II. Pembahasan
2.1 Riwayat
Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta.
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun
Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi
menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat
bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan
bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian
sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena
sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo,
Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara.
Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan
patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan
dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya
persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker
(Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij
(partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember
1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum
pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur
Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu
pada tanggal 11 Maret 1913. Karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa
nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial
Belanda.
Ia melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus
tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat
jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik
Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook
Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku
Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker.
Akibat karangannya yang menghina itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur
Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman
internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal
yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa
memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri
Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu
dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke
tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai
bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Ia mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat
menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa
dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa,
ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan
dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui
tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa
Indonesia.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan
saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan
Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga
ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI
No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah
gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada
tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus
perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk
melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini
terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya
dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan
risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis,
pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan
dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
2.5 Karya-Karya
Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang menjadi
representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sampai hari ini.
Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan dan
kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan
Taman Siswa dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya
Ki Hadjar Dewantara Bagian II: Kebudayaan (1967). Kepiawaian dalam menulis karena
beliau sejak muda menjadi penulis dan wartawan.
Ketiga, Buku Bagian I Pendidikan terbagi dalam 8 bab: pendidikan nasional, politik
pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian, pendidikan keluarga, ilmu jiwa,
ilmu adab, dan bahasa. Tulisan tertua dalam buku ini yakni ’’Pendidikan dan Pengajaran
Nasional’’ yang disampaikan sebagai prasaran dalam Kongres Permufakatan Pergerakan
Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 31 Agustus 1928. Ki Hadjar Dewantara dalam tulisan
itu mengatakan bahwa kemerdekaan dalam dunia pendidikan memiliki tiga sifat: berdiri
sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dapat mengatur diri sendiri.
Buku Bagian II Kebudayaan terbagai dalam 5 bab: kebudayaan umum, kebudayaan dan
pendidikan/kesenian, kebudayaan dan kewanitaan, kebudayaan dan masyarakat, hubungan
dan penghargaan kita.
Dua buku itu adalah representasi pemikiran dan pembuktian dalam praktik pendidikan
dan pengajaran dari Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan dan kebudayaan adalah basis
kehidupan yang menentukan kualitas manusia dan bangsa.
III. Analisa
Lembaga pendidikan pada umumnya adalah sarana bagi proses pewarisan maupun
transformasi pengetahuan dan nilai-nilai antar generasi. Dari sini dapat terpahami bahwa
pendidikan senantiasa memiliki muatan ideologis tertentu yang antara lain terekam melalui
konstruk filosofis yang mendasarinya. Sekolah memang bukanlah sesuatu yang netral atau
bebas nilai. Sebab tak jarang dan seringkali demikian, pendidikan dianggap sebagai wahana
terbaik bagi pewarisan dan pelestarian nilai-nilai yang nyatanya sekedar yang resmi, sedang
berlaku dan direstui bahkan wajib diajarkan di semua sekolah dengan satu penafsiran resmi
yang seragam pula. Dinamika sistem pendidikan yang berlangsung di Indonesia dalam
berbagai era kesejarahan akan menguatkan pandangan ini, betapa dunia pendidikan memiliki
keterkaitan sangat erat dengan kondisi sosial-politik yang tengah dominan.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan
psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya.
Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang.
Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan
ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang
menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari
masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada
pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa.
Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan
makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak
berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi
adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu
berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain
lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam
budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu
sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.
Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan
sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu
dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang
mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar
Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan
kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan
para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang
diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure
keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar
Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran,
keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang
keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya
adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak
Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati
sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan
membawa keselamatan.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik,
mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya
kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan,
musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan
maksud pendirian Taman Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri
dengan mengembangkan rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan
yang berlandaskan pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan
universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan
independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan
pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan.
Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan,
keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam
dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati,
cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu
hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka
dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya
mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan;
pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-masing
pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa percaya diri,
mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela
mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik,
sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas
kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem
pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang
berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud
dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras
dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati
kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat
yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.
IV. Kesimpulan
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu
memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya,
adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada
nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan
Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan),
ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa
sungtulada (di depan memberi teladan).
Pengaruh pemikiran pertama dalam pendidikan adalah dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap
orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada pelaksanaan pengajaran maka
hal itu merupakan upaya di dalam mendidik murid-murid supaya dapat berperasaan,
berpikiran dan bekerja merdeka demi pencapaian tujuannya dan perlunya kemajuan sejati
untuk diperoleh dalam perkembangan kodrati.
Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang menjadi
representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sampai hari ini.
Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan dan
kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan
Taman Siswa dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya
Ki Hadjar Dewantara Bagian II: Kebudayaan (1967).
Tjaya, Thomas Hidya, 2004, Mencari Orientasi Pendidikan, Sebuah Perspektif Historis,
Jakarta,
Barnadib, Imam, 1988, Filsafat Pendidikan, Sistem Dan Metode, Andi Offset, Yogyakarta.
PENDIDIKAN MENURUT MOHAMMAD SYAFEI
Mohammad Syafei lahir tahun 1893 di Ketapang (Kalimantan Barat) dan diangkat jadi anak
oleh Ibarahim Marah Sutan dan ibunya Andung Chalijah, kemudian dibawah pindah ke
Sumatra Barat dan menetap Bukit Tinggi. Marah Sutan adalah seorang pendidik dan
intelektual ternama. Dia sudah mengajar di berbagai daerah di nusantara, pindah ke Batavia
pada tahun 1912 dan aktif dalam Indische Partij.
Pendidikan yang ditempuh Moh. Syafei adalah sekolah raja di Bukit tinggi, dan kemudian
belajar melukis di Batavia (kini Jakarta), sambil mengajar di Sekolah Kartini. Pada tahun
1922 Moh. Syafei menuntut ilmu di Negeri Belanda dengan biaya sendiri. Di sini ia
bergabung dengan "Perhimpunan Indonesia", sebagai ketua seksi pendidikan.
Di negeri Belanda ini ia akrab dengan Moh. Hatta, yang memiliki banyak kesamaan dan
karakteristik dan gagagasan dengannya, terutama tentang pendidikan bagi pengembangan
nasionalisme di Indonesia. Dia berpendapat bahwa agar gerakan nasionalis dapat berhasil
dalam menentang penjajahan Belanda, maka pendidikan rakyat haruslah diperluas dan
diperdalam. Semasa di negeri Belanda ia pernah ditawari untuk mengajar dan menduduki
jabatan di sekolah pemerintah. Tapi Syafei menolak dan kembali ke Sumatara Barat pada
tahun 1925. Ia bertekad mendirikan sebuah sekolah yang dapat mengembangkan bakat
murid-muridnya dan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat Indonesia, baik yang hidup di kota
maupun di pedalaman.
Mohamad Syafei mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Indonesische Nederland
School (INS) pada tanggal 31 oktober 1926. Di Kayu Tanam, sekitar 60 km di sebelah Utara
Kota Padang. Sekolah ini didirikan di atas lahan seluas 18 hektar dan dipinggir jalan raya
Padang Bukit Tinggi. Ia menolak subsidi untuk sekolahnya, seperti halnya Thawalib dan
Diniyah, tapi ia membiaya sekolah itu dengan menerbitkan buku-buku kependidikan yang
ditulisnya. Sumber keuangan juga berasal dari sumbangan-sumbangan yang diberikan
ayahnya dan simpatisan-simpatisan serta dari berbagai acara pengumpulan dana seperti
mengadakan pertunjukan teater, pertandingan sepak bola, menerbitkan lotere dan menjual
hasil karya seni buatan murid-muridnya. Pengajaran di dalam kelas menggunanakan bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris sebagai pelajaran bahasa asing yang pokok, ditekan pada
pelajaran-pelajaran yang akan terpakai oleh murid-murid apabila mereka kelak kembali.
B. Filosofi Pendidikan Menurut Mohammad Syafei (INS Kayu Tanam)
INS Kayu Tanam didirikan pada tanggal 31 Oktober 1926, sebagai reaksi terhadap sistem
pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda. (dikutip dari: M. Syafei,
Sejarah INS Kayu Tanam, Harian Angkatan Bersenjata Edisi Padang, 2 November 1966, hal.
1)
Reaksi yang demikian di Sumatera Barat juga menunjukkan dirinya dengan nyata dalam
berbagai gerakan. INS Kayu Tanam merupakan salah satu bentuk gerakan tersebut, yang lahir
sebagai reaksi bangsa Indonesia di Sumatera Barat melalui M. Syafei dalam bidang
pendidikan. (dikutip dari: Abdul-Mukthi A.H, Panji Masyarakat, Yayasan Nurul Islam,
Jakarta, 1966, No. 41,hal.41)
M. Syafei mempunyai pandangan bahwa Pergerakan Nasional Indonesia hanya akan berhasil
mencapai tujuannya dengan cepat dan tepat, karena kemerdekaan tidak mungkin diperoleh
dengan beberapa orang pemimpin saja, tetapi harus didukung oleh seluruh rakyat. Oleh
karena itu, rakyat juga harus ikut berjuang dan agar perjuangan dapat mencapai tujuan, maka
rakyat perlu ditingkatkan kecerdasannya. Untuk meningkatkan kecerdasan rakyat, pendidikan
harus ditingkatkan pula, yaitu pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan perjuangan
mencapai Indonesia Merdeka.
