Anda di halaman 1dari 18

TUGAS INDIVIDU

“Regulasi dan Etika Media Massa”

Dosen Pengampu :

Al Sukri

Disusun Oleh :

MOHD. Rega Sulistio

( 199110235 )

Fakultas Ilmu Komunikasi

Universitas Islam Riau

Pekanbaru

2020

1
DAFTAR ISI

2
PENDAHULUAN

Fungsi dan kedudukan media merupakan salah satu kajian penting dalam ilmu
komunikasi (communication studies). Media yang dimaksud di sini adalah organisasi/perusahaan
yang menggunakan communication technology maupun information technology untuk
menyampaikan pesan-pesan secara rutin kepada khalayak, seperti surat kabar, majalah, radio,
televisi (media massa) dan internet (media interaktif). Seiring dengan kemajuan teknologi,
kedudukan media semakin penting. Upaya untuk memahami katakter, perilaku, dan efek media
terus dilakukan oleh ilmuwan dan praktisi komunikasi seiring dengan meningkatnya peran media
di dalam masyarakat. Menurut Denis Mc Quail, media memiliki fungsi penting, karena:

Media merupakan industri yang berubah dan berkembang yang menciptakan lapangan
kerja, barang, dan jasa, serta menghidupkan industri lain yang terkait; media juga
merupakan industri tersendiri yang memiliki peraturan dan norma-norma yang
menghubungkan institusi tersebut dengan masyarakat dan institusi sosial lainnya. Di
lainpihak, institusi media diatur oleh masyarakat.Media merupakan sumber kekuatan, alat
kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai
pengganti sumber daya lainnya. Media merupakan forum yang semakin berperan untuk
menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, baik bertaraf nasional maupun
internasional. Media berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja
dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian
pengembangan tata cara, mode, gaya, hidup, dan norma-norma. Media menjadi sumber
dominan bagi individu dan masyarakat untuk memperoleh gambaran dan citra realitas
sosial; media menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan
berita dan hiburan.

Edmund Burke (1729-1797) bahkan menyebut media (pers) sebagai the Fourth
Estate (pilar keempat) yang berfungsi sebagai watchdog. Pilar pertama sampai ketiga
adalah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sedangkan pilar keempat adalah
industri media(pers). Suatu pemerintahan modern tidak dapat melaksanakan
pembangunan tanpa keikutsertaan media. Masyarakat dan media memiliki hubungan
interaksi timbal balik yang saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya dalam
pembangunan bangsa.
3
Perilaku media tidak dapat dilepaskan dari kepentingan pihak-pihak yang terkait
dengan Sistem media. Pihak-pihak tersebut adalah:

a. pekerja media (wartawan).


b. pemilik media (pengusaha).
c. audiens (masyarakat).
d. regulator (pemerintah),

semua pihak yang Terkait disebut stake holder. Kepentingan besar yang
mempengaruhi media pada dasarnya Berujung pada dua kekuatan yaitu: kekuasaan
politik (negara) dan kekuasaan ekonomi (pengusaha). Menurut Mufid, pergulatan
dinamika media yang melibatkan jurnalis dan Publik di satu sisi, dan (market) dan negara
di pihak lain, adalah rekonstruksi relasi-relasi Yang menghubungkan agensi dan struktur
(variasi market dan negara, atau keduanya). Penguasa otoritatif mengarahkan media
sebagai apartus ideologi negara untuk kepentingan Hegemonisasi politik. Sedangkan
dalam lingkup kekuatan kapitalisme, media massa Merupakan alat produksi bagi
kekuatan ekonomi tertentu untuk kepentingan pemilik modal. Kedua kondisi ini membuat
media tidak berdaya.

Media memiliki pengaruh yang kuat terhadap pembentukan pola pikir, sikap, dan
Perilaku khalayak. Agar perilaku media selaras dengan kepentingan nasional, maka
Dibutuhkan regulasi yang menjamin profesionalisme media. Regulasi adalah peraturan
yang Harus diikuti oleh media dalam menjalankan peran dan fungsinya di masyarakat.
Regulasi Dapat berbentuk peraturan yang ditetapkan pemerintah (seperti Undang-Undang
Pers) atau Kode etik yang berupa keputusan organisasi profesi (seperti Kode Etik
Jurnalistik). Tulisan ini Mengkaji dua regulasi media di Indonesia yaitu Undang-Undang
No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang
Penyiaran.

