Uswatun Nisa
Abstrak
Tulisan ini menganalisis bagaimana proses komodifikasi yang terjadi pada media massa di
Indonesia. Komodifikasi yang difokuskan disini adalah komodifikasi privasi yang terjadi
pada seorang public figure di Indonesia, Raffi Ahmad. Komodifikasi privasi Raffi Ahmad
pada program DahSyat menjadi objek yang akan dianalisis menggunakan perspektif
ekonomi politik media. Berdasarkan hasil analisis, terlihat sangat jelas bahwa program
DahSyat melakukan komodifikasi privasi Raffi Ahmad dengan mengubah format acara
yang seharusnya bergenre musik menjadi program yang lebih banyak menayangkan
kehidupan pribadi Raffi Ahmad. Artinya, kehidupan pribadi dijadikan komoditas untuk
menarik perhatian audiens. Selain komodifikasi privasi, program DahSyat juga melakukan
komodifikasi audiens, dimana menurut penulis komodifikasi privasi adalah proses awal
yang dilakukan pemilik media sebelum terjadinya proses komodifikasi audiens.
Komodifikasi audiens adalah unsur komodifikasi utama yang selalu dilakukan pemilik
media. Karena pada akhirnya audienslah yang menjadi komoditas utama bagi media
massa.
Keyword: media massa, komodifikasi privasi, Raffi Ahmad.
A. Pendahuluan
Perkembangan sebuah media semakin maju dari tahun ke tahun, tidak hanya diam
di satu ranah, tetapi menjalar kesemua sesuai kejadian-kejadian yang sedang terjadi. Tak
terkecuali perubahan isi dari sebuah acara yang di berikan oleh media.
Bentuk dan wajah komoditas saat ini sulit untuk dikenali karena diselubungi
dengan begitu rapi dengan berbagai manipulasi. Kapitalisme selalu mampu
bertransformasi sesuai dengan perkembangan jaman. Berbagai hal yang pada awalnya
tidak termasuk sebagai komoditas, kini dapat dipoles dan diproduksi untuk mengundang
kapital-kapital, inilah yang dipahami sebagai konsep komodifikasi. Komodifikasi dalam
konteks media massa merupakan proses di mana informasi yang ditayangkan dikemas
sedemikian rupa dengan standar industri hiburan dengan ukuran kekuatan daya tarik yang
sekaligus mendatangkan sejumlah keuntungan melalui para pengiklan maupun daya jual
media.
Tren yang terjadi saat ini adalah bagaimana media massa sangat kuat memompakan
budaya populer dengan mengangkat informasi privat untuk didesakkan kepada publik
dengan metode standarisasi, massifikasi dan berujung pada kepentingan komersialisasi.
Dalam konsep budaya massa kondisi tersebut merupakan komodifikasi yang sudah
dikemas sedemikian rupa secara terstruktur oleh para petinggi media. Media massa telah
menjadi agen industri budaya yang secara kontinyu dan massif mampu menciptakan
kebutuhan palsu bagi publik (Devi, 2014).
Namun bagi beberapa orang, ruang privasi yang semestinya menjadi area personal
tidak lagi berlaku. Raffi Ahmad adalah aktor fenomenal yang saat ini diperebutkan oleh
banyak media massa di Indonesia. Saat ini Raffi Ahmad adalah satu contoh sosok yang
kehidupan pribadinya dijadikan komoditas oleh media. Bagi media massa area privasi
justru menjadi sasaran tembak dalam menghadirkan produk yang sarat daya tarik.
Dalam tulisan ini, penulis akan menganalisis komodifikasi yang terjadi pada Raffi
Ahmad di media massa. Penulis akan mengambil salah satu program variety show di
televisi, yaitu DahSyat (RCTI), dimana program ini akan digunakan sebagai contoh
program yang membantu penulis untuk menjelaskan proses komodifikasi privasi yang
terjadi pada Raffi Ahmad.
Selain karena program DahSyat dibawakan oleh Raffi Ahmad, penulis memilih
program ini karena DahSyat adalah satu dari dua program (Inbox di SCTV) musik/variety
show yang bertahan sejak tahun 2008 sampai dengan saat ini. Bahkan rating program ini
selalu tergolong tinggi.
Hal menarik lainnya dari DahSyat adalah konsep acaranya yang terus berubah,
sehingga akan memudahkan penulis dalam menjelaskan unsur-unsur ekonomi politik
media massa yang terjadi didalamnya. Karena di dalam program ini terlihat jelas pemilik
media serta produser acara dengan cerdas terus mengubah format acara ini agar terus
ditonton oleh audiens meskipun konten acaranya sudah sangat melenceng dari konsep
awal. Dalam hal ini, pelayanan bagi audiens adalah alat, bukan tujuan. Dengan kata lain,
selain menjadikan privasi sebagai komoditas, media memproduksi audiens yang kemudian
juga dapat dijual sebagai komoditas kepada para pemasang iklan.
B. Literature Review
1. Ekonomi Politik Media Massa
Kemunculan teori ekonomi politik ini dilandasi oleh besarnya pengaruh media
massa terhadap perubahan kehidupan masyarakat. Secara umum, menurut Vincent
Mosco (2009), mengatakan, fokus dari pendekatan ekonomi politik adalah adalah
kajian tentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika industri media, dan
ideologi media itu sendiri. Perhatian dari pendekatan ini diarahkan pada kepemilikan,
kontrol serta kekuatan operasional pasar media. Pendekatan ini berasumsi bahwa
institusi media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan
sistem politik, media massa juga berperan sebagai penghubung antara dunia produksi
dan konsumsi. Media massa dianggap tidak hanya mampu menentukan dinamika
sosial, politik dan budaya, tetapi juga berperan dalam peningkatan surplus secara
ekonomi, terutama melalui pesan-pesan yang disebarkan lewat iklan di media massa.
Menurut Mosco (2009), dalam arti sempit, ekonomi politik diartikan sebagai
kajian relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan yang bersama-sama membentuk
produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya. Sumber daya ini termasuk produk
komunikasi seperti surat kabar, buku, iklan, video, film, dan khalayak. Dalam teorinya,
mosco mengonsepkan tiga pintu masuk utama yang membantu menjelaskan fenomena
ekonomi politik media, yakni komodifikasi (commodification), spasialisasi
(spatialization) dan strukturasi (structuration).
2. Komodifikasi
Komodifikasi yang berasal dari salah satu ideology Karl Marx mengatakan
bahwa kata tersebut bisa di artikan sebagai upaya dalam peraihan keuntungan dengan
mengorbankan aspek-aspek masyarakat. Baran dan Davis (Albaran, 1996)
mengungkapkan bahwa komoditas adalah peralihan nilai-nilai manusia yang bisa di
tukarkan menjadi nilai tukar seperti Rupiah, Dollar, atau mata uang lainnya. Perubahan
tersebut dikarenakan desakan akan kebutuhan antar individu, menghilangkan konteks
sebuah produk sosial menjadi produk bisnis. Membuat sebuah komodifikasi sebuah
media menjalar ke semua ideologi pemilik media, menjadikannya sebuah budaya untuk
menciptakan keuntungan.
Dalam media massa, komoditas tidak hanya dipahami sebagai nilai guna dan
nilai tukar, namun komoditas saat ini juga harus dilihat pada nilai tandanya. Di
berbagai media termasuk televisi, yang dijual atau dipertukarkan bukanlah barang atau
benda dalam pengertian fisik sebagaimana dikatakan oleh Marx, melainkan objek
tanda yang ditawarkan melalui televisi ialah ide-ide dalam bentuk karya produser yang
dipertontonkan pada berbagai stasiun televisi (McQuail, 2011: 249).
Sebagai sebuah industri, apa yang muncul dalam setiap tayangan program
televisi selalu terhitung dengan kalkulasi ekonomi, dan dengan berbagai cara media
juga berusaha mengartikulasikan kepentingannya dalam membangun kendali atas
berbagai citra (Thompson, 1990). Dalam media massa, dapat ditelusuri siapa yang
memiliki kekuasaan untuk membuat berbagai hal menjadi menarik dalam
bentuk apapun. Kekuasaan ini hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki
keterampilan dalam mengelola berbagai materi tayangan untuk menarik perhatian
audiens, mengendalikan isi atau program, sehingga hasil ini akan dijual kepada
pengiklan dalam bentuk rating share.
Televisi sangat bergantung pada program lain termasuk iklan sebagai jantung
dari keeksisan televisi itu sendiri. Dalam merencanakan sebuah produksi program,
seorang produser bergantung pada lima hal yaitu materi produksi, sarana produksi,
biaya produksi, organisasi pelaksana produksi dan tahapan pelaksanaan produksi
(McQuail, 2011).
Dari semua tayangan yang ada, stasiun televisi sangat memperhitungkan iklan
yang ikut mengisi celah-celah tayangan. Semua stasiun televisi berlomba-lomba dalam
memproduksi berbagai macam program untuk merebut tawaran iklan, termasuk
program variety show DahSyat yang mempertontonkan kehidupan pribadi
presenternya, Raffi Ahmad. Sang produser melihat bahwa saat ini aktor Raffi Ahmad
tengah menjadi sosok artis yang popularitasnya menjulang tinggi, selain itu banyak
stasiun televisi yang memperebutkan aktor ini untuk mengisi berbagai tayangan di
stasiun TV mereka. Dalam hal ini, tayangan privasi Raffi Ahmad dalam program
DahSyat digunakan untuk menarik khalayak. Realitas inilah yang belakangan ini
mewarnai kondisi media televisi di Indonesia.
Sejak tahun 2008 tayangan televisi di pagi hari kembali diisi oleh program
tayangan musik, ketika itu muncul program Inbox (SCTV), diikuti tayangnya
DahSyat (RCTI) yang seperti biasa, tujuannya untuk meredam membesarnya pangsa
pemirsa SCTV di pagi hari. Kemudian program Derings (TRANS TV) menyusul di
bulan Pebruari 2009. Setelah beberapa tahun berjalan, hanya program DahSyat dan
Inbox yang masih bertahan. Namun diantara kedua program ini, program DahSyat
lebih menjadi preferensi masyarakat dan lebih banyak yang mendiskusikan tentang
program ini.
Jika di era sebelumnya program musik hanya berfokus pada musik, penyanyi,
dan informasi terkait musik, maka program DahSyat menanamkan pengertian yang
berbeda. Meski disebut sebagai acara musik, sejak awal tayangannya program ini lebih
banyak menampilkan candaan-candaan dan games-games yang sama sekali tidak
berhubungan dengan musik. Dalam acara ini, musik hanyalah konten selipan. Host
yang dipakai pada acara ini juga bukanlah orang yang memiliki pemahaman tentang
musik, namun lebih kepada artis dan komedian yang memberikan lawakan-lawakan
konyol. Pada program DahSyat khusunya, acara lebih banyak diisi dengan gosip,
bullying pada penonton yang hadir di studio, hingga candaan yang berlebihan diantara
para presenter.
Hal seperti itulah yang secara tidak langsung digeser oleh program musik ini,
dimana konten yang seharusnya berisi informasi seputar musik digantikan dengan
obrolan yang tidak bersinggungan dengan musik sama sekali. Konsep dan cara
penyajiannya dirubah sangat jauh berbeda dari program musik era sebelumnya.
Selanjutnya, pada tahun 2013 Raffi Ahmad tersandung kasus narkoba yang
menyeret namanya. Namun setelah bebas, ia kembali menjadi presenter di program
Dahsyat. Pada September 2013 pula, Olga Syahputra sempat tersandung masalah
hukum terkait pelaporan seorang dokter yang diduga-duga menjadi korban pelecehan
serta pencemaran nama baik yang dilakukannya di salah satu acara komedi di salah
satu stasiun TV swasta. Kemudian terdengar kabar Olga Syahputra mengalami sakit
parah dan wafat di Singapore. Peranan Olga Syahputra kemudian digantikan oleh Billy
Syahputra, adiknya.
Saat ini tidak bisa dipastikan berapa banyak presenter yang ada di program
DahSyat karena setiap saat terus berganti. Namun beberapa waktu ini, program ini
sering dibawakan oleh Raffi Ahmad, Denny Cagur, Luna Maya, Ayu Dewi dan adik
kandung Raffi Ahmad, Syahnaz Sadiqah.
Tahun 2014, RCTI mendapatkan tiga penghargaan prestisius dari Roy Morgan,
sebuah lembaga survei asal Australia yang berdiri independen selama lebih dari 70
tahun. Kemampuan lembaga ini dalam menilai sebuah produk ataupun jasa melalui
customer satisfaction telah dikenal berbagai perusahaan global dalam berbagai ranah
industri. Tiga kategori yang dimenangkan RCTI yaitu TV News and Current Affairs
Program of the Year untuk program Seputar Indonesia, TV Sinetron Program of the
Year untuk Tukang Bubur Naik Haji serta TV Music/Entertainment Program of the
Year untuk DahSyat. Berdasarkan hasil survei Roy Morgan, ketiga program itu
memiliki peminat tertinggi.
Raffi Ahmad adalah seorang presenter, aktor dan penyanyi yang memulai karirnya
sejak tahun 2000an dengan bermain di beberapa sinetron dan film televisi. Di tahun 2008
karier Raffi semakin bersinar, sampai pada tahun 2009, Raffi disebut-sebut sebagai salah
satu artis terlaris. Tidak dipungkiri, keberhasilan program DahSyat yang dibawakannya
bersama beberapa artis lain menjadi salah satu alasan mengapa Raffi semakin dilirik oleh
stasiun TV lain. Raffi adalah satu-satunya presenter yang bertahan di program DahSyat
sejak tahun 2008 hingga sekarang.
Seperti yang sudah dipaparkan di atas, tren yang terjadi saat ini adalah bagaimana
media massa sangat kuat memompakan budaya populer dengan mengangkat informasi
privat untuk didesakkan kepada publik. Dalam konsep budaya massa kondisi
tersebut merupakan komodifikasi yang sudah dikemas sedemikian rupa secara terstruktur
oleh para petinggi media. Budaya berbagi kehidupan pribadi (privasi) agaknya menjadi
acuan dari pengelola program DahSyat saat ini.
Ruang privasi adalah area yang hanya diketahui orang yang berkepentingan
ditambah sedikit orang saja, karena privasi menjadi area yang sangat personal. Privasi
memungkinkan seseorang menjaga informasi kehidupan pribadi yang menjadi keabsahan
seorang individu dengan tidak melibatkan orang lain. Dengan demikian ada seperangkat
mekanisme bagi seseorang untuk mengontrol reputasi, yang membuat orang lain tetap
memiliki jarak dengan dirinya. Namun dalam program DahSyat, ruang privasi yang
semestinya menjadi area personal tidak berlaku lagi bagi Raffi Ahmad.
Jika disimak baik-baik, semakin sosok Raffi Ahmad digemari, maka semakin
berubah pula format dari program DahSyat. Games-games dan candaan antar presenter
tetap ada dalam tayangan DahSyat, namun sekarang konten acara ditambah dengan
tayangan kehidupan pribadi Raffi, seperti ada satu scene dengan bertema “Diary Raffi
Ahmad”. Dilihat dari beberapa tahun ini, DahSyat sudah seperti saksi kehidupan Raffi
Ahmad. Sejak akhir 2011 program ini sudah mulai menampilkan kisah percintaan Raffi
Ahmad. Semakin lama, slot tayangan kehidupan pribadi Raffi menjadi lebih lama,
terutama di tahun 2014 saat Raffi mengejar cinta Nagita Slavina, program ini menjadi
seperti program cari jodoh atau mak comblang.
Saat Raffi Ahmad menikah dengan Nagita Slavina, pernikahan mereka mampu
menyedot perhatian dan membuat heboh masyarakat Indonesia. Pernikahan mereka
disiarkan secara langsung oleh beberapa stasiun televisi nasional selama berhari-hari.
Beberapa stasiun TV bahkan memperebutkan hak siar untuk pernikahan ekslusive Raffi
Ahmad. Berbagai macam sponsor juga membantu berlangsungnya pernikahannya. Televisi
seakan mencederai hak publik dengan memaksa publik menyaksikan tayangan khusus
acara persiapan hingga pernikahan Raffi dan Nagita selama berhari-hari secara berturut-
turut.
