Anda di halaman 1dari 3

Utopia Akhir Semester

Ujian Akhir Semester (UAS) dijadikan salah satu cara untuk mengukur pemahaman materi
yang telah diajarkan dalam bangku perkuliahan. Suatu metode pengulangan materi-materi
perkuliahan berbentuk butir-butir soal yang ditata rapi, hitam di atas putih.

Hampir semua perguruan tinggi di Indonesia menggunakan metode tersebut sebagai


sumbangan nilai, selain dari nilai tugas terstruktur, kuis, Ujian Tengah Semester (UTS), dan
praktikum. Sumbangan angka-angka dari hasil UAS tersebut, berpengaruh banyak dalam
penentuan Indeks Prestasi (IP) mahasiswa.

Selama ini mahasiswa menjadikan IP sebagai acuan dalam keberhasilannya menyelesaikan


proses pendidikan. Nahas, ketika nilai UAS dijadikan indikator terbesar dalam penghitungan
IP. Ribuan bahkan jutaan mahasiswa yang memiliki latar belakang dan tingkat kemampuan
yang berbeda, harus dipukul rata oleh skema UAS.

Disamaratakan layaknya jalan tol Anyer-Panarukan dalam hal keberhasilan proses


pendidikannya. Sistem ini diperparah dengan pola pikir mahasiswa yang mengejar IP untuk
mendapatkan kursi pegawai di perusahaan.

Keadaan ini membuat orientasi mahasiswa kebanyakan berubah. Mereka mengejar hasil akhir
pada ketepatan uraian yang ditulis saat UAS. Sumbangan besar nilai UAS menjadi beban
tersendiri saat pekan ujian berlangsung. Pengulangan materi-materi yang telah diajarkan
dengan intensitas tinggi, membentuk gumpalan-gumpalan baru pemahaman yang menerobos
otak dalam bingkai-bingkai hafalan.

Dengan keadaan seperti ini mahasiswa tidak berkuasa atas dirinya sendiri. Mereka selalu
dibayangi rasa gelisah ketika pekan UAS tiba. Mengurung diri dengan tumpukan-tumpukan
buku pada satu waktu. Berangsur-angsur dilemahkan dengan besarnya nilai UAS yang
mereka yakini akan mengubah hidupnya.

Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah penguasaan diri, sebab di sinilah
pendidikan memanusiakan manusia. Selain itu, pendidikan juga harus membantu peserta
didik menjadi manusia yang merdeka. Merdeka secara fisik dan mental. Dengan menjadi
manusia merdeka kalian berhak menentukan keberhasilan kalian sendiri, bersama tanggung
jawab sesama manusia.

Merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (SISDIKNAS), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara.

UAS yang hanya menguji pemahaman mahasiswa tentang teori-teori sesuai keilmuan yang
dipilihnya. Ragam kemampuan mahasiswa dipaksa masuk sedalam-dalamnya ke lingkaran
pendidikan yang berorientasi pada nilai. Lingkaran-lingkaran yang seharusnya tidak hanya
terbatas pada pengakuan nilai-nilai teori.

Secara langsung mahasiswa sebagai manusia merdeka, direbut oleh keberhasilan semu yang
diciptakan oleh sistem UAS dalam pendidikan. Sistem UAS seakan-akan tidak merestui
mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan pribadinya, sebagaimana yang tertuang
dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS.

Mahasiswa mencatat, menghafal, mengulangi ungkapan-ungkapan tersebut tanpa


membuktikan langsung teori yang didapat di ruang serba mewah ke lorong-lorong kumuh
ruang kehidupan. Hanya sekedar memenuhi nafsu dengan predikat “baik”.

Daya tarik UAS dalam pendidikan hanya dapat mengurangi bahkan menghapuskan daya
kreasi mahasiswa, serta menumbuhkan sikap mudah percaya. Mahasiswa memiliki pola pikir
yang terkotak-kotak dalam kemampuan mistik nilai UAS. Akan terjatuh ke dasar paling
bawah tumpukan jerami sambil mengurai-ngurai dan menghafalkan teori tentang cara keluar
dari tumpukan jerami.

Padahal dia hanya perlu mencoba untuk membuktikan satu teori yang dapat
mengeluarkannya dari tumpukan jerami. Mengurai satu per satu tumpukan jerami dan
menghafalnya hanya membuat dia semakin jauh, lupa, tidak sadar bahwa yang dilakukan
cenderung belum merubah keadaan.

Mahasiswa yang sering membesar-besarkan predikatnya sendiri harus berani menjauhkan


langkahnya dari sistem UAS. Berani agar tidak terjebak sebagai obyek dalam lingkaran
pendidikan. Mahasiswa seharusnya berani memposisikan diri sebagai subyek dalam lingkaran
pendidikan. Membuka jalan ke arah pembebasan dalam konteks kesadaran kritis akan fakta-
fakta yang ada di lingkungan sekitar.

Indikator tertinggi keberhasilan pendidikan pun sewajarnya diubah. Tidak lagi dengan sistem
nilai-nilai yang keluar dari UAS. Selain menekan mental sebagian mahasiswa, indikator itu
pun menjauhkan mereka pada masalah-masalah yang tumbuh di masyarakat. Teori-teori yang
mereka dapat tidak pernah secara dini dibenturkan dengan realitas.

Proses kreatif mahasiswa dalam kegiatannya di dalam maupun luar kampus lenyap terbawa
mengikuti arus kekuatan UAS. Hematnya mahasiswa merupakan manusia, untuk menjadi
manusia yang utuh diperlukan pendidikan yang memerdekakan. Tiga unsur definisi
pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara tampaknya perlu diperhatikan lagi.

Tiga unsur pendidikan itu yang pertama adalah pendidikan yang melahirkan manusia-
manusia yang tidak terperintah orang lain, tapi batinnya yang bisa memerintah dirinya
sendiri; kedua manusia-manusia yang berdiri tegak karena kekuatan sendiri; dan ketiga
manusia-manusia yang cakap mengatur dirinya tertib, sehingga tidak mengganggu orang lain.

Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa ketiga unsur di atas harus selalu menyatu, tidak bisa
berdiri sendiri atau saling berkaitan. Ketiga unsur pendidikan tersebut sebagai jalan untuk
menjadikan manusia yang merdeka, manusia yang mampu hidup bersama dengan orang lain
yang juga memiliki hak untuk merdeka.

KOMENTAR :

- Mengubah bukan merubah


- Solusi yang disampaikan? Tapi bagaimana cara mengevaluasi? UAS tetap
dilakukan atau tidak? Solusi kurang konkret.

Anda mungkin juga menyukai