Anda di halaman 1dari 5

Riptek Vol. 6, No.I, Tahun 2012, Hal.

: 9 - 24

HUKUM MEDIA, DULU, KINI DAN ESOK


Sinung Utami Hasri Hapsari *)
Abstract
Mass media is the instrument for looking out our surrounding, it reflects the society culture wherein the media
presents. The media must be influenced by the political system, it could be seen on the reportage of social reality.
The development of technology brings a new era in human life especially in media activities. New media activities
like citizen journalism, blog journalism, was not regulated in the media law. The Indonesian media law should
anticipate and facilitate the technology development to make the life of media become more democratic.
Keywords : Mass media, Social reality, technology, media law

Pendahuluan
Media massa merupakan komponen
penting dalam proses komunikasi massa.
Menurut Jalaluddin Rakhmat (1990 : 135)
media massa adalah media yang digunakan untuk
menyalurkan komunikasi kepada masyarakat
seperti pers, radio, televisi, film dan sebagainya.
Sebagai sarana komunikasi untuk penyebaran
informasi dan gagasan kepada publik, media
massa mempunyai peranan penting
dalam
kehidupan manusia di berbagai bidang seperti
bidang politik, ekonomi, budaya sosial dan
sebagainya.
Media senantiasa menjadi pusat
perhatian dalam membahas komunikasi massa.
Dennis Mc Quail (2000) menyebut media,
misalnya
merupakan
jendela
yang
memungkinkan kita dapat melihat apa yang ada
diluar lingkungan langsung kita, sebagai
penterjemah yang dapat membantu kita
memahami pengalaman baik langsung maupun
secara simbolik , sebagai landasan atau
pembawa informasi bagi para audiens dalam
menentukan sikap, sebagai rambu-rambu yang
yang memberikan instruksi dan arahan,
penyaring bagian-bagian dari pengalaman,
sekaligus menitikberatkan pada bagian yang lain,
sebagai cermin yang memantulkan bayangan kita
kembali pada kita sendiri dan sebagai penghalang
yang merintangi kebenaran itu sendiri. Melalui
media, pesan-pesan dapat disebarluaskan ke
berbagai penjuru, dapat
mempengaruhi,
sekaligus mencerminkan budaya masyarakat
dimana media tersebut hadir. Cara pandang
media dalam menyajikan realitas sangat
dipengaruhi
oleh
sistem
politik
yang
berlaku pada masanya. Hal ini dapat terlihat
dari hasil liputan media dalam mengangkat suatu
realitas sosial.
Pembahasan mengenai media massa
selalu dikaitkan dengan pers. Media massa
merupakan bagian dari pers itu sendiri.
Mengutip pendapat Oemar Seno Adji, pers
dalam arti luas memasukkan di dalamnya semua
media komunikasi massa yang memancarkan
fikiran dan perasaan seseorang baik secara
tertulis maupun lisan. Hal ini merupakan
*)

Mahasiswa Magister Pascasarjana Ilmu Komunikasi Undip


Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pandanaran
Telp. 024 70283468, rariprianto@yahoo.com

manifestasi dari freedom of speech dan freedom


of expression.
Adanya media massa dalam kehidupan
manusia tentunya mempunyai maksud dan
tujuan yang dibutuhkan oleh manusia.
Montesquieu dalam Mc Quail (2000)
menggambarkan fungsi media massa sebagai
pilar keempat dalam suatu negara demokrasi di
mana dengan perumpamaan sebuah meja, media
massa sebagai kaki meja bersama-sama tiga kaki
meja yang lain harus menopang meja demokrasi
agar tidak runtuh.
Dalam Undang-Undang Nomor 40
tahun 1999 tentang Pers, dikemukakan fungsi
pers nasional ( di mana media massa menjadi
bagian di dalamnya) yaitu
1. Sebagai media informasi,
Memberi dan menyediakan informasi
tentang peristiwa yang terjadi di masyarakat
2. Sebagai Media pendidikan
Memberi pengetahuan untuk menambah
wawasan masyarakat
3. Sebagai Media Hiburan
Memuat hal-hal yang bersifat hiburan untu
mengimbangi berita-berita berat (hard news)
dan artikel-artikel yang berbobot.
4. Sebagai media kontrol sosial, di mana di
dalamnya meliputi

Social Participation yaitu keikutsertaan


masyarakat dalam pemerintahan

Social
Responsibility
yaitu
pertanggungjawaban
pemerintah
terhadap rakyat

Social Support yaitu dukungan rakyat


terhadap pemerintah

Social
Control
yaitu
kontrol
masyarakat terhadap tindakan-tindakan
pemerintah
5. Sebagai Lembaga Ekonomi
Suatu perusahaan yang bergerak di
bidang pers dapat memanfaatkan keadaan
sekitarnya sebagai nilai jual sehingga pers
sebagai lembaga sosial dapat memperoleh
keuntungan maksimal dari hasil produksinya
untuk kelangsungan hidup lembaga pers itu
sendiri.
Bila dilihat dari posisinya sebagai
lembaga sosial , media massa berinteraksi

Hukum Media : Dulu, Kini dan Esok


dengan lembaga sosial yang lainnya. Ia
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga
yang lainnya. Maka dalam keadaan seperti ini
media mempunyai regulasi. Regulasi yang
dimaksud terhadap media massa dapat
berbentuk peraturan pemerintah , keputusan
pemerintah,dan Undang-undang(UU), inilah yang
kemudian disebut hukum media massa. Hukum
media adalah hukum yang mengatur tentang
ketentuan-ketentuan media massa sebagai alat
komunikasi massa. Hukum media meliputi
hukum media cetak, hukum media penyiaran,
film, hukum cyber, dan hukum pers. Ketentuan
yang diatur adalah tentang masalah isi media,
prosedur penggunaan media, kepemilikan media
dan sebagainya.
Hukum media massa mempunyai tujuan
yang dapat dikelompokkan yakni
1. Pertama untuk mengendalikan media
massa. Dalam konteks ini peranan
hukum media massa yakni merupakan
instrumen untuk membatasi media
massa agar tidak melencenga dari
keinginan,misalnya pemerintah. Pada
titik inilah hukum media massa disebut
memiliki karakter politik.
2. Kedua untuk mengatur media massa
agar perperilaku wajar sesuai dengan
keinginan
masyarakat,agar
tidak
merugikan masyarakat .Dalam konteks
ini berarti media massa memiliki
karakter sosial.
Regulasi media massa juga melibatkan
kebijakan media massa dimana kebijakan ini
merupakan upaya untuk mengatur keberadaan
media massa dan industrinya. Kebijakan media
massa merupakan kebijakan komunikasi. Ini
berarti kebijakan media massa merupakan
kebijakan Publik. Kebijakan media massa
merupakan kumpulan prinsip dan norma yang
mengatur sistem media massa Indonesia. Oleh
karena itu kebijakan media massa ini tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan sosial, politik dan
ekonomi sebuah negara. Kedudukan media
massa dalam politik menempati posisi yang
penting. Keberadaan media massa menjadi
barometer suatu sistem politik.

Pembahasan
PERJALANAN HUKUM MEDIA MASSA
DI INDONESIA
Sejarah perjalanan media massa di
Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut
peran media massa Secara umum, sejarah
hukum media di Indonesia dalam kurun waktu
sekitar 1,5 abad sejak zaman Hindia Belanda
hingga era reformasi di abad ke-21 diwarnai
dengan ketentuan hukum yang mengekang
kebebasan media, khususnya kebebasan pers.
Meskipun terdapat pasang surut, namun secara

(Sinung)
umum pengekangan lebih menonjol daripada
kebebasannya.
Isi atau materi hukum media yang
pernah berlaku di Indonesia bisa dibedakan
dalam beberapa materi sebagai berikut
(http://gudangilmublooddy.blogspot.com/2010/04/sejarah-mediadan-sejarah-hukum-media.html) :
1. Hukum yang member kewenangan
penguasa untuk melakukan sensor
preventif. Sensor preventif adalah
sensor yang dilakukan sebelum sebuah
media diterbitkan.
2. Hukum
media
yang
memberi
kewenangan kepada penguasa untuk
menutup dan membredel sebuah
media.
3. Hukum
media
yang
member
kewenangan kepada penguasa untuk
mengeluarkan dan mencabut izin dan
sebaliknya juga mewajibkan media
untuk mendapatkan izin sebelum
menerbitakan medianya.
4. Hukum media yang berisi jaminan
kebebasan pers atau kebebasan media
Dilihat dari sifat peraturannya, sejarah
hukum media dapat dibagi dalam tiga periode
(Wiryawan :2007)

Pertama,
preventif.

periode

sensor

Masa Penjajahan Belanda


Sejarah hukum media di Indonesia dimulai sejak
keluarnya peraturan hukum yang bersifat sensor
preventif media yang pertama di Indonesia pada
zaman Hindia Belanda, yaitu berlakunya
Reglement
op
de
Drukwerken
in
Nederlandsch-Indie
tahun
1856
yang
mewajibkan semua karya cetak sebelum
diterbitkan harus dikirim lebih dahulu kepada
Algemeene Secretarie, bila aturan ini tidak
dipatuhi maka karya cetak akan disita bahkan
bisa disertai penyegelan.
Masa Penjajahan Jepang
Sensor Preventif pada masa pendudukan Jepang
tercermin pada undang-Undang No. 16 yang
menyatakan semua jenis barang cetakan harus
mempunyai surat ijin terbit. Pelanggaran
diancam dengan hukuman satu tahun penjara.

Kedua, periode
perizinan/pemberedelan.
Pada periode ini, hukum yang yang
berlaku adalah hukum yang mewajibkan media
untuk memperoleh izin terlebih dahulu sebelum
menerbitkan medianya. Bila tidak memiliki izin
atau melanggar ketentuan hukum (misalnya
melanggar ketertiban umum, menghina pejabat
negara, daan sebagainya) penguasa berwenang
menutup media.

Riptek Vol. 6, No.I, Tahun 2012, Hal.: 9 - 24


Masa Penjajahan Belanda
Sensor represif dengan nama hukum
Presbreidel
Ordonnantie,
pertama
kali
diberlakukan pemerintah Hindia Belanda pada
tanggal 7 September 1931.
Masa Demokrasi Liberal (1957-1966)
Pada Akhir masa Demokrasi Liberal
dan Orde Lama (1957-1966) Kepala Staf
Angkatan darat selaku Penguasa Militer
mengeluarkan
Peraturan
KSAD
No.PKM/001/0/1956 berisi larangan kecamankecaman terhadap Presiden, Wakil Presiden,
Pejabat Pemerintah, pegawai negeri dan
penghinaan terhadap golongan masyarakat yang
dapat menerbitkan keonaran. Pada bulan
September 1957, sepuluh Surat kabar dan tiga
kantor berita serentak ditutup karena dianggap
menyiarkan berita yang tidak berasal dari juru
bicara resmi sebuah Musyawarah Nasional.
Peraturan PEPERTI No.10 Tahun 1960 tentang
Ijin Penerbitan Surat Kabar dan Majalah
ditandatangani Presiden Soekarno selaku
Penguasa Perang Tertinggi menyatakan larangan
menerbitkan surat kabar atau majalah tanpa ijin.
Bagi yang melanggar, dapat dirampas atau
dimusnahkan. Ketika Manifesto Politik menjadi
haluan negara muncul Tap MPR No
II/MPR/1960
tentang
Penerangan
Massa
merupakan Landasan Pelaksanaan Manipolisasi
Pers Nasional dalam Sistem Demokrasi
Terpimpin. Ketentuan ini mengharuskan setiap
perusahaan media massa cetak menjadi alat
kepentingan
pemerintah
dan
ketentuan
mengatur kewajiban untuk memiliki Surat Ijin
terbit (SIT)
Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, sensor represif
dimulai dengan terbitnya TAP MPR RI No.
IV/MPR/1978
menggambarkan
pergeseran
sistem politik Orde Baru yang demokratis ke
sistem otoriter.
Munculnya UU No 21/1982 sebagai
penegasan TAP MPR tersebut bersifat
mengekang media massa dengan diharuskannya
setiap penerbitan pers mempunyai SIUPP (
Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) menggantikan
SIT. Permenpen No 1/1984 yang merupakan
peraturan pelaksana UU No 21/1982
mempertegas SIUPP.
Secara praktis, pers kita selama Orde
Baru mengambil posisi sebagai slave, budak
pemerintah. Kemitraan hanya tumbuh di antara
yang setingkat, yang equal. Dalam hubungan
yang supra- dan subordinasi, pers hanya menjadi
kuda tunggangan pemerintah. Apalagi Pedang
Damocles siap memancung leher pers
Indonesia, kapan saja dan karena apa saja.

Ketiga, periode kebebasan pers.


