Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan
kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para
priayi maupun orang-orang belanda.
Menyambut Hari Pahlawan Nasional, Moms bisa mengajarkan sosok Ki Hajar Dewantara
pada Si Kecil.
Untuk itu, yuk simak biodata dan biografi singkat Ki Hajar Dewantara di si
Ki Hajar Dewantara dikenal sebagai tokoh pemikir yang visioner dan gigih dalam
memperjuangkan pendidikan dan kebudayaan Indonesia.
Berikut ini biografi singkat Ki Hajar Dewantara, mulai dari pendidikannya hingga
perjuangannya untuk bangsa Indonesia.
Ia merupakan putra dari GPH Soerjaningrat dan cucu dari Paku Alam III.
Sekolah tersebut merupakan sekolah dasar khusus untuk anak-anak yang berasal
dari Eropa .
3
Namun, ia tidak menamatkannya karena kondisi kesehatan yang buruk.
Tanpa melanjutkan sekolah, ia pun bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa
surat kabar.
Ia pernah bekerja untuk surat kabar Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan
Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Ki Hajar Dewantara memulai kariernya sebagai
seorang wartawan atau penulis di beberapa media.
Salah satu tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkenal yaitu, "Seandainya Aku Seorang
Belanda", yang memiliki judul asli Als ik een Nederlander was.
Tulisan tersebut dimuat dalam surat kabar de Express milik Dr. Douwes Dekker, tahun
1913.
Artikel tersebut ditulis sebagai protes atas rencana pemerintah Belanda untuk
mengumpulkan sumbangan dari Hindia Belanda (Indonesia), guna perayaan kemerdekaan
Belanda dari Prancis .
Selain bertugas menjadi wartawan, Ki Hajar Dewantara juga ikut tergabung dengan
organisasi Boedi Oetomo (BO) tahun 1908.
Selain dari menulis, bersama dengan rekannya, Cipto Mangunkusumo dan Douwes
Dekker, Ki Hajar Dewantara juga mendirikan Indische Partij.
Partai ini menggabungkan kelompok masyarakat, seperti kelompok Indo (campuran Eropa
dan Pribumi), dan Pribumi atau Bumiputera.
3
Indische Partij aktif bergerak di penjuru Hindia Belanda dengan tujuan menyebarkan
gagasan nasionalisme, dan mendapatkan dukungan dari rakyat, dengan tujuan mengakhiri
penjajahan yang terjadi di tanah air.
Gerakan serta sindiran Ki Hajar Dewantara dalam tulisannya dan di beberapa tulisan
lainnya pada akhirnya menyulut kemarahan dari Belanda.
Namun, atas permintaan kedua rekannya yang juga dihukum dan diasingkan, yaitu dr.
Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, pengasingan mereka pun dipindahkan
ke Belanda.
Setelah melewati masa pengasingan pada tahun 1918, Soewardi pun mulai mencurahkan
perhatiannya yang tinggi dalam bidang pendidikan, dengan tujuan untuk
meraih kemerdekaan Indonesia .
Taman Siswa merupakan sebuah perguruan yang bercorak nasional dengan menekankan
rasa kebangsaan dan cinta tanah air , serta semangat juang untuk memperoleh
kemerdekaan.
Tidak hanya melalui pendirian Taman Siswa, perjuangan Ki Hajar Dewantara juga
melanjutkan menulis di berbagai surat kabar.
Bedanya, tulisannya kali ini tidak lagi bernuansa politik, melainkan lebih dalam bidang
pendidikan dan kebudayaan.
3
Tut Wuri Handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan
dan arahan).
Ing Madya Mangun Karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan
prakarsa dan ide).
Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau
contoh tindakan baik).
Semboyan-semboyan tersebut masih tetap digunakan dalam dunia pendidikan kita, hingga
saat ini, utamanya di sekolah Taman Siswa.
Hal tersebut bertujuan agar ia dapat dengan bebas lebih dekat, baik secara fisik maupun
hati dengan rakyat Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang , ia diangkat sebagai salah satu pimpinan pada organisasi
Putera, bersama dengan Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, dan K.H. Mas Mansur.
Berkat perjuangannya tersebut, tak heran jika ia dijadikan pahlawan nasional untuk
pendidikan di Indonesia, serta hari lahirnya, yaitu pada tanggal 2 Mei dijadikan sebagai
Hari Pendidikan Nasional.
Setelah itu Ki Hajar Dewantara juga mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas
Gajah Mada (1959) serta diangkat sebagai pahlawan nasional pada tahun 1959.
Ki Hajar Dewantara meninggal dunia di Kota Yogyakarta pada tanggal 26 April 1959.
3
Jenazahnya kemudian disimpan di Pendapa Agung Taman Siswa untuk kemudian
dimakamkan di Taman Wijaya Brata pada tanggal 29 April 1959.
Taman Wijaya Brata beralamat di Jl. Soga No.28, Tahunan, Kec. Umbulharjo, Kota
Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Buku pertama miliki Ki Hajar Dewantara ini berisikan tentang gagasan dan pemikirannya
dalam pendidikan nasional di Indonesia.
Beberapa pembahasan utama yang terdapat di buku ini adalah Pendidikan kanak-kanak,
Pendidikan Sistem Pondok, Adab dan etika keteladanan, Pendidikan dan kesusilaan.
Pada buku ini, Ki Hajar Dewantara menuliskan tentang pendidikan lagi, tetapi lebih
membahas mengenai kebudayaan dan kesenian.
Di bukunya yang ketiga, Ki Hajar Dewantara yang menuliskan tentang kisah politik yang
terjadi di tahun 1913-1922.
Selain itu, beliau juga menggambarkan tentang kisah perempuan dan pejuangannya di
masa tersebut.
3
Pada buku bagian keempat, Ki Hajar Dewantara tidak lagi menuliskan tentang kisah
pendidikan dan politik pada masanya.
Di buku ini, ia lebih banyak mengisahkan tentang kisah kehidupan dan perjuangan hidup
perintis.
Ki Hajar Dewantara dilahirkan pada hari kamis legi, 2 Ramadhan 1309 H atau bertepatan dengan tanggal
2 Mei 1889. Karena keluarga besar beliau merupakan keturunan pangeran Kadipaten Puro Pakualaman
yang notabenenya adalah seorang ningrat, maka nama lengkapnya menjadi Raden Mas Soewardi
Soejaningrat.
Soewardi kecil mendapatkan pendidikan pesantren di Kalasan asuhan Kyai Haji Soleman Abdurrohman.
Setelah ayah Soewardi merasa bahwa ilmu agama yang diperoleh anaknya dari pondok pesantren sudah
cukup, maka, ayah Soewardi memutuskan untuk memasukkan Soewardi ke sekolah Govermen Belanda,
yakni ELS (Eropessche Lagere School) yang berada di kampung Bintaran dekat dengan kadipaten tempat
tinggal Soewardi.
Setelah lulus dari ELS, ayah Soewardi menginginkan Soewardi melanjutkan sekolah ke OSVIA (Opleiding
School Voor Inlandsche Ambtenaren) yang merupakan sekolah bagi calon pegawai Govermen Belanda.
Namun, Soewardi lebih memilih untuk melanjutkan sekolah ke Kweekschool, yang merupakan sekolah
bagi calon guru. Karena Soewardi sudah merasakan adanya kesenjangan pendidikan antara anak-anak
Belanda, anak bangsawan dan rakyat jelata.
Dalam perjalananya, Soewardi bertemu dengan dr. Wahidin Soedirohoesodo yang menawarkan
pendidikan dokter bagi anak-anak bangsawan. Mendengar pemaparan dr. Wahidin bahwa rakyat
kekurangan tenaga medis, maka Soewardi memutuskan untuk meninggalkan sekolah Kweekschool dan
memilih melanjutkan sekolah di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yang terletak di
Batavia.
Di STOVIA, Soewardi bertemu dengan anak-anak bangsawan lain dari berbagai daerah yang ternyata
memiliki visi perjuangan yang sama dengannya. Sehingga, kegiatannya di sekolah tidak hanya diisi
dengan belajar mata pelajaran sekolah saja melainkan diisi dengan diskusi-diskusi kebangsaan.
Akhirnya, melalui pelajar yang belajar di STOVIA inilah, pada tahun 1908 lahirlah organisasi Boedi
Oetomo. Boedi Oetomo berupaya menjadi wadah aspirasi bagi pemuda inlander, terutama melalui
dunia jurnalistik. Kegiatan yang cukup padat, baik di sekolah maupun di Boedi Oetomo akhirnya
membuat kondisi kesehatan Soewardi semakin menurun. Kondisi tersebut cukup mempengaruhi
kualitasnya sebagai seorang pelajar. Sehingga, tanpa disangka, pada saat pengumuman kenaikan kelas
ke kelas lima ternyata Soewardi dinyatakan tidak naik kelas karena nilainya terlalu jelek.
Perasaan kecewa yang teramat dalam menggelayuti pikiran Soewardi ketika itu, namun karena
dukungan keluarga dan teman-teman, Soewardi berupaya bangkit dan menerima kenyataan. Pada
tahun 1910, Soewardi mendapatkan tawaran pekerjaan sebagai ahli kimia di Laboratorium Pabrik Gula
Kalibogor. Namun, pada tahun 1911, Soewardi menyatakan mengundurkan diri dari pekerjaannya
karena ia tidak sanggup melihat rakyat yang bekerja dipelakukan secara kasar. Di saat yang sama, Boedi
Oetomo sedang berupaya menetapkan tujuan. Soewardi mendapatkan ajakan untuk bergabung dengan
3
organisasi Sarekat Dagang Islam, yang merupakan organisasi perjuangan yang bergerak di bidang politik
dan agama. Pada organisasi terssebut, Soewardi menjadi penulis yang aktif menulis di berbagai media
masa. Mulai dari sanalah kemudian Soewardi mengenal berkenalan dengan organisasi lainnya.
