Anda di halaman 1dari 4

Sejarah Ki Hadjar Dewantara

Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889. Berasal dari lingkungan


keluarga Keraton Yogyakarta, ia lahir dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat.
Sebagai keturunanningrat, Soewardi kecil berkesempatan menempuh pendidikan bersama
anak-anak bangsa Eropa di Hindia Belanda. Bagaimana ia kelak membuat marah penjajah
dan menjadi pahlawan Pendidikan.

Ki Hajar Dewantara kecil sekolah di sekolah dasar untuk orang Eropa, Eurepeesche
Lagere School (ELS). Ia lalu melanjutkan pendidikan ke STOVIA, sekolah dokter
bumiputera pada 1905. Karena kerap sakit, ia tidak menamatkan sekolah tingginya. Sejumlah
sumber lain mendapati pemerintah Belanda-lah yang memutus beasiswa pendidikannya pada
1910. Kendati demikian, ia gemar mencari ilmu di berbagai tempat, seperti dikutip dari
Kumpulan Pahlawan Indonesia Terlengkap oleh Mirnawati

Ki Hajar Dewantara belajar beragam hal baru dari menggeluti profesi sebagai
wartawan. Salah satu surat kabar yang pernah menjadi tempatnya berkarya yaitu Sedyotomo,
Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Muoeda, Tjahaja Timur, dan Poesara.
Tulisannya dinilai sangat komunikatif, tajam, dan partiotik, sehingga mampu membangkitkan
semangat antipenjajahan. Ia juga aktif di organisasi Budi Utomo untuk menggugah kesadaran
masyarakat agar bersatu mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Pada 25 Desember 1912, ia
juga membentuk Indische Partij, partai politik nasionalisme pertama bersama Douwes
Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo untuk mewujudkan kemerdekaan.

Membuat Marah Belanda

Peresmian Indische Partij ditolak pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jenderal
Idenburg karena dianggap dapat membangkitkan nasionalisme dan penentangan atas
penjajahan. Ki Hajar Dewantara dan tokoh Indische Partij lalu membuat Komite Bumiputra
pada 1913.

Komite ini bertujuan untuk mengkritik pemerintah Belanda yang menggunakan uang dan
sumber daya wilayah jajahannya untuk mengadakan perayaan-perayaan. Salah satunya yaitu
saat pemerintah Belanda hendak merayakan 100 tahun bebasnya negeri Belanda dari
penjajahan Prancis.
Kritik tersebut dituangkan Ki Hajar Dewantara detik.com/tag/ki-hajar-dewantara dalam surat
kabar De Express milik Douwes Dekker, seperti dikutip dari Ensiklopedia Pahlawan
Indonesia dari Masa ke Masa oleh Tim Grasindo. Kutipan tulisan Ki Hajar Dewantara
berjudul Als Ik Eens Nederlader Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) itu yakni sebagai
berikut:

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan
di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu,
bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan
sumbangan untuk dana perayaan itu."

Kritik tersebut membuat marah pemerintah Belanda sehingga Ki Hajar Dewantara diasingkan
ke Pulau Bangka. Tulisan Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo yang diniatkan
untuk membantunya juga dianggap Belanda sebagai tulisan menghasut rakyat, sehingga
keduanya juga diasingkan. Douwes Dekker dibuang ke Kupang, sementara dr. Cipto
Mangunkusumo ke Pulau Banda.

Suatu hari, mereka mengajukan usul pada Belanda agar bisa dibuang ke negeri Belanda agar
dapat belajar banyak hal, alih-alih di tempat terpencil tersebut. Akhirnya pada Agustus 1913,
permintaan mereka dikabulkan.

Mendirikan Taman Siswa

Kesempatan diasingkan ke Belanda dimanfaatkan Ki Hajar Dewantara sebaik-baiknya untuk


mendalami masalah pendidikan dan pengajaran di sana, sampai memperoleh Europeeshe
Akte, ijazah pendidikan bergengsi di Belanda. Ia kembali ke tanah air pada 1918 dan fokus
membangun pendidikan sebagai bagian alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Pada 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan bercorak nasional bersama
teman-temannya yang bernama Perguruan Nasional Tamansiswa (Nationaal Onderwijs
Instituut Tamansiswa). Perguruan ini menekankan pendidikan dengan rasa kebangsaan pada
siswa. Para siswa ditanamkan rasa mencintai bangsa dan tanah air untuk berjuang
memperoleh kemerdekaan.
Ia juga tetap aktif menulis dengan teman pendidikan dan kebudayaan berwawasan
kebangsaan. Tulisannya yang mencapai ratusan buah tersebut menjadi dasar-dasar pendidikan
nasional bangsa Indonesia.

Setelah kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara sempat menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran,


dan Kebudayaan yang pertama. Ia juga meraih gelar doktor Honoris Causa dari Universitas
Gadjah Mada pada 1957. Dua tahun kemudian, sang pahlawan pendidikan Indonesia wafat
pada 28 April 1959 di Yogyakarta, dan dimakamkan di sana.

Asas Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara merupakan warisan budaya bangsa dan menjadi
salah satu kekayaan keilmuan milik bangsa Indonesia. Konsep pendidikan Ki Hajar
Dewantara pada dasarnya yang paling sesuai untuk meningkatkan kualitas pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya maupun pembangunan nasional yang bercirikan kepribadian
bangsa Indonesia. Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikenal dengan Panca Darma
(Lima Asas). Kelima asas tersebut adalah Asas Kodrat Alam, Asas Kemerdekaan, Asas
Kebudayaan, Asas Kebangsaan, dan Asas Kemanusiaan.

Dalam kaitan ini, Ki Hadjar Dewantara memahami kebudayaan selain sebagai buah budi
manusia, juga sebagai kemenangan atau hasil perjuangan hidup manusia. Kebudayaan selalu
berkembang seirama dengan perkembangan dan kemajuan hidup manusia. Ditopang oleh
pemikiran mengenai kebudayaan sebagai perkembangan kemanusiaan itu, maka Ki Hadjar
Dewantara melihat posisi kebudayaan bangsa Indonesia di tengah-tengah kebudayaan bangsa-
bangsa lain di dunia ini, yakni sebagai penunjuk arah dan pedoman untuk mencapai
keharmonisan sosial di Indonesia. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai kebudayaan ini
kemudian dituangkan dalam Pasal 32 UUD 1945. Dalam konteks itu pula, asas ini
menekankan perlunya memelihara nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan nasional.

Dalam konteks itu pula, asas ini diperjuangkan Ki Hadjar Dewantara untuk mengatasi segala
perbedaan dan diskriminasi yang dapat tumbuh dan terjadi berdasarkan daerah, suku,
keturunan atau pun keagamaan. Bagi Ki Hadjar kebangsaan tidaklah mempunyai konotasi,
rasial biologis, status sosial ataupun keagamaan. Rasa kebangsaan adalah sebagaian dari rasa
kebatinan kita manusia, yang hidup dalam jiwa kita dengan disengaja. Asal mulanya rasa
kebangsaan itu timbul dari Rasa Diri, yang terbawa dari keadaan perikehidupan kita, lalu
menjalar menjadi Rasa Keluarga; Rasa ini terus jadi Rasa Hidup bersama (rasa sosial).

Anda mungkin juga menyukai