Anda di halaman 1dari 67

Sejarah kita telah mencatat berbagai ragam bentuk

perjuangan, satu diantaranya adalah perjuangan tanpa


mengangkat senjata yang juga sangat penting kita
khidmati. Perjuangan di bidang pendidikan dan pers
adalah satu diantaranya. Apa yang telah tokoh-tokoh
nasional ini lakukan menjadi inspirasi dan teladan bagi
generasi muda. Agar bangsa kita menjadi semakin maju
dan berjaya kedepannya. Hal yang tepat kiranya jika
para tokoh bangsa ini dipelajari dan gali kembali
kiprahnya.

Ada banyak tokoh nasional yang berjuang pada bidang


pendidikan dan pers dan turut berpengaruh signifikan
dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa. Ide dan
perjuangannya begitu monumental dan masih bias kita
rasakan hingga saat ini. Para tokoh nasional dengan
dedikasi tanpa kenal lelah mengorbankan harta, benda
dan pikirannya demi kemerdekaan bangsa dan Negara
Indonesia.

Melalui buku ini kita diajak untuk kembali mengingat


dan meneladani kiprah beberapa tokoh nasional secara
khusus yang berasal dari Sumatera Barat dalam ranah
perkembangan pendidikan dan pers di Indonesia. Ada 7
tokoh yang dimuat didalam buku ini. Semoga ini bias
menjad inspirasi bagi Indonesia dan bahkan juga
terdengar gaungnya hingga keluar negeri. Betapa
bangganya kita sebagai anak bangsa.

Petualang Literasi
7 TOKOH NASIONAL SUMATERA BARAT
DI BIDANG PENDIDIKAN DAN PERS
(Buku Pelajaran Sekolah untuk SMP)

PURWANTO PUTRA

PETUALANG LITERASI
Tujuh Tokoh Nasional Sumatera Barat
Di Bidang Pendidikan dan Pers
(Buku Pelajaran Sekolah untuk SMP)

Penulis: Purwanto Putra


Editor: Renti Oktaria
Desain Sampul dan Tata Letak: Tim Petualang Literasi

Cetakan pertama, Juli 2019


ISBN: 978-623-91274-1-1

Penerbit: Yayasan Petualang Literasi, Depok


Kantor Pusat:
Jln. Cengkeh II Pondok Cina Kota Depok
Redaksi Cabang:
Jln. Nunyai No.59E Rajabasa - Bandarlampung
petualangliterasi@gmail.com

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak isi buku ini, baik sebagian maupun
seluruhnya, dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari
penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan
penulisan artikel atau karang ilmiah dengan menyertakan
sumber kutipan.

Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT)


Purwanto Putra
Tujuh Tokoh Nasional Sumatera Barat di Bidang
Pendidikan dan Pers / Purwanto Putra; editor, Renti
Oktaria. – Depok: Yayasan Petualang Literasi, 2019.
57 hlm. ; 21 cm.
ISBN 978-623-91274-1-1
1.Pahlawan Sumatera Barat. I. Judul. II. Tim
Petualang Literasi.

920.095 981 3

ii
PENGANTAR

Bismilahirahmanirahim, Bangga rasanya ketika


mengingat-ingat kemajuan negara kita Indonesia.
Suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang
Maha Esa melalui kerja keras diiringi doa. Saat
membayangkan itu, hal yang seketika terlintas
dipikiran adalah perjuangan para pahlawan
bangsa tanpa kenal lelah untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia. Menjadi bangsa yang
besar dan beradab. Para pahlawan bersatu dan
berjuang secara bersama-sama dengan beragam
cara, bersenjata atau tanpa senjata.
Ada berbagai ragam perjuangan, satu di
antaranya adalah perjuangan tanpa senjata yang
sangat penting namun sering terlupakan adalah
perjungan di bidang pendidikan dan pers. Apa
yang mereka telah lakukan menjadai inspirasi
dan panduan untuk kita terapkan. Agar bangsa
kita menjadi semakin maju dan berjaya
kedepannya. Hal yang tepat kiranya jika tokoh-
tokoh dipelajari dan digali kembali kiprah
ketokohannya.
Ada banyak tokoh nasional yang berjuang pada
bidang pendidikan dan pers dan berpengaruh
signifikan signifikan dalam mencerdaskan
bangsa. Ide dan perjuangannya begitu
monumental dan beberapa masih dapat kita

iii
rasakan sampai saat ini. Para tokoh nasional ini
dengan dedikasi tanpa kenal lelah telah
mengorbankan harta dan bendanya.
Melalui buku ini kita diajak untuk kembali
mengingatkan dan meneladani kiprah beberapa
tokoh nasional asal Sumatera Barat yang telah
berjuang dan mengorbankan dirinya untuk
perkembangan pendidikan dan pers di Indonesia.
Ada 7 tokoh inspirasi yang kiprahnya bukan
hanya di Indonesia dan bahkan juga diakui di luar
negeri. Betapa bangganya kita.
Penulis mengucapkan rasa hormat kepada para
pembaca yang telah berkenan membaca buku ini
dan Yayasan Petualang Literasi yang telah
mengizinkan buku ini terbit. Semoga membawa
manfaat bagi kita semua. Tarimokasih

Depok, Maret 2018

iv
DAFTAR ISI

AGUS SALIM .................................................... 1


Masa Kecil dan Pendidikan .......................... 4
Kiprah ............................................................ 6
Akhir Hayat ................................................. 11
Penghargaan ................................................ 12
BAGINDO AZIZ CHAN ................................... 15
Masa Kecil dan Pendidikan ........................ 16
Kiprah .......................................................... 16
Akhir Hayat ................................................. 20
Penghargaan ................................................ 20
MOHAMMAD YAMIN .................................... 23
Masa Kecil dan Pendidikan ........................ 24
Kiprah .......................................................... 25
Akhir Hayat ................................................. 30
Penghargaan ................................................ 31
RAHMAH EL YUNUSIYYAH ........................ 33
Masa Kecil dan Pendidikan ........................ 34
Kiprah .......................................................... 35
Akhir Hayat ................................................. 35
Penghargaan ................................................ 37

1
RASUNA SAID................................................. 39
Masa Kecil dan Pendidikan ......................... 40
Kiprah ........................................................... 42
Akhir Hayat .................................................. 44
Penghargaan ................................................ 44
ROHANA KUDUS ........................................... 47
Masa Kecil dan Pendidikan ......................... 48
Kiprah ........................................................... 50
Akhir Hayat .................................................. 53
Penghargaan ................................................ 54
TAN MALAKA ................................................. 55
Masa Kecil dan Pendidikan ......................... 56
Kiprah ........................................................... 56
Akhir Hayat .................................................. 57
Penghargaan ................................................ 59
Daftar Pustaka ................................................. 61

2
AGUS SALIM

“Sangkaan orang-orang itu sesungguhnya keliru.


Pujian orang bahwa aku luar biasa pandai
adalah berlebihan, karena mungkin mereka tak
pernah melihat aku menekuni pelajaran di
rumah."

“Pelajaran di sekolah saja tidak cukup.


Kita harus belajar sendiri untuk menambah
pengetahuan dan pengalaman. Sekolah bukan
satu-satunya tempat pendidikan, tetapi salah
satu tempat pendidikan.”

- Agus Salim -

3
AGUS SALIM (1884 – 1954)

Masa Kecil dan Pendidikan


K. H. Agus Salim lahir pada tanggal 8
Oktober 1884, di Kota Gadang, Kabupaten Agam
(Bukittinggi), Sumatera Barat. Sebuah wilayah
yang banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual
di Indonesia. Haji Agus Salim lahir dengan nama
Mashudul Haq yang berarti "pembela kebenaran".
Ia merupakan anak keempat Sultan Moehammad
Salim dari Sutan Mohamad Salim dan Siti Zainab.
Ayahnya adalah seorang Hoofdjaksa (Jaksa
Kepala) di Pengadilan Tinggi Riau dan daerah
bawahannya.
Agus Salim bisa belajar di sekolah-sekolah
Belanda, selain karena dia anak yang cerdas juga
karena kedudukan ayahnya. Pendidikan formal
diperolehnya dari ELS dan HBS. Melalui jabatan
ayahnya tersebutlah yang membuat Agus Salim
bisa mendapatkan akses pendidikan ke ELS
(Europeesche Lagere School), walaupun
kebiasaan pada masa itu hanya menerima anak-
anak keturunan Eropa saja. Kemudian, ia juga
berkesempatan melanjutkan ke HBS (Hogere
Burger School), sekolah yang rata-rata muridnya
adalah anak-anak Eropa.
Agus Salim memang adalah anak yang
sangat luar biasa cerdas. Kecerdasan Agus Salim

4
semasa muda bahkan sudah terkenal di seluruh
Hindia Belanda. Pada usia muda, ia telah
menguasai tujuh bahasa asing; Belanda, Inggris,
Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman. Pada
1903 ia lulus HBS (Hogere Burger School) atau
sekolah menengah atas 5 tahun di usia 19 tahun
dengan predikat lulusan terbaik HBS se-Hindia
Belanda di tiga kota, yakni Surabaya, Semarang,
dan Jakarta. Sebagai lulusan terbaik, ia
melampaui anak-anak Eropa yang kebanyakan
menjadi siswa di sekolah pemerintah Hindia
Belanda tersebut.
Setelah lulus Agus Salim ingin
melanjutkan sekolah kedokteran di Belanda,
berharap pemerintah Hindia Belanda bersedia
mengabulkan permohonan beasiswanya.
Ternyata permohonan itu ditolak. Dia patah
arang. Tapi, kecerdasannya menarik perhatian
Kartini, anak Bupati Jepara. Kartini mendapat
beasiswa, namun pernikahan dan kepatuhan
pada adat Jawa sehingga tak memungkinkan
seorang puteri bersekolah tinggi. Maka kartini
mencoba mengirim surat kepada Ny. Abendanon,
istri pejabat Hindia Belanda yang menentukan
pemberian beasiswa pemerintah pada Kartini.
Kartini merekomendasikan Agus Salim
untuk menggantikan dirinya berangkat ke
Belanda mengalihkan beasiswa sebesar 4.800
gulden dari pemerintah ke Agus Salim.

5
Pemerintah akhirnya setuju. Tapi, Agus Salim
menolak. Salim merasa tersinggung dengan sikap
pemerintah yang diskriminatif. Ia tidak mau
menerima karena berprinsip beasiswa itu bukan
sebagai penghargaan atas kecerdasan dan jerih
payahnya tetapi pemberian karena usul orang
lain. Sehingga ia tetap menolak.
“Kalau pemerintah mengirim saya karena
anjuran Kartini bukan karena kemauan
pemerintah sendiri, lebih baik tidak!” tegas Agus
Salim. Keputusan yang diambil oleh Agus Salim
juga berdasarkan pertimbangan yang diberikan
Dr. Snouck Hurgronje, -seorang penasehat
pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk
urusan pribumi. Ia menyarankan kepada Agus
Salim agar tidak perlu menerima tawaran dari
Kartini tersebut dan memberi tawaran alternative
kepada Agus Salim untuk bekerja di konsulat
Hindia Belanda di Jeddah, Arab Saudi.
Kiprah
Setelah menghadapi situasi tersebut, Agus
Salim memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi,
untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat
Belanda. Ia berada di kota tersebut antara 1906-
1911. Memperdalam ilmu agama Islam pada
Syech Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram yang
sekaligus merupakan pamannya, serta
mempelajari diplomasi.

6
Sepulang dari Jedah, pada tahun 1912 Agus
Salim mendirikan sekolah dasar swasta, Hollands
Inlandse School (HIS), di kampung halamannya.
Di sekolah ini berlaku aturan yang istimewa.
Anak-anak yang cerdas namun tidak mampu
dibebaskan dari uang sekolah. Guru-gurunya pun
mengajar dengan sukarela. Ia benar-benar
menerapkan prinsip pengabdian. Para guru
secara sukarela mengajar tanpa imbalan gaji,
hanya diberi pengganti uang lelah.
Kiprah Agus Salim pada masa pergerakan
nasional memang lebih banyak dalam bidang
politik dan diplomasi. Namun, ia juga pernah
mengabdikan hidupnya di bidang pendidikan
dengan mendirikan sekolah sekaligus sebagai
guru di sekolah tersebut.
Agus Salim tertarik membuka sekolah
formal tidak lain karena ia ingin agar anak-anak
Indonesia memiliki jiwa kebangsaan yang kuat.
Agus Salim sangat berharap, para anak didiknya
akan menjadi pemimpin bangsa ini suatu saat
nanti.
Meskipun pernah menjadi siswa terpintar
di HBS se Hindia Belanda, khusus untuk anak-
anaknya Agus Salim tidak ingin anak-anaknya
menimba ilmu di sekolah buatan pemerintah
kolonial. Karena Agus Salim menganggap
pendidikan kolonial sebagai “jalan berlumpur”

7
sehingga ia tidak mau anak-anaknya ikut
tercebur di dalamnya.
Semasa hidupnya ia dan keluarganya hidup
berpindah-pindah rumah kontrakan saat di
Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Di rumah
yang sederhana dia menjadi pendidik bagi anak-
anaknya secara mandiri. Anak-anaknya dididik
secara langsung oleh Agus Salim,
Agus Salim memiliki 8 anak, dari seluruh
anaknya hanya yang bungsu Abdur Rachman
Ciddiq yang sempat bersekolah secara formal, itu
pun setelah berakhirnya era kolonial Belanda di
Indonesia. Anak-anak Agus Salim lainnya dididik
sendiri di rumah. Dengan demikian, rasanya
kemungkinan Agus Salim lah yang pertama
menerapkan konsep home schoolling (sekolah
rumah) di Indonesia.
Agus Salim tidak memasukan anak-
anaknya ke pendidikan formal. Alasannya,
karena selama hidupnya Agus Salim merasa
mendapatkan pelajaran kehidupan sesungguhnya
adalah saat berada luar sekolah. Pepatah Minang
yang ia amalkan, Alam takambang jadi Guru -
belajar dari alam. Ia pernah menyatakan. ”Saya
telah melalui jalan berlumpur akibat pendidikan
kolonial,” sebagai bentuk protes dan
penolakannya terhadap pendidikan formal

8
kolonial. Ia ingin sekolah yang mandiri sesuai
kebutuhan masyarakat pribumi.
Agus Salim menyadari bahwa pola berpikir
seseorang akan sangat dipengaruhi oleh latar
belakang hidup di lingkungannya. Secara sosial-
intelektual karena ia adalah anak dari pejabat
pemerintah yang juga berasal dari kalangan
bangsawan dan agama.
Maka, sejak kecil ia hidup di lingkungan
yang penuh dengan nuansa-nuansa keagamaan.
Bahkan, setelah menyelesaikan studi sekolah
pertengahannya di Jakarta, sembari bekerja
untuk konsulat Belanda di Jeddah (1906-1909). Di
sana ia juga mempelajari kembali lebih mendalam
tentang Islam.
Secara terbuka ia memberikan pengakuan
yang kemungkinan sekaligus adalah
kekhawatirannya terhadap generasi muda
penerus bangsa. Ia menyatakan bahwa,
“meskipun saya terlahir dalam sebuah keluarga
Muslim yang taat dan mendapatkan pendidikan
agama sejak dari masa kanak-kanak, namun
setelah masuk sekolah Belanda saya mulai
merasa kehilangan iman.”
Pernah suatu ketika Jef Last, seorang
wartawan yang juga mantan aktivis sosialis
Belanda teman Agus Salim di Amsterdam pada
tahun 1930 bertanya yang pertamakali bertemu

9
dengan, “Bagaimana mungkin Islam –putra
keenam Agus Salim, Islam Basari Salim, begitu
fasih berbahasa Inggris kalau dia tidak pernah
disekolahkan?”
Pertanyaan tersebut segera dijawab Agus
Salim, dengan perumpamaan, “Apakah Anda
pernah mendengar tentang sebuah sekolah di
mana kuda diajari meringkik? Kuda-kuda tua
meringkik sebelum kami, dan anak-anak kuda
ikut meringkik. Begitu pun saya meringkik dalam
bahasa Inggris dan Islam pun ikut meringkik,
juga dalam bahasa Inggris.” Artinya ia
menerapkan pendidikan bahas Inggris dalam
interaksi kesehariaan bersama anak-anaknya.
Agus Salim menerapkan metode belajar
yang menyenangkan pada anak-anaknya. Proses
pembelajaran tidak harus berlangsung di dalam
ruangan kelas seperti halnya di sekolah formal,
namun Agus Salim sering membawa anak-
anaknya untuk belajar di luar rumah, atau di
mana saja.
Dalam hal pelajaran berhitung, membaca
dan menulis diberikan dalam pola bermain
sehingga anak-anak Agus Salim pun dengan
relatif cepat mampu menyerap materi yang
disampaikan. Untuk pelajaran budi pekerti,
sejarah, dan materi ilmu sosial lainnya, Agus
Salim lebih sering memberikan melalui cerita dan

10
diskusi, layaknya interaksi antara ayah dan anak
dalam keluarga.
Selain itu, untuk melatih daya kritis anak,
ia memberikan ruang kepada anak-anaknya
untuk bertanya serta mengkritik. Agus Salim
tidak ingin anak-anaknya hanya sekadar pasif
mendengarkan tanpa adanya respon balik.
Hal paling utama dalam konsep
pembelajaran yang diterapkan Agus Salim kepada
anak-anaknya adalah membaca. Agus Salim
menjadikan kegiatan membaca sebagai kebiasaan
dalam keluarga. Ia memiliki perpustakaan
pribadi di rumahnya, berbagai buku tersedia
termasuk buku-buku berbahasa asing. Sesuatu
yang belum lumrah bagi orang-orang pada masa
tersebut. Pemikirannya memang sungguh
visioner.
Mungkin atas dasar inilah, untuk
memajukan pendidikan anak bangsa pada masa
itu. Menjadi salah satu pendorong Agus Salim
juga turut mendirikan sekolah dan memeberikan
sumbangsih pemikiran dan tenaganya untuk
mengajar di samping kesibukan utamanya di
bidang politik.
Akhir Hayat
Begitulah, cara mendidik yang tertanam
dan melekat pada diri Agus Salim. Beliau adalah
orang yang pintar dari sisi akademis dan

11
penganut Islam yang taat, namun ia juga seorang
moderat yang tidak melihat segala sesuatu dari
sudut yang sempit.
Setelah menjalani kehidupannya yang
penuh prestasi dan teladan. Agus Salim
menghembuskan napas terakhirnya pada 4
November 1954 di Jakarta. Meninggal pada usia
70 tahun di RSU Jakarta. Jasad beliau
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta.
Jenazah Agus Salim adalah yang pertama
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
(TMPN) Nasional Kalibata Jakarta. TMPN mulai
dibangun tahun 1953 dan diresmikan
penggunaannya pada 10 November 1954.
Penghargaan
Perjuangan Agus salim dalam meraih
kemakmuran bagi rakyat Indonesia patut kita
apresiasi bersama sebagai rasa syukur kita
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Semasa hidupnya, Agus Salim tak pernah
di beri tanda jasa. Secara Anumerta kemudian ia
menerima penghargaan dari pemerintah, yaitu
Bintang Mahaputera Tingkat I pada tanggal 17
Agustus 1960 dan penghargaan Satyalencana
Peringatan Perjuangan Kemerdekaan pada 20
Mei 1961.

12
Selanjutnya, ia dianugerahi Gelar
Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Presiden
Soekarno. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai
salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada
tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor
657 tahun 1961.
Kemudian, nama Agus Salim juga
diabadikan sebagai nama stadion sepak bola -
Stadion Agus Salim. Sebuah stadion sepak bola di
Kota Padang, Sumatera Barat, yang merupakan
markas klub sepak bola Semen Padang dan PSP
Padang. Stadion ini dinamakan sesuai nama
beliau untuk menghormati jasa-jasa Haji Agus
Salim.

13
14
BAGINDO AZIZ CHAN

“Tidak merdeka, tanpa mereka.”

“Entahlah kalau mayat saya sudah membujur,


barulah Padang akan saya tinggalkan.”

- Bagindo Aziz Chan -

15
BAGINDO AZIZ CHAN (1910 – 1974)

Masa Kecil dan Pendidikan


Bagindo Aziz Chan, dilahirkan pada 30
September 1910, di Kampung Along Laweh, Koto
Padang Sumatera Barat. Ia lahir sebagai anak
keempat dari enam bersaudara, buah pernikahan,
dari ayahnya Bagindo Montok dengan ibunya,
Djamilah.
Bagindo Aziz Chan mengenyam pendidikan
HIS di Padang, MULO di Surabaya, dan AMS di
Batavia. Tamat dari AMS, lalu sempat dua tahun
duduk di Rechtshoogeschool te Batavia (RHS).
Ketika resmi menikah, sesuai dengan adat
yang berlaku di daerah Pariaman, maka Aziz
Chan memperoleh gelar 'Bagindo'.

Kiprah
Bagindo Aziz Chan merupakan Wali Kota
Padang, namun sebelum itu ia sempat membuka
praktik pengacara dan aktif di beberapa
organisasi, di antaranya sebagai pengurus Jong
Islamieten Bond pimpinan Agus Salim. Kemudian
ia kembali ke kampung halamannya pada tahun
1935, Di kampung halaman Aziz Chan memulai

16
pengabdiannya sebagai guru di beberapa sekolah
di Padang dan berkali-kali pindah mengajar ke
luar kota. Iapun sempat aktif di Persatuan
Muslim Indonesia (PERMI) hingga organisasi
tersebut dibubarkan Pemerintah Kolonial
Belanda pada tahun 1937.
Ia terus melakukan perlawanan dalam
masa bergerak tersebut. Salah satunya dengan
menerbitkan surat kabar perjuangan yang
bernama Republik Indonesia Jaya.
Setelah 2 tahun kemerdekaan Indonesia, di
tahun 1947 usaha yang dilakukan untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia
semakin berat. Menghadapi kedatangan kembali
Belanda yang membonceng pasukan Sekutu
untuk menggelar operasi militer yang dikenal
dengan Agresi Militer Belanda.
Hal tersebut sebenarnya melanggar isi
Perjanjian Linggarjati untuk melakukan gencatan
senjata. Belanda mulai dengan menyerang Pulau
Jawa dan Sumatera pada 21 Juli 1947. Satu di
antaranya adalah Kota Padang, yang memiliki
posisi strategis dan tentunya akan
menguntungkan pihak Belanda jika berhasil
menguasainya.
Keadan dimasa itu, setelah Pemerintah
Belanda meluaskan kekuasaan di Kota Padang
dan sekitarnya, TRI (Tentara Republik Indonesia)

17
mundur ke daerah pedalaman, namun tempat-
tempat penting masih dalam kekuasaan Republik
Indonesia.
Maka dicari siapa yang akan diangkat
menjadi wali kota Padang, karena markas tentara
dan Pemerintah Republik telah dipindahkan ke
Bukittinggi, ketika itu hampir tidak seorang pun
ada yang berani karena jabatan walikota pada
masa itu penuh dengan risiko. Akhirnya dari
rapat tersebut disepakatilah memilih Bagindo
Aziz sebagai walikota, dengan mengucap
Basmallah Aziz Chan, bersedia menerima jabatan
tersebut.
Penunjukkannya saat itu sempat
menimbulkan pertanyaan, lebih kepada usianya
yang masih sangat muda yakni 36 tahun.
Beberapa pihak menilai Bagindo Aziz Chan belum
terlalu berpengalaman dan terlalu beresiko
menempatkannya dalam posisi Wali Kota Padang.
Namun Presiden Soekarno percaya kalau Bagindo
Aziz Chan ini sudah cukup mumpuni untuk
memimpin Kota Padang yang saat itu berada di
tengah tekanan Sekutu dan Belanda yang
membonceng atas nama NICA.
Pada 15 Agustus 1946, Bagindo Aziz Chan
dilantik sebagai wali kota Padang, menggantikan
Mr Abubakar Jaar yang pindah tugas menjadi
residen di Sumatera Utara. Masa awal

18
jabatannya, Bagindo Aziz Chan sebagai
perwakilan pihak Republik Indonesia bersama
Gubernur Muda Dr M Djamil dan Kepala Polisi
Sumatera Barat Azhari mencoba berunding
dengan pihak Sekutu yang diwakili Brigadir
Thomson, Mayor Fisher, dan Kapten Gilman.
Untuk membicarakan masalah keamanan dan
keselamatan warga kota sehubungan keberadaan
pasukan Sekutu. Kesepakatan yang diambil pihak
Sekutu berjanji bekerja sama dan menjaga
keamanan Kota Padang.
Di balik itu untuk melanggengkan kembali
kekuasaanya, pihak Belanda berusaha untuk
membujuk sang wali kota agar mau bekerja sama.
Namun secara tegas Bagindo Aziz Chan
menyatakan, ia tidak akan pernah melepaskan
Kota Padang yang sedang dipimpinnya.
Dampaknya, Aziz Chan menjadi sasaran tentara
Belanda sebagai musuh nomor satu yang harus
segera disingkirkan.
Bagindo Aziz Chan merupakan orang yang
memegang teguh prinsip dan bertekad
menegakkan pemerintahan, meski dalam
keadaan sesulit apa pun. Kegigihannya dalam
mengemban tanggung jawab wali kota tergambar
dalam pernyataanya, "Entahlah kalau mayat saya
sudah membujur, barulah Padang akan saya
tinggalkan."

19
Akhir Hayat
Sebagai upaya untuk menyingkirkan
Bagindo Aziz Chan, sebuah skenario disusun oleh
Belanda. Aziz Chan diminta datang untuk
menenangkan situasi setelah terjadinnya insiden
yang yang berlangsung di Simpang Lapai Padang
pada 19 Juli 1947. Insiden tersebut melibatkan
seorang tentara Belanda bernama van Erp.
Strategi tersebut ternyata berhasil mehilangkan
Bagindo Aziz Chan.
Beliau wafat akibat pukulan benda keras
pada kepala kanan bagian belakang. Sementara,
untuk mengelabui penyebab kematiannya,
ditemukan tiga bekas tembakan di badannya yang
dilakukan Belanda untuk menutupi kematiannya.
Bagindo Aziz Chan dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Bahagia Bukittinggi, Sumatera
Barat.

Penghargaan
Dalam rangka mengenang perjuangan dan
jasa-jasa Bagindo Aziz Chan, sebagai pengingat
dan pelajaran bagi generasi muda, beberapa
penghargaan diberikan kepada sang Bagindo
Selain diabadikan menjadi nama jalan di
Bukittinggi dan Padang, dibangun juga tugu Tinju
atau Monumen Bagindo Aziz Chan di Kota
Padang. Tugu berbentuk kepalan tangan atau

20
yang lebih dikenal dengan Tugu Simpang Tinju
untuk mengenang jasa sang walikota.
Karena jasa-jasanya yang begitu besar bagi
negara, Bagindo Aziz Chan pada 9 November
2005, menerima Bintang Maha Putera
Adipradana. Kemudian, dianugerahi Gelar
Pahlawan Nasional Indonesia pada 9 November
2005 oleh pemerintah RI. Berdasarkan SK
Presiden Republik Indonesia No.082/TK/Tahun
2005.
Sosok pemimpin muda yang revolusioner,
sikap pemberani, konsisten dalam bertindak,
berpendirian teguh, dan tidak pernah gentar
menghadapi musuh menjadikan Bagindo Aziz
Chan sebagai tokoh yang patut diteladani.
Perjuangan dan pengorbanannya akan selalu
menjadi inspirasi dan semangat juang bangsa ini.

21
22
MOHAMMAD YAMIN

“Cita-cita persatuan Indonesia itu bukan omong


kosong, tetapi benar-benar didukung oleh
kekuatan-kekuatan yang timbul pada akar sejarah
bangsa kita sendiri.”

- Mohammad Yamin -

23
MOHAMMAD YAMIN (1903 – 1962)

Masa Kecil dan Pendidikan

Mr. Mohammad Yamin lahir pada 24


Agustus 1903 di Talawi, Sawahlunto, Sumatera
Barat. Mohammad Yamin merupakan anak dari
pasangan, ayahnya bernama Tuanku Oesman
Gelar Baginda Khatib dan Ibunya bernama Siti
Saadah.

Dalam riwayat pendidikanya Mr.


Muhammad Yamin selalu berpindah-pindah
sekolah karena pembelajaran, menurutnya apa
yang ia dapatkan di sekolah tidak ada yang sesuai
dengan kebutuhan dan kepribadianya.
Menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-
Inlandsche School (HIS) Palembang. Hingga pada
akhirnya ia memutuskan untuk menetap dan
menyelesaikan sekolahnya di AMS (Algemene
Middelbare School) yaitu sebuah Sekolah Tinggi
Hukum di Yogyakarta pada tahun 1927.
Menurutnya sekolah ini adalah yang paling
sesuai dengan kebutuhannya, karena di sekolah
ini ia dapat mempelajari apa yang menjadi
minatnya, seperti budaya, bahasa, dan sejarah.
Saat di AMS di Yamin mulai belajar tentang

24
purbakala dan berbagai bahasa mulai dari bahasa
Yunani, bahasa Latin dan bahasa Kaei.

Setelah lulus dari AMS, Yamin berniat


melanjutkan pendidikannya ke Leiden, Belanda
namun niat tersebut ia urungkan karena sang
ayah meninggal dunia. Akhirnya Yamin
melanjutkan pendidikannya di Rechtshoogeschool
te Batavia yaitu Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta
(sekarang Fakultas Hukum Universitas
Indonesia), pada tahun 1932 ia mendapatkan
gelar Meester in de Rechten atau Sarjana Hukum-
nya.
Pada tahun 1937, Mohammad Yamin
menikah dengan Siti Sundari yaitu seorang putri
bangsawan dari Kadilangu, Demak, Jawa Tengah
dan dari perkawinan tersebut mereka dikaruniai
seorang putra bernama Dang Rahadian
Sinayangsih Yamin.
Kiprah
Sebagai seorang pemuda yang
menyaksikan bangsanya berada di bawah
kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda. Saat
itu usianya 25 tahun. Muhammad Yamin telah
berhasil mencetuskan sumpah atau ikrar pemuda
yang diucapkan di malam penutupan Kongres
Pemuda II pada tahun 1928.

25
Muhammad Yamin lahir pada era ketika
Indonesia hanya punya dua pilihan: bersatu padu
atau bercerai berai. Maka dari itu, Muhammad
Yamin merupakan sosok yang sangat
memperhatikan pendidikan masyarakat di
Indonesia.
Dalam urusan pendidikan, beberapa di
antara usulan Muhammad Yamin yang diuraikan
dari pemikiran-pemikiran besarnya. Hal pertama
adalah mengenai garis-garis besar pendidikan
dan pengajaran. Ia berpendapat bahwa
pendidikan harus didasarkan pada pengajaran
yang bersendikan agama. Oleh karena itu
pendidikan dan pengajaran nasional harus
berbasis pada agama dan kebudayaan bangsa
serta menuju keselamatan dan kebahagiaan
Indonesia.
Pendidikan perlu diarahkan untuk
mendukung adanya kebudayaan bangsa.
Sehingga pendirian lembaga pendidikan harus
dibuka dengan seluas-luasnya dengan melibatkan
masyarakat untuk mendirikan sekolah partikelir.
Kepada masyarakat yang tidak mampu harus
dibebaskan dari membayar.
Pemikiran kedua tentang tingkatan
sekolah, menurutnya susunan sekolah harus
diatur dari tingkatan sekolah rakyat sampai
tingkatan sekolah menengah tinggi, dan diadakan

26
sekolah pengetahuan umum dan khusus. Selain
itu, untuk mendapatkan tenaga-tenaga yang
memilik kompetensi perlu didirikan sekolah
kepandaian antara lain, sekolah pertanian,
pertukangan, teknik, musik, kesehatan,
perikanan, dan yang tidak kalah pentingya adalah
bahwa untuk perluasan pendidikan didirikan
sekolah-sekolah untuk mendidik guru, baik untuk
guru biasa, pendidikan secara kilat, dan juga
pendidikan tinggi atau universitas.
Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo,
Muhammad Yamin diangkat sebagai Menteri
Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan. Selama
menjadi Menteri Pengajaran Pendidikan dan
Kebudayaan (PP dan K), Muhammad Yamin telah
menetapkan dasar-dasar pengembangan
pendidikan yang berpengaruh sangat signifikan.
Pada masanya UU No.1 Tahun 1954 yang
menetapkan bahwa UU No.4 tahun 1950 RI
dahulu telah berlaku di seluruh Indonesia, hal ini
untuk keseragaman dilapangan pendidikan,
pengajaran dan kebudayaan.
Di samping itu dalam rangka
mengembangkan pendidikan yang lebih maju dan
berkualitas, kementrian PP dan K yaitu
Muhammad Yamin menetapkan rencana 10
tahunan (1950-1960) yang bertujuan untuk
menyiapkan pondasi bagi pembangunan yang
dinamakan “kewajiban belajar”. Untuk

27
mempertahankan mutu pendidikan di perguruan
tinggi maka para pengajar pada sekolah lanjutan
bagian atas harus mendapatkan pendidikan
yangbersifat universiter. Maka dari itu,
kementrian PP dan K telah menyiapkan pendirian
Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG)
Mr. Muhammad Yamin adalah Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan
K) Republik Indonesia 1953-1955 dan juga
menjabat sebagai Ketua Jurusan Sejarah budaya
Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) dan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan-
Universitas Padjajaran (FKIP-UNPAD) Bandung
tahun 1954-1962. Kemudian FKIP memisahkan
diri dengan menjadi Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (IKIP) Bandung pada tahun 1963 dan
kemudian menjadi Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) pada tahun 1999.
Bagi kebanyakan orang pada masa awal
kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1950-an,
mendirikan lembaga pendidikan guru setingkat
universites bukan sesuatu yang mudah dan
sangat berat, tapi pandangan tersebut tidak
berlaku bagi sosok Muhammad Yamin.
Kesempatan saat menjadi menteri PP dan K
digunakan dengan sangat baik yaitu untuk
memulai tonggak sejarah dalam dunia pendidikan
guru.

28
Sebuah gagasan yang diwujudkan setelah
sembilan tahun Indonesia menyatakan menjadi
negara yangmerdeka. Sebelum ini pemerintah
Hindia Belanda tidak suka dengan pendidikan
guru, karena hal ini akan mencerdaskan
kehidupan orang-orang koloni HIndia Belanda.
Hingga pada akhir tahun 1940-an, belum
terpikirkan untuk mendirikan pendidikan guru
tingkat universitas. Mulalui Muhammad Yamin,
PTPG pun hadir ditengah kebutuhan bangsa
Indonesia yang mendesak akan pendidikan tinggi
bagi para guru.
Menurut Muhammad Yamin guru sangat
berperan dalam membantu perkembangan anak
didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara
optimal. Minat, bakat, kemampuan, dan potensi-
potensi yang dimiliki oleh anak didik tidak akan
mencapai perkembangan yang optimal tanpa
bantuan guru untuk mentumbuh
kembangkannya.
Mohammad Yamin pernah menduduki
bebarapa jabatan sebagai menteri, diantaranya
Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri
Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–
1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-
1960)

29
Akhir Hayat
Mr. Moh. Yamin sempat sakit parah dan
dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat,
RSPAD Jakarta. Hingga akhirnya
menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal
17 Oktober 1962, di umur 69 tahun. Sebelum
meninggal beliau sempat menitipkan pesan
kepada Chaerul Saleh yang disampainkannya ke
Buya Hamka, bahwa jika wafat ia ingin
dimakamkan di kampung halamannya yang telah
lama tidak dikunjungi.
Dari pesan yang disampaikan, ia sangat
khawatir jika masyarakat Talawi tidak berkenan
menerima jenazahnya. Karena ketika terjadi
pergolakan di Sumatara Barat, Muhammad
Yamin turut mengutuk aksi pemisahan dari
wilayah dari NKRI. Sehingga, ia mengharapkan
buya Hamka bisa menemaninya sampai ke dekat
liang lahatnya. Buya Hamka dan Menteri Chairul
Saleh lalu datang ke rumah sakit dan
mendampingi beliau menjelang akhir hayatnya.
Awalnya pemerintah telah mempersiapkan
acara pemakaman kenegaraan di TMP Kalibata,
Jakarta. Namun, karena wasiat terakhir beliau
yang ingin dimakamkan di kampung halaman
Talawi, Sawahlunto. Maka Presiden Soekarno
memerintahkan Gubernur Sumatera Barat ketika
itu Drs. Harun Zen untuk mempersiapkan
upacara kenegaraan. Buya Hamka turut

30
mendampingi dan Menteri Chaerul Saleh menjadi
inspektur upacaranya.
Penghargaan
Mr. Muhammad Yamin karena jasa-
jasanya dianugerahi berbagai penghargaan di
antaranya Gelar Pahlawan Nasional pada tahun
1973 sesuai dengan SK Presiden RI No.
088/TK/1973. Kedua, Gelar Bintang Maha Putra
RI. Ketiga, Gelar Tanda Penghargaan dari Corps
Polisi Militer sebagai pencipta lambang Gadjah
Mada dan Pancadarma Corps. Keempat, Gelar
Tanda Penghargaan Panglima Kostrad atas
jasanya menciptakan Petaka Komando Strategi
Angkatan Darat.
Selain gelar, ia juga banyak menciptakan
karya-karya, beberapa diantara karya-karyanya
yang terkenal yaitu Gadjah Mada.

31
32
RAHMAH EL YUNUSIYYAH

“Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka


kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus
mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan
dituntut dari diri saya”

- Rahmah El Yunusiyyah -

33
RAHMAH EL YUNUSIYYAH (1900 – 1969)

Masa Kecil dan Pendidikan


Rahmah El Yunusiyah dilahirkan pada
tanggal 20 Desember 1900 atau 1 Rajab 1318H, di
Bukit Surungan, Padang Panjang, Sumatera
Barat. Sebagai saksi bahwa dari sanalah calon
Mujahidah lahir dan tumbuh. Merupakan anak
bungsu dari lima bersaudara yang terlahir dari
seorang Ayah yang bekerja sebagai Hakim dan
ahli Ilmu Falak (astronomi) bernama Muhammad
Yunus bin Imanuddin dengan seorang ibu
bernama Rafi’ah.
Masa kecil Rahmah diisi dengan
pendidikan, ia mendapat pendidikan formal
sekolah dasar dalam kurun waktu tiga tahun di
tanah kelahirannya, Padang Panjang. Ketika ia
berusia 15 tahun, ia mendapatkan pendidikan
bahasa Arab dan Latin dari Diniyah School (1915)
dan melalui dua orang kakaknya, Zaenuddin
Labay dan Muhammad Rasyid. Hampir setiap
sore, saat Rahmah sudah remaja secara rutin
mengaji pada Haji Abdul Karim Amrullah yang
merupakan ayah dari Haji Abdul Malik Karim
Amrullah atau HAMKA di surau Jembatan Besi,
Padang Panjang.
Ketika memasuki usia 23 tahun, Rahmah
nampak begitu istimewa untuk ukuran

34
kebanyakan perempuan seusianya. Keinginan
besarnya untuk memajukan keilmuan kaumnya
dan mengeluarkan kaumnya dari kebodohan
begitu besar. Menurut Rahmah, perempuan
memiliki peran yang penting dalam kehidupan,
utamanya dalam rumah tangga. Karena rumah
tangga adalah bagian dari tiang masyarakat dan
masyarakat adalah tiang negara. Tentulah ia
tidak mau, kaumnya yang mempunyai peran
penting dalam tiang negara dan pendidikan anak-
anaknya tertinggal dari laki-laki.

Kiprah
Ia merasa risau saat melihat perempuan-
perempuan di daerahnya belum mendapatkan
pendidikan yang sama seperti yang didapatkan
laki-laki, khususnya pada pendidikan agama.
Padahal Islam sendiri tidak pernah membatasi
perempuan untuk menuntut ilmu. Ia gelisah, saat
para perempuan masih terbelenggu oleh
kebodohan dan ia mencarikan jalan keluar
melalui pendidikan. Rahmah sadar bahwa hanya
melalui pendidikan, cara untuk keluar dari
ketertinggalan dan secara bersama-sama
mencapai kemajuan.
Akhir Hayat
Pada 1961, Rahmah El Yunusiyyah
kembali memimpin perguruannya setelah tiga

35
tahun ditinggalkannya pasca-pergolakan PRRI.
Pada 1964, Rahmah mengidap sakit tumor
payudara dan menjalani operasi di RS Pirngadi,
Medan. Pada Desember 1967, setelah pulih dari
sakit Rahmah berkunjung ke Jakarta untuk
terakhir dalam rangka pembentukan Dewan
Kurator Perguruan Tinggi Diniyah Putri.
Pada Juli 1968, kondisi fisik yang semakin
lemah, masih sempat berangkat menuju Kelantan
ditemani keponakannya Isnaniah Saleh. Rahmah
El Yunusiyyah menemui alumni Diniyah Putri di
beberapa negara bagian Malaysia. Mereka
menyinggahi Penang, Perak, Kuala Terengganu,
dan Kuala Lumpur. Namun, dalam kunjungannya
yang ketiga dan terakhir ke Malaysia itu, ia tidak
dapat bicara banyak karena kesehatannya yang
menurun.
Rahmah El Yunusiyyah meninggal
mendadak dalam usia 71 tahun dalam keadaan
berwudu hendak salat Magrib pada 26 Februari
1969 di Padangpanjang, Sumatera Barat.
Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga
yang terletak di samping rumahnya. Setelah
Rahmah El Yunusiyyah wafat, kepimpinan
Diniyah Putri dilanjutkan oleh Isnaniah Saleh
sampai 1990. Saat ini, Diniyah Putri dipimpin
oleh Fauziah Fauzan sejak September 2006 dan
telah memiliki jenjang pendidikan mulai dari TK
hingga perguruan tinggi.

36
Penghargaan
Mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari
Al Azhar University Tahun 1957. Merupakan
gelar yang diberikan oleh suatu perguruan tinggi
kepada yang memenuhi syarat tanpa orang
tersebut perlu mengikuti dan lulus dari
universitas bila seseorang telah dianggap berjasa
luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat
manusia. Gelar yang diperoleh Rahmah El
Yunusiyyah merupakan syaikkah yaitu satu-
satunya gelar yang pernah diberikan oleh Al
Azhar untuk perempuan.
Rahmah El Yunusiyyah dianugerahi gelar
Bintang Mahaputera Adiparna. Merupakan
penghargaan tertinggi Negara yang diakui secara
nasional dan internasional diberikan kepada
seseorang yang telah berjasa luar biasa dalam
bidang pendidikan, ekonomi, politik, ilmu
pengetahuan dan teknologi termasuk perjuangan
bangsa. Penghargaan tersebut diserahkan pada
13 Agustus 2013 oleh Presiden Republik Indonesia
ketika itu Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono di
Istana Negara dan diterima oleh ahli waris
sekaligus Pimpinan Diniyyah Puteri.

37
38
RASUNA SAID

Bahwa seorang pelajar setidaknya perlu


dilengkapi dengan berbagai macam kepandaian
untuk mereka yang akan berkecimpung dalam
pergerakan.

- Rasuna Said -

39
RASUNA SAID (1910-1965)

Masa Kecil dan Pendidikan


Rasuna Said, dilahirkan pada tanggal 14
September 1910, di desa Panyinggahan Maninjau.
Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Ia lahir dari
ayahnya Muhammad Said atau yang kerap disapa
Haji Said saat masih muda merupakan seorang
aktivis pergerakan dan pengusaha di Sumatera
Barat. Lahir dan tumbuh dilingkungan keluarga
yang cukup terpandang. Karena kesibukan
ayahnya, sejak kecil Rasuna dibesarkan di
keluarga pamannya (kakak Haji Said).
Berasal dari keluarga terpandang pada
masa itu, menjadikan kebutuhan pendidikannya
terpenuhi dengan baik. Sekolah pertama Rasuna
Said ialah Sekolah Desa yang berada di dekat
tepian Danau Maninjau. Ayahnya mulai
memasukkan ke sekolah tersebut pada tahun
1916. Setelah lima tahun ia menamatkan sekolah
dasar kemudian melanjutkan sekolah ke
Pesantren Ar-Rasyidiyah dibawah pimpinan
Syekh Abdul Rasyid. Ia menjadi santri perempuan
satu-satunya, karena pada masa itu mayoritas
pendidikan pesantren adalah untuk anak laki-
laki. Pada tahun 1923 ia malanjutkan ke Sekolah
Diniyah di Padang Panjang milik Rahmah El
Yunusiyyah. Namun pada 28 Juni 1926 terjadi

40
gempa disertai letusan Gunung Marapi yang
sangat dahsyat di Padang Panjang. Akhirnya para
siswa mesti kembali ke kampung halamannya.
Rasuna Said sempat juga mengikuti
sekolah yang dipimpin Haji Abdul Majid, namun
hanya sebentar. Setelah itu ia meneruskan
pendidikannya di Sekolah Putri (Meisjesschool)
untuk memperoleh keahlian memasak, menjahit,
dan urusan rumah tangga. Riwayat pendidikan
Rasuna memang cukup panjang dan kaya akan
pengalamanan, untuk kategori wanita
dimasanya.
Pada tahun 1930 Rasuna Said masuk ke
sekolah Sumatra Thawalib. Sekolah pimpinan
Haji Udin Rahmani, yang dirintis dari Surau
Djembatan Besi. Kepribadian seorang pejuang
diperoleh dari sekolah ini. Melalui latihan pidato
dan debat yang wajib diikuti siswa setiap pekan.
Rasuna Said memang terkenal dangan
kecerdasan dan kepandaiannya, teman-temannya
mengakui ia sebagai sebagai orator ulung. Bahkan
jika umumnya pendidikan di Sekolah Thawalib
empat tahun, namun Rasuna Said
menyelesaikannya hanya dalam kurun waktu dua
tahun. Pendidikan terakhirnya diselesaikan di
Islamic College Padang, pada usia 23 tahun.
Selama di sinilah ia aktif dalam kegiatan
kepenulisan dan jurnalistik.

41
Secara penampilan, Rasuna berpenampilan
sangat sederhana, sebagaimana wanita Minang
pada masa itu dengan memakai baju kurung,
disertai kain batik panjang, serta kerudung yang
disematkan dengan peniti dengan rapi.
Kiprah
Kepedulian Rasuna Said pada bidang
pendidikan sudah mulai tertanam saat dirinya
menjadi murid di Sekolah Diniyah Padang
Panjang. Sekolah tersebut memiliki budaya
dimana setiap murid yang belajar harus
mengajarkan ilmunya pada murid-murid di
tingkat bawahnya. Ketika, ia berada di kelas lima
dan enam, maka ia mendapat tugas untuk
mengajar di kelas adik tingkatnya.
Rasuna Said kemudian menjadi pengajar di
Sekolah Diniyah Putri. Ia juga turut memberikan
pendidikan politik bagi murid-muridnya sebagai
upaya untuk membebaskan bangsa dari
penjajahan. Namun Rahmah El Yunusiyah cemas
pada perilaku murid-muridnya pasca mendapat
pelajaran politik. Kemudian beberapa tokoh yang
disegani berdiskusi dan memutuskan agar
Rasuna Said di pindahkan dari Diniyah Putri.
Perjuangan Rasuna Said di bidang
pendidikan tidak sepenuhnya berhenti di Diniyah,
Setelah itu dirinya memberikan Kursus
Pemberantasan Buta Huruf dengan nama

42
Sekolah Menyesal, lalu membuka Sekolah
Thawalib kelas Rendah di Padang dan mengajar
di Sekolah Thawalib Puteri, serta memimpin
Kursus Putri dan Kursus Normal di Bukittinggi.
Dalam bidang jurnalistik Rasuna juga
memperlihatkan ketertarikan yang tinggi. Ketika
masih di Islamic College. Ia sempat terpilih
sebagai pimpinan redaksi majalah
“Raya”.Kemudian karir jurnalistiknya semakin
terasah ketika Rasuna Said memutuskan untuk
hijrah ke Medan. Ia menuangkan bakat
jurnalistiknya dengan menerbitkan sekaligus
sebagai pimpinan redaksi sebuah majalah
bernama Menara Poetri. Majalah ini berdiri pada
tahun 1937 dengan fokus bahasan tentang
keputrian dan keislaman.
Selain perjuangan di bidang pendidikan
dan jurnalistik, ia juga aktif di bidang politik. Ia
juga pernah bergabung dalam organisasi Sarekat
Rakyat dan Persatuan Muslimin Indonesia
(Permi) sebagai sekretaris cabang Maninjau.
Bahkan karena pidatonya yang tidak
menyenangkan Hindia Belanda di masa itu,
mengakibatkan dirinya dipenjara selama satu
tahun dua bulan di penjara Semarang, Jawa
Tengah.
Pada masa pendudukan Jepang
berpartisipasi dalam Pemuda Nippon Raya,

43
Giyûgun, dan Komite Nasional Indonesia. Setelah
masa kemerdekaan, ia aktif di parlemen sebagai
wakilrakyat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Sekaligus dalam organisasi Persatuan Wanita
Republik Indonesia (PERWARI) sebagai pimpinan
cabang Jakarta
Akhir Hayat
Rasuna Said telah berhasil menjalani hidup
dalam tiga jaman, ia merasakan kehidupan dari
masa kolonial Belanda, Jepang, sampai revolusi
kemerdekaan. Ia terus aktif dalam keanggotaan
Dewan Pertimbangan Agung, menghadiri dan
mengisi kegiatan-kegiatan pertemuan. Ketika
Rasuna Said memasuki usia 55 tahun, tanpa
disadari dirinya mengidap penyakit kanker
payudara. Hingga akhirnya menghembuskan
nafas terakhirnya pada hari Selasa, 2 November
1965 di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Rasuna Said, selama perjalanan hidupnya,
telah banyak memberikan kontribusi bagi
Indonesia, yang patut menjadi teladan bagi kita
generasi muda, generasi penerus.
Penghargaan
Penghargaan yang diterima Rasuna Said
diantaranya sebuah tanda Kehormatan

44
Satyalancana Peringatan Perjuangan
Kemerdekaan dan Satyalancana Perintis.
Pergerakan Kemerdekaan. Pengusulan
gelar pahlawan akhirnya disahkan pada tanggal
13 Desember 1974 berdasarkan Surat Keputusan
Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974 sebagai
pahlawan pergerakan nasional. Kemudian Nama
Rasuna Said juga turut diabadikan sebagai
namasebuah jalan protokol. Papan nama jalan
tersebut tertulis H.R. Rasuna Said di kawasan
Kuningan, Jakarta Selatan. Patung berbentuk
wajah Rasuna Said pun dibangun di Pasar
Festival.

45
46
ROHANA KUDUS

“Perputaran zaman tidak akan pernah membuat


wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah
wanita dengan segala kemampuan dan
kewajibannya. Yang harus berubah adalah
wanita harus mendapat pendidikan dan
perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat
jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi
pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya
hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu
pengetahuan”.
- Rohana Kudus -

47
ROHANA KUDUS (1884 – 1972)

Masa Kecil dan Pendidikan


Rohana Kudus dilahirkan pada tanggal 20
Desember 1884, di Koto Gadang, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat. Rohana memiliki nama
asli Siti Rohana. Ia lahir dari ibunya yang
bernama Kiam dan ayahnya bernama Rasjad
Maharaja Soetan. Rohana Kudus adalah kakak
tiri dari Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Republik
Indonesia yang pertama dan juga Mak Tuo (Bibi)
dari sastrawan terkenal Chairil Anwar, Pelopor
Angkatan 45. Sekaligus sepupu H. Agus Salim.
Rohana hidup sezaman dengan R.A Kartini,
dimana akses perempuan untuk mendapat
pendidikan yang baik sangat dibatasi.
Rohana tidak pernah mengenyam
pendidikan formal. Kecerdasan Rohana sudah
terlihat menonjol sejak kecil. Meski tidak pernah
mengenyam sekolah formal, keinginan
dansemangat belajarnya sangat tinggi. Ayahnya,
Mohammad Rasjad Maharadja Soetan seorang
pegawai pemerintah Belanda dan juga pencetus
Sekolah Rakyat khusus bagi pribumi di Koto
Gadang. Ketika itu Rohana yang masih kecil
sering dibawakan majalah-majalah berbahasa
Belanda oleh ayahnya. Ia adalah orang yang cepat
mengusai materi-materi seperti membaca,

48
menulis, bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa
Melayu, dan berhitung yang diajarkan oleh
ayahnya.
Rohana juga berkepripadian sangat supel
dan haus akan ilmu pengetahuan. Ketika ayah
Rohana ditugaskan ke Alahan Panjang, mereka
bertetangga dengan pejabat Belanda, yang
merupakan atasan ayahnya. Ia juga sempat
berteman baik dengan istri pejabat Belanda
tersebut. Melalui pertemanan itu Rohana belajar
materi-materi keputrian seperti menyulam,
menjahit, menenun, merajut, memasak.
Kemudian Rohana juga semakin mengasah
kegemarannya dalam belajar, ia semakin banyak
membaca majalah terbitan Belanda yang memuat
berbagai hal tentang politik, gaya hidup, dan
pendidikan di Eropa. Rohana juga sangat teguh
dalam beragama, secara intens ia belajar agama
kepada para alim ulama di surau dan masjid.
Rohana kemudian berkembang menjadi seorang
perempuan yang mempunyai komitmen kuat pada
pendidikan terutama untuk kaum perempuan.
Buah pemikirannnya terhadap emansipasi
bukanlah untuk menuntut persamaan hak antara
perempuan dengan laki-laki. Tetapi lebih kepada
pengukuhan fungsi alamiah perempuan menurut
kodratnya, agar dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Maka secara tegas ia menyatakan

49
bahwa perempuan memerlukan pendidikan,
perempuan juga butuh ilmu pengetahuan dan
keterampilan.
Kiprah
Pada tahun 1908, di usia 24 tahun Rohana
menikah dengan Abdul Kudus yang berprofesi
sebagai notaris. Dari nama suaminya inilah
Rohana mendapatkan nama belakang Kudus. Ia
mendapat dukungan yang sangat besar dari
suami dalam perjuangannya untuk merubah
nasib perempuan terutama dalam hal pendidikan.
Rohana merupakan penggagas berdirinya
Sekolah Kerajinan Amal Setia di tahun 1911
ketika berusia 27 tahun. Sebuah prestasi yang
sungguh luar biasa. Ketika itu Rohana
mengundang 60 tokoh masyarakat Koto gadang,
menjelaskan cita-citanya untuk mendirikan
sekolah khusus perempuan. Para tokoh
masyarakat sangat mengagumi visi dan misinya
dan menyetujui berdirinya sekolah tersebut.
Materi pelajarannya meliputi tulis-menulis, budi
pekerti, dan ketrampilan lainnya.
Ia juga memiliki kemampuan
kewirausahaan yang sangat baik. Ia menjadikan
sekolahnya berbasis industri rumah tangga serta
koperasi simpan pinjam dan jual beli yang
anggotanya semua perempuan. Dengan turut
memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa

50
yang memang memenuhi syarat ekspor. Banyak
petinggi Belanda yang kagum atas kemampuan
dan kiprah Rohana. Bahkan banyak petinggi
Belanda yang kagum atas kemampuan dan
pencapaian Rohana.
Keberhasilannya di sekolah kerajinan Amai
Setia tidak lama. Pada 22 Oktober 1916 seorang
muridnya menjatuhkannya dari jabatan Direktris
dan Peningmeester karena tuduhan
penyelewengan penggunaan keuangan. Beberapa
kali ia harus menjalani persidangan di
Bukittinggi didampingi suami dan dengan
dukungan seluruh keluarga. Akhirnya tuduhan
tersebut tidak terbukti, jabatan di sekolah Amai
Setia kembali diserahkan padanya, namun secara
halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke
Bukittinggi.
Setelah dari Sekolah Kerajinan Amai Setia,
perjuangan Rohana berlanjut lagi. Rohana ingin
mewujudkan kesenangan dan cita-citanya yang
lain yaitu Mendirikan surat kabar khusus
perempuan. Atas dasar kegemarannya dalam
membaca buku, menjadikan ia sangat tertarik
dengan dunia jurnalistik. Rohana juga sering
mengirimkan artikel yang mencerminkan
gagasan-gagasannya.
Tulisannya dikagumi banyak orang.
Bahkan tidak tergambar sama sekali kalau

51
Rohana bukan seorang yang berpendidikan tinggi.
Dari kesenangan membaca dan menulis inilah
yang mengantarkan Rohana menjadi jurnalis
perempuan pertama di Indonesia. Hingga pada
akhirnya berhasil mewujudkan impiannya,
mendirikan surat kabarnya sendiri Sunting
Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Hidup di
zaman ketika akses perempuan untuk mendapat
pendidikan sangat dibatasi. Rohana Kudus
banyak mengungkapkan ide-ide perjuangannya
lewat surat kabar Sunting Melayu yang
dipimpinnya.
Sunting Melayu menjadi surat kabar
perempuan pertama di negeri ini, yang didirikan
dengan pengorbanan dan perjuangan yang penuh
dedikasi oleh Rohana Kudus. Disebut sebagi surat
kabar perempuan karena pemimpin redaksi,
redaktur, penulis, yang semuanya adalah
perempuan. Surat Kabar ini, terbit melalui
kerjasama antara Rohana dengan Dt. St.
Maharaja pimpinan surat kabar Utusan Melayu.
Melalui korepondensi surat menyurat, ia
bernegosiasi untuk meminta agar surat kabar
Utusan Melayu menyediakan ruang-rubrik yang
membahas masalah perempuan. Sekaligus
mengajak untuk menerbitkan sebuah surat kabar
khusus perempuan. Dt. St. Maharaja menyambut
dengan sanngat antusias dan mendatangi Rohana
ke Koto Gadang. Di sinilah mereka

52
bersepakatuntuk mendirikan surat kabar
perempuan Sunting Melayu yang dipmpin
langsung oleh Rohana Kudus.
Bersama Sunting Melayu ini, perjuangan
Rohana sebagai perempuan yang peduli terhadap
kaumnya lebih terlihat lagi. Tulisan-tulisannya
sangat tajam, cerdas, dan mencerminkan cita-
citanya untuk memajukan kaum perempuan
Indonesia. Rohana berusaha merubah pandangan
masyarakat umum dalam melihat perempuan
sebagai makhluk kelas dua.

Akhir Hayat
Rohana telah banyak berjuang dan
melakukan tindakan-tindakan besar, yang sangat
layak untuk menjadi teladan generasi muda. Ia
telah berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya.
Setelah berjuang sepanjang hidupnya, Rohana
wafat, di Jakarta pada 17 Agustus 1972, di usia
88 tahun dan bertepatan dengan hari Ulang
Tahun Republik Indonesia yang ke 27 tahun.
Kini ia dikenal sebagai pejuang media
perempuan pertama Indonesia. Namanya tetap
besar walaupun tidak banyak tertulis di buku-
buku pelajaran Sejarah.

53
Penghargaan
Penghargaan yang diterima Rohana Kudus
diantaranya penghargaan sebagai Wartawati
Pertama Indonesia. Penghargaan ini diberikan
oleh pemerintah Sumatera Barat pada tanggal 17
Agustus 1974. Kemudian sebagai pengghargaan
sebagai Perintis Pers Indonesia. Diberikan oleh
Menteri Penerangan Harmoko dalam rangka
memperingati Hari Pers Nasional pada tanggal 9
Februari 1987.
Penghargaan lainnya adalah, Bintang Jasa
Utama. Penghargaan dari pemerintah Republik
Indonesia pada yang diberikan pada tahun 2008.

54
TAN MALAKA

Berpikir Besar Kemudian Bertindak

“Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam


kecerdasan, memperkukuh kemauan serta
memperhalus perasaan”

Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah


dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan
pintar untuk melebur dengan masyarakat yang
bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-
cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan
itu tidak diberikan sama sekali.
- Tan Malaka -

55
TAN MALAKA (1897-1949)

Masa Kecil dan Pendidikan

Tan Malaka lahir di Nagari Pandam


Gadang, Suliki Sumatera Barat, pada 2 Juni 1897.
Tan Malaka dilahirkan dalam sebuah keluarga
pemeluk Islam yang taat, Ayahnya HM. Rasyad
dan Ibunya, Rangkayo Sinah. Bernama asli Sutan
Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Tan Malaka
merupakan nama semi bangsawan yang
didapatkan dari garis keturunan ibu.
Ia didaftarkan ke sekolah Kweekschool
pada tahun 1908, merupakan sosok cerdas. Tahun
1913, setelah lulus dari sekolah tersebut, Tan
Malaka menerima gelar datuk yang diberikan
pada sebuah upacara tradisional.
Setelah tamat sekolah, ia melanjutkan
pendidikannya di Harleem, Belanda pada 1913.

Kiprah
Enam tahun setelah di Belanda, pada 1919
Tan Malaka kembali ke Indonesia untuk menjadi
guru bagi anak-anak kaum buruh perkebunan di
Sumatera. Tahun 1921, ia mulai dekat dengan
kehidupan politik. sejak saat itu ia terlibat aktif

56
dalam aksi-aksi mogok maupun perlawanan
buruh di beberapa tempat. Akibatnya ia sempat
dibuang ke Kupang tahun 1922. Selain itu, ia juga
sempat meloloskan diri ke Filipina dan Singapura.
Tan Malaka memiliki gagasan penting
dalam perjuangannya yaitu dengan pemikirannya
merdeka 100 persen. Tan Malaka adalah orang
yang sangat cerdas, terbukti bahwa ia menguasai
enam bahasa. Kepeduliaanya terhadap
pendidikan juga sangat besar, hal itu terlihat dari
pengabdiannya sebagai guru tanpa pamrih dan
sekaligus produktif dalam menghasilkan karya-
karya. Tan Malaka berjuang dan menyuarakan
pikirannya melalui berbagai buku, antara lain
Materialisme, Dialektika, dan Logika
(Madilog;1943), Menuju Republik Indonesia (Naar
de Republiek Indonesia; 1952), dan Geriliya,
Politik, dan Ekonomi (Gerpolek; 1948)
Semangat dan nilai-nilai perjuangan Tan
Malaka harus dipelajari pelajar-pelajar di
sekolah, agar sosoknya sebagai pahlawan asal
Sumatera Barat yang tangguh dan konsisiten
dalam menentang kolonialisme dapat menjadi
inspirasi bagi anak-anak muda penerus bangsa.
Akhir Hayat
Perjalan hidup Tan Malaka mungkin tidak
terlalu terkenal bila dibandingkan tokoh seperti
Soekarno dan Mohammad Hatta. Namun, kisah-

57
kisahnya ditulis dengan sangat menarik dan rinci,
oleh sejarawan Belanda, Harry Poeze dalam lima
jilid buku berjudul, "Tan Malaka, Gerakan Kiri,
dan Revolusi Indonesia.
Rahasia kematian Tan Malaka, tersimpan
tanpa diketahui selama bertahun-tahun dan baru
terungkap pada 1990 dari hasil penelitian
sejarawan, Harry Poeze ketika meneliti jejak Tan
Malaka di daerah Kediri, Jawa Timur. Sangat
tragis, ketika mengetahui bahwa Tan Malaka
meninggal karena ditembak oleh Soekotjo di dekat
Sungai Brantas, Desa Selopanggung, sekitar
Lereng Gunung Wilis, Kediri, Jawa Timur, pada
21 Februari 1949. Keadaan politik nasional ketika
itu memang sedang tidak kondusif, sehingga hal
itu terjadi.
Setelah menemukan makam, yang diduga
di dalamnya terkubur jasad Tan Malaka, maka
pada 12 November 2009 telah dilakukan
penggalian dan penelitian asam inti gen (DNA)
jenazahnya oleh tim forensik untuk memastikan
bahwa yang terkubur itu benar seorang Tan
malaka.
Dan pada tanggal 21 Februari 2017,
jenazah Tan Malaka secara simbolis dipindahkan
dari Kediri ke Sumatera Barat.

58
Penghargaan
Tan Malaka ditetapkan sebagai Pahlawan
Nasional pada tanggal 28 Maret 1963
berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 53 yang
saat itu ditandatangani oleh Presiden Soekarno.
Salah satu buku Tan Malaka, karya yang
berjudul Dari Penjara ke Penjara yang ditulis
tahun 1984 mendapat penghargaan dari majalah
Tempo sebagai salah satu buku yang paling
berpengaruh dan berperan dalam membangun
gagasan kebangsaan.

59
60
Daftar Pustaka

Hasjmy, A. (1985). Semangat Merdeka, 70 Tahun


Menempuh Jalan Pergolakan dan
Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: Bulan
Bintang.
Hazil Tanzil (1984) Seratus Tahun Haji Agus
Salim. Jakarta: Sinar Harapan.
Jahroni, Jajang. (2002), Haji Rangkayo Rasuna
Said: Pejuang Politik dan Penulis
Pergerakan. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Kamajaya. (1982). Sembilan Srikandi Pahlawan
Nasional. Yogyakarta: U.P. Indonesia.
Noer, Deliar. (1980). Gerakan Moderen Islam di
Indonesia 1900-1942. (Jakarta: LP3ES.
S Nasution. (2001). Sejarah Pendidiakan
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Suhartono. (1994). Sejarah Pergerakan Nasional:
dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908-
1945 Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Budilaksono, Imam. (2014). Kisah di Balik
Tewasnya Tan Malaka. Jakarta: Antara
News.

61
Panitia Buku Peringatan, 1996. 100 Tahun Haji
Agus Salim. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, h. 37.
Floriberta Aning, 2005. 100 Tokoh yang
Mengubah Indonesia. Yogyakarta: Narasi,
h. 24.

62

Anda mungkin juga menyukai