Anda di halaman 1dari 5

Makalah Biografi

Ki Hajar Dewantara Sebagai Tokoh Pendidikan di


Indonesia

Nama : Rian Febriansyah


Kelas : Manajemen P
BAB I
PENDAHULUAN

Mengingat bahwa sistem pendidikan pemerintah kolonial pada masa itu tidak demokratis
karena bersifat elit, diskriminatif dan diorientasikan pada kepentingan pemerintah penjajahan,
maka sistem pendidikan rakyat yang sudah ada perlu dibina dan dikembangkan untuk
menjangkau kepentingan rakyat secara lebih luas. Disamping mengembangkan lembaga-
lembaga pendidikan rakyat tradisional yang pada umumnya berorientasi keagamaan, maka pada
masa itu muncul seorang tokoh muda Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang dikenal
dengan nama Ki Hajar Dewantara.

Ia bersama rekan-rekannya mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian


dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Setelah itu ia pun mendirikan sebuah perguruan yang
bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa)
pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada
peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh
kemerdekaan.

Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah
kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1
Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu
kemudian dicabut. Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di
Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke
pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah.
Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi
bangsa Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama


Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta.
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun
Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi
menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat
bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Perjalanan hidupnya benar-benar
diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah
Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di
beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia,
Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal.
Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu
membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain ulet sebagai seorang wartawan
muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi
propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat
Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan
bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran
nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia
merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum
pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral
Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada
tanggal 11 Maret 1913.
Karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan
menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Ia melancarkan kritik
terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri
Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai
pesta perayaan tersebut. Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat
tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor
Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga).
Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres
milik dr. Douwes Dekker. Akibat karangannya yang menghina itu, pemerintah kolonial Belanda
melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa
hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat
tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau
Bangka. Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa
memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri
Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu
dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah
air di tahun 1918. 
Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat
perjuangan meraih kemerdekaan. Ia mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional,
Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922.
Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar
mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Di
tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga
tetap rajin menulis.
Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan
berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia
berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Setelah zaman
kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang
tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei
dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan
Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.
Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah
Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada
tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus
perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk
melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat
benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam
kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah
penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik,
budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas
bantuan Badan Arsip Nasional.

B. Karya-Karya Ki Hajar Dewantara

Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang menjadi
representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sampai hari ini.
Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.
Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar
Dewantara Bagian II: Kebudayaan (1967). Kepiawaian dalam menulis karena beliau sejak muda
menjadi penulis dan wartawan.
Ketiga, Buku Bagian I Pendidikan terbagi dalam 8 bab: pendidikan nasional, politik
pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian, pendidikan keluarga, ilmu jiwa, ilmu
adab, dan bahasa. Tulisan tertua dalam buku ini yakni ’’Pendidikan dan Pengajaran Nasional’’
yang disampaikan sebagai prasaran dalam Kongres Permufakatan Pergerakan Kebangsaan
Indonesia (PPPKI) pada 31 Agustus 1928. Ki Hadjar Dewantara dalam tulisan itu mengatakan
bahwa kemerdekaan dalam dunia pendidikan memiliki tiga sifat: berdiri sendiri, tidak tergantung
pada orang lain, dapat mengatur diri sendiri. Buku Bagian II Kebudayaan terbagai dalam 5 bab:
kebudayaan umum, kebudayaan dan pendidikan/kesenian, kebudayaan dan kewanitaan,
kebudayaan dan masyarakat, hubungan dan penghargaan kita. Dua buku itu adalah
representasi pemikiran dan pembuktian dalam praktik pendidikan dan pengajaran dari Ki Hadjar
Dewantara. Pendidikan dan kebudayaan adalah basis kehidupan yang menentukan kualitas
manusia dan bangsa.

C. Pengaruh Pemikiran Ki Hajar Dewantara Dalam Pendidikan

Mendekati proses pendidikan dalam sebuah pemikiran cerdas untuk mendirikan sekolah
taman siswanya, jauh sebelum Indonesia mengenal arti kemerdekaan. Konsepsi Taman Siswa
pun coba dituangkan Ki Hajar Dewantara dalam solusi menyikapi kegelisahan-kegelisahan
rakyat terhadap kondisi pendidikan yang terjadi saat itu, sebagaimana digambarkan dalam asas
dan dasar yang diterapkan Taman Siswa. Orientasi Asas Dan Dasar Pendidikan Dari Ki Hajar
Dewantara diupayakan sebagai asas perjuangan yang diperlukan pada waktu itu menjelaskan
sifat pendidikan pada umumnya. Pengaruh pemikiran pertama dalam pendidikan adalah dasar
kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada
pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan upaya di dalam mendidik murid-murid supaya
dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka demi pencapaian tujuannya dan perlunya
kemajuan sejati untuk diperoleh dalam perkembangan kodrati. Hak mengatur diri sendiri berdiri
(Zelfbeschikkingsrecht) bersama dengan tertib dan damai (orde en vrede) dan bertumbuh
menurut kodrat (natuurlijke groei).
Ketiga hal ini merupakan dasar alat pendidikan bagi anak-anak yang disebut “among
metode” (sistem-among) yang salah satu seginya ialah mewajibkan guru-guru sebagai pemimpin
yang berdiri di belakang tetapi mempengaruhi dengan memberi kesempatan anak didik untuk
berjalan sendiri. Inilah yang disebut dengan semboyan “Tut Wuri Handayani”. Menyinggung
masalah kepentingan sosial, ekonomi dan politik kecenderungan dari bangsa kita untuk
menyesuaikan diri dengan hidup dan penghidupan ke barat-baratan telah menimbulkan
kekacauan. Menurut Kihajar Dewantara Sistem pengajaran yang terlampau memikirkan
kecerdasan pikiran yang melanggar dasar-dasar kodrati yag terdapat dalam kebudayaan sendiri.
Sementara hal yang menyangkut tentang dasar kerakyatan untuk memepertinggi pengajaran
yang dianggap perlu dengan memperluas pengajarannya. dan memiliki pokok asas untuk
percaya kepada kekuatan sendiri. Dalam dunia pendidikan mengharuskan adanya keikhlasan
lahir-batin bagi guru-guru untuk mendekati anak didiknya. Sesungguhnya semua hal tersebut
merupakan pengalaman dan pengetahuan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan barat yang
mengusahakan kebahagian diri, bangsa dan kemanusiaan.

BAB III
PENUTUP

Ajaran Ki Hajar Dewantara yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi
dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing
ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Pengaruh pemikiran pertama dalam pendidikan
adalah dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan
kepada pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan upaya di dalam mendidik murid-murid
supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka demi pencapaian tujuannya dan
perlunya kemajuan sejati untuk diperoleh dalam perkembangan kodrati.
Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang menjadi
representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sampai hari ini.
Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.
Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar
Dewantara Bagian II: Kebudayaan (1967).
DAFTAR PUSTAKA

 Tjaya, Thomas Hidya, 2004, Mencari Orientasi Pendidikan, Sebuah Perspektif Historis,
Jakarta,

Anda mungkin juga menyukai