Ekonomi Media:
Pengantar
Pengantar
Media massa seringkali hanya dipandang sebagai institusi sosial, politik,
dan budaya belaka. Akan tetapi, perkembangan dewasa ini memperlihatkan media
tidak lagi dilihat semata-mata sebagai institusi sosial dan politik, melainkan juga
sebagai institusi ekonomi. Fakta menunjukkan bahwa media telah tumbuh bukan
saja sebagai alat penyampai pesan-pesan sosial, politik dan budaya, tetapi juga
sebagai perusahaan yang menekankan keuntungan ekonomi.
Dennis McQuail menyebut fenomena media massa modern ini sebagai
dwi-karakter media atau karakter ganda media. McQuail lebih jauh menyebut
media memiliki dwi karakter yang tak terpisahkan: karakter sosial-budaya- politik
dan karakter ekonomi.
Menurut McQuail, faktor ekonomi malah menjadi faktor penentu dalam
mempengaruhi seluruh perilaku media massa modern. Faktor pasar bebas dalam
seluruh proses komunikasi massa memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam
membentuk faktor persaingan. Tuntutan ekonomi kini menjadi pertimbangan
bagaimana media massa kontemporer dibentuk dan dikelola.
Ekonomi Media: Definisi
Perkembangan media massa menjadi institusi ekonomi melahirkan disiplin
ilmu yang disebut ekonomi media (media economics). Ekonomi media
memandang media sebagai industri atau institusi ekonomi yang berupaya mencari
keuntungan.
Sebagai suatu disiplin ilmu, ekonomi media terbilang baru. Di negaranegara Barat studi ini baru muncul pada 1990-an. Di Indonesia studi ekonomi
media baru muncul pada tahun 2000-an. Studi ekonomi media umumnya baru
menjadi bidang studi di dunia ilmu komunikasi. Studi ekonomi media ini
semestinya juga menjadi bidang studi di jurusan ekonomi.
Apa itu ekonomi media? Ekonomi media tentu terdiri dari dua kata
ekonomi dan media. Oleh karena itu, sebelum kita membahas definisi
ekonomi media, kita lihat dulu definisi ekonomi dan media.
Ekonomi, menurut Samuelson dan Nordhaus, adalah studi tentang
bagaimana manusia menggunakan sumber-sumber yang terbatas untuk
memproduksi komoditas dan mendistribusikannya kepada manusia atau
kelompok manusia lainnya.
Dari definisi di atas ada tiga konsep pokok dalam ekonomi: sumber
(segala sesuatu yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa), produksi
(penciptaan barang dan jasa untuk konsumsi), serta konsumsi (penggunaan barang
dan jasa untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan).
Sedangkan media secara umum bisa didefinisikan sebagai sarana atau
perantara atau penyebar dalam suatu proses komunikasi. Melalui media pesan
terdistribusi ke khalayak. Dalam konteks ekonomi, media adalah institusi bisnis
1
2
Media sebagai Institusi Ekonomi
Pengantar
Ilmuwan komunikasi Harold Laswell menyebut media massa sebagai
media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Akan tetapi,
kecenderungan dewasa ini memperlihatkan media telah menjadi industri atau
institusi ekonomi. Perkembangan global dewasa ini tak ayal telah menjadikan
media massa bukan hanya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan
kontrol sosial, melainkan juga sebagai industri atau institusi ekonomi.
Banyak pengusaha besar yang menanamkan modalnya dalam bisnis media
massa. Para pengusaha yang terjun ke indistri media tentu berharap modal yang
mereka sudah tanamkan bisa kembali, bahkan menghasilkan keuntungan.
Terjunnya pengusaha besar dalam industri media memunculkan fenomena
konglomerasi media.
Untuk menghasilkan keuntungan, perusahaan media tentu saling
berkompetisi. Kompetisi antarindustri media adalah kompetisi memperebutkan
khalayak dan pengiklan. Khalayak dan pengiklan dalam ekonomi media disebut
pasar.
Dalam upaya memenangkan persaingan memperebutkan pasar, media
kadang mengabaikan kepentingan publik. Media seringkali mengabaikan kualitas
produk yang mereka hasilkan demi mengejar keuntungan. Untuk itu, media dalam
perspektif ekonomi media membutuhkan regulasi.
Untuk berkompetisi dan menghasilkan keuntungan, media juga harus
mengetahui selera pasar dan perubahannya. Bagaimanapun, sebagai institusi
ekonomi media massa harus mampu memenuhi kebutuhan pasar. Sebabnya
pasarlah yang membiayai kelangsungan hidup media. Untuk mengetahui selera
atau kebutuhan pasar tersebut media perlu melakukan riset.
Melihat fenomena media sebagai institusi ekonomi, banyak ilmuwan
komunikasi yang mengembangkan pemikiran atau teori tentang media massa
sebagai institusi ekonomi. Fenomena media massa telah menjadi institusi
ekonomi bahkan melahirkan disiplin ilmu ekonomi media.
Teori Ekonomi-Politik Media
Dennis McQuail menyebut teori ini sebagai pendekatan yang memusatkan
perhatian lebih banyak pada struktur ekonomi daripada muatan (isi) ideologis
media. Teori ini mengemukakan ketergantungan ideologi pada kekuatan ekonomi
dan mengarahkan penelitian pada analisis empiris terhadap struktur kepemilikan
dan mekanisme kerja kekuatan pasar media.
Menurut teori ekonomi-politik media ini, institusi media harus dipandang
sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga berkaitan erat dengan sistem
politik. Teori ini memusatkan perhatian pada media sebagai proses komunikasi
yang menghasilkan komoditas (isi).
Mengutip Garnhan, McQuail menyebutkan kualitas pengetahuan tentang
masyarakat yang diproduksi oleh media, sebagian besar dapat ditentukan oleh
transaksi berbagai ragam isi dalam kondisi yang memaksakan perluasan pasar,
4
dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik media. Berbagai
kepentingan tadi terkait erat dengan kebutuhan untuk memperoleh keuntungan
dari hasil kerja media dan juga untuk kepentingan bidang usaha lainnya untuk
memperoleh keuntungan, sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis
dan proses integrasi, baik secara vertikal maupun horizontal.
Jelas sekali bahwa teori ekonomi politik media memandang media sebagai
institusi ekonomi. Teori ekonomi-politik media menjadi landasan teoretis dalam
memandang media sebagai institusi ekonomi. Dengan begitu, memandang media
sebagai institusi ekonomi mempunya landasan teori yang kuat dalam dunia ilmu
komunikasi
Media sebagai Institusi Ekonomi
Herman dan Chomsky menyebut media massa sebagai mesin atau pabrik
penghasil berita (news manufacture) yang sangat efektif dan mendatangkan
keuntungan besar. Menurut mereka, media massa telah menjadi industri.
Jurgen Habermas dalam buku The Theory of Communicative Action
menyebut media sebagai institusi sosial-politik sekaligus sebagai institusi
ekonomi. Sebagai institusi sosial-politik, media berupaya menjembatani publik
dalam menyampaikan aspirasi sosial-politik metreka terhadap pengauasa dan
kekuasaan. Sebagai institusi ekonomi media bekerja berdasarkan rasionalitas
ekonomi atau bisnis, yakni mencari keuntungan.
Dennis McQuail yang dikenal sebagai ilmuwan komunikasi bahkan
menempatkan media massa sebagai industri atau institusi ekonomi sebagai dalil
pertama yang mendasari bukunya Mass Communication Theory. Di situ, McQuail
mengatakan media merupakan industri yang berubah dan berkembang yang
menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa, serta menghidupkan industri lain
yang terkait; media massa juga merupakan industri tersendiri yang memiliki
peraturan atau regulasi dan norma-norma yang menghubungkan institusi tersebut
dengan masyarakat atau institusi sosial lainnya.
Dennis McQuail selanjutnya mengajukan 10 prinsip yang menunjukkan
media sebagai institusi ekonomi:
1. Media berbeda atas dasar apakah media tersebut mempunyai struktur fixed
dan variabel cost.
2. Pasar media mempunyai karakter ganda: dibiayai oleh konsumen dan atau
oleh para pengiklan.
3. Media yang dibiayai oleh pendapatan iklan lebih rentan atas pengaruh
eksternal yang tidak diinginkan.
4. Media yang didasarkan pada pendapatan konsumen rentan krisis keuangan
jangka pendek.
5. Perbedaan utama dalam penghasilan media akan menuntut perbedaan
ukuran kinerja media.
6. Kinerja media dalam satu pasar akan berpengaruh pada kinerja di tempat
lain (pasar lain).
7. Ketergantungan pada iklan dalam media massa berpengaruh pada masalah
homogenitas program media.
Pasar Media
Pasar Media: Definisi
Sebagai institusi ekonomi, media tentu mempunyai pasar. Pasar adalah
target atau sasaran dari produk, baik barang ataupun jasa, yang dihasilkan oleh
media.
Menurut Picard dan McQuail, industri media itu unik karena memiliki
pasar ganda: khalayak (audience) dan pengiklan. Media dalam operasinya
membidik khalayak dan pengiklan. Media memasarkan produk bagi khalayak dan
pengiklan. Televisi menyiarkan sinetron agar ditonton oleh penonton dan agar
pengiklan memasang iklan pada program sinetron tersebut.
Khalayak adalah orang-orang yang mengonsumsi produk yang dihasilkan
oleh media. Dalam dunia media, tingkat, besar atau jumlah khlayak suatu media
bisa dilihat dari jumlah orang yang mengonsumsi media tersebut. Tingkat atau
besar khalayak bisa dilihat dari rating atau share untuk televisi dan sirkulasi atau
oplah untuk media cetak.
Pengiklan adalah lembaga atau perorangan yang menggunakan media
untuk menginformasikan atau memasarkan produk mereka. Output dari pengiklan
sebagai pasar adalah revenue atau penghasilan dari iklan bagi suatu media.
Secara teoretis-kuantitatif, khalayak dan pengiklan sebagai pasar
mempunyai hubungan yang erat. Jika suatu produk media dikonsumsi oleh
banyak khalayak, pengiklan pun akan banyak, sehingga media tersebut
memperoleh keuntungan. Artinya, secara teoretis-kuantitatif, makin besar
khalayak, maka akan makin besar pendapatan dari pengiklan dan makin besar
keuntungan perusahaan media.
Dalam konteks hubungan khalayak, iklan, dan keuntungan ekonomi
media, maka klahayak adalah buruh tanpa gaji yang bekerja untuk media sehingga
perusahaan media mendapat keuntungan ekonomi. Di sisi lain, bisa pula
dikatakan khalayaklah yang menggaji pekerja media.
Namun, hubungan antara khalayak dan iklan tidak selalu berbanding lurus
secara kuantitatif. Ada media massa yang jumlah khalayaknya relatif sedikit,
tetapi karena media massa tersebut punya citra tertentu (kualitatif), banyak
pengiklan mengiklankan produk di media massa tersebut.
Tidak semua media mempunyai pasar ganda. Pasar buku hanya khalayak
atau pembaca. Film dan rekaman umumnya tergantung hanya pada khalayak,
meski sejumlah film dan rekaman memperoleh penghasilan dari iklan atau
sponsor. Pemasukan televisi berlangganan terutama berasal dari pelanggan. Pasar
public relations juga hanya pelanggan atau pengguna jasa.
Tipe Struktur Pasar
Tipe struktur pasar adalah kondisi pasar tempat beroperasinya media. Tipe
struktur pasar terkait erat dengan persaingan. Ada empat tipe struktur pasar:
monopoli, oligopoli, kompetisi monopolistik, dan kompetisi sempurna.
Monopoli adalah tipe struktur pasar ketika hanya ada satu produsen yang
menguasai pasar. Struktur pasar monopoli kebanyakan terjadi di negara-negara
7
melihat harga yang ditawarkan kompetitor; (d) harga normal industri, yaitu harga
yang ditentukan oleh industri itu sendiri, bukan ditentukan oleh pasar.
Dalam industri rekaman, pasar menentukan harga kaset pemusik atau
penyanyi dalam negeri Rp 20 ribu, misalnya, sementara kaset pemusik atau
penyanyi luar negeri Rp 25 ribu. Pasar menentukan harga tersebut berdasarkan
pajak penjualan, royalti, dll.
Di akhir tahun, perusahaan media biasanya menetapkan target pendapatan
dengan margin keuntungan tertentu. Dari situ, stasiun televisi atau surat kabar,
misalnya, menetapkan tarif iklan tertentu.
Persaingan antarmedia bisa membentuk harga. Televisi berlangganan
dewasa ini saling bersaing menetapkan biaya berlangganan yang murah demi
memperebutkan konsumen.
Namun, perusahaan media yang mapan akan menerapkan harga sesuai
dengan keinginan mereka. Bahkan, meski harga yang mereka tetapkan relatif
lebih mahal dibanding produk lain, orang tetap mengonsumsinua. Dia tidak
terpengaruh dengan pesaingnya yang menerapkan harga yang lebih murah.
Strategi Produk dan Iklan
Strategi produk mengacu pada keputusan yang didasarkan pada produk
aktual yang dihasilkan produsen, termasuk cara mengemas dan mendesainnya.
Dalam industri media, ini berkaitan dengan, misalnya, bagaimana mengemas
tayangan berita televisi yang eksklusif, cepat, dan akurat.
Strategi iklan adalah aktivitas mempromosikan produk agar dikenal
konsumen. Makin kompetitif pasar, makin dibutuhkan strategi dalam
mempromosikan produk. Di tengah persaingan yang makin ketat, stasiun-stasiun
televisi berlangganan di Indonesia makin strategis dalam mempromosikan
produk, mulai promosi di mal, door to door, hingga paket-paket berlangganan
dengan harga murah.
Riset dan Inovasi
Riset dan inovasi merupakan aktivitas perusahaan untuk mendiferensiasi
dan meningkatkan produk dari waktu ke waktu. Media, misalnya, melakukan riset
pasar untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan khalayak. Televisi kini
mengembangkan inovasi di bidang teknologi, misalnya, dengan satellite news
gathering (SNG), electronic news gathering (ENG), video streaming dll, untuk
mengirim gambar secara cepat. Sejumlah koran di Indonesia, seperti Kompas dan
Tempo melakukan cetak jarak jauh. Sejumlah koran, seperti Kompas, Sindo, dan
Media Indonesia, pernah terbit dua edisi setiap hari.
Investasi
Investasi mengacu pada pengadaan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk
memproduksi barang atau jasa. Pembelian kamera atau pendirian pemancar atau
transmisi merupakan investasi bagi industri televisi siaran.
10
Taktik Legal
Taktik legal merupakan upaya yang berkaitan dengan hukum, yang
dilakukan oleh perusahaan dalam suatu pasar. Taktik legal kadang dilakukan oleh
perusahaan untuk memenangi persaingan. Dalam industri media, hak cipta
merupakan salah satu taktik legal.
Kinerja Pasar
Kinerja pasar mencakup analisis kemampuan perusahaan untuk mencapai
tujuan berdasarkan kriteria tertentu. Kinerja pasar biasanya dilihat dari perspektif
orang luar, ketimbang dari perspektif perusahaan sendiri. Artinya, orang atau
institusi luar yang melihat kinerja pasar, bukan perusahaan itu sendiri. Para
pengambil keputusan, misalnya, menilai efisiensi ekonomi industri tertentu
melalui kriteria tertentu, dan jika perlu melakukan berbagai perbaikan untuk
meningkatkan kinerja pasar. Dalam konteks ini, kinerja pasar dinilai berdasarkan
orientasi makroekonomi. Kinerja pasar terdiri dari efisiensi produk, efisiensi
alokasi, kemajuan, keadilan.
Efisiensi
Efisiensi adalah kemampuan perusahaan memaksimalkan kekayaannya.
Efisiensi terdiri dari efisiensi teknis dan efisiensi alokasi. Efisiensi teknis adalah
penggunaan sumber-sumber perusahaan dalam cara yang lebih efisien untuk
memaksimalkan hasil. Dalam industri televisi, penggunaan teknologi video
streaming yang berbasis internet berbiaya lebih murah ketimbang mengirim
secara fisik dengan kargo. Dalam industri media cetak, teknologi cetak jarak jauh
dalam jangka panjang akan membuat ongkos kirim makin murah
Efisiensi alokasi terjadi jika pasar perusahaan berfungsi secara optimal,
mendatangkan keuntungan bagi produsen dan konsumen. Media sebagai produsen
memproduksi informasi. Jika informasi yang disajikan media dianggap
berkualitas, makin banyak atau makin tersegmentasi khalayak yang mengonsumsi
media tersebut. Makin banyak atau makin tersegmentasi khalayak yang
mengonsumsi suatu media, pengiklan sebagai pasar atau konsumen pun makin
banyak memasang iklan di media tersebut. Jika pengiklan merasakan produk yang
diiklankan di media tersebut laku di pasar, pengiklan akan terus-menerus
memasang iklan di media tersebut. Keuntungan media bersangkutan pun makin
besar.
Keadilan
Ekuitas atau keadilan berkaitan dengan hasil atau kepuasan yang
terdistribusi di antara produsen dan konsumen. Idealnya, sistem ekonomi pasar
menyediakan distribusi yang merata sehingga tak cuma satu perusahaan yang
menikmati keuntungan. Kenyataannya, keadilan lebih problematik dalam sistem
pasar monopolistik dan oligopolistik karena keuntungan lebih dinikmati oleh
segelintir perusahaan.