Pada awal pemerintahan Orde Baru
mengalami
masa
kebebasan
dengan
dikeluarkannya
TAP
MPRS
RI
No
XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers
memberi pengakuan kebebasan hak setiap
warga negara untuk mengeluarkan pendapat dan
pikiran melalui pers. Tap MPRS ini menjadi
dasar perumusan UU No 11/1966 yang
menyatakan bahwa Kebebasan Pers Indonesia
adalah kebebasan untuk menyatakan serta
menegakan kebenaran daan keadilan, bukan
kebebasan dalam arti liberalisme. Akan tetapi
akibat peristiwa Malari, sistem politik Orde
Baru yang demokratis bergeser ke sistem
otoriter yang berimbas juga pada hukum media
massa.
Masa Reformasi (1998- sekarang)
Perubahan gambaran politik yang tajam
pada tahun 1998 yang tercermin dalam TAP
MPR RI No. XVII Tahun 1998 tentang Hak
Asasi Manusia mengatur jaminan dan
perlindungan
dalam
hal
berkomunikasi,
memperoleh dan menyampaikan informasi
melalui media massa.
Penyebab
terjadinya
perubahan
gambaran politik terkait dengan krisis moneter
yang melanda indonesia sejak tahun 1997 yang
berdampak serius dalam segala aspek kehidupan
masyarakat
di
tanah
air.
Runtuhnya
pemerintahan Rezim Soeharto dan digantikan
dengan pemerintahan BJ Habibie membawa
dampak yang positif di dalam perkembangan
Hukum Media Massa di Indonesia
Peran Pers pasca reformasi 1998 makin
menguat. Pers tidak lagi terkungkung oleh
SIUPP sehingga mampu menjalankan tugasnya
sebagai agen perubahan dan kontrol sosial, juga
sebagai kekuatan keempat dala demokrasi.
Euforia kebebasan berpendapat dan kebebasan
berorganisasi,ditanggapi
dengan
banyaknya
diterbitkan
suratkabar
atau
media,serta
didirikannya partai-partai politik. Fenomena
euphoria kebebasan politik berdampak pada
kualitas pelaksanaan kebebasan pers. Dalam
realitasnya keberhasilan gerakan Reformasi
membawa pengaruh pada kekuasaan pemerintah
jauh berkurang (Hamad,2004:65).
Terbitnya Undang-Undang Pers pada
tanggal 23 September 1999 dirasakan membawa
dampak positif bagi perusahaan pers. Dalam
ketentuan ini dengan tegas diatur mengenai
penghapusan
penyensoran,
pelarangan
penyiaran dan masalah pembreidelan
Dr.Ibnu Hamad (2004: 66),pengamat
media, mengidentifikasi fenomena pertumbuhan
industri
media dalam era Reformasi di
Indonesia dalam 3 pemikiran: pertama, memberi
basis yang kuat bagi lahirnya pers industri
dengan menggeser gejala pers idealis; kedua,
mengundang para pemodal untuk masuk ke
3

Hukum Media : Dulu, Kini dan Esok

(Sinung)

dunia pers yang belum tentu menjadi bisnis


utama mereka; ketiga, memunculkan kelompokkelompok usaha penerbitan pers. Fenomena
media pada era Reformasi adalah pers yang
telah menjadi industri ditengah kebebasan
politik yang baru diperolehnya.Keterbukaan
yang sangat luar biasa dalam bidang politik saat
itu hanyalah menguatkan kecenderungan
kapitalisasi pers.
Andi Muis menilai masalah pokok
system pers Indonesia saat ini adalah masalah
keseimbangan
antara
kebebasan
dan
pembatasannya
atau
tanggungjawabnya
(1999:75). Bagaimana keseimbangan itu dapat
terjadi? Daniel Dhakidae menilai, tanggungjawab
adalah garis batas kebebasan.Dan yang
sebaliknya tidak kurang benarnya yakni
kebebasan
adalah
garis
batas
tanggungjawab.Tanpa kebebasan tidak mungkin
menuntut
tanggungjawab,dan
tanpa
tanggungjawab tidak mungkin menuntut
kebebasan. Keduanya tidak bisa dipisahkan
(dalam Akhmadi,1997:29
Praktik kebebasan pers betul-betul
dinikmati pers dan dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat melalui kebebasan menyampaikan
informasi tersebut. Praktik kebebasan pers pada
akhirnya harus dapat dikelola sendiri oleh
masyarakat pers sehingga tidak menjerumuskan
media itu dan tidak merugikan masyarakat luas.
Tidak ada kebebasan pers yang tanpa batas

Bagaimana Hukum
Indonesia Esok ?

Media

di

Perkembangan di dalam bidang


teknologi informasi tak pelak menimbulkan
berbagai perubahan dalam segenap aspek
kehidupan umat manusia termasuk dalam media.
Internet memungkinkan terciptanya interaksi
yang lebih intens antara media berita dan
pembaca. Hal ini membuat tak saja para
pembaca mampu memberikan feedback atas
suatu pemberitaan secara realtime, para
pembaca pula dapat terlibat dalam proses
pembuatan berita. Inilah yang disebut sebagai
citizen journalism, dimana setiap warga dunia,
ketika ia terhubung dengan piranti komputer
dan terhubung dengan jaringan internet akan
mampu menjalankan fungsi sebagai penulis
berita. Bukan perusahaan pers atau wartawan
pengisi berita saja yang menentukan konten
suatu media, melainkan pula para user yang
terdiri dari pengguna dari belahan negara
manapun tanpa memandang asal-usul.
Kira- kira satu dasawarsa ini, dunia
media terutama media berita ada teknologi
cetak jarak jauh. Dengan teknologi ini, media
massa mendistribusi tugas cetak penerbitan ke
titik-titik yang tersebar jauh dari kantor pusat
media hingga surat kabar bisa sampai ke tangan
pembaca dengan lebih awal. Sementara itu
teknologi satelit membuat orang mampu
4

mendengar dan atau menyaksikan suatu


peristiwa yang terjadi di tempat lain yang
berjauhan degan secara real time. Kini, internet
memberikan tawaran yang lebih dari dua
teknologi di atas: kebaharuaan informasi bahkan
partisipasi dalam pembuatan serta penyampaian
berita dan informasi, menciptakan tipe
tersendiri dalam jurnalisme, apa yang disebut
sebagai online journalism.
Undang-undang Pers sebagai regulasi
utama bidang media berita dengan sendirinya
tercabar relevansinya dalam menyesuaikan diri
dengan perubahan jaman.
Definisi pers dalam UU Pers meliputi
segala hal yang mencakup kegiatan mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk
tulisan, suara dan gambar, serta data dan grafik
maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik,
dan segala jenis saluran yang tersedia. Definisi
ini sekaligus menjadi titik mula untuk
mempertanyakan, apakah kegiatan media berita
yang terbaru sebagai akibat dampak dari
perkembangan teknologi informasi sekaligus
pula terakomodasi dalam berbagai klausul UU
No 40 Tahun 1999??
UU Pers mendefiniskan wartawan
sebagai orang yang secara teratur melakukan
kerja jurnalistik Namun demikian, definisi yang
seperti itu bukannya tanpa masalah. Pada era
pra internet, memang demikianlah adanya
seorang pencari berita yang dikenal dengan
sebutan wartawan itu. Ia melakukan kegiatan
jurnalistik yang meliputi mencari, mengolah, dan
menyampaikan informasi. Namun inovasi
teknologi membuat definisi tersebut dapat
dipertanyakan relevansinya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas,
teknologi informasi memungkinkan setiap orang
untuk melakukan kerja sebagaimana didefiniskan
sebagai kerja wartawan sekaligus menjalankan
bisnis media. Seorang yang mempunyai situs
internet yang dikelolanya sendiri, yang mencari,
mengolah
dan
menyampaikan
informasi
melaluinya adalah juga melakukan kerja
jurnalistik. Fenomena seperti ini tidak lagi
berada di alam ide dan wacana belaka,
melainkan telah dipraktikkan secara massive.
Dengan sebuah blog orang maupun sekelompok
orang dapat mengelola sendiri suatu situs
internet dan menjadikannya sebagai wahana
komunikasi massa, menjadikannya sebagai media
berita (news media). Singkat kata, blog pula
menjalankan fungsi seperti yang diemban media
tradisional pada umumnya yakni mencari dan
menyampaikan informasi. Kerapkali bahkan apa
yang ditulis dan disampaikan melalui blog lebih
lengkap daripada media tradisional, apa yang
disebut sebagai partcipatory journalism. Dalam
beberapa hal, blog pula adalah journalisme

Riptek Vol. 6, No.I, Tahun 2012, Hal.: 9 - 24


Dari paparan di atas maka kita dapat
simpulkan bahwa perubahan teknologi informasi
nyatalah menjadi hal yang amat berpengaruh
dalam kehidupan media berita kita. Batas-batas
dan definisi sebagaimana tertuang dalam
perundangan maupun peraturan hukum
mengenai pers menjadi semakin tidak relevan
dan tak berkesesuaian lagi dengan realita di
masa kini. UU Pers masih menyibukkan diri
dengan mengatur media berita dan segala
aspeknya, namun dalam paradigma lama yang
tak lagi sesuai dengan kebutuhan dan praktik
media kekinian.
Oleh
karenanya
sesungguhnyalah
perubahan dalam UU Pers menjadi sesuatu yang
harus dilakukan. Perubahan ini penting untuk
menjangkau berbagai hal yang kini berada di
dalam ranah abu-abu (grey areas). Untuk itu,
perlu berbagai terobosan untuk mengatasi
berbagai perubahan yang berada dalam ruang
vakum tanpa pengaturan oleh hukum.
Perubahan undang-undang misalnya
perlu memberikan batasan yang lebih tegas lagi
kepada apa yang hendak didefinisikan sebagai
wartawan. Hal ini penting untuk menghindari
adanya orang yang menjadi korban manakala
melakukan kegiatan jurnalistik namun tak
dianggap sebagai wartawan dan oleh karenanya
tak dilindungi oleh hukum.
Selain itu, penting pula mengadakan
pelbagai perubahan lainnya dalam UU pers
sekalipun tak bersangkut paut dengan dampak
perkembangan teknologi terkini terhadap
kelangsungan media. Perubahan dimaksud
adalah langkah yang dirasakan telah mendesak
dilakukan untuk mengakhiri keberpihakan UU
Pers pada pengusaha daripada kepada
wartawan. Posisi wartawan dalam konteks
keberadaannya sebagai buruh dari perusahaan
amat sangat kentara tak diuntungkan.

pers besar yang mensyaratkan akumulasi kapital


yang besar. Semakin murahya teknologi juga
membuat media berita menjadi dapat dimiliki
dan dilakukan oleh semua.
Perundangan
pers
Indonesia
seharusnya mengantisipasi dan memfasilitasi
perkembangan teknologi, sehingga kehidupan
pers menjadi lebih demokratis. Sudah saatnya
pemerintah dan DPR memahami hal ini dan
untuk kemudian melakukan perubahan terhadap
UU Pers. Perubahan yang dilakukan tidak
ditujukan untuk membatasi namun lebih kepada
memfasilitasi pers nasional agar tetap dapat
berfungsi maksimal sebagai kontrol sosial di
tengah perubahan teknologi. Justru di sini yang
perlu ditekankan adalah bahwa perubahan
ditujukan pada perlindungan hukum yang lebih
kuat terhadap insan pers.

Kesimpulan

Muis,A,

Perkembangan yang begitu pesat dalam


bidang media serta aktifitas jurnalistik warga
yang dipicu oleh perkembangan di bidang
teknologi informasi nyatalah tidak cukup
terakomodir dalam hukum pers yang kini
berlaku di Indonesia. Aktivitas-aktivitas seperti
citizen journalism, blog journalism yang telah
nyata dijalankan oleh media berita seolah
merupakan ranah abu-abu yang tak jelas
pengaturannya, karena hukum pers yang ada
belum disesuaikan dengan perkembangan.
Adalah penting untuk menyadari bahwa
perkembangan yang pesat terutama di bidang
teknologi informasi telah membawa manusia
kepada babak baru peradaban dimana manusia
kian mampu mengolah informasi yang
didapatnya. Di sini, monopoli informasi
termasuk dalam mengolah, menyampaikan
informasi tidak lagi dimiliki oleh perusahaan

Daftar Pustaka
Bachsan Mustafa, sistem hukum Komunikasi
Massa Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999
Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita
Politik. Jakarta: Granit. 2004
Hamad, Ibnu, Konstruksi Realitas Politik Dalam
Media Massa- Sebuah Studi
Hari

Wiryawan,
Dasar-Dasar
Hukum
Media,Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007
http://gudangilmublooddy.blogspot.com/2010/04/sejarahmedia-dan-sejarah-hukum-media.html
diunduh pada 12-10-2011
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Remaja
Rosdakarya, bandung, 2000
Jurnalistik Hukum dan Komunikasi
Massa,Jakarta, Dharu Anutama, 1999

Oemar Seno Adji, Mass Media dan Hukum,


Erlangga Jakarta 1973
Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers

Anda mungkin juga menyukai