Anda di halaman 1dari 102

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyiaran merupakan teknologi komunikasi yang memiliki peran

untuk menyebarluaskan serta berukar informasi untuk keberlangsungan

kehidupan sosial manusia. Setelah awal mula masa media cetak berlangsung,

teknologi semakin berkembang yang dilanjutkan dengan era komunikasi

penyiaran secara audio dan audio visual yang dirancang dengan alat pemancar

dan transmisi melalui gelombang elektro magnetik (Wahyudi, 1996, p. 57).

Teknologi penyiaran sendiri dimulai sejak ditemukannya oleh ahli teknik dari

Amerika dan Eropa, kemudian sejarah teknologi masuk di Indonesia pada

masa pemerintahan Hindia Belanda yang dipergunakan untuk alat propaganda

pemerintahan pada masa itu. Masa awal masuknya media penyiaran di

Indonesia dengan menggunakan spektrum gelombang radio yang

diperuntukan pemancarannya secara terbatas dikarenakan menggunakan

sumber daya alam terbatas yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara serta

penggunaanya pun dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat

Indonesia sesuai dengan definisi dari regulasi penyiaran atau Undang-Undang

No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.


Pendistribusian pesan atau informasi juga termasuk kedalam kegiatan

penyiaran sebagai ranah komunikasi massa, karena penyebarannya pun secara

massal atau dapat dikatakan dengan cangkupan yang banyak serta luas dan

telah dibuktikan efektivitasnya. Penyiaran di Indonesia memerlukan kebijakan

untuk mengatur berjalannya penyelenggaraan penyiaran, terutama yang

meliputi sumber daya alam terbatas agar penggunaanya dapat dimanfaatkan

dengan baik atau diperuntukan untuk khalayak umum bukan hanya beberapa

golongan. Penyelenggaraan penyiaran di Indonesia terbagi menjadi dua, yakni

penyiaran televisi dan radio yang masing-masingnya terbagi menjadi lembaga

penyiaran publik, swasta, komunitas dan lembaga penyiaran berlangganan

(Morissan, 2015, p. 85). Melihat kembali mengenai sejarah penyiaran di

Indonesia pada masa Orde Baru, penyiaran juga termasuk kepada bagian dari

kekuasaan negara dan pembinaan serta pengendaliannya dilakukan oleh

pemerintah atau dapat dikatakan bahwa penyiaran pada masa tersebut

digunakan untuk alat kekuasaan dan mencari keuntungan bagi para rezim

masa itu. Namun, jika kita kembali melihat cita-cita nasional dalam

pelaksanaan penyiaran dan penyebaran informasi, bahwasanya kebijakan

pengendalian penyiaran dikembalikan kepada masyarakat dengan tujuan agar

sesuai pada nilai pancasila sehingga tercapai asas, tujuan, dan fungsi dari

penyiaran nasional yang tercantum pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945

yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh

informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta


berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan

menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang

tersedia” (sumber: pfd.mpr.go.id).

Sebagai penggambaran penyelenggaraan penyiaran Indonesia

dibandingkan dengan penyiaran di bagian dunia lain seperti praktik dominasi

yang ada di Amerika dapat dilihat bahwa kepemilikan media dengan kontrol

nya merupakan bagian dari strategi jenis media. Pemerintahan Amerika

melakukan lobbying dengan senat untuk mengucurkan dana sebagai bentuk

dukungan pemenangan partai politik, tujuanya agar kekuatan media dapat

dimanfaatkan untuk kebuttuhan profitabilitas dan pengaruh. Keuntungan

diperoleh media yang tumbuh di Amerika bersumber dari menjadikan rakyat

sebagai objek kepentingan media karena ingin memperoleh keuntungan

sebesar-besarnya (make money). Menurut David Barrat dalam Media

Sociology pada Jurnal Badan Regulasi Penyiaran: Sebuah Kontroversi oleh

Dedy Djamaluddi Malik, terdapat dua media penyiaran dunia. Penyiaran

pertama dipandang sebagai pusat pelayanan publik (public service) yang tidak

mempertimbangkan keuntungan. Kedua, penyiaran yang berorientasi pada

usaha-usaha komersial (commercial enterprises) atau market place dan pada

kedua model tersebut juga dapat berjalan bersamaan (mix model) atau duopoly

system di berbagai negara, seperti yang umumnya terjadi negara berkembang

di Inggris. Akan tetapi pada negara-nagara yang menggunakan pemahaman


sosialis dan komunis cenderung menggunakan public broadcasting, termasuk

Eropa dan sementara itu model campuran kearah commercial dilakukan oleh

Amerika (Malik, 2001, pp. 184-185).

Merujuk kepada regulasi media penyiaran Indonesia, yakni Undang-

Undang No 32 Tahun 2002, yang didalamnya terdapat perintah dari negara

untuk membentuk Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga independen

yang mengawasi dan menindaklanjuti lembaga penyiaran seperti lembaga

penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas

dan lembaga penyiaran berlangganan yang ada di Indonesia untuk selanjutnya

diperintahkan membentuk Komisi Penyiaran Indonesia Daerah yang tersebar

Provinsi untuk mengawasi secara langsung lembaga penyiaran setempat. Hal

ini guna untuk mempertahankan keberagaman yang ada di Indonesia sehingga

sama halnya diterapkan pada lembaga penyiaran di Indonesia. Pada

pembentukannya KPI yang bertujuan untuk memberikan perpanjangan izin,

pengaawasan, pengaduan dan penjatuhan sanksi kepada lembaga penyiaran

baik televisi dan radio dengan mengacu kepada Undang-Undang dan

Pedoman Penyiaran & Standar Program Siaran atau P3SPS agar memahami

batasan-batasan, pelanggaran, kewajiban dan pengaturan penyiaran hingga

sanksi untuk lembaga penyiaran yang melaksanakan penyelenggaraan

penyiaran.
Indonesia sebagai negara yang memiliki keberagaman dari daerah

yang tersebar luas sebanyak 34 provinsi serta sebagai negara dengan bentuk

demokrasi, memiliki cita-cita untuk dapat melaksanakan penyiaran yang

demokratis sesuai dengan bentuk negara agar dapat menjaga kebebasan

berpendapatan, keberagaman serta menghargai keanekaragaman.

Demokratisasi penyiaran dengan berlandaskan keberagaman kepemilikan dan

keberagaman konten bertujuan untuk menjamin keadilan aktor-aktor

penyiaran didalamnya dengan menjaga keseimbangan ekonomi, politik dan

sosial. Menjunjung tinggi nilai keberagaman dan kebebasan dalam

berekspreasi menjadi keharusan kita sebagai warga negara Indonesia sehingga

gambaran penyiaran Indonesia sudah sebaiknya dapat berjalan dengan baik.

Namun, jika membahas mengenai komitmen demokrasi penyiaran,

media Indonesia juga memiliki prinsip keberagaman yakni “Diversity of

Content & Diversity of Ownership” atau keberagaman kontent dan

keberagaman kepemilikan. Prinsip tersebut bertujuan untuk menjamin publik

mendapatkan informasi dan gagasan yang bermacam dan beragam, sesuai

dengan acuan keberagaman media untuk masyarakat Indonesia. Menyambung

kembali pada penyebaran KPID mengacu kepada integrasi keberagaman

penyiaran lokal yang mendukung pembentukan identitas daerah dan

pengembangan sumber daya yang ada di Indonesia, sebagai data penyebaran

stasiun televisi lokal pada tahun 2019 menurut Asosiasi Televisi Lokal
Indonesia yakni terdapat 67 stasiun televisi lokal yang mendaftarkan

keanggotaanya (sumber: http://atvli.or.id/).

Sebagai negara dengan keragaman daerah dan nilai budaya yang

sangat kuat, tindakan ini kedepannya akan menghentikan ekspresi budaya

yang berdampak pada nilai-nilai kehidupan seperti ekonomi dan sosial

masyarakat seperti contoh berpengatuh kepada lapangan pekerjaan yang

hanya berkembang di Ibu Kota Jakarta dan tidak tersebat di daerah. Maka

indutri penyiaran harus mengedepankan desentralisasi bertujuan agar budaya

yang ada di daerah dapat berkembang dan mensejahterakan perekonomian

daerah dalam lingkup industri penyiaran daerah.

Media serta lembaga penyiaran yang tidak dapat di pisahkan dari

perkembangan ekonomi – politik – budaya, dikarenakan media ditempatkan

menjadi titik berat karena terdapat produksi konten didalamnya yang

dikendalikan oleh kepentingan pemilik media dan pasar media dengan rezim

kapitalis sehingga mencari keuntungan atau nilai ekonomi. Pendekatan

ekonomi politik dengan kritik sosial yang berhubungan dengan struktur

ekonomi dan dinamika industri media berserta konten ideologis media

(McQuail, 2011, p. 105). Keterkaitan ekonomi politik media juga dengan

demokratisasi penyiaran terdapat pada prinsip penyiaran Indonesia yakni

memiliki keberagaman, namun bentuk penyimpangan dari semangat tersebut

dapat dilihat dan dirasakan dari konten media Indonesia yang memiliki
keseragaman serta diperkuat dengan kepemilikan media yang terpusat atau

bentuk konglomerasi hingga kini solusi dari Undang-Undang Penyiaran

mengenai Sistem Stasiun Jaringan tidak berjalan dengan baik atau dapat

dikatakan tetap sentris.

Pejalanan penyiaran di Indonesia dengan permasalahan yang ada

menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam lagi, mulai dari pasar lembaga

penyiaran Indonesia dalam persepektif ekonomi yang terindikasi melakukan

konsentrasi kepemilikan atau tidak berjaringan sehingga berdampak pada

produksi konten yang juga cenderung tidak memiliki pembeda antar satu

stasiun televisi dengan televisi lain dan media lokal yang harusnya dapat

menyiarkan budaya dan pemberitaan mengenai daerah terkait menjadi

menyiarkan berita Ibu Kota.

Persaingan antar industri media penyiaran menjadi diskursus yang

menarik untuk di kaji lebih dalam, terlebih melihat berbagai kecenderungan

kepemilikan media di Indonesia yang terindikasi melakukan kompetisi

monopolistik, karen sejumlah korporasi media melakukan akuisisi media

sehingga terkonsentrasi kepemilikannya dan dapat dikatakan terjadi

konglomerasi kepemilikan media seperti konsep ekonomi politik media.

Pengharapan kepada pelaksanaan prinsip tersebut memiliki permasalahan

yang sulit untuk lembaga penyiaran lokal di Indonesia, melihat dari minat

pasar dan iklan yang cenderung lebih tertarik pada penyiaran nasional
(swasta). Aturan sistem stasiun jaringan pada televisi menjadi solusi

permasalahan penyiaran namun kenyataanya timbul permasalahan baru yang

bertentangan dengan regulasi penyiaran itu sendiri. Konsentrasi pasar

penyiaran serta konsentrasi kepemilikan menjadi gambaran penyiaran lokal

pun terancam. Kelompok bisnis dengan kepentingan tertentu umumnya

dikatakan memiliki afiliansi dengan kekuasaan atau dengan partai politik,

maka perlunya penguatan media penyiaran lokal diantara derasnya arus pasar

media penyiaran nasional serta penegakan konsep media penyiaran lokal

(Ardiyanti, 2011, p. 326).

Menarik untuk mengetahui bagaimana sudut pandang dari regulator

dan aktor penyiaran lokal yang ada di Indonesia mengenai pelaksanaan

penyiaran Indonesia dengan prinsip demokratisasi penyiaran dalam perspektif

diversity of content atau keberagaman konten. Sehingga dianggap perlu untuk

diteliti, dengan harapan dapat menjadi solusi bagi permasalahan penyiaran

dan persoalan industri media penyiaran di Indonesia selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

Indonesia sebagai negara dengan keberagaman wilayah dan budaya

juga berlandaskan demokrasi berarti bebas berpendapat dan menghargai

pendapat dari keberagaman yang ada serta memberlakukan seadil-adilnya

bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang luas, hal tersebut menjadi

tugas lembaga penyiaran Indonesia untuk dapat menjamin keberagaman yang


ada di Indonesia. Indikator untuk jaminan dari negara dengan bentuk

demokrasi dengan menjunjung demokratisasi penyiaran yakni kebebasan

bereksperesi (freedom of expression), kebebasan berbicara (freedom of the

specch) dan kebebasan pers (freedom of the pers) serta perlu untuk

keberagaman pendapat (diversity of voices), keberagaman konten atau isi

(diversity of content) dan keberagaman dari kepemilikannya (diversity of

ownership) (Wahyono, Rianto, Darmanto, Faried, & Martha, 2011, p. xiv).

Pandangan ekonomi media akan hal ini memiliki permasalahan terkait

penyiaran televisi lokal yang keterbatasan atas pelaksanaanya karena terbatas

dengan kebijakan serta dukungan pasar yang ada di Indonesia. Kepemilikan

lembaga penyiaran televisi lokal pun banyak yang diakuisisi oleh pemilik

media besar dengan beralasan berjaringan dengan lembaga daerah. Monopoli

pasar ini berdampak pada produksi media dan khalayak atas pandangan yang

selalu mengenai sudut pandang Ibu Kota. Sedangkan, fakta ini bertentangan

dengan kebijakan atau regulasi penyiaran di Indonesia atau regulasi penyiaran

di Indonesia seperti UU Penyiaran dan P3SPS. Media yang mencari

keuntungan tidak lagi memerhatikan bahwasanya media sebagai kontrol sosial

dalam masyarakat yang bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan

bangsa dan memberikan masyarakat dalam keberagaman budaya di Indonesia.

Penelitian ini didukung dengan penelitian terdahulu yang dilakukan

oleh Handrini Ardiyanti dengan judul jurnal penelitian “Konsep dan Regulasi

TV Lokal dalam Kerangka Penguatan Budaya Lokal” pada tahun 2011, yang
menemukan bahwa sistem penyiaran di Indonesia yang terbagi menjadi dua

dikotomi menjadi inti permasalahan yang sulit untuk di imbangi dikarenakan

lembaga penyiaran swasta menjadi lembaga penyiaran publik yang memiliki

pasar penyiaran yang besar. Khususnya televisi diletakan sebagai lembaga

penyiaran publik yang menyebabkan televisi lokal sulit untuk menayangkan

muatan lokal karena keberadaan media komersil dengan tayangan yang

populer atau mengikuti selera pasar, mengakibatkan kurangnya ketertarikan

pasar melihat media penyiaran televisi lokal dengan tetap menyiarkan budaya

daerah setempat dan pelaksanaan regulasinya pun haruslah secara tegas.

Temuan dari jurnal penelitian ini juga, diperlukan adanya keberpihakan dari

regulator kepada televisi lokal agar televisi lokal mendapatkan perhatian dari

khalayak dan mengatasi persaingan media penyiaran komersial dengan media

penyiaran lokal.

Selain itu terdapat jurnal penelitian yang dilakukan oleh Rahayu pada

tahun 2019 dengan judul “Ambiguitas, Inkonsistensi dan Pengabaian

Kepentingan Lokal dalam Kebijakan Penyiaran Televisi di Indonesia”,

mengatakan dalam penelitiannya bahwa terdapat persoalan atas kesenjangan

aturan penyiaran yang berdampak pada praktik penyiaran pasca-reformasi

menjadi tidak jelas, bertentangan dan memiliki ketidakseuaian dengan

regulasi penyiaran yang ada didalam UU Penyiaran No 32 mengenai

kepentingan televisi yang bersiaran di Jakarta. Sehingga penyiaran lokal

minim dukungan dari regulator dan kurangnya penyiaran muatan lokal


menyebabkan dominasi muatan program yang sama di kuasai oleh media

penyiaran swasta di Jakarta dan menghasilkan produk penyiaran yang

terpusat, terdapat kepentingan penguasa penyelenggaran penyiaran.

Terdapat pula buku yang membahas mengenai ekononomi politik dan

media penyiaran lokal yang di tulis oleh Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UTM

yakni Surokim, M.Si. Pembahasan dalam buku tersebut megenai eksistensi

penyiaran lokal diantara penyiaran nasional serta hegemoni media mainstream

Indonesia, pasar media Indonesia yang mengikuti selera pasar agar sehingga

menimbulkan himpitan kemajuan dari penyiaran lokal menjadi terkendala

berbagai hal. Termasuk dari kepemilikan, regulasi dan kondisi pasar yang

menjadi pembahasan buku tersebut dengan temuannya mengenai dinamika

lembaga penyiaran lokal pada kasus media lokal Jawa Timur bahwa kesiapan

aspek hukum, manajemen, program dan teknis yang ada tidak dikelola dengan

baik. Percobaan ini dilakukan mengandalkan tujuan agar dapat bersiaran

terlebih dahulu, namun tidak mempehatikan aspek program siaran, teknis dan

bisnis. Sehingga kedepannya televisi lokal harus mampu mempersiapkan

perencanaan program agar dapat bersaing dengan televisi nasional dan asing.

Untuk dapat melihat berbagai masalah mengenai media penyiaran

lokal Indonesia menjadi menarik untuk digali lebih dalam, sehingga dapat

menemukan solusi dari media penyiaran lokal terutama pada daerah DKI

Jakarta. Melihat beberapa hal tersebut yang menjadi data dan hasil pendukung
untuk dapat melakukan penelitian mengenai isu ini, khusunya pada

Demokratisasi Penyiaran Indonesia dan pada Penyiaran Lokal. Peneliti

merumuskan masalah untuk melihat bagaimana Problematika Media

Penyiaran Indonesia melalui Perspektif Demokratisasi Penyiaran?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan atau

Problematika Media Penyiaran Indonesia melalui padangan atau Perspektif

Demokratisasi Penyiaran. Peneliti hendak mengetahui kondisi penyiaran

Indonesia saat ini terkhusus mengenai media penyiaran lokal Indonesia dan

permasalahan apa yang timbul dari konsep demokratisasi yang memiliki

keberagaman kepemilikan atau diversity of ownership dan keberagaman

konten atau diversity of content. Fokus penelitian ini dengan menggunakan

pandangan dari regulator penyiaran dengan objek analisi Komisi Penyiaran

Indonesia Daerah DKI Jakarta sebagai penggambaran penyiaran yang ada di

Indonesia serta mengaitkan dengan konsep diversity of content atau dapat

dikatakan pada penyiaran lokal serta produksi konten yang dihasilkan, namun

fokus tersebut tidak luput dari kepemilikan media di Indonesia yang

terindikasi melakukan konglomerasi karena kepemikannya yang terpusat.

