Disusun oleh :
2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi di era globalisasi sekarang ini memang tidak dapat
dimungkiri. Begitu pesatnya perkembangan teknologi tersebut memberikan dampak yang
signifikan dalam segala bidang kehidupan baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya,
maupun komunikasi. Salah satu buah dari perkembangan tersebut adalah dengan
merebaknya media massa baik media massa cetak, elektronik, maupun madia baru seperti
internet.
Regulasi adalah sesuatu yang tidak bebas nilai karena di dalam proses pembuatannya
pasti terdapat tarik menarik kepentingan yang kuat antara kepentingan publik, pemilik
modal dan pemerintah. Berbicara mengenai media pasti tidak akan pernah bisa lepas dari
yang namanya peraturan. Begitu juga halnya dengan lembaga penyiaran, baik itu lembaga
penyiaran televisi maupun radio.
Isu yang kontroversial dalam kebijakan pemerintah khususnya berkaitan dengan
Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran adalah masalah digitalisasi
penyiaran. Sejak disahkannya tahun 2002, UU Penyiaran telah membentuk suatu badan
khusus dalam sistem pengaturan penyiaran di Indonesia, yaitu adanya Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI). KPI adalah lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal
mengenai penyiaran. Spirit pembentukan KPI adalah pengelolaan sistem penyiaran yang
merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari
campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan regulasi penyiaran kompetisi?
2. Apa yang dimaksud dengan regulasi penyiaran komunitas?
3. Apa yang dimaksud dengan regulasi penyiaran pubik?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui maksud dari regulasi penyiaran kompetisi.
2. Untuk mengetahui maksud dari regulasi penyiaran komunitas.
3. Untuk mengetahui maksud dari regulasi penyiaran publik.
BAB II
PEMBAHASAN
3
Akil, M. A. (2014). Regulasi Media di Indonesia (Tinjauan UU Pers dan UU Penyiaran). Jurnal
Dakwah Tabligh, 15(2), 137-145.
komunitas dan institusi seperti kampus, perpustakaan dan pemerintah lokal. Tujuan lain
yang bisa dikembangkan dari jaringan komunitas adalah sebagai penyedia informasi
turisme dan bisnis lokal dan untuk merangsang keterlibatan komunitas dalam bidang
pembangunan dan politik. Secara umum, penyiaran komunitas memiliki ciri:
1. Tujuan untuk menyediakan berita dan informasi yang relevan dengan kebutuhan
anggota komunitas, menyediakan medium untuk komunikasi anggota komunitas dan
untuk menguatkan keberagaman politik
2. Kepemilikan dan kontrol: dibagi di antara warga, pemerintahan lokal dan organisasi
kemasyarakatan
3. Isi diproduksi dan diorientasikan untuk kepentingan lokal
4. Produksi melibatkan tenaga non-profesional dan sukarelawan
5. Distribusi melalui udara, kabel, dan jaringan elektronik
6. Audiens biasanya tertentu seperti dibatasi wilayah geografis
7. Pembiayaan secara prinsip non komersial, walaupun secara keseluruhan meliputi juga
sponsor perusahaan, iklan, dan subsidi pemerintah.
Eric Barendt (dalam Mendel, 2000) mengelaborasi ciri media penyiaran publik
(public service broadcasting) sebagai media yang :
Terinspirasi oleh Lasswell (1946) Sendjaja menguraikan fungsi sosial media penyiaran
publik yang cukup signifikan, yaitu sebagai:
1. Pengawas sosial (social surveillance) yaitu merujuk pada upaya penyebaran informasi
dan interpretasi yang objektif mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan
di luar lingkungan sosial dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan.
2. Korelasi sosial (social correlation), merujuk pada upaya pemberian interpretasi dan
informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial
lainnya atau antara satu pandangan dengan pandangan lainnya dengan tujuan
mencapai konsensus.
3. Sosialisasi (socialization), merujuk pada upaya pewarisan nilai- nilai dari satu
generasi ke generasi lainnya, atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya.
Pada saat yang sama, Ashadi (2001: 3) mengatakan bahwa civil society dapat
diwujudkan antara lain dimulai dari paradigma yang menggerakkan dinamika kehidupan
publik yang berbasis nilai kultural. Nilai kultural ini merupakan pemaknaan atas setiap
kegiatan dalam ranah publik. Ini dapat dilihat dengan dua cara, pertama secara negatif,
yaitu dominasi dan monopoli kekuasaan dan pasar harus dijauhkan dari kehidupan publik,
dan secara positif membangun otonomi dan independensi institusi sosial. Maka,
membangun civil society pada dasarnya adalah membalik arus utama yang tadinya dari
kekuasaan negara dan pasar ke warga, menjadi dari warga ke kekuasaan negara dan pasar.
Untuk itu diperlukan ranah publik yang secara relatif memiliki otonomi dan
independensi, yang di dalamnya berlangsung kegiatan kultural dalam berbagai aspek
kehidupan fungsional. 5Civil society sebagal format baru kehidupan publik diharapkan
dapat menjadi visi bersama penyelenggaraan media massa. Dari visi yang semacam itu
4
Mufid, Muhammad. 2010. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Jakarta: Prenada Media Kencana hlm. 81
dapat dibayangkan misi yang perlu dijalankan, sesuai dengan fungsi media penyiaran
dalam ranah publik. Dalam konteks reformasi kekinian, mestinya terbuka peluang untuk
membangun formal baru atas keberadaan media penyiaran pemerintah (RRI/TVRI)
menjadi institusi otonom dan independen yang menjalankan fungsi kultural dalam ranah
publik
Selanjutnya menurut Ashadi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk kehadiran
media penyiaran publik di Indonesia yaitu:
5
Effendy, R. (2014). Mengurai potensi ruang publik Lembaga Penyiaran Publik dalam upaya
demokratisasi masyarakat lokal. Reformasi, 4(2).
terhadap masyarakat dan pemaknaan atas hasil kerja dalam konteks sosial.
Pemaknaan hasil kerja dalam konteks sosial ini perlu ditempatkan dalam konteks
makna sosial dari media penyiaran public. Sebagai acuan standar tindakan profesional
dan hasil kerjanya suatu institusi memiliki dua sisi, eksternal untuk menjaga makna
sosial dari media massa, dan internal sebagai dasar dalam penilaian (evaluasi)
profesional sebagai bagian dalam sistem manajemen personalia.
5. Sistem kontrol fungsi public. Untuk menjaga agar suatu institusi dapat berjalan dalam
penyelenggaraan yang bersih, perlu dijunjung tinggi prinsip akuntabilitas terhadap
stakeholder khususnya dan public umumnya. Akuntabilitas memiliki dua sisi,
menyangkut parameter akuntabilitas akuntasi dan menyangkut prinsip akuntabilitas
sosial untuk menjaga orientasi fungsionalnya kepada publik. Jika
pertanggungjawaban akuntansi melalui lembaga audit (publik maupun negara), maka
akuntabilitas sosial perlu dipertanggungjawabkan kepada stakeholder dan lembaga
yang relevan. Lewat akuntabilitas sosial ini kontrol atas fungsi publik yang harus
dijalankan oleh media penyiaran publik dapat berjalan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.
Selain untuk menghidari dominasi pasar, regulasi kompetisi juga dimaksudkan untuk
menetapkan model ekonomi untuk kepentingan publik yang produktif, dan untuk
menumbuhkan semangat persaingan sehat. Kemudian untuk penyiaran komunitas menunjuk
pada radio, televisi, dan jaringan elektronik di lingkungan komunitas yang menampilkan
siaran yang merefleksikan, mewakili, dan meliputi anggota-anggota komunitas. Tujuan lain
yang bisa dikembangkan dari jaringan komunitas adalah sebagai penyedia informasi turisme
dan bisnis lokal dan untuk merangsang keterlibatan komunitas dalam bidang pembangunan
dan politik. Regulasi media penyiaran komunitas berisi tentang kebijakan televisi kabel dan
kebijakan regionalisasi penyiaran nasional. Tidak hanya regulasi penyiaran kompetisi dan
komunitas saja, namun juga terdapat regulasi penyiaran publik dimana regulasi ini memiliki
urgensi untuk menjunjung nilai-nilai yang banyak ditinggalkan oleh media komersial, seperti
independensi, solidaritas, keanekaragaman (opini dan akses), objektivitas, dan kualitas
informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Akil, M. A. (2014). Regulasi Media di Indonesia (Tinjauan UU Pers dan UU
Penyiaran). Jurnal Dakwah Tabligh, 15(2), 137-145.
Effendy, R. (2014). Mengurai potensi ruang publik Lembaga Penyiaran Publik dalam upaya
demokratisasi masyarakat lokal. Refor
Mufid, Muhammad. 2010. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Jakarta: Prenada Media
Kencana
Rochim, M. (2007). Mengapa Kita Perlu Regulasi Penyiaran?. Mediator: Jurnal
Komunikasi, 8(2), 227-234.