Dalam industri media, tentu ada media yang menghasilkan keuntungan
berlimpah, sementara media lain mendapat keuntungan ala kadarnya. Itu sangat
11
13
4
Kompetisi Media
Pengantar
14
adalah media generalis yang memiliki beragam isi, mulai berita, olahraga, musik,
film, sinetron. MetroTV dan TVOne adalah televisi spesialis karena sebagian
besar isinya berita dan informasi.
Stasiun televisi terestrial (free to air television) seperti RCTI, MetroTV,
Antv merupakan media generalis. Mereka menggantungkan hidupnya pada isi,
klayak, dan iklan. Akan tetapi, stasiun televisi berbayar (pay television) seperti
Indovision, AoraTV, Telkomvsion, merupakan media spesialis karena mereka
menggantungkan hidupnya lebih kepada isi dan penonton (iuran penonton).
Secara teoretis, media generalis lebih bisa bertahan hidup dibanding media
spesialis. Jika satu sumber kehidupan habis, media tersebut masih bisa
mengonsumsi sumber kehidupan lain. Jika situasi dunia aman dan tentram dan
tidak ada berita yang menarik, MetroTV dan TVOne akan kehilangan sumber
kehidupan. Namun, RCTI, SCTV, dan TransTV masih memiliki sinetron, film,
atau musik, meski tidak ada berita menarik. Stasiun televisi berlangganan akan
mati jika penonton berhenti berlangganan, sementara stasiun televisi terestrial
masih bisa mengandalkan iklan.
Namun, dalam tataran praktis, media spesialis ternyata bisa juga bertahan
hidup. Dulu orang meramalkan MetroTV tidak bisa bertahan lama karena
pemasang iklan enggan memasang iklan akibat kecilnya jumlah penonton stasiun
televisi berita itu. MetroTV ternyata bisa bertahan, bahkan Lativi yang
sebelumnya televisi generalis bermetamorfosis menjadi TVOne yang lebih
spesialis. Itu artinya pemasang iklan memperhatikan segmentasi. Penonton yang
tersegmentasi menjadi sasaran iklan yang jitu bagi pemasang iklan.
Dalam perspektif ekologi media, kompetisi sengit terjadi antara media
yang karakternya sejenis. Koran tidak bersaing dengan televisi. Koran bersaing
secara ketat dengan sesama koran. Televisi bersaing secara ketat dengan sesama
televisi. Koran nasional tidak bersaing dengan koran lokal. Koran nasional
bersaing secara ketat dengan sesama koran nasional. Televisi hiburan tidak
bersaing dengan televisi berita. Televisi berita bersaing dengan sesama televisi
berita.
Namun, kenyataannya dewasa ini terjadi persaingan antarmedia. Koran
kini berkompetisi dengan televisi dan media online. Kompetisi ini melahirkan
konvergensi media. Kompas, misalnya, kini memiliki koran, mediaonline, bahkan
televisi.
Kompetisi: Perspektif Ekonomi Media
Dalam perspektif ekonomi media, media massa berkompetisi
memperebutkan pasar. Pasar media adalah khalayak dan pengiklan. Dengan
begitu, dalam perspektif ekonomi media, media massa bersaing memperebutkan
khalayak dan pengiklan.
Dilihat dari perspektif ekonomi media, derajat kompetisi bisa dilihat dari
konsentrasi pasar dan konsentrasi kepemilikan. Media yang pasarnya relatif
sejenis akan berkompetisi secara ketat. MetroTV dan TVOne bersaing secara
ketat karena mereka membidik penonton dan pengiklan yang relatif sama. Untuk
mengurangi derajat persaingan, media biasanya memperluas pasar. Untuk
16
5
Kepemilikan Media
17
Landasan Teoretis
Terdapat empat teori ekonomi-politik yang terkait dengan kepemilikan
media: libertarianisme, kapitalisme, sosialisme, dan liberalisme modern.
Libertarianisme adalah teori ekonomi yang menganggap kebebasan
manusia sekaligus peran pemerintah sangat penting keberadaannya. Kebebasan
individu tetap harus dikontrol oleh pemerintah agar kebebasan tersebut tidak
berlebihan. Teori ekonomi-politik ini menghalalkan kepemilikan sumber-sumber
ekonomi oleh swasta sejauh diperoleh melalui kompetisi yang sehat. Media boleh
dimiliki oleh swasta. Media boleh saja memiliki keuntungan sebesar-besarnya
asalkan melalui persaingan yang sehat. Pemerintah mengawasi agar persaingan
berlangsung sehat.
Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang mengijinkan individu atau
korporasi bisnis (bukan pemerintah, publik, atau negara) memiliki dan
mengontrol sumber-sumber kekayaan atau kapital negara. Menurut teori ini
individu atau perusahaan bebas berkompetisi untuk memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya, misalnya melalui harga, promosi dll. Industri media dimiliki
oleh swasta. Industri media bebas berkompetisi untuk memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya.
Sosialisme adalah sistem ekonomi-politik yang berpandangan pemerintah
harus memiliki dan mengontrol sumber-sumber kekayaan negara. Sistem ekonomi
ini mengakui monopoli negara atas sumber-sumber ekonomi sehingga tak ada
persaingan di dalamnya. Negara menguasai media sehingga tidak ada persaingan
ekonomi di bidang industri media massa. Media dengan demikian akan
menjunjung tinggi etika sebagaimana telah ditetapkan oleh negara.
Liberalisme modern adalah sistem ekonomi yang memadukan sistem
ekonomi libertarianisme, kapitalisme, dan sosialisme. Liberalisme modern
mengambil hal-hal positif dari ketiga sistem ekonomi tersebut. Sebagai contoh,
televisi berlangganan boleh dimiliki oleh swasta dan pemerintah mengontrol
kompetisi di antara TV berlangganan itu. Namun, pemerintah juga menyediakan
TV publik bagi masyarakat yang tidak mampu berlangganan TV kabel, misalnya.
Bentuk Kepemilikan Media
Produksi, distribusi dan keberadaan industri televisi, video rumah tangga,
koran, majalah, buku, rekaman, dan film membutuhkan modal yang besar. Dalam
konteks ekonomi media, tentu hanya pemodal besar yang mampu mendirikan
industri media. Pada gilirannya, para pemodal ini berupaya memperoleh
keuntungan dari investasi yang mereka tanamkan dalam industri media.
Fenomena inilah yang disebut media komersial.
Tentu saja ada media yang dimiliki oleh pemerintah, seperti di negaranegara otoriter atau di negara komunis. Namun, media milik pemerintah ini,
dalam perspektif ekonomi media, tidaklah ditujukan untuk menghasilkan
keuntungan ekonomi. Media pemerintah bertujuan mencapai keuntungan politik
bagi penguasa.
Di negara-negara demokratis, kita mengenal media publik. Media publik
dibiayai oleh publik lewat pajak. Sebagaimana media pemerintah, media publik
18
Konsentrasi Kepemilikan
Proses ekonomi media menuntut maksimalisasi keuntungan. Tidak
mengherankan apabila media juga memerlukan sistem persaingan dan proses
konsentrasi kapital. Konsentrasi dalam istilah ekonomi media adalah seberapa
19
tingkat keberbedaan atau kesamaan (identik) sebuah produk dalam sebuah pasar
dan apakah ada atau tidak adanya halangan masuk dalam pasar tersebut.
Permasalahan konsentrasi kapital oleh media dibedakan dalam beberapa
hal yaitu level konsentrasi, arah konsentrasi dan level pengamatan, serta derajat
konsentrasi media. Konsentrasi media biasanya terjadi di antara situasi monopoli
dan persaingan sempurna. Konsentrasi diperhitungkan secara eksesif ketika ada
tiga atau empat perusahaan yang menguasai 50% jangkauan pasar. Konsentrasi
media dipicu dengan adanya persaingan itu sendiri, untuk mendapatkan sinergi
dan keuntungan maksimal. Beberapa hal atau derajat konsentrasi justru
menguntungkan konsumen. Efek yang tidak diinginkan dengan masalah
konsentrasi adalah hilangnya keragaman, harga yang lebih tidak ekonomis, dan
keterbatasan akses kepada media. Dengan demikian penting juga untuk
melakukan pengaturan tentang konsentrasi media dengan mendorong hadirnya
pemain baru dalam pasar media.
Kenyataannya, tidak semua industri media mampu menghadapi
persaingan. Ada dua kemungkinan yang terjadi pada media yang tak mampu
menghadapi persaingan: bangkrut atau diakuisisi oleh media lain. Akuisisi ini
akan mengurangi derajat persaingan.
Ada juga konsep lain untuk mengurangi persaingan: merger. Merger
adalah bergabungnya dua atau lebih media yang kedudukannya relatif seimbang
dalam pasar. Merger seringkali juga dilakukan untuk menghadapi persaingan
dengan perusahaan media lainnya.
Pada tahun 1968 di Amerika Serikat terjadi lebih dari 130 merger dan
akuisisi yang melibatkan perusahaan komunikasi. Peneliti media Ben Bagdikian,
pada 1980 menemukan terdapat 20 kelompok media di seluruh AS. Sepuluh tahun
kemudian, jumlahnya menyusut menjadi hanya belasan. Pada 1997, kelompok
pemilik media tinggal lima saja, yang mengasai 60 persen jumlah media. Kelima
kelompok itu adalah AOL-Time Warner, Disney, Viacom, The News Corporation,
dan Sony Columbia.
Akuisisi dan merger memang memperluas kapital atau modal dan
mengurangi persaingan. Namun, sebagaimana ditunjukkan dalam kasus merger
dan akuisisi di Amerika, merger dan akuisisi menyebabkan konsentrasi
kepemilikan atau konglomerasi.
Fenomena konglomerasi media juga terjadi di Indonesia. Trans corps.
memiliki Trans TV dan Trans7. Kelompok Bakrie memliki Antv dan TVOne.
Media Nusantara Citra (MNC) menguasai RCTI, TPI, Global TV, Radio Trijaya,
Koran Seputar Indonesia, Okezone.com. Surya Paloh mememiliki MetroTV,
harian Media Indonesia, harian Lampung Post. Kelompok Kompas Gramedia
merupakan konglomerasi media cetak. Jawa Pos Grup, selain merupakan
konglomeasi media cetak, juga menguasai sejumlah stasiun televisi lokal.
Dampak Konglomerasi Media
Konglomerasi memiliki dampak positif dan dampak negatif. Paling tidak
terdapat dua dampak positif konglomerasi media atau konsentrasi kepemilikan
media. Pertama, konglomerasi mengurangi derajat kompetisi media. Sebagai
20
1. RCTI
2. SCTV
3. TransTV
4. Indosiar
5. Antv
6. TV 7
7. TPI
8. GlobalTV
9. Lativi
10. MetroTV
mempekerjakan orang yang tak bisa menulis berita, dan memenuhi kolom yang
ada dengan meteri yang tidak karuan.
Kepemilikan Asing
Orang atau lembaga asing bisa memiliki saham media di negara lain. Di
Indonesia, StarTV pernah memiliki saham Antv dan TVOne. AstroTV milik
pengusaha Malaysia pernah beroperasi di Indonesia.
Namun, biasanya ada regulasi terkait kepemilikan asing di industri media.
Di Amerika Serikat, terdapat regulasi yang mengharuskan orang asing yang ingin
memiliki media di sana untuk menjadi warga negara Amerika terlebih dahulu.
Dalam ekonomi media, ini yang disebut rintangan bagi produsen lain. Untuk
memenuhi regulasi tersebut, Rupert Murdoch yang sebelumnya
berkewarganegaraan Australia rela menjadi warganegara Amerika.
Indonesia, seperti dalam kasus StarTV dan Astro, juga membolehkan
orang atau lembaga asing memiliki saham secara terbatas di perusahaan media
dalam negeri. Undang-undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 melegalkan
kepemilikan 20 persen saham oleh asing di perusahaan media penyiaran. Undangundang Pokok Pers No. 40 tahun 1999 tidak mengijinkan modal asing mencapai
saham mayoritas.
Kepemilikan asing tentu juga punya dampak positif dan negatif. Dampak
positifnya antara lain masuknya modal, transfer ketrampilan serta alih teknologi
di bidang media. Dampak negatifnyameski kadang dinilai terlampau berlebihan
antara lain dominasi dan eksploitasi modal, sumber daya manusia dan budaya
dalam negeri. Kekhawatiran akan dampak negatif tersebut sepertinya yang
membuat adanya regulasi yang membatasi kepemilikan asing.[]
6
Teknologi Media dan Ekonomi Media
Landasan Teoretis
23
7
Regulasi Media dan Ekonomi Media
Pengantar: Kaitan Regulasi dan Ekonomi Media
Secara teoritis, ilmu komunikasi menyebutkan media punya pengaruh
yang dahsyat pada khalayak. Media bisa membentuk opini publik. Media
mungkin saja mengubah perilaku khalayak.
27
28
Regulasi Penyiaran
Regulasi Penyiaran versus Regulasi Media
Media penyiaran bisa disebut sebagai media yang paling banyak memiliki
aturan atau regulasi dibanding media jenis lainnya. Regulasi media penyiaran
relatif lebih ketat dibanding media jenis lainnya. Sebagai contoh, jika media cetak
diperbolehkan berafiliasi pada kelompok politik atau kelompok kepentingan
tertentu, tidak demikian halnnya media penyiaran. Oleh karena itu, regulasi
30
tentang media penyiaran paling banyak dibahas dibanding dengan media jenis
lainnya. Bisa dikatakan lebih banyak buku yang membahas tentang regulasi
penyiaran dibanding regulasi media jenis lainnya.
Regulasi Penyiaran: Landasan Teoretis
Terdapat sejumlah teori yang menjelaskan mengapa media penyiaran cenderung
lebih regulatif dibanding media jenis lain. Teori-teori tersebut dikemukakan oleh
Joseph R. Dominic, Dennis McQuail, dan Jankwoski.
Joseph R. Dominic menggagas dua teori berkaitan dengan regulasi, yaitu
the scarcity theory atau teori keterbatasan dan the pervasive presence theory. The
scarcity theory mengemukakan bahwa gelombang elektromagnetik bersifat
terbatas dan hanya bisa dipakai oleh stasiun penyiaran secara terbatas sehingga
hanya segelintir orang yang bisa menggunakannya. Negara memilih atau
menyeleksi pengguna frekuensi yang dianggap paling potensial dan mampu
mengelola secara profesional. The pervasive presence theory mengasumsikan
media penyiaran sangat dominan pengaruhnya bagi masyarakat. Pesan yang
dibawa media penyiaran dianggap ofensif dan masuk ke wilayah pribadi sehingga
perlu pengaturan atau regulasi.
McQuail menyebutkan media perlu dikontrol dalam dua wilayah, yaitu
wilayah isi dan wilayah infrastruktur. Wilayah isi perlu dikontrol karena alasan
politik dan kultural atau moral. Dalam hal isi, regulasi mengontrol isi media agar
tidak berdampak buruk secara politik, kultural maupun moral. Wilayah
infrastruktur dikontrol karena alasan ekonomi dan teknologi. Dalam hal
infrastruktur, regulasi mengatur kepemilikan media berikut teknologinya serta
persaingan antarmedia agar tidak merugikan publik.
Menurut Jankwoski, ada dua alasan sehingga diperlukan regulasi media
penyiaran. Pertama, regulasi diperlukan karena terbatasnya jumlah frekuensi.
Kedua, kuatnya efek media penyiaran dalam mempengaruhi khalayak. Regulasi
juga dimaksudkan untuk memudahkan akses terhadap medium penyiaran. Dengan
pengaturan yang tepat akan diperoleh informasi yang obyektif.
Prinsip Regulasi Penyiaran
Menurut Muhammad Mufid, regulasi mengandung prinsip-prinsip sebagai
berikut:
Menetapkan sistem tentang bagaimana dan siapa yang berhak mendapatkan
lisensi penyiaran.
Memupuk rasa nasionalitas.
Secara ekonomis melindungi institusi media dari kekuatan asing.
Mencegah konsentrasi dan membatasi kepemilikan silang. Di Uni Eropa ada
komisi khusus yang mengatur tata laksana merger dan pengawas kuota media.
Memuat apa yang disebut Head (1985) sebagai regulation fairness yang
mengandung prinsip obyektivitas, imparsialitas, dan akuntabilitas.
Mengatur tata aliran keuangan dari sumber yang berbeda. Dana komersial,
misalnya, mesti dibatasi guna melindungi konsumen dari iklan yang eksesif,
31
pali
ng tidak dari bentuk promosi tertentu untuk mencegah pengaruh
pengiklan yang berlebihan terhadap suatu acara.[]
8
Riset Ekonomi Media
Pentingnya Riset
32
33
lain? Kompetisi pada gilirannya berakibat pada content media. Apakah kompetisi
di antara media akan meningkatkan kualitas isi yang dikunsumsi audience atau
justru menurunkannya? Apakah kompetisi akan meningkatkan perolehan iklan?
Riset Praktis
Riset praktis biasanya bertujuan meningkatkan kualitas content. Pada
gilirannya, content yang berkualitas dapat meningkatkan pendapatan iklan.
Dengan perkataan singkat, riset praktis bertujuan mengidentifikasi selera pasar
(khalayak dan pengiklan) serta perubahannya. Oleh karena itu, riset praktis
idealnya dilakukan secara berkala. Hasil riset praktis dipergunakan untuk
mengevaluasi dan meningkatkan kinerja media. Riset praktis bisa bersifat
kualitatif maupun kuantitatif.
Riset Kuantitatif
Untuk media penyiaran, khususnya televisi, riset kuantitatif dilakukan
untuk mengetahui share, rating, index, dan revenue atau penghasilan dari iklan.
Di atas kertas atau secara teoretis, makin tinggi share, rating, dan index, makin
tinggi revenue atau penghasilan dari iklan. Pengiklan biasanya memutuskan
memasang iklan pada program dengan rating, share, dan index yang tinggi.
Untuk media cetak, secara kuantitatif, juga berlaku hubungan seperti
dalam media penyiaran. Makin besar oplah dan jumlah pembaca, makin besar
pendapatan dari iklan. Sebagaimana dalam media penyiaran, pengiklan biasanya
memutuskan memasang iklan di media cetak yang bertiras tinggi.
Perusahaan media tidak perlu melakukan riset kuantitatif semacam ini
sendiri. Perusahaan media cukup melibatkan lembaga riset. Bahkan, ada lembaga
riset yang secara rutin melakukan riset khalayak. Perusahaan media tinggal
membeli data dari lembaga riset ini.
Dalam bisnis penyiaran, Nielsen merupakan lembaga riset yang secara
rutin melakukan riset kepemirsaan. Nielsen antara lain melakukan riset tentang
rating, share, dan index. Secara teoretis-kuantitatif, makin tinggi rating, share,
dan index, makin besar revenue atau pemasukan dari iklan.
Rating
10.000, itu berarti ada 1.000 orang yang menonton program tersebut.
Share
Jika suatu program punya share 50%, itu artinya separo dari jumlah
penonton pada waktu yang sama menonton program tersebut. Jika pada
saat yang sama total penonton berbagai program di berbagai stasiun
televisi, katakanlah, 100.000 orang, dan share program suatu program X di
stasiun televisi Y adalah 50%, itu artinya penonton program X di stasiun
televisi Y tersebut berjumlah 50.000 orang.
Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud dengan rating dan share serta
perbedaan di antara keduanya, kita ambil sebuah contoh. Sebagai contoh,
populasi berjumlah 10.000. TV A meraih 2.000 penonton, TV B 1.000
penonton, dan TV C 1.000 penonton.
- Rating
TV A = 2.000 : 10.000 x 100% = 20%;
TV B dan C = 1.000 : 10.000 x 100% = 10%
- Share
TV A = 20% x 100%: 40% = 50%
TV B dan C = 10% x 100 % : 40% = 25%
Index
- Index adalah angka untuk mengukur apakah suatu program tepat sasaran.
Dengan perkataan lain, indeks adalah angka untuk mengetahui apakah
penonton yang menonton suatu program sudah sesuai dengan target
sehingga program tersebut efektif.
- Ukuran:
< 100 kurang efektif
> 100 lebih efektif
= 100 efektif
Rating Kualitatif
Rating kualitatif dilakukan sebagai alternatif bagi rating kuantitatif yang
memiliki banyak kelemahan.
Metode yang digunakan adalah peer review assesment, yakni meminta
penilaian terhadap berbagai program televisi dari responden yang
merupakan sekelompok orang yang berkompeten dengan berbagai latar
belakang. Kelompok responden bukanlah kalangan awam, melainkan
kalangan yang paham dengan program-program televisi.
Responden diminta menilai aspek kualitas suatu program, misalnya,
apakah suatu program menambah pengetahuan, meningkatkan empati
sosial, meningkatkan daya kritis, dan sebagainya. Penilaian responden
kemudian dihitung frekuensinya dan dipersentasekan.
9
Ekonomi Industri Surat Kabar
Sejarah Singkat
38
Surat kabar bisa dikatakan merupakan media massa tertua di dunia, setelah
buku. Pada zaman Romawi Kuno sudah ada surat kabar yang disebut Acta
Diurna. Acta Diurna tentu saja merupakan media untuk menyampaikan informasi
politik. Memang awalnya, surat kabar merupakan media untuk menyampaikan
informasi politik, sosial, dan kultural.
Di Amerika Serikat pun di masa-masa awal, surat kabar merupakan media
penyampai informasi politik. Belum muncul kecenderungan media menjadi suatu
institusi ekonomi yang mencari keuntungan sehingga bisa menghidupi diri. Koran
Boston News-Letter yang berdiri pada 1704, misalnya, bisa bertahan hidup karena
subsidi pemerintah.
Namun, perkembangan berikutnya memperlihatkan surat kabar telah
menjadi instusi bisnis yang menjual informasi. Di Amerika, menjelang abad ke19, koran the New York Sun sudah menjadi institusi ekonomi. Banyak perusahaan
penerbit surat kabar yang kemudian menjadi korporasi besar.
Di Indonesia, di masa-masa prakemerdekaan, banyak koran yang didirikan
atau disubsidi oleh pemerintah kolonial Belanda. Koran menjadi alat propaganda
pemerintah kolonial. Koran-koran kaum nasionalis menjadi media politik yang
memberitakan kritik atau perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Di masa demokrasi liberal, surat kabar di Indonesia bersifat partisan.
Mereka berafiliasi pada partai politik tertentu. Harian Rakjat berafiliasi dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI), Pedoman berafiliasi dengan Partai Sosialis
Indonesia (PSI), Abadi berafiliasi dengan Partai Masyumi, serta Kompas
berafiliasi dengan Partai Katolik.
Sejak masa-masa awal kemerdekaan hingga awal Orde Baru, pers
Indonesia pun belum menjadi suatu industri yang menjanjikan keuntungan. Belum
masuknya surat kabar ke dalam dunia industri tampaknya terkait dengan kondisi
ekonomi, yang ketika itu sangat buruk.
Titik awal pers Indonesia memasuki era industri ketika terbit Undangundang Penanaman Modal Dalam Negeri pada Juli 1968. Undang-undang ini
memasukkan pers sebagai industri yang berhak mendapat pinjaman pemerintah,
insentif pajak, dan insentif barang impor (kertas koran).
Pasar
Pasar surat kabar terdiri dari pembaca dan pengiklan. Surat kabar
memproduksi jasa berupa informasi. Pembaca membeli dan mengonsumsi
informasi yang diproduksi oleh surat kabar. Pengiklan kemudian memasang iklan
atas pertimbangan kuantitatif berupa besarnya pembaca, tiras, atau sirkulasi,
maupun atas pertimbangan kualitatif berupa segmentasi pembaca maupun citra
surat kabar bersangkutan.
Pasar suratkabar bersifat monopolistik. Picard mencoba menghitung rasio
konsentrasi pasar surat kabar lokal dan nasional berdasarkan data sirkulasi, dia
menemukan bahwa meski pasar suratkabar sangat terkonsentrasi, konsentrasi
tersebut meningkat akibat menurunnya pasar.
Sirkulasi
39
1992
2002
USA Today
Wall Street Journal
New York Times
1,4 juta
1,8 juta
1,0 juta
2,6 juta
2,1 juta
1,7 juta
Tabel II
Rata-rata oplah surat kabar nasional di Amerika per hari (dalam eksemplar)
Koran
Los Angeles Times
Washington Post
Chicago Tribune
Houston Cronicle
1992
1,1 juta
800 ribu
700 ribu
450 ribu
2002
1,3 juta
1,1 juta
950 ribu
700 ribu
Secara umum di Amerika Serikat terdapat sekitar 1.566 surat kabar harian.
Sebagian besar surat kabar ini beredar di perkotaan. Menurut asosiasi surat kabar
Amerika (1994), total sirkulasi surat kabar pagi sebanyak 43.534.747 (Media
Sciene, 2005).
Di Indonesia, berdasarkan Laporan Penerangan, Pers dan Komunikasi
Sosial Departemen Penerangan, oplah surat kabar pada tahun 1989/1998
meningkat dibandingkan dengan 1988/1989 dan sebelumnya. Pada tahun 1989/90
jumlah oplah surat kabar mencapai 4,9 juta eksemplar per hari, sedangkan pada
tahun 1988/1989 baru mencapai 4,4 juta eksemplar per hari.
Peningkatan oplah surat kabar di Indonesia itu menghasilkan peningkatan
rasio surat kabar dan jumlah penduduk. Rasio surat kabar terhadap penduduk
yang berumur 10 tahun ke atas pada tahun 1989/90 adalah 1:28, meningkat
dari 1:30 pada tahun 1988/1989.
Beralihnya kondisi politik Indonesia dari Orde Baru yang otoriter menuju
Orde Reformasi yang relatif lebih demokratis menyebabkan meningkatnya oplah
surat kabar. Di awal reformasi oplah surat kabar membengkak menjadi 6 juta
eksemplar per hari. Menurut perkiraan, jumlah pembaca surat kabar pada tahun
2005 mencapai 7.267.000, sangat kecil dibanding dengan jumlah penduduk yang
mencapai 215.276 juta jiwa pada saat itu. Sebagian besar surat kabar atau 65
40
persen beredar di Jakarta, sementara 35 persen lainnya beredar di luar Jakarta. Per
juni 2008, berdasarkan catatan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) jumlah koran
mencapai 7,49 juta eksemplar per hari dari 290 penerbit. Menurut data Roy
Morgan Single Source (Oktober 2006-September 2007), surat kabar menjangkau
39,0 persen penduduk Indonesia.
Kompas merupakan koran dengan tiras terbesar, baik untuk edisi SeninSabtu maupun edisi Minggu.
Tabel III
Rata-rata jumlah pembaca 10 surat kabar terbesar di Indonesia 2006/2007
untuk edisi Senin-Sabtu:
Koran
Jumlah Pembaca
Kompas
1.454.000
Jawa Pos
1.395.000
Pos Kota
1.121.000
Pikiran Rakyat
641.000
Warta Kota
553.000
Seputar Indonesia
450.000
Radar Malang
312.000
Lampu Merah
274.000
Media Indonesia
247.000
Radar Bogor
245.000
Sumber: Diolah dari Roy Morgan Single Source Juli 2006-Juni 2007 seperti
dikutip Media Planning Guide Indonesia 2008.
Tabel IV
Jumlah pembaca 10 surat kabar terbesar di indonesia tahun 2006/2007
untuk edisi Minggu
Koran
Jumlah Pembaca
Kompas
1.143.000
Jawa Pos
1.081.000
Pikiran Rakyat
567.000
Pos Kota
526.000
Seputar Indonesia
304.000
Warta Kota
257.000
Radar Malang
249.000
Suara Merdeka
242.000
Top Skor
233.000
Lampu Merah
210.000
Sumber: Diolah dari Roy Morgan Single Source Juli 2006-Juni 2007 seperti
dikutip Media Planning Guide 2008.
Oplah koran sedunia, menurut hasil survei itu disampaikan pada kongres
ke-61 World Association of Newspaper (WAN) di Goteborg, Swedia, 2-4 Juni
41
2008, memang mencatat kenaikan penjualan 2,57 persen pada 2007, dengan total
tiras mencapai 532 juta lembar per hari. Kenaikan ini sedikit di atas tahun 2006
dengan tiras 515 juta per hari. Namun, dibandingkan tahun 2002 yang tirasnya
hanya 488 juta per hari, kenaikan oplah tahun 2007 cukup signifikan. (Kompas,
13 Agustus 2008)
Namun, secara teoretis, diprediksikan sirkulasi surat kabar di masa-masa
mendatang cenderung menurun. Elastisitas permintaan (sirkulasi) atau spiral
sirkulasi merupakan satu faktor yang menyebabkan menurunnya sirkulasi
suratkabar. Memang, permintaan khalayak atas surat kabar sangat elastis.
Berbeda dengan televisi free to air atau televisi terestrial yang bisa
dikonsumsi secara gratis, khalayak harus mengeluarkan uang untuk mengonsumsi
surat kabar. Di banyak negara, termasuk Indonesia, ada dua tipe permintaan
pembaca atas surat kabar: berlangganan dan eceren. Permintaan eceran
elastisitasnya sangat besar, tergantung pada peristiwa yang tengah terjadi di
masyarakat yang diangkat oleh surat kabar. Ketika terjadi peristiwa atau isu besar
di masyarakatmisalnya serangan 9/11, serangan Israel ke Gaza, atau Piala
Duniapermintaan akan meningkat, dan sebaliknya.
Persaingan dengan media lain, seperti televisi dan terutama internet juga
menghasilkan kecenderungan menurunnya oplah koran di masa-masa mendatang.
Bahkan Rupert Murdoch, konglomerat media, meramalkan bakal datangnya the
end of paper atau matinya surat kabar akibat dominasi televisi dan internet.
Philip Meyer, penulis buku "The Vanishing Newspaper", meramalkan koran
terakhir terbit pada April 2040.
Secara praktis, data lain memperlihatkan penurunan oplah surat kabar
akibat televisi dan internet. Data yang dikeluarkan Asosiasi Surat Kabar Dunia,
sepanjang 1995-2003, oplah koran turun 5% di Amerika, 3% di Eropa, dan 2% di
Jepang. Di negara-negara Asia yang masyarakatnya sudah akrab dengan
teknologi, seperti Jepang dan Korea Selatan- mulai muncul kekhawatiran bahwa
media cetak cepat atau lambat akan ditinggalkan khalayak.
Di Indonesia, Survei Kementerian Komunikasi dan Informasi
menunjukkan oplah koran juga cenderung menurun. Oplah koran yang semula 6
juta eksemplar di awal reformasi (1998/1999), tinggal 4,3 juta eksemplar pada
2003.
Ramalan Murdoch dan Meyer, bahwa koran akan terkalahkan oleh televisi
dan internet, mulai terbukti berdasaran sejumlah data. Bila pada 1960-an empat
dari lima orang Amerika membaca koran, di tahun 2005 tinggal 2 dari lima orang
saja yang masih membaca koran. Yang tiga orang lagi telah terbenam di dunia
elektronik atau digital. Penelitian AC Nielsen pada 2008 juga menyebutkan oplah
media cetak turun sementara konsumsi media digital justru naik. Oplah koran
turun 4 persen, majalah 24 persen, tabloid 12 persen, sementara penonton televisi
naik 2 persen dan pengakses internet naik 17 persen.
Untuk memperluas pasar, koran di Indonesia melakukan teknologi jarak
jauh. Teknologi jarak jauh ini disertai dengan penyisipan edisi lokal. Kompas,
misalnya, menyisipkan edisi Jawa Timur, untuk pasar di Jawa Timur. Jika majalah
melakukan internasionalisasi, surat kabar justru melakukan lokalisasi.
42
Satu koran Indonesia, Manado Post, koran lokal yang dimiliki oleh
kelompok Jawa Pos, pada 1996 melakukan ekspansi pasar ke luar negeri.
Manado Post dalam hal ini menerbitkan sisipan mingguan berbahasa Inggris dan
Indonesia bernama Polygon News, yang diedarkan di sejumlah negara Asean
seperti Brunei, Malaysia, dan Filipina.
Iklan
Suratkabar memperoleh persentase iklan terbesar dalam industri media (di
Amerika Serikat dan dunia). Kenyataannya, iklan mengambil 50-60 persen space
surat kabar harian, dan pada hari Minggu iklan suratkabar lebih banyak lagi.
Di Amerika Serikat, pengiklan nasional mewakili kategori terkecil dari
revenue dan digunakan terutama oleh perusahaan besar untuk membantu
pemasaran produk dan jasa yang didistribusikan secara nasional. Total iklan di
surat kabar AS diharapkan tumbuh rata-rata 5,4 persen pada 1997.
Namun kenyataannya, iklan surat kabar di Amerika cenderung menurun
dari tahun ke tahun. Pada 1980 iklan surat kabar mencapai 30% dari total belanja
iklan. Namun, pada 1990 iklan di surat kabar Amerika menurun menjadi 25%,
dan menurun lagi pada 2000 menjadi hanya 20%.
Di negara Jepang iklan untuk surat kabar memperlihatkan penurunan.
Dewasa ini, pemasukan iklan untuk media-media cetak di Jepang umumnya
menurun 10-20 persen (Kompas, 25 Maret 2009).
Di Indonesia, Kompas merupakan peraih iklan terbesar dalam industri
surat kabar. Berdasarkan data AC Nielsen, pada 2005 Kompas meraih iklan
sebesar Rp 1,35 triliun atau 19,2 persen dari total belanja iklan nasional untuk
surat kabar. Total belanja iklan nasional untuk surat kabar pada tahun 2005
sebesar Rp 7,03 triliun.
Tabel V
Sepuluh Surat Kabar Peraih Iklan Terbesar 2006 (dalam juta)
Koran
Kompas
Jawa Pos
Media Indonesia
Sumatera Ekspres
Fajar
Sriwijaya Pos
Manado Pos
Jambi Independent
Bali Pos
Pikiran Rakyat
43
Operating Revenue
Iklan
60%-80%
-lokal/retail
55%-60%
-Classified
20%-35%
-Nasional
10%-15%
-Sirkulasi
20%-30%
Biaya Operasional (Operating Expenses)
-Editorial
7%-10%
-Iklan
5%-6%
-Sirkulasi
9%-10%
-Promosi
1%-2%
-Mekanik/Teknik
13%-15%
-Percetakan
15%-30%
-Administrasi
8%-12%
-Gedung dan tanah
1%-3%
Margin Operasional (Operating Margin)
44
Di Indonesia, setidaknya hingga tahun 2009, harga jual surat kabar ratarata Rp 2.500 per eksemplar. Padahal biaya cetak mencapai Rp 5.000 per
eksemplar. Sebagai ilustrasi, jika satu eksemplar koran dijual Rp 3.000, setelah
dikurangi diskon untuk agen dan loper koran sebesar 33,3 persen, perusahaan
penerbitan hanya menerima Rp 2.000. Ditambah pengenaan PPN 10 persen,
pendapatan bersih dari penjualan hanya Rp 1.800 per eksemplar. Tak pelak,
industri penerbitan sangat tergantung pada iklan.
Market share media cetak di Indonesia hanya 30 persen. Di negara-negara
maju, market share media cetak mencapai 60 persen. Ini sepertinya berkaitan
dengan budaya baca dan kegagalan media cetak menarik perhatian publik. Tahun
2003, belanja masyarakat Indonesia untuk rokok Rp 150 tirliun per tahun,
sementara belanja surat kabar hanya Rp 4,9 triliun per tahun.
Tetapi, rendahnya market share ini boleh jadi juga berkaitan dengan
kegagalan media cetak dalam memproduksi berita yang akurat dan dapat
dipercaya. Dengan perkataan lain, boleh jadi kecilnya market share surat kabar di
Indonesia karena rendahnya kualitas. Satu data menyebutkan hanya 30 persen
surat kabar di Indonesia yang berkualitas.
Kepemilikan
Sebagian besar perusahaan surat kabar di Amerika Serikat dimiliki oleh
korporasi atau kelompok. Dalam industri surat kabar, terminologi jaringan
digunakan untuk menggambarkan kelompok pemilik surat kabar, dan ini dimulai
sejak 1880-an, ketika penerbit besar mulai memiliki sejumlah suratkabar.
Tabel VII
Sepuluh Besar penerbitan surat kabar di Amerika Serikat:
Penerbitan
1. Community News Holdings
2. Gannet Co.
3. Media News Group
4. Knight Rider
5. Morris Communication
6. Freedom Newspaper
7. Advance Publications
8. Lee Enterprises
9. Media General
10. E.W. Scripps Co.
Jumlah harian
115 harian
99 harian
46 harian
34 harian
30 harian
29 harian
27 harian
27 harian
25 harian
22 harian
Persentase
7,8
6,7
3,1
3,2
2,0
2,0
1,8
1,8
1,7
1,5
2007, terdapat 251 surat kabar harian. Akan tetapi, hanya sekitar 30 persen yang
sehat secara bisnis.
Kelompok Kompas-Gramedia dan Jawa Pos Grup merupakan contoh dua
perusahaan pers yang sehat bahkan telah mengukuhkan diri sebagai konglomerasi
surat kabar di Indonesia.
Kompas-Gramedia memiliki surat kabar utama: Kompas. Sejak 1989, di
bawah bendera Pers Daerah atau Persda, Kompas menerbitkan koran lokal dari
Aceh hingga Papua, melalui skema bisnis berupa suntikan modal serta kemitraan
editorial dan manajerial. Koran lokal di bawah bendera Persda antara lain Tribun
Kaltim, Surya, Tribun Manado.
Jawa Pos merupakan kerajaan bisnis koran terbesar kedua setelah
Kompas. Jawa Pos memiliki jaringan surat kabar di daerah, seperti Radar Bogor,
Radar Kediri, Radar Malang.
Sejumlah pengusaha besar terjun ke dunia pers. Surya Paloh, pemilik
usaha perhotelan, katering, dan televisi swasta MetroTV, memiliki koran Media
Indonesia di Jakarta, Lampung Post di lampung, dan Borneo News di Kalimantan.
Hari Tanoe Soedibjo, pemilik Kelompok Media Nusantara Citra (MNC), pemilik
RCTI, TPI, dan Global TV, menerbitkan koran Seputar Indonesia. MNC bahkan
Indonesia, melakukan ekspansi kepemilikan media ke Singapura. MNC dalam hal
ini menjalin kemitraan strategis serta keuangan dengan MediaCorp memiliki
koran Today di Singapura. Harian Seputar Indonesia menyertakan satu halaman
untuk berita koran Today. Halaman ini diberi nama Today Seputar Singapura.
Erick Tohir, pemilik kelompok Mahaka, pada 1999 membeli sebagian
besar saham harian Republika,. Republika merupakan koran muslim yang
sebelumnya sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Ikatan Cendekiawan Muslim
se-Indonesia (ICMI). Erick juga memiliki saham di TVOne.
Kompetisi
Kompetisi dalam industri surat kabar terjadi antar-surat kabar atau antara
surat kabar dengan media lain. Secara teoretis, kompetisi sesama surat kabar lebih
ketat dibanding kompetisi surat kabar dengan media lain. Kompetisi antara
Kompas dan Jawa Pos sangat ketat dalam industri surat kabar di Indonesia.
Untuk memenangi persaingan dengan sesama surat kabar, baik antar surat
kabar nasional maupun dengan surat kabar daerah, sejumlah koran melakukan
cetak jarak jauh. Kompas, Koran Tempo, dan Seputar Indonesia adalah korankoran yang melakukan cetak jarak jauh. Penerbitan edisi lokal menyertai
penggunaan teknologi jarak jauh. Dengan begitu, penyisipan edisi lokal pada
koran-koran nasional dilakukan untuk memenangi persaingan dengan koran
daerah.
Akan tetapi, kenyataannya surat kabar juga bersaing secara ketat dengan
media lain, terutama televisi dan internet. Sejumlah pakar berpendapat, justru
persaingan dengan televisi dan internet inilah yang mengancam kelangsungan
hidup industri surat kabar. .Di Amerika, misalnya, dari 528 media cetak beroplah
di atas 400 ribu eksemplar, sekitar 40 di antaranya sudah tutup (Kompas, 28
Februari 2008).
46
Oleh karena itu, surat kabar harus melakukan berbagai upaya untuk
memenangi persaingan dengan media lain, baik dari sisi teknis pencetakan
maupun dari sisi teknik penulisan laporan.
Dari sisi teknis pencetakan, terutama untuk menyaingi kecepatan televisi,
sejumlah surat kabar, melakukan dua kali pencetakan, edisi pagi dan edisi sore. Di
Indonesia, Kompas, misalnya, selain memiliki edisi pagi, juga memiliki edisi update. Media Indonesia juga pernah melakukan hal yang sama. Namun, taktik
seperti ini tidak lagi dilakukan.
Dari sisi teknis pencetakan pula, terutama terkait dengan kenyamanan,
koran-koran di Indonesia dan di banyak belahan dunia lainnya, memperkecil
ukuran lembarannya. Koran di Indonesia umumnya mengurangi lebar halaman
dari semula sembilan kolom menjadi tujuh kolom. Koran Tempo bahkan
memperkecil ukuran halaman menjadi seukuran tabloid. Perbaikan juga
merambah ke persoalan desain demi kenyamanan membaca.
Dari sisi teknis pelaporan, surat kabar menampilkan banyak grafis serta
menuliskan hardnews dengan teknik feature yang lebih mendalam. Jika tidak
khalayak enggan membaca koran, karena mereka sudah menontonnya di televisi.
Untuk menyaingi media online, surat kabar kini memiliki website. Selain
website, sejumlah koran, seperti Kompas dan Koran Tempo, memiliki e-paper
atau koran versi online.
Untuk menyaingi televisi yang bisa dikonsumsi secara gratis, muncul
fenomena koran gratis, seperti Bisnis Jakarta, Bisnis Makassar, Bisnis Surabaya.
Kabarnya, kemunculan Bisnis Jakarta membuat koran-koran lain banting harga
eceran.
Persaingan tentu saja membawa dampak bagi industri surat kabar.
Menurut James N. Rosse, ada beberapa dampak persaingan bagi industri surat
kabar:
Hilangnya segmentasi pasar surat kabar. Dengan perkataan lain, surat
kabar tidak mampu mencari pembaca yang berbeda dengan pembaca surat
kabar lain. Segmentasi merupakan salah satu faktor yang membuat
pengiklan memasang iklan di satu surat kabar.
Menurunnya pendapatan iklan akibat pengiklan lebih suka memasang
iklan di televisi.
Penurunan jumlah pembaca di rumah tangga.
Penduduk berubah, dari penduduk kota yang sangat beragam menjadi
penduduk pinggiran yang homogen yang kebutuhan informasinya bisa
dipenuhi oleh media komunitas.
Teknologi
Sebagaimana kaitan antara teknologi dan ekonomi media, teknologi dalam
industri surat kabar membawa paling tidak empat konsekwensi ekonomi.
Keempat konsekwensi ekonomi itu adalah investasi, efisiensi, terciptanya pasar
baru, dan hilangnya bentuk teknologi sebelumnya.
47
Investasi
Perusahaan surat kabar harus berinvestasi untuk membeli teknologi cetak
jarak jauh, foto digital, perangkat teknologi untuk website, sistem
newsroom, dll.
Efisiensi
Menurut Picard, surat kabar kini dapat diproduksi dengan sedikit tenaga
kerja akibat adanya teknologi canggih. Surat kabar kini dapat diproduksi
secara lebih cepat, sehingga memungkinkannya dicetak dengan deadline
yang lebih longgar.
Pasar baru
Konvergensi surat kabar dengan internet memungkinkan terciptanya
pembaca baru di kalangan anak muda. Dengan teknologi internet, surat
kabar kini dikonsumsi secara lebih personal. Teknologi jarak jauh
memungkinkan terciptanya pasar baru di daerah.
Meniadakan bentuk teknologi lain
Banyak orang meramalkan e-paper atau surat kabar versi online akan
menghapuskan surat kabar versi cetak. Ramalan itu boleh jadi tepat jika
dikaitkan dengan isu lingkungan. Untuk membuat pulp yang menjadi
bahan kertas koran, orang harus menebang hutan.
10
Ekonomi Industri Majalah
Sejarah Singkat
49
50
Iklan
51
Di Amerika, nilai total iklan majalah mencapai lebih dari 23 miliar dolar
AS pada 2005 (Magazines Publishers of America, 2005). Sepuluh kategori produk
pemasang iklan terbesar di majalah Amerika adalah otomotif, perhiasan dan
asesoris, furniture atau perlengkapan rumah tangga, perlengkapan mandi dan
kosmetik, minuman keras, media, perusahaan jasa, retail, keuangan (keuangan
asuransi dan real estate), produk makanan.
Di Amerika majalah People menempati urutan pertama dalam perolehan
iklan mauoun sirkulasi, disusul berturut-turut oleh Sport Ilustrated, Time, TV
Guide, Better Homes & Gardens, Newsweek, oarade, Reader Digest, Good House
Keepping dan Cosmolopitan.
Tabel IX
Sepuluh Majalah Amerika Berpenghasilan Terbesar
Majalah
People
Sports Illustrated
Time
TV Guide
Better Homes & Gardens
Newsweek
Parade
Reader Digest
Good Housekeeping
Cosmopolitan
Tabel X
52
53
Setidaknya, ada tiga cara yang bisa diterapkan oleh majalah untuk
menghadapi persaingan itu: internasionalisasi, teknologi, dan penjualan dengan
cara kerjasama dengan pemasang iklan.
Internasionalisasi identik dengan franchise. Majalah di satu negara
merebut pasar di negara lain dengan menerbitkan edisi negara tersebut. Time dan
Newsweek, misalnya, menerbitkan satu atau lebih edisi luar negerinya dalam
bahasa Inggris. Time Warner dan perusahaan Prancis Hachette bekerjasama
menerbitkan majalah Fortune berbahasa Prancis. Cosmopolitan menerbitkan 50
edisi di seluruh dunia dalam 28 bahasa. Di Indonesia, internasionalisasi, dalam
tingkat yang terbatas dilakukan oleh majalah Tempo dengan menerbitkan edisi
berbahasa Inggris.
Dengan teknologi, majalah melakukan distribusi secara instan dengan
memanfaatkan teknologi komputer dan satelit. Ini identik dengan cetak jarak jauh.
Penggunaan teknologi ini tentu menghemat biaya distribusi. Dari sisi teknologi
ini, majalah mulai beradaptasi dengan media online. Di Amerika, 13 malajah
beralih ke media online (Kompas, 28 Februari 2008)
Dengan cara ketiga, majalah menjual data atau daftar pelanggannya
kepada pengiklan. Pengiklan membeli halaman di majalah-majalah spesialis
untuk menjangkau pembaca tersegmentasi (segmented audiences) secara
langsung.
Teknologi
Penggunaan teknologi cetak jarak jauh oleh industri majalahseperti
dijelaskan di atasmerupakan suatu keniscayaan untuk menghadapi persaingan.
Teknologi cetak jarak jauh tentu saja membutuhkan investasi. Namun, pada
gilirannya investasi itu bisa mendatangkan keuntungan berupa penghematan
ongkos distribusi dan penciptaan pasar baru di suatu wilayah.
Selain teknologi cetak jarak jauh, majalah online merupakan jenis
teknologi lain yang dewasa ini digunakan oleh majalah. Majalah melakukan
konvergensi ke internet. Selain versi cetak, sejumlah majalah memiliki versi
online. Teknologi internet pada majalah ini, tentu juga membutuhkan investasi di
satu sisi, tetapi di sisi lain menghasilkan efisiensi cost production dan
menciptakan pasar baru.
Versi online bahkan menyediakan sarana interaksi yang tidak didapatkan
dalam edisi cetak. Majalah Time dan Mother Jones, misalnya, kini memiliki versi
online yang menyediakan feature-feature interaktif yang tidak didapatkan di versi
cetak. Majalah-majalah di Indonesia juga sudah memiliki versi online.
Teknologi foto digital juga merupakan jenis teknologi yang digunakan
oleh majalah. Teknologi ini bisa mempercantik sampul serta halaman-halaman
majalah. Ini bisa menarik minat orang membeli majalah. Di sinilah letak
kelebihan majalah dibanding media lain.
Namun, permainan digital maupun grafik bisa mendatangkan kritik
bahkan tuntutan hukum pada majalah. Wajah O.J. Simpson yang diberi kesan
lebih hitam lewat teknologi grafik dan digital pada sampul majalah Time menuai
kritik karena majalah terkemuka di dunia ini seolah memberi label orang negro
54
55
11
Ekonomi Industri Buku
Sejarah Singkat
Buku telah lama menjadi media atau sarana penting bagi kehidupan
intelektual, kultural, serta ekonomi. Bisa dikatakan, buku menjadi salah satu
indikator peradaban.
Penyebaran media cetak secara luas di Eropa sebagai akibat ditemukannya
mesin cetak oleh Gutenberg dimulai sejak paro terakhir abad ke-15. Namun,
perkembangan teknologi sosial, kultural dan ekonomi yang menjadi prakondisi
untuk menjadikan buku sebagai medium utama telah dimulai sejak tiga abad
sebelumnya.
Kaum pendatang datang ke Amerika untuk dua tujuan: melarikan diri dari
hukuman gereja dan mencari kehidupan ekonomi lebih baik. Kebanyakan buku
yang mereka bawa ke Amerika merupakan buku-buku keagamaan.
Penerbitan pertama, Cambride Press, berdiri di Amerika Utara pada 1638.
Awalnya, penerbitan ini hanya mencetak dokumen keagamaan dan pemerintahan.
Buku pertama, Whole Booke of Psalms, dicetak pada 1644.
Sebagai industri, buku berkembang lebih lamban dibanding surat kabar.
Harga buku terbilang mahal, seringkali setara dengan gaji buruh sepekan. Tingkat
melek huruf masyarakat ketika itu pun rendah. Namun, sejak 1900-an, tingkat
pendidikan dan melek huruf di Amerika berangsur membaik, bahkan yang terbaik
di dunia. Bersamaan dengan itu jumlah pembaca meningkat. Kemajuan teknologi
juga membuat harga buku makin murah.
Di Indonesia, sejarah industri buku berawal dengan didirikannya Penerbit
Balai Pustaka oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 1908. Setelah Proklamasi
Kemerdekaan, Balai Pustaka menjadi perusahaan penerbitan negara. Pada 1996,
sebagian saham Balai Pustaka diprivatisasi.
Pasar
Jika media lain memiliki pasar berupa khalayak dan pengiklan, buku
hanya menfaatkan khalayak sebagai pasar. Dibanding dengan media massa lain,
khalayak sebagai pasar buku bersifat lebih individual.
Namun, menurut suatu survei, waktu yang dihabiskan manusia untuk
membaca buku cenderung menurun dari tahun ke tahun. Pada 1995 orang
menghabiskan waktu 101 jam untuk membaca buku, tahun 2001 rata-rata 89 jam,
tahun 2002 tetap 89 jam, dan tahun 2006 rata-rata 84 jam.
Data yang dikemukakan oleh Lindsay, setiap orang Amerika
menghabiskan rata-rata hanya US$ 100 per tahun untuk membeli buku. Orang
Amerika rata-rata membaca buku hanya 17 menit per hari.
Frazier mengemukakan, di Amerika penjualan buku berjumlah US$ 53
miliar pada 2006. Di negara yang sama, sebagaimana diungkapkan oleh Teague,
industri buku menerbitkan 195.000 judul buku pada 2004, meningkat 14%
dibanding tahun 2003.
Di Amerika, industri buku dibagi ke dalam sejumlah kategori. Pertama,
kategori trade books (misalnya buku remaja dan dewasa) yang meraup 6,4 miliar
56
57
Jaringan toko buku terbesar tentu saja Gramedia milik kelompok KompasGramedia. Jaringan toko buku lainnya adalah Gunung Agung. Toko buku online
belakangan juga banyak berdiri di Indonesia. Pada 1998, Gramedia meluncurkan
Geramedia Online Bookstore. Penerbit Mizan juga mengoperasikan toko buku
online.
Untuk merangsang pembeli datang, banyak toko buku yang dilengkapi
dengan kafe. Untuk meningkatkan penjualan, sejumlah toko buku diskon berdiri
di Indonesia, antara lain toko buku Toga Mas.
Untuk merangsang penjualan buku, Pusat Buku Indonesia memperbanyak
toko buku mobil. Toko buku mobil ini dioperasikan untuk merangsang penjualan
di kabupaten/kota. Pada tahun 2009 ditargetkan ada 1.000 toko buku mobil di
berbagai wilayah Indonesia. (Kompas, 23 Februari 2009)
Toko buku online belakangan bermunculan di berbagai belahan dunia,
sebagai alternatif bagi toko buku konvensional. Toko buku online yang terkenal di
seluruh dunia adalah Amazon.com`Toko buku online ini mengklaim menjual lebih
dari 2,5 juta judul. Toko buku online lainnya bisa ditemukan di powells.com dan
books.com. Di Indonesia, hingga pertengahan Juli 2009, menurut catatan
Strategic Development Google, terdapat 150 toko buku online.
Kepemilikan
Di Amerika Serikat terdapat setidaknya 2.684 perusahaan penerbitan buku
yang mempekerjakan 89.898 orang dengan gaji mencapai 3,6 miliar dolar AS.
Data lain menyebutkan terdapat 81.000 usaha bisnis yang menyebut diri sebagai
penerbit buku.
Di Amerika penerbitan buku dikuasai oleh sejumlah penerbit besar: Hearst
Books, the Penguin Group, Bantam Doubleday Dell, Time Warner Publishing,
Farrar, Straus & Giroux, Harcourt General, HarperCollins, dan Simon & Schuster.
Penerbit-penerbit ini menguasai 80 persen penjualan buku di Amerika.
Di Indonesia, data Ikapi memperlihatkan terdapat sekitar 472 penerbit
buku. Sebesar 92,96 penerbit terkonsentrasi di Jawa, 51,6% di Jakarta. Sejumlah
penerbit besar di Indonesia antara lain Gramedia dan Mizan.
Kelompok Gramedia bisa disebut konglomerat penerbitan buku yang
memiliki perusahaan penerbitan seperti Grasindo, Elex Media Komputindo,
Kepustakaan Populer Gramedia. Gramedia memproduksi sekitar 20 persen
penerbitan buku nasional.
Penerbit Mizan yang bermarkas di bandung juga merupakan kelompok
penerbitan besar. Mizan memiliki penerbit Mizania, Hikmah, dan Bentang.
Bentang awalnya merupakan penerbitan mandiri di Yogyakarta yang kemudian
menjalin kemitraan strategis dengan Mizan..
Gramedia dan Mizan bisa disebut sebagai pemain utama dalam industri
buku umum. Pemain utama lainnya dalam penerbitan buku umum adalah
Kanisius dan Erlangga. Di Yogyakarta juga terdapat sejumlah penerbitan besar,
seperti Pustaka Pelajar dan Lkis. Sedangkan pemain utama dalam penerbitan
buku pelajaran atau buku teks adalah Yudhistira, Erlangga, dan Tiga Serangkai.
58
Regulasi
Regulasi buku antara lain adalah penyensoran. Di Amerika, berdasarkan
data The American Library Association Office for Intelectual Freedom mencatat
terdapat 6.364 judul buku dilarang beredar antara tahun 1990-2000. Alasan
penyensoran: seks vulgar (1.607 judul), bahasa kasar (1.427), tidak pantas dibaca
kelompok umur tertentu (1.256), penistaan agama/kepercayaan (842), kekerasan
(737), mempromosikan homoseksualitas (515), penyebaran agama (419),
ketelanjangan (317), rasis (267), pendidikan seks (224), antikeluarga (202).
60
sesungguhnya merupakan pasar yang besar bagi industri buku. Andai 20 persen
penduduk Indonesia belanja buku Rp 100.000 per tahun, sekurang-kurangnya
pasar buku di Indonesia bisa mencapai Rp 48 triliun per tahun. Dewasa ini, pasar
industri buku di Indonesia hanya menghasilkan sekitar Rp 3,5 triliun per tahun. []
62
12
Ekonomi Industri Televisi Siaran
Sejarah Singkat
Televisi siaran adalah televisi free to air atau televisi yang bisa dinikmati
siarannya secara gratis. Televisi siaran menggunakan teknologi antena terestrial
pada televisi analog atau kanal pada televisi digital.
Paul Nipkow dari Jerman pada 1884 meletakkan dasar-dasar teknologi
pertelevisian. Ia menemukan sebuah alat yang kemudian disebut sebagai Jantra
Nipkow atau Nipkow Sheibe. Penemuan ini menghasilkan televisi elektris.
Charlesh Jenkins (AS) John Logic Bairds (Inggris) melakukan eksperimen
transmisi TV pertama kali pada 1925. BBC merupakan televisi siaran pertama
yang mengudara pada 1936. Penyiaran regular untuk TV elektronik pertama di AS
dimulai pada 1939.
Pada periode 1948-1952, TV tumbuh dengan cepat. Tahun 1940-an
disebut Golden Age bagi televisi di AS. Pada 1950-an TV menjadi sumber
utama hiburan dan informasi bagi kebanyakan rumah tangga di AS. TV begitu
mempengaruhi budaya AS. Pada 1950-an, televisi kabel mulai diperkenalkan. TV
kabel memiliki stasiun kecil di Oregon dan Pennsylvania. Di abad informasi ini,
mulai terbit regulasi untuk TV (telecommunication Act 1999) di AS.
Regulasi menandai mulai masuknya televisi ke era industri. Perusahaan
penyiaran televisi kini menjadi suatu industri yang berupaya mencari keuntungan.
Banyak konglomerat, seperti Rupert Murduck, terjut ke industri televisi.
Di Indonesia, televisi siaran tentu berawal dari Televisi Republik
Indonesia (TVRI). TVRI memulai siaran percobaan dengan acara peringatan Hari
Proklamasi kemerdekaan RI XVII pada 17 Agustus 1962, dengan bantuan ahli
dari Jepang dan pelatihan dari Inggris. Pada 24 Agustus TVRI menyiarkan
langsung pembukaan Asean Games.
Pada tahun 1988, stasiun televisi swasta pertama, RCTI, lahir. RCTI
awalnya adalah stasiun televisi berbayar (pay television). Pada Agustus 1990,
RCTI mendapat izin menjadi televisi siaran (free to air television).
Pada tahun-tahun berikutnya menyusul lahir sejumlah stasiun televisi
swasta: SCTV (1989), TPI (1990), Antv (1993), Indosiar (1995). Pasca Orde Baru
televisi swasta MetroTV, Trans TV, TV 7 yang kemudian menjadi Trans 7, Lativi
yang kemudian menjadi TVOne dan Global TV muncul . Televisi lokal juga
bermunculan. Kehadiran televisi swasta menandai masuknya televisi siaran ke era
industri. Bahwa televisi siaran telah memasuki era industri makin nyata dengan
terbitnya Undang-undang Penyiaran yang mengatur kepemilikan, modal, jaringan,
perizinan, serta isi siaran.
Tipe Televisi Siaran
Setidaknya ada tiga tipe televisi siaran: televisi swasta atau televisi
komersal, televisi publik, dan televisi negara.
Televisi swasta terdiri dari dua jenis: televisi swasta independen dan
televisi swasta berjaringan. Televisi siaran swasta independen memperoleh
revenue semata-mata dari iklan. Sumber penghasilan televisi swasta berjaringan,
63
selain iklan, juga kompensasi. Televisi induk yang biasanya televisi swasta
independen harus memberi kompensasi kepada televisi berjaringan yang ikut
menyiarkan atau menyebarluaskan program televisi induk tersebut. Di Amerika
Serikat hanya 10 persen dari total revenue industri televisi berjaringan yang
diperoleh dari konpensasi.
Penghasilan televisi publik berasal dari pajak dan subsidi negara. Di
negara-negara maju, seperti di Inggris dengan BBC-nya, televisi publik tidak
diperkenankan menayangkan iklan komersial. Di Indonesia, televisi publik,
berdasarkan Undang-undang Penyiaran Nomor 32 tahun 2002, masih
diperbolehkan menayangkan iklan. Namun, iklan tampaknya bukan untuk
mendapatkan keuntungan, sekadar menambah biaya operasional. Televisi publik
memang tidak mencari keuntungan.
Televisi komunitas bisa dikategorikan sebagai televisi publik. Televisi
komunitas dibiayai oleh komunitas atau pemerintahan lokal dan tidak mencari
keuntungan.
Televisi negara sepenuhnya dibiaya oleh negara. Televisi negara
beroperasi di negara-negara otoriter dan negara-negara komunis. TVRI di masa
Orde Baru adalah televisi negara. Kini TVRI sedang berbenah menjadi TV publik.
Dari ketiga tipe televisi siaran jelas televisi swasta atau televisi komersial
adalah sebuah institusi ekonomi atau institusi bisnis yang berupaya mencari
keuntungan. Pembahasan tentang televisi siaran lebih terfokus pada televisi
swasta atau televisi komersial.
Investasi dan Cost Production
Televisi siaran adalah industri mahal. Disebut mahal karena tingginya
biaya investasi dan biaya operasional. TV siaran memerlukan investasi yang
besar. Untuk sekadar impas, stasiun televisi kecil memerlukan dana investasi
operasi sebesar 500.000 dolar AS, dan 1 juta dolar AS untuk bangunan dan
peralatan. Ketika para astronot Apollo 11 mendarat di bulan, Juli 1969, biaya
liputannya mencapai 11 juta dolar AS.
Di Indonesia, Global TV beroperasi dengan modal Rp 500 miliar. Lativi
(kini TVOne) mengalokasikan modal awal Rp 300 juta. TV7 memulai siarannya
dengan modal Rp 200 miliar, setara dengan modal dasar MetroTV. Modal kerja
terpakai Trans TV hingga pertengahan 2003 atau setelah beroperasi 18 bulan
mencapai Rp 600 miliar. Trans TV menghabiskan biaya operasional Rp 35 juta
per jam siaran, tidak termasuk biaya membeli program. Pada tahun 2001, SCTV
menghabiskan biaya Rp 30 juta per jam siaran. Ongkos siaran MetroTV hingga
2009 sebesar Rp 30 juta per jam.
Bagaimana dengan investasi TV lokal di Indonesia? Pendirian TV lokal
kelas menengah membutuhkan investasi Rp 10-25 miliar, TV lokal kelas atas
dibutuhkan investasi Rp 30-50 miliar, kendati ada TV lokal yang berinvestasi
lebih dari Rp 100 miliar. Break event point 3-5 tahun. (Majalah Behind the Screen,
No. 029)
64
Pasar
Pasar televisi siaran adalah khalayak dan iklan. Praktik memperebutkan
khalayak dan iklan dalam industri televisi suaran menghasilkan struktur pasar
tertentu.
Struktur Pasar Televisi
Struktur pasar industri televisi adalah oligopoli. Oligopoli adalah struktur
pasar ketika terdapat lebih dari satu produsen suatu produk, dan produk yang
ditawarkan umumnya seragam. Dalam industri, oligopoli tampak dari seragamnya
program yang diproduksi oleh sejumlah stasiun televisi. Oligopoli makin terasa
terjadi pada TV jaringan. Pada TV jaringan struktur oligopolistik diperkuat oleh
integrasi vertikalkontrol berbagai aspek produksi, distribusi, dan eksebisi. TV
jaringan ABC, CBS, NBC, Fox disebut sebagai The Big Four dalam industri
televisi siaran. Tiga yang disebut pertama menguasai 600 stasiun televisi. NBC
menguasai 213, CBS 192, dan ABC 159 stasiun afiliasi primer dan 96 afiliasi
sekunder.
Khalayak
Untuk membaca surat kabar, orang harus membeli surat kabar. Untuk
menikmati siaran televisi berlangganan, khalayak harus membayar langganan.
Namun, untuk menonton televisi siaran, khalayak tidak harus mengeluarkan uang.
Oleh karena itu, khalayak sebagai pasar televisi siaran tidak menghasilkan
keuntungan langsung kepada perusahaan penyedia jasa televisi siaran. Kelak
secara teoretis, jika jumlah penonton suatu televisi siaran terbilang besar yang
diukur dengan rating dan share, stasiun televisi bersangkutan akan kebanjiran
iklan.
Berdasarkan survei Nielsen Media Research (1993-1994), 98 persen
rumah tangga di AS memiliki setidaknya satu pesawat TV, dengan 69 di antaranya
memiliki lebih dari satu TV.
Data tahun 2006 yang dipublikasipan oleh www.tvb.org menyebutkan,
terdapat 111,6 juta pesawat televisi di rumah tangga Amerika Serikat. Rata-rata
setiap rumah tangga memiliki lebih dari dua pesawat televisi.
Data yang sama menyebutkan, televisi dihidupkan rata-rata selama 8 jam
setiap hari di rumah tangga Amerika. Laki-laki Amerika rata-rata menonton siaran
televisi selama empat jam 11 menit per hari. Perempuan Amerika rata-rata
menonton siaran televisi selama 5 jam 17 menit per hari. Anak-anak Amerika
rata-rata menonton siaran televisi selama empat jam 32 menit per hari.
Berdasarkan data dari suatu proyek penelitian yang dilakukan pada 2004,
sebesar 83 persen orang dewasa di Amerika memperoleh informasi atau berita
dari televisi. Sebagai perbandingan, 42 persen orang dewasa Amerika mendapat
informasi dari surat kabar, 19 persen dari radio, dan 15 persen dari internet.
Penonton televisi siaran di Indonesia bisa dikatakan terus bertambah.
Sejak 1980-an, jumlah pesawat TV bertambah enam kali lipat. Bandingkan
dengan radio yang bertambah hanya tiga kali lipat. Data Biro Pusat Statistik
menunjukkan bahwa sejak 1980-an, lebih banyak orang Indonesia yang
65
66
Tabel XII
Rating Televisi di Indonesia (2008)
RCTI; 17%
SCTV; 16%
Trans TV; 15%
Indosiar; 13%
TPI; 9%
Trans 7; 8%
Global TV; 6%
ANTV; 6%
TVOne; 4%
Others; 4%
Metro TV; 2%
iklan dapat memicu perilaku konsumtif masyarakat. Tepat 1 Spril 1981, iklan
menghilang dari layar TVRI. Sebagai kompensasinya, pemerintah menambah
subsidi hampir 10 kali lipat, yakni sebesar Rp 10 triliun per tahun.
Setelah lahirnya TV swasta, total belanja iklan nasional meningkat tiga
kali lipat, dari Rp 639 miliar tahun 1990 (padahal TV swasta hanya ada di Jakarta
dan Surabaya), menjadi Rp 1.381 triliun.
Pada 1995, ketika terdapat lima TV swasta, anggaran iklan meningkat
menjadi Rp 3.335 triliun. Pada tahun tersebut, RCTI menyumbang 34 persen dari
pendapatan Bimantara.
Akibat krisis, perolehan iklan televisi menurun menjadi hanya Rp 1,9
triliun. Dari jumlah ini, RCTI meraup 39 persen, sisanya dibagi di antara TPI,
SCTV, ANTV, Indosiar.
Hingga Mei 2004, Indosiar memperoleh iklan tertinggi, disusul SCTV dan
RCTI yang mengantongi kisaran Rp 721 miliar, kemudian Trans TV Rp 395
miliar, lalu TV7 Rp 212 miliar.
Akan tetapi, konstalasi perolehan iklan berubah pada 2006. Ini bisa dilihat
dari keuntungan stasiun televisi swasta di Indonesia. Pada 2006, RCTI menempati
posisi pertama dalam perolehan keuntungan, yaitu sebesar Rp 2 triliun, disusul
SCTV Rp 1,4 triliun dan Trans TV Rp 1,1 triliun (majalah Swa OktoberNovember 2007).
Berdasarkan data Media Partners Asia, RCTI, SCTV, dan Trans TV
menempati posisi tiga besar dalam perolehan suara. Ketiga stasiun televisi ini
menguasai 64 persen perolehan iklan.
Tabel XIII
Pendapatan Iklan Stasiun Televisi di Indonesia (2008)
RCTI; 15%
SCTV; 14%
Trans TV; 13%
Trans 7; 11%
TPI; 11%
Indosiar; 9%
Global TV; 8%
ANTV; 7%
TV One; 7%
Metro TV; 6%
Others; 0.3%
68
Tarif iklan televisi tergantung pada sejumlah faktor, antara lain sifat
televisi serta waktu penayangan program, serta rating program. Dalam hal sifat
televisi, makin besar nama atau makin mapan suatu stasiun televisi, makin besar
tarif iklan. Dalam konteks waktu penayangan, tarif pemasangan iklan di prime
time tentu lebih mahal dibanding non-primetime. Terkait rating program, makin
tinggi rating program, makin mahal tarif iklan di program tersebut.
Kepemilikan
TV jaringan ABC, CBS, NBC, Fox disebut sebagai The Big Four dalam
industri televisi siaran. Tiga yang disebut pertama menguasai 600 stasiun televisi.
NBC menguasai 213, CBS 192, dan ABC 159 stasiun afiliasi primer dan 96 afiliasi
sekunder.
Di Indonesiat, televisi swasta pada awal berdirinya dimiliki oleh anakanak Presiden Soeharto atau pengusaha yang dekat dengan Soeharto. RCTI
dimiliki oleh Bambang Trihatmojo, anak ketiga Soeharto. TPI dimiliki oleh Siti
Hardianti Rukmana, anak sulung Soeharto. SCTV dikuasai oleh Henry Pribadi,
yang punya hubungan dekat dengan sepupu Soeharto, Sudwikatmono. Indosiar
dikuasai oleh keluarga Salim yang punya hubungan dekat dengan Soeharto.
Bersamaan dengan berjalannya waktu, terjadi perubahan kepemilikan
stasiun televisi swasta. Hingga 2009, terdapat lima kelompok pemilik stasiun
televisi siaran nasional: Media Nusantara Citra milik Harry Tanoesoedibjo (RCTI,
TPI, Global TV, televisi berjaringan Sun TV), Trans Corps milik Chaerul Tanjung
(Trans TV dan TV 7), Surya Citra Media milik Sariatmadja (SCTV, Indosiar, dan
TV lokal Jakarta O-Channel), kelompok Bakri-StarTV (Antv, TVOne), dan PT
Media Televisi milik Surya Paloh (MetroTV).
Kepemilikan asing, dalam hal ini Star TV, seperti disebut di atas, sudah
masuk ke televisi siaran di Indonesia, yaitu Antv dan TVOne, melalui kelompok
Bakrie. Kelompok Jawa Pos menguasai sejumlah televisi siaran lokal, antara lain
Jawa Pos TV, Jak TV, Batam TV.
Kompetisi
Stasiun televisi siaran berkompetisi dengan sesama stasiun televisi siaran.
Kompetisi antarstasiun televisi siaran adalah kompetisi memperebutkan audience
dan iklan. Secara teoretis, makin besar audience, makin banyak pengiklan.
Ketatnya kompetisi antarstasiun televisi menyebabkan kinerja ekonomi
sejumlah stasiun televisi kurang baik. Stasiun televisi yang kinerja ekonomia
kurang baik ini kemudian diakusisi oleh stasiun televisi yang baik kinerja
ekonominya. Di Indonesia, TV7 diakuisisi oleh TransTV.
Televisi siaran juga berkompetisi dengan televisi berlangganan. Karena
untuk menonotn televisi berlangganan orang harus membayar, program-program
di televisi berlangganan relatif lebih baik. Dalam kasus televisi swasta di
Indonesia yang programnya seragam, monoton, dan terlalu general, televisi
berlangganan menjadi alternatif. Jika televisi swasta tidak memperbaiki kualitas
programnya, bukan tidak mungkin televisi berlangganan kelak menjadi pilihan
utama, bukan lagi alternatif.
69
71
13
Ekonomi Industri Televisi Berlangganan
Sejarah Singkat
Televisi berlangganan terdiri dari televisi kabel dan satelit. Belakangan
berkembang televisi berlangganan yang disebut internet protocol television
(IPTV).
Sebenarnya TV kabel pertama dibangun untuk mengatasi kesulitan
menerima siaran televisi yang dialami oleh daerah dengan penerimaan sinyal
buruk. Biasanya sebuah antena dipasang di menara yang terletak di puncak
gunung atau tempat-tempat tinggi lain di daerah itu. Kemudian, kabel digunakan
untuk menghubungkan antena dengan pesawat TV di beberapa rumah sekitarnya.
Ternyata kesulitan penerimaan siaran televisi tidak hanya terjadi di daerahdaerah terpencil, tetapi juga di kota-kota yang penuh dengan gedung-gedung
tinggi. Karena itu, TV kabel juga berkembang di daerah perkotaan.
Televisi kabel di Amerika Serikat berawal ketika pada tahun 1948, Ed
Parson yang tinggal di Astoria, Oregon, membuat sistem community antenna
television (CATV) dengan media kabel twin-lead dan dipasang dari satu atap
rumah ke atap rumah lain.
Tahun 1950, Bob Tarlton membangun sistemnya di Lansford,
Pennsylvania, dengan menggunakan kabel coaxial yang dipasang pada tiang. Ia
mendapat hak monopoli di kotanya dan menyiarkan tiga saluran bagi
pelanggannya.
Di Amerika belakangan juga berkembang televisi berlangganan dengan
menggunakan satelit serta IPTV. TV satelit di Amerika mulai tersedia pada 1994
dengan teknologi direct broadcast satelite (DBS). Di Amerika, salah satu penyedia
IPTV adalah Verizon yang menawarkan FiOS dan telah memiliki 500 ribu
pelanggan hingga akhir 2008.
Di Indonesia sendiri TV berlangganan muncul pada awal tahun 1990-an.
TV berlangganan di Indonesia umumnya menggunakan satelit, meski ada pula
yang menggunakan teknologi kabel. IPTV di Indonesia hingga akhir 2008 masih
dirintis keberadaannya.
Teknologi/Jenis Televisi Berlangganan
Seperti telah disinggung di awal bab ini, setidaknya dewasa ini terdapat
tiga jenis televisi berlangganan. Jenis televisi berlangganan ini terkait erat dengan
teknologi yang digunakan. Ketiga jenis atau teknologi televisi berlangganan
adalah televisi kabel, televisi satelit dan Internet Protocol Television (IPTV)
Televisi Kabel
Televisi kabel di Indonesia kebanyakan menggunakan teknologi hybrid
fiber-coaxial (HFC). Secara sederhana, teknologi ini menggabungkan dua tipe
kabel, yaitu kabel serat optik dan kabel metal biasa. Kabel serat optik membawa
sinyal dari stasiun pusat hingga ke stasiun-stasiun penghubung atau hub. Dari hub
sinyal disalurkan ke rumah-rumah dengan kabel coaxial biasa. Teknologi kabel
72
punya kelebihan pada kapasitas pengantaran data yang sangat besar serta tahan
terhadap cuaca.
Karena kelebihan teknologi kabel membuat sebagian besar televisi
berlangganan di Amerika menggunakan teknologi ini. Di Indonesia, setidaknya
dua operator televisi berlangganan yang menggunakan teknologi kabel, yakni
First Media dan IndosatM2 (IM2).
Televisi Satelit
TV satelit mengantarkan siaran kanal-kanal televisi langsung ke satelit
(direct broadcast satellite/DBS atau direct-to-home signals/DTHS) ke antena
berbentuk parabola kecil di rumah-rumah pelanggan. Operator televisi satelit di
Indonesia menggunakan satelit berbeda-beda sehingga memiliki jaungkauan
frekuensi dengan karakter masing-masing.
Di Indonesia televisi berlangganan yang menggunakan teknologi satelit
adalah Indovision dan AoraTV. Telkomvision menggunakan teknologi kabel
maupun satelit. Indovisian menggunakan satelit Indostar-1 atau dikenal juga
sebagai Cakrawala-1 yang beroperasi di zona S-Band. Telkomvision
menggunakan satelit yang beroperasi di zona C-Band.
Di Amerika operator televisi berlangganan yang menggunakan satelit
adalah Direct TV dan Dish Network. Keduanya menggunakan satelit VOOM
yang dimiliki oleh MSO Cablevision.
Secara teknis, satelit S-Band berada paling dekat ke permukaan bumi
sehingga kekuatan sinyalnya lebih baik daripada satelit C-Band atau Q-Band dan
lebih tahan dengan perubahan cuaca.
Dari sisi cuaca, teknologi kabel lebih tahan terhadap perubahan cuaca
ketimbang teknologi satelit. Teknologi satelit kurang praktis dibanding kabel,
karena jika ingin menambah kapasitas operator harus menambah satelit. Namun,
jangkauan TV satelit lebih luas dibanding TV kabel.
IPTV
IPTV adalah televisi berlangganan berbasis internet. IPTV ditransmisikan
lewat infrastruktur jaringan internet dan ditonton di rumah melalui peralatan
penerima TV dengan tambahan suatu set top box (STB) khusus untuk IPTV. IPTV
memungkinkan khalayak memesan program kepada operator (on demand) serta
bersifat interaktif. (Broadcast Media, Desember 2008).
Ada sejumlah layanan on demand: true video on demand (TVOD), near
video on demand (NVOD), Subcription (VOD), Free VOD (FVOD), Everything
on demand (EOD). Ada juga layanan rekaman: personal video recorder (PVR),
Network PVR (NPVR), pay per view (PPV).
Pasar
Pasar televisi berlangganan adalah khalayak dan iklan. Namun, industri
televisi berlangganan sepertinya lebih menggantungkan hidupnya pada pelanggan
atau khalayak ketimbang kepada iklan.
73
Khalayak
Seperti diungkapkan sebelumnya, share penonton TV kabel di seluruh
rumah tangga AS meningkat dari 7,2% pada 1982 menjadi 31% pada 1996.
Sebaliknya, tingkat penonton untuk TV jaringan, termasuk Fox, menurun dari
69,3% pada 1984 menjadi 58,9 pada 1994, dan penonton televisi terestrial
menurun dari 86,3% pada 1984 menjadi 69,9 pada 1994. Selain Amerika, Cina
merupakan negara dengan pelanggan televisi kabel tersebesar di dunia.
Namun, terdapat kecenderungan penurunan jumlah pelanggan 10 televisi
kabel terbesar di Amerika.
Tabel XIV
Penurunan jumlah pelanggan 10 televisi kabel terbesar di Amerika
(dalam juta):
Uruta Operator
2003
n
1
Comcast
21,9
2
Time Warner
12,9
3
Cox
6,3
4
Charter
7,0
5
Adelphia
5,8
6
Cablevision
3,0
7
Bright House
8
Mediacom
1,6
9
Insight
1,3
10
CableOne
0,8
Sumber: NCTA, 2005, seperti dikutip Baran, 2008
2005
21,5
10,9
6,3
5,9
5,2
2,9
1,5
1,4
1,2
0,6
74
Tabel XV
Jumlah pelanggan televisi berlangganan di Indonesia
Tahun
Kabel
Satelit
2001
70.000
60.000
2001
80.000
59.000
2003
105.000
51.000
2004
130.000
85.000
2005
164.000
190.000
2006
190.000
300.000
Sumber: Media Planning Guide Indonesia 2008
Total
130.000
139.000
156.000
215.000
354.000
490.000
OPERATOR
MULAI BEROPERASI
Indovision
1996
47
First Media
1996
21
Astro
2006
20
Telkom Vision
1997
11
75
Indosat M2
2000
Dengan iuran pelanggan rata-rata Rp 300 ribu per bulan, IPTV juga mulai
memperlihatkan pertumbuhan pasar pelanggan. Pertumbuhan pelanggan IPTV
sangat signifikan dibanding TV kabel atau TV satelit. Menurut Multimedia
Research Group kenaikan pelanggan IPTV kira-kira 45 persen per tahun (Sumber:
Broadcast Media, Desember 2008)
Di Indonesia, Telkom tengah menjajaki kerjasama dengan PCCW
Hongkong. Kerjasama itu meliputi aspek bisnis, konsultasi teknis, desain, solusi
pembangunan dan teknologi, dan manajemen. Dengan jumlah penduduk 220 juta
jiwa, Indonesia merupakan pasar yang menjanjikan untuk IPTV (Broadcast
Media, Desember 2008)
Iklan
Belanja iklan untuk TV berlangganan di Amerika meningkat rata-rata
11,9% per tahun sejak 1998. Di 12 negara Asia Pacifik antara Oktober 2003
hingga Oktober 2004, menurut Nielsen Media, iklan televisi berlangganan
mencapai sekitar 14 persen. Kedua belas negara tersebut adalah Korea Selatan,
Cina, Hongkong, Taiwan, Filipina, India, Thailand, Malaysia, Singapura,
Indonesia, Australia dan Selandia Baru.
Iklan pada televisi berlangganan memang relatif kecil dibanding pada
televisi siaran atau bahkan surat kabar sekalipun. Itu karena televisi berlangganan
terutama menggantungkan sumber pemasukannya dari pelanggan ketimbang dari
iklan.
Kepemilikan
Perusahaan televisi berlangganan di Amerika dikuasai oleh korporasi
besar. DirectTV dikuasai oleh korporasi News Corporation milik Rupert
Murdoch. Dish Netwok dimiliki oleh EchoStar.
Tabel XVII
Sepuluh pemain utama dalam televisi industri televisi kabel di Amerika
Tele-Communication, Inc.
Time Warner Cable
Continental cablevision, Inc.
Comsat Corporation
Fox Cable Communication
76
PT Adiwarta Perdana
PT Broadband Multimedia Tbk/Kabelvision
PT Fasiondo Jaya Kabel TV
PT Gemilang Putri Nusantara/Bali Interaktif
PT Global Wisata Mandiri Internasional/Global Vision
PT Indonesia Broadband Communication/Mega Vision
PT Indonusa Telemedia/Telkomvision
PT Indosat Mega Media/IM2
PT Matahari Lintas Cakrawala/Indovision
PT Mentari Multimedia
PT Media Multi Nusantara/Smart
PT Triutama Komunikom/Visicom
PT Karya Megah Adijaya/AoraTV
78
79
14
Ekonomi Industri Radio
Sejarah Singkat
The Father of Radio Guglielmo Marconi pada 1896 berhasil mengirim
sinyal tanpa kabel sejauh dua mil. Tiga tahun kemudian Marconi berhasil
mengirim sinyal tanpa kabel melintasi Terusan Inggris. Pada 1906, Fessenden
pertama kali menyiarkan suara dan musik kepada publik.
Kemunculan radio sebagai unit usaha besar yang penuh oersaingan mulai
terjadi pada 1920 dengan berdirinya radio KDKA. Awalnya radio ini hanya
meliput pemilihan presiden. Sumber keuntungannya bukan dari iklan, namun dari
pengjualan radio-radio di masyarakat. Program radio yang disponsori mulai
diudarakan oleh stasiun WEAF pada 1922. Sejak itulah, radio mulai
menayangkan iklan dan menjadikan iklan sebagai sumber pendapatan.
Di Indonesia, cikal bakal radio siaran sudah ada sejak masa
Prakemerdekaan. Pada 1911, fasilitas radio siaran milik angkatan laut mengudara
di Sabang. Hingga akhir Perang Dunia Pertama, pemerintah kolonial Belanda
melarang individu mendengar siaran radio. Bersamaan dengan mengendurnya
pembatasan selama masa perang, para radio amatir mendirikan Masyarakat Radio
Batavia yang sejak 1925 mengudara secara regular. Pada 1937, pemerintah
Belanda memberikan izin terbatas bagi Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran
untuk menyiarkan materi sosial budaya. Di masa pendudukan Jepang, pemerintah
Jepang menempatkan seluruh stasiun radio di bawah pengawasan Departemen
propadanda dan Informasi, Sendenbu. Pada 11 September 1945, delapan stasiun
radio lokal yang sebelumnya berada dalam pengawasan Jepang, mendirikan Radio
Republik Indonesia (RRI). Sejak April 1946, RRI berada dalam naungan
Departemen Penerangan.
Tipe Radio
Sebagaimana televisi siaran, terdapat tiga tipe radio siaran: radio negara,
radio publik, dan radio komersial.
80
Iklan
Di AS Pada 1929 perolehan iklan radio sebesar 40 juta dolar AS. Antara
tahun 19930-1940, revenue dari iklan meningkat dari 40 juta dolar AS menjadi
155 juta dolar AS. Pada 1955 perolehan iklan radio mencapai 500 juta dolar AS.
Pada 1969, perolehan iklan radio mencapai 1,2 miliar dolar AS. Menurut data
Television Bureau Advertising 2006, dewasa ini iklan radio mencapai 20 miliar
dolar AS.
Di Indonesia, iklan radio mengalami booming pada 1980-an ketika
pemerintah melarang penayangan iklan di TVRI. Belanja iklan media radio
selama kurun waktu 1986-2002 meningkat secara meyakinkan. Berdasarkan data
Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), pada 1986 belanja iklan radio
menjadi Rp 23 miliar, tahun 1996 Rp 230 miliar, tahun 1997 Rp 206 miliar, tahun
1998 Rp 136 miliar, tahun 1999 Rp 187 miliar, tahun 2000 Rp 257 miliar, 2001
Rp 341 miliar, dan tahun 2002 menjadi Rp 658 miliar.
Kepemilikan
Di AS Jumlah stasiun radio melonjak dari 605 pada tahun 1935 menjadi
lebih dari 2.500 di tahun 1955, dan meningkat lagi menjadi lebih dari 5.000 pada
1969. Dewasa ini terdapat 13.837 stasiun radio siaran yang beroperasi di seluruh
Amerika: 4.754 stasiun komersial yang beroperasi di gelolmbang AM, 6,266 radio
komersial FM, dan 2.817 radio nonkomersial FM.
Di Amerika terdapat sejumlah korporasi pemilik stasiun radio siaran. Clear
Channel memiliki 1.207 stasiun, Cumulus 268 stasiun radio, dan Citadel 243
stasiun radio. Ketiga korporasi mengklaim menguasai 80 persen pendengar
Amerika.
Konsentrasi kepemilikan ini mengundang kritik dari para pekerja radio
maupun para intelektual. Aktivis dan intelektual media Robert McChesney
menyebut konsentrasi kepemilikan sudah merusak radio. McChesney menyatakan
radio telah menjadi mesin pencari keuntungan semata.