Regulasi yang melandaskan penyiaran Indonesia yakni Undang-Undang


Penyiaran Indonesia pun menjadi fondasi penelitian ini untuk melihat

ekonomi politik media yang berlaku di Indonesia. Peneliti juga ingin

mengetahui bagaimana sudut pandang dari regulator dan aktor penyiaran lokal

yang ada di Indonesia mengenai pelaksanaan penyiaran Indonesia dengan

prinsip demokratisasi penyiaran dalam perspektif diversity of content atau

keberagaman konten, sehingga peneliti dapat menjabarkan permasalahan

dengen mencari solusi alternatif untuk permasalahan penyiaran dari

ketidaktegasan kebijakan pada kondisi dunia penyiaran saat ini.

D. Signifikasi Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau

signifikasi akademis dan praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Akademis

Bagi pihak Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila,

penelitian ini di harapkan dapat memberikan kontribusi pada bidang

disiplin Ilmu Komunikasi, khususnya bagi mahasiswa peminatan Kajian

Media yang memiliki penelitian berkaitan dengan Regulasi dan Penyiaran

di Indonesia
Bagi pihak lain, diharapkan dapat memberikan kontribusi positif

bagi perkembangan dan pendalaman Ilmu Komunikasi agar dapat

dijadikan acuan maupun referemsi bagi penelitian selanjutnya. Selain itu,

penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dari

penelitian tentang regulasi penyiaran

2. Manfaat Praktis

Memberikan kritik terhadap regulasi penyiaran yang dirasa perlu

untuk ditinjau kembali agar dapat berkonvergensi mengikuti

perkembangan media yang ada & serta dapat dilakukan evaluasi terhadap

keterlibatan masyarakat daerah dalam pembuatan regulasi selanjutnya.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pemerintah

maupun stakeholder dalam regulasi perizinan dan isi siaran lokal.

Sehingga tercipta kebijakan yang sesuai dengan harapan serta tanggung

jawab bersama dalam memajukan bangsa dan negara Indonesia.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan penjelasan mengenai struktur isi

penulisan, yakni isi utama kajian proposal (batang tubuh) yang dijelaskan

dalam bentuk sub bab. Berikut sistematika penulisan penelitian yang berjudul

Problematika Demokratisasi Penyiaran Indonesia (Diversity of Content)


BAB I Pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah yang

menjadi fokus penelitian secara garis besar maupun secara teori dan fakta,

rumusan masalah yang berisikan penyataan dan pertanyaan mengenai

keadaan, konsep dan/atau fenomena yang mengacu kepada jawaban

pertanyaan, tujuan penelitian yang dilakukan atau jawaban penelitian,

signifikasi penelitian, dan sistematika penulisan.

Pada bab berikutnya, yakni BAB II yang berisikan Kajian Pustaka.

Dalam bab ini membahas mengenai konsep-konsep Ekonomi Media,

mengenai Media Penyiaran Indonesia, Demokratisasi atau Diversity of

Content & Diversity of Ownership, Regulasi Penyiaran Indonesia. Terdapat

unit analisis dan instrumen penelitian.

Selajutnya BAB III, merupakan bab yang berisikan metode penelitian.

Pada bab ini membahas paradigma, pendekatan penelitian, jenis penelitian,

unit analisis, teknik pengumpulan data, instrument penelitian, teknik analisis

data dan pengecekan keabsahan data. Melalui bab ini menjelaskan fokus dan

batasan yang digunakan peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian. Unit

analisis menjelaskan level yang diteliti pada penelitian ini. Teknik

pengumpulan data adalah cara peneliti mendapatkan data-data yang

dibutuhkan dalam penelitian ini. Instrumen penelitian meliputi alat-alat yang

digunakan penelitian dalam melakukan penelitian. Teknik analisis data adalah

cara peneliti melakukan analisis terhadap data yang didapatkan setelah


melakukan penelitian. Pengecekan keabsahan data menjelaskan cara penguji

menguji ketepatan hasil penelitian dan validitas data yang telah didapatkan.

BAB IV Temuan dan Pembahasan menjelaskan tentang gambaran

objek penelitian yang memberikan penjelasan tentang fenomena yang sedang

diteliti. Bagian temuan ini menampilkan data-data penelitian yang dilakukan

berdasarkan rumusan masalah serta konsep yang digunakan. Adapun bagian

pembahasan menyajikan hasil dan temuan penelitian

Bagian terakhir adalah BAB V, yang mana merupakan penutup dari

penelitian ini. Bagian dari bab ini terdapat kesimpulan dan saran yang

berkaitan dengan analisa dan optimalisasi sistem berdasarkan yang telah

diuraikan pada bab sebelumnya.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Teori Ekonomi Media

Ekonomi media merupakan konsep yang bersinggungan dengan

ilmu komunikasi, karena media dan penyiaran termasuk didalam

pembahasan ilmu komunikasi baik ekonomi, sosial maupun politik. Hal

ini dapat dilihat dari media yang membutuhkan khalayak atau massa

sebagai konsumen untuk mendapatkan keuntungan, sehingga proses ini

kemudia masuk kepada komunikasi massa. Bentuk ekonomi media dari

kebutuhan masyarakat akan informasi dan untuk mempermudah aktivitas

dengan media seperti surat kabar, televisi dan radio. Media massa yang

dipandang sebagai institusi yang memiliki kontrol sosial, politik dan

budaya untuk disajikan kepada masyarakat, akan tetapi hal ini tidak juga

luput dari institusi ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan (needs) dan

keinginan (wants) manusia dalam kehidupan seperti konsumsi, produksi

dan sumber daya (Noor, 2010, p. 5).

Ahli yang mengemukakan mengenai ekonomi media seperti

Albarran mendefinisikan ekonomi media sebagai konsep yang

mempelajari tentang sumber-sumber yang terbatas untuk menghasilkan


menjadi sebuah jasa yang akan didistribusikan kepada konsumen atau

masyarakat dalam bentuk pemenuhan keinginan dan kebutuhan, juga

didalamnya terdapat tingkat kompetisi antar media dari berapa banyak

jumlah media lain dan berapa jumlah khalayak yang di perebutkan atau

dengan kata lain hal ini dinamakan dengan aspek penentu struktur pasar

(market structure) (Albarran, 1996, p. 5).

Evaluasi struktur pasar atau (market structure) yang dibahas oleh

Albarran dalam buku Usman Kansong yakni tingkat diversifikasi

tayangan, jumlah produsen dan konsumen media atau konsentrasi pasar,

pengaruh regulasi media dan teknologi pada industri media dalam

pengertiannya (Kansong, 2009):

1. Diversifikasi Tayangan & Usaha

Hal yang dibahas disini mengenai muatan yang dijual oleh

produsen media didalamnya dapat berupa genre atau unsur

demografis dari tayangan yang disajikan media kepada konsumen

media yakni khalayak. Perluasan usaha ini juga dilakukan untuk dapat

menjangkau khalayak demi pasar dan keuntungan lebih besar, dengan

mengajak produsen media untuk bergabung dalam industri penyiaran

dengan berbeda usaha namun satu rupa bentuk yang sama.


2. Konsentrasi Pasar

Dominasi produsen media dapat dikatakan terkonsentrasi bila

jumlahnya semakin banyak dan besar hanya di beberapa lokasi atau

terpusat. Kekuatan produsen media yang di dominasi oleh hanya

beberapa kepemilikan juga dapat berpengaruh kepada pasar dan

konsumen media. Hal ini dapat melihat terjadinya konsentrasi pasar

seperti sejumlah individu atau perusahaan yang mengacu kepada satu

kepemilikan perusahaan atau industri media sehingga bisa disebut

monopoli kepemilikan media. Konsentrasi pasar adalah dengan

melihay media yang dimiliki oleh sejumlah indivisu atau perusahaan

dengan mengacu kepada tingkat kontrol dan kepemilikan perusahaan

pada sejumlah industri media dan konsentrasi market share dihitung

dengan metode rasio konsentrasi (concentration-CR) untuk

membandingkan rasio kepemilikan empat perusahaan besar yang sama

atau (CR-4) dengan delapan berusahaan besar (CR-8) dilihat secara

perusahaan yang sama atau lebih besar dianggap kurang beragam atau

terkonsentrasi (Albarran, 1996, p. 44)

3. Pengaruh Regulasi Media

Pengaruh regulasi pada industri media, aturan atau kebijakan

yang mendasari media untuk dapat bergerak, maka dari itu media

memerlukan regulasi untuk dapat membatasi gerak industri media agar


tidak menyalahi aturan untuk menjalin kerjasama serta berjaringan

agar kinerja ekonomi dapat berjalan dengan baik dengan tidak

melupakan tugas dan fungsi media penyiaran.

4. Pengaruh Teknologi pada Industri Media

Industri media pun harus mengikuti perkembangan teknologi,

namun tidak menutup kemungkinan pula jika teknologi dapat

memberikan dampak besar baik industri media. Mengevaluasi

jalannya industri media untuk tetap menjaga upaya industri yang

berkesinambungan, sehingga tetap eksis bagi khalayak.

Industri media tidak dapat dipisahkan dari kompetisi media,

hadirnya kompetitor untuk memberikan persaingan dengan tujuan untuk

dapat menghadirkan jenis lain dari produksi media. Kompetisi ini juga

bertujuan untuk menjauhkan media penyiaran dari konsentrasi

kepemilikan atau keterpusatan kepemilikan dan menjadikan penyiaran

Indonesia dapat melakukan persaingan sehat agar dapat berkembang dan

tetap mengikuti regulasi yang berlaku di Indonesia dengan baik.

Dalam memahami ekonomi media sebagai studi tentang hubungan

– hubungan sosial, khususnya hubungan yang saling mengunntungkan

antara sumber-sumber produksi, distribusi dan konsumsi. Termasuk

didalam sumber-sumber yang terkait dengan komunikasi, media berada


pada posisi antara kepentingan dan ideologi serta bentuk ekonomi seperti

kepemilikan dan bentuk kepentingan seperti kekuasaan. Relasi mengenai

ekonomi-media tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat saat

ini, konsep tersebut berjalan dalam bentuk produksi dan distribusi serta

berpengaruh kepada sosial dan budaya, sehingga menghasilkan sebuah

produk media.

Media yang berperan sebagai medium untuk menyalurkan

informasi sehingga menjadi jembatan bagi konsumen dari produsen

barang ataupun jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Akan tetapi hal ini

menjadi pengingat bagi industri media yang sering mengabaikan kualitas

produk untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Menurut buku

Usman Ks, nilai ekonomi media dipelajari dengan dua bidang ekonomi

yang mana tedapat studi makroekonomi dan mikroekonomi, didalamnya

makroekonomi meliputi sistem secara menyeluruh seperti pembahasan

mengenai pertumbuhan ekonomi dan industri ekonomi dengan politik

serta kebijakan dan regulasi. Sedangkan mikroekonomi membahas terkait

aktivitas dalam sistem ekonomi seperti seperti individu sebagai pasar,

perusahaan, serta konsumen hingga struktur pasar dan perilaku pasar

berserta dengan aktivitas produsen dan konsumen. Pembahasan mengenai

mikroekonomi dan makroekonomi adalah regulasi berisikan keharusan

televisi nasional bekerjasama dengan televisi lokal atau berjaringan jika

ingin bersiaran di daerah setempat (makroekonomi) akan mempengaruhi


pola investasi atau permodalan televisi nasional ataupun lokal

(mikroekonomi) (Kansong, 2009, p. 3).

Menurut Dennis McQuail dalam bukunya Mass Communication

Theory, media adalah industri yang dapat terus berkembang dan berubah

mengikuti perkembangan yang akan menciptakan lapangan kerja, barang

dan jasa, serta berperan untuk menghidupkan industri lain yang terkait.

Media massa juga memiliki regulasi atau peraturan serta norma-norma

yang menghubungkan institusi masyarakat dan sosial lainnya, maka terjadi

pertukatan nilai isi media yang berpengaruh dengan ekspansi pasar

(McQuail, 2011, p. 82).

Dalam penelitian ini konsep yang digunakan adalah ekonomi

politik media sebagai dasar untuk melihat media bukan hanya sebagai

medium komunikasi akan tetapi terdapat aktivitas ekonomi dalam

kehidupan masyarakat bermedia. Terdapat perilaku ekonomi media yang

dikelompokan menjadi konsumen yang mengkonsumsi media atau

khalayak, produsen atau industri media serta penyelenggara media baik

pemerintah atau lembaga yang dibentuk untuk pengawasan dan

pelaksanaan kebijakan yang bertujuan untuk menjaga ranah publik yang

digunakan oleh media.

Konsep ekonomi media juga memiliki pandangan kritis, melihat

bentuk produksi, distribusi dan konsumsi dari media yang menyangkut

persoalan ekonomi dan menjadi ladang kapitalisme serta bagi media yang
memiliki tugas fungsi sosial didalamnya memberikan kesadaran palsu

(false conciousness) pada khalayak dengan kekuasaan (power) (Surokim,

2012).

B. Kajian Konsep

1. Media Penyiaran Indonesia

Penyiaran adalah keterampilan dasar manusia untuk menciptakan

pesan secara efektif untuk berkomunikasi baik secara individu maupun

massa. Jika membahas komunikasi massa, maka penyiaran juga termasuk

didalam pembahasan tersebut karena menggunakan ranah publik untuk

pelaksanaanya. Sehingga penyebarluasanya harus digunakan dan

dimanfaatkan sebaik mungkin untuk khalayak, dalam mendistribusikan

pesan dengan teknologi dan produksi media komunikasi melalui bentuk

transmisi atau perpindahan pesan juga reproduksi pesan tersebut membuat

pesan sampai pada tujuan (Mufid, 2010, p. 21).

Jika membahas mengenai sejarah penyiaran sejak dimulainya dan

ditemukan teknologi radio oleh ahli teknik dari Eropa dan Amerika.

Selanjutnya pada tahun 1925 masuknya penyiaran radio di Indonesia pada

masa pemerintahan Hindia-Belanda oleh Prof. Komans dan Dr. De Groot

yang menggunaan stasiun lerai di Malabar, Jawa Barat dan di bentuk

organisasi radio amatir pada tahun 1930 yang dinamakan NIVERA

(Netherland Indische Vereniging Radio Amateur) (Morissan, 2015, p. 8).


Hingga pada masa kemerdekaan Indonesia, seorang bermana

Gunawan berhasil membuat radio sederhana dan menyiarkan naskah

proklamasi kemerdekaan Indonesia. Memasuki tahun 1945 sampai dengan

1950 terdapat banyak radio amatir yang berperan sebagai radio laskar,

namun pada tahun 1952 hingga 1966 terdapat aturan dari pemerintah

mengenai pembekuan radio amatir yang tidak memiliki izin. Pada

runtuhnya Orde Lama dan munculnya Orde Baru menjadikan semangat

mengudara kembali sehingga di bentuk Organisasi Radio Amatir Republik

Indonesia pada 9 Juli 1968. Pembentukannya tersebar di 6 (enam) kota

sesuai dengan hasil dari 11 September 1945 yang berisikan tugas dan

fungsi RRI yang dikenal dengan Tri Prasetya RRI yaitu merefleksikan

komitmen RRI untuk bersikap netral atau tidak memihak kepada salah

satu aliran, keyakinan, partai atau golongan (PUSDATIN-RRI, n.d.).

Memasuki media penyiaran Indonesia selanjutnya adalah siaran

televisi yang dimulai pada tahun 1962 saat TVRI menayangkan siaran

percobaaan upacara kemerdekaan Indonesia ke -17 dan siaran resmi

dimulai pada 24 Agustus 1962 yang menyiarkan upacara pembukaan

Asian Games ke – 4 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (Morissan,

2015, pp. 9-10). Perkembangan media penyiaran televisi di Indonesia

hingga tahun 1989, dengan berkembangnya pertumbuhan televisi swasta

di Indonesia yakni RCTI dan dilanjutkan dengan kemunculan SCTV,


Indosiar, ANTV dan TPI. Menyusul televisi swasta selanjutnya diperkuat

dengan kebutuhan masyarakat akan informasi pada media penyiaran

hingga hadir Metro TV, Trans TV, TV7, Lativi dan GlobalTV pada tahun

2000. Industri media penyiaran tidak hanya pada media televisi dan radio

aja, akan tetapi munculnya jenis media lain seperti cetak (surat kabar dan

majalah) yang merupakan bentuk karya jurnalistik dengan sejarahnya pada

masa pra-kemerdekaan dan didirikan oleh kolonial Belanda juga

digunakan untuk alat propaganda atau media politik. Keseluruhan media

penyiaran yang berlaku di Indonesia, membutuhkan khalayak atau publik

untuk menjadi objek sesuai dengan teori Komunikasi Massa yang

dikemukakan oleh Harold Lasswell dengan ungkapan Who says what in

which channel to whom with what effect (Morissan, 2015, p. 16).

Namun media penyiaran saat ini telah berkonvergensi mengikuti

era teknologi digital, dengan bantuan internet untuk penyebarluasan

produk media penyiaran era digital agar informasi dapat mudah tersebar

luas dengan menggunakan media streaming, penonton dan pendengar

dengan mudah mendapatkan akses dan media penyiaran dengan mudah

mendapatkan respon dari masyarakat.

Sejak di sahkannyan kebijakan mengatur tentang Penyelenggaraan

Penyiaran di Indonesia dalam Undang-Undang Penyiaran No 32 Tahun

2002 yang menggantikan kebijakan sebelumnya pada tahun 1997


mengenai penyiaran. Media penyiaran Indonesia juga bertumbuh menjadi

beberapa bagian seperti penyiaran publik, swasta, komunitas, jaringan dan

berlangganan. Media penyiaran lokal Indonesia lahir dari era reformasi

didukung dengan adanya Undang-Undang Penyiaran No 32/2002 yang

membahas mengenai partisipasi keberagaman wilayah Indonesia diangkat

menjadi sistem penyiaran saat ini sebagai sistem penyiaran lokal dan

wilayah jangkauan siaran. Materi penyiaran lokal memiliki tujuan untuk

memberdayakan keberagaman Indonesia yang terbagi menjadi beberapa

daerah dan produksi media yang ada di dalamnya harus mengandung

konten daerah setempat sebagai bentuk konstruksi realitas sosial dari

daerah media lokal tersebut.

Namun, televisi lokal mendefisinikannya sebagai lembaga

penyiaran yang menyiarkan seluruh hal berkaitan dengan nilai kearifan

lokal daerah dan mencangkup wilayah setempat baik kota ataupu

kabupaten. Sedangkan pada Undang-Undang memberikan gambaran

bahwa penyiaran televisi lokal berada dan didirikan di lokasi tertentu

dalam wilayah negara Republik Indonesia dan jangkauannya terbatas

hanya lokasi tersebut. Undang Undang Penyiaran Indonesia 32 Tahun

2002 pada Pasal 31 memberikan keterangan bahwa lembaga penyiaran

yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi

terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan stasiun penyiaran lokal.


Fungsi penyiaran lokal serupa dengan lembaga penyiaran lainnya

yang berguna untuk memberikan informasi daerah setempat,

mempersuasi, memuaskan, menyenangkan dan menjadikan hiburan bagi

masyarakat daerah (Taufli, 2014, p. 16). Bentuk televisi lokal ini sebagai

wujud dalam demokrasi penyiaran Indonesia yang mengemasnya untuk

konten lokal dan kepemilikan lokal daerah setempat.

2. Demokratisasi Penyiaran

Keberagaman atau konsep diversity ini mendasar perbedaan sosial,

gender, politik, etnik dan ras dengan semangat Bhineka Tunggal Ika.

Sebagai negara provinsi yang memiliki berbagai budaya dan bahasa,

sudah seharusnya Indonesia menghargai perbedaan tersebut dengan dilatar

belakangi oleh keberagaman pada kehidupan sosial dan tidak terkecuali

pada kehidupan komunikasi untuk mendapatkan informasi dan bertukar

pesan. Sebagai negara yang demokratis dengan berasaskan kebebasan

berpendapat, maka penyiaran dan media di Indonesia pun berhak dengan

memberlakukan kebebasan serta keberagaman terhadap konten dan

keberagaman terhadap kepemilikan. Karena pada dasarnya frekuensi yang

menjadi sistem penyiaran adalah milik publik, maka yang ada didalamnya

pun menjadi kepentingan dan kebutuhan publik. Indikator penyiaran

negara demokratis dengan mendapatkan jaminan berbicara (freedom of


speech), kemerdekaan bereksperesi (freedom of expression), dan pers

(freedom of pers) yang dibutuhkan oleh media massa. Jaminan

keberagaman suara (diversity of voice), isi (diversity of content) dan

kepemilikan (diversity of ownership) agar pelaksanaan keadilan dalam

berkehidupan dimasyarakat dapat berjalan dengan baik (Rahayu, 2019) .

Disebutkan bahwasanya “perekonomian nasional diselenggarakan

berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,

efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,

serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi

nasional”, maka dapat dikatakan dalam menjaga keseimbangan antara

kebebasan dan kebergaman maka dalam UUD 1945, warga negarapun

turut terlibat dalam perekonomian sosial.

Konsep Diversity of Content & Diversity of Ownership mengacu

kepada Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang

mengatur adanya Lembaga Penyiaran Publik dan Lembaga Penyiaran

Swasta serta dalam pembuatannya dengan menggunakan prinsip

demoktratis, sangat adil dan tidak ada monopoli baik dalam pemberitaan

ataupun kepemilikan.

Mulai dari produk atau konten media yang informasinya mengikuti

kepentingan kepemilikan, menjadikan informasi bias dalam suatu media.

Kepemilikan media penyiaran mempengaruhi produk atau konten dari

media tersebut. Sentraliasi salah satu contohnya yang menyebabkan


konsentrasi yang terjadi Indonesia, baik langsung ataupun secara tidak

langsung. Tayangan-tayangan yang berlatar belakang Ibu Kota

mempengaruhi masyarakat daerah. Terdapat data yang menunjukan bahwa

78% penduduk Indonesia dengan jumlah 233.477.400 memilki akses

media televisi sekitar 67%, menjadikan jumlah potensial review sekitar

122 juta penduduk dan masing masingnya memiliki jangkauan sebesar

57% sampai dengan 99% penduduk untuk akses yang memiliki televisi

(sumber: Media Scene, 2011).

Jika dikaji kembali, data tersebut menunjukan kecenderungan

masyarakat Indonesia mendapatkan informasi dan mendapatkan akses

televisi, namun produk atau isi media yang terpusat di Jakarta berdasarkan

kepemilikannya yang tidak berjaringan dengan daerah sehingga cenderung

menghasilkan produk media yang tidak bervariasi, semakin memperbesar

dahan dengan semakin merambah industri media dan non media (Rahayu,

et al., 2015). Keuntungan sebagai orientasi dari industri penyiaran dalam

pasar ekonomi dilihat sebagai televisi yang komersil melupakan

pemberlakuan kebijakan mengenai sistem stasiun berjaringan yang

sebelumnya sudah diaplikasikan oleh Amerika terlebih dahulu. Sistem

Stasiun Jaringan (SSJ) bukan ialah tema baru pada penyiaran. Pertengahan

1908-an sistem siaran televisi pada beberapa negara didominasi oleh

sistem stasiun jaringan, seperti ABC, NBC, CBS (Amerika Serikat) dan

Channel 4, Channel 5, BBC (Inggris). Berdasarkan Head dan Sterling


(1982) menyatakan jaringan artinya: “Two or more stations interconnected

by some means of a relay (wire, cable, teresterial microwave, satellite) so

as to an able simultaneous brodcasting of the same program..” yakni: 2

atau lebih stasiun yg saling berafiliasi melalui relai (kawat, kabel,

gelombang mikro teresterial, satelit) yg memungkinkan terjadinya

penyiaran acara secara serentak (Umar, 2012).

Penjelasan mengenai sistem stasiun jaringan atau SSJ yang

dimaksud juga adalah program yang disiarkan dengan stasiun lokal yang

berafiliasi dengar daerah, atau terdapat induk media penyiaran yang

berlokasi di ibukota dan anggota dari media penyiaran berada dikabupaten

atau kota sesuai dengan aturan dari Peraturan Menteri yang membahas

mengenai Sistem Stasiun Jaringan. Ketentuan ini juga mengatur lembaga

penyiaran publik yang akan menyiarkan jaringan di seluruh bagian dari

Negara Republik Indonesia dan lembaga penyiaran swasta bersiaran

dengan satu sistem stasiun jaringan yang boleh berjaringan dengan 1

stasiun induk.

3. Regulasi Penyiaran Indonesia

Setiap penggunaan ranah publik diperlukan regulasi atau kebijakan

untuk dapat mengatur pelaksaannya sehingga tidak disalah gunakan.

Penyiaran Indonesia yang menggunakan ranah publik, maka


pemanfaatannya harus digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan

publik, kemudian hadirlah aturan-aturan mengenai pelaksananya agar

tidak hanya digunakan untuk mencari keuntungan semata, tapi juga

berguna bagi masyarakat. Regulasi juga berguna untuk memberikan aksi

preventif dengan mencegah dampak buruk terjadi atau dapat bersifat

represif dengan cara menghukum (Kansong, 2009). Aturan penyiaran pun

disusun untuk melindungi media massa agar tidak berlaku monopoli dan

melindungi hak dari khalayak. Terdapat prinsip dari regulasi penyiaran

menurut Muhammad Mufid pada buku Ekonomi Media: Pengantar

Konsep dan Aplikasi oleh Usman Kassong, yaitu:

1. Penetapan siapa dan bagaimana sistem penyiaran mendapatkan

lisensi.

2. Menanamkan rasa nasionalitas.

3. Melindungi institusi media secara ekonomis dari kekuatan

asing

4. Membatasi kepemilikan silang dan mencegah konsentrasi

media.

5. Mengandung prinsip objektivitas, akuntabilitas dan

imparsialitas.
6. Terdapat aturan tata aliran keuangan dari sumber yang berbeda

atau dengan contoh pada iklan yang muncul di media agar

tidak mendominasi dari produksi program media.

Terdapat pula tipe regulasi yang berlaku untuk mengkontrol

penyiaran adalah regulasi struktural dan regulasi imperatif dengan

penjelasan pada regulasi struktural yakni pemerintah memberikan

ketetapan untuk membingkai pelaksanaanya secara tidak langsung atau

dengan memberikan standar tertentu seperti yang berlaku di Indonesia

adalah Undang-Undang Penyiaran No 32 Tahun 2002 yang berisikan

penciptaan aturan khusus terkait organisator dan pengelolaan industri

media. Selanjutnya, regulasi imperatif adalah pemberlakuan kontrol

dan pedoman perilaku seperti di Indonesia dengan adanya Pedoman

Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dibentuk oleh

Komisi Penyiaran Indonesia.

Kembali pada regulasi penyiaran menurut landasan teoritis,

menurut McQuail, kontrol media diperlukan dalam dua wilayah

berbeda yang di kategorikan menjadi wilayah isi dan insfrastuktur

(McQuail, 2011). Wilayah isi mencangkup pengaturan pada alasan

politik dan budaya atau moral, bertujuan untuk menjadikan media

tidak berpihak secara politik dan mengurangi dampak buruk secara

budaya atau moral. Sedangkan, wilayah insfrastruktur mengatur


ekonomi dan teknologi untuk menjamin kepemilikan media dan

persaingan ekonomi antar industri media tidak memberikan dampak

kerugian bagi masyarakat.

Pelaksanaan regulasi penyiaran di Indonesia mengikuti

perkembangan dan industri penyiaran yang ada. Seperti regulasi

industri penyiaran radio di Indonesia memberlakukan ketetapan dari

PP No 55 Tahun 1976 mengenai Radio Siaran Nonpemerintah yang

mengatur kriteria kepemilikan, pelaksanaan fungsi sosial dan tidak

berpihak pada partai politik, kemudian terbitlah aturan dari Keputusan

Menhub tahun 1971 yang memberikan wewenang atas stasiun radio

nonpemerintah kepada Gubernur dan ditahun yang sama pula lahir

keputusan Menteri Penerangan mengenai muatan lokal pada siaran

Radio. Lahirlah peraturan pertama penyiaran yang berisikan

penghapusan pembatasan kepemilikan dan memperbolehkan intervensi

negara pada masa rezim Orde Lama. Sehingga memasuki Orde Baru,

penyelanggaraan penyiaran mendapatkan angin segar dari

diperbaharuinya Undang-Undang Penyiaran dengan kembalinya

penyiaran sebagai ranah publik dan pembentukan lembaga independen

untuk mengatur kepemilikan dan program penyiaran baik radio dan

televisi serta pelaksanaan pedoman penyiaran yakni P3SPS.


Begitupula dengan regulasi penyiaran televisi di Indonesia

yang juga mengatur mengenai penyelenggaraan penyiaran melalui

Undang-Undang Penyiaran No 32, dengan amanat untuk pembentukan

Komisi Penyiaran Indonesia untuk bertugas mengawasi dan

memberikan izin bagi lembaga penyiaran memperpanjang izin siaran

juga program siaran yang diatur didalam Pedoman Perilaku Penyiaran

dan Standar Program Siaran. Peraturan pemerintah juga memberikan

kebijakan untuk mengatur kepemilikan, saham dan modal, televisi

berjaringan, isi dan materi siaran, dan lainnya yang berhubungan

dengan industri media penyiaran sehingga industri penyiaran

dikukuhkan sebagai industri komersial (Kansong, 2009).

Penyelenggaraan penyiaran tidak hanya kepada industri

penyiaran, adapun paradigma mengenao Undang-Undang Penyiaran

dan Telekomunikasi yang perlu disinkronasikan, dikarenakan kegiatan

penyelenggaraan penyiaran juga dimasukan kepada penyelenggaraan

telekomunikasi khusus yang komplesitas dan peranannya sangat besar

untuk membentuk opini publik. Membahas mengenai kebijakan

tertinggi dari penyiaran yakni Undang-Undang Penyiaran, penegakan

demokratiasasi penyiaran penting digaungkan. Bertujuan untuk

mengatur bagi proses komunikasi yang menggunakan frekuensi

terbatas milik publik yang perlu pengaturan atau kebijakan agar segala
hal didalamnya tidak keliru dalam pelaksanaanya. Frekuensi yang

menggunakan spektrum gelombang radio adalah milik publik,

pemodal atau pemilik media berlaku meminjam ranah tersebut

sehingga terdapat cost production yang perlu dibayarkan sebagai pajak

negara.

Pendapat umum mengenai Undang-Undang Penyiaran sejak

awal disahkannya mendapatkan berbagai pro dan kontra, problematika

pelaksaannya pun beragam. Sejak awal UU No 24 Tahun 1997

sebelum adanya UU No 32 Tahun 2002, berisikan pengaturan

penyiaran yang dikuasai oleh negara dan pembinaanya dan

pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah. Pergantian penguasaan

penyiaran bertujuan untuk mengembalikan stabilitas nasional untuk

terwujudnya pembangunan nasional. Maka semangat penyiaran

kembali kepada semangat demokrasi yang berati kebebasan dalam

berpendapat dan keberagaman Indonesia yang perlu untuk dilindungi.

Temuan saat ini dari masalah penyiaran dikuasai oleh persaingan

bisnis yang tidak tersebar, kepemilikannya dikuasai oleh raksasa

industri media yang melakukan akuisisi sehingga semakin besarnya

industri penyiaran yang tidak tersebar baik pada media penyiaran

cetak, telelevisi ataupun radio. Hal ini sungguh sangat akan


berpengaruh kepada ekonomi-sosial-politik dan budaya dari

masyarakat Indonesia.

4. Kajian Penelitian Terdahulu

Penelitian ini didukung oleh penelitian terdahulu yang berguna untuk

mempekuat hasil penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Baik bentuk

jurnal, skripsi atau tesis yang relevan dengan penelitian ini untuk mendukung

penelitian ini. Penelitian terdahulu dalam bentuk jurnal dilakukan oleh

Karman pada Tahun 2014 dengan judul “Monopoli Kepemilikan Media dan

Lenyapnya Hak Publik” . Konsep penelitian menggunakan ekonomi media

dari Murdock untuk melihat monopoli atau pemusataan kepemilikan serta

struktur organsasi dan konsep diversity of ownership & diversity of content.

Penelitian tersebut memiliki tujuan untuk menganalisa dan memperjelas

tentang bagaimana praktik pasar monopoli yang dilakukan oleh industri

media, serta melihat contoh kasus mengenai industri penyiaran antara dahulu

dan saat ini dengan bentuk karakteristik media penyiaran yang semakin

berubah, sebagai contoh Amerika dan Indonesia.

Media dengan pandangan teori normatif pada isu yang membahas

mengenai struktur media, perilaku aktor dan kinerja media. Dengan

menggunakan kajian literatur, menjelaskan tentang bagaimana praktik

monopoli yang dilakukan di Amerika dan yang terjadi di Indonesia

didalamnya menjelaskan mengenai kepemilikan media tersebut dan


kepentingan publik dan kebebasan dalam ruang publik. Teori normatif juga

menghendaki media bergerak bebas dari kontrol pemerintah atau kelompok

dengen kepentingan tertentu. Membahas mengenai proses demokrasi

penyiaran yang ada di Indonesia dengan kontrol pemerintahan yang berbeda

dari masa ke masa dan sulitnya pelaksanaan penyiaran yang bebas dari

kendali pemerintah sehingga perlunya penguatan kelompok media baik dari

sisi ekonomi atau politik.

Hasil penelitian ini menunjukan pelaksanaan penyiaran di Amerika

dan Indonesia yang sama-sama terdapat praktik monopolii media yang dilihat

dari aspek tipologi kepemilikan media dengan kaum bourgoeoisie yang

mencari keuntungan dengan memaksimalkan keuntungan yang ada. Media di

Amerika melakukan penyiaran yang terkonsentrasi atau terintegrasi pada satu

kepemilikan (monopoli). Pemilik media Amerika dengan jenis kabel

umumnya di dominasikan surat kabar, majalah, buku dan penyiaran. Motivasi

dominasi ini untuk mendapatkan keuntungan atau uang (profitability) dan

pengaruh (media power) yang dalam kondisi ini memposisikan khalayak

sebagai posisi lemah, dan tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan

perubahan yang dapat mencegah terjadinya praktik buruk yang merubah

media massa.

