Anda di halaman 1dari 8

ETIKA DAN REGULASI MEDIA

PERAN UU PENYIARAN DALAM KONGLOMERASI MEDIA DI


INDONESIA

Oleh:

AMARANDITA ASTARI AYU


NIM: 0802515017

Disusun untuk Melengkapi Syarat Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Etika dan Regulasi Media

PEMINATAN BROADCASTING AND NEW MEDIA


PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA
JAKARTA
2019
2

A. PENDAHULUAN

Di era informasi seperti sekarang ini, media massa menjadi sebuah rujukan
yang sangat diandalkan. Berbagai macam informasi, pemikiran, pemahaman,
citra, dan lainnya dapat dengan mudah diciptakan dan disebarluaskan melalui
media massa. Penggunaan informasi media menghasilkan berbagai fungsi
bagaimana media digunakan. Masyarakat dapat menggunakannya untuk sekedar
tetap terhubung dengan isu yang diikuti atau bisa disebut companionship,
mengetahui persitiwa yang terjadi atau surveillance, melakukan interpretasi
terhadap isu – isu janggal, maupun hanya sekedar mencari hiburan.1
Menurut McChesney terdapat dua fungsi yang harus dilakukan oleh
media. Pertama, sistem media harus menyediakan ulasan yang cermat mengenai
orang – orang yang berkuasa dan orang yang ingin berkuasa, baik di sektor negara
maupun swasta. Pada tahap ini media didefinisikan berperan sebagai pengawas
atau watch dog. Kedua, sistem media harus menyediakan informasi yang credible
mengenai isu sosial dan politik yang penting setiap harinya. Dalam fungsi kedua
ini kemudian menghasilkan gambaran bahwa media mampu menjadi sarana
pertukaran gagasan dan sebagai penunjang utama ranah publik.2
Letak kekuatan media massa, khususnya penyiaran televisi, memiliki
konsep audio visual yang mampu menampilkan realita sosial yang sesungguhnya
di masyarakat. Kedekatan fenomena yang diperlihatkan kepada masyarakatlah
yang menjadikan televisi sebagai penyebar informasi dengan pengaruh yang
paling besar. Beberapa kalangan yang memiliki kekuasaan akan menjadikan
media massa sebagai alat untuk bersaing untuk mendapatkan simpati dalam
perpolitikan. Seperti yang kita ketahui bahwa pada saat ini, kepemilikkan media
merupakan salah satu cara untuk mendapatkan kekuasaan, karena media massa
merupakan sarana yang utama dalam membentuk opini publik.3
Menghadapi persaingan yang sangat ketat dalam bisnis media massa yang
memerlukan kekuatan sosial ekonomi ini, maka terjadi kecenderungan konsolidasi
media yang kemudia megarah kepada munculnya kelompok pemain raksasa
media massa yang mengakibatkan terjadinya konsentrasi kepemilikan media
massa yang sering disebut dengan konglomerasi media.4
Konglomerasi media yang terjadi dikhawatirkan membawa sejumlah
dampak negatif, tidak hanya pada perkembangan kelangsungan sistem media di
Indonesia, melainkan juga dampak pada isi atau konten yang disampaikan kepada
masyarakat. Pemerintah Indonesia yang telah melihat akan potensi merugikan dari
adanya konsentrasi suatu perusahaan mencoba mengintervensi dengan
1
Abudhul Wahid, Dhinar A.P. 2017. Masyarakat dan Teks Media: Membangun Nalar Kritis
Masyarakat atas Hegemoni Media. Malang: UBPress, hlm 52
2
K. Berjensson. 2006. Mesin Penindas Pers: Membongkar Mitos Kebebasan Pers di Amerika.
Terjemahan. Bandung: Q-Press, hlm 524
3
Arif Budi Prasetya. 2014. Kepemilikan Media Massa Sebagai Kendaraan Politik Menuju Pemilu
2014. Diakses dari http://arifbudi.lecture.ub.ac.id/tag/kepemilikan-media-massa/. Diakses pada 21
Januari 2019, pukul 17:23 WIB
4
Jaduk Gilang Pembayun. 2015. Konglomerasi Media dan Dampaknya pada PILPRES 2014.
Dalam Jurnal Interaksi. Edisi No. 2/Juli/2015. Volume 4. Semarang: Universitas Diponegoro, hlm
109-110
3

