Anda di halaman 1dari 35

KLIPING

“BIOGRAFI KI HADJAR DEWANTARA”

Tugas ini Disusun untuk Memenuhi Tugas UTS Ilmu Pendidikan Islam II

DISUSUN OLEH :

MIFTHAHUL JANNAH 1910201225

KELAS PAI 5 D

DOSEN PEMBIMBING :

ELTA VALINDRIYA M.Pd

MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KERINCI

TA 2021 M /1443 H
KI HADJAR DEWANTARA

Nama Lengkap : Raden Mas Soewardi Soerjaningrat

Nama Panggilan : Ki Hadjar Dewantara


Tempat Tanggal Lahir : Yogyakarta, 2 Mei 1889

Wafat : 26 April 1959, meninggal dunia di usia 69 tahun

Orang tua : Anak dari pasangan Pangeran Soerjaningrat dan juga Raden Ayu
Sandiah.

Saudara : Soerjopranoto

Istri : Nyi Sutartinah

Anak : Ratih Tarbiyah, Syailendra Wijaya, Bambang Sokowati


Dewantara, Subroto Aria mataram, Sudiro Alimurtolo

PEMBAHASAN

Ki Hadjar Dewantara merupakan figur yang selalu menjadi kebanggaan bangsa


Indonesia terutama di dunia pendidikan, sebagai tokoh yang mempunyai jiwa pejuang yang
tidak kenal kata menyerah, sebagai seorang pemimpin yang dapat menuntun anak buahnya,
sebagai seorang yang kritis terhadap dunia pendidikan, yang telah menghasilkan berbagai
gagasan yang meliputi masalah politik dan budaya, sehingga beliau dikenal sebagai seorang
pejuang, pendidik sejati dan sekaligus menjadi budayawan Indonesia.

Bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara, ia memang dikenal sebagai


penggagas dan pemerhati utama pendidikan karakter Indonesia pertama. Lepas dari sosok Ki
Hajar Dewantara secara pribadi, tiga semboyan beliau yang fenomenal terasa mampu
menjadi pilar penopang dalam suksesnya seorang guru dalam menuntaskan pendidikan
karakter di Indonesia yakni: “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri
Handayani” yang mempunyai arti ketika berada di depan harus mampu menjadi teladan
(contoh baik), ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangu semangat, serta
ketika berada di belakang harus mampu mendorong orang-orang dan atau pihak-pihak yang
dipimpinnya. Oleh karena itu, pendidikan Tamansiswa yang dirintis oleh Ki Hajar Dewantara
ini didasarkan atas prinsip atau slogan diatas, karena seorang guru atau pun orang tua harus
menjadi teladan, lalu ketika di tengah-tengah anak harus membangun karsa (kehendak), dan
dengan prinsip tutwuri handayani, akan memberikan anak kecil tumbuh sesuai dengan usia
pertumbuhannya, namun tetap didampingi.

Sebagaimana yang diwasiatkan oleh Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan


keteladanan (budi pekerti) sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia.
Perkembangan yang tidak hanya dilihat dari jasmaninya, karena perkembangan jasmani
tanpa diimbangi dengan keteladanan (budi pekerti) dapat berdampak buruk terhadap
perkembangan manusia, yang pada akhirnya akan melahirkan manusia yang sombong dan
durjana.

Secara mendalam Ki Hadjar Dewantara tidak sepakat dengan system pendidikan yang
diwariskan oleh kolonial belanda, orientasi pada pendidikan warisan tersebut hanya pada segi
kognitif (penalaran) tanpa melihat dari segi yang lain, yaitu pendidikan keteladanan (budi
pekerti/akhlak) sehingga produk yang dihasilkan oleh sistem pendidikan tersebut adalah
lahirnya manusia yang sombong, tidak mempunyai perangai yang baik, sedangkan
pembentukan moral yang baik merupakan tugas dari pendidikan teladan (akhlak). Dengan
keteladanan dari seorang pendidik, anak didik diharapkan mampu menjadi manusia yang
luhur dan berguna bagi nusa dan bangsa.

Kecerdasan otak bukanlah hal yang utama dalam pendidikan akan tetapi bagaimana
peserta didik memiliki budi pekerti yang mulia merupakan tujuan utama dalam pendidikan.
Sehingga peserta didik yang nantinya menjadi orang yang cerdas dan tidak akan
menyalahgunakan kecerdasannya untuk mengintimidasi orang lain.

A. Biografi Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 mei 1889. Beliau


adalah putra kelima dari Soeryaningrat putra dari Paku Alam III. Pada waktu dilahirkan
diberi nama Soewardi Soeryaningrat, karena beliau masih keturunan bangsawan maka
mendapat gelar Raden Mas (RM) yang kemudian nama lengkapnya menjadi Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat.

Ki Hadjar Dewantara mengganti nama itu ketika beliau berusia 39 tahun, alasan
beliau mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara adalah karena keinginan beliau untuk
lebih merakyat atau lebih dekat dengan rakyat. Dengan mengganti nama tersebut, akhirnya
Ki Hadjar Dewantara dapat leluasa bergaul dengan rakyat kebanyakan. Sehingga dengan
demikian perjuangannya menjadi lebih mudah diterima oleh rakyat pada masa itu. Menurut
silsilah susunan Bambang Sokawati Dewantara, Ki Hadjar Dewantara masih mempunyai alur
keturunan dengan Sunan Kalijaga.

Dengan demikian selain Ki Hadjar dewantara merupakan keturunan bangsawan


beliau juga merupakan keturunan ulama karena masih mempunyai silsilah keturunan dengan
Sunan Kalijaga. Oleh karena itu sebagai seorang keturunan bangsawan dan ulama, Ki Hadjar
Dewantara dididik dan dibesarkan dalam lingkungan sosio cultural dan religius yang tinggi
serta kondusif. Pendidikan yang diperoleh Ki Hadjar Dewantara di lingkungan keluarga
sudah mengarah dan terarah ke penghayatan nilainilai kultural dan religius sesuai dengan
lingkungannya. Pendidikan dari keluarga yang tersalur melalui pendidikan adat dan sopan
santun, kesenian dan pendidikan keagamaan turut mengukir jiwa kepribadiannya.
Pada masa itu pendidikan sangatlah langka, hanya orang-orang dari kalangan
Belanda, Tiong Hoa, dan para pembesar daerah saja yang dapat mengenyam jenjang
pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Belanda. Ki Hadjar Dewantara (Soewardi
Soerjaningrat) kecil mendapat pendidikan formal pertama kali pada tahun 1896, akan tetapi
ia kurang senang karena teman sepermainannya tidak dapat bersekolah bersama karena
hanya seorang anak dari rakyat biasa. Hal ini yang kemudian mengilhami dan memberikan
kesan yang sangat mendalam di dalam hati nuraninya, dalam melakukan perjuangannya baik
dalam dunia politik sampai degan pendidikan. Ia juga menentang kolonialisme dan
feodalisme yang menurutnya sangat bertentangan dengan rasa kemanusiaan, kemerdekaan
dan tidak memajukan hidup dan penghidupan manusia secara adil dan merata.

Pada tanggal 4 November 1907 dilangsungkan “Nikah Gantung” antara R.M.


Soewardi Soeryaningrat dengan R.A. Soetartinah. Keduanya merupakan cucu dari Sri Paku
Alam III. Pada akhir Agustus 1913 beberapa hari sebelum berangkat ke tempat pengasingan
di negeri Belanda. Pernikahannya diresmikan secara adat dan sederhana di Puri
Soeryaningratan Yogyakarta.4 Jadi Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara adalah
sama-sama cucu dari Paku Alam III atau satu garis keturunan.

Sebagai tokoh nasional yang dihormati dan disegani baik oleh kawan maupun lawan,
Ki Hadjar Dewantara sangat kreatif, dinamis, jujur, sederhana, konsisten, konsekuen dan
berani. Wawasan beliau sangat luas dan tidak berhenti berjuang untuk bangsanya hingga
akhir hayat. Perjuangan beliau dilandasi dengan rasa ikhlas yang mendalam, disertai rasa
pengabdian dan pengorbanan yang tinggi dalam mengantarkan bangsanya ke alam
merdeka.Karena pengabdiannya terhadap bangsa dan Negara, pada tanggal 28 November
1959, Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai “Pahlawan Nasional”. Dan pada tanggal 16
Desember 1959, pemerintah menetapkan tanggal lahir Ki Hadjar Dewantara tanggal 2 Mei
sebagai “Hari Pendidikan Nasional” berdasarkan keputusan Presiden RI Nomor: 316 tahun
1959.

Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia pada tanggal 26 Apri 1959, di rumahnya


Mujamuju Yogyakarta. Dan pada tanggal 29 April, jenazah Ki Hadjar Dewantara
dipindahkan ke pendopo Taman Siswa. Dari pendopo Taman Siswa, kemudian diserahkan
kepada Majelis Luhur Taman Siswa.

Dari pendopo Taman Siswa, jenazah diberangkatkan ke makan Wijaya Brata


Yogyakarta. Dalam upacara pemakaman Ki Hadjar Dewantara dipimpin oleh Panglima
Kodam Diponegoro Kolonel Soeharto. Dalam lingkungan budaya dan religius yang kondusif
demikian Ki Hadjar Dewantara dibesarkan dan dididik menjadi seorang muslim khas jawa
yang lebih menekankan aspek hakikat daripada syari‟at. Dalam hal ini Pangeran
Soeryaningrat pernah mendapat pesan dari ayahnya: “syari‟at tanpa hakikat adalah kosong,
hakikat tanpa syari‟at batal”.
Selain mendapat pendidikan formal di lingkungan Istana Paku Alam tersebut. Ki
Hadjar Dewantara juga mendapat pendidikan formal antara lain:

1. ELS (Europeesche Legere School). Sekolah Dasar Belanda III.


2. Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta.
3. STOVIA (School Tot Opvoeding Van Indische Artsen) yaitu sekolah kedokteran yang
berada di Jakarta. Pendidikan di STOVIA ini tak dapat diselesaikannya, karena Ki Hadjar
Dewantara sakit.
4. Europeesche Akte, Belanda 1914.

Selain riwayat diatas Ki Hadjar Dewantara juga memiliki karir dalam dunia
jurnalistik, politik dan sebagai pendidik sebagai berikut, diantaranya:

1. Wartawan Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda,


Tjahaja Timoer dan Poesara.
Pada masanya, Ki Hadjar Dewantara tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya
sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat
antikolonial bagi pembacanya. Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif
dalam organisasi sosial dan politik.
Kendatipun Ki Hadjar Dewantara kurang berhasil dalam menempuh pendidikan
tidak menjadi hambatan untuk berkarya dan berjuang. Akhirnya perhatiannya dalam
bidang jurnalistik inilah yang menyebabkan Soewardi Soeryaningrat diberhentikan oleh
Rathkamp, kemudian pindah ke Bandung untuk membantu Douwes Deker dalam
mengelola harian De Express. Melalui De Express inilah Soewardi Soeryaningrat
mengasah ketajaman penanya mengalirkan pemikirannya yang progresif dan
mencerminkan kekentalan semangat kebangsaannya.
Tulisan demi tulisan terus mengalir dari pena Soewardi Soeryaningrat dan
puncaknya adalah sirkuler yang menggemparkan pemerintah Belanda yaitu “Als Ik Eens
Nederlander Was!” Andaikan aku seorang Belanda! Tulisan ini pula yang mengantar
Soewardi Soeryaningrat keTulisan tersebut sebagai reaksi terhadap rencana pemerintah
Belanda untuk mengadakan perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penindasan
Perancis yang akan dirayakan pada tanggal 15 November 1913, dengan memungut biaya
secara paksa kepada rakyat Indonesia.
Dengan tersebarnya tulisan tersebut, pemerintah Belanda menjadi marah.
Kemudian Belanda memanggil panitia De Express untuk diperiksa. Dalam suasana
seperti itu Cipto Mangunkusumo menulis dalam harian De Express 26 Juli 1913 untuk
menyerang Belanda, yang berjudul “Kracht of Vress” (Kekuatan atau Ketakutan).
Selanjutnya Soewardi Soeryaningrat kembali menulis dalam harian De Expres tanggal 28
Juli 1913 yang berjudul “Een Vorr Allen, Maar Ook Allen Voor Een” (satu buat semua,
tetapi juga semua buat satu).
Pada tanggal 30 Juli Soewardi Soeryaningrat dan Cipto Mangunkusumo
ditangkap, seakan-akan keduanya orang yang paling berbahaya di wilayah Hindia
Belanda. Setelah diadakan pemeriksaan singkat keduanya secara resmi dikenakan
tahanan sementara dalam sel yang terpisah dengan seorang pengawal di depan pintu.
Douwes Deker yang baru datang dari Belanda, menulis pembelaannya terhadap kedua
temannya melalui harian De Express, 5 Agustus 1913 yang berjudul “Onze Heiden:
Tjipto Mangoenkoesoemo En pintu penjara pemerintah Kolonial Belanda, untuk
kemudian bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Douwes Deker diasingkan ke
negeri Belanda.

R.M. Soewardi Soeryaningrat” (Dia pahlawan kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan


R.M. Soewardi Soeryaningrat). Untuk memuji keberanian dan kepahlawanan mereka
berdua. Berdasarkan putusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 18 Agustus 1913
Nomor: 2, ketiga orang tersebut diintenir, Ki Hadjar Dewantara ke Bangka, Cipto
Mangunkusumo ke Banda, dan Douwes Deker ke Timur Kupang. Namun ketiganya
menolak dan mengajukan diekstenir ke Belanda meski dengan biaya perjalanan sendiri.
Dalam perjalanan menuju pengasingan Ki Hadjar Dewantara menulis pesan untuk
saudara dan kawan seperjuangan yang ditinggalkan dengan juful: “Vriheidsherdenking
end Vriheidsberoowing” (peringatan kemerdekaan dan perampasan kemerdekaan).
Tulisan tersebut dikirim melalui kapal “Bullow” tanggal 14 September 1913 dari teluk
Benggala.

2. Pendiri National Onderwijs Institut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa)
Dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari pengasingan
ke negeri Belanda. Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Nasional Tamansiswa
pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang
pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Ia mendirikan
sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa
(Perguruan Nasional Taman siswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan
pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan
tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Di tengah keseriusannya
mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin
menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan
kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui
tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi
bangsa Indonesia.

Melalui bidang pendidikan inilah Ki Hadjar Dewantara berjuang melawan


penjajah Kolonial Belanda. Namun pihak Kolonial Belanda juga mengadakan usaha
bagaimana cara melemahkan perjuangan gerakan politik yang dipelopori oleh
Tamansiswa. Tindakan Kolonial tersebut adalah “Onderwijis Ordonantie 1932” (Ordinasi
Sekolah Liar) yang dicanangkan oleh Gubernur Jenderal tanggal 17 September 1932.
Pada tanggal 15-16 Oktober 1932 MLPTS mengadakan Sidang Istimewa di Tosari Jawa
Timur untuk merundingkan ordinasi tersebut.

Media massa Indonesia hampir seluruhnya ikut menentang ordinasi tersebut.


Diantaranya: Harian Perwata Deli, Harian Suara Surabaya, Harian Suara Unun dan
berbagai organisasi politik (PBI , Pengurus Besar Muhammadiyah, Perserikatan Ulama,
Perserikatan Himpunan Istri Indonesia, PI, PSII dan sebagainya). Dengan adanya aksi
tersebut, maka Gubernur Jendral pada tanggal 13 Februari 1933 mengeluarkan ordinasi
baru yaitu membatalkan “OO” 1932 dan berlaku mulai tanggal 21 Februari 1933.

3. Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.


Ki Hadjar Dewantara kembali ke tanah air di tahun 1918. Setelah zaman
kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.

Menjelang kemerdekaan RI yakni pada pendudukan Jepang (1942-1945) Ki


Hadjar Dewantara duduk sebagai anggota “Empat Serangkai” yang terdiri dari Ir.
Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Kyai Mansur. Pada bulan Maret 1943,
Empat Serangkai tersebut mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) yang bertujuan
untuk memusatkan tenaga untuk menyiapkan kemerdekaan RI, akhirnya pada tanggal 17
Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia dapat diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan Moh.
Hatta. Pada hari minggu Pon tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah RI terbentuk dengan
Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan Moh. Hatta sebagai wakil presiden. Di samping itu
juga mengangkat menteri-menterinya Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada tahun 1946 Ki Hadjar Dewantara menjabat sebagai Ketua Panitia


Penyelidikan Pendidikan dan Pengajaran RI, ketua pembantu pembentukan undang-
undang pokok pengajaran dan menjadi Mahaguru di Akademi Kepolisian. Tahun 1947,
Ki Hadjar Dewantara menjadi Dosen Akademi Pertanian. Tanggal 23 Maret 1947, Ki
Hadjar Dewantara diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI dan
menjadi anggota Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam di Sekolah Rakyat.

Pada tahun 1948, Ki Hadjar Dewantara dipilih sebagai ketua peringatan 40 tahun
Peringatan Kebangkitan Nasional, pada kesempatan itu beliau bersama partai-partai
mencetuskan pernyataan untuk menghadapi Belanda. Pada peringatan 20 tahun Ikrar
Pemuda (28 Oktober 1948), Ki Hadjar Dewantara ditunjuk sebagai ketua pelaksana
peringatan Ikrar Pemuda. Setelah pengakuan kedaulatan di Negeri Belanda Desember
1949 Ki Hadjar Dewantara menjabat sebagai anggota DPR RIS yang selanjutnya berubah
sebagai DPR RI. Pada tahun 1950, Ki Hadjar Dewantara mengundurkan diri dari
keanggotaan DPR RI dan kembali ke Yogyakarta untuk mengabdikan diri sepenuhnya
kepada Tamansiswa sampai akhir hayatnya.

4. Boedi Oetomo
Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu
mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
5. Syarekat Islam cabang Bandung 1912
6. Pendiri Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia)

Di Belanda Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo dan Douwes Deker,


langsung aktif dalam kegiatan politik, di Denhaag Ki Hadjar Dewantara mendirikan
“Indonesische Persbureau” (IPB), yang merupakan badan pemusatan penerangan dan
propaganda pergerakan Nasional Indonesia.
Sekembalinya dari pengasingan, Ki Hadjar Dewantara tetap aktif dalam berjuang.
Oleh karena itu Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai sekertaris kemudian sebagai
pengurus besar NIP (National Indische Partij) DI Semarang. Ki Hadjar Dewantara juga
menjadi redaktur “De Bewenging”, majalah partainya yang berbahasa Belanda, dan
“Persatuan Hindia” dalam bahasa Indonesia. Kemudian juga menjabat sebagai pimpinan
harian De Express yang diterbitkan kembali. Karena ketajaman pembicaraan dan
tulisannya yang mengecam kekuasaan Belanda selama di Semarang, Ki Hadjar
Dewantara dua kali masuk penjara.

Ki Hadjar Dewantara bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan


dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang
beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan
mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk
memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah
kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran
partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Karena organisasi
ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan
untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Ia melancarkan kritik terhadap
Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda
dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai
pesta perayaan tersebut. Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik
lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda)
dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk
Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar De
Expres milik dr. Douwes Dekker. Akibat karangannya yang menghina itu, pemerintah
kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses
pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan
menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia
pun dihukum buang ke Pulau Bangka. Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri
Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah
terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai
bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami
masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat
berhasil memperoleh Europeesche Akte.

Selain itu ada beberapa penghargaan yang diperoleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu sebagai
berikut:

1. Bapak Pendidikan Nasional dan Pahlawan Pergerakan Nasional


Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan
pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei
dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959.
2. Doctor Honoris Causa Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor
Honoris Causa dalam ilmu kebudayaan dari Universitas Negeri Gajah Mada pada
tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia
meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara
Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki
Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki
Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa.
Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta
data suratmenyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan
dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas
bantuan Badan Arsip Nasional.

1. Awal Karirnya Sebagai Wartawan

Berbicara mengenai biografi Ki Hajar Dewantara ini sendiri meskipun pernah


mengenyam pendidikan di sekolah dokter, namun karena tidak sampai tamat dikarenakan
oleh kondisi kesehatannya, maka kemudian beliau memutuskan untuk bekerja di surat
kabar, diantaranya adalah Sediotomo, kemudian juga Midden Java, De Expres, Oetoesan
Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan juga surat kabar Poesara, pada masa-masa
menjadi seorang wartawan ia termasuk penulis yang sangat handal. Karena memang
semua tulisannya begitu komunikatif dan juga tergolong tajam dan penuh dengan
semangat.

Beliaupun pernah membuat sebuah tulisan yang menyulut kemarahan dari


pemerintahan Kolonial Belanda kala itu yang kemudian membuatnya ditangkap sampai
dengan diasingkan ke Pulau Bangka, bahkan pengasingan tersebut sebenarnya atas
permintaan dari beliau sendiri. hingga kemudian mendapatkan protes dari rekan-rekan
organisasinya yaitu Douwes Dekker dan juga Dr. Tjipto Mangunkusumo, mereka inilah
yang dikenal sebagai „ Tiga Serangkai‟, hingga kemudian mereka bertiga yang
diasingkan, namun ke Belanda.

2. Aktivitas Pergerakan

Selain dikenal sebagai seorang wartawan dulunya beliau juga merupakan


seseorang yang cukup aktif di dalam sebuah organisasi sosial dan juga politik. Bahkan
sejak berdirinya BO atau yang dikenal sebagai Organisasi Boedi Oetomo yaitu pada
tahun 1908 beliau juga aktif di dalam sesi propaganda dengan tujuan untuk
mensosialisasikan dan juga untuk menggugah kesadaran dari masyarakat Indonesia yang
dulunya masih dijajah oleh pemerintahan Belanda untuk bersatu, beliau menggugah
kesadaran masyarakat akan pentingnya persatuan dan juga kesatuan di dalam berbangsa
maupun bernegara. Bahkan dalam catatan biografi Ki Hajar Dewantara Kongres Boedi
Oetomo pertama kali yang diadakan di Yogyakarta diorganisir oleh Ki Haji Dewantara
kala itu.
3. Pengasingan Ki Hajar Dewantara

Dalam catatan biografi Ki Hajar Dewantara setidaknya pada tahun 1913 dimana
ketika Pemerintah Hindia Belanda akan mengumpulkan sumbangan dari masyarakat
Pribumi kala itu yang nantinya akan digunakan sebagai perayaan kemerdekaan Belanda
dari Perancis menimbulkan reaksi kritis yang berasal dari kalangan nasionalis, termasuk
diantaranya adalah Soewardi atau Ki Hajar Dewantara, hingga kemudian beliau
menuliskan sebuah kolom di dalam surat kabar De Expres dengan judul “ Als ik een
Nederlander was” bahkan artikel ini dirasa begitu tajam yang juga termasuk kritikan yang
sangat pedas bagi pada pejabat Hindia Belanda kala itu.

Bahkan karena memang gaya tulisan yang dibuatnya berbeda dengan penulisan
sebelumnya, maka banyak diantara pejabat yang menyangsikan bahwa tulisan tangan
tersebut dibuat oleh Soewardi. Mengulas seputar biografi Ki Hajar Dewantara ternyata
dari tulisan beliau tersebut banyak diantaranya yang juga berpendapat jika memang
Soewardi yang membuat, maka ada campur tangan dari DD atau Douwes Dekker selaku
pimpinan dari De Expres ini yang memang ingin memanas-manasi Soewardi sehingga
berani untuk membuat tulisan tersebut. Akibat dari tulisan yang dibuatnya tersebut maka
beliau kemudian diasingkan ke Pulau Bangka, padahal kala itu usianya masih 24 tahun.

4. Ki Hajar Dewantara Dalam Masa Pengasingan

Membahas seputar biografi Ki Hajar Dewantara saat pengasingan beliau di


Belanda sebenarnya memang tidak sendirian, melainkan ditemani oleh kedua sahabatnya,
yaitu Douwes Dekker dan juga Tjipto Mangunkusumo, pengasingan ini dilakukan pada
tahun 1913. Dalam masa pengasingan tersebut ternyata Soewardi aktif juga di dalam
sebuah organisasi yaitu Indische vereeniging atau Perhimpunan Hindia yang isinya
adalah pelajar yang berasal dari Indonesia dan pada tahun yang sama ia juga mendirikan
sebuah kantor berita yaitu Indonesiach pers bureau atau yang dikenal sebagai Kantor
Berita Indonesia.

Berkenaan dengan biografi Ki Hajar Dewantara ini adalah awal mula Soewardi
merintis cita-citanya untuk memajukan para kaum pribumi dengan belajar mengenai ilmu
pendidikan sampai nantinya berhasil mendapatkan akta atau ijazah pendidikan, sehingga
dari akta atau ijazah tersebut dapat digunakan sebagai pijakan untuk mendirikan lembaga
pendidikan yang sudah didirikannya tersebut. Pada studinya tersebut ia kemudian terpikat
dengan ide-ide dari sejumlah tokoh pendidikan Barat, diantaranya adalah Montessori dan
juga Froebel, dari pengaruh-pengaruh tersebutlah kemudian membuatnya
mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.

5. Awal Kepulangannya ke Indonesia


Setelah kembalinya ke Indonesia maka pada bulan September tahun 1919 ia
kemudian segera bergabung di dalam sekolah binaan dari saudaranya sendiri, sehingga
kemudian Soewardi memiliki pengalaman di dalam mengajar, berbekal pengalamannya
di dalam mengajar kemudian ia mulai mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah
yang didirikannya sendiri, yaitu sekitar tahun 3 Juli 1992, sekolah ini diberi nama
national Onderwijs Institut Tamansiswa atau yang lebih dikenal sebagai Perguruan
Nasional Tamansiswa, kala itu Soewardi sudah genap berusia 40 tahun. Pada usia
tersebutlah beliau kemudian mengganti nama dengan Ki Hadjar Dewantara dan tidak
memakai gelar kebangsawanan di depan namanya. Dalam biografi Ki Hajar
Dewantara ini beliau tidak menggunakan gelar kebangsawanannya sebenarnya dengan
maksud agar lebih bebas atau leluasa dekat dengan rakyat secara fisik maupun jiwa, tanpa
harus memandang kasta.

Bahkan semboyan yang dipakai di dalam sistem pendidikannya ini dikenal di


kalangan pendidikan Indonesia yaitu berbunyi „ing ngarsa sung tuladha, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani.‟ yang artinya adalah „di depan memberi contoh, di
tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.‟ Semboyan ini jugalah yang
sampai saat ini masih dikenal di dalam pendidikan Indonesia, apalagi pada sekolah-
sekolah dasar.

6. Pengabdian Pada Saat Indonesia Merdeka

Ketika negara Indonesia sudah memasuki fase kemerdekaan, karena ini adalah
bagian yang sangat penting, kontribusi beliau sangatlah besar di dalam pembangunan
pendidikan di Indonesia. Pada kabinet pertama Republik Indonesia Ki Hajar Dewantara
ini langsung diangkat menjadi Menteri Pengajar Indonesia. Dalam catatan biografi Ki
Hajar Dewantara pada tahun 1957 beliau telah mendapatkan gelar doktor kehormatan
dari sebuah universitas tertua yang ada di Indonesia yaitu Universitas Gadjah Mada.

Atas jasa-jasanya di dalam merintis pendidikan umum, ia kemudian diberikan


gelar Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan kemudian hari kelahiran beliau yaitu 28
Nopember tahun 1959 dijadikan atau ditetapkan sebagai Hari Pendidikan nasional.

7. Menyambung benang merah peradaban

Menurut catatan yang ada dalam biografi Ki Hajar Dewantara saat menerima
gelar sebagai doktor kehormatan dari Universitas Gadjah Mada beliau pernah
memberikan sebuah sambutan. Beliau menyebutkan bahwa pendidikan ala Belanda yang
selama itu diberikan kepada masyarakat pribumi tidak sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia karena memang hanya mementingkan beberapa aspek saja, diantaranya adalah
intelektual, individual, material dan juga kepentingan yang berhubungan dengan kolonial,
juga tidak mengandung cita-cita kebudayaan nasional Indonesia. bahkan setelah masa
penjajahan berakhir sebenarnya sistem pendidikan masyarakat Indonesia kala itu juga
masih dipengaruhi secara kuat oleh bekas penjajahan Belanda. Mengulas biografi Ki
Hajar Dewantara tentunya sangat penting juga untuk mengenal perkembangan pada
pendidikan di negara Indonesia kala itu.

Indonesia telah memiliki akar atau sejarah pendidikan yang sangat panjang sejak
melalui masa penjajahan sampai sekarang ini sudah masuk ke era globalisasi. Bahkan
pendidikan yang ada di Indonesia sendiri sebenarnya pernah mengalami masa kejayaan
ilmu. Dalam catatan biografi Ki Hajar Dewantara hal ini juga sangat banyak disinggung.
Pendidikan Indonesia cukup maju pada masa-masa kerajaan, terlihat jelas pada masa
kerajaan Kutai yang ada di Kalimantan Timur, Kerajaan Tarumanegara hingga Kerajaan
Kalingga dan juga Kerajaan Sriwijaya, hingga kemudian memasuki masa penjajahan dari
bangsa-bangsa, maka pendidikan di Indonesia mengalami kemunduran atau pembodohan.

ketika bangsa Indonesia telah memasuki masa pejajahan terjadi pembodohan


dimana-mana, karena justru berbagai macam ilmu khas yang berasal dari Nusantara
justru banyak yang diambil dan juga dipelajari oleh kaum penjajah tersebut, khususnya
adalah di Belanda. Dalam biografi Ki Hajar Dewantara sebelumnya juga sudah
disebutkan bahwa dalam masa pengasingan ke Belanda beliau kemudian banyak belajar
lagi, disana kemudian berkembang sebuah ideology yang mempelajari tentang budaya,
bahasa sampai dengan kesusastraan Indonesia.

Meskipun Belanda banyak belajar tentang negara Indonesia justru bangsa


Indonesia sebagai kaum terjajah disini tidak mendapatkan apapun, karena justru bangsa
Belanda membodohi, tidak memberikan ilmu apapun kepada bangsa Indonesia, berbeda
halnya pada masa penjajahan negara Inggris. Jika dilihat kondisi pendidikan saat itu
memang tidak ada upaya di dalam mengembangkan pendidikan yang ada. sehingga pada
saat Ki Hajar Dewantara datang dan memberikan banyak kontribusi penting ini sangat
berperan di dalam kemajuan pendidikan bangsa Indonesia..

8. Beberapa Butir Pemikiran Ki Hajar Dewantara Tentang Pendidikan

Beliau memang dikenal sebagai sosok yang memiliki peran penting di dalam
kemajuan pendidikan yang ada di Indonesia, sehingga ada banyak sekali pemikiran-
pemikirannya terkait dengan pendidikan ini, bukan hanya pada masa awal kemerdekaan
saja, melainkan juga pasca kemerdekaan beliau juga memiliki kontribusi yang tergolong
begitu besar. Apalagi saat bangsa Indonesia menghadapi carut-marut pendidikan yang
terjadi pada masa reformasi dan juga globalisasi.

Butir-butir pemikiran beliau ada di dalam biografi Ki Hajar Dewantara, pada


bagian pertama ini beliau melihat pendidikan dengan perspektif atropologis, yaitu
bagaimana caranya warga negara meneruskan warisan budaya kepada generasi yang lebih
muda dan juga dengan mempertahankan tatanan sosialnya. Pada catatan biografi Ki Hajar
Dewantara ini beliau menyatakan bahwa „Pendidikan adalah tempat persemaian segala
benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan.‟ Jadi nantinya segala
macam unsur peradaban akan tetap tumbuh dan diteruskan kepada anak cucunya.

Pada bagian kedua dalam biografi Ki Hajar Dewantara disebutkan bahwa


pendidikan nasional harus berdasarkan pada garis hidup bangsanya dan ditujukan untuk
keperluan peri kehidupan, sehingga nantinya hal tersebut dapat mengangkat derajat
negeri dan juga rakyatnya. Sehingga dengan kedudukan yang sejajar nantinya pantas
untuk bekerjasama dengan negara-negara yang lain untuk kemuliaan segenap manusia di
seluruh dunia. Disini diketahui bahwa beliau adalah sosok yang sangat menghargai
pluralisme atau kemajemukan, bahkan juga berpikiran futuristik.

Jika dilihat dari biografi Ki Hajar Dewantara sistem pendidikan yang digagas oleh
beliau adalah sistem pendidikan yang tanggap dan juga mampu untuk menjawab tatanan
dunia yang global. Sehingga apa yang terjadi di masa sekarang ini tampaknya memang
sudah diprediksi oleh Ki Hajar Dewantara dulu, yaitu dengan konsep pendidikan nasional
yang digagasnya. Diantara sistem pendidikan yang digagas tersebut adalah kontinuitet,
konvergensi dan juga konsentris. Asas tersebut digunakan untuk mengubah paradigma
dan juga pola pikir dalam menyikapi sebuah kemajemukan budaya nasional dan juga
internasional.

Bagian ketiga ini adalah bulir akhir bahwa beliau juga memandang penting
tentang budi pekerti. Menurut beliau pendidikan ala barat memang hanya berorientasi
pada intelektualitas, materialisme dan juga individualisme saja, namun tidak dengan budi
pekerti dan memang kurang cocok dengan kebutuhan atau corak dari bangsa Indonesia.

Beliau juga memikirkan bahwa pendidikan tidak cukup hanya untuk membuat
anak menjadi pintar dan juga unggul dalam aspek kognitif, melainkan juga harus
mengembangkan seluruh potensi yang ada seperti diantaranya adalah daya cipta
(kognitif), daya rasa (afektif) dan juga daya karsa (koatif). Sehingga harus membuat anak
menjadi sosok yang mandiri dan memiliki kepedulian terhadap orang lain, bangsa dan
juga kemanusiaan.
B. Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Sebagai bangsawan Jawa, Soewardi Soerjaningrat mengenyam Pendidikan
Europeesche Lagere School (ELS), sekolah rendah untuk anak-anak Eropa.

Kemudian ia mendapatkan kesempatan untuk masuk School tot Opleiding voor


Inlandsche Artsen (STOVIA) atau yang sering disebut Sekolah Dokter Jawa. Namun,
karena kondisi kesehatannya tidak mengizinkan, membuat Soewardi Soerjaningrat tidak
tamat dari sekolah ini.

Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) selain mendapatkan pendidikan


formal di lingkungan istana Paku Alam juga mendapat pendidikan formal antara lain:

a. Europeesche Lagere School (ELS) atau Sekolah Belanda III.


b. Kweek School (Sekolah Guru) di Yogyakarta.
c. School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA), sekolah kedokteran yang
berada di Jakarta. Pendidikan di STOVIA ini tidak dapat diselesaikan karena ia
sakit.

Sebagai figur dari keluarga bangsawan Pakualaman, Soewardi Soerjaningrat


memiliki kepribadian yang sederhana dan sangat dekat dengan rakyat (kawula). Jiwanya
menyatu melalui Pendidikan dan budaya lokal (Jawa) guna mencapai kesetaraan sosial-
politik dalam masyarakat kolonial. Kekuatan-kekuatan inilah yang menjadi dasar
Soewardi Soerjaningrat dalam memperjuangkan kesatuan dan persamaan lewat
nasionalisme kultural sampai dengan nasionalisme politik.

C. Profesi Ki Hajar dewantara


Profesi yang digeluti oleh Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) adalah
dunia jurnalisme yang berkiprah di beberapa surat kabar dan majalah pada waktu itu:
Sediotomo, de Express, Oetoesan Hindia, Midden Java, Tjahaja Timoer, Kaoem Moeda,
dan Poesara yang melontarkan kritik sosial-politik kaum bumiputera kepada penjajah.

Tulisannya komunikatif, mengena, dan tegas. Jiwanya sebagai pendidik tertanam


dan direalisasikan dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa pada tahun 1992 dengan
tujuan mendidik masyarakat bumiputera.

Pada waktu itu, Ki Hajar Dewantara termasuk penulis terkenal. Tulisannya yang
tajam dan patriotik membuatnya mampu membangkitkan semangat anti kolonial bagi
pembacanya.

Selain sebagai wartawan, ia juga aktif di berbagai organisasi sosial dan politik.
Ketika tahun 1908, Ki Hajar Dewantara aktif di seksi propaganda organisasi Boedi
Oetomo untuk menyosialisasikan dan memebangkitkan kesadaran masyarakat Indonesia
tentang pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.

D. Mendirikan Inische Partij

Bersama dengan Danudirdja Setyabudhi atau yang dikenal dengan Douwes


Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara mendirikan Indische Partij
(partai politik pertama yang beraliran nasionalisme di Indonesia) pada 25 Desember 1912
dengan tujuan untuk kemerdekaan Indonesia, kemudian ditolak oleh Belanda karena
dianggap dapat menumbuhkan rasa nasionalisme rakyat.

Setelah pendaftaran status badan hukum Indische Partij ditolak, Ki Hajar


Dewantara ikut membentuk Komite Boemipoetra pada November 1913. Komite ini
sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan
Bangsa.

Komite Boemipoetra melancarkan kritik kepada pemerintah kolonial Belanda


yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan
Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan
tersebut.

Berhubungan dengan rencana perayaan tersebut, Ki Hajar Dewantara mengkritik


melalui tulisannya yang berjudul Een voor Allen maar Ook Allen voor Een yang artinya
(Satu untuk semua, tetapi semua untuk satu juga) dan Als Ik Eens Nederlander Was
(Seandainya Aku Seorang Belanda).

Akibat dari tulisan “Seandainya Aku Seorang Belanda”, pemerintah kolonial


Belanda menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukum interning (hukum
buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi
seseorang untuk ia bertempat tinggal. Ki Hajar Dewantara akhirnya dihukum buang di
Pulang Bangka.

E. Mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa

Setelah kembali dari pengasingan bersama dengan teman-temannya, Ki Hajar


Dewantara mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, National Onderwijs
Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) pada Juli 1922, lembaga
pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi kelas bawah untuk bisa
memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Perguruan ini mengubah metode pengajaran kolonial yaitu dari sistem pendidikan
“perintah dan sanksi” kependidikan pamong yang sangat menekankan pendidikan
mengenai pentingnya rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai
bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Dalam membangun Taman Siswa, banyak rintangan yang dihadapi Ki Hajar


Dewantara. Pemerintah kolonial Belanda berusaha membatasi dengan mengeluarkan
ordonansi sekolah liar pada 1 Oktober 1932.

Di Indonesia, Ki Hajar Dewantara mencurahkan perhatian di bidang Pendidikan


sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Perguruan Taman Siswa sangat
menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai
tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.

Di tengah keseriusannya di bidang pendidikan, Ki Hajar Dewantara tetap rajin


berkarya dengan menulis. Tema tulisannya kemudian beralih dari nuansa politik ke
pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Melalui tulisan-tulisannya itulah
Ki Hajar Dewantara berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi negeri
Indonesia.

Ada empat strategi pendidikan KI Hadjar Dewantara:

1. Pendidikan adalah proses budaya untuk mendorong siswa agar memiliki jiwa
merdeka dan mandiri.
2. Membentuk watak siswa agar berjiwa nasional, namun tetap membuka diri
terhadap perkembangan internasional.
3. Membangun pribadi siswa agar berjiwa pionir-pelopor.
4. Mendidik berarti mengembangkan potendi atau bakat yang menjadi korat
alamnya masing-masing siswa.

Namun kolonial Belanda juga mengadakan usaha bagaimana cara melemahkan


perjuangan gerakan politik yang dipelopori oleh Taman Siswa. Tindakan kolonial
Belanda tersebut adalah “Onderwijs Ordonantie (OO) 1932” (Ordonansi Sekolah Liar)
yang dicanangkan oleh Gubernur Jenderal pada 17 September 1932. Dan pada 15-16
Oktober 1932 MLPTS mengadakan sidang istimewa di Tosari Jawa Timur untuk
merundingkan ordinasi tersebut.

Media massa Indonesia hampir semuanya menentang ordonansi tersebut. Di


antaranya: Harian Suara Surabaya, Harian Perwata Deli, dan berbagai organisasi politik
(Pengurus Besar Muhammadiyah, Perserikatan Ulama, PSII, PBI, Perserikatan Himpunan
Istri Indonesia dan sebagainya).

Dengan adanya aksi tersebut maka Gubernur Jenderal pada 13 februari 1933
mengeluarkan ordinasi baru yaitu membatalkan “OO 1932” dan berlaku mulai 21
Februari 1933.

Perjuangannya di bidang pendidikan dan politik inilah membuat pemerintah


Indonesia menghormatinya dengan berbagai jabatan dalam pemerintahan Republik
Indonesia. Di antaranya adalah mengangkat Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (1950), mendapat gelar doktor honoris causa dari
Universitas Gajah Mada (1959) serta diangkat sebagai pahlawan nasional pada tahun
1959.

