal system demokrasi.37 Michel
Foucault dalam diskursus terkait konsep demokrasi.38 Dalam

37
Lihat Jacques Derrida, 1998. Rouges: Two Essays on Reason (Stanford, CA:
Stanford University Press, dalam Anwar Sanusi, 2019,. Op.cit, hal.29. Jacques
Derrida melakukan kritik yang cukup mendasar tentang adanya masalah
internal system demokrasi. Dia melihat bahwa demokrasi adalah sebuah
system yang tidak stabil dan tak teratur, sehingga berpotensi mengingkari
tujuan pembentukan system demokrasi itu sendiri, yakni keadilan bagi warga.
Terlebih dalam demokrasi, opini mayoritas sangat dikedepankan, sehingga
hal itu juga dapat semakin menjauhkan demokrasi dari konsep keadilan yang
hakiki itu sendiri
38
Pierre Bourdieu, Parctical.1998. Reason: On The Theory of Action (Stanford,
CA: Stanford University Press, dalam Anwar Sanusi, 2019, Op.cit, hal.30

96 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
disiplin ilmu pemerintahan, pandangan post-strukturalis dan
institusionalism berpengaruh dalam beberapa pemikiran para
ilmuwan pemerintahan di Indonesia misalnya Afan Gaffar,
Taliziduhu Ndraha, Purwo Santoso, Cornelis Lay, Muchlis Hamdi,
dan Ryaas Rasyid.39
Ambil contoh pemikiran Santoso (2014) tentang keharusan
untuk kontektualisasi demokrasi di Indonesia. Menurut ilmuwan
pemerintahan ini bahwa masa transisi menuju demokrasi
haruslah disikapi secara lebih hati-hati. Karena prestasi dan
status negara demokrasi ternyata telah menjadi tempat persem-
bunyian berbagai bentuk inskonsistensi dalam bernegara.
Sebagai contoh, demokrasi pemilihan umum diselenggarakan,
namun justru dengan pemilihan umum itu terjadi kecurangan
berdemokrasi yang berwatak sistemik, yakni melalui money
politics (sebetulnya vote buying).40 Perdebatan ini memberikan
inspirasi bahwa masalah kontekstual meminjam istilah Hun-
tington menjadi hal yang harus diantisipasi. Tujuannya me-
nghindari proses konsolidasi demokrasi berjalan, sehingga
tidak terjebak kembali kepada negara otoriter. Pemikiran dan
tindakan bersama menghindari jebakan otoritarianisme inilah
menjelaskan bahwa argumen paradigm post-strukturalisme
berperan penting dalam menjelaskan fenomena politik-
pemerintahan dewasa ini dan masa depan. Karena ada banyak
39
Nama-nama para pakar ilmu pemerintahan penulis sebut (dalam catatan kaki)
dengan tidak mengurangi rasa hormat dan didasarkan penilaian penulis
baik atas karya-karyanya, maupun secara personal penulis pernah ber-
interaksi, berdiskusi langsung atas pemikiran-pemikiran yang diketengah-
kannya.
40
Lihat Purwo Santoso, 2014. Keharusan Untuk Kontektualisasi Demokrasi,
dalam AE Priyono dan Usman Hamid (ed), Merancang Arah Baru
Demokrasi: Indonesia Pasca-Reformasi, Kepustakaan Populer Garmedia,
Jakarta, hal.399-410. Dinarasikan Santoso, bahwa Yang dimaksud masalah
kontekstual adalah masalah yang terkait, namun bukan hal yang dicanangkan
sebagai agenda demokratisasi. Dalam pikiran transisi menuju demokrasi,
tersirat asumsi bahwa demokrasi adalah nilai universal yang terukur secara
universal pula, dan dimaksud dengan masalah kontekstual adalah masalah
unik yang terjadi dalam suatu negara.

ILMU PEMERINTAHAN 97
Disiplin dan Metodologi
faktor eksternal (struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya)
yang hadir di tingkat (pusat-lokal) turut menentukan kontrol
terhadap implementasi demokratisasi di Indonesia. Berbagai
faktor eksternal diatas berinteraksi dalam mekanisme gagasan
dan praktik yang memiliki basis sosial dan institusionil. Bagai-
mana proses interaksi ini berlangsung dalam masyarakat men-
jadi penekanan paradigma institusinalisme.

INSTITUSIONALISME
Paradigma institusionalisme sebenarnya belum lama
menjadi teori yang dominan dalam disiplin ilmu pemerintahan
di beberapa negara misalnya Belanda, Australia, Amerika, dan
termasik Indonesia. Lain halnya, paradigma tradisionalisme,
sejak tahun 1970-an sudah berkembang pesat melalui karya-
karya sebagai contoh misalnya Mariun (Universitas Gadjah
Mada) menulis “Azaz-azaz Ilmu Pemerintahan” tahun 1970,
Bayu Suryaningrat (Universitas Padjajaran) dalam bukunya
“Mengenal Ilmu Pemerintahan” tahun 1980, R. Soemendar
(Universitas Diponegoro) tahun 1980 melalui bukunya
“Pengantar Ilmu Pemerintahan”, dan Taliziduhu Ndaraha
melalui bukunya “Metodologi Pemerintahan Indonesia”.
Beberapa buku tersebut menjelaskan sejarah, kedudukan,
dimensi hukum, dan peranan ilmu pemerintahan dengan me-
nekankan lebih banyak sisi hukum lembaga-lembaga peme-
rintahan secara keseluruhan atau sisi nilai-perskriptif.41
Sejak tahun 1990-an akhir, pemikiran-pemikiran para-
digma institusionalisme dan neo-institusionalisme sudah mulai
diperdebatkan dalam berbagai disukusi, seminar dan meng-
hasilkan banyak kajian-kajian.
41
Lihat Ellen Gribsky, Sejarah Displin, dalam John T. Ishiyama dan Marijke
Breuning, 2013, Op.cit, hal. 4-5. Tradionalisme adalah pendekatan ilmu politik
(pemerintahan) yang ingin mempelajari fenomena politik dengan menyelediki
hokum,sejarah, dan /atau institusi seperti pemerintah secara keseluruhan,atau
institusi yang lebih terbatas, seperti badan-badan legislative, ekskutif, atau
yudikatif.

98 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
Dalam tahun 1990-an akhir, Afan Gaffar menulis paper
mengenai “Beberapa pokok Pikiran tentang Pengembangan
Program Studi Ilmu Pemerintahan di Indonesia”. 42 Adapun
pokok pikiran utama dalam tulisan ini antara lain adalah gagasan
bagimana bahwa ilmu pemerintahan sebagai ilmu pengetahuan
sejajar dengan ilmu-ilmu sosial lainnya termasuk ilmu politik.
Ilmuwan pemerintahan ini sadar betul bahwa tantangan eks-
ternal dari lingkungan ilmu pengetahuan terus menerus menguat
bahkan sampai mempertanyakan eksistensi ilmu pemerintahan
sebagai ilmu pengetahuan.Oleh karena itu, masih menurut
Gaffar bahwa fungsi ilmu pengetahuan yang dijalankan oleh
para pembelajar dan pencinta kajian ilmu pemerintahan tidak
hanya terperangkap dengan rutinitas fungsi sehari-hari. Fungsi
pemberian contoh yang dilakukan sehari-hari adalah suatu
bentuk metode pengembangan yang efektif dalam mengem-
bangkan ilmu pemerintahan di Indonesia. Ambil contoh, jika
kita semua belajar demokrasi, maka perilaku dan tindakan kita
sehari-hari haruslah mencontohkan nilai-nilai universal demo-
krasi, misalnya menghargai pendapat orang lain, taat aturan,
empati dan lain-lain. Fungsi pemberian contoh ini adalah bentuk
lain dari jaminan pengendalian sosial terwujudkan ilmu penge-
tahuan yang kontekstual43 serta wujud aktualisasi atau opera-
sionalisasi dari keberadaan struktur atau institusi.

NEO-INSTITUSIONALISME
Tahun 1984, James G. March and Johan P. Olsen memuat

42
Pembahasan Beberaapa pokok pikiran Afan Gaffar dalam paper ini sudah
dikutib dalam pembahasan Bab.1
43
Pengetahuan kontekstual dimaksud dalam buku ini mengacu pada konsep
Purwo Santoso tentang masalah kontektual adalah masalah yang terkait,
namun bukan hal yang dicanangkan sebagai agenda demokrasi. Konteks
dalam perspektif ini adalah keunikan atau eksepsi, yang dapat yang
mementahkan keadaan. Pengetahuan kontekstual adalah ilmu pengetahuan
ilmiah yang dapat memecahkan masalah konteks yang didukung metodologi,
data dan fakta.

ILMU PEMERINTAHAN 99
Disiplin dan Metodologi
suatu karya artikel dalam The American Political Science
Review berjudul “The New Institutionalism: Organizational
Factors in Political Life” selanjutnya diikuti dengan buku
“Rediscovering Instistutions tahun 1989. Karya-karya besar
ini dipandang sangat berpengaruh dalam perkembangan
paradigm neo-institutionalism di bidang disiplin ilmu politik.
Sebelum karya-karya ini diterbit para ilmuwan politik diatas
sudah meluncurkan buku dengan judul “Democratic Governance”.
Berbagai karya ini menjadi baru dalam analisis institusonal
ketika memahami lebih baik perilaku aktor politik individual
dalam institusi politik. Pemahaman ini akan lebih baik ketika
dipelajari hambatan-hambatan institusional perilaku aktor
dalam realitas politik. Model analisis perilaku aktor individual
dan analisis hambatan institusional menjadi pendekatan dominan
dalam ilmu politik tahun 1990-an.44
Dibidang Ilmu pemerintahan,kajian-kajian berparadigma
neo-institusionali ini menampakkan diri antara lain melalui
kajian-kajian yang dibukukan tahun 2002 dan pidato pengukuhan
guru besar Purwo Santoso tahun 2019. Buku kumpulan tulisan
para pakar ilmu pemerintahan dan ilmu-ilmu sosial lainnya
berjudul, “Beberapa Pandangan Dasar Tentang Ilmu Pemerintahan”
disunting oleh tim editor Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan
Widyapraja Institut Ilmu Pemerintahan tahun 2002. Buku ini
dibuat sebagai hasil temu kajian ilmu pemerintahan 1982/1992
di Jakarta. Pertemuan keilmuan ini bertujuan memahami posisi
ilmu pemerintahan di tengah ilmu sosial lainnya. Dalam
pertemuan ilmiah ini hadir sebagai contributor para pakar ilmu
sosial terutama ilmu pemerintahan misalnya Soewargono,
Sujamto, R. Soemender Soerojosoewarno, Soepono Dojowadono,
Yossi Adiwisastra, Moeljarto Tjokrowinoto, Maswadi Rauf,
H. Madjloes, Bayu Ruryaningrat, E. Koeswara, Taliziduhu
Ndraha, Moh. Erman Arno Amsari, Sadu Wasistiono, Karnandi
44
Santoso P. 2014. Opcit. Hal. 399 - 410

100 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Warga Samita, Afan Gaffar, Juwono Sudarsono, S. Pamudji,
Koeswandi, Josef Riwu Kaho, Bheyamin Hoesein, Yarsif
Yanuar, Tim Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, H.
Sumitro Maskun, Sarwoto Kartodipuro, Jrg. Djopari, Muchlis
Hamdi, Ben Mboi, Muhammmad AsHikam, dan M. Ryaas
Rasyid. Para kontributor ini adalah ilmuwan-ilmuwan yang
tekun mengembangkan fungsi-fungsi ilmu pemerintahan di
tengah-tengah masyarakat. Melalui berbagai karya ilmiahnya
berusaha terus menerus memperjuangkan ilmu pemerintahan
melalui pendekatan saintifik post-strukturalisme dan institu-
sionalisme dengan cara menjawab berbagai masalah pemerintahan
khususnya di Indonesia. Ada banyak contoh kajian-kajian
pemerintahan yang sudah dimuat dalam jurna-jurnal interna-
sional dan dipresentasekan dalam seminar atau konfrensi
inetrnasional, nasional dan jurnal nasional pemberdayaan
misalnya Khairul Anwar (2019) Journal of Sceince and
technology Policy Management, Emeral Insigh (Q3) dengan
judul “The Pattern of Interaction Political Actors on
Situations of Tenurial Conflict in Watershed, Case of Palm
Oil in Kampung Dosan.
Beberapa kajian ilmu pemerintahan dibukukan antara lain;
Raja Syofian Samad (2010), Khairul Anwar (2011, 2012,
2013), Amalinda Savirani & Olle Tornquist (2016). Dalam
tahun 2012, penulis menulis dinamika politik dan kebijakan
perkebunan kelapa sawit di Riau 1999-2007. Riset ini dalkukan
dengan pendekatan post-behavioralis dan Neo-institusionalisme.
Kajian politik dan pemerintahan ini sudah dibukan dengan judul
“Pola Perubahan Politik Lokal: Studi Kasus Pembangunan
Perkebunan Kelapa Sawit di Riau 1999-2007. 45 Beberapa

45
Khairul Anwar, 2012. Pola Perubahan Politik Lokal: Studi Kasus Pembangunan
Perkebunan Kelapa Sawit di Riau 1999-200. Buku dibuat dari hasil riset
disertasi Program Doktoral Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada 2009. Studi
ini adalah kajian mengenai perubahan politik di Riau sejak sebelum 1999
sampai dengan 2007. Fokusnya adalah pergulatan politik memperebutkan

ILMU PEMERINTAHAN 101


Disiplin dan Metodologi
contoh studi di atas menunjukkan bahwa kajian-kajian bidang
ilmu politik dan pemerintahan di Indonesia tidak hanya ber-
usaha menjawab masalah-masalah pemerintahan nasional tetapi
juga menjawab realitas pemerintahan di tingkat lokal.46

INSTITUSIONALISME PILIHAN RASIONAL


Seperti halnya dijelaskan dalam Bab 1 bahwa setidaknya
terdapat tiga gelombang besar institusionalisme baru. Pertama,
institusionalisme plihan rasional; Kedua, institusionalisme
sosiologis, dan Ketiga, institusionalisme historis.47 Paradigma
institusionalisme pilihan rasional dimulai dari teori-teori
formal dalam ilmu ekonomi dan analisis modeling formal.
Salah satu cirri paradigm ini adalah para ahlinya memusatkan
perhatiannya pada institusi dalam waktu tertentu dalam batas-
batas tertentu ada dalam analisis lintas waktu. Realitas politik

akses ke sumberdaya kekuasaan yang dihasilkan oleh pengendalian atas


kebijakan perkebunan kelapa sawit. Penelitian ini berusaha untuk menjawab
pertanyaan penelitian sebagai berikut, yaitu: apakah perpolitikan lokal di
Riau berubah sesudah 1999? Pertanyaan ini dapat dirumuskan lebih spesifik,
yaitu; (1) Siapa saja aktor pemerintah, perusahaan perkebunan, politisi, dan
tokoh masyarakat Riau yang terlibat dalam perpolitikan itu? (2) Apa yang
menjadi kepentingan ekonomi-politik aktor birokrat provinsi, pengusaha
perkebuan, politisi, dan para elit masyarakat lokal yang terlibat dalam
perebutan kendali mengenai kebijakan perkebunan kelapa sawit itu? (3) Apa
pilihan-pilihan kebijakan perkebunan yang diperdebatkan para aktor lokal
Riau, dan, (4) Bagaimanakah cara para aktor tersebut mengorganisir diri dan
berkoalisi dengan kelompok-kelompok masyarakat Riau? Selama proses
analisis berlangsung, penulis menemukan bahwa selain yang tetap ada
banyak perubahan politik lokal di Riau sejak 1999. Perubahan terjadi pada
sifat politik lokal karena perkembangan bisnis perkebunan kelapa sawit di
Riau. Sepengetahuan penulis belum ada studi politik yang memandang ada
perbedaan perpolitikan Indonesia di masa sebelum dan sesudah reformasi.
46
Lihat studi politik dan pemerintahan dilakukan ; Syofian Samat (2010),
Negara dan Masyarakat, Studi Penertasi Negara di Riau Kepulauan Masa
Orde Baru, kata Pengantar Prof. Dr. Maswadi Rauf, MA, Pustaka Pelajar,
Jakarta. Amanda Savirani & Olle Tornquist. 2016. Reclaiming The State,
Mengatasi Problem Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto, PolGov,
Yogjakarta
47
Anwar Sanusi, 2019. Analisis Kebijakan Publik, Neo-Institusionalisme:
Teori danPrakteik, LP3ES, Jakarta, hal.42-65

102 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
dan pemerintahan dibaca dalam bingkai model-model formal
ekonomi dalam rangka menemukan hal yang substansial
misalnya kaitan “interface” negara dan pasar.48 Kekuasan negara
dipandang memiliki hubungan timbal balik atau saling mem-
pengaruhi dengan kekuasaan pasar.
Menurut Weingst dalam Ishiyama dan Breuning (2013),
bahwa model-model faormal ini memungkin para ahli pilihan
rasional; untuk mempelajari “bagaimana institusi menghambat
rangkaian interaksi di antara para aktor, pilihan-pilihan yang
tersedia bagi para aktor tertentu, struktur informasi dan keya-
kinan para aktor, dan ganjaran (payoffs) bagi individu dan ke-
lompok. Dalam proses pengambilan keputusan baik diranah
negara atau politik dan pasar, institusi politik dan ekonomi
saling mempengaruhi. Kekuasaan politik dan kapital turut
menentukan bagaimana mekanis pasar dan negara menjalankan
fungsi-fungsi minimalnya. Secara sosiologis, proses saling
mempengaruhi ini terikat dengan struktur budaya dan hukum
dimana hubungan mekanisme tersebut berlangsung. Institusio-
nalisme sosiologis berakar dalam sosiologi, antrpologi, dan
kajian budaya. Dan Institusionalisme historis berakar dalam
disiplin sejarah dan hukum. Hay (2006) dan Ansell (2006) ingin
membagi pendekatan ini menjadi sub-sub yang lebih kecil
dengan label-label baru semisal Institusionalisme Konstruk-
sionis dan Institusionalisme Jaringan. Salah satu pendekatan
popular dalam ilmu politik dan pemerintahan dalam arus pen-
dekatan ini adalah penggunaan teori permainan untuk menjelas-
kan pengambilan keputusan politik.49

48
Lihat James A. Caporaso and David P. Levine, 1992. Theories of Political
Economy. Cambridge University Press, hal.7-31; Sisan Strange. 1988. State
and Markets, AN Introduction International Political Economy. First
published in Great Britain, hal. 9-10; Mohtar Mas’oed, 2003. Ekonomi-Politik
Internasional dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Jakarta, hal.140-156
49
Lihat Andrew Heywood, 2014. Politik. Pustaka Pelajar. Jakarta, hal. 623.
Istilah keputusan yang dimaksud dalam buku adalah sebuah tindakan
memilih, sebuah seleksi dari beragam pilihan.

ILMU PEMERINTAHAN 103


Disiplin dan Metodologi
Ryaas Rasyid (2007) menyatakan bahwa pemerintahan
sebagai seni pengelolaan kekuasaan sudah hadir sejak awal
kehidupan manusia…bentuk awal pemerintahan itu bias ber-
macam-macam. Namun cirinya yang paling pokok, setelah
tercapainya kesepakatan tentang aturan hukum, adalah kehadiran
seorang pemimpin yang ditaati, secara tulus atau terpaksa,oleh
orang-orang dalam suatu kelompok masyarakat.50 Perbedaan
seorang pemimpin dengan yang dipimpin adalah ketika seorang
pemimpin membuat keputusan. Menurut Rasyid, proses
pengelolaan kekuasaan dalam pembuatan keputusan sudah
berlangsung sejak awal kehidupan manusia. Perkembangan
ilmu pemerintahan tak dapat dilepaskan dari konteksnya.
Selanjutnya Anderiasta Tarigan (2014) bahwa selain konteks,
perkembangan suatu ilmu termasuk ilmu pemerintahan
ditentukan juga oleh karakteristik masalah yang dihadapi dan
faktor pendorong dibutuhkannya perubahan. Dalam kondisi
demikian, keputusan yang dibuat seorang pemimpin ditentukan
oleh masalah pemerintahan dan konsteks lingkungan yang
dihadapinya.
Berbagai masalah pemerintahan melekat dalam bentuk-
bentuk hubungan pemerintahan dan fenomena pemerintahan.
Kompleknya fenomena pemerintahan inilah menjadikan ma-
salah pemerintahan unik. Keunikan masalah pemerintahan ini
melahirkan perubahan-perubahan paradigma pemerintahan,
sehingga munculnya suatu paradigma adalah sebagai respon
keterbatasan paradigm sebelumnya. Dalam menghadapi ma-
salah dan konteks lingkungan yang berubah. Secara empirik,
justifikasi kompleksitas masalah pemerintahan ambil contoh
apa yang dikemukakan Richard N. Haas. Menurut Haas, dalam
Anderiasta (2014) bahwa ada tiga masalah tipikal khas pemerin-
tahan yang membuatnya unik dan setiap orang harus betul-betul

50
Ryaas Rasyid, 2007. Makna Pemerintahan: Tinjauan dari segi Etika dan
Kepemimpinan, Mutara Sumber Media, Jakarta, hal.15

104 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
memahaminya sebelum mengambil keputusan di sektor peme-
rintah:51
Pertama, banyak jumlah pemain independen yang se-
ringkali mempengaruhi perjalanan karier anda. Pemain inde-
penden ini mulai dari para pejabat ekskutif, anggota legislative,
kelompok-kelompok kepentingan, media, pengadilan, ke-
lompok preman maupun warga masyarakat biasa. Semuanya
menjadi pemain independen yang tak boleh diabaikan begitu
saja.
Kedua, jalur kewenangannya mebingungkan, yuridiksinya
tumpang tindih, serta filosofi dan tujuan masing-masing se-
ringkali saling bertentangan (mutually exsklusive). Masalah
yang kedua ini masih sangat terasa sampai saat ini, tumpang
tindih kewenangan misalnya hampir terjadi di setiap strata
pemerintahan mulai dari pusat sampai tingkat desa. Demikian
filosofi masing-masing seringkali membawa implikasi pada
saling menegasikan atar entitas pemerintahan maupun antar
aktor untuk mempertahankan keberadaannya.
Ketiga, sulitnya membuat konsensus atau menyepakati
apa sebenarnya masalah yang dihadapi. Rumitnya membuat
konsensus atas apa sebnarnya masalah bersama tersebut justru
menkjadi salah satu pemicu seringnya pemerintah mengambil
tindakan yang benar pada masalah yang salah. Inilah yang
menyebabkan malpraktek pemerintahan terjadi begitu massif
sehingga sumber daya menjadi terkuras tanpa diketahui man-
faatnya. perubahan-perubahan paradigm pemerintahan. Peru-
bahan suatu paradigm selain dipengaruhi oleh masalah kompleks,
juga karena konteks lingkungan yang cepat berubah, misalnya
idiologi, teknologi dan perubahan lingkungan internasional. Hal
ini mendorong munculnya beberapa arus pemikiran. Menurut
Adelman dalam Anderiasta (2014), terdapat tiga kubu dalam
51
Anderiasta Tarigan, 2014. Memahami Pemerintahan: Sketsa Teoritis,
Refleksi Empiris, dan Kontemplasi Kritis, IPDN Press, hal. 5-6

ILMU PEMERINTAHAN 105


Disiplin dan Metodologi
memandang eksistensi ilmu pemerintahan, yaitu sebagai berikut:52
Kubu Pertama, menganut pandangan bahwa ilmu peme-
rintahan telah mampu menjadi ilmu yang mandiri dan unik serta
berkembang pesat menjadi generasi keenam. Komunitas
masyarakat kybernology53 Indonesia tampaknya dapat di-
masukkan dalam kelompok ini.
Kubu Kedua, umumnya disuarakan oleh kalangan ilmuwan
politik maupun adminsitrasi negara yang menganggap ilmu
pemerintahan mengalami “masa-masa sulit” dan tenggelam
dalam baying-bayang ilmu politik maupun ilmu administrasi
negara. Komunitas ilmu pemerintahan di UGM maupun se-
bagian di UI dapat dimasukkan dalam kelompok ini.54
Kelompok Ketiga, merupakan generasi baru dalam ilmu
pemerintahan, Anderiasta Tarigan mengidentifikasikan dirinya
ke dalam kelompok ini, memandang perlu melakukan transfor-
masi ilmu pemerintahan sebagai ilmu yang mewadahi kajian
hubungan antara state and non-state actors (pemerintah dan

52
Lihat Anderiasta, 2014. Ibid. hal .6
53
Liahat Talizidulu Ndraha, 2008. Kybernologi & Pembangunan, Sirao
Credentia Center, Jakarta, hal. 2-3. Yang dimaksud Kybernologi adalah salah
satu lajur jalan guna memulihkan kualitas (fitrah) manusia sebagai makhluk
ciptaan Allah. Sejak Indonesia merdeka, secara berangsur tapi pasti,
pendekatan lama terhadap fenomena pemerintahan, yaitu pendekatan dari
sudut kekuasaan (negara) berubah, dan sekarang semakin diimbangi dengan
pendekatan baru. Pendekatan baru dari sudut HAM, lingkungan, kebutuhan
eksistensial manusia, dan kebutuhan masyarakat, semakin kuat. Dalam
hubungan itu setiap masyarakat dibentuk dan digerakkan oleh tiga subkultur
yang terbentuk secara objektif, yaitu subkultur ekonomi (SKE), subkultur
Kekuasaan (SKK), dan subkultur Sosial, pelanggan (SKP). Yang dimaksud
Subkultur itu adalah peran, bukan orang. Jadi sesorang pada suatu saat
berperan sebakai SKS, pada saat lain sebagai SKE, dan mungkin pada saat
lain SKK
54
Lihat Yossi Adiwisastra, Ilmu Pemerintahan dan Ilmu Adminsitrasi Negara,
dalam Labolo (ed), Beberapa Pandangan Dasar tentang Ilmu Pemerintahan,
Bayu Media Publishing, hal. 69-72. Jika pemikiran tiga kubu ini dipakai,
maka sebenarnya Universitas Padjadjadjaran dapat diidentifikasi kepada
dalam kelompok atau kubu kedua. Misalnya Drs. Bayu Suryaningrat dalam
bukunya “Mengenal Ilmu Pemerintahan”. Tokoh ini mencoba mencari bentuk
dan isi dari ilmu pemerintahan.

106 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
warganya) pada level global, regional, nasional, provinsional
maupun lokal. Kelompok ini merupakan kalaborasi antara ilmu
pemerintahan dengan ilmu hubungan internasional guna
melatakkan formulasi ulang terhadap format sosial yang lebih
egaliter dan senantiasa mampu hidup dalam “dua dunia” – global
sekaligus lokal (glo-cal). Kompleksiatas masalah-masalah
pemerintahn dan konteks lingkungan eksternal yang cepat
berubah, maka kondisi ini mewarnai perkembangan paradig-
matik ilmu pemerintahan.
Berdasarkan ulasan singkat diatas, menurut Ryaas Rasyid
(2007) dapatlah disepakati adanya tiga paradigma pemerintahan,
yaitu:55
Pertama, pemerintah sebagai a ruling process yang
ditandai oleh ketergantungan pemerintah dan masyarakat kepada
kapasitas kepemimpinan seseorang. Dalam proses ini, kepri-
badian seorang pemimpin mendominasi hampir seluruh inte-
raksi kekuasaan.Kualitas pemerintahan tergantung mutlak pada
kualitas si pemimpin. Kalau pemimpin pememerintahan adalah
seorang yang baik, maka baiklah pemerintahan itu. Demikian
pula sebaliknya. Seluruh pengambilan keputusan dalam proses
pemerintahanditetukan oleh, atau tidak boleh bertentangan
dengan, keinginanan pemimpin. Ia adalah pembawa kemakmuran
dan kebahagiaan. Sebaliknya, ia juga dapat menjadi sumber
bencana dan malapetaka.
Kedua, pemerintahan sebagai a governing prosess, yang
ditandai oleh praktek pemerintahan yang berdasarkan pada
konsensus-konsensus etis antara pemimpin dengan masyarakat.
Pemerintahan dijalankan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan
yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus (wacana) yang
berlangsung dalam ruang publik (public sphere). Dalam proses
ini, walaupun sistem hukum yang ada belum lengkap, keku-
55
Lihat Ryaas Rasyid, 2007. Makna Pemerintahan,Tinjauan dari segi Etika
dan Kepemimpinan, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, hal.18-20

ILMU PEMERINTAHAN 107


Disiplin dan Metodologi
rangan itu ditutupi oleh tradisi membuat konsensus tadi. Ke-
daulatan yrakyat sebagai sebuah konsep dasar tentang kekuasaan
telah menemukan bentuknya di sini.
Ketiga, pemerintah sebagai an administering process,
yang ditandai oleh terbangunnya suatu sistem hukum yang kuat
dan komprehensif, melalui mana seluruh interaksi kekuasaan
dikendalikan oleh suatu sistem administrasi yang bekerja secara
tertib dan teratur. Di dalam sistem ini, setiap konsensus
tertuang ke dalam aturan-aturan hukum yang mengikat, dan
setiap tindakan serta peristiwa pemerintahan dan kemasyarakatan
tercatat ke dalam suatu sistem rekaman yang dapat sewaktu-
waktu diacu dalam proses pengambilan keputusan. Kalau
sistem ini sudah terbangun, masalah kepribadian pemimpin
tidak lagi menjadi faktor yang determinan. Siapapun yang
masuk ke dalam posisi kepemimpinan akan dipaksa oleh sistem
yang berlaku untuk tunduk pada aturan main dan nilai-nilai yang
sudah baku. Aparatur dan warga negara yang secara aktif
mentaati aturan-aturan hukum itu berperan sebagai pengawas
atas kejujuran dan konsistensi proses kepemimpinan yang
berlaku. Ketiga paradigma ini berkembang selaras dengan
perkembangan konteks lingkungan yang ada, dan sekaligus
menggambarkan tahapan-tahapan dalam membangun peme-
rintahan di masa depan.

108 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
BAB 3
KEBENARAN DALAM ILMU

Dalam bagian ini akan diketengahkan serangkaian panda-


ngan kelompok post-modernisme yang memperdebatkan
tentang apa itu kebenaran dan bagaimana cara mencapainya1,
serta kritik terhadap pencapaian kebenaran2 di dalam ilmu
pengetahuan tentunya termasuk ilmu pemerintahan.3 Uraian
dalam bagian ini dimulai dari beberapa pemikiran kaum rasio-
nalis tentang kebenaran ilmu. Namun, sebelum uraian pemi-
1
Winarno Surachmad, 1978. Cara Mencapai Kebenaran: Penemuan secara
kebetulan, melalui trial and error, melalui otoritas, spekulasi, berfikir kritis,
dan penelitian ilmiah; dalam Utang Suwaryo (2017), Metodologi Ilmu
Pemerintahan, KAPSIPI, Bandung, hal.34-37
2
Toety Haraty Nurhadi (1998), dirangkum Sudigdo Sastroasmoro, Rangkuman
Kuliah Metodologi Ilmu, Universitas Indonesia, hal. 4-5. Menguraikan
bahwa kebenaran adalah merupakan relasi dari dua hal yang sangat berbeda,
yaitu subyek dan obyek. Subyek akan mengacu pada pengetahuan yang
pada dasarnya adalah idealitas, sedangkan obyek berkaitan dengan sesuatu
yang sifatnya nyata, suatu realitas. Mengutip Aristoteles nahwa kebenaran
adalah kemiripan (persesuaian antara gagasan, ide dan realita). Inu Kecana
Syafiie, 2013. Ilmu Pemerintahan, hal.15-16 mengutip Aristoteles bahwa
kebenaran itu subyektif sifatnya. Artinya kebenaran untuk sesorang adalah
tidak benar bagi yang lain, sehingga lahirlah kebenaran relative dan
kebenaran mutlak.
3
Lihat Richard L. Kirkham, 2013. Teori-Teori Kebenaran: Pengantar Kritis
dan Komprehensif, Nusa Media, Jakarta, hal. 108-178

ILMU PEMERINTAHAN 109


Disiplin dan Metodologi
kiran ilmuwan di atas duraikan, terlebih dahulu disampaikan
pengertian isitilah kebenaran.

DEFINISI KEBENARAN
Istilah kebenaran sebetulnya memiliki rentang yang sangat
luas, tergantung dari persepktif mana melihatnya.4 Julienne
Ford dalam Paradigms and Fairy Tales (1975) mengemukakan
bahwa istilah kebenaran memiliki empat arti yang berbeda yang
disimbolkan dengan T1, T2, T3,dan T4.5
Kebenarana Pertama (T1) adalah kebenaran metafisik.
Kebenaran itu idak dapat diuji benar atau tidaknya (baik melalui
justifikasi maupun falsifikasi) berdasarkan norma-norma
eksternal, seperti kesesuaian dengan alam, logika deduktif, atau
standar-standar perilaku profesional. Kebenaaran metafisik
merupakan kebenaran yang paling mendasar dan puncak dari
seluruh kebenaran atau basic, ultimate truth. Oleh karena itu
harus diterima apa adanya (taken for granted). Sebagai sesuatu
given, misalnya kebenaran iman dan dokrin-dokrin absolut
agama.
Kebenaran Kedua (T2) adalah kebenaran etik, yang
merunjuk pada perangkat standar moral atau profesional tentang
perilaku yang pantas dilakukan, termasuk kode etik atau code
of conduct. Seseorang dikatakan benar secara etik, bila ia
berpeilaku sesuai dengan standar perilaku itu. Sumber T2 dapat
berasal dari T1 atau dari norma-norma sosial budaya suatu
lingkup masyarakat atau komunitas profesi tertentu. Kebenaran
ini ada yang mutlak (memenuhi standar etika universal) dan
ada pula yang relatif.

4
Lihat Dadang Supardan, 2008. Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian
Pendekatan Struktural, Jakarta, Bumi Aksara, hal.45.
5
Lihat Julienne Ford dalam Paradigms and Fairy Tales, dalam Supardan, Ibid.,
hal. 45-46

110 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Kebenaran Ketiga (T3) adalah kebenaran logis. Sesuatu
dianggap benar apabila secara logik atau matematis konsisten
dan koheren dengan apa yang telah diakui sebagai sesuatu yang
benar (dalam pengertian T3) atau sesuai dengan apa yang benar
menurut kepercayaan metafisik (T1). Aksioma matematik yang
menyatakan bahwa sudut-sudut segitiga sama sisi masing-
masing 60 derajat atau 2 + 2 = 4, adalah kebenaran logik.
Peranan rasio atau logika sangat dominan dalam T3. Meskipun
demikian, seperti halnya pada bagian T2, kebenaran ini tidak
terlepas dari konsensus orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Bahkan 2+2=4 pun pada dasarnya hasil kosensus. Mengapa
tidak 2+2=5? dan, mengapa jumlah sudut-sudut segitiga harus
180 derajat, tidak 300 derajat?
Kebenaran Ketiga (T4) adalah kebenaran empirik, yang
lazimnya dipercayai sebagai landasan pekerjaan para ilmuwan
dalam melakukan penelitian. Sesuatu (kepercayaan, asumsi,
dalil, hipotesis, dan proposisi) dianggap benar apabila konsisten
dengan kenyataan alam, dalam arti diverifikasi, dijustifikasi,
dan (meminjam istilah Popper) tahan terhadap falsifikasi atau
kritik. Dalam hal ini, korespondensi antara teori dan fakta di
lapangan, antara pengetahuan apriori dengan pe-ngetahuan
aposteriori (demikian Immannuel Kant menyebut-nya) menjadi
persoalan utama.

KELOMPOK RASIONALIS
Secara umum, dalam referensi ilmu-ilmu sosial, ada
berbagai pandangan tentang kebenaran ilmu, diantaranya dari
kalangan rasionalis misalnya mulai dari Karl Popper, Imre
Locates, Thomas S. Kuhn, Paul Karl Feyerabend, dan Laudans.
Namun, para ilmuwan ini sepakat bahwa langkah kearah pen-
capaian kebenaran ilmu termasuk ilmu pemerintahan dicapai
lewat pemahaman berbagai fenomena atau metode deduktif,
dan kemudian dengan cara mengkonstruksikan teori-teori baru.

ILMU PEMERINTAHAN 111


Disiplin dan Metodologi
Karya ini membantu kita lebih jauh, dalam memahami episte-
mologi ilmu pengetahuan lewat penalaran rasional.
Kaum rasionalis memandang ide telah ada dan bersifat
apriori yang hanya dapat diketahui oleh manusia lewat kemam-
puan berfikir rasionalnya. Secara singkat mereka menyadari
ide adalah pra-pengalaman yang didapat manusia lewat
penalaran rasional. Dalam hal ini rasionalitas ilmu pengetahuan
dicapai melalui observasi, pembentukan teori dalam upaya
untuk mencapai kebenaran. Untuk mencapai tujuan tersebut
ditentukan oleh dasar pemikiran bahwa fakta itu tidak hanya
bersifat prediktif tetapi, juga eksplanatif dan juga terbuka untuk
kritik.
Secara keseluruhan proses observatif mengetengahkan
bahwa fakta tersebut disaring dikumpulkan, diidentifikasi,
diklasifikasi, dimana dalam hubungan ini berarti menyimak
keadaan yang saling berhubungan dengan fakta tersebut. Dari
situ kita akan mendapatkan teori atau merumuskan teori.
Dengan demikian teori menawarkan posisi instrumental atau
perantara dalam memahami suatu fenomena. Dalam ilmu
pemerintahan fenomena dan noumena menjadi pintu masuk
menemukan masalah, Setiap permasalahan pemerintahan
memerlukan jawaban teoritik dan teori yang sudah teruji dalam
masyarakat menjadi alat bantu mendekati kebenaran. Fenomena
pemerintahan akan berubah selaras dengan perubahan masya-
rakat.
Sebagaimana yang disampaikan dalam pembahasan Bab 1
bahwa fenomena pemerintahan adalah gejala sosial, dimana ada
masyarakat disitu ada pemerintahan, sama seperti ilmu hukum,
ilmu politik, adminsitrasi. Fenomena pemerintahan dapat di-
klasifikasi dan dikategorisasi dan digenarilisasikan dalam
rangka merumuskan teori. Adapun yang menjadi indikator
adanya gejala pemerintahan itu adalah, adanya norma, aturan,

112 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
kerjasama, hak dan kewajiban, keputusan, kekuasaan, dan
kepala.6
Fenomena pemerintahan (phenomena jamak, phenomenon
tunggal) adalah kejadian yang berulang-ulang atau keberadaan
yang terdapat di mana-mana sehingga orang leluasa mempe-
lajari atau mengamatinya dengan seksama. Fenomena pemerin-
tahan adalah setiap keberadaan dan kejadian yang terdapat dalam
hubungan pemerintahan. Hubungan pemerintahan adalah hubungan
yang terbentuk melalui pilihan publik di dalam masyarakat, oleh
upaya untuk melindungi kehidupan, memenuhi kebutuhan dasar
manusia dan melestarikan lingkungan.7
Selain itu, ilmu pengetahuan sebenarnya memiliki tujuan
untuk memberikan penjelasan tentang kenyataan empiris dalam
perumusan teori. Dalam penjabarannya ini tidak bisa dipisahkan
sesuatu hal yang sering disebut masalah, yakni tentang bagai-
mana sesuatu hal itu. Misalnya jenis pengetahuannya, runag
lingkup, validitas dan landasannya secara keseluruhan merupakan
persoalan-persoalan epistemologis.
Penjabaran metodologi juga sering tidak bisa di pisahkan
dari pandangan atas kenyataan (realitas) tersebut, khususnya
realist ilmiah, atau realitas empiris. Kelompok realis meng-
anggap realitas sebagai kehadiran objek-objek materil dengan
kemandirian eksistensi yang lepas dari kesadaran kita.
Kaum realis menganut suatu klaim epistemology tertentu
yang dianggap sebagai pilihan rasional atas prinsip-prinsip
kebenaran berlandaskan eksistensi suatu benda yang atau data
yang terpisah. Dalam hal ini faktor penentu terhadap objek

6
Lihat Taliziduhu Ndraha, 2006. Kybernologi: Sebuah Sciencetific Enterprise,
Sirao Credentia Center, Jakarta, hal. 465-468. Selanjutnya Ndraha. Ilmu
Pemerintahan di Lingkungan Institut Ilmu Pemerintahan, Sebuah Perspektif.
dalam Labolo, Megandaru Widhi Kawuryan, Hyronimus Rowasiu, 2008.
Beberapa Pandangan Dasar tentang Ilmu Pemerintahan, Bayumedia
Publishing, Malang, hal.195-468
7
Ndraha.2006. Op.cit, hal.468-469

ILMU PEMERINTAHAN 113


Disiplin dan Metodologi
adalah eksistensi benda itu sendiri yang lebih jauh dikonstruksikan
sebagai Under Determination by Data (UDT). Selanjutnya
kaum ini berpandangan persoalannya bukan bagaimana
mendapatkan prinsip-prinsip yang kuat dalam unsur episte-
mologis tetapi juga bagaimana kita harus menjelaskan kekuatan
epistemologis demi mencapai kemajuan ilmu. Dalam hal ini
kaum ini menekankan apa yang disebut dengan thesis of
versimilitudes (tesis tentang pendekatan-pendekatan kebenaran)
yang akan memberikan justifikasi dan penafsiran terhadap
realistas yang ada.

Karl R. Popper
Dalam bahagian ini hendak diketengahkan pandangan Karl
Popper tentang kebenaran, falsifikasi. Menurut Popper tujuan
ilmu pengetahua adalah mencapai kebenaran. Jalan kearah
tersebut dilakukan ilmu pengetahuan dengan merumuskan
hukum-hukum yang bersifat umum dan kompleks yang dilakukan
dengan serangkaian pengujian dan pembuktian. Menurut
popper, ilmiah atau tidaknya suatu teori itu harus “Testable”
(dapat diuji) ataupun dapat disangkal “Refutable”. Dengan kata
lain bahwa ilmu pengetahuan harus selalu membuka peluang
untuk dikritik dan disangkal termasuk tentunya teori-teori
dalam ilmu pemerintahan. Dimana semakin sering dikritik
semakin nyata kebenarannya akan menjadikannya semakin
kokoh “Corroborate”.
Dalam ilmu pemerintahan proses penelurusan kebenaran
ilmu pengetahuan didekati melalui dua pendekatan: Pertama,
pendekatan berawal dari sudut manusia berkembang di Belanda.
Pendekatan ini menghasilkan kontruksi body-of-knowledge
(BOK) yang diberi nama Bestuurskiude, kemudian Bestuurs-
weeten-schap dengan berabagi teori pemerintahan dalam
menjelaskan fenomena yang didalamnya terkandung berbagai
masalah pemerintahan. Kedua: pendekatan dari negara kepada

114 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
pemerintah. Pendekaatan ini banyak dipengaruhi oleh pende-
katan dan teori dalam ilmu politik. Sebagai suatu sub-displin
ilomu politiki, fenomena pemerintahan dipelajari dari sudut
negara. Di Indonesia, pendekatan ini berkembang pesat di
Universitas Gadjah Mada tahun 1964.
Tahun 1996, studi ilmu pemerintahan diperkenalkan
kembali pada pendekatan semula yaitu mendekatai fenomena
pemerintahan dari sudut manusia dan menghasilkan Kybernologi
(kybernan=steering=besturen=gubernare= governance).
Dalam kondisi demikian, usaha memperoleh kebenaran dalam
ilmu pemerintahan menghadapi tantangan sedemikian rupa
besar karena dikritik berbagai teori ilmu pemerintahan sedang
mengalami krisis identitas. “Terkelupas” nya ilmu pemerintahan
dari realitas dan praktek politik yang berlangsung.8
Sementara itu Popper berpendapat bahwa, kebenaran suatu
teori hanyalah sebatas tahap mendekati kebenaran definitif.
Oleh karenanya yang dapat dilakukan dalam ilmu pengetahuan
hanyalah mengurangi kadar kesalahan sejauh mungkin, sehingga
dapat mendekati kebenaran-kebenaran objektif. Disini Popper
memperkenalkan suatu metode baru, menolak metode induksi
dan menggunakan deduktif sebagai landasan kritiknya.
Dalam ilmu pemeritahan, metode induksi dan deduksi
dapat dipakai dalam menjelaskan dan memprediksi fenomena
pemrintahan.9 Penggunaan kedua metode kelimuan itu sangat
tergantung pada masalah yang melekat dalam permasalahan
pemerintahan. Bila masanya memakai metode induktif atau
metode deduktif terkait dengan ciri teori yang digunakan.
Karena permasalahan tersebut membutuhkan jawaban teoritik
yang teruji dalam masyarakat.

8
Lihat Monograph Politics & Government, Vol.4, No. I, 2010, hal. 12-13
9
Menurut Amal dan Winarno, mengutip Salmon (1963), induksi berarti menarik
dari suatu fakta kongkrit tertentu ke generalisasi, sebenarnya adalah
sebenarnya proses logika biasa

ILMU PEMERINTAHAN 115


Disiplin dan Metodologi
Amal dan Winarno (1998) menyatakan bahwa sebuah teori
ilmiah tentunya termasuk teori pemerintahan mempunyai dua
ciri, yaitu ciri struktural dan ciri substantif. Ciri struktural me-
nunjuk pada hubungan antara konsep, sedangkan ciri substantive
menunjuk kepada isi empiriknya.10 Secara teknis, Amal dan
Winarno mengutib pendapat Carl Hempel terkait ciri-ciri
ilmiah suatu teori. Hempel mendeskripsikan unsur-unsur teori
yang ilmiah adalah sebagai berikut: suatu teori ilmiah dapat
dipandng sebagai terdiri atas sebuah system yang dikembangkan
secara deduktif maupun tidak dapat ditafsirkan dan sebuah
penafsiran yang memberikan makna empirik pada istilah dan
kalimat penafsiran. Misalnya, kita dapat memulai dengan
sebuah system logic formal seperti geometri Euclidean dalam
mana konsep-konsep dibatasi secara emplisit atau secara
internal dan kemudian membatasi secara langsung (dikaitkan
kepada hal-hal yang diamati) beberapa dari konsep-konsepnya.
Kemudian ini akan memberikan apa yang akan kita namakan
makna teoritik atau empirik secara tidak langsung. Ada perbedaan
antara sistem matematik yang tidak ditafsirkan atau logic dan
teori ilmiah, dan perbedaan merupakan sifat empirik dari teori
ilmiah.11
Selanjutnya bagi Popper sifat hipotesis dari pengetahuan
mengharuskan adanya eliminasi kesalahan “Eror Elimination”
yang terus menerus yang berarti kritik terus menerus maka
kemajuan ilmu pengetahuan sebetulnya berarti pula meningkat-
kan sikap kritis. Kemudian pertanyaannya adalah Bagaimna
menguji suatu hipotesis? Atau yang lebih luas pertanyaannya
adalah bagaimana ilmuwan membangun pengetahuan tentang
ilmu pemerintahan?

10
Baca lebih jauh Amal dan Winarno, 2018. Metodologi Ilmu Politik, PAU
Universitas Gadjah Mada, hal. 91.
11
Carl G. Hempel, 1952. Fundamentals of Concent Formation in Empirical
Science, Chicago: University of Chicago Press, hal. 34

116 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Dalam ilmu pemerintahan seperti halnya ilmu politik pada
dasarnya ada empat jalan menuju pengujian pengatahuan yang
langkah-langkahnya menjadi prosedur pembongkaran kesalahan
seperti yang diungkapkan Popper12 dengan argumentasi yang
berbeda-beda. Walaupun sesungguhnya keduanya dapat saling
bersinergi.
Adapun keempat pendekatan dalam ilmu pemerintahan
adalah sebagai berikut: pendekatan tradisional, perilaku, pasca
perilaku, marxis, ekonomi-politik. Pembahasan beberapa pen-
dekatan ini akan diuraikan lebih lanjut dalam Bab 10.
Dalam perkembangan ilmu pemerintahan, lahirnya keempat
pendekatan diatas adalah sebagai respon kristis dari kelemahan
atau keterbatasan dari pendekatan sebelumnya atau sebagai
“Eror Elimination” meminjam istilah Popper. Karena itu,
proses pengujian terus menerus suatu hipotesis dalam ilmu
pemerintahan adalah suatu wujud upaya memajukan ilmu
pngetahuan pemerintahan.
Selaras dengan uraian diatas, Amal dan Winarno (1998)
mengungkapkan bahwa pengujian suatu hipotesis dalam ilmu
politik termasuk ilmu pemerintahan ketika suatu hipotesis
sudah diformulasikan, peneliti politik (pemerintahan) harus
memutuskan manakah dari banyak metoda pengujian yang
dianggap paling tepat. Masing-masing metoda pengujian di-
rancang untuk mengumpulkan fakta-fakta dengan tujuan
disesuaikan dengan hipotesis. Pilihan terhadap metoda-metoda
ini tergantung pada sifat hipotesis, jumlah pengetahuan yang
ada, dan keahlian serta sumber-sumber yang memiliki oleh
peneliti.
12
Lihat Mohtar Mas’oed, 1990. Metoodologi Imu Hubungan Internasional,
Disiplin dan Metoodologi. Dalam disiplin Ilmu Hubungan Internasional
Mas’oed (1990), menggunakan istilah dua jalan menuju ilmu pengetahuan.
Kedua jalan tersebut adalah “tradisionalis” dan “saintifik”. Dalam praktiknya
pada studi-studi pemerintahan ini saling bersaing mempengaruhi jalannya
studi dan riset pemerintahan dewasa ini dan amsing-masing memiliki basis
pendukung

ILMU PEMERINTAHAN 117


Disiplin dan Metodologi
Bilamana menguji asumsi-asumsi tentang kehidupan, kita
sehari-hari, kita sering mengandalkan pada nalar (common
sense) dan intuisi. Kompleksitas dunia dan kebutuhan untuk
membuat keputusan-keputusan langsung memerlukan sumber-
sumber fakta seperti itu. Tetapi dalam ilmu,nalar dan intuisi
dipandang tidak memadai. Nalar berbeda dari orang ke orang
dan seringkali tidak dapat diandalkan (unreliable). Instuisi
menurut definisi adalah proses kejiwaan yang tidak dapat
diketahui, tidak memberikan dasar-dasar objektif untuk
membedakan antara fakta dan nalar. Dengan demikian kita harus
kembali kepada metoda-metoda yang lebih dapat diandalkan.13
Dalam buku ini pembicaraan masalah pengujian hipotesis
bukan hanya membicarakan masalah fondasi metodologis ilmu,
akan tetapi termasuk contoh dalam teknik penelitian. Pertama
sebagai pembicaraan fondasi metodologis ilmu seperti yang
diterangkan oleh Isaak.14 Menurut Ilmuwan ini dasar bagi
pengujian hipotesa adalah metode indukstif, yaitu proses
penalaran yang bergerak dari sekumpulan bukti kongkrit ke
genaralisasi. Denga kata lain, secara metodologis para ilmuwan
ingin menguji hipotesa apakah sesuai dengan dunia nyata.
Misalnya kita hendak menguji hipotesa: “makin tinggi derajad
alienasi seseorang, makin radikal orientasi politik.”15 Untuk
menguji ini diperlukan sampel tentang orientasi politik sese-
orang, misalnya hubungan status ekonomi dan tipe budaya
politik, hubungan tingkat pendidikan seseorang, kesadaran
politik dan tingkat partisipasi politik. Para peneliti tidak
mungkin meneliti semua kasus serupa yang terjadi di dunia.
Menurut Mas’oed (1990) berdasarkan penelaahan atas sampel

13
Lihat Amal, Budi Winarno, 1998. Metodologi Ilmu Politik,Pusat Antar
Universitas Studi Sosial, Universitas Gadjah Mada, hal. 48-50
14
Alan Isaak, Scope and Methods of Political Science (Doorsey, 1981), hal.105-
106
15
Ramlan Srbakti, 1987. Metodologi Ilmu Politik (Materi Kuliah), Fisip
Universitas Airlangga, hal. 45-46

118 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
ini (misalnya saja beberapa kasus itu cukup representatif) kita
bisa mendukung atau menolak hipotesis itu.
Dalam riset-riset perilaku politik, Amal dan Winarno,
memberikan ilustrasi pengujian hipotesis melalui survai
sampel kajian pelaku politik yang dilakukan the Gallup and
Harris polls. Menurut Amal dan Winarno survey ini bertujuan
menggambarkan dan menganalisis suatu populasi. Semua
pemilih yang terdapat misalnya dengan meilih satu kelompok
kecil,sampel yang mewakili populasi. Tujuannya adalah agar
sampel dapat dikendalikan dan menggambarkan besarnya populasi
secara lebih cermat.
Proses dasar disebut “induksi” yang menarik dari suatu
fakta kongkrit tertentu ke generalisasi adalah sebenarnya
proses logika biasa. Menguji suatu hipotesis dengan melihat
apakah hipotesa itu cocok dengan dunia pengamatan. Sebagai
ilustrasi, misalnya, menguji hipotesis, “para pengusaha cenderung
menjadi konservatif”. Suatu sampel dari pengusaha akan
dipermasalahkan (karena secara praktis tidak akan mungkin
mempelajari semua pengusaha) dalam rangka untuk menentukan
orientasi idiologi mereka. Berdasarkan sampel ini dan keyakinan
yang kita berikan dalam kesimpulan yang tergantung pada
ukurannya dan tingkat ke-acak-annya (randomness)- kita
menerima tau menolak hipotesis. Jika tiga dari empat pengusaha
mendapat angka yang tinggi pada ujian konservatisme, hipotesis
dapat dikatan benar. Dalam hal ini sebenarnya akan menegaskan
tentang sifat semua pengusaha atas dasar apa yang telah ditemukan
dari sejumlah pengusaha tersebut.
Sementara itu menurut Popper (2008), pengetahuan akan
maju jika ada langkah-langkah dan prosedur pembongkaran
kesalahan yang meliputi unsur-unsur dan prosedur pembong-
karan kesalahan yang meliputi unsur-unsur utama sebagai
berikut : 1) metode untuk testing hanya bisa digunakan metode
deduktif, sementara metode induksi yang semenjak adanya

ILMU PEMERINTAHAN 119


Disiplin dan Metodologi
kritik David Hume prinsip induksi belum dapat dasar rasional-
nya, harus dianggap jatuh dan batal. 2) kekuatan suatu teori tak
bisa diukur, berdasarkan “Falsifikasi” (Penyangkalan). 3)
pengetahuan tak bisa dicari dasarnya pada observasi semata,
melainkan pada teori yang diajukan sebagai ikhtiar memecah-
kan suatu masalah.
Dengan falsifikasi pengujian berarti memerangi kecende-
rungan “Vertivikasi” (pembenaran) alamiah pada manusia.
Karena dilihat secara alamiah manusia memiliki kecenderu-
ngan dasar membenarkan diri dan bukan untuk mempersalahkan
diri. Karena itu maka kenyataan bahwa teori terbantah bukan
membuktikan bahwa teori tersebut benar. Sehingga “Falsifi-
kasi” adalah pengujian secara sistimatis dimana kebenaran tetap
merupakan dugaan sedangkan kesalahan merupakan suatu
kepastian.
Dengan demikian pengujian menentukan sehingga
menghasilkan kebenaran yang saling terkait antara pernyataan
kebenaran yang saling terkait antara pernyataan dan fakta atau
antara berbagai unsur teori serta segi-segi penerapannya. Se-
hingga kebenaran yang dicapai lewat falsifikasi akan mengarah
kepada kebenaran yang menjadi pendekatan-pendekatan”Truth”
or “Verisimilitude”. Bagi Popper, rasionalis ilmu pada dasarnya
bukan berarti melulu menggunakan nalar terhadap ilmu, tetapi
rasionalitas adalah terbuka tidaknya suatu ilmu terhadap kritik.
Ia meyakini tidak ada ungkapan, hipotesa, hukum dan teori yang
definitif dan baku. Semua pengetahuan manusia sementara
sifatnya, bisa difalsifikasi. Jika tidak, maka ilmu pengetahuan
telah merosot menjadi ideologi yang tertutup dari segala
pembaharuan. Tesis ini berlaku tentu dalam ilmu pemerintahan.
Ilmu ini telah berkembvang pesat seiring dengan fenomena dan
hubungan pemerintahan yang terjadi era reformasi dan Otonomi
Daerah. Kebijakan desentralisasi yang diimplementasikan
pemerintah pusat telah membuka kran demokratisiasi dan

120 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
deregulasi pemerintahan daerah dewasa ini. Dalam perkemba-
ngannya, sudah barang tentu telah memberikan inspirasi bagi
tumbuh kajian-kajian ilmu pemerintahan dan menghasilkan
berbagai proposisi bagi pengujian kebenaran ilmiah dalam ilmu
pemerintahan.
Karl Popper dengan tegas merumuskan kemajuan ilmu
pengetahuan dengan prosedur sebagai berikut: (P1 atau Problem
satu-TT) atau Tentative Theory- EE, atau Error Elimination-
P2 atau Problem-Two). Dimana pengetahuan dimulai dengan
suatu masalah (P1) yang diajukan suatu teori yang bersifat
tentatif dalam memecahkannya. Kemudian kesalahan-kesalahan
yang semula melekat ketika P1 mucul disingkirkan. Tetapi
serentak dengan dipecahkannya P1, maka muncul P2 atau
problem kedua dan selanjutnya problem tersebut dipecahkan
dengan problem satu dan begitu seterusnya. Langkah tersebut
sesuai dengan tiga point yang dikemukakan Popper diatas.
Secara ringkas, ada lima pokok pemikiran Karl Popper:16(1)
Induksi dan probabilitas: Konsep adalah theory bound, induksi
hanya sebagai kasus; (2) Falisifikasi sebagai ciri demarkasi
antara iliah dan bukan ilmiah; (3) Bila ada masalah (P1), harus
dihadapi dengan hipotesis tentative (tentative theory,TT),
kemudian dilakukan observasi untuk menghilangkan kesalahan
(error elimination, (EE).Hasilnya adalahb berubahnya masalah
menjadi masalah yang lain (P2)
P1——— T,T, ————— EE—————T2,T2
Proses ilmiah akan berjalan terus karena setiap saat
mengalami falsifikasi. Hal ini bertentangan dengan teori
korespondensi, yang justru mencari verifikasi; (4) Popper juga
menganut epistemologi; yang evolusioner: pengetahuan
berkembang terus dan dalam perkembangannya tersebut akan

16
Heraty Nurhadi, 1998. Rangkuman Kuliah Metodologi Ilmu: Sari Kuliah
Program Doktor Universitas Indonesia, dirangkum oleh Sudigdo
Satroasmoro, hal.16-17

ILMU PEMERINTAHAN 121


Disiplin dan Metodologi
selalu terjadi problem solving all the time. Karena itu, epis-
temologi Popper disebut sebagai epistemologi pemecahan
masalah (problem solving epistemology); (5) Popper juga
menganut pengetahuan objektif (objective knowledge), dan
menyanggah teori intersubyektivitasme. Popper mengemukakan
teori 3 dunia, yaitu dunia 1: obyek fisis (objective world), dunia
2: kesadaran (subjective mind), dan dunia 3: pengetahuan
obyektif ( the world of objective content of thought).

Imre Lakatos
Selaras dengan Popper, Imre Lakatos mengetangahkan
pemikiran tentang “DeductiVE Methode” dan “Falsifikations”.
Pada dasarnya, pemikiran Lakatos tentang ilmu banyak berpijak
pada Karl. R Popper metode deduktifnya. Lakatos sependapat
dengan Popper dalam melihat kekuatan metode tersebut, yakni
pada keterbukaan terhadap kritik dan penyangkalan. Tetapi
Lakatos tidak sependapat dengan Popper, yaitu kemungkinan
ada falsifikasi saja bisa menghancurkan suatu teori. Menurut
Lakatos, yang terjadi dalam pembaharuan suatu ilmu sebetulnya
merupakan peralihan dari teori yang satu ke teori yang lain.
Hal itu lebih jelasnya yang berlangsung menurut dia adalah
suatu “Program penelitian”. Dimana teori-teori yang beruntun
atau berdampingan muncul sebagai alternatif. Jika semua itu
menghasilkan teori yang lebih baik, maka hal itu disebut, “Program
Penelitian Progresif”. Tetapi jika tidak menghasilkan teori yang
lebih baik maka disebut “Program Penelitian Degeratif”. Nalar
ini tampaknya tidak sependapat bagi Lakatos terhadap apa yang
dikemukakan oleh Thomas S. Kuhn.
Menurut Lakatos, rasionalitas suatu ilmu tidak pernah
secara berat sebelah dapat dicari kekuatannya pada kekuatan
nalar ilmiah sendiri, melainkan justru pada keterbukaan ter-
hadap kenyataan empiris.
Perkembangan ilmu pada intinya lebih lanjut menuju suatu

122 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
kebijakan yang menyeluruh. Jadi, pada intinya sama dengan
Kuhn dalam bahasa yang berbeda bahwa rasionalitas harus
dikoreksi dengan rasionalitas, Popper menyebutnya alat koreksi
menuju rasionalitas tersebut dengan istilah “Falsifikasi”, Kuhn
dengan “Revolutions” dan Lakatos, menyebutnya “Planning”
atau “Research Programing” (program penelitian). Dalam
koreksi tersebut tidak muncul dari keadaan de facto (secara
sepihak) juga tidak hanya bertolak dari sistem ilmu saja me-
lainkan lebih struktural yakni seluruh sistem pembenaran
didalam jalinan penemuan sebagai mekanisme umpan balik,
sehingga menyebabkan suatu teori bisa berlaku umum.
Bagi Lakatos derajad penerapan benar (verifikasi) dan
tidak benar (falsifikasi) merupakan kasus batas yang dalam
bentuk mutlaknya jarang timbul. Tetapi yang biasanya muncul
ialah derajad bisa jadi “Probability”. Jadi rasionalitasnya ter-
letak dalam kerangka bisa jadi atau kemungkinan untuk menuju
pada kebenaran.
Lalu bagaimana dengan revolusi Kuhn dalam ilmu penge-
tahuan? Menurut Lakatos, revolusi Kuhn itu akan menghilang-
kan batas antara “Contex of Dicovery” dan “Contex of
Justification”. Karena pembenaran suatu teori justru ber-
gantung pada struktur menyeluruh yang baru (paradigma baru).
Ia berusaha menjembatani keduanya dengan Rencana Pene-
litian, dimana faktor kesinambungan dianggap sangat penting.
Oleh karenanya Lakatos, menganggap hal penting dalam hal
ini “Scientific Research Program”. Hal itu bisa dilakukan jika
kita memahami fakta-fakta, sejarah ilmu pengetahuan, serta
perbandingannya antara satu sama lain.
Baginya filsafat ilmu pengetahuan tanpa sejarah ilmu
pengetahuan adalah buta. Keduanya mempunyai kaitan timbal
balik sehingga ilmu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang
historisnya. Kaitan ini seperti yang disinggung oleh Feyeraben
kelak sebagai suatu perkawinan yang cocok “Mirage of

ILMU PEMERINTAHAN 123


Disiplin dan Metodologi
Convencience”. Bagaimana Thomasb S. Kuhn mengimajinasikan
revolusi ilmu pengetahuan diuraikan dibawah ini.

Thomas S. Kuhn
Pemikiran Thomas S. Kuhn tentang Rasionalitas Sains
dan Revolusi Ilmu Pengetahuan, bahwa perkembangan sains
berjalan secara komulatif dan linear, tetapi secara revolusioner.
Ia tidak menyangkut bahwa sains memang merupakan bentuk
pengetahuan yang objektif tetapi objektifitas yang impersonal,
bebas nilai dan didasarkan atas fakta-fakta yang bisa diamati
secara netral. Rasionalitas sains pada dasarnya lebih terletah
pada consensus para ahli yang membentuk suatu komunitas
pelaku sains dari pada penelitiannya yang serba logis, obyektif
dan mengikuti hukum yang sudah baku.
Sains kata Kuhn tidak urusan dengan kebenaran, tetapi
menyibukkan diri dengan pemecahan atau penggarapan teka-
teki. Dalam hal ini dia berseberangan dengan Popper dan para
pemikir lainnya yang berpendapat, bahwa kemajuan sains mem-
bawa kita untuk sementara dekat dengan kebenaran objektif
tentang kenyataan alam atau dalam bahasa Popper disebut
“Versimilitude”. Tujuan pokok sains untuk memecahkan teka-
teki mengantarkan pada kenyataan bahwa teori lama bukanlah
teori yang lebih dekat pada kebenaran melainkan teori yang
lebih dapat menyelesaikan soal lebih banyak. Dan apa yang
dipandang sebagai soal serta apa yang merupakan jawaban
pemecahannya ditentukan oleh paradigma yang sedang berlaku.
Konsep penting tentang tentang paradigma Kuhn yang
bertentangan dengan Popper yang berkata, bahwa sains itu
bersifat rasional dan akan maju jika ilmuwan terus menerus
bersedia untuk menguji coba hipotesa teorinya dengan maksud
memfalsifikasikannya. Sementara itu Popper berpendapat,
bahwa upaya untuk melakukan hipotesa ad hoc untuk memper-
tahankan teori yang dianut tidak sendirinya bertentangan dengan

124 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
standar rasionalisasi keilmuwan. Oleh karena itu paradigma
dan otomatis rasionalitas yang ditimbulkannya mengacu pada
komitmen terhadap seperangkat nilai yang akan mengatur sikap
para ilmuwan dalam menggarap ilmu sebagai suatu kegiatan
sosial. menurut Popper, suatu paradigma akan selalu memper-
lihatkan dua sisinya dalam mencapai atau melewati proses
rasionalitasnya. Pertama, sisi ilmiah empiris yang dapat di test
dan kedua, adalah sisi metafisis yang berupa kenyataan dunia
dan manusia yang tidak dapat ditest.
Sedangkan Kuhn berpendapat, bahwa pemecahan masalah
ilmiah juga harus disertai dengan terbentuknya teori ilmiah
yang baik merupakan unsur pokok pendukung paradigma secara
keseluruhan. Karakteristik teori semacam itu akan mendukung
rasionalitas ilmu secara menyeluruh yang memenuhi kua-
lifikasi dan persyaratan akurat, konsisten, bercakupan luas,
simple, bermanfaat untuk membuka temuan-temuan baru. Oleh
karenanya kata Kuhn, bahwa model rasionalitas tidak bisa
dipisahkan dari penafsiran teoritis yang terlihat secara penuh,
termasuk juga ilmu alam. Dan karenanya rasionalitas ilmu sosial
akan berbeda dengan ilmu alam. Maka dari anggapan yang
selama ini berlaku yakni metodologi ilmu kelaman merupakan
model yang harus ditiru oleh semua ilmu lain karena, sifatnya
yang serba logis, objektif dan empiris kuantitatif merupakan
anggapan yang harus dibuang jauh-jauh.
Heraty Nurhadi (1998) menyimpulkan bahwa menurut
Kuhn dalam keadaan stabil terdapat normal science/normal
activity yang menampilkan dominasi atau paradigma. Bila ada
anomaly sedikit, tidak ada artinya.Bila anomalynya banyak, akan
tibul situasi kritis, yang menyebabkan revolusi sehingga terjadi
paradigm baru.
Dalam konteks ini, pemikiran Paul Karl Feyerabend tentang
apa yang disebut “Anarkisme Epistemologis” terhadap ilmu
pengetahuan layak diketengahkan guna mempertajam penjela-

ILMU PEMERINTAHAN 125


Disiplin dan Metodologi
san kebenaran ilmu termasuk tentunya ilmu pemerintahan.
Menurut Feyerabend, atas nama kebebasan ada dua sisi kritik
terhadap ilmu. Pertama, dari tubuh ilmu pengetahuan atau
metode ilmu pengetahuan, kritiknya disebut sebagai anti
metode “against method”. Kedua, sisi praktek ilmiah, fungsi
serta kedudukan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan ini meng-
ajukan tesis tentang prinsip pengembangbiakan dan prinsip apa
saja boleh. Dimana dalam prinsip yang pertama, ia menyatakan
bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak dapat dicapai dengan
mengikuti teori tunggal. Aturan atau metode apapun dapat
berkembang melakukan jika membiarkan teori-teori yang
beraneka ragam dan berbeda satu sama lain.
Sedangkan untuk prinsip yang kedua, adalah membiarkan
segala sesuatu berlangsung atau berjalan tanpa banyak aturan.
Menurutnya, jika kita ingin rasional, maka kita harus mem-
bebaskan diri dari keharusan bertindak dibawah kebebasan hkum
dan metode untuk meramalkan sesuatu. Dalam kaitan ini kita
tidak bekerja dalam sistem pikiran, bentuk-bentuk kehidupan,
kerangka institusional yang tunggal, yang berarti kita harus
menerapkan pluralisme teori, sistem pemikiran dan bentuk ke-
hidupan. Karenanya rasinalitas pengetahuan harus mencermin-
kan sikap keberanian untuk melakukan kritik sehingga mencapai
tingkat pengukapan kesadaran yang tinggi.

Feyerabend
Terkait dengan masalah prinsipp pengembangbiakan diatas
“Ploliferation”, maka Feyerabend ingin mencapai tiga hal: 1)
Memberikan modal abstrak tentang kritik terhadap ilmu pe-
ngetahuan, 2) Mengembangkan konsekuensi-konsekuensi
kritik, dan 3) Mau membandingkan konsekuensi-konsekuensi
tersebut dengan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan kata Feyerabend, tidak mengungguli
bidang-bidang dan bentuk-bentuk pengetahuan lain. Menurutnya

126 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
ilmu pengetahuan menjadi lebih unggul karena, disebabkan
propaganda para ilmuwan dan adanya tolok ukur institusional.
Selanjutnya, menurut Feyerabend ilmu pengetahuan telah me-
monopoli kebenaran dalam masyarakat. Oleh karenanya, ia
sangat anti terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan yang meru-
pakan salah satu jalan atau salah satu ideologi dari sekian
banyak ideology yang ada dalam masyarakat. Maka tidak wajar
kalau kita mendewa-dewakan ilmu pengetahuan. Baginya, ilmu
pengetahuan, tidak hanya menghasilkan prediksi-prediksi
melainkan juga harus menemukan hakekat benda-benda. Jadi
ada keadaan atau realisme yang harus menjadi cita-cita per-
kembangan ilmu pengetahuan. Dan realisme itu adalah realisme
ilmiah. Dimana hal tersebut terwujud pada teori-teori, sistem-
sistem pemikiran dan kerangka pandangan diterapkan dalam
bentuknya yang kuat sebagai penentu. Sehingga dalam realisme
ilmiah itulah rasionalitas ilmu bekerja atau terjadi. Dan pada
akhirnya menurut feyerabend, dengan ketiga tujuan yang hendak
dicapai diatas maka rasionalitas pengetahuan juga merupakan
bagian dan bentukan dari situasi yang memungkinkan tercipta-
nya suatu basis bagi kritisme dan reformasi ilmu pengetahuan.
Dalam hal ini proliferasi tidak hanya memungkinkan penemuan-
penemuan alternatif tetapi juga menyingkirkan kendala bagi
timbulnya tampilnya teori-teori baru. Pembongkaran terhadap
hegemoni ilmu pengetahuan mengantarkan Feyerabend ibarat
seorang “Dadais” yang dalam pengertian umum tidak punya
loyalitas terhadap institusi-institusi yang telah mapan. Baginya,
rasionalitas ilmu pengetahuan tidak hanya dilihat berdasarkan
analisis pada fakta dan dimensi ide saja, tetapi juga dalam
structural yang membumu atau mengakar. Sebab bagaimanapun
juga ilmu pengetahuan tidak berangkat dari ruang kesadaran
manusia yang kosong belaka.
Selanjutnya menurut Feyerabend, bahwa antara teori-teori
harus bisa dilakukan perbandingan, karena kita melihat

ILMU PEMERINTAHAN 127


Disiplin dan Metodologi
rasionalitas ilmu bukanlah hanya bersifat instrumental, tetapi
juga tujuan, yakni adanya tuuan tertentu dari prosedur-prosedur
yang ditempuh. Dalam hal ini berangkat dari postulat-postulat,
yang berangkat dari referensi dan penjelasan makna serta
gagasan yang diungkapkan.

Laudans
Pemikiran rasionalitas dalam ilmu pengetahuan dikete-
ngahkan kembali oleh Laudans. Ilmuwan ini berangkat dari
pendekatan-pendekatan kebenaran atau sering disebut dengan
“Verisimilitude”. Menurut Laudeas, verisimilitude adalah
semacam kebenaran yang paling menghampiri, yang bisa
menjelaskan keseluruhan tujuan dari penyelidikan ilmiah.
Dimana pada esensinya dikonstruksikan atau hasil bentukan
dari metode-metode ilmu secara langsung.
Menurut Laudans selanjutnya, bahwa dalam ilmu dalam
kealaman pencapaian kearah verisimilitude dapat dicapai
melalui observasi yang beruntut dari berbagai kondisi yang satu
sampai ke kondisi final dimana kita akan menemukan peringka
kebenaran terakhir dari berbagai observasi tersebut. Jadi
dengan demikian verisimilitude sebagai menjadikan kebenaran-
kebenaran sebagai pendekatan. Dengan begitu kita telah mem-
bandingkan sejumlah kebenaran-kebenaran dan menyingkirkan
kesalahan-kesalahan dari berbagai teori. Melalui cara ini
meningkatnya kesalahan berarti makin meningkatkan bobot
kebenaran, yang dengan begitu verisimilitude akan makin
kelihatan. Sehingga pendekatan kebenaran sebagai pendekatan
akan mengantarkan kita kepada perbandingan teori-teori secara
jernih.
Salah satu hal penting, yang harus dilakukan untuk men-
capai tahap kebenaran dan menjelaskan rasionalitas didalamnya
adalah dengan menerapkan metode-metode ilmiah. Dimana
prosedur-prosedur yang ditempuh secara erat terkait dengan

128 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
jangkauan dan karakteristik tertentu yang bersifat rasional dan
teruji, sistematik dan mengikuti hukum-hukum tertentu. Dalam
kaitan ini adalah penting untuk melihat aspek bahasa sebagai
wujud ungkapan dalam memahami persoalan. Karena setiap
deskripsi liguistik memberikan makna tertentu dan karakteristik
yang mengantarkan kita dalam melihat fakta. Deskripsi itu
memberikan gambarn akan derajat kesesuaian “Correspondence”
dan “Correlation” antara apa yang dituju dengan deskripsi
tersebut dengan kenyataan atau objek factual. Selanjutnya
Laudans, berpendapat bahwa metode ilmiah adalah jalan satu-
satunya yang harus ditempu. Maka yang berperan didalamnya
adalah pertimbangan akal sehat manusia. Melalui pertimbangan
ini, fakta dengan demikian dapat dipandang sebagai dari metode
ilmiah yang ikut memperhalus prosedur-prosedur dan pertimbangan-
pertimbangan atas dasar akal sehat. Juga metode ilmiah yang
dicapai dengan melakukan serangkaian uji coba atau test untuk
keajegan-keajegan tertentu dalam mengungkapkan kebenaran.
Hal ini kita lihat misalnya dalam ilmu matematika dan
ilmu-ilmu kealaman lainnya, dalam mencapai kebenarannya
yang mengandung kebenaran faktual empirik. Kriteria dari
kebenarannya adalah konsistensi yang diturunkan dari berbagai
theorem, postulat serta definisi yang bersifat plural. Dan hal
tersebut akan muncul berbagai kemungkinan “Probability” atau
dasar bukti-bukti sebelumnya. Jadi probability masih bersifat
gambaran tentang akan yang mencpai tahap kesempurnaan akan
menjadi kokoh (kuat) jika ada penegaran “Confirmation” yang
meliputi serangkaian pembuktian dan perbandingan yang
sekaligus memberikan pegitimasi dan dukungan atas konstruksi
baru dari sebuah teori. Dalam kaitan ini ciri-ciri teori yang
baik adalah: 1) Ada serangkaian observasi. 2) Mampu berkembang.
3) Ada kumpulan jejak (dari teori-teori sebelumnya). 4) Ada
dukungan antar teori. 5) Kehalusan (memperkecil nuansa
kegagalan). 6) Ada konsistensi internal. 7) Saling melengkapi.
8) Simple (sederhana mudah dijabarkan).

ILMU PEMERINTAHAN 129


Disiplin dan Metodologi
Salah satu konsep yang patut diketanghkan dalam
pembahasan rasionalitas ilmu pengetahuan adalah “Strong
Program” dan “Instrumental Rasionality”. Sebagaimana yang
dikemukakan pada bagian terdahulu kelompok rasionalis.
Seperti Popper, Lakatos dan para pengikutnya yang sering
disebut sebagai “Strong Program” dalam sosiologi penge-
tahuan.
Para ilmuwan ini membuat model rasionalitas yang dapat
dipakai untuk tujuan eksplanasi ilmiah yang mereka sebut
sebagai “Intrumental Rasionality”, yang menyatakan bahwa
eksplanasi itu tergantung kebenaran-kebenaran atau kepalsuan-
kepalsuan dari keyakinan terhadap persoalan dan maslah model
rasionalitas bukan terletak pada masuk akal tidaknya suatu
persoalan. Kerja eksplanasi yang baik dilakukan atas keyakinan
kita terhadap cara yang kita pakai dalam mencapai tujuan.
Dalam pengertian ini eksplanasi tidak memberikan
kerangka penilaian yang normatif atas tujuan yang hendak
dicapai dan juga tidak memberikan penilaian masuk akal atau
tidaknya suatu persoalan. Dimana hal ini sering disebut atau
eksplanasi ini disebut sebagai “Minimal Rational Account”
(perhitungan rasional yang minimal).
Dalam Minimal Rational Account berhasil tidaknya suatu
eksplanasi tidak tergantung pada kebenaran atau kepalsuan,
masuk akalnya atau tidaknya tetapi sangat tergantung pada
kepentingan dan keyakinan kita untuk bertindak. Jika kita tidak
bertindak atas keyakinan yang salah, maka peluang untuk
merealisasikan tujuan juga akan sangat terpengaruh. Hal yang
perlu dilakukan dalam model ini, dalam melakukan perubahan
ilmiah: Pertama, model rasional melakukannya dengan atau
bertindak dengan menggunakan eksplanasi yang bersifat
kolektif yang menyeluruh seperti Popper, Kuhn dan Lakatos.
Kedua mereka sebahagian besar percaya dan menggunakan
prinsip perbandingan dalam menjelaskan teori-teori.

130 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Dalam kerangka ini kelompok rasional menyadari bahwa
eksplanasi adalah sebuah instrument dalam menjelaskan
kenyataan kearah tujuan yang dicapai yang juga melibatkan
teori-teori lain. Disamping itu perubahan ilmiah harus dijelas-
kan dengan kerangka dan referensi yang melibatkan keyakinan
ilmuwan itu sendiri.
Kelompok Strong Program selalu melibatkan penilaian
tentang keyakinan ilmuwan dalam melakukan argumentasi
mereka untuk melakukan perubahan ilmiah. Secara artikulatif
ajaran-ajaran Strong Program dijelaskan dalam kerangka
rasionalitas ilmu pengetahuan lewat pemaparan: 1). Kausalitas
2). Impertialitas (menyeluruh) 3). Symetri (kesejajaran) 4).
Reflekvity. Strong program selalu mengaitkan hubungan antara
keyakinan dengan tipe penjelasan atau eksplanasi yang dipakai
oleh seorang ilmuwan. Justifikasi terhadap instrument menurut
mereka tidak terlepas dari keyakinan tertentu dalam melakkan
perubahan ilmiah.
Bagi Strong Program setiap eksplanasi tentang perubahan
ilmiah harus melibatkan eksplanasi baik tentang tindakan-
tindakan atau keyakinan-keyakinan yang sudah barang tentu
harus dicari pada faktor-faktor sosiologis dan psikologis yang
menyebabkan seorang ilmuwan mengadopsi cara-cara tertentu
dalam menyikapi kebenaran.
Dalam rasionalitas ilmiah menurut model rasional secara
khusu melibatkan dua unsur yakni: Pertama, untuk tujuan
penyelidikan ilmiah. Kedua, penjelasan tentang prinsip-prinsip
perbandingan teori. Menurut mereka sejarah ilmu pengetahuan
senagian besar merupakan langkah kemajuan (Progress) kearah
tujuan reformasi ilmu pengetahuan. Dimana kaitan ini tantangan
yang dihadapi oleh kelompok rasionalis (Popper, Lakatos dan
Laudans) adalah meliputi hal-hal sebagai berikut ini: 1) Harus
memecahkan problem tentang incommensurability. 2) Harus
mempertahankan klaim mereka tentang tujuan sains. 3)

ILMU PEMERINTAHAN 131


Disiplin dan Metodologi
Prinsip-prinsip perbandingan pada kenyataannya adalah
merupakan cara untuk mencapai tujuan. 4) Harus memper-
tahankan pendapatnya bahwa ilmu itu bersifat progresif. 5)
Kelompok rasionalis harus mampu memperlihatkan bahwa ada
kecocokan yang tepat antara sejarah tentang ilmu pengetahuan
dan rekonstruksi model yang dilakukannya.
Sehingga rasionalisme yang tidak memihak adalah yang
berangkat dari konsepsi holistic tentang makna penyelidikan
dan argument-argumen ilmiah. Dalam kaitan ini fakta yang kita
dapat bukan hanya memprediksi sesuatu persoalan tetapi juga
untuk menjelaskan makna dari tujuan kita dlam menyikap
kebenaran. Model rasionalisme jenis ini melihat kompleksitas
dari dua sisi yakni ide yang berkembang dan struktur sosiologis
dan psikologis atau motivasi ilmuwan. Sehingga mereka melihat
rasionalitas ilmu pengetahuan bukan hanya dilihat dari sisi
tujuan tetapi juga instrumen-instrumen yang dikembangkan
kearah tersebut. Ini berarti memperluas sifat kritisnya sekaligus
sifat fungsionalnya. Jadi ketika menghadapi suatu masalah
rasionalitas jenis ini tidak hanya tunduk pada rasionalitas tujuan,
akan tetapi juga rasionalitas nilai, yang dikembangkan oleh
seorang ilmuwan.
Beberapa uraian diatas W.H. Newton Smith (1981) men-
diskripsikan rasionalitas ilmu pengetahuan dalam bukunya The
Rationality of Science. Buku ini, tidak hanya berbicara tentang
rasionalitas dalam ilmu pengetahuan, tetapi ia sendiri merupakan
suatu contoh refleksi dari pengetahuan yang rasional. Mengapa
demikian? Paling tidak ada dua alasan yang dapat dikemukakan
disini. Pertama, disamping buku ini memuat pokok-pokok
pikiran ilmuan yang banyak pengaruh bagi perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan moderen saat; seperti Karl R.
Popper, Thomas S. Kuhn, Imre Lakatos, Paul Karl Feyerabend,
dan Laudans dan para pengikutnya, yaitu bagaimana sebenarnya
mecapai kebenaran didalam ilmu, kedua, buku ini juga telah

132 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
dihantarkan oleh Newton-Smith dengan logika pengetahuan
yang sederhana, sistematis, dan objektif. Yang mencerminkan
bagaimana manusia seharusnya mampu berfikir rasional itu.
Jadi tidak hanya berani mengetengahkan perdebatan dan kritik
terhadap ilmu, tetapi ia juga telah berusaha mendemonstrasikan
tentang apa yang sedang diperdebatakn itu, walaupun tampaknya
tidak sampai kepada usaha mereknstruksi suatu teori-teori
baru, karena memang itu bukanlah tujuan semula dari buku “The
Rationality of Science” ini.
Jadi, yang jelas buku ini telah memberikan rangkaian
pemikiran bagi kita, ketika hendak memahami isi persamaan
dan perbedaan pandangan para pendukung kelompok rasionalis
tentang model, kedudukan, serta kritik terhadap usaha penca-
paian kebenaran didalam imu.
Berbeda dari dan bertentangan dengan pandangan konven-
sional yang melihat pertumbuhan ilmu pengetahuan secara
lenear dan komulatif, dan melihat kebenaran ilmu pengetahuan
sebagai prediktif alami, dan cenderung terhenti pada pemikiran
filosofis. Bagi kaum rasionalitas kebenaran ilmu adalah suatu
olah pikir manusia yang rasional, yang dicapai melalui se-
rangkaian observasi, dan pembentukan teorisasi yang selalu
terbuka bagi eksplanasi fenomena baru. Jadi tidak terpaku
kepada prediktif yang alami (pengamatan biasa), tetapi lebih
bersifat empiric. Hal itu tercermin jelas dari usaha observasi
yang dilakukan.
Observasi mengetengahkan bahwa fakta adalah penjabaran
metodologi yang harus diidentifikasi, dikumpulkan diklasi-
fikasi, dari realitas tersebut barulah mendukung usaha teorisasi
ilmu dilakukan secara ilmiah. Jadi bagi kaum rasionalis bukan
hanya berfikir bagaimana mendapatkan prinsip-prinsip yang
kuat dalam unsur menjelaskan kekuatan epistemologi, tetapi
kelompok ini juga menjelaskan bagaimana kita harus men-
jelaskan kekuatan epistemologis tersebut untuk mencapai

ILMU PEMERINTAHAN 133


Disiplin dan Metodologi
kemajuan ilmu. Dalam kaitan inilah kelompok ini bersandingan
dengan kelompok realisme. Realisme, beranggapan bahwa
landasan epistemologi adalah realitas fisik (materiil) dengan
kemandirian eksistensi yang lepas dari kesadaran yang lebih
menentukan obyek itu sendiri. Persoalannya, bagaimana
mendapatkan prinsip-prinsip yang kuat dalam unsur episte-
mologi? Dalam kaitan inilah kelompok ini menekan thesis of
varisimilitudes (tesis tentang pendekatan-pendekatan kebenaran),
yang akan memberikan justifikasi dan penafsiran terhadap
realitas yang ada.
Bobot kekuatan isi buku ini tampaknya tertumpu kepada
pemikiran Popper dan Kuhn, bukan berarti Lakatos feyerabend,
dan Laudan tidak menentukan. Tetapi Popper dan Kuhn yang
banyal melandasi perdebatan tentang isi, model, dan kedudukan
kebenaran ilmu dalam buku ini.
Menurut Popper kekuatan suatu teori tidak bisa diukur
berdasarkan verivikasi, melainkan hanya berdasarkan falsi-
fikasi (penyangkalan). Falisifikasi pengujian bearti mengurangi
kecendrungan verifikasi (pembenaran) alamiah manusia. Karena
menurut Popper, secara alamiah manusia memiliki kecen-
drungan dasar untuk membenarkan diri. Karena itu maka
kenyataannya bahwa suatu teori adalah tak terbantah bukan
membuktikan bahwa teori itu adalah benar. Sehingga fasifikasi
adalah pengujian secara sistematis dimana kebenaran tetap
merupakan dugaan, sedangkan kesalahan merupakan suatu
kepastian.
Selanjutnya menurut Popper, rasionalitas ilmu itu dasarnya
bukan berarti melulu menggunakan nalar terhadap ilmu, tetapi
ia ditentukan oleh kritik. Semua pengetahuan manusia semen-
tara sifatnya, bisa difasifikasi.
Thomas S. Kuhn, tugas pokok sains adalah memecahkan
teka-teki, dan teori baru yang dianggap lebih baik, dari teori
lama bukanlah teori yang lebih dekat pada kebenaran, melainkan

134 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
teori yang lebih dapat menyelesaikan soal lebih banyak.
Konsep penting paradigma Kuhn yang bertentangan
dengan Popper berkata bahwa sains itu bersifat rasional dan
akan maju kalau ilmuwan terus menerus bersedia untuk menguji
hipotesa teorinya. Popper berpendapat bahwa upaya melakukan
hipotesa ad hoc untuk mempertahankan teori yang dianut tidak
dengan sendirinya bertentangan dengan standar rasionalisasi
keilmuwan. Suatu paradigma akan selalu memperlihatkan dua
sisinya dalam melewati rasionalitas. Pertama, sisi ilmiah
empiris yang dapat diters, kedua, sisi metafisi yang merupakan
kenyataan tentang dunia dan manusia yang dapat ditest.
Menurut Kuhn, rasionalitas ilmu alam berbeda dengan
ilmu sosial, karena rasionalitas itu tidak bisa dipisahkan dari
penafsiran teoritis yang terlibat secara penuh, termasuk ilmu
alam. Jadi anggapan bahwa metodologi ilmu alam model yang
harus ditiru oleh semua ilmu lain karena siftnya serba logis,
objektif, empiris kuantitatif merupakan anggapan yang harus
dibuang jauh-jauh.
Apapun yang dikemukakan oleh kedua ilmuwan terkenal
itu, satu hal yang jelas sampai saat ini adalah usaha ilmuwan
yang tak kunjung terselesaikan oleh manusia itu sendiri. Namun,
semangat optimism dalam mencari kebenaran ilmu penge-
tahuan itulah nilainya.
Menyikapi kelemahan isi buku “The Rationality of Science”
ini tampaknya, dapat dimulai dari rasionalitas itu sendiri.
Apalagi penyingkapan itu dilandasi kepada fenomena kejenuhan
rasionalitas yang berkembang saat ini. Kejenuhan rasionalitas
yang dimaksud adalah, dampak buruk dari kekaguman rasional
manusia abad ini. Ketika rasionalitas menjadi agenda kerja,
hubungan antara manusia menjadi relatif tidak manusiawi lagi.
Kenyataanya manusia tetaplah dengan keterbatasannya. Apa
yang dipikirkan, dipecahkan dengan akal sehat, terbukti banyak
menyimpang dari prediksi manusia. Ironisnya, manusia bingung

ILMU PEMERINTAHAN 135


Disiplin dan Metodologi
oleh karena kegagalan itu. Lalu dimana kemampuan nalar itu
sebenarnya? Jika kaum rasionalis menganggap ide itu adalah
pra-pengalaman manusia lewat penalaran rasionalitas. Mengapa
akhirnya pengalaman sesungguhnya menjadi irrasional?
Bagaimana ilmu menjelaskan fakta ini? Apa eksplanasinya?
Dan, apa kritiknya?
Teori baru yang dibangun bukan hanya relative jauh dari
pada kebenaran seperti yang dikatakan Kuhn semula, tetapi
juga ternyata tidak banyak lagi mampu menjelaskan teka-teki
atau masalah (empiris) yang ada. Ada pendapat rasionalitas
sedang digugat. Siapa yang menggugat “teka-teki” manusia itu
sendiri, bukan ilmuwan. Ilmuwan diajak “menanggalkan” baju-
baju keteraturan dan kepastian yang telah dibangun oleh teori-
teori moderen.

KELOMPOK POST-MODERNISME
Dalam perkembangannya, melihat berbagai gejala yang
berubah nampaknya para ilmuwan “gamang” sendiri dengan
rasionalitasnya, muncul pertanyaan besar yaitu inikah yang
sebenarnya rasionalitas itu. Tapi yang jelas ilmu pengetahuan
tidak diperoleh hanya dengan cara rasional, jika tidak seperti
apa yang dikatakan Popper, ia telah merosot menjadi “ideologi”
yang tertutup. Sebagai suatu kritik munculah yang disebut
kelompok-kelompok aliran yang mengkritik “modernisme”
dan “rasionalitas”. Namanya, dapat “Postmodernisme”, “New-
modernisme”, “Pascamosmodernisme”, “Pura Modernisme”
dan sebagainya.
Apapun namanya, mereka menawarkan “Dekonstruksi”
bukan “Destruksi” terhadap apa yang diperdebatkan oleh kaum
rasionalitas. Bagi mereka keterbukaan, fleksibelitas dalam
melihat fenomena, dan memperhitungkan elemen spiritual
menjadi nilai yag paling berharga dalam mencapai kebenaran
ilmu. Tidak lagi melihat realitas dunia, seperti jam raksasa tanpa

136 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
elemen spiritual yang terlibat menggerakkan, yang melahirkan
keangkuhan epistemologi. Tetapi menawarkan alternatif cara,
diskursus, yang ditentukan manfaatnya, bukan universalitasnya.
Jika demikianlah halnya, dimanakah rasionalitas ilmu
pengetahuan itu? Atau model. Metode apa yang sebenarnya
mampu kekuatan epistemologis itu?

Definisi Post-Modernisme
Definisi posmodernisme disingkat posmo, tampaknya
telah digunakan oleh banyak pihak terutama dikalangan
ilmuwan-ilmuwan di kampus dan berbagai majalah akademik
di seluruh dunia khususnya, apa yang terjadi di daratan Eropa
dan Amerika. Sehingga tidak jarang istilah posmo selalu
disesuaikan oleh selera dan tujuan si pemakai. Akibatnya,
seperti yang terjadi sekarang istilah tersebut dicirikan, “ke-
menduaan” dalam arti dan maknanya. Walaupun demikian,
istilah posmo tidak dapat disangkal telah menjadi perhatian
orang diseluruh dunia. Seperti yang dicatat oleh Scoot Lash
(1990,1) bahwa hampir semua majalah akademik terkemuka
yang ada kaitannya dengan hal-hal tertentu memberikan isu khas
tentang posmodernisme. Dan kecenderungan ini berlanjut,
setiap disiplin memiliki dirinya dengan kacamata post-
modernisme.
Beberapa pakar (ilmu sosial) berbeda pandangan tentang
gejala posmo, bagi yang menganggap posmo sebagai isu
filosofis dan kultural berpendapat bahwa, untuk memahami
istilah posmo kita harus terlebih dahulu memahami “moder-
nisme”, karena hal itu akan memungkinkan kita untuk mengukur
posmo. Atau dengan kata lain bahwa posmo itu sendiri se-
sungguhnya tidak terlepas dari modernisme.17
Dalam arti yang umum Oxford British Dictionary men-
17
Lihat Hidayat, 1993. Ibid, hal.23

ILMU PEMERINTAHAN 137


Disiplin dan Metodologi
definisikan istilah modernisasi sebagai “pandangan atau metode
modern, khususnya kecenderungan untuk menyesuaikan
tradisi, dalam masalah keyakinan agama, agar harmonis dengan
pemikiran modern”. Modernisme diartikan sebagai fase terkini
sejarah dunia yang ditandai dengan percaya kepada sains
perencanaan, sekulerisme dan kemajuan. Keinginan untuk
simetri dan tertib, keinginan akan keseimbangan dan otoritas,
telah juga menjadi karakternya. Periode ini ditandai oleh
keyakinannya terhadap masa depan, keyakinan bahwa Utopia
bisa mencapai bahwa tata dunia natural yang mungkin. Mesin,
proyek industri besar, besi, baja dan listrik semua dianggap
dapat digunakan manusia untuk mencapai tujuan ini.18
Dalam arti yang agak khusus bagi ilmuwan politik melihat
modernisasi adalah sebuah proses sosial ke politik. Seperti
misalnya bagi Eisenstadt, adalah proses perubahan ke arah tipe-
tipe sistem sosial, ekonomi dan politik yang telah berkembang
di Eropa Barat dan Amerika Utara dari abad ketujuh belas
sampai kesembilan belas, yang kemudia menyebar ke negara-
negara Eropa yang lain dan dalam abad kesembilan belas dan
dua puluh ke atas menyebar ke benua Amerika Selatan, Asia
dan Afrika (Varma, 1992, 453). Dan lain lagi bagi David After
(1987, 72) ia memulainya dari ide modernisasi sebagai pikiran
developmentalisme. Modernisasi sebagai peralihan peran dari
pusat/metropole kepada periferi. Pertama, pada tahap
permulaan modernisasi berawal dari sedikit individu yang
berani, raja dengan para orang kuat, keserakahan, atau
kegairahan, atau hasrat untuk berunding. Kedua, memperlihat-
kan efek kolonialisme. Elit-elit yang berinisiatif (inovatif) -
pedagang, birokras dan pemerintahan, agama –menciptakan
pusat kota yang sebelumnya tidak ada, atau menghentikan tidak
ada. Ketiga, ketika elite-elite baru muncul (sering merupakan
hasil perkawinan campuran antara orang-orang asing dengan
18
A. Ahmed, 1993, hal. 22

138 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
pribumi) asumsi yang lebih kompleks dalam politik muncul
elite-elite lokal menuntut partisipasi yang lebih besar bagi
orang terdahulu. Keempat, tahap ini ditandai oleh pembangunan
politik bukan pembangunan ekonomi, adanya tuntutan paling
tidak tuntutan untuk bebas dari dominasi asing.19 Modernisasi
adalah kemauan khusus dari pembangunan. Modernisasi
menghubungkan tiga kondisi sistem sosial yang secara terus
menerus dapat berinovasi tanpa menjadi terpecah (termasuk
kepercayaan politik mengenai perubahan yang bisa diterima);
dan suatu kerangka acuan sosial yang menjaring kemudian satu
pengetahuan yang dibutuhkan untuk hidup dalam satu dimensi
teknologi yang sangat maju.20
Dari berbagai rumusan modernisasi di atas, tampaknya
ada kesepakatan dari berbagai para ilmuwan (sosial) bahwa
modernisasi itu dimulai dari barat dan selalu berkaitan dengan
industrialisasi dalam pembangunan. Dan proses itu selalu
dimulai dari pembangunan ekonomi ke pembangunan politik.
Sehingga modernisasi telah menjadi mereka (empirik) yakni
akan suatu kemajuan sebagai pola hidup. Namun sampai saat
ini, telah menimbulkan keragaman tersendiri, ketika rasiona-
litas, keyakinan akan gagasan pembangunan kemajuan, abad
pencerahhhaaan, telah menjanjikan kehidupan manusia di abad
ini. Semakin statis, partisipatif, ironis, karena mereka itu
sendiri diremehkan. Akibatnya gejala “ketidakpastian”. Cacat
modernisme keangkuhan politis-ekonomis yang bercirikan
barat-centris. Anthony Giddens (1990,74) memiliki pertan-
yaan sentral tentang modernisme. Apakah modernisme sebuah
proyek barat? Jawaban tegasnya “ya”. Formulasi kontemporer
posmodernisme sebagai fase khusus yang menggantikan
modernisme, berakar pada dan dituangkan oleh sejarah terakhir
barat yang berbeda pada inti dominan pendapatan global abad

19
Lihat After, 1992, Op.cit, hal. 457-459
20
Lihat After, 1987, hal.72.

ILMU PEMERINTAHAN 139


Disiplin dan Metodologi
ini.21 Lalu apa sebenarnya istilah posmodernisme itu?

Ciri-ciri Post-Modernisme
Istilah posmodernisme (posmo) itu sendiri ada sudah
cukup lama. Menurut Malcon Bradury, istilah tersebut pertama
digunakan tiga puluh tahun lalu. Tetapi ia juga menyatakan
setelah beberapa dekade, istilah posmo lalu memiliki arti yang
berbeda bagi orang yang berbeda. 22 Istilah ini cenderung
digunakan oleh para sosiolog dan para filsuf seperti Geller,
Gidden, Lyotard dan Brandrillard. Mengapa istilah ini sampai
saat ini juga belum memiliki arti yang jelas? Menurut Akbar S.
Ahmed (1993) karena kita hidup bukan dalam cita-cita yang
jelas. Lain Lyotard dalam bukunya “Post Modern Condition”
dikutip balik Ahmed, mengatakan bahwa ciri posmo adalah
memiliki keragu-raguan terhadap metanaratif. Ia adalah kultur
yang panik, suasana dan kultur yang kontemporer yang bersifat
fin-demillinelim. Ia adalah buku yang panik; seks yang panik,
seni yang panik, idiologi yang panik, tubuh yang panik, keributan
yang panik, dan teori yang panik.23
Namun demikian Akbar S, Ahmed dalam bukunya “Pos-
modernisme Bahaya dan Harapan Bagi Islam” (suatu ter-
jemahan dari buku Postmodernism and Islam: Predicated and
Promise) mencoba mendefinisikan ciri-ciri posmo;
Satu, berusaha memenuhi era posmo berarti mengasumsi-
kan pertanyaan tentang hilangnya kepercayaan pada proyek
modernitas; semangat pluralisme; skeptime terhadao ortodoksi
tradisional; dan akhirnya penolakan terhadap pandagan bahwa
dunia adalah sebuah totalitas universal. Penolakan terhadap
jawaban sempurna. Selanjutnya menemukan posmo, mereka
harus dicari kekurangan, maka berakar kejelasan hindari me-
21
A. S. Ahmed, 1993, hal.23
22
Ibid, 1993, hal. 24.
23
Kroker dan Cook, dikutip Ahmed, 1993, hal.1

140 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
milih antara hitam dan putih memilik ini dan itu, dan terimalah
keduanya. Buatlah tingkatan usaha kombinasi fokus yang
banyak, dan berusahalah melakukan sendiri dengan pengetahuan
sendiri. Buku Alfin Tofler (1992) memberikan fondasi bagi
ciri apokoliptik tentang posmo.
Dua, posmo bersama dengan era media; dalam banyak
cara yang bersifat mendasar, media adalah dinamika sentral,
zeitgeist, ciri pendefinisian dari posmo. Media mengibur,
mendidik, menyiar dan menyesatkan kita, tanpa berhenti dan
dengan variasi yang tak pernah berakhir . . . Tiga, kaitan posmo
dengan revivalisme etno-religious atau fundamen
damentalisme – perlu ditelaah oleh ilmu sosial dan politik . . .
Empat, walaupun apokaliptiknya klaim itu kontinuitas dengan
masa lalu, tetapi merupakan ciri khusus posmo . . . Kelima,
sebahagian besar penduduk merupakan wilayah perkotaan dan
sebahagian lebih besar lagi masih dipengaruhi oleh ide-ide yang
berkairan dari wilayah ini, maka metropolis menjadi sentral
posmo . . . Enam, terdapat enam kelas dalam posmo dan
demokrasi adalah syarat mutlak bagi berkembangnya posmo.
Arsitek, dramawan ilmu sosial, penulis ... Tujuh, posmo
memberikan peluang bahkan mendorong penjejaran wacana,
ekletisme berlebih-lebian, percampuran berbagai cerita ...
Delapan, ide tentang bahasa sederhana terkadang terlewatkan
oleh posmo, meskipun mereka mengkalim dapat menjangkaunya.
Dengan demikian dari ciri-ciri yang diketengahkan oleh
Akbar S. Ahmed di atas, dapat dikiranya ditarik suatu pengertian
umum bahwa posmo kurang lebih suatu fase sejarah manusia
yang menawarkan peluang, kemungkinan dengan cara dapat
diterima semua pihak, walaupun mempunyai aspek dan tekanan,
keragaman kultur dalam memilih suatu manfaat yang ma-
nusiawi.

ILMU PEMERINTAHAN 141


Disiplin dan Metodologi
BEBERAPA TEORI KEBENARAN
Selanjutnya, berikut ini akan dikemukan beberapa teori
kebenaran untuk melihat sesuatu itu benar atau tidak benar, yang
melibatkan subjek (manusia, knower, dan observer) dengan
objek (fakta, realitas dan known). Menurut Kattsoff, dalam
Supardan (2006) ada tiga teori kebenaran, yaitu:24
Teori Korespondensi (Correspondence Theory)
Teori ini beranggapan bahwa sebuah pernyataan itu benar
jika apa yang diungkapkan itu merupakan fakta. Dalam arti
adanya suatu kenyataan yang interaksional antara teori dengan
realita. Motto teori ini adalah truth is fidelity to objective
reality atau kebenaran itu setia atau unduk dengan realita.
Supardan (2008) memberi contoh, Jakarta adalah ibukota
indonesia, dan setelah dicocockkan dengan realitanya memang
ibukota negara Republik Indonesia. Aliran teori kebenaran ini
berimplikasi bahwa hakekat pencaharian kebenaran ilmiah tidak
lain untuk mencari relasi yang konsisten antara subjek dengan
objek, atau antara subjek dengan subjek (intersubjektivitas) dan
antara objek dengan objek berdasarkan perspektif subjek.
Dengan dekian teori kebenaran realisme dan empirisme ini
erat kaitannya dengan kebenaran empirik (T4).

Teori Koherensi (Coherence Theory)


Teori yang beranggapan sesuatu dianggap benar jika
terdapat koherensi dan konsistensi, dalam arti tidak terjadi
kontradiktif pada saat bersamaan, antara dua atau lebih logika.
Jadi, fokus kebenaran dalam teori ini adalah logika yang konsisten
dan sacara inheren memiliki koherensi. Jadi, kebenaran logis
mendahului kebenaran empiris (Kattsoff, 1996; Supriadi,
1998, dalam Suparlan, 2008). Dengan demikian Supardan,
menyampaikan bahwa suatu proposisi cenderung benar jika
proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan
24
Lihat lebih jauh Supardan, 2008. Op.cit, hal.46-47

142 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
proposisi lain yang benar, bukan dengan fakta dan realita. Oleh
karena itu, paham ini dinilai sejalan dengan paham idealisme
yang dikembangkan Hegel, Bradley, maupun Ford.

Teori Pragmatisme (Pragmatism Theory)


Teori yang beranggapan bahwa kebenaran itu tersimpul
pada aspek fungsional secara praktis (Kattsoff, 1996, dalam
Supardan, 2008). Segala sesuatu dikatan benar apabila memiliki
asas manfaat (utilitarian). Jadi, kebenaran itu menaruh perhatian
dalam praktik. Mereka memandang hidup manusia itu sebagai
suatu perjuangan yang berlangsung terus-menerus, yang di-
dalamnya terdapat kosnekuensi-kosekuensi bersifat praktis.
Oleh karena itu, menurut Supardan (2008) paham inilah yang
dikembangkan oleh C.S. Peiree di Amerika Serikat, membuat
pengertian kebenaran menjadi dinamis, sambil berjalan kita
membuat kebenaran. Karena masalah-masalah yang kita hadapi
bersifat nisbi bagi kita.

KETERBATASAN TEORI KEBENARAN


Sebagaimana suatu teori ilmiah, mengandung kelebihan
(plus) dan keterbatasan (minus) dalam menjelaskan realitas
yang ada. Dalam konteks ini, Inu Kencana Syafeii (2013),
mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah kelemahan teori-
teori kebenaran sebagai berikut:25
Teori Korespondensi
Kebenaran korespondensi adalah kebenaran yang sesuai
antara pernyataan dengan fakta lapangan. Misalnya, bila dinyatakan

25
Lihat Inu Kencana Syafiie, 2013. Ilmu Pemerintahan, Bumi Aksara, Jakarta,
hal. 16-18. Dalam buku ini diketengahkan filsafat kebenaran seorang birokrat
pemerintahan. Pada kajian etika kebaikan moral, kita akan bergelut dengan
kegiatan hati (qolbu), nilai (value), jiwa (nafs), sikap (attitude), mulai dari
kegiatan memperhatikan fenomena sederhana sampai dengan kompleks dalam
faktor internal sesorang yang menyentuh kepribadian dan hati nurani.

ILMU PEMERINTAHAN 143


Disiplin dan Metodologi
Sengkon dan Karta bersalah lalu dihukum lima tahun, maka
Sengkon dan Karta harus benar-benar melakukan pekerjaan.

Teori Koherensi
Kebenaran koherensi adalah kebenaran atas hubungan
antara dua pernyataan. Misalnya, ketika dinyatakan bahwa
monyet mempunyai hidung apada pernyataan pertama dan pada
pernyataan kedua dinyatakan manusia juga mempunyai hidung.
Apabila diberikan kesimpulan bahwa monyet sama dengan
manusia. Akan tetapi, menurut kebenaran koherensi itu tidak
benar, karena hidung bukan untuk syarat sesuatu dinyatakan
sebagai monyet apalagi manusia. Manusia dan monyet ada yang
tidak mempunyai hidung, jadi hanya untuk pernyataan bahwa
manusia dan monyet sebagian besar mempunyai hidung.

Teori Pragmatisme
Kebenaran hanya dalam salah satu konsekuensi saja.
Kelemahan kebenaran ini adalah apabila kemungkinannya luas.
Oleh karena itu, harus dipilih kemungkinannya hanya dua dan
saling bertolak belakang.Misalnya,semua yang teratur ada yang
mengatur. Dalam hal ini, kita tidak membicarakan yang tidak
teratur,dengan adanya yang mengatur peredaran darah dalam
tubuh kita maka tubuh manusia terjadi sendiri tanpa ada yang
mengatur hal itu dalah salah. Akan tetapi, seharusnya ada yang
mengatur, yaitu Tuhan karena hanya ada dua kemungkinan yaitu
ada yang mengatur dan tida ada yang mengatur,apabila diterima
salah satu maka yang lain dicoret karena bertolak belakang.

Teori Sintaksis
Kebenaran sintaksis adalah kebenaran yang berangkat dari
tata bahasa yang melekat. Karena teori ini dipengaruhi pula
oleh kejiwaan dan ekspresi. Sehingga kelemahannya ada kemu-

144 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
ngkinan mereka yang menerimanya yang juga mempunyai
keterkaitan jiwa akan terpengaruh, apalagi susunan tata bahsa
yang bernuansa rasa. Misalnya, pernyataan “Saya makan nasi”
akan berbeda bila ditulis dan ditekankan bacaannya ketika “Saya
makan nasi? Kebenaran seperti ini juga mirip dengan kebenaran
semantic yang berbicara tentang makna bahasa.

Teori Logika
Kebenaran yang sebenarnya merupakan fakta.Jadi akan
menjadi pemborosan dalam pembuktiannya.Seperti sebuah
lingkaran harus berbentuk bulat. Ahli agama menganggapnya
dengan dalil aksioma yang tidak perlu dibuktikan, tetapi pem-
buktian yang bertingkat dari keraguan untuk menjadi keyakinan
itu perlu dalam mencari titik temu agama dan ilmu.

Teori Paradikmatik
Kebenaran paradikmatik adalah kebanaran yang berubah
di berbagai ruang dan waktu. Menurut Kencana Syafii, Thomas
S. Kuhn adalah orang yang mempercayai kebenaran seperti ini.
Misalnya, ketika pendapat yang mengatakan bumi mengelilingi
matahari, mengubah pendapat dulu yang mengatakan matahari
mengelilingi bumi. Pada dunia ilmu-ilmu sosial perubahan ini
sangat mencolok, sehingga keberadaan suatu disiplin ilmu,
memerlukan berbagai paradigm untuk melacaknya.

ILMU PEMERINTAHAN 145


Disiplin dan Metodologi
146 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
BAGIAN DUA :

METODOLOGI
ILMU PEMERINTAHAN

ILMU PEMERINTAHAN 147


Disiplin dan Metodologi
148 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
BAB 4
KONSEP DAN BAHASA

Dalam bab ini akan diketengahkan uraian yang berkaitan


dengan konsep dan bahasa menempatnya dalam konsteks ilmu
pemerintahan. Uraian dalam bab ini berisikan tentang fungsi
dan makna bahasa, definisi dan fungsi konsep, karakteristik dan
opresionalisasi konsep, jenis, dan hubungan variabel.
Argumen pokok yang diketengahkan dalam bagian ini
adalah fenomena sosial, termasuk tentunya ilmu pemerintahan,
bisa dipelajari secara sistimatis, yaitu dengan mamanfaatkan
pendekatan ilmiah. Dalam arti ini, esensi ilmu pengetahuan
adalah penciptaan pengetahuan teoritis yang dipakai untuk
ekplanasi, prediksi, dan kontrol. Studi pemerintahan berada
dalam suatu tingkat mengikuti prinsip-prinsip dasar metode
ilmiah, maka muncul suatu pertanyaan bagaimana caranya
membangun ilmu pemerintahan?
Dalam bab ini akan diuraikan tentang proses pembentukan
konsep ilmiah dalam ilmu pemerintahan.

ILMU PEMERINTAHAN 149


Disiplin dan Metodologi
DEFINISI KONSEP
Untuk memahami konsep perlu dilakukan definsi. Patokan
pertama adalah bahwa dalam definsi (definiens) tidak boleh
terdapat kata yang didefinisikan (definendum).1 Karena jika
dalam kata yang didefinisikan (definendum) terdapat kata
defenisi (definiens), maka definsinya tidak jelas atau kabur.2
Secara makna, konsep sebenarnya adalah kata yang me-
lambangkan suatu gagasan,3 idea, simbol, alat tangkap terhadap
sejumlah fenomena. Dalam ilmu sosial termasuk ilmu pe-
merintahan, konsep menunjuk pada sifat-sifat dari objek yang
dipelajari misalnya negara, pemerintahan, birokrasi, kekuasaan,
kewenangan, organisasi perangkat daerah, dan lain-lain.
Seperti halnya ilmu politik, ilmu pemerintahan mempunyai
dua definsi konsep yang penting, yaitu definsi konseptual dan
definsi operasional.4
1) Definisi Konseptual adalah pengertian yang mengambarkan
konsep dengan menggunakan konsep-konsep lain. Misalnya,
structural power secara konseptual didefinisikan sebagai
“kemampuan suatu aktor (individu, kelompok) membentuk
& menentukan struktur (misalnya, struktur ekonomi-
politik pertanian pangan) yang mewadahi kegiatan para aktor
(misalnya petani, Badan Urusan Logistik, BULOG, Koperasi
Unit Desa/KUD). Definsi konseptual ini tidak bias disebut
benar atau salah. Tetapi bisa berguna tidak berguna dalam
komunikasi. Dengan demkian, konsep sebagai simbol
memiliki makna yang memungkinkan komunikasi.
Alan C. Isaak (1981)5 membedakan makna definisi esensial

1
Haryati Nurhadi, 1998, hal. 6
2
Axford Barrie et all, Politics : An Introduction, hal. 169-162; Haryati Nurhadi
Ibid, hal. 6. Dalam susunan ilmu pengetahuan terdapat dua jenis definisi,
yaitu definisi nir-sejati dan definisi sejati.
3
Lihat Mohtar Mas’oed, 1990, Op.cit., hal.109-110
4
Lihat Mohtar Mas’oed. 1990. Ibid, hal.114-116
5
Alan C. Isaak, Ibid, hal.74-76

150 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
dan makna definisi nominal. Makna nominal6 tidak mem-
persoalan benar atau salah. Sebagai contoh konsep parti-
sipasi, diantara peneliti bisa memiliki makna yang berbeda,
sesuai dengan tujuan dan subjek riset yang diamati.
Sedangkan makna esensial tidak memungkina peneliti untuk
merumuskan definisi konsep sesuai tujuan dan ojek riset-
nya. Oleh karena itu, konsep dalam ilmu pemerintahan
tidakmengenal makna esensial (makna seperti ini menjadi
kajian Filsafat). Ilmu pemerintahan lebih mengenal konsep
nominal (construct).7
Kembali kepada definisi konsep yang penting dalam ilmu
pemerintahann, definisi konseptual memungkin dalam ber-
komunikasi antara peneliti. Menurut Mas’oed (1990), 8
adalah definsi konseptual yang memiliki sifat-sifat sebagai
berikut:
(a) Definisi itu haruslah menggambarkan ciri-ciri atau
kualitas khas dari fenomena yang didefinisikannya.
Definisi itu harus berisi semua hal yang diliputnya dan
tidak memasukkan hal-hal yang tidak diliputnya.
(b) Definsi itu tidak boleh circular. Mendefinisikan konsep
“wanita” sebagai seseorang memiliki sifat kewanitaan”
adalah definisi yang secular. Begitu juga mendefinisikan
“kekuasaan” sebagai “kualitas yang dimiliki oleh orang
yang berkuasa”. Definisi ini semacam ini, bukannya
memperlancar komunikasi, malah membingungkan.
6
Fred N. Kerlinger (1993). Op.cit.hal.48
7
Lihat Fred N. Kerlinger (1993). Op.cit, hal.48. Dijelaskan bahwa suatu
konstruk adalah konsep. Akan tetapi dengan pengertian tambahan, yakni ia
diciptakan atau digunakan dengan kesengajaan dan kesadaran penuh bagi
suatu maksud ilmiah yang khusus. Sebagai contoh “Intelegensi” adalah
sebuah konsep, suatu abstraksi dari observasi tentang ihkwal yang dianggap
atau diduga sebagai perilaku cerdas /inteligen yang non-inteligen. Akan
tetapi, sebagai sebuak konstruk ilmiah arti “intelegensi” lebih dan kurang
dari intelegensi sebagai suatu konsep. Maksudnya, oleh ilmuwan kata itu,
dipergunakan secara terencana dan sistimatis dalam dua cara. Pertama, istilah
itu dimasukan kedalam bagian teori dan dengan berbagai jalan dikaitkan
dengan konstruk-konstruk lain. Kedua, ”intelegensi” didefinisikan dan
dispesifikasikan dengan cara tertenu yang memungkinkan observasi dan
pengukuran terhadapnya.

ILMU PEMERINTAHAN 151


Disiplin dan Metodologi
(c) Definisi harus dinyatakan dalamistilah yang jelas dan
tidak memiliki lebih dari satu arti. Istilah seperti “otonomi”
memiliki arti lebih dari satu. Pengertian otonomi bias
berbeda menurut satu dengan lainnya. Istilah itu sebaik-
nya dibuat kesepakatannya tentang maknanya.
2) Definisi Operasional; Dalam melakukan riset misalnya
seringkali suatu kejadian empiris digambarkan konsep tidak
bisa diamati secara langsung. Ambil contoh dalam riset
pemerintahan, konsep “Daerah Otonom” tidak bisa dilacak
secara langsung. Dalam kondisi seperti ini, eksistensi
empiris suatu konsep harus disimpulkan. Kesimpulan atau
invensi seperti itu dibuat melalui definisi operasional. Me-
lalui definisi operasional inilah, konsep-konsep diberi
rujukan empiris.
Tabel 4.1 Pendefinisian Konsep
KONSEP DEFINISI DEFINISI
KONSEPTUAL OPERASIONAL
Perencanaan Penentuan tujuan Jumlah para pihak
pokok organisasi terlibat dalam
beserta cara-cara merumuskan tujuan
mencapai tujuan
tersebut Jumlah biaya dan
waktu tiap tahapan
proses

Pembinaan dan Suatu usaha untuk Peranan pemimpin


Pengembangan memberikan dalam memberikan
pengarahan dan arahan dan
bimbingan guna bimbingan
mencapai suatu tujuan
tertentu Frekuensi tindakan
pemberian bimbingan
dan arahan
Pengambilan Suatu pendekatan Peranan Ketua dalam
Keputusan yang dihadapi dan mengumpulkan
mengambil tindakan informasi dan data
yang menurut
perhitungan
merupakan tindakan Derajat
yang paling tepat Keterwakilan
kepentingan
Pengawasan Politik Proses pengamatan Jumlah pertemuan
dan pengendalian dari Komisi dan anggota
lembaga legislatif turun kebawah
terhadap pelaksanaan
seluruh kegiatan Jumlah RANPERDA
organisasi inisiatif DPRD
pemerintahan
Sumber: Adaptasi Mas’oed,1990:118

152 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
PEMBENTUKAN KONSEP
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam bagian-
bagian terdahulu bahwa ilmu pengetahuan dimulai dengan
membentuk konsep untuk menggambarkan dunia.9 Meskipun
kita tahu fungsi ilmu pengetahuan yang utama menjelaskan
(eksplanasi) dunia atau realitas.10
Namun perlu disadari nahwa apapun yang dijelaskan
haruslah lebih dulu didiskripsikan, yaitu bahwa pertanyaan-
pertanyaan apa (what) yang secara logik mendahului per-
tanyaan-pertanyaan mengapa (why). Kemudian pertanyaan-
pertanyaan dijawab dalam suatu kerangka kerja konsep-konsep
yang memberikan sifat, menggolongkan, menyusun, memban-
dingkan, dan mengukur fenomena alami. Ini kemudian merupa-
kan “konsep” yang membantu sebagai landasan empirik ilmu.
Dengan perkataan lain, perkembangan ilmu pemerintahan sa-
ngat ditentukan oleh pembentukan konsep.
Seperti yang disampaikan diatas bahwa apapun realitasnya
yang dijelaskan haruslah lebih dulu didiskripsikan. Untuk dapat
menggambarkan sesuatu memerlukan bahasa, suatu bahasa yang
mencakup kata deskriptif. Surbakti (1987), Amal, dan Winarno
(1995) mengetengahkan beberapa kata dan cara bagaimana
menggolongkan kata-kata deskriptif. Cara yang paling sederhana
adalah dengan melakukan klasifikasi kata, yaitu kata-kata logik
dan deskriptif. Suatu kata logik atau sering disebut dengan
struktur. Misalnya, kata “dan” tidak menunjukkan kepada
sesuatu. Tidak ada sesuatu di dunia ini yang dapat membantu
sebagai bukti empirik dari “dan”. Kata-kata logik nampaknya
berfungsi sebagai penghubung antara kata-kata deskriptif.11

8
Mas’oed, Ibid. hal.73-74
9
Lihat Ramlan Surbakti, 1981, hal. 29
10
Lihat Brown, Robert, 1972, Explanation in Social Science; Chicago:Adline
Publishing Company
11
Alan C. Isaak, Op.cit, hal.72-74

ILMU PEMERINTAHAN 153


Disiplin dan Metodologi
Contoh lain selain kata “dan” adalah “beberapa”, “semua”, “tidak
satupun”, dan “atau”.
Sementara itu, kata-kata deskritif menunjukkan atau
menamakan sesuatu. Misalnya “papan tulis”, “partisipasi”,
“kekuasaan”, “kursi”, kata yang merujuk kepad sesuatu
fenomena sehingga dapat diobservasi secara tidak langsung.
Kata-kata deskriptif dapat dibedakan dua jenis, yaitu partiku-
laristik dan universal.
Kata deskriptif partikularistik merujuk pada hal-hal
tertentu, satu dari himpunan atau kelas tertentu, seperti ‘meja
putih di ruang seminar’ dan nama orang tertentu ‘si A’.12 Kata
deskriptif universal merujuk pada himpunan hal-hal tertentu
atau fakta-fakta. Setiap hal atau fakta memiliki karakteristik
tertentu. Kata-kata deskriptif universal itulah yang disebut
konsep.
Malo (1985); Surbakti (1987); Mas’oed (1990); Kerlinger
(1993); Amal dan Winarno (1995); Heryati Nurhadi (1998);
W. Gulo (2002); Swaryo (2017). Secara umum Konsep berarti
adalah sesuatu kata yang melambangkan sesuatu gagasan, ide-
ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun gejala
sosial. Dengan kata lain konsep adalah istilah atau simbol yang
menunjuk pada suatu pengertian tertentu.
Suatu konsep adalah simbol dari fenomena, bukan fenomena
itu sendiri. Konsep “kekuasaan” misalnya, tidak mewijud secara
empiris. Kata “kekuasaan” bukanlah makhluk yang mempunyai
motivasi, kebutuhan atau naluri. Ia bukan fenomena aktual, ia
hanya abstraksi dari fenomena.13
Suatu konsep adalah abstraksi yang mewakili suatu objek,
sifat suatu objek, atau suatu fenomena tertentu. Dalam ilmu
pemerintahan misalnya konsep “negara’, “pemerintah”, “peme-

12
Lihat Mohtar Mas’oed, 1990, Ibid, hal.110
13
Lihat Mohtar Mas’oed, 1990, Ibid, hal.110

154 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
rintahan”, “kekuasaan”, “kewenangan”, “pengaruh”, “demo-
krasi”, “otonomi”, “kebijakan Pemerintahan”. Konsep adalah
bahan baku ilmu pengetahuan. Dari konsep dibentuk proposisi,
dan proposisi itu membentuk teori.

Fungsi Eksplanatif,
Teori Prediktif, Kontrol

Proposisi

Konsep

Gambar 4.1 Hubungan Teori, Proposisi, dan Konsep

Konsep ada yang sederhana dan ada juga yang rumit. Ada
yang kongkrit yang dapat diindera oleh panca indera, ada pula
yang abstrak, yang tidak dapat diindera oleh panca indera.
Contoh, “meja”, “kursi”, lebih mudah diterangka karena kita
dapat melihat wujud kongkritnya melalui panca indera. Lain
halnya dengan konsep yang abstrak, yang tidak dapat dilihat
wujudnya melalui panca indera kita. Misalnya, konsep “negara”,
“pemerintahan” , ”kekuasan”, “kemakmuran”. Untuk memahami
konsep-konsep demikian kita perlu menjelaskan pengertian
dari konsep yang bersangkutan.14 Dengan demikian, konsep-
konsep dalam ilmu sosial termasuk ilmu pemerintahan menunjuk
pada sifat-sifat dari objek yang dipelajarinya (misalkan, negara,
organisasi masyarakat desa) yang relevan bagi studi tertentu.

14
Manasse Malo dan Sri Trisnoningtias, 1985. Metode Penelitian Masyarakat,
PAU, Universitas Indonesia, hal.29

ILMU PEMERINTAHAN 155


Disiplin dan Metodologi
Selanjutnya bagaimana suatu konsep terbentuk? Malo dan
Trisnoningtias (1985)15 menjelaskan bahwa konsep terbentuk
dengan jalan abstraksi dan generalisasi. Abstraksi adalah proses
menarik intisari dari ide-ide, hal-hal dan benda-benda, maupun
gejala sosial yang khusus. Karena konsep terbentuk dengan
abstraksi dan generalisasi maka cirri suatu konsep bersifat
umum, adalah kemungkinan bagi kita menghadapi perubahan-
perubahan yang terjadi pada penampilan konkret dari ide-ide,
hal-hal, benda-benda maupun gejala sosial tanpa harus membuat
sesuatu konsepsi baru sejauh perubahan-perubahan itu masih
dapat ditangkap oleh konsepsi lama. Contoh: negara yang
pemimpin, lembaga atau rezimnya berganti-ganti setelah
Pemilihan Umum (Pemilu) namun tak perlu mencari konsep
lain “negara” dan mungkin negara pada masa yang akan datang
adalah negara atau lembaga-lembaga pemerintahan modern,
menggunakan system pelayanan virtual, pemilu menggunakan
system digital,tapi kosep negara masih dapat digunakan untuk
menyebut realitas tersebut.

FUNGSI KONSEP
Konsep memiliki tiga fungsi, yaitu klasifikasi, komparasi,
dan kuantifikasi.16
1. Klasifikasi; Klasifikasi merupakan alat analisis ilmiah yang
paling elementer. Menurut Surbakti, mula-mula seorang
peneliti merumuskan suatu konsep, seperti demokrasi.
Kemudian mengklasifikasi semua system politik ke dalam
kategori baik demokratis maupun tak demokratis. Dalam

15
Malo dan Sri Trisnoningtias, 1985. Ibid, hal.29
16
Untuk melengkapi eksplanasi fungsi konsep lihat Alan C. Isaak, 1981. Scope
and Methods of Political Sceince, An Introduction to the Methodology of
Political Innquiry, hal. 83-90; Amal dan Budi Winarno, 1995. Metodologi
Ilmu Politik, PAU-UGM, Yogyakarta, hal.31-34; Ramlan Surbakti, 1987.
Metodologi Ilmu Politik, Unair, Surabaya, hal. 32-34; Karl R. Popper, 2008,
Logika Penemuan Ilmiah, Pustaka Pelajar, Jakarta, hal. 52-58

156 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
tahap ini, pengklasifikasian fenomena didasarkan kepada
suatu criteria tertentu, criteria itulah yang dirumuskan
dalam sebuah konsep. Misalnya pengklasifikasian ini dapat
dilakukan secara dikotomis sebagai contoh demokrasi dan
tidak demokrasi, partisipasi aktif dan partisipasi pasif.
Kalsifikasi dapat juga dilakukan secara multiple atau lebih
dari dua kategori sebagai contoh misalnya system
kepartaian; pluralism sederhana, pluralism moderat, dan
pluralism ekstrim. Dalam ilmu pemerintahan seringkali
fenomena pemerintahan itu tidak mudah untuk dibagi dua,
karena itu, para peneliti pemerintahan banyak menggunakan
multipel. Masih menurut Surbakti (1987) untuk melakukan
klasifikasi ini harus memenuhi dua persyaratan. Pertama,
klasifikasi itu harus bersifat ekshaustive, yaitu semua
anggota populasi harus terbagi habis dalam kategori-
kategori yang ada. Kedua, klasifikasi itu harus bersifat
eksklusif, yaitu tidak da anggota populasi yang masuk ke
dalam lebih dari satu kategori. Dengan demikian, konsep
dapat difungsikan sebagai alat dalam kegiatan pemikiran
dan dapat dikomunikasikan hasil pemikiran itu kepada
sesame peneliti dan masyarakat banyak. Kemudian konsep
dapat difungsikan juga sebagai cara memperkenalkan suatu
sudut pandang terhadap suatu fenomena. Sehingga memu-
ngkinkan para ilmuwan memberikan kualitas yang sama pada
suatu kenyataan.
2. Komparsi; dalam pembahasan tentang fungsi klasifikasi
konsep diatas disampaikan bahwa langkah klasifikasi
dilakukan dengan cara membagi suatu gejala menjadi
beberapa kategori, maka funsi perbandingan (komparasi)
dilakukan dengan cara meranking kategori berdasarkan
karakteristik konsep. Karakteristik konsep dimiliki menjadi
lebih banyak, lebih sedikit, dan paling sedikit. Dengan
demikian, fungsi perbandingan dari konsep jauh lebih dalam
bukan hanya kategori; demokratis tidak demokratis, tetapi
misalnya suatu negara A lebih demokratis daripada negara
B. Para peneliti ilmu pemeritahan seringkali menghadapi

ILMU PEMERINTAHAN 157


Disiplin dan Metodologi
persoalan konseptual seperti ini.17 Karena gejala peme-
rintahan bukanlah “hitam-putih” melainkan bersifat “lebih
kurang”, maka konsep perbandingan lebih relevan daripada
konsep klasifikasi dalam ilmu pemerintahan. Meskipun para
peneliti lebih cendering menggunakan konsep klasifikasi.
Mengapa para peneliti diarahkan lebih memilih konsep
perbandingan? Karena ada sejumlah keuntungan dari konsep-
konsep komparatif dibandingkan konsep klasifikasi;18 Konsep
komparasi salah satu instrument menemukan temuan-
temuan baru ilmu pengetahuan. Konsep koparasi membantu
membuat skala guna generalisasi misalnya konservatif-
liberal dan indeks-indeks kekuasaan politik seperti yang
dicontohkan ilmu alam. Sementara konsep klasifikasi hanya
mengelompokkan A, B, dan C. Apakah A lebih dekat tau
jauh hubungan B, C dan mengapa lebih dekat hubungan A,
B, dan C dan B lebih jauh dengan A dan C.
3. Kuantifikasi; Jika konsep koparasi membantu membuat
skala atau ranking banyak atau sedikit karakteristik konsep
guna generalisasi, maka konsep kuantifikasi menunjukkan
berapa jumlah karkateristik yang dimiliki oleh masing-
msing kategori sehingga dapat ditarik kesimpulan. Misalnya,
jarak kategori A ke kategori B sebanyak 10 (interval), dan
kategori B dua kali lebih banyak daripada kategori B (ratio).
Konsep kuantitatif menurut Surbakti ,tidak mengkategori
A lebih berkuasa daripada B, tetapi menentukan jarak antar
jumlah kekuasaan A dan B, dan menentukan A dua kali lebih
berkuasa daripada B. Konsep kuantitaf ini hanya mem-
punyai dua perngkat skala, yaitu interval dan ratio.

17
Menurut Amal dan Budi Winarno, 1995, Op.cit, hal.31-32, konsep komparatif
adalah suatu tipe konsep klasifikasi yang rumit. Anggota-anggota dari suatu
populasi dipilih dan ditempatkan dalam kategori-kategori mewakili sedikit
banyak suatu sifat khusus, maka anggota-anggota dari populasi itu dususun
(di-ranking) menurut berapa banyak “property” yang dimiliki oleh masing-
masing anggota.
18
Baca lebih jauh Amal dan Budi Winarno, 1995, Op.cit, hal.32

158 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
JENIS-JENIS KONSEP
Seperti penjelasan pada bagian terdahulu sifat suatu hal,
konsep bisa dianalisa berdasar tipe atribut hal-hal yang di-
gambarkannya. Dalam hal ini konsep bisa dianalisa berdasar:
1. tingkat analisa; 2. pengukuran; 3. tingkat abstraksi; dan 4.
peran teoritisnya. Berdasarkan empat tipe atribut atau property
itu kita bisa memilih-milah konsep ke dalam 11 jenis, yaitu:
Tabel 4.2 Jenis-Jenis Konsep
Tingkat Tingkat Tingkat Peranan
Analisa Pengukuran Abstraksi teoritis
Individual Klasifikasi Indikator Independen
Kelompok Komperatif Variabel Dependen

Kuantitatif Construct Extranous

Sumber: D. McGaw & Watson, dalam Mas’oed, 1990

Jenis Konsep Berdasar Tingkat Analisa


1. Konsep individual. Konsep ini merujuk kepada karakteristik
individu. Misalnya, “Soeharto bersifat konservatif”. Disini
atribut (“konservatif”) dilekatkan pada individu (“Soeharto”).
Pernyataan ini menegaskan suatu fakta tunggal, bahwa
seseorang bersifat konservatif. Ia menegaskan suatu konsep.
Karena atribut itu dilekatkan pada seseorang, maka istilah
“konservatif” itu disebut konsep individual.
2. Konsep Kelompok. Konsep ini merujuk pada atribut
kelompok. “kelompok:” bias didefinisikan sebagai “serang-
kaian unsur yang berkaitan secara sistimatis”. Misalnya,
“Partai PDI-P bersifat kohesif”. Di sini satu atribut (“ke-
kohesif-an”) dilekatkan pada satu kelompok (yang bernama
“Partai PDI-P”); dan kelompok itu merupakan subjek
proposisi itu. Pernyataan itu menegaskan satu fakta tunggal,
bahwa partai republik bersifat kohesif. Ia tidak menegaskan
fakta umum partai politik umumnya kohesif. Karena meru-

ILMU PEMERINTAHAN 159


Disiplin dan Metodologi
pakan atribut kelompok, maka “ke-kohesian” disebut konsep
kelompok.
3. Jenis Konsep Berdasar Tingkat Pengukuran, menurut Mas’oed
(1990) adalah sebagai berikut:
1) Konsep Klasifikatori. Konsep ini merupakan basis bagi
klasifikasi, yaitu kegiatan menempatkan fenomena
politik (seperti tindakan, lembaga atau system politik)
ke dalam kelas-kelas atau kategori-kategori. Konsep
klasifikatori sangat umum digunakan. Sebahagian besar
kegiatan berfikir orang sehari-hari dihabiskan untuk
melakukan klasifikasi dan memilah-milah fenomena
yang dihadapi.
Konsep klasifikatori pada dasarnya menyebut atribut-
atribut yang ada atau tidak ada dalam subjek. Mas;oed
member contoh “seks” adalah konsep klasifikatori yang
membagi orang ke dalam kategori “lelaki” dan “perempuan”.
Orang dimasukkan ke dalam kategori laki-laki atau
perempuan tergantung ada atau tidaknya atribut tertentu
pada dirinya. Konsep klasifikatori punya ciri “atau ini,
atau itu”. Orang bisa “lelaku” atau “perempuan”, tidak
bisa bersifat kedua-duanya.
2) Konsep Komparatif adalah konsep yang merujuk pada
kurang-lebihnya atribut suatu konsep. Misalnya, ingin
membandingkan negara sangat demokrasi, demokrasi,
tidak demokrasi. Hal ini dapat dilakukan dengan meng-
kategorikan rujukan empiris demokrasi. Rujukan empris
konsep demokrasi, misalnya, adalah rasio antara warga
negara yang berhak memilih dengan jumlah total pen-
duduk. Kalau kita punya sampel sejumalh negara kita
bisa menaruhnya berdasar urut-urutan tersebut. Ambil
contoh, kita menentukan 30% teratas sebagai negara-
negara yang sangat demokratis;30% di bawahnya adalah
demokratis; sedangkan sisanya adalah negara-negara
yang kurang demokratis.
3) Konsep Kuantitatif adalah konsep yang menyebutkan
derajat atau kadar adanya atribut itu. Dengan konsep ini

160 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
kita tidak hanya menyebutkan bahwa “Riau Kaya dan
Gunung Kidul Miskin”. Tetapi kita bias menyebutkan
bahwa “Riau sekian derajat lebih kaya daripada Gunung
Kidul”. Karena hal ini menyangkut “berapa banyak”, kita
harus melakukan operasi matematis yang tidak mungkin
dilakukan konsep klasifikatori, komparatif, namun dapat
dilakukan oleh konsep kuantitatif.

Jenis Konsep Berdasar Tingkat Abstraksi


Istilah-istilah keilmuwan dapat dibedakan menurut tingkat
abstraksinya, yaitu kedekatannya pada data yang bisa diamati
atau pengalaman indera.19 Masih menurut Mas’oed, istilah yang
dekat dengan pengalaman indera, yaitu mudah diindera, memiliki
tingkat abstraksi yang rendah; istilah yang jauh dari pengalaman
indera memiliki tingkat abstraksi tinggi. Istilah yang memiliki
tingkat abstraksi paling tinggi adalah konsep; yang memiliki
tingkat abstraksi paling rendah disebut indikator. Tabel berikut
ini menunjukkan hubungan logis antara konsep, variabel dan
indikator.
Tabel 4.3 Derajat Abstraksi Konsep, Variable dan Indikator
KONSEP VARIABEL INDIKATOR
(Definisi Konseptual) (Definisi Opresional)
Tinggi ABSTRAKSI Rendah

Tidak Langsung OBSERVASI Langsung

Sumber: Mas’oed,1990:126

Konsep sering didefinisikan secara konseptual ke dalam


beberapa dimensi atau atribut yang lebih spesifik, disebut
variable. Variabel ini sebetulnya adalah konsep yang kurang

19
Mas’oed,1990. Ibid. hal.125-126

ILMU PEMERINTAHAN 161


Disiplin dan Metodologi
lebih bisa diamati secara langsung dan yang memiliki nilai lebih
dari satu. Melalui definsi operasional konsep dan variable di-
hubungkan dengan fenomena yang bisa diamati secara langsung
yang disebut indikator.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep adalah
label bagi atribut yang hanya bisa diamati secara tidak langsung;
sedangkan variable adalah label untuk atribut yang bisa diamati
secara kurang lebih langsung dan memuat nilai yang bervariasi;
dan indikator adalah label untuk atribut secara langsung bisa
diamati dan memiliki nilai yang bervariasi.
Tabel
Tabel4.4
4.4Tingkat
TingkatAbstraksi Konsep
Abstraksi Pembangunan
Konsep PolitikPolitik
Pembangunan
KONSEP VARIABEL INDIKATOR

%Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan
%Distribusi
Pendidikan

%Tingkat Kepercayaan
warga pada pemerintah

%Tingkat Pendapatan
Partisipasi Politik Status Sosial
Masyarakat
Ekonomi

%Tingkat Pengangguran

Indeks Jumlah Kotak


Suara
Sarana Prasarana
Jumlah Petugas Pemilu

Jenis Konsep Berdasar Peran Teoritisnya


Konsep dapat juga dipilah berdasar peranannya dalam teo-
risasi. Ada diletakkan disisi penyebab, ada yang disisi akibat,
dan ada yang di luar keduanya. Yang pertama disebut variable
independen”, yang kedua “variable dependen”, dan yang ketiga
“varibel ekstra”. Konsep yang hendak dijelaskan dalam teori

162 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
disebut variabel dependen, karena ia tergantung nilai variabel
lain.
Variabel dependen adalah konsep yang dipakai dasar untuk
meramalkan atau menjelaskan konsep-konsep lain. Variable
independen adalah konsep yang pakai sebagai konsep dasarr
untukmeramalkan dan menjelaskan konsep-konsep lain.
Variabel independen terjadi lebih dahulu daripada varibel de-
penden dan dianggap mempengaruhi variable dependen, Secara
longgar kita menyebut variabel independen sebagai variabel
penyebab dan variabel dependen sebagai variabel akibat.

JENIS KATA
Untuk memahami konsep perlu dilakukan definisi seperti
yang diuraikan diatas mendeskripsikan sesuatu memerlukan
bahasa khususnya kata-kata yang mendeskripsikan. Salah satu
cara mengklasifikan data ialah kata-kata logik dan deskriptif.
Kata-kata logik tidak merujuk pada suatu yang empirik, tetapi
kata-kata logik tersebut hanya berfungsi sebagai penghubung
antara kata-kata deskriptif.20 Contoh kata-kata logik ialah antara
lain dan, atau, beberapa dan tak-satupun sedangkan kata-kata
deskriptif, seperti papan tulis, partisipasi, kekuasaan dan alinasi
merujuk atau menamai suatu fenomena sehingga dapat di-
observasi baik secara langsung ataupun tidak secara langsung.
Kata-kata deskriptif itu dapat diobservasi secara langsung dan
secara tidak langsung, contohnya kata meja dan alinasi. 21
Sementara itu kata-kata deskriptif dapat dibedakan menjadi dua
jenis yaitu (1) Partikularistik; merujuk pada hal tertentu, satu
dari himpunan atau kelas tertentu contoh meja putih di ruang
seminar dan nama orang tertentu. (2) Kata-kata deskriptif
universal merujuk pada himpunan hal-hal atau fakta-fakta.
Setiap hal atau fakta memiliki karateristik tertentu.22
20
Lihat Alan C. Isak, 1981, Ibid, hal. 72-74
21
Ramlan Surbakti, 1987, Metodologi Ilmu Politik, Surabaya, FISIP UNAIR, hal. 30
22
Ramlan Surbakti, 1987, Ibid, hal. 30

ILMU PEMERINTAHAN 163


Disiplin dan Metodologi
FUNGSI BAHASA
Seperti yang sudah disampaikan diatas bahwa untuk
memahami konsep dibutuhkan definisi, dan definisi berkaitan
dengan fungsi bahasa. Menurut Heraty Nurhadi (1990),23 ada
empat fungsi bahasa: (1) Fungsi informatif; sekedar memberikan
informasi; (2) Fungsi evokatif; mengungkapkan emosi; (3)
Fungsi persuasif; menyarankan anjuran, harapan dan lain-lain;
(4) fungsi performatif; dalam hal ini ungkapan bahasa dapat
mengubah keadaan menjadi lain. Oleh karena bahasa mem-
punyai berbagai fungsi, maka diperlukan definisi konsep bahasa.

23
Toeti Heraty Nurhadi, 1990, Rangkuman Kuliah Metodologi Ilmu, dirangkum
oleh Sudigdo Sastroasmoro Fakultas Pasca-Sarjana Universitas Indonesia,
hal. 6

164 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
BAB 5
GENERALISASI

Pada bab ini akan diketengahkan uraian tentang gene-


ralisasi1 dalam ilmu pemerintahan. Pembahasan ini mencakup
pengertian, struktur, jangkauan, dan sifat generalisasi dalam
membangun teori empiris. Selanjutnya, diharapkan instrumen
ini dapat bermaanfaat dalam menjelaskan dan memprediksi
fenomena dan hubungan-hubungan pemerintahan dewasa ini.
Salah satu jenis pengetahuan yang diperlukan manusia
untuk membantu kehidupannya ialah pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang berasal dari
kenyaatan empirik yang telah dijelaskan dengan sistem pe-
nalaran tertentu.2
Ilmu pengetahuan mempunyai beberapa tujuan adalah
sebagai berikut; (1) Deskripsi fakta atau fenomena sebagai

1
Lihat Alan C. Isaac (1981 ) Ibid., hal.105-114; Surbakti. Ibid (1987) hal.3-16;
Mas’oed (1990), Op.cit., hal.198-200; Amal dan Winarno (1995) Op.cit, hal.36-
46); Karl R. Popper (2008), Ibid., hal. 68-71; Suwaryo (2017), Op.cit, hal.89-
100.
2
Lihat Jujun S. Suria Sumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik,
dalam Ramlah Surbakti, 1986. Materi Kuliah Metodologi Ilmu Politik,
Universitas Airlangga, Surabaya., hal.1.

ILMU PEMERINTAHAN 165


Disiplin dan Metodologi
fungsi ilmu pengetahuan paling sederhana; (2) Eksplikasi/
eksplanasi, menerangkan berbagai kaitan antara fenomena; (3)
Prediksi, fungsi untuk meramalkan terjadinya suatu fenomena;
(4) Pengendalian realita; (5) Interpretasi fenomena atau hubungan
antar fenomena.3 Dalam rangka mencapai tujuan itu paling tidak
ada dua langkah yang dapat ditempuh: 4 Pertama, langkah
melakukan penataan fenomena melalui konseptualisasi, yaitu
proses penyederhanaan fenomena dengan mengklasifikasikan
dan mengkategorisasikannya. Kemampuan melakukan konsep-
tualisasi, yaitu kemampuan mengidentifikasi dan mengkatego-
risasikan (gejala-gejala pemerintahan, dimana melekat masalah
pemerintahan) merupakan hal yang penting. Kedua, tahap proses
pemahaman fenomena adalah transformasi data empiris hasil
pengalaman ke dalam generalisasi; dan inilah inti kegiatan ke-
ilmuan.

DEFINISI GENERALISASI
Menurut Mohtar Mas’oed (1990) 5 generalisasi adalah
pernyataan tentang hubungan antara dua konsep atau lebih.
Pernyataan ini bisa bermacam-macam mulai dari yang sangat
sederhana sampai yang sangat rumit. Pernyataan ini juga
memiliki berbagai tingkat universalitas penerapan, mulai dari
tingkat yang sangat tinggi -yang bisa diterapkan di mana saja
dan kapan saja- sampai tingkat yang rendah, yaitu yang pene-
rapannya terbatas oleh waktu dan ruang.
Selaras uraian di atas, Suwaryo (2017)6 memberikan contoh
hubungan dua konsep, yaitu pendapatan dan otonomi. Dari dua
konsep ini bisa dibuat pernyataan “semakin tinggi pendapatan
asli suatu daerah, maka semakin tinggi tingkat otonominya
3
Lihat Mas’oed, 1990. Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan
Metodologi, LP3ES, Jakarta,. hal.198-199
4
Alan C. Isaac, 1981. Op.cit., hal.108-11
5
Mas’oed, 1990. Op.cit., hal.199
6
Suwaryo, 2017. Op.cit, hal.96

166 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
daerah tersebut”. Pernyataan yang lebih kompleks bisa meng-
hubungkan pendapatan, otonomi, dan sumber daya manusia
(SDM). Misalnya: “pendapatan asli daerah yang tinggi yang
didukung oleh SDM yang memadai menimbulkan tingkat oto-
nomi daerah yang tinggi”. Adanya generalisasi/teori sebenarnya
menunjukkan adanya keteraturan baik keteraturan dalam gejala
alam maupun dalam gejala sosial.
Ada dua urgensi generalisasi dalam ilmu pengetahuan ter-
masuk ilmu pemerintahan:7
1. Generalisasi memberikan suatu gambaran yang rinci dan
luas tentang suatu fenomena (pemerintahan). Dengan me-
ngetahui bahwa seorang pemimpin lebih berkuasa di-
bandingkan pemimpin lain. Pernyataan ini adalah suatu
informasi yang menarik dan dikaji secara lebih dalam.
2. Fungsi utama ilmu pengetahuan adalah menjelaskan (expla-
nation) dan meramalkan (prediction) fenomena empirik.
Sifat penjelasan ilmiah dan preskiptif. Setiap penjelasan
dan prediksi yang masuk akal memuat sedikitnya sebuah
generalisasi; tanpa generalisasi maka tidak ada penjelasan
(eksplanasi) ataupun prediksi. Perlu diingat bahwa pengem-
bangan generalisasi adalah penting bila ilmu politik (dan
pemerintahan) tidak hanya dimaksudkan untuk meng-
gambarkan fenomena politik-pemerintahan, tetapi juga
untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena politik-
pemerintahan.

SIFAT GENERALISASI
Apa sifat generalisasi? Menurut Isaak dalam bukunya “Scope
and Methods of Political Science” ada dua, yaitu (a) kondi-
sional; (b) dan empiris.8
7
Ichlasul Amal dan Budi Winarno, 1995. Metodologi Ilmu Politik, Pusat
Studi Ilmu Sosial, Uiniversitas Gadjah Mada,Yogyakarta.hal.36
8
Alan C. Isaak, 1981. Scope and Methods of Political Science, Dorsey, hal.105-
106. Buku yang sama juga dikutip misalnya Mas’oed (1990);Amal dan Budi
Winarno (1995); Suwaryo (2017)

ILMU PEMERINTAHAN 167


Disiplin dan Metodologi
a. Kondisionalitas; suatu generalisasi ilmiah adalah menyatakan
suatu hubungan empirik antara konsep-konsep dalam bentuk
kondisional. Dengan perkataan lain, hal ini berarti men-
jelaskan secara “empiirik” “digeneralisasikan” dan
“kondisional”. Amal dan Budi Winarno (1995)9 memberikan
contoh di bawah ini. Dengan menganggap bahwa “masyarakat
Abangan” (A) dan “partai PNI” (N) adalah konsep-konsep,
dan X berarti seorang, bentuk umum dari suatu generalisasi.
Dengan demikian jika X adalah A, maka X adalah N. Dengan
kata lain, setiap orang yang mempunyai sifat seorang
abangan juga mempunyai kecenderungan menjadi seorang
PNI. Suatu pernyataan pengganti dari generalisasi adalah ,
“semua A adalah N”, semua abangan adalah anggota partai
PNI. Dua pernyataan ini secara logik adalah sama. Pernyataan
yang kedua dapat diubah dalam bentuk kondisional dari
pernyataan yang pertama bahwa semua abangan adalah
anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) adalah pernyataan
pendek, dari “jika seseorang adalah abangan, maka ia
adalah anggota partai PNI”.
Secara struktural suatu generalisasi ditandai oleh kalimat
kondisional “jika............maka..........”, yang menyatakan
hubungan dasar antara konsep-konsepnya. Jika menemukan
seseorang dengan sifat A, maka kita dapat mengharapkan
pula ia mempunyai sifat B. Generalisasi itu sendiri tidak
mengatakan kita akan pernah menemukan seseorang dengan
sifat A. Generalisasi itu hanya menceritakan kepada kita
apa yang diharapkan atau apa yang harus dicari jika kita
melakukan penelitian. Jadi, “semua ular-naga mempunyai
sifat jahat” adalah generalisasi yang dapat diterima
(berdasarkan pada pada apa yang sejauh ini kita
ketahui), sekalipun seseorang tidak ada seorangpun telah
berhadapan dengan “ular-naga”. Tetapi jika seseorang
yang mengambil hipotesa ini secara sungguh-sungguh

9
Ichlasul Amal dan Budi Winarno, 1995. Metodologi Ilmu Politik, PAU_SS-
UGM, hal.37-38

168 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
menemui ular Naga , ia kan yakin karena ia melihat sendiri.
Dengan demikian jika nmenentukan hal-hal tertentu (hal-
hal dengan sifat A), dan kata maka menunjukkan kepada
kita bahwa hal-hal tertentu itu mempunyai sifat lain, yaitu
B.
b. Empirik: apa yang dimaksud dengan generalisasi yang
empiris? Pertama, jika suatu generalisasi pada dasarnya
merupakan hubungan antar konsep empirik, maka diharapkan
suatu generalisasi itu logis atau tidaak tergantung sebagian
besar pada konsep-konsepnya. Suatu generalisasi yang
berisi konsep-konsep yang tidak memenuhi kriteria makna
empirik (empirical reference), tidak dapat merupakan
empirik. Menurut Mas’oed (1990) selain itu, agar bisa
diklasifikasikan sebagai empiris, maka suatu generalisasi
harus disusun dalam tata bahasa yang benar, dan secara
keseluruhan generalisasi itu harus masuk akal. Mengga-
bungkan dua konsep yang baik dengan kata-kata yang logis,
tidak menjamin kebaikan emprisis dari generalisasi yang
terbentuk. Pada akhirnya, yang dimaksud dengan gene-
ralisasi yang secara empiris baik adalah generalisasi yang
bisa diuji, yaitu didukung atau ditolak. Kalu secara logis
tidak mungkin ditolak, maka generalisasi itu tidak bisa
disebut empiris. Dan salah alasan mengapa suatu genera-
lisasi tida bisa ditolak adalah karena konsep-konsepnya
tidak bisa dirangkai secara bermakna. Kalau konsep-
konsepnya tidak dirangkai dengan bermakna, maka gene-
ralisasi itu tidak mungkin diuji. Inilah yang disebut kriteria
“kebaikan gramatika”.
Di bawah ini Amal dan Budi Winarno (1995)10 memberikan
10
Lihat Amal dan Budi Winarno, 1995. Op.cit., hal 38-40. Dijelaskan bahwa
suatu generalisasi dinyatakan empirik. Ini berarti dalam kata-kata yang
sederhana generalisasi secara keseluruhan harus dapat dimengerti. Jadi
penggabungan dua konsep yang baik dengan kata-kata logic yang tepat
tidak menjamin kuatnya sifat empirik dari generalisasi yang dihasilkan.
Mengapa persyaratan ini diperlukan adalah karena kebutuhan untuk
menjadikan generalisasi itu dapat diuji, yaitu dapat atau tidak dapat
dibuktikan kebenarannya. Jika secara logik tidak dimungkinkan untukdapat

ILMU PEMERINTAHAN 169


Disiplin dan Metodologi
contoh yang dapat memperjelas kita tentang kriteria “kebaikan
gramatika” tersebut. Lihat generalisasi ini: “Semua kekuasaan
politik di Indonesia adalah hijau”, yang dapat diterjemahkan
dalam bentuk patokan “Jika..............maka..............”, Secara
individual, masing-masing kata atau konsep generalisasi adalah
bermakna: kata-kata “semua” dan “adalah” tidak menimbul-
kan persoalan karena sudah jelas, dan “kekuasaan” dan
“hijau” mempunyai atau dapat diberi makna empirik. Tetapi
msih ada sesuatu yang aneh pada generalisais ini. Bila semua
bagian-bagian dari generalisasi ini dipersatukan, hasilnya tidak
dapat diuji karena hasilnya tidak dapat dimengerti. Berdasarkan
definisi kekuasaan yang logik adalah mustahil untuk mem-
bayangkan bahwa kekuasaan itu berwarna hijau. Suatu jalur
keluar dari kemustahilan ini adalah dengan menggunakan kata
hijau dalam arti kiasan yang dapat disamakan dengan “merah”
dalam”kekuasaan merah” (komunis). Dalam hal digunakan
secara kiasan, “kekuasaan hijau” dapat menunjukkan pada
dominasi kelompok militer. Tetapi “hijau” tidak lagi merupakan
suatu konsep empirik melainkan merupakan suatu alat simbolik
yang menunjuk pada sesuatu gagasan dan gambaran. Dengan
demikian, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bila konsep-
konsep di atas didasarkan atas pengertian yang lazim, “semua
kekuasaan politik adalah hijau” adalah bukan empirik karena
generalisasi itu mustahil.11
Perlu kita tekankan sekali lagi bahwa pengertian meto-
dologi yang lebih penting adalah bahwa kalimat-kalimat yang
mustahil atau tidak mempunyai makna tidak dapat diuji. Karena
itu generalisasi empirik harus dapat diuji atau secara potensial
dapat dibuktikan kebenarannya. Ini adalah hakekat empirik yakni

membuktikan kebenaran suatu generalisasi, maka generalisasi itu tidak dapat


dinamakan empirik. Suatu alas an utama bagi ketidak mungkinan ini adalah
kegagalan mengumpulkan konsep-konsep itu secara bermakna agar dapat
dilakukan pengujian.
11
Lihat Amal dan Budi Winarno, Ibid, hal.38

170 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
bahwa suatu generalisasi yang tidak logis (absurd) tentu tidak
empirik.12 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ilmu yang
empirik adalah pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman
dan pengamatan. Jika suatu pengamatan mempengaruhi pene-
rimaan atau penolakan terhadap suatu hipotesis, maka penga-
matan tersebut tidak dikatakan ilmiah.
Mas’oed (1990) memberi contoh lain bahwa banyak ge-
neralisasi yang tampaknya baik, tetapi sebenarnya tidak ber-
makna. Sehingga akibatnya tidak bisa diuji secara empiris. Salah
satunya adalah tautologi, pernyataan yang dengan sendiri benar
karena definisi tentang bagian-bagiannya dan hubungan logis
antara bagian-bagian itu. Bentuk tautologi yang paling kita
kenal adalah definisi. Misalnya, mendefinisikan “mobilitas ke
atas” sebagai keadaan di mana seseorang mencapai lapisan
sosial yang lebih tinggi dari yang dapat dicapai orang tuannya.
Kita tidak bisa mengatakan bahwa definsi itu benar atau salah.
Tidak perbedaan maknba sama sekali antara istilah itu dengan
definisinya. Keduanya adalah hal yang sama. Mengatakan bahwa
gadis adalah gadis tentu saja benar (walaupun membingungkan)
karena “subjek” dan “objeknya”-nya dibentuk dari kata yang
sama. Mengatakan bahwa “gadis akan bertingkah laku seperti
manusia perempuan berumur belasan”, sama membingungkannya.
Tampak seperti generalisasi, tetapi sebenarnya tautologi. Dan
masalah besar sering timbul karena apa yang disuguhkan pada
kita sebagai generalisasi (baik sebagai hipotesa, hukum atau
teori) ternyata tautologi.

JANGKAUAN GENERALISASI
Ilmuwan pemerintahan sering dihadapkan dengan suatu
dilemma. Para ilmuwan itu harus membuat keputusan yang sulit
tentang penekanan atas penelitian yang harus dilakukannya.

12
Ibid, hal. 39

ILMU PEMERINTAHAN 171


Disiplin dan Metodologi
Pertanyaan yang sering muncul adalah: apakah ia harus me-
rumuskan generalisasi-generalisasi yang sempit untuk dapat
diuji? ataukah merumuskan generalisaisi yang mempunyai
kekuatan yang besar tetapi sulit untuk diuji. Dengan perkataan
lain, apakah masalah reabilitas yang perlu diperhatikan ataukah
keleluasaan jangkauannya (scope) yang lebih perlu ditekankan.
Dalam menghadapi dilema ini, para ilmuwan pemerintahan
cenderung mengurangi tingkat kepercayaan (realibilitas) agar
dapat meningkatkan daya terap generalisasinya. Dengan demi-
kian masalah besar generalisai bagi para ilmuwan peme-
rintahan adalah bagaimana memperhatikan tingkat universalitas
dan tingkat keanekaragaman fenomena secara lebih teliti.
Baerdasarkan ruang lingkup penerapannya, generalisasi
bisa diklasifikasikan ke dalam generalisasi tingkat tinggi dan
tingkat rendah.13
Tabel 5.1 Tingkat Universalitas Generalisasi
Tingkat 1 Generalisasi paling tinggi/univrersal
Generalisasi ini diciptakan sebagai hasil
pengamatan atas suatu fenomena di berbagai
tempat dan di berbagai kurun waktu dan karena itu
bisa diterapkan secara universal. Ia bisa berlaku
untuk semua masyarakat, sepanjang waktu. Ini
sering disebut hukum atau asas (priciple).
Contoh Kebijakan publik adalah tindakan kolektif bukan
individual. Dalam implementasinya membutuhkan
dukungan semua pihak.
Tingkat 2 Generalisasi pengamatan terhadap fenomena
disuatu wilayah yang luas tetapi tidak universal,
atau pada suatu lingkungan budaya tertentu, atau
pada suatu kurun waktu tertentu, dan sebagainya.
Misalnya, hasil pengamatan atas wilayah Dunia
Ketiga atau pada masyarakat hindu.
Contoh Secara rasional kebijakan publik yang dibuat dan
diterapkan di daerah dapat memberikan manfaat
ekonomi-politik kepada Pemda dan masyarakat.
Namun, ketika kebijakan itu diterapkan hasilnya
ada kelompok yang menerima, menolak, dan
menerima dengan sejumlah syarat
Tingkat 3 Generalisasi Tingkat Menengah.
Generalisasi ini terbatas pada suatu negara, sub-
kultur atau kurun waktu tertentu
Contoh Sebagian besar pengelolaan perkebunan kelapa
13
Lihat Mas’oed, 1990,sawit di Riau
Ibid, hal. 2004-206berbentuk perusahaan (PBS/PBN),
bukan swadaya. Kondisi ini menjadi karakteristik
sifat ekonomi-politik lokal di Riau. Hal yang
menarik adalah meskipun berkali-kali terjadi
172 ILMU PEMERINTAHAN
pergantian rezim kepemimpinan lokal, kelompok
Disiplin dan Metodologi
perkebunan besar tetap bertahan.
Tingkat 4 Generalisasi Tingkat Rendah
Generalisasi ini terbatas pada kelompok atau sub-
nasional,atau kurun waktu yang singkat
Contoh Di era otonomi daerah, perubahan politik lokal di
Riau di ditandai dengan munculnya kelompok
berbasis komunal sebagai pijakan materiil dalam
mempertahankan dan memperbesar kekuasaan
lokal.
atau pada suatu lingkungan budaya tertentu, atau
pada suatu kurun waktu tertentu, dan sebagainya.
Misalnya, hasil pengamatan atas wilayah Dunia
Ketiga atau pada masyarakat hindu.
Contoh Secara rasional kebijakan publik yang dibuat dan
diterapkan di daerah dapat memberikan manfaat
ekonomi-politik kepada Pemda dan masyarakat.
Namun, ketika kebijakan itu diterapkan hasilnya
ada kelompok yang menerima, menolak, dan
menerima dengan sejumlah syarat
Tingkat 3 Generalisasi Tingkat Menengah.
Generalisasi ini terbatas pada suatu negara, sub-
kultur atau kurun waktu tertentu
Contoh Sebagian besar pengelolaan perkebunan kelapa
sawit di Riau berbentuk perusahaan (PBS/PBN),
bukan swadaya. Kondisi ini menjadi karakteristik
sifat ekonomi-politik lokal di Riau. Hal yang
menarik adalah meskipun berkali-kali terjadi
pergantian rezim kepemimpinan lokal, kelompok
perkebunan besar tetap bertahan.
Tingkat 4 Generalisasi Tingkat Rendah
Generalisasi ini terbatas pada kelompok atau sub-
nasional,atau kurun waktu yang singkat
Contoh Di era otonomi daerah, perubahan politik lokal di
Riau di ditandai dengan munculnya kelompok
berbasis komunal sebagai pijakan materiil dalam
mempertahankan dan memperbesar kekuasaan
lokal.

GENERALISASI DAN KAUSALITAS


Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam bagian se-
belumnya bahwa hubungan-hubungan empirik adalah tidak pasti
dan tidak perlu benar. Dalam konteks ini, pendapat David Hume
layak diketengahkan. Menurut Hume adalah bahwa semua yang
dapat kita simpulkan dari pengamatan adalah suatu peristiwa
atau keadaan yang selalu atau biasanya diikuti peritiwa lainnya.
Konsepsi kausalitas ini berasal dari analisis David Hume yang
menggantikan hubungan antar peristiwa yang penting dengan
suatu hubungan konstan semata-semata. Hume, menulis
“setelah menemukan banyak kesempatan bahwa dua
macam objek- api dan panas, salju dan dingin - selalu
berhubungan satu sama lain; maka jika dihadapkan pada
api atau salju, pikiran kita akan dipengaruhi oleh kebiasaan
untuk mengharapkan panas atau dingin...”14 Tidak ada cara
untuk menunjukkan hubungan itu penting, bahwa kejadian-
kejadian atau variabel-variabel harus dihubungkan secara tetap.
Dengan demikian kita dibenarkan untuk mencatat hubungan
yang konstan atau hampir konstan dan kejadian-kejadian; tetapi
ini di luar batas pengetahuan kita untuk memandang hubungan
tersebut sebagai suatu yang mempunyai pertalian yang penting.15
14
David Hume, The Treatise of Human Nature, dalam Amal dan Budi Winarno,
1995. Op.cit., hal.51-52
15
Amal,1996. Ibid., hal.52

ILMU PEMERINTAHAN 173


Disiplin dan Metodologi
Suatu penafsiran “jika A, kemudian B”, adalah “A me-
nyebabkan B” – menjadi seorang pengusaha menyebabkan
orang itu menjadi konservatif. Bahwa terdapat suatu hubungan
antara pengertian-pengertian generalisasi dan “penyebab”
adalah jelas. Akan tetapi asumsi yang mendasari penafsiran yang
disebutkan sebelumnya, yaitu bahwa generalisasi dapat direduksi
menjadi hubungan-hubungan kausal, bukanlah asumsi satu-
satunya yang dapat dibuat. Deangan kata lain, menurut Hume,
bahwa suatu hubungan kausal adalah tipe hubungan yang terjadi
secara teratur.
Hubungan antara “sebab” dan “generalisasi” sekarang
dapat secara singkat dijelaskan. Jika mengatakan bahwa “A
menyebabkan B” adalah serupa dengan “B selalu mengikuti
A”. Dengan demikian kita dapat membedakan generalisasi yang
kausal dan generalisasi yang non-kausal, dan dengan demikian
tetap memakai istilah “ sebab”. Dalam konteks ini kita perlu
membahas generalisasi cross-sectional dan generalisasi kausal
atau temporal.
Generalisasi cross-sectional16 menggambarkan hubungan
antara dua varibel pada saat yang bersamaan. Generalisasi ini
bukan hubungan sebab-akibat, karena satu variabel diketahui
tidak terjadi atau ada sebelum variabel yang lain. Carl Hempel
menamakan generalisasi cross-sectional sebagai hukum
koeksistensi (lows of coexistence), yaitu A dan B terjadi secara
bersamaan. Dengan perkataan lain, generalisasi yang tidak
menunjukkan urut-urutan waktu adalah generalisasi yang cross-
sectional. Mas’oed memberikan contoh misalnya “semakin
teralienasi seseorang, semakin rendah partisipasi politiknya”.
Orang yang mempunyai karakteristik “teralinansi juga punya
karakteristik “berpartisipasi rendah”. Generalisasi ini tidak
menunjukkan mana yang terjadi dahulu.
16
Carl Hempel menamakan generalisasi cross-sectional sebagai hukum
koeksistensi (lows of coexistence)dan generalisasi kausal sebagai hukum
urutan (lawsof sucsesion)

174 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Sedangkan generalisasi kausal, Carl Hempel menamakan
sebagai hukum urutan (laws of Sucsesion) menegaskan urut-
urutan waktu, yaitu satu variabel ada atau terjadi lebih dahulu
daripada variabel yang lain; A diikuti B. Misalnya, “setiap aktor
memiliki tujuan, untuk mewujudkannya aktor melakukan tin-
dakan”. “Kepentingan aktor tidak saja berbeda-beda, namun
dapat berbenturan”. ”Resolusi konflik ditandai terlebih dahulu
adanya konsensus”.
Para peneliti ilmu pemerintahan seringkali memiliki
alternatif memilih hubungan kausal, karena dipandang paling
memungkinkan. Dalam menarik suatu kesimpulan, para peneliti
yang mungkin ditarik adalah bahwa jika kita meredusir “sebab”
ke “kaitan-kaitan yang konstan” tersebut, keduanya sama
baiknya. Akan tetapi, walaupun tanpa konsep hubungan atau
kaitannya yang penting yang mengarahkan kita ke sebab-sebab
final atau akhir, kita tetap dapat membedakan antara hubungan
empirik yang masuk akal dengan hubungan yang palsu. Sebagai
akhir pembahasan bagian ini, penulis membuat pernyataan
bahwa generalisasi sangat penting dalam mengembangkan ilmu
pemerintahan. Karena memakai argumen Mas’oed (1990),
generalisasilah darsar bagi pembentukan teori empiris.

ILMU PEMERINTAHAN 175


Disiplin dan Metodologi
176 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
BAB 6
BEBERAPA TEORI

Dalam bab ini akan diketengahkan beberapa teori politik


klasik1 dan kontemporer yang menguraikan tentang sejarah,
ragam teori, misalnya kekuasaan, teori elit, teori negara, teori
demokrasi, serta kritik terhadap kemampuan teori menjelaskan
fenomena politik dan pemerintahan dewasa ini.
Ada soal besar terkait teorisasi politik dan pemerintahan
dewasa ini2, sehingga mengundang keresahan para ilmuwan dan
membawanya kepada perdebatan filosofis tak terkecuali ilmuwan
pemerintahan di Indonesia. Para ilmuwan itu misalnya Gaffar
(2008), Rasyid (2008), Ndraha (2008), Pratikno (2010); 3

1
Arnold, Brecht, 1959. Political Theory,The Foundations of Twentieh-
Century Political Thought, Princeton University Press, hal. 27-38
2
Lihat Pratikno (2010), “Rekonsolidasi Reformasi Indonesia:Kontribusi Studi
Politik dan Pemerintahan dalam Menopang Demokrasi dan Pemerintahan
Efektif; Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Pemerntahan pada Fisipol UGM,
21 Desember 2009; Purwo Santoso, ”Potret Ilmu sosial: Di Ambang Involusi,
dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vo.No.3 Tahun 2003 l.XXIX,
(175-192); Santoso (etl),”Sinergi Pengembangan Ilmu Pemerintahan dengan
Pembaharuan Tata Pemerintahan Lokal”, dalam Monograph on Politics &
Government Vol.4.No.1, 2010 (1-98).”…obsesi untuk mengembangkan ilmu
pemerintahan yang objektif harus dibayar dengan kerelaan melihat ilmu
tersebut “terkelupas” dari realitas dan praktek politik yang berlangsung…”

ILMU PEMERINTAHAN 177


Disiplin dan Metodologi
Santoso (2018), Swaryo (2019). Sebelum menjelaskan berbagai
pandangan para ilmuwan tersebut terlebih dahulu diuraikan
konseptualisasi kata teori dan sejarah perkembangan teori
politik dan pemerintahan.

PENGERTIAN TEORI
Dilihat dari sisi etimologis, kata “teori” berasal dari bahasa
Yunani yang artinya “melihat” atau “memperhatikan”.4 Dari pe-
ngertian ini bisa dikatakan secara mudah bahwa teori adalah
suatu pandangan atau persepsi tentang apa yang terjadi, men-
jelaskan mengapa itu terjadi dan mungkin juga meramalkan
kemungkinan berulangnya kejadian itu di masa depan.5
Dari berbagai rumusan teori di atas, dapat disimpulkan
secara umum, bahwa teori tidak lain merupakan generalisasi
yang abstrak tentang fenomena-fenomena, yang terdiri dari
sejumlah konsep-konsep yang saling berkaitan secara sistematik
yang pada akhirnya merupakan yang dapat menjelaskan feno-
mena itu. Dengan kata lain, bahwa teori politik merupakan
bahasan atau generalisasi tentang fenomena politik. Dan
fenomena politik itu antara lain mencangkup tujuan dari
kegiatan-kegiatan politik, dan cara-cara mencapai tujuan itu,
kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang
disebabkan oleh situasi politik.
Akan tetapi, disadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari
ada kerancuan dalam penggunaan kata “teori” politik, yaitu:
3
Pentinya kejelasan arah pengembangan ilmu pemerintahan telah disuarakan
oleh Prof.Dr.Pratikno,M.Soc.Sci dalam pidato pengukuhan guru besar.hanya
saja dikalangan ilmuwan pemerintahan di Indonesia belum ada consensus
tentang arah arah pengembangan ilmu pemerintahan.
4
T.A.Couloumbis dan J.H. Wolfe, Introduction to International Relations,
Prentice-Hall,1986, hal.29
5
Bagi Vernon Van Dyke (1967) bahwa teori adalah suatu sifat yang lebih
merujuk kepada ambigu dan terkadang terpaut dalam pengertian atau
sinonim dengan fikiran-fikiran atau ide-ide untuk merancang suatu fikiran
tertentu atau ide-ide, sebagaimana hal dapat memecahkan persoalan.

178 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Pertama, terdapat kerancuan pengertian antara “teori politik”
dan “filsafat politik”. Kedua, pengertian antara “teori” dan
“praktek”. Ketiga, kecenderungan menyamakan teori dengan
dugaan.6
Pertama,dalam siplin ilmu politik terdapat bidang studi
yang disebut teori politik. Studi ini bersifat normative, yaitu
memusatkan partanyaan yang bersifat dassolen: Apa seharusnya
tujuan pemerintahan? Sistem pemerintahan apakah yang paling
baik? Bagaimana sebaiknya hubungan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah.Karena itu yang dipelajari adalah hasil
karya dari tokoh-tokoh pemikir besar; mulai dari Thucydides,
Hugo Grotius, Immanuel Kant, Nicclo Machiavelli, Thomas
Hobbes, Karl Marx dan sebagainya. Bidang yang seharusnya
disebut “filsat politik” itu dalam kurikulum ilmu politik disebut
“teori politik”.

KONTEKS SEJARAH
Berbagai kejadian dan peristiwa telah menjadi inspirasi
dan referensi baru bagi para ilmuwan pemerintahan. Ke-
munculan suatu teori tidak luput dari keterbatasan dan kele-
bihannya dalam menjelaskan fenomena politik dan pemerintahan.
Munculnya suatu teori baru adalah reaksi dari keterbatasan dari
teori yang sudah ada dan seterusnya. Teori ilmu politik dan
pemerintahan adalah produk dari peradaban masyarakatnya. Hal
ini terlihat dalam sejarah perkembangan berbagai teori politik
berikut ini.
Dalam bagian ini, sejarah perkembangan teori politik dan
pemerintahan mengacu kepada klasifikasi Jogn G. Gunnell.

6
Secara umum tujuan teori, yaitu mempersoalkan pengetahuan dan menjelaskan
hubungan-hubungan antara gejala-gejala sosial dengan observasi yang
dilakukan. Teori juga bertujuan untuk meramalkan fungsi dari gejala sosial
yang diamati, berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang secara umum
telah dipersoalkan oleh teori.

ILMU PEMERINTAHAN 179


Disiplin dan Metodologi
(1983); Von Schmid (1984); Gerald F. Gaus and Chandran Kukathas
(2012)7; yaitu: Masa perkembangan teori politik klasik 1889;
Permulaan Teori Politik (1990-1919); Revolusi Teori Politik
(1920-1929); Perkembangan Teorisasi (1930-1939); Masa
awal Behavioralisme (1940-1949); Revolusi Behavioralisme
(1950-1959); Masa adaptasi teori politik (1960-1969); Proses
difusi Teori Politik (1970-1979); Masa-masa Tahun 1980-an;
yakni Pendekatan post-modern terhadap teori politik; dan terakhir
era Teori politik Empiris-Positif.8
Gunnell dan Von Schid menunjukkan bahwa perkembangan
teori politik dimulai sekitar tahun 1700-an. Pada waktu teori
politik masih merupakan suatu bidang kegiatan dalam studi etika
dan filsafat moral.9 Dengan basis analisis kekuasaan, narasi teori
politik dikaitkan dengan teori negara dan etika politik. Perkem-
bangan selanjutnya, sejak tahun 1857, politik menjadi suatu
disiplin dibanyak universitas setelah perang dunia tahun 1840.
Pada masa ini teori politik mulai mendapat tempat ilmiah.
Karena pada waktu teori politik mulai diajarkan di universitas
Harvard melaluii kursus-kursus teori politik. Pengajaran teori
politik. Melalui proses akademik terus berkembang hingga
John Burgess digantikan oleh Lieber sekitar tahun 1876. Lieber
mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu Politik tahun 1880, dan
1891 Lieber mendirikan tiga Departemen Sejarah dan Filsafat
7
Gerald F. Gaus and Chandran Kukathas, 2012, Handbook Teori Politik,
melibatkan refleksi terhadap konsep-konsep politik dasar, analisis mendalam
terhadap pandangan-pandangan alternatif tentang manusia dan politik, serta
pengejaran akan kebenaran normatif tentang sifat-sifat tata pemerintahan
terbaik. Buku ini dapat dijadikan panduan untuk berteori dan berpraktik di
dunia politik
8
Finifter, Ed, 1983, Ibid, hal. 3-38. Bagian penjelasan kategorisasi teori politik
ini juga hasil diskusi akademik dengan Andi Yusran dkk, kemudian diadaptasi
dengan literatur-literatur teori politik dan pemerintahan.
9
Menurut Alan C. Isaac, dalam Mohtar Mas’oed, hingga kini terdapat ke-
kacauan dan kekaburan dalam penggunaan: Pertama, kata “teori politik”
dan “filsafat politik”. Kedua, dalam bahasa sehari-hari kita dibungkam oleh
perbedaan tentang arti “teori” dan “praktek.” Ketiga, kita juga punya kecen-
derungan untuk menyamakan teori dengan dugaan.

180 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Politik. Dengan demikian, pada masa itu teori politik berkembang
melalui perkuliahan dan kursus-kursus, yaitu melalui kuliah
sejarah teori politik dan filsafat negara di beberapa perguruan
tinggi yang terkemuka di Amerika Serikat.
Dalam perkembangannya, ilmu politik memasuki masa-
masa pengakuan sebagai Disiplin tahun 1900-1919. Dalam
masa ini, ilmu politik menjadi suatu disiplin dengan sub bidang
yang disebut teori politik.10 Teori politik tradisional, yang me-
musatkan perhatian terhadap sejarah, lembaga, tumbuh dan
menjadi suatu aktivitas dan ruang lingkup, metode dalam ilmu
politik yang dalam sejarahnya melahirkan American Political
Science Association ( APSA).11
Dalam tahun 1920-1929 teori politik berkembang sejalan
dengan perkembangan ilmu politik yang pesat. Perkembangan
ini ditandai dengan apa yang disebut revolusi pertama dalam
teori politik. Pada masa-masa ini teori politik telah memasuki
era kemajuan metodologi yang memungkinkan untuk men-
jelaskan, meramalkan fenomena politik “melalui observasi
statistik”. Selanjutnya, teori politik memasuki periode per-
kembangan teoritisasi dalam tahun 1930-1939. Era zaman
ini, disebut juga sebagai era “theoritical ciuntinity”. Pada era
ini teori politik tercatat di bawah Teori Politik dan Psikologi.
Fungsionalisasi teori politik ditunjukkan melalui kategori
analisis, klasifikasi literatur, subject-matters, dan bersifat
kognitif dan idiologis.
Dalam masa ini perkembangan teori politik tampaknya
tidak ada temuan persoalan-persoalan konseptualisasi dan
teoritis baru. Perkembangnya masih berkisar pada persoalan
perdebatan metodologi, teoritisasi dan bagaimana menjadikan
ilmu politik sebagai ilmu pngetahuan saintifik. Era ini juga
10
Finifter, 1983, Ibid., hal. 6
11
Lihat Maswadi Rauf, “Pendekatan Negara (Statist Approach) dalam Ilmu
Politik”, dalam Miriam Budiardjo dan Tri Nuke Pudjiastuti, Ibid., Jakarta,
Raja Grafindo Pesada, hal. 66-67

ILMU PEMERINTAHAN 181


Disiplin dan Metodologi
disebut sebagai tahun-tahun penegasan, yaitu penegasan tentang
ilmu dan demokrasi, dan saling isi mengisi antara keduanya.
Akan tetapi sepanjang tahun 1930-an ini, teori politik
agaknya juga menjadi salah satu kategori yang hilang dari
program tahunan APSA. Hal ini diakibatkan oleh tekanan yang
semakin meningkat mengenai persoalan dalam negeri Amerika
Serikat dan Internasioanal. Hal ini mencerminkan perhatian
yang semakin menjauh dari isu-isu tentang scope dan metode
ilmu politik. Penekanan teori politik dipusatkan pada dua
bidang, yaitu pada persoalan-persoalan dalam negeri dan
pengembangan liberalisme. Di samping itu pada periode ini,
teori politik banyak diwarnai oleh pemikiran kesejarahan yang
dipelopori oleh George Sabine, yang mendukung teori politik
ke dalam karakteristik yang faktual, kausal, dan valuational,
terhadap upaya pemahaman masalah dan analisa kontemporer.
Pada masa ini gagasan Mirrian tampaknya tidak ber-
kembang, namun ada satu orang yang cukup menonjol yang
berusaha untuk mengembangkan gagasan Mirrian, yaitu Harold
Lasswell, dan disusul oleh Easton dan Almond.
Tahun 1940-1949, diidentifikasi sebagai periode Permulaan
Behavioralisme. Dalam tahun 1940-1949, teori politik meng-
alami era yang sering disebut sebagai tahun-tahun awal beha-
vioralisme. Dalam era ini, munculnya perdebatan hebat
diantara para ilmuwan, masa ini ditandai dengan apa yang
disebut dengan “perpecahan dalam” (deep cleavage) mengenai
“ultimate issues” dalam ilmu politik. Perpecahan ini merupakan
pertentangan yang serius antara “refleksi filosofis” mengenai
studi politik dan “analisis logis”; pendekatan teologis dan
empirik atau positivis yang semakin populet waktu itu; antara
metode dan teknik studi sosial liberal; antara ilmu bebas nilai
yang menunjuk pada hukum-hukum perilaku politik dan
perhatian yang lebih evaluatif terhadap perilaku politik; “and
the conflict between the philosophy of history”and emphasis

182 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
on “ends-means relathionsip”.12 Tetapi ada juga ilmuwan
politik menyebutnya sebagai titi puncak sejarah perkembangan
ilmu politik. Karena ilmu politik termasuk teori-teori politik
diarahkan kepada lingkungan yang relevan, yaitu masalah-
masalah yang dihadapi oleh masyarakat terutama dunia ketiga.
Sebagai konsekuensinya dalam tahun 1950-1959, teori-
teori politik berubah arah fokus analisis dari membangun
model-model analisis dengan semaangat positivism, bergeser
kepada memperhatikan masalah-masalah, aktor, institusi,
dinamika sosial-politik yang terjadi. Masa ini disebut juga
sebagai era Revolusi Behavioralisme.
Pada periode Era 1960-1969. Masa ini penekanan
terhadap unit analisis teori politik dengan memperhatikan
faktor-faktor kekuasaan, peranan spesialisasi, alokasi nilai-
nilai, komunikasi dan sebagainya. Munculnya behavioralisme
dapat diartikan sebagai interpretasi upaya untuk menghubung
aspek-aspek ilmiah dalam ilmu politik secara serius menurut
ilmu alam dan biologi dan sejarah dengan perkembangan baru
yang terjadi dalam psikologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya.
Pada periode ini perilaku (politik) merupakan suatu hal
yang dapat diamati secara objektif, dan benar-benar menjadi
fokus perhatian yang semakin besar bagi semua ilmuwan sosial.
Dan ilmuwan politik yang terkemuka pada masa ini antara lain
David Easton dengan teori sistemnya, Gabriel Almond dengan
teori analisan fungsional strukturalnya.
Masa diffusi Teori-teori Politik 1970-1979. Era dimana
penyebaran kembali teori politik terjadi. Era ini disebut oleh
Gunnell dengan istilah “diaspora of political theory”.13 Teori
politik pada periode ini perkembangannya ditandai oleh
masuknya beberapa karya ilmuwan politik besar seperti halnya,
Herbarmas Rawl, Naziek, Nazick, Heidegger, Camus, Sastre,
12
Finifter, Ed, dalam Yusran, 1995, hal. 11
13
Lihat Finifter, Ed, 1983, Op.cit, hal. 28

ILMU PEMERINTAHAN 183


Disiplin dan Metodologi
Marcus dan Popper serta pemikir-pemikir lainnya. Karya-karya
ini didiskusikan oleh para mahasiswa di perguruan tinggi.
Hasilnya tidak lain penyebaran Political Theory (PT) dan
political theory (pt). Sebagai contoh karya Karl Deutsch, yang
dianggap membuat perubahan yang amat tajam antara empiris
dan filosofus, dengan teori kuantitatif.
Munculnya teori komunikasi ini adalah akibat kecenderu-
ngan umum ilmu politik pada masa ini, yang meminjam per-
spektif dan kerangka acuan dari disiplin-disiplin lain. Sehingga
sejumlah analisa telah menimbulkan aspek teori komunikasi
dan sibernika.14
Adapun konsep-konsep pokok teori komunikasi Deutsch
ini ada dua; (1) konsep yang menempatkan perhatian pada
berbagai asas dan proses, dan (2) konsep yang mendapat
perhatian pada berbagai asas dan proses. Yang pertana, Deutsch
mencoba menghubungkan cara yang dipakai struktur kerja, ada
persamaan sistem, walaupun tidak sesederhana itu. Kategori
konsep itu merupakan “serangkaian arus informasi yang terpola”
yang secara bersama membentuk jaringan komunikasi, ini
mencakup beberapa konsep lainnya, saluran, muatan dan daya
muat.15
Friksi Tahun 1980. Prospek tahun 1980-an. Teori politik
pada periode ini, masih dalam konflik acara “humanistik” dan
“kemampuan ilmu pengetahuan” serta ditandai “sintesa
paradigma” menurut termonologi William Bluhn, atau dalam
terminologi Donald Moon, karena diakibatkan oleh “syntesis
of philosophical perspective about the nature of social
scientific explanation” atau dalam terminologi George Graham
disebut “communication among all schollars communited to
understanding and explanating political phenomena”.16

14
Lihat Varma, 1983, Op.cit, hal 369
15
Lihat Varma, Op.cit,1992, hal. 370-380.
16
Finifter, Ed, 1983, hal. 35-36

184 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Di samping itu, perkembangan teori politik pada periode
1980-an ini tampak pula dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh
Herbert Marcus dan Jean Paul Sartre dan Wright Mills, perkem-
bangan mana sering disebut “revolusi post behavioralisme”. 17
Era pendekatan- pendekatan Posmodern18terhadap teori
politik. Akhirnya, bagaimana teori politik periode dan dasawarsa
terakhir ini, terutama dengan munculnya fenomena kultural post
modernisme. Tampaknya menjadi alat bagi berbagai kalangan
ilmuwan untuk mengkritik kemapanan post modernisme, lalu
bagaimana atau apa yang terjadi bagi kecenderungan dalam ilmu
politik khususnya studi teori politik pada periodesasi ini.
Meskipun, hal ini masih banyak diperdebatkan. Sajian itu dapat
diketengahkan pada bahagian berikut ini, walaupun tentunya
penyajian ini masih kasar, karena tidak mungkin ketidakjelasan
post modernisme itu sendiri.
Selanjutnya teori-teori politik masuk ke dalam era baru ,
dimana Teori Politik Positif (awal abad ke-20-an). Bila dipahami
secara sempit, teori politik positif berarti teori pilihan rasional
yang diterapkan pada bidang studi politik. Teori ini berakar dari
ilmu ekonomi dan mendapat tempat dalam analisi ilmu politik
awal abad 20-an. Ada tiga jenis utama teorisasi positif, yaitu:
analisis kondisional, rasional, dan intensional.
Dalam konteks ini, bidang ilmu politik dan ilmu pemerin-

17
Finifter, Ed, Ibid. 1983, hal. 35-36.
18
Lebih jelas lihat Jane Bennet, ”Pendekatan-pendekatan Posmodern terhadap
Teori Politik”, dalam Handbook Teori Politik, Bandung, Nusa Media, hal.102.
Dijelaskan bahwa penggunaan istilah Posmodern dapat dirangkum dalam
tiga kategori: (1) sebagai nama sosiologis untuk perubahan penting pada
cara pengorganisasian kehidupan kolektif (dari control terpusat dan hirarkis
ke struktur jaringan); (2) sebagai genre aestetis (kesusastraan yang
bereksprimen dengan narasi nonlinier, susunan jenaka aneka gaya,apresiasi
terhadap kebudayaan popular yang membuat rumit pembedaan antara yang
tinggi dan yang rendah; (3) sebagai kumpulan kritik filsafat tentang konsepsi
teleleologis dan/atau konsepsi rasionalis alam, sejarah, kekuasaan, kemerdekaan,
dan subjektivitas. Posmodern dalam teori politik turut berperan dalam ketiga-
tiganya, namun barangkali paling giat dalam kategori ketiga.

ILMU PEMERINTAHAN 185


Disiplin dan Metodologi
tahan, tampaknya beberapa ilmuwan berbeda pandangan terntang
tantangan post-modren dan teori politik positif yang sedang
dan akan dihadapi; di satu pihak, ada yang menganggap bahwa
teori-teori politik dan pemerintahan itu hanyalah suatu gagasan
yang membingungkan dan “a political theory has never
existed”, bahkan “as a dicipline that had died and been
reborn several times”.19 Dilain pihak, sebagian ilmuwan ber-
pendapat bahwa teori politik dan pemerintahan kendatipun
membingungkan, ia selalu ada sejalan dengan perkembangan
Ilmu Politik itu sendiri.20
Namun, apapun pandangannya para ilmuwan pemerintahan
sepakat bahwa perlu diluruskan penggunaan teori yang keliru,
yaitu:21 Pertama, pembedaan yang sering dibuat antara teori
dengan praktek (bukan praksis): “That”s fine in theory,but it
won”t work in practice”. Baik dalam teori tetapi tiidak realistic
atau salah. Penggenggunaan teori seperti ini tidak mengena
karena setiap teori tidak lagi sesuai dengan realitas empiric,
maka teori itu tidak tepat lagi dikelompokkan sebagai teori
karena sudah kehilangan obyektivitas. Ingatlaah bahwa teori
merupakan abstraksi, dan generalisasi reaalitas yang kompleks.
Hal ini dimaksudkan bahwa para ilmuwan secara terus menerus
mengkaji teori selaras dengan realitas yang membentuk teori
tersebut. Kedua, Teori dipertentangkan dengan praktek: “That”s
fine in theory, but will it work in practice?”. Teori memang
19
Lihat Baum, 1970, hal. 278; Finifter, Ed. 1983, hal. 34
20
Lihat penjelasan Heywood, terkait makna dari “politik” ada dua problem:
pertama, banyaknya asosiasi dari kata “politik” ketika digunakan sehari-
hari; Kedua, para ahli yang diakui tidak dapat bersepakat tentang definisi
studi “politik’. Menurut Gaffar (2008) seperti yang diketengahkan dalam
catatan kaki Bab 1 bahwa ilmu pemerintahan di Indonesia boleh dikatakan
mengalami krisis identitas. Secara jujur harus diakui bahwa pada umumnya
kita yang berkecimpung dalam mengembangkan disiplin ilmu pemerintahan
seringkali berhadapan dengan suatu pertanyaan yang sering mengganggu,
yaitu “apakah yang membedakan ilmu pemerintahan dengan ilmu politik?”
dan pertanyaan ini harus segera dijawab oleh para ilmuwan pemerintahan.
21
Lebih jauh baca Surbakti, 1987, Metodologi Ilmu Politik, Surabaya,
Universitas Airlangga, hal. 26-27

186 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
baik, tetapi apakah dapat diuji kebenarannya dalam kenyataan.
Pandangan ini melihat teori dalam arti “idial” atau spekulatip
yang tak mungkin dapat diuji secara empirik. Jadi kalau yang
pertama memandang teori sebagai hal yang tak realistic,—teori
dilihat secara negative—maka yang kedua memandang teori
itu sebagai yang ideal tetapi tak dapat diujii—teori dilihat
secara lebih positif. Berdasarkan diskurus inilah maka teori-
teori ilmu sosial termasuk teori ilmu pemerintahan didefinisi-
kan.
Sehingga para pakar ilmu politik dan ilmu pemerintahan
merujuk , apa yang dimaksud teori itu? kepada rumusan, bahwa
teori adalah “suatu sistem generalisasi yang berdasarkan kepada
penemuan empiris atau yang dapat diuji secara empiris.22 Dari
rumusan tersebut, dapat dikatakan bahwa teori memberikan
suatu gambaran tentang generalisasi apa yang terjadi dan
sebaliknya, bukan apa yang telah terjadi. Maksudnya bahwa
teori senantiasa berkaitan dengan sejumlah pernyataan-
pernyataan yang disebut dengan proposisi-proposisi yang
berkaitan satu dengan lain secara teratur, yang direfleksikan
ke dalam variabel-variabel dalam berbagai sistem. Dan variabel
itu dapat di uji secara empiris artinya didukung oleh fakta dan
data.
Thomas P. Jenkin dalam bukunya The Study of Political
Theory (1967), mencoba mengetengahkan ketiga tingkatan
teori politik yang dikemukakan di atas secara jelas. Ia
membedakan dua macam teori politik, yaitu (1) teori politik
yang mempunyai dasar moral dan yang menentukan norma-
norma politik (valuational); dan (2) teori politik yang
menggambarkan dan membedakan fenomena atau fakta politik
tanpa mempersoalkan norma atau nilai (non valuational) yang
biasanya bersifat deskriptif dan komparatif tentang fakta-fakta
politik dan sistimatika dan generalisasi-generalisasinya.
22
Estephen L. Wasby, Ibid.1970; hal.62

ILMU PEMERINTAHAN 187


Disiplin dan Metodologi
Kedua, dalam teori politik macam pertama atau teori politik
yang valuational, Jenkon kemudia membaginya dalam tiga
golongan, yaitu (1) Filsafat Politik (Political Philosophy),
(2) Teori Politik Sistimatis (Systematic Political Theory); dan
(3) Ideologi Politik (Political Idiology).
Teori dalam artian filsafat politik hendak menjelaskan
fenomena politik berdasarkan rasio. Pokok pemikiran filsafat
politik ini menjelaskan bahwa persoalan-persoalan yang
menyangkut alam semesta seperti Metafisika dan Efistemologi
harus dipermasalahkan dulu sebelum persoalan-persoalan
politik dalam kehidupan sehari-hari dapat diatasi. Bidang kajian
pasa filosuf-filosuf zaman klasik dan modern seperti Plato,
Aristoteles, John Locke, Hegel dan Karl Marx misalnya dapat
digolongkan ke dalam teori politik dalam artian filsafatpolitik.
Studi-studi teori politik pada masa ini (tingkatan) ini tampaknya
lebih bersifar normatif, karena disini yang ditemui adalah nilai-
nilai yang dikandungnya (konsep), baik buruk. Yang mengetengah-
kan pertanyaan-pertanyaan; das sollen, apa yang seharusnya?
Pemikiran terhadap sistem politik yang bagaimana yang
seharusnya. Plato misalnya, menggambarkan bahwa hakekat
keadilan merupakan pedoman untuk mencapai “kehidupan yang
baik” buak manusia yang “zoon politicon” bagi John Locke
bahwa dalam kehidupan sosial termasuk kehidupan politik,
manusia harus mempertimbangkan masalah etika dan moral.
Teori politik sistimatis (Systematic Political Theory)
tidak mempersoalkan Metafisika dan Efistimologis dan
masalah asal usul norma-norma atau nilai; tetapi mencoba
merealisasikan semua itu ke dalam program politik. Teori
politik sistimatis ini berusaha menerapkan secara langsung
gagasan pemikiran filsafat politik.
Sedangkan teori dalam artian Idiologi Politik (Political
Idiology) merupakan kumpulan-kumpulan nilai-nilai, ide dan
norma-norma, kepercayaan dan keyakinan “weltanchauung”

188 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang, atas dasar
mana dia menentukan sikapnya terhadap kejadian dan masalah
politik yang dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku
politiknya. Idiologi politik biasanya mendasarkan diri pada
keyakinan adanya suatu pola tata tertib sosial politik yang ideal
dan mencoba membahas, mendiagnosa serta menyarankan
bagaimana tujuan ideal itu dicapai. Dengan demikian, filsafat
politik berbeda dengan teori politik sistimatis, idiologi politik.
Tujuan utama yaitu menggerakkan kegiatan dan aksi masyarakat
(Jenkin, 1967). Contoh idiologi ini seperti misalnya; demokrasi,
leberalisme, fascisme, marxisme dan lain sebagainya.
Kedua, seringkali kita mendengarkan orang mengatakan
“Teoritis memang begitu, bagaimana prakteknya”? Seolah-olah
teori itu tidak realities. Padahal, semakin anda kita mempelajari
masalah metodologi, maka semakin anda tahu bahwa teori dan
paraktek tidak bisa dipisahkan. Teori adalah basis bagi pengem-
bangan pengetahuan yang layak dipercaya dan berdasarkan
kenyataan.
Ketiga, kita juga sering mendengarkan orang berkata:
“Menurut teori saya, pelaku kejahatan itu adalah si Anu”.Yang
dimaksud pembicara sebetulnya adalah dugaan dia tentang siapa
pelaku kejahatan itu.
John G. Gunnell mencoba membedakan antara Political
Theory (PT) dan Political theory (Pt) “as sub-field of the
disciple of political science” yang merupakan suatu konversi
yang berkaitan dengan perdebatan-perdebatan mengenai dan
kedudukan teori politik. Political Theory (PT) sebagai “a
amore general interdiciplenary body of literature, activity,
and intellectual community” (PT) yang mencakup antara lain,
pelbagai macam aliran atau fungsi-fungsi dalam politik dan
perbagai refleksi tentang studi politik.23 Oleh karena itu, teori
politik dapat dipahami, di satu pihak ia adalah aktivitas tindakan
23
Lihat Finifter, Ed., 1983, hal.3-6

ILMU PEMERINTAHAN 189


Disiplin dan Metodologi
dari pelaku-pelaku poliik. Dilain pihak, ia merupakan produk
ilmu politik itu sendiri.
Seperti yang telah dikemukakan pada bahagian terdahulu
bahwa teori politik itu merupakan produk dari ilmu politik,
atau sebagai sub-field dalam ilmu politik. Dan sebagai sub-
field ia mempunyai subject matters, di samping itu ia sendiri
merupakan subject matters dari ilmu politik.24
Kedudukan teori politik sebagai sub-field dalam ilmu
politik, dapat dilihat secara jelas dari laporan Konvensi APSA
(American Political Science Association) pada tahun 1914,
1962, 1968, dan 1973. Dalam laporan APSA 1914 tampak
teori politik telah merupakan bidang (field) tersendiri. Ada
empat bidang utama dalam ilmu politik, yang dilaporkan, yaitu;
(1) American Government, (2) Camparative Government,
(3) Political Theory, (4) Elements of Law (The Liang Gie,
1969, 66, dikutip Cheppy Hari Cahyono, 1991, 18). Kemudian
pada Konvensi APSA tahun 1962, Political Theory masih tetap
merupakan bidang tersendiri. Namun pada Konvensi tahun
1968, Political Theory disatukan dengan Philosophy, dengan
tiga cakupan pengertian; yaitu, Political Theory and
Philosophy (empirical), Political Theory and Philosophy
(historical), and Political Theory and Philosophy (normative).
Sementara itu pada Konvensi 1973, Political Theory
didudukkan sebagai sub-field mencakup System of Political
Ideas in History, Idiology System, Political Philosophy
(general), Methodological and Analytical System. 25
Kalau dilihat dari perkembangan kedudukan teori politik
dan berbagai cakupan tersebut, dapatlah kiranya kita runut
bahwa terdapat perbedaan dan cakupan serta analisis dari era
Klasik Teori Politik hingan Kontemporer. Perbedaan itu lebih
banyak disebabkan oleh perubahan fenomena politik yang
24
Baum, 1978, hal. 278
25
Fred Greenstein, 1975, hal. ix-xii

190 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
terjadi, tapi namun tetap mempunyai cakupan pembahasan yang
sama, yaitu membahas tentang; masyarakat, kekuasaan, negara,
sistem pemerintahan atau sistem politik, kelas sosial, keadilan,
kedaulatan, hak dan kewajiban, dan sebagainya.
Teori politik klasik umumnya membahas tentang nilai
bukan fakta. Sehingga ada yang berpendapat bahwa nilai bukan
fakta. Sehingga ada yang berpendapat bahwa pembahasan-
pembahasan itu kurang begitu ilmiah26 atau berkisar tentang
pembahasan aught, das solen (apa yang seharusnya), tentang
is, das sein(apa adanya) (Isaak, 1969, 5). Gagasan teori politik
semcam ini dapat kita lihat pada pemikiran Plato, John Locke
Rousseau, Hobbes, Augus Comte, Hegel, dan Karl Marx.
Menurut Miriam Budiardjo (1985) ada dua fungsi Teori
Politik Klasik. Pertama, menentukan pedoman dan patokan
yang bersifat moral dan yang sesuai dengan norma-norma
moral. Jadi, semua fenomena politik ditafsirkan dalam ranka
tujuan dan pedoman moral. Sehingga kehidupan politik yang
ideal dapat diwujudkan. Kedua, teori politik semacam ini
mencoba mengatur hubungan antara anggota masyarakat
sedemikian rupa sehingga disatu pihak, memberikan kepuasan
individual, dan di lain pihak, dapat membimbingnya ke suatu
staruktur masyarakat politik yang stabil dan dinamis. Karenanya
fungsi yang kedua ini adalah mendidik masyarakat mengenai
norma-norma dan nilai-nilai.
Teori Politik Kontemporer, umumnya membahas sistem
politik dan perubahan politik berdasarkan kenyataan dan
empiris, melakukan penelitian-penelitian dengan metode dan
teknik yang canggih seiring dengan perkembangan baru di
dalam ilmu politik beserta perangkat analisanya, dan statistika
dan pendekatan perilaku politik para ilmuwan politik kontem-
porer, berusaha menemukan dan menjelaskan, dan meramalkan

26
Lebih jauh baca Cheppy Haricahyono, 1991, hal.21.

ILMU PEMERINTAHAN 191


Disiplin dan Metodologi
kenyataan-kenyataan empiris politik, berdasarkan fakta dan
didukung oleh data. Sekalipun mereka (ilmuwan politik) tidak
dapat meninggalkan nilai begitu saja. Jadi para ilmuwan politik
kontemporer ini tidak lagi membicarakan tentang nilai, norma,
tetapi pembahasannya lebih ditujuan kepada fakta-fakta yang
dapat diuji secara empiris. Satu kajian yang cukup menarik
dalam kajian teori politik ini adalah bagaimana sistem politik
dan budaya politik mempengaruhi perilaku politik masyarakatnya.
Lingkup pembahasannya, juga tidak hanya terpaku kepada suatu
sistem politik tertentu saja, tetapi juga terhadap sistem-sistem
politik lainnya. Pada unit anaisis nilai ilmu politik kontemporer
banyak diwarnai oleh perilaku individu dan idiologi sebagai
cara pandang analitisnya. Gagasan teori politik kontemporer
ini sejalan dengan perkembangan behavioralisme, dimana
perilaku politik menjadi unit analisisnya.
Tampaknya bahwa gagasan-gagasan teori politik kontem-
porer ini berkembang ke arah studi teori politik yang lebih
maju secara metodologi ilmiah didukung dengan studi teori
politik klasik. Dari trayektori teori tersebut nampak bahwa
kekuasaan merupakan konsep paling sentral dalam ilmu politik
dan pemerintahan. Perdebatan mengenai kekuasaan belum juga
nampaknya berhenti dan bahkan spektrumnya semakin meluas.
Perdebatan yang paling intens adalah yang menyangkut apa yang
dimaksud kekuasaan: Siapa saja yang memilikinya? Dan bagai-
mana menjalankan kekuasaan yang dimiliki?27

KEKUASAAN
Konsep power28 (kekuasaan; kekuatan) menempati posisi
yang istimewa dalam studi politik dan pemerintahan. Bahkan
tidak berlebihan apabila ada pihak yang menyatakan bahwa
27
Lihat Mohtar Mas ’oed, Op.cit,1990.hal.218
28
Lihat Heywood, 2000, Key Concepts in Politics, New York (USA): ST.
Martin’s Press LLC

192 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
membicarakan ilmu politik berarti membicarakan tentang
kekuasaan. Padahal kekuasaan hanya merupakan salah satu aspek
saja dalam bahasan ilmu politik, walaupun tidak dapat dipungkiri
bahwa kekuasaan merupakan aspek relative penting.29

Definisi
Kautilya, tokoh negarawan India Kuno yang menulis karya
besarnya pada abad ke 4 SM menafsirkan kekuasaan sebagai
“pemilikan kekuatan” (yaitu, suatu atribut) yang berasal dari
tiga unsur: pengetahuan, kekuatan, militer,dan keberanian.
Selaras dengan Kautylia diatas Harold D. Laswell dan Abraham
Kaplan, dalam bukunya Power and Society merumuskan
kekuasaan sebagai berikut kekuasaan adalah kemampuan pelaku
untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa,
sehingga tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa,sehingga
tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan
dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.30 Definisi ini me-
nampakkan sisi “paksaan atau negatif”, padahal kekuasaan
memiliki aspek positif atau sukarela.
Robert A. Dahl dalam Haryanto (2005) berpandangan
bahwa konsep kekuasaan merujuk kepada perilaku, yakni
perilaku mempengaruhi orang lain seperti ungkapannya
“…suppose there are only two people in a system, A and B. A
influences B to the extent that he change B’s actions or
predispositions in same way”.31 Kekuasaan adalah kemampuan
untuk mempengaruhi dari seseorang kepada orang lain, atau
sari satu pihak kepada pihak lain. Namun persoalannya, kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi orang atau pihak lain secara
langsung (relasional), menurut kalangan ilmuwan politik

29
Lebih jauh pandangan ini baca Haryanto, 2005, Kekuasaan Elit: Suatu
Bahan Pengantar, JIP Fisipol-UGM, hal. 1
30
Lihat Harold Laswell, dalam Haryanto, 2005, Ibid, hal. 3
31
Haryanto, 2005, Ibid, hal. 3

ILMU PEMERINTAHAN 193


Disiplin dan Metodologi
dewasa ini sudah mulai berkurang baik intensitasnya maupun
spektrumnya. Kekuasaan lebih banyak tampil dalam bentuk
tidak langsung (struktural).
Bentuk kekuasaan struktural ini diartikan kemampuan
membentuk & menentukan struktur (misalnya, struktur
ekonomi-politik pertanian pangan) yang mewadahi kegiatan
para aktor (misalnya, petani, BULOG, KUD). Mas’oed (2015)
member contoh bahwa dalam hal ini Bupati tidak perlu secara
langsung menerapkan pengaruh pada petani. Pengaruh itu bisa
diterapkan melalui pembuatan aturan main yang mengkaitkan
hak untuk memperoleh kredit pedesaan dengan kepatuhan
menjalankan program pertanian pemerintah. Dengan kata lain,
konsep kekuasaan dilihat berkaitan erat dengan kemapuan
mempangaruhi struktur atau system dalam proses kebijakan
misalnya menetapkan agenda wacana dalam masyarakat;
merancang aturan main yang mengatur hubungan antar-aktor;
menetapkan bagaimana sesuatu seharusnya dilakukan; mem-
bentuk aturan dalam hal hubungan pemerintah dengan anggota
masyarakatnya.

Unsur Kekuasaan
Selaras dengan definsi-definisi konsep kekuasaan di atas,
Coouloumbis dan Wolfe, dalam Masoed (1990) mengajukan
argumen bahwa cara terbaik untuk memahami konsep power
adalah dengan memandangnya sebagai suatu hubungan antara
aktor-aktor dengan kehendak berbeda. Sebaliknya, cara terbaik
untuk mendefinisikan secara opresional dan mengukur kemam-
puan pemerintahan menerapkan kekuasaan adalah dengan
memusatkan perhatian pada atribut-atribut spesifik pemerintah
itu yang bisa diukur. Tentang isu kedua, mereka memilih konsep
kekuasaan sebagai campuran dari berbagai unsur penerapan
pengaruh. Menurut Coouloumbis dan Wolfe, power memiliki
tiga unsur penting: Pertama,adalah daya paksa (force), yang bisa

194 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
didefinisikan sebagai ancaman eksplisit atau penggunaan
kekuatan militer, ekonomi, atau sarana pemaksa lainnya oleh
aktor A demi menjamin agar perilaku aktor B sesuai dengan
keinginan aktor A. Unsur ketiga adalah wewenang (authority),
yaitu sikap tunduk sukarela aktor B pada arahan (nasehat,
perintah) yang diberikan oleh aktor A. Sikap tunduk ini muncul
dari persepsi B tentang A, misalnya penghormatan, solidaritas,
kasih saying, kedekatan, mutu kepemimpinan, pengetahuan dan
keahlian. Oleh karena itu, konsep kekuasaan bisa digambarkan
dalam skema berikut ini:

Power

Authority Influence Force


Sumber: Mas’oed, 1990:138
Gambar 6.1 Unsur-Unsur “Power”

Berbagai definsi konsep kekuasaan diatas dapat ditarik


beberapa kesimpulan umum:32 Pertama, kekuasaan ada dua
bentuk kekuasaan langsung (relasional) dan kekuasaan tidak
langsung (struktural). Kedua, kekuasaan dilihat sebagai
hubungan (relationship) antar dua atau lebih kesatuan.
Ketiga, suatu hubungan kekuasaan biasanya bersifat tidak
seimbang,dalam arti bahwa satu pelaku mempunyai kekuasaan
yang lebih besar dari pelaku lain. Ketidakseimbangan ini sering
menimbulkan suatu ketergantungan (dependence); ketimpangan
serta ketergantungan. Akan tetapi sangat jarang ada bentuk
kekuasaan yang mutlak dan absolute. Sehingga, masih ada ruang

32
Lihat Ratnawati dan Ari Dwipayana, 2005, Modul Teori Politik, Program
Studi Ilmu Politik Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, hal.13

ILMU PEMERINTAHAN 195


Disiplin dan Metodologi
untuk bekernya resistensi yang kemudian menyebabkan bentuk
hubungan kekuasaan menjadi tidak searah.
Keempat, ketidakseimbangan dalam relasi kekuasaan
disebabkan perbedaan akses/penguasaan sumberdaya kekuasaan.
Sumber kekuasaan bisa bermacam-macam; kedudukan, keper-
cayaan atau agama, kekerabatan atau kepandaian dan kete-
rampilan, dan struktur.
Kelima, kekuasaan bekerja dalam ruang lingkup tertentu
atau scope of power. Scope of powers merujuk pada rung
lingkup kegiatan, tingkah laku serta sikap dan keputusan tau
struktur yang menjadi objek kekuasaan.
Keenam, domain of power menyangkut pada pelaku,
kelompok, organisasi dan kolektivitas yang kena kekuasaan.
Ketujuh, penyelanggaraan kekuasaan dapat dilakukan dengan
cara yang berbeda; kekerasan (force); persuasi-meyakinkan
(persuasion). Kedelapan, kekuasan berkaitan dengan legitimasi
(keabsahan) kekuasaan.33
Hal lain yang disimak ketika memahami konsep kekuasaan
adalah pemikiran Bennedict Anderson,34 yang membedakan
konsep kekuasaan menurut pemikran Barat dan konsep menurut
pemikiran Jawa. Menurut Anderson, konsep pemikiran
kekuasaan pemikiran Barat bersifat abstrak, bersifat heterogen,
tidak ada batasnya, dan dapat dipersoalkan keabsahannya.
Sedangkan konsep kekuasaan menurut pemikiran Jawa, ke-
33
Lebih jauh lihat Ratnawati dan Ary Dwipayana, 2005, Ibid, Modul Teori
Politik, Program Studi Ilmu Politik Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi
Daerah, Program Pasca-Sarjana, UGM hal.13. Dijelaskan bahwa legitimasi
adalah keyakinan anggota-anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada
pada seseorang,kelompok atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati.
Lipset menyebutkan: “legitimasi mencakup kemampuan untuk membentuk
dan mempertahankan kepercayaan bahwa lembaga-lembaga dan bentuk-
bentuk politik yang ada adalah yang paling wajar untuk masyarakat itu.
34
Lihat Benedict R. O’G. Anderson, “The idea of power in javanese culture”
dalam Anderson, 1990, Languange and Power Exploring Political Cultural
in Indonesia, Ithaca and London, Cornell University Press; Ratnawati dan
Ari Dwi Payana, 2005, Op.cit, hal. 19

196 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
kuasaan itu bersifat kongkrit, bersifat homogeni, jumlahnya
terbatas atau tetap, dan tidak mempersoalkan keabsahannya.
meskipun buku ini tidak mempersolkan apakah konsep
pemikiran Barat atau pemikiran Jawa. Buku memfokuskan diri
kepada kekuasaan yang dimiliki sesorang atau sekolompok
orang yang dikenal elite. Oleh karena itu, pembahasan berikutnya
akan bersentuhan dengan pertanyaan bagaimana kekuasaan
didistribusikan? Bagaimana kekuasaan dibatasi? Jawaban
terhadap beberapa pertanyaan ini aakan ditelusuri melalaui
teorisasi elite dibawah ini.

TEORI ELITE
Dalam literature ilmu politik dan pemerintahan pembahasan
terkait distribusi dan sirkulasi kekuasaan diperdebatkan oleh
para ahli teori elite “elite theorist”. Misalnya Gaetano Mosca,
Vilfredo Pareto, Robert Putham, dan C. Wight Mills. Secara
teoritik, Gaetano Mosca35 dalam bukunya The Rulling Class
menyebutkan: bahwa “di semua masyarakat…muncul dua
kelas-kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas
pertama selalu lebih sedikit jumlahnya, menjalankan semua
fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati sejumlah
keuntungan yang dibawa oleh kekuasaan; sementara yang kelas
kedua jumlahnya lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh
yang pertama, melalui cara yang sedikit banyak bersifat sah,
kadang-kadang sewenang-wenang dank eras. Teori elit Mosca
ini menjadi basis perdebatan teorisasi elit hingga dewasa ini.
Dalam perkembangannya teorisasi Mosca ini dikembangkan
lebih jauh oleh Pareto, Guido Dorso, Robert Putnam, C.Wright
Mills, kaum Neo-Marxis.

35
Lihat Ratnawati dan Aan Ari Dwipayana, 2005,Op.cit, hal.26

ILMU PEMERINTAHAN 197


Disiplin dan Metodologi
Kelas yang Berkuasa
(The rulling class)

Kelas yang dikuasai


(The rulled class)

Sumber: Haryanto,2005:75
Gambar 6.2 Piramida Kekuasaan

Seperti halnya Mosca, Guido Dorso36 membagi masyarakat


menjadi dua,yaitu the rulling class yang memiliki kekuasaan
dan kelas yang dikuasai (the rulled class). Menurut Dorso,
the rulling class dibagi lagi; (1) the political class (yang
merupakan technical instrument dari kelas yang memerintah),
yang selanjutnya dibagi menjadi; the government political
class (the ins) dan the opposition political class (the outs);
(2) non political class, bagian dari rulling class namun tidak
masuk sebagai instrument teknis kelas yang memerintah.
Selaras dengan perspektif di atas, Vilfredo Pareto37 dalam
bukunya “The Mind and Society” melukiskanpengertian elite
dengan mengajak kita untuk mengamati kehidupan masyarakat
dengan segala aktivitasnya yang ada di dalamnya dia menawarkan
bahwa dalam setiap cabang kehidupan yang ada di dalam
masyarakat, aktivitas yang dilakukan setiap individu yang
36
Ratnawati dan Ari Dwipayana, 2005, hal.25
37
Lihat Haryanto, 2005, Op.cit, hal.67

198 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
menjadi anggota masyarakat tersebut diberi indeks sebagai
punjuk kemampuannya.38 Berdasarkan angka indeks terhadap
aktivitas masyarakat di dalam kehidupannya akan memunculkan
sebagian anggotanya sebagai elit. Dengan demikian akan
ditemukan berbagi elit dalam suatu masyarakat misalnya elite
bidang ekonomi, elit bidang politik, elit bidang hukum, dan
berbagai bidang lainnya. Para elit itu adalah orang memiliki
kelebihan atau keunggulan dibandingkan dengan orang lain. Para
elit ini berada pada struktur puncak dalam bidang masing-masing
di tengah masyarakat. Para pihak inilah disebut elit.
Dalam suatu masyarakat, menurut Pareto39 terdapat elit
yang berkuasa dan kelompok elit ini dapat dibagi dua, yaitu,
elit yang sedang memerintah (governing elite) dan elit yang
tidak sedang memerintah (non governing elite). Governing
elit teridiri dari orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan
politis sehingga bisa secara langsung berpengaruh pada kebijakan.
Lalu bagaimana mengidentifikasi para elit dalam suatu mas-
yarakat terutama para elit politik dan pemerintahan?
Robert Putnam,40 menjelaskan tiga strategi atau langkah
yang dapat dilakukan bagaimana mengidentifikasi elit politik
dan pemerintahan dalam suatu masyarakat; (a) analisa posisi
(siapa yang menduduki posisi puncak institusi formal;namun

38
Dikutip lebih jauh dari Haryanto, 2005, Ibid.hal. l66-67.Dinyatakan bahwa
seorang pengacara sukses dengan kliennya jumlahnya banyak diberi angka
tertinggi 10; sementara pengacara lainnya yang mempunyai klien dalam
jumlah yang lebih sedikit diberin angka 1 sebagai indeks terendah. Dilukiskan
ndalam cabang kehidupan yang lainnya, cabang ekonomi misalnya,seorang
pengusaha yang berhasil dengan penghasilan setiap bulan mencapai angka
ratusan juta rupiah diberi angka 10, pengusaha lainnya dengan penghasilannya
jutaan rupiah setiap bulan mencapai angka ratusan juta rupiah diberi angka
indeks 6, dan pengusaha lainnya lagi yang hanya membawa pulang
keuntungan puluhan ribu rupiah setiap bulan diberi angka indeks 1. Demikian
seterusnya gambaran yang sama dapat dilukiskan pada tiap cabang
kehiduapan lainnya, domana anggota masyarakat melakukan aktivitasnya
diberi angka indeks untuk menunjukkan kemampuan.
39
Lihat Ratnawati dan Aan Ari Dwipayana, 2005, Ibid, hal.25
40
Lihat Mas’oed (2003); Ratnawati dan Aan Ari Dwipayana, 2005, Ibid, hal.25

ILMU PEMERINTAHAN 199


Disiplin dan Metodologi
ada krtik terhadap analisa ini mengabaikan adanya elite boneka
dan kelompok tidak formal yang berpengaruh); (b) analisa
reputasi (siapa yang berpengaruh dalam proses pembuatan
keputusan dan; (c) analisa keputusan (mempelajari proses
pembauatan keputusaan tertentu; siapa mempunyai inisiatif,
siapa yang mempunyai inisiatif, siapa yang menantang).
Selanjutnya Putnam menggambarkan piramida kekuasaan yang
diklasifikasi kepada enam lapisan:

Kel. Pem. Keputusan

Kaum Berpengaruh
Aktivis
Publik Peminat Politik
Kaum Pemilih

Non Partisan

Sumber:Mas.oed& Collin
Sumber:Mas.oed& Andrews,1978:80
Collin Andrews,1978:80

Gambar 6.3 Stratifikasi Kelas

Munculnya teori politik elite yang dikembangkan C.


Wight Mills 1972 dengan bukunya “The Power Elite”. Mills,
sebenarnya pemikiran-pemikiran vilfredo Pareto dan Gaetano
Moscoa, Robert Michels, yang diaplikasikannya ke dalam
kehidupan politik Amerika ketika itu sekitar tahun 1956.
Kalau Pareto, Michaels membagi masyarakat kepada dua
kelas, yaitu elite dan massa (non elite) dan elite itu terdiri dari
dua, yaitu (1) elite yang memerintah (the governing elite) dan
(2) elite yang tidak memerintah, atau dengan memakai istilah
the ruling class and massa. Kedua ilmuwan politik ini mem-
permasalahkan bagaimana elite itu lahir dan terjadinya sirkulasi
elite perubahan struktur kekuasaan. Dan mencoba menjelaskan

200 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
kompleksisitas organisasi sosial. Maka, C. Wright Mills,
mencoba menjelaskan “The Power Elite” itu muncul di
Amerika. Bagi Mills, permasalahnnya adalah bagaimana massa
itu didominasi oleh elite? Dengan penjelasan sosiologis, ia
menempatkan elite sebagai kelompok yang menempati posisi
penting dalam lingkungan ekonomi, sosial, dan politik.
Sementara Pareto, memandang bahwa elit yang berkuasa
menjadi dua: elit yang sedang memerintah (governing elite)
dan elite yang tidak sedang memerintah (non governing elite).
Governing elite terdiri dari orang-orang yang menduduki
jabatan-jabatan politis sehingga bisa secara langsung berpe-
ngaruh pada pembuatan kebijakan.
Menurut Mills ada tiga kelompok elite, (1) Ekonomi
(elite bisnis, (2) Militer (elite militer), dan (3) Pemerintah
(elite birokrat). Munculnya “The Power Elite” adalah akibat
dari “persekongkolan” antara ketiga jenis elite itu yang didasarkan
oleh persamaan latar belakang kelas sosial, kepentingan, dan
persamaan asal-usul sekolah/pendidikan yang sama. Hubungan
“informal” yang terjadi diantara elite di atas, menurut Mills
sangat menentukan sekali lagi bagi suatu proses keputusan. Dan
hal inilah yang sebenarnya tidak disukai oleh Mills C. Wright
Mills, 1956.
C. Wright Mills melakukan riset pada tahun 1972, tentang
pemimpin-pemimpin di seluruh sektor baik politik, ekonomi,
sosial, kultur dan institusi sipil di Amerika Serikat. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa sejumlah sedikit orang telah
membuat keputusan-keputusan penting bagi seluruh rakyat
Amerika Serikat. Mills mengkategorisasikan kepa tiga area
penguasa elit: (1) Pemimpin-pemimpin tertinggi termasuk
presiden, anggota cabinet dan penasehat terdekat; (2) Pemilik-
pemilik perusahaan besar dan pimpinan-pimpinannya; (3)
Pimpinan lembaga militer.
Selanjutnya menurut Mills, para elite tidak menghambat

ILMU PEMERINTAHAN 201


Disiplin dan Metodologi
kebebasan sipil. Sebaliknya mereka menghormati prinsip-
prinsip hukum,melakukan kerja dengan trasparan dan dengan
beberapa karakter mereka tidak bisa dikategorikan sebagai
indikator. Pada akhirnya menurut Ratnawati dan Ari Dwipayana
(2005) Teori elit Mills menyimpulkan bahwa mengapa terjadi
public silence; Pertama, adalah dibuatnya agenda-agenda
penting seperti kebijakan ekonomi dan keamanan nasional oleh
kekuasaan para elite, yang kedua, adalah level tengah yang
memegang peran sedikit, dan publik sama sekali dinkunci.
Termasuk demokrasi procedural yang dijadikan legitimasi bagi
pemerintahan adalah salah satu bentuk nyata manifestasi yang
menjadi monopoli kelas elite, diamana kelomok-kelompok
politik penguasa berkonspirasi dengan kelompok kapitalis
memutuskan arah pembangunan. Pemilu dan mekanisme
demokrasi hanyalah ritual monopoli kaum elite.
Tak dapat disangkat bahwa perkembangan teori politik elit
kontemporer saat ini di negara-negara berkembang banyak
dipengaruhi oleh analisa distribusi Harold Laswell, Analisa
sistem David Easton, Analisa Struktural-fungsionalnya Gabriel
Almond dan teori komunikasi Karl Deutsch. Karena teori
politik kontemporer dengan kemajuan perangkat metodologis-
nya, seiring dengan perkembangan behavioralisme. Dan para
ilmuwan di ataslah banyak membawa dimensi lain melalui
pengembangan metodenya, prangkat dan peralatannya, menjadi
ilmu politik lebih maju “scientific”. Sebagai pengikut Charles
Merriam di Universitas Chicago, yang menentang pendekatan
tradisional ilmu politik sambil menyarankan pendekatan baru.41
(Waren, 1992). Teori-teori mereka inilah selanjutnya berkembang
dengan segara modifikasinya seperti revolusi posmodernisme
saat ini akan diketengahkan dalam pembahasan berikutnya.
Menurut Easton, Almond dan Karl Deutsch, bahwa teori
41
Maswadi Rauf. 1996. Teori-Teori Politik Dewasa Ini. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 66 - 68.

202 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
politik haruslah menjelaskan dan meramalkan fenomena-
fenomena politik Eropa, dengan metodologi dan sifat analisa
yang dapat menjelaskan fenomena-fenomena politik tersebut
secara kongkrit dan tepat. Tokoh-tokoh teori politik ini terutama
Easton mencoba menjelaskan fenomena-fenomena politik
melalui penelitian kualitatif. Penelitian ini selalu berkaitan
dengan identifikasi masalah, penentuan variabel, kerangka teori,
metode dan sistem analisa, dan seterusnya. Sehingga dapat
menjelaskan fakta-fakta politik yang hendak dijelaskan dan
dirumuskan.
Menurut David Easton (1965) ada tiga fungsi teori politik
kontemporer, yaitu: (1) memungkinkan kita mengenali variable-
variabel politik yang penting dan menerangkan hubungan
masing-masing. Tanpa sebelumnya membuat rencana analisis
sulit bagi kita untuk berbuat demikian. Disisi lain, kalau kita
mempunyai kerangka teori yang memberikan pedoman, maka
kita dapat memberikan pada riset kita dan mengatur fakta-fakta
supaya membantu kita mencapai generalisasi. (2) adanya
kerangka teori yang diterima secara luas oleh pertanyaan
lapangan, akan memungkinkan diadakannya perbdingan antara
hasil riset yang bermacam-macam. Dengan demikian orang
tidak hanya dapat memeriksa kumpulan yang diambil oleh
pelaksanaan riset, tetapi juga dapat menunjukkan wilayah riset
yang masih dibutuhkan, dan (3) adanya kerangka teori, setidak-
tidaknya sekumpulan konsep yang relatif konsisten, juga
menolong kita membuat riset yang lebih dapat diandalkan. Pada
tingkat ini orang boleh tidak mungkin bahwa kemungkinan teori
juga dapat membantu membuat ramalan, yang kadang-kadang
dianggap sebagai tugas suatu teori ilmiah. Akan tetapi jika fakta-
fakta yang dapat dikumpulkan menurut sebuah kerangka teori,
kalau riset yang dilakukan oleh petugas riset yang berlainan,
dapat diperbandingkan menurut kerangka teori ini. Dan apabila
dapat menarik kesimpulan yang dapat diandalkan, maka kita
telah mencapau suatu titik, dimana ramalan-ramalan dapat

ILMU PEMERINTAHAN 203


Disiplin dan Metodologi
dibuat dengan lekas, kalau ramalan itu dimungkinkan dalam
disiplin tersebut.
Apabila diikuti perkembangan studi-studi ilmu politik dan
ilmu pemerintahan, mulai dari Jon Burgess tahun 1854 hingga
David Easton 1950. Terlihat bahwa studi-studi politik dilandasi
metode ilmiah. Artinta, para ilmuwan politik di seluruh dunia
terutama khususnya di Amerika, telah berusaha untuk mengem-
bangkan ilmu politik ke arah studi yang lebih “scientific”. Usaha
ini dilakukan melalui dua langkah utama, yaitu; pertama,
membuat langkah-langkah ke arah kerangka pemahaman
terhadap scientific yang dimulai dengan merubah konsep-
konsep. Kedua, memformulasikan dan konstruksi teori yang
pada akhirnya mengacu kepada eksplanasi, prediksi terhadap
fenomena politik.
Bagi ilmuwan politik dan pemerintahan yang menganggap
bahwa aspek-aspek politik yang dikaitkan dengan penggunaan
dalam penelitian, berpendapat bahwa aspek-aspek teori politik
itu adalah konsep-konsep, generalisasi, proposisi dan hipotesa,
pendekatan, model dan paradigma.
Konsep atau ide dapat dirangkum dengan melalui berbagai
cara. Menurut Chilcote (1981, 17) ada tigas cara tingkatan
dalam rangka konseptualisasi yakni; universal general, dan
konfiguratif. Dalam usaha konseptualisasi atau usaha untuk
mempertajam, memperjelas konsep, maka dikenallah tiga
tingkat teori, yakni; (1) teori umum (global theory), (2) teori
menengah (the middle range theory), (3) kesimpulan empiris
“empirical generalitation” yang relatif berlaku untuk suatu
wilayah atau daerah tertentu. Dengan demikian suatu konsep
menjadi fondasi dalam mencari jawaban fenomena politik yang
dilakukan dalam penelitian.42
Bagi Alan C. Isaak (1981, 105-106) bahwa generalisasi

42
Lihat Dyke, 1961, hal. 62.

204 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
terdiri dari konsep-konsep yang saling mempunyai hubungan
satu sama lain. Selanjutnya ia mengatakan bahwa bagi ilmu
politik generalisasi merupakan suatu hal yang penting, karena
(1) generalisasi memberikan gambaran fenomena politik yang
lebih luas, sehingga menjadikan ilmu politik dapat menjadi
sistimatis, (2) generalisasi merupakan hakekat dari penjelasan
yang dapat meramalkan secara ilmiah karena fungsi utama ilmu
pengetahuan adalah menjelaskan mengapa sesuatu itu terjadi
atau hal-hal yang akan terjadi. Tanpa generalisasi tidak akan
ada penjelasan dan peramalan. Oleh karenanya, ruang lingkup
generalisasi sangat luas. Ini berarti bahwa tak hanya satu atau
beberapa konsep saja yang dapat digeneralisasikan, melainkan
cakupannya sangat luas. Sehingga harus di jaga agar generalisasi
itu tidak ambigu dan kabur. Dan sifat generalisasi itu ada dua;
yakni, kondisional dan empiris. Semua generalisasi dapat
dimasukkan ke dalam bentuk kondisional. Namun, tidak semua
kalimat kondisional merupakan generalisasi ilmiah yang baik.
Untuk itu harus dipenuhi kriteria tertentu, yakni: mengatur
hubungan antara konsep secara empiris, maka harus mencakup
konsep yang luas. Generalisasi harus benar susunan tata
bahasanya dengan logika.
Eugene. J. Meehan (1965, 91-92) sebagaimana yang
dikutip kembali oleh Ronald Chilcote (1981, 18) mengiden-
tifikasi tiga bentuk generalisasi. Pertama, adalah “universal
generalization (all of one thing is the same a another); yang
dalam beberapa kasus, generalisasi seperti ini disebut dengan
hukum. Bentuk yang kedua adalah “a probabilistic genera-
lization (a percentage of one thing is to another)”.
Generalisasi seperti sering disebut: proposisi (propotition).
Dan yang terakhir bentuk “tendency generalization (one thing
tends to be another)”. Generalisasi semacam ini pada umumnya
diungkapkan dalan tentatif dan pemikiran saja dan inilah yang
sebuta dengan hipotesis.

ILMU PEMERINTAHAN 205


Disiplin dan Metodologi
Sebagai aspek yang ketiga adalah yang disebut: pendekatan
(aprooaches). Ada tiga pendekatan bagi studi ilmu politik.
Pertama, pendekatan normatif (normative approach), yang
dalam ilmu perbandingan politik umumnya dipergunakan
sebagai evolusi demokrasi konstitusional yang memfokuskan
pada perwujudan modernisasi. Pendekatan ini lebih memper-
hatikan pada masalah-masalah niali-nilai kultur dalam
masyarakat. Dan juga mengkaji norma-norma dalam bentuk
peraturan atau hak dan kewajiban, bagaimana nilai-nilai tersebut
diimplementasikan.
Kedua, adalah pendekatan struktural (structural approach).
Pendekata ini memberikan kepada lima penekanan, yakni: (1)
legal dan formal, (2) struktural neoinstitusional (neo-
institutional structural), (3) kelompok-kelompok (groups),
(4) struktur dan fungsi, dan (5) struktur dalam bentuk kelompok
dan kelas. Ketiga, adalah pendekatan perilaku (behavioralis
approach), yang sangat dipengaruhi oleh ilmu psikologi.
Pendekatan ini menitik beratkan pada beberapa masalah yang
dikaitkan dengan proses belajar, sosialisasi, motivasi, persepsi,
dan sikap-sikap terhadap otoritas. Sebagai unit analisis adalah
individu-individu dan kelompok-kelompok kecil saja.43
Sesungguhnya posmo telah menawarkan kepada kita
adanya semangat keterbukaan, kebebasan berfikir dan flek-
sibilitas dala, melihat berbagai fenomena, tanpa hatus terpaku
pada sebuah diskursus saja (Himmah, 1993, 35).
Jika benar posmo telah menawarkan kepada kita semangat
keterbukaan, kebebasan berfikir, dan fleksibilitas dalam
melihat gejala, tanpa harus terpaku kepada suatu cara tertentu
saja, maka yang sangat penting artinya bagi studi teori politik
saat ini adalah sesungguhnya metodologi yang harus dikaji
secara teliti. Karena dengan kerangka metodologi inilah
fleksibilitas dan validilitas dapat melihat gejala politik dapat
43
Apter, et al, 1968, dikutip Chilcote, 1981, hal. 19-21.

206 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
baru disadarkan. Baik secara teoritis maupun empiris.
Pertimbangannya di samping kerumitan fenomena politik itu
sendiri, juga krisis yang terjadi luar biasa, baik ditingkat
masyarakat maupun dilini struktur kekuasaan. Dengan kata lain
krisis itu menyangkut konsep-konsep pembahasan/kajian studi
teori politik itu sendiri. Pertanyaannya apakah posmo
mempunyai kontribusi langsung terhadap studi teori politik
saat ini? Sesungguhnya posmo hanyalah memberikan kesaksian
bahwa di negara barat saat ini sedan terjadi krisis yang luar
biasa terutama baik di bidang kebudayaan, filsafat, arsitektur
mauoun yang lainnya (Heryanto, 1993, 56). Artinya, fenomena
itu tentunya juga menyangkut kebudayaan atau perilaku
masyarakat politik, proses politik, misalnya. Masalahnya sejauh
kira-kira kegamangan posmo tersebut berpengaruh terhadap
studi teori politik (kontemporer atau klasik), yang kenyatannya
sekarang banyak mengalami kemajuan metodologis dalam
perkembangannya, di samping kekurangan yang harus diatasinya
yaitu misalnya ketepatan-ketepatan prediksinya.
S.P. Varma dalam bukunya Modern Political Theory,
mencoba mengetengahkan tiga tahapan bagi pencarian teori
politik modern. Tahapan pertama, dimulai dari karya Lucian
Pye Tahun 1963, tentang perkembangan politik dan konsep
“nation state”, Colleman, 1963 dengan “Syndrom perkem-
bangannya” kemudian diikuti oleh Rostow 1960, dengan
tahapan perkembangan ekonomi. Kenneth Organski, 1965
dengan krisis perkembangan politik, Edward Shills, 1962 dan
David After, 1965 dengan modernisasi politik. Dan terakhir
tahun 1960, mucul Almond, Easton dan Samuel Huntington,
dengan teori sistem dan struktural fungsionalnya.44
Relevansi variabel-variabel kebudayaan, politik, administrasi,
ekonomi dan sosial dalam bentuk perkembagan penelitian tidak
dapat disangkal. Namun, sukar untuk memastikan nisbi yang
44
Lihat Varma, 1992, Opcit., hal.475-481

ILMU PEMERINTAHAN 207


Disiplin dan Metodologi
dipunyai oleh setiap faktor. Banyak setiap konsep ini tidak dapat
diuji secara empiris. Dalam kebanyakan hal, dasat yang
diperlukan untuk menguji tak bisa diperoleh. Tetapi kekurangan
studi ini yang terbesar ialah memaksa memperlakukan
perkembangan politik sebagai suatu variabel bergantung
(dependent) yang digunakan oleh variabel yang lain.
Gelombang modernisasi, nasionalisme dan domkrasi,
merupakan variabel yang selalu bergantung. Tahapan kedua,
sejulmlah ilmuwan sosial lainnya, Huntington, 1965, F. W.
Riggs 1967, Turner 1966, Yosep Nye 1967, Almond dan Easton
dan lain-lain. Studi tahapan keduia ini canggih mengguakan
fungsional-struktural yang diajukan oleh sejumlah penulis
tersebut. Dalam rangka konseptual tidak melahirkan hipotesa
apapun yang bisa diandalkan. Apalagi generalisasi tingkat
menyeluruh, dan hampir tidak memberikan perangsang apapun
kepada para ilmuwan untuk mengumpulkan, mengolah atau
menganalisa data empiris. Salah satu kesalahan terbesar dari
pendekatan ini adalah fungsional-struktural dibatasi, tidak
banyak memberikan perhatian kepada soal-soal perubahan.
Almond sendiri menyadari hal ini dan berusaha memperkecilnya
dengan Powell tetapi tidak sepenuhnya keluar.45 Tahapan ketiga,
Varma mengutip Karl Marx, Deutsch, dan Lerner mencoba
untuk mengerti perkembangan politik dari sudut studi tentang
proses sosial (seperti industrialisasi, komersialisasi, perluasan
melek huruf dan sebagainya). Dapat dimulai dari karya,
Raymond Tanter, Martin Mandela, Philips Cutright, Hayward,
dan Michael Hudson. 46 Berhasilnya tahapan ini secara
metodologis berhasil dalam pengumpulan, melalui surbei
sejumlah data, sifat kuantitatif tentang proses sosial. Hal itu
dapat dilihat antara lain melalui juga kerya Symor Martin Lipset,
Richard Bendix, Borongton More, Rostow, Huntington.

45
Almond, Ed, 1966, hal.23
46
Ibid, 1992, hal. 487

208 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Tetapi dari ketika kerangka ini tidak ada satupun yang dapat
menghasilkan rangka cocok, apalagi satu teori. Tapi pada sekitar
tahun 1960-an, sejumlah penulis berusaha untuk mempelajari
perubahan politik secara langsung. Secara umum dapat dibagi
ke dalam tiga bentuk; (1) teori perubahan konvensional, (2)
teori perubahan krisis, (3) teori perubahan kompleks (ibid,
491). Huntington sering dikaitkan dengan teori yang pertama,
dan Almond, Rostow kepada teori kedua, dan Brumer dan
Brewer pada teori ketiga.
Brumer dan Brewer percaya bahwa perubahan politik
adalah suatu masalah yang kompleks dan menguraikan kira-
kira 22 variabel dan 20 parameter yang meliputi studi tentang
sektor-sektor perkotaan dan pedesaan dan berusaha untuk
menerapkan hubungan antara variable dan parameter di dalam
12 persamaan yang diperoleh dari teori umum modernisasi
dan analisa mengenai negara berkembang tertentu (Turki dan
Fhilipina) dalam jangka sekitar 20 tahun. Model ini suatu model
sistem politik yang sangat seksama yang mencakup sejumlah
variable demografi, ekonomi, politik dan dapat mempelajari
kebijaksanaan. Dengan analisa awal teori politik ini, bagaimana
interpretasi terhadap ciri utama posmo? Kalau dikatakan bahwa
ciri utama modernitas masih berlanjut dalam posmo, maka
secara epistimologis fungsi teori politik (modern) akan meng-
alami temuan-temuan baru yang menyebabkan teori itu banyak
menjadi perhatian dan pengujian banyak orang terutama ilmuwan
politik itu sendiri.
Dari bahagian terdahulu telah ditengahkan periodesasi dari
perkembangan teori politik. Yang menjadi catatan adalah
terutama terjadinya pergeseran fungsi teori politik dari lini
nilai ke fakta-fakta empiris. Orang tentunya tidak banyak berharap
dari perubahan yang ada sekarang, tampaknya posmo sebatas
alat bagi para ilmuwan untuk menyaksikan fenomena kultural
dan folosofis di samping pengenalan pendekatan holistik yang

ILMU PEMERINTAHAN 209


Disiplin dan Metodologi
bercirikan akademik intelektual. Ketika perubahan ke peru-
bahan yang terjadi saat ini banyak orang semula mempunyai
ramalan yang tidak sempurna lagi, Aristoteles dan Plato
mungkin tidak memperkirakan begitu saja, bahwa demokrasi
menjadi pilihan banyak pihak di dunia sekarang ini. Tidak ada
satu pemimpin yang tidak menyebutnya pemimpin demokratis,
walaupun nilai yang dikembangkannya sangat jauh dari kerangka
demokrasi itu semula. Jadi topeng-topeng dunia telah menyelimuti
banyak menyembunyikan muka dunia. Sehingga tidak jarang
dalam situasi yang mendunia ini orang salah tingkah, sulit di-
ramalkan terkadang terkesan transparan di permukaan saja.
Jika Harold Laswell bertahan dengan teori distribusi ke-
kuasaannya, yang diakui banyak berpengaruh terhadap teori
politik saat ini. Maka orang kembali bertanya, guna men-
jelaskan dan mempraktekkannya. Misalnya, mengapa kekuasaan
itu tidak didistribusikan secara merata? Apa penyebabnya? Lalu
bagaimana dengan hegemonik dunia sekarang? Siapa yang
berkuasa sesungguhnya di bidang politik dan ekonomi di dunia?
Keragu-raguan muncul, diskursus-diskursus kecil terjadi, per-
soalannya bukan metafisika, tapi epistimologi (fondasi). Karena
batas dan lingkungan kekuasaan era ini sedemikian kabur dan
transparan, kata orang terlepas dari batas wilayah, tetapi tetap
mempunyai satu prasyarat “kepentingan.”
Dengan demikian bagi studi teori politik tentunya tidak
menjanjikan apa-apa dalam situasi yang “panik” itu, namun tetap
ada pemikiran-pemikiran baru bagi nuansa teorisasi politik
modern, walaupun itu mungkin sebatas “emperical generali-
tation”. Sebab, secara metodologis dengan adanya fenomena
sosial politik baru dan menyeluruh, seperti misalnya demo-
kratisasi di berbagai belahan bumi ini sebagai refleksi tidak
langsung dari suatu budaya politik, akan banyak memberikan
nuansa baru bagi teorisasi politik modern. Persoalannya bukan
berguna atau tidak tetapi manfaat teorilah yang banyak menjadi

210 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
pilihan para ilmuwan politik. Dengan lain perkataan, bahwa
adanya fakta-fakta sosial akan menjadi “The idea of progress”
untuk menguji kemapanan suatu teori politik yang ada. Ilmu
politik baru menyadari tugasnya setelah melihat langsung
perubahan-perubahan itu. Dengan tidak mengenyampingkan
pentingnya “indirect structural”.
Tidak dapat disangkal bahwa teori politik modern telah
banyak memberikan nuansa baru bagi kemajuan ilmu politik.
Kemajuan itu telah menjadikan ilmu politik semakin “scientific”
dalam menjelaskan, dan meramalkan berbagai fenomena politik
yang uncul dalam kehidupan politik. Baik yang terjadi di tingkat
lokal (regional), nasional, maupun ditingkat internasional.
Walaupun tingkat generalisasi tampaknya juga mengalami ke-
sulitan, paling tidak generalisasi universal, namun dengan
ditemukannya perangkat analisa melalui statistik, komputer hal
tersebut relatig dapat diatasi berkat kerja keras para ilmuwan
politik. Bukanlah teori yang baru dianggap baik ditentukan oleh
kemapanannya untuk dapat menyelesaikan lebih banyak masalah.
Mengutip Thomas S. Kuhn bahwa sains tidak ada urusan atau
penggarapan teka-teki.47
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu politik
studi teori politik telah memperkaya cakrawala ilmiah dengan
karya-karya ilmuwan politik (kontemporer) melalui berbagai
penelitian terhadap biasanya kepada sistem politik, budaya
politik, dan perilaku politik. Satu pokok soal yang cukup menarik
dalam kajian-kajian tersebut adalah bagaimana sistem politik
mempengaruhi perilaku politik masyarakatnya, termasuk budaya
politik masyarakat internasioan. Hasil-hasil kajian itulah
munculnya atau sekaligus ujian bagi teorisasi politik.
Namun, proses politik tidak berlangsung begitu saja tanpa
terkait dengan proses-proses yang lain. Misalnya ekonomi,
budaya, sosial. Kenyataan proses-proses ini berlangsung sebagai
47
Thomas S. Kuhn, 1962, dikutip W. H. Newton-Smith, 1981

ILMU PEMERINTAHAN 211


Disiplin dan Metodologi
suatu sistem yang saling terkait satu dengan yang lainnya dan
proses-proses itu telah mengalami perkembangan yang cepat
seiring dengan kompleksitas kehidupan manusia saat ini.
Kompleksitas itu ditandai dengan gejala-gejala empiris dan
kondisional sifatnya.
Harus diakui bahwa berbagai kemajuan ilmu pengetahuan
abad ini telah dirasakan langsung atau tidak langsung bagi
kehidupan manusia. Akan tetapum seiring dengan kemajuan
tersebut tidak jarang timbul pua masalah-masalah baru yang
semula tidak tampak, menariknya masalah-masalah itu dalam
banyak hal tampaknya telah merupakan “dilema” kehidupan
manusia abad ini. Rasionalitas tampaknya tidak cukup, karena
di luar dari perkiraan semula. Sains yang modern relatif mandek,
tandanya keseimbangan jauh dari harapan. Sehingga tidak jarang
digunakan suatu pendekatan baru apa yang diucapkan post-
modernisme disingkat posmo.
Posmo mengecam rasionalisme yang diagung-agungkan
ternyata telah membawa dampak buruk. Yakni, ketika rasio-
nalitas telah menjadi agenda kerja, hubungan antar manusia
menjadi sangat tidak manusia. Rasionalitas digugat posmo
karena menurut posmo tidak ada universalitas nilai, yang ada
nilai-nilai lokal yang majemuk dan universalitas ini dama
dengan hegemoni. Karena itu posmo menawarkan, metode
dekonstruksi yang antara lain, menganjurkan perlu adanya
pluralitas budaya (Komaruddin Hidayat, 1993). Jika metode
dekonstruksi yang ditawarkan, maka studi-studi teori politik
(kontemporer) dihadapkan pada berbagai pilihan teoritis
(rekonstruksi), karena dekonstruksi bukan meniadakan suatu
yang telah ada, tetapi lebih cenderung mengangkat sesuatu yang
telah ada, tetapi lebih cenderung mengangkat sesuatu yang
tadinya belum terangkat. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran
baru polirik yang dibutuhkan. Dan pemikiran politik baru itu
dapat diperoleh melalui penelitian-penelitian ilmiah. Akibatnya

212 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
dengan metode dekonstruksi yang ditawarkan posmo, dalam
banyak hal tampaknya memberikan peluang dan kemungkinan
untuk tumbuhnya berbagai pemikiran baru politik yang
kondisional. Dengan kata lain “The Indegeneous Theory”
berpeluang ditampilkan dalam memperkaya nuansa teorisasi
politik masa posmo. Fleksibelitas dalam melihat berbagai
fenomena memberikan harapan itu. Persoalannya bagaimana
ilmuwan politik melepaskan teori-teori agung yang telah ada,
dan bagaimana pula dengan teorisasi-teorisasi ilmu-ilmu lain.
Mungkin disinilah, orang kembali mempertanyakan legitimasi
ilmiah posmo sebagai mazhab teoritis.

TEORI NEGARA
Dalam sub-bab ini akan diketengahkan beberapa teori
negara dengan mengetahkan argument adalah “organisasi
kekuasaan yang paling menentukan adalah negara, dalam
kehidupan sehari-hari, negara adalah sebuah realitas politik”.
Argmentasi tersebut dituangkan kedalam pembahasan; konsepsi
teori negara versi Ratnawati dan Ari Dwipayana, yaitu teori
negara organis, teori liberal tentang negara; teori negara instru-
mentalis; dan teori otonomi relative negara.
Menurut Ratnawati dan Ari (2005),48 secara normative,
teori negara teridiri dari empat varian, yaitu: teori negara oto-

48
Lihat Arief Budiman, 1991. Negara dan Pembangunan: Studi Tentang
Indonesia dan Korea Selatan, Jakarta, Yayasan Padi dan Kapas. Arief
mengajukan tiga kelompok teori tentang negara,yaitu (1) Teori negara sebagai
alat (teori instrumental), disini negara dilihat sebagai sekadar alat dari
kekuatan yang menguasai negara. Negara sebagai arena tempat kekuatan-
kekuatan saling bersaing. Teori dianut oleh kaum pluralis, kebijakan negara
hanya resultante dari kekuatan-kekuatan yang ada; (2) Teori Struktural
tentang Negara. Negara dianggap memiliki kemandirian, tapi kemandirian
ini bersifat relative.kemandiarian hasil dari perubahan struktur, bukan negara
itu sendiri yang meembentuknya;(3) Negara sebagai kekuatan mandiri. Di
sini negara sebagai subjek yang mempunyai kepentingan sendiri, yang
berbeda dengan kepentingan kekuatan-keuatan sosial yang ada negara dan
kekuatan sosial merupakan aktor yang saling bersaing.

ILMU PEMERINTAHAN 213


Disiplin dan Metodologi
nom atau organis, teori negara liberal, teori negara instrumen-
talis, dan teori-teori otonomi relattif negara. Emat varian teori
negara tersebut dapat dilihat dari gambar di bawah ini:

Negara Otonom
(Seba Negara)

Otonomi Instrumentalis
Relatif (Alat)

Liberal (Serba
Individuu)
Sumber: Ratnawati & Ari, 2005:33
Gambar 6.4 Perkembangan Teori Negara

Teori Negara Organis


Dalam referensi ilmu politik dan pemerintahan, teori-
teori negara organis bersumber dari pemikiran klasik tentang
negara misalnya mulai dari Aristoteles, Plato, Hobbes sampai
Hegel. Di lain spektrum teori-teori klasik itu, teori negara
organis muncul dalam peta pemikiran konsep negara Fasis
misalnya Musolini dan negara integralistik Soepomo.
Berbagai teori negara organis atau negara otonom be-
ranjak dari suatu pertanyaan besar, yaitu mengapa negara perlu
diberi kekuasan mutlak? Kemutlakan kekuasaan negara inilah
yang menjadi ide dasar teori-teori negara organis.
Menurut Plato (429-347 SM),49 kekuasaan yang besar ada
49
Lihat Von Schimid, 1984. Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum,
dari Plato sampai Kant, terjemahan R.Wiratno, Djamaluddin Dt.
Singomangkuto dan Djamadi, Jakarta Pembangunan, hal. 11-12. Plato
dilahirkan tanggal 29 Mei 429 SM di Athena. Waktu berumur 20 tahun, ia
menjadi murid Socrates. Setelah Socrates meninggal ia merantau ke Mesir,

214 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
pada negara. Mengapa kekuasaan besar itu ada pada negara
adalah karena tujuannya agar negara dapat bertindak mengendali-
kan masing-masing individu yang berbuat berdasarkan kepenti-
ngannya sendiri. Untuk dapat negara mengendalikan tiap
individu itu, negara membutuhkan kekuasaan yang besar yang
digunakan untukmenanamkan nilaiu-nilai moral yang rasional.
Plato menghasilkan beberapa karya diantaranya “Politeia”,
Negara. Karya ini memuat pemikiran Plato tentang negara dan
hokum dan kemudian dilanjutkannya dalam karya “ahli negara”
(Politikos) dan “Undang” (Nomoi).50
Plato ahli pikir pertama yang menerima paham adanya
alam bukan benda.melalui alam ia menjelaskan pengetahuan
susila dan menjadi latar belakang dari alam jasmani. Dalam
karyanya “Politeia”, Plato menganologi negara seperti jiwa.
Hakekat negara adalah haket jiwa. Disana ada unsur rasional
ada unsur irasional. Untukmenjamin negara dapat menegakkan
moralitas, maka negara harus dikuasai oleh para ahli pikir atau
filsuf; karena filsuflah yang bisa membedakan yang baik dan
yang buruk serta “membebaskan dunis lahir yang berubah dan
berganti-ganti gejalanya”.51 Negara dibentuk oleh kelas penguasa,
pembantu penguasa dan kelas pekerja. Masing-masing kelompok
pembentuk negara itu memiliki kelebihannya, kelas penguasa
banyak mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan negara,
kelas pembantu penguasa memiliki semangat kerja yang tinggi,
sedangkan kelas pekerja memiliki keinginan mengejar kepenti-
ngan diri sendiri.
Aristoteles (384-322 SM). Aristoteles adalah murid
terbesar dari Plato. Ia adalah putera Nocomachus, tabib pribadi
pada istana raja di Mecedonia. Aristoteles lahir di Stagirus,

Sisilia dan Italia Selatan. Pada tahun 389 dibuka sekolah filsafat di Athena
yang dinamakan “Academia”.
50
Arief Budiman, 1991; Von Schimid,1984, Ibid, hal.12.
51
Lihat Ratnawati dan Ari, Op.cit., hal.34

ILMU PEMERINTAHAN 215


Disiplin dan Metodologi
pada berusia 17 tahun pergi ke Athena dan menjadi murid
Plato.52
Selaras dengan pemikiran Plato gurunya, Aristoteles
memandang bahwa negara membutuhkan kekuasaan yang
mutlak untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral yang
rasional.53 Dalam bukunya Politica, Aristoteles merumuskan
asal musal negara,yaitu dari gabungan individu yang menjadi
kelompok, kemudian membentuk kampung dan sebagainya
hingga organisasi tersempurna yaitu negara.54
Ada dua ungkapan yang digunakan Aristoles untuk me-
nggambarkan hubungan antara manusia dengan negara, yaitu
“manusia dalah binatang politik” dan “negara mengatasi manusia”.55
Menurut Aristoteles, bahwa dalam suatu masyarakat terdapat
hirarki mulai dari individu, keluarga, kampung, sampai pada
negara. Menurut Aristoles, keluarga adalah bersifat alamiah
yang sebahagian besar kebutuhan dasar individu manusia,
seperti makan, perumahan, dan prokreasi secara alamiah di-
penuhi. Karakteristik ini bukanlah monopoli manusia, karena
binatang pun mempunyai kebutuhan-kebutuhan dasar seperti
itu, bahkan beberapa jenis binatangpun mengikuti suatu pola
keluarga. Akan tetapi manusia juga makhluk yang suka berkumpul,
karena mereka dapat berkomunikasi satu sama lain dan meme-
lihara persaudaraan. Oleh karena itu hal yang alamiah bagi
manusia untuk hidup dalam suatu komunitas, memungkinkan
manusia mengdakan pembagian kerja, berpartisipasi dalam
pertukaran sosial dan ekonomi. Hal inilah yang membawa
manusia ke peringkat hidup lebih tinggi dan memerlukan
organisasi sosial yang lebih kompleks. Namun sekali lagi gejala

52
Von Schimid,1984, Op.cit., hal.28
53
Lihat Patria dan Andi Arief, 2003. Antonio Gramsci, Negara & Hegemoni,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal.23-24
54
Ratnawati dan Ari, Op.cit., hal.35.
55
Lihat Ramlan Surbakti, 1984. Perbandingan Sistem Politik, Surabaya,
Mechipiso, hal.15-16.

216 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
ini bukanlah monopoli manusia karena lebah misalnya me-
miliki organisasi sosial yang cukup kompleks.56
Apa yang membedakan manusia dengan mahluk lain adalah
bahwa manusia hidup dalam suatu komunitas politik (negara
dalam bahasa Yunani disebut “polis”). Faktor yang menyatukan
mereka sebagai komunitas politik adalah kepentingan bersama.
Karena kepentingannya semua menyumbang pada kebaikan
bersama. Kehidupan yang baik sesungguhnya adalah tujuan
negara.57 Semenjak masa Aristoles inilah, pembagian kekuasaan
pemerintah yang dipakai sebagai dasar pemerintahan yang beradab,
telah menjadi pokok bahasan filosofis para intelektual.58 Dengan
mengatakan bahwa negara “mengatasi manusia”, dimaksudkan
Aristoteles bahwa hanya dalam Polis itulah manusia akan dapat
memperolah sifat moral yang paling tinggi, karena di dalam
negara sajalah urusan-urusan yang berkenaan dengan seluruh
masyarakat akan dibicarakan dan diperdebatkan, dan hanya di
negaralah tindakan-tindakan untuk merealisakan kepentingan
umum atau kebaikan bersama akan diambil. Di luar polis,
manusia dipandang sebagai makhluk yang berderajat di bawah
manusia, seperti binatang, atau sebagai mahluk yang berderajat
di atas manusia seperti dewa atau tuhan.59
Thomas Hobbes (1583-1645) adalah seorang ahli pikir
Inggris lahir tahun 1588 di Malbesbury. Ada dua karya utama
tentang negara oleh Hobbes, yaitu “De Cive” (1642), tentang
warga negara, dan “Leviathan” (1651) tentang negara. Dalam
Leviathan (yaitu sebuah monster yang rakus yang terus berusaha
memperluas dan memperbesar kekuasaannya). Ciri sentral dari
pandangan ini adalah bahwa negara mengejar kepentingan yang

56
Ramlan Surbakti,1984, Ibid., hal.15-16
57
Ibid,1984.hal.16
58
Lihat lebih jauh M.A. Mttalib & Mhd.Akbar Ali Khan, 2013. Theory of Local
Government, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Jakarta, Sterling
Publishers, hal. 112-112.
59
Aristoteles, The Politics, dalam Surbakti,1984, Op.cit., hal.16-17

ILMU PEMERINTAHAN 217


Disiplin dan Metodologi
bukan merupakan kepentingan dari masyarakat, dan bahwa ke-
pentingan tersebut menuntut peningkatan yang terus menerus
dalam peran atau kewenangan dari negara itu sendiri.60
Hobbes mengetengahkan pemikiran adanya kontrak
sosial yang menyebabkan satu kelompok orang menyerahkan
kekuasaannya pada kelompok orang lain. Kontrak sosial 61
adalah sebuah kesepakatan sukarela yang dibuat diantara individu-
individu melalui mana sebuah masyarakat yang terorganisasi,
atau negara, dibentuk dan dijalankan. Digunakan sebagai sebuah
alat teoritis oleh pemikir seperti Hobbes, Locke, dan Rousseau.
Kontrak sosial dimunculkan kembali oleh teoritikus modern
seperti John Rawls.
Kontrak sosial digunakan sebagai sebuah alat teoritis oleh
para pemikir Perjanjian ini disadari oleh pertimbangan ke-
pentingannya sendiri. Kelompok yang menyerahkan dan di-
serahi kekuasaan disebut dengan Commonwealth.
Teori kontrak sosial memiliki tiga unsur:62 (1) Gambaran
tentang sebuah masyarakat yang tanpa negara (sebuah keadaan
alami). Kebabasan yang tidak terbatas berarti bahwa kehidupan
itu ‘menyendiri,miskin,nakal,buruk dan pendek’;(2) Indiviidu-
individu karena itu kemudian berusaha untuk melaporkan diri
dari keadaan alami tersebut dengan masuk ke dalam sebuah
kontrak sosial, mengakui hanya sebuah kekuasaan berdaulat
yang dapat menjamin tatanan, ketertiban dan stabilitas;(3)
Kontrak sosial mewajibkan para warga untuk menghormati dan
mematuhi negara, untuk mencapai stabilitas dan keamanan yang
mana hanya sebuah sistem
Menurut Hobbes dalam suatu negara harus ada aturan atau
hukum yang mengikat. Aturan bertujuan untuk mengendalikan
setiap individu yang masing-masing berjuang atas kepentingannya
60
Lihat Andrew Heywood, 2014, Op.cit., hal.110
61
Lihat Heywood, 2014. Op.cit., hal.106
62
Ibid, 2014., hal.106.

218 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
sendiri dan meninggalkan sifat moral baik. Masing-masing
individu menjadi mangsa individu lain, semua orang berperang
berperang melawan semua orang lainnya. Yang berlaku adalah
hukum homo homini lupus, alias “manusia adalah serigala ter-
hadap mansuaia lainnya”, yang kuat (secara fisik) adalah yang
menang, dialah yang menentukan hukum.
Sebagai makhluk yang berfikir, manusia kemudian merasa
bahwa masyarakat seperti ini tidak bisa dipertahankan, karena
tidak adil. Yang kuat bisa menetukan segalanya, yang lemah tak
berdaya untuk melawan. Kemerdekaan yang mereka miliki
merupakan kemerdekaan untuk menindas. Maka yang terjadi
kemudian adalah mereka menyerahlkan kemerdekataan ini
kepada sebuah lembaga yang bernama (yang pada waktu itu
diwakili seorang raja). Negara tidak mewakili yang kuat, tapi
kepentingan umum. Negara menjalankan kekuasaannya atas
dasar kepentingan umum. Maka lahirlah apa yang disebut
political society alias masyarakat politik, dimana kemerdekaan
individu diserahkan kepada negara. Dalam masyarakat politik,
negara berkuasa mutlak untuk menyelenggarakan kepentingan
umum.63
Hegel, dalam masa ini berkembang pemikiran bahwa
negara merupakan wakil dari kepentingan umum atau publik,
sedangkan masyarakat hanya mewakili kepentingan pribadi dan
terpecah-pecah. Pandangan ini diperkuat oleh konsep dialektika
Hegel.64
Melalui konsep dialektikanya, Hegel mengatakan bahwa
negara adalah ungkapan roh objektif, dimana roh objektif tersebut
merupakan cerminan dari kehendak, pikiran dan hasrat masing-

63
Lihat Thomas Hobbes, Leviathan, 1959; Arief Budiman, 2006. Kebebasan,
Negara, Pembangunan. Pustaka Alvabet, hal.51-52. Menurut Arief Budiman,
Thomas Hobbes adalah pemikir yang kecewa terhadap kekacauan yang
terjadi pada masyarakat alamiah. Karena itu, dia menyerahkan kekuasaannya
pada negara/Raja.
64
Lihat Patria dan Andi Arief, 2003., Op.cit., hal.24

ILMU PEMERINTAHAN 219


Disiplin dan Metodologi
masing individu (roh subjektif). Dengan demikian negara
merupakan institusi yang paling paham akan kehendak individu;
rakyat tidak mengetahui kehendaknya, yang mengetahui adalah
negara, karena secara “objektif” mengungkapkan apa yang bagi
rakyat hanya ada secara “subjektif”.65 Bagi Hegel, negara me-
rupakan penjemaan ide yang universal. Negara memperjuangkan
kepentingan yang lebih besar dan merupakan cermin kebaikan
semua moral (good will). Sedangkan individu merupakan
penjelmaan dari partikularistik dalam bentuk kepentingan yang
sempit. Dengan demikian,.negara ada di atas masyarakat, lebih
utama,lebih tinggi darpada masyarakat.66 Oleh karena itu, negara
mempunyai hak untuk memaksakan keinginan pada warganya
karena negara adalah mewakili kepentingan umum,dan oleh
karena itu ia lebih mengetahui apa yang baik bagi rakyatnya.
Negara memiliki misi integrative dengan kepentingan rakyatnya,
maka negara adalah pihak yang benar dan yang harus dimenangkan.67
Dalam berbagai uraian teori negara organis diatas, maka
dapat disimpulkan karakteristik terori-teori negara otonom ini
adalah:68
1. Memberi kekuasaan yang besar dan mutlak pada negara
2. Menolak kebebasan individu yang terlampau besar; individu
harus menyerahkan kemerdekaannya pada negara.
3. Negara merupakan lembaga yang mempunyai kemauan
sendiri yang mandiri (otonom). Negara bukan alat dari ke-
inginan individu atau kelompok dalam masyarakat.
4. Negara adalah budiman: karena negara mengemban amanah
kebaikan umum, penjaga moralitas dan kesejahteraan mas-
yarakat.
5. Secara hisrarkis, negara diletakkan lebih terhormat, penting

65
Magnis Suseno,dalam Patria & Andi Arief,2003,Opcit.hal.24.
66
Ratnawati dan Ari,Opcit.hal.36
67
Ibid,.hal.36
68
Ibid,2005,hal.33

220 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
dan lebih utama daripada individu atau masyarakat. Seperti
organism, Negara diibaratkan seperti kepala yang lebih tinggi
dari badan.

Teori Liberal
Locke, lahir disekitar Bristol sebagai putra seorang sajana
hukum. Descrates dan Boyle banyak mewarnai pemikiran John
Locke tentang negara. Dalam pemikiran tentang negara dan
hukum, Locke terkenal melalui karyanya tentang pemerintahan
sipil “Two Treatises on Civil Government” tahun 1690. Buku
ini ditulis berdasarkan pengalaman pemerintahan Monarchi masa
Williem III dan permaisurinya di Inggris.69
Dalam uraian di atas, berbeda dengan Thomas Hobbes dan
Hegel bahwa dalam masyarakat politik, negara berkuasa mutlak
untuk menyelenggarakan kepentingan umum.70 Tapi, Locke
mempertanyakan bahwa dalam kenyataannya, apakah negara
bisa menjalankan kekuasaannya demi kepentingan umum?
Ternyata tidak. Negara sering menggunakan kekuasaannya untuk
kepentingan dirinya. Apalagi kalau kekuasaan negara ini mutlak
adanya.71Makanya muncullah John Locke yang menyatakan
bahwa kekuasaan negara tidak boleh mutlak. Tapi ada batas-
batasnya. Batas-batas ini adalah “hak asasi manusia yang paling
dasar” atau basic human rights, yang menurut Locke terdiri
hak atas kehidupan, kemerdekaaan, dan kepemilikan. Ketiga
hak ini boleh disentuh oleh negara manapun juga.
Masih menurut John Locke, tokoh teori liberal tentang
negara ini berpandangan bahwa kekukasaan pada satu orang
harus ditolak. Locke juga menolak pemikiran Plato tentang warisan
kekuasaan kepada satu orang. Karena hal ini akan menolak oto-
kritik kepada penguasa meskipun bersalah.

69
Von Schimid,1984, Op.cit., hal.37
70
Lihat Hegel dalam, Arief Budiman, 2006. Opcit., hal.51-52.

ILMU PEMERINTAHAN 221


Disiplin dan Metodologi
Dalam keadaan absolutism Hobbes, kondisi alamiah akan
berubah menajdi lebih buruk. Untuk menjamin negara meng-
ambil dan mengurangi hak alamiah, maka kekuasaan negara
dipisahkan dalam dua aspek: kekuasaan legislatif disatu pihak
serta kekuasaan ekskutif dan yudikatif dipihak lain. Ide besar
ini kemudian dilanjutkan dengan Montesquieu melalui konsep
Trias Politica. Selain itu, pemikiran lain John Locke terkait
negara adalah pemisahan antara wilayah negara dengan agama
yang menurutnya mempunyai wilayah yang berbeda.72
Selain itu, Locke menganggap keadaan ilmiah seperti
argument Thomas Hobbes, memang mendahului negara, akan
tetapi kondisi ini bukan berarti tanpa aturan-aturan kemasyara-
katan, di dalam kondisi ini ada perdamaian dan akal pikiran
seperti dalam negara. Karena ada hak alamiah, yaitu aturan-
aturan tingkah laku manususia dalam keadaan mereka yang
alamih. Termasuk didalamnya hak-hak alamaiah yang dimiliki
manusia sebagai manusia.73
Hak-hak ilmiah yang dimaksud ialah hak untuk hidup,
kemerdekaan dan hak milik. Perbedaan antara keadaan alamiah
dan negara terletak dalam adanya suatu badan umum dalam
negara untuk menetapkan dan melaksanakan hokum alam.
Menurut Locke diperlukan karena kelemahan dan kejahatan dari
kebanyakan orang. Negara diciptakan karena suatu perjanjian
kemasyarakatan anatara rakyat. Tujuannya adalah melindungi
hak milik, hidup serta kebebasan, baik terhadap bahaya-bahaya
dari dalam maupun bahaya-bahaya dari luar.

Teori Negara Pluralis


Tesis John Locke, bahwa negara tidak boleh mutlak adalah
antitesa teori-teori negara sebelumnya misalnya Plato, Hegel,
71
Ibid, 2006, hal.52.
72
Ratnawati dan Ari, Op.cit., hal.37
73
Von Schimid,1984, Op.cit., hal.201-202

222 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Thomas Hobbes. Pemikiran Locke inilah menjadi pijakan teo-
risasi negara pluralis.74 Teori yang berbasis pemikiran akan
kebebasan partai (pluralism politik), adanya keragaman nilai-
nilai moral atas individu . Negara dalam konteks ini hanya
memiliki posisi sebagai arena, dimana para aktor berinteraksi.
Teori-teori negara kemudian berkembang, terutama menjelang
terjadinya revolusi Prancis pada akhir abad ke-18.
Toeri pluralis tentang negara memiliki kaitan liberal
yang sangat jelas. Teori ini berpandangan bahwa negara bersifat
netral, karena ia rentan terhadap pengaruh dari berbagai kelompok
dan kepentingan, dan semua kelas sosial. Menurut Schwarzmantel,
dalam Heywood (2014) negara adalah “pelayan dari masyarakat
dan bukan tuan dari masyarakat”.
Teori ini muncul dari keyakinan bahwa negara bertindak
sebagai “wasit” atau ‘pengadil’ di dalam masyarakat. Asal mula
pandangan tentang negara ini dapat ditelusuri kembali pada
teori-teori kontrak sosial seperti Thomas Hobbes dan John
Locke. Fokus utama dari pemikiran ini adalah mempelajari
landasan-landasan bagi “kewajiban politik”, landasan-landasan
mana individu diwajibkan untuk mematuhi dan menghormati
negara. Menurut Heywood (2014), teori negara pluralis
berpandangan bahwa negara muncul atau terbentuk dari sebuah
kesepakatan sukarela, atau kontrak sosial, yang dibuat oleh
individu-individu yang mengakui bahwa hanyalah pembentukan

74
Lihat Heywood, Op.cit, 2014., hal.102. Yang dimaksud pluralism adalah
sebuah keyakinan atau kemitmen terhadap keragaman atau keyakinan bahwa
kekuasaan di masyarakat modern didistribusikan secara luas dan merata.
Sebagai sebuah diskirptif, pluralism mungkin digunakan untuk menunjuk
adanya kompetisi partai (pluralism politik), adanya keragaman nilai-nilai moral
(pluralism etis), atau danya keragaman narma-norma budaya (pluralism
kebudayaan). Sebagai istilah normative, ia mengemukakan bahwa keragaman
itu sehat dan diharapkan, biasanya karena ia melindungi kemerdekataan
individu dan mendukung debat, argument dan pemahaman lebih sempit,
pluralism adalah sebuah teori tentang distribusi kekuasaan politik. Teori ini
berpandangan bahwa kekuasaan harus dibagi secara luas dan merata di
masyarakat.

ILMU PEMERINTAHAN 223


Disiplin dan Metodologi
sebuah kekuasaan yang berdaulat yang dapat menjaga mereka
dari ketidakamanan, ketidaktertiban dan brutalitas dari keadaan
alami.
Selanjutnya menurut gelambang pemikiran negara pluralis,
bahwa tanpa sebuah negara, individu-individu akan melakukan
kekerasan, mengekploitasi dan memperbudak satu sama lain;
dengan adanya sebuah negara, tatanan dan kehidupan sipil
dijamin dan kemerdekatan dilindungi. Teorisasi ini selaras
dengan pernyataan dari Locke, dimana tidak ada hukum tidak
ada kebebasan.75 Negara dilihat sebagai seorang pengadil yang
netral di antara kelompok dan individu yang saling bersaing di
dalam masyrakat; seperti dikemukakan sebelumnya bahwa
negara adalah seorang “wasit” netral yang mampu melindungi
tiap warga dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
orang warga lain.
Ada dua asumsi mendasari pandangan teori negara
pluralis:76 Pertama, adalah negara secara efektif tunduk pada
pemerintahan. Badan-badan negara yang tidak dipilih (dinas
sipil, pengadilan, polisi, militer, dan sebagainya) bersifat
tidakmemihak dan tunduk pada otoritas dari tuan-tuan politik
mereka. Aparat negara karenanya menyesuaikan diri dengan
prinsip-prinsip layanan publik dan akuntabilitas publik. Asumsi
kedua, adalah bahwa proses demokrasi bermakna dan efektif.
Dengan kata lain, persaiangan partai dan aktivitas kelompok
epentingan menjamin bahwa pemerintahan tetap sensitive dan
responsive terhadap opini public. Karenanya, negara hanyalah
sebuah kipas angin yang menghembus kearah mana saja yang
diinginkan oleh masyarakat luas.
Dalam perkembangannya, teori negara pluralis meng-
adopsi perubahan konteks lingkungan dan masalah dalam
masyarakat yang semakin kompleks. Respon ini menghasilkan
75
Lihat Heywood,2014,Opcit.hal.104
76
Loihat Heywood,2014.Ibid.hal.104

224 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
pandangan yang lebih kritis tentang negara, yang diistilahkan
sebagai teori neo-pluralis tentang negara. Para pendukung teori
ini mengakui bahwa kelompok bisnis, menikmati sebuah “posisi
istimewa” dalam hubungannya dengan pemerintah daripada
kelompok-kelompok lain yang jelas sekali tidak menyaingi.
Pandangan ini didukung seperti Robert Dahl, Charles Lindlom
dan J.K. Gilbraith.
Dalam bukunya Politics and Markets (1980), Lindblom
menunjukkan bahwa sebagai investor utama dan majikan
terbesar dalam masyarakat, kelompok bisnis memiliki daya
tawar yang kuat terhadap pemerintah, apapun sandaran ideologis
atau komitmennya. Lebih lanjut, kelompok neo-pluralis me-
nerima bahwa negara dapat, dan memang, membangun kepenti-
ngan setempat. Negara dipandang sebagai aktor politik, dan
dapat dianggap sebagai kelompok kepentingan yang sangat kuat
(barangkali yang paling kuat) di masyarakat. Benang merah
argumen ini mendorong Erick Nordlinger (1981) untuk
mengembangkan sebuah model demokrasi liberal yang berpusat
negara, berdsasarkan pada “otonomi dari negara demokrasi”.77

Teori Negara Instrumentalis


Teori negara instrumentalis berbeda dengan teori negara
pluralism, teori perta ma memandang negara tidak mungkin
menjadi alat netral, negara tetap berpihak pada kelas tertentu.
Sementara, teori negara pluralis berpendapat bahwa negara
bersifat netral, tidak berpihak, sebagai “wasit” bertindak sebagai
pelayan.
Menurut Heywood (2014), pengertian Marxis tentang
negara kapitalis menawarakan sebuah alternative bagi gambaran
pluralis tentang negara sebagai seorang pengadil atau wasit yang
netral. Kelompok Marxis, secara khas beragumen bahwa

77
Heywood, 2014. Ibid., hal.106.

ILMU PEMERINTAHAN 225


Disiplin dan Metodologi
negara tidak dapat dipahami secara terpisah dari struktur eko-
nomi dan masyarakat. Pandangan ini dipahami dalam sudut
pandang klasik bahwa negara tidak lebih sebuah instrument
penindasan kelas; negara negara muncul dari dan dalam satu
makna, mencerminkan sistem kelas. Namun dalam perkembangan
pandangan klasik teori Marxis ini bergeser akibat ambigiutas
yang terdapat dalam tulisan-tulisan Marx sendiri.
Marx tidak mengembangkan sebuah teori yang sistematis
atau koheren tentang negara. Secara umum, Marx meyakini
bahwa negara adalah bagian dari sebuah ‘superstruktur’ yang
ditentukan atau dikondisikan oleh ‘landasan’ ekonomi, yang
dapat dianggap sebagai pondasi yang nyata dalam kehidupan
sosial. Akan tetapi, hubungan yang tepat amtara landasan dan
sperstruktur, dan dalam kasus ini adalah antara negara dan corak
produksi kapitalis adalah tidak jelas.78
Menurut Heywood (2014) ada dua teori Marx tentang
negara. Teori pertama yang diekspresikan dalam ucapannya
dikutib dari Communis Manifesto (1848-1967): “ekskutif dari
negara modern tidak lain adalah sebuah komite untuk mengelola
urusan-urusan umum dari kaum borjuis”. Dari perspektif ini,
negara jelas bergantung pada masyarakat dan sepenuhnya
bergantung pada kelas yang dominan secara ekonomi, yang di
dalam kapitalisme adalah kelompok borjuis. Lenin menurut
Heywood, mendeskripsikan negara sebagai ‘sebuah perangkat'
untuk menindas kelas yang tereksploitasi. Teori kedua Marx
tentang negara dapat ditemui dalam analisis Marx tentang
peristiwa-peristiwa revolusioner di Prancis 1848-1851. Menurut
Heywood, Marx mengemukakan bahwa negara dapat memiliki
apa yang kemudian dianggap sebagai “otonomi relative” dan
system kelas, negara Napoleonik mampu memaksakan kehendaknya
pada masyarakat, bertindak sebagai sebuah ‘badan parasit yang
menjijikkan’. Jika negara memang mengartikulasikan kepentingan
78
Lebih jauh lihat Hetwood, 2014, hal.107.

226 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
dari kelas yang paling banyak anggotanya di masyarakat Prancis,
yaitu para petani miskin. Meskipun Marx tidak mengembangkan
pandangan ini secara rinci, jelas dari pandangan ini, otonomi
negara hanya bersifat relative, dimana negara tampak meme-
diasi antara kelas-kelas yang berkonflik, dan dengan demikian
mempertahankan wujud dari system kelas itu sendiri.79

Teori Otonomi Relatif Negara


Teori Marxis tentang negara tidak selalu memuaskan
berbagai kalangan; baik kalangan neo-marxis maupun ilmuwan
politik dan pemerintahan penganut pendekatan struktural.80
Neo-Marxisme, kaum ini menolak pandangan Marx yang
menyebutkan bahwa negara adalah alat dari kepentingan kelas
yang dominan. Kaum Neo-Marxis bahwa negara bisa saja
relative mandiri dari kepentingan kelas dominan (kapitalis)
untuk menyelamatkan system kapitalisme secara keseluruhan.81
Kelompok kedua yang menolak pandangan marxis adalah
pandangan struktural. Pandangan struktural bersamaan dengan
pandangan neo-marxisme bahwa negara pada dasarnya memiliki
otonomi relative; dimana negara terbuka bagi kepentingan
beberapa segementasi masyarakat (biasanya kaum bisnis-
kapitalis) dan tertutup bagi kepentingan masyarakat yang lain.
Oleh O’Donnell disebut sebagai Strategi bifrontal dan segmenter.
Menurut kaum struktural bahwa negara “terpaksa” menjadi
relatif otonom sebagai respon dari kondisi struktural berupa
perkembangan tahapan kapitalisme yang mengalami deepening
industrialisasi berorientasi ekspor. Perubahan strategi ini ke-
79
Heywood, 2014, Ibid, hal.108
80
Lihat Sanusi, 2019, hal.25-26. Pendekatan yang memotret dinamika sosial
yang menempatkan nilai, norma, aturan, hukum, regulasi, dan sebagainya.
Asumsinya tindakan manusia tidak digerakkan oleh perilaku, melainkan
digerakkan oleh tata nilai dan aturan yang ada disekelilingnya. Dengan
demikian, manusia bukan entitas yang meredeka, melainkan dikendalikan
oleh kekuatan yang ada di luar dirinya, yaitu struktur.
81
Ratnawati dan Ari Dwipayana, 2005, hal.42

ILMU PEMERINTAHAN 227


Disiplin dan Metodologi
mudian membuat negara menjadi relatif otonom.82 Sebagai
ilustrasi studi politik dan pemerintahan di Kepulauan Riau konteks
kerjasama ekonomi Indonesia-Singapura (KEIS) Implementasi
kebijakan ini berupa pergeseran titik berat pembangunan,dari
sekedar pelabuhan transit menjadi suatu kawasan industri
menengah (“entrepots trade” menjadi “manufacturing
industry”). Maka sebagai konsekwensinya, pemerintah Singa-
pura harus melirik Negara-negara lain di Asia Tengagara, guna
mememnuhi kepentingan pembangunannya. Kepentingan
tersebut tidak hanya menyangkut modal, tetapi juga faktor-
faktor produksi, dan kondisi sosial politik. Karena persoalan
utama yang dihadapi Singapura dalam industrialisasi (paling
tidak sejak 1980-an) adalah disamping terbatasnya sumberdaya
alam juga lahan, air, tenaga kerja, dan pemasaran produksi.83
Menghadapi perkembangan itu pemerintah Singapura berusaha
memanfaatkan jaringan barunya terhadap Indonesia dalam hal
ini adalah Provinsi Riau (sebelum pemekaran), dalam suatu
bentuk kerja sama ekonomi. Sejak 2005 (sesudah pemekaran
wilayah), secara adminstratif terjadi penyesuaian cakupan wilayah
kerjasama dan yang paling langsung berhadapan adalah provinsi
Kepulauan Riau. Akhirnya, dewasa ini terjadilah kondisi saling
ketergantungan antara provinsi Kepulauan Riau dan Singapura.
Adapun pilihannya terhadap daerah Kepulauan Riau, disamping
alasan posisi geografis daerah ini yang terdiri dari pulau-pulau,
adalah alasan geostategik yang berada di tengah-tengah pulau
Sumatera bagian timur. Kemudian, daerah ini juga berhadapan
langsung dengan jalur internasional dan Negara-negara tetangga.84
Pilihan pada kawasan Kepulauan Riau bukan hanya jendela ke
pusat Asia Tenggara, tetapi juga sekaligus salah satu “epecentrum”
82
Ibid, 2005, hal.42
83
Dorojatun Kuntjoro Jakti, Pembangunan Sijori Dilihat dari Kepentingan
Indonesia dan Wilayah Riau Khususnya. Makalah Peluang Bisnis dan
Kesempatan Kerja di Riau dengan Titik Berat Pembangunan di Pulau
Bintan, Jakarta, Uiversitas Indonesia,1993., hal.5
84
Ibid. hal.1.

228 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
perubahan sosial-ekonomi kebudayaan terpesat di dunia.85
Memang menarik untuk diamati dan dipelajari apa implikasi
politik bagi Indoensia, apalagi bagi daerah Kepulauan Riau
dengan adanya proyek kerjasama ekonomi Indonesia- Singapura
yang sudah berlangsung sejak 1980-an. Berbagai penjelasan
dapat dikemukan. Namun yang jelas, adanya proyek kerjasama
ini memberikan berbagai konsekwensi; pertama, adanya
politisasi, menyangkut kepentingan kelompok-kelompok,
lembaga-lembaga dan lebih luas lagi opini publik yang berusaha
untuk mempengaruhi proses kebijakan publik. Karena itu
proses kebijakan kerjasama ini dihadapkan kepada dilema antara
kedaulatan Negara versus keuntungan ekonomi yang lebih luas.
Kedua, penyelengaraan otonomi daerah baik secara territorial
apalagi fungsional mengalami hambatan yang serius dan ter-
batas. Dengan kata lain, kemandirian fiskal akan terintervensi
oleh berbagai kepentingan (internasional). Sementara itu daerah
Kepulauan Riau tidak hanya sebatas unit ekonomi, tetapi juga
administrasi, politik dan pemerintahan.

TEORI DEMOKRASI
Istilah “demokrasi” dapat ditelusuri mulai dari praktek
negara kota Yunani dan Athena (450 SM dan 350 SM).86 Pericles,
seorang negarawan dari Athena, mendefinisikan demokrasi dengan
mengemukakan beberapa kriteria: (1) pemerintahan dari rakyat
dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung; (2) kesamaan
di depan hukum; (3) pluralism, yaitu penghargaan atas semua
bakat, minat, keinginan dan pandangan; dan (4) penghargaan
terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi
dan mengekpresikan kepribadian individual.87 Selain itu, pada
85
Sayuti Hasibuan, Beberapa Pemekiran Mengenai Peningkatan Partisipasi
Msyarakat dalam Pembangunan Pulau Bintan, Makalah Ibid. Tanjung
Pinang, 12 Januari 1993., hal.1.
86
Lihat Eep Syaifullah,1994, hal. 5
87
Ibid,1994, hal.5

ILMU PEMERINTAHAN 229


Disiplin dan Metodologi
masa ini dikenal juga pemikiran politik Plato, Aristoteles, Polybius
dan Cicero. Selain itu, dalam perkembangannya muncul beberapa
teori hubungan negara dan masyarakatnya seperti Niccolo
Machiavelli (1469-1527), pemikiran tenatang kontrak sosial
dan pembagian kekuasaan dari Thomas Hobbes (1588-1679),
John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755), dan Jean
Jacques Rousseau (1712-1778).
Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria bagi demokrasi
sebagai sebuah ide politik, yaitu: (1) persamaan hak pilih dalam
menentukan keputusan secara kolektif yang mengikat; (2) par-
tisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga
negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif; (3)
pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi
setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya
proses politik dan pemerintahan secara logis; (4) kontrol
terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan ekskulusif
bagi masyarakat untuk mnenentukan agenda mana yang harus
dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan,
termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau
lembaga yang mewakili masyarakat; dan (5) pencakupan, yaitu
terliputnya masyarakat mencakup semua orang dewasa dalam
kaitan hokum. Berbagai definisi para ilmuwan diatas banyak
mewarnai definsi demokrasi. Kemudian dilanjutkan oleh para
pakar politik seperti Robert A. Dahl, April Carter, William
Ebenstein dan Edwin Fogelman. Menurut Saefullah (1994) dari
definisi Robert A. Dahl di atas, nampak bahwa keterlibatan mas-
yarakat dalam proses formulasi kebijakan, dan dijaminnya pe-
ngawasan terhadap kekuasaan dan persamaan semua warga
negara sebagi unsur-unsur pokok demokrasi.88

88
Eep Saefullah Fatah,1994, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia,
Jakarta, Ghalia Indonesia, hal.6

230 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
PERSPEKTIF ARUS UTAMA
Dalam perkembangannya teorisasi demokrasi terutama
dikatkan dengan Dunia Ketiga, bisa dilihat dengan dua cara:89
Pertama,dalam dimensi dikotomik negara-masyarakat, yang
terjadi adalah perubahan tekanan pencaharian variabel inde-
penden, yaitu mula-mula pada sisi masyarakat, kemudian ber-
ubah ke negara dan akhir-akhir ini kembali lagi ke penekanan
pada variabel masyarakat. Kedua, teorisasi politik mengenai
demokrasi sejak 1970-an berbeda sebelumnya terutama karena
sebagian besar perdebatan dewasa ini sebetulnya mengenai
proses redemokratisasi. Dalam proses menelusuri demokratisasi
terdapat empat prspektif harus utama dalam menjelaskan proses
demokratisasi, yaitu:90 (1) pendekatan sosio-kultural yang ber-
pusat pada masyarakat; (2) pendekatan yang berpusat pada negara;
(3) pendekatan kontingensi elit; dan (d) pendekatan kontektual
yang berfokus pada lingkungan terdekat yang melingkupi proses
transisi. Adapun masing-masing pendekatan akan diuraikan di
bawah ini:

Sosio-Kultural
Pendekatan sosio-kultural ini adalah perspektif yang me-
musatkan perhatian pada masyarakat. Variabel-variabel demo-
kratisasi sifatnya sangat potensial berakar pada masyarakat
seperti, tingkat kemakmuran ekonomi yang mantab, kelas me-
nengah yang besar dan kuat, dan mantabnya budaya demokrasi.
Sebagai contoh penjelasan demokrasi dalam elemen ke-
makmuran ekonomi yang diketengahkan oleh teoritisi mo-
dernisasi seperti Seymour Martin Lipset dan James Colemen
bahwa ada korelasi dalam Eko. Secara umum, diakui bahwa

89
Mochtar Mas’oed, 2003, Negara Kapital dan Demokrasi, Jakarta, Pustaka
Pelajar, hal. 3-4
90
Sutoro Eko, 2003, Transisi Demokrasi Indonesia, Runtuhnya Reim Orde
Baru, Yogyakarta, APMD Press, hal.18

ILMU PEMERINTAHAN 231


Disiplin dan Metodologi
ada korelasi positif antara pembangunan ekonomi suatu negara,
dengan demokrastisasi. Semakin tinggi tingkat pembangunan
ekonomi suatu negara, semakin memiliki kesempatan untuk
menciptakan negara demokratis. Mengapa demikian? Karena
kemakmuran ekonomi memungkinkan tumbuhnya tingkat
melek huruf, pendidikan, dan pengenalan media massa yang
tinggi, yang kesemuanya itu sangat mendorong tumbuhnya de-
mokrasi.

Berpusat Pada Negara


Pendekatan ini muncul sekitar tahun 1980-an yang me-
musatkan perhatian kepada hubungan rezim negara dan kapi-
talisme. Para pendukung teori ini seperti Peter Evans, Theda
Skocpol, Block dan Trimberger. Di Indonesia kajian berpusat
pada negara misalnya Dwight King, Mohtar Mas’oed melalui
kajian” model negara otoritarian-birokratik-korporatis”, Richard
Robison dengan “negara birokratik kapitalis”, Arief Budiman
dengan “negara kapitalis rente” dan Marsilan Simanjuntak dengan
“model negara integralistik”.
Dalam sejarahnya pendekatan yang berpusat pada negara
ini bermula dari kritik akan posisi negara sebagai mediator
pasif,sebagai panitia kecil, negara sekedar intrumen kelompok
atau kelas, dan negara hanya punya otonomi relative yang kebal
atas pengaruh-pengaruh kelompok-kelompok dan kelas di luarnya.
Pada dasarnya pendekatan yang berpusat pada negara
melakukan kajian politik tidak diletakkan pada konteks demo-
kratisasi, melainkan pada konteks demokratisasi, melainkan
pada pada konteks kokohnya negara dan pematangan kapita-
lisme. Dalam perkembangannya, tahun 1980-an, para teoritisi
pendukung mashab ini merubah unit analiisis dari negara kepada
rezim, pendekatan kelas. Karena pengaruh pendekatan ini ber-
kurang ditengah diketemukannya lahan kajian baru. Perubahan
ini misalnya terlihat dari kajian Guillermo O’Donnell dan

232 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Alfred Stepan tentang pertentangan kepentingan berbagai unsur
capitals dengan keadaan otoritarianisme yang institusional dan
idiologis.91
Di Indonesia, dipelopori oleh Richard Robison mengkaji
perubahan politik dengan perspektif negara dan kelas dalam
formasi kapitalisme. Menurut Robison bahwa pematangan
kapitaliosme telah menghasilkan perluasan kelas-kelas bisnis
dan kelas buruh yang membuat tuntutan lebih banyak dan par-
tisipasi politik. Hasilnya pemerintah menghadapi tuntutan yang
terus meningkat dan sulit ditindas dan mau tidak mau harus
tanggap terhadap tekanan-tekanan masyarakat tersebut.92 Kajian
lain di Indonesia, Mochtar Mas’oed menyoroti kelemahan pen-
dekatan struktural yang berpusat pada negara, yaitu tidak
mampu mempredisksi arah perubahan politik Orde baru setelah
boom minyak berakhir pada dekade 1980-an. Dalam kenya-
taannya rezim orde baru mampu mengatasi krisis ekonomi akibat
jatuhnya harga minyak tanpa melakukan liberalisasi (perubahan)
politik. Menurut Mochtar Mas’oed, kondisi ini menimbulkan
puzzle baru yang memusingkan. Dengan merujuk pada Bill
Liddle, Mochtar memperhatikan “gaya politik” pribadi Soeharto
sebagai variabel penentu kemapanan dan sekaligus perubahan
politik Orde Baru.93

Kontingensi Elite
Pendekatan kontingensi elit berpusat pada strategi pilihan-
pilihan kontingen aktor atau elit politik. Para pendukung pen-
dekatan ini sebenarnya adalah para pendukung pendekatan yang
berpusat pada negara kemudian beralih kepada kinerja atau
prosedur lembaga-lembaga politik serta pada tindakan (strategi
dan taktik) para aktor (elite) politik dalam proses transisi menuju
91
Guillermo O’Donnell dalam Eko, Op. cit., 2003, hal. 23
92
Richard Robison,dalam Eko, Ibid, 2003, hal.24
93
Mohtar Mas’oed, dalam Eko, 2003, hal.24-25.

ILMU PEMERINTAHAN 233


Disiplin dan Metodologi
demokrasi. Para pendukung pendekatan ini seperti Guillermo
O’Donnell dan Alfred Stepan, Philippe Schmitter, Adam
Przeworski.
Guillermo O’Donnell dan Philippe Schmitter, misalnya
berpendapat bahwa transisi merupakan periode perubahan po-
litik abnormal yang “tidak dapat diramalkan” dimana “parameter-
parameter struktural dan behavioral tidak cukup untuk meng-
arahkan atau meramalkan hasil.94 Untuk konteks Indonesia,
ambil contoh Harold Crouch dan Edward Aspinal.
Harold Crouch,menggunakan pendekatan kontingensi
dengan menempatkan variabel konflik elite yang nampak se-
bagai pendorong kuat bagi proses transisi menuju demokrasi
di Indonesia. Cara panda Harold Crouch ini diikuti oleh Edward
Aspinal. Ketika mengkaji fenomena aliansi militer pembangkang
dengan kelompok mahasiswa pada era keterbukaan politik di
Indonesia awal tahun 1990-an. Bagi Aspinall, konflik elite
merupakan pemicu awal keterbukaan (demokratisasi) yang
punya efek “bola salju” di tengah-tengah masyarakat, yang
terbentuk aliansi elite reformis, aktivis reformis dan kekuatan
bawah (mahasiswa). Kalau terjadi pembangkangan atau
meledaknya gerakan mahasiswa, menurut Aspinall, hanya
sebagai efek bola salju dari konflik elite bukan sebagai kekuatan
yang berdiri sendiri.95

Kontekstual
Pendekatan kontekstual ini memiliki fokus kajian kepada
konteks lingkungan terdekat yang ikut menentukan jalan menuju
transisi demokrasi. Konteks lingkungan terdekat itu bisa berasal
dari dunia internasional maupun perubahan ekonomi-politik
domistik. Mengutip Juan J. Linz dan Alfred Stepan, Eko (2003)
menyatakan bahwa ada konteks internasional yang sealu ikut
94
Guillermo O’Donnell dan Philippe Schmitter, dalam Eko, 2003, hal.25
95
Edward Aspinall, dalam Eko, 2003, hal.27.

234 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
bermain dalam permulaan transisi, yakni kebijakan luar negeri,
semangat zaman dan efek dituai. Demikian halnya karya
Huntington (1991); Anders Uhlin (1996,1997), menunjukkan
bermainnya variabel kebijakan pelaku eksternal dan efek
demontrasi, dan pro demokrasi sejak dekade 1980-an dalam
proses demokratisasi.96

MODEL POLITIK DAN PEMERINTAHAN INDONESIA


Menurut Mochtar Mas’oed (2003),97 kegiatan teorisasi
dan penelitian ilmuwan politik masa itu (tambahan penulis masa
kini) menunjukkan pergeseran fokus analisis dari sisi “masya-
rakat” ke sisi “negara” 1950-an. Analisis ini terus bergeser dari
“negara” ke “masyarakat” 1970-an. Ilmuwan ilmu politik tahun
1950-an, terutama yang mempelajari negara-negara baru
merdeka, dengan antusiasme dan optimistik berharap melihat
masyarakat baru itu sebagai arena pembuktian keampuhan
“gagasan tentang kemajuan” (the idea of progress). Berbagai
pergeseran unit analisis kajian itu juga nampak dalam konteks
riset politik di Indonesia. Bagaimana wajah model-model98
politik dan pemerintahan Indonesia akan diuraikan di bawah
ini sehingga diharapkan dapat memperkaya analisis kajian-
kajian ilmu pemerintahan dewasa ini. Adapun berbagai model
politik dan pemerintahan tersebut adalah sebagai berikut:99
96
Lihat Eko, 2003, Ibid., hal.29
97
Lihat Mohtar Mas’oed, 2003, Ibid., hal.4-6
98
Yang dimasud denagan istilah model politik mengacu kepada konsep Mohtar
Mas’oed, yaitu suatu abstraksi atau representasi dari fenomena, suatu
abstraksi dunia nyata. Menurut Thomas Dye, dalam Mas’oed (1990) bahwa
model dibuat untuk: (1) Menyederhanakan dan memperjelas pemikiran kita
tentang suatu fenomena; (2) Mengidentifikasi variabel-varibael penting
dalam fenomena itu; (3) Mengarahkan penelitian tentang fenomena; (4)
Mengusulkan perumusan hipotesa.
99
Lihat Eko, 2003, Op.cit., hal. 38-51. Dalam rangka menyajikan taxonomi model-
model politik dan (pemerintahan), buku ini mengaju pada apa yang disampaikan
Sutoro Eko dalam “Transisi Demokrasi Indonesia: Runtuhnya Rezim Orde
Baru, Yogyakarta, APMD Press.

ILMU PEMERINTAHAN 235


Disiplin dan Metodologi
Model Bureaucratic Polity (BP)
Model ini dikembangkan oleh Karl D. Jackson dari hasil
studi Fred Riggs di Thailand. Menurut Jackson100 sejak tahun
1957 Indonesia tergolong ke dalam BP, dimana kekuasaan dan
partisipasi dalam pembuatan keputusan nasional hampir
seluruhnya didominasi oleh pegawai negeri, khususnya perwira
militer dan birokrat tingkat tinggi, termasuk di dalamnya kaum
tekhnorat sipil. Dalam membuat keputusan itu menurut
Jackson,terisolasi dari kekuatan-keuatan sosial politik di luar
elite tertinggi di ibukota,dan lebih tanggap pada tekanan-tekanan
eksternal yang berasal dari arena internasional. BP berbeda
dengan rezim penguasa tunggal dan pemerintahan militer.
Rezim penguasa tunggal personalistik dan sultanistik dipegang
oleh satu orang, dalam hal bahwa kekuasaan presiden lebih
bersarkan kewenangan legal ketimbang legitimasi tradisional,
serta dibatasi dan harus didukung oleh sekurang-kurangnya
konsensus minimal di kalangan elite militer dan birokrasi.
BP juga berbeda dengan pemerintahan militer, sebab
militer sebagai pemegang kendali tidak menerapkan tindakan
militersitik, melainkan menerapkan pendekatan birokratik dan
teknokratik. Menurut Jackson (1978); Mohtar Mas’oed (1989);
Eko (2003) model BP hanya mentoleransi politik di lingkaran
elite baik militer maupun birokrasi dalam menggabungkan
sasaran-sasaran organisasi dan tujuan-tujuan..
Model Karl D. Jackson diatas dikembangkan kembali
Harold Crouch.101Menurut Harold Crouch ada tiga ciri BP di
Indonesia. Pertama, lembaga politik yang paling dominan adalah
birokrasi. Kedua, lembaga politik lainnya seperti parlemen,

100
Lebih lengkap Lihat Karl D. Jackson,”Bureucratic Polity: A Theoritical
Framework for the Analysis of Power and Communication in Indonesia”,
dalam Karl D. Jakcson and Lucian W. Pye (eds), Political Power and
Communication in Indonesia, University of California Press, Barkeley, 1978,
hal. 3-22
101
Lihat Mochtar Mas’oed; Eko, 2003, hal.28

236 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
partai politik dan kelompok kepentingan lemah, sehingga tidak
mampu mengontrol birokrasi. Ketiga, massa di luar birokrasi
secara ekonomi dan politik lemah.102

Model “Negara Pegawai” (Beamtenstaat)


Model ini diperkenalkan oleh Ruth McVey, yang didasarkan
pada kinerja pemerintahan Orde baru yang hendak menata
birokrasi rasional yang modern, efisien, efektif untuk menjamin
stabilitas politik sebagai syarat pembangunan ekonomi. Model
Negara pegawai ini berpandangan bahwa kontiniunitas
birokratisasi di masa pemerintahan kolonial Belanda pada masa
Orde baru. Birokrasi bukan saja sebagai mesin administrasi
bukan politik, keahlian teknis, dan pembangunan ekonomi
sebagai nilai sentralnya.103
Ruth McVey,104 berpendapat bahwa model Beamtenstaat,
sebenarnya sangat lemah...karena model “begara pegawai” yang
moderen dan rasional tidak terjadi pada masa Orde baru. Pada
masa ini, birokrasi memiliki posisi sebagai mesin administrasi
dan mesin politik penguasa. Efisiensi, efektivitas biriokrasi
tidak terjadi, yang terjadi adalah Kolusi Korupsi, dan Nepostisme
(KKN).

Model Otoritarianisme – Birokratik (OB)


Model otoriterianisme-birokratik (OB) ini dibangun oleh
Dwight King,105 dengan meminjam temuan Juan Linz di Spanyol
semasa rezim Franco dan temuan para analis kontemporer di
Amerika Latin, yang kemudian diterapkan dalam kasus Indo-
102
Ibid, Mochtar Mas’oed; Eko, 2003, hal..29
103
Lihat, Mochtar Mas’oed; Eko, Ibid, 2003, hal.41
104
Ruth Mc Vey, “The Beamtenstatt in Indonesia” dalam Eko, Transisi
Demokrasi Indonesia, Yogyakarta, APMD, hal.41
105
Dwight King, ”Indonesian’s New order as a Burreaucratic Polity, a Patrimonial
Regim or a Bureaucratic-Authoritarian Regim: What Different Does it Make?”,
dalam Eko, Ibid, 2003, hal. 41-42.

ILMU PEMERINTAHAN 237


Disiplin dan Metodologi
nesia. Menurut Mohtar Mas’oed (1989); 106 Arief Budiman
(1991);107 Sutoro Eko (2003) bahwa dalam mengidentifikasi
karakteristik model OB, King berbeda dengan para analis
Amerika Latin terutama O’Donnel, yang cenderung secara
ketat mengutamakan variabel historis-struktural dan ekonomi-
politik. Selanjutnya menurut Eko, Dwight King lebih cenderung
pada tradisi Weberian bukan pada Marxian seperti O’Donnell,
sehingga King lebih memperhatikan variabel dominasi, mana-
jemen poitik, dan budaya politik .
Selanjutnya, Dwight King mengidentifikasi ada empat ciri
menonjol OB, yaitu:108 Pertama, kewenangan tertinggi lebih
terletak pada oligarki atau militer sebagai suatu lembaga
ketimbang seorang penguasa...dalam proses pembuatan
kebijakan mengadopsi pendekatan teknokratik dan birokratik;
Kedua, mentalitas teknokratik yang merata,sebagai lawan dari
bentuk idiologi. Selanjutnya, Dwight King menjelaskan bahwa
OB umumnya melalui tindakan-tindakan represif seperti
pembungkaman atas kritik-kritik dari pihak radikal maupun
media massa,dan usaha-usaha untuk menciptakan mentalitas
konformis dengan mewariskan nilai-nilai yang kabur dan
bersifat umum atau dokrin-dokrin inkulsif serta memanipulasi
sombo-simbol patriotik dan chauvanistik yang mengikat
militer,penguasa dan sipil pada konsensus programatik.Ketiga,
Kemauan massa untuk bekerja di dalam kerangka acuan
penerimaan rezim adalah apatis dan sejalan dengan itu adalah
kurangnya perhatian dari sebagian lite penguasa dalam me-
mobilisasikan dukungan massa atas landasan yang ber-
kelanjutan. Keempat, OB berupaya mencapai kemaajemukan
(pluralisme) terbatas dengan menggunakan represi, kooptasi,

106
Lihat Mochtar Mas’oed, 1989, Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru
1961-1971, Jakarta, LP3ES, hal.8-19
107
Lihat Arief Budiman, 1991, Negra dan Pembangunan, Studi tentang
Indonesia dan Korea Selatan, Jakarta, Yayasan Padi dan Kapas, hal.13-18
108
Lihat Mohtar Mas’oed; Arief Budiman; Eko, Ibid, 2003, hal.42-44.

238 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
dan suatu jaringan organisasi korporatis untukmengontrol
oposisi rezim. Keunggulan model OB menurut Eko (2003)
adalah model OB mampu menggambarkan basis legitimasi
Orde baru yang sangat rumit, dan membantu memberikan
eksplanasi mengapa perbedaan dan perubahan dalam pembagian
“ tidakmenimbulkan akibat yang membawa instabilitas kue
pembangunan.”109

Model Negara Birokratik Kapitalis (NBK)


Richard Robison110 merumuskan model NBK terinspirasi
dari model Guillermo O’Donnell. Menurut Robison bahwa
penyebaran kapitalisme di Dunia Ketiga (termasuk Indonesia)
tidak diikuti dengan tumbuhnya demokrasi seperti pengalaman
di Barat, melainkan malah diikuti dengan tumbuhnya negara
birokrasi kapitalis (NBK). Orde Baru yang bercorak NBK,
terbentuk oleh formasi kelas domestik yang beraliansi dan
terintegrasi ke dalam kapitalisme internasional.
Menurut Robison,111 negara adalah alat dari kelompok-
kelompok ekonomi dominan untuk mempertahankan pe-
nguasaan mereka atau sumberdaya ekonomi. Negara ini
merupakan persekutuan antara kaum teknokrat, birokrat, militer
dan kelompok bisnis baik domistik maupun asing. Selanjutnya
Rezim ini, berfungsi mengintegrasikan dalam dua cara.
Pertama, menyelenggarakan infrastruktur politik, hukum dan
ekonomi bagi eksistensi suatu bentuk khusus kapitalisme yang
menjadi wadah kepentingan aliansi. Ia mempunyai strategi
umum melalui pembangunan, undang-undang penanaman
modal, berbagai kebijakan moneter sans ebagainya. Kedua,
melalui persekutuan politik dan ekonomi pribadi yang meluas

109
Ibid, Mochtar Mas’oed; Eko 2003, hal.43
110
Richard Robison, ”Power and Economy in Soeharto’s Indonesia “, dalam
Eko, Ibid., 2003, hal.744
111
Richard Robison, dalam Eko, Ibid. 2003, hal.745

ILMU PEMERINTAHAN 239


Disiplin dan Metodologi
antara fraksi-fraksi birokrat politik menyediakan infrastruktur
politik dalam bentuk lisensi, perlindungan, proteksi dan se-
bagainya.
Ada sejumalh kelemahan model Negara Birokratik
Kapitalis (NBK) adalah:112 (1) model NBK ini tidak memper-
hatikan peran besar soeharto yang punya otonomi (keleluasan)
dalam melakukan apa saja baik distribusi sumberdaya material
maupun memilih teman-teman yang diajak beraliansi dan diberi
limpahan sumberdaya ekonomi, terlepas dari tekanan kaum
borjuis baik domistik maupun internasional.(2) model ini tidak
memperhatikan hubungan patron-klien (klientelisme) yang
sejak lama terbentuk yang menandai alinasi antara Soeharto
dan kaum borjuis. Karena mengabaikan hubungan klientelisme,
maka model NBK tidak bisa menangkap berbagai kontradiksi
dalam pengelolaan ekonomi secara tradisional yang kemudian
menyebabkan gelombang krisis ekonomi dan menyebabkan
delegitimasi pada tahun 1998.

Model Otoritarianisme-Birokratis-Koporatis (OBK)


Model ini dipopulerkan oleh Mohtar Mas’oed yang
dihasilkan dari elaborasi dan model otoriterisme-birokratik
O’Donnell dan koporatisme negara Scmitter. Menurut Mohtar
Mas’oed (1989) model OB sangat penting untuk memahami
politik (pemerintahan) dalam proses pembangunan ekonomi
di negara-negara Dunia Ketiga, karena beberapa alasan: Pertama,
ia menunjukkan tidak berlakunya hipotesa yang menghubungkan
modernisasi dan demokratisasi; misalnya modernisasi sosial
dan ekonomi di Amerika latin pada umumnya berkorelasi
dengan etoriterianisme, bukan dengan demokratisasi.113 Kedua,
ia memandang negara sebagai suatu variabel penting yang dapat
112
Lebih jauh penjelasaannya dalam Mohtar Mas’oed; Arief Budiman; Eko,
Ibid, 2006, hal. 45-46
113
O’Donnell dengan tegas mengatakan “political authoritarianism-not

240 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
melakukan perubahan tanpa dipengaruhi oleh kekuatan-
kekuatan sosial lainnya.114 Ketiga, ia melihat militer sebagai
suatu lembaga yang mendukung pertumbuhan ekonomi,suatu
sikap yang sebagian didikte oleh kepentingannya sendiri demi
membangun suatu negara yang kuat.115 Keempat, ia menunjukkan
arti penting “koalisi kekuatan yang dominan” yang mendukung
rezim tersebut.116
Namun Mohtar Mas’oed (1989) menyatakan, bahwa
terdapat tiga kelemahan pokok model OB. Pertama, sedikitpun
ia tidak menyinggung soal perwakilan kepentingan rakyat.
Berhubung dengan sifat berbagai kebijaksanaan yang diambil
pemerintah yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang
tepat, soal itu tidak dapat begitu saja diabaikan. Kedua, konsep-
tualisasi otoriterianisme-birokratik versi Guillermo O’Donnell
sangat bersifat Amerika Latin, pada hal dalamkenyataannya hal
itu merupakan suatu gejala umum di negara-negara Dunia Ketiga
saat ini. Ketiga, model tersebut juga gagal memahami dinamika
kontor kepresidenan sebagai suatu yang berbeda dengan
birokrasi lainnya dan yang memiliki pamrih atau kepentingan-
nya sendiri. Karena itu, untuk menjelaskan otoritarianisme di
Indonesia, model OB harus mengalami modifikasi.
Menurut Mohtar Mas’oed bahwa OBK mempunyai
karakter sebagai berikut:
1. Orde baru dipimpin oleh militer sebagai suatu lembaga
political democracy is the more likely concomitant of the highest levels of
modernization”, dalam Mohtar Mas’oed, 1989, Op.cit, hal.8-9
114
O’Donnell,“Replection on pattern of change in Bureucratic, Authoritarian
State, Latin America Research Review”, dalam Maohtar Ma’oed,1989, Ibid,
hal.9
115
O’Donnell, dalam Mohtar Mas’ed, Ibid, hal.9
116
O’Donnell, dalam Mohtar Mas’oed,1989, hal.9. Mengutip O’Donnell bahwa
modernisasi ekonomi berlangsung beberapa tahap, setiap tahap cenderung
berkaitan dengan suatu koalisi kekuasaan dominan yang baru dan suatu
tipe rezim otoriter tertentu. Setiap koalisi mengurung diri (encapsulated),
hanya tanggap terhadap kepentingan anggotanya, dan tidak menanggapi
kepentingan yang bukan anggota.

ILMU PEMERINTAHAN 241


Disiplin dan Metodologi
berkerjasama para teknokrat sipil;
2. Didukung oleh kekuatan bisnis oligopolistik yang bersama
negara berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional;
3. Pengambilan keputusan bersifat birokratik-teknokratik,
sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan yang
memerlukan suatu proses bergaining yang lama diantara
berbagai kelompok kepentingan;
4. Massa dimobilisasikan;
5. Untuk mengendalikan oposisi, pemerintah melakukan
tindakan-tindakan represif;
6. Kantor kepresidenan yang otonom.
Menurut Mohtar Mas’oed apa yang menyebabkan muncul-
nya rezim OBK di Indonesia, yaitu ada tiga elemen:
a. Krisis ekonomi dan politik yang diwarisi oleh rezim
sebelumnya;
b. Koalisi intern Orde Baru yang menjatuhkan pilihan pada
kebijakan stabilitas ekonomi; dan
c. Orientasi ekonomi keluar yang dirumuskan Orde baru.117
Dalam mengakhiri karya ini, Mohtar Mas’oed membuat
postcript (1989) yang menyatakan bahwa perkembangan politik
di Indonesia pada periode 1966-1971, yaitu masa peletakan
dasar bagi pembinaan kelembagaan pemerintahan dan politik
selama Orde Baru. Dalam analisanya terkait perkembangan
politik Indonesia hingga 1981 diantaranya menjelang daswarsa
1980-an muncul tanda-tanda bahwa pemerintah masih memiliki
kemampuan mengelola berbagai krisis ekonomi keuangan yang
dihadapinya tanpa perlu perubahan tatanan politik.
Secara metodologis, ini memunculkan puzzle baru yang
memusingkan. Dalam konteks ini, R. William Liddle me-
nunjukkan bahwa kesulitan itu muncul karena karya ini terlalu
menekankan variabel ekonomi-politik dalam menganalisa

117
Mohtar Mas’oed, 1989. Op.cit, hal. 46

242 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
politik Indonesia. Menurut Liddle, dalam Mohtar Mas’oed
(1989) salah alasannya adalah bahwa banyak dari kehidupan
ekonomi negara itu...secara relatif masih terpisah dari
kehidupan ekonomi rakyat umumnya, sedemikian rupa sehingga
yang satu bisa saja mengerut tanpa betul-betul merusak yang
lain. Tetapi variabel yang lebih penting daripada ciri-ciri
objektif ekonomi-politik adalah gaya politik pribadi Presiden
Soeharto.118

Model Otorianisme Birokratik (OB) Rente


Model Otorianisme Birokratik (OB) Rente diperkenalkan
oleh Arief Budiman. Menurut Arief Budiman (1991) bahwa
munculnya negara kuat yang mandiri dalam sistem kapitalisme
di negara-negara Dunia Ketiga, maka kita akan dapat mem-
bedakan adanya dua jenis negara. Yang pertama adalah negara
Otoriter Birokratis pembangunan atau disingkat Negara OP
Pembangunan. Yang kedua, adalah Negara Otoriter Birokratis
Rente atau Negara OB Rente.119 Studinya dimulai dengan
menjawab pertanyaan bahwa Mengapa ada negara OB yang
relatif bersih (tidak korup) dan efisien, sehingga berhasil me-
laksanakan pembangunan ekonominya. Contohnya, Korea
Selatan, Taiwan, Singapura dan Hongkong.
Arief Budiman (1991) menjelaskan bahwa salah satu
gejala yang menarik di negara-negara Dunia Ketiga adalah
negara terlibat dalam akumulasi modal.120 Berbagai studi se-
belumnya, mempelajari negara dari hubungan saling tindak
antara negara dan kaum borjuasi. Persoalan kita adalah bagai-
mana mempelajari gejala munculnya para kapitalis dari dalam

118
R. William Liddle, Polity and Economy in Suharto’s Indonesia Crossroad,
Vol.3. No.3, dalam Mohtar Mas’oed, 2019, Ibid, hal.217
119
Lihat Arief Budiman, 1991, Negara dan Pembangunan: Studi Tentang
Indonesia dan Korea Selatan, Jakarta, Yayasan Padi dan Kapas, hal.13.
120
Lihat Arief Budiman, 1991, Ibid, hal.16

ILMU PEMERINTAHAN 243


Disiplin dan Metodologi
negara sendiri. Ini sudah ditunjukkan oleh Tornquist, ini adalah
bentuk baru dari kapitalisme yang normal biasanya kaum borjuis
ada di kuar negara atau lahir dengan bantuan kuat dari para elite
yang menguasai negara. Dengan demkian menurut Arief peran
elite di negara OB sangat menetukan untukmemilih dirinya,
orang lain di luar negera untukmenjadi pemilik modal dan
melakukan akumulasi kapital.
Pada negara OB pembangunan,borjuasi yang terbentuk
adalah borjuasi yang unggul. Kalau mereka pejabat negara yang
mengelola perusahaan-perusahaan negara,mereka berhasil
memberi keuntungan yang besar...kalau mereka ada di luar
negara berupa pengusaha swasta yang tangguh. Pada awalnya
mereka tergantung pada negara, tapi lama-kelamaan bisa
menjadi 17-18 mandiri. Kelompok inilah yang menjadi
kekuatan bagi terjadinya proses liberalisasi dan demokrasi dan
inilah yang terjadi di Korea Selatan pada saat ini.
Sementara itu, pada negara OB Rente, terjadi proses yang
berlainan. Seperti negara OB, di negara OB Renta borjuasi
dibentuk di dalam negara. Para elite melalui kekuasaan birok-
rasinya memberi faslitas-fasilitas kepad para pengusaha. Untuk
jasa ini para elite negara meminta imbalan,minta rente atau
ongkos sewa. Dengan demkian, para elite negara “menyewakan”
jabatannya untuk kepentingan kaum pengusaha. Mereka menjadi
semacam rentenir jabatan birokratis bagi leite negara menjadi
semacam “alat produksi” untuk melakukan akumulasi modal,
melalui sistem rente. Di Indonesia, para elite negara yang
seperti ini pernah dinamakan sebagai kapitalisme birokrat atau
kapbir.121

121
Lihat lebih jauh Arief Budiman, 1991, Ibid, hal. 25

244 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Model Negara Kapitalis Rente (NKR)
Model Negara Kapitalis Rente (NKR) ini diperkenalkan
oleh Olle Tornquist.122 Ia menggunakan perspektif kelas dalam
menjelaskan masalah konseptual terkait hubungan otonomi
relatif negara dan masyarakat sipil dan borjuasi asing. Menurut
Olle, otonomi relatif harus diletakkan dalam konteks rasio-
nalitas ekonomi, yakni tindakan yang didasarkan atas perhitungan
rasional, berorientasi pada kepentingan-kepentingan sendiri,
serta berupaya memaksimalkan keuntungan dan menekan
kerugian seminimal mungkin. Maka negara dapat berkoalisi
atau melakukan kooptasi pada siapa saja. Pola koalisi dan
kooptasi dilakukan dengan berbagai cara, baik yang sah dan
tidak sah, sejauh hal itu kondusif dan secara rasional dapat
diterima. Dalam konteks ini klientelisme, patronase, perburuan
rente, penggunaan represi dan sebagainya tidak begitu di-
persoalkan, sebab semua itu hanya digunakan sebagai alat
(startegi) untuk mempertahankan kekuasaan.123 Hal ini selaras
dengan ukuran mencapai tujuan-tujuan demokrasi: yang dike-
tangahkan Olle, yaitu: 124 Pertama, sejumlah prinsip krusial atau
norma mesti didefinisikan terlebih dahulu, yakni partisipasi,
otorisasi representatif dan ekskutif, representasi opini dan
kelompok sosial, respon pemerintah terhadap pemilih dan opini
publik, akuntabilitas, transparansi, dan solidaritas kemanusiaan,
nasional dan internasional. Kedua, lembaga-lembaga apa
(dalam bentuk taat aturan dan regulasi) yang diperlukan untuk
mewujudkan prinsip-prinsip tersebut.
122
Olle Tornquist, ”Rent Capitaliism, State and Democracy”, dalam Arief
Budiman (ed), State and Cicil Society in Indonesia (Sydney: Allen and
Unwin, 1990)
123
Lihat Eko, 2003, Op.cit, hal.49-50
124
Olle Tornquist, 2013, ”Assessing Dynamic Democratisation, Trasformative
Politics”, dalam Asrul Hanif dan Eric Hiariej, ”Institusi Demokrasi: Dari
Penguatan Good Governance Menuju Masyarakat Sipil Aktif”, dalam
Amalinda Savvirani & Olle Tornquist, 2016, (ed ) Reclaiming The State,
Mengatasi Problem Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto, Yogyakarta,
PCD Press

ILMU PEMERINTAHAN 245


Disiplin dan Metodologi
Dalam negara kapitalis rente, menurut Olle bahwa di-
tandai oleh kapasitas negara untuk aktif bermain dalam suatu
jalinan interdependensi dengan kekuatan borjuis domistik dan
inter-nasional.125 Dalam konteks itu, negara kapitalis rente
seringkali membangun struktur proteksi dan monopoli demi
meraih keuntungan ekonomi. Negara kapitalis rente ini adalah
medium transisi menuju terbentuknya negara kapitalis modern
di masa depan. Demikian pandangan Olle dalam model Negara
Kapitalis Rente. Dari analisis ini nampak bahwa Olle Tornquist,
memusatkan perhatian pada unit analisis negara, berbeda
dengan OB Rente oleh Arief Budiman yang mempunyai fokus
kajian rezim.

Model Neopatrimonial Sebagai Alternatif


Apabila ditelusuri berbagai studi politik dan pemerintahan
komtemporer di Indonesia, maka kita akan menemukan ketujuh
model di atas. Menurut Sutoro Eko (2003) terdapat model
patrimonial yang dikembangkan para ilmuwan politik dan
pemerintahan seperti Benerdct Anderson, Donald Emmerson,
Wililliam Liddle, Harold Crouch, Lance Castles, Yahya Muhaimin
dan sebagainya.126 Para ilmuwan diatas berkesim-pulan bahwa
kekuasan patrimonial pada masa prakolonial tetap berlanjut
hingga Orde Baru. Bentuk kekuasaan patrimonial ini ditandai
dengan ciri kedudukan, hirarkhi dalam struktur kekuasaan
sebagian besar ditentukan pada hubungan personal kekeluargaan
atau antara bapak (patron) dan anak buah (client).

BEBERAPA TEORI EKONOMI POLITIK


Selanjutnya dalam bahasan berikut ini akan diketengahkan
beberapa teori ekonomi-politik. Teori ini diajukan karena per-

125
Lihat Arief Budiman; Eko, 2003,Op.cit, hal.49-50
126
Lihat Eko, 2003, Op.cit, hal. 50

246 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
geseran paradigma dalam ilmu pemerintahan, yaitu dari
“government” kepada “governance”. Pergeseran paradigma
ini, menurut penulis mempunyai implikasi teoritis dalam ana-
lisis studi ilmu pemerintahan.
Dewasa ini penelitian-penelitian ilmu pemerintahan juga
diwarnai oleh analisis ekonomi-politik. Karena keberhasilan
berbagai kebijakan pemerintahan membutuhkan dukungan parai
pihak dan sangat kompleks terutama di era revolusi indistri
4.0 dan society 5.0. Proses kebijakan menjadi arena perjuangan
masing pihak mewujudkan tujuannya. Oleh karena itu, kebijakan
adalah suatu tindakan kolektif bukan individual. Dalam kondisi
demikian dibutuhkan analisis ekonomi-politik.
Analisa ini berasumsi bahwa proses politik atau peme-
rintahan tidak dapat dipahami dengan baik, jika tidak memehami
proses ekonomi, yang kedua proses tersebut saling mempe-
ngaruhi secara resiplokal, yaitu antara negara, pasar, kekuasaan,
dan masyarakat. Bagian ini akan mengetengahkan berbagai teori
ekonomi-politik terutama ekonomi politik moderen.

SEJARAH PEMIKIRAN
Secara umum teori-teori ekonomi-politik dapat dike-
lompokkan kepada tiga analisis, yaitu classical political
economy; neoclassical economics; dan modern political
econom.127 Classical political economy adalah aliran pemi-
kiran yang bertumpu pada analisis institusi, sedangkan Neo-
classical economics menekankan pada analisis individu; dan
modern political economy merupakan jalan tengah dari dua
aliran pemikiran yang bertentangan itu, Frieden128 dan dikenal
sebagai “Modern political economy.”
Konseptualisasi yang diajukan oleh Frieden dan dikenal

127
Lihat Barry Clark,1988: Comporative .hal. 41-53
128
Lihat Frideen, 2000, Ibid. hal. 37-43

ILMU PEMERINTAHAN 247


Disiplin dan Metodologi
sebagai “Modern political economy.” Menurut Friden modern
political economy merupakan jalan tengah dari dua aliran
pemikiran yang bertentangan itu. Hasilnya adalah gabungan
antara analisis individu dengan analisis institusi. Dengan kata
lain, walaupun pendukung pendekatan ini menekankan penti-
ngnya tingkahlaku independent aktor individual, kelompok ini
juga mengakui bahwa tingkah laku individu itu berlangsung
dalam konteks institusi yang melingkupinya.
Para pendukung perspektif modern political economy,
memandang kebijakan adalah sebagai hasil interaksi berbagai
aktor yang berkepentingan dalam arena politik. Semua pihak
individu maupun kelompok yang terlibat dalam interaksi
tersebut diasumsikan rasional, yaitu aktor yang memaksima-
lisasi perolehan, utility maximization.129 Dalam upaya men-
capai tujuannya, aktor politik diasumsikan melakukan
perhitungan untung-rugi dengan seksama.
Menurut Frieden (2000), analisis modern political
economy mempunyai empat langkah teoritik, yaitu: 1)
mengdentifikasi siapa aktor, tujuan dan kepentingannya masing-
masing. Sebagai pendekatan yang memuat unsur “rational
choice”, “modern political economy” juga mengasumsikan
bahwa individu berfikir rasional dalam menetapkan tujuan dan
alternatif kebijakan yang akan dipilih, 2) menggambarkan
129
Lihat Frieden, 2000, Ibid, hal. 37-38 dan Clark, 1988, hal. 25-38. Individu
diasumsikan sebagai utility maximizer, pemaksimal perolehan, akar
pemikirannya dapat dirunut dari dua arsitek classical political economy,
yaitu Thomas Hobbes (1588-1579) dan Adam Smith (1723-1790). Menurut
filisof Inggris Thomas Hobbes, manusia pada dasarnya digerakkan oleh
keinginan dan kebutuhan, tindakan individu yang mementingkan diri sendiri
adalah bahagian sifat dasar manusia, suatu kenyataan alamiah yang tak
terhindarkan. Kenyataan alamiah itulah satu-satu alasan bagi kehadiran
instutusi pemerintahan. Pembentukan institusi pemerintahan dianggap
langkah rasional dalam menyelesaikan berbagai persoalan kolektif.
Sementara itu, Adam Smith berpendapat bahwa manusia memiliki kemampuan
terbatas dalam memenuhi kebutuhannya sendiri. Untuk itu, manusia
memerlukan mekanisme dalam menyalurkan kepentingan diri, mekanisme
penyaluran kepentingan diri itu secara kolektif itu disebut pasar.

248 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
preferensi masing-masing aktor mengenai kebijakan yang
menangani suatu isu. Analisis preferensi ini didasarkan atas
berbagai kemungkinan alternatif pilihan oleh para aktor. Para
aktor akan memilih alternatif kebijakan yang dapat me-
maksimalkan peluang keuntungan akibat penerapan kebijakan
itu, 3) menguraikan bagaimana para aktor itu membangun
koalisi demi mencapai tujuan. Untuk kepentingan tersebut para
aktor melakukan konsolidasi internal dengan memanfaatkan
sumber daya politk dan ekonomi yang dimilikinya, dan 4)
mendeskrpsikan interaksi para aktor dengan berkoalisi kepada
lembaga-lembaga sosial lainnya. Langkah ini akan meng-
gambarkan dinamika politik yang berlangsung ketika para aktor
bersaing memperjuangkan kepentingannya. Dalam pergulatan
inilah akan tampak strategi, teknik, dan mekanisme yang dipakai
para aktor dalam pergulatannya di panggung politik.
Gambaran oleh Frieden ini sejalan dengan uraian para
peneliti lainnya mengenai keterlibatan aktor dalam pergulatan
politik proses kebijakan pemerintah di negara-negara dunia
ketiga, salah satu contohnya adalah karya Andrew MacIntyre.
Studi MacIntyre ini relevan untuk dibicarakan demi mem-
pertajam kerangka analsis yang diajukan Frieden. Studi ini, pada
dasarnya bertumpu pada eksplanasi “interest-group politics”.
MacIntyre (1991) meneliti politik persaingan antar-
kelompok di Indonesia pada masa Orde baru yang menekankan
interaksi antar kelompok. Dalam studi ini, MacIntyre me-
ngembangkan konsep “Bureaucratic Pluralism” dari Donald
Emmerson dan “Restricted Pluralism” dari R.William Liddle.
Menurut para ilmuwan politik pluralis ini, perpolitikan Orde
baru tidak sepenuhnya “solid” dan “tertutup”. Pertama, birokrasi
pemerintah pada masa itu tidak bebas dari perselisihan politik
internal. Berbagai kelompok dalam birokrasi, mewakili ke-
pentingan institusi (misalnya, departemen A versus departemen
B) atau individu (misalnya, menteri A atau menteri B),

ILMU PEMERINTAHAN 249


Disiplin dan Metodologi
memperjuangkan kepentingan politik yang berbeda, walaupun
dalam batas-batas yang ditolerir oleh sistem otoriter itu. Dalam
birokrasi masa otoriter itu masih dimungkin adanya pluralism
kepentingan politik. Emmerson menyebut fenomena ini
sebagai “bureaucratic pluralism.”130 Kedua, proses pem-
buatan keputusan waktu itu juga tidak kedap pengaruh dari luar
birokrasi, yaitu pengaruh dari para aktor non-negara. Dalam
sektor-sektor kebijakan yang secara politik dianggap tidak
strategis, yaitu tidak menyangkut isu keamanan nasional dan
isu politik tingkat tinggi lainnya, proses pembuatan kebijakan
itu bisa mentolerir pengaruh dari luar. Studi Emmerson me-
ngenai proyek industri di Sumatera, pengkajian Liddle me-
ngenai kebijakan pertanian beras dan gula, dan penelitian
McIntyre mengenai kebijakan pemerintah dalam regulasi
industri tekstil, farmasi dan jasa asuransi, yaitu sektor-sektor
penting dalam ekonomi tetapi tidak menyentuh isu politik-
keamanan, menunjukkan bahwa perpolitikan Orde baru cukup
pluralistik. Beberapa kelompok kepentingan bisa mempenga-
ruhi hasil akhir proses kebijakan publik. Dinamika perpolitikan
kelompok itu tercermin dalam proses kebijakan itu. Hasil akhir
proses kebijakan itu tidak hanya ditentukan secara sepihak oleh
pemerintah. Liddle menyebut fenomena ini sebagai “restricted
pluralism.” Berlangsung perpolitikan yang pluralis, tidak
sekedar manolitik, tetapi terbatas hanya dalam sektor-sektor
yang non-politik dan non-keamanan.131
Dalam perpolitikan pluralistik, batas-batas aktor bersaing
memperjuangkan kepentingan masing-masing dan mempe-
rebutkan sumberdaya politik yang ada sangat mudah dikenali
dalam perpolitikan Indonesia di masa pemerintahan Presiden
Soeharto. Kekuatan suatu kelompok kepentingan diukur ber-
dasarkan banyaknya anggota, kekayaan, kemampuan orga-

130
Lihat MacIntyre, 1991, Ibid, hal.10-11
131
Lihat MacIntyre, 1991, Ibid, hal.16-18

250 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
nisasional, dan sebagainya. Kelompok-kelompok kepentingan
dibatasi oleh sistem politik yang otoriter pada waktu itu. Oto-
riterisme itu memungkinkan Presiden Soeharto untuk bersikap
otonom dari pengaruh kelompok-kelompok kepentingan di
dalam birokrasi maupun di luarnya. Otonomi pemimpin yang
bertindak sebagai personafikasi negara itu membuat proses
pembuatan kebijakan yang digambarkan oleh kaum pluralis
sebagai “limited pluralism”.
Uraian MacIntyre ini sejalan pula dengan konseptualisasi
yang diajukan oleh Verdi R. Hadiz mengenai ekonomi-politik
Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Bagaimana sebenarnya
persaingan politik antar- aktor ini berlangsung dalam masa
transisi demokratik di Indonesia, digambarkan dengan baik oleh
Hadiz . Dalam buku ini, Hadiz (2002) mengembangkan konsep
“transisi demokratik” dari O’Donnell dan Schmitter. 132 Me-
nurut para ilmuwan politik ini, transisi demokrasi di Indonesia
berhubungan dengan kepentingan-kepentingan kelompok-
kelompok yang “tumbuh” dan “berkembang “sebelum kejatuhan
Soeharto.
Pertama, dalam tahun-tahun awal Soeharto memerintah,
para jenderal dan para menterinya beroperasi melalui klien
bisnis mereka. Dengan mengontrol lembaga-lembaga ’pemegang
kunci gerbang’ (gate-keepers) – antara lain Departemen

132
Lihat Hadiz, 2001, Ibid, hal. 254-271. Literatur yang membahas mengenai
transisi demokratik ini sangat banyak. Namun ciri-ciri pokoknya secara
ringkas dan padat dipaparkan dalam Guillermo O’Donnell dan Philippe C.
Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions
about Uncertain Democracies (Baltimore: Jhons Hopkins University
Press,1986). Buku ini membahas tentang transisi dari satu rezim otoriter
menuju ’suatu yang lain’ yang belum jelas. Sesuatu itu bisa jadi adalah
ditegakkannya demokrasi politik, bisa jadi pula pemulihan kembali suatu
pemerintahan otoriter baru yang kejam. Bisa pula jadi hasil akhirnya semata-
mata kekacauan, yakni rotasi kekuasaan pemerintah secara berganti-ganti
yang gagal memberikan suatu solusi yang mapan terhadap masalah
pelembagaan kekuasaan politik. Transisi-transisi tersebut bisa juga
berkembang menjadi merebaknya konfrontasi-konfrontasi kekerasan.

ILMU PEMERINTAHAN 251


Disiplin dan Metodologi
Kehutanan dan Perkebunan, Departemen Perdagangan, Badan
Urusan Logistik (Bulog), dan perusahaan minyak negara
(Pertamina) – para birokrat-politik yang berkuasa membagi-
bagikan lisensi perdagangan, kredit bank negara, konsens
kehutanan, dan kontrak-kontrak pasokan. Hubungan tersebut
bersifat simbiosis, dimana akses kepada perekonomian ditukar
dengan dana-dana yang digunakan untuk tujuan politik atau
pribadi dari para ’penjaga pentu gerbang’ Soeharto. Dalam
pertengahan 1980-an para aktor penjaga ini mulai mendirikan
kerajaan bisnis untuk keluarganya, membentuk sel politik baru
dalam dunia ekonomi, dan terlibat dalam aliansi korporatis
kilen-klien bisnis Cina (Robison dan Hadiz, 2004: 103-105).
Dalam perkembangannya, kolusi para penjaga gerbang
Soeharto dan bisnis Cina meluas kesuma sektor perekonomian,
mereka menuai kecaman, termasuk di daerah-daerah. Me-
nyadari bahwa kekecewaan ini dapat memobilisasi sentimen
xenophobia anti-Cina, Soeharto terpaksa bergerak. mengajak
para tokoh bisnis untuk mentransfer 25 % saham kepada ko-
perasi hingga mengeluarkan kebijakan pematokan nilai tukar
mata uang dengan mendirikan badan mata uang. Selain itu,
memanfaatkan mekanisme alternatif cadangan dukungan
misalnya Golangan Karya (Golkar), Ikatan Cedikiawan Muslim
(ICMI), dan sejumlah organisasi massa. 133 Namun usaha
Soeharto ini gagal, aliansi kekuasaan mulai tercerai-berai,
demontrasi semakin berkembang, kondisi mulai tidak ter-
kendalikan, dan aknhirnya rezim otoriter terkapar. O’Donnell
dan Schimitter menyebut fenomena ini sebagai ’ sesuatu yang
belum jelas.134
Penjelesan kedua, sejak kejatuhan Soeharto bulan Mei
1998, terjadi perebutan “decuptured” terhadap sistem politik
dan ekonomi antara kekuatan-kekuatan sosial dominan

133
Robison dan Hadiz, 2004, Ibid, hal. 110-118
134
Hadiz, 2002, Ibid, hal. 257

252 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
misalnya, pimpinan partai politik, elit Jakarta, buruh, aktor
militer, jaringan pengusaha (Kadin atau Kadinda), dan Lembaga
Sosial Masyarakat (LSM) dan kekuatan oligarki yang teridiri
dari birokrat, pengusaha, dan keluarga-keluarga birokrat-
kapitalis termasuk keluarga Soeharto. Proses pergulatan ini
kemungkinan terjadi pula pada tingkat lokal, dimana kepenti-
ngan lokal-yang terdiri dari tokoh-tokoh daerah, para birokrat-
politik, dan para pengusaha yang telah dimatangkan di bawah
sistem patronase Orde Baru memperebutkan kontrol atas
aparatur dan otoritas negara dalam hubungannya dengan alokasi
sumberdaya termasuk sumberdaya alam. Proses politik ini ber-
langsung dalam konteks perubahan politik dan ekonomi yang
sebahagian besar diarahkan oleh kepentingan-kepentingan
predatoris135yang dipupuk dibawah orde baru, yang kini tengah
berupaya untuk mengamankan kekuasaan mereka melalui
kebijakan dan aliansi-aliansi baru yang berubah-rubah di dalam
lingkungan politik yang umumnya lebih cair dibandingkan
sebelum tahun 1999. O’Donnell dan Schmitter menyebut fe-
nomena ini sebagai ’masalah kelembagaan kekuasaan politik’.
Konseptualisasi Hadiz diatas sekaligus memberikan
gambaran uraian para peneliti politik lokal di Indonesia masa
transisi, misalnya kajian Verdi R. Hadiz dan Richard Robison.
Studi ini menguraikan tentang konstelasi kekuasaan dan
kepentingan pasca runtuhnya Orde Baru. Menurut Hadiz dan
Robison (2002). Pertama, Disain politik lokal pasca runtuhnya
Soeharto mengindikasikan adanya konstelasi kekuasaan dan
kepentingan tertentu setelah runtuhnya Orde Baru. Aspek yang
paling menonjol dalam konstelasi ini adalah bahwa berbagai
kepentingan aktor dibesarkan dibawah sistem pentronase rezim
Soeharto yang begitu luas dan terpusat – yang menjalar dari
istana Kepresidenan di Jakarta hingga ke provinsi-provinsi,

135
Istilah predatoris dipakai Hadiz dimaksudkan untuk menggambarkan rezim
ORBA yang bersaing dengan memilih cara memangsa rakyatnya sendiri.

ILMU PEMERINTAHAN 253


Disiplin dan Metodologi
kota-kota dan desa-desa - sebahagian besar masih terus hidup
dan berpengaruh. Pada tingkat lokal, dimana kepentingan lokal-
yang terdiri dari tokoh-tokoh daerah, para birokrat-politik, dan
para pengusaha yang telah dimatangkan di bawah sistem
petronase Orde Baru memperebutkan kontrol atas aparatur dan
otoritas negara dalam hubungannya dengan alokasi sumberdaya
(alam). Dalam perkembanbangan masa transisi, para tokoh
oligarki ini dirampas akses ekonomi-politiknya oleh tokoh-
tokoh informal pusat-lokal seperti pimpinan partai politik,
kekuatan preman, elit ekonomi dan politik Jakarta, LSM, dan
organisasi massa lainnya. Dalam kondisi politik lokal yang cair,
para aktor yang bergulat ini berkoalisi dengan lembaga-lembaga
sosial yang dianggap dapat memaksimalkan keuntungannya.
Para aktor ini berebut kekuasaan dan sumberdaya (alam)
mengorganisir kepentingan melalui koalisi-koalisi baru, baik
secara nasional maupun lokal. Melalui kontrol atas parlemen
dan partai politik, melalui aliansi bisnis para aktor membangun
jaringan patronase baru, saling bersaing,dan terkadang tumpang
tindih. Singkatnya, desentralisasi memungkinkan munculnya
kebijakan publik yang lebih terlokalkan yang berbeda dari masa
Soeharto, relatif otonom dari otoritas pusat negara.
Kedua, Jenis-jenis kepentingan apa yang menginginkan
kendali atas sumberdaya-sumberdaya (termasuk sumberdaya
alam) lokal? Seperti yang telah diungkapkan diatas, bahwa
banyak pemain-pemain penting dalam perpolitikan lokal me-
lalui jaringan patronase Orde Baru yang menggurita itu, mulai
dari Cendana hingga sampai ke desa-desa. Kendati sistem
sentralisasi sudah tidak ada lagi, namun elemen-elemennya
telah menata kembali diri mereka di dalam jaringan patronase
baru yang bersifat desentralistik, lebih cair dan saling bersaing
satu dengan yang lain. Dewasa ini ada sederetan kepentingan
yang sekarang di tingkat lokal yang saling berebutan yang
tampak lebih bervariasi dibandingkan pada masa Soeharto. Di
dalamnya termasuk para pialang dan bandar politik yang ambius,

254 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
birokrat negara yang lihai dan masih bersifat predatoris,
kelompok-kelompok bisnis baru yang berambisi tinggi, serta
beraneka ragam gengster politik, kaum kriminal, dan barisan
keamanan sipil. Kebanyakan dari kelompok-kelompok ini
dibesarkan oleh rezim lama sebagai operator dan pelaksana
lapangan mereka.136 Kelompok-kelompok kepentingan mana
yang berhasil atau gagal didalam pergulatan politik ini di-
tentukan oleh koalisinya dengan kelompok-kelompok yang
memiliki akses sumberdaya yang lebih besar terutama sumber
daya keuangan, dan akses ke aparat kekerasan dalam politik
lokal.
Dalam konteks dinamika politik lokal, seperti yang
diuraikan Hadiz dalam studinya di Sumetara Utara, dan
umumnya terjadi di berbagai daerah termasuk Riau. Menurut
Hadiz muncul berbagai aktor-aktor politik baru seperti, para
pengusaha kecil atau tingkat menengah yang paling tidak
sebagian tergantung kepada proyek dan kontrak negara, politisi
profesional dengan kaitan khusus ke partai-partai orde baru,
atau aktivis yang terkait dengan organisasi semacam Himpunan
Mhasiswa Islam (HMI), Komite Nasional Pemuda Indonesia
(KNPI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI),
GMKI, yang melalui mereka orde baru secara rutin merekrut
kader-kader dan bandar politik baru. Yang tidak kalah penting
yaitu orang-orang yang bertindak sebagai kaki-tangan rezim
lokal melalui organisasi seperti Pemuda Pancasila. Pendatang-
pendatang yang relatif baru ini pun mampu meningkatkan
pengaruh mereka dengan cara mendekatkan diri mereka kepada
tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok yang beruntung
memiliki sumber daya yang lebih besar dalam hal akses uang,
dan yang penting lagi, akses aparat kekerasan. Yang menarik
lagi, kebanyakan aktor-aktor ini tidak selamanya berpandangan
bahwa kekuasaan politik di tingkat subprovinsi adalah sebagai
136
Hadiz, 2002, Ibid, hal.244

ILMU PEMERINTAHAN 255


Disiplin dan Metodologi
batu loncatan alamiah menuju perpolitikan tingkat provinsi atau
nasional, karena mereka semakin merasakan bahwa otonomi
daerahpun mampu menyediakan kesempatan yang meng-
untungkan bagi aktivitas pemburu-rente di tingkat provinsi itu
sendiri.137
Dengan demikian politik persaingan antar aktor dalam
konteks dinamika politik lokal adalah suatu fenomena yang
penting dan universal. Proses ini terjadi sebelum maupun
setelah kejatuhan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Per-
saingan politik antar aktor baik berupa individu mapun ke-
lompok yang berusaha meperjuangkan masing-masing
kepentingannya, pada dasarnya menjadi “energi” bagi pembuat
keputusan dan pelaksana kebijakan, dan akhirnya mendorong
terjadinya dinamika politik lokal. Karena proses pergulatan
politik itu tidak hanya dapat mengasilkan berupa tuntutan atau
penolakan, tetapi dapat pula menghasilkan berbagai dukungan.
Tuntutan dan dukungan ini berasal baik dari aktor birokrasi
maupun para aktor non-pemerintah. Dalam perkembangannya
(termasuk pada masa transisi), dimungkinkan bahwa penolakan
dan dukungan aktor ini selain mempengaruhi hasil kebijakan,
dapat juga dipengaruhi oleh akibat kebijakan. Dalam proses
pergulatan inilah akan tampak strategi, koalisi, negosiasi,
pilihan-pilihan, dan mekanisme yang dipakai para aktor dalam
pergulatannya di panggung politik. Pada akhirnya, proses ini
akan menggambarkan dinamika politik yang berlangsung.
Selain itu, politik persaingan antar aktor ini tidak saja
berlangsung dalam sistem politik dan ekonomi yang sudah
maju, tetapi terjadi juga dalam sistem poilitik dan ekonomi
yang tidak maju seperti Indonesia 1980-an dan 1990-an, suatu
masa yang lebih diwarnai oleh otoritarianisme, dimana ke-
bijakan publik seringkali diputuskan oleh seseorang pimpinan
puncak. Demikian pula, persaingan politik itu terjadi pada masa
137
Hadiz, 2002, Ibid., hal.245

256 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
transisi, suatu masa yang ditandai dengan ketidakpastian, di
tengah-tengah masyarakat lokal yang lebih cair dibandingkan
1998. Dalam perpolitikan ini, ada ‘peluang para aktor bersaing
memperjuangkan kepentingan yang berbeda-beda (atau ber-
benturan), walaupun dalam batas-batas yang ditolerir oleh
sistem pemerintahan Orde Baru yang otoriter atau pemerintahan
pasca Orde Baru. Dengan kata lain, dalam pemerintahan Orde
baru atau pemerintahan pasca Orde Baru masih dimungkinkan
adanya pluralisme kepentingan politik, walaupun pengaruhnya
dibatasi pada sektor-sektor kebijakan yang secara politik di-
anggap tidak strategis, yaitu tidak menyangkut isu keamanan
nasional dan isu politik tingkat tinggi lainnya. Kelompok
kepentingan mana yang berhasil atau gagal dalam persaingan
itu, ditentukan oleh keberhasilannya dalam membangun koalisi
dan negosiasi antar kelompok.
Dalam konteks politik dan pemerintahan lokal, tampak
bahwa politik persaingan aktor berlangsung dalam arena politik
lokal yang dinamis, baik pada masa sistem otoriter maupun
transisi. Dalam proses ini ada aktor pemerintah dan non-
pemerintah yang dipengaruhi oleh akibat kebijakan. Para aktor
pemerintah itu, yaitu individu atau birokrasi PEMDA yang
melaksanakan kebijakan baik di tingkat provinsi/kabupaten
seperti, dinas perkebunan, dinas kehutanan, BPN, dan BAPPEDA.
Kemudian, para individu yang mengatasnamakan PEMDA
seperti, Saleh Djasit dan Maimanah Umar. Selain itu, ada
banyak aktor non-pemerintah yang mempengaruhi akibat
kebijakan perkebunan kelapa sawit. Para Aktor non-pemerintah
itu berdasarkan basis institusionalnya dapat dibagi dua bahagian.
Pertama, Aktor bisnis, yaitu individu atau kelompok yang
mengendalikan proses produksi dan memiliki akses ke kapital
seperti, GAPKI, HKTI, PERKAPPEN, dan Salim Group.
Kemudian, perorangan yang memiliki usaha sukses dibidang
perkebunan seperti, Martias, DL.Sitorus, dan Rida K. Liamsi.
Kedua, aktor independen dan LSM lokal, yaitu individu atau

ILMU PEMERINTAHAN 257


Disiplin dan Metodologi
lembaga sosial dan politik yang ada dalam masyarakat. Para
aktor ini tidak terikat dengan birokrasi pemerintah dan partai
politik tertentu dan tumbuh berkembang secara mandiri dalam
arena politik lokal. Kegiatannya melakukan pengawasan
terutama terkait hal-hal yang aktual dan kontekstual. Para aktor
yang termasuk dalam pengelompokan ini seperti, DPRD,
Lembaga Adat, FKPMR, mahasiswa, LSM Riau Mandiri,
Kelompok Tani, dan lembaga intelektual kampus. Selain itu,
ada individu yang termasuk dalam pengelompokkan ini, yaitu
perorangan yang bertindak atas nama kelompok kepentingan.
Para aktor ini berkoalisi dan masing-masing berusaha mem-
perjuangkan kepentingan politik, institusional maupun indi-
vidual, dalam kaitan isu kebijakan.
Konseptualisasi yang diajukan oleh para pendukung
pendekatan “modern political economy” yang sudah di-
kualifikasi oleh teori “group politics”, “transitions democ-
racies”, dan “local politics” bisa dipakai untuk merumuskan
kerangka teoritik sebagai berikut:
1. Kebijakan publik adalah hasil dari suatu pergulatan politik
dinamik di tingkat lokal maupun nasional.
2. Masing-masing aktor, individu maupun kelompok yang
terlibat dalam proses politik itu berusaha memenuhi ke-
pentingan sendiri, yang pada dasarnya adalah kepentingan
memaksimalkan pengaruh politik terutama dalam proses
pembuatan kebijakan publik.
3. Ungkapan dari upaya maksimalisasi pengaruh politik itu
dipengaruhi oleh konteks institusional yang melingkupi
masing-masing aktor dan kapasitas masing-masing dalam
memobilisasi sumber daya politik.
Beberapa kajian ekonomi politik lokal misalnya Henk
Schuldte Nordtholt and Gerry van Klinken (2007)138 melakukan
138
Henk Schuldte Nordtholt and Gerry van Klinken (edt). 2007. Renegotiating
Boundaries Local Politics In Post-Soeharto Indonesia. KTLV Press. RA
Leiden The Nederlands.

258 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
studi mengenai politik lokal di Indonesia pasca Soeharto.
Kedua peneliti ini ingin menyelami penedekatan-pendekatan
baru terhadap politik lokal di Indonesia pasca-Soeharto dengan
menerapkan asumsi bahwa perpolitikan Indonesia sebelum dan
sesuadah 1999 menunjukkan bahwa secara substansif tidak ada
perubahan. Untuk mengungkapkannya, kedua ilmuwan ini
mengusulkan untuk meneliti sifat dan peranan para elit daerah,
khusunya bidang politik birokratis, ekonomis, dan identitas.
Analisis Nordtholt and Klinken mengungkapkan bahwa
politik Indonesia pasca-Soeharto menunjukkan kontinuitas-
kintinuitas historis dengan periode-periode sebelumnya
misalnya sifat patrimonial sistem dalam mengalokasikan
anggaran melalui kendali Pusat. Kemudian, Sistem pemajakan
informal pada masa ORBA serta distribusi pendapatan bottom
up hingga pasca reformasi masih tetap mewarnai birokrasi
Indonesia. Para birokrat yang digaji rendah menopang gaji
mereka dengan sumber-sumber pendapatan informal dengan
menjual izin-izin dan menarik pajak-pajak pribadi. Selain itu,
pemerintah memegang teguh sifat patron-client dan menjadi
bagian struktur kapitalis yang lebih luas dan melemah dalam
memanfaatkan kapital, tenaga kerja, produksi dan pasar. Secara
faktual, kondisi-kondisi inilah dalam banyak hal menunjukkan
Indonesia pasca-Soeharto adalah kelanjutan dari rezim
sebelumnya, meskipun kepemimpinan Pusat dari periode
sebelumnya sudah melemah, yang membuka jalan bagi
’faksionalisasi’ dan desentralisasi kekuasaan.
Nordtholt and Klinken (2007) mempunyai kekuatan
analisis yang tajam ketika mengusulkan peninjauan ulang
terhadap perspektif relasi antara ‘Negara’ dan ‘masyarakat’,
‘Negara’ dan ‘pasar’, dan hubungan-hubungan ‘formal’ serta
‘informal’. Menurut kedua ilmuwan ini, agak terlalu simplistis
untuk menyimpulkan bahwa Negara di Indonesia telah melemah
sejak tahun 1998. Argumentasi yang diajukan Nordtholt and

ILMU PEMERINTAHAN 259


Disiplin dan Metodologi
Klinken adalah terlalu simplistis. Karena jika mengamati
struktur-struktur kekuasaan baik institusi formal maupun
jaringan informal; masih diwarnai aktivitas-aktivitas ekonomis
illegal , dimana misalnya para birokrat, politisi, militer, polisi,
pengusaha, dan pejahat berkoalisi, sementara itu perbedaan-
perbedaan antara profesi kelompok ini seringkali kabur.
Struktur hubungan elit inilah yang tetap bertahan sejak Orba
hingga masa Reformasi.
Akan tetapi, studi ini tidak lepas dari keterbatasan,
setidaknya mengandung satu kelemahan, yaitu Nordtholt and
Klinken (2007) mengajukan tesis yang kurang cermat jika
diamati dari perkembangan politik lokal di Indonesia pasca
reformasi paling tidak untuk kasus Riau. Pemerintah reformasi
memang mewarisi sifat patrimonial dan sifat patron-client
dari Orba, tetapi argumentasi itu tidak cukup tajam jika dipakai
untuk menjelaskan perpolitikan lokal paling tidak kasus di Riau.
Di Riau, sifat perpolitikan lokalnya selain sifat-sifat
patrimonial dan sifat patron-client masih kuat melekat sejak
Orba dan reformasi, perpolitikan lokal di Riau juga ditandai
adanya perubahan politik lokal yaitu mulai terbukanya ruang
politik masyarakat di sektor kepemilikan perkebunan. Sebelum
1999, Riau dengan ekonomi minyaknya, dikuasai oleh Pusat,
masyarakat di daerah tidak dapat berbuat banyak. Setelah 1999,
struktur ekonomi Riau selain ditopang ekonomi minyak, juga
mulai beralih pada ekonomi perkebunan kelapa sawit. Dengan
berlakunya UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 yang meberi
peluang bagi daerah untuk memanfaatkan SDA lokal, maka
dalam ekonomi perkebunan ruang politik Pemda dan Masya-
rakat Riau semakin terbuka. Perubahan-perubahan politik lokal
inilah yang kurang ditangkap oleh studi Nordtholt and Klinken.
Selaras dengan analisis diatas R.William Liddle (2004)139

139
R.William Liddle. 2005. Keberhasilan Demokrasi. The Ohio State University,
Columbus, Ohio, AS, hal.1-4.

260 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
melakukan studi mengenai perpolitikan di Indonensia yang
terkait pemilu. Menurut Liddle perpolitikan di Indonesia
sebelum dan sesudah 1999 secara substansif tidak berubah,
peta kepartaian perpolitikan Indonesia tetap menampakkan pola
fragmentasi atau perpecahan yang semakin parah. Argumentasi
ini diketengahkan Liddle dengan mengamati sejarah politik
kepartaian Indonesia sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2004.
Menurut Liddle pola persaingan kelompok partai politik
yang direpresentasikan oleh pimpinan partai dalam menanamkan
pengaruhnya sesudah dan sebelum 1999 tetap tidak berubah,
sama-sama menghasilkan pola fragmentasi politik semakin
memburuk. Pada tahun 1955, empat partai – PNI, Masyumi,
NU,dan PKI memenangkan pemilu demokratis yang pertama.
Tetapi tidak ada partai yang cukup kuat untuk memerintah
sendiri. (partai yang memenangkan pemilu masa itu PNI hanya
memperoleh 22,3% dari seluruh suara). Lebih gawat lagi,
pemimpin partai masa itu tidak berhasil menciptakan koalisi
antar partai yang bisa meletakkan sebuah pondasi yang kukuh
buat pemerintahan yang stabil dan berwibawa. Pemilu 1999,
mengurangi fragmentasi yang diciptakan pada pemilu 1955.
PDI-P meraih 34% yang jauh melebihi dari PNI pada pemilu
1955. Sayang, Megawati tidak langsung memanfaatkan keme-
nangannya untuk membangun koalisi baru, koalisi poras tengah
yang dipimpin Amien Rais merebutnya. Namun, pemilu 2004
pola fragmentasi peta kepartaian Indonesia anjlok kembali.
Misalnya, keunggulan presiden Megawati lenyap dengan
merosotnya dukungan yang diberikan kepada partainya. Tentu
saja factor bertambahnya jumlah partai utama misalnya Partai
Demokrat dan PKS dapat dijadikan prakondisi kemerosotan
dukungan itu.
Analisis politik Liddle diatas memiliki kekuatan dalam
mengidentifikasi pola perpecahan peta kepartaian dalam
sejarah politik Indonesia. Kekuatan analisis ini bertumpu pada

ILMU PEMERINTAHAN 261


Disiplin dan Metodologi
pergulatan kepentingan kelompok partai melalui representasi
tokoh-tokoh partai di tingkat nasional sejak pemilu 1955 hingga
2004. Tetapi, analisis ini mengandung kelemahan ketika
dinamika perpolitikan lokal pasca reformasi terkesan diabaikan
begitu saja dalam memahami berulang-ulangnya pola-pola
fragmentasi dalam peta kepartaian Indonesia.
Dilihat dari perspektif ekonomi-politik, fenomena per-
pecahan dalam peta kepartaian Indonesia dalam batas-batas
tertentu ada yang tetap dan ada pula yang berubah. Secara
politik, fenomena yang tetap sebelum dan sesudah 1999 adalah
kontiniunitas historis akan komando DPP Partai terhadap elit
partai lokal. Yang kemudian melahirkan ketidak mampuan para
pemimpin partai lokal mendukung koalisi antar partai sebagai
fondasi yang kuat bagi pemerintahan yang stabil. Secara
ekonomi setelah 1999, yang mengalami perubahan adalah pola
fragmenatasi peta kepartaian ditingkat local ditentukan oleh
pergeseran basis ekonomi masyarakat dari minyak kepada
perkebunan misalnya di Riau. Dalam ekonomi minyak, para
pemimpin partai sangat terikat dengan DPP. Dalam ekonomi
perkebunan para elit lokal seoalah-olah berjalan sendiri-sendiri
(tidak terikat DPP), berinisiatif bekerjasama dengan pengusaha
perkebunan, birokrat, LSM dan sebagainya. Dalam kondisi
seperti inilah, perpolitikan lokal semakin terfragmentasi.
Sejalan dengan analisis diatas, Edward Aspinall, Gerry van
Klinken, dan Herbert Feith(2000)140 mengkaji dinamika ke-
kuasaan politik di Indonesia di era desentralisasi dan demo-
kratisasi. Analisis Aspinall (edt) ini bertumpu kepada argumen
bahwa dalam beberapa hal Orba masih menunjukkan ciri-ciri
yang sama seperti 1960-an misalnya muncul kekacauan
komunal, konflik politik, dan hubungan petronase. Ciri-ciri
politik itu terus berlanjut pada perpolitikan Indonesia pasca Soeharto.

