Anda di halaman 1dari 15

MENGENAL SOSOK KI HADJAR DEWANTARA MELALUI

PEMIKIRAN DAN PERJUANGANNYA

ABSTRAK

Ki Hajar Dewantara menyebutkan, manusia memilki daya cipta, karsa dan karya.
Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara
seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberat-kan pada satu daya saja akan
menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan
bahwa pendidikan yang menekan-kan pada aspek intelektual saja hanya akan
mejauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Ternyata pendidikan sampai
sekarang ini hanya me-nekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang
memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa.

Keywords: Pemikiran,Perjuangan Ki Hadjar Dewantara

PENDAHULUAN

Nama Suwardi Suryaningrat kurang dikenal oleh masyarakat, namun dengan nama
Ki Hadjar Dewantara, beliau sangat dikenal, dihormati dan disanjung-sanjung
sebagai Pendiri Perguruan Tamansiswa, Bapak Pendidikan Nasional, dan Pahlawan
Nasional. Beliau dikenal dan diakui dunia karena kompetensi, keahlian, prestasi
dan sumbangsihnya yang luar biasa dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan
kemasyarakatan.

Melalui studi kepustakaan baik berupa tulisan-tulisan maupun benda peninggalan


Ki Hadjar Dewantara, serta buku-buku karya para tokoh Tamansiswa dan
simpatisan Tamansiswa yang tersimpan di Museum Tamansiswa “Dewantara Kirti
Griya”, kami sajikan biografi untuk menggambarkan sosok Ki Hadjar Dewantara
sebagai seorang jurnalis, politikus, budayawan, pendidik, dan pemimpin rakyat.

Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 18894. Terlahir


dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Nama ayah KPH suryaningrat
Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti
nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan
gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat
bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Ki Hadjar Dewantara pada masa kanak-kanak dan masa muda bernama Raden Mas
(R.M.) Suwardi Suryaningrat. Namun sesudah dalam pembuangan di Nederland,
gelar kebangsaannya tidak dipakai lagi sebagai pernyataan bersatunya Suwardi
Suryaningrat dengan rakyat yang diperjuangkannya. Suwardi Suryaningrat Lahir
pada hari Kamis Legi, tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta, bertepatan dengan
tanggal 2 Ramadhan 1309 H. Lahirnya pada bulan Ramadhan memunculkan
harapan begitu saja kelakar K.P.A. Suryaningrat. Ia menuntut haknya sebagai
sahabat untuk ikut memberikan nama julukan kepada bayi Suwardi Suryaningrat.
K.P.A. Suryaningrat setuju, maka Kyai Soleman memberi nama tambahan
Trunogati.

Kyai Soleman merasa mendapat firasat, dari tangis bayi yang lembut itu, suaranya
kelak akan didengar orang di seluruh negeri. Perutnya yang jemblung (buncit) itu
memberi firasat bayi itu kelak akan menelan dan mencerna ilmu yang banyak,
sesudah memasuki masa dewasa ia akan menjadi seorang pemuda yang penting
(Truno = pemuda; gati, wigati = penting, berarti).

Sebagai keluarga bangsawan Suwardi Suryaningrat mendapat kesempatan belajar


di Europeesche Lagere School (ELS) atau Sekolah Dasar Belanda 7 tahun di
kampung Bintaran Yogyakarta, yang tidak jauh dari tempat kediamannya. Sesudah
tamat Sekolah Dasar (1904), Surwardi Suryaningrat masuk Kweekschool (Sekolah
Guru) di Yogyakarta. Tidak lama kemudian datang dr. Wahidin Sudiro Husodo di
Puro Pakualaman, beliau menanyakan siapa di antara putera-putera yang mau
masuk STOVIA (School Fit Opleiding Van Indische Artsen) - Sekolah Dokter
Jawa di Jakarta, mendapat bea siswa. Suwardi Suryaningrat menerima tawaran itu
dan menjadi mahasiswa STOVIA (1905-1910).

Namun karena sakit selama 4 bulan, Suwardi Suryaningrat tidak naik kelas dan
beasiswanya dicabut. Namun ada sinyalemen, alasan sakit sesungguhnya bukan
satu-satunya sebab dicabutnya beasiswa, tetapi ada alasan politis dibalik itu.
Pencabutan beasiswa dilakukan beberapa hari setelah Suwardi Suryaningrat
mendeklamasikan sebuah sajak dalam suatu pertemuan. Sajak itu menggambarkan
keperwiraan Ali Basah Sentot Prawirodirdjo, seorang Panglima Perang
P.Diponegoro. Sajak itu digubah oleh Multatuli dalam Bahasa Belanda yang sangat
indah, dibawakan oleh Suwardi.

Bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto


Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang
beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang ber-tujuan
mencapai Indonesia merdeka5.

Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan


hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda
melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini
dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 19136. Alasan Memimpin
dan Mendidikan Anak Perspektif Ki Hajdjar Dewantara An-Nisa', Vol. 8 No. 1
April 2015 | 115 penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat
membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk
menentang pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia


pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 19137. Komite itu
sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun
Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik
terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya
negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat
jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut Sehubungan dengan rencana
perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander
Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor
Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku
Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes
Dekker itu antara lain berbunyi: "Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan
menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah
merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil,
tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk
dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah
menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan
penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang
menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan
bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia
sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral


Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman
internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat
tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang
ke Pulau Bangka8.

Ki Hadjar Dewantara dan ajarannya. Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai tokoh


yang berjuang untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan: Pendidikan apakah
yang cocok untuk anak-anak Indonesia? Jawabannya adalah Pendidikan Nasional.
Untuk menyelengarakan pendidikan nasional beliau mendirikan Lembaga
Pendidikan Nasional Taman Siswa yang kemudian dikenal sebagai Perguruan
Taman Siswa. Perguruan Taman Siswa bertujuan untuk membuat rakyat pandai,
sebab Ki Hadjar Dewantara berkeyakinan bahwa perjuangan pergerakan tidak akan
berhasil tanpa kepandaian. Untuk itu beliau mengemukakan konsepnya mengenai
Pendidikan Nasional (disarikan dari kumpulan karya Ki Hadjar Dewantara:
Pendidikan)., yang direalisasi mulai tanggal 3 Juli 1922 dengan mendirikan
Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta dengan tugas-tugasnya :

a. Pertama adalah untuk mendidik rakyat agar berjiwa kebangsaan dan berjiwa
merdeka, untuk menjadi kader-kader yang sanggup dan mampu mengangkat derajat
nusa dan bangsanya sejajar dengan bangsa lain yang merdeka.
b. Kedua membantu perluasan pendidikan dan pengajaran yang pada waktu itu sangat
dibutuhkan oleh rakyat banyak, sedang sekolah yang disediakan oleh pemerintah
Belanda sangat terbatas. Ki Hajar Dewantara telah menciptakan sistem pendidikan
yang merupakan sistem pendidikan perjuangan. Falsafah pendidikannya adalah
menentang falsafah penjajahan dalam hal ini falsafah Belanda yang berakar pada
budaya Barat. Falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara bukan semata-mata sistem
pendidikan perjuangan, melainkan juga merupakan suatu pernyataan falsafah dan
budaya bangsa Indonesia sendiri. Sistem pendidikan tersebut kaya akan konsep-
konsep kependidikan yang asli. Ki Hajar Dewantara mengembangkan sistem
pendidikan melalui Perguruan Taman Siswa yang mengartikan pendidikan sebagai
upaya suatu bangsa untuk memelihara dan mengembangkan benih turunan bangsa
itu. Untuk itu, Ki Hajar Dewantara mengembangkan metode among sebagai sistem
pendidikan yang didasarkan asas kemerdekaan dan kodrat alam (Rochman, dalam
Jaeng, 2005). Sistem pendidikan Ki Hadjar Dewantara itu dikembangkan
berdasarkan lima asas pokok yang disebut Pancadarma Taman Siswa (Suratman,
1985: 111), yang meliputi:
a. Asas kemerdekaan, yang berarti disiplin diri sendiri atas dasar nilai hidup yang
tinggi, baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
b. Arti merdeka adalah sanggup dan mampu untuk berdiri sendiri untuk mewujudkan
hidup diri sendiri, hidup tertib dan damai dengan kekuasaan atas diri sendiri.
Merdeka tidak hanya berarti bebas tetapi harus diartikan sebagai kesanggupan dan
kemampuan yaitu kekuatan dan kekuasaan untuk memerintah diri pribadi.
c. Asas kodrat alam, yang berarti bahwa pada hakikatnya manusia itu sebagai makluk,
adalah satu dengan kodrat alam. Manusia tidak dapat lepas dari kodrat alam dan akan
berbahagia apabila dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung
kemajuan itu. Oleh karena itu, setiap individu harus berkembang dengan sewajarnya.
d. Asas kebudayaan, yang berarti bahwa pendidikan harus membawa kebudayaan
kebangsaan itu ke arah kemajuan yang sesuai dengan kecerdasan zaman, kemajuan
dunia dan kepentingan hidup lahir dan batin rakyat pada setiap zaman dan keadaan.
e. Asas kebangsaan, yang berarti tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan, malah
harus menjadi bentuk kemanusiaan yang nyata. Oleh karena itu asas kebangsaan ini
tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain melainkan mengandung rasa
satu dengan bangsa sendiri, satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak
menuju kepada kebahagiaan hidup lahir dan batin seluruh bangsa. 5, Asas
kemanusiaan, yang menyatakan bahwa darma setiap manusia itu adalah perwujudan
kemanusiaan yang harus terlihat pada kesucian batin dan adanya rasa cinta kasih
terhadap sesama manusia dan terhadap makluk ciptaan Tuhan selur.