Dalam hasil temuan jurnal tersebut kontribusi peneliti melihat sistem

yang monopolitik sehingga menyebabkan buruknya media massa di Amerika


seperti 1) Power Media tergadai/ tersandra oleh kepentingan elit media; 2)

Konsentasi Politik di Amerika mencerminakan media mogol; 3) Deregulasi

FCC tahun 1984 yang menguntukan bagi industri media untuk integrasi

vertikal (monopoli); 4) Khalayak mendapati kesulitan untuk dapat

memberdakan mengenai kebenaran berita karena terhalang oleh kepentingan

pemilik media; dan 5) Mekanisme kerja yang mengikuti kehendak pemilik

media (Karman, 2014).

Indonesia juga didapatkan temuan melakukan praktik konsentrasi

kepemilikan yang memiliki dampak buruk bagi khalayak luas. Salah satu

dampak pada masyarakat adalah kurang baiknya pelaksanaan penyiaraan

dengan konvergensi media yang terjadi oleh perushaan media dan

telekomuniasi sehingga berpengaruh kepada terindikasinya praktik oligarki

kepemilikan media di Indonesia. Konsisi ini tidaklah sesuai dengan semangat

UU Penyiaran dan PP Penyelenggaran Penyiaran yang memberlakukan sanksi

kepada lembaga penyiaran dan larangan tegas untuk praktik monopoli atau

oligarki industri media. Harapannya untuk lembaga penyiaran, lembaga

pemantauan penyiaran dapat bertindak tegas kepada pemilik media yang

melakuka monopoli dan mengembalikan program penyiaran dengan

berdasarkan kepentingan publik bukan kepentingan dari pemilik.

Penelitian selanjutnya diteliti oleh Gilang Gusti Aji dengan judul

jurnal “Spasialisasi Media dan Demokratisasi Penyiaran Implementasi Sistem


Siaran Televisi Berjaringan di Indonesia”, penelitian ini menggunakan teori

Vincent Mosco untuk melihat pespektif ekonomi politik media serta

spansialisasi tersebut bertujuan untuk mengamati implementasi dan rancangan

dari sistem siaran berjaringan di Indonesia dengan mencatat pelaksanaannya

di berbagai daerah di Indonesia untuk mengemukakan tahapan-tahapan yang

dilakukan oleh media televisi hendak ingin mengetahui kepentingan ekonomi

didalamnya dan upaya untuk menciptakan demokratisasi penyiaran dari

kondisi penyiaran saat ini (Aji, 2014).

Dalam penelitian tersebut menggunakan metode kajian literatur

dengan pengamatan terhadap jurnal terdahulu dan dokumen pendukung. Hasil

jurnal penelitian adalah dapat melihat dmeokratisasi penyiaran dan

desentralisasi yang telah didegungkan sejak awal ketika disahkannya UU

Penyiaran dengan mengalami berbagai macam jalan yang dihadapi, sistem

siaran berjaringan yang menjadi amanat bagi penyelenggaraan penyiaran serta

terdapat penolakan dari industri penyiaran dengan membangun kerjasama atau

jaringan dengan televisi lokal. Laporan yang menunjukan bahwasanya

penyiaran saat ini terpusat karena implementasi televisi berjaringan

dilatarbelakangi motif-motif ekonomi dan politik. Asumsi yang berkembang

media bergerak didasari atas kepentingan ekonomi untuk mencari keuntungan,

konsep keberagaman atau diversity sendiri bertujuan untuk memecah

kepemilikan, proses-proses ini kemudian disebut demokratisasi semu karena


terbukti membahayakan cita-cita negara dengan penyiaran berasaskan

demokrasi.

Kemudian dilanjutkan dengan jurnal penelitian yang dilakukan oleh

Handirini Ardiyanti dengan judul “Konsep dan Regulasi TV Lokal dalam

Kerangka Penguatan Budaya Lokal” pada Tahun 2011. Menggunakan konsep

regulasi televisi lokal, serupa dengan jurnal sebelumnya yang menggunakan

ekonomi politik media untuk dapat mengkonstruksikan konsep lembaga

penyiaran ideal sebagai lembaga dengan kepentingan pasar atau sebagai

bagian dari public sphere, sehingga melihat sisi ekonomi sebagai market

model yang disampaikan oleh Croteau & Hoynes pada Tahun 2006 dengan

dasar kaidah permintaan-penawaran seperti logika never-ending circuit of

capital accumulation: MCM (Money – Commdities – More Money).

Dalam penelitian ini menggunakan metode kajian literatur untuk dapat

menganalisi ekonomi industri televisi melalui data kepemilikan televisi lokal

yang ada di Indonesia dengan membandingkan bentuk penyiaran termasuk

dari market model atau public sphere serta membandingkan lembaga

penyiaran komersial dengan lembaga penyiaran publik.

Temuan dari penelitian tersebut ialah konsep televisi lokal sebaik-

baiknya untuk dilakukan pertahanan atau kembali memunculkan budaya

daerah dengan muatan lokal. Kejenuhan khalayak kepada televisi komersial

sebenarnya menjadi pendukung televisi lokal mendapatkan audiens, akan

tetapi konsep program yang terkesan tidak menarik bagi audiens, kemudian
persaingan pasar yang terjadi dari jumlah khalayak yang rendah menyebabkan

perebutan iklan. Data yang didapatkan pada penelitian ini yakni Bali TV yang

dahulu hanya mengandalkan pengiklan lokal untuk dapat keuntungan, kini

telah mendapatkan iklan nasional dengan target pada waktu prime time dan

untuk tetap menjaga lokalitas media tersebut, Bali TV menolak menerima

iklan pada siaran program yang menjadi ciri khas muatan lokal.

Jurnal selanjutnya yang menjadi pendukung penelitian ini yakni jurnal

penelitian dari Rahayu dengan judul penelitian ”Ambiguitas, Inkonsistensi,

dan Pengabaian Kepentingan Lokal dalam Kebijakan Penyiaran Televisi di

Indonesia” pada Tahun 2019. Tujuan penelitian ini untuk dapat memberikan

pandangan mengenai kebijakan dan praktik media penyiaran televisi di daerah

Indonesia dengan jangka waktu era pasca-reformasi (2002-2017).

Penelitian tersebut menggunakan studi analisis dokumen regulasi

penyiaran, wawancara dengan sejumlah stakeholder daerah dan observasi

yang dilakukan pada tiga daerah Indonesia yakni Denpasar, Yogyakarta dan

Makassar. Konsep yang digunakan yakni prinsip lokalisme, kebijakan atau

aturan penyiaran daerah dan juga ekonomi politik didalamnya untuk melihat

stakeholder yang memperoleh keuntungan serta kepentingan kekuasaan sesuai

dengan teori yang disampaikan oleh Murdock & Golding, 2005 dan Mosco.

2009.

Hasil penelitian ini mendapatkan jawaban mengenai kebijakan

penyiaran di Indonesia tidak memiliki kejelasan, ketidakpastian dan


pengabaian sehingga memunculkan penyimpangan antara regulasi dengan

praktiknya. Keberadaan televisi lokal yang terancam dengan televisi-televisi

yang ada di Jakarta, berdasarkan data dari wawancara dengan Direktur

Operasional Celebes TV di Makassar yang dapatkan yakni banyak program

lokal berjaringan memiliki pasokan program yang berinduk di Jakarta serta

program yang bersiftat re-run, juga program lokal yang tidak diproduksi oleh

warga setempat. Keterbatasan ini menjadi permasalahan penyiaran lokal,

sehingga mengharuskan keberpihakan pemerintah serta regulator dapat

mendukung kebijakan tersebut untuk kelangsungan televisi lokal.

Jurnal penelitian selanjutnya dari Habib Tri Cahyanto dan Gilang

Gusti Aji, S.I.P., M,Si. yang berjudul “Problematika pada Lembaga Regulator

Penyiaran Televisi Lokal (Studi Kasus Komisi Penyiaran Indonesia Daerah

Jawa Timur) pada Tahun 2019. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

permasalahan yang dihadapi oleh KPID Jawa Timur serta bagaimana upaya

demoktatisasi penyiaran yang telah dilakukan.

Dengan menggunakan teori normatif dari McQuail untuk mendapatkan

informasi yang diperoleh dari kelembagaan, kewenangan dan program yang

dimiliki oleh KPID Jawa Timur. Konsep yang digunakan pun dengan pola

sistem siaran dari UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 serta konsep

pembentukan KPI Daerah. Pengunaan pendekatan kualitatif deskriptif teknik

pengumpulan data penelitian dengan wawancara dan analisis metode studi


kasus serta observasi pada informan penyiaran televisi seperti KPID Jawa

Timur dan aktivis dalam bidang penyiaran.

Hasil serta pembahasan penelitian ingin merujuk kepada pengawasan

isi siaran televisi lokal yang melemah, sebagai contoh tayangan yang

disiarkan oleh RCTI Jawa Timur mengenai para artis Ibu Kota Jakarta

sehingga tidak merepresentasikan masyarakat Jawa Timur itu sendiri. Namun

menurut infoman penelitian tersebut menyatakan bahwa lembaga penyiaran

nasional sangat sulit untuk berkomitmen menjaga penyiaran lokal dan

kurangnya tindakan dari regulator penyiaran dalam menindak lanjuti

pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran nasional. Selain itu

keterbatasan wewenang dalam penerbitan izin siaran sebagai syarat untuk

lembaga penyiaran daerah dapat melakukan siaran karena frekuensi milik

publik, kini sesuai dengan Peraturan No 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan

Perizinan Berusaha Terintegritas secara Elektronik dan Peraturan Meneteri

Komunikasi dan Informatika No 7 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan

Berusaha Terintegritas secara Elekronik Bidang Komunikasi dan Informatika

yang kini menyediakan cara untuk dapat mempermudah Sistem Informasi

Manajemen Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran (SIMP3) yakni aplikasi

digital untuk perizinan penyelenggaraan penyiaran atau e-penyiaran guna

untuk memangkas birokrasi yang rumit dan panjang.

Kajian terdahulu yang digunakan pada penelitian ini juga

menggunakan penelitian skripsi yang dilakukan oleh Sagita Ning Tyas dengan
judul penelitian “Konglomerasi Industri Media Penyiaran di Indonesia

Analisis Ekonomi Politik pada Group Media Nusantara Citra”. Dengan tujuan

penelitian untuk mengetahui bagaimana regulasi media penyiaran tentang

implementasi kepemilikan di Media Nusantara Citra dan bagaimana dampak

pada praktik konglomerasi yang ada dari Media Nusantara Citra terhadap

proses komodifikasi, strukturasi dan spasialisasi melalui metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah dengan jenis kualitatif dan paradigma

kritis dengan menggunakan pendekatan critical political economy untuk

melihat padangan ekonomi, sosial, politik, serta sejarah dan budaya pada

perusahaan MNC. Teori yang digunakan yakni Ekonomi Politik Media oleh

Vincent Moscow yang berkaitan dengan 3 elemen dari media dan faktor yang

mendukung proses produksi, distribusi dan konsumsi pada ranah komunikasi.

Penemuan yang didapatkan dalam riset tersebut merupakan 1)

Konglomerasi kepemilikan media di Indonesia lebih didorong oleh persaingan

dalam perebutan iklan dan efisiensi pembuatan; 2) Memandang dari

pemusatan kekuasaan lembaga penyiaran yang dicoba oleh MNC sehingga

bisa berlawanan dengan kebijakan dari pemerintah dengan tujuan buat silih

menunjang pembedahan dari tiap- tiap media; 3) Dengan kekuatan ini bisa

meminimalisir penyiaran selaku wujud sesuatu usaha pemanfaatan, yang

mana memakai media buat terintegrasi dengan pencipta produk serta nilai

yang baru; 4) Ada kritisi menimpa deregulasi media yang cenderung semacam
itu cuma hendak terus kurangi keeragaman data yang diberikan, dan buat

kurangi akuntabilitas penyedia data kepada publik (Tyas, 2010).

Penelitian serupa dari tesis yang dilakukan oleh Lisa Mardiana

dengan judul “Implementasi Kebijakan Sistem Stasiun Jaringan dalam

Industri Penyiaran Televisi di Kota Semarang”. Tujuan penelitian ini untuk

memperlihatkan adanya tarik ulur dan juga benturan kepentingan berbagai

pihak yang terlibat kebijakan serta saling mempengaruhi antara kekuatan

struktur dengan agency, sehingga pada akhirnya penerapan kebijakan Sistem

Stasiun Jaringan tidak tidak tercapainya prinsip diversity of content &

diversity of ownership atau keberagaman yang menjadi landasan yang harus

ditegakan secara teguh agar tercipta sistem persaingang sehat antar lembaga

penyiaran.

Dengan menggunakan metode penelitian studi kasus, dengan

pedekatan kualitatif untuk menyoroti tingkat masakah yang penting seperti:

tipe makro industri media dengan regulasi penyiaran di Indonesia, terdapat

dinamika ekonomi dengan perspektif politik dalam implementasi Sistem

Stasiun Jaringan serta strategi serta pengaturan media yang memiliki

kepentingan, sehingga menghasilkan data deskriptif. Subjek penelitian adalah

implementator, pembuat kebijakan dan unit penelitian lain yang mendukung

penelitian ini.

Hasil penelitian ini adalah memperlihatkan dampak yang terjadi akibat

tersentralisasinya media memandang segi politik dan informasi yang


diperoleh tidak relevan dengan kepentingan daerah. Pandangan kritis

ekonomi-politik media menjadi dasar dalam melihat penelitian ini, diperlukan

nya pendampingan dengan gerakan untuk terus mengawal pelaksanaan

kebijakan untuk upaya penyesuaian dengan koridor yang sesuai serta

mendukung regulator untuk dapat menyikapi secara tegas dalam

implemetasinya. Sejumlah televisi swasta yang melaksanakan kebijakan

media televisi berjaringan di Semarang yakni seperti Metro TV, Trans TV,

Trans 7, RCTI, SCTV, TPI (MNC), Indosiar, ANTV, Global TVdan TVONE

(Mardiana, 2011).

Penelitian yang mendukung peneliti terdapat tesis oleh Umar dengan

judul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Diversity

of Content dan Diversirty of Ownership dalam Industri Penyiaran Indonesia”,

tujuan mengetahui dengan menganalisi pengaruh pelaksanaan kebijakan

divesity of content dan diversity of ownership melalui faktor-faktor yang

mempengaruhi pengaturan industri penyiaran di Indonesia.

Dengan hasil riset ini diharapkan bisa menciptakan faktor- faktor

yangmenimbulkan penerapan kebijakan diversity of content serta diversity of

ownership yang tertuang dalam kebijakan Sistem Siaran Jaringan (SSJ) dalam

UU Penyiaran 2002 belum terlaksana cocok dengan syarat Undang- Undang

dan jadi salah satu rujukan untuk dikerjakannya perbaikan atas UU tersebut.

Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif dan

kualitatif untuk mencari jawaban dari pertanyaan mengenai kebijakan regulasi


berdasarkan teori yang digunakan untuk mengobservasi secara langsung objek

penelitian yakni isi dari Undang-Undang atas peran kebijakan dan kelompok

sasaran untuk melihat secara rill dilapangan bagaimana pendapat dari unsur

yang terlibat.

Salah satu hasil penelitian adalah sesuai analisis dan relevansinya

menggunakan tujuan penelitian, yaitu mencoba menjawab mengapa prinsip

diversity of ownership dan diversity of content belum terlaksana, maka bisa

dirumuskan beberapa kesimpulan: dari hasil analisis wawancara narasumber

dihasilkan bahwa pemahaman tentang prinsip diverstiy of ownership serta

diversity of content tidak dalam pemahaman yg relatif sama sebagai akibatnya

memunculkan perdebatan serta ketidaksesuaian tindakan para regulator serta

sasaran kebijakan menggunakan arahkebijakan itu sendiri. Dari dimensi aspek

teknis, terdapat beberapa komponen yang menjadi hambatan dan penghambat

dalam proses implementasi yaitu; infrastruktur, SDM (Sumber Daya

Manusia), kapital, pembiayaan, proses perijinan, teknologi pendukung serta

perangkat-perangkat aturan yang artinya turunan dari Undang-undang yaitu

PP (Peraturan Pemerintah), Permen (Peraturan Menteri), P3SPS (Pedoman

Perilaku Penyiaran serta Standar Program Siaran). Hambatan yg berasal

berasal komponen-komponen teknis ini yg mengakibatkan baik regulator

penyiaran dan lembaga penyiaran swasta mengalami hambatan dalam

mengimplementasikan kebijakan penyiaran (Umar, 2012).


Setelah mengkaji literatur terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa

keterkaitan penelitian dengan literatur sebelumnya. Melihat permasalahan

yang sama mengenai ekonomi politik media dari industri media penyiaran di

Indonesia, serta serta media penyiaran lokal yang berdinamika juga dengan

problematika sistem penyiaran lokal terutama di DKI Jakarta. Namun,

permasalahan yang terjadi pada media penyiaran lokal belum lah

mendapatkan solusi yang terbaik, karna kontrol oligarki dari pemerintah atas

industri penyiaran semakin menjadi. Menanggapi hal tersebut peneliti

semakin tertarik untuk mengetahui bagaimana implementasi Undang-Undang

No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada bagian penyiaran lokal, serta

tanggapan KPID DKI Jakarta mengenai media penyiaran lokal yang berada di

daerah DKI Jakarta dan tanggapan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia atas

permasalahan yang ada serta bagaimana tanggapan dan harapan kedepannya.

5. Proposisi Penelitian

Penelitian ini memiliki dugaan sementara berdasarkan latar belakang

masalah yang dipaparkan dan berdasarkan telaah kajian pustaka. Peneliti

melihat bahwa masih terdapat permasalahan mengenai media penyiaran

Indonesia terutama pada daerah DKI Jakarta dari berbagai aspek, terutama

pada demokrasi penyiaran yang menggunakan prinsip Diversity of Content &

Diversity of Ownership, dikarenakan mendukung adanya keberagaman

kepemilikan dan konten terutama bagi media penyiaran lokal untuk diberikan
ruang berkembang dan menjadi besar diantara keterpusataan kepemilikan atau

sentris dari konten televisi nasional yang berdampak pada pandangan publik

serta produk media yang tidak beragam mengancam opini publik. Hal ini

menjadi menarik untuk menggunakan komponen yang ada di dalam teori dan

konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Sehingga peneliti dapat

mengetahui permasalahan lainnya terkait dengan dengan problematika media

penyiaran lokal dengan menggunakan perspektif daerah DKI Jakarta dan

demokratisasi penyiaran dan dalam penyelesaian permasalahan yang ada.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Paradigma Penelitian

Penelitian memerlukan pandangan atau paradigma dengan acara

melihat cara seseorang dalam melihat dan memandang pokok masalah yang

bersifat fundamental dan berguna untuk memahami ilmu atau keyakinan

dasar. Paradigma merupakan bagian dari kerangka penyusunan umum, dalam

bentuk teori penelitian yang mencangkup asumsi dasar, persoalan inti dengan

model penelitian yang sehingga dapat menjawab penelitian (Neuman, 2016, p.

56). Tanpa adanya paradigma, maka akan sulit untuk menyusun kerangka dari

penelitian sebagaimana yang akan membawa untuk menemukan suatu

masalah dan kemudian menemukan jawaban dari penelitian tersebut.

Paradigma merupakan asumsi dasar yang dibutuhkan sebagai bukti

pendukung untuk asumsi yang ditegakan dalam penggambaran interpretasi

terhadap sebuah realita. Sehingga jenis paradigma yang sesuai dengan

penelitian ini adalah paradigma kritis.

Pendekatan atau paradigma dengan jenis kritis dapat melihat secara

luas dan tidak hanya pada level tersebut, serta selalu mengeksplor bagian

lainnya yang tidak memiliki peran dalam sebuah peristiwa. Menurut

Littlejohn & Fos, teori dari pandangan kritis yang bersifat normatif sehingga
bertindak agar mendapatkan pencapaian perubahan dalam kondisi yang dapat

mempengaruhi khalayak, serta ilmu sosial kritis terdapat banyak keragaman

tradisi, antara lain terdapat 3 (tiga) yakni (Littlejohn & Foss, 2011, pp. 68-

69) :

1. Tradisi memahami dan mencoba bentuk sistem yang telah

dianggap sesuai dengan stuktur kekuatan dan keyakinan pada

ideologi yang mendominasi dalam masyarakat, dengan pandangan

minat-minat yang diberikan oleh struktur kekuatan tersebut.

2. Seorang ahli teori kritis yang tertarik kepada kondisi sosial yang

pada umumnya dapat terlihat seperti menindas dan rangkaian

kekuatan untuk dapat menyampaikan kepada masyarakat mengenai

emansipasi atau yang lebih bebas dan berkecukupan. Dengan dapat

memahami bagaimana kaum yang tertindas atau bertujuan untuk

dapat memahami penghapusan ilusi dari ideologi dan bertindak

sebagai upaya untuk mengatasi kekuatan dari penindas.

3. Menciptakan bentuk kesadaran untuk menjadi penghubung dari

teori juga tindakan.

Pada penelitian ini ingin memaparkan Problematika Media Penyiaran

Lokal Indonesia dari Perspektif Media Lokal DKI Jakarta. Penggunaan

paradigma kritis untuk dapat menelaah secara mendalam mengenai

permasalahan melalui sudut padangan aktor dan regulator penyiaran lokal


untuk dapat menjawab pertanyaan yang muncul dalam rumusan masalah

penelitian.

B. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sebagai cara untuk

peneliti dapat mengetahui cara objek penelitian dan berupaya untuk

memahami fenomena permasalahan yang diangkat. Kualitatif yakni

pendekatan yang berusaha untuk membangun arti mengenai suatu fenomena

berdasarkan pandangan dari para partisipan (Creswell, 2016, p. 24). Penelitian

dengan fokus kualitatif berguna untuk memerhatikan ragam metode yang

mencakup pendekatan interpretatif dan naturalistik pada subjek kajian yang

akan dilakukan.

Melalui pendekatan kualitatif, peneliti dapat mengetahui permasalahan

dari media penyiaran Indonesia serta memahami apa yang sebenarnya terjadi,

sehingga hasil penelitian kemudian menjadi relevan dengan solusi

kedepannya. Pada penelitian ini menggunakan metode wawancara dengan

narasumber untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan pertanyaan dan

menemukan permasalahan yang ada.


C. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskritif. Penelitian

deskriptif adalah jenis penelitian yang dilakukan untuk mengumpulkan data

sebagai jawaban dari proposisi penelitian yang menjadi status subjek

penelitian. Dengan demikian alasan penelitian ini menggunakan penelitian

deskriptif, karena peneliti mendapatkan solusi dari permasalahan media

penyiaran Indonesia, terkhusus pada daerah DKI Jakarta agar mendapatkan

jawaban yang aktual untuk masyarakat melalui pengumpulan data. Data yang

dikumpulkan harus dapat dijelaskan dan dianalisis untuk dapat menjadi solusi

penyiaran kedepannya.

D. Unit Analisis

Unit analisis tentu harus sesuai dengan masalah yang sedang diteliti.

Ketika melakukan studi penelitian, peneliti harus menyesuaikan konsep

terhadap jenis unit tertentu yang akan di analisis, dengan memperkirakan

partisipan penelitian ini terdiri dari satu individu atau lebih (Creswell, 2016, p.

192).

Penelitian mengacu pada tujuan penelitian, dari unit analisis penelitian

ini aktor penyiaran lokal yakni Asosiasi Televisi Lokal Indonesia dan

regulator penyiaran daerah yakni KPI Daerah DKI Jakarta untuk dapat
memberikan gambaran kondisi penyiaran lokal saat ini, permasalahan saat ini,

serta harapan kedepannya mengenai penyiaran lokal.

E. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian merupakan langkah yang dilakukan

dalam penelitian dan bertujuan untuk mendapatkan data penelitian yang akan

dipergunakan untuk memperkuat hasil penelitian. Data yang diperoleh berasal

dari berbagai bentuk seperti wawancara mendalam, observasi partisipasi,

analisis dokumen dan catatan penelitian sebelumnya juga analisis media yang

ada (Bungin, 2007, p. 173).

1. Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpukan data yang

mengajukan pertanyaan langsung kepada informan. Wawancara

merupakan sebuah rangkaian langkah prosedur dalam memaparkan

rangkaian tahap yang logis dimulai dari menggunakan pedoman

wawancara (interview guide) untuk mengetahui masalah yang tidak

dapat diobservasi melalui dokumen, kemudian hasil wawancara atau

jawaban informan dicatat atau direkam dengan alat perekam (Moloeng,

2014, p. 186). Pada penelitian ini dilakukan wawancara untuk

mendapatkan data primer dan sekunder pada Asosiasi Televisi Lokal


Indonesia dan KPI Daerah DKI Jakarta, wawancara tersebut dilakukan

untuk dapat memperoleh data yang kredibel dan peneliti dapat

menemukan hasil yang dibutuhkan. Wawancara mendalam kepada

informan untuk mengetahui permasalahan dari sisi regulator dan aktor

penyiaran lokal.

2. Dokumen

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang telah lalu, data yang

diperoleh dalam bentuk buku, arsip, tulisan angka, dan gambar yang

berupa tulisan, rekaman atau lainnya untuk memberikan keterangan

pendukung penelitian (Sugiyono, 2014, p. 233). Penelitian ini

menggunakan dokumen yang mendukung seperti Undang-Undang Dasar

1945, UU Penyiaran No 32 Tahun 2002, portal berita berita, media

analisis melalui buku, jurnal dan penelitian terdahulu guna sebagai

penunjang data penelitian.

F. Instrumen Penelitian

Peneliti menjadi instrumen penelitian kualitatif yang dilakukan.

Instrumen penelitian berguna untuk pengukur fenomena yang terjadi baik

alam ataupun sosial yang dianalisis sehingga disebut sebagai variabel

penelitian (Sugiyono, 2014, p. 102). Dijelaskan bahwa instrumen penelitian


berguna untuk membantu peneliti dengan menggunakan wawancara agar

mempermudah dalam melakukan wawancara.

Instrumen penelitian untuk menginterpretasi data dan fakta dilapangan

sesuai dengan konsep penelitian seperti ekonomi politik media, media

penyiaran Indonesia khususnya penyiaran lokal, kajian terdahulu dan sumber

lainnya. Konsep yang diturunkan menjadi instrumen wawancara yang

digunakan peneliti sebagai pedoman wawancara.

G. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan kegiatan yang penting dalam penelitian.

Teknik analisis data dengan mengumpulkan data yang akan membantu

peneliti untuk menemukan arah temuan ilmiah, dengan menyiapkan dan

mengkoordinir data yakni teks atau transkrip, data gambar seperti foto atau

grafik untuk selanjutnya dianalisis dan direduksi melalui proses coding dan

terakhir dengan menyajikan data dalam bentuk bagan, tabel atau pembahasan

(Creswell, 2016, p. 251).

Analisis merujuk pada konsep dan dimensi yang telah dibentuk pada

instrumen penelitian dan wawancara, kajian terdahulu serta indikator yang

diturunkan menjadi pertanyaan dalam wawancara. Sesuai dengan jenis

penelitian, maka peneliti menggunakan ekonomi politik media sebagai


pandangan untuk melihat hasil penelitian. Data kualitatif yang telah diperoleh

dianalisis dan dioleh menjadi data yang valid sesuai dengan Analysis

Interactive Model dari Miles dan Huberman 1984, menurut langkah-langkah

berikut:

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Penelitian ini dengan mengumpulkan informasi yang

pentinng dan berhubungan dengan masalah penelitian dan sesuai

dengan topik permasalahan. Proses membangun latar belakang

masalah, melihat problematika penyiaran media lokal di

Indonesia terutama di DKI Jakarta. Pada perumusan masalah dan

tujuan penelitian, memutuskan untuk melihat bagaimana

permasalahan penyiaran lokal Indonesia dengan perspektif media

penyiaran lokal DKI Jakarta.

Kemudian pencarian teori & konsep yang menjawab

pertanyaan penelitian yang diajukan. Pemilihan konsep dilakukan

bersamaan dengan menentukan metodologi penelitian. Peneliti

menyusun pedoman wawancara agar pertanyaan kepada informan

dapat menghasilkan jawaban yang terstruktur.

Penyusunan temuan dan hasil penelitian disusun

berdasarkan hasill wawancara dan kajian dokumen, yang


bertujuan untuk menentukan pembaharuan data penelitian

sehingga mendapatkan hasil penelitian dan menyusun

kesimpulan.

2. Penyajian Data (Data Display)

Tahapan ini dilakukan setelah data rampung secara

sistematis sehingga lebih mudah untuk melihat komponen

permasalahan. Dalam penelitian kualitatif dengan menguraikan

secara singkat bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan

sejenisnya. Akan tetapi paling sering ditemui dalam bentuk teks

yang bersifat naratif (Sugiyono, 2014, p. 186).

3. Penarikan Kesimpulan

Kesimpulan pada penelitian kualitatif berisikan teks

deskripsi dan gambar mengenai suatu objek penelitian yang

belum jelas menjadi tersusun berdasarkan hubungan klausan atau

interaktif, hipotesis atau teori dengan triangulasi sumber agar

mendapatkan hasil yang dipercaya.

H. Pengecekan Keabsahan Temuan

Pengecekan keabsahan temuan dalam penelitian ini menggunakan

triangulasi sumber data informasi. Sebelum melakukan sebuah analisis data


yang ada di awali dengan melakukan pengecekan keabsahan data terlebih

dahulu. Analisis kualitatif sering mempertanyakan dan diragukan hasilnya,

dengan menggunakan triangulasi data untuk mengumpulkan sumber agar hasil

wawancara, etnografi digital, dan dokumentasi dapat dianalisi secara

keseluruhan (Creswell, 2016, p. 282).

Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagao

pengecekan data dari sumber yang ada dengan berbagai cara dan berbagai

waktu. Terdapat 3 bentuk triangulasi:

1. Triangulasi Sumber, digunakan untuk menguji kredibilitas data

yang diperoleh melalui beberapa sumber yang ada.

2. Triangulasi Teknik, digunakan untuk menguji kredibilitas data

dengan cara pengecekan data kepada sumber yang sama dengan

teknik yang berbeda.

3. Triangulasi Waktu, dilakukan dengan menentukan waktu

wawancara seperti memilih waktu dipagi hari ketika narasumber

masih segar sehingga belum banyak yang dilewati agar

memberikan data yang valid dan kredibel hasilnya.

Dari penjelasan diatas, peneliti menggunakan triangulasi sumber yang

peneliti dapatkan melalui observasi dan wawancara dengan key informan,

triangulasi teknik melalui pengecekan data pendukung seperti data publikasi


dari pemerintah atau aturan yang dikeluarkan sesuai dengan konsep

penelitian. Asosiasi Televisi Lokal Indonesia dan Komisi Penyiaran Indonesia

Daerah DKI Jakarta menjadi triangulasi sumber untuk megetahui

permasalahan penyiaran Indonesia khususnya daerah DKI Jakarta sesuai

dengan konsep demokratisasi penyiaran. Metode ini diharapkan dapat

menjawab pertanyaan penelitian berdasarkan sudut pandang sehingga

mendapatkan jawaban yang ideal.


BAB IV

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Objek Penelitian

1. Profil Komisi Penyiaran Indonesia Daerah DKI Jakarta

Gambar 4 1 Logo KPID DKI Jakarta


Sumber: https://twitter.com/kpidjakarta

Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI adalah lembaga

independen yang dibentuk setelah masa Reformasi 98 dan mulai pada

tahun 2002. Pembentukan sesuai dengan Undang-Undang (UU)

Penyiaran No 32 Tahun 2002 dengan definisi dari Sistem Penyiaran

yang merupakan ranah publik, sehingga harus dikelola oleh badan

independen yang bebas dari campuran tangan pemodal maupun

kepentingan kekuasaan. Sedangkan UU terdahulu yakni UU/24 Tahun

1997 pada Pasal 7 mengatakan bahwasanya “Penyiaran dikuasai oleh


negara, pembinaan dan pengendalian pun dilakukan oleh

pemerintah”, sebesar-besarnya bagi kepentingan publik artinya adalah

media yang baik harus menjalankan fungsi pelayanan informasi yang

sehat (Rahayu D. , 2010). KPI yang dibentuk pada pasca Reformasi

1998 memiliki harapan menjadi lembaga penyiaran yang berbeda

seiring dengan semangat perubahan dan demokrasi. Proses

demokratisasi menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali

utama ranah penyiaran. Hal ini disebabkan oleh frekuensi yang

merupakan kepemilikan publik dan sifatnya terbatas sehingga sebaik-

baiknya digunakan untuk kepentingan rakyat. Pada website KPI pun

mengatakan bahwa penyiaran harus menjalankan fungsi pelayanan

informasi publik yang sehat, baik yang berupa berita, hiburan dan

lainnya.

Fungsi pelayanan informasi dengan iklim yang sehat

disampaikan dalam UU/32 Penyiaran Tahun 2002, yakni Diversity of

Content (Prinsip Keberagaman Isi) dan Diversity of Ownership

(Prinsip Keberagaman Kepemilikan). Kedua prinsip inilah yang

konon, menjadi dasar bagi setiap kebijakan KPI, pada jurnal Lembaga-

Lembaga Independen karya Laurensius Arliman Simbolon

mengatakan bahwa dalam memberikan sanksi terhadap pelanggaran

peraturan mengacu kepada Pedoman Perilaku Penyaran serta Standar


Proggram Siaran (Simbolon, 2019). KPI memiliki tugas untuk

berhubungan langsung dengan masyarakat dalam menampung dan

menindaklanjuti segala bentuk apresiasi atau aduan publik terhadap

lembaga penyiaran maupun dunia penyiaran pada umumnya.

Komisi Penyiaran Indonesia terbagi menjadi dua, yakni KPI

Pusat dan KPI Daerah. KPI Pusat dipilih langsung oleh DPR dan

untuk KPI Daerah dipilih oleh DPRD, serta keanggotaanya tidak boleh

terkait dengan kepemilikan media massa dan juga bukan wakil dari

partai politik (Raditya, 2019). Kedudukan lembaga KPI yang ditinjau

dari segi hukum pun dan politik, miliki posisi yang kedudukannya

sebagai lembaga bantu negara atau state auxialiary bodies yang

sekiranya dapat disetarakan dengan kedudukan KPI. Namun, dengan

regulasi yang berbeda sesuai dengan fungsi, KPI Pusat melakukan

penyusunan dan penetapan untuk Lembaga Penyiaran Televis dan

Radio Nasional dan KPI Daerah melakukan pengawasan, pengaduan

dan penjatuhan sanksi kepada Lembaga Penyiaran Televisi dan Radio

Lokal. Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU Penyiaran 32/2002, berikut

fungsi KPI dan wewenang:

1. Menetapkan Standar Program Siaran;


2. Menyusun peraturan dan menetapkan Pedoman Perilaku

Penyiaran (diusulkan oleh Asosiasi/Masyarakt Penyiaran kepada

KPI);

3. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan Pedoman Perilaku

Penyiaran serta Standar Program Siaran;

4. Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintahan,

Lembaga Penyiaran dan Masyarakat;

Kemudian, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah juga tersebar

pada tingkat Provinsi, data yang ada pada saat ini KPI Daerah telah

terbentuk pada 32 Provinsi. Dalam menjalankan fungsi, tugas,

wewenang dan kewajibannya sebagaimana disebutkan dalam pasal-

pasal UU Penyiaran 32/2002, berikut yakni:

1. Pasal 7 ayat (2), bahwa KPI Daerah diawasi oleh DPRD Provinsi;

2. Pasal 9 ayat (1), mengenai keanggoataan KPI Daerah berjumlah 7

(tujuh);

3. Pasal 9 ayat (2), mengenai pemilihan ketua dan wakil KPID yang

dipilih dari anggota dan dengan masa jabatan 3 (tiga) tahun dan

dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan

selanjutnya.

Lingkup kerja KPI Daerah yakni dengan subjek Lembaga

Penyiaran Lokal, berkoordinasi dengan KPI Pusat serta Pemerintahan


Daerah dan KOMINFO untuk membagi tugas dalam Penyiaran

Indonesia. Pendanaan yang digunakan berupa APBD dan pertanggung

jawabannya di laporan kepada Gubernur Provinsi dan dalam

pengawasan serta laporan akhir kepada DPRD.

KPI dan KPI Daerah memiliki Visi dan Misi dalam

melaksanakan penyiaran Indonesia yang lebih baik, berikut visi dan

misi dari Komisi Penyiaran Indonesia:

Visi

Terwujudnya sistem penyiaran nasional yang berkeadilan dan

bermartabat untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi

kesejahteraan masyarakat.

Misi

a) Membangun dan memelihara tatanan informasi nasional yang

adil, merata dan seimbang, membantu mewujudkan

insfrastruktur bidang penyiaran yang tertib dan teratur, serta

arus informasi yang harmonis antara pusat dan daerah, antar

wilayah Indonesia, juga antar Indonesia dan Internasional.

b) Membangun iklim persaingan usaha dibidang penyiaran yang

sehat dan bermartabat.


c) Mewujudkan program siaran yang sehat, cerdas dan

berkualitas untuk pembentukan intelektual, watak, moral

kemauan bangsa, persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan

nilai-nilai dalam budaya Indonesia.

d) Menetapkan perencanaan dan pengaturan serta

pengembangan SDM yang menjamin profesionalitas

penyiaran.

Struktur KPI Daerah terdiri dari Ketua KPID, Wakil Ketua

KPID, dan Anggota KPID yang ditetapkan pada rapat pleno.

Keanggotaan KPID mempunyai bidang dan tugas masing-masing

sesuai dengan Peraturan Komisi Indonesia Nomor: 01/P/KPI/07/2014

tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran yang terdapat pada Pasal 4

ayat (1-4) mengenai Perbidangan KPID yang terdiri atas:

1. Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran

menyelenggarakan koordinasi, mengawasi dan mengevaluasi

program dan kegiatan Lembaga Penyiaran, seperti:

a) Perizinan lembaga penyiaran sesuai peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

b) Yang berkaitan dengan peminjaman kesempatan

masyarakat memperoleh informasi yang layak dan benar

sesuai dengan hak asasi manusia;


c) Yang berkaitan dengan pengaturan infrastruktur penyiaran;

dan

d) Pembangunan iklim persaingan yang sehat antar lembaga

penyiaran dan industri terkait.

2. Bidang Pengawasan Isi Penyiaran yang menyelenggarakan

koordinasi, mengawasi dan mengevaluasi program dan kegiatan,

seperti:

a) Penyusunan pengaturan dan keputusan KPI yang

menyangkut isi penyiaran;

b) Pengawasan pelaksanaan dan penegakkan peraturan KPI

menyangkut isi penyiaran;

c) Pemeliharaan tatanan informasi nasional yang adil, merata

dan seimbang; dan

d) Menampung, meneliti dan menindaklanjuti aduan,

sanggahan, kritik dan apresiasi masyarakat terhadap

penyelenggaraan penyiaran.

3. Bidang Kelembagaan menyelenggarana koordinasi, mengawasi

dan mengevaluasi program dan kegiatan, seperti:

a) Penyusunan, pengelolaan dan pengembangan Lembaga

KPI;

b) Penyusunan peraturan dan keputusan KPI yang berkaitan

dengan kelembagaan;
c) Kerjasama dengan Pemerintah, Lembaga Penyiaran dan

Masyarakat, serta pihak-pihak Internasional; dan

d) Perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang

profesional dibidang penyiaran.

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah DKI Jakarta berdiri pada

Tahun 2011 melalui Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta

No 544 dengan dilantik langsung oleh Gubernur Provinsi, berikut

kepengurusan KPID DKI Jakarta tahun 2018-2021 yang terdiri dari:

Ketua
Kawiyan

Koor B. Isi Siaran Koor B. Koor B.


Wakil Ketua
Puji Hartono Kelembagaan Insfrastruktur
Rizky Wahyuni
Muhammad Said dan Perizinan
Tri Andri
Supriyadi
Anggota Koor B.
Isi Siaran
Arif Faturrahman Anggota Koor B.
Insfrastruktur dan
Perizinan
Thomas Bambang
Pamungkas

Gambar 4 2 Struktur Kepengurusan KPID DKI Jakarta


Sumber : Brosur KPID DKI Jakarta
2. Profil Asosiasi Televisi Lokal Indonesia

Gambar 4 3 Logo Asosiasi Televisi Lokal Indonesia


Sumber: atvli.co.id

Asosiasi Televisi Lokal Indonesia merupakan organisasi yang

berisikan stasiun-stasiun televisi lokal di Indonesia. Hadir pada tahun

2002 seiringan dengan diberlakukannya Undang-Undang Penyiaran

No 32 Tahun 2002, memberikan payung hukum kepada Lembaga

Penyiaran Lokal sesuai dengan demokratisasi bagi penyiaran di

Indonesia. Perjuangan penyiaran lokal dalam meraih impian untuk

dapat diakui dan berjalan dengan perlindungan dari negara untuk

penyiarannya tidaklah mudah karena Rancangan Peraturan Pemerintah

yang berpotensi untuk memberikan batasan untuk penyiaran lokal.

KPI yang memiliki wewenang untuk dapat mengawasi

penyiaran lokal terbatas dengan kewenangan pemerintah daerah,

terlebih melihat kembali pada zaman Orde Baru dimana penyiaran


belum mendapatkan kebebasannya. Belenggu penyiaran pada

pemerintahan lalu masih memberikan dampak pada berjalannya

otonomi daerah yang, terlebih kepada penyiaran lokal yang berawal

dari lembaga penyiaran komunitas daerah.

Namun, Asosiasi Televisi Lokal Indonesia sendiri berdiri pada

26 Juli 2002 yang disingkat menjadi ATVLI mendeklarasikan

pembentukannya di Bali dan menjadi wadah untuk jangkauan lokal

dalam satu Provinsi atau Kota untuk mewujudkan semangat otonomi

daerah demi persatuan Indonesia, pada tahun 2002 terdiri televisi lokal

yakni Bali TV, Riau TV, JTV-Surabaya, TV Papua, Lombok TV, EMU

TV-Maluku Utara, dan Deli TV. Kemudian pada tahun 2005

bertambah menjadi 18 (delapan belas) stasiun televisi lokal komersial

yakni bertambah menjadi Batam TV, SriJunjungan TV-Bengkalis,

Jogja TV, JAKTV-Jakarta, TV Borobudur-Semarang, Publik

Khatulistiwa TV-Bontang, TV Gorontalo, TV Manado, Terang Abadi

TV-Surakarta, Makassar TV, Bandung TV, O Channel-Jakarta, Cahaya

TV-Banten, dan Space Toon TV-Jakarta (ATVLI, 2018). Kini ATVLI

bertempat di Jakarta bertujuan untuk mempermudah koordinasi

anggota dalam urusan birokrasi.

Tugas Asosiasi Televisi Lokal Indonesia untuk menjalankan

program kerja ATVLI seperti advokasi media, membangun kemitraan


dengan semua pihak, mensosialisasikan anggota baik untuk

kepentingan bisnis maupun non bisnis dan beberapa program lainnya.

Komitmen yang diberikan oleh ATVLI dalam mewujudkan proses

demokratisasi melalui televisi lokal dan masyarakat untuk dapat

bermitra dengan semua pihak demi menghormati pluralisme sebagai

langkah penyiaran lebih baik.

Semangat dalam prinsip desentralisasi menjadi bagian dari

pembentuk Asosiasi Televisi Lokal Indonesia untuk mencapai

dukungan kepada penyelenggaraan penyiaran di daerah dan

mempertahankan aset nasional atau budaya lokal Indonesia. Sesuai

dengan UUD 1945 Pasal 28F yang mengatakan bahwa hak dalam

berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan

pribadi dan lingkungan sosialnya dan berhak untuk mencari,

memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan

informasi dengan menggunakan segala saluran yang tersedia bagi

semua rakyat Indonesia untuk mewujudukan Otonomi Daerah yang

Bermartabat dengan mendukung Media Televisi Lokal.

Visi
Terwujudnya spirit otonomi daerah yang bermartabat di Indonesia
bersama media televisi lokal.
Misi
a. Memenuhi hak asasi manusia dalam memperolah informasi

untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta

berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,

mengolah dan menyampaikan informasi.

b. Menjadikan media televisi lokal sebagai penunjang dalam

upaya menggali nilai budaya pendidikan, sosial

kemasyarakatan, agama, ekonomi, teknologi dan demokratisasi

di semua bidang, dalam rangka pemerataan pembangunan di

seluruh Indonesia.

Kepengurusan dari Asosiasi Televisi Lokal Indonesia, periode yang

tercantum 2018-2020 sebagai berikut:

Gambar 4 4 Kepengurusan ATVLI


Sumber: atvli.co.id
3. Profil Asosiasi Siaran Televisi Digital Indonesia

Gambar 4 5 Logo Asosiasi Siaran Televisi Digital Indonesia


Sumber: bisnis.tempo.co

Asosiasi yang menjadi wadah bagi media penyiaran digital

yang dibentuk pada konferensi di Jawa Barat Tahun 2015 dan terdiri

dari 65 anggota diantaranya Inspira TV, Tempo TV, Persada TV dan

Nusantara TV. Diketuai oleh Eris Munandar, pembentukan asosiasi ini

mendukung era konvergensi dengan semakin berkembangnya

teknologi dan digitalisasi terutama pada industri penyiaran. Dukungan

ini semakin kuat dengan adanya pengesahan UU Cipta Kerja yang

berisikan mengenai pemberhentian siaran analog menuju siaran digital

dengan turunan Permenkominfo No 6 Tahun 2021. Sistem penyiaran

ini memiliki harapan besar untuk memberdayakan keberagaman

konten dari televisi melalui ranah digital dan mendukung masyarakat


menjadi bagian dari penyiaran Indonesia yang merata juga

memperkecil adanya pasar monopoli penyiaran digital selanjutnya.

Mulai dari tahun 2022, migrasi dari televisi analog pada

televisi digital hal ini disebut dengan Analog Switch Off yang

tahapannya sejak 30 April 2022. Lembaga Penyiaran baik Swasta,

Lembaga Penyiaran Lokal dan Lembaga Penyiaran Swasta

mengharuskan perubahan siaran televisi sesuai dengan UU Cipta Kerja

11/2020 Pasal 72 Ayat 8 untuk menyelesaikan penyiaran analog paling

lambag pada November 2022. Pada website

https://siarandigital.kominfo.go.id/ memuat keterangan dan informasi

mengenai siaran digital dan wilayah atau jadwal di berlakukannya

Analog Switch Off secara berkala di beberapa daerah.

Gambar 4 6 Poster Himbauan Analog Switch Off


Sumber: https://siarandigital.kominfo.go.id/
Permberlakuan Analog Switch Off kemudian akan disebar

luaskan Set Top Box pada Televisi Analog untuk menyiarakan siaran

TV Digital kepada masyarakat melalui pemerintah daerah dan

informasi lebih lanjut mengenai perangkat Set Top Box bisa diakses

seacara online melalui https://siarandigital.kominfo.go.id/.

B. Temuan Penelitian

Penelitian ini mendapatkan temuan yang didapatkan dari pengelolaan

data serta teknik wawancara yang dilakukan semi terstruktur, serta

dokumentasi oleh peneliti. Wawancara semi terstuktur dilakukan untuk

memahami permasalahan penelitian yang terjadi ini menurut sudut pandang

informan. Data yang dihimpun berdasarkan dokumantasi penelitian terkait

Problematika Media Penyiaran Lokal Indonesia berdasarkan perspektif Media

Penyiaran Lokal DKI Jakarta dengan proses wawancara melalui regulator

penyiaran yakni Komisi Penyiaran Indonesia Daerah DKI Jakarta dan aktor

penyiaran yakni Asosisasi Televisi Lokal Indonesia dan Asosiasi Siaran

Televisi Digital Indonesia sebagai informan penelitian ini.

Temuan yang didapatkan oleh peneliti terdapat beberapa permasalahan

pelaksanaan penyiaran di Indonesia dengan menggunakan pespektif prinsip

demokratisasi penyiaran yakni keberagaman konten & keberagaman

kepemilikan. Menggunakan evaluasi struktur pasar menurut Albarran, berikut:


1. Teknologi & Diversifikasi Penyiaran dalam Demoktratisasi Penyiaran

Beratnya persaingan industri penyiaran saat ini dengan semakin

berkembangnya era penyiaran baru menyebabkan berbagai masalah yang

timbul dalam penyiaran di Indonesia. Tidak luput dalam struktur pasar

penyelenggaraan penyiaran dimana ada tekanan dari berbagai aktor

penyiaraan, regulator dan stakeholder yang bermain dalam ranah

penyelenggaraan penyiaran. Dalam upaya memperoleh perhatian dari

khalayak, penyelenggara penyiaran melakukan berbagai upaya untuk

mendapatkan untungan dan memenangkan persaingan. Sehingga strategi

pasar penyiaran terdapat diversifikasi yang bisa dilakukan, baik dalam

usaha ataupun tayangan untuk mendapatkan perhatian masyarakat.

Diversifikasi usaha & tayangan dilakukan seperti ekspansi usaha

atau memperluas usaha dalam pasar bisnis dan meningkatkan upaya untuk

memingkatkan nilai perusahaan dengan membeli atau mengakuisisi format

baru atau diluar dari format bisnis saat ini (Lukman, 2014, p. 6). Evaluasi

struktur pasar ini dapat mempengaruhi prinsip demokratisasi penyiaran

yang menjadi semangat baru penyiaran Indonesia sejak Undang-Undang

Penyiaran No 32 Tahun 2002 diberlakukan.

Pada temuan kajian terdahulu, terdapat contoh permasalahan yang

dihadapi oleh televisi lokal di Jawa Timur dalam menghadapi era

teknologi digital dengan strategi diversifikasi untuk melampaui

keterbatasan serta kemampuan produksi tayangan agar produk tayanganya


dapat bersaing dengan penyiaran lain, melalui jurnal yang berjudul

“Strategi Diversifikasi Bisnis Televisi Lokal Melalui Platform Digital

(Studi Kasus pada SBO TV)” yang dianalisis oleh Anziza Ismaqurotin &

Gilang Gusri Aji S.I.P., M.Si. Dalam jurnal tersebut menjelaskan bahwa

diversifikasi merupakan pengembangan bisnis yang dapat digunakan oleh

penyiaran saat ini dengan digital market place agar posisi televisi lokal

dapat bertahan seperti SBO TV yang membuat Cuatcuit.com sebagai

televisi bisnis belanja dan dapat mengakses berita, informasi dan transaksi

secara online agar mendapatkan perhatian khalayak sebagai televisi lokal

yang berbeda (Anziza & Gilang, 2012).

“Karena pusat bisnis di Jakarta, nah itu sebetulnya ada yang fail
disini, harusnya gak apa-apa bisnisnya di garap disini tapi
insftrastrukurnya di daerah harus di jaga, sehingga kesetaraan tadi
diversity of content itu dapet lain-lainnya itu loh” (Bambang Santoso-
ATVLI, 15 Juni 2022)

Di saat ini, Jakarta sebagai pusat bisnis yang menjanjikan bagi

industri penyiaran menjadikan persaingan semakin ketat dan berat terlebih

untuk lembaga penyiaran lokal untuk memproduksi konten lokal

daerahnya menjadikan sebuah tantangan dalam tetap pada prinsip

demokratisasi penyiaran. Stasiun televisi lokal daerah menjadi

berbenturan dengan keadaan untuk tetap bertahan hidup diantara derasnya

arus penyiaran televisi lokal yang bersiaran berjaringan untuk mencari

keuntungan dari pengiklan. Hal ini juga akhirnya mendukung televisi


lokal daerah melakukan afiliasi dengan sejumlah pemilik media besar di

Indonesia.

“Kaya SCTV itu kan migrasi dari Surabaya, TV Lokal Surabaya


pindah ke Jakarta, Indosiar tuh TV Lokal di Semarang pindah ke Jakarta,
ANTV itu Andalas TV itu di Lampung pindah ke Jakarta. Jadi dulu ada
beberapa, saya lihat dulu semangatnya harusnya supaya beberapa daerah
nongol menjadi apa kekuatan TV TV di daerah tapi kemudian berubah ya
di cemplungin semua ke Jakarta.” (Bambang Santoso-ATVLI, 15 Juni
2022)

Perpindahan lembaga penyiaran tersebut dipengaruhi oleh kondisi

pasar penyiaran yang ada di Jakarta, sehingga melihat peluang besar untuk

mendapatkan keuntungan. Menanggapi permasalahan yang terjadi,

regulator penyiaran yakni KPID DKI Jakarta menyampaikan pendapatnya

mengenai diversifikasi usaha & tayangan yang dilakukan oleh lembaga

penyiaran dengan melalukan terguran yang dapat berupa sanksi panggilan.

Jika lembaga penyiaran kedapatan melakukan hal tersebut dan tetap

melanggar akan dilakukan pemberhentian tayangan atau usaha.