4
A. REGULASI YANG MENGATUR MEDIA MASSA.

I. Jenis – Jenis Regulasi Media Massa.

Dan Sumber dari regulasi media yaitu UUD 1945 dan sosiokultural masyarakat,
adapun regulasi itu mencakup UUD 1945, undang-undang, peraturan pemerintah,
peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan gubernur, peraturan daerah. Jenis-jenis
regulasi media di Indonesia yaitu:

1. UU No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang mengatur penyiaran di Indonesia yaitu
televisi, radio, siaran iklan (niaga dan layanan masyarakat), spektrum frekuensi radio,
lembaga penyiaran, sistem penyiaran nasional, izin penyelenggaraan penyiaran.
2. UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yang mengatur tentang pers di Indonesia yaitu
perusahaan pers, dewan pers, kantor berita, waartawan, organisasi pers, pers nasional,
pers asing, penyensoran, pembredelan, hak tolak, hak jawab, hak koreksi, kewajiban
koreksi, kode etik jurnalistik.
3. UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengatur
tentang informasi elektronik, transaksi elektronik, dokumen elektronik, sistem elektronik,
penyelenggaraan sistem elektronik, jaringan sistem elektronik, agen elektronik,
tandatangan elektronik.
4. UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mengatur mengenai
informasi publik, badan publik, komisi informasi, sengketa informasi public, mediasi,
pengguna informasi publik, pejabat pengelola informasi.
5. UU No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman, yang mengatur film di Indonesia yaitu
perfilman, kegiatan perfilman, usaha per filman, iklan film, insan film, sensor film.
6. UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, yang mengatur tentang telekomunikasi
di Indonesia, yaitu alat telekomunikasi, perangkat telekomunikasi, sarana dan prasarana
telekomunikasi, pemancar radio, jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi,
penyelenggara telekomunikasi, pemakai, pelanggan, pengguna.

5
7. UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, yang mengatur mengenai hak cipta, yaitu
pencipta, ciptaan, dewan hak cipta, pemegang hak cipta, pengumuman, perbanyakan,
potret, program komputer, pelaku, produser rekaman suara, lembaga penyiaran, lisensi.

Setiap undang-undang/regulasi melahirkan regulator yang Mengawasi pelaksanaan undang-


undang, regulator dalam regulasi Media tersebut terdiri dari:

a. UU Pers melahirkan Dewan Pers


b. UU Penyiaran melahirkan Komisi Penyiaran Indonesia di ranah
c. Pusat dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah untuk daerah.
d. UU ITE melahirkan Badan Standarisasi Transaksi Elektronik.
e. UU Telekomunikasi melahirkan pengawasnya, Badan Regulasi Telekomunikasi
Indonesia.
f. UU Hak Cipta melahirkan Dewan Hak Cipta.
g. UU Perfilman melahirkan Lembaga Sensor Film.
h. UU Keterbukaan Informasi Publik melahirkan Komisi Informasi.

II. Persoalan yang Terjadi Dalam Regulasi Media Massa.

Lebih Setiap regulasi dibuat untuk kepentingan publik, Dalam kaitannya dengan
media, regulasi itu bertujuan untuk Memberi perlindungan terhadap dampak negatif
media. Pada Kenyataannya regulasi tersebut merupakan hasil dari peran 3 aktor Yaitu
negara, pasar (dalam hal ini industri media) dan publik. Tapi Pada kenyataannya regulasi
tersebut malah justru lebih Mengakomodasi kepentingan negara dan industri media.
Sedikit Sekali pasal yang membela kepentingan publik, masyarakat di Dalam regulasi
bukan sebagai publik tetapi sebagai konsumen/pelanggan. Undang-undang merupakan
produk politis di mana besar terjadi permainan di dalamnya.

Undang-undang juga perlu diperbaharui karena kondisi perkembangan zaman dan


teknologi yang semakin canggih. Jika undang-undang tidak secara teratur diperbaharui
kemungkinan besar undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi

6
masyarakat. Paling tidak undang-undang itu diperbaharui lima tahun sekali (Abrar, dalam
kuliah Teknik Analisis Kebijakan Komunikasi).

a) Kajian pada UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik


Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik (KIP) diberlakukan efektif pada 1 Mei 2010. Bisa dikatakan UU No.14
Tahun 2008 tentang KIP ini merupakan wujud dari implementasi demokrasi
dalam suatu pemerintahan. Kebijakan dalam UU ini menjamin salah satu hak
dasar dalam kehidupan demokrasi dan kebijakan publik, yaitu ketersediaan
informasi secara transparan, egaliter dan equal sesuai dengan kepentingan dan
konteksnya.
Secara garis besar, UU ini memang bertujuan untuk menjawab hak publik
atas kebutuhan informasi, yang transparan, cepat dan akurat. Ini berarti setiap
lembaga dituntut bisa menjadi komunikator dan sumber informasi yang baik bagi
publik, dalam artian cekatan dan berkualitas. Untuk Mencapai tujuan yang
dimaksud, maka UU ini Mengamanatkan serangkaian kewajiban kepada semua
badan Publik sebagaimana diatur dalam pasal 7 UU KIP yakni:
i. Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau Menerbitkan
informasi publik yang berada dibawah Kewenangannya kepada pemohon
informasi publik, selain Informasi yang dikecualikan sesuai dengan
ketentuan.
ii. Badan publik wajib menyediakan informasi publik yang Akurat, benar dan
tidak menyesatkan.
iii. Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud Pada ayat (2),
Badan Publik harus membangun dan Mengembangkan sistem informasi
dan dokumentasi untuk Mengelola informasi publik secara baik dan
efisien Sehingga dapat diakses dengan mudah.
iv. Badan publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis Setiap
kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap Orang atas informasi
publik.

7
v. Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara Lain memuat
pertimbangan politik, ekonomi, sosial, Budaya, dan/atau pertahanan dan
keamanan negara.
vi. Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana Dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (4) Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau
media Elektronik dan nonelektronik.

Hampir dua tahun berjalan, nyatanya pelaksanaan UU KIP berjalan lamban.


Ditengarai dengan belum terbentuknya Komisi Informasi Daerah di semua provinsi di
Indonesia. Hingga September 2011 baru ada sembilan Komisi Informasi Provinsi (KI
Provinsi) yang terbentuk, yaitu di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten,
Lampung, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Kepulauan Riau, dan Sumatera Selatan.
Beberapa provinsi yang masih proses diantaranya KI Provinsi Daerah Istemewa
Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Sumatera Utara, dan
Kalimantan Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Padahal, Komisi Informasi Daerah
merupakan perpanjangan tugas dan fungsi dari Komisi Informasi Pusat yang
kehadirannya sangat berperan penting dalam mengusung pelaksanaan UU KIP di daerah.

Tidak hanya Komisi Informasi Daerah yang belum terbentuk di beberapa


provinsi, penunjukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang
disyaratkan dalam UU KIP dan ditindaklanjuti dengan PP No 61 sebagai petunjuk teknis
pun belum sepenuhnya terlaksana. Masih banyak badan publik yang belum memiliki
PPID. Data dari PPID Kemen Kominfo menyebutkan hingga Januari 2012, dari 687
badan publik, baru 120 yang memiliki PPID atau sekitar 17,47%. Dari 120 yang
terbentuk, masih banyak yang kenyataannya belum bekerja maksimal. Kondisi ini cukup
memprihatinkan, mengingat seperti yang tercantum dalam Pasal 13 UU KIP, penunjukan
PPID merupakan syarat untuk Mewujudkan pelayanan yang cepat, tepat, dan sederhana.

Ada beberapa kendala yang memungkinkan terjadinya Kelambanan pelaksanaan


UU KIP ini. Diantaranya masih Kurangnya pemahaman badan publik selaku pelaksana
atas Kewajiban yang diamanatkan dalam UU KIP itu sendiri. Termasuk tentang prosedur
dan mekanisme dalam manajemen Informasi.

8
b) Kajian Pada Undang-undang Penyiaran.
Penyiaran ini penyiaran melalui televisi dan penyiaran Melalui radio.
Dunia penyiaran merupakan dunia yang cukup Kompleks, dimana dibutuhkan
Undang-undang sebagai Regulasi pengatur penyiaran.Secara garis besar bentuk
penyiaran di Indonesia diatur Dalam tiga Undang-Undang pokok, yaitu Undang-
undang No 40 tahun 1999 tentang Pers, Undang-undang No 32 tahun 2002
tentang Penyiaran, dan Undang-undang No 36 tahun 1999 tentang
Telekomunikasi. Hal-hal penting yang wajib menjadi perhatian Dibutuhkannya
regulasi di dunia penyiaran:
1. Lembaga: menyangkut institusi media.
2. Perizinan: legal atau tidak
3. Kepemilikan: Kepemilikan media bisa berupa atas nama perorangan atau
badan hukum.
4. Isi/ konten: Isi/konten media beraneka ragam, mulai dari news, sport,
hingga infotaiment. Selain di atur lewat Undang-undang, ada pula
lembaga yang bertugas mengawasi isi/ konten media penyiaran, apakah
sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku atau tidak. Di Indonesia,
lembaga yang berwenang atas hal ini adalah Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI).
5. Infrastuktur: Infrastrusktur media berupa antena gelombang
elektromagnetik, satelit, internet, pemancar, cable, dsb. Hal-hal semacam
ini perlu diatur guna menciptakan kenyamanan bagi konsumen.
6. Organisasi bisnis: Media juga tentu berorientasi pada bisnis. Sumber
pendapatan media bisa didapat dari iklan atau biaya berlangganan. Ini
perlu diatur untuk mencegah terjadinya monopoli usaha media yang dapat
mempengaruhi isi media.
7. SDM/Kelompok Profesi: SDM/kelompok profesi adalah factor penting
dalam media, karena merekalah yang menjalankan kegiatan penyiaran.
Regulasi.

9
B. ETIKA MEDIA MASSA.
Moral dan etika pada hakekatnya merupakan prinsip dan nilai-nilai yang menurut
keyakinan seseorang atau masyarakat dapat diterima dan dilaksanakan secara benar dan
layak. Dengan demikian, prinsip dan nilai-nilai tersebut berkaitan dengan sikap yang benar
dan yang salah yang mereka yakini. Etika sendiri sebagai bagian dari falsafah merupakan
sistem dari prinsip-prinsiop moral termasuk aturan-aturan untuk melaksanakannya.
Dalam kajian hukum dan media massa, moral dan etika tersebut dikaitkan pada
kewajiban para jurnalistik antara lain seperti; pelaksanaan kode etik jurnalistik dalam setiap
aktivitas jurnalistiknya, tunduk pada institusi dan peraturan hukum untuk melaksanakan
dengan etiket baiknya sebagaimana ketentuan-ketentuan di dalam hukum tersebut yang
merupakan perangkat prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang pada umumnya sudah diterima
dan disetujui oleh masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, prinsip etika bagi profesi
jurnalistik memberikan dasar hukum bagi pengelolaan pemberitaan di media secara tertib
dalam hubungan antar subyek hukum.
Etika berfungsi umumnya untuk melindungi kepentingan manusia, sehingga
pelaksanaan jurnalistik wartawan dapat berlangsung dan dirasakan oleh manusia bahwa
pemberitaan tersebut berfungsi dan berkenan bagi rasa tenteram dan damai. Dalam hal ini,
maka peranan dari penegakan etika profesi jurnalisme tersebut sangat dominan. Kemudian
untuk mencapai tegaknya etika dan berfungsinya hukum, maka hukum dan penegakan etika
itu harus berada atau dalam keberadaan yaitu berfungsi sebagai kontrol sehingga tercapai tata
tentram kerta raharja.
Dewasa ini sering terjadi benturan antara fenomena keseragaman pemberitaan di
media massa sebagai akibat acuan institusi media dan personil yang terlibat di dalamnya
pada konsumsi massa di satu sisi, dan pemaknaan etika jurnalisme pada institusi media dan
wartawan sebagai sebuah profesi di sisi lain, yang seharusnya menuntut aktivitas
jurnalismenya senantiasa diwarnai oleh kode etik jurnalistik yang mengungkungnya.
Kepentingan ekonomi pemasaran institusi dan prinsip idealisme profesi jurnalistik di era
konvergensi media akhir-akhir ini menjadi pertaruhan penting yang akan menentukan
keberlangsungan media di masa mendatang.
Shoemaker dan Reese mengemukakan pendapatnya mengenai etika komunikasi
massa yaitu: 1) tanggung jawab; 2) kebebasan pers; 3) masalah etis; 4) ketepatan dan

10
objektivitas dan 5) tindakan adil untuk semua orang (Nuruddin, 2007: 257). Dengan
demikian, dalam era globalisasi ini media mempunyai tanggung jawab terhadap para
khalayak yang mengkonsumsinya yang dapat disebut sebagai etika media massa (Komala,
2009: 74), yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Media harus menyajikan pemberitaan yang benar, komprehensif dan cerdas. Media
dituntut untuk selalu akurat dan tidak berbohong. Fakta harus disajikan sebagai fakta,
dan pendapat harus dikemukakan sebagai pendapat. Kriteria kebenaran juga
dibedakan menurut ukuran masyarakat: masyarakat sederhana dan masyarakat
modern.
2. Media harus berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar dan kritik.
Karenanya, media tak hanya berfungsi sebagai sumber informasi melainkan juga
forum penyelesaian masalah.
3. Media harus menyajikan gambaran khas dari setiap kelompok masyarakat. Syarat ini
menuntut media untuk memahami karakteristik dan juga kondisi semua kelompok di
masyarakat tanpa terjebak pada stereotipe. Tujuannya adalah untuk menghindari
terjadinya konflik sosial di masyarakat terkait dengan isi berita yang disajikan.
4. Media harus selalu menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai masyarakat. Ini
tidak berarti media harus mendramatisir pemberitaannya, melainkan berusaha
mengaitkan suatu peristiwa dengan hakikat makna keberadaan masyarakat dalam hal-
hal yang harus diraih. Hal ini karena media merupakan instrumen pendidik
masyarakat sehingga media harus memikul tanggung jawab pendidik dalam
memaparkan segala sesuatu dengan mengaitkannya ke tujuan dasar masyarakat.
5. Media harus membuka akses ke berbagai sumber informasi. Masyarakat industri
modern membutuhkan jauh lebih banyak ketimbang di masa sebelumnya. Alasan
yang dikemukakan adalah dengan tersebarnya informasi akan memudahkan
pemerintah menjalankan tugasnnya. Dengan informasi, sebenarnya media membantu
pemerintah menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat.

Sudah seharusnya media berporos kepada masyarakat memberikan informasi


yang tidak hanya aktual dan faktual, tetapi juga memiliki nilai tanggung jawab sosial.
Media massa harus anti terhadap informasi yang berbau SARA, menciptakan kerusuhan
sosial yang dapat merusak kehidupan sosial. Etika media atau etika pers sangat

11
ditentukan oleh manusia. Etika dalam perwujudannya sangat tergantung pada manusia
yang berada didalamnya, dalam hal ini insan media massa atau pers. Sebab keberadaan
etika media massa didasari satu asumsi yang bisa efektif mengontrol media massa adalah
media itu sendiri. Selain itu, dalam hal pemanfaatan media juga harus didukung dengan
upaya partisipasi masyarakat untuk bersama-sama mencegah dampak buruk dari
globalisasi media.

Industrialisasi Media Massa

Indistrialisasi adalah suatu keadaan dimana masyarakat berfokus Pada ekonomi


yang meliputi pekerjaan yang semakin beragam (spesialisasi), gaji, dan penghasilan yang
semakin tinggi. Industrialisasi Adalah bagian dari proses modernisasi dimana perubahan
sosial dan Perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasiteknologi.
Industrialisasi dalam segala bidang kehidupan tidak dapat Terelakkan dalam
perkembangan masyarakat, tanpa terkecuali di Indonesia, karena perkembangan
ekonomi, politik, sosial dan budaya Tersebut membuat pers atau media massa yang dulu
hanya menyebar Luaskan informasi (berita), tetapi seiring dengan perkembangan pers
Sebagai sebuah usaha, media massa berkembang sebagai usaha ekonomi Atau bisnis,
yang tidak hanya memerankan fungsi konvensional, tetapi juga mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan Mengedepankan kepentingan ekonomi dari perusahaan pers.

Industrialisasi media berjalan seiring dengan pesatnya Perkembangan teknologi


informasi dan komunikasi membuat Munculnya berbagai macam alat-alat baru yang
mempermudah manusia Dalam berkomunikasi, dan menyebarkan informasi, perubahan
tersebut Berpengaruh terhadap media massa, salah satu efek perkembangan Teknologi
informasi dan komunikasi yaitu terjadinya konvergensi media Massa, dimana satu
perusahaan media bisa diakses dengan berbagai Jenis media komunikasi, contohnya saja,
surat kabar Kompas yang Dahulu hanya berupa media cetak yang terbit setiap pagi, kini
beritanya Dapat juga kita akses melalui internet yaitu www.kompas.com,sehingga Dapat
mempermudah masyarakat dalam mengakses berita Kompas Tersebut. Konvergensi
media massa memungkinkan suatu media dapat Diakses dengan beberapa cara, hal ini
juga didukung oleh Perkembangan jaringan internet yang semakin maju.

12
Selain konvergensi media massa, pengaruh industrialisasi media Massa membuat
adanya konglomerasi media. Konglomerasi media Massa memungkinkan tumbuhnya
konglomerat-konglomerat media Yang membangun grup media yang dapat menjadi
kekuatan besar yang Dapat berpengaruh di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya
Masyarakat. Kita dapat melihat konglomerat media saat ini di Indonesia Seperti MNC
group yang terdiri dari RCTI, Global TV, dan MNC TV. Group Viva News
beranggotakan AN TV,TV One dan beberapa situs Portal berita online, Media Group
yang beranggoakan, Metro TV, Media Indonesia. Kompas Group yang beranggotakan
Harian Kompas, Kompas.Com, dan Kompas TV. Konglomerasi media memungkinkan
Berkumpulnya berbagai jenis media massa dari cetak, audio, audio Visual, maupun
intenet dalam satu group. Konglomerasi media Memungkinkan adanya power di bidang
politik, dan keuntungan yang Besar di bidang ekonomi. Sebagian besar pemilik grup
media di Indonesia berkecimpung ke kancah perpolitikan lihat saja Abu Rizal Bakri,
Ketua partai Golkar sekaligus kandidat calon Presiden RI 2014 Dengan Pemilik Group
Viva News, Surya Paloh yang merupakan Ketua Partai Nasdem dengan Media Gropnya,
dan Harry Tanoesudibyo Pemilik MNC Group yang akhirnya turut berkecimpung juga di
kanca Perpolitikan, sebagai kandidat calon presiden RI 2014, tidaklah terlalu Berlebihan
apabila dikatakan bahwamedia dapat menjadi senjata untuk Memperoleh jabatandan
kekuasaan.

Industrialisasi media yang mengedepankan ekonomi dan terbentuknya


konglomerasi media berpotensi berkurangnya objektivitas pemberitaan media, yang
tentunya tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik, kode etik jurnalistik mengatakan
bahwa pemberitaan harus cover both side, yaitu mendengarkan pendapat tidak hanya dari
satu sisi narasumber saja, tidak berpihak terhadap satu kelompok manapun. Tetapi
bagaimana pada saat masa pemilihan capres bulan Juli-Agustus 2014 kemarin, kita tentu
masih ingat bagaimana pertarungan antara Jokowi dan Prabowo, tetapi diikuti oleh
pertarungan media TV One VS Metro TV? Stasiun TV One cenderung lebih banyak
memberitakan tentang calon Prabowo, dibandingkan berita tentang Jokowi, dilihat dari
sudut pandang pemberitaan sebagian besar berita yang ditayangkan oleh TV One dari
sudut pandang positif tentang Prabowo, kebijakan redaksional yang diambil oleh TV One
dapat saja terpengaruh oleh politik, dimana Pemilik TV One adalah politisi Aburizal