TELAAH PUSTAKA

Mendirikan Perguruan Taman siswa

Awal berdirinya Perguruan Taman siswa tidak lepas dari peran R.Ay. Sutartinah. Pada
Agustus 1920 Suwardi Suryaningrat yang sedang menjalani hukuman penjara di
Pekalongan diizinkan menjenguk isterinya yang sakit pendarahan berat karena
melahirkan putera ketiga. R.Ay. Sutartinah mengingatkan atas gagasan Suwardi
Suryaningrat yang pernah disampaikan kepada K.H. Ahmad Dahlan di Semarang
(1919), bahwa harus ada suatu Perguruan Nasional yang mendidik kader-kader
perjuangan untuk menentang penjajah. Ketika mendengar kata-kata isteri beliau,
seolah-olah Suwardi Suryaningrat mendapat ilham (“wisik”) kemudian dengan penuh
semangat teringat gagasannya dan mulai detik itu beliau berniat sungguh-sungguh
akan mendirikan Perguruan Nasional, jika telah bebas dari hukuman penjara. Ayah
Suwardi Suryaningrat menyetujui dan sebagai saksi atas ikrar tsb., K.P.A.
Suryaningrat memberikan tambahan nama “Tarbiah” kepada putera ketiga Suwardi
Suryaningrat sehingga bernama Ratih Tarbiah yang lahir pada 22 Agustus 1920.

Pengalaman Suwardi Suryaningrat di lapangan perjuangan politik, dengan melalui


berbagai rintangan, pembuangan, dan penjara dengan segala hasilnya, menimbulkan
pemikiran baru untuk mencari cara dan jalan menuju Kemerdekaan Indonesia.
Suwardi Suryaningrat menginsyafi bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa harus
didasari jiwa merdeka dan jiwa nasional dari bangsanya, maka diperlukan penanaman
jiwa merdeka dimulai sejak anak-anak.

Prawirowiworo, RM. Gondoatmojo, B.R.M. Subono, R.M.H. Suryo Putro (paman


Suwardi Suryaningrat), dan Ki Ageng Suryomataram.

Sarasehan tsb. membahas kehidupan dan nasib bangsa Indonesia yang sengsara dan
penuh penderitaan, dengan mencari jalan untuk menegakkan dan membina
kepribadian bangsanya. Hasil analisisnya bercita-cita : “Memayu hayuning sariro,
memayu hayuning bangsa”, dan “memayu hayuning bawono”(membahagiakan diri,
bangsa, dan dunia). Cita-cita tsb. tidak cukup hanya dicapai melalui pergerakan politik
saja, tetapi harus dicapai dengan pendidikan rakyat serta memperbaiki jiwa dan mental
bangsa. Akhirnya Sarasehan Slasa Kliwonan memutuskan: Ki Ageng Suryomataram
bertugas menangani mendidik orangtua, dengan Ilmu Jiwa “Kawruh Begja” yang
kemudian berkembang menjadi “Kawruh Jiwa”. Sedangkan Suwardi Suryaningrat
dengan beberapa kawannya : R.M. Sutatmo Suryokusumo, Ki Pronowidigdo, R.M.H.
Suryo Putro, Ki Sutopo Wonoboyo, Ki Cokrodirjo, dan BRM. Subono serta R.Ay.
Sutartinah diserahi tugas menangani pendidikan anak-anak.

Dengan pengalamannya bekerja sebagai guru di Perguruan “Adhidarma” milik


kakanya RM. Suryapranoto, akhirnya pada “Mulo Kweekshool” setingkat SMP
dengan pendidikan guru (4 tahun sesudah pendidikan dasar). Pada tahun 1928 tamatan
Mulo Kweekshool dapat masuk AMS (Algemene Middelbare School) setingkat SMA
Negeri hampir 70%. Dengan kesuksesannya itu bangsa Indonesia tergugah semangat
dan makin tebal rasa harga dirinya.
Lahirnya Perguruan Nasional Tamansiswa mendapat sambutan luar biasa dari segala
lapisan masyarakat. Setelah ditangani oleh pengurus yang bersifat kolektif kolegial
yang disebut “Instituutraad” diperluas menjadi “Hoofdraad” (nama sekarang Majelis
Luhur Persatuan Tamansiswa), dan ditegaskan bahwa Perguruan Nasional
Tamansiswa merupakan “badan wakaf merdeka”. Ratusan Perguruan Tamansiswa
tumbuh di mana-mana dijiwai oleh semangat cinta tanah air. Suwardi Suryaningrat
dengan Tamansiswanya terkenal di mana-mana. Sang Pujangga Rabindranath Tagore
dari Shanti Niketan, Bolpur India, dengan rombongan yang dipimpin Prof. Dr.
Chatterjee dalam kunjungan ke Indonesia memerlukan datang di Yogyakarta untuk
mengunjungi Perguruan Tamansiswa (Agustus 1927). Demikian pula Prof. Dr. R.
Bunche (USA), seorang pelopor dalam memperjuangkan persamaan hak menikmati
pendidikan bagi orang-orang Negro, tertarik untuk mempelajari gerakan Senin
Kliwon, 3 Juli 1922 Suwardi Suryaningrat dkk mendirikan “Nationaal Onderwijs
Instituut Taman Siswa” di jl. Tanjung, Pakualaman, Yogyakarta, membuka bagian
Taman Anak atau Taman Lare, yaitu satuan pendidikan setingkat Taman Kanak-
Kanak (Taman Indria). Kemudian pada 7 Juli 1924 mendirikan “Mulo Kweekshool”
setingkat SMP dengan pendidikan guru (4 tahun sesudah pendidikan dasar). Pada
tahun 1928 tamatan Mulo Kweekshool dapat masuk AMS (Algemene Middelbare
School) setingkat SMA Negeri hampir 70%. Dengan kesuksesannya itu bangsa
Indonesia tergugah semangat dan makin tebal rasa harga dirinya.

Lahirnya Perguruan Nasional Tamansiswa mendapat sambutan luar biasa dari segala
lapisan masyarakat. Setelah ditangani oleh pengurus yang bersifat kolektif kolegial
yang disebut “Instituutraad” diperluas menjadi “Hoofdraad” (nama sekarang Majelis
Luhur Persatuan Tamansiswa), dan ditegaskan bahwa Perguruan Nasional
Tamansiswa merupakan “badan wakaf merdeka”. Ratusan Perguruan Tamansiswa
tumbuh di mana-mana dijiwai oleh semangat cinta tanah air. Suwardi Suryaningrat
dengan Tamansiswanya terkenal di mana-mana. Sang Pujangga Rabindranath Tagore
dari Shanti Niketan, Bolpur India, dengan rombongan yang dipimpin Prof. Dr.
Chatterjee dalam kunjungan ke Indonesia memerlukan datang di Yogyakarta untuk
mengunjungi Perguruan Tamansiswa (Agustus 1927).

Demikian pula Prof. Dr. R. Bunche (USA), seorang pelopor dalam memperjuangkan
persamaan hak menikmati pendidikan bagi orang-orang Negro, tertarik untuk
mempelajari gerakan Tamansiswa dalam memperjuangkan hak rakyat Indonesia untuk
menikmati pendidikan bagi rakyat Indonesia (Tahun 1939).
Pada 3 Februari 1928 Suwardi Suryaningrat genap berusia 40 tahun menurut tarikh
Jawa (5 windu) dan berganti nama Ki Hadjar Dewantara. Menurut Ki Utomo
Darmadi, Hadjar : pendidik; Dewan : Utusan; tara : tak tertandingi. Jadi maknanya: Ki
Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidik utusan rakyat yang tak tertandingi
menghadapi kolonialisme. Pergantian nama tsb. merupakan sublimasi misi hidup dari
“Satriyo Pinandhito” menjadi “Pandhito Sinatriyo” (Satriyo yang sekaligus bersikap
laku Pandhito–Pendidik, kemudian meningkat menjadi Pandhito-Pendidik yang secara
simultan berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran= misi utama Satriyo).

Tamansiswa sebagai salah satu lembaga pendidikan yang didirikan Ki Hadjar


Dewantara telah berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan yang memerdekakan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi sistem pendidikan nasional. Kehadiran Ki
Hadjar Dewantara dalam membangun Tamansiswa memiliki spektrum sejarah
nasional, yang tak luput dari stretegi kebudayaan yang digelutinya. Beliau menjadikan
Trikon (Kontinyu, konvergen, konsentris) dalam proses kebudayaannya. Kontinyu :
berkesinambungan dengan masa lalu, Konvengen : bertemu secara terbuka dengan
perkembangan alam dan zaman. Dan Konsentris : menyatu dengan nilai-nilai
kemanusiaan, dunia.