Dalam hal ini M. Syafei mengatakan sebagai berikut:
"....... kami mendapat keyakinan bahwa partai politik baru kuat, kalau anggota-anggotanya
mempunyai idiologi politik, kalau tidak demikian tidak akan bisa menghadapi penjajahan
dengan baik. Keyakinan ini mendorong kami untuk mendirikan perguruan, dimana dilakukan
pembentukan kader-kader untuk gerakan Nasional Indonesia, mencapai tujuan, yaitu
Kemerdekaan.") (dikutip dari: Abdul-Mukthi A.H, Panji Masyarakat, Yayasan Nurul Islam,
Jakarta, 1966, No. 41,hal.41)
Keyakinan INS Kayu Tanam yang selalu dipegang teguh oleh M. Syafei dalam melola INS
dari tahun ke tahun, dengan rasa:
a) Mendidik rakyat kearahkemerdekaan.
b) Memberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
c) Mendidik pemuda-pemuda supaya berguna bagi masyarakat.
d) Menanamkan kepercayaan pada diri sendiri dan berani bertanggungjawab.
e) Tidak mau menerima bantuan yang mengikat. (dikutip dari: Aliran-aliran Baru dalam
Pendidikan dan pengajaran, Percetakan Dagang Usaha,Payakumbuh, 1958, hal. 91)
Semboyan M. Syafei adalah "cari sendiri dan kerja sendiri. (dikutip dari: Aliran-aliran Baru
dalam Pendidikan dan pengajaran, Percetakan Dagang Usaha,Payakumbuh, 1958, hal. 91)
Tujuan pertama dari INS yaitu mendidik rakyat ke arah kemerdekaan, merupakan landasan
keyakinan M. Syafei untuk mendirikan INS. Apabila rakyat Indonesia telah mengerti arti
kemerdekaan dan dapat melihat kehidupan rakyat terjajah, maka mereka akan ikut secara
sadar dalam setiap gerakan mencapai Indonesia Merdeka. Melalui pendidikan rakyat dapat
mempunyai idiologi politik dan dapat mengetahui sasaran untuk diperjuangkan. Pendidikan
kemerdekaan yang diberikan M. Syafei melalui INS adalah kemerdekaan dalam arti yang
luas, yaitu kemerdekaan berfikir, berbuat, menentukan pilihan, dan berpikir berdasarkan
kenyataan.
INS juga memberikan pendidikan yang sesuai dengan masyarakat, yang bertentangan dengan
tujuan pendidikan pemerintah Hindia Belanda yang hanya ingin mendapatkan tenaga terdidik
yang murah untuk kepentingan mereka. M. Syafei menyadari, walaupun jumlah sekolah
banyak didirikan Belanda, tetapi pada hakikatnya adalah untuk kepentingan mereka. Cara
tradisional dalam menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan intelektualistis semata,
tidaklah sesuai dengan perkembangan jiwa anak Indonesia. Sistem tersebut hanya akan
mendidik anak Indonesia menjadi robot pemerintah Hindia Belanda yang melaksanakan
kepentingan Belanda di Indonesia. Otak anak didik hanya diisi dengan bermacam
pengetahuan yang kegunaannya bagi kehidupan masyarakat Indonesia belum tentu
manfaatnya. Dasar pendidikan tersebut jauh berbeda dengan kenyataan hidup masyarakat
Indonesia, pendidikan yang diselenggarakan Belanda tidak sesuai dengan kebutuhan bangsa
Indonesia. Hal inilah yang akan diubah oleh M. Syafei melalui INS.
Bahan pelajaran yang diberikan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang hidup dalam
masyarakat Indonesia, di samping teori yang mendasari ilmu pengetahuan tersebut,
prakteknya diberikan dengan seimbang. Dengan demikian apabila tingkatan teori kurang
tinggi dapat diimbangi oleh praktik yang baik. Dengan dasar pandangan yang demikian INS
melaksanakan secara seimbang antara teori dan praktik dengan tujuan akhir diletakkan pada
kemampuan untuk melaksanakan teori tersebut sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam
masyarakat. Di samping itu pelajaran diberikan sesuai dengan harus dipupuk dengan baik dan
diberikan latihan yang sesuai supaya dapat dikembangkan secara optimal.
M. Syafei ingin menghilangkan penyakit pendidikan pada waktu itu, yaitu verbalisme.
Verbalisme dalam pendidikan akan menghasilkan anak ibarat orang membuat kue,
bagaimana bentuk cetakannya begitulah bentuk kuenya. Sistem pendidikan yang begini akan
menghasilkan manusia yang sempit alam fikirannya atau akan menghasilkan anak didik yang
serba tanggung menghadapi kehidupan masyarakat dan pendidikan yang demikian tidak
berguna dan tidak dibutuhkan masyarakat. Anak didik dilatih dengan bekerja sambil belajar,
kecerdasan berpikir anak didik dengan cara ini dapat dikembangkan seluas-luasnya, karena
mereka dibiasakan bekerja dengan teratur, intensif, dan kreatif. Penyakit verbalisme dapat
dihilangkan secara berangsur, sehingga setiap pendidikan bermanfaat bagi masyarakat.
Tujuan lain INS yaitu menanamkan kepercayaan pada diri sendiri dan berani bertanggung
jawab, merupakan tujuan pendidikan INS yang penting bagi masyarakat Indonesia pada
waktu itu. Sistem ini akan memupuk kepribadian anak didik dengan kepribadian Indonesia,
bukan kepribadian Barat. Anak didik akan mempunyai jiwa yang dinamis, percaya pada diri
sendiri, berani berbuat, dan berani bertanggung jawab. Dengan tujuan ini M. Syafei akan
membentuk kepribadian anak didik sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.
INS berusaha mendidik supaya anak dapat berdiri sendiri dalam keadaan yang
bagaimanapun. Tujuan ini merupakan reaksi langsung terhadap sistem pendidikan pemerintah
Hindia Belanda yang selalu membuat hasil didikannya tergantung kepada mereka.
Segala bantuan yang akan mengikat tidak boleh diterima, karena kerja sendiri, dan usaha
sendiri. Untuk mencapai tujuan tersebut dilaksanakan dengan sistem belajar sambil bekerja.
M. Syafei berusaha membangkitkan watak yang baik terhadap anak didiknya di samping
aktif, kreatif dan efisien dalam bekerja. Bahan serta alat pelajaran diambilkan dari lingkungan
dan mudah memperolehnya. Anak didik dibiasakan bekerja dengan alat sederhana untuk
mencapai tujuan pendidikan.
Kenyataan yang berlaku pada waktu itu dalam dunia pendidikan yaitu pendidikan yang
bersifat umum dan intelektualistis, hanya mementingkan kecerdasan otak semata dan kurang
memperhatikan serta membina bakat yang dimiliki anak didik. Terpengaruh oleh cita-cita
Dewey dengan pragmatisme dan Kerschensteiner dengan Arbeitschule serta didorong oleh
keinginan sendiri bahwa Tuhan tidak sia-sia menjadikan manusia dan alam lainnya, maka
segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia mesti berguna sesuai dengan kodrat kejadian
bumi dan isinya oleh Tuhan. Kalau sekiranya manusia dan alam lainnya itu tidak berguna, hal
itu disebabkan karena manusia itu sendiri yang tidak pandai mempergunakannya. (dikutip
dari: Kementerian Penerangan, Republik Indonesia, Propinsi Sumatera Tengah hal .778)
Nasionalisme
Mohammad Syafei mendasarkan konsep pendidikannya pada nasionalisme dalam arti konsep
dan praktik penyelenggara pendidikan INS kayu tanam didasarkan pada cita-cita
menghidupkan jiwa bangsa Indonesia dengan cara mempersenjatai dirinya dengan alat daya
upaya yang dinamakan aktif kreatif untuk menguasai alam semangat nasionalisme.
Mohammad Syafei dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Cipto Mangunkusumo dan
Douwes Dekker dan Perhimpunan di negeri Belanda. Semangat nasionalismenya yang
sedang tumbuh menimbulkan pertanyaan, mengapa bangsa Belanda yang jumlahnya sedikit
dapat menguasai bangsa Indonesia yang jumlahnya sangat besar. Pertanyaan ini dapat
dipecahkan setelah berada dan hidup tengah tengah masyarakat Belanda. Ternyata faktor
alam dan lingkungan masyarakat mempengaruhi jiwa manusia. Bagaimanakah bangsa
Indonesia dapat menguasai alam yang kaya raya dengan berbagai macam mineral, dengan
tanah yang subur? Hal ini dapat terwujud melalui sistem pendidikan yang dapat
mengembangkan jiwa bangsa yang aktif kreatif.
Dengan sistem ini, anak-anak sejak kecil sudah dilatih mempergunakan akal pikiran mereka
yang didorong olah kemauan yang kuat untuk menciptakan sesuatu yang berguna bagi
kehidupan manusia. Jelas kiranya bahwa nasionalisme Mohammad Syafei adalah nasionalime
pragmatis yang didasarkan pada agama, yaitu nasionalisme yang tertuju pada membangun
bangsa melalui pendidikan agama menjadi bangsa yang pandai berbuat untuk kehidupan
manusia atas segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan. Mohammad Syafei menyatakan
bahwa Tuhan tidak sia-sia menciptakan manusia dan alam lainnya. Tiap-tiapnya mesti
berguna dan kalau ini tidak berguna hal itu disebabkan karena kita yang tidak pandain
menggunakannya.
Developmentalisme
Pandangan pendidikan Mohammad Syafei sangat dipengaruhi oleh aliran Develomentalisme,
terutama oleh gagasan sekolah kerja yang dikembangkan John Dewey dan George
Kerschensteiner, serta pendidikan alam sekitar yang dikembangkan Jan Ligthar.John Dewey
berpendapat bahwa pendidikan bahwa pendidikan terarah pada tujuan yang tidak berakhir,
pendidikan merupakan sesuatu yang terus berlangsung, suatu rekonstruksi pengalaman yang
terus bertambah. Tujuan pendidikan sebagaimana adanya, terkandung dalam proses
pendidikan, dan seperti cakrawala, tujuan pendidikan yang dibayangkan ada sebelum
terjadinya proses pendidikan ternyata tidak pernah dicapai seperti cakrawala yang tidak
pernah terjangkau. Oleh karena itu, seperti yang dinyatakan oleh John Dewey, rekonstruksi
pengalaman kita harus diarahkan pada mencapai efesiensi sosial, dengan demikian
pendidikan harus merupakan proses sosial.
