NPM : D1C021010
PRODI : S1 JURNALISTIK
1. Saya setuju dengan pernyataan bahwa fenomena ngeblog di kalangan masyarakat dapat
dianggap sebagai respons terhadap kinerja media massa mainstream. Blogging memiliki
potensi untuk menjadi cikal bakal sebuah bentuk jurnalisme baru, wacana publik, interaksi,
dan komunitas online. Fenomena ngeblog muncul sebagai respons terhadap beberapa
keterbatasan media massa mainstream, seperti:
-Dukungan Komunitas:
Blogging menciptakan ruang untuk komunitas online yang kuat. Ini memungkinkan individu
dengan minat dan pandangan serupa untuk berinteraksi dan mendukung satu sama lain, yang
mungkin tidak selalu terjadi dengan mudah melalui media tradisional.
Blogger dapat menggunakan narasi pribadi untuk menyampaikan informasi atau pandangan,
menambah dimensi emosional dan personal yang mungkin kurang ditemukan dalam berita
mainstream.Blogger vs Jurnalis:
-Keterlibatan Pribadi:
Blogger: Menekankan pengalaman pribadi dan sudut pandang subjektif. Jurnalis: Diharapkan
untuk menjaga objektivitas dan memberikan berita yang dapat dipertanggungjawabkan. -
Kecepatan dan Fleksibilitas:
Blogger: Dapat merespons peristiwa dengan cepat tanpa terlalu banyak batasan waktu.
Jurnalis: Terkadang terikat oleh tenggat waktu redaksi, namun media berita online telah
memberikan keleluasaan lebih.
Jurnalis: Harus memastikan akurasi informasi dan menjaga kredibilitas lembaga berita.
-Struktur Editorial:
Jurnalis: Bekerja untuk lembaga berita yang mungkin memiliki sumber daya lebih besar dan
akses ke sumber informasi.
Blogger: Mungkin lebih fokus pada kebebasan berekspresi pribadi. Jurnalis: Bertanggung
jawab untuk menyediakan informasi yang relevan dan objektif untuk kepentingan publik.
2. Era Post-Truth:
Era Post-Truth merujuk pada kondisi sosial dan politik di mana fakta objektif memiliki
pengaruh yang berkurang dalam membentuk opini dan pengambilan keputusan, sementara
emosi, opini, dan narasi subjektif memainkan peran yang lebih besar. Dalam konteks ini,
kebenaran seringkali dikesampingkan oleh narasi yang mendukung keyakinan dan nilai-nilai
pribadi. Karakteristik:
Dominasi Emosional: Keputusan dan pandangan didasarkan lebih pada emosi daripada pada
logika atau fakta objektif.
Media Sosial: Media sosial menjadi platform penting di mana opini dan narasi dapat
menyebar dengan cepat tanpa perlu verifikasi fakta yang ketat. Desinformasi dan Hoaks:
Proliferasi berita palsu (hoaks) dan desinformasi dapat mempengaruhi persepsi publik.
Simulacra:
Simulacra, menurut teori Jean Baudrillard, merujuk pada kondisi di mana representasi dan
citra semakin menjadi lebih signifikan daripada realitas yang mendasarinya. Ini berarti bahwa
dunia kita semakin diisi dengan salinan, citra, dan tanda-tanda yang tidak lagi memiliki
referensi yang jelas atau hubungan langsung dengan realitas.
Karakteristik:
Hilangnya Referensi pada Realitas: Citra dan representasi tidak lagi mengacu pada realitas
yang jelas atau dikenali.
Proliferasi Tanda dan Simulasi: Dunia kita terus- menerus dihasilkan oleh media dan simbol-
simbol, menciptakan realitas yang representasi. dihasilkan oleh
Kedua konsep menyoroti peran media dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap
realitas. Media tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga menciptakannya.
Media sosial memainkan peran sentral dalam mempercepat penyebaran opini dan narasi yang
mendukung Post-Truth dan menciptakan representasi yang semakin membebaskan diri dari
realitas dalam Simulacra.
Krisis Kepercayaan:
Baik Post-Truth maupun Simulacra menciptakan tantangan serius dalam hal kepercayaan
pada informasi. Masyarakat cenderung menjadi skeptis terhadap otoritas tradisional dan
kebenaran objektif.
Krisis Kepercayaan:
Terjadi penurunan kepercayaan pada fakta dan otoritas tradisional, menciptakan tantangan
dalam memahami dan mengatasi isu-isu kompleks.
Era ini menekankan kebutuhan untuk literasi media yang tinggi agar individu dapat
menyaring informasi dengan lebih cermat dan kritis
Melihat hubungan dan dampak dari Era Post-Truth dan Simulacra, kita perlu
mengembangkan strategi untuk meningkatkan kesadaran, literasi, dan kemampuan kritis
dalam masyarakat guna menghadapi tantangan informasi yang semakin kompleks dan
ambigu.
Memperkenalkan pendidikan literasi media sejak dini di sekolah untuk membekali generasi
muda dengan keterampilan kritis dalam menyaring dan mengevaluasi informasi.
Menyelenggarakan workshop dan pelatihan literasi media secara rutin di berbagai komunitas,
melibatkan masyarakat dalam diskusi, dan memberikan contoh konkret untuk membantu
mereka memahami konsep- konsep seperti verifikasi fakta dan kritis berpikir.
Media: Membuat aplikasi atau platform online yang menyediakan sumber daya dan konten
edukatif untuk meningkatkan literasi media. Sumber daya ini dapat mencakup panduan,
tutorial, dan studi kasus.
-Kampanye Literasi Media: Melakukan kampanye literasi media yang kreatif dan informatif,
menggunakan media sosial, poster, dan materi promosi lainnya untuk menyebarkan pesan
tentang pentingnya literasi media. Melalui inisiatif-inisiatif ini, mahasiswa jurnalistik dapat
berperan aktif dalam membangun kesadaran dan keterampilan literasi media di masyarakat,
membantu individu untuk menjadi konsumen informasi yang lebih cerdas, kritis, dan
bertanggung jawab.
Meninjau kembali pasal-pasal yang dianggap ambigu dan dapat disalahgunakan. Pembenahan
ini dapat mengurangi potensi penyalahgunaan hukum untuk menekan kebebasan berbicara.
Partisipasi Pemangku Kepentingan: Melibatkan para ahli hukum, aktivis, dan pemangku
kepentingan lainnya dalam proses pembahasan amendemen UU ITE.
Keterbukaan dan Transparansi: Membuat regulasi lebih terbuka dan transparan dengan
melibatkan publik dalam penyusunan aturan, sehingga tidak terkesan sebagai upaya
mengontrol.
Peningkatan Kualitas Isi: Mendorong peningkatan kualitas konten melalui insentif positif
daripada mengandalkan sanksi negatif.
Memastikan bahwa regulasi tidak digunakan untuk membatasi kebebasan pers atau
menghambat fungsi jurnalisme investigatif.
Memperkuat kode etik jurnalistik dan menjelaskan dengan jelas tentang tanggung jawab dan
batasan jurnalis dalam media daring.
Penguatan Kemandirian Media:
Melakukan sosialisasi secara masif untuk meningkatkan literasi hukum masyarakat, sehingga
mereka memahami hak dan kewajiban mereka dalam dunia digital.
Adapun kesimpulan diperlukan komitmen dan kerjasama dari semua pemangku kepentingan,
termasuk pemerintah, lembaga legislatif, masyarakat sipil, dan media, untuk memperkuat
regulasi dan menjawab perubahan sosial dalam masyarakat. Regulasi yang lebih baik harus
mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, kebebasan berekspresi, dan perlindungan hak-hak
dasar masyarakat.