Sebagai menteri pendidikan pertama di Indonesia, beliau telah melakukan


berbeagai pergerakan nasional yang membantu mengantar Indonesia mencapai
kemerdekaan yang dibahas pada buku Ki Hadjar Dewantara: Putra Keraton Pahlawan
Bangsa.
F. Konsep Trilogi Ki Hajar Dewantara

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), trilogi berarti tiga hal yang saling
bertaut atau bergantung. Konsep trilogi Ki Hajar Dewantara yang digunakan sebagai
pijakan yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.
1. Ing Ngarsa Sung Tuladha

Ing Ngarsa Sung Tuladha berarti bahwa pendidik yang berada di depan
hendaknya menjadi contoh. Sung dalam bahasa Jawa berarti memberi, berasal dari kata
asung. Sedangkan sung berarti menjadi, karena antara memberi dan menjadi memiliki
makna yang berbeda.

Ajaran Ki Hajar Dewantara yang pertama ini menggambarkan situasi di mana


seorang pendidik bukan hanya sebagai orang yang berjalan di depan tetapi juga harus
menjadi teladan bagi semua orang yang mengikutinya. Selain mendidik dan transfer ilmu,
pendidik juga harus memberikan contoh kepada peserta didik setidaknya mengenai hal
yang diajarkannya.

Kata Ing Ngarsa tidak dapat berdiri sendiri jika tidak mendapatkan kalimat
penjelas di belakangnya. Artinya seorang yang berada di depan jika belum menjadi
teladan maka belum pantas menyandang gelar pendidik.

Ing Ngarsa Sung Tuladha menekankan pada ranah afektif yang berkaitan dengan
sikap, perilaku, emosi, dan nilai. Ranah ini mengenai perilaku-perilaku pendidik yang
akan menjadi teladan bagi peserta didik karena sejatinya setiap apapun yang dilakukan
pendidik akan menarik perhatian dan contoh bagi peserta didik. Pendidik tidak bisa
memerintahkan peserta didik untuk melakukan hal-hal yang pendidik sendiri belum
memberikan contoh kepada peserta didik.

Di dalam Undang-undang disebutkan bahwa ada empat kompetensi yang harus


dimiliki oleh seorang guru, salah satu di antaranya adalah kompetensi kepribadian.
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal guru yang mencerminkan
kepribadian yang mantap, stabil, arif, dewasa, berwibawa, dan menjadi teladan bagi
peserta didiknya.

2. Ing Madya Mangun Karsa

Ing Madya artinya di tengah-tengah. Mangun memiliki arti membangkitkan atau


menggugah dan Karsa artinya bentuk kemauan atau niat. Makna dari Ing Madya Mangun
Karsa ialah seseorang di tengah harus juga mampu melibatkan diri membangkitkan atau
menggugah semangat.

Ing Madya Mangun Karsa berarti seorang pendidik jika berada di tengah-tengah
peserta didiknya harus mampu terlibat dalam setiap pembelajaran yang dilakukan siswa
agar semua bisa mempersatukan semua gerak dan perilaku secara serentak untuk
mencapai tujuan bersama.

Ajaran Ing Madya Mangun Karsa ini erat kaitannya dengan kebersamaan,
kekompakan, dan kerjasama. Seorang pendidik tidak hanya melihat kepada orang yang
didiknya, tetapi juga harus berada di tengah-tengah orang yang dididiknya.

Pendidik harus memberi wawasan pengetahuan kepada peserta didik. Sebisa


mungkin pendidik menanamkan pendidikan kepribadian kepada siswa meskipun tidak
secara langsung. Pendidik yang dapat bekerjasama dengan peserta didiknya yang berada
di tengah-tengah kelompoknya dan secara kooperatif berusaha Bersama sambal
membantu peserta didik.

Di dalam Undang-undang (UU) No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen
disebutkan bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru di
antaranya kompetensi pedagogic artinya bahwa seorang guru harus mampu
mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensinya. Seorang
guru harus memfasilitasi siswanya untuk membentuk kepribadian baik secara akademik
maupun non akademik.

3. Tut Wuri Handayani

Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berarti memberikan
dorongan moral atau dorongan semangat sehingga memiliki arti seseorang harus
memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Pendidik harus mampu
memberi kemerdekaan kepada peserta didik dengan perhatian sepenuhnya untuk
memberikan petunjuk dan pengarahan.

Kemerdekaan pendidikan diberikan pendidik melalui tanggung jawab kepada


peserta didik untuk memperlihatkan kemampuannya dan sebagai pendidik ia berdiri di
belakang tentang bagaimana para pendidik bisa menumbuhkan dan merangsang serta
mengarahkan setiap potensi yang dimiliki peserta didik, merupakan hal yang harus
dipikirkan.

Dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen terdapat empat kompetensi
yang harus dimiliki oleh seorang guru di antaranya kompetensi sosial, artinya seorang
guru harus mampu berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama
pendidik maupun siswa.

Tidak membedakan agama, jenis kelamin, suku, latar belakang keluarga, serta
status sosial keluarga dalam memberi perlakuan. Pendidik dapat pula berkomunikasi
dengan lisan maupun tulisan dalam berperilaku sosial, sebab guru perlu cakap dalam
bersosialisasi untuk dapat lebih dekat dengan siswanya.

Ki Hajar Dewantara juga menyebutkan tujuan trilogi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Mencapai tujuan tertib dan damai.


b. Membentuk manusia yang merdeka.

Tertib tidak akan tercapai jika tidak ada damai antar manusia. Manusia yang merdeka
lahir dan batin adalah individu yang merdeka perasaaannya dan merdeka perbuatannya.
masyarakat tertib dan damai hanya terwujud dalam satu kehidupan bersama berdasarkan
cinta dan kasih sayang antar sesama, sama dalam hak dan kewajiban, sama derajat dan
martabatnya.

Baca secara lengkap pada buku pendidikan karakter KI Hadjar dewantara:


Sistem yang diterapkan para kolonial Belanda yaitu anak dijadikan budak yang
bisa mereka atur sekehendak mereka. Didikan ini merupakan perkosaan atas kehidupan
batin anak sehingga budi pekertinya rusak disebabkan selalu hidup di bawah paksaan dan
hukuman yang biasanya tidak setimpal dengan kesalahannya.

Ki Hajar Dewantara menawarkan konsep trilogi pendidikan yang bersifat


memanusiakan manusia dengan cara membentuk pribadi yang berakhlak mulia untuk
dapat memberi teladan.
Pandangan Ki Hajar Dewantara mengimplisitkan landasan tugas pendidik adalah
mengacu kepada pemulihan harkat dan martabat manusia dan diarahkan kepada bakat
serta kodratnya.

Hal ini berarti pendidik harus bersikap menuntun dan memberikan kebebasan
kepada anak untuk mengembangkan kretifitas yang memberikan manfaat bagi tumbuh
kembang anak.

