Anda di halaman 1dari 6

NAMA : FERSI AGUSTINA

NPM : D1C021010

PRODI : S1 JURNALISTIK

1. Saya setuju dengan pernyataan bahwa fenomena ngeblog di kalangan masyarakat dapat
dianggap sebagai respons terhadap kinerja media massa mainstream. Blogging memiliki
potensi untuk menjadi cikal bakal sebuah bentuk jurnalisme baru, wacana publik, interaksi,
dan komunitas online. Fenomena ngeblog muncul sebagai respons terhadap beberapa
keterbatasan media massa mainstream, seperti:

Ketidakpuasan terhadap Representasi Media: Blogging memungkinkan individu untuk


merangkul kebebasan berekspresi dan mengatasi ketidakpuasan terhadap cara media massa
mainstream mewakili atau mengabaikan sebagian pendapat dan pandangan masyarakat.

-Dukungan Komunitas:

Blogging menciptakan ruang untuk komunitas online yang kuat. Ini memungkinkan individu
dengan minat dan pandangan serupa untuk berinteraksi dan mendukung satu sama lain, yang
mungkin tidak selalu terjadi dengan mudah melalui media tradisional.

-Kekuatan Naratif Pribadi:

Blogger dapat menggunakan narasi pribadi untuk menyampaikan informasi atau pandangan,
menambah dimensi emosional dan personal yang mungkin kurang ditemukan dalam berita
mainstream.Blogger vs Jurnalis:

-Keterlibatan Pribadi:

Blogger: Menekankan pengalaman pribadi dan sudut pandang subjektif. Jurnalis: Diharapkan
untuk menjaga objektivitas dan memberikan berita yang dapat dipertanggungjawabkan. -
Kecepatan dan Fleksibilitas:

Blogger: Dapat merespons peristiwa dengan cepat tanpa terlalu banyak batasan waktu.
Jurnalis: Terkadang terikat oleh tenggat waktu redaksi, namun media berita online telah
memberikan keleluasaan lebih.

-Akurasi dan Kredibilitas:


Blogger: Kredibilitas bervariasi; tergantung pada pengalaman dan keahlian pribadi.

Jurnalis: Harus memastikan akurasi informasi dan menjaga kredibilitas lembaga berita.

-Struktur Editorial:

Blogger: Tidak terikat oleh struktur editorial yang ketat.

Jurnalis: Mengikuti panduan editorial dan standar etika jurnalistik.

-Akses ke Sumber Daya:

Blogger: Mungkin memiliki sumber daya terbatas.

Jurnalis: Bekerja untuk lembaga berita yang mungkin memiliki sumber daya lebih besar dan
akses ke sumber informasi.

-Tanggung Jawab Publik:

Blogger: Mungkin lebih fokus pada kebebasan berekspresi pribadi. Jurnalis: Bertanggung
jawab untuk menyediakan informasi yang relevan dan objektif untuk kepentingan publik.

Sementara blogger dapat memberikan keragaman pandangan dan kebebasan berekspresi,


peran jurnalis dalam menyediakan berita yang akurat, obyektif, dan dapat
dipertanggungjawabkan tetap penting untuk menjaga integritas informasi dalam masyarakat.
Keduanya memiliki peran yang berbeda namun dapat saling melengkapi untuk menciptakan
lanskap informasi yang lebih kaya dan beragam.

2. Era Post-Truth:

Era Post-Truth merujuk pada kondisi sosial dan politik di mana fakta objektif memiliki
pengaruh yang berkurang dalam membentuk opini dan pengambilan keputusan, sementara
emosi, opini, dan narasi subjektif memainkan peran yang lebih besar. Dalam konteks ini,
kebenaran seringkali dikesampingkan oleh narasi yang mendukung keyakinan dan nilai-nilai
pribadi. Karakteristik:

Dominasi Emosional: Keputusan dan pandangan didasarkan lebih pada emosi daripada pada
logika atau fakta objektif.

Media Sosial: Media sosial menjadi platform penting di mana opini dan narasi dapat
menyebar dengan cepat tanpa perlu verifikasi fakta yang ketat. Desinformasi dan Hoaks:
Proliferasi berita palsu (hoaks) dan desinformasi dapat mempengaruhi persepsi publik.
Simulacra:
Simulacra, menurut teori Jean Baudrillard, merujuk pada kondisi di mana representasi dan
citra semakin menjadi lebih signifikan daripada realitas yang mendasarinya. Ini berarti bahwa
dunia kita semakin diisi dengan salinan, citra, dan tanda-tanda yang tidak lagi memiliki
referensi yang jelas atau hubungan langsung dengan realitas.

Karakteristik:

Hilangnya Referensi pada Realitas: Citra dan representasi tidak lagi mengacu pada realitas
yang jelas atau dikenali.

Proliferasi Tanda dan Simulasi: Dunia kita terus- menerus dihasilkan oleh media dan simbol-
simbol, menciptakan realitas yang representasi. dihasilkan oleh

Hubungan Antara Keduanya:

Era Post-Truth dan Simulacra saling terkait dalam beberapa cara:

-Media Sebagai Pembentuk Realitas:

Kedua konsep menyoroti peran media dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap
realitas. Media tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga menciptakannya.

--Pengaruh Media Sosial:

Media sosial memainkan peran sentral dalam mempercepat penyebaran opini dan narasi yang
mendukung Post-Truth dan menciptakan representasi yang semakin membebaskan diri dari
realitas dalam Simulacra.

Krisis Kepercayaan:

Baik Post-Truth maupun Simulacra menciptakan tantangan serius dalam hal kepercayaan
pada informasi. Masyarakat cenderung menjadi skeptis terhadap otoritas tradisional dan
kebenaran objektif.

Dampak dan Tantangan:

Krisis Kepercayaan:

Terjadi penurunan kepercayaan pada fakta dan otoritas tradisional, menciptakan tantangan
dalam memahami dan mengatasi isu-isu kompleks.

Perlunya Literasi Media:

Era ini menekankan kebutuhan untuk literasi media yang tinggi agar individu dapat
menyaring informasi dengan lebih cermat dan kritis

Pentingnya Transparansi dan Fakta:


Penting untuk memperjuangkan transparansi, integritas, dan penegakan fakta untuk
menghadapi tantangan Post-Truth dan Simulacra.

Melihat hubungan dan dampak dari Era Post-Truth dan Simulacra, kita perlu
mengembangkan strategi untuk meningkatkan kesadaran, literasi, dan kemampuan kritis
dalam masyarakat guna menghadapi tantangan informasi yang semakin kompleks dan
ambigu.

3Pendidikan Literasi Media di Sekolah:

Memperkenalkan pendidikan literasi media sejak dini di sekolah untuk membekali generasi
muda dengan keterampilan kritis dalam menyaring dan mengevaluasi informasi.

-Pelatihan Literasi Media di Masyarakat:

Menyelenggarakan workshop dan pelatihan literasi media secara rutin di berbagai komunitas,
melibatkan masyarakat dalam diskusi, dan memberikan contoh konkret untuk membantu
mereka memahami konsep- konsep seperti verifikasi fakta dan kritis berpikir.

-Kolaborasi dengan Lembaga Pendidikan Tinggi: Mahasiswa jurnalistik dapat berkolaborasi


dengan lembaga pendidikan tinggi untuk menyelenggarakan seminar, lokakarya, atau
program pendidikan literasi media di tingkat mahasiswa dan masyarakat umum.

-Pengembangan Aplikasi dan Sumber Literasi

Media: Membuat aplikasi atau platform online yang menyediakan sumber daya dan konten
edukatif untuk meningkatkan literasi media. Sumber daya ini dapat mencakup panduan,
tutorial, dan studi kasus.

-Kampanye Literasi Media: Melakukan kampanye literasi media yang kreatif dan informatif,
menggunakan media sosial, poster, dan materi promosi lainnya untuk menyebarkan pesan
tentang pentingnya literasi media. Melalui inisiatif-inisiatif ini, mahasiswa jurnalistik dapat
berperan aktif dalam membangun kesadaran dan keterampilan literasi media di masyarakat,
membantu individu untuk menjadi konsumen informasi yang lebih cerdas, kritis, dan
bertanggung jawab.

4. Regulasi mengenai UU ITE, penggunaan media online, dan UU Kejurnalistikan media


daring di Indonesia saat ini masih menjadi pokok perdebatan dan evaluasi. Meskipun regulasi
tersebut memiliki tujuan untuk menjawab tantangan perubahan sosial dalam masyarakat,
tetapi masih diperlukan pembenahan dan penyesuaian agar dapat lebih baik mengakomodasi
dinamika yang terus berubah.
 UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik): Pembenahan Pasal
Ambigu:

Meninjau kembali pasal-pasal yang dianggap ambigu dan dapat disalahgunakan. Pembenahan
ini dapat mengurangi potensi penyalahgunaan hukum untuk menekan kebebasan berbicara.

Keseimbangan Antara Keamanan dan Kebebasan: Memastikan keseimbangan yang tepat


antara keamanan siber dan kebebasan berekspresi, sehingga regulasi tidak membatasi hak-
hak dasar warganet.

Partisipasi Pemangku Kepentingan: Melibatkan para ahli hukum, aktivis, dan pemangku
kepentingan lainnya dalam proses pembahasan amendemen UU ITE.

 Regulasi Penggunaan Media Online:

Keterbukaan dan Transparansi: Membuat regulasi lebih terbuka dan transparan dengan
melibatkan publik dalam penyusunan aturan, sehingga tidak terkesan sebagai upaya
mengontrol.

Peningkatan Kualitas Isi: Mendorong peningkatan kualitas konten melalui insentif positif
daripada mengandalkan sanksi negatif.

Fleksibilitas dalam Pengaturan: Membuat regulasi yang cukup fleksibel untuk


mengakomodasi perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat tanpa harus selalu
diubah.

 UU Kejurnalistikan Media Daring:

Perlindungan Kebebasan Pers:

Memastikan bahwa regulasi tidak digunakan untuk membatasi kebebasan pers atau
menghambat fungsi jurnalisme investigatif.

Kode Etik yang Jelas:

Memperkuat kode etik jurnalistik dan menjelaskan dengan jelas tentang tanggung jawab dan
batasan jurnalis dalam media daring.
Penguatan Kemandirian Media:

Mendukung keberlanjutan media independen dengan memberikan insentif atau dukungan,


sehingga tidak

terlalu tergantung pada kepentingan tertentu.

 . Penyelenggaraan Sosialisasi dan Edukasi:

Peningkatan Literasi Hukum:

Melakukan sosialisasi secara masif untuk meningkatkan literasi hukum masyarakat, sehingga
mereka memahami hak dan kewajiban mereka dalam dunia digital.

Kampanye Kesadaran Digital:

Mengadakan kampanye kesadaran digital untuk mengajarkan masyarakat tentang pentingnya


sumber berita yang dapat dipercaya dan cara melibatkan diri secara aman di dunia maya.

Adapun kesimpulan diperlukan komitmen dan kerjasama dari semua pemangku kepentingan,
termasuk pemerintah, lembaga legislatif, masyarakat sipil, dan media, untuk memperkuat
regulasi dan menjawab perubahan sosial dalam masyarakat. Regulasi yang lebih baik harus
mencerminkan prinsip-prinsip keadilan, kebebasan berekspresi, dan perlindungan hak-hak
dasar masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai