Anda di halaman 1dari 11

TUGAS RANGKUMAN BAB 5

NEW MEDIA TECHNOLOGIES 21KK 2516

Nama Anggota:

Chelen Catlin Patricia 01048220019

Margareth Fabeta 01048210004

Mayasti Dwidya Nastiti 01048210012

Dosen Pengampu:

Sigit Pamungkas, S.T., M.T.

KELAS KARYAWAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

2023
BAB 5 PARTICIPATORY MEDIA CULTURES

Introduction: From Mass Communication to Convergent Social Media


Budaya media yang lebih partisipatif selalu menjadi salah satu janji besar media baru. Penulis
awal tentang internet seperti Howard Rheingold (1994) membayangkan munculnya ruang publik
virtual dan Sherry Turkle (1995) melihat identitas menjadi lebih cair dan dapat diubah di dunia
maya. Cakupan untuk media yang lebih partisipatif muncul dari perbedaan struktural media baru
yang nyata dari bentuk komunikasi massa yang telah menjadi model dominan dalam masyarakat
abad ke-20, serta menyediakan konteks untuk banyak teori dan penelitian media dan komunikasi.
Sebaliknya, dikatakan bahwa kombinasi konvergensi media distribusi dan akses konten media di
berbagai platform juga media sosial yang lebih interaktif secara dramatis mengurangi hambatan
partisipasi media, sehingga secara radikal mengubah produksi, distribusi, dan penerimaan media.
Klaim bahwa media sosial konvergen dikaitkan dengan budaya media yang lebih partisipatif,
berpotensi, dan lebih demokratis adalah subjek perdebatan yang sangat hidup di media, studi
komunikasi dan budaya.

Konsep komunikasi massa muncul pada paruh pertama abad ke-20, terkait dengan munculnya
bidang studi komunikasi. Dalam catatan klasik Harold Lasswell (1995: 93) komunikasi adalah
tentang:

● Siapa (pengirim pesan)


● Pesan (apa yang hendak disampaikan)
● Media (saluran penyampaian pesan)
● Kepada (penerima pesan)
● Apa efeknya setelah menerima pesan

John Thompson (1995) dan Denis McQuail (2005) telah mengidentifikasi beberapa ciri utama
komunikasi massa yang mendominasi abad ke-20, ciri diantaranya adalah:

1. Penggunaan teknologi media yang memungkinkan produksi dan distribusi konten


informasional dan simbolis dalam skala besar untuk menjangkau khalayak sebanyak
mungkin.
2. Memiliki perangkat teknologi untuk penerimaan konten secara institusional seperti
pemisahan produsen dan distributor konten media dari penerima, yang timbul dari biaya
akses teknologi produksi dan distribusi dan peran yang dimainkan oleh berbagai penjaga
gerbang media sebagai penentu.
3. Memiliki sedikit ruang untuk menanggapi sebagian besar arus komunikasi satu arah.
4. Hubungan antara produsen, distributor, dan penerima media yang sebagian besar bersifat
impersonal, anonim, dan dalam banyak kasus dimodifikasi melalui ketergantungan
industri media komersial berskala besar pada pendapatan iklan (audiens dipandang
sebagai target pasar).
5. Obsesi terhadap standarisasi konten karena keinginan untuk memaksimalkan audiens
(pangsa pasar) menciptakan dinamika yang mempromosikan konten media dengan daya
tarik seluas mungkin (ruang lingkup terbatas untuk segmentasi pasar melalui diferensiasi
produk).

Sebaliknya, ciri-ciri media sosial konvergen, seperti yang telah muncul pada abad ke-21,
meliputi:

1. Secara dramatis mengurangi hambatan untuk masuk, karena jatuhnya biaya teknologi
digital dikombinasikan dengan platform Web 2.0 yang mudah digunakan memungkinkan
akses yang lebih besar ke alat produksi media, sementara semua pengguna dapat
mendukung jaringan digital internet yang sudah ada sebelumnya.
2. Pengaburan perbedaan antara produsen media dan konsumen, dengan munculnya pro
konten media dan cakupan yang lebih luas bagi individu dan tim kecil untuk menjadi
produser, editor, dan distributor konten media.
3. Pemberdayaan pengguna media yang lebih besar atau yang disebut JayRosen (2012)
'orang-orang yang sebelumnya dikenal sebagai audiens', melalui interaktivitas yang lebih
besar dan arus komunikasi dua arah (misalnya kemampuan mengomentari materi online)
serta proliferasi konten media online.
4. Potensi untuk lingkungan media yang lebih dipersonalisasi dan memungkinkan interaksi
kelompok di sekitar media melalui jejaring sosial online dan berbagi konten buatan
pengguna (UCC).
5. Diversifikasi dan demassifikasi konten media, seperti ekonomi apa yang dilakukan Chris
Anderson (2005) disebut sebagai ‘ekor panjang’ karena memungkinkan konten media
menjadi lebih tersedia luas secara online dan dengan biaya yang jauh lebih rendah
daripada yang biasanya terjadi atau bahkan gratis.

Participatory Media
Konsep media partisipatif muncul sebelum adanya internet dan jaringan TIK. The Hutchins
Commission on Freedom of the Press di AS pada tahun 1942, berpendapat dalam Laporan Akhir
pada tahun 1947 bahwa pers yang bertanggung jawab tidak hanya harus memiliki pelaporan
peristiwa yang lengkap, jujur, dan komprehensif, tetapi juga harus 'berfungsi sebagai forum
untuk bertukar komentar dan kritik', serta memberikan 'gambaran yang representatif dari
kelompok di masyarakat' (dikutip ni McQuail 2005: 171). Ini tidak hanya memungkinkan warga
negara untuk 'mengakui semua warga media yang dilayani adalah representasi yang tersedia', diri
mereka sendiri dan aspirasi mereka dalam jangkauan representasi-representasi ini, tetapi mereka
juga harus 'dapat berkontribusi untuk pembangunan’ (Golding dan Murdock 1989: 183-4).

Chris Atton (2002) mencatat bahwa komunitas media tidak harus menjadi alternatif dan dia tidak
mendefinisikan media alternatif hanya berdasarkan akses dan partisipasi, atau bahkan dengan
perbedaan sadar diri untuk media arus utama. Bagi Atton, anggapan bahwa media semacam itu
harus berhadapan langsung dengan situs kekuasaan yang ada merupakan batasan penting untuk
memahami peran dan signifikansinya: inovasi dalam sistem media itu sendiri dapat menjadi
dasar untuk menjadi 'alternatif' dalam bentuk, dan tidak hanya dalam konten ( lih. Bisary 2003).
Atton (2002: 25) mendefinisikan media alternatif sebagai ciri khas dari:

1. De-profesionalisasi: kapasitas untuk menulis, menerbitkan, dan mendistribusikan berita,


ide, dan komentar, tidak bergantung pada perolehan serangkaian keterampilan, nilai, dan
norma profesional yang menjadikan kontributor potensial memenuhi syarat untuk
menyebarkan materi tersebut.
2. De-institusionalisasi: kemampuan untuk mendapatkan konten media yang sangat berbeda
(perspektif alternatif tentang peristiwa berita, jurnalisme investigatif, musik alternatif,
dan sebagainya) ke dalam domain publik, karena keputusan mereka tidak bergantung
pada bentuk hierarki dan norma konvensional yang mencirikan praktik media besar.
3. Dikapitalisasi: kemauan untuk mendistribusikan media dalam segala bentuk, melalui
mekanisme yang memerlukan investasi awal yang rendah dan biaya berulang yang
rendah, sehingga kapasitas untuk mendistribusikan dan menyebarkan konten media tidak
terhalang oleh kebutuhan sebelumnya akan penjualan pasar yang kuat atas bagian dari
usaha pendistribusian.

Case Study Transmedia Storytelling


Konvergensi media, bagaimanapun mempromosikan penceritaan transmedia dalam empat cara:

1. Menyediakan platform, seperti YouTube, Facebook atau Reddit, yang memungkinkan


konten menjadi lebih mudah dilakukan bersama.
2. Memberi media insentif untuk memungkinkan konten mengalir di berbagai platform
media dan tidak hanya mencoba membatasi akses melalui penegakan rezim hak cipta.
3. Mendorong produsen media untuk berpikir tentang bagaimana mengembangkan produk
media yang dapat mengeksploitasi "sinergi" antara berbagai bagian sistem media dan
"memaksimalkan titik sentuh" ​dengan relung konsumen yang berbeda (Jenkins
2012:948).
4. Mengembangkan jejaring sosial di mana orang dapat menemukan semangat yang sama
dalam berbagi informasi.

Contohnya saat ini adalah banyak sekali perusahaan yang membuat akun atau platform bagi
perusahaannya sendiri untuk kepentingan bisnis, seperti perusahaan IT yang membuat akun dan
konten Youtube untuk berbagi ilmu pengetahuan mengenai teknologi industri di era revolusi ini
atau perusahaan Food & Beverages yang membuat akun dan konten di Facebook agar lebih
gaung dengan ibu-ibu rumah tangga dalam memberikan resep-resep makanan untuk keluarga di
rumah.
Pro-Arms, Making Cultures and Everyday Creativity
Rheingold (2008), mengidentifikasikan 3 kecenderungan yang saling terikat yang ada pada social
media, teknologi web 2.0 dan platform sebagai berikut :
1. Terdapat kesamaan hirarki antara sang konten creator dan konsumennya.
2. Setiap pengguna memiliki kesempatan baru setiap saat untuk terkoneksi dengan
pengguna lainnya yang memiliki kesamaan minat.
3. Lewat teknologi ini setiap orang dapat mengembangkan network, karena social media
memungkinkan penggunanya untuk mengembangkan hubungan, mempercepat jalannya
informasi dan komunikasi , serta memiliki biaya yang lebih murah dalam mengkoordinasi
berbagai aktivitas.

Lawrence Lessing (2004) memberikan contoh sederhana bagaimana new media teknologi ini
dapat membantu kita sebagai pengguna untuk terkoneksi serta terakses dengan pengguna lain
secara mudah. Model yang dijelaskan oleh Lawrence Lessing disebut dengan “Kodak Model” ,
model ini berkaitan dengan photography dimana Lawrence memberikan gambaran mengenai
teknologi photography masa kini yang serba digital berbanding terbalik dengan photograpy masa
lampau.
● Teknologi ini membuat pengguna baik professional maupun amatir tidak hanya bisa
memotret secara lebih mudah namun juga dapat membagikan hasilnya secara digital
kepada orang lain tanpa batasan tertentu.
● Menurut Lessig, pengguna professional maupun amatir saat ini bahkan bisa melakukan
foto editing seperti memfilter foto dan lain sebagainya dengan mudah karena adanya new
teknologi ini.
● Dampak positif dari new media terhadap bidang photograpy menurut Lessig dapat dilihat
bahwa saat ini photographer tidak harus bertemu secara tatap muka dengan calon
konsumennya, mereka dapat melakukan hal tersebut secara online misalnya leat Flickr
atau Instagram maupun media serupa lainnya.
● Saat ini hampir semua orang memiliki smartphone sehingga berdampak negatif terhadap
penjualan kamera, Kodak pun mengalami kebangkrutan di tahun 2012 karena kalah saing
di era media digital seperti saat ini.
Case Study Media Sosial di Era 4.0
Hal ini sangat sejalan dengan perkembangan teknologi di era 4.0 seperti saat ini, dimana kita
dengan mudah dapat berbagi informasi, pesan, bahkan foto maupun gambar yang dapat dilihat
dan diakses oleh pengguna lain dimanapun mereka berada tanpa dibatasi oleh jarak dan ruang
lewat media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, Path dan lain-lain.

Beralih kepada konsep kreativitas yang di definisikan Burgess (2006) sebagai proses dimana
sumber daya budaya yang tersedia digabungkan kembali dengan cara baru, sehingga keduanya
dapat dikenali karena unsur-unsur yang akrab dan menciptakan dampak efektifitas melalui proses
inovatif dan rekombinasi ini.
● Kreativitas sangat dibutuhkan dalam new media teknologi saat ini untuk terus
mengembangkan dan memperluas kapasitas media.
● Perkembangan media seperti itulah yang disebut dengan Pro-Am. Pro-Arms merupakan
sebutan untuk para amatri yang berkomitmen untuk bekerja dengan standar profesional.
Contoh dari pro-arms bekerja sama dengan network dapat dilihat salah satunya dari
pengembangan games The Sims, dimana Muhmmad Yunnus seorang berkebangsaan
Bangladesh dapat bekerjasama dengan teknologi modern untuk memberi impact yang
besar diberbagai bidang baik politik,sosial, culture, ekonomi dan pengembangan.
Hubungan antara teknologi dan digital dan budaya menurut David Gauntlett (2008) merupakan
kebangkitan internet, khususnya Web 2.0. Web telah mempermudah orang-orang bahkan
pengguna biasa untuk dapat berbagi hasil kreativitas mereka dengan pengguna lain, serta secara
kolaboratif membuat ruang budaya menjadi lebih menarik, informatif, dan tentunya lebih
menghibur.

Social media platforms seperti


YouTube, blogging, Facebook,
Instagram, Twitter dan lain sebagainya
menjadi ruang publik untuk pengguna
dapat membuat sesuatu yang mereka
inginkan dimana media tersebut tidak
hanya diperuntukan untuk seseorang
yang professional dibidangnya namun
diperuntukan juga untuk para amatir.

Contohnya di Indonesia saat ini,


banyak sekali pengguna YouTube
yang membuat vlog pribadi padahal awalnya mereka bukan seseorang yang professional
dibidang tersebut, mereka hanya seorang amatir yang ingin membuat video seperti kegiatan
mereka dalam kehidupan sehari-hari dan menguploadnya di channel YouTube Pribadinya dan
kemudian menjadi seorang content creator dari akun YouTube mereka pribadi.

Pada kesimpulanya Pro-arms seperti para content creator Youtube saat ini pasti membawa kita
pada perkembangan konsep kreativitas di era digital seperti saat ini. Mihaly Csikszentmihalyi
(1996) mengusulkan model sistem kreativitas yang dapat mengidentifikasikan interaksi yang
timbul dari 3 elemen sebagai berikut:
1. Domain untuk kreativitas yang terdiri dari seperangkat aturan
2. Sebuah ruang, dimana ide baru itu didapatkan.
3. Seorang individu/pengguna yang menggunakan simbol atau aturan dari domain yang
diberikan.
Dari ketiga elemen tersebut, Csikszentmihalyi mendefinisikan kreativitas sebagai setiap
tindakan, ide, atau produk yang mengubah domain yang ada, atau yang mengubah domain yang
ada menjadi baru. Csikszentmihalyi juga mendefinisikan orang yang kreatif sebagai seseorang
yang pemikiran serta tindakannya dapat mengubah domain atau membuat domain yang baru.

Digital Dialogue or Convergence Scepticism? Assessing Participatory Media


Culture
Setelah melihat perkembangan media yang ada, media partisipatif tentu mengalami pro dan
kontra. Bagi mereka yang menyambut perkembangan, media partisipatif jadi peluang baru untuk
partisipasi aktif dalam kehidupan media (Deuze 2012), mulai dari keterlibatan, kolaborasi,
berbagi, dan penggunaan pengaruh kolektif atas institusi publik. Di sisi lain, para kritikus
mempertanyakan dan menunjukkan bahwa adanya kelemahan lingkungan pada Web 2.0, yaitu
hilangnya ruang lingkup pengawasan dan kontrol pribadi atas data pada platform. Jeremy Rifkin
(2000) mengatakan bahwa konvergen media sosial dan budaya media partisipatif ini menandai
transformasi ‘kapitalisme budaya’. Pernyataan itu didukung oleh Ritzer dan Jurgenson (2010:31)
yang juga beranggapan bahwa digitalisasi ini merupakan bentuk baru kapitalisme.

Graeme Turner merangkum oposisi biner antar media lama dan media baru:
Media lama bersifat korporat, intimidasi, eksploitatif, elitis, dan anti-demokrasi, sedangkan
media baru bersifat grassroots, kolaboratif, mandiri, dapat disesuaikan, memberdayakan, dan
demokratis. (Turner 2010: 128)

Seperti yang diamati dengan benar oleh Turner, ada beberapa masalah dengan oposisi biner
semacam itu. Salah satunya adalah munculnya media baru tidak berarti hilangnya media
tradisional. Sementara perusahaan seperti Google, Facebook, dan Netflix tidak ada atau terlibat
dalam aktivitas yang sangat berbeda di awal tahun 2000-an, sebagian besar perusahaan besar
terkait dengan media tradisional (surat kabar, radio, televisi, film, iklan, musik) terus eksis dan
memainkan peran utama dalam sistem media secara keseluruhan.
Kini, lanskap untuk distribusi tayangan hiburan tentu bergeser pada media baru / online, mulai
dari film, acara olahraga, berita global, bahkan program televisi. Di media baru, reaksi
masyarakat juga turut berkembang, platform-platform menyediakan ruang interaksi secara
real-time sehingga muncul komunitas untuk bertukar opini. Hal inilah yang kemudian juga
memunculkan masalah baru, seperti adanya kebebasan berpendapat yang mengarah pada hal
negatif, memunculkan dan meningkatkan sifat narsistik di masyarakat, dan masih banyak lagi.

Hartley berpendapat bahwa masa depan digital untuk studi media dan budaya membutuhkan
pergeseran dari pemahaman linier komunikasi (pengirim-pesan-penerima) menuju pendekatan
dialogis (bersifat terbuka dan komunikatif) untuk komunikasi.

Elemen lain dari apa yang diidentifikasi Hartley sebagai studi media digital meliputi:

● ‘Audiens’ dan ‘konsumen’ di media sosial ditantang untuk bisa memproduksi dan
mempublikasikan konten yang sama seperti di media massa
● Ruang publik di media digital didominasi oleh pihak elit, akademisi, jurnalis, pemimpin
politik yang memberi jalan ke ruang jaringan di mana pemikiran publik diproduksi dan
dikomunikasikan melalui agen sosial yang lebih luas.
● Era representasi ahli-dalam politik, media, seni, sastra dan knowledge production yang
membuka jalan bagi era produktivitas pengguna, di mana ada pertumbuhan kompetisi
untuk klaim status ahli tidak didasarkan pada kedudukan profesional sebelumnya, tetapi
pada pengakuan teman sebaya dalam istilah Hartley 'pasar jaringan sosial' (Hartley 2012:
47-8).

Merespons temuannya dalam pengamatan media digital di atas, Hartley Turner mengutarakan
beberapa keraguannya, yaitu:

● Sejauh mana platform media sosial ini digunakan untuk mendistribusikan konten
original, dibandingkan dengan materi tontonan rutin yang selalu dilebih-lebihkan.
● Sebagian besar konten di YouTube atau platform media sosial adalah materi
publikasi/konten yang sudah tayang di media tradisional dan tentunya sudah dilihat oleh
masyarakat.
● ‘Suara-suara’ baru di media online memiliki kecenderungan ke aristocracy opinion (opini
pemerintah / kelas istimewa yang bisa memenuhi suatu syarat) ketimbang kebebasan
berpendapat.

Kesimpulan
Pertanyaan, apakah transisi dari media komunikasi massa ke media sosial yang konvergen
memungkinkan partisipasi yang lebih besar untuk bagian populasi yang lebih luas telah menjadi
pusat pembentukan kajian media, komunikasi dan budaya di abad ke-21. Pasti ada jalan baru
untuk media yang lebih partisipatif dan membentuk komunitas yang muncul dari internet.
Kemudahan penggunaan teknologi Web 2.0 juga telah memungkinkan munculnya budaya
pro-am, mulai dari kemunculan ekspresi diri dari masyarakat, hal-hal yang disebut Castells
sebagai komunikasi diri massal, serta kemunculan budaya baru dan budaya partisipatif online.

Pertanyaan apakah peluang yang meningkat untuk budaya media partisipatif seperti itu
mengubah arus utama media ke arah budaya yang lebih demokratis, tentu tetap diperdebatkan.
Bukti telah disajikan baik oleh pendukung maupun pengkritik proposisi bahwa media sosial
konvergen menandai perubahan yang menentukan menuju bentuk komunikasi yang lebih
dialogis di seluruh ekologi media.

Anda mungkin juga menyukai