Sejak saat itu, Raffi Ahmad selalu menjadi rebutan stasiun televisi untuk membuat
tayangan langsung versi reality show tentang kehidupan pribadinya. Dalam hal ini,
DahSyat yang sejak semula sudah menggenggam Raffi Ahmad, tidak mungkin tinggal
diam. Meski format acara ini bukan untuk mengisahkan kehidupan pribadi Raffi, DahSyat
perlahan menyelipkan scene-scene yang tengah diperebutkan stasium televisi lain. Saat
kelahiran anak pertamanya, Rafatar Malik Ahmad pada Agustus 2015, program DahSyat
semakin tidak terkontrol, tidak hanya sebatas di studio saja, kehidupan privasi Raffi dan
keluarganya juga mulai ditayangkan dirumah pribadi Raffi. Tayangan itu seringkali
direkam menggunakan selfie cam yang dipegangi oleh Raffi sendiri dengan
memperlihatkan kegiatan si bayi dan seluruh anggota keluarganya. DahSyat semakin
terlihat seperti program pribadi Raffi Ahmad.
Melihat rating DahSyat yang semakin tinggi, kepopuleran Raffi Ahmad juga
semakin tinggi, beberapa waktu lalu RCTI juga merancang satu program khusus untuk
Raffi Ahmad, yaitu program Buah Hati, yang menjadi ajang Raffi berbagi rasa saat sang
anak, dibawa dari rumah sakit sampai di rumah. Sejak saat itu fenomena penayangan
kehidupan pribadi selebriti secara live mulai menjamur di mana-mana. Seperti contohnya,
Anang Hermansyah dan Ashanty yang juga sempat menayangkan proses kelahiran anak
mereka secara live.
Semakin lama, demam kehidupan pribadi Raffi semakin merajalela. Raffi dan
keluarganya tak hanya ada di stasiun TV RCTI, namun juga di beberapa stasiun TV swasta
lainnya, yang juga dengan khusus membuat program yang berisi tentang kehidupan sehari-
hari Raffi dan keluarganya, dimana pemain dalam acara tersebut memang benar-benar
keluarga raffi, meskipun cerita yang dimainkan adalah skonario semata.
Para pemilik modal melihat, dengan membawa nama Raffi Ahmad yang populer di
masyarakat, setiap program yang ditayangkan akan banyak diminati penonton.
Menghadirkan Raffi Ahmad adalah cara ampuh membuat suatu program menjadi bahan
perbincangan di masyarakat. Menurut penulis, penayangan privasi Raffi Ahmad dalam
program DahSyat ini merupakaan sebuah kesalahan sang produser dan Raffi Ahmad, yang
seharusnya program ini memberi hiburan dengan unsur kesenian/musik, tetapi malah
meliput hal yang sebenarnya tidak bermanfaat dan tidak penting untuk dikonsumsi.
Pada Januari 2015, melalui kolom komentar di website resmi RCTI, beberapa
konsumen mengeluh tentang perubahan format program DahSyat yang semakin lari dari
konsep awalnya. Tagline dari program ini adalah „Maju Terus Musik Indonesia‟, namun
acara ini terus menjual cerita kehidupan pribadi pra presenternya.
Program DahSyat adalah variety show, bukan reality show atau sinetron. Bukan
pula infotaintmen yang memang menjual privasi para selebritis. Variety show adalah acara
yang menyajikan beragam kesenian, dalam hal adalah musik. Awalnya DahSyat diminati
karena menyajikan tangga lagu Indonesia terbaik, menampilkan live musik dengan
menghadirkan grup band/penyanyi setiap hari.
Penulis melihat, pertama kali program DahSyat mengudara, acara ini fokus pada
tiga hal, yaitu live performance, video klip, dan tangga lagu. Dan saat host berbicara
dengan bintang tamu, topik yang dibahas masih seputar album, single, atau video klip.
Namun semakin lama, semakin terlihat perubahan konsep yang semakin melenceng dari
konsep awal. Awalnya, konsep ini mulai bergeser ketika host DahSyat mulai melakukan
lawakan, saling sindir, sampai buka-bukaan masalah pribadi host dan bintang tamu, hingga
pemunculan segmen curhat, games, dan hipnotis.
Ketika demam boyband-girlband melanda Indonesia, segmen tambahan tak resmi
seperti battle dance dan games antar bintang tamu menjadi bagian dari acara ini. Sampai
muncul segmen-segmen lain yang semakin jauh dari dunia musik, seperti kunjungan ke
kampung, sekolah, bahkan masak-memasak. Dengan format ditonton ratusan orang, format
acara ini kian melebar kemana-mana sampai saat ini menjadi program yang menyuguhkan
kehidupan pribadi presenter-presenternya.
Seperti yang dikatakan oleh Mosco (1996: 148), program atau konten media
disediakan untuk menarik perhatian audiens, lalu para pengiklan membayar media untuk
mendapatkan akses terhadap audiens. Melalui titik berdiri ini, kerja audiens atau kekuatan
kerja audiens adalah produk utama media massa. Ekonomi politik memang tampaknya
memiliki tendensi untuk menempatkan aktivitas audiens dalam mengkonsumsi media
sebagai aktivitas tenaga kerja.
Menurut penulis, sebagian besar audiens media massa belum dapat memisahkan
mana informasi yang berguna dan mana yang sekedar menghibur. Kondisi ini menjadi
lahan empuk bagi industri media untuk memanfaatkan kemasan sedemikian rupa menjadi
sebuah ramuan yang menjual.
D. Penutup
Televisi saat ini menjalani perubahan besar-besaran dan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap ciri produknya. Perubahan tersebut adalah hasil dari perkembangan
yang terjadi pada dua level, yaitu level ekonomi politik dan teknologi. Golding dan
Murdock (Tompson, 1990: 266) melihat bahwa produk media merupakan hasil konstruksi
yang disesuaikan dengan dinamika ekonomi yang sedang berlangsung dan struktur-
struktur dalam institusi yang menyokong berputarnya roda institusi media. Jadi dalam
perspektif ekonomi politik, media tak pernah lepas dari kepentingan pemilik media, unsur
politik dan struktur yang ada.
Pemilik modal melihat, dengan membawa nama Raffi Ahmad yang populer di
masyarakat, setiap program yang ditayangkan akan banyak diminati penonton. Tetapi jika
dilihat dari nilai-nilai, ini semua sudah melenceng jauh. Dari aspek ekonomi, media hanya
mencari keuntungan yang sangat besar, dari aspek sosial yang sudah tidak ada produk
yang inspiratif dan mendidik, bahkan dari aspek budaya yang sudah hilang moral dan
privasi. Ini semua menjurus pada Kapitalisme yang sudah mengusai aspek sosial dunia
dengan produk-produk yang sarat akan bisnis. Para pemilik media melihat kesempatan ini
dengan baik, melihat bahwa penonton bukan hanya sekedar penonton, melainkan penonton
merupakan “pekerja” dari sebuah media sendiri. Penonton akan menentukan rating dan
share dari sebuah produk media, dan bagi media televisi sendiri, rating dan share seolah-
olah menjadi sebuah roh yang sangat disanjung tinggi. Sangat ironis memang dengan
kemajuan yang terjadi di era modern, media televisi Indonesia masih berdampak negatif
bagi masyarakat Indonesia dengan menampilkan tayangan-tayangan yang tidak berkualitas
bagi masyarakat Indonesia.
RCTI yang dikatakan sebagai stasiun televisi favorit pemirsa Indonesia yang
memiliki program-program acara berkualitas justru menjadi agen yang ikut menjatuhkan
kualitas tayangan televisi. Padahal, dalam website resmi RCTI tertulis “Kualitas bukanlah
kata tanpa makna. Keseimbangan antara bisnis dan tanggung jawab sosial berjalan
seiring”.
Dijk, J. v. (2006). The Network Society (2nd ed.). London, California, New Delhi: SAGE
Publications Ltd. Dybward, B. (2010).
Golding, Peter & Muldock, Graham (Ed). (1997). The Political Economy of the Media,
Volume 1. Cheltenhamuk: Edward Elgar Publishing Limited.
McQuail, Denis. (2011). Teori Komunikasi Massa, Edisi 6 Buku 1. Jakarta: Salemba
Humanika.
Thompson, John B. (1990). Ideology and Modern Culture, Critical Social Theori In The
Era of Mass Communication. California: Stanford University Press.