Anda di halaman 1dari 7

Nama : Syafiq Hamzawi

NIM : 1901026040

Komunikasi di Era Revolusi Industri 4.0

Saat ini kita telah memasuki revolusi industri generasi keempat atau era industri 4.0. Era
revolusi industri ini ditandai dengan kemajuan yang sangat pesat. Komputer pun semakin
canggih atau disebut juga superkomputer. Telepon genggam atau handphone berkembang
menjadi smartphone.

Smartphone merupakan telepon genggam yang memiliki fitur canggih dan kemampuannya
menyerupai komputer. Tak heran apabila banyak orang mengartikan smarphone sebagai
komputer genggam yang memiliki fasilitas telepon. Fitur-fitur ada pada smartphone, antara lain
telepon, SMS, internet, e-book viewer, aplikasi pengedit dokumen, serta game-game
online dan offline.

Pengertian komunikasi

Komunikasi dalam bahasa Inggris disebut communication yang bersumber dari bahasa
Latin communicatio. Akar kata tersebut adalah communis yang berarti “membuat kebersamaan
atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih”.

Menurut Carl Iver Hovland, komunikasi adalah “proses mengubah perilaku orang lain”. Everett
M Rogers menyatakan komunikasi adalah penyaluran ide atau maksud dari sumber satu ke
sumber yang lain dengan tujuan mengubah tingkah laku penerima ide. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) mendefinisikan komunikasi sebagai "pengiriman dan penerimaan pesan atau
berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami".

Prinsip dasar komunikasi adalah mengarahkan seseorang atau kelompok demi memperoleh
pemahaman yang sama dan mengembangkan kebersamaan. Komunikasi menjadi sangat penting
dalam kehidupan bersama. Segala sesuatu perlu untuk dikomunikasikan agar maksud atau ide,
gagasan dan informasi dari seseorang dapat dimengerti oleh orang lain.

Dampak Smartphone
Kehidupan sehari-hari kita saat ini memperlihatkan adanya krisis komunikasi sosial. Mengapa
penulis berani mengatakan hal ini? Pernyataan tersebut didasari sejumlah pengamatan dan
pengalaman pribadi penulis, serta sharing dengan kaum muda dan juga orang tua yang prihatin
terhadap perkembangan media sosial yang memanfaatkan smartphone.

Pada era industri 4.0 ini segala kemudahan diberikan. Kita dapat mengakses apa saja
melalui smartphone. Salah satu penggunaan smartphone yang berdampak pada komunikasi
sosial adalah segala jenis media sosial atau akun di dunia maya dan segala aplikasi (perangkat
lunak yang didesain untuk mengerjakan tugas tertentu) yang memanjakan kita. Aplikasi yang
sangat memanjakan kaum muda saat ini adalah aplikasi media sosial dan game.

Media sosial sendiri pada prinsipnya baik. Media sosial diciptakan agar komunikasi menjadi
lebih mudah. Semua orang dapat terhubung di belahan dunia mana pun. Namun, pada
kenyataannya, ide atau gagasan utama dalam menghadirkan media sosial malah berbalik.

Secara lebih sederhana, Kanselir Jerman Angela Merkel mengidentifikasi revolusi industri 4.0
sebagai transformasi komprehensif dari seluruh aspek produksi industri dengan menggabungkan
teknologi digital dan internet dengan industri konvensional (Davies, 2015). Revolusi ini membuat
ketergantungan industri terhadap teknologi informasi dan komunikasi menjadi semakin tinggi.
Kemampuan untuk menciptakan inovasi teknologi informasi dan komunikasi yang terintegrasi
dengan seluruh proses bisnis korporasi menjadi kunci keberhasilan di era industri 4.0.

Euphoria budaya partisipasi

Salah satu harapan dari hadirnya teknologi internet adalah kemampuannya untuk menyediakan
sarana demokratis dalam mengekpresikan identitas individu ataupun identitas kolektif. Wajah
demokratis internet dapat dilihat dari karakternya yang cenderug desentralistis, anonim dan
memiliki daya tahan yang tinggi (Klotz, 2004). Di negara yang demokratis, internet memiliki peran
yang strategis karena kemampuannya untuk menyediakan oulet yang efisien sebagai pendukung
media komunikasi yang lain. Di negara yang cenderung otoriter, internet berperan menjadi media
alternatif untuk melawan dominasi ruang publik oleh penguasa. Internet secara umum memiliki
kelebihan dibanding media konvensional dengan kemampuannya untuk menghadirkan pertukaran
informasi yang lebih interaktif, memfasilitasi komunikasi vertikal dan horizontal, proses
komunikasi yang relatif tidak termediasi, biaya yang murah, kecepatan komunikasi yang tinggi,
serta minimnya batas dan sensor (Hague & Loader, 1999; Bentivegna, 2006; Jenkins at al, 2009;
Harper, 2011)

Potensi keramahtamahan (conviviality) yang dihadirkan oleh internet semakin terasa disaat
teknologi yang dikembangkan semakin mengarah pada keleluasaan pengguna untuk mencipta,
memodifikasi dan berbagi konten informasi sesuai dengan selera masing-masing (user generated
content). Budaya partisipasi dapat dimaknai sebagai budaya yang membuat setiap kontribusi
individu memiliki makna, memungkinkan hambatan yang kecil untuk ekspresi artistik dan
keterlibatan sipil, dukungan yang kuat untuk mencipta dan berbagi karya cipta serta kesempatan
mentorship bagi pendatang baru untuk belajar kepada yang lebih berpengalaman (Jenkins et al.,
2009).

Pada awal berkembangnya internet potensi partisipasi ini belum banyak dirasakan. Pengguna
internet generasi awal masih cenderung terbiasa dengan budaya penerimaan pasif di era media
massa sehingga belum menyadari potensi untuk menjadi partisipan aktif di media baru ini.
Pengenalan aplikasi seperti weblogs, micro blog dan bentuk media sosial yang lain yang semakin
ramah bagi pengguna dan memungkinkan pengguna untuk lebih berperan dalam pembuatan
konten sangat mendukung lahirnya budaya partisipasi dalam pemanfaatan internet. Perkembangan
teknologi internet melahirkan transisi dari budaya penerimaan pasif di era media massa pada akhir
abad ke-20 menjadi budaya partisipasi aktif di awal abad ke-21 (Flew, 2009).

Transisi budaya ini dalam prakteknya memunculkan euforia bagi pengguna internet sehingga
banyak pengguna internet yang terjebak pada konsep kebebasan yang tidak tepat. Kebebasan
berekspresi yang seharusnya dimanfaatkan secara bertanggung jawab, seringkali berubah menjadi
kebebasan untuk membenci dan kebebasan untuk mendistorsi informasi (Lim, 2017). Kebebasan
untuk melakukan kritik dapat berubah menjadi ujaran kebencian atau pelintiran kebencian
(Gaorge, 2017).
Personalisasi dan algorithmic enclave

spesifikasi produk barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan konsumen secara individual. Berbagai
produk barang dan jasa tidak lagi dikemas dan dijual secara seragam. Saat ini konsumen semakin
dimanjakan dengan kesempatan untuk membeli produk secara customized sesuai dengan
keinginan dan kebutuhan masing-masing.

Pertumbuhan pengguna media sosial di Indonesia yang sangat tinggi telah berkontribusi secara
siginifikan dalam pengembangan budaya partisipasi dalam penggunaan internet dan tumbuhnya
suatu bentuk ‘koneksi sosial’ baru di dunia virtual (Jenkins et al 2009). Koneksi sosial ini
terbangun melalui interaksi yang dibangun melalui publik yang berjejaring (networked publics)
sebagaimana didefinisikan oleh danah boyd (2011). Interaksi pengguna internet melalui akun
media sosial masing-masing telah menciptakan publik yang berjejaring, terutama dengan adanya
fitur seperti profil, daftar teman, ruang komentar dan update informasi terkini (boyd, 2011: 43).
Beberapa platform media sosial populer seperti Facebook, Twitter dan Instagram menawarkan
fitur-fitur yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna untuk membangun koneksi sosial dan
membangun komunitas imajiner baru melampaui batas-batas geografis.

Komunitas-komunitas imajiner baru ini tercipta secara sadar maupun tidak sadar melalui proses
personalisasi yang diciptakan dan difasilitasi oleh pembuat platform media sosial. Komunitas-
komunitas ini seringkali dibangun dalam lingkaran pertemanan dan pengikut yang terbatas.
Fenomena koneksi sosial terbatas yang dibangun oleh komunitas-komunitas ini memunculkan
kekhawatiran akan terjadinya alienasi sosial karena munculnya tendensi kuat dalam menyaring
informasi secara selektif dan menciptakan gelembung penyaring (filter bubble) atau daerah
kantong algorithmik (algorithmic enclave) dalam suatu jaringan tertentu yang membuat tidak
memungkinkan masuknya informasi dan opini yang bertentangan dengan pandangan sebagian
besar angota jaringan (Pariser, 2011; Lim, 2017).
Tantangan untuk komunikasi berkeadaban

Budaya partisipasi yang difasilitasi oleh teknologi internet telah membawa harapan pada
kehadiran perangkat untuk keramahtamahan (tools for conviviality) yang dibayangkan oleh Ivan
Illich di awal tahun 70an (Illich, 1973). Sebagai perangkat yang menjanjikan dalam
pengembangan masyarakat yang ramah dan demokratis, internet telah berkontribusi dalam
membangun publik berjejaring yang menjadi tantatangan baru bagi batas konvensional produsen
dan konsumen media serta menjadi tantatangan bagi batas negara bangsa sebagai komunitas
politik imajiner. Ben Anderson (1983) menyatakan bahwa komunitas imajiner berkembang dari
penggunaan media yang sama. Di era revolusi industri 4.0, sharing penggunaan media tidak lagi
dibatasi oleh sekat-sekat geografis. Meskipun aspek lokalitas masih menjadi sesuatu yang
penting dalam proses konstruksi identitas, suara-suara lokal dan moderat kini menghadapi
tantangan yang berat dari globalisasi media.

Kemudahan yang ditawarkan oleh internet juga berimplikasi pada peran yang lebih kompleks
dari ruang siber seperti dua sisi pisau. Di satu sisi kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi
internet ini dapat dimanfaatkan untuk membangun masyarakat yang ramah dan beradab. Di sisi
lain kemudahan ini dapat dimanipulasi untuk membatasi aliran informasi. Komunikasi ruang
siber yang berkeadaban dapat dicapai dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi untuk
pengembangan pendidikan dan ekspresi gagasan serta identitas secara bertanggung jawab.
Sebaliknya, pembatasan aliran informasi dapat terjadi karena regulasi pemerintah yang terlalu
mengekang, konsentrasi dan konglomerasi kepemilikan media serta mekanisme penyaringan
informasi yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan pembuat aplikasi internet.

Isu penyaringan informasi ini memiliki implikasi yang sangat penting dalam pembentukan
komunitas imajiner baru. Jika aspek paling esensial dari pemanfaatan media digital adalah peer
matching, maka potensi ini berpeluang menciptakan gelembung penyaring yang membuat
segmentasi komunitas dalam masyarakat karena perbedaan kepentingan dan pendapat.
Mekanisme penyaringan informasi ini sangat potensial untuk memperlebar jarak anara berbagai
jaringan sosial di internet karena para anggota jaringan tersebut secara tidak sadar terjebak dalam
perspektif sempit in-group dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam masyarakat.
Era revolusi industri 4.0 membuka peluang bagi terciptanya berbagai jenis industri kreatif
berbasis internet yang mampu memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, peluang komodifikasi informasi yang
sangat terbuka juga memungkinkan lahirnya industri kebencian serta industri informasi palsu
yang berbasis rekayasa ketersinggungan (manufactured offendedness) (Gaorge, 2017). Peluang
berkembangnya industri kebencian ini terbuka lebar di tengah polarisasi masyarakat yang
semakin tajam menjelang tahun politik 2019. Ikhtiar bersama untuk membangun iklim
komunikasi berkeadaban menjadi langkah penting yang harus dimulai untuk membendung sisi-
sisi negatif dari hadirnya revolusi industri komunikasi 4.0.
Daftar Referensi

1. https://www.kompasiana.com/dafaad28/5cec329a3ba7f7170c7b9604/dampak-
perkembangan-teknologi-komunikasi-dalam-revolusi-industri-4-0-pada-pola-perilaku-
dan-mata-pencaharian-masyarakat-indonesia?page=all

2. https://www.beritasatu.com/opini/6334-komunikasi-sosial-di-era-industri-40.html

3. https://klikmu.co/membangun-komunikasi-berkeadaban-di-era-revolusi-industri-4-0/

4. http://kampusdesa.or.id/membangun-komunikasi-berkeadaban-di-era-revolusi-industri-4-
0/

5. https://id.wikipedia.org/wiki/Industri_4.0

Anda mungkin juga menyukai