Anda di halaman 1dari 15

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak zaman perjuangan kemerdekaan dahulu, para pejuang serta perintis
kemerdekaan telah menyadari bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat vital
dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta membebaskannya dari
belenggu penjajahan. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa disamping melalui
organisasi politik, perjuangan ke arah kemerdekaan perlu dilakukan melalui jalur
pendidikan.
Mengingat bahwa sistem pendidikan  pemerintah kolonial pada masa itu tidak
demokratis karena bersifat elit, diskriminatif dan diorientasikan pada kepentingan
pemerintah penjajahan, maka sistem pendidikan rakyat yang sudah ada perlu dibina
dan dikembangkan untuk menjangkau kepentingan rakyat secara lebih luas. Disamping
mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan rakyat tradisional yang pada umumnya
berorientasi keagamaan, maka pada masa itu muncul seorang tokoh muda Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat atau yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Ia
bersama rekan-rekannya mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian
dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Setelah itu ia pun mendirikan sebuah
perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa
(Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan
pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan
tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Tidak sedikit rintangan yang
dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya
merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932.
Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian
dicabut. Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di
Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa
politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah
ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar
pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan diatas, dapat
ditarik beberapa pokok permasalahan untuk dianalisis dan dikaji di dalam  makalah
tentang Ki Hajar Dewantara ini. Pokok permasalahanya adalah:
a.    Riwayat Hidup
b.    Aliran Filsafat
c.    Pemikiran Tentang Pendidikan
d.    Pengaru Pemikiran Dalam Pendidikan
e.    Karya-Karya
II. PEMBAHASAN

A. Riwayat

Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir


dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan
keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap
berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di
depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat,
baik secara fisik maupun hatinya. Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai
perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah
Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA
(Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia
bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden
Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara.
Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif,
tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi
pembacanya. Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam
organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi
Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia
pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan
bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan
dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama
yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang
bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi
ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda.
Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha
menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11
Maret 1913. Karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa
nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah
kolonial Belanda. Ia melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang
bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan
Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta
perayaan tersebut. Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik
lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang
Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi
Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat
dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker. Akibat karangannya yang
menghina itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg
menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering
(hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal
yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke
Pulau Bangka. Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di
sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya
mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari
pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah
pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil
memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918.
Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari
alat perjuangan meraih kemerdekaan. Ia mendirikan sebuah perguruan yang
bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional
Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa
kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan
berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Di tengah keseriusannya mencurahkan
perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis.
Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan
berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-
tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa
Indonesia. Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat
sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki
Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan
pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei
dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar
Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun
setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal
28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak
penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya,
Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar
Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar
sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi
museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data
surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan
sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas
bantuan Badan Arsip Nasional.

B. Aliran Filsafat
Ki Hajar Dewantara termasuk aliran filsafat pendidikan yang menganut definisi
pendidikan, apabila dilihat dari sudut aliran filsafat pendidikan evolusionistis yang
lebih menekankan tangga-tangga psikologis perkembangan manusia. Suatu konsep
pendidikan yang lebih mengarahkan orientasinya pada aspek-aspek kehidupan
modern yang kompleks dan rumit kaitannya, yang lebih individualisis sehinga
menuntut kemampuan individual masing-masing pribadi dalam mengadakan
penyesuaian kehidupan psikologsnya. Konsep tentang anthropologi filsafat kalau
tidak dirumuskan dalam definisi pendidikan dapat dicari pada rumusan tentang
tujuan pendidikannya. Sebagai contoh dalam sejarah pemikiran filsafat pendidikan
Indonesia, kita dikenalkan dengan salah satu rumusan tujuan pendidikan sebagai
berikut: “Membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab atas kesejahteraan Negara dan tanah air.”
Dalam rumusan ini hakekat manusia sebagai suatu aspek yang bernilai martabat
yang sama, sehinga yang satu tidak boleh mencaplok atau menghisap yang lain,
artinya manusia dihisap warga negara sehingga mengarah ke terhisapnya
kepentingan individu demi kepentingan dan kejayaan Negara, dan sebaliknya
hilangnya aspek warganegara dan mengarah ke individualisme yang otomistis.
Suatu ilustrasi tujuaan pendidikan yang mengarah ke penghisapan individualitas
manusia ke dalam konsep warganegara adalah definisi pendidikan di bawah ini:
“Pendidikan adalah kegiatan atau proses dengan mana individual dibina agar loyal
setia tanpa sarat dan penyesuaian membuka pada kelompok atau lembaga soial.”
Definisi pendidikan ini disamping berlaku pada Negara totaliter yang dengan
monisme kebudayaan, juga berlaku pada masyarakat yang ketat berpegang teguh
mempertahankan tradisi kebudayaannya, yaitu pada masyarakat yang tradisioal
konservatif. Dalam batas-batas tertentu, para sosiolog lebih dekat pemikiran
pendidikan dengan definisi konsep pendidikan di atas. Sedang para psikolog lebih
dekat dekat dengan definuisi oendidikan di bawah ini: “Pendidikan adalah suatu
proses pertumbuhan di dalam mana individu dibantu mengembangkan daya-daya
kemampuannya, bakatnya, kecakapannya dan minatnya. ”Perbedaan antara kedua
definisi pendidikan di atas, antara pendekatan sosiologis dan pendwekatan
psikologis adalah bahwa pendekatan social meninjau proses pendidikan dalam
kaitannya dengan kehidupan dengan lembaga social di luar individu, sedang
pendekatan psikologis meninjau proses pendidikan dari sudut proses internal dalam
diri manusia, sehinga lebih mengarah ke peninjauan tentang konsep hakekat
psikologis, bukan filosofis, daripada anak didik.