13
Bakri yang merupakan ketua Umum Partai Golkar yang notabene berkoalisi dalam
mengusung calon presiden Prabowo.

Apabila kita bandingkan dengan pemberitaan Metro TV, kebalikan dari TV One,
pemberitaan metro TV lebih banyak mengangkat berita seputar pasangan Joko Widodo
dan Jusuf Kalla (Jokowi/JK), dengan angel berita yang positif atau menguntungkan bagi
pasangan tersebut, contohnya saja, Metro TV menayangkan pidato Jokowi/JK pada saat
sedang berkampanye di suatu kota dengan durasi waktu yang cukup panjang
dibandingkan dengan pasangan Prabowo/Hatta, hal ini dapat pula diakibatkan oleh
pemilik dari stasiun Metro TV adalah ketua Partai Nasdem yang notabene sedang
berkoalisi dengan kubu Jokowi/JK dalam pemelihan presiden tersebut.

Pemberitaan media saat ini sudah ditunggangi dengan tendensi politik yang tujuan
akhirnya untuk memperoleh keuntungan di bidang ekonomi. Hal ini tentu saja tidak
sejalan degan kode etik jurnalistik seperti yang tertuang pada Kode etik jurnalistik versi
AJI poin kedua yang berbunyi “Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip
kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan
komentar”. Dalam kode etik jurnalistik versi Dewan Pers juga menyebutkan pada pasal 1
yang berbunyi Wartawan Indonesia besikap Independen, mengahasilkan berita yang
akurat, berimbang dan tidak beretikad buruk. Kata berimbang disini berarti semua pihak
mendapat kesempatan yang setara. Dalam Kode etik versi PWI Pasal 5 mengenai cara
pemberitaan berbunyi “Wartawan menyajikan berita secara berimbang dan adil,
mengutamakan ketepatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini,
disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya. Penyiaran karya jurnalistik reka
ulang dilengkap dengan keterangan, data tentang sumber rekayasa yang ditampilkan”.
Maksud Kode etik versi PWI di atas menerangkan bahwa, yang dimaksud berita secara
berimbang dan adil ialah menyajikan berita yang bersumber dari berbagai pihak yang
mempunyai kepentingan, penilaian atau sudut pandang masing-masing kasus secara
proporsional.

Konglomerasi media dan konvergensi media massa memungkinkan khalayak


dapat mengakses informasi yang sama dari berbagai jenis media massa, kalau khalayak
tidak sempat untuk membaca koran dipagi hari, dia dapat mengakses berita dari situs

14
internet atau mendengarnya dari radio. Banyaknya sumber mengakses berita
memungkinkan banyaknya iklan yang dapat diraup dari tayangan yang sama, tentu saja
hal ini sangat menguntungkan perusahaan media massa yang tujuannya mencari laba
yang sebesar-besarnya, karena penghasilan terbesar media massa berasal dari iklan yang
dipasang pada media yang bersangkutan.

Besarnya ketergantungan media massa terhadap penghasilan yang berasal dari


pemasangan iklan membuat media massa cenderung untuk menayangkan acara yang
kurang mengandung unsur pendidikan, lebih banyak menayangkan acara hiburan seperti
sinetron yang mengandung nilai-nilai yang bertolak belakang dengan nilai-nilai agama,
sosial maupun budaya Indonesia, acara yang ditayangkan lebih melihat kepada sisi profit
atau keuntungan, tayangan yang dapat meraup banyak pemasang iklan akan
dipertahankan, tanpa melihat sisi Pendidkan yang tekandung di dalamnya bahkan
mengakibatkan Rusaknya moral masyarakat seperti banyaknya sinetron yang
Mengajarkan kekerasan, pergaulan bebas, kehidupan glamour, ataupun Yang sedang
marak di TV swasta saat ini yaitu program infotaiment Yang merupakan tayangan yang
berisi kisah hidup selebriti, yang Cenderung lebih banyak mengorek-ngorek kehidupan
pribadi mereka, Apabila ditinjau dari segi kode etik jurnalistik tayangan infotaimen yang
Mengorek-ngorek kehidupan pribadi seseorang tidak sesuai dengan Kode etik jurnalistik,
hal ini dapat kita lihat pada kode etik jurnalistik Versi AJI poin 11, yang berbunyi
Jurnalis menghormati privasi Seseorang, kecuali hal-hal yang bisa merugikan
masyarakat.