Namun pada kenyataanya, diversifikasi tayangan ini membuka

peluang lembaga penyiaran untuk memproduksi tayangan yang serupa

akan tetapi berbeda nama program saja. Seperti yang disampaikan oleh

Komisioner KPID DKI Jakarta yakni Tri Andri dalam kesempatan

wawancara penelitian ini.

“Kaya contoh, ada acara Empat Mata nanti muncul lagi Bukan
Empat Mata dengan konsep yang sama, kalo Bukan Empat Mata di tegur
lagi harus diganti lagi, dalam tanda kutip jadi diketawain. Jadi kalo
gaboleh ditayangin lagi ya udah berbagai macam judul, tapi konsep nya
sama ya gaboleh.” (Tri Andri-KPID DKI Jakarta, 17 Juni 2022)

Hal ini perlu untuk dievaluasi baik oleh aktor penyiaran dan

regulator penyiaran untuk lebih tegas memberikan sanksi terhadap

permasalahan yang dihadapi oleh prinsip demokratisasi penyiaran saat ini.

Diversifiikasi memang diperlukan untuk menunjang bisnis atau sebuah

industri dapat berkembang dan bertransformasi dengan berbagai format.

Akan tetapi pelaksanaanya dalam industri penyiaran memerlukan

perhatian agar tidak timbul menjadi konglomerasi yang semakin besar

untuk kepemilikan media tertentu, untuk tetap memberikan kesempatan

pada kepemilikan dan konten lokal untuk tetap eksis di masyarakat dengan

pasarnya sendiri.

Pengaruh teknologi di era digitalisasi menjadi peluang bagi

industri penyiaran Indonesia, dengan ada perkembangan teknologi

tersebut pun memberikan kesempatan bagi industri penyiaran untuk dapat

mengikuti transformasi peralihan dari media penyiaran konvensional atau

analog menuju media penyiaran analog. Dalam penelitian ini kondisi

penyiaran yang didapatkan peneliti yakni sedang berlangsungnya masa

transisi atau peralihan penyiaran analog menuju penyiaran digital.

Penyiaran di Indonesia sedang memasuki era 4.0 penyiaran dan mulai

berkonvergensi sehingga digitalisasi sedang disosialisasikan oleh berbagai

pihak, seperti uji coba pemberlakuan Analog Switch Off di Indonesia.


“bersyukur dengan adanya UU Cipta Kerja yang baru disahkan
kemarin, pada Tahun 2020 UU Cipta Kerja pada pasal 60 A (Cluster
Penyiaran) yang disitu dijadikan legilasi primer bahwa era televisi digital
sudah mulai diproses di Indonesia..” (Eris Munanda-ATSDI, 17 Januari
2022)

Pemberlakuan Analog Swicth Off pada penyiaran ini didukung

oleh Undang-Undang Cipta Kerja yang didalamnya membahas mengenai

pelaksanaan televisi digital serta data yang diperoleh oleh peneliti dari

hasil wawancara dengan Ketua Umum Asosisasi Televisi Siaran Digital

Indonesia yakni Eris Munandar mengenai perizinan dari televisi siaran

digital bahwa terdapat 30 sampai dengan 40 Lembaga Penyiaran dari 103

Lembaga Penyiaran yang sudah memiliki Izin Penyelenggara Penyiaran

(IPP) Prinsip sejak 2019 dan sudah diperpanjang pada Pemerintah untuk

dapat bersiaran secara digital.

Proses ini pun tidak luput dari perhatian peneliti karena proses

perpindahan ini merupakan hal yang baru bagi masyarakat banyak karena

pemahaman mengenai pelaksanaan perpindahan ini belum sepenuhnya

dimengerti karena penggunaan perangkat Set Top Box sebagai konversi

dari sinyal analog menjadi digital memerlukan dekoder tersebut. Bentuk

permasalahan penyiaran yang didapatkan dari hasil wawancara peneliti

dengan Ketua Umum Asosisasi Televisi Lokal Indonesia menyampaikan

pandangan masyarakat mengenai penyiaran dan media baru.

“…kalo dikatakan penyiaran itu akan mati atau sunset, saya


ngomong kalo penyiarannya itu digital dan multiplatform harusnya tidak.
Yang sunset itukan penyiaran TV secara analog, dan sekarang sudah
digital. Digital itukan tidak terbatas dengan title terestrial, nah ini banyak
orang yang tidak mengupas kesana gitu.” (Bambang Santoso – ATVLI, 15
Juni 2022)

Pandangan masyarakat atas media baru menyebabkan penyiaran

konvensional akan tergantikan dengan penyiaran digital sehingga

cenderung meredup atau sunset bahkan mati. Menurut penuturan

informan, sudah seharusnya penyiaran di Indonesia juga dapat bergerak

dengan menggunakan cara multiplatform dan memulai digitalisasi. Akan

tetapi tidak semudah itu penggunaan nya diberlakukan, karena harus tetap

menjaga penyiaran lainnya agar tetap eksis dan tidak menjatuhkan pihak

lainnya. Era penyiaran ini memang sudah berupaya dan mendapatkan

dukungan yang dilakukan oleh pemerintah, regulator dan Lembaga

Penyiaran serta stakeholder penyiaran lainnya agar media baru dan era

digitalisasi dapat berjalan dengan baik.

2. Konsentrasi Pasar Penyiaran Indonesia

Persaingan ekonomi media antar industri media yang

menggunakan teknik merger atau akuisisi semakin menimbulkan

konglomerasi media penyiaran di Indonesia sehingga dapat terindikasi

melakukan monopoli kepemilikan. Kepemilikan media yang dimiliki oleh

Eddy Kusnadi Sariaatmadja yang merupakan pendiri EMTEK Group

dengan stasiun televisi lokal yang berjaringan nasional seperti SCTV &
Indosiar juga didalamnya termasuk kepada televisi lokal daerah DKI

Jakarta yang bersiaran untuk daerah lokal DKI Jakarta.

Gambar 4 7 Peta Kepemilikan EMTEK Grup


Sumber: https://romeltea.com/

Kepemilikan media diatas dengan bentuk merger atau akuisisi

stasiun televisi merupakan bentuk kongkrit bahwasanya media di

Indonesia terindikasi melakukan konglomerasi dan pasar monopolistik.


Seperti wawancara yang dilakukan dengan Komisioner KPID DKI

Jakarta,

“… Karna kalo kita lihat dari strukturnya berbeda semua, tapi kalo
sampe dikatakan monopoli sih hampir ya. O Channel punya nya SCTV
kan? GTV punyanya MNC Grup karna mereka pasti ada.” (Tri Andri -
KPID DKI Jakarta, 20 Juni 2022)

Pengakuan yang disampaikan oleh KPID DKI Jakarta mengenai

televisi lokal yang terlibat kepemilikan media besar atau termasuk dalam

konglomerasi media EMTEK Grup, yang berarti menjadi permasalahan

penyiaran di Indonesia dan prinsip demokratisasi penyiaran. Bentuk

konglomerasi penyiaran yang melibatkan jaringan televisi lokal pada

temuan kajian terdahulu yang dianalisis oleh Anggia Valerisha, melalui

jurnal yang berjudul “Dampak Praktik Konglomerasi Media Terhadap

Pencapaian Konsolidasi Demokrasi di Indonesia”. Dalam jurnal tersebut

menjelaskan bahwa diantara 5 media grup di Indonesia yang didalamnya

terdapat Viva Media Asia (Viva Grup/Bakrie & Brothers), Media Group,

Media Nusantara Citra (MNC Group), Corporation/CT Grup (Para

Group), dan Jawa Pos Group. Salah satu diantaranya yakni MNC Group

yang dimiliki oleh Hary Tanoesudibjo, memiliki 20 jaringan televisi lokal

didalam akusisi atau merger media besar.

Gambar 4 8 Peta Kepemilikan MNC Group


Sumber: https://romeltea.com/
Perhitungan untuk melihat kepemilikan media di Indonesia

dengan menggunakan pengukuran rasio konsentrasi (CR) untuk

melihat output perusahaan yang kurang berangam. Temuan penelitian

ini didukung dengan amatan penelitian yang dikemukakan oleh

Remotivi dengan judul “Berbeda-beda tapi Sama: Keberagaman

Konten Televisi Indonesia” oleh Hellena Souisa, bahwa perhitungan

kepemilikan media dari empat pemilik utama (CR4) media penyiaran

televisi di Indonesia yang sebagian besarnya 89,5% dari pangsa pasar.

Sementara, media penyiaran televisi yang dimiliki oleh delapan

pemilik utama (CR8) sebanyak 98,6% dari pangsa pasar.

Gambar 4 9 Pengukuran Konsentrasi Pasar


Sumber: https://remotivi.or.id/amatan/653/berbeda-beda-tapi-sama-
keberagaman-konten-televisi-indonesia

Cara diatas dengan menkuadratkan persentase pangsa pasar yang

ada dari setiap perusahaan yang ada yakni total pendapatan MNC,

EMTEK, Visi Media dan Trans Corp. Kemudian jika hasilnya diatas dari

angka 1.800 maka dapat dikatakan bentuk pasar penyiarannya

terkonsentrasi dan jika mencapai 10.000 maka terjadi bentuk pasar

monopoli. Perhitungan ini membuktikan bahwa grup media di Indonesia

dikuasai oleh segelintir kepemilikan besar, sehingga dapat berpengaruh

pada demokratisasi penyiaran yang menjadi semangat penyiaran Indonesia

menurut UU No 32 Tahun 2002. Konten yang dihasilkan dari bentuk

kepemilikan media yang terkonsentrasi juga akan berdampak pada

keseragaman konten dari kepemilikan yang dihasilkan, bahkan akan

terdapat politik media yang mempengaruhi netralitas media penyiaran

sesuai dengan aturan Undang-Undang Penyiaran.

Regulator penyiaran seperti KPID DKI Jakarta menyampaikan

pendapat yang berbeda dari dua sisi pandangan sebagai regulator dan

pendapat pribadi. Beliau menyampaikan bahwa tidak terdapat konsentrasi

kepemilikan & monopoli yang terjadi di Indonesia karen kepemilikan

tersebut memang ditulis pada struktur dengan nama yang berbeda dengan

pemilik utama perusahaan media. Namun permainan untuk bagi saham

juga di indikasi terjadi di Indonesia.


“Biarpun namanya satu, tapi sahamnya dibagi bagi, kaya nanti lo
ngurus ini yak, lo bagian ini yak. Yaudah selesai nih. Jadi politik ekonomi
media di Indonesia tuh sangat berpengaruh” (Tri Andri-KPID DKI Jakarta,
17 Juni 2022)

Regulator penyiaran pun memberikan pandangan dan pendapatnya

mengenai politik media yang terjadi di Indonesia, meski regulator

menyampaikan bahwa tidak ada indikasi monopoli.

3. Pengaruh Regulasi Media terhadap Demokratisasi Penyiaran

Evaluasi struktur pasat penyiaran menurut Albarran terdapat

pengaruh dari regulasi terhadap bentuk penyiaran yang ada. Sebagai dasar

dari pelaksanaan penyelenggaraan penyiaran, aturan atau kebijakan dari

regulasi mengatur aktivitas media didalamnya sesuai dengan harapan

bangsa bagi terlaksananya penyiaran yang demokratis. Seperti kriteria

regulasi penyiaran yang demokratis sebagai prinsip penyiaran yakni

diversity of content & diversity of ownership. Hal tersebut juga menjadi

evaluasi dari pelaksanaan penyiaran ada pada Orde Baru termasuk kepada

bagian dari kekuasaan negara dan pembinaan serta pengendaliannya

dilakukan oleh pemerintah atau dapat dikatakan bahwa penyiaran pada

masa tersebut digunakan untuk alat kekuasaan dan mencari keuntungan

bagi para rezim masa itu.

Namun, jika kita kembali melihat cita-cita nasional dalam

pelaksanaan penyiaran dan penyebaran informasi, bahwasanya kebijakan


pengendalian penyiaran dikembalikan kepada masyarakat dengan tujuan

agar sesuai pada nilai pancasila sehingga tercapai asas, tujuan, dan fungsi

dari penyiaran nasional yang tercantum pada Undang-Undang Dasar

Tahun 1945.

Pelaksanaan penyiaran Indonesia juga terdapat permasalahan yang

bersumber dari regulasi penyiaran, sejak berlakunya pada tahun 2002

hingga saat ini sudah 20 tahun regulasi penyiaran berjalan dan belum

kunjung usai revisi yang dilakukan pada Undang-Undang Penyiaran sejak

2012. Permasalahan ini sangat menganggu aktivitas penyiaran karena

perkembangan teknologi dan digitalisasi sudah masuk pada ranah

penyiaran, namun belum terdapat pengaturan untuk membahas mengenai

hal tersebut. Demokratisasi penyiaran pun terancam jika regulasi

penyiaran tak kunjung usai untuk direvisi.

“Masalahnya kita berhadapan dengan satu regulasi yang belum


siap, sementara kita mau bertransformasi secara digital keseluruhannya
dalam arti bukan hanya digital terestrial loh, bagaimana dengan digital
kita, siaran kita diterima di kabel, di satelit apa di internet, apalagi kalo
udah di gadget kita. Sementara ada model penyiaran lain yang dikatakan
new media itu yang tidak ada konsep peraturannya dalam regulasi
penyiaran yang ada. Mereka tidak diatur dengan P3SPS, mereka bersiaran
sembarangan boleh, menyebarkan berita hoax juga gaada masalah,
pornografi itu heboh-hebohan. Itu kita gabisa, artinya kita ada KPID ada
KPI ada Undang-Undang ITE, mereka lolos ini yang menjadi masalah”
(Bambang Santoso-ATVLI, 15 Juni 2022)

Pengaruh teknologi pun kini menjadi bagian dari permasalahan

penyiaraan dalam regulasi penyiaran, karena berdampak pada penyiaran


lokal yang mulai terdesak dengan adanya penyiaran digital karena belum

ada ketentuan hukum yang mengatur keduanya secara bersamaan.

“Makanya kenapa saya mendorong Rancangan Undang-Undang


Penyiaran secepetnya di selesaikan, karena masalahnya disitu, kita tidak
ada pada kondisi same playing, kita tidak pada satu ranah apa yang sama”
(Bambang Santoso-ATVLI, 15 Juni 2022)

Tidak adanya regulasi yang mengatur secara imbang mengenai

permasalahan ini, hingga salah satu dari penyiaran ini dalam ujung

pelaksanaan yang digambarkan oleh ATVLI akan terbenam jika belum

ada pengaturan yang sesuai dengan kondisi saat ini. Selain itu

permasalahan penyiaran yang memberikan dampak bagi demokratisasi

penyiaran di Indonesia adalah terjadinya diskriminasi terhadap lembaga

penyiaran lokal daerah yang disebabkan oleh regulasi penyiaran yang

tidak berpihak pada penyiaran lokal daerah.

“…panjang sekali urusnya melewati beberapa diskriminasi


permasalahan yang ada, perjuangan besar-besaran. Nah harusnya regulasi
seperti yang diamatkan Undang-Undang seterusnya dapat melindungi
penyiaran ini, yakan? Karna ini bukan hal yang baru, ini hanya untuk
mengembangkan transformasinya itu loh, yang harus betul-betul apa di
perhatikan lalu dilindungi. Dilindungi secara Undang-Undang dan
dilindungi secara investasi, makanya akan tetap tumbuh agar bisa
substain¸konsisten. Tapi kalo tidak dilindungi, yang lainnya di cecer…”
(Bambang Santoso-ATVLI, 15 Juni 2022)
Sehingga jika dipertanyakan mengenai pelaksanaan demokratisasi

apakah sudah mencapai semangatnya, bagi aktor penyiaran lokal sendiri

menilai masih terdapat permasalahan yang belum ada ujungnya mengenai

pelaksanaan penyiaran lokal di Indonesia. Namun, pada wawancara yang


dilakukan dengan regulator penyiaran Indonesia yakni KPID DKI Jakarta

menyampaikan bahwa,

“Pandangan penyiaran Indonesia saat ini baik-baik saja.


Alhamdulillah tidak ada problem sama sekali ya. Paling ya itu aja sih kita
akan beralih dari siaran analog ke digital yang harus masyarakat Indonesia
ketahui di 2 November 2022 nanti tuh akan cut off Analog atau ASO
(Analog Swicth Off) udah itu aja pernyiaran Indonesia, keadaanya baik-
baik saja hari ini.” (Tri Andri-KPID DKI Jakarta, 17 Juni 2022)

Hal ini sangatlah berbeda dengan pandangan kondisi penyiaran di

Indonesia saat ini dari aktor penyiaran, regulator penyiaran tidak melihat

secara luas dan tidak melihat urgensi demokratisasi dalam penyiaran saat

ini. Aktor penyiaran lokal sendiri mengeluhkan pada definisi & klasifikasi

dari konten lokal, karena hal ini dilihat dari kacamata masyarakat belum

ada kategori khusus mengenai konten lokal. Dalam P3SPS hanya

menyebutkan kewajiban lembaga penyiaran untuk menyiaran konten lokal

daerah, namun belum ada ketentuan mengenai konten lokal lebih lanjut.

Berikut ini tanggapan KPID DKI Jakarta mengenai penjelasan penyiaran

lokal dari regulator penyiaran.

“…saya kemarin ketemu dengan teman-teman KPID Daerah yang


ada, untuk menggali potensi-potensi lokal ayo kita bantu lembaga lembaga
penyiaran ini untuk memaksimalkan peran, ada peran Universitas ya
kampus, terus LSM LSM dan Ormas Ormas kedaerahan kan cukup
banyak jadi kita sama-sama bangun untuk 10% ya, orang bilang 10%
harus ini harus itu. Kalo kita bilang stakeholder kaya KPID dan lain-
lainnya tidak membantu juga kemungkinan akan tercapai agak cukup
berat, tapi kalo peran stakeholdernya sendiri sama-sama membantu pasti
tercapai kok…” (Tri Andri-KPID DKI Jakarta, 17 Juni 2022)
Ketentuan konten lokal penyiaran yang wajib ditayangkan oleh
lembaga penyiaran memang diketahui yakni 10% dari tayangan yang ada
pada program harian lembaga penyiaran. Persentase ini belum memiliki
klasifikasi khusus mengenai seperti apa konten lokal yang diinginkan oleh
regulator, karena masih seringnya lembaga penyiaran pun mendapati
teguran yang diberikan oleh regulator.
Dalam hal ini pun fungsional regulator penyiaran Indonesia yakni

Komisi Penyiaran Indonesia baik Pusat ataupun Daerah menjadi

dipertanyakan mengenai pelaksanananya. Penyiaran yang menggunakan

milik dan ranah publik yaitu free to air. Di Amerika contoh dari

regulatornya adalah Federal Communicatios Commision dan di Afrika

Selatan adalah Independent Communication Authority of South Africa

(ICASA), di Indonesia memiliki regulator yakni Komisi Penyiaran

Indonesia (KPI) sebagai regulator independen dan Kementerian

Komunikasi dan Informatika (KEMENKOMINFO) yang saling

bekerjasama (Rahayu, et al., 2015). Regulasi yang mengikat yakni

Undang-Undang Penyiaran dan Permenkominfo mengenai

Penyelenggaraan Penyiaran.

Komisi Penyiaran Indonesia memiliki tugas dan wewenang guna

untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan penyiaran baik pada aktivitas

lembaga penyiaran atau isi konten penyiaran. Lembaga penyiaran

Indonesia pun terbagi menjadi beberapa lembaga yakni Lembaga

Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran


Komunitas dan Lembaga Penyiaran Berjaringan. KPID memiliki cakupan

daerah pengawasan aktivitas lembaga penyiaran yang dilakukan dengan

berlandaskan sesuai ketentuan hukum baik regulasi penyiaran dan cita-cita

bangsa Indonesia untuk mencerdaskan masyarakt melalui informasi yang

didapatkan.

Pembentukan KPI sedari awal ditugaskan sebagai lembaga

independen atau regulator yang membantu masyarakat dalam

mengadvokasikan perannya sebagai pemilik dari ranah penyiaran yakni

ranah publik. Pasal-pasal terkait dengan tugas dan fungsi KPI tertuang

pada UU Penyiaran Pasal 8 ayat (2) yang berbunyi:

1) Menetapkan standar program siaran;

2) Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran;

3) Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran

serta standar program siaran;

4) Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman

perilaku penyiaran serta standar program siaran;

5) Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah,

Lembaga Penyiaran dan Masyarakat.

Didalam tugas dan wewenang tersebut KPI memiliki turunan

peraturan atau pedoman yang mengikat lembaga penyiaran untuk

melakukan berbagai kegiatan penyiaran baik pelaksanaan izin ataupun isi


siaran. Seperti yang dikatakan oleh Komisioner KPID DKI Jakarta

menyebutkan bahwa:

“Lembaga penyiaran harus mengikuti Pedoman Perilaku sehingga


bagaimana etika lembaga penyiaran agar tidak berpihak dan tidak partisan
untuk menjaga materi siaran. SPS mengatur isi atau konten untuk
kepentingan masyarakat dalam melakukan penyiaran yang sebaik-baiknya
untuk kemakmuran masyarakat dan sudah seharusnya lembaga penyiaran
tidak menjadikan institusi bisnis dan berbasis industri namun juga
mengedepankan kepentingan masyarakat untuk informasi” (Tri Andri-
KPID DKI Jakarta, 17 Juni 2022).

Pernyataan yang diberikan oleh Komisioner KPID mendukung

bahwa lembaga penyiaran harus tunduk dengan aturan dan kebijakannya

agar tetap pada alur kebijakan yang dimiliki oleh publik, sehingga

mendapatkan media yang layak dalam penyelenggaraan penyiarannya.

Jika kembali pada masa awal pembentukan KPI, didapatkan temuan

mengenai pemberlakuan KPI dan perlunya peninjauan kembali karena

permasalahan wewenang dengan pemerintah, maka pada tahun 2004

dikeluarkan keputusan Mahkamah Agung melakukan judicial review

menanggapi tinjauan dari beberapa pihak yang mempertanyakan

independensi KPI dengan pemerintah karna didalamnya terdapat poin

“KPI Bersama” (Mufid, 2010).

Penelitian ini mendapatkan temuan bahwa konten yang di awasi

oleh KPI dan tersebar dalam bentuk KPI Daerah Provinsi, belum

maksimal berjalan dengan baik. Seperti halnya pengawasan pada lembaga

penyiaran radio yang ada di DKI Jakarta tidak optimal karena didapati
pelanggaran muatan konten lokal dan muatan konten asing yang tidak

sesuai dengan P3SPS. Jika KPID melibatkan masyarakat dalam

pelaksanaan pengawasan, lalu bagaimana dengan tugas pokok dari KPI

ataupun KPID?

Pertanyaan ini dijawab oleh Komisioner KPI DKI Jakarta yakni

Tri Andri yang mengatakan bahwa

“Tugas dari KPI itu hanya melakukan proses perizinan bagi


Lembaga Penyiaran yang ada atau yang baru serta tugas untuk
memperpanjang izin, juga tugasnya mengawasi aktivitas lembaga
penyiaran dan isinya” (Tri Andri-KPID DKI Jakarta, 17 Juni 2022).
Namun perizinan penyiaran saat ini mendapati intervensi dari

Undang-Undang Cipta Kerja mengenai batas waktu pengajuan izin siaran

kembali. Kajian yang dilakukan oleh Remotivi.id dengan judul Dari

Bermasalah Jadi Ambyar: Nasib Industri Penyiaran dalam UU Cipta

Kerja” yang ditulis oleh Nidiansrafi pada 15 Oktober 2020 mendukung

temuan pada penelitian ini dengan membedah poin-poin dari Undang-

Undang Penyiaran yang mendapatkan pergantian dari pasal-pasal dalam

UU Cipta Kerja. Rincian dari poin-poin tersebut terkait dengan peraturan

mengenai lingkup wilayah siaran dengan keterangan ketentuan diubah

menjadi Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud tidak lagi

dibatasi dan hanya boleh menyelenggarakan jasa penyiaran seperti diatur

UU 32/2002, perizinan Lembaga Penyiaran Swasta pun kini boleh


menyelenggarakan dimiliki oleh warga negara asing dengan menjadi

pengurus lembaga penyiaran tersebut.

Peran KPI dalam hal ini menjadi perlu untuk diperkuat lagi,

sebagai lembaga yang mengurus mengenai perizinan dan pemberlakuan

sanksi administratif, maka penguatan regulator penyiaran untuk hal ini

sangatlah berpengaruh pada pelaksanaan industri penyiaran di Indonesia.

Tujuan penguatan ini untuk menjaga netralitas media, penggunaan ranah

publik dan pelaksanaan media perlu dihindari dari semakin besarnya

praktik monopoli, oligopoli dan konglomerasi industri media. Dukungan

untuk penguatan peran serta KPI dalam penyiaran Indonesia diutarakan

dalam wawancara dengan Ketua Umum ATSDI yakni

“…dalam mendukung pelaksanaan demokrasi penyiaran itu


dikuatkan lagi Komisi Penyiarannya, karena nantikan masuknya
penyiaran digital. KPI harus bisa melaksanakan dengan baik perannya”
(Eris, 17 Januari 2022)
Revisi mengenai Undang-Undang Penyiaran yang masih dalam

proses pembentukan juga menghambat kerja dari KPI dalam pelaksanaan

pengawasan dan perizinan, karena ketetapnya regulasi utama penyiaran

mendapati intervensi dari pemerintah daalam pelaksanaanya. Terdapat

empat Asosiasi Industri Televisi yang sudah sepaham, mengenai

keharusan lembaga pengawasan penyiaran dapat mendukung semangat

demokratisasi penyiaran dan digitalisasi penyiaran. Upaya yang dilakukan

dengan kembali melakukan konsolidasi demokratisasi penyiaran dengan


sosialisasi mengenai penyiaran digital oleh KPI dan Asosiasi Industri

Televisi.

C. Pembahasan

Setelah mendapatkan temuan dan hasil dari penelitian ini dengan

menjabarkan beberapa sub-bab temuan mengenai Problematika

Demokratisasi Penyiaran dengan menggunakan perspektif keberagaman

konten dan keberagaman kepemilikan. Pemahaman mengenai demokrasi yang

berati bebas dan beragam menjadi landasan untuk penyiaran Indonesia dapat

terlaksana dengan semangat demokratisasi penyiaran yang didalamnya

mengedepakan diversity of content & diversity of ownership, maka sudah

menjadi keharusan bagi penyelenggara penyiaran di Indonesia mengikuti

kebijakan yang sudah ditetapkan. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk

mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan

informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Kebutuhan dasar dari penyiaran bagi masyarakat agar mendapatkan

berkomunikasi dan memperoleh informasi yang layak serta dengan harapan

untuk mencerdaskan kehidupan bangsa lewat industri penyiaran. Serta

semangat keberagaman ini pun memberikan ruang bagi penyiaran lokal baik

lembaga penyiaran lokal dan konten lokal agar bisa eksis diantara lembaga
penyiaran yang sudah besar namanya. Hal tersebut tentunya membutuhkan

banyak usaha dan tenaga agar dapat mensukseskan prinsip penyiaran tersebut.

Seperti kepemilikan media yang tersebar secara lokal daerah agar tidak

terjadinya monopoli kepemilikan media penyiaran secara terpusat atau

terkonsentrasi pasar penyiaran. Serta keberagaman konten untuk dapat

memberikan ruang budaya daerah agar mendapatkan perhatian masyarakat

luas.

Industri media penyiaran tidak pula dapat dipisahkan dari nilai-nilai

kebutuhan manusia seperti nilai sosial, nilai ekonomi, nilai budaya, namun

tidak sedikit pula yang membutuhkan nilai politik dalam memehuni

kebutuhannya. Kebutuhan dasar ini dipenuhi dengan berbagai aspek baik

teknologi dan informasi, media penyiaran menjadi teknologi yang membantu

untuk mendapatkan informasi baik dengan media cetak, media televisi

maupun radio dan dengan memasuki era baru kehidupan yakni era globalisasi.

Arus digital memasuki bagian dari penyiaran di Indonesia. Seperti salah

satunya televisi analog mulai bertransisi menuju televisi digital.

Hal ini tidak boleh menggantikan perhatian regulator bagi

demokratisasi penyiaran yang menjadi semangat pelaksanaan penyiaran di

Indonesia. Kekhawatiran aktor penyiaran lokal terhadap kondisi transformasi

peralihan televisi analog menuju digital, akan berdampak pada lembaga

penyiaran lokal kepemilikannya karena tidak diberikan kepemilikan

infrastruktur MUX bagi televisi lokal untuk bertransformasi menjadi digital.


Kondisi ini menjadi tekanan bagi televisi lokal untuk mengejar

ketertinggalannya menjadi televisi yang eksistensinya tinggi diantara lembaga

penyiaran yang kepemilikannya besar di Indonesia.

Akan tetapi pelaksanaanya menjadi pendukung untuk terjadinya

terkonsentrasi oleh kepemilikan raksasa media dengan melakukan akuisisi

sehingga terbentuk pasar konsentrasi dan monopoli dengan adanya teknologi

digital dan MUX yang dimiliki oleh televisi lokal berjaringan yang sudah

besar namanya. Bentuk kepemilikan serta konten pada kondisi ini menjadi

perdebatan dan permasalahan. Pemahaman mengenai media sebagai alat

untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada publik baik melalui media

massa cetak, media massa audio dan media massa audio visual kini menjadi

seragam oleh pemilik media yang menyisip kepentingan tertentu. Contohnya

kepentingan politik dari pemilik telah menggerus ekspresi media untuk dapat

memberikan kebebasan baik perpendapat, berpikir dan memproduksi konten.

Kepentingan pemilik media dalam newsroom diperlukan gatekeeper

untuk mengatur bagaimana produksi media nantinya dapat beragaman dan

menyesuaikan dengan ketentuan penyiaran mengenai muatan siaran ataupun

sistem stasiun berjaringan yang menjadi solusi teknis dari lembaga penyiaran

untuk melakukan diversity of content. Definisi dari konten lokal pun menjadi

permasalahan karena belum mendapatkan klasifikasi pasti dari regulator atau

KPI & KPID. Baik didalam Undang-Undang ataupun P3SPS hanya

menyantumkan kewajiban bagi televisi yang bersiaran untuk menayangkan


10% dari tayangannya. Namun, penjelasan secara pasti mengenai konten lokal

belum mendapatkan kepastian karena Undang-Undang Penyiaran Indonesia

pun masih dalam tahap revisi sejak 2010.

KPI yang bertugas dalam pengawasan dan perpanjang perizinan dapat

memperbaiki cara pandang dari pelaksanaan demokratisasi penyiaran agar,

regulator pun dapat menindak tegas mengenai kecenderungan pasar media

penyiaran di Indonesia yang monopolistik, dengan aturan yang ada

seharusnya KPI dan KPID dapat memberlakukan dengan baik aturan

mengenai konten penyiaran yang lebih jelas dan pasti dari definisi dan

klasifikasi penyiaran lokal melalui P3SPS yang dirancang bersamaan dengan

Asosiasi Televisi atau stakeholder yang bersangkutan untuk mendapatkan

solusi dari permasalahan ini agar Undang-Undang Penyiaran pun segera

diselesaikan.

(Masukan ekonomi politik Albarran, Temuan penelitian sebelumnya)

Permasalahan lain mengenai penyiaran di Indonesia memang tidak

akan ada habisnya hingga pelaksanaan penyiaran di Indonesia tidak

didominasi oleh segelintir orang yang melakukan akuisisi dan semakin

memperbesar industrinya namun tidak mempertimbangkan keharusan dalam

menjaga ranah publik dan frekuensi yang dimiliki oleh negara dalam kata lain

pemilik media hanya pemodal untuk melakukan peminjaman ranah siaran

dalam mencari keuntungan bagi nilai ekonomi.


BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil temuan dan analisis yang dilakukan oleh peneliti

mengenai permasalahan atau problematika demokratisasi penyiaran dalam

pelaksanaan dan aktivitasnya dengan prinsip keberagaman konten &

keberagaman kepemilikan (diversity of content & diversity of ownership).

Proses prinsip tersebut belum terlaksana dengan baik karena masih banyak

aktor penyiaran, regulator penyiaran, masyarakat serta stakeholder terkait

yang belum memahami dan menjalankan prinsip tersebut.

Ekonomi media yang dilakukan oleh penyelenggara penyiaran

Indonesia dengan evaluasi struktur pasar penyiaran akan berhasil apa bila

dapat dilaksanakan dengan baik oleh pemain penyiaran. Namun, dalam

proses penyiaran memang terdapat permasalahan yang menghambat

prinsip tersebut dapat berjalan serta pemerintah yang perlu untuk

mendukung pelaksanaan penyiaran lokal bukan hanya pada aktor

penyiaran & regulator penyiaran saja. Permasalahan pertama, terdapat

pengaruh teknologi pada industri penyiaran sehingga permasalahan

digitalisasi menjadi hal yang sedang diberlakukan untuk lembaga

penyiaran dapat bertransformasi dengan baik. Kedua, konsentrasi


kepemilikan media dapat mengancam prinsip demokratisasi penyiaran.

Semangat yang dikobarkan oleh Undang-Undang Penyiaran 32 Tahun

2002 bahwa kepemilikan penyiaran oleh kepemilikan lokal daerah dan

konten keberagaman dari budaya dan daerah juga kini menjadi sebatas

peraturan yang tidak dilaksanakan dengan baik oleh kepemilikan media di

Indonesia. Kecenderungan terjadi konsentrasi dan monopoli kepemilikan

media karena konglomerasi media yang semakin besar oleh segelintir

kelompok ini menjadikan penyiaran lokal tergerus oleh derasnya arus

konglomerasi media di Indonesia.

Ketiga, hal utama yang menhambat proses demokratisasi penyiaran

terdapat pengaruh dari regulasi penyiaran yang belum kunjung usai tahap

revisi dan belum seimbang mengatur peran-peran lembaga penyiaran baik

publik, swasta, berjaringan hingga berlangganan sehingga menyebabkan

terdapat diskriminasi penyiaran di Indonesia terlebih kepada lembaga

penyiaran lokal daerah. Undang-undang yang harusnya melindungi

kepemilikan media penyiaran lokal dan konten media lokal yang

dihasilkan masih belum menjadi payung teduh bagi aktor penyiaran

terutama bagi lokal di Indonesia.

Dengan demikian prinsip demokratisasi penyiaran yakni diversity of

content & diversity of ownership belum dapat terlaksana dengan baik oleh

aktor penyiaran, regulator dan stakeholder ataupun masyarakat Indonesia.

Sehingga menyebabkan permasalahan penyiaran yang tak kunjung selesai,


kemudian semakin membesarkan konglomerasi di Indonesia dengan faktor

faktor pendukung seperti pengaruh teknologi, pengaruh regulasi dan

diversifikasi usaha serta tayangan. Pelaksanaan demoktatisasi untuk

kembali ditegaskan menjadi urgensi utama dalam pelaksanaan penyiaran

di Indonesia untuk dapat meredam permasalahan yang ada hingga saat ini

B. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, peneliti hendak memberikan

saran yang dapat dijadikan masukan sebagai berikut:

1. Saran Akademis

Untuk penelitian selanjutnya

Anda mungkin juga menyukai