C. Pemikiran Tentang Pendidikan


Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara,
Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang
mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar Dewantara mendidik dalam arti yang
sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni
pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang
merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk
dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah
usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan
membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis). Menurut Ki
Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah
pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan
langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan
manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan
mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang
mandiri dan dewasa. Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal
yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus
bersinergis satu sama lain.  Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek
hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih
memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil
keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Keinginan yang kuat dari Ki Hajar
Dewantara untuk generasi bangsa ini dan mengingat pentingnya guru yang
memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas dan spiritualitas. Beliau sendiri untuk
kepentingan mendidik, meneladani dan pendidikan generasi bangsa ini telah
mengubah namanya dari ningratnya sebagai Raden Mas soewardi Suryaningrat
menjadi Ki hajar dewantara. Perubahan nama tersebut dapat dimakna bahwa beliau
ingin menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik, yaitu dari satria
pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke
guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik
untuk melindungi bangsa dan Negara ini. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru
hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan spiritualitas, baru
kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para
peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang utama sebagai
pendidik adalah fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai fasilitator kelas.
Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan
kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang
memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-
masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara
antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai
pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah
berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan
membawa keselamatan. Menerjemahkan dari konsep pendidikan Ki Hajar
Dewantara tersebut, maka banyak pakar menyepakati bahwa pendidikan di
Indonesia haruslah memiliki 3 Landasan filosofis, yaitu nasionalistik, universalistic
dan spiritualistic. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang
merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal
artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan
perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka
dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam
diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah
suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan
penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu
hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk
menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan
hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan
dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi
perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan
hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang
harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-
kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Output
pendidikan yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka,
sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan
bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dalam
pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan
ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan
pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala,
hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).

D. Pengaruh Pemikiran Dalam Pendidikan


Mendekati proses pendidikan dalam sebuah pemikiran cerdas untuk
mendirikan sekolah taman siswanya, jauh sebelum Indonesia mengenal arti
kemerdekaan. Konsepsi Taman Siswa pun coba dituangkan Ki Hajar Dewantara
dalam solusi menyikapi kegelisahan-kegelisahan rakyat terhadap kondisi
pendidikan yang terjadi saat itu, sebagaimana digambarkan dalam asas dan dasar
yang diterapkan Taman Siswa. Orientasi Asas Dan Dasar Pendidikan Dari Ki Hajar
Dewantara diupayakan sebagai asas perjuangan yang diperlukan pada waktu itu
menjelaskan sifat pendidikan pada umumnya. Pengaruh pemikiran pertama dalam
pendidikan adalah dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya
sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan
upaya di dalam mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan
bekerja merdeka demi pencapaian tujuannya dan perlunya kemajuan sejati untuk
diperoleh dalam perkembangan kodrati. Hak mengatur diri sendiri berdiri
(Zelfbeschikkingsrecht) bersama dengan tertib dan damai (orde en vrede) dan
bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei). Ketiga hal ini merupakan dasar alat
pendidikan bagi anak-anak yang disebut “among metode” (sistem-among) yang
salah satu seginya ialah mewajibkan guru-guru sebagai pemimpin yang berdiri di
belakang tetapi mempengaruhi dengan memberi kesempatan anak didik untuk
berjalan sendiri. Inilah yang disebut dengan semboyan “Tut Wuri Handayani”.
Menyinggung masalah kepentingan sosial, ekonomi dan politik kecenderungan dari
bangsa kita untuk menyesuaikan diri dengan hidup dan penghidupan ke barat-
baratan telah menimbulkan kekacauan. Menurut Kihajar Dewantara Sistem
pengajaran yang terlampau memikirkan kecerdasan pikiran yang melanggar dasar-
dasar kodrati yag terdapat dalam kebudayaan sendiri. Sementara hal yang
menyangkut tentang dasar kerakyatan untuk memepertinggi pengajaran yang
dianggap perlu dengan memperluas pengajarannya. dan memiliki pokok asas untuk
percaya kepada kekuatan sendiri. Dalam dunia pendidikan mengharuskan adanya
keikhlasan lahir-batin bagi guru-guru untuk mendekati anak didiknya.
Sesungguhnya semua hal tersebut merupakan pengalaman dan pengetahuan Ki
Hajar Dewantara tentang pendidikan barat yang mengusahakan kebahagian diri,
bangsa dan kemanusiaan.

E. Karya-Karya
Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang
menjadi representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap
eksis sampai hari ini. Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam
bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan
diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki
Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara
Bagian II: Kebudayaan (1967). Kepiawaian dalam menulis karena beliau sejak
muda menjadi penulis dan wartawan.
Ketiga, Buku Bagian I Pendidikan terbagi dalam 8 bab: pendidikan
nasional, politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian,
pendidikan keluarga, ilmu jiwa, ilmu adab, dan bahasa. Tulisan tertua dalam buku
ini yakni ’’Pendidikan dan Pengajaran Nasional’’ yang disampaikan sebagai
prasaran dalam Kongres Permufakatan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (PPPKI)
pada 31 Agustus 1928. Ki Hadjar Dewantara dalam tulisan itu mengatakan bahwa
kemerdekaan dalam dunia pendidikan memiliki tiga sifat: berdiri sendiri, tidak
tergantung pada orang lain, dapat mengatur diri sendiri. Buku Bagian II
Kebudayaan terbagai dalam 5 bab:  kebudayaan umum, kebudayaan dan
pendidikan/kesenian, kebudayaan dan kewanitaan, kebudayaan dan masyarakat,
hubungan dan penghargaan kita. Dua buku itu adalah representasi pemikiran dan
pembuktian dalam praktik pendidikan dan pengajaran dari Ki Hadjar Dewantara.
Pendidikan dan kebudayaan adalah basis kehidupan yang menentukan kualitas
manusia dan bangsa.
III.       Analisa

Lembaga pendidikan pada umumnya adalah sarana bagi proses pewarisan maupun
transformasi pengetahuan dan nilai-nilai antar generasi. Dari sini dapat terpahami
bahwa pendidikan senantiasa memiliki muatan ideologis tertentu yang antara lain
terekam melalui konstruk filosofis yang mendasarinya. Sekolah memang bukanlah
sesuatu yang netral atau bebas nilai. Sebab tak jarang dan seringkali demikian,
pendidikan dianggap sebagai wahana terbaik bagi pewarisan dan pelestarian nilai-nilai
yang nyatanya sekedar yang resmi, sedang berlaku dan direstui bahkan wajib
diajarkan di semua sekolah dengan satu penafsiran resmi yang seragam pula.
Dinamika sistem pendidikan yang berlangsung di Indonesia dalam berbagai era
kesejarahan akan menguatkan pandangan ini, betapa dunia pendidikan memiliki
keterkaitan sangat erat dengan kondisi sosial-politik yang tengah dominan.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi
kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa
dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya
secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja
akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau
mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya
akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai
sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang
memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan
menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang
membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya,
sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif
untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan
kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam
masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain
ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam
budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai
manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.
Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan
perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke
pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual
yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi
bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi
yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri
untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi
pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik
pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru
kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara
sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran,
keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di
bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial
kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan
dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang
merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita
juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik
secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh
tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti
keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi,
tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah
membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa
merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada
aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik.
Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan
independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya
berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan
dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala
hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati)
manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang
berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan
terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya
dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka
dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak
hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang
kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan
antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya
memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup
sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan
pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan
adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental,
cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas
kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan
sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan
pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based
on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu
berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang
mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu
bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the
heart, and the hand”.
IV. Kesimpulan

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan


yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis,
suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta
harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Hari lahirnya,
diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut
wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di
tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan
memberi teladan).
Pengaruh pemikiran pertama dalam pendidikan adalah dasar kemerdekaan
bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada
pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan upaya di dalam mendidik murid-
murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka demi pencapaian
tujuannya dan perlunya kemajuan sejati untuk diperoleh dalam perkembangan
kodrati.
Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang
menjadi representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap
eksis sampai hari ini. Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam
bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan
diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki
Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara
Bagian II: Kebudayaan (1967).
DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour, 2000. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta:


Insist Press dan Pustaka Pelajar.

Ardhana,  Wayan (1991). Kebijakan pemerintah dalam strategi pendidikan nasional.


Makalah dalam Seminar Televisi Perididikan Indonesia di Surabaya, 23 Februari .

Tjaya, Thomas Hidya, 2004, Mencari Orientasi Pendidikan, Sebuah Perspektif Historis,
Jakarta,

Barnadib, Imam, 1988, Filsafat Pendidikan, Sistem Dan Metode, Andi Offset, Yogyakart

Anda mungkin juga menyukai