Ki Hadjar Dewantara memang tidak pernah ragu menetapkan sistem dan model
pendididkannya berbasis pada kebudayaan lokal-nasional. Beliau hendak mengangkat
model pendidikan pribumi untuk menghadapi sistem pendidikan kolonial, selanjutnya
digerakkan secara serentak untuk mencapai kemerdekaan nasional.

Ada empat strategi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pertama: pendidikan adalah


proses budaya untuk mendorong siswa agar memiliki jiwa merdeka dan mandiri;
kedua : membentuk watak siswa agar berjiwa nasional, namun tetap membuka diri
terhadap perkembangan internasional; ketiga : membangun pribadi siswa agar berjiwa
pionir- pelopor; dan keempat : mendidik berarti mengembangkan potensi atau bakat
yang menjadi Korat Alamnya masing-masing siswa.

Selama 37 tahun Ki Hadjar Dewantara memimpin dan mengasuh Perguruan


Tamansiswa yang tersebar di seluruh Indonesia. Ki Hadjar Dewantara wafat pada
tanggal 26 April 1959 di Padepokan Ki Hadjar Dewantara dan disemayamkan di
Pendapa Agung Tamansiswa Yogyakarta. Jenazah Ki Hadjar Dewantara dimakamkan
pada tanggal 29 April 1959 secara militer dengan Inspektur Upacara Kolonel Soeharto
di makam Taman Wijaya Brata, Celeban, Yogyakarta.
Ki Hadjar Dewantara meninggalkan seorang isteri Nyi Hadjar Dewantara dan 6 orang
anak: Ni Niken Wandansari Sutapi Asti, Ki Subroto Aryo Mataram (Brigjend. TNI),
Nyi Ratih Tarbiyah, Ki Sudiro Ali Murtolo (lahir 9 Agustus 1925), Ki Bambang
Sokawati (lahir 9 Maret 1930) dan Ki Syailendra Wijaya (lahir 28 September 1932).

Semua benda bersejarah, buku, surat, penghargaan, dan barang-barang perabot rumah
tangga peninggalan Ki Hadjar Dewantara kini tersimpan di Museum “Dewantara Kirti
Griya” Jl. Tamansiswa No. 25 Yogyakarta.

Perjuangan, Jasa, dan Penghargaan

Di bidang pendidikan, prasaran Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan Nasional


dan penyelenggaraan/pembinaan perguruan nasional diterima oleh Kongres
Perkumpulan Partai-partai Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI) di Surabaya. Dalam
kongres yang berlangsung 31 Agustus 1928 tsb., beliau mengemukakan perlunya
pengajaran nasional sebelum bangsa Indonesia mempunyai Pemerintahan Nasional
sendiri.

Di bidang pers, bagi Ki Hadjar Dewantara majalah atau surat kabar merupakan
wahana yang sangat penting bagi suatu lembaga untuk menyebarkan cita-citanya
kepada masyarakat. Oleh karena itu, beliau menerbitkan brosur dan majalah. Majalah
“Wasita” (tahun 1928-1931),selanjutnya menerbitkan majalah “Pusara” (1931). Di
samping kedua majalah tsb., Ki Hadjar Dewantara juga menerbitkan Majalah
“Keluarga” dan “Keluarga Putera” (1936).

Sedangkan di bidang kesenian, Ki Hadjar Dewantara mengarang buku methode/notasi


nyanyian daerah Jawa “Sari Swara”, diterbitkan tahun 1930 oleh JB. Wolters. Dari
buku tsb. Ki Hadjar Dewantara menerima royalty, untuk membeli mobil Sedan
Chevrolet. Sebelumnya, beliau pada tahun 1926 menciptakan lagu/gendhing
Asmaradana “Wasita Rini” diperuntukan bagi para anggota Wanita Tamansiswa.

Ketika seluruh pergerakan nasional makin hidup dan kuat, maka Pemerintah Hindia
Belanda bertindak waspada. Tindakan itu diarahkan kepada pergerakan sosial,
terutama bidang pendidikan, maka dibuatlah Undang-Undang “Ordonansi Sekolah
Liar” atau “Onderwijs Ordonantie” disingkat OO 1932, dimuat dalam Staatblad 1932
No. 494 yang diumumkan berlaku pada 1 Oktober 1932.

Sikap Ki Hadjar Dewantara terhadap diberlakukannya OO 1932 tsb, beliau langsung


mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal di Bogor yang isinya menentang OO
1932. Ki Hadjar Dewantara menyatakan akan melawan terus dengan“lijdelijk verzet”,
“passive resistance”, “non-violence”, dan “ahimsa”.

Perlawanan Ki Hadjar Dewantara bersama Tamansiswa menghadapi OO 1932


mendapat sambutan yang amat besar dari kalangan masyarakat luas. Seluruh
pergerakan rakyat baik yang bersifat politik, agama, maupun sosial serta media massa:
“Perwata Deli”, “Suara Umum”, “Aksi”, “Suara Surabaia”, “Sedyatama”,
“Darmokondo”, “Bintang Timur”, “Timbul” dan Koran-koran di Sumatera, semuanya
secara serentak mendukung perlawanan Ki Hadjar Dewantara, sehingga perlawanan
tsb. menjadi aksi massa. Akhirnya OO 1932 ditunda untuk satu tahun lamanya dan
menghidupkan lagi Ordonansi lama Tahun 1923/1925. Penetapan penundaan OO 1932
itu telah disahkan dalam Staatsblad No.66 tanggal 21 Februari 1933.

Usaha Pemerintah Hindia Belanda menindas Tamansiswa berjalan terus. Pada tahun
1935 pegawai negeri ditakut-takuti jika memasukkan anaknya sekolah di Tamansiswa.
“Vrijbijljet” (Kartu Percuma) anak pegawai Kereta Api yang menjadi murid
Tamansiswa dicabut. “Kindertoelage” (Tunjangan anak) pegawai negeri dicabut jika
terus menyekolahkan anaknya di Tamansiswa, disusul “Loon Belasting” (pajak upah).
Namun Tamansiswa menolak dan tidak mau membayar, karena sistem hidup keluarga
Tamansiswa tidak mengenal hubungan majikan dan buruh, Tidak mengenal upah
tetapi “nafkah”. Setelah lima tahun terus-menerus Tamansiswa di bawah pimpinan Ki
Hadjar Dewantara melawannya, akhirnya pajak upah dibebaskan pada 15 JUli 1940,
Pemerintah Hindia Belanda terpaksa mengakui aturan hidup kekeluargaan
Tamansiswa.

Perjuangan dan peran Ki Hadjar Dewantara pada masa Pemerintahan Balatentara


Jepang sampai dengan Pemerintah RI, berturut-turut sebagai :

Anggota “Empat Serangkai” bersama Bung Karno, Bung Hatta, dan K.H. Mas
Mansyoer, mendirikan dan memimpin “Pusat Tenaga Rakyat” (Oktober 1942).

Anggota “Tjuo Sangiin” yaitu Badan Pertimbangan Dai Nippon (Oktober 1943) dan
sebagai “Kenkoku Gakuin Kyozu” (22 April 1944).

“Naimubu Bunkyo Kyoku Sanyo (Penasehat Departemen Pendidikan Pemerintah


Balatentara Jepang)- 1 Desember 1944.

Anggota “Dokuritzu Jumbi Chosakai” atau “Badan Penyelidik Usaha Persiapan


Kemerdekaan Indonesia” disingkat BPUPKI, kemudian menjelma menjadi “”Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia” disingkat PPKI (29 April 1945) dan “Naimubu
Bunkyu Kyokucho (15 Juli 1945).

. Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada Kabinet RI yang pertama (19
Agustus – 15 November 1945).

. Ketua Panitia Penyelidikan Pendidikan dan Pengajaran RI (15 Februari 1946)

. Ketua Panitia Pembantu Pembentukan Undang-Undang Pokok Pendidikan (1946)

. Mahaguru Sekolah Polisi RI, Mertoyudan, Magelang (1 Agustus 1946)

. Dosen Akademi Pertanian Yogyakarta (1 Februari 1947)

. Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI (23 Maret 1947)

. Anggota Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam di Sekolah Rakyat Negeri


Yogyakarta (10 April 1947)

. Anggota Dewan Kurator Akademi Pertanaian/Kehutanan RI (27 Maret 1948)

. Pencetus dan Ketua Panitia Pusat Peringatan 40 Tahun Hari Kebangunan Nasional di
Yogyakarta (20 Mei 1948).

. Ketua Dewan Pertimbangan Agung RI (6 Juni 1949)

. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung RI (1 Juli 1949)

. Ketua Panitia Asahan – Selatan dan labuhan Ratu (21 November 1949)

. Anggota Panitia Perencana Lambang Negara RIS (16 Januari 1950).

. Anggota Badan Pertimbangan RI (6 November 1951)

. Anggota DPR RIS – DPRS RI (17 Agustus 1950 – 1 April 1954).

Pola Kepemipinan Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Sebagai penghormatan bangsa Indonesia memberikan gelar pahlawan dan pejuang


pendidikan. Dan tanggal lahir Ki Hajar tepatnya pada taggal 2 mei di nobatkan
sebagai hari pendidikan nasional. Ini membuktikan Ki Hajar adalah pahlawan
pendidikan yang ideal yang harus di perjuangkan nilai-nilai luhur yang telah Ki
Hajar berikan kepada bangsa ini.
Kepemimpinan pendidikan Ki Hajar Dewantara di dalam dunia pendidikan tidak
diragukan lagi, terbukti dengan semangat patriotisme untuk mengebangkan
pendidikan Ki Hajar banyak mendapat tantangan, hambatan dari penjajah, tetapi Ki
Hajar bisa membuktikan akan keberhasilan beliau di dalam pendidikan.

Ki Hajar Dewantara memakai semboyan mengenai syarat seorang menjadi


pemimpin (guru) sebagai berikut:23

1. Tut Wuri Hanadayani” (dari belakang seorang guru harus bisa


memberikan dorongan dan arahan).
2. Ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, pendidik harus
menciptakan prakarsa dan ide).
3. Ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi
teladan atau contoh tindakan baik).

Ki Hajar Dewantara menyebutkan tanggung jawab seorang guru (pendidik) pun


sangat besar perannya dalam konteks demikian guna menanamkan nilai-nilai
kecintaan terhadap kehidupan bangsa indonesia. Yang pasti, pandangan kedepan
seorang Ki Hajar Dewantara terkait dengan pendidikan seorang pendidik terhadap
anak didiknya begitu kuat untuk direnungkan dengan sedimikian reflektif. Cukup
tepat mengutip pernyataan proklamator Ir. Soekarno, cara mengapresiasi pendidikan
yang sedang digelar Ki Hajar Dewantara. Dia berkata:24

“sungguh alangkah hebatnya jika tiap-tiap guru diperguruan taman siswa itu satu
persatu adalah Rosul kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa
kebangsaan dapat menurunkan kebangunan dalam jiwa sang anak.”

Ajaran kepemimpinan pendidikan Ki Hajar Dewantara yang sangat poluler di


kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso,
Tut Wuri Handayani. Ajaran ini pada intinya menjelaskan bahwa seorang pemimpin
harus memiliki tiga sifat agar dapat menjadi panutan bagi bawahan atau anak
buahnya. Sebagai seorang pemimpin atau komandan harus memiliki sikap dan
perilaku yang baik dalam segala langkah dan tindakannya agar dapat menjadi
panutan bagi anak buah atau bawahannya. Banyak pimpinan saat ini yang sikap dan
perilakunaya kurang mencerminkan sebagai figur seorang pemimpin, sehingga tidak
dapat digunakan sebagai panutan bagi anak buahnya.
Sama halnya dengan Ing Madyo Mangun Karso. Ing Madyo di tengah, Mangun
berarti membangkitkan atau menggugah, dan karso diartikan sebagai bentuk
kemauan atau niat. Jadi, makna dari kata itu adalah seorang pemimpin di tengah juga
harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat kerja anggota
bawahannya. Karena itu, seorang pemimpin juga harus mampu memberikan inovasi-
inovasi di lingkungan tugasnya dengan menciptakan suasana kerja yang lebih
kondusif untuk keamanan dan kenyamanan kerja.

Demikian pula dengan Tut Wuri Handayani. Tut Wuri artinya mengikuti dari
belakang dan handayani berarti memberikan dorongan moral atau dorongan
semangat. Tut Wuri Handayani ialah seorang komandan atau pimpinan harus
memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini
sangat dibutuhkan oleh bawahan, karena paling tiga hal ini dapat menumbuhkan
motivasi dan semangat kerja.

Ki Hajar wafat dalam usia 70 tahun. Bukan harta benda melimpah yang
ditinggalkannya, melainkan butir-butir mutiara ajaran hidup dan spirit perjuangan
kemanusiaan untuk kesejahteraan bangsa dan negaranya adalah wariasan yang tidak
ternilai harganya. Ki Hajar Dewantara adalah pahlawan sejati yang tidak pernah
mempromosikan dirinya. Gelar bangsawannya tidak didekatkan pada namanya.
Gelar tertinggi dari Uneversitas Gadjah Mada juga tidak dilekatkan pada namanya.
Itu semua dianggap tidak bermanfaat apabila dapat menghalangi kedekatannya
dengan rakyat.

Perguruan nasional yang didirikannya tidak diberi nama ”Dewantara Instituut”,


tetapi diberi taman siswa. Metode menyanyi jawa yang diciptakkan-nya tidak diberi
nama “Metode Dewantara”, tetapi metode sari swara. Hal ini karena Ki Hajar tidak
mau dikultuskan.

Karena jasa-jasanya yang luar biasa terhadap nusa dan bangsa, peng-hormatan dan
penghargaan bukan karena diminta. Memimpin itu bukan untuk berkuasa, melainkan
untuk mengabdi. Mengabdi itu didasari oleh spirit sepi ing pamrih rame ing gawe.
Jika kemudian ada kehormatan dan penghargaan yang diterima, itu bukan karena
diminta, melainkan karena buahnya labuh labet.25

METODE KAJIAN
Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode deskriptif

PEMBAHASAN

Pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan, kebudayaan dan


kebangsaan sangat baik dan mengandung nilai-nilai serta falsafah hidup dan
kehidupan bangsa Indonesia. Ajaran Ki Hajar Dewantara tentang kemanusiaan
sangat cocok untuk budaya kebangsaan Indonesia seperti dikutip pada pesan Ki
Hajar Dewantara “„Lawan Sastra Ngesti Mulya” yang artinya adalah jika
manusia itu menggenggam ilmu pengetahuan yang diandaikan sebagai sastra,
sebagai bangsa Indonesia, maka manusia akan mampu mencapai kemuliaan.

Dewasa ini pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara dan ajarannya yang


demikian baik tidak dilaksanakan dan tidak dijadikan pedoman dengan baik oleh
pemerintah dan Taman Siswa, sehingga Taman Siswa tidak berkembang. Taman
Siswa tidak lagi seperti Taman Siswa yang dahulu semasa di bawah
kepemimpinan langsung oleh Ki Hajar Dewantara. Setelah beliau wafat, Taman
Siswa seolah-olah kehilangan ruhnya. Di lingkungan Taman Siswa itu sendiri,
ajaran- ajaran Ki Hajar Dewantara tidak lagi berkembang seperti dahulu. Tahun
demi tahun kondisinya jauh dari jangkauan masyarakat.

Dewasa ini banyak guru atau pamong yang tidak mengetahui latar belakang
Taman Siswa sendiri. Para pamong yang terdapat di Taman Siswa kurang
mengetahui sejarah Taman Siswa sendiri sehingga mereka kurang menerapkaan
kekhasan yang ada dalam taman siswa dengan ketamansiswaanya. Sementara itu,
sekolah juga belum maksimal dalam mengimplementasikan konsep-konsep
pendidikan dari Ki Hajar Dewantara. Hal tersebut dapat dilihat dari budaya
belajar yang terjadi pada sekolah. Kultur sekolah maupun kultur akademiknya
juga masih kurang. Selain itu, pada dewasa ini ratarata peserta didik juga ada
yang telah melupakan materi tentang sistem among atau pun tri pusat pendidikan
yang telah dirintis oleh Ki Hajar. Hal ini kemungkinan bisa disebabkan oleh
globalisasi atau pengaruh budaya dari negara luar.
SIMPULAN DAN SARAN

Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara pendidikan adalah daya upaya untuk


menunjukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin , karakter), pikiran
(intelek) dan tubuh anak memajukan kehidupan anak didik laras dengan dunianya.
Mempunyai tujuan membantu siswa menjadi manusia yang merdeka dan mandiri,
serta mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya dan berjiwa nasionalisme
seta patriotisme. Tujuan membantu siswa menjadi manusia yang merdeka dan
mandiri, serta mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya dan berjiwa
nasionalisme seta patriotisme.

REFERENSI

Masrullah, F. (2015). MEMIMPIN DAN MENDIDIK ANAK PERSPEKTIF KI HADJAR


DEWANTARA. MEMIMPIN,MENDIDIK,PERSPEKTIF KI HADJAR DEWANTARA , 114.

Nugraganingsih, T. K. (2011). Implementasi Ajaran Ki Hdjar Dewantara dalam


pembelajaran metematika untuk membangun karakter siswa. 174.

Suhartono Wiryoprotono, P. D. (2017). KI HAJAR DEWANATARA PEMIKIRAN DAN


PERJUANGANNYA. JAKARTA: R. Tjahjopurnomo.

Tomy, A. S. (2014). PEMAHAMAN SISWA TERHADAP PEMIKIRAN PENDIDIKAN KI HADJAR


DEWANTARA DI SMA TAMAN MADYA SE-KOTA YOGYAKARTA. JURNAL KEBIJAKAN
PENDIDIKAN , 3.

Anda mungkin juga menyukai