Dalam kode etik jurnalistik versi Dewan Pers, Pasal 9 berbunyi “Wartawan
Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya kecuali untuk
kepentingan publik”. Kehidupan pribadi yang dimaksud dalam pasal 9 diatas adalah
segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang berkaitan dengan
kepentingan publik. Menghargai harkat dan martabat serta hak pribadi sumber berita juga
dituangkan dalam Kode etik Jurnalis Televisi Indonesia Pasal 11 yang berbunyi “Jurnalis
Televisi Indonesia menghargai harkat dan martabat serta hak pribadi sumber berita”.

Etika berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia, sehingga pelaksanaan


jurnalistik wartawan dapat berlangsung dan dirasakan oleh manusia bahwa pemberitaan

15
tersebut berfungsi dan berkenan bagi rasa tentram dan damai. Dalam hal ini, maka
peranan dan penegakan etika profesi jurnalisme tersebut sangat dominan (Choliq, 2011:
396). Tuntutan di masa industialisasi media massa saat ini Mengakibatkan sulitnya bagi
penegakan etika jurnalistik, apalagi kode Etik yang dibuat oleh beberapa organsasi pers
tidak memiliki implikasi Hukum, akhirnya penerapan kode etik secara tegas semuanya
Dikembalikan kepada masing-masing pribadi yang terlibat dalam Aktivitas di Institusi
media massa.

C. PR PERLU MENGETAHUI REGULASI & ETIKA MEDIA


MASSA.

Public Relation adalah merupakan salah satu profesi yang memiliki kode etik.
Dalam Public Ralation kode etik disebut sebagai kode etik Publik Relation atau kode etik
kehumasan atau etika profesi humas. Dalam buku Etika Kehumasan karangan Rosady
Ruslan disebutkan bahwa etika profesi humas merupakan bagian dari bidang etika khusus
atau etika terapan yang menyangkut demensi sosial, khususnya bidang profesi. Kegiatan
Humas atau profesi Humas (Public Relation Professional), baik secara kelembagaan atau
dalam stuktur organisasi (Public Relation by Function) maupun individual sebagai
penyandang professional Humas (Public relation Officer by Professional) berfungsi untuk
menghadapi dan mengantisipasi tantangan kedepan, yaitu pergeseran sistem
pemerintahan otokratik menuju sistem reformasi yang lebih demokratik dalam era
globaluisasi yang ditandai dengan unculnya kebebasan pers, mengeluarkan pendapat,
opini dan berekspresi yang terbuk, serta kemampuan untuk berkompetitif dalam
persaingan pasar bebas, khususnya di bidang jasa teknologi informasi dan bisnis lainnya
yang mampu menerobos batas- batas wilayah suatu negara, sehingga dampaknya sulit
dibendung oleh negara lain sebagai target sasarannya.

Sesuai yang telah dipaparkan terdapat fungsi Public Relation terhadap kliennya.
Etika profesi kehumasan dapat menciptakan hubungan sinergis antara organisasi dengan
kliennya. Pelayanan terhadap klien seharusnya dapat menjadi perhatian khusus oleh
Public Relation karena sebagai fungsi menejemen yang berada di organisasi atau

16
perusahaan peran humas dan hubungannya sangat dekat dengan klien dan bahkan
menjadi pihak penengah antara organisasi dengan kliennya.

DAFTAR PUSTAKA

Anshar A M. 2014. Regulasi Media di Indonesia. Jurnal Dakwah Tabligh, Vol 13 (2) : 137-145.
Universitas Islam Negri Alauddin. Makassar.

Khusna . 2015. Regulasi Media di Indonesia. E-Journal, Vol 1 (2) : 92-104. Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta.

Abdul Choliq. 2011. Hukum,Profesi Jurnalistik dan Etika Media Massa. Jurnal Hukum, Vol 25
(1) : 395-411. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri. Salatiga.

Febriar Riska S. 2014. Etika Media Massa Era Global. Jurnal Komunikasi Islam, Vol 6 (1) : 70-
84. IAIN Walisongo. Semarang.

Arnus S H. 2014. Industrialisasi Media Massa dan Etika Jurnalistik. Jurnal Al-Munzil, Vol 7 (2) :
102-114.

17
18

Anda mungkin juga menyukai