Anda di halaman 1dari 5

Paradigma Kritis dan Ekosistem Media Digital

Abad ke-19 sebagai tanda suatu masa penghasil berbagai produk yang sering disebut
sebagai zaman produksi. Saat itu manusia berupaya menyempurnakan berbagai bentuk
mekanisme kerja pabrik dengan perangkat otomatisasi sehingga mampu menghasilkan
produk massal. Masuk abad ke-20 perkembangan apa yang disebut revolusi industri
menimbulkan persoalan sosial. Persoalan itu hadir dalam bentuk perhubungan sosial.
Perhubungan sosial yang lebih spesifik berbentuk perhubungan komunikasi yang dapat
menyeimbangkan banyak kepentingan dan kebutuhan individu-masyarakat.
Komunikasi sebagai sarana penghubung antaranggota masyarakat memerlukan
pengaturan lebih lanjut ketika sifat perhubungan antarpersona dan antarkelompok mulai
mendapat banyak pengaruh dari pola komunikasi massa. Media komunikasi massa mengubah
kebiasaan pola percakapan sederhana antarorang dan antarkelompok. Pola komunikasi massal
dipakai sejalan dengan pemakaian media massa seperti surat kabar, majalah, radio, televisi.
Permasalahan kemudian muncul karena pemilik media yang menghasilkan kesadaran semu
untuk masyarakat. Subijanto (2013) menyebut industri kesadaran pada fenomena pemilik
media yang melakukan banyak intervensi terhadap produksi media untuk kepentingannya.
Seperti McCombs dan Shaw (dalam Griffin, 2012) yang percaya media massa memiliki
kemampuan untuk memindahkan arti penting item pada agenda berita mereka ke agenda
publik. hal dinamai dengan agenda setting media.
Sekarang, abad ke-21 pola komunikasi massa yang sebelumnya menggunakan media
cetak berkembang jadi penggunaan teknologi dalam jaringan (daring). Keadaan ini ditandai
dengan wacana revolusi industri 4.0 di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Teknologi
daring termasuk platform-platform media digital di dalamnya memungkinkan warga untuk
terlibat aktiv dalam memproduksi informasi, sehingga dapat mempengaruhi pola komunikasi
antarindividu dan antarkelompok. Transformasi cepat hadir menyertai teknologi daring,
khususnya media digital, sebab media ini sudah dan akan menjadi ruang sentral kontestasi
antara pemilik media dan warga biasa.
Para sarjana dan publik telah memperdepatkan dampak media digital, mulai dari
senjakala media cetak, produksi informasi dengan cap hoaks, sampai dengan masalah
jurnalisme. Seperti ungkapan Jenkins (2006: 15) yang berpendapat bahwa berbagai platform
baru digital lebih dari sekedar pergeseran teknologi, melainkan revolusi yang mengubah
hubungan antara teknologi yang sudah ada, industri, pasar, genre, dan khalayak. Orang
Indonesia tergolong sebagai pengguna media sosial paling aktif. Sebesar 70% populasi daring
penduduk Indonesia berada di bawah usia 35 tahun yang sebagian besarnya memakai media
sosial setiap hari (Freedom-net, 2015). Fenomena di Indonesia menurut penulis sangat cocok
digunakan untuk menyelidiki bagaimana media digital memengaruhi relasi-relasi kekuasaan.
Di satu sisi internet mendorong munculnya beragam berita, informasi, dan sudut pandang,
tetapi secara bersamaan media arus utama tetap menjadi ruang dominan tempat para elite
menggunakan kuasanya di era digital.
Dengan fenomena demikian penulis berpendapat bahwa teknologi digital yang baru akan
membawa ke dua arah. Pertama, digitalisasi membuat pemilik media mampu mengontrol
ranah media arus utama melalui pemusatan infrastruktur digital. Kedua, munculnya beragam
berita dan sudut pandang merupakan akibat dari pemanfaatan platform media digital oleh
warga untuk tujuan aktivisme, sekaligus warga biasa dapat menantang struktur kekuasaan
elite melalui penggunaan media digital yang efektif.
Mengutip pendapat Tapsell (2019), pemilik media atau konglomerat media dalam bahasa
Tapsell, menggunakan kemajuan teknologi komunikasi untuk menciptakan kerja
pengumpulan berita multiplatform yang lebih efektif dan pada saat yang sama membeli
kompetitor. Kompetitor yang dibeli merupakan perusahaan-perusahaan kecil yang tidak
punya modal untuk menyaingi investasi para raksasa konglomerati digital dalam infrastruktur
multiplatform ini. Oleh sebab itu, digitalisasi tidak memungkinkan ranah media arus-utama
yang beragam dan kaleidoskopik berkembang di Indonesia. Sebaliknya, digitalisasi membuat
industri media makin terkonsentrasi dan menjadi ruang penting tempat para elite
menggunakan kekuasaannya.
Konglomerat media mampu membiayai pembaharuan infrastruktur teknologi
komunikasi seperti menara televisi kabel, operator satelit sehingga mempunyai peluang besar
untuk memonopoli informasi. Penguasaan kepemilikan sarana produksi berupa infrastruktur
digital merupakan modal penting untuk menguasai produksi dan distribusi informasi. Jika ini
terjadi maka warga hanya menempati posisi sebagai konsumen. Sebab, pemilik media dalam
memproduksi informasi hanya mementingkan pertimbangan bisnis bukan menghitung
penduduk sebagai warga negara. Namun, kemapanan konglomerat media ditantang secara
terbuka oleh sifat media digital yang memungkinkan keberdayaan warga. Sebab media digital
dalam bentuk media sosial dapat langsung diakses oleh warga. Tentu hal ini hanya berlaku
jika tidak ada pembatasan dari pemerintah.
Keberdayaan warga melalui pemanfaatan media sosial berpotensi mendongkel kuasa
pesan-pesan yang diproduksi konglomerat media. Dalam lingkungan media yang semakin
partisipatif (warga dapat langsung mengakses) warga dapat memproduksi berita sekaligus
membelokkan wacana arus berita utama. Tentu keadaan ini memiliki dampak yang bervariasi
karena sering kali potensi keberdayaan warga untuk membelokkan wacana arus utama tidak
dilakukan secara sadar. Satu hal yang dapat digaris bawahi ialah keberadaan warga menjadi
sangat penting bagi gerakan-gerakan berbasis akar rumput. Bagi warga, tantangan yang
kemudian hadir ialah pemahaman kritis kepemilikan media arus utama yang mengembangkan
lini bisnis dengan memanfaatkan media sosial.
Untuk memahami kepemilikan media, warga dapat menggunakan teori kritis untuk
membaca teks berita atau informasi. Menurut Eriyanto (2001) paradigma kritis mempunyai
pandangan tertentu bagaimana media, dan pada akhirnya berita harus dipahami dalam
keseluruhan proses produksi dan struktur sosial. Paradigma kritis bersumber dari pemikiran
sekolah Frankfurt. Saat itu media menjadi alat dari pemerintah untuk mengontrol publik. Dari
sana para pemikir di sekolah Frankfurt berpendapat bahwa media bukanlah entitas yang
netral, tetapi bisa dikuasi oleh kelompok dominan. Aliran kritis banyak memperhatikan aspek
ekonomi politik dalam proses penyebaran pesan. Seperti yang dikatakan Sindhunata, teori
kritis lahir karena ada keprihatinan akumulasi dan kapitalisme lewat modal yang besar, yang
mulai menentukan dan mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Setiap hari kebanyakan orang hanya memakai lima sampai tujuh aplikasi. Orang tidak
mau banyak-banyak menggunakan aplikasi karena menggunakan banyak ruang penyimpanan
di ponsel. Sehingga perusahaan media anda harus menjadi salah satu di antaranya, ungkap
Benny Ho (dalam Tapsell, 2019). Fenomena ini menyebabkan perusahaan media
berbondong-bondong untuk berinvestasi dalam situs-situs jurnalisme warga, lalu platform-
platform media sosial, hingga aplikasi percakapan yang berkembang. Aplikasi-aplikasi dalam
media sosial menjadi tandap penting tumbuhnya ekosistem digital.
Kompasiana yang dimiliki Kompas Gramedia merupakan salah satu contoh konvergensi
pemilik media ke media sosial. Contoh lainnya seperti Indonesia.com yang dimiliki oleh
Tempo Group, Vivalog.com milik Bakrie Group, dan Citizen6 milik Emtek. Konglomerat
digital yang mengkonversi bisnisnya ke dalam midia digital menumbuhkan ekosistem bisnis
digital baru. Seperti pendapat Benny Ho di atas, konglomerasi lebih lanjut dari ranah media
digital kemungkinan terjadi karena perusahaan berusaha terhubung ke salah satu aplikasi
harian ini. Merger, kemitraan, hubungan bisnis formal, dan pembelian semua dimanfaatkan
agar konglomerasi masuk menjadi ekosistem digital. Artinya, konglomerat digital punya
tujuan memusatkan layanan-layanan digital mereka melalui satu aplikasi ponsel. Keadaan ini
dapat dijelaskan dengan teori ekologi media yang menyatakan bahwa media utama zaman ini
(internet) biasanya lebih diutamakan daripada isi pesan (West, 2010).
Akhirnya digitalisasi dapat mengkonsolidasikan konglomerat digital melalui konvergensi
media, serta digitalisasi memungkinkan media berkonglomerasi dengan bisnis-bisnis daring
lainnya, yang menunjukkan konsentrasi modal dan bisnis di seputar ekosistem digital. Saat
yang bersamaan, warga dapat memberdayakan potensinya secara kritis karena media digital
mampu memberikan ruang. Ruang-ruang pemberdayaan dapat terbentuk sebab media digital
memungkinkan semakin banyak warga ikut serta dalam diskusi dan membentuk konten
media.
Referensi

Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
Freedom-net. (2015). Freedom On The Net 2015: Indonesia. Diakses pada 5 April 2020 dari
https://freedomhouse.org/report/freedom-net/2015/indonesia.
Griffin, E. M. (2012). A First Look at Communication Theory (eight). McGraw: Hill.
Jenkins, H. (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York dan
London: New York University Press.
Rianne, S. (2013). Rangkaian Kritik Terhadap Tiga Pendekatan “Kritis” Kajian Budaya
(Bagian 2). Diakses pada 6 April dari https://indoprogress.com/2013/03/rangkaian-
kritik-terhadap-tiga-pendekatan-kritis-kajian-budaya-bag-2/
Tapsell, R. (2019). Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital.
Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
West, R. C. (2010). Introducing Communication Theory ANALYSIS AND APPLICATION 4th
ed. (4th ed.). McGraw-Hill Education.

Anda mungkin juga menyukai