82
15
Ekonomi Industri Film
Sejarah Singkat
Film atau gambar bergerak yang kita kenal berawal ketika Niepce
mengembangkan fotografi pada 1816. Pada 1839 diperkenalkan kertas film. Pada
1877 Muybridge mengambil sejumlah gambar diam (still picture) balapan kuda
dalam sekuens, sehingga ketika sekuens tersebut diputar seolah gambar menjadi
bergerak.
Pada 1887, Goodwins mengembangkan pita seluloid. Setahun kemudian
atau tahun 1888, Dickson memproduksi kinetograph. Pada 1889, Eastmen
mengembangkan kamera film praktis. Pada 1891, Thomas Edison menciptakan
kinetoskop. Pada 1895, kakak-beradik Lumiere memulai debut sinematografi
mereka. Sinematograf adalah alat yang memadukan fotografi dan proyektor.
Bersama Thomas Armat, Edison mematenkan proyektor pada 23 April. Pada
April 1896, Edison meluncurkan Edison Vitascope di New York yang menandai
kelahiran industri atau bisnis film.
Film Edison dan Lumiere durasinya hanya beberapa menit. Film awal
tersebut tanpa editing dan tanpa narasi. Pembuat film asal Prancis George Melies
kemudian membuat film yang diserta narasi dengn judul A Trip to the Moon.
Pada 1926, film mulai menampilkan suara.
Dari perkembangan sejarah itu, film berkembang ke seluruh dunia sebagai
industri. Industri film di AS menjadi sumber hiburan utama selama beberapa
dekade. Hollywood menjadi pusat industri film di AS.
Di Indonesia, film sudah ada sejak 1920-an. Film bisu pertama Loetoeng
Kasaroeng diproduksi di Bandung pada 1926. Pemerintah kolonial Belanda
mendirikan lembaga sensor pada 1925. Pada 1936, pemerintah kolonial
mendirikan perusahaan film negara Algemeen Nederlandsch Indisch Film (ANIF)
yang memproduksi features dan dokumenter. Di masa pendudukan Jepang (194285
Penghasilan
(juta dolar)
601
461
437
435
431
423
408
380
86
377
373
Tabel XXI
Film-film Indonesia dengan Jumlah Penonton Terbesar (2007)
Judul Film
1. Get Married
2. Nagabonar Jadi 2
3. Terowongan Casablanca
4. Quicky Express
5. Film Horor
6. Suster Ngesot
7. Pulau Hantu
8. Pocong 3
9. Lantai 13
10. Kuntilanak 2
Jumlah Penonton
1,4 juta
1,3 juta
1,2 juta
>1,0 juta
900 ribu
800 ribu
650 ribu
600 ribu
550 ribu
550 ribu
88
Industri film kadang memperoleh pendapatan lain dari apa yang disebut
penempatan produk (product placement) atau build in product dalam istilah
industri televisi siaran.
Dalam industri film Hollywood, mainan bermerek Tranformer tampil
dalam film Transformer (2007); Mobil Audi berulangkali muncul dalam film
Transporter 2 (2005); Calvin Klein tampak dalam film The Island.
Ini sesungguhnya bukan fenomena baru dalam industri film. Dalam film
The African Queen, bintang film Khatarine Hepburn membuang botol minuman
bermerek Gordon ke sungai. Spancer Tracy disemprot dengan Coca-Cola dalam
film Father of the Bride (1950).
Di Indonesia, banyak film yang disponsori oleh perusahaan atau lembaga
tertentu. Perusahaan yang acap mensponsori film Indonesia adalah perusahaan
telepon seluler atau perusahaan rokok. Opera Jawa, seperti telah disinggung
sebelumnya, biaya pembuatannya berasal dari Austria, Belanda, Belgia.
Bioskop
Bioskop merupakan sarana eksibisi dalam industri film. Jumlah penonton
film antara lain ditentukan oleh jumlah bioskop. Di Amerika terdapat sekitar
36.485 layar bioskop. Lebih dari 80 peresn bioskop punya dua atau lebih layar
dengan rata-rata 340 tempat duduk.
Pada 1980-an, berdasarkan Paramount Decision, bioskop dimiliki oleh
studio. Somy/Loews Theaters, Sony-IMAX Theaters, Magic Johnson Theaters,
dan Loews-Star Theaters menguasai 3.000 layar biskop. Warner Brothers
International Theaters memiliki 1.000 layar bioskop di 12 negara bagian.
Pemerintahan Reagen membuat deregulasi kepemilikan bioskop. Sejak
1990-an, studio tak memiliki layar bioskop lagi. Biskop dimiliki oleh jaringan
besar. Century Theaters memiliki 800 layar dan berencana menambah 400 layar
lagi di 11 negara bagian. Regal Entertainment Group (Regal Cinemas, United
Artist Theaters, Edwards Theaters) memiliki 6.061 layar di 26 negara bagian.
Tujuh jaringan biskop serta jaringan studio menguasai 80 persen penjualan tiket
bioskop di Amerika.
Di Indonesia, jumlah bioskop belum sebanding dengan jumlah penduduk.
Hingga Juni 2009, di Indonesia terdapat 554 layar bioskop untuk 220 juta
penduduk. Sebagai perbandingan, di Korea dengan jumlah penduduk jauh lebih
sedikit dibanding Indonesia, terdapat 360 layar bioskop. Dewasa ini bioskop di
Indonesia dikuasai oleh jaringan 21 dan Blitz.
Sejak 1986 hingga 2008 sekitar 107 bioskop tutup akibat tidak bisa
mengikuti irama permainan dalam peredaran film di Indonesi. Kematian biskokp
dipercepat oleh maraknya peredaran VCD dan DVD. (Kompas, 23 mei 2008).
Survei yang dilakukan oleh Roy Morgan (April 2006-Maret 2007)
terhadap penduduk di 20 kota utama di Indonesia menunjukkan lebih dari 2 juta
orang mengunjungi bioskop lebih dari dua kali dalam tiga bulan terakhir, sekitar
1,7 juta orang mengunjungi bioskop satu kali dalam tiga bulan terakhir, dan
sekitar 500 ribu orang mengunjungi bioskop antara 3 sampai 12 bulan terakhir.
Bioskop juga menjadi sarana beriklan. Di tingkat global, iklan bioskop
meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Zenith Optimedia seperti dikutip
89
Me dia Planning Guide Indonesia 2008, pada 2006, iklan bioskop global
mencapai 1,9 miliar dolar AS. Diperkirakan iklan bioskop meningkat menjadi
hampir 3 miliar dolar AS pada 2010. Di Indonesia, pendapatan bioskop dari iklan
meningkat dari tahun ke tahun.
Tabel XXII
Pendapatan Bioskop di Indonesia dari iklan
Tahun
90
Regulasi lainnya di Amerika adalah copy right atau hak cipta. Penerapan
hak cipta di sana relatif baik sehingga industri terkait hak cipta, seperti film,
berkembang pesat. Industri hak cipta di Amerika, menurut laporan International
Intellectual Property Alliance(IIPA), menyumbang $1,38 triliun atau 11,12% DGP
AS tahun 2005. Industri ini juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi 11,3 juta
orang.
Di Indonesia, regulasi perfilman yang berlaku di masa penjajahan adalah
Ordonansi Film No. 507. Pemerintah Orde Lama memberlakukan Undang-undang
Nomor 1 Pnps tahun 1964. Di masa Orde Baru berlaku Undang-undang Perfilman
No. 8 Tahun 1992. Pada 2009, DPR mengesahkan berlakunya Undang-undang
Perfilman baru untuk menggantikan Undang-undang [perfilman No. 8 tahun
1992.
Di Indonesia regulasi juga berupa sensor. Indonesia di masa Orde Baru
memiliki lembaga sensor bernama Badan Sensor Film (BSF). Di masa reformasi,
ia berganti nama menjadi Lembaga Sensor Film (LSF).
Di Indonesia, antara 1970 hingga 2005 setidaknya 40 film Indonesia
terkena sensor. Pada 2007, LSM menyensor 53 judul film Indonesia dan 2007
judul film impor. (Koran Tempo, 25 Mei 2008)
Film-film tersebut disensor kebanyakan karena menampilkan seks,
kekerasan, dan SARA. Berdasarkan data LSF, sepanjang 2007, adegan seks yang
disensor sepanjang 2.383,5 meter (18 rol film), sadistis 539,3 meter (4 roll film),
dan SARA atau ketertiban umum 260,5 meter (2 rol film)
Regulasi lainnya adalah berkaitan dengan perlindungan film dari
pembajakan (UU Hak Cipta). Pelaku pembajakan umumnya membajak film-film
Indonesia ke dalam DVD. Untuk mengurangi pembajakan, di masa awal
distribusi, film-film Indonesia hanya dibuat untuk bioskop. Setelah film tidak
diputar di bioskop, baru dibuatkan DVD-nya.
Sebagaimana di Amerika, LSF menetapkan rating film. Rating film terdiri
dari semua umur, 13 tahun ke atas, 17 tahun ke atas. Rating seperti ini
penerapannya tidak begitu ketat. Bioskop seringkali meloloskan anak-anak
menonton film 17 tahun ke atas.
Masa Depan
Dilihat dari kemampuannya beradaptasi dengan berbagai teknologi untuk
meraih penonton, masa depan industri film bisa dikatakan cerah. Namun, dilihat
dari sisi cost production yang cenderung makin mahal, selera penonton yang
berubah-ubah, pembajakan, serta munculnya industri film di negara lain,
membuat masa depan industri film masih merupakan tantangan.
Di masa depan, industri televisi harus menyesuaikan diri dengan
perkembangan teknologi, baik teknologi produksi maupun teknologi konsumsi.
Konvergensi teknologi diperlukan untuk mempertahankan kelangsung hidup
industri film.
Film Indonesia kini mulai bergerak ke era industri. Mulai banyak produser
film yang membuat film untuk tujuan komersil, menciptakan pasar, menggunakan
tenaga profesional, dan metode profesional. Penyediaan tenaga profesional harus
92
didukung oleh ketersediaan sekolah film. Untuk penduduk yang berjumlah 225
juta jiwa, Indonesia hanya punya satu sekolah film. Bandingkan dengan India
yang punya 30 sekolah film, Korea 7, Filipina 5, dan Iran 2.
Tantangan lain industri film di Indonesia adalah pembajakan. Pemerintah
juga harus menerapkan regulasi tentang hak cipta secara ketat untuk mengurangi
pembajakan demi kelangsungan industri film. Kampanye antipembajakan serta
strategi distribusimisalnya dengan hanya membuat film untuk bioskop di masa
awal distribusimerupakan langkah lain untuk mengurangi pembajakan.[]
17
Ekonomi Industri Rekaman
Sejarah Singkat
Industri rekaman merupakan salah satu industri hiburan. Meski mengalami
pasang surut, tetapi secara umum industri rekaman sangat menjanjikan.
Di Amerika Industri rekaman mengalami tingkat penjualan yang tinggi
pada 1920-an, namun menurun drastis di masa depresi, dan meningkat kembali
pada 1940-an. Revenue (disesuaikan dengan tingkat inflasi) mengalami pasang
surut pada awal 1950-an. Penjualan cenderung datar dari 1978-1982, dan pada
1980-an serta awal 1990-an perkembangan industri rekaman tersendat akibat
inflasi.
Sejarah industri rekaman di Indonesia berawal ketika fonograf buatan
Amerika diimpor ke Hindia Belanda pada awal 1900-an. Pada masa pra Perang
Kemerdekaan terdapat tiga perusahaan rekamandua di Batavia dan satu di
Surabayayang dimiliki oleh orang Cina. Pada 1951 perusahaan rekaman yang
dimiliki oleh orang pribumi berdiri. Perusahaan bernama Irama itu memproduksi
rekaman berbentuk fonogram. Pada 1954, berdiri perusahaan rekaman Remaco
dan Dimita. Setahun kemudian di Solo, Jawa Tengah, lahir Lokananta, perusahaan
rekaman milik pemerintah, yang terutama memproduksi musik atau lagu Jawa.
Perusahaan rekaman Irama di Menteng, Jakarta, kemudian melahirkan lagu-lagu
pop hiburan yang dinyanyikan oleh Rachmat Kartolo, Nien lesmana, Patty Sister .
Pasar
Pasar industri rekaman di AS bersifat oligopoli. Industri musik di AS juga
melakukan intergrasi vertikal. Industri musik umumnya merupakan industri hulu
ke hilir. Industri rekaman umumnya juga memiliki industri publikasi, fasilitas
rekaman, manufaktur, distribusi, serta promosi.
Pasar industri musik rekaman umumnya adalah khalayak. Namun,
belakangan ini, industri rekaman memperoleh ongkos produksi dari sponsor.
93
Khalayak
Tingkat konsumsi musik publik AS merupakan yang terbesar kedua
setelah konsumsi TV. Pada 1995, setiap orang di AS rata-rata mendengar musik
selama 185 jam. Pada tahun 2001 konsumsi musik di AS meningkat menjadi 238
jam per orang. Pada 1985 setiap orang di AS rata-rata menghabiskan 25,1 dolar
untuk mengonsumsi musik. Pada 2001, setiap orang AS rata-rata menghabiskan
60,6 dolar untuk mendengar atau mengonsumsi musik.
Produksi industri musik atau rekaman bisa dikatakan relatif berkembang
dari tahun ke tahun. Pada 1973, produksi industri rekaman mencapai 600 juta unit
lebih. Sepuluh tahun kemudian meningkat menjadi sekitar 900 juta unit. Puncak
produksi industri rekaman di AS mencapai puncaknya pada tahun 2000, yakni 1,2
miliar unit lebih, namun menurun pada 2001 menjadi 1 miliar unit. The Beatles
merupakan grup musik dengan jumlah penjualan rekaman tertinggi.
Tabel XXIII
Penjualan rekaman grup atau artis penyanyi di Amerika sepanjang masa:
Musisi
The Beatles
Elvis Presley
Garth Brooks
Led Zepelin
Eagles
Billy Joel
Pink Floyd
Barbra Streisand
Elton John
AC/DC
Rekaman Terjual
(juta kopi)
169
118,5
116
109,5
91
79,5
73,5
71
69
68
Tabel XXVI
Penjualan Kaset Rekaman Legal (unit)
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Lokal
28.073.540
20.925.844
17.005.570
20.175.310
14.485.860
11.659.137
Etnik
Regional
4.964.059
4.778.285
4.372.360
2.970.719
1.533.384
1.350.510
300.046
111.636
Internasional
12.700.220
11.102.710
8.689.176
7.652.890
5.700.884
2.121.084
Lokal
659.070
720.860
1.297.196
2.401.150
2.415.530
2.377.344
Etnik
Regional
60.742
109.319
97.701
94.810
Internasional
2.057.400
1.063.740
1.154.098
2.077.061
1.856.319
1.801.395
Ekonomis
279.190
245.200
1.904.360
Lokal
297.748
383.240
1.076.290
889.470
442.450
685.790
Internasional
243.720
77.580
55.350
43.290
16.110
10.080
Tabel XXIX
Total Nilai Penjualan Rekaman (Rupiah)
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Nilai Penjualan
1.063.237.960.000
798.246.100.000
705.502.487.000
837.541.722.000
703.655.781.000
567.959.497.000
96
Tabel XXX
Top Ten Label Rekaman berdasarkan Penjualan 2006
Musica Studio
Sony BMG Music Entertainment Indonesia
EMI Music Indonesia
Universal Music Indonesia
Virgo Ramayana Record
Aquarius Musikindo
Swara Sapta Gita
Warner Music Indonesia
Dian Pramudita Kusuma
Arga Swara Kencana Musik (Blackboard)
99
17
Ekonomi Industri Media Online
Sejarah Singkat
Carveth dan Metz mencatat ada argumentasi bahwa pertumbuhan internet
melalui tiga tahap. Pertama, tahap pionir. Tahap ini diawali oleh para pioner
kebanyakan ilmuwan dan insinyur yang peduli dengan keamanan nasional.
Internet dalam hal ini dikembangkan oleh US Defence Advance Research Project
Agency (DARPA) pada 1973. Mereka mengupayakan agar orang bisa
berkomunikasi dengan sistem komputer yang bisa terhubung satu sama lain. Para
ilmuwan dan programer awalnya bekerja untuk mengeksplorasi teknologi baru
yang memungkinkan orang bekerja bersama meski mereka berada di tempat
berbeda.
Kedua tahap penetap (settler). Tahap kedua ini diawali dengan munculnya
para akademisi dan ilmuwan yang menggunakan mesin untuk saling berbagi dan
berkomunikasi. Mulai terbentuk komunitas di antara mereka yang terus menerus
menggunakan sistem tersebut untuk saling berbagai dan berkomunikasi. Mereka
berkeyakinan bahwa jaringan komputer itu tidak terbatas. Para settler ini melihat
internet sebagai sarana publik, yang bisa digunakan oleh semua orang.
Ketiga, tahap pemilik modal. Tahap ini mulai pada awal 1980-an, dan
muncul kembali pada 1990-an. Para pemilik modal melihat peluang dari dunia
informasi mutakhir ini. Pada tahap ketiga inilah, media online menjadi institusi
ekonomi atau bisnis.
Di Indonesia, Khrisna Sen dan dan David T. Hill mencatat perkembangan
internet berawal pada 1986. Dewan Riset Nasional merekomendasi
pengembangan sains dan dan layanan teknologi informasi. Pada 1989 Badan
Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT) merancang jaringan informasi
100
Persentase
74,0
81,7
80,2
77,0
75,6
75,6
75,0
63,4
Jumlah pengguna
Jumlah Pelanggan
102
1998
500.000
1999
1.000.000
2000
1.900.000
2001
4.200.000
2002
4.500.000
2003
8.100.000
2004
11.200.000
2005
16.000.000
2006
21.000.000
Sumber: Diolah dari Media Planning Guide Indonesia 2008
134.000
256.000
400.000
581.000
667.000
865.700
1.087.400
1.500.000
2.000.000
104
105
Regulasi
Media online atau internet sering disebut sebagai media bebas sensor.
Informasi apa pun bisa tampil di media online. Pornografi, berita bohong, atau
gosip bisa menyusup ke internet atau media online dengan leluasa. Oleh karena
itu, banyak negara yang memberlakukan regulasi bagi media online atau internt.
Untuk mencegah pornografi anak di internet, Amerika memiliki The Child
Pornography Prevention Act 1996. Untuk menjaga privasi atau wilayah pribadi,
Amerika menerapkan Electronic Communication Privacy Act 1986. Amerika juga
memiliki Digital Millennium Copyright Act 1998 untuk melindungi hak cipta.
Indonesia memiliki sejumlah regulasi terkait media online. Undangundang tersebut antara lain Undang-undang Pornografi, Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Undang-undang Hak Cipta.
Terkait hak cipta, Google pernah digugat dan harus berurusan dengan
pengadilan. Pada 2002, Google memulai proyek Google Search Book. Google
memindai buku secara rahasia. Hingga awal 2008, Google telah memindai tujuh
juta buku. Penerbit dan pengarang menggugat Google sehingga google harus
berurusan dengan pengadilan. Namun, pada 28 Oktober 2008, Google, pengarang,
dan penerbit sepakat menyelesaikan kasus ini diluar pengadilan. Google bersedia
membayar 125 juta dolar AS untuk hak cipta buku-buku yang telah dipindai,
biaya pengadilan, dan mendirikan entitas bernama Book Rights Registrasi.
Masa Depan
107
Media online atau internet bisa disebut sebagai media yang paling cerah
masa depannya. Semua jenis media melakukan konvergensi dengan media online
atau internet untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Regulasi sangat
diperlukan untuk menjamin masa depan internet atau media online dari informasi
bohong, gosip, pelanggaran hak cipta, pornografi, dan pelanggaran hak-hak
pribadi.[]
18
Ekonomi Industri Periklanan
Sejarah Singkat
Iklan dalam berbagai bentuknya sudah ada sejak berabad-abad silam. Para
pedagang di Babiloniapada 3.000 tahun sebelum masehi mengiklankan barang
dagangan mereka dengan membayar orang untuk meneriakkannya. Orang
Romawi mengiklankan pertunjukan gladiator melawan binatang buas dengan
menempelkan semacam pamplet di dinding kota.
Pada tahun 1625, terbit buku berita (newsbook), The Weekly News, yang
berisi iklan. Iklan mulai dikenal di Amerika melalui Inggris. Ben Franklin
menjual ruang untuk iklan di koran Pennsylvania Gazett.
Iklan sebagai industri mulai terbentuk secara formal pada akhir abad ke19, ketika banyak agensi iklan berdiri. Sejak itu, iklan memainkan peran yang
amat penting dalam industri media. Banyak industri media yang tergantung pada
iklan.
Di Indonesia sejarah periklanan bisa dibagi menjadi sejumlah tahap: awal
periklanan Indonesia (1744-1930-an), melewati masa depresi ekonomi (19301942), iklan propadanda (1942-1945), masa kemerdekaan (1945-1949), uang dan
iklan memburu barang (1950-1972), periklanan Indonesia modern (1966-1972),
dan masa ketika Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia terbentuk (setelah
1972).
108
Pasar
Iklan merupakan industri pendukung dalam ekonomi media. Industri
periklanan bekerja dalam pasar dengan struktur kompetisi monopolistik. Ada
banyak perusahaan atau agensi iklan tetapi mereka berbeda dalam hal reputasi,
tingkat pelayanan, lokasi, kapabilitas, dan ukuran. Ada perbedaan tarif atau harga,
meski struktur tarif atau harga itu relatif sama dengan industri lain ketika
dibandingkan antara industri sejenis.
Tak seperti bisnis lain, struktur harga yang berlaku dalam industri
periklanan didasarkan pada sistem komisi. Klien biasanya membayar komisi 15%
untuk setiap media yang dipasangi iklan produk mereka. Jadi, makin besar klien
dan makin ambisius rencana dan penempatan iklan, makin besar uang yang harus
dibayar.
Iklan punya dua terget mendasar. Pertama, adalah khalayak konsumen
(consumer audience) yang menjadi sasaran iklan melalui berbagai tipe media.
Kedua, perusahaan barang dan jasa yang menggunakan iklan untuk menjalin
komunikasi dengan konsumen yang mengunsumsi barang dan jasa mereka serta
konsumen yang potensial akan mengonsumsi barang dan jasa mereka.
Pengiklan
Di Amerika, pada 2006, pengiklan menghabiskan lebih dari 292 miliar
dolar AS untuk menjangkau publik Amerika dan 604 miliar dolar AS untuk publik
dunia. Jumlah tersebut tidak termasuk miliaran dolar untuk perencanaan,
produksi, dan distribusi iklan tersebut.
Tabel XXXV
Belanja iklan 10 agensi iklan di Amerika tahun 2005
Agensi
J. Walter Thomson (WWP), New York
McCann Erickson (interpublic), New York
Leo Burnett (Publicis), Chicago
BBDO Worldwide (Omnicom), New York
Ogilvy & Mather (WPP), New York
DDB Worldwide (Omnicom), New York
Grey Worldwide (WWP), New York
Foote, Cone & Belding (Interpublic), New York
Publicis (Publicis), New York
Saatchi & Saatchi (Publicis), New York
Belanja Iklan
(juta dolar AS)
469,4
435,6
352,2
281,0
278,0
267,2
250,5
200,8
195,7
193,9
Perusahaan
Belanja Iklan
(miliar dolar AS)
8,190
4,272
4,173
2,800
2,773
2,645
2,479
2,104
2,033
1,968
Kategori
Jan-Sept
2007
110
Perlengkapan dan
1,972,154
3,446,124
75%
layanan komunikasi
799,312
1,389,036
74%
Pemerintah, parpol
1,117,896
1,306,705
17%
Sepeda motor, skuter,
sepeda
1,134,911
1,046,126
34%
Rokok
1,095,052
1,024,129
-8%
Perawatan rambut
442,275
908,756
-6%
Hotline service, party
line, horoskop
785,486
838,763
105%
Bank, keuangan,
peminjaman
727,932
811,714
12%
Media, Agensi Iklan,
PH
816,882
811,510
-1%
Lotion pembersih
Wajah
Sumber: Nielsen Media Research seperti dikutip Majalah Marketing 12/VIII/Des
2008
Dari sisi merek produk, iklan sampo Clear Antiketombe menempati urutan
pertama dalam belanja iklan pada tahun 2006, disusun rokok Djarum Super dan
minuman isotonik Extra Joss.
Tabel XXXVIII
Belanja iklan Berdasarkan Merek Produk Januari-September 2006
(dalam juta rupiah)
Produk
1. Clear anti ketombe (sampo)
2. Djarum Super (rokok)
3. Extra Joss (isotonik)
4. Sedaap (mi instan)
5. Nokia (ponsel)
6. Gudang Garam Intl (rokok)
7. Ponds (perawatan wajah)
8. Honda Supra (motor)
9. Rinso (deterjen)
10. Indomie (mi instan)
11. Telkomsel (SIM card)
12. Ponds (pemutih)
13. Suzuki Smash (motor)
14. Vaseline
15. Surf (deterjen)
16. Telkomsel Simpati (SIM card)
17. Telkom
Belanja Iklan
(juta rupiah)
212.339
178.128
165.341
161.380
155.152
141.647
133.401
132.061
125.499
117.972
110.946
81.790
72.398
76.254
75.322
75.214
74.451
111
72.705
71.228
65.716
112
Tabel XXXIX
Alokasi belanja iklan di Amerika berdasarkan Media(persen)
Media
Koran
Televisi
Direct mail
Radio
Bussiness paper
Out door
Yellow pages
Lain-lain
1980
30
23
15
7
3
1
15
1990
25
22
18
7
2
1
7
13
2000
20
18
18
8
2
5
113
2001
2005
Televisi
Koran
Radio
Outdorr
Internet
Cinema
36,2
32,1
8,7
5,5
2,6
0,3
32,1
30,3
8,6
5,5
4,5
0,4
Tabel LI
Perolehan/Alokasi Iklan berdasarkan Media di Asia Pasifik 2006
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Media
Televisi
Suratkabar
Majalah:
Media luar ruang
Radio:
Internet
Bioskop
Persentase
55%
24%
5%
5%
4%
3%
2%
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Koran
1,075
1,202
1,540
958
1,415
1,882
Majalah
211
270
311
191
194
308
TV
1,638
2,203
2,678
2,213
3,449
4,933
Radio
170
189
206
136
187
267
Sinema
11
10
9
4
6
8
Outdoor
230
266
350
261
269
269
Internet
0
0
0
1
1
1
Total
3,335
4,140
5,094
3,762
5,521
7,768
114
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2,693
3,502
4,378
5,711
5,524
8,165
9,760
11,712
13,938
422
521
667
1,097
1,212
1,247
1,561
1,874
2,230
6,007
8,383
10,311
15,298
17,792
20,648
24,683
29,619
35,247
329
413
516
595
781
850
950
1,140
1,387
9
9
11
13
14
15
16
19
22
202
232
279
719
884
1,150
1,437
1,727
2,052
1
2
3
3
4
5
6
8
9
9,613
13,062
16,165
23,434
27,311
32,077
38,413
46,096
54,854
Jan-Sept 2008
(miliar rupiah)
Kenaikan
TV
16,964
19,658
16%
Koran
7,860
10,547
34%
1,242
26%
Majalah,
tabloid
986
Agensi Iklan
Dunia periklanan melahirkan agensi atau biro iklan. Pengiklan memasang
iklan di media melalui agensi atau biro iklan profesional. Di Amerika terdapat
sekitar 6.000 agensi iklan yang mempekerjakan sekitar 500 ribu orang. Sejumlah
agensi memperoleh keuntungan 1 juta dolar AS setiap tahun.
Banyak agensi yang memproduksi iklan serta membeli ruang atau slot
iklan di berbagai media. Agensi memperoleh ongkos produksi iklan dari
pengiklan. Agensi biasanya memperoleh konpensasi berupa komisi, biasanya
sebesar 15 persen, dari media tempat agensi membeli ruang atau slot iklan.
Di Indonesia terdapat sejumlah pemain utama atau agensi iklan dalam
industri periklanan. Tiga pemain utama dalam industri periklanan adalah Matari
Advertising, Lowe Indonesia, dan Dwi Sapta Advertising.
115
lembaga yang memutuskan apakah suatu iklan menipu atau tidak menjadi
lembaga yang mengatur dan menindak keluhan terhadap iklan yang menipu.
Masa Depan
Di masa mendatang masyarakat makin kritis terhadap iklan. Industri
periklanan dituntut makin kreatif dalam mengemas iklan. Industri periklanan
harus menjalin hubungan dengan konsumen secara intensif. Industri periklanan
juga tak boleh lagi hanya mempertimbangkan sisi kuantitatif (jumlah penonton
atau pembaca) dalam memasang iklan di media, melainkan juga sisi kualitatif
(citra media, karakteristik khalayak).
Regulasi di masa depan kadang menganggu kreativitas orang iklan. Di
Indonesia, misalnya, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.
25/PER/M.KOMINFO/5/2007 yang mengharuskan penggunaan sumber daya
dalam negeri untuk produk iklan yang disiarkan melalui lembaga penyiaran.
Industri periklanan juga harus mengantisipasi perkembangan teknologi.
Internet atau media online serta konvergensinya menjadi saranan yang ampuh
ntuk beriklan.
Belanja iklan dunia memang cenderung meningkat. Namun, krisis
keuangan bisa menghambat peningkatan belanja iklan. Tetapi, di masa krisis,
perusahaan semestinya tidak berhenti beriklan, melainkan hanya selektif beriklan.
Media online bisa menjadi sarana yang murah namun efektif untuk beriklan di
masa krisis.[]
19
Ekonomi Industri Public Relations
Sejarah Singkat
Para arkeolog di Irak telah mengungkap artefak dari tahun 1800 sebelum
masehi, yang pada masa sekarang dikenal sebagai buletin informasi. Artefak itu
menyediakan informasi bagi petani tentang vara bercocok tanam, dari penanaman
benih, irigasi, hingga panen.
Julius Caesar mempropaganda rakyat Romawi dengan laporan rutin yang
berisi keberhasilannya untuk mempertahankan moralitas dan soliditas reputasi dan
posisinya dalam kekuasaan. Gengis Khan senatiasa mengirim tim pendahulu
untuk menyampaikan kisah-kisah heroismenya untuk menakut-nakuti musuhnya
atau membuat musuhnya menyerah.
117
118
disebut periode pertama cikal bakal PR di Indonesia. Pada periode kedua, 19671971, terbentuklah Badan Koordinasi Kehumasan (Bakohumas).
Pada periode ketiga, 1972-1987, tepatnya tanggal 15 Desember 1972,
berdiri Perhumas yang mewadahi PR profesional pada lembaga swasta umum.
Konvensi Humas di Bandung tahun 1993, telah menetapkan Kode Etik
Kehumasan Indonesia ( KEKI ). Perhumas tercatat sebagai anggota International
Public Relations Associations (IPRA) dan Forum Asean Public Relations
Organizations ( FAPRO ). Pada tanggal 10 April 1987 di Jakarta dibentuk suatu
wadah profesi PR lainnya yang disebut Asosiasi Perusahaan Public Relations
Indonesia ( APPRI ), yang bergerak dalam konsultan jasa kehumasan.
Di periode keempat, tahun 1995 hingga sekarang, perkembangan PR
sangat pesat. Ternyata perkembangan PR tumbuh dikalangan swasta bidang
professional khusus (spesialisasi) Humas bidang industri pelayanan jasa. Ini
ditandai dengan terbentuknya Himpunan Humas Hotel Berbintang pada tanggal
27 November 1995, disusul berdirinya Forum Humas Perbankan pada tanggal 13
September 1996.
Sejarah mencatat sejumlah kasus yang melibatkan PR dalam upaya
penyelesaiannya. Salah satu yang paling fenomenal adalah kasus likuidasi Bank
Summa, pada 1992. Pemilik Bank Summa, keluarga William Soeryajaya merasa
perlu menunjuk juru bicara sekaligus konsultan PR Ken Sudarto untuk menangani
krisis manajemen yang mengancam kelangsungan bisnis perbankan mereka.
Definisi
Banyak definisi tentang public relations. Semua definisi bisa dikatakan
memiliki substansi sama: public relations adalah komunikasi timbal balik. Dalam
perspektif ilmu komunikasi, komunikasi timbal balik itu terjadi antara institusi
dengan khalayak. Dalam perspektif ekonomi media, komunikasi timbal balik itu
terjadi antara institusi public relations dengan pasar. Itulah sebabnya kita
menyebutnya public relations (dengan huruf s), bukan public relation (tanpa huruf
s).
Berikut beberapa definisi public relations:
Praktik humas atau public relations adalah keseluruhan upaya yang
dilangsungkan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka
menciptakan dan memelihara niat baik dan saling pengertian antara suatu
organisasi dengan segenap khalayaknya. (Institute of Public Relations)
Humas adalah sesuatu yang merangkum keseluruhan komunikasi yang
terencana, baik itu ke dalam maupun ke luar, antara suatu organisasi
dengan semua khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik
yang berlandaskan pada saling pengertian. (Frank Jefkins)
Praktik kehumasan adalah suatu seni sekaligus suatu disiplin ilmu sosial
yang menganalisis berbagai kecenderungan, memperkirakan setiap
kemungkinan konsekuensi darinya, memberi masukan dan saran-saran
kepada para pemimpin organisasi, serta menerapkan program-program
tindakan yang terencana untuk melayani kebutuhan organisasi dan atau
kepentingan khalayak. (The Mexican Statement)
119
120
Perusahaan PR
Edelmen Public Relations Worldwide, New York
Ruder Finn Group, New York
Waggener Edstrim, Bellevue, WA
APCO Worldwide, Washington DC
Schwartz Communication, Waltham, MA
Zeno Group, New York
Dan Klores Communications, New York
Qorvis Communication, Washington DC
Gibbs & Soell, New York
A&R Partners, San Mateo, CA
122
Daftar Pustaka
Albarian Alan B, Media Economics: Understanding Markets, Industries, and
Concept, Iowa: Iowa State University Press, 1996.
Alexander, Alison et.al (ed), Media Economics: Theories and Practice, New
Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 1998.
Alexander, Alison (et.al), Media Economics: Theory and Practice, New Jersey:
Lawrence Erlbaum associate Publisher, 2004.
Baran, J. Stanley, Introduction to Mass Communication: Media Literacy and
Culture, New York: McGraw Hill, 2008.
Biran, Misbach Yusa, Sejarah Film 1900-1950, Depok: Komunitas Bambu, 2009.
123
Biodata Penulis
Usman Kansong lahir di Jakarta, 13 April 1970. Suami Sunting Demiasih
dan ayah Alif Hanifin Usman dan Haifa Ilmi Usman ini menyelesaikan
pendidikan tinggi pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip USU, Medan, tahun 1994.
125
126