Anda di halaman 1dari 5

BIOGRAFI KI HAJAR DEWANTARA

Ki Hajar Dewantara adalah tokoh nasional pendidikan. Ia


terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang
kemudian kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Beliau sendiri
lahir di Kota Yogyakarta, pada tanggal 2 Mei 1889, Hari
kelahirannya kemudian diperingati setiap tahun oleh Bangsa
Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Beliau sendiri terlahir
dari keluarga Bangsawan, ia merupakan anak dari GPH
Soerjaningrat, yang merupakan cucu dari Pakualam III. Terlahir
sebagai bangsawan maka beliau berhak memperoleh pendidikan
untuk para kaum bangsawan.

Ki Hajar Dewantara merupakan aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia,


kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman
penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan
yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak
pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan


Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan
Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah
nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang
kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998.

Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada
28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959).

Ki Hadjar Dewantara menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) dan
kemudian melanjutkan sekolahnya ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) tapi lantaran
sakit, sekolahnya tersebut tidak bisa dia selesaikan.

Ki Hadjar Dewantara kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar


antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja
Timoer dan Poesara. Pada masanya, Ki Hadjar Dewantara dikenal penulis handal. Tulisan-
tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan
semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain bekerja sebagai seorang wartawan muda, Ki Hadjar Dewantara juga aktif
dalam berbagai organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, Ki Hadjar Dewantara aktif di
seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran
masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam
berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi)
dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo yang nantinya akan dikenal sebagai Tiga Serangkai, Ki
Hadjar Dewantara mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran
nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai
Indonesia merdeka.

Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan


hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui
Gubernur Jendral Idenburg menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913 karena
organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalism dan kesatuan rakyat untuk
menentang pemerintah kolonial Belanda.

Ki Hadjar Dewantara dipercaya oleh presiden Soekarno untuk menjadi Menteri


Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Melalui jabatannya ini, Ki Hadjar
Dewantara semakin leluasa untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Pada
tahun 1957, Ki Hadjar Dewantara mendapatkan gelar Doktor Honori Klausa dari Universitas
Gajah Mada.

Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, tepatnya pada tanggal
28 April 1959 Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kini, nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan
pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari
Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui
surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.

Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda bertujuan untuk mengumpulkan sumbangan


dari warga pribumi. Dana ini digunakan untuk merayakan kemerdekaan Belanda dari Prancis
pada tahun 1913. Atas aksi Hindia Belanda ini timbullah reaksi kritis dari golongan berhaluan
perkembangan nasionalisme indonesia termasuk Ki Hajar Dewantara muda. Wajar saja
karena tingkah Hindia Belanda sangat tidak tahu diri yaitu merayakan kemerdekaan di tanah
bangsa yang mereka rebut kemerdekaannya. Ditambah lagi mereka juga mengumpulkan
sumbangan dari warga. Ki Hajar Dewantara muda bereaksi dan menulis sebuah artikel
berjudul “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” atau “Satu untuk Semua, tetapi Semua
untuk Satu”.
Tapi tulisan Ki Hajar Dewantara yang sangat terkenal adalah “Seandainya Aku
Seorang Belanda” atau dalam Bahasa Belanda berjudul “Als ik een Nederlander was”. Karya
Ki Hajar Dewantara ini dimuat dalam koran bernama De Expres yang dipimpin oleh Douwes
Dekker pada tanggal 13 Juli 1913. Artikel buatan Ki Hajar Dewantara ini merupakan kritikan
yang sangat pedas untuk kalangan pejabat Hindia Belanda. Contoh kutipan artikel tersebut
antara lain sebagai berikut.

“Seandainya aku seorang Belanda, aku tidak akan melaksanakan pesta-pesta


kemerdekaan di negara yang telah kita rebut sendiri kemerdekaannya. Setara dengan cara
berpikir seperti itu, hal ini selain tidak adil, tapi juga tidak pas untuk menyuruh si penduduk
pribumi memberikan sumbangan untuk mendanai perayaan itu. Munculnya ide untuk
menyelenggarakan perayaan kemerdekaan itu saja sudah merupakan suatu penghinaan,
dan sekarang kita keruk pula dompet para pribumi. Ayo, tidak apa-apa, teruskan saja
penghinaan lahir dan batin itu! Seandainya aku seorang Belanda, aspek yang bisa
menyinggung perasaanku dan saudara-saudara sebangsaku adalah kenyataan bahwa
pribumi wajib ikut membiayai suatu perayaan yang tidak ada kepentingan dan hubungan
sedikit pun baginya”.

Beberapa petinggi Hindia Belanda awalnya meragukan tulisan ini benar-benar dibuat
oleh Ki Hajar Dewantara muda sendiri. Karena gaya bahasa dan isi artikelnya yang
cenderung berbeda dari artikel-artikelnya selama ini. Sekalipun benar bahwa Ki Hajar
Dewantara muda yang menulis, para petinggi Hindia Belanda percaya ada kemungkinan
Douwes Dekker mempengaruhi Ki Hajar Dewantara muda untuk menulis secara kritis seperti
itu.

Karena artikel ini Ki Hajar Dewantara ditangkap atas perintah dari Gubernur Jenderal
Idenburg lalu akan diasingkan ke Pulau Bangka. Sesuai dengan permintaan Ki Hajar
Dewantara sendiri. Tapi dua rekan Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker dan Tjipto
Mangoenkoesoemo, memprotes keputusan itu dan akhirnya mereka bertiga malah
diasingkan ke Belanda pada tahun 1913. Ketiga tokoh ini lalu dikenal dengan julukan “Tiga
Serangkai”. Ki Hajar Dewantara muda di kala itu masih berusia 24 tahun.

Ketika diasingkan di Belanda, Ki Hajar


Dewantara masuk dalam organisasi yang
menjadi wadah bagi para pelajar asal
Indonesia. Organisasi tersebut bernama
Indische Vereeniging atau yang dalama
Bahasa Indonesia dikenal dengan
Perhimpunan Hindia. Tahun 1913, Ki Hajar
Dewantara mendirikan sebuah biro pers yang
bernama Indonesisch Pers-bureau yang dalam Bahasa Indonesia berarti kantor berita
Indonesia. Pertama kali inilah penggunaan formal dari istilah Indonesia. Istilah Indonesia ini
dulu diciptakan tahun 1850 oleh seorang ahli bahasa dari Inggris yang bernama George
Windsor Earl dan seorang pakar hukum dari Skotlandia yang bernama James Richardson
Logan.

Di

sinilah Ki Hajar Dewantara kemudian memulai impiannya meningkatkan kualitas kaum


pribumi dengan mempelajari ilmu pendidikan. Hingga akhirnya berhasil mendapatkan
Europeesche Akta. Europeesche Akta adalahijazah bidang pendidikan yang bernilai tinggi
dan kelak menjadi landasan untuk memulai institusi pendidikan yang didirikannya. Dalam
masa hidupnya ini, Ki Hajar Dewantara tertarik pada beberapa pemikian sejumlah tokoh
pendidikan dari dunia Barat. Contohnya seperti Montesseri dan Frobel, pergerakan
pendidikan di negara Asia Selatan khususnya India yang dipimpin keluarga Tagore. Pemikian
inilah yang mempangaruhi dan mendasari Ki Hajar Dewantara dalam mengembangkan
aturan pendidikannya nanti.

Taman Siswa ki hajar dewantaraKi Hajar Dewantara kembali ke tanah air pada bulan
September tahun 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya.
Pada tanggal 3 Juli 1922 setelah mendapat pengalaman mengajar, Ki Hajar Dewantara
mendirikan institusi pendidikan bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau
dalam Bahasa Indonesia Perguruan Nasional Tamansiswa. Tiga slogan Ki Hajar Dewantara di
sistem pendidikan yang digunakannya saat ini sangat dikenal di kalangan siswa dan tenaga
pengajar di seluruh Indonesia.
Tiga slogan dalam bahasa Jawa itu berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani yang dalam Bahasa Indonesia berarti yang di depan
memberikan teladan, yang di tengah memberi semangat atau dukungan, yang di belakang
memberi dorongan. Tentu semua siswa sangat paham dengan arti tut wuri handayani.
Slogan ini tetap digunakan dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia hingga saat ini.
Khususnya di Perguruan Tamansiswa.

Setelah Indonesia merdeka, dalam kabinet pertama Republik Indonesia, Ki Hajar


Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia yang pertama. Pada tahun 1957
ia mendapat gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa dari Universitas Gadjah
Mada. Karena Ki Hajar Dewantara sangatlah berjasa dalam merintis pendidikan umum.
Selain itu, beliau dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari
kelahirannya pada tanggal 2 Mei dijadikan Hari Pendidikan Nasional diperingati tiap tahun.
Ki Hajar Dewantara menghembuskan nafas terakhir di Yogyakarta tanggal 26 April 1959.
Beliau dimakamkan di Taman Wijaya Brata.

Anda mungkin juga menyukai