KELOMPOK EF
NIM : 2271501393
2023
HUKUM MEDIA DI ERA PASCA REFORMASI
Latar Belakang
Sejak Reformasi, pers dan media Indonesia sudah bisa bernapas lega dalam ranah
kebebasan. Gerakan reformasi politik, ekonomi, dan sosial ditandai dengan jatuhnya kekuasaan
Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Selama 32
tahun, rezim Orde Baru “memanfaatkan” pers atau media sebagai alat perjuangan politiknya.
Surat kabar dijadikan alat propaganda pembangunan ekonomi dan menjadi jargon utama
rezim Orde Baru.Kritik terhadap hubungan antara negara dan media disampaikan oleh Edward
S. Herman dan Chomsky, yang melihat media sebagai mesin propaganda yang menumbuhkan
dukungan terhadap tatanan sosial politik yang dominan (Idi Subandy Ibrahim, 2004: 71).
Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers disebutkan dengan jelas fungsi pers
nasional (yang termasuk pers) khususnya
3. Sebagai media hiburan Mengandung unsur unsur menghibur yang menyeimbangkan hard
news dengan artikel penting.
4. Sebagai media kontrol sosial, di mana di dalamnya meliputi Social participation yaitu
keikutsertaan masyarakat dalam pemerintahan Social responsibility yaitu pertanggungjawaban
pemerintah terhadap rakyat Social support yaitu dukungan rakyat terhadap pemerintah Social
control yaitu kontrol masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah.
5. Sebagai lembaga ekonomi Suatu perusahaan yang bergerak di bidang pers dapat
memanfaatkan keadaan sekitarnya sebagai nilai jual sehingga pers sebagai lembaga sosial dapat
memperoleh keuntungan maksimal dari hasil produksinya untuk kelangsungan hidup lembaga
pers itu sendiri.
1. Pengendalian media
Dalam konteks ini, peran hukum media adalah menjadi alat untuk membatasi media agar tidak
menyimpang, misalnya dari keinginan pemerintah.
2. Mengelola media agar perilakunya wajar, sesuai keinginan masyarakat, dan tidak merugikan
masyarakat
Sejarah perjalanan media massa di Indonesia menunjukkan naik turunnya peran media
massa. Secara keseluruhan, sejarah hukum media di Indonesia terbentang sekitar satu setengah
abad, mulai dari masa Hindia Belanda hingga masa reformasi di Indonesia.
Abad ke-21 ditandai dengan peraturan hukum yang membatasi kebebasan pers,
khususnya kebebasan pers. Meskipun terjadi pasang surut, pembatasan secara keseluruhan lebih
besar daripada kebebasan.
Isi atau komponen Undang-Undang Komunikasi di Indonesia yang berlaku saat ini dapat
dibedakan menjadi beberapa komponen sebagai berikut:
1. Hukum yang member kewenangan penguasa untuk melakukan sensor preventif. Sensor
preventif adalah sensor yang dilakukan sebelum sebuah media diterbitkan.
2. Hukum media yang memberi kewenangan kepada penguasa untuk menutup dan membredel
sebuah media.
3. Hukum media yang member kewenangan kepada penguasa untuk mengeluarkan dan mencabut
izin dan sebaliknya juga mewajibkan media untuk mendapatkan izin sebelum menerbitakan
medianya.
4. Hukum media yang berisi jaminan kebebasan pers atau kebebasan media.
Massa Reformasi (1998- sekarang)
Perubahan mendasar situasi politik pada tahun 1998 tercermin dalam media massa TAP
MPR RI No. XVII Tahun 1998. Penyebab perubahan situasi politik ini berkaitan dengan krisis
mata uang yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1997 dan menimbulkan akibat yang serius pada
seluruh aspek kehidupan masyarakat negeri ini
Jatuhnya rezim Soeharto dan digantikan oleh BJ Habibie telah memberikan dampak
positif terhadap perkembangan UU Komunikasi Indonesia. Peran pers pasca reformasi tahun
1998 semakin kuat. Pers tidak lagi terbatas pada SIUPP sehingga dapat menjalankan fungsinya
sebagai agen perubahan dan kontrol sosial, serta kekuatan demokrasi keempat.
Fenomena media masa Reformasi adalah jurnalisme menjadi industri dalam konteks
kebebasan politik baru. Keterbukaan lapangan politik yang tidak biasa saat ini justru
memperkuat kecenderungan eksploitasi pers. Andi Muis berpendapat bahwa permasalahan utama
sistem pers Indonesia saat ini adalah keseimbangan antara kebebasan dan pembatasan atau
tanggung jawab (1999: 75).
Kelebihan:
1. Era reformasi lebih mudah dalam menyampaikan pendapat, bisa secara langsung atau melalui
media sosial.
2. Stabilitas kesejahteraan masyarakat pendidikan normal.
Kelemahan:
1. Masyarakat yang salah mengartikan kebebasan.
2. Menjamurnya ormas-ormas radikal yg memicu konflik.
Contoh Kasus 1:
Terdapat tuntutan hukum terhadap media di Indonesia, salah satu contohnya adalah pelanggaran
standar penyiaran dalam program Silet yang disiarkan di RCTI TV. Silet melanggar SPS karena
program Silet sering menayangkan konten horor atau mistik padahal waktu tayang sudah pukul
11:00.
Acara yang mengandung unsur horor atau paranormal merupakan pelanggaran terhadap SPS
yang mengatur bahwa acara infotainment tidak boleh menayangkan konten mistik, horor, dan
supranatural setelah pukul 22:00 waktu setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 30, 31, dan 32
SPS.
Penyiaran yang berkonten mistis melanggar ketentuan bahwa program siaran harus
memperhatikan dan melindungi kepentingan anak dan/atau remaja. Aturan ini tertuang dalam
Pasal 15 ayat (1) SPS KPI.
Contoh Kasus 2 :
Film ini merupakan film laga yang banyak menampilkan adegan kekerasan fisik, termasuk
adegan berdarah. Lembaga Sensor Film atau LSF melakukan tiga sensor. Dalam Pasal 6 UU
33/2009, film yang menjadi unsur pokok dalam kegiatan sinematografi dan usaha sinematografi
secara umum dilarang memuat, antara lain, konten yang mendorong masyarakat untuk
melakukan tindakan kekerasan dan perjudian, serta penyalahgunaan narkoba dan obat
psikotropika narkoba dan zat adiktif lainnya.
Lebih lanjut, menurut pasal 29 ayat (2) dan pasal 30 PP 18/2014 dijelaskan bahwa sensor
mencakup konten film dan iklan sinematografi yang mengandung unsur kekerasan, perjudian,
dan narkoba.
Kira-kira satu dasawarsa ini, dunia media khususnya media massa memiliki teknologi
pencetakan jarak jauh. Dengan menggunakan teknologi ini, lembaga media massa
mendistribusikan tugas penerbitan surat kabar cetak ke lokasi yang tersebar jauh dari kantor
pusat media sehingga surat kabar dapat menjangkau pembaca lebih cepat.
Pengertian jurnalisme dalam UU Pers meliputi segala sesuatu yang meliputi kegiatan mencari,
mengumpulkan, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dalam bentuk
tulisan, audio, dan visual, gambar, serta data dan grafik atau dalam bentuk lain sebelum dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Definisi ini
juga merupakan titik awal untuk menanyakan apakah aktivitas media terkini merupakan dampak
dari perkembangan teknologi informasi UU Pers mendefinisikan jurnalis sebagai orang yang
rutin melakukan pekerjaan jurnalistik.
Di era pra-Internet tahun , hal serupa terjadi pada pencari informasi yang dikenal sebagai
jurnalis. Ia melakukan kegiatan jurnalistik termasuk penelitian, pengolahan dan transmisi
informasi.
Namun, inovasi teknologi membuat relevansi definisi ini dipertanyakan. Seperti disebutkan di
atas, teknologi informasi memungkinkan siapa saja untuk melakukan pekerjaan yang
didefinisikan sebagai pekerjaan jurnalisme sementara secara bersamaan menjalankan
perusahaan media.
Seseorang pemilik website dikelola sendiri, mencari, mengolah dan menyebarkan informasi
juga melakukan pekerjaan jurnalistik .
Fenomena seperti itu sudah tidak ada lagi di lapangan, ide dan wacana sederhana yang telah
dipraktikkan dalam skala besar .
Dengan blog, individu atau kelompok yang berjumlah orang dapat mengelola sendiri sebuah
website dan menjadikannya sebagai media massa sehingga menjadi media informasi.
Singkatnya, blog juga menjalankan fungsi serupa dengan yang dilakukan oleh media tradisional
pada umumnya, yaitu mencari dan menyebarkan informasi.
Seringkali, bahkan apa yang ditulis dan disebarluaskan melalui blog lebih komprehensif
dibandingkan media tradisional, yang disebut jurnalisme partisipatif. Dalam beberapa hal,
blogging juga merupakan jurnalisme.
Kesimpulan :
Pesatnya perkembangan di sektor media dan jurnalisme warga yang didorong oleh
perkembangan di sektor teknologi informasi jelas tidak sepenuhnya diperhitungkan dalam
Undang-Undang Pers di Indonesia saat ini.
Kegiatan-kegiatan seperti jurnalisme warga, jurnalisme blog yang sudah nyata dan dilakukan
oleh media massa seolah menjadi wilayah abu-abu dengan peraturan yang tidak jelas, karena
undang-undang pers saat ini belum disesuaikan dengan perkembangan. Penting untuk disadari
bahwa perkembangan pesat khususnya di bidang teknologi informasi, telah membawa umat
manusia pada tahap peradaban baru, dimana manusia semakin mampu mengolah informasi yang
diterimanya.
Di sini, monopoli informasi termasuk pemrosesan dan transmisi informasi tidak lagi menjadi
milik perusahaan pers besar yang perlu mengumpulkan modal dalam jumlah besar.Teknologi
yang semakin murah juga berarti media berita dapat dimiliki dan dibagikan oleh semua orang.
Undang-undang pers Indonesia harus mengantisipasi dan memfasilitasi perkembangan teknologi,
agar kehidupan jurnalistik menjadi lebih demokratis.
Sudah saatnya pemerintah dan DPR memahami hal tersebut dan kemudian melakukan
perubahan undang-undang pers. Perubahan yang dilakukan bukan bertujuan untuk membatasi
melainkan untuk memudahkan pers nasional agar tetap dapat berfungsi secara maksimal sebagai
organ kontrol sosial dalam konteks perubahan teknologi. Padahal, yang perlu ditegaskan di sini,
perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat perlindungan hukum bagi insan pers.
DAFTAR REFERENSI
1. https://eprints.ums.ac.id/18656/2/BAB_I.pdf
2. https://bappeda.semarangkota.go.id/uploaded/publikasi/
Hukum_Media,_Dulu,_Kini_dan_Esok_-_SINUNG_UTAMI_HASRI_HAPSARI.pdf
3. https://brainly.co.id/tugas/4878670
4. https://brainly.co.id/tugas/4878670
5. https://www.kompasiana.com/arienazulfa7/60cefaae06310e2dfc3a6152/beberapa-kasus-
hukum-media-di-indonesia-dan-korea-selatan