140
Edward Aspinall, Gerry van Klinken, dan Herbert Feith (Edt). 1999. The Last
Days of President Suharto. Monas Asia Institute.

262 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Menurut Aspinall bahwa ditengah-tengah euforia yang
mengiringi pergantian Soeharto, terdapat juga beberapa hal yang
layak untuk diperhatikan, yakni bahwa Soeharto – lantaran ia
merupakan pusat patriarki dari Orba yang tak terbantahkan –
telah mampu menjaga posisinya untuk sekian waktu yang lama
dengan perlindungan dari institusi dan kelompok yang sangat
berkuasa. Meskipun Soeharto telah lengser, aparat dan sebagian
besar personelnya yang berasal dari Orba masih tetap belum
bergeser. Bahkan mereka dengan bendera pemihakan pada
reformasi, sehingga mereka mampu melindungi kepentingan
yang kuat, dalam bingkai ruang lingkup reformasi.
Analisis Aspinal ini memiliki kekuatan di tingkat makro.
Kekuatan analisis ini paling tidak nampak dari alasan yang
dikemukakan Aspinall bahwa dewasa ini Indonesia sedang
mengalami masa yang demokratis di tengah-tengah kontiniu-
nitas ciri-ciri “lama”. Inisiatif politik berada di tangan
mahasiswa, Amien Rais, dan pendukung demokrasi lainnya.
Orang kuat telah jatuh,dan untuk sekarang ini,segala sesuatu
dapat menjadi mungkin. Kemudian, tuntutan-tuntutan terhadap
reformasi politik, pemberantasan korupsi, dan hukuman
terhadap Soeharto dan para pendukungnya, sekarang diajukan
kembali. Namun, sikap optimistik itu agak berlebihan jika
melihat lebih jauh perpolitikan Indonesia yang sangat
terfragmentasi pasca reformasi. Modal politik utama yang
harus diraih pemimpin politik dimasa depan misalnya bagai-
mana dapat memobilisasi dukungan masyarakat melalui
sumberdaya politik yang dimilikinya. Ini adalah persoalan
political skill yang harus dimainkan oleh para aktor politik
Indonesia di masa depan.
Sejalan dengan analisis diatas Vedi R.Hadiz (2005)141

141
Vedi R. Hadiz, 2005. Kekuasaan dan Politik di Sumatera Utara: Reformasi
yang Tidak Tuntas dalam Dinamika Kekuasaan Ekonomi-Politik Indonesia
Pasca-Soeharto, LP3ES, Jakarta, hal.235-253.

ILMU PEMERINTAHAN 263


Disiplin dan Metodologi
melakukan studi yang terkait perpolitikan lokal dengan me-
ngambil kasus, mengenai perpolitikan lokal di Sumatera Utara
pasca runtuhnya Orde Baru. Argumentasi yang diketengahkan
Hadiz bahwa perpolitikan Indonesia sebelum dan sesudah
reformasi secara substansial tetap menampakkan wajah yang
sama yang ditandai dengan munculnya kekuatan-kekuatan
oligarkis yang diwarisi dari rezim Orba. Kelompok-kelompok
oligarkis ini tetap menyebar dari Pusat hingga ke desa-desa
dengan kemasan jaringan petronase baru yang bersifat de-
sentralistik, lebih cair dan saling bersaing satu sama lain.
Kekuatan studi ini terletak pada kemampuannya men-
jelaskan kemunculan kekuatan-kekuatan oligarkis gaya baru
yang membentuk pola perpolitikan lokal pasca reformasi.
Analisis Hadiz ini meyimpulkan bahwa peta perpolitkan lokal
sebelum dan sesudah 1999 secara substansial tidak mengalami
perubahan. Menurut Hadiz kasus di Sumatera Utara mungkin
terjadi juga di kebanyakan daerah, muncul aktor-aktor politik
baru, para pengusaha kecil dan menengah yang tergantung
pada‘proyek dan kontrak negara. Para politisi profesional
dengan kaitan khusus dengan partai ORBA, atau aktivis yang
berbasis organisasi semacam (HMI), (GMKI), (GMNI) dan
kaki tangan rezim lokal melalui organisasi seperti Pemuda
Pan-casila. Para pendatang yang relatif baru ini mempunyai
pe-ngaruh dengan cara mendekatkan diri dengan tokoh-tokoh/
kelompok yang memiliki sumber akses uang, dan yang penting
lagi aksesnya kepada aparat kekerasan. Mengenai bangkitnya
politik lokal kasus Sumatera Utara pasca runtuhnya Orde Baru.
Akan tetapi, kelemahan penelitian Hadiz di Sumatera
Utara ini adalah melupakan penyebab mengapa perpolitikan
lokal itu secara substansial sama sebelum dan sesudah 1999
dan apa yang diperebutkan oleh para pelaku lokal itu sehingga
pola persaingannya sebelum dan sesudah reformasi tetap sama.
Pada hal sebelum reformasi, politik lokal tidak bisa berbuat

264 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
banyak misalnya terkait peluang sumber daya alam. Kapitalisasi
SDA dinikmati oleh para PBS/PBSN, Daerah tidak memiliki
akses. Setelah 1999, dengan diberlakunya UU No.22/1999
daerah dapat memanfaatkan SDA lokalnya, muncul banyak
investor baru ( termasuk lokal).
Daerah penelitian Hadiz Sumatera Utara dikenal sebagai
daerah yang lebih duluan menerapkan kebijakan pusat mengenai
perkebunan dibandingkan Riau. Di Riau secara ekonomi-politik
dalam batas tertentu terjadi perubahan sifat perpolitikan lokal..
Sebelum 1999, ekonomi Riau bertumpu pada minyak dan gas,
pengendaliannya sangat sentralistik Usaha sektor perkebunan
kelapa sawit didominasi Salim Group. Sesudah 1999, ekonomi
Riau banyak ditopang perkebunan, daerah mempunyai akses
memanfaatkan peluang-peluang ekonomi-politik lokal
misalnya Pemda provinsi dan hampir seluruh Pemkab memiliki
usaha perkebunan yang dikendalikan melalui keputusan Lokal.
Sehingga bisnis sawit di Riau semakin semarak sifat per-
politikan lokal inilah yang tidak teridentifikasi dengan baik oleh
studi Vedi R Hadiz ini.
Selanjutnya, sejalan dengan analisis diatas Ignes Kleden
(2008)142 melakukan studi mengenai politik Indonesia pasca
Orba. Studi Ignes ini menekankan pada analisis terhadap
perkembangan politik dan budaya politik Indonesia era re-
formasi dan sampai pada kesimpulan bahwa reformasi yang
berlangsung tidak menunjukkan hadirnya, perubahan atau
pembangunan politik, kecuali pada perspektif perebutan ke-
kuasaan.
Menurut Ignes, secara makro politik Indonesia lebih di-
dominasi pada hubungan antar aktor-aktor politik.Bahkan,
secara keseluruhan politik Indonesia masih terkosentrasi pada
kepentingan Negara dibanding pada kepentingan masyarakat.
142
Ignes Kleden. 2008. Politik Indonesia: Antara Demokrasi dan Sentralisme
Politik.

ILMU PEMERINTAHAN 265


Disiplin dan Metodologi
Begitu juga tentang kebijakan desentralisasi yang dilandasi
dengan gerakan reformasi, bagi Ignes hanya memindahkan
“sentralisme” politik dari pemerintahan pusat ke pemerintahan
daerah. Disisi lain “transisi” yang terjadi menciptakan konflik-
konflik politik pada tingkat partai politik, yaitu antara ke-
pentingan (elitis maupun kolektif) serta antara kepentingan
idiologi. Secara miklro politik, politik indonesia diwarnai
ketegangan-ketegangan idiologis yang sangat kentara pada
gerakan atas “islamic state” dari sebagian kelompok muslim
yang berseberangan kelompok nasionalis “nasionalist state”.
Pertarungan kelompok ini mendapat legitimasi melalui partai
politik dan bermuara pada “suksesi kepemimpinan nasional’
sebelum dan sesudah pemilu 1999. Dengan demikian, secara
substansial relatif tidak ada perubahan politik pasca Orba.
Perbedaannya, pada masa Soeharto, idiologi-idiologi tidak
muncul kepermukaan, masa reformasi membuka kembali
gairah idiologis dan muncul dengan semangat primordialisme.
Tetapi, aliran-aliran “lama” itu muncul hanya dalam bentuk
kemasan baru.
Analisis Ignes diatas memiliki kekuatan dalam mem-
berikan dasar pemahaman historis politik Indonesia dari per-
tentangan kepentingan dan idiologi, yaitu: pertama, pemikiran
tentang perlunya dasar empiris untuk memahami kekuatan-
kkekuatan nyata-seperti ABRI – dalam pertarungan kekuasaan
yang terjadi. Selain itu, dibutuhkan pengetahuan mengenai
seberapa signifikansinya pembesaran jumlah partai dengan
penguatan partisipasi politik kepartaian sebagai representasi
kesadaran rakyat atau hanya “pragmentasi” kelompok elit partai.
Kedua, adanya norma-norma yang menjadi dasar penilaian
realitas politik indonesia. Apakah pembaharuan politik di amasa
reformasi mendekati atau menjauhi kriteria normatif yang
disepakati.Ketiga,hubungan ketentuan normatif dan kenyataan
empiris dalam politik praktis. Dari ketiga kriteria itu, Ignes

266 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
menyimpulkan bahwa muatan reformasi dapat diposisikan
selalu sarat dengan perebutan kekuasaan (power building)
bukan pada efektivitas penggunaan kekuasaan (the use of
power).
Selain analisis Ignes Kleden memiliki kekuatan tentulah
terdapat kelemahan-kelemahan. Salah satu kelemahan studi ini
adalah keterbatasannya memotret perpolitikan lokal pasca
reformasi. Tidak disanggah bahwa ada banyak fakta yang me-
nunjukkan batas-batas tertentu bahwa politik Indonesia tidak
banyak berubah misalnya pertarungan kekuasaan (lokal) dan
persaingan idiologi. Tetapi, menjadi fakta baru di tingkat lokal
yang tak dapat disangkal bahwa ada perbedaan politik sebelum
dan sesudah 1999 misalnya mengenai sifat perpolitikan lokal
dari sentralistik ke desentralisasi. Perubahan politik ini me-
nimbulkan gairah baru bagi Pemda dan masyarakat lokal untuk
berinisiatif misalnya di sektor bisinis perkebunan kelapa sawit.
Selaras dengan studi diatas, studi perpolitikan Indonesia
masa trasisi berkaitan dengan kebijakan perkebunan kelapa
sawit dilakukan antara lain oleh Anne Casson (2000).143 Hasil
penelitian Casson menunjukkan bahwa kelapa sawit merupakan
salah satu subsektor pertanian yang paling dinamis di Indonesia.
Areal perkebunan kelapa sawit meningkatkan dari 106.000 ha
akhir 1960-an menjadi 2,7 juta ha pada tahun 1997. Per-
tumbuhan kelapa sawit yang pesat ini didorong oleh faktor
kebijakan ekonomi pemerintahan Soeharto. Kebijakan
ekonomi ini mendorong keterlibatan sektor swasta 1986-
1996. Pemerintah menyediakan kredit dengan bunga rendah
dalam pengembangan perkebunan, penanaman baru dan
pembelian fasilitas pengolahan buah sawit. Pemerintahan
Habibie mempunyai komitmen melanjutkan kebijakan per-
kebunan pemerintahan Soeharto. Dalam studi ini Riau di-

143
Anne Casson, 2000. The Hesistant Boom: Indonesia’s Oil Palm Subsektor
in an Era of Economic Crisis and Political Change, CIFOR, Indonesia.

ILMU PEMERINTAHAN 267


Disiplin dan Metodologi
pandang sebagai daerah “baru” perkebunan kelapa sawit yang
terpesat perkembangannya di Indonesia.
Studi Casson (2000) ini memiliki kekuatan yaitu terletak
pada kemampuannya menunjukkan hubungan antara perubahan
setting politik nasional dengan penerapan kebijakan kelapa
sawit. Studi ini menemukan bahwa kelapa sawit merupakan
salah satu subsektor pertanian yang paling dinamis di Indonesia.
Areal perkebunan kelapa sawit meningkatkan dari 106.000 ha
akhir 1960-an menjadi 2,7 juta ha pada tahun 1997. Per-
tumbuhan kelapa sawit yang pesat ini didorong oleh faktor ke-
bijakan ekonomi pemerintahan Soeharto misalnya mendorong
keterlibatan sektor swasta, menyediakan kredit dengan bunga
rendah, pembelian fasilitas pengolahan buah sawit. Arah ke-
bijakan masa Soeharto ini tetap dipertahankan pada masa
kepemimpinan B.J. Habibie.
Namun, kekuatan studi yang diuraikan diatas sekaligus
menjadi kelemahan kajian. Karena tinjauan terhadap keber-
hasilan pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia itu
semata-mata dari kepentingan pemerintah Pusat. Dibalik
keberhasilan seperti yang dituduhkan itu, kajian Casson ini
kurang mengungkapkan kepentingan lokal yang beragam dan
dinamik misalnya penerapan kebijakan perkebunan me-
nimbulkan konflik lokal terus menerus. Konflik itu diduga kuat
akibat dari penerapan kebijakan perkebunan pusat selama ini.
Berbagai studi diatas pada dasarnya mempunyai thesis
bahwa perubahan politik tidak terjadi dalam perpolitikan
Indonesia pasca Reformasi. Perbedaan diantara studi diatas,
yaitu Henk Schuldte Nordtholt and Gerry van Klinken (2007
menekankan pada sifat dan peranan para elit daerah, R.William
Liddle (2004) memusatkan perhatian kepada pola fragmentasi
atau perpecahan pada peta kepartaian yang semakin parah dalam
sejarah politik Indonesia, Vedi R.Hadiz (2002) memfokuskan
diri kepada kemunculan kelompok-kelompok oligarkis lokal,

268 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
sementara Anne Casson (2000) lebih memperhatikan dampak
perubahan rezim Soeharto ke Habibie kepada kebijakan per-
kebunan di Indonesia, sementara itu studi Edward Aspinall,
Gerry van Klinken, dan Herbert Feith144(2000) menekankan
kepada arah demokratisasi sejak kejatuhan Soeharto.
Studi ini ikut melibatkan diri dalam perdebatan mengenai
karakter perpolitikan Indonesia masa “Reformasi”. Dalam
perdebatan mengenai perpolitikan Indonesia pasca-1999 di
atas, nampak kecenderungan untuk memandang perpolitikan
di massa “Reformasi” tidak terlalu berbeda dengan perpolitikan
masa “Orba”. Disertasi ini berusaha menunjukkan bahwa
pengalaman politik Indoneisa sejak akhir 1990-an itu telah
menghasilkan perpolitikan yang secara struktural maupun
praktik perilaku politik berbeda. Studi mengenai perpolitikan
lokal selama ini tidak mengungkapkan secara substansial
adanya perbedaan tersebut. Karena itu, penulis berharap agar
studi ini mempunyai arti dalam mengisi kekosongan khasanah
kajian politik lokal di Indonesia.

TEORI EKONOMI POLITIK


Dewasa ini isu politik dan ekonomi telah berkembang
pesat145 termasuk dalam studi pemerintahan.146 Perkembangan
itu telah berlangsung sedemikian rupa seiring dengan perubahan
masyarakat. Perubahan isu ini tidak dapat dipahami secara baik,
tanpa apresiasi dari pengembangan sejarah pemikiran, ide,
gagasan dan lembaga-lembaga yang ada. Menurut Clark 1998),
sebelum memulai survey ekonomi-politik yang perlu diingat
adalah bahwa semua sejarah pada akhirnya tergantung pada
144
Edward Aspinall, Gerry van Klinken, dan Herbert Feith (Edt), 1999. The Last
Days of President Suharto. Monas Asia Institute.
145
Lihat Mohtar Mas’oed, Ekonomi-Politik Internasional dan Pembangunan,
2003,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal.7-12
146
Khairul Anwar, 2011, Ekonomi Plitik, Formulasi Kebijakan Dalam Konteks
yang Berubah, Pekanbaru, Alaf Riau, hal.21

ILMU PEMERINTAHAN 269


Disiplin dan Metodologi
interpretasi dan tidak ada interpretasi tunggal tentang sejarah
Political Economy yang universal. Dalam hal ini teori teori
ekonomi-politik akan dikelompokkan tiga, yaitu classical
political economy; neoclassical economics; dan modern
political econom.147 Sebelum menjelaskan ke tiga klasifikasi
tersebut di atas akan diuraikan terlebih dahulu sejarah ekonomi-
politik.

Asal-usul
Ada empat gelombang pemikiran ekonomi-politik yang
dapat dipandang sebagai akar sejarah kajian ekonomi politik
dewasa ini.148 Pertama, periode anatar abad 14 dan 18 menjadi
saksi “transformasi besar”(Menurut Kamus Istilah Tranformasi
Samuel Huntington, 1995) di Eropa Barat ketika dampak per-
niagaan lama kelamaan mengikis perekonomian feodal.
Perekonomian yang baru muncul memberikan peluang untuk
eksperesi aspirasi individu dan mendorong usaha yang se-
belumnya tidak tertekan oleh gereja, negara, dan masyarakat.
Kedua, seiring dengan perubahan produksi dan perda-
gangan, ide-ide baru bermunculan. Renaissance pada abad 14
melanggarkan cara penyelidikan ilmiah Copernicus, Gallieo,
Bacon, dan Newton. Selain itu perubahan datang dari reformasi
protestan yang diprakarsasi oleh Martin Luther di Jerman.
Ketiga, terminology enlightement adalah paling ter-
kemuka di Pranciss, dimana pra pemikir seperti Voltaire,
Diderot, D’Alembert, dan Cindilac berusaha menghancurkan
tradisi dan takhyul dengan menggantungkan segala aspek wujud
manusia pada ketelitian alasan.
147
Lihat Khairul Anwar, 2011; Barry Clark,1988: Comporative. hal. 41-53.
Classical political economy adalah aliran pemikiran yang bertumpu pada
analisis institusi, sedangkan neoclassical economics menekankan pada
analisis individu; dan modern political economy merupakan jalan tengah
dari dua aliran pemikiran yang bertentangan
148
Clark B. 1998. Ibid. hal. 22 - 23

270 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Untuk membebaskan alasan dari belenggu tradisi yang ada,
para pemikir Enlightenment menuntut pembebasan individu
dari segala ikatan sosial, politik dan agama. Kemudian, manusia
hanya dapat memilih secara rasional tanpa noda prasangka,
kesetiaan atau takhyul, dan mereka akan memilih akan meng-
hapuslembaga-lembaga yang tidak dapat dihancurkan sebagai
wadah yang melayani kepentingan umat manusia.
Keempat, dalam kondisi demikian, ilmu pengetahuan
meningkat keunggulannya karena nampaknya memeberikan
sebuah metode untuk membedakan antara kebenaran dan
takhyul, hukum universal yang mengatur alam dan masyarakat.
Ilmu pengetahuan akan membebaskan umat manusia dari
tindakan sosial dan keprihatinan materi. Walaupun metode
ilmiah mula-mula diterapkan pada lingkungan eksternal,
metode ini lamakelamaan diarahkan kepada analisis keberadaan
manusia, pertama-tama untuk memahami fungsi fisik tubuh,
kemudian menyelidiki kerja pikiran. Kemudian pemahaman
prilaku manuisa, undang-undang, ilmu pengetahuan menjadi
dasar ilmiah untuk mengidentifikasi lembaga-lembaga sosial
yang ideal. Ilmu pengetahuan masyarakat ini disebut sebagai
Political Economy.149
Istilah aktual “Political Economy” diperkenalkan pada
1616 oleh penulis Perancis yaitu Antonyene de Monthcretien
(1571-1621) dalam bukunya yang berjudul Treatise on
Political Economy. Kemudian dalam bahasa inggris pertama
pada 1767 dengan diterbitkannya Inquiry into the Principles
of Political Economy oleh Sit James Steuwart (1712-1780).
Para ekonom politik awal itu berusaha mengembangkan
pedoman-pedoman dan menawarkan rekomendasi kebijakan
bagi usaha pemerintah untuk mendorong perniagaan. Pasar
masih relatif terbelakang pada waktu itu, sehingga pemeritah
149
Lihat Caporaso, James. A, Theories of Political Economy, Cambridge
University Press, New York, 1992.

ILMU PEMERINTAHAN 271


Disiplin dan Metodologi
aktif membuka area baru untuk perdagangan, penawaran
perlindungan dari persaingan, dan penyediaan kontrol atas
kualitas produk. Ide dan kebijakan yang dikembangkan untuk
tahap kapitalisme ini disebut sebagai “mercantilism”(Barry
Clark, 1998:22-23).

Gelombang Pemikiran
Gelombang sejarah pemikiran ekonomi-politik sudah
dimulai sejak abad 14, pada masa ini ditandai dengan peltakan
ide-ide dasar, pemikiran ekonomi-politik yang berlandaskan
cara pandang yang merkantilis. Arsitek-arsitek utamanya antara
lain, Voltaire, Diderot, D’Alembert, dan Cindilac. Namun,
kemudian mendapatkan bentuknya baru pada abad 18. Sejarah
perkembangan ekonomi politik abad 18 ini dikemukakan
dengan baik oleh Barry Clark dalam bukunya Political Economy
A Comparative Approach (1988), dan selanjutnya tulisan ini
menggunakan buku Clark sebagai acuan.
Menurut Clark, pertama muncul gelombang pemikiran
Classical political-economy yang yang dipelopori oleh Adam
Smith (1723-1790). Kedua, neoclassical economy arsiteknya
Carl Menger (1840-1841) dari Austria dan W. Stanley Jevons
(1835-1882) dari Inggris, dan ketiga, Political Economy
Modern.
Lebih jauh tentang sejarah perkembangan ekonomi-politik
abad 18 ini dapat dilihat pada Gambar 6.5 berikut.

272 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Neofascist Theory

Romanticism Corporatism
Edmund
Burke & Nationalism
Neoconservatism

Neo-Austrian
Austrian Economics
Classical Liberal Economics
Public Choice Theory
Perspective
New Classical
Economics
Modern Liberal New Keynesian Economics
Perspective
Cambridge
Neocorporation
Economics
Post. Keynesian Economics

Social Economics

Social Post. Marxian


Karl Marx
Democratic Theory
Theory
Institusional
Classical Political Economics
Neoclassical Economics
Economy

Sumber: Clark, dalam Anwar, 2011:24


Gambar 6.5 Sejarah Political Economy

EKONOMI-POLITIK KLASIK
Dalam sejarah literatur ekonomi-politik dapat dtemukan
bahwa Adam Smith (1723-1790)150adalah orang yang mem-
150
Lihat Barry, Clark, 1998, Political Economy, A Comparative Approach,
London, Praeger Publisher, hal. 43-45. Adam Smith (1723-1790) adalah orang
yang pertama yang mengartikulasi clasiccal liberalism kedalam bentuk
teori ekonomi dari bahasa politik Hobbes dan Locke. Pada zaman Smith,
pelanggaran politik di Great Britain telah banyak diselesaikan, dan tugas
yang ada adalah meningkatkan standar hidup materiil. Dalam bukunya yang
berjudul The Theory of Moral Sentiments (1759), Smith membantah bahwa
manusia mampu mengatasi kepentingan diri yang sempit dan memandang
situasi dari perspektif “impartial spectactor.” Kemampuan manusia untk

ILMU PEMERINTAHAN 273


Disiplin dan Metodologi
bentuk dasar pemikiran Political Economy klasik, melalui
bukunya yang berjudul The Wealth of Nation (1976). Buku
ini menyajikan kasus kebijakan pasar bebas sedemikian rupa,
sehingga dapat dianggap sebagai tonggak pemikiran ekonomi-
politik. Masa pemikiran ini kira-kira mulai dari 1776-pertengahan
abad ke 19. Awalnya Smith tertarik dengan adany potensi pasar,
kebebasan individu, dan peningkatan materi. Lalu gagasan ini
mendapat dukungannya dari Thomas Malthus (1766-1834),
David Ricardo (1722-1823), Nasau Senior (1790-1864), dan
Jean Baptise Say (1767-1831).
Teori ekonomi politik klasik ini mengkombinasikan spirit
optimis dan pesimis mereka tentang perekonomian pasar. Rasa
optimis memusatkan pada antisipasi bahwa pasar akan mem-
bangkitkan banyak kekayaan dan kebebasan individu tanpa perlu
pengawasan leh gereja atau negara. Dalam hal ni, asumsinya
jika belenggu batasan politik dan agama dihilangkan, maka
individu akan makmur akan sejahtera dan masyarakat akan tetap
teratur.
Selain ide di atas, Adam smith berulangkali menyataan
bahwa pasar tidak akan bekerja secara megic. Demikian pula
Maltus dan Ricardo lebih pesimis lagi. Dengan pertumbuhan
populasi yang cepat dan sulai tanah yang ada relatif tetap, mereka
memprediksi masa depan kehidupan yang tidak terelakkan bagi
sebgaian besar populasi. Tuan tanah akan sejahtera karena
mereka meneriam uang sewa yang lebih besar lag karena
meningkatnya permintaan tanah untuk menanam tanaman
pangan, tetapi keuntungan kapitalis berkurang karena mereka
terpaksa membayar upah tinggi sehingga pekerja mampu
simpati akan mengendalikan prilaku egois, agresif, dan menciptakan
masyarakat yang stabil. Namun Smith banyak memperhatikan bahwa
perekonomianpasar yang muncul membuka motif-motif yang kuat dan
berbahaya seperti ketamakan, iri hati, dan egois. Kejahatan agresif
kepentingan diri mengancam ikatan sosial dari simpati dan kepentingan
bagi orang lain. Dengan tekanan itu, Smith heran apakah kebaikan manusia
dapat mempertahankan godaan kekayaan.

274 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
membeli makanan yang lebih mahal. Sesbanarnya keuntungan
tidak akan cukup untuk memerikan insentif atau sarana motivasi
pada kapitalis untuk mengembangkan produksi, dan perekono-
miannya akan suram.
Walaupun prediksi-prediksi kemiskinan besar dan ham-
batan pertumbuhan, para ekonom klasik banyak tetap komitmen
terhadap laissez-faire. Masa depan akan suram, tetapu upaya-
upaya oleh pemerintah untuk memberikan campur tangan hanya
untuk memperburuk lagi situsi itu karena kecendrungan untuk
over populasi. Satu-satunya penyelesaian datang dari de popu-
lasi (penghambat pertumbuhan penduduk) yang disebabkan oleh
penyakit, kelaparan dan terang, atau dari pedagangan dengan
negara lain yang mempunyai bahan makanan yang murah dan
tanah yang yang luas.

EKONOMI-POLITIK NEOKLASIK
Akar sejarah ekonomi neoklasik muncul dari keterbatasan
Radicalism dan Conservatism. Radicalism menimbulkan
ketakutan penyitaan propertis swasta, sementara banyak yang
menganggap Conservatism sebagai ancaman terhadap demo-
krasi dan modernisasi. Meskipun menolak terhadap ide
radicalism dan conservative, political economy klasik151 tetap
151
Lihat Barry, Clark,1998, Ibid, hal. 31-33. Lihat Clark Barry, 1998, Jeremy
Bentham (1746-1832). Dalam mengembangkan dasar ilmiah teori sosialnya
Jeremy Bentham membantah pakar teori Clasiccal Liberal dalam me-
nggunakan istilah “Natural” untuk menjelaskan masyarakat yang baik. Ia
mendasarkan teorinya atas sistem etika yang disebut “utilitarianisme“.
Dalam bukunya yang berjudul An Introduction to the principles of Morals
and Legislation (1789). Ilmuwan ini mengklaim bahwa kesusahan dan
kesenangan adalah penentu perilaku manusia dan kriteria kebenaran dan
kesalahan. Bagi individu atau masyarakat secara menyeluruh, tindakan yang
paling baik adalah tindakan yang memaksimalkan kesenangan dan
memperkecil kesusahan. Walaupun Bentham mengakui ketidakmungkinan
mengukur kesenangan orang yang berbeda-beda dan menghitung akibat
sisial dari kebijakan tertentu, dia menyatakan bahwa para politikus harus
berusaha seolah-olah perhitungan semacam itu dapat dilakukan. Kemudian,
keputusan politik berdasarkan pada penilaian objektif dari akiba mereka.

ILMU PEMERINTAHAN 275


Disiplin dan Metodologi
berpengaruh selama abad 19 karena beberapa alasan. Pertama,
Revisi klasik tentang meningkatnya kemiskinan dan menurun-
nya pertumbuhan gagal terwujud. Kedua, penggunaan para
ekonom politik klasik karya Marx untuk menyerang kapita-
lisme menyebabkan ekonom politik mainstream mendisosiali-
sasikan diri dari Smith dan Ricardo. Akhirnya, kombinasi kelas
kerja yang kuat dan masalah sosial yang menyertai industria-
lisasi menciptakan permintaan baru atas intervensi pemerintah
untuk meningkatkan pendidikan, keamanan, kesehatan umum,
dan jaminan pekerjaan. Dalam menghadapi tekanan itu, ke-
bijakan laissez-faire semakain tidak populer.
Pada 1871, tiga pakar teori berikut secara simultan telah
mengembangkan teori baru ini. Carl Menger (1840-1941) dari
Austria, W. Stanley Jevons (1835-1882) dari Iinggris dan Leon
Walras (1934-1910) dari Switzerlandia telah mengubah fokus
political Economy dari sifat klasik dengan distribusi dan
pertumbuhan menjadi orientasi “neoklasik” yang hanya ber-
kenan dengan perilaku konsumen individu dan perusahaan-
perusahaan yang beroperasi di pasar-pasar kompeitif.
Untuk menekankan fokusnya pada pilihan individu, para
pakar teori neoklasik telah mengubah nama bidang studinya.
Jevons menunjukkan Political Economy sebagai “the old
troublesome double-worded name of our science” dan men-
desak para koleganya untuk menggantikan dengan istilah
“Economics”. Sarannya banyak diterima, dan pada awal abad
20 Economics neoklasik telah mencapai status dominan antara
perspektif-perspektif yang bersaing dalam Political Economy.
Para ekonom neoklasik berusaha membuat teori yang me-
nyesuaikan keilmiahan ilmu fisika. Untuk mecapai tujuan ini,
mereka menarapkan matematika sebagai metode analitik untuk
menerangkan pilihan produsen dan konsumen individu.
Dibawah kondisi persaingan sempurna, individu terkait dalam
jual beli yang saling menguntungkan samapai mereka mendapat
kepuasan yang sebesar mungkin dari sumber daya dengan

276 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
perintahnya. Dengan telah menunjukkan bahwa pasar bebas
mengakibatkan efisiensi, para ekonom neoklasik banyak me-
negaskan resep klasik laissez—faire sambil menghindari ide-
ide konflik kelas dan stagnasi ekonomi yang dapat ditolak.

EKONOMI-POLITIK MODERN
Menurut Jeffry Friden, modern political economy me-
rupakan jalan tengah dari dua aliran pemikiran yang ber-
tentangan, yaitu antara ekonomi klasik dan neo-klasik. Hasilnya
adalah gabungan antara analisis individu dengan analisis in-
stitusi. Dengan kata lain, walaupun pendukung pendekatan ini
menekankan pentingnya tingkah laku independent aktor indi-
vidual, kelompok ini juga mengakui bahwa tingkah laku individu
itu berlangsung dalam konteks institusi yang melingkupinya.
Para pendukung perspektif modern political economy,
memandang kebijakan adalah sebagai hasil interaksi berbagai
aktor yang berkepentingan dalam arena politik. Semua pihak
individu maupun kelompok yang terlibat dalam interaksi
tersebut diasumsikan rasional, yaitu aktor yang memaksima-
lisasi perolehan, utility maximization.152 Dalam upaya mencapai
tujuannya, aktor politik diasumsikan melakukan perhitungan
untung-rugi dengan seksama.

152
Frieden, 2000, hal. 37-38 dan Clark, 1988, hal. 25-38. Individu diasumsikan
sebagai utility maximizer, pemaksimal perolehan, akar pemikirannya dapat
dirunut dari dua arsitek classical political economy, yaitu Thomas Hobbes
(1588-1579) dan Adam Smith (1723-1790). Menurut filsuf Inggris, Thomas
Hobbes, manusia pada dasarnya digerakkan oleh keinginan dan kebutuhan,
tindakan individu yang mementingkan diri sendiri adalah bahagian sifat
dasar manusia, suatu kenyataan alamiah yang tak terhindarkan. Kenyataan
alamiah itulah satu-satu alasan bagi kehadiran instutusi pemerintahan.
Pembentukan institusi pemerintahan dianggap langkah rasional dalam me-
nyelesaikan berbagai persoalan kolektif. Sementara itu, Adam Smith
berpendapat bahwa manusia memiliki kemampuan terbatas dalam memenuhi
kebutuhannya sendiri. Untuk itu, manusia memerlukan mekanisme dalam
menyalurkan kepentingan diri, mekanisme penyaluran kepentingan diri itu
secara kolektif itu disebut pasar.

ILMU PEMERINTAHAN 277


Disiplin dan Metodologi
Menurut Frieden (2000), analisis modern political
economy mempunyai empat langkah teoritik, yaitu: 1) meng-
identifikasi siapa aktor, tujuan dan kepentingannya masing-
masing. Sebagai pendekatan yang memuat unsur “rational
choice”, “modern political economy” juga mengasumsikan
bahwa individu berfikir rasional dalam menetapkan tujuan dan
alternatif kebijakan yang akan dipilih, 2) menggambarkan
preferensi masing-masing aktor mengenai kebijakan yang
menangani suatu isu. Analisis preferensi ini didasarkan atas
berbagai kemungkinan alternatif pilihan oleh para aktor. Para
aktor akan memilih alternatif kebijakan yang dapat memak-
simalkan peluang keuntungan akibat penerapan kebijakan itu,
3) menguraikan bagaimana para aktor itu membangun koalisi
demi mencapai tujuan. Untuk kepentingan tersebut para aktor
melakukan konsolidasi internal dengan memanfaatkan sumber
daya politk dan ekonomi yang dimilikinya, dan 4) mendeskrpsi-
kan interaksi para aktor dengan berkoalisi kepada lembaga-
lembaga sosial lainnya. Langkah ini akan menggambarkan
dinamika politik yang berlangsung ketika para aktor bersaing
memperjuangkan kepentingannya. Dalam pergulatan inilah akan
tampak strategi, teknik, dan mekanisme yang dipakai para aktor
dalam pergulatannya di panggung politik.
Gambaran oleh Frieden ini sejalan dengan uraian para
peneliti lainnya mengenai keterlibatan aktor dalam pergulatan
politik proses kebijakan pemerintah di negara-negara dunia
ketiga, salah satu contohnya adalah karya Andrew MacIntyre.153
Studi MacIntyre ini relevan untuk dibicarakan demi mem-
pertajam kerangka analsis yang diajukan Frieden. Studi ini, pada
dasarnya bertumpu pada eksplanasi “interest-group politics”.
MacIntyre (1991) meneliti politik persaingan antar-
kelompok di Indonesia pada masa Orde baru yang menekankan
153
Andrew, McIntyre,1091. Busiiness and Politics In Indonesia, Asian Studies
Association of Australia in Association with Allen& Unwin, Sidney

278 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
interaksi antar kelompok. Dalam studi ini, MacIntyre me-
ngembangkan konsep “Bureaucratic Pluralism” dari Donald
Emmerson dan “Restricted Pluralism” dari R.William Liddle.
Menurut para ilmuwan politik pluralis ini, perpolitikan Orde
baru tidak sepenuhnya “solid” dan “tertutup”. Pertama, birokrasi
pemerintah pada masa itu tidak bebas dari perselisihan politik
internal. Berbagai kelompok dalam birokrasi, mewakili
kepentingan institusi (misalnya, departemen A versus de-
partemen B) atau individu (misalnya, menteri A atau menteri
B), memperjuangkan kepentingan politik yang berbeda,
walaupun dalam batas-batas yang ditolerir oleh sistem otoriter
itu. Dalam birokrasi masa otoriter itu masih dimungkin adanya
pluralism kepentingan politik. Emmerson menyebut fenomena
ini sebagai “bureaucratic pluralism.” 154 Kedua, proses
pembuatan keputusan waktu itu juga tidak kedap pengaruh dari
luar birokrasi, yaitu pengaruh dari para aktor non-negara. Dalam
sektor-sektor kebijakan yang secara politik dianggap tidak
strategis, yaitu tidak menyangkut isu keamanan nasional dan
isu politik tingkat tinggi lainnya, proses pembuatan kebijakan
itu bisa mentolerir pengaruh dari luar.
Studi Emmerson mengenai proyek industri di Sumatera,
pengkajian Liddle mengenai kebijakan pertanian beras dan gula,
dan penelitian McIntyre mengenai kebijakan pemerintah dalam
regulasi industri tekstil, farmasi dan jasa asuransi, yaitu sektor-
sektor penting dalam ekonomi tetapi tidak menyentuh isu
politik-keamanan, menunjukkan bahwa perpolitikan Orde baru
cukup pluralistik. Beberapa kelompok kepentingan bisa
mempengaruhi hasil akhir proses kebijakan publik. Dinamika
perpolitikan kelompok itu tercermin dalam proses kebijakan
itu. Hasil akhir proses kebijakan itu tidak hanya ditentukan
secara sepihak oleh pemerintah. Liddle menyebut fenomena
ini sebagai “restricted pluralism”. Berlangsung perpolitikan
154
Lihat MacIntyre,1991, hal.10-11

ILMU PEMERINTAHAN 279


Disiplin dan Metodologi
yang pluralis, tidak sekadar manolitik, tetapi terbatas hanya
dalam sektor-sektor yang non-politik dan non-keamanan.155
Dalam perpolitikan pluralistik, batas-batas aktor bersaing
memperjuangkan kepentingan masing-masing dan mem-
perebutkan sumberdaya politik yang ada sangat mudah dikenali
dalam perpolitikan Indoneisia di masa pemerintahan Presiden
Soeharto. Kekuatan suatu kelompok kepentingan diukur ber-
dasarkan banyaknya anggota, kekayaan, kemampuan organi-
sasional, dsb. Kelompok-kelompok kepentingan dibatasi oleh
sistem politik yang otoriter pada waktu itu. Otoriterisme itu
memungkinkan Presiden Soeharto untuk bersikap otonom dari
pengaruh kelompok-kelompok kepentingan di dalam birokrasi
maupun di luarnya. Otonomi pemimpin yang bertindak sebagai
personafikasi negara itu membuat proses pembuatan kebijakan
yang digambarkan oleh kaum pluralis sebagai “limited pluralism”.
Uraian MacIntyre ini sejalan pula dengan konseptualisasi
yang diajukan oleh Verdi R.Hadiz mengenai ekonomi-politik
Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Bagaimana sebenarnya
persaingan politik antar- aktor ini berlangsung dalam masa
transisi demokratik di Indonesia, digambarkan dengan baik oleh
Hadiz . Dalam buku ini, Hadiz (2002) mengembangkan konsep
“transisi demokratik” dari O’Donnell dan Schmitter.156 Menurut
para ilmuwan politik ini, transisi demokrasi di Indonesia
155
MacIntyre,1991, hal. 16-18
156
Lihat Hadiz, 2001, hal. 254-271). Literatur yang membahas mengenai transisi
demokratik ini sangat banyak. Namun ciri-ciri pokoknya secara ringkas dan
padat dipaparkan dalam Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter,
Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about
Uncertain Democracies, Baltimore: Jhons Hopkins University Press,1986,
Buku karya O’Donnell dan Schmitter membahas tentang transisi dari satu
rezim otoriter menuju ’suatu yang lain’ yang belum jelas. Sesuatu itu bisa
jadi adalah ditegakkannya demokrasi politik, bisa jadi pula pemulihan kembali
suatu pemerintahan otoriter baru yang kejam. Bisa pula jadi hasil akhirnya
semata-mata kekacauan, yakni rotasi kekuasaan pemerintah secara berganti-
ganti yang gagal memberikan suatu solusi yang mapan terhadap masalah
pelembagaan kekuasaan politik. Transisi-transisi tersebut bisa juga berkem-
bang menjadi merebaknya konfrontasi-konfrontasi kekerasan.

280 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
berhubungan dengan kepentingan-kepentingan kelompok-
kelompok yang “tumbuh” dan “berkembang“ sebelum kejatuhan
Soeharto.
Pertama, dalam tahun-tahun awal Soeharto memerintah,
para jenderal dan para menterinya beoperasi melalui klien
bisnis mereka. Dengan mengontrol lembaga-lembaga ’pemegang
kunci gerbang’ (gate-keepers) – antara lain Departemen
Kehutanan dan Perkebunan, Departemen Perdagangan, Badan
Urusan Logistik (Bulog), dan perusahaan minyak negara
(Pertamina) – para birokrat-politik yang berkuasa membagi-
bagikan lisensi perdagangan, kredit bank negara, konsens
kehutanan, dan kontrak-kontrak pasokan. Hubungan tersebut
bersifat simbiosis, dimana akses kepada perekonomian ditukar
dengan dana-dana yang digunakan untuk tujuan politik atau
pribadi dari para ’penjaga pentu gerbang’ Soeharto. Dalam
pertengahan 1980-an para aktor penjaga ini mulai mendirikan
kerajaan bisnis untuk keluarganya, membentuk sel politik baru
dalam dunia ekonomi, dan terlibat dalam aliansi korporatis
kilen-klien bisnis Cina.157
Dalam perkembangannya, kolusi para penjaga gerbang
Soeharto dan bisnis Cina meluas kesuma sektor perekonomian,
mereka menuai kecaman, termasuk di daerah-daerah. Menyadari
bahwa kekecewaan ini dapat memobilisasi sentimen xeno-
phobia anti-Cina, Soeharto terpaksa bergerak. mengajak para
tokoh bisnis untuk mentransfer 25 % saham kepada koperasi
hingga mengeluarkan kebijakan pematokan nilai tukar mata
uang dengan mendirikan badan mata uang. Selain itu, me-
manfaatkan mekanisme alternatif cadangan dukungan misalnya
Golangan Karya (Golkar), Ikatan Cedikiawan Muslim (ICMI),
dan sejumlah organisasi massa.158 Namun usaha Soeharto ini
gagal, aliansi kekuasaan mulai tercerai-berai, demonstrasi
157
Robison dan Hadiz, 2004, hal.103-105
158
Lihat Robison dan Hadiz, 2004, hal. 110-118

ILMU PEMERINTAHAN 281


Disiplin dan Metodologi
semakin berkembang, kondisi mulai tidak terkendalikan, dan
aknhirnya rezim otoriter terkapar. O’Donnell dan Schimitter
menyebut fenomena ini sebagai ’ sesuatu yang belum jelas.159
Penjelesan kedua, sejak kejatuhan Soeharto bulan Mei
1998, terjadi perebutan “decuptured” terhadap sistem politik
dan ekonomi antara kekuatan-kekuatan sosial dominan
misalnya, pimpinan partai politik, elit Jakarta, buruh, aktor
militer, jaringan pengusaha (Kadin atau Kadinda), dan Lembaga
Sosial Masyarakat (LSM) dan kekuatan oligarki yang teridiri
dari birokrat, pengusaha, dan keluarga-keluarga birokrat-
kapitalis termasuk keluarga Soeharto. Proses pergulatan ini
kemungkinan terjadi pula pada tingkat lokal, dimana kepen-
tingan lokal-yang terdiri dari tokoh-tokoh daerah, para
birokrat-politik, dan para pengusaha yang telah dimatangkan
di bawah sistem petronase Orde Baru memperebutkan kontrol
atas aparatur dan otoritas negara dalam hubungannya dengan
alokasi sumberdaya termasuk sumberdaya alam. Proses politik
ini berlangsung dalam konteks perubahan politik dan ekonomi
yang sebahagian besar diarahkan oleh kepentingan- kepentingan
predatoris160 yang dipupuk dibawah orde baru, yang kini tengah
berupaya untuk mengamankan kekuasaan mereka melalui
kebijakan dan aliansi-aliansi baru yang berubah-rubah di dalam
lingkungan politik yang umumnya lebih cair dibandingkan
sebelum tahun 1999. O’Donnell dan Schmitter menyebut
fenomena ini sebagai ’masalah kelembagaan kekuasaan politik’.
Konseptualisasi Hadiz diatas sekaligus memberikan
gambaran uraian para peneliti politik lokal di Indonesia masa
transisi, misalnya kajian Verdi R. Hadiz dan Richard Robison.
Studi ini menguraikan tentang konstelasi kekuasaan dan
kepentingan pasca runtuhnya Orde Baru. Menurut Hadiz dan

159
Lihat Hadiz, 2002, hal.257.
160
Istilah predatoris dipakai Hadiz dimaksudkan untuk menggambarkan rezim
ORBA yang bersaing dengan memilih cara memangsa rakyatnya sendiri.

282 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Robison (2002). Pertama, Disain politik lokal pasca runtuhnya
Soeharto mengindikasikan adanya konstelasi kekuasaan dan
kepentingan tertentu setelah runtuhnya Orde Baru. Aspek yang
paling menonjol dalam konstelasi ini adalah bahwa berbagai
kepentingan aktor dibesarkan dibawah sistem pentronase rezim
Soeharto yang begitu luas dan terpusat – yang menjalar dari
istana Kepresidenan di Jakarta hingga ke provinsi-provinsi,
kota-kota dan desa-desa - sebahagian besar masih terus hidup
dan berpengaruh. Pada tingkat lokal, dimana kepentingan lokal-
yang terdiri dari tokoh-tokoh daerah, para birokrat-politik, dan
para pengusaha yang telah dimatangkan di bawah sistem
petronase Orde Baru memperebutkan kontrol atas aparatur dan
otoritas negara dalam hubungannya dengan alokasi sumberdaya
(alam).
Dalam perkembangan masa transisi, para tokoh oligarki
ini dirampas akses ekonomi-politiknya oleh tokoh-tokoh
informal pusat-lokal seperti pimpinan partai politik, kekuatan
preman, elit ekonomi dan politik Jakarta, LSM, dan organisasi
massa lainnya. Dalam kondisi politik lokal yang cair, para aktor
yang bergulat ini berkoalisi dengan lembaga-lembaga sosial
yang dianggap dapat memaksimalkan keuntungannya. Para aktor
ini berebut kekuasaan dan sumberdaya (alam) mengorganisir
kepentingan melalui koalisi-koalisi baru, baik secara nasional
maupun lokal. Melalui kontrol atas parlemen dan partai politik,
melalui aliansi bisnis para aktor membangun jaringan patronase
baru, saling bersaing,dan terkadang tumpang tindih. Singkatnya,
desentralisasi memungkinkan munculnya kebijakan publik
yang lebih terlokalkan yang berbeda dari masa Soeharto, relatif
otonom dari otoritas pusat negara.
Kedua, Jenis-jenis kepentingan apa yang menginginkan
kendali atas sumber-sumberdaya (termasuk sumberdaya alam)
lokal? Seperti yang telah diungkapkan diatas, bahwa banyak
pemain-pemain penting dalam perpolitikan lokal melalui

ILMU PEMERINTAHAN 283


Disiplin dan Metodologi
jaringan petronase Orde Baru yang menggurita itu, mulai dari
Cendana hingga sampai ke desa-desa. Kendati sistem
sentralisasi sudah tidak ada lagi, namun elemen-elemennya
telah menata kembali diri mereka di dalam jaringan petronase
baru yang bersifat desentralistik, lebih cair dan saling bersaing
satu dengan yang lain. Dewasa ini ada sederetan kepentingan
yang sekarang di tingkat lokal yang saling berebutan yang
tampak lebih bervariasi dibandingkan pada masa Soeharto. Di
dalamnya termasuk para pialang dan bandar politik yang
ambius, birokrat negara yang lihai dan masih bersifat predatoris,
kelompok-kelompok bisnis baru yang berambisi tinggi, serta
beraneka ragam gengster politik, kaum kriminal, dan barisan
keamanan sipil. Kebanyakan dari kelompok-kelompok ini
dibesarkan oleh rezim lama sebagai operator dan pelaksana
lapangan mereka.161 Kelompok-kelompok kepentingan mana
yang berhasil atau gagal didalam pergulatan politik ini
ditentukan oleh koalisinya dengan kelompok-kelompok yang
memiliki akses sumberdaya yang lebih besar terutama sumber
daya keuangan, dan akses ke aparat kekerasan dalam politik
lokal.
Dalam konteks dinamika politik lokal, seperti yang
diuraikan Hadiz dalam studinya di Sumetara Utara, dan
umumnya terjadi di berbagai daerah termasuk Riau. Menurut
Hadiz muncul berbagai aktor-aktor politik baru seperti, para
pengusaha kecil atau tingkat menengah yang paling tidak
sebagian tergantung kepada proyek dan kontrak negara, politisi
profesional dengan kaitan khusus ke partai-partai orde baru,
atau aktivis yang terkait dengan organisasi semacam Himpunan
Mhasiswa Islam (HMI), Komite Nasional Pemuda Indonesia
(KNPI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI),
GMKI, yang melalui mereka orde baru secara rutin merekrut
kader-kader dan bandar politik baru. Yang tidak kalah penting
161
Lihat Hadiz, Ibid, 2002, hal.244

284 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
yaitu orang-orang yang bertindak sebagai kaki-tangan rezim
lokal melalui organisasi seperti Pemuda Pancasila. Pendatang-
pendatang yang relatif baru ini pun mampu meningkatkan
pengaruh mereka dengan cara mendekatkan diri mereka kepada
tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok yang beruntung
memiliki sumber daya yang lebih besar dalam hal akses uang,
dan yang penting lagi, akses aparat kekerasan. Yang menarik
lagi, kebanyakan aktor-aktor ini tidak selamanya berpandangan
bahwa kekuasaan politik di tingkat subprovinsi adalah sebagai
batu loncatan alamiah menuju perpolitikan tingkat provinsi atau
nasional, karena mereka semakin merasakan bahwa otonomi
daerahpun mampu menyediakan kesempatan yang menguntung-
kan bagi aktivitas pemburu-rente di tingkat provinsi itu sendiri.162
Dengan demikian politik persaingan antar aktor dalam
konteks dinamika politik lokal adalah suatu fenomena yang
penting dan universal. Proses ini terjadi sebelum maupun
setelah kejatuhan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Per-
saingan politik antar aktor baik berupa individu mapun kelompok
yang berusaha meperjuangkan masing-masing kepentingannya,
pada dasarnya menjadi “energi” bagi pembuat keputusan dan
pelaksana kebijakan, dan akhirnya mendorong terjadinya
dinamika politik lokal. Karena proses pergulatan politik itu
tidak hanya dapat mengasilkan berupa tuntutan atau penolakan,
tetapi dapat pula menghasilkan berbagai dukungan. Tuntutan
dan dukungan ini berasal baik dari aktor birokrasi maupun para
aktor non-pemerintah. Dalam perkembangannya (termasuk
pada masa transisi), dimungkinkan bahwa penolakan dan
dukungan aktor ini selain mempengaruhi hasil kebijakan, dapat
juga dipengaruhi oleh akibat kebijakan. Dalam proses per-
gulatan inilah akan tampak strategi, koalisi, negosiasi, pilihan-
pilihan, dan mekanisme yang dipakai para aktor dalam per-
gulatannya di panggung politik. Pada akhirnya, proses ini akan
menggambarkan dinamika politik yang berlangsung.
162
Lihat Hadiz, 2002, Ibid, hal.245

ILMU PEMERINTAHAN 285


Disiplin dan Metodologi
Selain itu, politik persaingan antar aktor ini tidak saja
berlangsung dalam sistem politik dan ekonomi yang sudah
maju, tetapi terjadi juga dalam sistem poilitik dan ekonomi
yang tidak maju seperti Indonesia 1980-an dan 1990-an, suatu
masa yang lebih diwarnai oleh otoritarianisme, dimana ke-
bijakan publik seringkali diputuskan oleh seseorang pimpinan
puncak. Demikian pula, persaingan politik itu terjadi pada masa
transisi, suatu masa yang ditandai dengan ketidakpastian, di
tengah-tengah masyarakat lokal yang lebih cair dibandingkan
1998. Dalam perpolitikan ini, ada ‘peluang para aktor bersaing
memperjuangkan kepentingan yang berbeda-beda (atau ber-
benturan), walaupun dalam batas-batas yang ditolerir oleh
sistem pemerintahan Orde Baru yang otoriter atau pemerintahan
pasca Orde Baru.
Dengan kata lain, dalam pemerintahan Orde baru atau
pemerintahan pasca Orde Baru masih dimungkinkan adanya
pluralisme kepentingan politik, walaupun pengaruhnya dibatasi
pada sektor-sektor kebijakan yang secara politik dianggap tidak
strategis, yaitu tidak menyangkut isu keamanan nasional dan
isu politik tingkat tinggi lainnya. Kelompok kepentingan mana
yang berhasil atau gagal dalam persaingan itu, ditentukan oleh
keberhasilannya dalam membangun koalisi dan negosiasi antar
kelompok.

286 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
BAB 7
POSITIVISME &
BEHAVIORALISME

Dalam bab ini akan diketengahkan uraian behavioralisme


dan positivisme.1 Penjelasan ini terkait dengan spektrum se-
jarah, model, serta kritik terhadap kemampuan behavioralisme
dan positivisme dalam menjelaskan kemungkinan fenomena
politik dan pemerintahan dewasa ini.
Prestasi behavioralisme yang dapat dicatat dalam perkem-
bangan ilmu politik dan pemerintahan menurut S.P. Varma
(1999)2 telah memberikan kesan terjadinya dua revolusi, yaitu
baik dalam hal teori maupun teknik-teknik penelitian ilmiah.
Prestasi ini dipandang sangat dipengaruhi oleh filsafat positi-
visme seperti yang dialami oleh ilmu pengetahuan lainnya.
Mengapa? secara umum karena adanya kesamaan perspektif
terhadap “fakta” sosial yang “rasional”.
1
Lihat Andrew Heywood. 2014. Politik. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal.21-
22. Yang dimaksud behavioralisme dalam buku ini adalah keyakinan bahwa
teori-teori sosial harus dibangun di atas landasan dan perilaku yang dapat
diamati,menyediakan data yang terukur untuk penelitian. Sementara itu,
positivisme adalah teori bahwa penelitian sosial, dan sungguh semua bentuk
penelitian, harus menganut kepada metode-metode dari ilmu pengetahuan
alam.
2
Sebahagian ilmuwan melihat sebagai titik puncak perkembangan ilmu politik

ILMU PEMERINTAHAN 287


Disiplin dan Metodologi
FILSAFAT POSITIVISME
Auguste Comte (1798-1857) sering disebut “Bapak
Positivisme”, karena aliran filsafat yang didirikannya disebut
sebagai “positivisme.” Arti positif bagi Auguste Comte adalah
nyata, baginya ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat
serta diarahkan untuk mencapai kemajuan. 3 Adalah sangat
berkaitan dengan prnsip-prinsip kaum behavioralisme yang
berupaya menjadikan ilmu politik sebagai ilmu pengetahuan
yang ilmiah yang berorientasi pada teori dan pengembangan
teknik-teknik penelitian sehingga bermanfaat bagi kemajuan
kehidupan.
Bagi mashab positivisme proses penelitian dikerjakan
dalam dua tahap, yaitu tahap pertama membuat dugaan (hipo-
tesis) tentang penyebab terjadinya masalah lewat teori-teori
dan hasil penelitian yang telah dikaji kebenarannya secar ra-
sional dengan penalaran deduktif.Tahap kedua adalah menguji
hipotesis yang telah disusun dengan metode empiris, misalknya
dengan melaksanakan pengamatan (observasi), percobaan
(eksprimen, membandingkan dengan penelitian lainnya
Menurut tradisi pemikiran positivisme, suatu teori tidak
dapat lain kecuali harus dapat menjelaskan hubungan antara satu
gejala sosial dengan gejala sosial lainnya, dengan menge-
nyampingkan sifat subjektif dari individu-individu. Untuk
membuktikan suatu teori tertentu, kaum pendukung mashab
positivisme mencari fakta-fakta dan hubungan kausal gejala-
gejala sosial melalui metode kuantitatif yang membuktikan
hubungan antara variable secara matematis dan statistik atau
secara eksak Dengan demikian, keterkaitan behavioralisme dan
positivisme tampak tidak hanya dalam filosofi, sifat dan tujuan
akan tetapi mencakup pula metode.

3
Mantra, Ibid. 2004. hal.22

288 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
KAITAN POSITIVISME DAN BEHAVIORALISME
Secara umum gambaran keterkaitan metodologi behavio-
ralisme yang didukung oleh mashab positivisme dengan teori
“pilihan rasional” adalah terletak pada cara pandang bahwa
manusia itu adalah “rational”. Keyakinan ini diperkuat akan
penerapan model-model matematik dalam penelitian politik.
pola-pola umum analisis formal ekonomi yang menyatakan
individu-individu mencoba memaksimumkan keuntungan
mereka sendiri,yang dalam politik “pilihan rasional” cenderung
menjadi dasar teori “bargaining.” Meskipun demikian “rasiona-
litas” dalam politik sangat relative. Sebab secara luas, perilaku
dikatakan rasiuonal bila perilaku sesuai dengan perhitungan dari
sarana yang paling baik dalam memperoleh tujuan-tujuan yang
dipilih.4 Padahal sesuatu rasional tidak hanya memiliki satu
keuntungan tunggal tapi memiliki untung-rugi jamak misalnya,
psikologis, moneter, kekuasaan, status dan sebagainya. Dengan
demikian penguatan teori ini dapat dilakukan dengan peng-
gunaan teknik-teknik penelitian dan analisis statistik yang tepat
seperti yang diusung kaum positivisme.

CIRI-CIRI BEHAVIORALISME
Ada sejumlah ciri khas pendekatan behavioralis, yaitu
suatu orientasi kuat untuk lebih mengilmiahkan ilmu politik.5
David Easton dan Albert Somit, dalam Budiardjo (1986) me-
nyampaikan bahwa orientasi untuk mengilmiahkan ilmu politik
tersebut mencakup beberapa konsep pokok diuraikan sebagai
berikut:
1. Perilaku politik menampilkan keteraturan (regularitas).
Keteraturan ini harus dirumuskan dalam generalisasi.
2. Generalisasi-generalisasi ini pada dasarnya harus dapat
4
Amal,1999, hal.142
5
Miriam Budiardjo, 1986. Pendekatan-pendekatan Dalam Ilmu Poltik, dalam
Jurnal Ilmu Politik, No.1., hal.6-7

ILMU PEMERINTAHAN 289


Disiplin dan Metodologi
dibuktikan keabsahan atau kebenarannya (verification). Hal
itu dilakukan dengan menunjuk pada perilaku yang relevan.
3. Teknik-teknik penelitian yang cermat harus digunakan untuk
mengumpulkan dan menganalisis data.
4. Pengukuran dan kuantifikasi (antara lain melalui statistik
dan matematika) harus digunakan untuk mencapai kecer-
matan dalam penelitian.
5. Harus ada usaha untuk membedakan secara jelas antara
norma (ideal atau standar yang harus menjadi pedoman
untuk tingkah laku) dan fakta (sesuatu yang dapat dibuktikan
berdasarkan pengamatan atau pengalaman). Lagi pula, dalam
membuat analisis politik nilai-nilai pribadi si peneliti
sedapat mungkin tidakmain peranan (value free). Sebab
benar/tidaknya nilai-nilai (seperti demokrasi, persamaan,
kebebasan, dan sebagainya) tidak dapat ditentukan secara
ilmiah. Nilai-nilai seperti ini berada di luar cakupan pene-
litian yang wajar. Berdasarkan titik tolak ini, ilmuwan politik
sebaiknya meninggalkan masalah-masalah besar, kecuali
bilamana perilaku yang berasal dari atau berkaitan dengan
masalah-masalah ini tercermin dalam pemungutan suara.
(Anggapan bahwa ilmu politik tidak berurusan dengan norma
dan etika merupakan salah satu aspek yang paling pelik
dalam pendekatan perilaku).
6. Penelitian harus bersifat sistimatis dan berkaitan erat
dengan pembinaan teori.
7. Ilmu politik harus bersifat murni (pure science) dalam arti
bahwa usaha untuk memahami dan menjelaskan perilaku
politik harus mendahului usaha untuk menerapkan penge-
tahuan itu bagi penyelesaian masalah-masalah sosial
(termasuk tentunya masalah-masalah pemerintahan),
maupun program-program yang bermaksud memperbaiki
keadaan. Bagi para penganut pendekatan perilaku, usaha-
usaha seperti hanya sedikit memberi sumbangan pada
pengetahuan ilmiah dan mencerminkan penghamburan
tenaga, sumberdaya dan perhatian.

290 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
8. Dalam mengadakan penelitian politik diperlukan sikap
terbuka serta integrasi dengan konsep-konsep dan teori dari
ilmu lainnya. Dalam proses interaksi dengan ilmu-ilmu
sosial lainnya telah muncul istilah-istilah baru seperti yang
telah berkembang pada sosiologi dan antropologi, misalnya
sistem politik, fungsi, peranan, struktur, budaya politik, dan
sosialisasi politik, disamping istilah lama seperti negara,
kekuasaan, jabatan, lembaga, pendapat umum, dan pendidikan
kewarganegaraan (citizenship training).
Dengan pendekatan behavioralisme baru ini ilmu politik
semakin maju dengan data empirik, satuan analisis bergeser
dari lembaga ke manusia atau pelaku (aktor), atau dari struktur
ke proses. Perkembangan ini berpengaruh pada keterkain bidang
ilmu lainnya terutama ilmu ekonomi dengan teori “pilihan-
rational” (rational choice).

TEORI PERMAINAN (game theory)


Selain itu terapat teori yang mempunyai pengaruh besar
terhadap awalnya para ilmuan politik, kemudian mewarnai
analisi kajian ilmu pemerintahan modern, yaitu teori tentang
permainan (game theory). Menurut Jack Palano (1973), teori
ini didefinisikan sebagai sekumpulan pemikiran yang meng-
uraikan strategi keputusan yang rasional dalam situasi konflik
dan kompetisi, ketika masing-masing peserta atau pemain saling
berusaha memperbesar keuntungan dan memperkecil kerugian.
Teori ini dikembangkan Emil Barel pada tahun 1920 dengan
suatu kepercayaan pada penggunaan model-model matematis
dalam penyelidikan politik dan tindakan rasional perilaku
manusia. Apabila diamati keyakinan ini pula sekaligus meng-
gambarkan keterkaitan antara teori pilihan rasional dan teori
permainan dalam bingkai metodologi behavioralisme.
Menurut alur logika teori permainan ini bahwa misalnya
hubungan Negara dan masyarakat dapat digambarkan seolah-
olah seperti orang yang melakukan permainan catur, bridge,

ILMU PEMERINTAHAN 291


Disiplin dan Metodologi
atau domino. Setiap pemain dalam permaianan ini harus me-
nentukan tindakan pilihannya setelah mempelajari sudut
pandang pemain yang lain. Keputusan diambil ketika masalah
tidak saja dilihat dari sudut pandang sendiri, akan tetapi juga
sudut pandang pemain yang lain. Jadi titik sentral teori ini
adalah saling ketergantungan yang rasional dari keputusan-
keputusan para pemain yang berperan dalam permainan ini.
Menurut Mohtar Mas’oed (1990), ada dua asumsi dasar teori
ini, pertama yang melandasi model teoril ini adalah bahwa para
pemain berprilaku rasional, yaitu memilih strategi atas dasar
pertimbangan untung rugi dalam pencapaian tujuan yang jelas.
Asumsi kedua adalah bahwa para pemain yang berhadap-
hadapan itu punya kepentingan yang bertentangan, walaupun
hanya sebahagian. Dua asumsi tersebut saya kira dapat digunakan
untuk menggambarkan keterkaitan teori permainan dan teori
pilihan rasional.

292 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
BAB 8
POST-BEHAVIORALISME
DAN POST-POSITIVISME

Dalam bab ini akan diketengahkan uraian post-behavio-


ralisme dan post-positivisme terkait spektrum sejarah, model,
serta posisi teoritik behavioralisme dan positivisme dalam
menjelaskan kemungkinan-kemungkinan fenomena politik dan
pemrintahan dewasa ini.

DEFINSI
Post-behavioralisme1 dapat diartikan sebagai gerakan
menciptakan suatu ilmu politik dan (termasuk ilmu pemerinta-
han) yang diarahkan bukan kepada indokrinasi manusia serta
kepada petunjuk-petunjuk keilmuan. Tetapi ilmu politik yang
dapat melayani kaum miskin, tertindas, dan terkebelakang dalam
perjuangannya melawan hirarki kelompok elite serta bentuk-
bentuk manipulasi kelembagaan yang telah mapan.

1
Lihat Maswadi Rauf, 1996. Teori-Teori Politik Dewasa Ini, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 60-61. Mazhab pasca tingkah laku mengkritik pende-
katan tingkah laku yang mekankan terlalu besar pada analisis peranan warga
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah.
Penakanan seperti itu dianggap mengabaikan peranan pemerintah.

ILMU PEMERINTAHAN 293


Disiplin dan Metodologi
Dalam sejarahnya, gerakan ini dinamakan “revolusi pasca
perilaku (post-behavioral revolution) pada pertengahan dasa-
warsa 1960-an. Gerakan ini mencapai puncaknya pada akhir
dasawarsa ketika berlangsungnya perang Vietnam. Pada dasa-
warsa ini muncul berbagai masalah yang meresahkan masyarakat,
seperti masalah lomba persenjataan, diskriminasi ras yang tidak
ditangani apalagi diselesaikan oleh sarjana penganut pendekatan
perilaku. Bagi pendekatan pasca perilaku perlunya memper-
juangkan relevance and action (relevansi dan tindakan).
Gerakan post-behavioraisme tidak sepenuhnya menolak pen-
dekatan behavioralisme, hanya mengecam praktek dari sarjana
perilaku.2 Sikap ini nampak dalam tulisan David Easton tahun
1969, “The New Revolution in Political Sceince” dinamakan
suatu credo of.

POKOK PIKIRAN
Relevansi dengan pokok-pokok pikirannya adalah sebagai
berikut:3
1. Dalam usaha mengadakan penelitian empiris dan kuantitatif,
ilmu politik menjadi terlalu abstrak dan tidak relevan dengan
masalah sosial yang dihadapi. Padahal lebih mendesak untuk
menangani masalah sosial yang gawat daripada meraih
kecermatan dalam penelitian. Relevansi pada problema-
problema yang dihadapi masyarakat lebih penting daripada
kecermatan.
2. Pendekatan perilaku secara keseluruhan bersifat konservatif,
sebab terlalu menekankan keseimbangan dalam suatu sistem
dan kurang memberi peluang untuk perubahan (change).
3. Penelitian tidak boleh menghilangkan nilai-nilai, malahan
perlu mendapat bahasan. Dengan perkataan lain, ilmu tidak
bisa netral dalam evaluasinya (value free).
2
Miriam Budiardjo, Jurnal Ilmu Politik No.1. Op.cit, 1986., hal.8
3
David Easton, The New Revolution in Political Science, dalam Budiardjo,
Ibid, 1986., hal.8-9

294 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
4. Para cendikiawan mempunyai tugas yang historis dan unik
untuk melibatkan diri dalam usaha mengatasi masalah-
masalah sosial dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.
5. Pengetahuan membawa tanggung jawab untukbertindak dan
sarjana harus engage atau comitted untuk secara aktif
mengubah bentuk masyarakat (reshape society) dan mem-
bentuk masyarakat yang lebih baik. Sarjana harus action-
oriented.
6. Para cendekiawan tak boleh menghindari perjuangan dan
harus turut mempolitisasi organisasi-organisasi profesi dan
lembaga-lembaga ilmiah.

PENDEKATAN
Pendekatan post-behavioralisme ini dapat dikelompokkan
kepada tiga pendekatan, yaitu pendekatan (A). marxis, B)
koporatisme, dan (C) pendekatan negara (yang dalam literatur
disebut sebagai pendekatan statis).4 Beberapa pendekatan ter-
sebut adalah sebagai berikut:
(A) Pendekatan marxis (juga bisa disebut neo-marxis atau
New Left) dapat dianggap sebagai pendekatan-pendekatan yang
menjadikan negara dan peranannya sebagai fokus utama
kajiannya. Pendekatan Marxis diwarnai oleh pemikiran-pe-
mikiran Karl Marx. Kebangkitan pemikiran Marx di kalangan
ilmuwan sosial Amerika Serikat pada dasawarsa 1960-an
dianggap oleh Easton sebagai kebangkitan yang ketiga kalinya.
Yang pertama terjadi pada masa Karl Marx masih hidup; kedua,
pada dasawarsa 1930-an dan 1940-an; dan ketiga pada masa
setelah dasawarsa 1960-an.5 Kebangkitan tersebut ditandai oleh
banyaknya para ilmuwan sosial (termasuk ilmuwan politik) yang
menggunakan pola pikir Marx untuk menganalisis masyarakat.
Sejalan dengan popularitas pola pikir Marxis tersebut, di
4
Lihat Maswadi Rauf, 1996, Op.Cit., hal.59
5
David Easton, The Political System Besieged by the State,Political Theory,
No.3, Agustus 1981, dalam Rauf.1981, ibid., hal.66

ILMU PEMERINTAHAN 295


Disiplin dan Metodologi
kalangan ilmuwan politik Amerika Serikat terjadi peningkatan
peningkatan peranan para ilmuwan politik yang beraliran
marxis. Peningkatan peranan para ilmuwan politik marxis dan
para pendukungnya terjadi pada tahun 1967 dengan ter-
bentuknya The Caucus for A New Political Science (CNPS).
Menurut Albert Somit dan Joseph Tanenhaus, dalam Rauf
(1996) menyatakan bahwa para pendukung kelompok CNPS
ternyata tidak hanya berasal dari ilmuwan politik yang beraliran
marxis, tetapi juga dari mereka yang berasal dari kelompok
kelompok feminis, radikal, dan anti behavioralis. Yang mem-
persatukan mereka adalah ketidakpuasan terhadap kelompok
ilmuwan politik behavioralis yang dominan dalam American
Political Science Association (APSA) disamping,disamping
seperti yang ditulis oleh Somit dan Tanenhaus, to Convert the
Association from a non-partisan group interested in the
study of things into an instrument for facilitating social cange.6
Masih menurut Rauf, bahwa tahun 1967-1976 adalah era
jayanya CNPS di Amerika. Sejak 1976, pengaruh kelompok
dessident dalam APSA mengalami kemunduran. Hal ini terjadi,
karena kelompok CNPS dinilai tidak memiliki tujuan, para-
digma yang jelas dan alternatif baru yang diperjuangkan.
Alternatif pemikiran yang ditawarkan CNPS ini dinilai kurang
realistis, sehingga dinilai terlalu utopis. Pada hal tahun 1972
dalam pemilihan presiden dan wakil presiden APSA, kelompok
CNPS menduduki jabatan wakil presiden dan sekretaris APSA.
Kelompok ini hanya kalah 59 suara dari 6.471 suara. Walaupun
CNPS sebenarnya memiliki pendukung yang cukup besar
didalam APSA, namun tujuan yang ingin dicapai CNPS yaitu
menghapus ilmu politik yang ada dan diganti dengan ilmu
politik versi baru yang mereka namakan political social science.7

6
Maswadi Rauf, 1996. Ibid. hal.66-67
7
Marvin Surkin dan Alan Wolfe,”Introduction: An End to Political Science”
dalam Rauf, 1996. Ibid.hal 67

296 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Menurut CNPS, ilmu politik selama didominasi oleh kaum
behavioralis telah menjadi konservatif dan diabdikan untuk
kelanggengan “the dominant institutional and ideological
interes of American Society.”8 Banyak ilmuwan politik yang
meneliti untuk kepentingan CIA dan Departemen Pertahanan
Amerika Serikat. CNPS menuduh para ilmuwan politik beha-
vioralis telah menggunakan ilmu politik untuk memperkuat
liberalisme di Amerika Serikat. Para ilmuwan behavioralis
dituduh melakukan penelitian-penelitian yang tidak diabadikan
untuk rakyat miskin, tetapi untuk kepentingan pemerintah
Amerika Serikat dan kelompok pendukungnya. Mereka cende-
rung memanipulasi umat manusia (terutama kelas bawah),
bukan membebaskan mereka.
Menurut Rauf (1996) dari kutipan-kutipan diatas dapat
dilihat warna Marxis di dalam pola pikir CNPS. Penghapusan
secara total establisment (dalam hal ini ilmu politik dan APSA)
yang terlihat jelas ditentang melalui perjuangan intensif. Warna
idiologi yang anti liberalisme juga terlihat disini. Pretensi untuk
membela kelas miskin juga tidak lupa disinggung, sama halnya
dengan disebutnya ciri imperialisme dalam peranan AS di dunia
internasional. Dengan demikian, polemik antara ilmuwan be-
havioralis dan Marxis dilatarbelakangi perbedaan idiologis yang
tajam.
(B) Pendekatan Korporatis dapat dianggap sebagai
pendekatan-pendekatan yang menjadikan negara dan peranannya
sebagai fokus utama kajiannya. Pendekatan korporatis ini
diwarnai oleh studi mengenai kelompok penekan (pressure
group) atau kelompok kepentingan (interest group). Jika
polemik antara ilmuwan post-behavioralis dan marxis dilatar-
belakangi perbedaan idiologis yang tajam. Sebaliknya polemik
para ilmuwan pendekatan pasca tingkah laku dengan pendekatan
korporatis tidak melahirkan dengan para pengikut pendekatan
8
Marvin and Alan Wolfe,dalam Rauf,1996.hal.67

ILMU PEMERINTAHAN 297


Disiplin dan Metodologi
behavioralis, karena ada anggapan bahwa pendekatan korporatis
dianggap tidak berbeda jauh dari studi-studi ilmu politik.
Menurut Rauf (1996) bahkan Gabriel Almond berpandangan
pendekatan korporatis posisinya memperkuat pendekatan
behavioralis. Selanjutnya pakar ilmu politik ini menyatakan
bahwa munculnya pendekatan korporatis adalah gelombang
ketiga dalam studi ilmu politik setelah pada dekade 1920-an
muncul gelombang pertama minat untuk mempelajari ke-
lompok kepentingan yang dipelopori oleh publikasi Odegard
dan Harring. Dalam perkembangannya, tahun 1950-an dan
1960-an terjadi gelombang kedua dalam studi ilmu politik,
aktor utama yang mempelopori gelambang ini adalah Social
Science Research Council (SSRC), kelompok ini banyak me-
lakukan riset tentang kelompok penekan dan kelompok ke-
pentingan di berbagai negara baik negara barat maupun dunia
ketiga.
Selanjutnya Almond, dalam Rauf (1996) menyatakan
bahwa gelombang ketiga terjadi dalam dasa warsa 1970-an yang
juga dapat disebut sebagai neo-korporatis. Kemunculan ge-
lombang ini adalah adanya krisis politik-ekonomi yang
membuat semakin besarnya peranan kelompok penekan. 9
Dauglas Chalmers menguraikan adanya perbedaan warna
idiologi yang menjadi latar belakang perbedaan antara
pendekatan korporatis dan pendekatan tingkah laku. Menurut
Chalmers, perdebatan dua pendekatan ini terkait issu pluralisme
daan korporatisme. Konsep pluralisme10 didasarkan pada fakta
adanya kelompok-kelompok kepentingan di dalam masyarakat
yang kontrol oleh negara. Inisiatif dan daya gerak masyarakat
9
Gabriel A. Almond,”Corporatism, Pluralism, and Profesional Memory, dalam
Maswadi Rauf, 1996. Teori-Teori Politik Dewasa Ini, Op.cit., hal.69-70
10
Lihat Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.,
hal. 102-103. Yang dimaksud pluralisme ialah suatu sistem yang memungkinkan
semua kepentingan dalam masyarakat bersaing secara luas untuk mem-
pengaruhi proses politik sehingga tercegah terjadinya suatu kelompok,
mendominasi kelompok lain.

298 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
berasal dari kelompok-kelompok ini yang dijalankan oleh
pihak swasta. Pluralisme menempatkan bergaining dan kon-
frontasi antara kelompok-kelompok sebagai pusat perhatian
dan melihat hubungan antara kelompok adalah hal yang
terpenting. Sebaliknya korporatisme, ide besarnya menomorsatu-
kan negara, dan kepentingan kelompok berdasarkan hubungan
dengan negara. Pendekatan ini beranggapan bahwa hubungan
antara negara dan kelompok berada dalam kontrol negara dan
kehidupan kelompok-kelompok itu dibentuk oleh hubungan
tukar menukar dengan negara.11
Peran negara begitu dominan, dominasi negara terhadap
kelompok-kelompok atau organisasi dalam masyarakat nampak
dari definisi konsep korporatisme oleh Phillipe C.Schmitter.
Ilmuwan politik ini merumuskan definisi korporatisme melalui
unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: (1) sistem perwakilan
kepentingan, (2) pengorganisasian kelompok-kelompok
kepentingan dalam jumlah yang kecil oleh negara yang wajib
dimasuki, non-kompetitif, dan berbeda secara fungsional, (3)
organisasi-organisasi tersebut diakui, diberi izin, atau bahkan
dibentuk oleh negara, (4) pemberian monopoli untuk mewakili
anggota-anggota, dan (5) adanya kepatuhan kepada penguasa
politik yang menentukan pimpinan organisasi dan artikulasi
tuntutan dan dukungan organisasi bersangkutan.12 Schimitter
melihat bahwa korparatisme merupakan sebuah paradigm
alternatif bagi paradigma behavioralis yang mendominasi
perkembangan ilmu politik di Amerika Serikat. Namun para
tokoh behavioralis tidak menganggap korporatisme sebagai
alternatif behavioralisme. Para ilmuwan behavioralisme itu
11
Chalmers, dalamRauf, 1996, Ibid, hal.70-71. Menurut Chanmers bahwa
korporatisme mempunyai hubungan sejarah yang erat dengan fasisme. Oleh
karena itu, istilah korporatisme perlu diganti dengan nama baru agar penulis
barat tidak alergi terhadapnya sehingga korporatisme dapat memainkan
peranan yang penting dalam ilmu politik.
12
Phillipe C. Schmitter, ”Corporatism and Comparative Politics, dalam Rauf,
1996. Pendekatan Negara (Statist Approach) Dalam Ilmu Politik., hal.71.

ILMU PEMERINTAHAN 299


Disiplin dan Metodologi
misalnya Almond menganggap korporatisme bukanlah sebagai
pesaing dan alternatif bagi behavioralisme. Berbagai literatur
menunjukkan kecilnya reaksi negatif dari ilmuwan politik beha-
vioralis terhadap peningkatan perhatian mengenai korporasi
sebagai minat penelitian dan pengkajian.
Secara makro, melihat pengalaman berbagai negara ber-
kembang dalam membangun demokrasi, nampak dominasi
negara dalam meorganisir organisasi-organisasi masyarakat.
Berbagai riset menunjukkan bahwa fenomena diominasi negara
terahadap kelompok masyarakat adalah dipicu oleh keterba-
tasan kapasitas kelompok-kelompok masyarakat dalam me-
ngelola kepentingan ekonomi dan kepentingan penguasa
mengakomodasi kepentingan masyarakat. Menurut Ramlan
Surbakti (1992)13, mengutip Philippe Schimitter fenomena
korporatisme dapat dibedakan dua: Pertama, korporatisme
negara14 (state corporatism); dan Kedua; korporatisme mas-
yarakat (societal corporatism). Korporatisme negara (state
corporatism) adalah hasil penegaraan (statization) berbagai
kegiatan organisasi kemasyarakatan.
Dalam konteks ini, ada beberapa ciri korporatisme negara,
yaitu:15
1. pengelompokan masyarakat secara fungsional (profesi dan
okupasi). Yang dimaksud profesi dalam tulisan ini ialah

13
Ramlan Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik. Gramedia, Jakarta., hal. 104-
105
14
Ramlan Surbakti, 1992 .Ibid..hal.104. Korporatisme merupakan upaya ganda
untuk menghubungkan negara (pemerintah) dan masyarakat, yaitu penegaraan
(statization) berbagai kegiatan organisasi kemasyarakatan (yang sering
disebut dengan istilah lain,seperti politisasi dan birokratisasi) dan privatisasi
berupa urusan kenegaraan. Selanjutnya korporatisme negara merupakan
hasil penegaraan berbagai kegiatan organisasi kemasyarakatan, sedangkan
korporatisme masyarakat merupakan hasil penswastaan beberapa urusan
kenegaraan. Dalam korporatisme masyarakat, legitimasi pemerintah ber-
gantung pada kelompok kepentingan. Hal ini terjadi pada masyarakat dan
negara pascaindustri di Barat dan Jepang.
15
Ramlan Surbakti, 1992. Ibid., hal.107

300 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
bidang pekerjaan yang memerlukan keaahlian yang relatif
tinggi yang dicapai melalui proses pendididkan dan latihan,
seperti misalnya dokter, guru, dan wartawan. Sebagai balas
jasa atas palayanan yang diberikan, mereka menerima tanda
kehormatan dan penghargaan berupa (honor) yang sebagian
saja berupa uang. Sedangkan yang dimaksud dengan okupasi
ialah bidang pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian yang
relatif tinggi yang dapat dicapai hanya dengan latihan, se-
cukupnya, seperti misalnya buruh, petani, nelayan, dan
pramuniaga. Bidang pekerjaan ini bertujuan utama men-
dapatkan upah atau uang.
2. pengelolaan jenis kepentingan dimonopoli dengan suatu
asosiasi, dan asosiasi yangvbtunggal ini saja yang diakui
dan didengarkan oleh pemrintah.Kongkretnya, untuk jenis
kepentingan buruh diperkenankan satu organisasi buruh,
sehingga tidak dikenal organisasi buruh industri motor atau
organisasi buruh industri rokok yang bersifat otonom.
Pengakuan pemerintah atas monopoli kepentingan tersebut
merupakan tukar-menukar atas dukungan yang diberikan
organisasi tersebut kepada pemerintah.
3. pembentukan kelompok kepentingan harus menadapat
persetujuan dan pengakuan dari pemerintah. Oleh karena
itu, pemerintah bertindak sebagai pembina atas kelompok-
kelompok tersebut. Kelompok-kelompok kepentingan
semacam ini dapat dibekukan ataupun dibubarkan oleh
pemerintah.
4. keanggotaan kelompok kepentingan bersifat otomatis atau
setengah paksa.
5. penentuan kepemimpinan kelompok kepentingan langsung
atau tidak langsung ikut ditentukan oleh pemerintah.
6. artikulasi kepentingan dari kelompok-kelompok harus
berkisar pada kerangka umum yang ditetapkan pemerintah.
7. Pendekatan Korporatis dapat dianggap sebagai pendekatan-
pendekatan yang menjadikan negara dan peranannya sebagai
fokus utama kajiannya

ILMU PEMERINTAHAN 301


Disiplin dan Metodologi
(C) Pendekatan negara (statis opproach atau state
centered opproach) dapat dianggap sebagai suatu pendekatan
yang tetap menjadikan negara dan peranannya sebagai fokus
utama kajiannya. Pendekatan negara mulai memperlihatkan
wujudnya setelah diselenggarakan seminar “Research Impli-
cation of Current Theories of the State” di New York pada
Februari 1982. Pendekatan negara memberikan tekanan besar
kepada peranan negara.16 Ide besar ini sudah dimuncul sejak
awal jauh dari sebelum seminar ini diselenggarakan. Berbagai
publikasi misalnya buku Alfred Stepan “State and Society,Peru
in Comparative Perspective” tahun 1978, artikel Theda
Skocpol dan bukunya Bringing the State Back In tahun 1982,
artikel oleh Krasner tahun 1984. Dari berbagai publikasi itu
dapat dilihat bahwa kelompok para ilmuwan politik memusatkan
perhatiannya bagaimana pentingnya negara sebagai objek ilmu
politik sebagai alternatif dalam menjelaskan gejala-gejala
politik.
Menurut Rosenau, dalam Rauf (1996), paling tidak ada
dua penyebab munculnya pendekatan negara. Pertama adalah
kekecewaan terhadap teori sistem yang dikembangkan oleh
ilmuwan politik behavioralis; dan kedua, semakin besarnya
kecenderungan otoritarianisme di negara-negara Dunia Ketika
dalam dasawarsa 1970-an.17 Menurut Rauf, pendapat para
pendukung pendekatan statist ini menunjukkan bahwa per-
kembangan politik yang terjadi di beberapa bagian dunia membawa
dampak bagi ilmu politik berupa munculnya kebutuhan pen-
dekatan baru yang mampu menjelaskan gejala empiris yang
terjadi. Pendekatan behavioralis dianggap tak mampu men-
jelaskan gejala tersebut.
16
Lihat Maswadi Rauf, Pendekaatan Negara (Statist Approach) dalam Ilmu
Politik, dalam Miriam Budiardjo. Pendekatan-Pendekatan dalam Ilmu Politik,
Jurnal Ilmu Politik No.1, 1996, hal.3-16. Sebuah gambaran yang menyeluruh
tentang sejarah, masalah, pengertian, dan penerapan pendekatan negara.
17
James N. Rosenau, The State in An Era of Cascading Politics, Camparative
Polical Studies, Vol.,21, no.1., 1988., hal.22-23

302 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Pendapat ini ditentang keras oleh para pendukung beha-
vioralis. Almond menyebutkan ada tiga hal sebagai kritik
terhadap pendekatan negara. Pertama,istilah negara yang
merupakan konsep utama dari pendekatan tingkah laku tidak
dirinci dengan jelas; kalaupun dirinci dengan jelas, definisnya
tidak akan jauh berbeda dari definisi “pemerintah” atau “sistem
politik”. Kedua,para penganjur pendekatan negara tidak bisa
membuktikan bahwa pendekatan mereka itu berbeda dari
mainstream political science dan merupakan pendekatan yang
lebih baik untuk menjelaskan politik. Ketiga, pendekatan
negara mengabaikan variabel-variabel non-negara seperti partai
politik, kelompok kepentingan, media massa.
Perdebatan pendekatan behavioralisme dan pendekatan
negara nampak memiliki perbedaan latar belakang diologi
berbeda, namun perbedaan tersebut relatif kecil ketika me-
nafsirkan pluralisme. Kedua pendekatan ini masih sama-sama
memiliki basis idiologi liberalisme.

KARAKTERISTIK
Sementara itu, post-behavioralism ini memiliki dua
karakter utama, yaitu relevansi dan tindakan.18 Kaum post-
behavioralis menyadari akan waktu yang terbuang untuk
melakukan penelitian-penelitian yang dangkal dan seringkali
tak relevan. Sementara dunia tengah menghadapi krisis sosial,
ekonomi, budaya yang kian parah, yang semula tak pernah
dibayangkan. Karena itu,ilmuan politik harus memahami fakta-
fakta dalam konteks social yang lebih luas. Sehingga diharapkan
ilmuan politik dapat berperan melalui tindakan-tindakan nyata
di tengah-tengah masyarakat.
Gerakan post-behavioralisme muncul ketika behavio-
ralisme menghadapi tantangan baru sering berakhirnya tahun

18
Easton dalam SP. Varma : 1999. hal. 58 - 60

ILMU PEMERINTAHAN 303


Disiplin dan Metodologi
1960-an dalam kehidupan sosial politik di Amerika.Tantangan
baru itu antara lain konflik anti ras kulit putih, kemiskinan dan
sebagainya. Di tengah-tengah perubahan social yang terjadinya
inilah muncul kesadaran para kaum behavioralisme yang ke-
mudian menjadi post-behavioralisme akan terlalu banyaknya
waktu terbuang,untuk penelitian-penelitian yang dangkal sering
sangat tidak relevan. Sementara itu, mereka terlibat dalam
pembuatan beberapa paradigma, kerangka konseptual,model-
model, teori-teori dan meta-teori, serta pengembangan teknik-
tenik yang memadai dan peralatan riset yang canggih. Oleh
larena itu, sudah waktunya untuk memikirkan relevansi dan
tindakan penelitian ilmu politik yang berorientasi ke masa
depan, berusaha mendorong ilmu politik pada arah baru dan
berusaha melengkapi apa-apa yang sudah dicapai dimasa lalu.19
Lain halnya Easton, yang mengemukakan ada tujuh
karakter post-behavioralisme: (1) Menurut kaum post-
behavioralisme dalam penelitian politik, substansi atau isi
pokok harus mendahului teknik. Suatu penelitian ilmiah
haruslah relevan terhadap masalah social yang mendesak/Jika
tidak ia tidak memiliki arti apa-apa; (2) Ilmu politik masa kini
seharusnya memberikan penekanan utamanya kepada peru-
bahan social dan bukan kepada pemeliharaannya seperti yang
dilakuakan oleh kaum behavioralisme; (3) Ilmu politik selama
periode behavioralisme. Secara penuh telah melepaskan dirinya
dari realitas politik yang sifatnya masih kasar; (4) Menurut
kaum post-behavioralis system nilai memainkan peran yang
penting dalam ilmu politik dan penelitian, tidak bisa dibuang
begitu saja. Justru system nilailah yang menjadi dasar landasan
fakta; (5) Kaum pendukung post-behavioralisme ingin meng-
ingatkan para ilmuan politik akan peranan yang harus dimainkan
di dalam masyarakat yaitu melindungi peradaban nilai-nilai
kemanusiaan; (6) Kaum post-behavioralis meminta adanya
19
SP. Varma, 1999, Op.cit. hal.52

304 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
ilmu yang mempunyai komitmen untuk bertindak,untuk meng-
gantikan ilmu yang bersifat kontemplatif. Untuk itu, ilmuan
politik harus memahami masalah-masalah sosial dan melibatkan
diri dalamnya; (7) politisasi profesi dari nsemua asosiasi
professional demikian juga universitas-universitas sangat
diperlukan.20 Selanjutnya, bagaimana kaitannya dengan “post
positivisme”?

SEJARAH POST-POSITIVISME
Pada permulaan abad ke20 sekolompok ilmuan sosial
tidak puas dengan cara-cara yang digunakan oleh kekolompok
positivisme dalam mencari fakta-fakta atau sebab-sebab dari
gejala sosial, kaum ini tidak memperlihatkan keadaan individu
secara utuh (holistic) malah membaginya kedalam sejumlah
kategori nerdasarkan suatu system klasifikasi yang telah
diciptakan sebelumnya. Para ilmuan yang tidak puas dengan
cara kerja kelompok positivisme menamakan diri kelompok
peneliti kualitatif yang bersadarkan pada filsafat post-
positivisme.21
Salah satu kegagalan behavioralisme (baca: kelompok
positivisme) terletak pada penjelasan atas tingkah laku manusia
hanya secara empirik mengikuti pola aksi-reaksi dalam fisika
yang kemudian diterjemahkan menjadi pola stimulasi-response
dalam psikologi. Aksi reaksi sebagai konsep mekaniks sukar
untuk diterapkan dalam menjelaskan tingkah laku manusia yang
cenderung berupa interaksi,22 antara lain reaksi atas kegagalan
inilah yang mendorong munculnya gelombang post-positivisme.
Dalam aksi reaksi, kekuatan dan bentuk reaksi tergantung
pada aksi; sedangkan dalam interaksi, responden tidak hanya
tergantung pada stimulus tetapi system makna, system nilai,
20
Lihat SP. Varma, 1999, Ibid., hal.54
21
Mantra, 2004..hal.25
22
Ramlan Surbakti, 1987, hal. 65

ILMU PEMERINTAHAN 305


Disiplin dan Metodologi
system sosial manusia tersebut. Dengan demikian dituntut
adanya gambaran yang lebih luas yang bersifat holistik atau
menyeluruh. Sebagai ilustrasi Ramlan Surbakti (1987) mem-
beri contoh tentang pemilihan umum (pemilu). Dari segi makna
pemilu adalah lambang kedaulatan rakyat, dari segi nilai , pemilu
merupakan hak warga Negara sebagaimana diatur dalam undang-
undang pemilu. Sedangkan dari segi sosial, pemilu adalah tin-
dakan yang didorong dan dikontrol oleh kelompok sosial
(pamong, rukun tetangga (RT), dan rukun warga (RW). Per-
tanyaannya apakah perilaku memilih dalam pemilu itu sebagai
hasil system makna seseorang penganut demokrasi,atau hasil
system nilai sesuai dengan peraturan perundangan, atau hasil
hasil dorongan atau control (ajakan lewat kampanye, mobilisasi,
atau atas paksaan) dari pejabat pemerintah.

Ciri-ciri Post-positivisme
Oleh karena itu, menurut Sutarmanto (1999) post-
positivisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) mencoba
memperoleh gambaran yang lebih luas; (2) bersifat holistik;
(3) memahami makna (verstehen atau pemahaman mendalam);
(4) memandang hasil penelitian sebagai spekulatif. Secara
ontology, post-positivisme menuntut pendekatan holostik,
mendudukkan objek penelitian dalam suatu kontruksi “ganda”
dan melihat objek dalam konteks “natural” bukan parsial. Epis-
temologinya menuntut bersatunya subjek peneliti sengan
subjek pendukung objek penelitian (Ida Bagoes Mantra,
2004:26). Pada prinsipnya kaum (baca: post-positivisme) tidak
mengingkari pentingnya kecakapan-kecakapan teknis, tetapi
mereka tidak setuju terhadap suatu pendapat bahwa dalam upaya
mencari dasar-dasar pemahaman atau pengertian serta pengeta-
huan yang dapat dipercaya, mengharuskan para ilmuan me-
mutuskan diri mereka dari urusan-urusan praktis yang terdapat
dalam masyarakat, kaum ini juga tidak percaya bahwa nilai-

306 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
nilai dapat dipisahkan dari semua upaya-upaya ilmiah.23 Apa
kaitannya dengan “teori kritik” ?

Post-Positivisme: Teori Kritik


Post-positivisme menghendaki pendekatan yang luas dan
holistik, memahami makna, system nilai, symbol, bukan fakta
semata, mendudukkan manusia sebagai kontrol bukan objek
penelitian. Teori kritik telah mendorong masyarakat melalkukan
revisi terhadap hubungan-hubungan yang selama ini dianggap
“normal” dan “mapan”. Misalnya, dalam penelitian sosial tradi-
sional hubungan antara peneliti social dan masysrakat sebagai
subjek-objek yang dianggap hubungan yang wajar.24 Kemudian,
pendukung positivisme berpendapat bahwa pemisahan antara
fakta dan nilai adalah suatu keharusan. Padahal system nilai
inilah yang menjadi dasar berpijak fakta-fakta tersebut,ini
realitas. Dalam pandangan teori kritik, semisal hal-hal inilah
yang dianggap perlu direvisi. Sebagai contoh kritik yang di-
lontarkan sangat keras oleh Magaret Levi terhadap teori pilihan
rasional. Menurut Levi terdapat kesenjangan antara kepentingan
individu dan kepentingan publik, perilaku individu dan tindakan
kolektif.25
Teori-teori kritik (critical theories) pada dasarnya adalah
semua teori sosial yang mempunyai maksud dan implikasi
praktis sangat berpengaruh terhadap teori perubahan sosial
aliran kritik (ibid, 2003:92). Secara epistemologi, teori kritis
pada dasarnya membenahi pandangan yang umum berlaku, teori
sosial, menurut teori kritik, bukan sekedar berurusan dengan
benar atau salah tentang fakta atau suatu realitas sosial, tetapi
bertugas untuk berkemampuan memberikan proses penyadaran
kritis atau perspektif kritis kepada masyarakat tentang bagai-
23
SP. Varma, 1999, Ibid. hal.56
24
Lihat Mansour Fakih, 2003., hal.94
25
Margaret Levi, dalam Mark I. Linbbach (etl)., hal. 10-11

ILMU PEMERINTAHAN 307


Disiplin dan Metodologi
mana kepercayaan masyarakat telah membentuk realitas ter-
sebut.
Bagi teori kritik, verifikasi kebenaran teori social tidak
diukur oleh rumus ataupun oleh angka, tetapi melalui verifikasi
praktis yang berupa aksi masyarakat memiliki kesadaran kritis
yang bertindak atas interes mereka sendiri. Dengan demikian
perubahan sosial itulah yang merupakan ferivikasi kebenaran
dari teori sosial, atas dasar itu teori kritik memiliki dimensi
aksi dan politis (Mansour Fakih, 2003:94). Menurut pendukung
kaum teori kritik tidak mungkin dipisahkan anatara teori sosial
dan aksi politik. Apa kaitannya dengan teori post kolonial?

Post-Postiivisme: Teori Kolonial


Sesuatu pandangan umum yang berlaku terutama di negara-
negara pasca kolonial adalah sifat dasar dan watak perilaku
Negara yang intervensionis dan otoriter. Gejala ini menandai
perkembangan masyarakat dan Negara. Bagi teori-teori kritik
aksi masyarakat yang memiliki kesadaran kritislah yang di-
pandang mampu mengkoreksinya. Masalahnya menurut teori
Negara post kolonial proses penyedaran kritis tersebut tidak
lepas dari konteks sejarah terbentuknya struktur sosial mas-
yarakat dimana pengalaman kolonial yang menjadi cirri-ciri
yang inheren. Salah satu teori Negara post kolonial yang
menjelaskan fenomena tersebut ialah dari Hamza Alavi dalam
suatu tulisan awalnya “The State in Post-Colonial Societies’.
Menurut Alavi (1972) bahwa perkembangan Negara pasca
colonial mempunyai “otonomi relatif” terhadap kelas-kelas
sosial karena lemahnya kelas-kelas sosial itudalam styruktur
histories masyarakat pasca kolonial. Negara pasca kolonial
bukanlah alat dari kelas tertentu tidak juga dari kelas-kelas
lainnya. Negara menemukan dan memiliki “otonomi relatif”
dan dalam waktu bersamaan, Negara bertindak atas semua kelas,
kelas itu sebagai penjaga tatanan sosial dalam mana kepentingan

308 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
mereka tertanam. Dalam masyuarakat industri maju “otonomi
relatifnya” terletak pada ketidakmampuan fraksi-fraksi dalam
kelas borjuasi yang hegemonik untuk menguasai Negara se-
penuhnya, sedangkan “otonomi relatif” Negara dalam masya-
rakat pasca kolonial terletak pada ketidakmampuan berbagai
kelas yang dominan untuk menguasai Negara sepenuhnya (Duto
Sosialismanto, 2001:74-77).
Dengan demikian peranan Negara dalam masyarakat pasca
kolonial menjadi sangat dominant. Kekuatan-kekuatan ekonomi-
politik diluar Negara tidak dapat mendominasi kebijaksanaan-
kebijaksanaan Negara. Negara dapat menentukan kebijaksanaan
sendiri, akan tetapi seperti telah disinggung di depan bahwa
kebebasan Negara itu bersifat relatif. Relatifnya kebebasan
Negara tersebut menurut Alavi dapat dilihat dari setting struktur
kapitalisme dunia dalam mana ketika Negara pasca colonial
berada atau terpoisikan di dalam peripheral kapitalisme (kapi-
talisme pinggiran) (Farchan Bulkin dalam Duto Sosialismanto,
2001:77). Jadi menurut teori Negara post kolonial, proses
penyadaran kritis masyarakat untuk mengkoreksi kebijakan
perkebunan pada akhirnya sangat ditentukan oleh perilaku
Negara yang memiliki “otonomi relativ” versi Alavi.
Teori kritik, dalam bingkai gelombang post-positivisme
memandang bahwa verfikasi teori sosial pada akhirnya ditentu-
kan oleh sejauhmana masyarakat memiliki kesadaran kritis
dalam mengkoreksi kepentingan mereka sendiri. Kesadaran
kritis masyarakat tersebut sudah barang tentu akan berbeda dan
amat kondisional sifatnya, ia dipengaruhi konteks sosial, eko-
nomi, budaya, dan sejarah kolonial yang melingkupi struktur
social masyarakatnya seperti apa yang menjadi sintesa teoritik
Negara post kolonial. Untuk mengkaitkan teori dengan fakta
empirik yang terjadi diperlukan metode perbandingan. Sebab
dengan membandingkan akan diperoleh kesimpulan-kesimpulan
umum dan ciri-ciri khas struktur sosial masyarakat di beberapa

ILMU PEMERINTAHAN 309


Disiplin dan Metodologi
dunia ketiga,dengan cara membandingkan gejala politik yang
sama pada berbagai masyarakat yang diperkirakann disebabkan
oleh faktor-faktor yang sama tetapi hasil yang berbeda. Dengan
demikian revisi terhadap kebebasan perilaku Negara pasca
colonial yang semula dipandang sebagai sesuatu yang umum
berlaku dapat dilakukan.

Metode Perbandingan
Perbandingan adalah salah satu metode dalam ilmu sosial,
selain perbandingan dikenal metode eksprimental dan statis-
tika. Metode perbandingan merupakan prosedur yang digunakan
untuk menguji hubungan antara dua atau lebih variable di bebe-
rapa masyarakat, dengan cara mengamati persamaan dan perbe-
daannya untuk kemudian ditarik kesimpulannya (Ramlan
Surbakti, 1984:2). Menururt Ramlan Surbakti (1987), ada tiga
syarat melakukanm perbandinbgan: (1) konseptualisasi dan
operasionalisasi variable-varibael yang hendak dibandingkan;
(2) rumuskan hubungan anatara dua atau lebih variable yang
hendak dibandingkan dan bentuk hipotesis; (3)dan hipotesis
itu harus diuji secara empiric dilapangan.Selanjutnya dengan
langkah-langkah sebagai berikut: pertama, perhatikan gejala
politik yang sama di beberapa daerah dalam suatu masyarakat;
kedua, carilah factor-faktor yang diperkirakan sebagai penyebab
timbulnya gejala tersebut. Ketiga,ujilah secara empirik apakah
gejala politik yang sama disebabkan oleh faktor-faktor tersebut.
Maka dengan membandingkan tersebut akan diperoleh apa
persamaan dan perbedaan dari sebuah kasus tertentu atau antara
suatu kasus dengan kasus yang lain dari suatu gejala politik
yang sama dalam suatu masyarakat atau beberapa masyarakat.
Studi kasus bisa berarti metode atau strategi dalam pene-
litian, bisa juga berarti hasil dari suatu penelitian sebuah kasus
tertentu yang dalam metode perbandingan misalnya kasus itu
dapat berupa masyarakat, Negara, desa, daerah, demokrasi,

310 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
system perwakilan dan sebagainya. Dengan demikian kasus bisa
terlihat sederhana, bisa juga bersifat kompleks. Kasus bisa
bersifat individual atau kelompok atau cluster, dapat juga
bersifat statis atau dinamis (Agus Salim, 2001:91). Jika pen-
dukung post behavioralisme risau akan penelitian-penelitian
politik yang dangkal kurang relevan dan lepas dari realitas pasca
perang dunia, metode studi kasus memberikan peluang kemung-
kinan mengatasi kerisauan itu. Sebab yang khas dari metode
ini adalah kedalaman dalam menggali keunikan dari kasus yang
ditekuninya. Proses ini membuka kesempatan kepada peneliti
kepada usaha pemahaman makna seperti yang diusung oleh
kaum post-positivisme.proses menempatkan kaitan anatara
fakta dan teori dalam konteks yang luas dan holistik dalam
metode studi kasus secara umum berkaitan dengan: (1) hakikat
dari kasus tersebut, (2) latar belakang histories, (3) setting
fisik, (4) konteks kasus, khususnya ekonomi, politik, hukum,
dan estetika, (5) kasus-kasus lain yang ada disekitar kasus yang
dipelajari, (6) informan. Untuk mepelajari suatu kasus, peneliti
pada umumnya mengumpulkan data tentang keenam aspek
tersebut (ibid, 2001:97).
Metode satudi kasus memfokuskan diri untuk mengetahui
keumuman (diversity) dan kekhususuan (particularities) dari
objek studi yang menjadi sasaran penelitiannya. Karena itu
persoalan relevansi dan problem tindakan dalam penelitian-
penelitian ilmu politik akan lebih dimungkinkan dicapai melalui
metode ini. Dilihat dari aspek pemilihan kasus sebagai objek
penelitian ada tiga macam studi kasus yang dikembangkan
peneliti kualitatif. Pertama, Intrinsic Case Study, dilakukan
untuk memahami secara lebih baik fenomena, keteraturan, dan
kekhususan kasus tertentu. Kedua, Instrumental Case Study,
dilakukan untuk alasan eksternal. Kasus dijadikan intrumen
untuk memahami hal lain, misalnya membuktikan teori yang
sebelumnya sudah ada. Ketiga, Collective Case Study,

ILMU PEMERINTAHAN 311


Disiplin dan Metodologi
dilakukan untuk membentuk teori berdasarkan persamaan dan
keteraturan dari setiap kasus yang diselidiki.26

Post-Positivisme: Teori Strukturasi


Salah satu upaya paling terkenal yang mengintegrasikan
agen-struktur adalah teori strukturasi Giddens.27 Giddens me-
ngatakan,” setiap riset dalam ilmu sosial atau sejarah selalu
menyangkut penghubungan tindakan (sering kali disinonimkan
dengan agen) dengan struktur. .Namun, dalam hal ini tak berarti
bahwa sruktur ’menentukan’ tindakan atau sebaliknya.
Teori strukturasi (structuration theory) adalah sistesa
teoritik Anthony Giddens tentang hubungan anatara “pelaku”
(agency) dan “struktur” (structure). Secara epitemologi, teori
ini merupakan perangkat cara pandang yang mendasari karya-
karya Giddens sejak tahun 1980. Mengapa cara pandang ini
dipakai ? adalah karena kelenturannya berpindah dari analisis
makro ke mikro, dan sebaliknya dari mikro ke makro, dan ke-
lenturan itu mungkin terjadi karena dibangun dalam teori struk-
turasi.28
Menurut Giddens , hubungan antara pelaku (tindakan) dan
struktur berupa relasi dualitas, bukan dualisme. Dualitas itu
terjadi dalam “praktik sosial yang berulang dan terpola dalam
lintas ruang dan waktu. Praktik sosial (social practices) inilah
yang seharusnya menjadi objek utama kajian ilmu-ilmu sosial.
Praktik sosial itu bisa berupa kebiasaan menyebut pengajar
dengan istilah guru, pemungutan suara dalam pemilihan umum,
menyimpan uang di bank, bias juga kebiasaan membawa surat
izin mengemudi (SIM) sewaktu mengendarai sepeda motor atau
mobil.

26
Ibid, 2001, hal. 94
27
Gerorge Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2004. Teori Sosiologi Modern,
Prenada Media,diterjemahkan Aliman dan, Integrasi Mikro-Makro, hal.507
28
B. Herry Pryono, 2002, hal. 36; Wirawan, 2012, hal.291-293.

312 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Teori strukturasi bukanlah hermeneutika, bukanlah sosio-
logi interpretatif, meskipun teori strukturasi sangat sadar pen-
tingnya tata bahasa. Teori strukturisasi bukanlah sosiologi
struktural, meskipun strukturasi mengakui bahwa masyarakat
bukanlah hasil ciptaan subjek-subjek individual. Wilayah dasar
strukturasi, bukanlah aktor intelektual, bukan pula totalitas
masyarakat, melainkan praktik sosial yang terpola dalam lintas
ruang dan waktu. Teorem dualitas sangat sentral bagi gagasan
strukturasi.29 Menurut Giddens, manusia selalu mempunyai ide
tentang dunia sosial, tentang dirinya, tentang masa depannya,
dan tentang kondisi kehidupannya. Melalui idenya itu manusia
masuk ke dalam dunia dan mempunyai niat untuk mempenga-
ruhi dan mengubahnya.
Menurut Bernstein, dalam Ritzer dan Douglas J.Goodman
(2004) tujuan fundamental dari teori strukturasi adalah untuk
menjelaskan hubungan dialektika dan saling pengaruh mem-
pengaruhi antara agen dan struktur. Dengan demikian, agen dan
struktur tak dapat dipahami dalam keadaan saling terpisah satu
sama lain; agen struktur dan struktur ibarat dua sisi sari satu
mata uang logam. Menurut Giddens, agen dan struktur adalah
dwi rangkap. Seluruh tindakan sosial memerlukan struktur dan
seluruh struktur memerlukan tindakan sosial. Agen dan struktur
saling jalin menjalin tanpa terpisahkan dalam praktik atau ak-
tivitas manusia.
Giddens berpendapat bahwa, perkara sentral ilmu sosial
ialah “praktik sosial yang berulang dan terpola dalam lintas
ruang dan waktu”.30 Teori ini hasil sintesis dari pemikiran
teoritisi besar seeprti: Emile Durkheim sehingga Giddens oleh
Etzhowitz dan Glassman disebut neo-Durkheim; Max Weber
sehingga Grabb menyebut Giddens neo-Weberian; dan Karl

29
Lihat Wirawan, 2012. Teori-Teori Sosial, Dalam Tiga Paradigma, Fakta
Sosial, Definisi Sosial & Perilaku Sosial, Kencana Prenada Media, hal.292
30
Wirawan, 2012. Ibid. hal.292

ILMU PEMERINTAHAN 313


Disiplin dan Metodologi
Max sehingga Giddens menganggap dirinya berhutang budi pada
Marx.31 Dengan demikian teori strukturasi merupakan sitensis
dari beberapa teori seperti fenomenologi, etnometodologi,
interaksi simbolik, hermeneutik, serta strukturalis.32
Dalam teori strukturasi, struktur dimaksudkan sebagai
peraturan dan sumberdaya.33 Struktur dipandang sebagai per-
strukturan sifat-sifat yang memungkinkan pengikatan ruang-
waktu dalam sistem sosial, sifat yang memungkinkan praktik
sosial sejenis ada pada berbagai ruang dan waktu, dan yang
memberikan bentuk sistimatik.34 Struktur hanya akan terwujud
karena adanya aturan dan sumberdya. Struktur itu sendiri tidak
ada dalam rungan dan waktu. Fenomena sosial mempunyai
kapasitas yang cukup untuk menjadi struktur. Struktur hanya
ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia. 35 Teori
strukturasi memberikan tekanan kepada agency (keagenaan)
yang berarti peran individu. Sesuai penekanannya pada keagenan,
Giddens memberikan kekuasaan besar terhadap agen. Teori ini
memberi kekauasaan pada aktor dan tindakan. Dengan kata lain,
menurut Giddens agen mempunyai kemampuan untuk men-
ciptakan pertentangan dalam kehidupan sosial, dan bahkan ia
lebih yakin lagi bahwa agen tak berarti apa-apa tanta kekuasaan.
31
Lihat Etzohwitz & Glassman,1991, hal. 50; Grabbs,1990, hal.172; atau
Subanda, 2002, hal.19, dalam Wirawan, 2012, Ibid., hal.293
32
Wirawan, 2012, Ibid., hal.293
33
Lihat Gerge Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2004, Op.cit., hal.510-511. Inti
konseptual teori strukturasi terletak pada pemikian tentang struktur system,
dan dwi rangkap struktur. Struktur didefinisikan sebagai properti-properti
yang berstruktur (aturan dan sumebrdaya)…properti yang memungkinkan
praktik sosial serupa yang dapat dijelaskan untuk eksis di sepanjang ruang
dan waktu dan membuatnya menjadi sistemik.
34
Ramlan Surbakti, dalam Wirawan, 2019, hal. 294. Giddens pada dasarnya
menolak dualism subjek-objek, agensi dan struktur,serta struktur dan proses
yang selama ini telah dipandang sebagai dualism tersebut, oleh Giddens
dikoreksi, yaitu dengan istilah dualitas. Dengan koreksi ini, Giddens meng-
idami berakhirnya “imperalisme” yang saling berlawanan antara kutub
subjektivisme (sosilogi interpretativisme) dan kutub objektivisme (sosiologi
sosiologisme).
35
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Ibid, hal.610

314 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Artinya, aktor berhenti menjadi agen bila ia kehilangan ke-
mampuan untuk menciptakan pertentangan. Namun bukan
berarti aktor tanpa pembatas, atau tidak mempunyai pilihan dan
peluang untuk membuat pertentangan.
Giddens melihat ada tiga gugus besar struktur.36 Pertama,
struktur signifikansi (signification), menyangkut skema sim-
bolis, penyebutan, dan wacana. Kedua, struktur dominasi
(domination) yang mencakup skemata penguasaan atas orang
(politik) dan barang (ekonomi). Ketiga, struktur legitimasi
menyangkut skema peraturan normatif yang terungkap dalam
tata hukum.
Berdasarkan hal tersebut diatas Davis, dalam Wirawan
(2013) menyimpulkan bahwa karakteristik utama dari kekuasaan
menurut pandangan strukturasionis antara lain:
1. Kekuasaan sebagai bagian integral dari interaksi sosial se-
lalu melibatkan kekuasaan, sehingga kekuasaan dapat di-
terapkan pada semua jenjang kehidupan sosial mulai dari
yang sempit sampai dengan yang luas.
2. Kekuasaan adalah hal yang penting pokok dalam diri ma-
nusia (power as intrinsic to human agency). Kekuasaan
adalah kemampuan aktor untuk mempengaruhui dan meng-
intervensi serangkaian peristiwa, sehingga ia dapat meng-
ubah jalannya peristiwa tersebut.
3. Kekuasaan adalah konsep relasional, termasuk hubungan
otonomi dan ketergantungan (power as relational concept,
involving relations of otonomy and dependence). Ke-
kuasaan bukan sekedar kapasitas transformasi aktor untuk
mencapai tujuannya, melainkan juga konsep relasional. Ini
berarti setiap aktor dapat mempengaruhi lingkungan dimana
peristiwa interaksi itu terjadi, agar aktor lain memenuhi
keinginannya.
4. Kekuasaan selain bersifat membatasi juga memberi kebe-
36
Lihat Wirawan, 2013, Op.cit, hal.306-307

ILMU PEMERINTAHAN 315


Disiplin dan Metodologi
basan (power as contraining as well as enabling).Dalam
kehidupan sehar-hari kekuasaan bergandengan tangan
dengan dominasi yang terstruktur. Anggota masyarakat tidak
hanya mengintervensi jalannya interaksi, tetapi juga men-
coba melakukan kontrol terhadap perilaku orang lain. Ini
dilakukan dengan sarana sanksi yang telah tersedia secara
terstruktur.
5. Kekuasaan sebagai proses (power as process). Hubungan
dialektik antara aktor dan struktur tidaklah bersifat statis,
tetapi secara kontinu melakukan produksi dan reproduksi
lewat proses strukturasi.
Penjelasan kerangka konsptual kekuasaan oleh Giddens
diatas tentang kekuasaan, nampak berfokus kepada aktor yang
berinteraksi dalam situasi konflik, yang berlangsung terus
menerus baik dalam level makro dan mikro. Para aktor dengan
basis sosial dan institusional yang beragam membangun kiat-
kiat, trik-trik, dan strategi dalam mencapai tujuan.
Ambil contoh bagaimana para aktor sebagai agency
berinteraksi dalam situasi konflik dalam kajian pemerintahan,
yaitu Term of Reference (TOR) studi Anwar tahun 2009 tentang
“Politik dan Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit 2001-2004”.
Kajian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana proses
interaksi pelaku dan struktur dan sumberdaya dalam proses
pengambilan keputusan pembangunan perkebunan terutama
kelapa sawit di Riau. Dengan merumuskan pertanyaan-pertanyaan
penelitian: (1) siapa saja aktor yang terlibat dalam proses
pengambilan keputusan Kelapa sawit sebagai sumberdaya; (2)
apa basis sosial dan intitusional para aktor; (3) apa trik-trik,kita
dan startegi aktor dalam mengorganisir diri; (4) apa implikasinya
bagi pemberdayaan politik masyarakat tempatan suku Melayu
dan sakai di Riau.
Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut,
jawaban pertanyaan penelitian ini diarahkan pada pemahaman
fakta-fakta sosial dalam konteks yang lebih luas dan holistik

316 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
sesuai dengan tradisi pemikiran post-positivisme dengan
menekankan pada relevansinya dan tindakan program yang dapat
dilakukan di masa depan. Oleh sebab itu, masalah fakta dan
nilai mejadi pertimbangan yang tak terpisahkan dalam
menjawap pertanyaan penelitian ini.Secara metodologis arah
atau jalan yang dilalui ini adalah “semangat” dalam bingkai
metodologi post-behavioralisme,dan memilih metode pene-
litian studi kasus.
Asumsi dasar penelitian ini adalah bahwa struktur (ke-
bijakan) perkebunan kelapa sawit adalah suatu tindakan kolektif
bukan individual, masing-masing aktor yang terlibat dalam
perumusan kebijakan ini memiliki kepentingan-kepentingannya
sendiri, sumberdaya politik, basis sosial, dan jaringannya sendiri.
Untuk mengungkapkan bagaimana kepentingan tersebut di-
rumuskan, dan mengapa Sawit yang dipilih, tentu tidak cukup
hanya mengungkapkan fakta yang ada tanpa mepertimbangkan
konteks social ekonomi,politik kebijakan itu dibuat. Sehingga
secara metodologis, masalah nilai menjadi sangat penting untuk
dipertimbangkan. Dengan kata lain, masalah fakta dan nilai adalah
sebagai sesuatu yang tak terpisahkan. Justifikasinya Almond
(1991), David Easton (1999)37 mengatakan kaum behavioralis,
meskipun tidak sepenuhnya mengingkari peranan system nilai,
telah memberikan tekanan yang begitu besar kepada paham
keilmiahan serta pendekatan yang bebas nilai. Sehingga ma-
salah “nilai” untuk tujuan-tujuan praktis tidak pernah menjadi
bahan pertimbangan. Reaksi atas pandangan ini kaum post-
behavioralisme justru mengatakan system nilai memainkan
peranan penting dalam ilmu politik.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Riau sudah di-
mulai sejak tahun 1970. Sejak tahun 2001 perkembangan pem-
bangunannya sedemikian pesatnya. Hal ini terlihat dari per-
tambahan luas lahan dari tahun ketahun. Faktanya, sumberdaya
37
David Easton, dalam S.P Varma, 1999., hal.54

ILMU PEMERINTAHAN 317


Disiplin dan Metodologi
lahan yang tersedia seluas 9.456.190 Ha, telah dimanfaatkan
untuk kebun kelapa sawit seluas 1.919 Ha (23 persen dari luas
daratan Riau). Sementara itu Pemerintah Daerah telah men-
cadangkan lahan sekitar 3 juta ha. Dalam kondisi demikian,
secara umum muncul gagasan bahwa pembangunnan kebun
kelapa sawit seakan-akan sebagai suatu keharusan “normal”
dan”wajar”. Padahal dari berbagai studi semisal; Mubyarto
(1991), Masyuri (2001), Fachri Yasin (2003) yang bertolak
dari teori-teori post-kolonial “dualisme ekonomi”, Boeyke
dan teori kritik “dependency.” Peter Eavans, secara umum
mengungkapkan bahwa pembangunan kebun kelapa sawit lebih
menguntungkan pengusaha ketimbang masyarakat setempat,
karena penyimpangan kekuasaan oleh negara.
Namun demikian, pertumbuhan luas lahan yang sangat
pesat terus saja berlanagsung, meskipun telah memberikan
berbagai konsekwensi dan implikasi politik yang jauh kedepan
bagi masyarakat dan Daerah Riau, yang pada akhirnya terhadap
demokratisasi lokal. Hal ini tedrlihat dari berbagai gejala dan
fakta. Pertama, terjadi perubahan yang cepat dari budaya per-
tanian tanaman beragam (karet, durian, petai, jenggkol, mangga,
manggis) kepada tanaman tunggal (kelapa sawit). Implikasinya
“terlemparnya” masyarakat Riau dari proses pembangunan
perkebunan kelapa sawit. Kedua, pesatnya pertumbuhan pen-
duduk pekerja perkebunan yang datang, tahun 2003 berjumlah
712.600 kepala keluarga, secara sosial, budaya, ekonomi
berbeda dengan masyarakat tempatan terutama suku sakai dan
Melayu. Jika tidak diantisipasi tentu menjadi lahan subur munculnya
konflik horizontal. Ketiga, meningkatnya “konflik” pertanahan
antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan
perusahaan sawit. Sebagai contoh kasus pembakaran Desa Mahato
(1990), kekerasan pada masyarakat Ampaian Rotan (2004),
penjarahan dan akupasi lahan perkebunan dengan nilai hampir
Rp.3 triliun.38 Kempat, kerusakan lingkungan dan hutan yang
38
Lihat Sipayung T, Purba JHV., 2015; Bungaran Saragih, 2002, hal. 1-2

318 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
berakibat terutama pada masyarakat disekitar kebun misalnya
kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan yang datang setiap tahun.
Masalah perkebunan ini adalah masalah sosial-politik yang
sangat relevan unutuk diteliti, karena membutuhkan “tindakan”
yang mendesak di Riau, bahkan gejala ini secara empirik terjadi
juga di daerah-daerah lain yang sedang melaksanakan pembangunan
perkebunan sawit di Indonesia antara lain; Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumtera Selatan, Lampung.
Untuk menjelaskan dan memahami masalah social-politik
pembangunan perkebunan kelapa sawit yang terjadi Riau ini,
perlu diletakkan dalam konteks yang lebih luas dan menyeluruh
seperti jalan fikiran mazhab post-positivisme dan sintesa
teoritik yang ditawarkan oleh pendukung “teori-teori kritik”
ataupun teori post-kolonial Hamza Alavi. Sebab, penelitian ini
dimaksudkan juga mendorong “kesadaran kritis” masyarakat
tempatan suku melayu dan sakai dalam mengatasi kemiskinan
dan keterbelakangan yang dialaminya akibat kekangan hirarki
elit lokal, pusat, dan internasional (investor asing) dan “kema-
paman” dominasi lembaga-lembaga politk yang lebih ber-
orientasi pada pengusaha ketimbang masyarakat Riau. Semen-
tara kemungkinan teorisasi Negara post-kolonial Alavi diguna-
kan dalam studi ini, mengingat konteks sejarah perkebunan di
Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dengan pengalaman
kolonial Belanda, yang melemahkan struktur sosial suku
Melayu dan Sakai di Riau. Disisi lain memberikan “otonomi
relative” kepada Negara post-kolonial Orde Baru. Sejauhmana
kesdaran kritis masyrakat akan dapat ditumbuhkan disatu sisi,
disisi lain meyakinkan Negara bahwa pemberdayaan politik
masyarkat local tidak mengurangi “otonomi relative” Negara
post-kolonial di Indonesia.
Untuk mengkaitkan fakta bagaimana kebijakan perkebunan
kelapa sawit dibuat, dan mengapa sawit yang dipilih, faktor-
faktor apa yang mempengaruhinya dengan teorisasi post

ILMU PEMERINTAHAN 319


Disiplin dan Metodologi
kolonial atau teori kritik, studi ini akan menggunakan metode
studi kasus. Digunakannya metode ini dengan alasan, Pertama:
studi kasus menempatkan fakta dalam konteks secara natural
tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Intinya, metode ini
berusaha untuk menyoroti suatu keputusan atau seperangkat
keputusan; mengapa keputusan itu diambil, bagaimana diterap-
kan dan apa hasilnya (Scharman dalam Yin, 1981). Kedua,
metode studi kasus memfokuskan diri untuk mengatahui ke-
umuman (diversity) dan kekhususan (particularities) dari
objek yang menjadi sasaran penelitiannya (Agus Salam,
2001:97). Dengan demikian diharapkan penelitian ini secara
lebih mendalam mengungkapkan keunikan kasus pembangunan
perkebunan kelapa sawit di Riau konteks pemberdayaan politik
masyarakat asli Sakai dan Melayu. Disisi lain selain keunikan
kasus tersebut, terdapat keumuman. Diharapkan temuan-temuan
dari studi ini dapat digunakan pula untuk menjelaskan dan
memahami kasus-kasus pembangunan perkebunan lainnya di
Indonesia.

320 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
BAB 9
PENDEKATAN SISTEM DAN
STRUKTURAL-FUNGSIONAL

Teori sistem adalah salah satu bentuk kongkrit dari hasil


perkembangan kemajuan metodologi classic kelembagaan.
Teori ini dapat dirmasukkan dalam pengelompokkan tradisi
pemikiran normatif dalam ilmu politik dan pemerintahan.
Dikatakan normative, teorisasi sistem memandang kehidupan
politik dan pemerintahan selalu dalam keadaan seimbang dan
stabil, bersifat linearistik dan tidak dialetik. Keterkaitan mazhab
normative dengan teori sistem berakumulasi dalam konsep-
tualisasi sistem politik.

MAKNA SISTEM
Ide ilmu sistem, muncul dari disiplin Biologi, yang di-
pelopori oleh Von Bertalanffy pada tahun 1940. Bertalanffy
memperkenalkan suatu kerangka konsep dan teori umum yang
dapat diterapkan dalam berbagai bidang ilmu. Kerangka ini
dikenal dengan nama Teori Sistem Umum atau General System
Theory (GST).1 Dalam dunia praktis2, ilmu sistem ini di-
1
Simatupang, dalam Bedy Iriawan Maksudi, 2012, Sistem Politik Indonesia,
Pemahaman Secara Teoritik dan Empirik, Rajawali Press., hal.2-3

ILMU PEMERINTAHAN 321


Disiplin dan Metodologi
aplikasikan berbagai bidang ilmu termasuk dalam ilmu peme-
rintahan.3
Secara konseptual para ilmuwan diantaranya Robert Dahl
(1978) dalam bukunya “Modern Political Analysis”; David
Easton (1953) bukunya “the Political System”,Andrew
Heywood (2014) dalam bukunya “Politics 4th edition. Secara
umum Sistem politik4 diartikan adalah sebagai sistem interaksi
yang terjadi dalam maysrakat, dimana dalam proses interkasi
tersebut dialokasikan nilai-nilai yang “outhoritatif” mengikat
masyarakat. Harold. Laswell menyebutkan delapan nilai,dan
Karl Deutsch menambahkan dua nilai yang dianggap berharga
dalamh setiap masyarakat. Salah satu nilai yang penting adalah
Kekuasaan “power”.
Ilmuwan poilitik yang pertama mengembangkan pende-
katan analisa sistem kedalam kajian-kajian ilmu politik adalah
David Easton. Easton (1953) memandang politik sebagai suatu
sistim. Di bidang pemerintahan, konsep sistem, sebenarnya
sudah dikenal sejak zaman Plato, ketika paradigma peme-
rintahan sebagai ruling process dipahami sebagai ketergantu-
ngan pemerintah dan masyarakat kepada kepemimpinan
seseorang. Menurut Ryaas Rasyid (2007) dalam proses ini,
kepribadian seorang pemimpin mendominasi hampir seluruh
interaksi kekuasaan. Kekuasaan juga dilihat sebagai suatu
sistem.5 (Tubuh manusia juga dilihat sebagai suatu sistem).
2
Lihat Eriyatno dan Fadjar Sofiyar, 2007. Riset Kebijakan, Metode Penelitisn
Untuk Pascasarjana, IPB Press, Bogor., hal.21-22. Teori sistem dipelopori
Bertalanffy pada tahun 1968 yang memperkenalkan suatu kerangka konsep
dari teori umum yang dapat diterapkan pada berbagai bidang ilmu. Kerangka
tersebut dikenal dengan nama Genaral Sistem Theory (GST) yang didasari
oleh pemikiran perlunya keahlian generalis dan pendekatan lintas disiplin
dalam memahami dunia nyata secara efisien.
3
Lihat Talizyduhu Ndraha ( 2007), Inu Kencana Syafeii (2013), Utang Swaryo
(2017). Pemerintah atau Pemerintahan itu pada dasarnya merupakan suatu sistem.
4
Lihat Heywood, 2014. Op.cit., hal.102
5
Lihat Taliliziduhu Ndraha, 2007. Kybernologi, Beberapa Konstruksi Utama,
Sirao Credentia Center, Jakarta., hal.262-263.

322 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Kualitas pemerintahan tergantung mutlak pada kualitas si
pemimpin. Situasi ruling ini semakin diperkuat dengan munculnya
paradigma pemerintahan sebagai a governing process dan
pemerintahan sebagai an administering process.6
Struktur kekuasaan menurut ajaran trias politika dapat
digambarkan di bawah ini:7
Negara
(Pemerintahan)

Legislatif Ekskutif Yudikatif

Warga Negara (Rakyat, yang diperintah,


Konsumer, Korban, dan Mangsa)
Sumber: Ndraha, 2017: 263
Gambar 9.1 Struktur Kekuasaan

Dengan trias politika, hubungan antar-fungsi dalam se-


buah sistem berubah menjadi hubungan antar tiga kekuasaan
(gambar 9.1) yang masing-masing semakin otonom, namun
saling berinteraksi dalam berbagai bentuk: bargaining, ex-
change, konflik, kolusi, korupsi, dan seterusnya. Menurut
Ndraha, konstruksi seperti itulah yang member peluang dan
kesempatan bagi badan legislative (baca: partai politik) untuk
“melepaskan diri” dari kulatiasnya sebagai sample fihak yang
diperintah, menjadi kekuasaan tersendiri, dan berusaha me-
nguasai panggung politik dan mesin birokrasi; bagi badan
ekskutif untuk “menempatkan diri”menjadi pihak yang dilayani

6
Lihat kembali Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi
Etika dan Kepemimpinan, Mutiara Sumberdaya, Jakarta., hal.19-21
7
Taliziduhu Ndraha, 2007. Ibid., hal.263.

ILMU PEMERINTAHAN 323


Disiplin dan Metodologi
dan melalaikan kewajibannya sebagai pihak yang melayani
kalangan yang diperintah, dan bagi badan yudikatif untuk “me-
nempatkan diri” sebagai pihak yang teramat sangat ditakuti,
untouchable, ketimbang sebagai sumber salah satu kebutuhan
dasar manusia, yaitu keadilan.8

SISTEM POLITIK
Secara konseptual, istilah sistem diartikan adalah kese-
luruhan bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain secara
fungsional. Setiap bagian dalam system mempunyai fungsi
sendiri yang satu sama lain saling berinteraksi, saling berhubungan,
dan saling ketergantungan secara fungsional. Artinya, kalau ada
satu bagian tidak berfungsi, maka bagian-bagian lainpun ter-
pengaruh menjadi tidak berfungsi dengan baik. Sedangkan yang
dimaksud system poilitik oleh David Easton adalah sistem
interaksi dalam tiap masyarakat dimana didalamnya dialokasi-
kan nilai-nilai yang mengikat masyarakat yang sedikit banyak
bersifat absah.
Adapun yang menjadi bagian-bagian atau kopmponen
system politik adalah fungsi-fungsi politik yang dapat dibedakan
menjadi fungsi-fungsi input dan fungsi out-put. Selanjutnya
suatu system biasanya bekerja dalam suatu lingkungan (en-
vironment) yang luas baik lingkungan dalam (intra-societal
invironment) maupun lingkungan luar (extra-societal
invironment) dan batas antara suatu sistem dengan lingku-
ngannya. Yang dimaksud dengan lingkungan disini adalah
sistem-sistem lain yang ada di luar dan di sekitar sistem tersebut,
dan antara suatu sistem dengan lingkungannya terdapat hubungan
yang saling mempengaruhi.

8
Taliziduhu Ndraha, 2007. Ibid., hal.262-263

324 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
SISTEM POLITIK

DAVID E. EASTON

Demand

OUTPUT
INPUT

POLITICAL
POLICY
SYSTEM

Support

Gambar 9.2 Sistem Politik David Easton

Karena politik dipandang sebagai suatu sistem, maka


sistem politik menurut teori ini pada dasarnya selalu berada
dalam keadaan kesimbangan yang stabil dan dinamis. Artinya
,perubahan yang datang dari lingkungan dapat disesuaikan oleh
sistem itu sehingga sistem selalu dalam keadaan stabil. Peru-
bahan biasanya bersumber dari dalam sistem itu sendiri dan
dari luar lingkungan. Faktor yang paling penting untuk meng-
integrasikan sistem itu adalah consensus nilai. Nilai-nilai inilah
yang mengatur pola hubungan fungsional dalam system ter-
sebut.9 Dengan demikian, nilai-nilai yang pada akhirnya menjadi
tujuan-tujuan masyarakat dan tujuan Negara yang semula
menjadi pusat perhatian kajian paradigma normative adalah
bersumber dari lingkungan sistem baik lingkungan dalam
maupun lingkungan luar.
Selanjutnya nilai-nilai yang ada dalam masyaraklat ini akan
berproses menjadi fungsi-fungsi politik bagi suartu sistem
politik (sebagai pengganti istilah Negara) baik fungsi in-put
(tuntutan) maupun fungsi out-put (dukungan) yang pada akhirnya
akan menjadi energi “bahan bakar” bagi bekerjanya sistem

9
Lihat Maksudi BI, 2012. Sistem Politik Indonesia, Pemahaman Secara
Teoritik dan Empirik, Raja Gradindo Persada, Jakarta, hal. 19-27

ILMU PEMERINTAHAN 325


Disiplin dan Metodologi
politik dalam mengolah (konversi) input menjadi keputusan-
keputusan politik (policy) untuk mengatur masyarakat dalam
mencapai tujuan bersama.
Namun tidak semua masalah yang dihadapi masyarakat
dapat masuk ke dalam tahapan public policy pemerintah. Setiap
masalah harus diidentifikasi issunya terlebih dahulu, kemudian
dirumuskan bentuk, dampak, dan tujuannya selanjutnya masuk
ke dalam agenda pemerintah (agenda government). Masalah-
masalah yang dapat masuk menajdi agenda pemerintah adalah
masalah-masalah yang memiliki tingkat sensivitas yang tinggi.
Menurut Randal B.Riplay ada sejumlah faktor bagaimana suatu
issu-masalah dapat masuk ke dalam agenda pemerintah,yaitu
(a) Crisis; (b) Public Interest; (c) Agenda Pemerintah; (d)
Leadership Capability.10 Selain itu, ada faktor Precidency;
Presiden, staff, Menteri, Militer, Partai Politik, Birokrasi, dan
Kelompok Penekan (presure group).

ELEMEN SISTEM POLITIK


Menurut Easton, ada tiga elemen sistem politik, yaitu:
1. The political system allocates value (by means of politics);
2. Its allocations are authoritative,and
3. Its authoritative allocations are binding on the society as
whole
Dalam sistem politik ada unsur pengalokasian nilai ke
dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan nilai adalah segala
sesuatu yang dianggap baik dan benar oleh suatu masyarakat,
sehinga pada akhirnya diperjuangkan.11 Harold D.Laswell dan

10
Hasil diskusi penulis dan Prof. Dr. Afan Gaffar, MA dalam Perkuliahan
Politik di Indonesia, 1995, Program Magister Ilmu Politik Universitas Gadjah
Mada
11
Pendapat ini sebagai hasil diskusi penulis dengan Prof. Dr. Maswadi, MA
dalam perkuliahan Ruang Lingkup Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Politik,
Pascasarjana Universitas Riau

326 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Karl Deutsc berpendapat ada sepuluh nilai yang selalu ada
dalam suatu masyarakat, yaitu: (1) Power ;(2) Security; (3)
Enlightenment; (4) Wealth; (5) Health; (6) Well being; (7)
Skill; (8) Affection; (9) Rectitude; (10 )Respect. Kesepuluh
nilai ini penerapannya dapat berbeda-beda dalam suatu
masyarakat. Ada masyarakat yang menekan nilai security,atau
skill. Namun, nilai-nilai yang lain tetap diperjuangkan.
Menurut David Easton istilah politik berarti sebagai
“proses alokasi nilai-nilai dalam masyarakat secara otoritatif.
Pemerintah dan pemerintahan merupakan sistem bagaimana
alokasi nilai-nilai ke dalam masyarakat yang bersifat mengikat.
Karena pengalokasian nilai-nilai ke dalam suatu masyarakat
tidak dilakukan sembarangan tetapi didukung oleh struktur dan
proses. Pemerintahan itu merupakan suatu proses melibatkan
berbagai komponen yang saling berkait satu dengan lain dan
dalam proses itu dipengaruhi oleh lingkungan dalam (intra
societal environment) dan lingkungan luar (exstra societal
inveronment).
Nilai-nilai yang dialokasikan ke dalam masyarakat itu
bersifat langka (scarcity) sehingga cenderung diperebutkan.
Sebagai contoh nilai “power” itu langka, sehingga untuk
mengalokasikan dan mendistribusikan ke dalam masyarakat
dibutuhkan dukungan struktur dan proses oleh lembaga-lembaga
yang mempunyai kewenangan untuk menentukan dan me-
mutuskan. Dengan demikian, politik dan pemerintahan adalah
proses alokasi nilai yang bersifat mengikat dalam suatu mas-
yarakat. Oleh karena itu masalah-masalah pemerintahan dapat
didekati dengan pendekatan sistem. Pemerintah dan peme-
rintahan merupakan:12
1. Proses
2. Merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai
12
Lihat Utang Swaryo, 2017. Metodologi Ilmu Pemerintahan. KAPSIPI,
Bandung., hal.132-133

ILMU PEMERINTAHAN 327


Disiplin dan Metodologi
komponen yang saling berhubungan tiap komponen (struktur)
mempunyai fungsi-fungsi tertentu
3. Ciri-ciri sistem ada dalam suatu pemerintahan, antara lain:
- Adanya struktur
- Struktur itu mempunya fungsi
- Terintegrasi
- Regularity (keteraturan)
- Keutuhan (wholeness)
- Keterorganisasian (organization)
- Keterlekatan komponen antara yang satu dengan yang
lain (coherence)
- Keterhubungan komponen satu sama lain (connectedness)
- Interdependence (ketergantungan komponen satu
dengan lain).

KETERBATASAN ANALISIS SISTEM


Dalam perkembangan pendekatan analisis sistem,teori ini
tidak luput dari kritik karena memang sebagai suatu teori me-
miliki keterbatasan-keterbatasan. Mitchell (1968), Susser
(1992), Riswanda Imawan (1998) menyampaikan beberapa
kritik. Secara umum berfokus pada tiga area: kelemahan meto-
dologi, kurang tepat bagi riset empiris, dan bias politik yang
kuat.
Ambil contoh kritik yang diketengahkan Imawan (1995)
bahwa anilisis sistem apabila diterapkan dalam kajiam empirik
studi politik bersifat “linieristik”, artinya dalam kenyataannya
proses politik di suatu siatem politik tidak sepenuhnya berjalan
bertahap (input, konversi, output). Banyak contoh proses politik
misalnya masa Orde baru (ORBA) tidak memiliki input tetapi
menghasilkan output. Bahkan sebaliknya memiliki sejumlah
input tetapi pada akhirnya tidak menghasilkan out-put.13

13
Hasil diskusi penulis dengan Prof. Dr. Riswanda Imawan, MA dan Diskusi
Ilmiah Seminar Nasional di Yogyakarta,1995

328 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Demikian Bernard Susser (1992) menunjukkan bahwa
analisis “input-output” Easton sedikit sekali dimanfaatkan dalam
penelitian empiris yang sesungguhnya, dan jika digunakan,
“kontribusinya akan lebih bersifat terminologi daripada riil”.
Masalahnya adalah secara praktis tidak mungkin mengkaji suatu
system tanpa melihat kepada masa lampau. Tanpa perkembangan
sistem dan kekuatan dan kelemahan historisnya, akan sukar bagi
kita untuk mengemukakan apakah suatu persitiwa itu merupakan
situasi krisis atau situasi norma saja.14

STRUKTURAL-FUNGSIONAL
Salah satu persamaan teori sistem dan struktural-fungsional
adalah terletak pada cara pandang terhadap masyarakat atau
politik sebagai suatu sistem. Susser (1992) menulis bahwa
keduanya fokus pada analisis input-output, keduanya me-
mandang sistim politik sebagai pendorong terjadinya homeo-
statis atau keseimbangan, dan keduanya melihat pada umpan
balik dalam analisis mereka. Namun fungsionalisme secara
signifikan memiliki perbedaan.15
Perbedaannya teori struktural-fungsional cenderung me-
lihat politik sebagai gejala serba hadir dalam masyarakat apapun.
Memurut teori ini dalam masyarakat apapun mestilah terdapat
fungsi-fungsi politik, dan dimana ada fungsi politik disitu ada
struktur politik, fungsi dan struktur politik suatu masyarakat
dilandasi oleh budaya politik tertentu.
Fungsionalisme memiliki sejarah yang panjang, baik
dalam ilmu-ilmu sosial maupun dalam ilmu-ilmu biologi.16
Pendekatan structural-fungsional ini lebih duluan dari teori

14
Susser, dalam John T. Ishiyama dan Marike Breuning, 2013. Ilmu Politik,
dalam Paradigma Abad Ke-21, Sebuah Referensi Panduan Tematis,
Kencana, Jakarta., hal.119-120
15
Susser, dalam John T. Ishiyama dan Marike Breuning, 2013, ibid., hal.120
16
John T. Ishiyama dan Marike Breuning, 2013, Ibid., hal.120

ILMU PEMERINTAHAN 329


Disiplin dan Metodologi
sistem. Sejarah fungsional sudah ada sejak kajian Aristoteles
mengenai sebab musabab paling dasar dari alam atau studi
tentang tindakan yang berkaitan dengan tujuan, atau kegunaan.
Di bidang pemerintahan, Montesquieu dalam abad ke-17
di Perancis, mengemukakan teori dasar kekuasaan berdasarkan
pemisahan fungsi-fungsi sebagai cara menjamin stabilitas dan
keamanan.

ASUMSI DASAR
Ada tiga asumsi dasar teori struktural fungsional yang
semula bersumber dari gagasan Talcott Parsons dan Marion
Levy yang kemudian dipakai Gabriel A. Almond ke dalam ana-
lisa perbandingan sistem politik. Ketiga asumsi tersebut adalah
sebagai berikut: Pertama, melihat masyarakat sebagai system
dan menekankan keseluruhan sistem itu sebagai unit analisis.
Kedua, menetapkan fungsi-fungsi tertentu sebagai persyaratan
atau sebagai harus ada, agar sistem sebagai keseluruhan dapat
terus berlangsung. Ketiga, menekankan adanya hubungan saling
ketertergantungan secara fungsional antar berbagai struktur di
dalam keseluruhan sistem.17
Berdasarkan asumsi ini, maka Almond menetapkan tiga
peringkat atau jenis fungsi politik dalam setiap Negara: 1)
Fungsi-fungsi politik dalam rangka adaptasi dan pelestarian
sistem politik. Fungsi-fungsi politik yang termasuk ke dalam
peringkat ini adalah sosialisasi politik dan rekruitmen politik.
Sosialisasi politik terkait dengan budaya politik, karena me-
nyangkut penanaman nilai-nilai, simbol-simbol, norma-norma,
kebiasaan yang berkaitan dengan politik yang di”ajarkan”
kepada individu. Sedangkan rekruitment politik, yaitu proses
seleksi dan memilih atau mengangkat seseorang atau seke-
lompok orang untuk melaksanakan peranan-peranan politik

17
Ramlan Surbakti, 1984., hal 88

330 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
dalam sistem politik. 2) Fungsi konversi, yaitu proses yang
dilalui sistem politk untuk mengubah input menjadi out-put.
Yang termasuk fungsi input adalah perumusan kepentingan,
pemanduan kepentingan, dan komunikasi politik. Sedangkan
fungsi-fungsi yang termasuk fungsi output adalah fungsi pem-
buatan aturan, pelaksanaan aturan, dan penghakiman aturan. 3)
Fungsi kapabilitas, yaitu fungsi-fungsi yang akan mempe-
ngaruhi lingkungan masyarakat yang termasuk fungsi ini adalah
kapabilitas ekstratif, distributif, regulatif, responsive, simbolik,
domistik dan internasional. Dengan mengetahui kapabilitas sis-
tem politik kita dapat menggambarkan perubahan yang terjadi
dalam suatu Negara.
Dengan metode “deskriptif kualitatif?”
Francesca M. Cancian (1968) menguraikan dua tipe
analisis fungsional:18
a. Analisis fungsional adalah yang paling banyak digunakan.
Analisis fungsional tradisional didasarkan pada premis
bahwa semua pola sosial bekerja untuk mempertahankan
integrasi dan adaptasi dari sistem yang lebih besar. Se-
lanjutnya, dua atribut lebih lanjut membedakan analisis
fungsional tradisional dari bentuk-bentuk anlisis yang lain.
Pertama, pola sosial dijelaskan oleh efek taau konsekuensi
dari pola tersebut, dan kedua, hasil-hasil ini akan berguna
dan diperlukan agar masyarakat berfungsi dengan baik. Para
peneliti menggunakan satu atau dua cara ketika meng-
gunakan analisis fungsional tradisional. Mereka dapat
mengkaji beberapa aspek masyarakat pada suatu waktu dan

18
Lihat John T. Ishiyama dan Marike Breuning, 2013, Ibid., hal.121-122.
Sebagian besar pendekatan fungsional memiliki satu unsur kesamaan, yaitu
minat untuk menghubungkan satu bagian dari suatu masyarakat atau system
sosial dengan bagian atau aspek lain dari kebutuhan. Ada tiga tipe dalam
pendekatan ini: pertama, didasarkan atas konsep-konsep dan asumsi-asumsi
sosiologi; yang kedua, didasarkan pada asumsi bahwa pola-pola sosial akan
mempertahankan sistem sosial yang lebih besar; dan ketiga, didasarkan
pada model sistem yang mengatur dan menyeimbangkan dirinya sendiri.

ILMU PEMERINTAHAN 331


Disiplin dan Metodologi
berupaya menghubungkan satu pola sosial dengan sesuatu
yang dibutuhkan peneliti, dan dengan demikian menjelaskan
pola tersebut.
b. Analisis fungsional formal disebut formal karena analisis
ini tidak mencakup orientasi teoritis atau hipotesis sub-
stantive mengenai peristiwa atau kejadian. Analisis ini
mempelajari hubungan antar elemen. Analisis ini berbeda
dengan analisis tradisional karena proponen-proponennya
menentang atribut-atribut “integrasi” dan “adaptasi” dan
lebih memilih mengkaji fungsi-fungsi feedback atau pe-
nyeimbangan dalam sistem. Efek-efek unsur digunakan
untuk menjelaskan unsur itu sendiri. Tidak ada pada jenis
konsekuensi yang dipelajari. Konsekuensi mungkin (atau
mungkin tidak) bermanfaat atau perlu bagi masyarakat.
Metodologi classic atau tradisi pemikiaran normative
selalu berupaya menemukan “apa yang seharusnya” dalam
politik. Secara sistimatik gagasan “keharusan” politik “moral
dan etik” yang ada dalam masing-masing fikiran ilmuan politik
classic di komunikasikan dengan memilih cara menggambarkan
(diskriptif). Dalam konteks penyelidikan metode yang diguna-
kan cenderung “diskriptif kualitatif”. Metode ini lebih tertarik
dan percaya kepada deskripsi perilaku secara menyeluruh (ho-
listik) yang terjadi pada situasi yang alamiah (natural). Bentuk
penelitian semacam ini merupakan bentuk penelitian tertua
dalam perkembangan ilmu politik. Ilmuan politik yang me-
lakukan penelitian semacam ini antara lain Plato dan Aristo-
teles.
Bentuk-bentuk penelitian semacam ini pada awalnya
bertujuan terutama untuk memecahkan persoalan, bukan ber-
tujuan untuk mengembangkan teori politik, meskipun dalam
perkembangannya David Easton dan Gabriel A. Almond me-
makai metode ini mengembangkan teori. Karena itu tipe pe-
nelitian ini pada awalnya dikatakan bukan empirik, sebab tidak
mencari atau mengandalkan diri pada fakta. Biasanya penelitian

332 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
dilakukan untuk menggabungkan fakta politik dengan argu-
mentasi moral atau etik dalam membenarkan suatu tindakan
politik. Contoh yang tepat untuk tipe penelitian ini ialah karya
John Stuart Mill dalam “Consideration on Representative
Government” dalam tulisan ini Mill menganjurkan penggunaan
pemerintahan perwakilan demokratis karena: (a) tujuan utama
pemerintahan sebaiknya memberikan kepada setiap warga
Negara kesempatan untuk berkembang kearah seluruh potensi-
nya (argumentasi moral), (b) pemerintahan demokratis, dengan
memberikan tanggung jawab rakyat, akan melakukan tujuan
tersebut (asumsi faktual).19
Dalam perkembangannya metode diskriptif kualitatif di-
pakai pula oleh David Easton untuk menggambarkan struktur
normatif mekanisme bekerjanya suatu sistem politik (istilah
untuk menggantikan Negara) melaui teori sistemnya, dan ke-
mudian Gabriel A. Almond dengan teori struktural fungsional,
berupaya menggambarkan struktur dan fungsi-fungsi normative
sistem politik yang seharusnya berjalan dalam suatu Negara.
Kedua teori ini bersifat sangat linieristik, seakan-akan kehidu-
pan politik berjalan sangat alamiah dan bersifat yuridis-formal.
Oleh karena itu, metode yang digunakan juga cenderung bersifat
diskriptif.

19
Shivelly, dalam Surbakt,1984, Op.cit., hal. 7:83

ILMU PEMERINTAHAN 333


Disiplin dan Metodologi
334 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
BAB 10
ANALISIS PERTUMBUHAN
DAN DUALISME EKONOMI

Bagian ini bertujuan ingin memberikan contoh kajian


dengan basis argumentasi tentang dinamika pemerintahan
dalam kaitan pilihan publik; perspektif teori Pertumbuhan Eko-
nomi1 dan Dualisme Ekonomi dengan mengambil contoh ke-
bijakan pemerintah di bidang perkebunan di Riau. Asumsinya
adalah para penyelenggara negara adalah makhluk ekonomi yang
memiliki kepentingan, baik individu maupun kelompok. Masing-
masing pihak memperjuangkan kepentingannya yang berperi-
laku sebagai “rational utility maximizer” dan “self-interest”.

ARGUMENTASI
Argumentasi yang akan diketengahkan dalam uraian ini
adalah teori pembangunan pertanian pada mulanya diawali oleh
1
Lihat Mohtar Mas’Oed. 2001. Mazhab neo-klasik dalam ilmu ekonomi lahir
pada dasarwarsa 1970-an. Pada waktu itu matematika pertama kali
diperkenalkan dalam studi ekonomi, yang kemudian mengakibatkan
perubahan besar-besaran pada ilmu ekonomi dan membuat ilmu itu terpisah
dari induknya, yaitu ekonomi-politik klasik. Ini juga mendorong pemisahan
unsur ekonomi dari ekonomi-politik klasik itu dengan unsur politiknya,
sehingga lahirlah dua disiplin ilmu yang terpisah, yaitu ilmu ekonomi dan
ilmu politik. Deliarnov. 2006. Ekonomi-Politik; Mencakup Berbagai Teori
dan Konsep yang Komprehensif. Erlangga. Jakarta., hal.134-135

ILMU PEMERINTAHAN 335


Disiplin dan Metodologi
model-model pertumbuhan ekonomi dan teori-teori ekonomi
adalah pijakan pendekatan pilihan rasional. Penerapannya, dalam
proses pembangunan inilah melekatnya masalah-masalah peme-
rintahan. Dalam perkembangannya, interaksi faktor ekonomi dan
non-ekonomi makin dirasakan pentingnya bahkan sering me-
nentukan dalam proses pembangunan.2 Prestasi pembangunan
pertanian ternyata erat kaitannya dengan kebijakan makro
ekonomi dan dukungan politik. Pada masyarakat timur selain
adanya pertumbuhan ekonomi bersamaan itu pula terdapat inte-
raksi sektor tradisional dengan sektor moderen. Dalam konteks
ini, kebijakan dipandang tidak hanya persoalan teknis-individual,
tetapi tindakan kolektif aktor, berkaitan dengan mobilisasi du-
kungan. Dalam uraian ini kebijakan perkebunan dipandang
sebagai hasil pergulatan politik Pusat-Daerah.
Untuk memudahkan pembahasannya, tulisan ini diorganisir
melalui bahagian-bahagian berikut ini, dimulai; (1) konteks
kebijakan perkebunan, (2) teori pertumbuhan bertahap (growth
stage theory), dan (3) teori dualisme (dualism theory). Alur
fikir uraian teorik ini dirinci sebagai berikut: (1) Teori pertumbuhan
bertahap; konteks sejarah, dan elemen teori, (2) Teori dualisme;
konteks sejarah, dan elemen teori enclove.

KONTEKS KEBIJAKAN
Di Indonesia, kaitan kebijakan dan pembangunan pertanian
dapat dilihat terutama pada sektor perkebunan (Besar)3, mulai
dari masa penjajahan hingga setelah kemerdekaan. Pada masa
penjajahan dikenal; (1) Undang-undang Agraria (Agrarische
Wet) 1870, (2) tahun 1878 Undang-undang budidaya tebu atau
Wet Van deZuikercultuur, (3)tahun 1894, Undang-undang per-
saingan berusaha atau Febrieken Ordonantie, dan (4) Kebijakan
2
Mas’oed. 2001. Ibid., hal. 2- 6
3
Lihat Mubyarto, et all. 1993. Riau Menatap Masa Depan. Yogyakarta: P3PK
– UGM., hal. 78

336 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
izin pabrik gula untuk menyewa tanah rakyat pada tahun 1918.
Dalam proses kebijakan ini jelas tarik-menarik kepentingan
antara aktor penjajah (pemerintah dan perusahaan besar
perkebunan) dan masyarakat Indonesia.
Setelah kemerdekaan, sejak Pelita I (1969) hingga akhir
Pelita II (1978), perkebunan kelapa sawit hanya diusahakan
oleh Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar
Swasta (PBS). Menjelang Pelita III (1979), pemerintah me-
masukkan Perkebunan Rakyat dalam struktur pengusahaan
perkebunan kelapa sawit.4 Mulai tahun 1969 pemerintah telah
pula melakukan kebijakan ekonomi dibidang devaluasi rupiah,
suku bunga, subsidi pupuk dan kebijakan upah bagi pekerja
perkebunan.
Tahun 1978 melalui Keputusan Tiga Menteri (Menteri
Perdagangan dan Koperasi, Pertanian, dan Perindustrian)
No.275/KPB/XII/1978, No.764Kpts/VM/12/1978, dan No.
252/M/Sk/12/1978 diberlakukan kebijakan tata niaga minyak
sawit dengan maksud melindungi konsumen minyak sawit
domestik. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No.282/Kp/
XII/78 (Pakdes 1978). Pada tahun 1991 pemerintah menge-
luarkan kebijakan “free market” (Pakjun) yang berisi deregulasi
bidang investasi, perdagangan dan keuangan. Kebijakan pene-
tapan harga ekspor CPO dan produk turunannya SK Menteri
Keuangan No.440/KMK/017 tanggal 1 September 1994, Tahun
1999 melalui SK Menteri No.189/KMK/07/1999 kebijakan
penurunan pajak ekspor CPO dari 30 % menjadi 10 %. Tahun
2002 pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Pertanian
No.357/Kpts/HK.350/5/2002 tentang perizinan usaha per-
kebunan.
Pertanyaan sederhana yang dapat diketengahkan adalah
bagaimana perspektif pertumbuhan bertahap dan perspektif
dualisme memahami fenomena kebijakan perkebunan itu? Apa
4
Suharyono. 1996. Op.cit., hal. 23

ILMU PEMERINTAHAN 337


Disiplin dan Metodologi
yang menjadi tujuan dan siapa saja aktor kebijakan tersebut?
Uraian berikut ini memberikan gambaran singkat dari per-
tanyaan-pertanyaan diatas.

TEORI PERTUMBUHAN
Perspektif teoritik pembangunan pertanian erat hubungan-
nya dengan teori pembangunan ekonomi.5 Teori pembangunan
ekonomi yang berkaitan dengan pembangunan perkebunan
antara lain adalah teori pertumbuhan bertahap. Hayami and W.
Ruttan (1971) menyebutkan ada tiga teori pertumbuhan ber-
tahap yang mendasari pembangunan perkebunan. Teori-teori
tersebut dikemukan oleh (i) Marx dan List yang mengemukakan
the German Tradition, (ii) Fisher dan Clark mengemukakan
structural Transformation, dan (iii) Rostow mengemukakan
the Leading Sector. Bahasan ini akan mereview teori pertum-
buhan bertahap yang dikemukan W.W. Rostow. Karena dianggap
relevan untuk konteks Indonesia dalam menjelaskan pemba-
ngunan perkebunan.
Teori pertumbuhan bertahap (growth stage theory) yang
dikemukakan oleh Rostow ini merupakan pandangan seorang
economic historian tentang pertumbuhan ekonomi. Teori ini
lahir di saat-saat negara-negara baru memerlukan conceptual
apparatus untuk menganalisis proses pertumbuhan ekonomi
pada masyarakat agraris yang salah satu cirinya adalah tidak
adanya sektor modern.6
Dalam bentuknya sekarang ini, paling tidak menurut tokoh-
tokoh Amerika Serikat (AS), menurut Daniel Chirot dalam
Suwarsono dan Alvin Y. So (1991) sebagai produk sejarah tiga
peristiwa penting dunia setelah perang dunia II. Pertama,

5
Slamat H. 2005. Op.cit., hal. 12-13
6
Tjokrowinoto M. 1994. Konsep dan Isu Pembangunan Nasional.
Yogyakarta: Program Magister Administrasi Universitas Gadjah Mada., hal.
13-24

338 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
munculnya Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan dunia.
Sekalipun Negara-negara barat lainnya, seperti Inggris, Prancis,
dan Jerman semakin melemah setelah Perang Dunia II, AS
justru menjadi “pemimpin” dunia sejak pelaksanaan Marshall
Plan yang diperlukan untuk membangun kembali Eropa Barat
akibat perang dunia II. Pada tahun 1950-an secara praktis AS
me-ngambil peran sebagai pengendali dunia.
Kedua, pada saat yang hampir bersamaan, terjadi perluasan
gerakan komunisme sedunia. Uni Sovyet mampu memperluas
pengaruh politiknya tidak saja sampai di Eropa Timur, tetapi
juga sampai di Asia, antara lain di Cina dan Korea. Ini secara
tidak langsung mendorong AS untuk berusaha memperluas pe-
ngaruh politiknya pada belahan dunia lain, selain Eropa Barat,
sebagai salah satu upaya pembendungan penyebaran ideologi
komunisme.
Ketiga, lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia,
Afrika, dan Amerika Latin, yang sebelumnya merupakan daerah
jajahan Negara-negara Eropa. Negara-negara baru ini secara
serempak mencari model-model pembangunan yang hendak
digunakan sebagai contoh untuk membangun ekonominya dan
dalam usaha untuk mempercepat pencapaian kemerdekaaan
politiknya. Dalam situasi politik dunia seperti ini wajar jika
elit politik AS memberikan dorongan dan fasilitas bagi ilmuwan
sosialnya untuk mempelajari permasalahan Dunia Ketiga.
Kebijaksanaan ini diperlukan sebagai langkah pendahuluan
untuk membantu membangun ekonomi dan kestabilan politik
Dunia Ketiga dalam rangka menghindari kemungkinan ter-
pengaruh atau jatuhnya Negara yang baru merdeka tersebut ke
pangkuan Uni Sovyet.
Jika pada masa sebelum Perang Dunia II, persolaan
pembangunan Negara dunia ketiga hanya sedikit sekali men-
dapat perhatian para ilmuwan AS, namun keadaan yang sebalik-
nya terjadi setelah Perang Dunia II. Dengan bantuan yang

ILMU PEMERINTAHAN 339


Disiplin dan Metodologi
melimpah dari pemerintah AS dan organisasi swasta, satu ge-
nerasi baru organisasi politik, ekonomi, dan para ahli sosiologi,
pskologi, antripologi, serta ahli kependudukan menghasilkan
karya-karya desertasi dan monograf tentang dunia ketiga. Satu
aliran pemikiran antar disiplin yang tergabung dalam ajaran
modernisasi sedang terbentuk pada tahun 1950-an tersebut.
Karya kajian teori modernisasi (termasuk teori pertumbuhan
bertahap W.W. Rostow) merupakan “industri yang tumbuh
segar” sampai pertengahan 1960-an.7 Oleh karena itu, tidak
berlebihan jika karya kajian dari teori modernisasi (termasuk
teori pertumbuhan bertahap) dikategorikan sebagai satu aliran
pemikiran (a school of thought) tersendiri. Terlebih lagi, di-
topang oleh kenyataan bahwa para peniliti dan penganut aliran
ini sepertinya telah membentuk satu energi besar gerakan sosial,
memiliki dan sumber daya sendiri yang kuat, mempunyai hubu-
ngan yang mempribadi bagi para pendukungnya, dan mampu
menerbitkan jurnal ilmiah dan seri publikasi secara rutin serta
mempunyai tanggung jawab dan rasa misi bersama.
Sebagai contoh misalnya, dewan peneliti ilmu-ilmu sosial
(the Social Science Research Council/SSRC), dengan dana
yang lebih dari sekedar cukup, membiayai komite kajian per-
bandingan politik (the Committee on Comparative Politics)
untuk dengan cepat membentuk dan melaksanakan seminar dan
penelitian, dan menerbitkan hasil kajiannya melalui badan
penerbitan Universitas Princeton. Hasil program ini nampak
terlihat pada kajian tentang media komunikasi, birokrasi,
pendidikan, kebudayaan, partai politik, dan krisis modernasasi
negara dunia ketiga (Ibid:1991). Demikian pula W.W. Rostow
yang pada mulanya dikemukakan sebagai suatu artikel dalam
Economic Journal dan yang kemudian dikembangkannya lebih
lanjut dalam bukunya The Stage of Economic Growth.8

7
Almond, dalam Suwarsono, 1991
8
Sukirno S. 1990. Ibid. hal 101

340 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
TAHAP-TAHAP ROSTOW
Menurut Rostow, proses pembangunan ekonomi dapat
dibedakan dalam lima tahap pertumbuhan ekonomi sebagai
berikut:
(a) Masyarakat tradisional (the traditional society).
(b) Prasyarat untuk lepas landas (the preconditions for take
off)
(c) Lepas Landas (the take off).
(d) Menuju kearah kedewasaan (the drive to maturity).
(e) Masa konsumsi tinggi (the age of high mass consumption)
Pertama, tahap masyarakat tradisional (the traditional
society). Menurut Rostow, masyarakat tradisional digambarkan
sebagai suatau masyarakat yang strukturnya berkembang dalam
fungsi-fungsi produksi yang terbatas, didasarkan pada tek-
nologi, ilmu pengetahuan dan sikap masyarakat seperti sebelum
“masa Newton”. Masyarakat sebelum masa Newton dijelaskan
oleh Rostow adalah sebagai suatu masyarakat yang masih
menggunakan cara-cara memproduksi yang relatif primitif.
Cara hidup masyarakat yang masih sangat dipengaruhi oleh
nilai-nilai pemikiran yang tidak rasional, didasarkan oleh
kebiasaan yang telah berlaku secara turun temurun.9 Menurut
Rostow10, ciri-ciri suatu masyarakat tradisional adalah sebagai
berikut:
1) Tingkat produksi perkapita dan tingkat produktivitas per
pekerja masih sangat terbatas. Sebahagian besar dari sumber
daya masyarakat digunakan untuk kegiatan dalam sektor
pertanian.
2) Struktur sosial dalam pertanian sangat bersifat hirarkis,
yaitu anggota masyarakat mempunyai kemungkinan yang
sangat kecil sekali untuk mengadakan mobilitas vertikal.
9
Lihat Tjokrowinoto M. 1994. Rostow dalam Wiratmo M. 1992. Ekonomi
Pembangunan. Yogyakarta: Media Widya Mandala., hal. 24-29
10
Lihat Tjokrowinoto M. 1994. Ibid., hal. 17-20

ILMU PEMERINTAHAN 341


Disiplin dan Metodologi
Dalam kondisi sosial masyarakat seperti ini, hubungan parti-
kularistik yang didasarkan pada kesukuan dan keluarga
sangat besar pengaruhnya di dalam menentukan kedudukan
seseorang.
3) Sentralisasi kekuasaan mewarnai kegiatan politik dan
pemerintahan. Agenda kegiatan politik dan pemerintahan
di daerah-daerah berada pada tangan tuan tanah. Preferensi
politik ini mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksa-
naan kebijakan pusat di Daerah.
Kedua, tahapan prasyarat untuk menuju lepas landas (the
preconditions for take off). Pada tahan ini digambarkan
Rostow, sebagai suatu masa dimana masyarakat mepersiapkan
dirinya atau dipersiapkan dari luar untuk mencapai pertumbuhan
yang mempunyai kekuatan terus berkembang (self-sustained
growth). Dalam prosesnya, perkembangan ekonomi ini di-
harapkan akan dapat berkembang sendiri mencapai tingkat per-
tumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Rostow menyebutkan ada
dua jenis ciri dari tahap prasyarat untuk lepas landas: (1) tahapan
yang dicapai oleh Negara-negara Eropa, Asia Timur Tengah dan
Afrika yang dilakukan dengan cara merombak masyarakat tradi-
sional yang sudah lama ada; (2) tahapan yang dicapai oleh Negara-
negara yang dinamakan oleh Rostow “born free”, yaitu Ame-
rika Serikat, kanada, Australia dan Selandia Baru. Negara-negara
ini dapat berhasil mencapai prasyarat untuk lepas landas tanpa
harus merombak struktur masyarakat yanag tradisional.
Yang perlu dicatat pada tahapan prasyarat menuju lepas
landas menuju tahapan perkembangan ekonomi lepas landas
menurut Rostow adalah peranan sector pertanian dan kenaikan
penanaman modal. Kedudukan sektor pertanian (termasuk per-
kebunan) sangat penting, karena:
(1) Menjamin agar penyediaan bahan makanan bagi penduduk
yang bertambah akan tetap terjamin.
(2) Menyediakan bahan makanan yang cukup bagi penduduk
kota yang bertambah dengan cepat sebagai akibat dari

342 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
industrialisasi. Hal ini berimplikasi pada terhindarnya bahaya
kelaparan dan berkurangnya penggunaan devisa untuk me-
ngimpor bahan makanan.
(3) Pertanian (perkebunan) menunjang perkembangan sektor
industri
(4) Memperluas pasar dari berbagai kegiatan industri, missal
pasar industri penghasil input pertanian modern seperti
mesin-mesin pertanian dan pupuk kimia
(5) Pertanian (perkebunan) menjadi sumber biaya untuk penge-
luaran pemerintah, yaitu menggunakan pajak atas sektor
pertanian/perkebunan.
(6) Menciptakan tabungan yang dapat digunakan sektor lain
terutama sektor industri.
Sedangkan mengapa Rostow memandang pentingnya pe-
ningkatan penanaman modal pada transisi menuju tahapan lepas
landas adalah didasarkan pada pemikiran dan bukti empiris
bahwa hanya dengan meningkatnya penanaman modal per-
ekonomian suatu Negara dapat berkembang sedemikian rupa
melebihi pertambahan penduduk.
Sebagai contoh, dimisalkan dalam suatu perekonomian
yang mengalami pertambahan penduduk sebesar 1 sampai 1,5
persen per tahun dan rasio modal produksi (capital output ratio)
adalah 3,5 persen akan memerlukan modal sebesar 3,5 persen
sampai 5,25 persen dari pendapatan nasional hanya untuk men-
jaga agar tingkat kesejahteraan masyarakat tidak mengalami
penurunan. Tingkat penanaman modal seperti itu akan men-
ciptakan pertambahan pendapatan nasional sebesar 1 sampai
1,5 persen berarti sama dengan pertambahan penduduk. Dengan
demikian, untuk menciptakan kenaikan dalam tingkat penda-
patan perkapita, maka penanaman modal yang dilakukan harus
lebih besar dari 5,25 persen .
Ketiga, tahapan lepas landas (the take off). Menurut Rostow,
tahap lepas landas adalah suatu tahap yang ditandai adanya

ILMU PEMERINTAHAN 343


Disiplin dan Metodologi
pembaharuan-pembaharuan dan adanya peningkatan modal.
Meningkatnya penanaman modal akan mengakibatkan pening-
katan pedapatan nasional, yang pada akhirnya seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk akan berakibat pula pada pening-
katan pendapatan perkapita penduduk. Dalam buku ini, Rostow
mengemukakan sejumlah ciri dari tahapan lepas landas. Adapun
ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Kenaikan dalam penanaman modal yang produktif dari 5
persen atau kurang menjadi 10 persen dari produk nasional
netto.
(2) Perkembangan satu atau beberapa sektor industri dengan
tingkat laju pertambahan yang tinggi.
(3) Adanya atau segera terciptanya suatu rangka dasar politik,
social dan institusional yang akan menciptakan: (a) segala
gejolak-gejolak untuk membuat perluasan disektor modern;
dan (b) potensi eksternalitas ekonomi (external economies)
yang ditimbulkan oleh kegiatan lepas landas sehingga me-
nyebabkan pertumbuhan akan terus menerus berlaku.
Pada tahapan lepas landas ini menurut Rostow, terjadi
kenaikan penanaman modal,11 prestasi ini disebabkan oleh ada-
nya perubahan-perubahan dalam perekonomian. Kenaikan
modal ini menunjukkan terjadinya kenaikan jumlah dana yang
dapat dipinjamkan (loanable funds), dan bertambahnya golo-
ngan pengusaha (entrepreneurs). Kenaikan jumlah dana pada
tahap ini berasal dari kenaikan loanable funds yang bersumber
dari berlakunya perubahan dalam aliran pendapatan dari impor
modal dan dapat berasal dari sektor-sektor yang berkembang
pesat.
Selanjutnya Rostow membagi sektor-sektor pertumbuhan
dalam perkembangan ekonomi suatu masyarakat, yakni;
(1) sektor pertumbuhan primer, yaitu sektor atau kegiatan
11
Angka investasi di sektor perkebunan dari tahun ke tahun semakin meningkat,
paling tidak kasus Riau dalam mengembangkan perkebunan kelapa sawit.

344 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
ekonomi yang menciptakan pertumbuhan yang pesat dan
menciptakan kekuatan ekspansi ke berbagai sektor lain dalam
perekonomian.
(2) Sektor pertumbuhan suplementer, yaitu sektor yang ber-
kembang dengan cepat sebagai akibat langsung dari perkem-
bangan di sektor pertumbuhan primer.
(3) Sektor pertumbuhan terkait, yaitu sektor yang berkembang
seiring dengan kenaikan pendapatan, penduduk dari produksi
sektor industri.
Dalam banyak Negara yang dalam membangun, pertumbu-
han selalu timbul sebagai akibat dari berkembangnya dari
sejumlah sektor yang dapat dikategorikan sektor pertumbuhan
primer. Sektor inilah yang disebut sektor pemimpin (leading
sectors). Ada sejumlah faktor yang harus diperhatikan dalam
menciptakan sektor pemimpin pertumbuhan ekonomi ini, yaitu;
(1) terdapatnya kemungkinan terbukanya peluang pasar sedemi-
kian rupa untuk barang-barang yang dihasilkan; (2) terdapatnya
teknik produksi yang lebih moderen dengan kapasitas memadai,
(3) dalam masyarakat harus ada tabungan dan pengusaha ber-
usaha menciptakan surplus guna mendorong sektor pemimpin.
Keempat, tahap menuju kearah kedewasaan (the drive to
maturity). Tahap ini diartikan Rostow sebagai tahap dimana
masyarakat sudah secara efektif menggunakan teknologi modern
pada sebahagian besar faktor-faktor produksi dan kekayaan
alamnya. Adapun ciri-ciri perkembangan ekonomi tahap ini
adalah sebagai berikut:
(1) Adanya perkembangan sektor-sektor pemimpin ekonomi
baru melanjutkan sektor pemimpin lama;
(2) Sektor pemipin baru perkembangannya ditentukan oleh
teknologi, kekayaan alam, dan kebijaksanaan pemerintah.
Sedangkan ciri-ciri non-ekonomi pada tahap menuju ke
arah kedewasaan adalah sebagai berikut:
(1) Struktur keahlian tenaga kerja mengalami perubahan. Sektor

ILMU PEMERINTAHAN 345


Disiplin dan Metodologi
industri bertambah penting, sedangkan sektor pertanian
bertambah menurun. Kemahiran dan kepandaian pekerja-
pekerja telah menjadi bertambah tinggi.
(2) Sifat kepemimpinan dalam perusahaan mengalami perubahan.
Peranan manajer professional telah menjadi bertambah
penting dan menggantikan kedudukan pengusaha yang
merangkap menjadi pemilik.
(3) Masyarakat secara keseluruhan merasa besar dengan ke-
ajaiban yang diciptakan oleh industrialisasi dan kritik-kritik
terhadapnya mulai timbul.
Kelima, tahap masa konsumsi tinggi (the age of high
mass consumption). Tahap ini digambarkan Rostow sebagai
tahap dimana masyarakat perhatiannya sudah tertuju pada
masalah-masalah yang berkaitan dengan konsumsi dan kese-
jahteraan masyarakat dan bukan lagi kepada masalah produksi.
Selanjutnya menurut Rostow perhatian terhadap masalah-
masalah konsumsi dan kesejahteraan tersebut erat kaitannya
dengan alokasi sumber daya dan dukungan politik, dalam konteks
ini masyarakat umumnya mempunyai tiga macam tujuan, yakni;
(1) memperbesar kekuasaan dan pengaruh Negara keluar negeri
yang pada akhirnya bermuara pada penaklukan Negara-negara
lain, (2) menciptakan “walfare state” yakni kemakmuran yang
merata kepada seluruh penduduk dengan cara menciptakan pe-
merataan pendapatan melalui sistem perpajakan progresif, dan
(3) mempertinggi tingkat konsumsi masyarakat diatas kon-
sumsi keperluan utama yang utama atas makanan, pakaian,
perumahan. Dalam kondisi demikian, muncul hubungan sektor
modern dan tradisional.

TEORI DUALISME
Menurut Yujiro and Vernon W. Ruttan (1971), teori dualisme12
12
Teori dualisme ini ditolak Gindden melalui teori strukturasi. Dualisme subjek-
objek, agensi dan struktur, serta struktur dan proses adalah dualitas bukan
dualisme. Struktur dan individu berinteraksi dalam proses.

346 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
mempelajari hubungan antara sektor tradisional yang tertinggal
dengan sektor modern yang berkembang pada masyarakat timur.
Teori dualisme dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (i)
model dualisme statis, dan (ii) model dualisme dinamis. Teori
dulisme statis menekankan pada terbatasnya interaksi diantara
sektor traisional dan sektor modern. Teori dualisme dinamis
lebih menekankan pada interaksi diantara sektor pertanian dan
sektor industri dalam proses pembangunan Sejalan dengan
Yujiro Hayami and V. Ruttan, Slamat Hartono (2005) ber-
pendapat bahwa teori dualisme enclave dipandang relevan
digunakan menjelaskan pembangunan perkebunan di Indonesia.
Sejak akhir abad yang lalu perkembangan ekonomi telah
terjadi di daerah-daerah dan sektor-sektor tertentu di banak
negara berkembang. Perkembangan ekonomi yang terjadi ter-
sebut menimbulkan beberapa jenis dialisme, yaitu kegiatan-
kegiatan ekonomi dan keadaan-keadaan lainnya dalam suatu
sektor tidak mempunyai sifat-sifat yang seragam. Sebaliknya
kondisi tersebut dapat dibedakan ke dalam dua jenis golongan.
Pertama, kegiatan-kegiatan ekonomi yang masih dikuasai oleh
unsur-unsur yang bersifat tradisionil, dan yang kedua, kegiatan
dan keadaan ekonomi yang dikuasai oleh unsur-unsur yang
bersifat moderen. Berdasarkan kepada sifat-sifat dari keadaan
tersebut, dualisme dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu:
dualisme social, teknologi, finansiil dan regional.13
Pengertian dualisme sosial dicetuskan pertama sekali
oleh J.H Boeke, pegawai pemerintah Belanda di Hindia Belanda
dalam disertasinya yang mulai ditulis pada tahun 1910. Booke
mengemukakan sebab-sebab kegagalan kebijakan liberalisasi
ekonomi pada tahun 1870 yang diterapkan Belanda di Indonesia.
Menurut Boeke di dalam masyarakat mungkin terdapat dua
sistem sosial yang sangat berbeda keduanya duduk berdampingan
dimana yang satu tidak dapat sepenuhnya menguasai yang
13
Sukirno S. 1990. Op.cit., hal. 162

ILMU PEMERINTAHAN 347


Disiplin dan Metodologi
lainnya. Sistem sosial yang lebih modern terutama berasal dari
Negara-negara Barat, dan berkembang di sesuatu Negara
sebagai akibat dari perkembangan penjajahan dan perdagangan
luar negeri sejak abad yang lalu.
Penetrasi sistem sosial yang baru ini menyebabkan ke-
giatan dan cara berfikir segolongan masyarakat adalah sama
dengan yang terdapat di Negara-negara yang sudah lebih maju.
Akan tetapi disebahagian besar masyarakat lainnya keadaan
sistem keadaan sosialnya mengalami perubahan yang sangat
minimal sekali, sehingga keadaan yang wujud setelah penetrasi
tersebut tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan pada
masa sebelumnya.14 Kemudian teori ini digeneralisasikan,
dianggap berlaku di semua Negara berkembang. Teori ini
tampaknya dilhami oleh kegagalan pelaksanaan Etische Politik
(edukasi, irigasi, kolonialisasi) di Hindia Belanda. Boeke
mengemukakan pendapatnya didalam bukunya Economic and
Economics Policy in Dual Societies tahun 1953.
Penetrasi yang terjadi sebahagian besar bermula pada
penetrasi dalam bidang politik, yaitu berbentuk penjajahan yang
dilakukan oleh beberapa Negara Barat terhadap sebahagian
besar daerah di Asia dan Afrika. Pada tingkat selanjutnya
penetrasi tersebut berbentuk pengembangan kegaiatan-kegiatan
ekonomi moderen di wilayah-wilayah tertentu dalam daerah
yang dijajah tersebut, yaitu terutama dengan mengembangkan
perkebunan-perkebunan yang ditanami oleh tanaman-tanaman
eksport dan perusahaan-perusahaan pertambangan. Sebagai
akibatnya sejak pertengahan abad kesembilan belas berbagai
daerah di Asia, Afrika dan juga Amerika Latin, sektor ekspornya
mengalami perkembangan yang lebih cepat dari padi sektor-
sektor lainnya. Perkembangan tersebut menjadi lebih pesat lagi
didalam masa abad kedua puluh ini. Lamartin Yates mencatat
tahun 1913-1953 terjadi peningkatan ekspor sepuluh kali lipat
14
Lihat Mubyarto. 1993. Boeke dalam Tjokrowinoto M. 1994. Ibid., hal. 10-16

348 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
di Negara Asia dan Afrika. Di semenanjung Malaysia, Kongo,
dan Belgia ekspor karet meningkat dari 2000 ton tahun 1905
menjadi sekitar 200.000 ton pada tahun 1950-an.
Perkembangan sektor-sektor moderen terutama melalui
kegiatan perusahaan-perusahaan perkebunan, disatu sisi
memang dapat mendorong para petani tradisionil di sektor
pertanian dengan cara menanam tanaman yang hasilnya dapat
diekspor. Disisi lain perkembangan ekonomi tersebut tidak
banyak merubah aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat
tradisionil. Sadono Sukirno mencatat bahwa misalnya, orga-
nisasi produksi dan cara bercocok tanam tidak berbeda dengan
keadaannya pada waktu kegiatan ekonomi masih sepenuhnya
bersifat untuk keperluannya sendiri; adat istiadat dan faktor-
faktor sosial lain tidak mengalami perubahan yang fundamental;
perkembangan tingkat pendidikan di sektor kegiatan tradisionil
masih sangat terbatas. Sebagai akibatnya, timbulah berbagai
macam dualisme. Dua ahli ekonomi lainnya, Benjamin Higgins
dan Myint mengemukakan keadaan ekonomi Negara-negara
berkembang secara lebih spesifik. Dalam mengkaji dualisme
di Negara-negara berkembang Higgins menekankan kepada
persoalan jurang perbedaan teknologi yang tinggi “enclove”
sektor modern dan sektor tradisional subsistem yang mem-
pengaruhi tingkat produktivitas.
Menurut Higgins (1968), dualisme enclove adalah suatu
keadaan dimana didalam sesuatu bidang kegiatan ekonomi
tertentu digunakan teknik memproduksi dan organisasi pro-
duksi yang sangat berbeda sekali coraknya, dan mengakibat-
kan perbedaan yang besar sekali dalam tingkat produktivitasnya.
Higgins membagi tiga faktor yang mempengaruhi produktivitas
disektor moderen dan sektor tradisional, yaitu:
(1) adanya penggunaan modal yang lebih banyak;
(2) penggunaan pengetahuan teknik dan organisasi;
(3) tingkat pendidikan para pekerja.
(4) Akses ke pasar modal.

ILMU PEMERINTAHAN 349


Disiplin dan Metodologi
Dalam sektor modern pembentukan modal dilakukan
sedemikian rupa baik dari jumlahnya relatif banyak pemanfaat-
annya relative terarah dalam meningkatkan produktivitas. Selain
itu sektor ini juga menggunakan pengetahuan teknik dan organisasi
yang sedang digunakan Negara-negara maju, yang didukung
oleh tingkat pendidikan para pekerja yang tinggi. Faktor-faktor
ini menyebabkan tingkat produkstivitas berbagai kegiatan sektor
moderen acapkali tidak banyak berbeda dengan kegiatan-ke-
giatan yang sama terdapat di Negara-negara maju.
Sebaliknya di sektor tradisionil, terbatasnya pembentukan
modal, kekurangan pendidikan dan pengetahuan, penggunaan
teknik produksi yang sangat sederhana, dan organisasi produksi
yang masih tradisionil, menyebabkan tingkat produktivitas masih
sangat rendah dan menyebabkan pendapatan masyarakat berada
pada tingkat yang lazim disebut dengan istilah tingkat pen-
dapatan subsisten.
Sektor modern memusatkan perhatian pada usaha pertam-
bangan dan perkebunan. Sektor ini mengimpor teknologi dari
luar negeri. Teknologi yang dimpor bersifat menghemat tenaga
kerja disertai modal tinggi yang relatif tetap. Kegiatan-kegiatan
ekonomi yang tergolong dalam sektor yang lebih maju atau
modern terutama terdapat dalam bidang-bidang kegiatan
ekonomi berikut: industri minyak, industri pertambangan lain,
perkebunan yang diusahakan secara besar-besaran, industri-
industri dalam sub sektor pengolahan, kegiatan pengangkutan
moderen, system bank dan badan-badan keuangan lainnya, dan
kegiatan jasa modern misalnya, perhotelan, telekomunikasi dan
transportasi. Perluasan sektor ini karena pemintaan pasar luar
negeri
Sedangkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang teknologinya
rendah menyebabkan produktivitasnya rendah- adalah kegiatan-
kegiatan di sektor pertanian bahan makanan, pertanian barang
ekspor yang di organisasi dan diusahakan berdasarkan kepada

350 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
cara bercocok tanam yang tradisionil, industri rumah tangga,
dan nberbagai jenis jasa yang terutama memberikan layanan
kepada kegiatanp-kegiatan di sektor-sektor tradisionil.15 Sektor
subsisten ini menggunakan teknologi yang kemungkinan sub-
situsi antara modal dan tenaga kerja. Perluasan sektor ini terjadi
karena kendala rendahnya tabungan.
Myint mengemukakan lebih jauh dari Higgins tentang
pentingnya pasar modal sebagai dasar dari teori dualisme
enclove. Menurut Myint akses sektor komersial, industri dan
pertanian (perkebunan) ke pasar modal sangat besar, sehingga
sektor ini mampu mengadopsi teknologi yang padat modal dan
selanjutnya produkstivitas tenaga kerja tinggi. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa dan net outflow ke pasar internasional.
Oleh karenanya dampak dari sektor enclove terhadap pemba-
ngunan ekonomi lokal sangat terbatas. Terbatas dalam penye-
rapan tenaga kerja dan gagal menyalurkan investasi ke dalam
perekonomian lokal. Kecenderungan ini dapat dilihat misalnya
dari pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Demikianlah uraian ringkas konteks perjalanan sejarah
kebijakan perkebunan di Indonesia, dan disisi lain tinjauan
terhadap beberapa perspektif teori pertumbuhan bertahap dan
dualisme. Dalam perkembangan berbagai kebijakan perkebunan
di Indonesia tampak tidak terlepas dari semangat dan tujuan
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi. Kemudian bersamaan
dengan itu pula ada fenomena dualisme sektor moderen dan
tradisional di sektor perkebunan. Dalam kondisi seperti itu,
ada fakta lain yang tidak dapat diabaikan, yaitu pergulatan politik
antar aktor dengan idiologi dan sumberdaya sendiri baik di
tingkat Pusat-Daerah. Pergulatan kepentingan aktor inilah yang
pada akhirnya banyak mempengaruhi tujuan pembangunan
perkebunan di Indonesia.

15
Sukirno S. 1990. Op.cit., hal. 113-116

ILMU PEMERINTAHAN 351


Disiplin dan Metodologi
352 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
BAB 11
ANALISIS DAN PRAKTEK
KEBIJAKAN PUBLIK

Bagian ini bertujuan ingin memberikan contoh kajian


berbasis argumentasi tentang dinamika pemerintahan dalam
perspektif analisis kebijakan publik, model varian ekonomi-
politik modern1 dengan mengambil contoh implementasi ke-
bijakan pemerintah di bidang perkebunan kelapa sawit di Riau.2
Asumsinya adalah para penyelenggara negara adalah makhluk
1
Lihat Mas’oed, 2001, Ibid. Teori ekonomi-politik dalam bagian ini akan
dikelompokkan tiga, yaitu classical political economy; neoclassical
economics; dan modern political economy. Classical political economy
adalah aliran pemikiran yang bertumpu pada analisis institusi, sedangkan
Neoclassical economics menekankan pada analisis individu; dan Modern
political economy merupakan jalan tengah dari dua aliran pemikiran yang
bertentangan itu. Deliarnov, 2006. Ekonomi-Politik; Mencakup Berbagai
Teori dan Konsep yang Komprehensif, Erlangga, Jakarta., hal.134-135.
2
Mengapa kebijakan perkebunan kelapa sawit, adalah karena pelaksanaan
dari sejumlah kebijakan perkebunan di Riau oleh pemerintah (Daerah) me-
munculkan reaksi dari para pemimpin politik aktor masyarakat Riau. Para
aktor adalah aktor rasional. Respon elit tersebut dapat dipilah ke dalam
tiga kategori: Pertama, kelompok yang menolak kebijakan pembangunan
mengenai perkebunan sawit. Kedua, kelompok yang mendukung. Ketiga,
kelompok yang mendukung dengan syarat. Perubahan yang muncul dari
debat publik ini telah memunculkan fenomena ekonomi-politik lokal yang
menarik untuk diamati lebih dalam pasca reformasi. Dan inilah yang men-
dorong penulis untuk mempelajari keterlibatan aktor dalam pergulatan
politik mengenai perkebunan kelapa sawit di Riau.

ILMU PEMERINTAHAN 353


Disiplin dan Metodologi
ekonomi yang memiliki kepentingan, baik individu maupun
kelompok. Masing-masing pihak memperjuangkan kepenti-
ngannya yang berperilaku sebagai “rational utility maximizer”
dan “self-interest.”

KERANGKA KONSEPTUAL
Menurut James Anderson (1979), kebijakan merupakan
arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh
seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu ma-
salah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini dianggap tepat
oleh Budi Winarno (2004) dan akan digunakan dalam tulisan
ini karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya
dilakukan, dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan.
Selain itu, konsep ini juga membedakan kebijakan dari kepu-
tusan yang merupakan pilihan diantara berbagai alternatif yang
ada.
Konsep kebijakan sebagai arah tindakan dapat dipahami
secara lebih baik bila dirinci menjadi beberapa kategori, yaitu:
(a ) tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands)
( b) keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions)
(c) pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements)
(d) hasil-hasil kebijakan (policy autputs)
(e) dampak-dampak kebijakan (outcomes)
Tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands) adalah
tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau
pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam
suatu sistem politik. Tuntutan-tuntutan tersebut berupa desakan
agar pejabat-pejabat pemerintah mengambil tindakan atau tidak
mengambil tindakan mengenai suatu masalah tertentu. Biasanya
tuntutan-tuntutan ini diajukan oleh berbagai kelompok dalam
masyarakat dan mungkin berkisar antara desakan secara umum
bahwa pemerintah harus “berbuat sesuatu” sampai usulan agar
pemerintah mengambil tindakan tertentu mengenai suatu persoalan.

354 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Sementara itu, keputusan kebijakan (policy demands) di-
definisikan sebagai keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-
pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan
substansi kepada tindakan-tindakan kebijakan (Budi Winarno,
2004:19). Termasuk dalam kegiatan ini adalah menetapkan
undang-undang, memberikan perintah-perintah eksekutif atau
pernyataan-pernyataan resmi, mengumumkan peraturan-
peraturan administratif atau membuat interpretasi yuridis
terhadap undang-undang. Sedangkan pernyataan-pernyataan
kebijakan (policy statements) adalah pernyataan-pernyataan
resmi atau artikuasi-artikuasi kebijakan publik. Yang termasuk
dalam kategori ini adalah undang-undang legislatif, perintah-
perintah dan dekrit presiden, peraturan-peraturan administratif
dan pengadilan maupun pernyataan-pernyataan atau pidato-
pidato pejabat-pejabat pemerintah yang menunjukkan maksud
dan tujuan pemerintah dan apa yang akan dilakukan untuk men-
capai tujuan-tujuan tersebut.
Hasil-hasil kebijakan (outputs) lebih merujuk kepada
”manifestasi nyata” dari kebijakan-kebijakan publik, hal-hal
yang sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan
pernyataan-pernyataan kebijakan. Dengan menggunakan kali-
mat lain yang lebih sederhana, hasil-hasil kebijakan dapat di-
ungkapkan sebagai apa yang dilakukan oleh suatu pemerintah
dan keberadaannya perlu dibedakan dari apa yang dinyatakan
oleh pemerintah untuk melakukan sesuatu. Disini perhatian kita
difokuskan pada masalah-masalah seperti pembayaran pajak,
pembangunan jalan-jalan raya, penghilangan hambatan-hambatan
perdagangan maupun pemberantasan usaha-usaha penyelun-
dupan barang. Penyelidikan mengenai hasil-hasil kebijakan
mungkin akan menunjukkan bahwa kebijakan dalam ke-
nyataannya agak sangat berbeda dari apa yang tersirat dalam
pernyataan-pernyataan kebijakan. Dengan demikian kita dapat
membedakan antara dampak-dampak kebijakan (outcomes)
dengan hasil-hasil kebijakan (outputs) (ibid, 2005:20). Hasil

ILMU PEMERINTAHAN 355


Disiplin dan Metodologi
kebijakan lebih bertumpu pada hasil nyata kebijakan, sedangkan
dampak kebijakan lebih bersandar pada akibat-akibat pada
masyarakat, baik yang bagus maupun yang buruk.
Oleh karena kebijakan diartikan sebagai arah atau pola
tindakan dari sejumlah aktor dalam mengatasi persoalan atau
masalah, maka dalam prosesnya suatu kebijakan erat kaitannya
dengan pengertian program dan proyek. Sebab tindakan atau
kegiatan aktor atau sejumlah aktor sangatlah dinamis, berubah-
rubah, baik dari dimensi waktu, volume maupun beragam dalam
pengertian ilmu pengetahuan. Karena itu, ketiga istilah ini sangat
erat kaitannya, namun secara konseptual dapat dibedakan.
Menurut Iman Soeharto (1999), proyek dapat diartikan
sebagai satu kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka
waktu terbatas, dengan alokasi sumber daya tertentu dan di-
maksudkan untuk menghasilkan produk atau deliverable yang
kriteria mutunya telah digariskan dengan jelas. Dari pengertian
diatas, maka ciri-ciri pokok proyek adalah:
(a) Bertujuan menghasilkan lingkup (scope) tertentu berupa
produk akhir
(b) Dalam proses mewujudkan lingkup diatas, ditentukan oleh
jumlah biaya, jadwal, serta kriteria mutu.
(c) Bersifat sementara, dalam arti umumnya dibatasi oleh se-
lesainya tugas. Titik awal dan akhir ditentukan dengan jelas.
(d) Non-rutin, tidak berulang-ulang. Macam dan intensitas ke-
giatan berubah sepanjang proyek berlangsung.
Timbulnya suatu proyek dapat berasal dari beberapa sumber
sebagai berikut:
(1) rencana pemerintah, misalnya proyek pembangunan pra-
sarana, seperti jalan, saluran irigasi, bendungan,
(2) permintaan pasar, hal ini terjadi bila suatu ketika pasar
memerlukan kenaikan suatu produk dalam jumlah besar.
Pemenuhan permintaan ini dipenuhi dengan jalan membangun
sarana produksi baru,

356 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
(3) dari dalam perusahaan yang bersangkutan. Hal ini dimulai
dengan adanya desakan keperluan dan setelah dikaji dari
segala aspek menghasilkan keputusan untuk merealisasikan-
nya menjadi proyek. Misalnya, proyek yang bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi kerja dan memperbaharui (mo-
dernisasi) perangkat dan sistem kerja lama agar lebih mampu
bersaing,
(4) kegiatan penelitian dan pengembangan. Dari hasil penelitian
diharapkan produksi. Misalnya komoditi kelapa sawit.

BEBERAPA MODEL KEBIJAKAN


Menurut Widjajono Partowidagdo (1999), model kebijakan
adalah rekronstruksi bantuan untuk menata secara imajinatif
dan mengintepretasikan pengalaman-pengalaman kita tentang ke-
adaan bermasalah (problematic situation) untuk mendiskripsi-
kan, menjelaskan, dan meramalkan aspek-aspek terpilih dari
keadaan bermasalah tersebut dengan maksud memecahkan
permasalahannya. Penggunaan model untuk kajian kebijakan
adalah sangat besar manfaatnya ada beberapa alasan: Pertama,
kebijakan publik merupakan proses yang kompleks. Karena
itu, sifat model yang menyederhanakan realitas akan sangat
membantu dalam memahami realitas yang kompleks itu. Kedua,
sifat alamiah manusia yang tidak mampu memahami realitas
yang kompleks tanpa menyederhanakan terlebih dahulu, maka
peran model dalam menjelaskan kebijakan akan semakin ber-
guna (Budi Winarno, 2004). Lester dan Stewart mengemukakan
ada dua model kebijakan yang paling baik adalah model elitis
(elite models) dan model pluralis (pluralism models).

Model Elitis
Model ini memiliki asumsi bahwa kebijakan publik dapat
dipandang sebagai nilai-nilai dari elit yang memerintah. Argu-
mentasi pokok model ini adalah bahwa bukan rakyat atau

ILMU PEMERINTAHAN 357


Disiplin dan Metodologi
“massa” menentukan kebijakan melalui tuntutan-tuntutan dan
tindakan mereka, tetapi kebijakan ditentukan oleh elit yang me-
merintah dan dilaksanakan oleh pejabat-pejabat dan badan-
badan pemerintah yang dibawahnya.
Thomas R. Dye dan Harmon dalam Budi Winarno (2004)
memberikan suatu ringkasan pemikiran menyangkut model ini,
yakni:
1. Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mem-
punyai kekuatan (power) dan massa yang tidak mempunyai
kekuasaan. Hanya sekelompok kecil orang saja yang meng-
alokasikan nilai-nilai untuk masyarakat sementara massa
tidak memutuskan kebijakan.
2. Kelompok kecil yang memerintah itu bukan tipe massa yang
dipengaruhi para elite ini (the rulling class), biasanya berasal
dari lapisan masyarakat yang ekonominya tinggi.
3. Perpindahan dan kedudukan non-elite ke elit sangat pelan
dan berkeseimbangan untuk memelihara stabilitas dan me-
nghindari revolusi. Hanya kalangan non-elit yang telah
menerinma elit yang mendasar yang dapat diterima ke dalam
lingkaran yang memerintah.
4. Elit memberikan konsensus pada nilai-nilai dasar sistem
dan pemeliharaan sistem. Misalnya, di Amerika Serikat
konsensus elit mencakup perusahaan individu.
5. Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan-tuntutan
massa, tetapi nilai-nilai elit yang berlaku. Perubahan-
perubahan dalam kebijakan adalah secara inkremental
daripada secara revolusioner. Perubahan-perubahan secara
inkremental memungkinkan tanggapan-tanggapan yang
timbul hanya mengancam sistem sosial dengan perubahan
sistem yang relatif kecil dibandingkan bila perubahan ter-
sebut didasarkan teori rasional komprehensif.
6. Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang
kecil dari massa yang apatis. Sebaliknya, para elit mempe-
ngaruhi massa yang lebih besar.

358 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Namun demikian, walaupun model ini dapat sangat ber-
guna untuk menjelas kebijakan yang berlangsung di negara-
negara otoriter, tetapi model ini bersifat agak proaktif.3 Dalam
pandangan model ini, kebijakan merupakan produk elit, meref-
leksikan nilai-nilai mereka dan membantu tujuan-tujuan mereka.
Walaupun salah satu dari tujuan-tujuan itu mungkin merupakan
keinginan untuk memberikan kesejahteraan massa.4

Model Pluralis
Menurut Budi Winarno (2004), model pluralis lebih per-
caya pada peran subsistem-subsistem yang berada dalam sistem
demokrasi. Di Negara-negara berkembang model elitis akan
cukup memadai untuk menjelaskan proses politik yang ber-
langsung, namun akan kesulitan dalam menjelaskan proses
politik di Negara yang yang mendasari diri pada sistem demo-
krasi, terlebih demokrasi pluralis seperti Amerika Serikat.
Pandangan-pandangan pluralis disarikan disarikan dari
ilmuwan Robert Dahl dan David Truman. Pandangan-pandangan
pluralis dapat dirangkum dalam uraian berikut:
1. Kekuasaan merupakan atribut individu dalam hubungannya
dengan individu-individu lainnya dalam proses pembuatan
keputusan.
2. Hubungan-hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung,
hubungan-hubungan kekuasaan lebih dibentuk untuk ke-
putusan-keputusan khusus. Setelah keputusan ini dibuat,
maka hubungan-hubungan kekuasaan tersebut tidak akan
nampak. Hubungan ini akan digantikan oleh seperangkat
hubungan kekuasaan yang berbeda ketika keputusan-
keputusan selanjutnya hendak dibuat.
3. Tidak ada perbedaan yang tetap diantara “elit” dan “massa”.
Individu-individu yang berpartisipasi dalam pembuatan

3
Anderson BR. 1990. Ibid., hal. 23-24
4
Budi Winarno. 2002. Ibid., hal. 37

ILMU PEMERINTAHAN 359


Disiplin dan Metodologi
keputusan dalam suatu waktu tidak dibutuhkan oleh indi-
vidu yang sama yang berpartisipasi dalam waktu yang lain.
Individu masuk dan keluar dalam partisipasinya sebagai
pembuat keputusan digolongkan menjadi aktif atau tidak
aktif dalam politik.
4. Kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang
tinggi, kesehatan merupakan asset dalam politik, tetapi hanya
meruapakan salah satu dari sekian banyak asset politik yang
ada.
5. Terdapat banyak pusat kekuasaan di antara komunitas, tidak
ada kelompok tunggal yang mendominasi pembuatan ke-
putusan untuk semua masalah kebijakan.
6. Kompetisi dapat dianggap berada diantara pemimpin. Ke-
bijakan publik lebih lanjut dipandang merefleksikan tawar-
menawar atau kompromi yang dicapai diantara kompetisi
pemimpin-pemimpin politik.

SEJARAH KEBIJAKAN
Sejarah mencatat bahwa pada saat Cornelius de Houtman
menjejakkan kakinya di bumi Banten pada tahun 1596 telah
terdapat tiga buah pabrik gula mini di sekitar Jacatra (nama
lama kota Batavia yang sekarang ibu kota Republik Indonesia,
Jakarta), dengan kapasitas 60-120 ton2 (Bungaran Saragih
dalam Soemantri eds, 2002:2). Bahkan tanaman kakao telah
diintroduksi oleh bangsa Spanyol pada tahun 1560, tiga puluh
tahun sebelum kedatangan Belanda ke Indonesia. Selanjutnya,
dalam perkembangannya bangsa Eropa mengintroduksi pula
berbagai tanaman perkebunan lainnya, seperti kopi tahun 1616,
teh tahun 1824, kelapa sawit tahun 1848, kina tahun 1855, dan
karet tahun 1862.5 Dengan demikian institusi perkebunan telah
dibangun sejak berabad-abad tahun yang lalu oleh bangsa Eropa
sebagai aplikasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

5
Winarno, Ibid, 2002, hal. 2

360 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
dari masa revolusi industri di Eropa. Institusi perkebunan ter-
sebut dibangun untuk kepentingan politik dan ekonomi pada
masa itu. Jadi, sejak lebih kurang 400 tahun yang lalu, sudah
terdapat tiga aktor politik dengan basis sosial dan sumber daya
yang berbeda, yaitu petani, pengusaha perkebunan, dan pemerintah
(kolonial).
Kebijakan di bidang perkebunan pada masa Kabinet AMPERA
antara lain meliput:
1. Pengembalian penguasaan perusahaan perkebunan asing
kepada penguasa/pengusaha/pemiliknya, yang sejak tahun
1964 dikuasai pemerintah;
2. Penyederhanaan organisasi menuju efisiensi dan efektivitas
usaha melalui likuidasi badan pimpinan umum dan re-
organisasi 88 perusahaan perkebunan Negara menjadi 28
tahun 1968.
3. Perumusan dasar kerja bidang perkebunan dengan TRI
DHARMA PERKEBUNAN, yaitu: Pertama, menghasilkan
devisa dan rupiah bagi Negara seefisien-efisiennya. Kedua,
memenuhi fungsi sosial diantaranya berupa memelihara/
menambah lapangan kerja bagi warga Negara Indonesia.
Selanjutnya, dalam masa Pembangunan Lima Tahunan
(PELITA) kebijaksanaan pembangunan pekerbunan diutamakan
untuk rehabilitasi perkebunan, rehabilitasi pabrik-pabrik pe-
ngolahan hasil dan perluasaan areal tanaman, langkah usaha
juga ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani, pe-
nerimaan devisa serta mencukupi kebutuhan masyarakat. Bebe-
rapa proyek dilaksanakan untuk meningkatkan produksi, ter-
utama;
1. Peremajaan, penanaman baru, serta konvensi kelapa sawit,
karet dan kelapa;
2. rehabilitasi, modernisasi dan perluasaan pabrik pengolahan
kelapa sawit, gula dan hasil sampingnya, teh dan kopi;
3. peningkatan produksi dan mutu tembakau, cengkeh dan lada;
4. pengembangan industri gula dan karet di luar Jawa;

ILMU PEMERINTAHAN 361


Disiplin dan Metodologi
5. peneltian untuk menemukan bibit unggul, intensifikasi, pe-
mupukan dan pemasaran; pendidikan, latihan dan penyuluhan.
Dalam masa Repelita II sasaran utama ditujukan guna
peningkatan produksi komoditi perkebunan untuk ekspor,
penyediaan bahan baku bagi pengembangan industri serta
menghasilkan komoditi guna menekan impor. Pada masa ini
dibangun perkebunan rakyat dengan ide dasar pembinaan
terpadu dan menyeluruh, didukung pembentukan unit-unit
pelaksanaan proyek untuk berbagai budidaya perkebunan: karet,
kelapa, kopi, cengkeh, lada, kelapa sawit, dan teh. Guna mere-
alisasikan gagasan tersebut dibuatlah pola kebijakan Perke-
bunan Inti Rakyat (PIR).
Pola PIR adalah kebijaksanaan dengan gagasan untuk
lebih mendorong pengembangan perkebunan rakyat, dimana
perkebunan besar berfungsi sebagai perkebunan inti atau pusat
pengembangan perkebunan rakyat disekitarnya, sehingga
diharapkan kebun-kebun rakyat bisa berkembang menjadi
intensif yang menghasilkan komoditi yang bermutu baik. Pen-
dekatan demikian dipandang perlu dengan alasan mengingat
demikian luas bidang perkebunan rakyat dan pembangunannya
mendesak perlu dilakukan secara terencana. Dalam kondisi
demikian, perkebunan besar sebagai perkebunan inti berfungsi
memberikan penyuluhan dan pembinaan pekebun-pekebun
rakyat, penyediaan bibit unggul, dan sarana produksi lainnya
agar kebun-kebun rakyat mengolah hasil, pemasarannya secara
lebih baik. Sejak tahun 1976/77 pengembangan kebun-kebun
rakyat dilakukan upaya pembinaannya dan pemberian kredit
dengan sejumlah persyaratan yang harus terlebih dahulu dipenuhi
oleh petani pekebun.
Pada tahun 1973 terdapat 343 Perusahaan Negara (PN)/
PT. Perkebunan diantaranya 291 perkebunan eks ambil alih
dan 1.458 perkebunan swasta. Semula perkebunan eks ambil
alih ini dikelola secara tersendiri, kemudian ditata dalam kesa-
tuan organisasi menurut jenis komoditi dan dibentuk Badan-

362 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
badan Khusus Urusan Perusahaan Negara Perkebunan (BKU-
PNP). Kemudian secara kelembagaan dipisahkan dari Direktorat
Jendral Perkebunan.

SEJARAH PENGUSAHAAN
Kelapa sawit (elaeis guineensis jacq) pertama kali di-
perkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda
tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit sawit yang dibawa
dari Mauritius dan Amsterdam dan kemudian ditanam di Kebun
Raya Bogor.6 Jadi kelapa sawit bukanlah tanaman asli di Indo-
nesia. Istilah kelapa mungkin dimaksud sebagai istilah umum
untuk jenis palm, meskipun demikian perkataan sawit sudah
ada sejak lama. Beberapa desa di Pulau Jawa sudah ada yang
menggunakan nama “sawit” sebelum kelapa sawit masuk ke
Indonesia. Dalam bahasa Jawa Kawi “sawit” artinya sidhakep,
kalung (U. Lubis, 1992:3). Nama lain dalam bahasa Jawa adalah
kelapa sewu dan dalam bahasa Sunda sering disebut sebagai
salak minyak atau kelapa ciung (Ibid, 2002: 3).
Kebun industri kelapa sawit pertama dibuka pada tahun
1911 di Tanah Itam Ulu oleh Maskapai Oliepalmen Cultuur
dan di Pulau Raja oleh Maskapai Huilleries de Sumatera-RCMA
kemudian oleh Seumadam Cultuur Mij Sungai Liput Culture
Mij, Mapoli Tanjung Genteng oleh Palmbomen Cultuure Mij
Medang Ara Cultuur Mij, Deli Muda oleh Huilleries de Deli.7
Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah
Adrien Hallet, seorang Belgia yang telah belajar banyak tentang
kelapa sawit di Afrika, kemudian diikuti oleh K. Schadt yang
menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sejak
itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang.
Perkebunan kelapa sawit pertama pertama beralokasi di pantai
6
Lihat Bahari S, 2004; Fauzi, 2002. Lintasan Sejarah Perkebunan Indonesia
dari Masa ke Masa, Media Perkebunan, Edisi 51 Nopember-Desember
2005. Medan: Adidaya Pratama., hal. 2
7
Lihat Bahari S. 2004; Fauzi. 2002. Ibid. hal. 3

ILMU PEMERINTAHAN 363


Disiplin dan Metodologi
timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas area pertama 2.715 ha
ditanam dengan kultur lain seperti kopi, kelapa, karet, dan tem-
bakau. Pada tahun 1916 terdapat 16 perusahaan di Sumatera
utara dan 3 di pulau Jawa. Pada tahun 1920 terdapat 25 perusa-
haan yang menanam kelapa sawit di Sumatera Timur. Per-
kembangan selanjutnya sampai tahun 1939 telah tercatat 66
perusahaan perkebunan dengan luas area mencapai 100.000
ha.8 Indonesia mulai mengekspor minyak sawit tahun 1919 se-
besar 576 ton ke Negara-negara Eropa, dan kemudian tahun
1923 mulai mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton.9
Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini ditandai
dengan bergesernya dominasi ekspor Negara Afrika pada waktu
itu. Namun kemajuan pesat yang dialami oleh Indonesia tidak
diikuti dengan peningkatan perekonomian Daerah dan termasuk
nasional. Hasil perolehan ekspor minyak sawit hanya me-
ningkatkan perekonomian Negara asing termasuk Belanda.
Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan per-
kebunan kelapa sawit mengalami kemunduran. Hal ini ditandai
dengan terhentinya ekspor, banyaknya kebun kelapa sawit di-
ganti dengan tanaman pangan. Pabrik-pabrik tidak berjalan,10
lahan perkebunan mengalami penyusutan 16 % dari total luas
lahan yang ada, sehingga produksi minyak sawit hanya mencapai
56.000 ton pada tahun 1948/1949. Padahal pada tahun 1940
Indonesia mengekspor 250.000 ton minyak sawit.
Pada tahun 1947 kebun-kebun tersebut dikembalikan pada
pemiliknya semula. Setelah diiventarisasi hanya 47 saja yang
dapat dibangun kembali dari 66 buah sebelumnya. Beberapa
kebun mengalami kehancuran total seperti Taba Pingin dan Oud
Wassenar di Sumatera Selatan, Ophir di Sumatera Barat, Karang
8
Lihat Bahari S. 2004; Fauzi. 2002. Ibid. hal. 3
9
Lihat Bahari S. 2004: Fauzi. 2002. Ibid. hal. 2
10
Lubis AU. 1992. Kelapa Sawit di Indonesia. [Hasil Penelitian]. Pematang
Siantar: Pusat Penilitian Perkebunan Marihat-Bandar Kuala., hal. 3

364 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Inou di Aceh dan beberapa daerah di Riau. Karena berbagai
ganguan keamanan dan politik, maka upaya merehabilitasi oleh
pemiliknya tidak banyak membawa hasil terbukti dari luas areal
yang tidak bertambah.
Pada tahun 1957 luas yang ada hanya 103.000 ha saja dan
produksi CPO hanya 160.000 ton. Produksi per ha sangat rendah
hanya 1,9 ton, sedang sebelum perang telah mencapai 3 ton.11
Selanjutnya Adlin (1992) mengidentifikasi tahun 1957-1968
merupakan era baru dalam perkembangan pembangunan per-
kebunan sawit di Indonesia, ada sejumlah peristiwa yang perlu
dicatat antara lain:
Pertama, nasionalisasi perusahaan perkebunan besar kelapa
sawit oleh pemerintah Indonesia tanggal 10 Desember 1957
berdasarkan surat Keputusan Menteri Pertanian No. 229/UM/
1957. Kedua, nasionalisasi perusahaan milik pengusaha Inggris,
Perancis, Belgia, Amerika, dan lain-lain, namun kemudian di-
kembalikan pada tanggal 19 Desember 1967. Ketiga, re-
organisasi PNP/PTP yaitu tahun 1957-1960 pembentukan PPN
baru disamping PPN lama yang sudah ada sebelumnya, ke-
duanya digabungkan pada tahun 1961-1962. Selanjutnya di-
bentuk organisasi baru bedasarkan komoditi seperti karet, aneka
tanaman, tembakau, gula, serat dimana hal ini berjalan sejak
tahun 1963-1968, PNP dibentuk kemudian disusul oleh pem-
bentukan PTP.
Tahun 1957-1960 adalah masa sulit karena kultur teknis
dan manajemen kurang terkendali sebagai akibat suramnya per-
ekonomian nasional. Pulihnya masalah keamanan dan politik
setelah penumpasan G-30-S PKI serta semangat membangun
yang menonjol dari para pelaksana lapangan (planter) banyak
mengundang perhatian investor asing seperti Bank Dunia, ADB
dan lain-lain untuk membantu pembangunan perkebunan.

11
Lubis AU. 1992. Ibid. hal. 4

ILMU PEMERINTAHAN 365


Disiplin dan Metodologi
Masa Pelita yang dimulai pada tahun 1968 ditandai dengan
pembukaan areal baru diluar areal tradisional (Sumatera Utara,
Aceh, Lampung). Produksi dan ekspor meningkat, jika tahun
1969 produksi per ha hanya 2.558 kg, maka pada masa pelita I
mencapai rata-rata 4.458 kg pada PTP.
Dalam upaya pengembangan perkebunan besar swasta
yang banyak terlantar, Direktorat Jenderal Perkebunan menyusun
kebijaksanaan berupa program yang ditujukan pada upaya pe-
ngembangan perkebunan besar swasta dengan kredit Bank
melalui program PBSN I yang berlangsung mulai tahun 1977-
1981. PBSN II dimulai tahun 1981-1986 dan program PBSN
III dimulai 1986-1989. Program ini ditujukan pada rehabilitasi
dan peningkatan, sedang PBSN III lebih banyak ditujukan pada
pengembangan areal. Diversifikasi dibidang pengolahan (in-
dustri hilir) juga berjalan dengan pesat, sehingga bukan hanya
CPO yang dihasilkan tetapi juga produk lainnya seperti RBD
olein, crude strearin, fatty acid, minyak inti sawit (PKO), PK
pellet dan lain-lain.12
Peran PTP sampai tahun 1990 masih menonjol sebagai
pendobrak atau pelopor pengembangan komoditi kelapa sawit.
Dalam hal ini menurut pemerintah PTP sebagai “agent of de-
velopment”, terutama dapat lihat dari kegiatan perusahaan ini
dalam membuka lahan baru, baik dalam kerja perusahaan sendiri
maupun yang dikembangkan dalam bentuk Perkebunan Inti
Rakyat (PIR). Guna mendorong pengusaha swasta untuk turut
berpartisipasi dalam mengembangkan perkebunan kelapa sawit,
Pemerintah telah membuat kebijakan-kebijakan tentang Per-
kebunan Besar Swasta Nasional (PBSN).
Kebijakan pemerintah tersebut antara lain adalah pembinaan
petani peserta PIR maupun swadaya masyarakat dalam bentuk
proyek yang dipadukan dengan program transmigrasi, koperasi,
kesehatan, keluarga dan lain-lain. Daerah pengembangannya
12
Lubis AU. 1992. Ibid. hal.7

366 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
seperti; Provinsi Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Jawa
Barat, Kalimantan Timur. Pembangunan perkebunan pertama
di Riau,dimulai oleh PTP V dan PTP II di sungai Rokan Tandun
pada tahun 1970. Di Kalimantan Barat dilakukan pada tahun
1980, ditandai dengan pembangunan kebun pertama Sungai
Dekan dilakukan oleh PTP VII tahun 1981. Di Provinsi Sumatera
Barat dibangun di Ophir, Kabupaten Pasaman pada tahun 1980
oleh PTP VI. Di Jawa Barat dibangun di Banten tahun 1981
oleh PTPX. Selain itu pembangunan perkebunan dilaksanakan
di berbagai daerah lainnya, yaitu Sumatera Selatan, Jambi, Sula-
wesi Selatan, Bengkulu, Irian Jaya dan daerah-daerah lain juga
disponsori oleh PT.
Pembangunan perkebunan kelapa sawit sebagai bagian
dari pembangunan daerah sangat berkaitan langsung dengan
aspek ekonomi, sosial, ekologi, dan politik. Dalam aspek eko-
nomi usaha perkebunan kelapa sawit telah memberikan peranan
yang penting dalam penerimaan devisa Negara. Dalam aspek
social telah mampu menyerap tenaga kerja baik sebagai petani
mapun sebagai tenaga kerja. Dalam aspek ekologi usaha per-
kebunan mendukung kelestarian sumberdaya alam, sedangkan
dalam aspek politik usaha perkebunan kelapa sawit dapat men-
dorong demokratisasi di tingkat lokal melalui kebijakan per-
tanian yang meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat di Daerah.
Provinsi Riau yang didukung posisi strategis baik secara
geografis, geo-ekonomi, dan geo-politik yang didukung jumlah
penduduk 4,7 juta jiwa, 51,30 %. Kehidupan masyarakat ter-
gantung pada sektor pertanian, terutama sub sektor perkebunan
kelapa sawit. Usaha perkebunan sawit ini sangat potensial dan
berperan penting dalam menciptakan daerah-daerah pertumbuhan
ekonomi “baru” di Indonesia. Namun disisi lain kenyataannya
potensi tersebut dihadapkan pada kendala dualisme “enclove”
pengusahaannya, yaitu melalui perkebunan besar swasta dan
BUMN dengan perkebunan rakyat skala kecil. Dalam kondisi

ILMU PEMERINTAHAN 367


Disiplin dan Metodologi
demikian, tampak secara bersamaan adanya; (1) kebijakan dan
pertumbuhan ekonomi, (2) “dualisme enclove”. Namun sebelum
pembahasan ini, terlebih dahulu dimulai dengan tinjauan ke-
bijakan dan program perkebunan di Riau.

KEBIJAKAN DAN PROGRAM


Jika kebijakan diartikan sebagai arah tindakan yang mem-
punyai maksud yan ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah
aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan
(Anderson, 1979), maka di Riau secara normatif terdapat sejumlah
kebijakan pembangunan bidang perkebunan yang dirumuskan
berdasarkan visi dan misi pembangunan perkebunan Provinsi
Riau yaitu, “terwujudnya kebun untuk kesejahteraan masyarakat
Riau tahun 2020.” Kebijakan-kebijakan tersebut adalah:
a. Memantapkan penataan ruang untuk pengembangan kawasan
industri masyarakat perkebunan (KIMBUN) secara bijaksana
yang dapat mendukung keadlian ekonomi, ketahanan sosial
budaya dan kelestarian lingkungan hidup.
b. Mengoptimalkan fungsi kebun baik secara ekonomi, sosial
maupun ekologi, sehingga pembangunan perkebunan ber-
manfaat untuk kesejahteraan masyartakat secara berkeadilan.
c. Meningkatkan partisipasi masyarakat dan pemberdayaan
petani dalam pem bangunan perkebunan serta pengembangan
iklim usaha yang kondusif.
d. Membangun perkebunan yang berkebudayaan industri,
dengan landasan efisien, produktivitas, dan berkelanjutan
yang memberikan jaminan kehidupan rakyat yang lebih baik
sejalan dengan otonomi daerah.
Program kerja pembangunan perkebunan Provinsi Riau
tahun 2000-2004 pada dasarnya mengacu pada Program Pemba-
ngunan Daerah (Propeda) provinsi Riau tahun 2001-2005 dan
Recana Strategis (Renstra) Riau tahun 2001-2003 serta Renstra
Ditjen Bina Produksi Perkebunan, Ditjen Sarana Pertanian dan
Ditjen Bina Pengohan dan Pemasaran Hasil Pertanian yang di-

368 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
jabarkan melalui empat program, yaitu:
a. Program pengembangan sarana penunjang perkebunan
b. Program pengembangan SDM dan kelembagaan
c. Program pembangunan dan pengembangan usaha perkebunan
d. Program pengembangan dan pembinaan industri pengolahan
dan pemasaran hasil perkebunan.

KONTEKS PERTUMBUHAN EKONOMI


Berdasarkan potensi wilayah sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau khususnya berkaitan
dengan arahan pengembangan perkebunan seluas 3.133.398 Ha,
maka angka sementara realisasi pembangunan perkebunan
tahun 2002 seluas 2.545.306 Ha atau 81,23 % sehingga masih
tersisa areal seluas 588.092 atau 18,77% untuk perluasan areal
termasuk perkebunan kelapa sawit. Menggunakan logika teori
pertumbuhan Rostow, perluasan areal perkebuanan ini dalam
jangka panjang mencerminkan adanya “dorongan” bagi masya-
rakat membangun social overhead capital (infastruktur) seperti,
jalan, jembatan, pelabuhan sebagai pra-syarat for take-off. Selain
itu, keinginan kuat pemerintah menjadikan sub sektor per-
kebunan sebagai “leading sector” dalam mencapai pertum-
buhan ekonomi.
Untuk kasus Riau, adanya “dorongan” dan “political will”
menjadikan perkebunan sebagai “leading sector” tampak jelas
dari pembangunan kelapa sawit. Sebagai perbandingan pemba-
ngunan kelapa sawit di Indonesia sampai dengan tahun 2001
sudah mencapai 3.584.486 Ha dengan produksi 6.550.391 ton
minyak sawit dengan nilai ekspor 1.087.000.000 US $ dengan
volume 4 juta ton.
Apabila dibandingkan dengan propinsi Riau luas areal
yang sudah dibangun telah menacapai seluas 1.211.438 Ha
(47,59 %) dengan produksi 2,6 juta ton yang dimiliki oleh petani
seluas 490.847 ha sedangkan sisanya dikuasai oleh perkebunan

ILMU PEMERINTAHAN 369


Disiplin dan Metodologi
besar baik yang ber Hak Guna Usaha (HGU) maupun sebagai
inti. Untuk lebih rincinya realisasi pembangunan perkebunan
Riau lima komoditi utama termasuk kelapa sawit tahun 2002
adalah sebagai berikut :
a. Kelapa sawit = 1.211.438 ha (47,59%)
b. Kelapa = 672.736 ha (26,43%)
c. Karet = 564.112 ha (22,16%)
d. Aneka Tanaman = 97.020 ha (3,82%)
Penyebaran komoditi kelapa sawit di Riau terdistribusi
kepada wilayah; Kabupaten Kampar seluas 234.719 Ha (19,38%),
Kabupaten Rokan Hulu seluas 193.545 Ha (15,98%), dan
Kabupaten Pelalawan seluas 173.063 Ha (14,23%).
Salah pra-syarat mempersiapkan tinggal landas (pre-
condition for take off) menurut Rostow ialah surplus produksi
sektor agraris akan dialihkan ke sektor modern. Di Riau proses
peralihan ini sepanjang yang dapat diketahui belum tampak
secara real, yang terjadi sebatas peningkatan produksi hasil dan
volume hasil ekspor sub sektor perkebunan termasuk kelapa
sawit.
Berdasarkan angka sementara produksi komoditi perkebu-
nan di Riau tahun 20002 adalah sebesar 4.395.253 ton dengan
berbagai jenis produk dan jika dibandingkan produksi pada ta-
hun 2001 sebesar 4.268.838 ton telah terjadi kenaikan sebesar
126.415 ton atau naik 2,96 % terdiri dari produksi kelapa sawit
sebesar 239.432 ton naik 9,05 %. Berdasarkan penyebarannya,
sentara hasil produksi komoditi utama kelapa sawit adalah Ka-
bupaten Siak sebesar 508.171 ton (17,61%), Kabupaten Rokan
Hilir sebesar 527.575 ton (18,29 %), dan Kabupaten Kampar
sebesar 45 7.713 ton (15,86 %).
Hasil komoditas perkebunan sebagian besar diekspor dalam
bentuk setengah jadi dan sebahagian lagi digunakan untuk kon-
sumsi dalam negeri. Volume dan nilai ekspor hasil perkebunan
provinsi Riau tahun 2002 sebesar 2.355.343 ton dengan nilai

370 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
ekspor sebesar US $ 737.962.000 dibanding tahun 2001 sebesar
829.898 dengan nilai ekspor sebesar US $ 196.605.000 berarti
terjadi kenaikan sebesar 1.525.445 ton atau naik 183,81%
dengan nilai ekspor naik sebesar US $ 541.357.000 atau naik
275.35%.
Selanjutnya menurut Rostow, masyarakat yang berada pada
tahap mempersiapkan tinggal landas adalah ditandai oleh ciri
75% tenaga kerjanya masih di sektor pertanian. Di Provinsi
Riau, penyerapan tenaga kerja melalui pembangunan sub sektor
perkebunan termasuk perkebunan sawit dinilai cukup berarti
dengan jumlah tenaga kerja pada tahun 2002 berjumlah
1.173.750 tenaga kerja. Kondisi ini menunjukkan telah terjadi
peningkatan penyerapan tenaga kerja dibandingkan tahun 2001
sebesar 84.250 tenaga kerja atau naik 7,73% yang tersebar di
seluruh pengembangan perkebunan di provinsi Riau.
Hal ini terjadi menurut Dinas Perkebunan Riau sebagai
akibat: Pertama, adanya pengembangan areal perkebunan maupun
tumbuhnya pabrik yang mengolah hasil perkebunan. Apabila
dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja tingkat nasional
tahun 2002 sebesar 8.667.515 tenaga kerja berarti 13,54 % dipenuhi
dari Riau sektor perkebunan.
Kedua, tambahan pabrik pengolahan. Sebahagian sebasar
hasil produksi perkebunan termasuk tentunya kelapa sawit tidak
dapat dijual langsung kepada masyarakat atau konsumen, tetapi
harus melalui proses pengolahan menjadi bahan setengah jadi
sehingga akan menambah nilai/harga jual. Sampai dengan tahun
2002 jumlah pabrik pengolahan subsektor perkebunan di Provinsi
Riau sebanyak 97 unit atau naik 11 unit (12,79%) dibandingkan
tahun 2001 sebesar 86 unit. Keadaan 2002 secara lebih rinci adalah
sebagai berikut :
a. Kelapa sawit 71 unit dengan kapasitas 3.135 ton/TBS/jam
b. Kelapa 12 unit dengan kapasiatas 147.190 ton
c. Karet 14 unit dengan kapasitas 148.400 ton

ILMU PEMERINTAHAN 371


Disiplin dan Metodologi
Dari data tersebut terlihat bahwa pada tahun 2002 terjadi
penambahan pabrik pengolahan kelapa sawit sebanyak 11 unit
dengan kapasitas 515 ton TBS/jam atau naik 19,66%. Khusus
penyebaran pabrik pengolahan kelapa sawit pada tahun 2002
terbesar di Kabupaten Kampar sebanyak 18 unit (25,35%) de-
ngan kapasitas 795 ton TBS/jam (25,36%), Kabupaten Rokan
Hilir 12 unit (16,90%) dengan kapasitas 540 ton TBS/jam (17,22%)
dan Kabupaten Siak serta Rokan Hulu masing-masing 9 unit
(12,68%) dengan kapasitas 420 ton TBS/jam (13,40%).

KONTEKS DUALISME ENCLOVE


Provinsi Riau memiliki posisi yang strategis baik secara
ekonomi maupun secara politik, karena berada di tengah-tengah
pulau Sumatera dan berada di lintas jalur jasa dan perdagangan
internasional terutama Malaysia, Singapura, Brunei, dan
Thailand. Selain itu, daerah ini juga memiliki sejumlah sumber-
daya alam ekstratif seperti minyak dan gas bumi, hutan, perikanan,
pertambangan, dan pertanian khususnya perkebunan kelapa
sawit.
Didukung jumlah penduduk sekiatar 4,7 juta jiwa tahun
2002, 51,30% kehidupan masyarakatnya “tergantung” pada
sektor pertanian terutama nsub sektor perkebunan kelapa sawit.
Sehingga sektor perkebunan ini sangatlah potensial pada msa
ini maupun masa yang akan datang, dalam hal penyerapan tenaga
kerja, penyediaan sumber pendapatan, pengurangan kemiskinan,
disamping peran-peran lainnya (Dinas Perkebunan Riau, 2002).
Namun disisi lain masih dirasakan kendala yang nyata yaitu
dengan adanya “dualisme pengusahaan” perkebunan, yaitu me-
lalui perkebunan besar, baik swasta maunpun Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dengan perkebunan skala kecil.
Menurut teori dualisme hubungan antara perkebunan besar
swasta maupun BUMN dengan perkebunan rakyat skala kecil
digambarkan sebagai hubungan antara sektor modern dan sektor

372 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
tradisional yang subsistem. Menurut Higgins, sektor modern
dicirikan dengan produkstivitas yang tinggi, pemakaian tek-
nologi yang canggih, dan menghasilkan produk barang ekspor.
Sebaliknya sektor tradisionil, ditandai dengan produktivitas
yang rendah, teknologi terbatas, dan menghasilkan barang
produk untuk pasar domistik. Dalam kondisi demikian sektor
tradisionil atau dalam hal ini usaha perkebunan rakyat sangat
“tergantung” kepada sektor modern, yaitu perusahaan swasta
BUMN ataupun swasta asing. Dominasi ini mengakibatkan
“lemahnya” usaha perkebunan rakyat bahkan cenderung mematikan
baik dalam hal produksi, pengolahan, dan pemasaran. Kecende-
rungan ini di Riau dapat dilihat antara lain dari penggunaan
lahan.
Penggunaan lahan untuk sub sektor perkebunan di Provinsi
Riau sampai dengan tahun 2001 yang diperuntukan pengembangan
perusahaan perkebunan baik Negara maupun swasta nasional
secara keseluruhan mencapai 2.400.260 ha. Rinciannya adalah
sebagai berikut :
a. Tahap pencadangan berjumlah 287 perusahaan dengan luas
1.379.033.932 ha
b. Tahap izin lokasi berjumlah 140 perusahaan dengan luas
545 ha
c. Tahap pelepasan kawasan hutan berjumlah 158 perusahaan
dengan luas 277.567 ha
d. Tahap hak guna usaha berjumlah 89 perusahaan dengan luas
748.123,068 ha.
Adapun pola pengembangan perkebunan di Provinsi Riau
terdiri dari:
a. Perkebunan rakyat seluas 1.747.542 ha (72,8%) terdiri dari
PIR, UPP, partial dan swadya masyarakat murni.
b. Perkebunan besar Negara dan swasta seluas 652.727 ha
(27,20%) yang terdiri dari Inti PIR dan pengembangan
perkebunan besar/perusahaan sendiri (HGU)

ILMU PEMERINTAHAN 373


Disiplin dan Metodologi
Dilihat dari pola pengembangan perkebunan di Provinsi
Riau tampak kenginan kuat pemrintah memberikan kesempatan
yang luas bagi masyarakat dalam mengembangkan perkebunan
termasuk kelapa sawit di Riau. Namun pola ini kenyataannya
sebaliknya, justru cenderung perkebunan swasta dan BUMN
yang lebih banyak berkesempatan dalam pengelolaan.
Secara teoritik, hubungan dualisme sektor modern dalam
hal ini usaha swasta dan BUMN dan sektor usaha perkebunan
rakyat teramasuk Perkebunan Inti rakyat (PIR), yaitu antara plasma
dan inti gejala kesenjangan baik kelembagaan, produktivitas,
maupun akses ke pasar domestik maupun internasional tetap
terjadi di Riau. Dalam rangka mengharmoniskan hubungan
kedua sektor tersebut, menurut Pemda Riau ada sejumlah ken-
dala atau faktor, menggunakan konsep Mosher (1965) faktor
utama dan faktor pelancar, yaitu:
(1) Keterbatasan alternative teknologi produksi baik ditingkat
usaha tani (on farm) maupun agro industri. Pengembangan
teknologi dinilai masih didominasi oleh teknologi produksi,
dan kurang atau tidak dimbangi dengan teknologi pening-
katan mutu hasil, penyimpanan agro industri, pengemasan
dan sebagainya. Sehingga strategi untuk nilai tambah guna
peningkatan pendapatan petani terutama petani perkebunan
rakyat sulit dicapai.
(2) Skala usaha produksi perkebunan rakyat yang merupakan
sebahagian besar areal perkebunan di Riau, masih belum
ekonomis, walaupun kita maklumi bahwa skala usaha yang
relatif kecil memang memiliki beberapa keunggulan tertentu,
tetapi dengan skala kecil usaha tersebut sulit diharapkan
petaninya dapat mampu melakukan kegiatan yang akan
memberikan nilai tambah pendapatannya dan nilai tawar
yang cukup dalam pasar.
(3) Integrasi masing-masing sub sistem agribisnis yang berjalan
di Provinsi Riau relatif masih belum terpadu baik dilihat
dari segi kelembagaannya, perencanaannya, infrastruktur
peununjang maupun dalam kegiatan usaha sendiri.

374 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
(4) Masalah kualitas sumberdaya manusia yang relatif masih
rendah terutama di tingkat petani. Hal ini antara lain mempe-
ngaruhi respon tewrhadap pasar dan teknologi.
Faktor-faktor yang berperan dalam pembangunan kelapa
sawit di Riau tersebut menjadi penting sekali untuk diantisipasi
agar tujuan pengurangan kemiskinan, pengangguran, dan ke-
timpangan melalui pembangunan kelapa sawit sebagai konsep
pembangunan seperti apa yang didefinisikan Dudley Seer dapat
terwujud.

ILMU PEMERINTAHAN 375


Disiplin dan Metodologi
376 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
BAB 12
ANALISIS SISTEM KONTEKS
DEMOKRASI LOKAL1

Pada bagian ini akan diuraikan deskripsi berbagai harapan


masyarakat, baik di Pusat maupun Daerah. Pembahasan dimulai
dengan melakukan repleksi epistemologis, menyampaikan ter-
lebih dahulu pemaknaan politik. Asumsinya, implementasi
Pancasila, Undang-Undang Negara RI 1945, dan sistem ketata-
negaraan adalah tindakan kolektif bukan individual. Karena
itu dibutuhkan dasar kesepahaman bersama untuk melaksana-
kannya.

MAKNA POLITIK
Dalam tulisan ini, “politik” dipahami dalam makna yang
luas adalah aktivitas yang melalui mana masyarakat membuat,
memilihara, dan memperbaiki aturan umum yang diselenggara-
kan untuk mengatur kehidupan mereka.2 Bertolak dari pe-
1
Tulisan ini dikembangkan dari bahan Seminar dan FGD dengan tema diskusi
“Implementasi Pancasila,Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, dan Sistem
Ketatanegaraan. “Merupakan sebuah kehormatan mendapat kesempatan
menyampaikan pemikiran dalam diskusi ini yang ditaja oleh Sekretariat
Jenderal Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia (MPR – RI)
berkerjasama dengan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Riau.
2
Lihat Heywood, 2014. Ideologi Politik., hal. 2-3

ILMU PEMERINTAHAN 377


Disiplin dan Metodologi
mahaman ini, paling tidak kita sudah berupaya menghindar dari
jebakan beragam makna dan konotasi seperti tertuang dalam
berbagai text-book. Dengan demikian, kita dapat mengatakan
bahwa sesungguhnya politik terkait erat dengan nilai-nilai konflik
dan kerjasama. Dikatakan konflik, secara faktual di dalam
masyarakat terdapat tindakan yang berbeda-beda (bahkan ber-
benturan), meskipun tujuannya sama, sumberdaya yang ber-
beda-beda, dengan basis sosial dan institusional yang beragam,
jaringan dan arena yang beragam.
Dikatakan politik terkait erat dengan kerjasama adalah
masyarakat menyadari bahwa untuk dapat mempengaruhi dan
memperjuangkan kepentingannya dan untuk menjamin aturan
ditegakkan mereka harus bekerjasama dengan pihak lain.
Seringkali nilai-nilai inilah yang membuat sistem interaksi
dalam masyarakat menjadi demikian dinamis. Dalam konteks
inilah seringkali makna politik diperdebatkan termasuk dalam
implementasi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 . Oleh
karena itu, persoalan kontekstualisasi3 dalam membangun sistem
politik Demokrasi Pancasila menjadi suatu keharusan. Tulisan
ini ingin mengajak kita semua menggali lebih dalam nilai-nilai
lokal dalam konteks memperkuat implementasi nilai-nilai
Pancasila dalam perilaku kehidupan sehari-hari secara lebih
nyata.
Dewasa ini bangsa kita hidup dalam sebuah masa, meminjam
terminologi Huntington, transisi menuju konsolidasi: sebuah
fase kehidupan politik baru yang lebih terbuka dan demokratis.
Beberapa pengamat memandang sebagai liberalisasi perpolitikan
yang ditandai dengan pulihnya kembali hak-hak sipil dan
politik, termasuk didalamnya hak kebebasan berserikat: semangat
bersama rakyat ingin berdaulat. Dalam kondisi leberalisasi
3
Yang dimaksud kontekstual dalam tulisan ini, mengacu Purwo Santoso
(2014) adalah masalah yang terkait, namun bukan hal yang dicanangkan
sebagai agenda demokratisasi…masalah yang unik yang terjadi dalam suatu
negara

378 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
politik seperti itu, tidak mengherankan muncul berbagai media
dan ratusan partai politik, serta lembaga swadaya masyarakat
(LSM) bagai jamur di musim hujan. Sementara itu, ada banyak
kajian mengajak untuk lebih berhati-hati meniti proses transisi,
mengingat masih banyak norma demokrasi yang aktualisasinya
sebetulnya pincang.4
Departemen Dalam Negeri mencatat pada Pemilu (1999)
pertama pasca reformasi tercatat 168 partai politik, 48 diantara-
nya tercatat sebagai peserta Pemilu yang memperebutkan kursi
DPR, DPRD, dan DPRD Kabupaten. Partai-partai politik dapat
dikelompok kedalam tiga kategori dasar. Pertama, tiga partai
masa Orde Baru:Golkar, PPP, dan PDI-P yang diubah demi
menyesuaikan kondisi baru. Kedua, partai-partai “reinkarnasi”
dari dan melanjutkan tradisi politik kepartaian dasawarsa 1950-
an yang terbagi menurut garis primordial muslim, nasionalis
dan kiri radikal. Dan ketiga adalah partai-partai baru, beberapa
diantaranya dibentuk oleh para pemain yang tidak langsung
berkaitan dengan Orde Baru.5 Namun, setelah berlangsung
sekitar lima belas tahun, kinerja partai-partai politik dan para
politisi itu ternayata cenderung mengeceawakan publik terutama
dalam kaitan pemilihan kepala daerah.
Sejumlah hasil penelitian, survei, polling yang dilakukan
lembaga pemerintah dan swasta memperlihatkan merosotnya
kepercayaan masyarakat terhadap para politisi dan partai politik
Nurhasyim, 2001; Romli, 2002; CESDA-LP3ES, 2003.6 Di
tingkat lokal, misalnya riset yang dilakukan Irtanto (2008)
mengenai opini publik dalam Pilkada di Kabupaten Banyuwangi

4
Santoso P. 2014. Ibid. hal. 399-400
5
Lihat Mas’oed. 2006. Pesimisme Nasional, Optimisme Lokal?:
Perkembangan Politik di Indonesia Sejak 1998 dalam Dirdjosanjata P, Kana
NL. 2004. Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004. Hal. 1 – 25
6
Lihat Syamsuddin H. 2004. Proses Pencalonan Anggota DPRD Kupang
dan Endi di Nusa Tenggara Timur: Kasus Partai Golkar dan PDI
Perjuangan dalam Dirdjosanjata P, Kana NL. 2004. Demokrasi dan Potret
Lokal Pemilu 2004. Jakarta: Gramedia., hal. 205– 211

ILMU PEMERINTAHAN 379


Disiplin dan Metodologi
tahun 2008 memperlihatkan bahwa peran dan fungsi partai
politik belum dapat diwujudkan sebagaimana harapan masyarakat
lokal. Purwo Santoso (2014) mencatat, status sebagai negara
demokrasi ternyata telah menjadi tempat persembunyian ber-
bagai bentuk inkosistensi dalam bernegara. Sebagai contoh,
demi demokrasi pemilihan umum diselenggarakan, namun
justru dengan pemilihan umum itu terjadi kecurangan ber-
demokrasi yang berwatak sistemik, yakni money politics.
Sementara itu di dalam kehidupan kepemerintahan atau
suprastruktur politik terjadi dinamika yang tidak kalah hebatnya
yang ditandai dengan munculnya “tsunami” tuntutan dan du-
kungan baik yang ditujukan kepada pemerintah, rezim, maupun
komunitas politik lokal. Fenomena ini ditandai misalnya dengan
semakin meluasnya intensitas dan spektrum konflik sosial
terutama sejak diterapkannya kebijakan desentralisasi. Ke-
mudian, keraguan masyarakat akan kemampuan pemerintah
(Daerah) dalam menyelesaikan masalah pembangunan. Pada
Pemilu 1999, isu utama yang berkembang adalah krisis ekonomi
mengingat Indonesia waktu itu masih berada dalam suasana
krisis setelah diterjang krisis moneter 1977 yang melumpuhkan
ekonomi. Juga isu panas waktu dilakukan Presiden Soeharto
ketika berkuasa (Mujani, Liddle, Ambardi, 2014:337-348). Pada
Pemilu 2009 dan 2014, isu-isu ekonomi kembali mengemuka
dan keraguan akan kemampuan pemerintah mengatasi per-
soalan pengangguran. Apakah pemerintahan dewasa ini mampu
mengungkap dan menyelesaikan masalah tersebut?
Beberapa isu strategis kebijakan pembangunan tersebut
berdampak pada paraktik politik pemerintahan di tingkat lokal.
Bagaimana menjelaskan gambaran fenomena politik lokal di
atas terkait implementasi Pancasila,Undang-Undang NRI 1945
dan Sistem ketatanegaraan? Bagaimana kondisi bagi implemen-
tasinya? Apa strategi yang mungkin ditempuh? Untuk meng-
uraikan fenomena tersebut tulisan berikut ini memakai skema
teorisasi politik transisi demokrasi.

380 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
KONTEKSTUALISASI
Ada dua pemahaman tentang demokrasi apabila ditelusuri
dalam referensi ilmu politik, yaitu pemahaman secara normatif
dan secara empirik, atau yang terakhir ini disebut Gaffar (1999)7
sebagai “procedural democracy”. Para ilmuwan politik berpan-
dangan bahwa dalam artian normatif demokrasi merupakan
sesuatu yang secara idiil hendak dilakukan atau diselenggarakan
oleh sebuah negara, seperti misalnya kita mengenal ungkapan,
“Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” ke-
hendak normatif tersebut biasanya diterjemahkan dalam kon-
stitusi pada masing-masing negara, seperti misalnya dalam Undang-
Undang Dasar 1945 bagi Pemerintahan Republik Indonesia.
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar” (Pasal 1 ayat 2).
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan
dengan undang-undang” (Pasal 28).
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (Pasal 29 ayat 2).
Kutipan dari pasal-pasal dan ayat dari UUD 1945 di atas
merupakan definisi normatif dari demokrasi. Akan tetapi kita,
juga harus memperhatikan bahwa apa yang normatif belum
tentu dapat dilihat dalam konteks kehidupan politik sehari-hari
dalam suatu negara. Oleh karena itu adalah sangat perlu untuk
melihat bagaimana makna demokrasi secara empirik, demokrasi
dalam perwujudannya di kehidupan politik dalam senyatanya.
Beberapa ilmuwan politik yang tekun mengamati praktek
demokrasi di berbagai negara merumuskan demokrasi secara
empirik dengan menggunakan sejumlah indikator tertentu.
Ambil contoh misalnya Juan Linz (1975), Robert Dahl (1989),

7
Lihat Afan Gaffar, 1999., hal. 4-6

ILMU PEMERINTAHAN 381


Disiplin dan Metodologi
dan Afan Gaffar (1999). Linz misalnya, mendefiniskan demo-
krasi sebagai berikut:
“We shall call a political system democratic when it allows the
free formulation of political preferences, through the use of
basic freedoms of association, information, and communication,
for the purpose of free competition between leaders to validate
at regular intervals by nonviolent means their claim to rule; a
democratic system does this without exluding any effective
political office from that competition or prohibiting any
members of the political community from expressing their
preference by norms requiring the use of force to enforce them.8”
Secara substansial, pandangan terhadap demokrasi dalam
konteks seperti ini menghendaki upaya nyata dan kolektif untuk
mengamati apakah dalam suatu sistem politik pemerintah
memberikan ruang gerak yang cukup bagi warga masyarakat
untuk melakukan partisipasi guna memformulasikan preferensi
politik mereka melalui organisasi politik yang ada. Selain itu,
upaya untuk mengamati sejauh mana kompetisi diantara para
pemimpin dilakukan secara teratur untuk mengisi jabatan
politik. Hal ini untuk menghindari kemungkinan seseorang
memperoleh atau mengisi jabatan politik secara terus menerus
tanpa ada pembatasan, seperti yang kita saksikan di Spanyol
pada zamannya Franca dan di Yugoslavia ketika Tito (di Indo-
nesia masa Soeharto) masih berkuasa.9
Dari beberapa kutipan pemikiran para teorisasi politik di
atas, dapat diamati bahwa sejak zaman klasik hinggga modern
ini, selalu menekankan bahwa dalam demokrasi sesungguhnya
yang berkuasa itu adalah rakyat atau “demos”, “populus.” Oleh
karena itu, selalu ditekankan peranan “demos” yang senyatanya
dalam proses politik yang berjalan, paling tidak dalam dua tahap
utama: pertama, agenda setting, yaitu tahap untuk memilih
8
Linz dalam Greenstein and Polsby,1975, hal. 182-183
9
Afan Gaffar, 1999. Politik Indonesia Menuju Transisi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar., hal. 4-10

382 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
masalah apa yang hendak dibahas dan diputuskan, dan kedua,
yaitu deciding the outcome, tahap pengambilan keputusan.
Adalah Gaffar (1999) diantara para ilmuwan politik yang paling
banyak menaruh perhatian dari demokrasi kontemporer di
Indonesia, dan apa yang dikemukakannya sebagai indikator
sebuah democratic political order sangatlah bermanfaat untuk
dijadikan kerangka acuan untuk mengamati ada tidaknya
kedaulatan rakyat dalam konteks demokratisasi diwujudkan
dalam suatu pemerintahan negara. Gaffar mengajukan sejumlah
indikator dari demokrasi secara empirik, yaitu:
1. Akuntabilitas. Dalam demokrasi setiap pemegang jabatan
yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggung-
jawabkan kebijaksanaan apa yang hendak dan telah di-
tempuhnya kepada rakyat. Tidak hanya itu, bahkan ia harus
dapat mempertanggungjawabkan ucapan atau kata-katanya,
dan yang tidak kalah penting adalah perilaku dalam kehi-
dupannya yang pernah, sedang dan bahkan akan dijalaninya.
Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya menyangkut
dirinya, akan tetapi juga menyangkut keluarganya, dalam
arti luas, yaitu perilaku dari anak dan isterinya, dan sanak
keluarganya terutama yang berkaitan dengan jabatannya.
Dalam konteks ini si pemegang jabatan harus bersedia me-
nghadapi apa yang disebut sebagai “public security,” ter-
utama yang dilakukan oleh mass media yang ada.
2. Rotasi Kekuasaan. Dalam demokrasi peluang akan terjadinya
rotasi kekuasaan haruslah ada, yang dilakukan secara teratur
dengan cara yang damai. Jadi tidak hanya seseorang yang
selalu memegang jabatan sementara itu peluang orang lain
hampir tertutup sama sekali. Biasanya partai-partai politik
yang menang pada suatu pemilihan akan diberi kesempatan
untuk membentuk eksekutif yang mengendalikan pemerin-
tahan sampai pada pemilihan yang berikutnya. Dalam suatu
negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, rotasi
kekuasaan tersebut sangatlah rendah, bahkan peluang untuk
itu sangatlah terbatas, dan kalaupun ada maka akan dilakukan

ILMU PEMERINTAHAN 383


Disiplin dan Metodologi
dalam lingkungan yang terbatas di kalangan elite politik
saja.
3. Rekrutmen Politik yang Terbuka. Untuk kemungkinan ter-
jadinya rotasi kekuasaan, maka diperlukan satu sistem rek-
rutmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang
memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang
dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam
melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Dalam
negara yang tidak demokratik rekrutmen politik biasanya
dilakukan secara tertutup. Artinya peluang orang untuk
mengisi jabatan politik hanyalah dimliki oleh segelintir
orang saja.
4. Pemilihan Umum. Dalam suatu negara demokrasi pemilihan
umum (perwujudan kedaulatan rakyat) dilaksanakan secara
teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai
hak untuk memilih dan dipilih, dan bebas menggunakan
haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dia
bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang akan
didukungnya tanpa ada rasa takut dan tanpa dipaksa oleh
orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam
aktifitas pemilihan, termasuk di dalamnya kegiatan kampanye
dan menyaksikan perhitungan suara.
5. Menikmati Hak-hak Dasar. Dalam suatu negara yang demo-
vkratik, warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar
mereka secara bebas. Termasuk di dalamnya adalah hak
untuk menyatakan pendapat (freedom of expression), hak
untuk berkumpul dan berserikat (freedom of assembly), dan
hak untuk menikmati pers yang bebas (freedom of the press).
Hak untuk menyatakan pendapat dapat digunakan untuk
menentukan preferensi politiknya tentang suatu masalah,
terutama yang menyangkut masyarakat di sekitarnya dan
dirinya. Dengan kata lain dia punya hak untuk ikut me-
nentukan agenda apa yang diperlukan. Hak untuk ber-
kumpul dan berserikat dapat diwujudkannya dengan
memasuki berbagai organisasi—politik dan yang bukan
politik—tanpa dihalang-halangi oleh siapapun dan institusi

384 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
manapun. Kebebasan pers dalam suatu masyarakat yang
demokratik mempunyai makna bahwa masyarakat dunia
pers dapat menyampaikan informasi apa saja yang dipandang
perlu sepanjang tidak mempunyai elemen menghina, meng-
hasut, ataupun mengadu domba sesama warga masyarakat.
Indikator atau elemen-elemen dasar dari demokrasi yang
dikemukatan di atas merupakan elemen yang universal dikenal
dalam lingkungan dunia ilmu pengetahuan, terutama ilmu
politik. Saya menyadari sepenuhnya bahwa pemahaman demo-
krasi merupakan pemahaman yang sangat bersifat universal,
namun di dalam mengimplementasikannya tidak tertutup
kemungkinan teradaptasi dengan elemen-elemen nilai lokal
dalam suatu lingkungan politik tertentu, sehingga seringkali
menimbulkan masalah seperti apa yang dikemukakan Sartori
bahwa sosio-kultur-ideologis masyarakat timur turut mewarnai
penerapan demokrasi. Tentu saja kita tidak menyangkal kecen-
derungan ini, namun kita dapat mengamati seberapa jauh in-
teraksi antara nilai universal dari demokrasi terdifusi dengan
nilai-nilai lokal saling menopang satu sama lainnya.

IMPLEMENTASI
Dewasa ini di Indonesia termasuk di Riau telah terjadi
perubahan perilaku politik masyarakat bersamaan diterapkan-
nya kebijakan desentralisasi, otonomi daerah, dan demokra-
tisasi. Perubahan politik di tingkat lokal yang paling dinamik
itu adalah perilaku masyarakat dalam menyampaikan aspirasi
masyarakat yang beragam. Secara faktual perubahan perilaku
politik itu nampak, bahwa masyarakat semakin kritis menentang
kebijakan pemerintah. Diduga ini dampak dari perubahan rezim
politik di tingkat nasional dan praktik desentralisasi wewenang
politik pemerintahan di tingkat lokal, mungkin “euforia reformasi”
ringkasnya terjadi perubahan praktik politik kedaulatan di
Indonesia. Dalam kondisi demikian, muncul kecenderungan
bahwa kedaulatan rakyat dan demokratisasi tidak hanya di-

ILMU PEMERINTAHAN 385


Disiplin dan Metodologi
perbincangkan di tingkat intlektual semata (intellectual dis-
course) melainkan juga mimpi bahkan harapan politik yang
besar hendak dicapai oleh berbagai pemerintahan daerah di
Indonesia, baik daerah-daerah pinggiran maupun daerah pusat.
Perubahan praktik politik kedaulatan tersebut muncul
ditandai oleh munculnya semangat lokal ingin mendesentrali-
sasikan pengambilan keputusan di tingkat lokal. Berbagai
kelompok yang ada, yang pada masa Orde Baru tidak muncul
ke permukaan karena tidak dimungkinkan, maka sejak masa
reformasi, berbagai kelompok muncul secara massif ke per-
mukaan. Setelah masa reformasi aktor lokal yang melakukan
aksi semakin beragam. Tokoh-tokoh yang semula tidak bisa
mengungkapkan pendiriannya berubah menajadi sangat vokal.
Hal ini ditandai dengan munculnya sejumlah aktor dari kelompok
LSM, gerakan massa, dan kelompok lainnya seperti Riau
Merdeka. Aktivitas para aktor yang berbeda-beda itu meng-
hasilkan reaksi yang berbeda-beda terhadap pelaksanaan ke-
bijakan pemerintah. Respon para elit yang berbeda-beda ini
bisa diduga sebagai akibat dari posisi mereka yang berbeda-
beda. Tetapi yang jelas, sejak 1999 intensitasnya semakin me-
ningkat dan pengungkapannya dalam debat publik semakin
tegas.10 Yang juga jelas adalah bahwa salah satu fokus utama
kritik mereka adalah pelaksanaan kebijakan pembangunan yang
kurang berpihak pada kepentingan masyarakat.
Perilaku kritis misalnya terlihat bagaimana Pemda dan
masyarakat Riau merespon terjadinya perubahan lingkungan
yang cepat. Repson masyarakat itu dituangkan dalam “warkah
Amaran dan “kapsul waktu” gerakan ayo kerja Indonedsia. Tun-
tutan masyarakat Riau disampaikan melalui Forum Komunikasi
Pemuka Masyarakat Riau (FKMR) adalah sebagai berikut: (1)
Entaskan Kemiskinan dan bencana ekonomi (anjloknya harga
10
Lihat studi Masyhuri, 2001. Kasus Naga Mas Rohul, Riau, menunjukkan
kebijakan perkebunan oleh pemerintah (Daerah) menimbulkan kekecewaan
masyarakat Riau.

386 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
karet dan sawit; (2) Pengendalian harga kebutuan pokok; (3)
Pengembalian hutan dan fungsi hutan; (4) Hak-hak atas tanah
dan hutan; 5) Moratarium permanen penebangan hutan alam;
(6) Tidak memberikan izin baru perkebunan skala menengah
dan besar; (7) Tidak memperpanjang izin HGU, HPHTI dan
mengembalikan hak atas tanah kepada pemilik hak-hak tra-
disional; (8) Tetapkan Riau sebagai daerah tanggap darurat asap
karena telah berdampak apada pendidikan dan kesehatan
masyarakat.11 Selain itu, tuntutan dan harapan Pemda dan
masyarakat Riau namapak dari aspirasi yang disampaikan dalam
kapsul waktu gerakan Ayo Kerja Indonesia; (1) Terwujudnya
Riau yang subur makmur, aman, baldatun toibatun wa robbun
gofur; (2) Riau negeri yang berdaulat dari sisi ekonomi dan
budaya; (3) Asean conektivity melalui jaringan transportasi
global antar negara; (3) Masyarakat hi-tech di Riau dengan rata-
rata pendidikan minimal politeknik; (4) Kota yang ramah ling-
kungan; (5) Desa yang layak huni dengan sarana dan prasarana
transportasi, listrik, air bersih dan telekomunikasi; (6) Ter-
wujudnya masyarakat zero kemiskinan.12
Berbagai tuntutan dan harapan Pemda dan masyarakat
Riau diatas pada prinsipnya bertolak bagaimana demokratisasi
dan desentralisasi pengambilan keputusan dipandang suatu
keharusan. Ekspektasi masyarakat lokal terhadap demokrasi
tersebut, dilandasi oleh pemikiran bahwa dengan demokrasi
diharapkan keputusan-keputusan yang menentukan kehidupan
kolektif akan didasarkan pada pertimbangan publik yang luas.
Masyarakat yang demokratis akan mengurangi ketidakadilan
dan membuat pengorganisasian kehidupan kolektif mejadi lebih
rasional. Selain itu, demokrasi juga dianggap lebih kompatibel
dalam hal melindungi hak-hak konstitusional warga. Demokrasi
selalu diidentikkan dengan kebebasan, kedaulatan, hormat ter-

11
Riau Pos, 30 Agustus 2015
12
Riau Pos, 30 september 2015

ILMU PEMERINTAHAN 387


Disiplin dan Metodologi
hadap martabat manusia, prinsip kesamaan, keadilan, keamanan
dan pertumbuhan ekonomi. Demokrasi dipandang sebagai pe-
ngorganisasian masyarakat yang paling mencerminkan ke-
hendak bersama karena tekanan partisipasi, representasi dan
akuntabilitas. Ringkasnya, masyarakat lokal membutuhkan
pelaksanaan nilai-nilai demokrasi pancasila sejalan kontek-
stualisasi nilai lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan oleh
lembaga-lembaga negara segera diwujudkan.

TANTANGAN DAN STRATEGI


Pengungkapkan gambaran secara faktual fenomena yang
melatarbelakangi konsepsi demokrasitisasi konteks lokal seperti
yang dikemukakan diatas, memunculkan pertanyaan penting:
apa tantangan dan strategi yang dilakukan dalam mentransformasi-
kan demokratisasi yang sesuai dengan cita-cita hukum negara
Pancasila? Saya mempunyai pengharapan yang kuat bahwa
kedaulatan rakyat sedapatnya dikawal meskipun dalam konteks
sedang berubah. Ada beberapa tantangan yang dapat dikemukakan.
Pertama, kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini telah
mengalami transformasi sosial (social transfor- mation)yang
sangat fundamental. Proses transformasi sosial ini merupakan
produk dari pembangunan nasional yang berlangsung selama
ini. Sudah tidak dapat disangkal lagi bahwa penerapan ke-
bijakan dsentralisasi dan otonomi daerah telah memberi dampak
positif di dalam meningkatkan pembangunan infrastruktur
masyarakat sekalipun dengan tingkat distribusi yang masih
belum baik. Kalau kita menggunakan sejumlah konsep peru-
bahan sosial yang banyak dikemukan oleh kalangan ilmu sosial,
maka kita akan menemukan sejumlah indikator yang sangat
positif. Hal itu dapat kita lihat misalnya dari meningkatnya
pertumbuhan ekonomi Riau, meningkatnya indeks lembaga
demokrasi dan kebebasan sipil di Riau 2009 dan 2010, Kemudian,
sebelum tahun 1999 yang melakukan aksi terbatas hanya

388 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Birok-
rasi Daerah, setelah 1999 aktor lokal yang melakukan aksi
semakin beragam. Tokoh-tokoh yang semula tidak bisa meng-
ungkapkan pendiriannya berubah menajadi sangat vokal, tingkat
partisipasi masyarakat meningkat, serta semakin banyaknya
masyarakat yang terekspose kepada media massa.
Proses dalam kehidupan politik lokal ini yang jelas mem-
berikan dampak adalah proporsi orang yang mengalami pe-
ningkatan kemampuan politik juga menjadi semakin besar. Hal
ini dapat kita lihat dari besarnya harapan dan kepercayaan orang
terhadap demokrasi dalam memecahkan masalah bangsa.
Meskipun terdapat kecenderungan semakin menurunnya mas-
yarakat terhadap partai politik (Mujani, Liddle dan Ambardi,
2012). Sebagai perbandingan kalau pada Pemilu 1992 sekitar
22 juta pemilih pemula untuk pertama kali menggunakan hak
pilihnya, maka hampir sepuluh berselang untuk Pemilu 2014
jumlah pemilih baru, yaitu sekitar 60 juta pemilih. Keduanya
kalau kita jumlahkan merupakan setengah dari jumlah pemilih
secara keseluruhan. Mereka adalah generasi baru yang mengalami
sosialisasi politik yang berbeda, yang mengalami pendidikan
politik yang berbeda, yang kemudian memiliki aspirasi dan
tuntutan politik yang berbeda pula dari generasi-generasi se-
belumnya.
Sebagai tantangan kedua adalah bagaimana membuat
konstitusi yang bisa diterima oleh warga negara. Berbagai ke-
lompok dalam masyarakat bisa mengajukan pendapat yang
bermacam-macam mengenai bagaimana kehidupan negara
hendak diatur. Bagaimana pembagian kekuasaan dilakukan?
Melalui sistem presidensial atau parlementer? Bagaimana hubu-
ngan pusat-daerah dalam pengelolaan sumberdaya nasional?
Dengan sistem sentralisasi atau desentralisasi? Bagaimana men-
jamin hak azasi manusia? Ini tentu saja bukan pekerjaan yang
mudah. Ketidaksepakatan mengenai konstitusi membuat banyak
-demokrasi merosot kembali menjadi otoriter artinya konsepsi

ILMU PEMERINTAHAN 389


Disiplin dan Metodologi
kedaulatan rakyat gagal diimplementasikan.
Tantangan ketiga, adalah tuntutan ke arah kehidupan po-
litik yang berbasis pada kedaulatan rakyat konteks demokratik
bagaimanapun juga sama sekali tidak dapat dihindari akan hal
itu merupakan sesuatu yang sangat alami sifatnya. Gejala itu
sudah terlihat dengan jelas dari Pemilu ke Pemilu misalnya
kecenderungan semakin menurunnya kepercayaan masyarakat
terhadap partai politik sejak tahun 2001-2009.13 Menurut hemat
saya meminjam terminologi Gaffar dapat diinterpretasikan
sebagai protest voting, indikator terhadap ketidakpuasan atas
kondisi sosial politik yang ada. Demikian juga halnya dengan
politik pasca pemilihan umum, yang menyangkut implementasi
undang-undang sebagai manifestasi ketidakmampuan penuh
secara optimal para pemimpin yang terpilih dalam memanfaatkan
kekuasaan dewasa ini.
Oleh karena itu, pemerintah atau negara tidak mempunyai
pilihan lain selain dari pada mengintegrasikan nilai-nilai
Pancasila ke dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat.
Dalam kondisi demikian, diharapkan tujuan negara sebagai-
mana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alenia
keempat, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan se-
luruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejah-
teraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial dapat tercapai.
Di tengah-tengah perpolitikan lokal yang berlangsung se-
demikian dinamik, tentunya memunculkan pertanyaan: Bagai-
manakah langkah strategis yang mungkin ditempuh untuk mem-
perkuat sistem politik Pancasila?
Pertama, proses Input; semua pelaku politik penting harus
menerima bahwa pembaharuan pemerintahan harus berlangsung
secara demokratis. Dengan kata lain, konsepsi kedaulatan rakyat
13
Afan Gaffar, 1999. Ibid., hal. 14

390 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
dalam cita hukum negara Pancasila mengharuskan rakyat,
kelompok kepentingan dan partai politik mengejar kepentingan
mereka dengan cara-cara damai, yaitu melalui persaingan
berdasar-aturan, negosiasi dan kerjasama di dalam suatu proses
pembuatan keputusan politik terlembaga. Karena sosialisasi
nilai-nilai Pancasila juga tergantung pada sikap untuk menahan
diri ketika menjalankan pemerintah, walaupun ada desakan
untuk merombak sama sekali kebijakan pemerintah sebelumnya.
Dengan kata lain, demokrasi yang baru lahir atau terlahir
kembali itu akan mungkin terkonsolidasi kalau pemerintah baru
itu tidak mengejar kebijakan yang kontroversial terlalu drastis
dan terlalu cepat, terutama kalau kebijakan ini bisa mengancam
kepentingan kelompok-kelompok utama lain
Kedua, proses konversi; strategi mendemokrasikan politik
lokal. Rezim pemerintahan harus berupaya penuh membangun
dan memberi contoh dalam perilaku, sikap, semangat terhadap
kebersamaan misalnya persamaan dalam kesempatan dan akses
kepada setiap lapisan masyarakat. Para penyelenggara negara
melakukan antisipasi yang positif sehingga kemudian melakukan
adaptasi yang positif terhadap perubahan sosial yang berlang-
sung. Kalau tidak maka akan terjadi perbenturan politik yang
akan sangat merugikan. Bagaimana caranya melakukan adaptasi
tersebut? Para penyelenggara negara mulai mengurangi depoli-
tisasi hal ini yang menyangkut interaksi antara pemerintah de-
ngan masyarakat, mass media, dan partai politik; diadakan
peningkatan kualitas penyele- nggaraan Pemilu 2014; dan usaha
untuk mewujudkan desentralisasi yang nyata kepada daerah-
daerah dengan memberikan kewenangan yang cukup kepada
daerah untuk mengatur dan nengurus rumah tangganya sendiri.
Hal yang ketiga ini diperlukan dalam rangka memulai pelak-
sanaan demokrasi dari bawah. Ringkasnya mendemokrasikan
politik lokal dalam kerangka bingkai politik nasional.
Ketiga, proses output mendesentralisasikan pengambilan
keputusan. Bertolak beberapa studi yang kami lakukan sejak

ILMU PEMERINTAHAN 391


Disiplin dan Metodologi
tahun 2005 hingga 2013, nampak bahwa kebutuhan kuat rakyat
di tingkat lokal untuk ikut serta mengetahui dan terlibat dalam
proses kebijakan di tingkat nasional dan lokal semakin menguat.
Mengapa? Untuk kasus Riau, sejarah perpolitikan elit di Riau
umumnya diwarnai persaingan kepentingan terutama yang
berkaitan akses sumber daya alam (SDA) lokal. Riau memiliki
SDA yang melimpah terutama minyak bumi,14 tetapi keuntungan
dari hasil kekayaan alam ini lebih banyak dimanfaatkan di tingkat
Pusat. Masyarakat tidak memiliki akses, pemerintah pusat
sangat menentukan proses kebijakan.
Kenyataan ini membuat masyarakat Riau mengalami keke-
cewaan. Kekecewaan itu diperparah oleh persepsi masyarakat
bahwa banyak pejabat pemerintahan dan politik lokal sebenar-
nya adalah orang-orang yang ditempatkan disitu oleh pemerintah
Pusat atau tokoh lokal yang “berorientasi ke Pusat”. Akibatnya,
sejak 1980-an muncul pemikiran di kalangan pemimpin di
Daerah mengenai perlunya pemimpin yang mewakili kepenti-
ngan lokal dan oleh tokoh lokal. Selama reformasi, masyarakat
Riau lebih banyak ditinggalkan mulai tahap identifikasi isu
hingga evaluasi suatu praktik pemerintahan. Selama ini ke-
terlibatan masyarakat melalui para tokohnya lebih banyak ketika
muncul masalah dalam implementasi kebijakan. Oleh karena
itu, tindakan mobilisasi dukungan setiap komponen masyarakat
dalam konteks proses kebijakan pemerintah adalah suatu ke-
harusan baru.
Sebelum menutup uraian ini, saya ingin mengulangi bahwa
tantangan utama dalam memperkuat sistem politik demokrasi
Pancasila dewasa ini adalah bagaimana mengintegrasikan nilai-
nilai Pancasila ke dalam kehidupan bernegara maupun bermas-
yarakat dalam konteks yang berubah. Bagaimana membuat
konstitusi yang bisa diterima oleh warga negara, berbagai

14
Riau menghasilkan minyak bumi menyumbang lebih 60% produksi minyak
nasional, devisa negara melalui kayu, pulp and paper, kelapa sawit.

392 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
kelompok dalam masyarakat bisa mengajukan pendapat yang
bermacam-macam mengenai bagaimana kehidupan negara
hendak diatur. Dalam menghadapi tantangan itu penguatan pada
proses in-put, proses konversi dan proses out-put sistem politik
demokrasi Pancasila menjadi keharusan bersama. Keberhasilan
kita di dalam menghadapi tantangan ini merupakan kunci dari
masa depan perpolitikan lokal di Indonesia.

ILMU PEMERINTAHAN 393


Disiplin dan Metodologi
394 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
BAB 13
ANALISIS STRUKTURAL
KONTEKS TANTANGAN ILMU
PEMERINTAHAN

Bagian ini adalah sebagai upaya menjelaskan fenomena


membangun semangat kesukarelaan (volunteer) dalam me-
ningkatkan pelayan masyarakat di tingkat lokal. Sepanjang yang
dapat diamati melalui cara pandang ilmu politik dan pemerin-
tahan, semangat kesukarelaan dalam pelayanan masyarakat itu
sebenarnya sudah ada di tengah-tengah masyarakat, hanya saja
untuk menumbuhkembangkan semangat itu seringkali dihadap-
kan pada kendala-kendala institusional1 dan struktural. Kendala
institusional dimaksud semisal kendala dalam hal ketentuan
regulasi dan prosedural-formal yang mengatur suatu pelaksa-
naan pelayanan terhadap masyarakat. Sedangkan kendala
sturuktural menyangkut persoalan-persoalan ekonomi rumah
tangga, dan campur tangan pemerintah yang begitu besar dalam
kehidupan masyarakat. Karena itu uraian pengantar ini meng-
ajukan argumen bahwa membangun semangat kesukarelaan
pada masa transisi ini, memerlukan apresiasi dan kreatifitas
dalam menyibak tirai kendala sistemik masalah institusi dan
1
Istilah institusi dalam tulisan ini diartikan sebagai tata cara pengaturan
individu atau kelompok. Lihat Andrew Heywood, 2000, Key Concepts in
Politics, MacMillan Press, London., hal.93-94.

ILMU PEMERINTAHAN 395


Disiplin dan Metodologi
persoalan-persoalan terutama ekonomi masyarakat dan politik
pemerintah.
Untuk mempermudah perngorganisasian pembahasan,
tulisan ini diarahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
pokok: Cara pandang seperti apa yang dapat dipakai guna me-
mahami fenomena ketergantungan yang kuat disatu sisi dan
disisi lain munculnya keinginan kuat menumbuh-kembangkan
semangat kemandirian atau kesukarelaan (volunteer)? Bagai-
mana membangun semangat kesukarelaan yang lebih luas di
tengah-tengah kondisi masyarakat umumnya tergantung kepada
pemerintah?

MARKET FAILURE
Salah satu persoalan yang dihadapi Indonesia dalam men-
jalankan pembangunan ekonomi adalah banyaknya intervensi
birokrasi dalam kegiatan proses kehidupan masyarakat, ter-
utama dalam kegiatan produktif. Transaksi yang mestinya diatur
menurut aturan main ekonomi, yaitu mekanisme pasar, seri-
ngkali dijalankan berdasarkan keputusan politik. Keputusan apa
yang akan diproduksi, bagaimana investasinya, proses produksi
maupun pemasarannya, seringkali dilakukan oleh pemerintah
melalui mekanisme birokratik: Surat Keputusan (SK) pemerintah.2
Proses inilah ternyata telah menciptakan ketergantungan masyarakat
sedemikian rupa terhadap pemerintah dalam berbagai persoalan
bangsa termasuk dalam penanggulangan masalah bencana alam
dan kemiskinan.
Pada mulanya, peran aktif pemerintah dalam proses pem-
bangunan itu dibenarkan oleh argumen “market failure”, yaitu
kegagalan pasar menciptakan insentif yang memungkin pelaku
pasar untuk bergiat di sektor-sektor pelayanan yang dibutuhkan
masyarakat. Akan tetapi, intervensi pemerintah itu ternyata me-

2
Mohtar Mas’oed, 2004, Birokrasi Pemerintah Sebagai Pelayan, bahan
Ekonomi-Politik Pembangunan, UGM, Yogyakarta, hal.1-3

396 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
nimbulkan persoalan baru. Pertama, intervensi itu semakin luas
tak terbendung. Sehingga masuk ke sektor-sektor yang mestinya
bisa dikerjakan dengan lebih baik oleh masyarakat sendiri. Kedua,
campur tangan pemerintah dalam bentuk pemberian keistime-
waan kepada swasta yang dipilihnya membuat swasta yang
bersangkutan tidak mau bekerja keras. Mereka lebih suka
“memburu rente” dengan memanfaatkan kemudahan yang
diberikan pemerintahan. Akibatnya, munculah fenomena
“government failure” yaitu pemerintah tidak mampu menum-
buhkan insentif agar swasta mau berusaha semakin efisien dan
produktif.3
Dalam konteks inilah sejak tahun 1990-an munculnya
disatu sisi semangat reformasi birokrasi yang menuntut peme-
rintah mengurangi campur tangannya dalam pasar. Di sisi lain,
muncul kehendak agar pemerintah tidak hanya keluar dari pasar,
tetapi juga mengembalikan wewenang mengatur kehidupan ke-
masyarakatan kepada masyarakat. Di sisi inilah dikenal gagasan
bagi pengembangan “civil society” yang dalam tulisan ini di-
artikan pula sebagai munculnya semangat kesukarelaan yang
demokratik, memiliki kemandirian dan dapat mengembangkan
potensi dirinya di tengah-tengah masyarakat.

CIVIL SOCIETY
Selanjutnya pada tulisan berikut ini akan dilakukan survei
singkat mengenai pemikiran yang berkembang di kalangan
ilmuwan politik tentang apa yang menjadi makna civil society?
Konsep ini kemudian dipergunakan untuk menganalisis per-
kembangan pemikiran tentang upaya strategi membangun se-
mangat kesukarelaan di dalam meningkatkan pelayanan mas-
yarakat.
Secara garis besarnya kita bisa mengidentifikasi tiga pola
3
Untuk lebih jelasnya lihat Barry Clark, 1988, Political Economy A
Comparative Approach, Praeger Greenwood Publisher Inc., hal.41-53.

ILMU PEMERINTAHAN 397


Disiplin dan Metodologi
pemikiran mengenai makna civil society, yang masing-masing
menekankan pendekatan yang berbeda-beda. Ada yang me-
nekankan kepada ruang (space), dimana individu dan kelompok
dalam masyarakat dapat saling berinteraksi dengan semangat
toleransi. Di dalam ruang tersebut, masyarakat dapat melakukan
partisipasi dalam pembentukan kebijakan publik dalam suatu
negara.4 Di dalam ruang yang terbuka dari proses interaksi inilah
diharapkan muncul semangat individu atau kelompok untuk
secara sukarela, mandiri menjalankan peran pelayanan publik.
Sementara itu, Victor Perez-Diaz lebih menekankan pada proses
sejarah yang tak terputuskan, terutama di negara-negara sekitar
Atlantik Utara yang telah menciptakan sebuah sistem ekonomi
dan politik yang memiliki karakter tertentu yang lebih melem-
baga. Diaz menekankan makna civil society pada keadaan
masyarakat yang telah mengalami pemerintahan yang terbatas,
kebebasan, ekonomi pasar, dan timbulnya asosiasi-asosiasi mas-
yarakat yang mandiri, dimana satu sama lainnya saling me-
nopang.5
Disamping itu, ada pula pandangan yang memberi makna
pada civil society sebagai sebuah masyarakat yang memiliki
peradaban (civility) yang dibedakan dari masyarakat yang tidak
beradab atau barbarian, seperti yang dikemukakan oleh Chris-
topher Bryant, setelah mengacu pada sejumlah pendapat orang
lain yang membahas masyarakat Skotlandia.6

4
Lihat A. Hall, Jhon, In Search of Civil Society, dalam Jhon A. Hall (ed),
Civil Society: Theory, History, Comparison, Massachussets, Polity Press,
1955
5
Perez-Diaz,Victor,1995, dalam Jhon A. Hall (ed), Civil Society: Theory,
History, Comparison, dalam Afan Gaffar,1999, Politik Indonesia,
Tranformasi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta., hal.177-178.
6
Lihat Klinken GV. 2015; Bryant, Christopher, Ibid, Afan Gaffar, 1999.,
hal.178.

398 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
KELOMPOK MANDIRI
Dari beberapa pendapat diatas, nampaknya yang selalu
ditekankan adalah berfungsinya organisasi sosial dan kelompok
kepentingan yang bersifat mandiri. Menurut hemat penulis,
sudah barang tentu dalam ruang interaksi publik ini juga dapat
ditempatkan para Volunteer atau sukarelawan baik sebagai
individu maupun kelompok, dengan “inisiatif” sendiri men-
jalankan fungsi-fungsi sosial-politik kemasyarakan. Dengan
demikian dapat dikatakan, bahwa civil society merupakan ruang
yang terletak antara negara di satu pihak, dan masyarakat di
pihak lain. Dalam ruang tersebut terdapat asosiasi warga mas-
yarakat yang bersifat sukarela dan terbangun sebuah jaringan
hubungan diantara asosiasi tersebut. Apakah asosiasi tersebut
berdasarkan ikatan keluarga, keyakinan, kepentingan, dan
idiologi? Asosiasi tersebut bisa dalam bentuk bermacam-
macam, ikatan pengajian, persekutuan gereja, koperasi, ka-
langan bisnis, rukun tetangga dan rukun warga, ikatan profesi,
LSM, dan lain sebagainya, hubungannya dikembangkan atas
dasar toleransi dan saling menghargai satu sama lainnya.
Oleh karena itu, menurut Eisenstadt7, civil society me-
rupakan suatu bentuk hubungan antara negara dengan sejumlah
kelompok sosial, misalnya keluarga, kalangan bisnis, asosiasi
masyarakat (volunteer), dan gerakan-gerakan sosial yang ada
dalam negara, namun masyarakat ini sifatnya independen ter-
hadap negara. Masyarakat ini memiliki komponen-kompenen
adalah: (1) Otonomi, (2) akses masyarakat terhadap lembaga
negara, (3) arena publik yang bersifat otonom, dan (4) arena
publik tersebut terbuka bagi semua lapisan masyarakat. Jadi
civil society adalah sebuah masyarakat, baik secara individual
maupun secara kelompok, dalam negara yang mampu ber-
interaksi dengan negara secara independen.

7
Eisenstadt, dalam Afan Gaffar, Op.cit., 1955. hal. 180-184.

ILMU PEMERINTAHAN 399


Disiplin dan Metodologi
VOLUNTEER
Bagaimana menumbuh-kembangkan semangat kesukarelaan
(volunteer) di tengah-tengah masyarakat baik di perkotaan
maupun di pedesaan? Sejalan dengan uraian diatas,8 secara
teoritik ada sejumlah syarat yang diupayakan dalam proses
membangun semangat kesukarelaan konteks civil society untuk
meningkatkan pelayanan masyarakat. Syarat-syarat tersebut
adalah:
1. Otonomi
Yang dimaksud dengan otonomi disini adalah sebuah
masyarakat yang terlepas dari pengaruh negara, apakah itu
misalnya dalam bidang ekonomi, politik, sosial, kesehatan,
ataupun bidang pendidikan. Dalam masyarakat seperti itu,
segala bentuk kegiatan pelayanan sepenuhnya bersumber dari
masyarakat itu sendiri, tanpa ada campur tangan dari negara.
Kalangan individu atau kelompok sebagai warga masyarakat,
kalau mau melakukan kegiatan pelayanan dibidang ekonomi,
dapat dengan leluasa melakukannya. Negara hanya fasilitator,
misalnya melakukan regulasi yang diperlukan dalam mengatur
kompetisi dan melindungi kepentingan publik. Dan, regulasi
tersebut bukan semata-mata ditentukan oleh negara. Tetapi,
regulasi dalam artian sebagai produk sebuah kegiatan publik,
dimana para sukarelawan itu sendiri terlibat sepenuhnya
didalamnya. Kalau sekolompok volunteer ingin melakukan ke-
giatan pelayanan masyarakat di bidang pendidikan – katakanlah
mengajar anak-anak jalanan – tentu saja negara diharapkan ikut
terlibat sepenuhnya didalamnya, yang menyangkut perlindungan
kepentingan yang ada terkait dengan pelaksanaan kegiatan pela-
yanan tersebut. Karena fungsi negara disini sebagai fasilisator
diantara pihak-pihak yang berkepentingan dalam kegiatan pe-
ngajaran.

8
Ibid, Eisenstadt, dalam Afan Gaffar, 1955., hal.181-185.

400 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Untuk diketahui juga disini, bahwa makna otonomi dari
civil society di sini dimaksudkan adalah kemandirian dari
intervensi negara yang tidak seharusnya dilakukan. Demikian
juga kemandirian dalam hal politik. Para sukarelawan dapat
melakukan apa saja, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
yang berlaku. Para sukarelawan dapat membantu mendata
penduduk/pemilih, mengantar dan menjemput surat-surat suara,
membagikan pamflet kampanye dan sebagainya. Dalam me-
lakukan pelayanan masyarakat ini, para sukarelawan bersifat
mandiri. Artinya, bebas dari pengaruh partai politik, kelompok
kepentingan, kelompok penekan, organisasi massa dan sebagai-
nya. Campur tangan pemerintah tetap ada, namun sangatlah
terbatas.
2. Akses masyarakat terhadap lembaga negara.
Dalam konteks hubungan antara negara dan masyarakat,
setiap masyarakat warga masyarakat, baik perorangan maupun
kelompok, harus mempunyai akses terhadap negara/pemerintah.
Artinya, setiap individu atau kelompok dapat melakukan parti-
sipasi atau keikutsertaannya, dalam berbagai bentuk kegiatan
termasuk tentunya pelayanan kepada masyarakat. Apakah de-
ngan cara menghubungi pejabat pemerintah untuk menyampai-
kan problem, gagasan, inisiatif atau rencana, mengorganisir diri
dan kelompok bagi suatu kegiatan pelayanan masyarakat, ter-
libat secara langsung atau tidak langsung ke dalam organisasi
sukarelawan. Sementara itu, pihak pemerintah haruslah terlebih
dahulu mau membuka diri dengan cara menerima keluh kesah,
aspirasi warganya, dan selanjutnya memfasilitasi dengan sejumlah
kebijakan kongkrit. Dalam pelaksanaan, pemerintah mengkoor-
dinasikan kepada segala pihak yang berkepentingan.
3. Arena publik yang otonom
Yang dimaksud dengan arena publik adalah suatu ruang
tempat warga masyarakat mengembangkan dirinya secara
maksimal dalam segala bidang kehidupannya. Dalam ruang atau

ILMU PEMERINTAHAN 401


Disiplin dan Metodologi
tempat inilah tempat tumbuh dan berkembangnya berbagai
organisasi sosial termasuk organisasi-organisasi sukarela
(voluntary organization) yang mengatur diri mereka sendiri.
Para organisasi sukarelawan yang ingin tumbuh atau mau me-
laksanakan kegiatan pelayanan masyarakat dapat melakukannya
berdasarkan inisiatif sendiri, namun tetap dilindungi oleh pe-
merintah. Perlindungan negara terhadap kelompok independen
ini dapat dilihat sebagai bentuk akses negara terhadap publik.
Arena publik ini pada prinsipnya lepas dari “campu tangan“
pemerintah, apalagi elemen yang bersifat koersif. Dalam posisi
seperti itu, antara negara dan masyarakat sama-sama memberikan
pengakuan atas otoritas masing-masing. Karena memang tidak
ada kelompok yang dapat memaksakan otoritasnya kepada
kelompok lain, demikian pula menolak kelompok lain demi
untuk meraih kekuasaan, baik secara pribadi maupun kelompok.
4. Arena publik yang terbuka
Arena publik yang terbuka yang dimaksud disini adalah
suatu ruang atau tempat yang terbuka bagi semua lapisan
masyarakat termasuk para sukarelawan, tidak dijalankan dengan
cara tertutup, eksklusif. Masyarakat dapat mengetahui bahkan
ikut terlibat apa saja yang terjadi di dalam arena tersebut. Arena
itu adalah lembaga perwakilan,‘Apakah partai politik, DPRD,
lembaga peradilan, media massa menginformasikan hal-hal
relevan dan peting diketahui masyarakat, dan tentu organisasi-
organisasi volunteer. Diskusi terbuka yang menyangkut masalah
publik menjadi suatu keharusan, mulai wacana, hingga evaluasi.
Sehingga proses kebijakan publik tidak hanya menyangkut ma-
salah teknis semata, melainkan persoalan kolektif, yang me-
libatkan berbagai pihak berkepentingan. Dalam posisi inilah
diharapkan akan tumbuh proses penyadaran, keikutsertaan, rasa
memiliki warga terhadap keberhasilan suatu kebijakan. Dengan
memahami lebih dalam suatu masalah kebijakan, apa tantangan
dan peluang yang dihadapi, dan melalui interaksi aktor, diharap-
kan akan tumbuh nilai-nilai semangat volunteer dalam kehi-

402 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
dupan masyarakat. Dalam kaitan ini tentu tidak dapat dilupakan
mempertimbangkan dimensi kultural sebuah masyarakat. Apa
yang disebut identitas kebersamaan (public identity) yaitu, ma-
salah yang berkaitan dengan rasa, etinisitas, idiologi, dan lain-
lain turut mewarnai semangat kesukarelaan dalam kehidupan
masyarakat.
Setelah mengurai syarat atau komponen bagi tumbuh dan
berkembangnya semangat kesukarelaan untuk meningkatkan
pelayanan masyarakat dari kaca mata civil society, maka kalau
mencoba melihat kemungkinannya di Riau, pertanyaan pertama
yang harus dijawab adalah: apakah di Riau sudah tumbuh
semangat kesukarelaan atau organisasi-organisasi sukarelawan?
Kalau sudah, kira-kira bagaimana prospeknya? Kalau belum,
apa yang menjadi kendalanya?
Dalam menjawab pertanyaan ini, secara sederhana dapat
dikatakan, bahwa apa yang disebut semangat kesukarelaan di
Riau sudah mulai tumbuh, walaupun hanya sebatas beberapa
kasus, belum sebanding dengan problematik pembangunan
yang dihadapi masyarakat Riau. Dapat disebutkan disini, keha-
diran sukarelawan dalam organisasi satuan tugas penyelamat
hutan ulayat (SATGAS-PHU) di Desa Buluhcina, Kecamatan
Siak Hulu, Kabupaten Kampar-Riau.9 Namun, secara umum
apabila dilihat lebih jauh kehadiran kelompok-kelompok kesu-
karelawan di tengah-tengah masyarakat Indonesia termasuk
Riau, dewasa ini memang masih jauh dari panggang dari api.
Karena, disatu sisi secara umum masyarakat Indonesia tengah
menghadapi proses transformasi sosial. Di sisi lain, intervensi
kekuasaan negara yang sedemikian besar ke dalam kehidupan
masyarakat masa Orde baru (ORBA). Pada masa transisi ini,
9
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Riau, 2006, Term of References (TOR)
Workshop Menumbuhkan Semangat Volunteer dalam Kehidupan
Masyarakat. Digambarkan menarik untuk diteliti lebih jauh tentang
tampilnya 30 pemuda sebagai sukarelawan yang secara rutin berpatroli dan
melakukan tindakan-tindakan edukatif, persuasif, preventif dan represif
dalam menyelamatkan 1.000 ha hutan ulayat masyarakat adat.

ILMU PEMERINTAHAN 403


Disiplin dan Metodologi
intervensi kekuasaan (demikian pula di tingkat lokal) itu tetap
mengandung banyak ketidakpastian.10 Padahal, bagaimanapun
juga persoalan tumbuh dan berkembangnya semangat atau orga-
nisasi kesukrelaan tidak mungkin melupakan transformasi sosial
dan politik yang membawa masyarakat dari suatu tahap ke tahap
modernitas.
Dalam kenyataannya, masyarakat Riau adalah sebuah mas-
yarakat yang memiliki tingkat fragmentasi sosial yang tinggi.
Dalam masyarakat seperti ini, berbagai persoalan baik yang
bersumber dari ekonomi, politik, sosial-budaya, etnisitas dan
sebagainya bagaimanapun juga turut mempengaruhi pertumbu-
han perkembangan munculnya organisasi-organisasi soaial dan
politik yang bersifat mandiri.
Dalam kehidupan ekonomi masyarakat, terdapat kesenja-
ngan bahkan ketidakadilan yang sangat mencolok. Berdasarkan
data Biro Pusat Statistik (BPS) Riau tahun 2006 terdapat 274.723
kepala keluarga (KK) miskin yang tersebar pada 11 Kabupaten/
Kota di Riau. Jumlah KK miskin itu cenderung meningkat dari
tahun ke tahun, hal ini terbukti pada tahun 2007 diperkirakan
akan naik menjadi 290.278 KK. Penduduk miskin ini yang tidak
terdata mungkin lebih banyak lagi.11
Kalau melihat gambaran kasar kesenjangan, tahun 1999
Riau salah satu dari enam provinsi di Indonesia mempunyai
tingkat pertumbuhan melebihi tingkat pertumbuhan nasional.12
Namun, statistik dapat mengecohkan kenyataan yang sebenar-
nya. Kalau melihat keadaan masyarakat Riau, hingga dewasa
ini yang terjadi sebaliknya. Selain kemiskinan yang cenderung
meningkat dari tahun ke tahun, eksploitasi sumber daya alam
10
Lebih jelasnya lihat Rrichard Robison dan Vedi R. Hadiz, 2004, Reorginising
Power in Indonesia, Politics of Oligarchy in an Age of Markets, The
Cronmwell Press Ltd., hal.103-119.
11
Mingguan Genta, Edisi Minggu Ke-II, Desember 2006, No.1167., hal.14.
12
Selain Riau, lima provinsi lainnya yang memiliki tingkat pertumbuhan
melebihi tingkat pertumbuhan nasional adalah; Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD), Sumatera Selatan, Jakarta, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya.

404 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
(SDA) ternyata telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang
cukup parah di berbagai kabupaten/kota di Riau. Kemudian,
terjadi konflik antara masyarakat, Pemerintah, dan swasta.
Selama tahun 2005 saja tercatat sekitar 113 konflik sosial yang
terjadi terutama di daerah-daerah perkebunan di Riau
Tentu saja, keadaan perekonomian seperti itu akan mem-
bawa implikasi yang sangat besar dalam kehidupan politik, yaitu
kecenderungan menguatnya intervensi negara dalam bidang-
bidang kehidupan masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, memang
seharusnya diharapkan tumbuh semangat kesukarelaan dalam
menjalan fungsi-fungsi pelayanan masyarakat. Tetapi dalam
kenyataannya para sukarelawan berkemungkinan berhadapan
dengan kenyataan sebaliknya semisalnya “tekanan”, “ketertutupan”,
“ketergantungan”, dan sebagainya. Apakah dari kondisi seperti
itu dapat tumbuh kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki
kemandirian yang tinggi?Tampaknya para ilmuwan sosial dan
ilmu politik sangat mengkhawatirkan. Karena selain organisasi
yang memiliki kemandirian yang tinggi dibutuhkan juga ruang
yang cukup (public sphere). Di ruang inilah kemandirian ke-
lompok dalam beraktivitas meningkatkan pelayanan di segala
bidang dilaksanakan. Di ruang ini juga akses masyarakat ter-
masuk para sukarelawan kepada lembaga-lembaga pemerinta-
han dan non pemerintah. Pantas dicatat bahwa organisasi sosial
yang cukup mandiri dewasa ini ialah lembaga swadaya masyarakat
(LSM), sejumlah media massa, dan organisasi sukarelawan
semacam SATGAS-PHU di Desa Buluhcina. Hal yang positif
dari kemandirian, kreativitas, dan nilai kesukarelaan ini patut
menjadi contoh untuk dikaji dan ditiru oleh organisasi-organisasi
sosial lainnya di Riau. Sehingga apa yang disebut civil society
semakin mendekat dalam kenyataannya.
Sudah barang tentu, apa yang diuraikan dalam makalah
ini belum bersifat final. Karena itu, diperlukan pengkajian yang
lebih mendalam lagi.

ILMU PEMERINTAHAN 405


Disiplin dan Metodologi
406 ILMU PEMERINTAHAN
Disiplin dan Metodologi
BAB 14
ANALISIS DINAMIKA DEMOKRASI
BARU DAN GOVERNANCE
PADA ARAS LOKAL

Uraian pada bagian ini bermaksud ingin menggambarkan


pergeseran paradigm ilmu pemerintahan dari “government”
yang normatif kepada paradigm “governance” yang menekan-
kan perilaku. Dalam kondisi itu, kekuasaan dipahami tidak
hanya secara langsung (relasional), melainkan juga kekuasan
secara tidak langsung (struktural). Dalam prakteknya, kekuasaan
struktural ini jauh lebih sering berlaku daripada kekuasaan
langsung. Dalam konteks inilah demokrasi baru dimaknai.
Deskripsi perubahan paradigma tersebut dengan mengambil
contoh pergulatan politik demokrasi di Riau tahun 1980-2005
dalam konteks formulasi kebijakan perkebunan kelapa sawit.
Asumsinya adalah bahwa isu kebijakan perkebunan kelapa
sawit adalah bagian dari ekspresi dari pergulatan politik lokal.
Dalam upaya menggambarkan perpolitikan lokal tersebut secara
umum ada dua kelompok fenomena yang hendak digambarkan.
Pertama, terlebih dahulu memaparkan konteks kerangka pe-
mikiran pergulatan politik Riau 1980-2005, akan dibahas ke-
bijakan perkebunan kelapa sawit sebagai ekspresi politik lokal,
atau isu kebun sawit yang membuat perpolitikan lokal menjadi
dinamik atau intens.

ILMU PEMERINTAHAN 407


Disiplin dan Metodologi
Kedua, dengan cara memaparkan historis pergulatan
politik Riau periode 1980-1988 (reformasi) dan 1999-2005 (setelah
reformasi), akan dibahas munculnya gagasan perkebunan
kelapa sawit di tengah-tengah pergulatan kepentingan antara
aktor pusat dan lokal dalam proses suksesi kepemimpinan daerah.
Apakah warisan struktural 1980-an masih berlaku dalam masa
1999-2005, seperti isu putra daerah dan aktor pemerintah pusat?
Atau apakah pola perpolitikan lokal yang mengambil bentuk
apa saja oleh siapa saja, yang memanfaatkan isu kelapa sawit
untuk keperluan yang berbeda-beda?
Dan akhirnya, dari dua bahasan tersebut perhatian akan
ditujukan pada upaya untuk dapat merumuskan pertanyaan
kajian ini. Namun sebelum menguraikan pembahasan tersebut
akan disampaikan terlebih dahulu upaya “membangun instutisi
demokrasi” masa transisi tingkat lokal. Argumen yang hendak
diketengahkan adalah bahwa dalam batas tertentu demokrasi
masa transisi membutuhkan landasan lembaga-lembaga lokal
yang berfungsi dengan baik, berkembang dalam lingkungan
dan kultur yang demokratis.1

KERANGKA KONSEPTUAL
Latar pemikirannya adalah sejak 1990-an muncul sikap
optimisme jika ukuran demokrasi formal yang dibuat Robert.
Dahl (1982), Mary Kaldor dan Ivan Veivoda (1997) yang di-
gunakan sebagai ukuran demokrasi di Indonesia. Sebaliknya,
sikap Pesimisme muncul jika kriteria demokrasi yang dibuat
Kaldor dan Veivoda (1997) dipakai2 mengukur demokrasi sub-
stantif di Indonesia.
1
Khairul Anwar, bahan diskusi ”Membangun Institusi Demokrasi”, Senin,
27 November 2007. Kriteria demokrasi formal: 1) Inclusive citicenship,
(2) rule of law; (3) separation of poewers; (4) elected power holders; (5)free
and fair elections; (6) freedom of expression; (7) associational outonomy;
(8) civilian control over the security forces.
2
Kaldor dan Veivoda, 1977, Democratization in Central and East European
Countries, J.Vol.73.No.1. Membuat kriteria demokrasi substansial: (1)

408 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Tahun 2006 Lembaga Percik (Persemaian Cinta Kemanu-
siaan) melakukan observasi lapangan terhadap penerapan prinsip-
prinsip demokrasi di tingkat lokal. Adapun temuan yang di-
peroleh lembaga ini antara lain adalah sebagai berikut; (1) Parpol
tidak kompeten membuat kebijakan publik; (2) masih dominan-
nya metode mobilisasi memanfaatkan ikatan primordial; (3)
organisasi masyarakat sipil yang sulit berbuat dalam mengaktua-
lisasikan diri;3 (4) birokrasi masih berwajah berbelit-belit; (5)
demokrasi (lokal) dirampas kelompok oligarkis sisa ORBA;
(6) Uang dan premanisme menjadi sebahagian fenomena Pilkada.4
Dilihat dari beberapa temuan percik dan Hadiz itu tampak
bahwa jalan masih panjang buat demokrasi di Indonesia ter-
masuk di tingkat lokal. Pertanyaannya bagaimana melembaga-
kan (institusionalisasi) prinsip-prinsip demokrasi dalam suatu
tatanan kelembagaan demokratis disatu pihak dan turut men-
ciptakan dan melanggengkan ciri-ciri demokratis suatu mas-
yarakat lokal dipihak lain?
Pada dasarnya, kerangka kelembagaan demokrasi dapat
dibedakan kepada tiga perangkat kelembagaan:Pertama, lembaga-
lembaga yang secara langsung mempengaruhi penerapan hak-
hak asasi warga-negara. Contoh, LSM. Kedua, lembaga-
lembaga yang merupakan mekanisme yang memungkin warga
negara berinteraksi dengan lembaga-lembaga pemerintah atau
negara. Contoh, media massa, kelompok kepentingan, pemilu,
dan parpol. Ketiga, lembaga-lembaga pemerintahan. Contoh,
legislatif, ekskutif, birokrasi daerah, lembaga-lembaga hukum
pemerintahan. Secara nasional terdapat beberapa isu seperti,

Karakter UUD dan persepsi tentang HAM; (2)peran parpol dan efektivitas
sbg sarana partisipasi; (3)peran media massa dan kemampuannya dalam
mewakili debat politik; (4) kemampuan cabang administratif menjadi badan
layanan publik; (5) kemampuan Pemda mengelola dan mennggapi masalah
lokal; (6) keberadaan masyarakat sipil yang aktif.
3
Mohtar Mas’oed, dalam Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004.
4
Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik Indonesia Pasca
Soeharto, LP3ES, Jakarta., hal.235

ILMU PEMERINTAHAN 409


Disiplin dan Metodologi
membangun karakter UUD dan persepsi tentang HAM; Peran
parpol dan efektivitasnya sebagai sarana partisipasi; Peran
media massa dalam mewakili debat publik; mengembangkan
Kemampuan birokrasi daerah menjadi badan layanan publik;
Membangun masyarakat sipil yang aktif; Tahap-tahap Pemilu
yang demokratis; Mengelola konflik internal parpol; Kompetensi
parpol sebagai pelaku kebijakan publik. Isu-isu politik tingkat
nasional tersebut juga berimplikasi pada perpolitikan lokal.
Bagaimana dinamika perpolitikan lokal itu terjadi dapat diambil
contoh perpolitikan lokal di Riau dalam kaitan kebijakan per-
kebunan kelapa sawit.

ASAL MUASAL
Sampai tahun 1980-an, dalam sejarah pergulatan politik
elit di Riau ada dinamika misalnya dalam kaitan hubungan pusat-
daerah di zaman Orde Baru yang menghasilkan tuntutan “putra
daerah” untuk menentang pencalonan tokoh oleh pusat. Dalam
perkembangan yang dinamik itu, kemudian muncul isu baru
yang berkaitan dengan kebijakan perkebunan yang didukung
oleh actor yang didukung oleh pemerintah pusat, yaitu Imam
Munandar, dan Ismail Suko dan pendukungnya sebagai kelompok
yang menentang pada waktu itu. Dalam konteks ini, kotroversi
mengenai kebijakan perkebunan sawit harus dilihat dalam konteks
dinamika politik lokal ini.
Jadi, jangan-jangan gagasan mengenai kebun sawit pada
masa orde baru tidak mungkin ditolak, karena tokoh yang
menjadi pimpinan di Riau adalah yang didukung dan pendukung
pemerintah dan kebijakan pemerintah pusat. Sehingga gagasan
kebun sawit sebetulnya pada waktu itu berjalan karena dalam
politik otoriter tidak mungkin ada penolakan. Tetapi ada masa
kemudian ketika perpolitikan yang otoriter itu terurai lagi, lalu
munculah penolakan terhadap kebijakan pusat. Salah satu
kebijakan pusat itu adalah kebijakan perkebunan Kelapa sawit.

410 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Kemudian sejak tahun 1999 perkebunan kelapa sawit menjadi
isu politik baru, dan bisa dipakai oleh aktor-aktor yang bergulat
di Riau.
Isu kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit
muncul, walaupun sudah ada secara embrional bibit-bibit pe-
nentangan itu di zaman orde baru, tetapi tidak bisa materalisasi-
kan atau diwujudkan karena perpolitikan otoriter, menjadi mu-
ngkin ketika reformasi terjadi. Persoalannya adalah ketika re-
formasi itu sudah terjadi, ada perubahan potitioning, karena
tokoh lokal yang semula bisa diduga menolak kebijakan per-
kebunan sawit sekarang justru mendukung. Sebagai contoh
rezim dan aktor lokal 2019, di zaman rezim perpolitikan 1980-
1988 mungkin menentang, dan sangat mungkin kalau ia me-
nentang, ia menentang kebijakan kelapa sawit yang disetujui.
Dengan demikian, isu perkebunan kelapa sawit menjadi
salah satu ekspresi politik lokal. Artinya, perekebuan kelapa
sawit diperdebatkan tidak hanya berkaitan untung ruginya se-
bagai kebijakan pembangunan pertanian atau perkebunan.
Tetapi isu kelapa sawit sebagai bagian dari perdebatan politik
lokal. Jadi isu perkebunan kelapa sawit tidak hanya dibicarakan
dalam pengertian teknis ekonomi, sosiologis semata, tetapi ke-
lapa sawit adalah merupakan bahagian dari ekspresi perpolitikan
lokal, atau kelapa sawit menjadi komoditas aktor lokal dalam
mempertahankan kekuasaannya.

PERIODESASI 1980-1998
Riau memiliki sejumlah fakta sejarah panjang yang cukup
menunjukkan adanya pergulatan politik lokal diantaranya, mulai
dari Raja Haji Fisabilillah melawan penjajahan Belanda 1824,
perjuangan pembentukan Provinsi Riau tahun 1957, dan hingga
kasus-kasus pemilihan kepala daerah sebelum maupun sesudah
era reformasi.
Dalam masa 1980-an, pergulatan politik lokal di Riau di-

ILMU PEMERINTAHAN 411


Disiplin dan Metodologi
mulai dengan kosongnya kursi gubernur/kepala daerah periode
1978-1979 karena meninggalnya Gubernur Soebrantas tahun
1978.5 Kekosongan ini diisi sementara oleh Dirjen PUOD Eddy
Prayitno. Dalam memilih gubernur berikutnya periode (1980-
1985), elit politik Riau cenderung memilih Eddy Prayitno. Ke-
pentingannya adalah keinginan kuat elit lokal mewujudkan
kepemimpinan sipil di Riau. Tetapi pemerintah Soeharto lebih
dulu menunjuk Mayjen TNI H. Imam Munandar sebagai
pengganti Soebrantas (alm). Karena Pusat memiliki kepentingan
untuk memanfaatkan sumberdaya alam dengan formulasi ber-
bagai kebijakan termasuk recana pengembangan perkebunan
kelapa sawit. Dalam mencapai tujuannya tersebut dengan alasan
Riau sebagai daerah “rawan” secara politik, maka pemerintah
Jakarta memilih tindakan menempatan aktor-aktornya di daerah
(pada waktu itu adalah militer).
Dalam kondisi demikian, muncul reaksi “pro” dan “kontra”
antara aktor masyarakat lokal dengan aktor Presiden Soeharto.
H. Abbas Jamil (Ketua DPD Golkar Riau), H. Thamrin Nst
(Ketua F-KP DPRD), dan H. Mhd. Adnan Kasim yang se-
belumnya telah berkoalisi, dipanggil Mendagri Amir Machmud
untuk pertemuan “satu kamar” di Jakarta dihadiri pula Ketua
DPP Golkar A.E. Manahuruk dan Ketua MPR-RI Kharis Suhud.
Sementara itu, guna mendukung tindakan Pusat, Imam Munandar
berupaya mengorganisir seluruh anggota F-KP di Gebernuran
Riau. Pertemuan ini tujuannya adalah untuk menyatakan secara
terbuka bahwa ia akan menyesuaikan diri dalam kepemimpinan
sipil sesuai dengan preferensi aktor dan masyarakat Riau.
Sampai waktunya pemilihan, Imam Munandar pun terpilih dan
dilantik sebagai Gubernur Riau periode 1980-1985.6
5
Lihat lebih jauh St. Zaili Asri (Kor)., 2002. Peristiwa 2 September 1985,
Tragedi Riau Menegakkan Demokrasi, Pekanbaru, Panitia Peringatan 17
Tahun,Persitiwa 2 September 1985, hal.24-27
6
Lihat lebih jauh St.Zaili Asri (Kor)., 2002. Peristiwa 2 Sewptember 1985,
Tragedi Riau Menegakkan Demokrasi, Pekanbaru, Panitia Peringatan 17
Tahun, Persitiwa 2 September 1985, hal.272-277

412 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Dalam masa kepemimpinannya Imam Munandar dikenal
sebagai orang yang menggagas kebijakan pengembangan per-
kebunan kelapa sawit dengan motto “dibawah minyak diatas
minyak”7 dengan tindakan mengembangkan perkebunan besar,
baik melalui PT. Perkebunan (PTP) maupun melalui perkebunan
besar swasta (PBS). Ia mempunyai memiliki preferensi memba-
ngun perkebunan teknis kelapa sawit lebih luas dari perkebunan
di Sumatera Utara yang selama ini dikenal sebagai daerah
perkebunan sawit terbesar di Indonesia.8 Tetapi karena sikap
tidak mendukung aktor lokal terhadap Imam Munandar yang
sejak awal sudah mulai mengental, maka demikian pula dukungan
terhadap kebijakan-kebijakan Imam yang notabene titipan Pusat
di daerah termasuk kebijakan perkebunan kelapa sawit.
Akibatnya, mulai dari wacana hingga pembangunan kebun
sawit di Riau ketika itu penuh dengan sikap “pro” dan “kontra”.
Apalagi dalam pelaksanaan kebijakan kelapa sawit kenyataan-
nya telah meluluhlantahkan tanah-tanah ulayat rakyat di Riau,
terbatasnya akses masyarakat lokal dalam pembangunan kebun,
malah Pemda waktu itu mengundang perusahaan besar Negara
dan swasta nasional atau asing dalam pengelolaan kebun. Dalam
kondisi demikian, isu kebijakan kelapa sawit dengan sendirinya
menjadi bagian ekspresi pergulatan politik lokal pada waktu
itu di Riau.

7
Lihat lebih jauh St. Zaili Asri (Kor)., 2002. ibid. hal.162. Pemilihan Gubernur
Riau periode 1985-1989 adalah proses suksesi kepemimpinan Daerah yang
paling kontrovesial di Riau pada masa Orde Baru. Gubernur yang dilantik
Pusat berbeda dengan calon yang dipilih DPRD. Aktor yang bersaing; Imam
Munadar, Ismail Suko, dan Abdul Rahman Hamid. Gubernur Riau yang dipilih
DPRD adalah Ismail Suko, tetapi yang dilantik oleh Pemerintah Pusat untuk
jabatan yang kedua kalinya Imam Munandar. Selama masa kepemim-pinannya
(1980-1989) inilah wacana dan pengembangan perkebunan kelapa sawit
dilaksanakan di Riau dengan semboyan “dibawah minyak diatas minyak”
8
Lihat Seymour Martin Lipset, 2007. Political Man, Jakarta, Pustaka Pelajar,
hal.20-35. Secara sosio-kultural, variabel-variabel pertumbuhan ekonomi,
kelas menengah yang besar, dan budaya politik demokratis akan mendorong
tumbuhnya demokrasi. Dalam praktiknya kasus di Riau, variabel berkem-
bangnya industrilisasi perkebunan kelapa sawit, minyak bumi dan SDA
lainnya menjadi variabel anteseden munculnya otoritarianisme negara.

ILMU PEMERINTAHAN 413


Disiplin dan Metodologi
Sikap aktor lokal kurang mendukung Imam Munandar terus
saja meluas. Karena dalam penyelengaraan pemerintahan
sehari-hari, Imam dinilai kurang memiliki komitmen terhadap
kepentingan Daerah dalam hal ini keinginan menempatkan
putra daerah terbaik dalam pemerintahan. Kurangnya komitmen
Imam terbukti antara lain dari penunjukan Sekwilda (mantan
Bupati Inhil Baharuddin Yusuf) yang tidak prosedural, pe-
nunjukkan kakanwil, dan kepala-kepala dinas provinsi yang
tidak memberikan kesempatan putra daerah, campur tangan ke
dalam Golkar, dan pemaksaan sebagai imam dan khatib Idul
Fitri, sampai dipandang kurang menghormati tokoh tua di Riau.
Menurut aktor politik lokal, kepemimpinan Imam Munandar
adalah cerminan dari sikap pemerintah Soeharto yang otoriter
dan sentralistis, yang tidak memberikan peluang bagi aktor dan
masyarakat Riau untuk memimpin daerahnya. Dan demikian
pula terhadap kebijakan-kebijakannya termasuk perkebunan
sawit. Sikap dan cara berfikir ini semangkin mengental hingga
pada penolakan Imam Munandar menjadi Gubernur Riau
periode 1985-1989.
Tanpa terdeteksi oleh staf atau Imam Munandar, kristalisasi
penolakannya terus meluas. Dua hari sebelum pemilihan (31
Agustus 1985 malam) di rumah anggota F-KP Mhd. Adnan
hadir 20 orang lebih aktor-aktor lokal antara lain Soeman Hs,
Zaini Kunin, Rawi Kunin, Baharuddin Yusuf, Rivai Rachman,
Sahid Wahid, dan Natar Nasution. Pertemuan itu bertujuan me-
ngatur strategi bagaimana memenangkan pemilihan. Dengan
satu tekad memenangkan calon Ismail Suko dan bukan Imam
Munandar. Sikap anggota Fraksi Golkar itu dibuktikan dalam
bersumpah dengan Al-Quran di atas kepala.9 Sehingga pada
hari Senin tanggal 2 september 1985 dilaksanakan pemilihan
gubernur, dengan tiga orang calon Imam Munandar, Ismail
9
Lihat lebih jauh St. Zaili Asri (Kor)., 2002. Peristiwa 2 September 1985,
Tragedi Riau Menegakkan Demokrasi, Pekanbaru, Panitia Peringatan 17
Tahun Persitiwa 2 September 1985, hal.162

414 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Suko, dan Abd. Rachman Hamid, dan yang terpilih Ismail Suko
dengan suara 19, Imam Munandar 17 suara, dan Adb. Rahman
Hamid dengan 1 suara.10
Terpilihnya Ismail Suko dalam pemilihan gubernur Riau
periode 1985-1999 menjadikan Pusat “gerah”. Pada waktu itu
pula LB. Moerdani melaporkan peristiwa itu kepada Presiden
Soeharto, dengan mengusung isu bahwa gerakan memenangkan
Ismail Suko adalah gerakan anti TNI dan Jawa, menggagalkan
kelanjutkan berbagai kebijakan, dan presiden merasa diper-
malukan. Menghadapi situasi tersebut pemerintah Pusat meng-
usulkan dua skenario. Pertama, Ismail Suko mengundurkan diri,
dan kedua, pemerintah pusat membantalkan pemilihan. Akhirnya,
daerah (aktor Thamrin Nst) memilih Ismail mundur, dengan
pertimbangan kestabilan politik lokal saat itu, setelah berkon-
sultasi dengan Sudharmono (pada waktu itu Mensesneg).
Dalam pertarungan ini kembali Pusat memenangkan
dengan melantik Imam Munandar sebagai Gubernur Riau periode
1985-1989.11 Namun, selang waktu dua tahun dalam melak-
sanakan tugasnya, Imam Munandar meninggal dunia, dan
kembali kursi Gubernur Riau kosong. Pergulatan politik baru
ketika itu kembali ramai. Aktor dan masyarakat lokal mengusung
Baharuddin Yusuf (pada waktu itu Sekdaprov) sebagai calon
Gubernur. Tapi pemerintah Pusat menunjukkan Plt. Atar sebero,
dan Soeripto Gubernur Riau periode 1988-1998, kembali Pusat
memaksakan kekuasaannya di Riau termasuk kebijakan
perkebunan kelapa sawit. Dalam kondisi demikian, perkembangan
perkebunan kelapa sawit di Riau agak berjalan tersendat-sendat.
Karena penuh sikap “pro” dan “kontra” dalam wacana dan pe-
laksanaan pembangunan perkebunan kelapa sawit.

10
Lihat lebih jauh St. Zaili Asri (Kor)., 2002. hal.44-48
11
Lihat lebih jauh St. Zaili Asri (Kor)., 2002. hal.28-29

ILMU PEMERINTAHAN 415


Disiplin dan Metodologi
PERIODESASI 1999-2005
Sejak tahun 1999, pertumbuhan perkebunan kelapa sawit
di Riau sangat pesat. Bersamaan itu reaksi yang berbeda-beda
dari masyarakat memuncak di setiap kabupaten/kota yang di-
tandai antara lain dengan pembakaran desa Mahato, Ampaian
rotan dan konflik lainnya di Riau. Namun, hingga tahun 2005
Pemerintah Daerah Riau tetap terus mencadangkan sekitar tiga
juta hektar lahan bagi perkebunan kelapa sawit melalui program
PPR (Pembangunan Perkebunan Rakyat) yang melibatkan 7
pemerintah kabupaten di Riau. Seperti halnya proses pembangunan
kelapa sawit sebelumnya, program ini tetap menuai “pro” dan
“kontra” baik tingkat wacana maupun pembangunannya.Sikap
ini dapat dikelompokkan sebagai berikut: yang Mendukung,
Gubernur, 7 Bupati di Riau, Partai Golkar, GAKPI (Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), Dinas Perkebunan,Dinas
Pertanian, Dinas Kehutanan, PTP V. Kemudian, aktor yang me-
nolak adalah; wakil gubernur, DPRD, LSM, dan aktor mendukung
dengan syarat; Partai Amanat Nasional (PAN), masyarakat.
Kemudian periode 1998 di Riau ditandai dengan ber-
langsungnya “perluasan” ruang publik sedemikian rupa, yang
dapat dipandang sebagai sarana bagi aktor individu ataupun
institusional ketika berinteraksi memperjuangkan kepentingan
dan tujuannya dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit.
Sebelumnya di Riau hanya terdapat 1 buah majalah bulanan
(Canang), 1 tabloid mingguan (Genta), 1 koran bulanan Kampus
(Bahana Mahasiswa Unri), 1 harian lokal (Riau Pos), dan 1
majalah perkebunan (Perkappen). Setelah tahun 1998, berkembang
sedemikian pesatnya dengan 12 harian, 10 tabloid mingguan,1
majalah bulanan dan 4 media kampus. Disamping itu, terdapat
pula 1 TV lokal (Riau TV), dan 4 radio swasta. Pada perusahaan
swasta lainnya terdapat pula serikat-serikat pekerja/buruh. Ke-
mudian, dalam tatanan masyarakat baik provinsi maupun kabu-
paten/kota, tumbuh dan berkembang pula sejumlah Lembaga

416 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Swadaya Masyarakat (LSM).12
Sementara itu, sejak tahun 1999 di Provinsi Riau telah
terjadi pemekaran wilayah dari 7 menjadi 16 kabupaten/kota,
pemekaran daerah ini yang terbanyak di Indonesia. Bersamaan
proses pemekaran tersebut terjadi pergeseran dominasi kekuasaan
negara dalam pengelolaan sumberdaya, semula berada di tangan
pemerintah pusat, kemudian beralih kepada aktor Daerah. Aktor
Pemda ini ternyata lemah kemampuannya dalam merencanakan
dan menilai secara konfrehensif dampak pembangunan perke-
bunan kelapa sawit. Dengan karakter sosial opportunisme dan
miskin informasi, para actor birokrat dan politisi lokal membuat
kebijakan perkebunan yang telah diusulkan aktor swasta. Hi-
ngga tahun 2005 telah terjadi peningkatan kekerasan politik
yang berkepanjangan setiap kabupaten/kota di Riau.13
Dalam tahun 2005, Daerah Riau dikenal sebagai daerah
yang pertama di Indonesia yang mengembangkan pola “baru”
perkebunan kelapa sawit yang dikenal “pola kemitraan berke-
lanjutan” yang dilaksanakan di Kabupaten Siak. Pola ini
memposisikan Pemerintah Kabupaten Siak sebagai aktor pe-
modal dan PTP.V sebagai aktor lapangan dan bekerjasama da-
lam pembibitan. Pembangunan kebun kelapa sawit ini meman-
faatkan tanah Hak Guna Usaha (HGU) yang tidak produktif
sekitar 8.682 ha yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin.
Pola perkebunan kelapa sawit ini melibatkan aktor pemerintah
Daerah, masyarakat (petani), perbankan, konsultan, dan swasta
(perusahaan perkebunan). Masing-masing aktor memiliki ke-

12
Informasi data Bulletin Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) No.03/tahun
7 Maret 2001. Hingga Desember 2007 di Riau terdapat 10 surat kabar:
Dumai Pos (Dumai), Metro Riau (Pekanbaru), Media Riau (Pekanbaru),
Pekanbaru MX (Pekanbaru), Pekanbaru Pos (Pekanbaru), Rakyat Riau
(Pekanbaru), Riau Mandiri (Pekanbaru), Riau Pos (Pekanbaru), Riau
Tribune (Peknbaru), dan Tribune Pekanbaru (Pekanbaru).
13
Lihat Khairul Anwar, 2009, Dinamika Politik dan Kebijakan Perkebunan
Kelapa Sawit 199-2007, Disertasi Program Doktor Ilmu Politik Pasca
Sarjana Universitas Gadjah Mada, hal.10-11.

ILMU PEMERINTAHAN 417


Disiplin dan Metodologi
pentingan dan sumberdaya ekonomi dan politik yang berbeda-
beda yang dapat dipandang mempengaruhi proses kebijakan
perkebunan di Riau.
Seperti yang tersirat dalam uraian diatas, bagian ini ber-
usaha untuk memunculkan pertanyaan sebagai berikut:
Pertama, mengapa pemerintahan Orde baru memaksakan
kebijakan perkebunan kelapa sawit di Riau? Apakah kepenti-
ngannya untuk mendapatkan sumberdaya dari kebijakan
tersebut? Atau memanfaatkan isu kebijakan kelapa sawit untuk
mempertahankan kekuasaannya di Daerah? Bagaimana reaksi
aktor masyarakat lokal terhadap kebijakan tersebut? Dan
mengapa aktor-aktor Orde Baru memilih perkebunan besar Ne-
gara dan swasta dalam mengelola perkebunan sawit d Riau?
Kedua, apakah kebijakan perkebunan kelapa sawit pasca orde
baru tetap dipaksakan? Siapa aktor lokal yang mendukung dan
yang menolak kebijakan? Apakah yang menjadi tujuan dan ke-
pentingan mendasari aktor yang mendukung atau yang menolak?
Bagaimana actor yang terlibat dalam wacana dan pembangunan
perkebunan kelapa sawit mengorganisir diri? serta, bagaimana
aktor lokal berkoalisi dengan kelompok-kelompok kepentingan
lainnya? Inilah beberapa pertanyaan besar yang dapat menjadi
objek studi ilmu pemerintahan dalam kaitan kebijakan kelapa
sawit dalam persepektif politik lokal ke depan.
Sepanjang yang dapat diamati interaksi antara aktor dan
kelompok dalam proses kebijakan kelapa sawit berlangsung di
Riau sepanjang tahun 2005-2010 dapat dilihat dalam ilustrasi
skema di bawah ini:

418 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Penerapan Efisiensi
Pemda
Progam Kebijakan Anggaran,
Riau
Kebun Lahan

Kepala Komisi –B
Daerah DPRD

Program Wan Abu


Komisi –A Kebun Bakar
DPRD
Birokrat

LSM
PT.GEP
Lingkungan

= Aktor = Koalisi = Pengaruh

Gambar 14.1 Perpolitikan Lokal Terkait Formulasi Kasus


Kebijakan Perkebunan Kelapa sawit K2I (SK Gubernur Riau
No. 330/011/2005)

Interaksi aktor dalam situasi konflik perkebunan kelapa


sawit di dalam Gambar 14.1 di atas berbasiskan keputusan lokal
yang dilandasi perspektif kelompok, mempertimbangkan ke-
kuatan aktor yang berkembang di tingkat lokal dalam mempere-
butkan sumber daya perkebunan kelapa sawit seperti yang sudah
diuraikan dibahagian terdahulu. Para aktor birokrat berkoalisi
dengan swasta dan berupaya menanamkan pengaruh ke komisi
B komisi A. Konsepsi ini dimaksudkan untuk memberikan
landasan prinsipil aturan main dalam berinteraksi para aktor
lokal. Sehingga pola interaksi aktor ini diharapkan dapat me-
nekan potensi destruksi misalnya saling bakar, dan sebagainya.
Pada akhirnya diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
terjadinya perubahan dan tumbuhnya dinamika masyarakat di
tingkat lokal.

ILMU PEMERINTAHAN 419


Disiplin dan Metodologi
Pola interaksi aktor dalam situasi konflik perkebunan
Kelapa sawit ini dilandasi perspektif ekonomi-politik yang
mempertimbangkan kekuatan politik dan ekonomi yang ber-
kembang di tingkat lokal dalam memperebutkan sumber daya
perkebunan kelapa sawit seperti yang sudah diuraikan dibaha-
gian terdahulu. Konsepsi ini dimaksudkan untuk memberikan
landasan prinsipil aturan main dalam berinteraksi para aktor
lokal. Dari pola interaksi inilah model sinergisitas kebijakan
ditemukan dan diharapkan dapat menekan potensi destruksi
misalnya saling bakar, dan sebagainya. Pada akhirnya diharapkan
dapat memberikan kontribusi bagi terjadinya perubahan dan
tumbuhnya dinamika masyarakat di tingkat lokal. Formulasi
kebijakan pemerintah tersebut dapat dilihat Gambar 14.2.

MODEL GOVERNANCE

ISU MASALAH LEGITIMASI

Gambar 14.2. Tahapan Formulasi Kebijakan

Ambil contoh misalnya interaksi aktor dalam proses ke-


bijakan perkebunan kelapa sawit. Jika aspirasi mengandung unsur-
unsur yang terdiri dari para aktor, kepentingan, basis sosial/in-
stitusional, dan sumberdaya. Maka harmonisasi perilaku peme-
rintah, akademisi, masyarakat, dan swasta (PAMS) dalam men-
capai tujuan dapat diselaraskan. Para pihak terkait kepentingan
petani memiliki paling tidak tiga isu utama, yaitu: pasar “input”,
“pasar output”, dan “pasar konsumsi”. Dalam rangka memenuhi
kepentingan ketiga pasar tersebut para petani memiliki akses
kepengambilan keputusan terbatas. Akibatnya berbagai isu tu-
juannya sama, tetapi masalah yang ada berbeda-beda dan ke-
bijakan yang dihasilkan juga berbeda-beda. Dalam kondisi seperti
itu, dibutuhkan akes petani. Walaupun secara makro, pertumbuhan

420 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
angka asset petani meningkat. Jika dilihat dengan harga pasar
yang berlaku di tingkat petani, nilai asset/kebun petani menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun baik petani sawit plasma, petani
sawit mandiri maupun petani non-sawit.
Interaksi pengelompokan PAMS merupakan bagian yang
terintegrasi dalam setiap tahapan formulasi yang terdiri dari ISU,
MASALAH, dan LEGITIMASI penerapan penataan kelemba-
gaan dan pemberdaayaan petani ini sangat kondisional dapat
bersifat linier atau lingkaran artinya bisa dari isu kebijakan,
masalah dan formulasi. Sebaliknya dari formulasi jika ada ma-
salah konflik dapat direkonstruksi dari memahami isi-isu ke-
bijakan, sehinggga diharapkan model ini tidak hanya dapat
diinisiasikan oleh pemerintah, melainkan kelompok-kelompok
sosial yang tumbuh cepat di era reformasi deawasa ini. Kompleks
hubungan para pihak dalam proses kebijakan dapat diseder-
hanakan melalui gambar dan tabel di bawah ini.
Tabel 14.1 Aktor, Kepentingan, dan Tindakan
No Aktor Kepentingan Tindakan
Kesejahteraan Petani Peraturan
Pemerintah Bupati dan
1 Kabuapaten Peraturan
Kadis
Penggunaan Pengawasan
2 DPRD Anggaran Anggaran

Tambahan Pemberda
Kelompok Penghasilan yaan
3
Tani Anggota
Penghasilan, pakan, Merawat
4 Pemasaran dan Ternak
Petani
penyuluhan

Model governance mendeskripsikan interaksi aktor dalam


situasi konflik perkebunan kelapa sawit di Riau, dilandasi per-
spektif ekonomi-politik yang mempertimbangkan kekuatan
poliitik dan ekonomi yang berkembang di tingkat lokal dalam

ILMU PEMERINTAHAN 421


Disiplin dan Metodologi
memperebutkan sumber daya perkebunan kelapa sawit seperti
yang sudah diuraikan dibahagian terdahulu. Konsepsi ini di-
maksudkan untuk memberikan landasan prinsipil aturan main
dalam berinteraksi para aktor lokal, sehingga model ini diharap-
kan dapat menekan potensi destruksi misalnya kekerasan. Pada
akhirnya diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi terjadi-
nya perubahan dan tumbuhnya dinamika demokrasi baru dalam
masyarakat di tingkat lokal.

Masalah
Kebijakan

Kelompok :

-Pemerintah
-Masyarakat
-Swasta
Isu Formulasi
Kebijakan &
Unsur – Unsur : Legitimasi

- Aktor
- Kepentingan
- Basis Sosial
- Sumber Daya

Pelaksanaan
dan Penilaian

Sumber: Anwar, 2014


Gambar 14.3 Model Governance

Apa yang sudah penulis sampaikan di atas diharapkan


dapat menjadi gagasan baru dalam memperkaya kajian-kajian
pemerintahan di masa akan datang. Sehingga dapat mengisi
kekosongan kajian pemerintahan di Indonesia.

422 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah T (Ed). 2006. Ilmu Sosial dalam Tantangan Masa,


dalam Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman. Jakarta(ID): Raja
Grafindo Persada
Afri AS. 2006. Sosiologi Pengetahuan Deporestasi, Kontruksi
Sosial dan Perlawanan. Yogyakarta(ID): Debut Wahana
Strategi Press
Alfiasari, Martianto D, Dharmawan AH. 2009. Modal sosial dan
ketahanan pangan rumah tangga miskin di kecamatan tanah
sereal dan kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Jurnal
Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia.
3(1): 135-166
Akbar SA. 1993. Postmoderns and Islam: Predicament and
Promise. Bandung(ID): Mizan
Almond GA. 1999. Political Science: The History of The Disipline
2rd. dalam A New Handbook of Political Science, Robert
EG & Hans KD
Almond GA & Colleman JS. 1960. The Politics of The Developing
Areas, Priceton. New Jersey(US): Princeton University
Press
Almond GA Powell Jr, Bingham G. 1966. Comparative Politics:
A Development Approach. Boston(US) & Toronto(CAD):
Little Brown & Co

ILMU PEMERINTAHAN 423


Disiplin dan Metodologi
Al Avi H. 1983. The Structure of Peripheral Capitalism. Dalam
Introduction to Sociology of “Developing Societies”.
London(UK): The Macmillan Press
Amal I & Winarno B. 1998. Metodologi Ilmu Politik. Yogyakarta(ID):
PAU-UGM
Anderson BR. 1990. Language and Power, Exploring Political
Cultures in Indonesia. Ithaca(US) & London(UK): Cornell
University Press
Andrianus P, Toni. 2006. Mengenal Teori-Teori Politik dari Sistem
Politik sampai Korupsi. Bandung(ID): Nuansa Press
Anwar K. 1999. Beberapa Perspektif Teoritik Pembangunan.
[Bahan Kuliah, tidak terbit]. Riau(ID): Universitas Riau
Pekanbaru
_______.1999. Beberapa Perspektif Teoritik Pembangunan.
Jurnal PPS-Ilmu Politik. Riau(ID): Universitas Riau
_______. 2017. Partisipasi Sosial & Politik, Teori dan Praktik.
Pekanbaru(ID): Universitas Riau Press
Apter ED. 1985. Introduction to Political Analysis, terjemahan
Pengantar Analisa Politik oleh Setiawan Abadi. Jakarta(ID):
LP3ES
Asri SZ. 2002. Tragedi Riau Menegakkan Demokrasi: Peristiwa
2 September 1985. Pekanbaru(ID): Panitia Peringatan 17
Tahun “Peristiwa 2 September 19985. Hal. 24 – 27
Bahari S. 2004. Konflik Agraria di Wilayah Perkebunan, Rantai
Sejarah yang tak Berujung. Jurnal Analisis Sosial. 9(1): 37
- 45
Barrie A, Browne V, Huggins R, Isaacs R. 2018. Politics An
Introduction. London(UK): Routledge
Beiharz P. 2002. Teori-Teori Sosial, Observasi Kritis Terhadap
para Filosof Terkemuka. Jakarta(ID): Pustaka Belajar
Brecht A. 1959. Political Theory: The Foundations of Twentieth
Century Political Thought. New Jersey(US): Pricenton
University Press

424 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Brown R. 1972. Explanation in Social Science. Chicago(US):
Adline Publishing Company
Budi W. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta(ID):
Media Presindo
Budiarjo M. 1986. Pendekatan-Pendekatan dalam Ilmu Politik.
Jurnal Ilmu Politik. 1(1): 3-16
_________ & Pudjiastuti TN. 1996. Teori Politik Dewasa Ini.
Jakarta(ID): Raja Grafindo
Budiman A. 1991. Negara dan Pembangunan, Studi tentang
Indonesia dan Korea Selatan. Jakarta(ID): Yayasan dan Padi
Budiman H. 2004. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai
Nietzshe. Jakarta(ID): Gramedia
Burnham P, Lutz KG, Grant W. 2004. Political Analysis: Research
in Methods in Politics. England(UK): Palgrave Macmillan
Bustanul A. Pembangunan Pertanian: Paradigma, Kinerja, dan
Opsi Kebijakan, Indef. Jakarta(ID): Kompas
Caporaso JA. 1992. Theories of Politcal Economy. New York(US):
Cambridge University Press
Casson A. 2000. The Hesitant Boom: Indonesia’s Oil Palm
Subsector in an Era of Economic Crisis and Politcal Change.
https://www.Occasional Paper /no-29/
Cheema GS & Rondinelli DA. 1983. Decentralization and
Development Policy Implementation in Developing
Countries. London(UK): Sage Publication
Chenery H, Ahluwalia M, Bel C, Duloy J, Jolly R. 1974.
Redristribution With Growth. London(ID): Oxford
Univeristy Press
Cheppy H. 1991. Ilmu Politik dan Perspektifnya. Yogyakarta(ID):
Tiawa Wacana
Clark B. 1998. Politcal Economy a Comparative Approach.
California(US): Praeger Greenwood Publishers Group Inc
Deliarnov. 2006. Ekonomi-Politik, Mencakup Berbagai Teori dan

ILMU PEMERINTAHAN 425


Disiplin dan Metodologi
Konsep yang Komprehensif. Jakarta(ID): Erlangga
Deutsch KW. 1980. Politcs and Government, How People Decide
Their Fate. Boston(US): Miffin Company
Dhakiade D. 2014. Birokrasi Bisnis dan Politik. Jurnal Pemikiran
Sosial Ekonomi. 33(2)
Dinas Perkebunan Provinsi Riau. 2003. Laporan
Pertanggungjawaban Program Kerja. Pekanbaru(ID): Dinas
Perkebunan Riau Tahun Anggaran 2002
Dirdjosanjata P, Kana NL. 2004. Demokrasi dan Potret Lokal
Pemilu 2004. Jakarta(ID): Gramedia
Djasit S. 2002. Peran kelapa sawit dalam otonomi daerah,
Makalah Loka Karya. Pekanbaru(ID): Departemen Pertanian
Dunn WN. 2003.Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta(ID):
Gadjah Mada University Press
Easton D. 1965. A Frame of Political Analysis. New Jersey(US):
Prenticehall Engelwod Cliffs
________. 1965. The Political System, An Inguiry Into The State
of Political Science. Calcutta(INA): Scientific Book Co.
Eko S. 2003. Transisi Demokrasi Indonesia, Runtuhnya Rezim
Orde Baru. Yogyakarta(ID): APMD Press
Eriyatno & Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan: Metode Penilitian
Untuk Pasca Sarjana. Bogor(ID): IPB Press
Evans P, Dietrich R, Theda S. 1985. Bringging the State Back in.
Cambridge(UK): Cambridge Univeristy Press
Fauzi. 2002. Lintasan Sejarah Perkebunan Indonesia dari Masa
ke-Masa Media Perkebunan. Media Perkebunan Edisi 51
Nopember – Desember 2005. Medan(ID): Adidaya Pratama
Feith H. 1962. The Decline of Constitutional Democracy in
Indonesia. New York(US): Cornell University Press
Finifter AW. 1983. Political Science L The State of Dicipline.
Washington DC(US): The American Political Science
Association

426 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Fisher JR. 2013. Teori Sistem dan Fungsionalisme Strutural dalam
Isyama JT & Marijke B. 2013. Ilmu Politik, dalam Paradigma
Abad ke-21, Sebuah Referensi Panduan. Jakarta(ID):
Prenada Media
Fisher F, Gerald JM, Mara SS. 2015. Handbook Analisis
Kebijakan Publik Teori, Politik dan Metode. Bandung(ID):
Nusa Media
Frieden JA , Tomz M, Pastor MJ. 2000. Modern Political Economy
Theory and Latin and America Policy. USA(US): USA
Westview Press
_________. 2000. The Method of Analysis: Modern Political
Economy dalam Modern Political Economy Theory and
Latin and America Policy. USA(US) : USA Westview Press.
Gaffar A. 1999. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi.
Yogyakarta(ID): Pustaka Pelajar
_________. 1993. Kuliah-Kuliah Scope dan Metode Ilmu Politik,
Program Ilmu Politik Fakultas Pasca Sarjana. Yogyakarta(ID):
Universitas Gadjah Mada
________. 1992. Javanese Voters. Yogyakarta(ID): Gadjah Mada
University Press
Gaus F, Gerald, Chandra K. 2012.Handbook Teori Politik. Bandung(ID):
Nusa Media
Giddens A. 2010. Teori Strukturasi Dasar-Dasar Pembentukan
Struktur Sosial Masyarakat. Jakarta(ID): Pustaka Pelajar
__________. 2003. The Third Way and Its Critiques, Yogyakarta(ID):
IRC Isod
Grindle & Thomas. 1989. Policy Makers, Policy Choice and
Policy Outcome. New Jersey(US): Prentice Hall
Gulo W. 2002. Metodologi Penilitian. Jakarta(ID): Grasindo
Hadiz RV. 2002. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia
Pasca-Soeharto. Jakarta(ID): LP3ES
Halim ABD. 2014. Politik Lokal: Pola, Aktor dan Alur Dramatikalnya.
Yogyakarta(ID): LP2B

ILMU PEMERINTAHAN 427


Disiplin dan Metodologi
Hall AJ. 1955. Civil Society: Theory, History, Comparison.
Massachussets(US): Polity Press
Hamdi M. 2002. Bunga Rampai Pemerintahan. Jakarta(ID): Yarsif
Watampone
Harrison L. 2007. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta(ID):
Prenada Media
Haryanto S. 2012. Spektrum Teori Sosial dari Klasik Hingga
PostModern. Yogyakarta(ID) : Ar-Ruzz Media
Hayashi Y, Ruttan V. 1987. Agricultural Development: An
International Perspective. New York(ID): John Hopkins
Press
Hegel. 1952. Philosophy of Right. London(UK): Oxford University
Press
Held D. 1995. Democracy and The Global Orde, From The
Modern State to Cosmopolitan. California(US): Standford
University Press
Hendro S, Posmo. 1993. Prinsip Ilmiah dan Islam. Kedaulatan
Rakyat Tanggal 17 Desember 1993
Heraty N. 1998. Seri Kuliah Program Doktor. Jakarta(ID):
Universitas Indonesia
_______, Toety. 1998. Catatan Kuliah Metodologi Ilmu,
dirangkum oleh Sudigdo Sastrasmoro. Jakarta(ID): Fakultas
Pascasarjana Universitas Indonesia
Herry P, Giddens A. 2002. Suatu Pengantar. Jakarta(ID):
Gramedia
Heywood A. 2016. Ideologi Politik, Sebuah Pengantar. Jakarta(ID):
Pustaka Pelajar
Huntington SP. 1968. Political Order in Changing Societies.
Connecticut(US): Yale University Press
Ida BM. 2004. Filsafat Penilitian dan Metode Penilitian Sosial.
Yogyakarta(ID): Pustaka Pelajar
Isaak AC. 1981. Scope and Methode of Political Science, An

428 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Introduction to The Methodology of Political Enquiry Third
Edition. Illinois(US): Dorsey Press
Isyama JT, Marijke B. 2013. Ilmu Politik dalam Paradigma Abad
Ke – 21 Sebuah Referensi Panduan. Jakarta(ID): Prenada
Media
Iriawan MB. 2012. Sistem Politik Indonesia, Pemahaman Secara
Teoritik dan Empirik. Jakarta(ID): Rajawali Press
Jackson JE, Goodin RE, Klingemann HD. 1998. Political
Methodology: An Overview. Oxford(UK): Oxford Scholarship
Online
Jackson KD, Lucian WP. 1978. Political Power Communications
in Indonesia. London(UK): University of California Press
___________. 1978. The Prospects for Bureaucratic Polity in
Indonesia. London(UK): University of California Press
Jacques R, Jean. The First and Second Discourses Together With
The Replicies to Critics and Essay on The Origin of
Languangages. New York(US): Harper & Row Publishers
Kamaruddin H. 1993. Posmodernisme: Pemberontakan Terhadap
Keangkuhan Epistimologis. Jawa Pos Tanggal 25 Oktober
1993
Kasim A. 2006. Good governance dan demokrasi. Jurnal
Demokrasi & Otonomi Daerah. 4(1) : 1 – 9
Kencana SI. 2013. Ilmu Pemerintahan. Bandung(ID): Mandar
Maju
_________. 2013. Ilmu Pemerintahan. Jakarta(ID): Bumi Aksara
_________. 2002. Sistem Politik Indonesia. Bandung(ID): Refika
Aditama
Kerlinger NF. 1993. Asas-asas Penilitian Behavioral. Yogyakarta(ID):
Gadjah Mada University Press
Kirkham RL. 2013. Teori-teori Kebenaran, Pengantar Kritis dan
Komprehensif. Bandung(ID): Nusa Media
Klingemann A. 1998. A New Handbook of Political Science.

ILMU PEMERINTAHAN 429


Disiplin dan Metodologi
Oxford(UK): Oxford University Press. Hal. 717 – 747
Klinken GV. 2015. The Making of Middle Indonesia. Jakarta(ID):
KITLV
__________. 2007. Communal Violence and Democratization in
Indonesia: Small Town Wards. Canada(CAD) & USA(US)
Kleden I. 2008. Politik di Indonesia Antara Demokrasi dan
Sentralisme Politik. Politik Lokal
Kuhn T. 1989. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains.
Bandung(ID): RemadjaKarya Offset
______. 1962. The Structure of Scientific Revolutions.
Chicago(US): University of Chicago Press
Kuntjoro JD. Pendekatan politik ekonomi (political-economy):
jembatan di antara ilmu ekonomi dan ilmu politik. Jurnal
Ilmu Politik. 8(1) : 3 – 12
Labolo M, Kawuryan MW. 2008. Beberapa Pandangan Tentang
Ilmu Pemerintahan. Malang(ID): Bayumedia Publishing
______, Kawuryan MW, Rowasiu H. 2008. Beberapa Pandangan
Dasar Tentang Ilmuu Pemerintahan. Malang(ID):
Bayumedia Publishing
______, 2007. Memahami Ilmu Pemerintahan Suatu Kajian,
Teori, Konsep dan Pengembangannya. Jakarta(ID): Raja
Grafindo Persada
Lasco J, Williams L. 2005. Political Theory, Kajian Klasik dan
Kotempores, Pemikiran Machiavelli – Rawls. Jakarta(ID):
Raja Grasindo Persada
Lash S. 1992. Sociology of Posmodernism. New York(US):
University of Lancaster
Lasswell HD. 1936. Politics: Who Get What, When, How. New
York(US): McGraw – Hill
Lay C. 2006. Involusi Politik, Esei-Esei Transisi Indonesia.
Yogyakarta(ID): PLOD – UGM
Levine DP. 1995. Wealth and Freedom an Introduction to Political

430 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Economy. Berkley(US) & California(US): Cambridge
University Press
Liddle W. 2008. Keberhasilan Demokrasi. Columbus(US): The
Ohio State University
Linchbach MI, Zuckerman AS. 1997. Research Traditions and
Theory in Comparative Politics an Introduction. New
York(US): Cambridge University Press
Lubis AU. 1992. Kelapa Sawit di Indonesia. [Hasil Penelitian].
Pematang Siantar, Sumatra Utara(ID): Pusat Penilitian
Perkebunan Marihat – Bandar Kuala
MacAndrews. 1997. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta(ID):
Gadjah Mada University Press
MacIntyre A. 1991. Business and Poltics in Indonesia. Australia(AU):
Asian Studies Association of Australia
Maksudi. 2006. Sistem Politikk Indonesia: Pemahaman Secara
Teoritik dan Empirik. Jakarta(ID): Rajawali Press
Maliki Z. 2012. Rekontrukksi Teori Sosial Modern. Yogyakarta(ID):
Gadjah Mada University Press
Mallarangeng R. 2004. Mendobrak Sentralisme Ekonomi:
Indonesia 1986 – 1992. Jakarta(ID): Gramedia
Malo M, Trisnoningtias S. 1995. Metode Penelitian Masyarakat.
Jakarta(ID): PAU Universitas Indonesia
Mansoer F. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Yogyakarta(ID): Pustaka Pelajar
Marijan K. 2010. Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Demokrasi
Pasca-Orde Baru. Jakarta(ID): Prenada Media
Marsh D, Stoker G. 1995. Theory and Methods in Political
Science. London(UK): Macmillan Press
Martin SL. 2007. Political Man. Jakarta(ID): Pustaka Pelajar
Mas’oed M. 2006. Pesimisme Nasional, Optimisme Lokal?:
Perkembangan Politik di Indonesia Sejak 1998 dalam
Dirdjosanjata P, Kana NL. 2004. Demokrasi dan Potret

ILMU PEMERINTAHAN 431


Disiplin dan Metodologi
Lokal Pemilu. Yogyakarta(ID): Pustaka Pelajar
_________. 2005. Negara, Kapital dan demokrasi. Yogyakarta(ID):
Pustaka Pelajar
_________. 2003. Ekonomi – Politik Internasional dan
Pembangunan. Yogyakarta(ID): Pustaka Pelajar
_________. 1995. Ekonomi – Politik Pembangunan.
Yogyakarta(ID): Program Magister Administrasi Publik
PPS-UGM
_________. 1994. Politik, Birokrasi dan Pembangunan.
Yogyakarta(ID): Pustaka Pelajar
_________. 1990. Ilmu Hubungan Internasional, Disiplin dan
Metodologi. Jakarta(ID): LP3ES
_________. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966
– 1971.[Disertasi]. Jakarta(ID): LP3ES
Migdal JS, Kohli A, Shue V. 2012. State Power and Social Forces.
New York(US): Cambridge University Press
Miller MC. 2013. NeoInstitusionalisme dalam Isyama JT, Marijke
B. 2013. Ilmu Politik, dalam Paradigma Abad ke-21, Sebuah
Referensi Panduan. Jakarta(ID): Prenada Media
Mirriam B. 1986. Pendekatan-Pendekatan dalam Ilmu Politik.
Jurnal Ilmu Politik, 1(1) : 3 – 16
________. 1985. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta(ID) :
Gramedia
Mosher AT. 1965. Getting Agriculture Moving Essential for
Development and Modernization The Agricultural
Development Council. New York(US): Praeger Publisher
Mubyarto. 2005. Reformasi Pengajaran Ilmu Sosial-Humaniora
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta(ID): Aditya Media
dan Pusteb UGM
_______. 1993. Riau Menatap Masa Depan. Yogyakarta(ID):
P3PK - UGM
Muhaimin Y. 1990. Bisnis dan Politik Kebijakan Ekonomi

432 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Indonesia 1950 – 1980. [Disertasi]. Jakarta(ID): LP3ES
Mujani L, Ambardi. 2012. Kuasa Rakyat : Analisis tentang
Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislative dan Presiden
Indonesia Pasca – Orde Baru. Bandung(ID) : Mizan
Ndraha T. 2010. Kybernologi dan Metodologi : Metodologi Ilmu
Pemerintahan. Jakarta(ID) Sirao Credentia Center
_______. 2008. Kybernologi dan Pembangunan. Jakarta(ID):
Sirao Credentia Center
_______. 2007. Kybernologi Beberapa Kontruksi Ulama.
Jakarta(ID): Sirao Credentia Center
_______. 2006. Kybernologi: Sebuah Scientific Enterprise.
Jakarta(ID): Siirao Credentia Center
_______. 1997. Metodologi Ilmu Pemerintahan. Jakarta(ID):
Rineka Cipta
_______. 1981. Metodologi Pemerintahan Indonesia. Jakarta(ID):
Bumi Aksara
Newman L. 2013. Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan
Kualitatif dan Kuantitatif Edisi 7. Jakarta(ID): Indeks
__________. 2012. The Meaning of Methodologi, Social Research
Method : Qualitative and Quantitative. Jakarta(ID): Indeks
Newton WH, Smith. 1981. The Rationality of Science.
London(UK) & New York(US): Balliol College
Nordholt HS, Klinken GV. 2007. Renegotiating Boundaries:
Local Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden(NL):
KTLV Press
Norris C. 1993. The Truth About Posmodernism. Massachusetts((US):
Cambridge University Press
Novrian B, Fachru. 2019. Ekonomi Politik dalam Peralihan
Demokrasi. Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi. 2(38) : 48 –
51
Olson M. 1971. The Logic of Colectgive Action. Massachusetts(US):
Harvard University Press

ILMU PEMERINTAHAN 433


Disiplin dan Metodologi
Parsons W. 2001. Public Policy: An Introduction to the Theory and
Practice of Analysis. Cheltenham(GB): Edward Elgar Publishing
Popper KR. 2008. Logika Penemuan Ilmiah. Yogyakarta(ID):
Pustaka Pelajar
Pratikno. 2003. Melacak ruang kajian pemerintahan dalam ilmu
politik: sebuah riset awal. Jurnal Kajian Ilu Pemerintahan
Kritis Transformative. 1(1): 15 - 21
Priyono AE, Usman H. 2014. Merancang Arah Baru Demokrasi,
Indonesia Pasca-Reformasi. Jakarta(ID): Gramedia
Rasyid R. 2002. Penjaga Hati Nurani Pemerintahan. Jakarta(ID):
PUSKAP dan MIPI
Ratnawati, Dwipayana A. 2005. Modul Teori Politik Program
Studi Ilmu Politik Konsentrasi Politik Lokal dan Otonommi
Daerah Sekolah Pascasarjana. Yogyakarta(ID): Universitas
Gadjah Mada. Hal. 13
Rauf M. 2000. Konsensus Politik, Sebuah Pegangan Teoritis.
Jakarta(ID): Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas
Riggs FW. 1983. Perbandingan Keselurahn Sistem Politik.
Yogyakarta(ID) : Liberty
Ritzer G, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta(ID):
Prenada
Robison R, Vedi RH. 2004. Reorganising Power in Indonesia,
The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. France(FR):
RoutledgeCurzon
Robison R. 1986. Indonesia: The Rise of Capital a Publication
of The Asian. Australia(AU): Association of Australia
Rostow WW. 1960. The Stage of Economic Growth a Non-
Communist Manifesto. London(UK): Cambridge University
Press
Ryas RM. 2007. Makna Pemerintahan, Tinjauan dari Segi Etika
dan Kepemimpinan. Jakarta(ID): Mutiara Sumber Wydia
Saefullah F. 1994. Masalah Prospek Demokrasi di Indonesia.
Jakarta(ID): Ghalia Indonesia

434 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Said MM. 2007. Birokrasi di Negara Birokratis. Malang(ID):
UMM Press
Sairin S. 2006. Mereka yang Ingin Menjadi Ilmuwan Sosial: Kasus
Universitas Gadjah Mada dalam Taufik A. Ilmu Sosial dan
Tangan Zaman. Jakarta(ID): Raja Grafindo Persada
Saleh D. 2002. Peran Kelapa Sawit dalam Otonomi Daerah.
Pekanbaru(ID): Makalah Loka Karya Departemen Pertanian
Salim A. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial.
Yogyakarta(ID): Tiara Wacana
Samad SR. 2010. Negara dan Masyarakat, Studi Penetrasi
Negara di Riau Kepulauan Masa Orde Baru. Jakarta(ID):
Pustaka Pelajar
Sanit A. 2012. Sistem Politik Indonesia, Kestabilan, Peta
Kekuatan Politik dan Pembangunan. Jakarta(ID): Rajawali
Press
Sanusi A. 2019. Analisis Kebijakan Publik, NeoInsitusionalisme.
Jakarta(ID): LP3ES
Santoso A. 1990. Demokrasi dan nilai-nilai politik: apa yang sudah
dilakukan dan apa yang dicapai. Jurnal Ilmu Politik. 10(1) :
hal. 57-73
Santoso P. 2014. Keharusan untuk Kontekstualisasi Demokrasi
dalam AE Priyono Merancang Arah Baru Demokrasi,
Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta(ID): Gramedia
_________, et all. 2010. Sinergi pengembangan ilmu pemerintahan
dengan pembaharuan tata pemerintahan lokal. Politics &
Goverment. 4(1) : 1 – 98
Sartori G. 1987. The Theory of Democracy Revisited, Part Two:
The Classical Issues. New Jersey(US): New Jersey Publishers
Savirani A, Olle T. 2016. Reclaiming The State, Mengatsi Problem
Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto. Yogyakarta(ID):
PolGov Fisipol UGM
Schmid V. 1984. Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan
Hukum. Jakarta(ID): Pembangunan

ILMU PEMERINTAHAN 435


Disiplin dan Metodologi
Sipayung T, Purba JHV. 2015. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit.
Bogor(ID): PASPI
Slamat H. 2005. Pembangunan dan Kebijakan Pertanian.
Yogyakarta(ID): Bahan Kuliah S3 UGM
Smith CB. 2012. Decentralization, The Territorial Dimension of
The State. Jakarta(ID): MIPI
Stuart MJ. 1960. Utilitarianism, Liberty, Representative
Government. London(UK): The Aldine Press
Surbakti R. 2017. Metodologi Ilmu Politik, Materi Kuliah
Program Studi Ilmu Politik. Surabaya(ID): Universitas
Airlangga
________. 1993. Perspektif kelembagaan baru mengenai
hubungan negara dengan masyarakat. Jurnal Ilmu Politik.
1(14) : 3 – 20
________. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta(ID): Grasindo
Persada
________. 1984. Perbandingan Sistem Politik. Surabaya(ID):
Mechpiso Grafika
Soeharto I. 1999. Manajemen Proyek, Konseptual sampai
Operasional. Jakarta(ID): Erlangga
Sosialismanto D. 2001. Hegemoni Negara: Ekonomi Politik
Pedesaan. Yogyakarta(ID): Lapera Pustaka
Strange S. 1988. State and Market, an Introduction to
International Political Economy. London(UK): Published
in Great Britain
Suharyono. 1996. Analisis Dampak Kebijakan Ekonomi pada
Komoditi Minyak Kelapa Sawit dan Hasil Industri yang
Menggunakan Bahan Baki Minyak Sawit di Indonesia.
Bogor(ID): Pps IPB
Sukirno S. 1990. Ekonomi Pembangunan. Medan(ID): Borta
Gorat
Supardan D. 2008. Pengantar Ilmu Sosial, Sebuah Kajian
Pendekatan Struktural. Jakarta(ID): Bumi Aksara

436 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
Suwaryo U. 2017. Metodologi Ilmu Pemerintahan. Bandung(ID):
KAPSIPI
Sutoro E. 2003. Transisi Demokrasi Indonesia, Runtuhnya Rezim
Orde Baru. Yogyakarta(ID): APMD Press.
Suwarsono, Alvin Y. 1993. Perubahan Sosial dan Pembangunan
di Indonesia, Teori-teori Modernisasi, Dependensi dan
Sistem Dunia. Jakarta(ID): LP3ES
Syamsuddin H. 2004. Proses Pencalonan Anggota DPRD Kupang
dan Ende di Nusa Tenggara Timur: Kasus Partai Golkar
dan PDI Perjuangan dalam Dirdjosanjata P, Kana NL. 2004.
Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004. Jakarta(ID):
Gramedia
Tarigan A. 2014. Memahami Pemerintahan, Sketsa Teoritis,
Repleksi Empiris dan Kontemlasi Kritis. Jakarta(ID): IPDN
Press
Thoha M. 2014. Lembaga birokrasi dalam negara. Prisma. 33(1)
Tjokrowinoto M. 1994. Konsep dan Isu Pembangunan Nasional.
Yogyakarta(ID): Program Magister Administrasi Universitas
Gadjah Mada
Tsebelis G. 1990. Nested Games, Rational Choice in Comparative
Politics. Los Angeles(US): University of California Press
Van D, Vernon. 1960. Political Science: A Philosophical Analysis.
California(US): Standford University Press
Van K, Gerry. 2015. The Making of Middle Indonesia, Kelas
Menengah di Kota Kupang 1930 – 1980. Jakarta(ID): KILV
Varma SP. 1999. Teori Politik Modern. Jakarta(ID): Raja Grafindo
Persada
________. 1987. Teori Politik Modern. Jakarta(ID): Rajawali
Press
Wallace WL. 1971. The Logic of Science in Socioloy. New
York(US): Aldine de Gruyter
Winarno B. 2002. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi.
Yogyakarta(ID): MedPress

ILMU PEMERINTAHAN 437


Disiplin dan Metodologi
Winters JA. 1996. Power in Motion. London(UK): Cornell
University Press
Wiratmo M. 1992. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta(ID):
Media Widya Mandala
Wirawan IB. 2012. Teori-Teori Sosial, Dalam Tiga Paradigma,
Fakta Sosial, Definisi Sosial dan Perilaku Sosial.
Jakarta(ID): PeranaMedia
Zuckerman, Lichbach, Mark I, Alan S. 1997. Comparative Politics:
Rationality, Culture and Structure. Cambridge(UK):
Cambridge Univeristy Press

438 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi
TENTANG PENULIS

Dr. Khairul Anwar, M.Si merupakan Wakil


Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(Fisip) Universitas Riau (Unri). Pria kelahiran
Siak Sri Indrapura, Riau 7 Juli 1965, ini me-
namatkan Sarjana (S1) pada Jurusan Ilmu
Pemerintahan Unri, Magister Ilmu Politik dan
Doktor Ilmu Politik pada Program Studi Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta 2009. Sejak
awal 1990-an aktif dalam dunia akademik ketika diangkat sebagai
staf pengajar dan peneliti pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisip-
Unri. Jabatan struktural yang pernah dipercayakan padanya antara
lain: Ketua Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan, pendiri dan
sekretaris Program Studi (S2) Ilmu Politik pascasarjana Unri.
Ketua Program Studi S2 Ilmu Politik Pascasarjana Unri. Tenaga
ahli di berbagai pemerintah daerah: Kabupaten Siak, Kota
Pekanbaru, Kabupaten Indragiri Hulu, dan Kabupaten Bengkalis.
Peneliti dan Reviewer Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat (LPPM) Unri, dan Ketua Senat Akademik Fisip-Unri
(2017-2019).
Banyak menerbitkan buku dan artikel di jurnal ilmiah
nasional dan internasional. Aktif sebagai narasumber seminar dan
konferensi. Buku-buku yang sudah terbit, antara lain; Potensi dan
Fenomena Ketergantungan di Kawasan Perbatasan Indonesia-
Singapura-Malaysia; Daerah Pinggiran dan Kapitalisme

ILMU PEMERINTAHAN 439


Disiplin dan Metodologi
Internasional; Formulasi Kebijakan dalam Konteks Yang
Berubah; Pola Perubahan Politik Lokal, Kasus Pembangunan
Kelapa Sawit di Riau; Penataan Kelembagaan Petani; dan
Partisipasi Sosial &Politik.
Berbagai kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
dilakukan dan menghasilkan banyak tulisan serta artikel yang
dimuat di berbagai media dan jurnal; antara lain Koran Riau
Mandiri, Riau Pos, Jurnal Emerald, Scopus (Q3), Jurnal Industri
dan Perkotaan, Jurnal Otonomi Daerah dan Demokrasi, Ilmu
Pemerintahan (JIP, Sinta 2), Jurnal Nakhoda (Sinta 5), Jurnal Sorot
(Sinta), dan Jurnal Kebijakan Publik.

440 ILMU PEMERINTAHAN


Disiplin dan Metodologi

Anda mungkin juga menyukai