menghadirkan sejumlah peraturan yang mengatur mengenai kepemilikan


perusahaan namun pengusaha mampu melihat dan memanfaatkan celah – celah
dari regulasi yang ada untuk dapat membuat sejumlah strategi, termasuk strategi
konsentrasi media guna memperoleh keuntungan yang sebesar – besarnya.5

B. PERMASALAHAN

Dalam perkembangannya media massa juga penyiaran telah menjadi


industri media yang tidak mudah untuk dikontrol. Kebijakan media dianggap telah
gagal mengatur penyiaran sebagai sebuah industri. Pembuatan kebijakan dan
negara sebagai regulator gagal memberikan pembatasan yang jelas antara
monopoli dan oligopoli. Tidak adanya kebijakan khusus untuk mengatur aspek
komersial dari penyiaran ini menjadi faktor ekspansi dan konglomerasi media
penyiaran.6 Kepemilikan media massa juga penyiaran di Indonesia cenderung
pada arah praktik oligopoli dan monopoli. Salah satu indikasi dari praktik
oligopoli dan monopoli dapat dilihat dari kepemilikan media yang hanya dimiliki
oleh mereka yang memiliki banyak modal dan dikuasai segelintir orang, serta
mereka yang memiliki media lebih dari satu atau dua.7
Perkembangan lainnya ialah kecenderungan partisan dari media penyiaran
karena mengikuti kepentingan politik pemilik media. Alhasil, informasi yang
disajikan disesuaikan dengan kepentingan politik pemilik, tidak memperhatikan
objektivitas, pemberitaan yang tidak seimbang, dan mengabaikan hak publik
untuk mendapatkan informasi secara nyata. Pemilik media tidak hanya memiliki
satu jenis media massa, namun mereka memiliki berbagai jenis media; seperti
media cetak, televisi, radio, juga media online. Mereka tidak cuma memiliki
kepentingan bisnis, namun mereka juga memiliki kepentingan politik. Konsentrasi
kepemilikan media di tangan beberapa kelompok media besar ini telah melahirkan
situasi dimana media berkolusi dengan kepentingan bisnis dan kepentingan politik
yang menurunkan kualitas jurnalisme.8

C. KERANGKA PEMIKIRAN

Berdasarkan pendahuluan dan permasalahan yang telah dipaparkan di atas,


Konglomerasi Media dapat diartikan sebagain pebisnis besar dan pemilik media
yang memiliki beragam jenis media massa sehingga dapat menyajikan dan
menyampaikan informasi meskipun informasi tersebut sarat dengan kepentingan
ekonomi dan politik tertentu.9 Konglomerasi media juga dapat diartikan sebagai
5
Ibid.
6
ksp.go.id. 2017. Konglomerasi Media dan Revisi UU Penyiaran. Diakses dari
http://ksp.go.id/konglomerasi-media-dan-revisi-uu-penyiaran/. Diakses pada 21 Januari 2019,
pukul 18:21 WIB
7
Arsam. 2014. Oligopoli, Kepemilikan Media dan Kebijakan Negara. Dalam Jurnal Komunikasi
Penyiaran Isalm. Edisi No. 1/Januari-Juni/2014. Volume 2. Purwokerto: STAIN Purwokerto, hlm
149
8
ksp.go.id. 2017. Op. Cit.
9
Andi Fachruddin. 2015. Cara Kreatif Memproduksi Program Televisi. Yogyakarta: CV ANDI
OFFSET, hlm 288
4

penggabungan perusahaan menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi


banyak media.
Di Indonesia terdapat aturan atau kebijakan hokum mengenai pemusatan
kepemilikan dan penguasaan media peyiaran dalam regulasi penyiaran. Aturan
tersebut tercantum dalam Undang – Undang (UU) Penyiaran No. 32 Tahun 2002
dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran
Swasta.
Disebutkan dalam UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 ayat 1, pasal 18
bahwa: “Pemutusan kepemilikan dan penguasaan Lembaga penyiaran swasta oleh
satu orang atau satu badan hokum, baik di satu wilayah siar maupun beberapa
wilayah siar, dibatasi.”
Sementara PP No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran
Lembaga Penyiaran Swasta berisikan mengenai pembatasan kepemilikan dan
penguasaan atas jasa penyiaran radio dan televisi yang dimana sebagai berikut:

Pasal 31
(1)  Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa
penyiaran radio oleh 1 (satu) orang atau 1 (satu) badan hukum, baik di satu
wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia
dibatasi sebagai berikut:
1. 1 (satu) badan hukum hanya boleh memiliki 1 (satu) izin penyelenggaraan
penyiaran jasa penyiaran radio;
2. paling banyak memiliki saham sebesar 100% (seratus perseratus) pada
badan hukum ke-1 (kesatu) sampai dengan ke-7 (ketujuh);
3. paling banyak memiliki saham sebesar 49% (empat puluh sembilan
perseratus) pada badan hukum ke-8 (kedelapan) sampai dengan ke-14
(keempat belas);
4. paling banyak memiliki saham sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada
badan hukum ke-15 (kelima belas) sampai dengan ke-21 (keduapuluh
satu)
5. paling banyak memiliki saham sebesar 5% (lima perseratus) pada badan
hukum ke-22 (ke dua puluh dua) dan seterusnya).
6. badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, berlokasi di beberapa wilayah kabupaten/kota yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia.

(2)  Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c, huruf d, dan huruf e, memungkinkan kepemilikan saham sebesar 100% (seratus
perseratus) untuk Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio yang berada di
daerah perbatasan wilayah nasional dan/atau daerah terpencil.
(2)  Kepemilikan
1) Kepemilikan badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa saham
yang dimiliki oleh paling sedikit 2 (dua) orang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
5

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali untuk
disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan informasi
masyarakat.

Paragraf 2
Jasa Penyiaran Televisi
Pasal 32
 (1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa
penyiaran televisi oleh 1 (satu) orang atau 1 (satu) badan hukum, baik di satu
wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia
dibatasi sebagai berikut:
1. 1 (satu) badan hukum paling banyak memiliki 2 (dua) izin
penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di 2
(dua) provinsi yang berbeda;
2. paling banyak memiliki saham sebesar 100% (sera-
tus perseratus) pada badan hukum ke-1 (kesatu);
3. paling banyak memiliki saham sebesar 49% (empat puluh sembilan
perseratus) pada badan hukum ke-2 (kedua);
4. paling banyak memiliki saham sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada
badan hukum ke-3 (ketiga);
5. paling banyak memiliki saham sebesar 5% (lima perseratus) pada badan
hukum ke-4. (keempat) dan seterusnya;
6. badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, berlokasi di beberapa wilayah provinsi yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia.

(2)  Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c, huruf d, dan huruf e, memungkinkan kepemilikan saham lebih dari 49% (empat
puluh sembilan perseratus) dan paling banyak 90% (sembilan puluh perseratus)
pada badan hukum ke-2 (kedua) dan seterusnya hanya untuk Lembaga Penyiaran
Swasta yang telah mengoperasikan sampai dengan jumlah stasiun relai yang
dimilikinya sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini.
(3)    Kepemilikan
(4) Kepemilikan Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa saham yang dimiliki oleh paling sedikit 2 (dua) orang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5)  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali untuk
disesuaikan  dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan informasi
masyarakat.

Bagian Kedua
Pembatasan Kepemilikan Silang
Pasal 33
Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta, perusahaan media cetak,
dan Lembaga Penyiaran Berlangganan baik langsung maupun tidak langsung
dibatasi sebagai berikut:
6

1. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan 1 (satu)


Lembaga Penyiaran Berlangganan dengan 1 (satu) perusahaan media cetak
di wilayah yang sama; atau
2. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dan 1 (satu)
Lembaga Penyiaran Berlangganan dengan 1 (satu) perusahaan media cetak
di wilayah yang sama; atau
3. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan 1 (satu)
Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dengan 1 (satu)
Lembaga Penyiaran Berlangganan di wilayah yang sama.

D. ANALISIS DAN DISKUSI

Undang – Undang dan Peraturan Pemerintah yang telah dijabarkan di atas


telah menjelaskan bahwa Indonesia mempunyai sistem regulasi yang jelas dalam
mengatur dan membatasi kepemilikan media massa agar tidak terjadi konlomerasi
media yang dapat mempengaruhi konten media. Penyiaran menggunakan ranah
publik atau public domain. Untuk menjamin hal tersebut maka hadirlah
keragaman kepemilikan (diversity of ownership), keragaman isi (diversity of
ownership), dan kebergaman pendapat di media(diversity of voice).10 Di sinilah
terlihat fungsi regulasi sebagai pengatur sistem kepemilikkan media.
Setelah tumbangnya masa Orde Baru pada tahun 1998, banyak media yang
melakukan konsolidasi guna membentuk konglomerasi media yang lebih besar.
Saat ini setidaknya ada empat  pengelompokkan konglomerasi media. Seperti
Chairul Tanjung dengan PT Trans Corpora (Grup Para), Harry Tanoesoedibjo
dengan PT Media Nusantara Citra (MNC Grup), Aburizal Bakrie dengan PT
Bakrie Brothers (VIVA Group), serta Surya Paloh dengan Media Group.11
Berbagai media, mulai dari media cetak, radio, media online, televisi, hingga
televisi berlangganan termasuk ke dalam pengelompokkan konglomerasi media
ini. Selain empat orag tersebut, juga ada Jacob Oetama sebagai pemilik
Garamedia Group dan Dahlan Iskan yang memiliki Jawa Pos Group.
Pengelompokkan konglomerasi media di Indonesia adalah sebagai berikut:
 MNC Grup : RCTI, Global TV, dan MNC TV (TPI), Koran Sindo, Radio
Dangdut TPI, MNC Sport, Trijaya (Sindo FM), Global Radio,
Okezone.com, Sun TV, Indovision, Sindo TV, Majalah Trust, Majalah
High n Teen.
 VIVA Group : TVOne, ANTV dan VIVANews.com
 Surya Citra  Media (SCM) : SCTV, Idosiar, O-Channel, dan Liputan6.com
 Media Group : Metro TV, Media Indonesia, Lampung Pos.
 Trans Corp : Trans TV, Trans 7, Detik.com

10
kpi.go.id. 2009. Dasar Pembentukan. Diakses dari http://www.kpi.go.id/index.php/id/dasar-
pembentukan. Diakses pada tanggal 22 Januari 2019, pukul 12:59
11
Masduki. 2007. Regulasi Penyiaran: dari Otoriter ke Liberal. Depok: PT LKiS Pelangi Aksara,
hlm 74
7

 Berita Satu Media Holding bekerjasama dengan First Media dan Sitra
wimax menaungi 12 media, a.l : Berita Satu.com, Jakarta Globe, Investor
Daily, Suara Pembaruan, Campus Life.
 Gramedia Group : Kompas Group (koran - korannya tersebar di berbagai
daerah seluruh Indonesia dengan label Tribun, contohnya Tribun
Pekanbaru), Tabloit Bola, Tabloit Nova, Kompas.com Kompas TV, Warta
Kota. 
  JAWAPOS GROUP : JPNN (Jawa Pos News Network - kantor berita,
JPNN.com), JPMC (Jawa Pos Multimedia Center), Jawa Pos, Indo Pos,
Rakyat Merdeka, Lampu Hijau, Koran Nonstop.
Koran-koran lainnya di bawah grup POS seperti : Tangsel Pos, Riau Pos
dan Koran dengan lebel RADAR seperti Radar Bogor, Radar Purwokerto,
TV Lokal seperti : JTV di Jawa Timur, Riau TVdi Riau, Majalah RM,
Tabloid Nyata.

Berdasarkan pengelompokkan konglomerasi media yang telah dijabarkan


di atas dapat kita simpulkan bahwa regulasi konglomerasi media penyiaran telah
tercantum dalam UU maupun PP tidak terlaksana. Dalam Peraturan Pemerintah
No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran
Swasta pada Paragraf Dua – Jasa Penyiaran Televisi – Pasal 32 telah jelas
menyebutkan ketentuan batasan kepemilikan media, namun kenyataannya di atas
telah menjelaskan bahwa ternyata satu orang atau satu badan usaha yang ada
memiliki hampir 100% saham di setiap media yang dimilikinya, dan tentunya
masih dalam satu provinsi ini,  menunjukkan bahwa PP tidak berjalan dengan
semestinya.
Juga dalam Pembatasan Kepemilikan Silang Pasal 33, dinyatakan bahwa 1
(satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan 1 (satu) Lembaga
Penyiaran Berlangganan dengan 1 (satu) perusahaan media cetak di wilayah yang
sama; atau 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dan 1 (satu)
Lembaga Penyiaran Berlangganan dengan 1 (satu) perusahaan media cetak di
wilayah yang sama; atau 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio
dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dengan 1 (satu)
Lembaga Penyiaran Berlangganan di wilayah yang sama, telah dilanggar oleh
para pemilik media di Indonesia.

E. KESIMPULAN & SARAN

UU dan PP yang telah dikeluarkan pemerintah seharusnya memiliki peran


yang penting dalam pelaksanaan media massa di Indonesia dan juga dijadikan
sebagai acuan dan dipatuhi oleh para pemilik media di Indonesia. Namun pada
kenyataannya, UU dan PP yang ada diabaikan dan tidak dipatuhi. Pemerintah
semestinya dapat memberikan sanksi yang sesuai atas pelaksanaan media yang
telah terjadi.
8

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Berjensson, K. 2006. Mesin Penindas Pers: Membongkar Mitos Kebebasan Pers
di Amerika. Terjemahan. Bandung: Q-Press
Fachruddin, Andi. 2015. Cara Kreatif Memproduksi Program Televisi.
Yogyakarta: CV ANDI OFFSET
Masduki. 2007. Regulasi Penyiaran: dari Otoriter ke Liberal. Depok: PT LKiS
Pelangi Aksara
Wahid, Abudhul., Dhinar A.P. 2017. Masyarakat dan Teks Media: Membangun
Nalar Kritis Masyarakat atas Hegemoni Media. Malang: UBPress

JURNAL
Arsam. 2014. Oligopoli, Kepemilikan Media dan Kebijakan Negara. Dalam
Jurnal Komunikasi Penyiaran Isalm. Edisi No. 1/Januari-Juni/2014.
Volume 2. Purwokerto: STAIN Purwokerto
Pembayun, Jaduk Gilang. 2015. Konglomerasi Media dan Dampaknya pada
PILPRES 2014. Dalam Jurnal Interaksi. Edisi No. 2/Juli/2015. Volume 4.
Semarang: Universitas Diponegoro

WEBSITE
kpi.go.id. 2009. Dasar Pembentukan. Diakses dari
http://www.kpi.go.id/index.php/id/dasar-pembentukan. Diakses pada
tanggal 22 Januari 2019, pukul 12:59
ksp.go.id. 2017. Konglomerasi Media dan Revisi UU Penyiaran. Diakses dari
http://ksp.go.id/konglomerasi-media-dan-revisi-uu-penyiaran/. Diakses
pada 21 Januari 2019, pukul 18:21 WIB
Prasetya, Arif Budi. 2014. Kepemilikan Media Massa Sebagai Kendaraan Politik
Menuju Pemilu 2014. Diakses dari
http://arifbudi.lecture.ub.ac.id/tag/kepemilikan-media-massa/. Diakses
pada 21 Januari 2019, pukul 17:23 WIB

Anda mungkin juga menyukai