Sekolah yang baik harus aktif dan dinamis, dengan demikian anak belajar melalui
pengalamannya dalam hubungan dengan orang lain. Sehubungan dengan hal ini, John Dewey
menyatakan bahwa pendidikan anak adalah hidup itu sendiri. Disini pertumbuhannya terus
bertambah, setiap pencapaian perkembangan menjadi batu loncatan bagi perkembangan
selanjutnya. Oleh karena itu, proses pendidikan merupakan salah satu bentuk penyesuain diri
yang terus menerus berlangsung. Dalam proses tersebut berlangsung proses psikologis
(perubahan tingkah laku yang tertuju pada tingkah laku yang canggih, terencana dan
bertujuan) dalam proses sosiologis (perubahan adat istiadat ,sikap kebiasaan dan lembaga)
yang tidak terpisahkan.
Pandangan John Dewey bahwa pendidikan harus tertuju pada efisiensi sosial, atau
kemanfaatan pada kehidupan sosial; dan belajar berbuat atau belajar melalui pengalaman
langsung yang lebih dikenal dengan sebutan learning by doing, mempunyai pengaruh besar
terhadap konsep pendidikan Muhammad Syafei. George Kerschensteiner mendirikan Arbeit
schule atau sekolah Aktivitas. Ia mengartikan sekolah aktivitas sebuah sekolah yang
membebaskan tenaga kreatif potensial dari anak. Pada awalnya Kerschensteiner
memperkenalkan prinsip aktivitas untuk bidang-bidang industri dan pekerjaan tangan,
kemudian memperluasnya pada aspek-aspek tingkah laku mental dan moral. Menurut
Kerschensteiner, tugas utama pendidikan adalah pengembangan warga negara yang baik dan
sekolah aktivitasnya berusaha mendidik warga negara yang berguna dengan jalan:
1. Membimbing anak untuk bekerja menghidupi dirinya sendiri;
2. Menanamkan dalam dirinya gagasan bahwa setiap pekerjaan mempunyai tempatnya
masing-masing dalam memberi pelayanan kepada masyarakat.
3. Mengajarkan kepada anak bahwa melalui pekerjaannya, ia akan memberi sumbangan
dalam turut serta membantu masyarakat untuk kearah suatu kehidupan bersama lebih
sempurna.
Gagasan dan model sekolah yang dikembangkan Kersschenteiner sangat mempengaruhi
konsep dan praktik pendidikan Mohammad Syafei di INS Kayu Tanam.
Metode Pendidikan
1.Sekolah Kerja
Pemikiran Syafei tentang pendidikan banyak dipengaruhi oleh pemikiran pendidikan awal
abad 20 di Eropa, yaitu pemikiran pendidikan yang dikembangkan berdasarkan konsep
sekolah kerja atau sekolah hidup atau sekolah masyarakat.
Menurut konsep ini sekolah hendaknya tidak mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat.
Untuk itu Syafei mengutip pemikiran Guning: "sebagian sekolah, karena kesalahannya
sendiri dan ada pula sebagian yang tidak salah, telah mengasingkan diri dari kehidupan sejati
dan telah membentuk dunianya sendiri. Mengukur segala-galanya menurut pahamnya sendiri.
Selama hal itu tidak berubah, maka sekolah tidak dapat memenuhi kewajibannya. Ia selalu
memaksakan kehendaknya sendiri kepada masyarakat yang seharusnya ia mengabdi kepada
masyarakat. Pada tempatnyalah." Sekolah cara baru "bukan saja menghendaki sekolah kerja,
tetapi akan berubah menjadi "Sekolah Hidup" atau "Sekolah Masyarakat".
2.Pekerjaan tangan
Berdasarkan pemikiran di atas ia menghendaki guru mengaktifkan pengajaran, maksudnya
membuat murid menjadi aktif dalam proses pengajaran. Metode dari pengajaran demikan
ialah pekerjaan tangan.
3.Produksi/kreasi
Dalam menjelaskan metode tangan ini, ia berkali-kali menggunakan konsep-konsep respsi,
reproduksi, dan produksi atau kreasi. Resepsi produksi adalah metode lama, anak sebagai
objek dan pasif, serta umumnya verbalistis. Sedangkan metode produksi ini, anak diberi
kesempatan untuk aktif berbuat atau mencipta.
Pengetahuan diperoleh melalui pengalaman berbuat yang melibatkan emosi, pemikiran, dan
tubuh. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengajaran hendaknya mengupayakan aktivitas
seoptimal mungkin pada siswa. Pengajaran jangan terperangkap dan berhenti dalam bentuk
reseptif dan reproduktif.
Dasar pendidikan yang dikembangkan oleh Moh. Syafei adalah kemasyarakatan, keaktifan,
kepraktisan, serta berpikir logis dan rasional. Berkenan dengan itulah maka isi pendidikan
yang dikembangkannya adalah bahan-bahan yang dapat mengembangkan pikiran, perasaan,
dan ketrampilan atau yang dikenal dengan istilah 3 H, yaitu Head, Heart dan Hand.
Implikasi terhadap pendidikan adalah:
Dalam pelajaran, anak hendaknya menjadi subjek (pelaku) bukan dikenai (objek). Dengan
menjadi subjek, seluruh tubuh anak terlibat, juga emosi, dan pemikiran dan daya khayalnya.
Keasyikan emosi, dan spontanitas anak ketika bermain hendaknya dapat dialihkan ke dalam
proses belajar mengajar. Peranan guru adalah sebagai manajer, belajar yang mengupayakan
bagaimana menciptakan siatuasi agar siswa menjadi aktif berbuat. Dengan demikian, guru
juga berperan sebagai fasilator belajar yang memperlancar aktivitas anak dalam belajar. Guru
yang demikian dituntut untuk memahami anak sebagai makhluk yang selalu bergerak dan
memahami psikologi belajar, serta psikologi perkembangan.
E. Peranan Pendidikan Menurut Mohammad Syafei (INS Kayu Tanam) dalam
Perkembangan Pendidikan di Indonesia Saat Ini
Terdapat berbagai usaha yang dilakukan oleh Mohammad Syafei dan kawan-kawan dalam
mengembangkan gagasan dan berupaya mewujudkannya, baik yang berkaitan dengan Ruang
Pendidik INS Kayu Tanam maupun tentang pendidikan dan perjuangan/pembangunan bangsa
Indonesia pada umumnya.
Peranan pendidikan INS Kayu Tanam terlihat dalam beberapa usaha yang dilakukan oleh
Ruang Pendidik INS Kayu Tanam yang dalam bidang kelembagaan antara lain
menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan, seperti ruang rendah (7 tahun, setara SD
untuk masa sekarang), ruang dewasa (4 tahun sesudah ruang rendah, setara sekolah
menengah untuk masa sekarang), dan sebagainya. Terdapat pula program khusus untuk
menjadi guru, yakni tambahan satu tahun setelah ruang dewasa untuk pembekalan
kemampuan mengajar dan praktik mengajar (Said, 1981: 57-69).
Dalam perkembangan pendidikan di Indonesia saat ini, sudah banyaknya sekolah-sekolah
yang memasukan materi atau unsur ketrampilan-kerajinan (menggambar, pekerjaan tangan
dan sejenisnya) dalam setiap mata pelajaran menandakan bahwa pandangan M. Syafei
memang sesuai dengan tujuan dari pemberian pendidikan kepada anak-anak Indonesia.
Selain itu Ruang Pendidik INS Kayu Tanam juga menyelenggarakan usaha lain sebagai
bagian dari mencerdaskan kehidupan bangsa, yakni penerbitan Sendi (majalah anak-anak),
buku bacaan dalam rangka pemberantasan buta huruf/aksara dan angka dengan judul Kunci
13, mencetak buku-buku pelajaran dan lain-lain. Usaha-usaha ini berperan besar bagi
perkembangan pendidikan di Indonesia saat ini, karena merupakan awal tonggak untuk
masyarakat Indonesia mulai sadar bahwa pentingnya pendidikan dan juga masih selalu terjadi
program-program pemberantasan buta huruf/aksara hingga saat ini untuk mencapai warga
negara Indonesia yang berpendidikan sesuai dengan cita-cita luhur pancasila.
KESIMPULAN
Mohammad Syafei adalah tokoh pendidikan nasional yang berasal dari Sumatra Barat,
perjuangan beliau juga dititik beratkan pada bidang pendidikan. Pendidikan yang
ditempuhnya adalah sekolah raja di Bukittinggi, kemudian belajar melukis di Batavia tahun
1914 dan mengajar di sekolah Kartini. Tahun 1922 ia menuntuk ilmu di Negeri Belanda.
Tahun 1925 ia kembali ke tanah air dan bertekad ingin mendirikan sebuah sekolah. Karyanya
yang fundamental adalah mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Indonesische
Nederland School (INS) di Kayu Tanam, Sumatra Barat pada tanggal 31 Oktober 1926. Saat
Indonesia merdeka ia diangkat menjadi ketua Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan dan
mendirikan ruang pendidikan dan kebudayaan di Padang. Disamping itu Moh.Syafei pernah
diangkat menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam kabinet Syahril II, serta pernah
menjadi angggota DPA.
Filsafat pendidikan Moh.Syafei mendasarkan konsep pendidikannya pada nasionalisme
dalam arti konsep dan praktik penyelenggara pendidikan INS Kayu Tanam didasarkan pada
cita-cita menghidupkan jiwa bangsa Indonesia dengan cara mempersenjatai dirinya denan alat
daya upaya yang dinamakan aktif kreatif untuk pmenguasai alam.
Pandangan pendidikan Moh.Syafei sangat dipengaruhi oleh aliran Devolepmentalisme,
terutama oleh gagasan sekolah kerja yang dikembangkan oleh John Dewey dan George
Kerschensteiner, serta pendidikan alam sekitar yang dikembangkan oleh Jan Ligthart.
Fungsi pendidikan menurut Moh.Syafei adalah membantu manusia keluar sebagai pemenang
dalam perkembangan kehidupan dan persaingan dalam penyempurnaan hidup lahir dan batin
antar bangsa (Thalib Ibrahim,1978:25).
Manusia dan bangsa yang dapat bertahan ialah manusia dan bangsa yang dapat mengikuti
perkembangan masyarakat atau zamannya. Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah
membentuk secara terus menerus kesempurnaan lahir dan batin anak dapat mengikuti
perkemangan masyarakat yang selalu mengalami perubahan dan kemajuan. Kurikulum yang
dikembangkan adalah kurikulum pendidikan dasar dan beberapa mata pelajran yang khusus.
Sedangkan metode pendidikannya adalah sekolah kerja, pekerjaan tangan dan produksi
kreasi. Dasar pendidikan yang dikembangkannya adalah kemasyarakatan, keaktifan,
kepraktisan serta berpikir logis dan rasional.
Mendidik anak agar mampu bekerja secara teratur dan bersungguh-sungguh, menjadi anak
yang berwatak baik dan mandiri. Dalam pelajaran anak diperlakukan sebagai subjek bukan
objek. Guru berperan sebagai manajer dan fasilitator untuk menciptakan situasi agar siswa
aktif berbuat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul-Mukthi A.H, Panji Masyarakat, Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1966, No. 41,hal.41
M. Syafei, Sejarah INS Kayu Tanam, Harian Angkatan Bersenjata Edisi Padang, 2 November
1966, hal.1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia setelah
NU. Pendidikan telah menjadi “trade-merk” gerakan Muhammadiyah, besarnya jumlah
lembaga pendidikan merupakan bukti konkrit peran penting Muhammadiyah dalam proses
pemberdayaan umat Islam dan pencerdasan bangsa. Dalam konteks ini Muhammadiyah tidak
hanya berhasil mengentaskan bangsa Indonesia dan umat islam dari kebodohan dan
penindasan, tetapi juga menawarkan suatu model pembaharuan sistem pendidikan “modern”
yang telah terjaga identitas dan kelangsungannya.
Diskusi tentang pendidikan Muhammadiyah sebagai salah satu pembaharuan
pendidikan islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pemikiran para pendirinya. Salah
satu tokoh pendidikan Muhammadiyah yang paling menonjol adalah K.H. Ahmad Dahlan.
Oleh karenanya penulis akan membahas makalah yang berjudul “Tokoh Pendidikan Islam
K.H Ahmad Dahlan”.
B. Rumusan Masalah
Agar pembahasan makalah ini tidak melenceng dari pembahasan, maka penulis
menarik rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan ?
2. Bagaimana Latar pendidikan K.H. Ahmad Dahlan?
3. Apa Tujuan dari berdirinya Organisasi Muhammadiyah?
4. Bagaimana Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan?
5. Bagaimana Konsep Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan?
BAB II
PEMBAHASAN
1[1] Syamsul Kurniawan-Erwin Mahrus, jejak pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta:Ar-Ruzz
Media), hal.193
2[2] Junus salam, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Tangerang: Al-Wasat Publising House,
2009), hal.56.
3[3] Muhammad Soedja, Cerita tentang kyiai haji Ahmad Dahlan, ( Jakarta: Rhineka Cipta, 1993), hal
202.
Muhammad Darwis memang seorang yang cerdas pikirannya karena dapat mempengaruhi
teman-teman sepermainannya dan dapat mengatasi segala permasalahan yang terjadi diantara
mereka.
Muhammad Darwis tinggal di kampung kauman yang mana di tempat itu anti dengan
penjajah. Suasana seperti itu tidak memungkinkan bagi Muhammad Darwis untuk memasuki
sekolah yang dikelola oleh pemerintah penjajah. Pada waktu itu siapa yang memasuki
sekolah gubernamen, yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah jajahan, dianggap
kafir atau kristen. Sebab itu muhammad Darwis tidak meuntut ilmu pada sekolah
Gubernamen, Ia mendapatkan pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan dari ayahnya
sendiri.
Pada abad ke-19 berkembang suatu tradisi mengirimkan anak kepada guru untuk
menuntut ilmu, dan menurut Karel Steebbrink sebagaimana yang dikutip oleh Weinata Sairin
ada enam macam guru yang terkenal pada masa itu; guru ngaji Qur’an, guru kitab, guru
tarekat, guru untuk ilmu ghaib, pejual jimat dan lain-lain. Dari lima macam guru tadi,
Muhammad Darwis belajar mengaji Qur’an pada ayahnya, sedangkan belajar kitab pada
guru-guru lain.4[4]
Setelah menginjak dewasa, Muhammad Darwis mulai membuka kebetan kitab mengaji
kepada K.H. Muhammad Saleh dalam bidang ilmu Fiqh dan kepada K.H. Muhsin dalam
bidang ilmu nahwu. Kedua guru tersebut merupakan kakak ipar yang rumahnya
berdampingan dalam suatu komplek. Sedangkan pelajaran yang lain beliau belajar kepada
ayahnya sendiri. Guru-guru Muhammad Darwis lain yang bisa disebut adalah; Kyai haji
Abdul Khamid, KH. Muhammad Nur, dan Syaikh Hasan.
Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan mempelajari
perubahan-perubahan yang terjadi di Mesir, Arab, dan India, untuk kemudian berusaha
menerapkannya di Indonesia. Ahmad Dahlan juga sering mengadakan pengajian agama di
langgar atau mushola.5[5]
5[5] Mif Baihaqi, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2008),hal.36
mendirikan organisasi yang kemudian dinamakan Muhammadiyah. Organisasi ini berdiri
pada 8 November 1912 di yogyakarta. Perkumpulan Muhammadiyah berusaha
mengembalikan ajaran Islam kepada sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini
diwujudkan melalui usaha memperluas dan mempertinggi pendidikan Islam, serta
memperteguh keyakinan agama Islam.
Tujuan dari berdirinya organisasi ini ialah mengadakan dakwah Islam, memajukan
pendidikan dan pengajaran, menghidupkan sifat tolong-menolong, mendirikan tempat ibadah
dan wakaf, mendidik dan mengasuh anak-anak agar menjadi umat Islam yang berarti,
berusaha ke arah perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam,
serta berusaha dengan segala kebijaksanaan supaya kehendak dan peraturan islam berlaku
dalam masyarakat. Rumusan tujuan ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Anggaran
Dasar Muhammadiyah Desenber 1950. Setelah organisasi ini berdiri, sekolah yang didirikan
semakin banyak, karena pendirian sekolah dan madrasah menjadi prioritas dalam setiap
gerakan Muhammadiyah. Oleh karena itu, di mana ada cabang perkumpulan organisasi ini
dipastikan terdapat sekolah atau Madrasah Muhammadiyah. Hal ini dimungkinkan karena
kalangan pendukung Muhammadiyah kebanyakan berasal dari kaum pedagang dan pegawai
di wilayah perkotaan sehingga mudah untuk dikoordinasikan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, pemakalah dapat menyimpulkan bahwasanya K.H. Ahmad
Dahlan adalah merupakan tokoh pendidikan yang sangat besar jasanya bagi dunia pendidikan
di Indonesia ini.
Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) lahir di Kauman, Yogyakarta, 1
Agustus 1868, Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan
mempelajari perubahan-perubahan yang terjadi di Mesir, Arab, dan India, untuk kemudian
berusaha menerapkannya di Indonesia. Ahmad Dahlan juga sering mengadakan pengajian
agama di langgar atau mushola. Pada tahun 1912 beliau mendirikan Muhammadiyah yang
semata-mata bertujuan untuk mengadakan dakwah Islam, memajukan pendidikan dan
pengajaran, menghidupkan sifat tolong-menolong, mendirikan tempat ibadah dan wakaf,
mendidik dan mengasuh anak-anak agar menjadi umat Islam yang berarti, berusaha ke arah
perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam
Ide-ide yang di kemukakan K.H.Ahmad Dahlan telah membawa pembaruan dalam
bidang pembentukan lembaga pendidikan Islam yang semula bersistem pesantren menjadi
sistem klasikal, dimana dalam pendidikan klasikal tersebut dimasukkan pelajaran umum
kedalam pendidikan madrasah. Meskipun demikian, K.H. Ahmad Dahlan tetap
mendahulukan pendidikan moral atau ahlak, pendidikan individu dan pendidikan
kemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis- Nizar, Syamsul. 2010. Ensiklopedi Tokoh pendidikan Islam, Jakarta: Quantum
teaching
Kurniawan, Syamsul - Mahrus, Erwin. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Weinata
Islam, (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media)
Sairin, Gerakan pembaharuan Muhammdiyah,
Salam, Junus 2009. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, Tangerang: Al-Wasat Publising
House
Soedja, Muhammad, 1993. Cerita tentang kyiai haji Ahmad Dahlan, Jakarta: Rhineka Cipta
Baihaqi, Mif. 2008. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan, Bandung: Penerbit Nuansa
11
[1] Syamsul Kurniawan-Erwin Mahrus, jejak pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,
(Jogjakarta:Ar-Ruzz Media), hal.193
12
[2] Junus salam, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Tangerang: Al-Wasat Publising
House, 2009), hal.56.
13
[3] Muhammad Soedja, Cerita tentang kyiai haji Ahmad Dahlan, ( Jakarta: Rhineka Cipta,
1993), hal 202.
14
[4] Weinata Sairin, Gerakan pembaharuan Muhammdiyah, hal 39.
15
[5] Mif Baihaqi, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2008),hal.36
16
[6] Syamsul kurniawan-Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam,
(Jogjakarta:Ar-Ruzz Media,2011), hal.195-196
17
[7].Ramayulis-Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh pendidikan Islam, (Jakarta:Quantum
teaching,2010).hal 193.
18
[8] Ibid hal. 200
19
[9] Ramayulis-Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh pendidikan Islam, (Jakarta:Quantum
teaching,2010).hal 195.
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Ramayulis-Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh pendidikan Islam,(Jakarta:Quantum
[10]
teaching,2010).hal 199
20