Pada tahun 1913 Soewardi menikah dengan Raden Ayu Soetartinah, yang juga merupakan kerabat dari
ayah Soewardi. Beberapa hari setelah pernikahan, Soewardi ditangkap oleh polisi Belanda karena
dianggap memberikan dukungan pada rakyat melalui tulisan-tulisannya. Akhirnya, sebagai hukumannya
Soewardi diasingkan dan ia memilih untuk diasingkan ke Belanda. Di Belanda kehidupan Soewardi dan
Soetartinah sangat terkatung-katung. Namun, di Belanda justru Soewardi didekatkan kembali dengan
cita-cita masa lalunya untuk menjadi seorang guru. Soewardi berteman baik dengan Mr. John Dewey,
Mr. Rabindranat Tagore, Mr.J.J. Rousseau, dr. Maria Montessori, Mr. Kerschensteiner dan Mr. Frobel.
Soewardi sangat kagum pada metode Frobel yang menerapkan pendidikan dengan menyanyi dan
bermain. Kemudian, metode dr.Maria yang menerapkan metode pendidikan dengan menitik beratkan
pada panca indra.
Lama berkiprah di dunia tulis menulis di organisasi, Soewardi memutuskan untuk kembali memfokuskan
dirinya pada dunia pendidikan. Karirnya sebagai seorang pendidik, diawali dengan menjadi guru di
sekolah Adhi Darmo yang didirikan kakaknya Raden Mas Soerjopranoto. Setelah satu tahun Soewardi
menjadi guru, munculah ide gagasannya untuk mendirikan sekolah sendiri. Akhirnya, pada 3 Juli 1922,
Soewardi memutuskan untuk mendirikan sekolah baru yang Ia beri nama National Onderwijs Instituut
Tamansiswa”. Sekolah yang didirikannya tersebut, merupakan bentuk protesnya terhadap sekolah yang
didirikan oleh kolonial Belanda yang sebenarnya tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, filosofi dan seluruh aktivitas di Tamansiswa dilandasi oleh kebudayaan bangsa
Indonesia, agar anak-anak Inlander dapat menjadi seorang intelektual yang berbudi pekerti serta
mencintai tanah airnya.
Pada 1932, pemerintah Belanda menyita semua barang-barang yang ada di Tamansiswa, karena
Tamansiswa tidak membayar pajak pada pemerintah Belanda. Barang-barang yang disita tersebut
kemudian dilelang ke bangsawan-bangsawan hingga membuat hati Soewardi merasa sangat marah
sekaligus sedih. Namun, diluar dugaannya ternyata bangsawan-bangsawan tersebut memberikan
barang-barang yang telah dilelang tersebut untuk Tamansiswa kembali. Setelah pendirian Tamansiswa
tersebut, Soewardi mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara pada 23 Februari 1928.
Selama berjalannya waktu, Tamansiswa semakin berkembang. Ki Hadjar Dewantara pun dikenal dengan
pelopor pendidikan Indonesia. Hal tersebut membawanya pada jabatan sebagai Menteri Pengadjaran
pada awal kemerdekaan dan juga anggota DPR pada pemerintahan RIS pada 1949 menjelang 1950
(Republik Indonesia Serikat). Namun pada tahun 1950, Ki Hadjar memutuskan untuk mengundurkan diri
dari jabatannya sebagai anggota DPR dan memilih mengurus Tamansiswa. Selama mengurus
Tamansiswa, Ki Hadjar tidak berpangku tangan, Ia pun masih aktif menulis di berbagai media masa
untuk menuangkan pemikirannya, diantaranya mengenai Tri Pusat Pendidikan yang diusungnya pada
Taman Siswa maupun mengenai pendidikan bagi kaum perempuan. Kegiatan-kegiatan tersebutlah yang
mengisi hari-hari Ki Hadjar, hingga beliau wafat pada 26 April 1959.
3
Foto ki hajar dewantara
Taman siswa
3
Makam ki hajar dewantara
3
KLIPING BIOGRAFI
KI HAJAR DEWANTARA
3
Disusun oleh :
ZAIDAN RIZQULLAH MUHSININ
3 AL MALIK
SDIT DARUL FALAH SUKOREJO
PONOROGO
TAHUN 2023
3
IDENTITAS DIRI