G. Karya-Karya Ki Hadjar Dewantara


Sebagai seorang pendidik, budayawan dan seoarang nasionalis Ki Hadjar
Dewantara mempunyai beberapa karya di masa hidupnya, karyakarya itu telah banyak
dipublikasikan dan telah memberikan banyak sumbangsih terhadap perkembangan
pendidikan di Indonesia, diantara karya-karya itu adalah sebagai berikut:

1. Ki Hadjar Dewantara, buku bagian pertama: tentang pendidikan


Sebagai bapak pendidikan bagian terbesar perjuangan Ki Hadjar Dewantara
terletak di lapangan pendidikan. Tulisan yang terbanyak mengenai pendidikan, itulah
sebabnya dengan surat keputusan Presiden No. 316 tanggal 16 Desember 1959, hari
lahir Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional, sebagai
penghargaan dan penghormatan atas jasa beliau di bidang pendidikan nasional.
Dalam buku ini membicarakan gagasan dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara
dalam bidang pendidikan di antaranya tentang hal ihwal pendidikan Nasional. Tri
Pusat Pendidikan, Pendidikan Kanak-Kanak, Pendidikan Sistem Pondok, Adab dan
Etika (akhlak) keteladanan atau budi pekerti, Pendidikan dan Kesusilaan.

Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa kemerdekaan nusa dan bangsa untuk


mengejar keselamatan dan kesejahteraan rakyat tidak hanya dicapai melalui jalan
politik, tetapi juga melalui pendidikan. Oleh karenanya timbullah gagasan untuk
mendirikan sekolah sendiri yang akan dibina sesuai dengan cita-citanya. Untuk
merealisasikan tujuannya, Ki Hadjar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa.
Cita-cita perguruan tersebut adalah “saka” (“saka” adalah singkatan dari “Paguyuban
Selasa Kliwon” di Yogyakarta, di bawah pimpinan Ki Ageng Sutatmo Suryokusumo).
Paguyuban ini merupakan cikal bakal perguruan taman siswa yang didirikan oleh Ki
Hadjar Dewantara.

Konsep mengayu-ayu sarira (membahagiakan diri), mengayuayu bangsa


(membahagiakan bangsa) dan mengayu-ayu manungsa (membahagiakan manusia).
Untuk mewujudkan gagasannya tentang pendidikan yang dicita-citakan tersebut. Ki
Hadjar Dewantara menggunakan metode “Among” yaitu “tut wuri handayani”.
(“Among” berarti asuhan dan pemeliharaan dengan suka cita, dengan memberi
kebebasan anak asuh bergerak menurut kemauannya, berkembang menurut
kemampuannya. “tut wuri handayani” berarti pemimpin mengikuti dari belakang,
memberi kebebasan dan keleluasaan bergerak yang dipimpinnya. Tetapi ia adalah
“handayani” mempengaruhi dengan daya kekuatannya dengan pengaruh dan
wibawanya. Metode among merupakan metode pendidikan yang berjiwa
kekeluargaan dan dilandasi dua dasar, yaitu kodrat alam dan kemerdekaan.

Metode among menempatkan anak didik sebagai subyek dan sebagai obyek
sekaligus dalam proses pendidikan metode among mengandung pengertian bahwa
seorang pamong/guru dalam mendidikharus memiliki rasa cinta kasih terhadap anak
didiknya dengan meperhatikan bakat, minat, dan kemampuan anak didik dan
menumbuhkan daya inisiatif serta kreatifitas anak didiknya. Pamong tidak dibenarkan
bersifat otoriter terhadap anak didiknya dan bersikap Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing
Madya Mangun Karsa, Tut wuri Handayani.
Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa remaja yang berumur 14-16 tahun
berada dalam periode atau masa dimana mereka mencari hakikat jati diri, mulai
melatih diri terhadap segala tingkah laku yang sukar atau berat dengan niat yang
disengaja seperti perilaku sosial, mulai melatih dirinya lebih mandiri terutama dari
orang tua, serta mencari kenyamanan dan rasa damai dalam batinnya.

2. Ki Hadjar Dewantara, buku bagian kedua: tentang Kebudayaan


Dalam karyanya ini Ki Hadjar Dewantara menulis mengenai kebudayaan dan
kesenian yang diantaranya: Asosiasi antara Barat dan Timur, pembangunan
Kebudayaan Nasional, Pembangunan Kebudayaan di jaman Merdeka, Kebudayaan
Nasional, Kebudayaan Sifat Pribadi Bangsa, Kesenian Daerah dalam Persatuan
Indonesia, Islam dan Kebudayaan, Ajaran Pancasila dan lain-lain.

3. Ki Hadjar Dewantara, buku bagian ketiga: tentang Politik dan Kemasyarakatan.

Buku ini khusus memuat tulisan-tulisan mengenai politik antara tahun 1913-1922
yang menggegerkan dunia imperialis Belanda, dan tulisan-tulisan mengenai wanita dan
perjuangannya
4. Ki Hadjar Dewantara, buku bagian keempat: tentang Riwayat dan Perjuangan Hidup

Penulis Dalam buku ini Ki Hadjar Dewantara banyak melukiskan kisah kehidupan
dan perjuangan hidup perintis dan pahlawan kemerdekaan yakni Ki Hadjar
Dewantara sendiri.

5. Pada tahun 1913 Ki Hadjar Dewantara mendirikan Komite Bumi Putera


Ki Hadjar Dewantara bersama Cipto Mangunkusumo mendirikan Komite Bumi
Putera ini untuk memprotes rencana perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda pari
penjajahan Perancis yang akan dilaksanakan pada tanggal 15 November 1913 secara
besar-besaran di Indonesia.
6. Tahun 1918 Ki Hadjar Dewantara mendirikan Kantor Berita Indonesische Persbureau
di Nederland.
7. Tahun 1944 Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi anggota Naimo Bun Kyiok
Sanyo (Kantor Urusan Pengajaran dan Pendidikan).
8. Pada tanggal 8 maret 1955 ditetapkan pemerintah sebagai perintis Kemerdekaan
Nasional Indonesia.
9. Pada tanggal 17 Agustus Ki Hadjar Dewantara dianugerahi oleh Presiden/Panglima
Tertinggi Angkatan Perang RI bintang maha putera tingkat I.

Rekomendasi Buku Biografi

1. Ki Hadjar Dewantara: Putra Keraton Pahlawan Bangsa

2. Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara: Tantangan dan Relevansi


3. Super Trik Sukses & Kaya Ala Bob Sadino
H. Kelahirannya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional

Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan


Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani yang menjadi slogan
Kementerian Pendidikan.

Namanya juga diabadikan sebagai salah satu kapal perang di Indonesia yaitu KRI
Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas Rp 20.000 tahun emisi
1998.

Ki Hajar Dewantara dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang kedua oleh


Presiden Soekarno pada 28 November 1959 berdasarkan Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, 28 November 1959). Untuk mengingat jasa-
jasa Ki Hajar Dewantara, didirikanlah Museum Dewantara Kirti Griya di Yogyakarta.

I. Wafatnya Ki Hajar Dewantara

Perjuangan Ki Hajar Dewantara belum selesai untuk mendidik penerus bangsa,


namun ia sudah wafat terlebih dahulu pada 26 April 1959 dan dimakamkan di
pemakaman keluarga Taman Siswa Wijaya Brata, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai