Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Sejarah Dan Sistem Pendidikan yang Dipelopori Oleh Ki Hajar Dewantara

Disusun oleh :
Roki maulana ( 2210003745015 )
Dosen pengampu :
Prof. Dr. Salman M. Noer, M.pd.
Program pendidikan bahasa inggris fakultas keguruan dan ilmu pendidikan
universitas ekasakti
Padang
2022

1
DAFTAR ISI

1. Latar Belakang .................................................................................. i


2. Rumusan Maslah ............................................................................... ii
3. Pembahasan ....................................................................................... 1
4. Analisa ...............................................................................................
5. Kesimpulan .......................................................................................
6. Daftar Pustaka ...................................................................................

2
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak zaman perjuangan kemerdekaan dahulu, para pejuang serta perintis
kemerdekaan telah menyadari bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat vital
dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta membebaskannya dari belenggu
penjajahan. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa disamping melalui organisasi
politik, perjuangan ke arah kemerdekaan perlu dilakukan melalui jalur pendidikan.
Mengingat bahwa sistem pendidikan  pemerintah kolonial pada masa itu tidak demokratis
karena bersifat elit, diskriminatif dan diorientasikan pada kepentingan pemerintah
penjajahan, maka sistem pendidikan rakyat yang sudah ada perlu dibina dan
dikembangkan untuk menjangkau kepentingan rakyat secara lebih luas. Disamping
mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan rakyat tradisional yang pada umumnya
berorientasi keagamaan, maka pada masa itu muncul seorang tokoh muda Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat atau yang dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Ia bersama
rekan-rekannya mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat
perjuangan meraih kemerdekaan. Setelah itu ia pun mendirikan sebuah perguruan yang
bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional
Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa
kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan
berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam
membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan
mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan
memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut. Di tengah
keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga
tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan
kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui
tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa
Indonesia.

3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan diatas, dapat
ditarik beberapa pokok permasalahan untuk dianalisis dan dikaji di dalam  makalah
tentang Ki Hajar Dewantara ini. Pokok permasalahanya adalah:
a.    Riwayat Hidup
b.    Aliran Filsafat
c.    Pemikiran Tentang Pendidikan
d.    Pengaru Pemikiran Dalam Pendidikan
e.    Karya-Karya

4
II. PEMBAHASAN

A. Riwayat
Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir
dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga
kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun
menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.
Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan
namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik
secara fisik maupun hatinya. Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan
dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS
(Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai
wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express,
Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia
tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik
sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain ulet
sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.
Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan
dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya
persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes
Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan
Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada
tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka
berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada
pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur
Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak
pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Karena organisasi ini dianggap dapat
membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk
menentang pemerintah kolonial Belanda. Ia melancarkan kritik terhadap Pemerintah
Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari
penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai

5
pesta perayaan tersebut. Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik
lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang
Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi
Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat
dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker. Akibat karangannya yang
menghina itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg
menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum
buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh
bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa
memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke
Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran,
sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche
Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan
perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih
kemerdekaan. Ia mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal
Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922.
Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik
agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh
kemerdekaan. Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia
pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya
beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan.
Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil
meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Setelah zaman
kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja
diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan
Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi
juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan
Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang
diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada

6
tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia
meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara
Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki
Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki
Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa.
Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta
data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan
dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas
bantuan Badan Arsip Nasional.

B. Aliran Filsafat
Ki Hajar Dewantara termasuk aliran filsafat pendidikan yang menganut definisi
pendidikan, apabila dilihat dari sudut aliran filsafat pendidikan evolusionistis yang
lebih menekankan tangga-tangga psikologis perkembangan manusia. Suatu konsep
pendidikan yang lebih mengarahkan orientasinya pada aspek-aspek kehidupan
modern yang kompleks dan rumit kaitannya, yang lebih individualisis sehinga
menuntut kemampuan individual masing-masing pribadi dalam mengadakan
penyesuaian kehidupan psikologsnya. Konsep tentang anthropologi filsafat kalau
tidak dirumuskan dalam definisi pendidikan dapat dicari pada rumusan tentang tujuan
pendidikannya. Sebagai contoh dalam sejarah pemikiran filsafat pendidikan
Indonesia, kita dikenalkan dengan salah satu rumusan tujuan pendidikan sebagai
berikut: “Membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis
serta bertanggung jawab atas kesejahteraan Negara dan tanah air.” Dalam rumusan ini
hakekat manusia sebagai suatu aspek yang bernilai martabat yang sama, sehinga yang
satu tidak boleh mencaplok atau menghisap yang lain, artinya manusia dihisap warga
negara sehingga mengarah ke terhisapnya kepentingan individu demi kepentingan dan
kejayaan Negara, dan sebaliknya hilangnya aspek warganegara dan mengarah ke
individualisme yang otomistis. Suatu ilustrasi tujuaan pendidikan yang mengarah ke
penghisapan individualitas manusia ke dalam konsep warganegara adalah definisi
pendidikan di bawah ini: “Pendidikan adalah kegiatan atau proses dengan mana
individual dibina agar loyal setia tanpa sarat dan penyesuaian membuka pada

7
kelompok atau lembaga soial.” Definisi pendidikan ini disamping berlaku pada
Negara totaliter yang dengan monisme kebudayaan, juga berlaku pada masyarakat
yang ketat berpegang teguh mempertahankan tradisi kebudayaannya, yaitu pada
masyarakat yang tradisioal konservatif. Dalam batas-batas tertentu, para sosiolog
lebih dekat pemikiran pendidikan dengan definisi konsep pendidikan di atas. Sedang
para psikolog lebih dekat dekat dengan definuisi oendidikan di bawah ini:
“Pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan di dalam mana individu dibantu
mengembangkan daya-daya kemampuannya, bakatnya, kecakapannya dan minatnya.
”Perbedaan antara kedua definisi pendidikan di atas, antara pendekatan sosiologis dan
pendwekatan psikologis adalah bahwa pendekatan social meninjau proses pendidikan
dalam kaitannya dengan kehidupan dengan lembaga social di luar individu, sedang
pendekatan psikologis meninjau proses pendidikan dari sudut proses internal dalam
diri manusia, sehinga lebih mengarah ke peninjauan tentang konsep hakekat
psikologis, bukan filosofis, daripada anak didik.

C. Pemikiran Tentang Pendidikan


Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara,
Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang
mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar Dewantara mendidik dalam arti yang
sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni
pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang
merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk
dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha
bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka
tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis). Menurut Ki Hajar
Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan
memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang
harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika
setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan
sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa. Dalam
konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem
“Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain.  Pengajaran

8
bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan
kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup
batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).
Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk generasi bangsa ini dan
mengingat pentingnya guru yang memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas dan
spiritualitas. Beliau sendiri untuk kepentingan mendidik, meneladani dan pendidikan
generasi bangsa ini telah mengubah namanya dari ningratnya sebagai Raden Mas
soewardi Suryaningrat menjadi Ki hajar dewantara. Perubahan nama tersebut dapat
dimakna bahwa beliau ingin menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi
pendidik, yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang
berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan
diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara ini. Bagi Ki Hajar
Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian
dan spiritualitas, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga
menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang utama
sebagai pendidik adalah fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai fasilitator
kelas. Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang
mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah
seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus
masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi
perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini).
Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya
adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan
membawa keselamatan. Menerjemahkan dari konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara
tersebut, maka banyak pakar menyepakati bahwa pendidikan di Indonesia haruslah
memiliki 3 Landasan filosofis, yaitu nasionalistik, universalistic dan spiritualistic.
Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan
independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya
berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan
dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala
hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati)
manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang

9
berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan
terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati;
pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan
independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya
mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan;
pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-
masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa
percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru
hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi
kebahagiaan para peserta didiknya. Output pendidikan yang dihasilkan adalah peserta
didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota
masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan
kesejahteraan orang lain. Dalam pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang
sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran
dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik
pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and
the hand).

D. Pengaruh Pemikiran Dalam Pendidikan


Mendekati proses pendidikan dalam sebuah pemikiran cerdas untuk mendirikan
sekolah taman siswanya, jauh sebelum Indonesia mengenal arti kemerdekaan.
Konsepsi Taman Siswa pun coba dituangkan Ki Hajar Dewantara dalam solusi
menyikapi kegelisahan-kegelisahan rakyat terhadap kondisi pendidikan yang terjadi
saat itu, sebagaimana digambarkan dalam asas dan dasar yang diterapkan Taman
Siswa. Orientasi Asas Dan Dasar Pendidikan Dari Ki Hajar Dewantara diupayakan
sebagai asas perjuangan yang diperlukan pada waktu itu menjelaskan sifat pendidikan
pada umumnya. Pengaruh pemikiran pertama dalam pendidikan adalah dasar
kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan
kepada pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan upaya di dalam mendidik
murid-murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka demi
pencapaian tujuannya dan perlunya kemajuan sejati untuk diperoleh dalam
perkembangan kodrati. Hak mengatur diri sendiri berdiri (Zelfbeschikkingsrecht)

10
bersama dengan tertib dan damai (orde en vrede) dan bertumbuh menurut kodrat
(natuurlijke groei). Ketiga hal ini merupakan dasar alat pendidikan bagi anak-anak
yang disebut “among metode” (sistem-among) yang salah satu seginya ialah
mewajibkan guru-guru sebagai pemimpin yang berdiri di belakang tetapi
mempengaruhi dengan memberi kesempatan anak didik untuk berjalan sendiri. Inilah
yang disebut dengan semboyan “Tut Wuri Handayani”. Menyinggung masalah
kepentingan sosial, ekonomi dan politik kecenderungan dari bangsa kita untuk
menyesuaikan diri dengan hidup dan penghidupan ke barat-baratan telah
menimbulkan kekacauan. Menurut Kihajar Dewantara Sistem pengajaran yang
terlampau memikirkan kecerdasan pikiran yang melanggar dasar-dasar kodrati yag
terdapat dalam kebudayaan sendiri. Sementara hal yang menyangkut tentang dasar
kerakyatan untuk memepertinggi pengajaran yang dianggap perlu dengan memperluas
pengajarannya. dan memiliki pokok asas untuk percaya kepada kekuatan sendiri.
Dalam dunia pendidikan mengharuskan adanya keikhlasan lahir-batin bagi guru-guru
untuk mendekati anak didiknya. Sesungguhnya semua hal tersebut merupakan
pengalaman dan pengetahuan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan barat yang
mengusahakan kebahagian diri, bangsa dan kemanusiaan.

E. Karya-Karya
Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang menjadi
representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis sampai
hari ini. Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam bidang
pendidikan dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan oleh
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara
Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II: Kebudayaan
(1967). Kepiawaian dalam menulis karena beliau sejak muda menjadi penulis dan
wartawan.
Ketiga, Buku Bagian I Pendidikan terbagi dalam 8 bab: pendidikan nasional,
politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian, pendidikan
keluarga, ilmu jiwa, ilmu adab, dan bahasa. Tulisan tertua dalam buku ini yakni
’’Pendidikan dan Pengajaran Nasional’’ yang disampaikan sebagai prasaran dalam
Kongres Permufakatan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 31 Agustus

11
1928. Ki Hadjar Dewantara dalam tulisan itu mengatakan bahwa kemerdekaan dalam
dunia pendidikan memiliki tiga sifat: berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain,
dapat mengatur diri sendiri. Buku Bagian II Kebudayaan terbagai dalam 5 bab: 
kebudayaan umum, kebudayaan dan pendidikan/kesenian, kebudayaan dan
kewanitaan, kebudayaan dan masyarakat, hubungan dan penghargaan kita. Dua buku
itu adalah representasi pemikiran dan pembuktian dalam praktik pendidikan dan
pengajaran dari Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan dan kebudayaan adalah basis
kehidupan yang menentukan kualitas manusia dan bangsa.

12
III.       Analisa

Lembaga pendidikan pada umumnya adalah sarana bagi proses pewarisan maupun
transformasi pengetahuan dan nilai-nilai antar generasi. Dari sini dapat terpahami bahwa
pendidikan senantiasa memiliki muatan ideologis tertentu yang antara lain terekam
melalui konstruk filosofis yang mendasarinya. Sekolah memang bukanlah sesuatu yang
netral atau bebas nilai. Sebab tak jarang dan seringkali demikian, pendidikan dianggap
sebagai wahana terbaik bagi pewarisan dan pelestarian nilai-nilai yang nyatanya sekedar
yang resmi, sedang berlaku dan direstui bahkan wajib diajarkan di semua sekolah
dengan satu penafsiran resmi yang seragam pula. Dinamika sistem pendidikan yang
berlangsung di Indonesia dalam berbagai era kesejarahan akan menguatkan pandangan
ini, betapa dunia pendidikan memiliki keterkaitan sangat erat dengan kondisi sosial-
politik yang tengah dominan.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi
kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa
dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya
secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan
menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa
pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan
peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya
menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan
olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau
manusiawi.
Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya
dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk
lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia
lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya
budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku
pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-
benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang
seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya
masyarakat yang melingkupinya.

13
Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan
perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke
pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual
yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi
bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi
yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri
untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi
pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik
pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian
sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri
memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan.
Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang
keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia,
mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan
perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu
mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik
secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh
tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti
keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi,
tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa adalah
membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa
merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada
aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik.
Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan
independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal artinya
berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu merupakan perwujudan
dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka dari segala
hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati)
manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang
berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan

14
terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati;
pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan
independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya tidak hanya
mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang kebanyakan;
pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan antara masing-
masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat rasa
percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru
hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi
kebahagiaan para peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik
yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota
masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan
kesejahteraan orang lain. Metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini
adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada
asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan
manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras
dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati
kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini
sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.

15
I. Kesimpulan

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu
memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku,
budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus
didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi. Hari lahirnya, diperingati
sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani
(di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan
peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).
Pengaruh pemikiran pertama dalam pendidikan adalah dasar kemerdekaan
bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada
pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan upaya di dalam mendidik murid-
murid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka demi pencapaian
tujuannya dan perlunya kemajuan sejati untuk diperoleh dalam perkembangan kodrati.
Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang
menjadi representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap eksis
sampai hari ini. Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam bidang
pendidikan dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan oleh
Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara
Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II: Kebudayaan
(1967).

16
Daftar Pustaka

Fakih, Mansour, 2000. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist


Press dan Pustaka Pelajar.

Ardhana,  Wayan (1991). Kebijakan pemerintah dalam strategi pendidikan nasional. Makalah


dalam Seminar Televisi Perididikan Indonesia di Surabaya, 23 Februari .

Tjaya, Thomas Hidya, 2004, Mencari Orientasi Pendidikan, Sebuah Perspektif Historis,
Jakarta,

Barnadib, Imam, 1988, Filsafat Pendidikan, Sistem Dan Metode, Andi Offset, Yogyakart

17

Anda mungkin juga menyukai