Anda di halaman 1dari 5

Biografi dan Perjuangan Ki Hajar Dewantara Melawan

Penjajah Belanda

Biografi Singkat Ki Hajar Dewantara


Lahir pada 2 Mei 1889, di Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta.Ki Hajar Dewantara
bernama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat.Putra dari Gusti Pangeran Haryo
Soerjaningrat. Menjadi bagian dari keluarga Bangsawan Pakualam, Ki Hajar
Dewantara tidak lain adalah cucu dar Sri Paku Alam III.
Isteri : Sutartinah
Anak : Bambang Sukawati Dewantara, Ratih TarbiyahSubroto Aria Mataram
Sekolah
Pendidikan yang pernah ditempuh Ki Hajar Dewantara antara lain : ELS, STOVIA,
sekolah analis pada laboratorium Pabrik Gula Kalibagor di Banyumas.
Satu tahun menjadi seorang analis, Ki Hajar Dewantara akhirnya keluar dari
perusahaan gula tersebut. Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara menjadi pembantu
apoteker di Apotik Rathkamp, Malioboro Yogyakarta pada tahun 1911.
Ki Hajar Dewantara juga sebagai seorang jurnalis pada Surat Kabar
‘Sedyotomo’(Bahasa Jawa), dan ‘Midden Java’ (Bahasa Belanda) di Yogyakarta
dan De Express di Bandung.
Budi Utomo dan Ki Hajar Dewantara
Selain telaten, komitmen dan ulet sebagai seorang jurnalis muda, Ki Hajar
Dewantara muda juga sangat aktif di organisasi sosial dan politik. Ketika Boedi
Oetomo (BO) berdiri pada 20 Mei 1908, Ki Hajar Dewantara masuk ke organisasi
ini dan dia aktif di bagian propaganda untuk melakukan sosialisasi dan
membangunkan kesadaran mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam
berbangsa dan bernegara. Kongres pertama Boedi Oetomo diselenggarakan di
Yogyakarta juga diatur oleh Ki Hajar Dewantara.
Aktivitas Pergerakan Ki Hajar Dewantara
Selain di Boedi Oetomo, Ki Hajar Dewantara muda juga sangat aktif di organisasi
Insulinde. Insulinde merupakan organisasi multietnis yang menampung kaum
Indo. Tujuannya yaitu menginginkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda.
Sebenarnya, idealisme ini dipengaruhi oleh Ernest Douwes Dekker. Ernest
Douwes Dekker atau lebih dikenal dengan nama Indonesia yaitu Danudirja
Setiabudi adalah orang keturunan asing yang mengobarkan semangat anti
kolonialisme. Lalu ketika Douwes Dekker membentuk Indische Partij, Ki Hajar
Dewantara juga diajak untuk bergabung.
Tulisan Ki Hajar Dewantara
Sebagai aktivis, Ki Hajar Dewantara dan bersama 2 temannya yakni, Dr. Cipto
Mangunkusumo, dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker, kerap menulis artikel tentang
bentuk perlawanannya terhadap penjajah Belanda.
Pada tahun 1913 Pemerintah Hindia Belanda bertujuan untuk mengumpulkan
sumbangan dari warga pribumi. Dana ini digunakan untuk merayakan
kemerdekaan Belanda dari Prancis . Atas aksi Hindia Belanda ini timbullah reaksi
kritis dari golongan berhaluan nasionalisme indonesia termasuk Ki Hajar
Dewantara muda. Wajar saja karena tingkah Hindia Belanda sangat tidak tahu diri
yaitu merayakan kemerdekaan di tanah bangsa yang direbut kemerdekaannya
dan mereka juga mengumpulkan sumbangan dari warga pribumi. Ki Hajar
Dewantara muda bereaksi dan menulis sebuah artikel berjudul “Een voor Allen
maar Ook Allen voor Een” atau “Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu”.
Tapi tulisan Ki Hajar Dewantara yang sangat terkenal adalah “Seandainya Aku
Seorang Belanda” atau dalam Bahasa Belanda berjudul “Als ik een Nederlander
was”. Karya Ki Hajar Dewantara ini dimuat dalam koran bernama De Expres yang
dipimpin oleh Douwes Dekker pada tanggal 13 Juli 1913. Artikel buatan Ki Hajar
Dewantara ini merupakan kritikan yang sangat pedas untuk kalangan pejabat
Hindia Belanda. Contoh kutipan artikel tersebut antara lain sebagai berikut:
“Seandainya aku seorang Belanda, aku tidak akan melaksanakan pesta-pesta
kemerdekaan di negara yang telah kita rebut sendiri kemerdekaannya. Setara
dengan cara berpikir seperti itu, hal ini selain tidak adil, tapi juga tidak pas untuk
menyuruh si penduduk pribumi memberikan sumbangan untuk mendanai
perayaan itu. Munculnya ide untuk menyelenggarakan perayaan kemerdekaan itu
saja sudah merupakan suatu penghinaan, dan sekarang kita keruk pula dompet
para pribumi. Ayo, tidak apa-apa, teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu!
Seandainya aku seorang Belanda, aspek yang bisa menyinggung perasaanku dan
saudara-saudara sebangsaku adalah kenyataan bahwa pribumi wajib ikut
membiayai suatu perayaan yang tidak ada kepentingan dan hubungan sedikit
pun baginya”.
Beberapa petinggi Hindia Belanda awalnya meragukan tulisan ini benar-benar
dibuat oleh Ki Hajar Dewantara muda sendiri. Karena gaya bahasa dan isi
artikelnya yang cenderung berbeda dari artikel-artikelnya selama ini. Sekalipun
benar bahwa Ki Hajar Dewantara muda yang menulis, para petinggi Hindia
Belanda percaya ada kemungkinan Douwes Dekker mempengaruhi Ki Hajar
Dewantara muda untuk menulis secara kritis seperti itu.
Karena artikel ini Ki Hajar Dewantara ditangkap atas perintah dari Gubernur
Jenderal Idenburg lalu akan diasingkan ke Pulau Bangka.
Pada 18 Agustus 1913 keluar Keputusan Pemerintah Hindia Belanda tenteng
perintah pembuangan Ki Hajar Dewantara ke Bangka, sedangkan dr. Cipto
Mangunkusumo ke Banda Neira, dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker ke Timor Kupang.
Namun atas kesepakatan mereka bertiga meminta supaya dibuang ke Belanda,
dan permintaan mereka dikabulkan.
Di bidang pers, bagi Ki Hadjar Dewantara majalah atau surat kabar merupakan
wahana yang sangat penting bagi suatu lembaga untuk menyebarkan cita-citanya
kepada masyarakat. Oleh karena itu, beliau menerbitkan brosur dan majalah
‘Wasita’ (tahun 1928-1931), selanjutnya menerbitkan majalah ‘Pusara’ (1931).
Di samping kedua majalah tersebut, Ki Hadjar Dewantara juga menerbitkan
Majalah ‘Keluarga’ dan " Keluarga Putera" (1936). Sedangkan di bidang kesenian,
Ki Hadjar Dewantara mengarang buku methode/notasi nyanyian daerah Jawa
‘Sari Swara’, diterbitkan tahun 1930 oleh JB. Wolters.
Dari buku tersebut, Ki Hadjar Dewantara menerima royalty, untuk membeli mobil
Sedan Chevrolet. Sebelumnya, beliau pada tahun 1926 menciptakan
lagu/gendhing Asmaradana ‘Wasita Rini’ diperuntukan bagi para anggota Wanita
Tamansiswa.
Pengasingan Ki Hajar Dewantara di Belanda
Diasingkan di Belanda, Ki Hadjar Dewantara mulai bercita-bercita untuk
memajukan kaum pribumi setelah berhasil mendapatkan ijazah pendidikan yang
dikenal dengan nama Europeesche Akte, atau ijazah pendidikan yang bergengsi di
Belanda.
Ijazah tesebutlah yang kemudian membantu Bapak Pendidikan Nasional itu untuk
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang akan ia buat di Indonesia. Di
Belanda pula ia memperoleh pengaruh dalam mengembangkan sistem
pendidikannya sendiri.
Perguruan Taman Siswa
Ki Hajar Dewantara kembali ke tanah air pada bulan September tahun 1919.
Kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pada tanggal 3 Juli
1922 Ki Hajar Dewantara mendirikan institusi pendidikan bernama Nationaal
Onderwijs Instituut Tamansiswa atau dalam Bahasa Indonesia Perguruan Nasional
Tamansiswa. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan
kepada peserta didik, agar mencintai bangsa dan tanah airnya, serta berjuang
untuk memperoleh kemerdekaan.
Selain itu, Ki Hajar Dewantara memperjuangkan Pendidikan Nasional dengan cara
menyelenggaran perguruan nasional, diterima oleh Kongres Perkumpulan Partai-
partai Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI) di Surabaya. Dalam kongres yang
berlangsung 31 Agustus 1928 tersebut, Beliau mengemukakan perlunya
pengajaran nasional sebelum bangsa Indonesia mempunyai pemerintahan
nasional sendiri.
Quotes Ki Hajar Dewantara

Tiga slogan dalam bahasa Jawa itu berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya
mangun karsa, tut wuri handayani yang dalam Bahasa Indonesia berarti yang di
depan memberikan teladan, yang di tengah memberi semangat atau dukungan,
yang di belakang memberi dorongan. Tentu semua siswa sangat paham dengan
arti tut wuri handayani. Slogan ini tetap digunakan dalam dunia pendidikan
Indonesia hingga saat ini,terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Taman siswa.

Karir Ki Hajar Dewantara Setelah Indonesia Merdeka


Setelah Indonesia merdeka, dalam kabinet pertama Republik Indonesia, Ki Hajar
Dewantara diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia yang pertama. Pada
tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa dari
Universitas Gadjah Mada. Karena Ki Hajar Dewantara sangatlah berjasa dalam
merintis pendidikan umum.
Wafat
Ki Hajar Dewantara wafat pada 26 April 1959 dimakamkan di pemakaman
keluarga Taman Siswa Wijaya Brata, Yogyakarta. Beliau dianugerahkan sebagai
Bapak Pendidikan Nasional, dan tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan Hari
Pendidikan Nasional. KI Hajar Dewantara juga merupakan seorang aktivitas
pergerakan Kemerdekaan Indonesia. Berkat perjuangan kerasnya, detik ini putra-
putri tanah air bisa dengan mudah mengenyam pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai