Anda di halaman 1dari 5

RESUME RELA BERKORBAN

UNTUK BANGSA DAN NEGARA

Nama : Najmi Firdaus


NIM : G2401221008
Kelompok Besar : Gatamala Sadina
Kelompok Sedang : 15-Wirasena Ardaya
Kelompok Kecil : 4-Four Life
RESUME KISAH DAN PERJUANGAN KI HAJAR DEWANTARA
SEBAGAI TOKOH PEJUANG PENDIDIKAN BANGSA

Profil Singkat Ki Hajar Dewantara


Sebelum memulai resume ini, mungkin sebagian dari kita sudah mendengar nama
Suwardi Suryaningrat? Atau ada yang sudah tau nama Ki Hajar Dewantara?, yap, keduanya
adalah tokoh yang sama. Walaupun demikian nama Ki Hajar Dewantara lebih populer dan
sering kita dengar ketimbang Suwardi Suryaningrat yang merupakan nama asli beliau.

Tokoh Pahlawan Pendidikan Indonesia ini sudah banyak dikenal oleh masyarakat
Indonesia. Berkat perjuangan dan pemikiran beliau, hari kelahirannya pada 2 Mei ditetapkan
menjadi Hari Pendidikan Nasional.
Meski dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, belum banyak yang mengetahui
seperti apa kiprah perjuangan dan pemikiran beliau bagi dunia pendidikan di Tanah Air. Raden
Mas Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta pada 2 Mei
1889. Beliau berasal dari keluarga bangsawan. Ayahnya yang bernama Kanjeng Pangeran Ario
Suryaningrat dan ibunya yang bernama Raden Ayu Sandiah, yang merupakan cucu dari
pakualam III dari keluarga bangsawan Puro Pakualaman Yogyakarta.
Lahir dari keluarga bangsawan tidak serta-merta membuat Suwardi Suryaningrat
bersikap tutup mata terhadap masa depan generasi penerus bangsa. Ia memandang politik
pemerintah Hindia-Belanda sangat diskriminatif terhadap kaum bumiputera. Oleh karena itu,
Suwardi Suryaningrat terus berupaya memperjuangkan hak-hak kesetaraan kaum bumiputera
dengan kaum penjajah.
Ki Hajar Dewantara merupakan orang yang kritis dan mempunyai kepedulian yang
tinggi terhadap keadaan bangsa yang saat itu dibawah kekuasaan penjajahan Belanda. Zaman
penjajahan telah menjadikan masyarakat hidup sengsara dan menderita. Rakyat diharuskan
melakukan kerja tanam paksa yang membuat rakyat Indonesia semakin menderita. Politik etis
dari penjajah Belanda merupakan politik balas budi yang memberikan sedikit harapan pada
masyarakat untuk bisa hidup lebih baik. Belanda mau membalas jasa atas kebijakan dan
kekejamannya pada masyarakat pribumi yaitu dengan membangun sarana pengairan atau
irigasi, pemerataan penduduk, pelayanan kesehatan, dan mendirikan sekolah-sekolah untuk
mengurangi buta huruf.

Seiring berjalannya waktu, pelaksanaan politik etis yang dijalankan oleh Belanda lama-
kelamaan mulai terjadi penyimpangan, yang mana pemanfaatan sarana pengairan dan irigasi
yang seharusnya digunakan untuk mengairi tanah pertanian dan perkebunan milik petani, justru
dimanfaatkan sendiri untuk kepentingan orang-orang Belanda dan untuk orang pribumi
sangatlah dipersulit. Pendidikan yang semula diperuntukkan bagi masyarakat umum, namun
kenyataannya yang bisa mengenyam hanyalah anak orang kaya dan anak bangsawan saja.
Melihat itu semua Ki Hajar Dewantara tergerak dalam hatinya, sehingga muncul niat ingin
mendirikan sekolah untuk bangsa pribumi.

Masa Pendidikan Ki Hajar Dewantara


Sebagai anak dari keluarga bangsawan, Soewardi mempunyai kesempatan untuk
mengenyam pendidikan bersama dengan anak-anak bangsa Eropa di sekolah Hindia Belanda.
Awal pendidikannya, Ki Hajar Dewantara bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS)
atau sekolah dasar untuk anak-anak bangsa Eropa.
Setelah lulus pendidikan di ELS, selanjutnya ia meneruskan pendidikannya di School
Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau yang dikenal dengan Sekolah Dokter
Jawa pada tahun 1905-1910. Namun karena sakit, ia tidak naik kelas dan beasiswanya pun di
cabut. Ada sinyalisasi bahwa pencabutan beasiswa beliau tidak murni karena sakit, tetapi
karena ada muatan politis dari pemerintah Hindia-Belanda.
Beberapa hari sebelum beasiswa di cabut, Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar
Dewantara memang sempat mendeklarasikan sajak yang menggambarkan keperwiraan Ali
Basah Sentot Prawirodirdjo, seorang panglima perang Diponogoro.

Ada dugaan bahwa pemerintah Hindia-Belanda tidak senang terhadap sikap Suwardi
Suryaningrat yang membangkitkan semangat nasional untuk memberontak. Beliau memang
terkenal pedas dalam memberi kritikan terhadap pemerintah Hindia-Belanda.

Kritikan Pedas Seorang Jurnalis


Setelah gagal menjadi dokter di STOVIA, Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar
Dewantara banting setir menjadi jurnalis dan bergabung dengan berbagai organisasi
pergerakan nasional seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij.

Di Indische Partij, ia memiliki rekan seperjuangan, yaitu Dr. Ernest François Eugène
Douwes Dekker (dikenal dengan Danudirja Setiabudi) dan dr. Cipto Mangunkusumo.
Ketiganya dijuluki sebagai “Tiga Serangkai”.

Indische Partij sebenarnya mempunyai program dan tujuan yang baik, namun oleh
Belanda dianggap salah, karena bisa membangkitkan rasa nasionalisme masyarakat yang bisa
bergerak menentang Belanda. Akhirnya pada 11 Maret 1913 Indische Partij ditolak dan
dibubarkan oleh pemerintah Belanda.

Kritikan Suwardi Suryaningrat semakin pedas, ia pernah menentang perayaan 100


tahun kemerdekaan Belanda di Indonesia. Menurutnya penjajah tidak sepatutnya merayakan
kemerdekaan di tanah jajahannya, bahkan dibiayai oleh rakyat pribumi.
Ia menyalurkan protes tersebut melalui risalah yang berjudul “Als ik eens Nederlander
was” (Andai aku seorang Belanda) pada Juli 1913. Risalah yang dicetak sebanyak 5.000
eksemplar ini membuat pemerintah Hindia-Belanda naik pitam.

Pengasingan ke Belanda

Setelah itu, “Tiga Serangkai” diasingkan ke Belanda. Di negeri orang, Suwardi


Suryaningrat hidup dengan segala keterbatasannya. Ia bertahan hidup dengan menjadi jurnalis
untuk surat kabar dan majalah Belanda. Surat-surat kabar Belanda yang bersikap sangat
bersahabat dengan Tiga Serangkai yaitu “Het Volk” dan “De Nieuwe Grone Amsterdamer”
memberi kesempatan kepada Tiga Serangkai untuk menulis dan menyalurkan pikiran-pikiran
tentang cita-cita perjuangan kemerdekan bangsa Indonesia.

Berkat pengaruh Tiga Serangkai, maka penghimpunan para mahasiswa Indonesia di


Negeri Belanda yang tergabung dalam “Indische Vereeniging” semakin menonjolkan
semangat kebangsaan dan semangat kemerdekaan, dan berani mengubah namanya menjadi
“Perhimpunan Indonesia”.

Pengetahuan dan pemahaman sejarah sosial pendidikan yang memberi pencerahan dan
pemikiran Suwardi Suryaningrat, justru ketika beliau menjalani masa pembuangan di negeri
Belanda. Di sanalah beliau banyak mempelajari masalah pendidikan dan pengajaran.

Taman Siswa

Setelah kembali ke Indonesia, Suwardi Suryaningrat diingatkan oleh istrinya mengenai


gagasan yang pernah ia sampaikan kepada K. H. Ahmad Dahlan tentang harus adanya
perguruan nasional yang mendidik kader-kader perjuangan untuk menentang penjajah. Pada
akhirnya ia dan kawan-kawan pun mendirikan “Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa”
di Yogyakarta pada 3 Juli 1922. Perguruan Nasional Taman Siswa membuka sekolah berbagai
tingkat, mulai dari taman kanak-kanak hingga pendidikan menengah atas.

Lahirnya Perguruan Nasional Taman Siswa mendapat sambutan baik dari masyarakat
banyak. Ratusan Perguruan Nasional Taman Siswa tumbuh di mana-mana dijiwai oleh
semangat cinta Tanah Air. Suwardi Suryaningrat dengan Taman Siswanya terkenal di mana-
mana. Dengan berdirinya Taman Siswa, Suwardi Suryaningrat telah berhasil mendirikan
lembaga pendidikan yang meletakkan dasar-dasar pendidikan yang memerdekakan sekaligus
meletakkan dasar-dasar bagi sistem pendidikan nasional di Tanah Air.

Ki Hajar Dewantara mempunyai semboyan yang sangat terkenal yaitu "Ing Ngarso
Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani." Semboyan tersebut
mempunyai arti "Di depan memberi contoh, Di tengah memberi semangat, Di belakang
memberi dorongan." Berkat perjuangan dan jasanya dalam pendidikan, Ki Hajar Dewantara
dianugerahi gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan juga sebagai Pahlawan Nasional.

Nama “Ki Hajar Dewantara”

Pada 3 Februari 1928, Suwardi Suryaningrat berganti nama menjadi Ki Hajar


Dewantara. Menurut Ki Utomo Darmadi, Hadjar artinya pendidik, Dewan artinya utusan, dan
Tara artinya tak tertandingi. Jadi maknanya dari nama Ki Hajar Dewantara adalah Bapak
Pendidik Utusan Rakyat yang Tak Tertandingi Menghadapi Kolonialisme.

Akhir Perjuangan Ki Hajar Dewantara

Setelah memimpin Perguruan Nasional Taman Siswa yang telah tersebar di seluruh
Indonesia selama 37 tahun lamanya, Ki Hajar Dewantara tutup usia pada 26 April 1959 di
Padepokan Ki Hajar Dewantara. Beliau disemayamkan di Pendopo Agung Taman Siswa
Yogyakarta.

Perginya Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara tidak mengakhiri perjuangan


beliau begitu saja. Ki Hajar Dewantara telah meninggalkan warisan yang begitu penting bagi
Indonesia, khususnya di bidang pendidikan. Beliau mewariskan sistem pendidikan dan
semangat juang untuk anak-anak bangsa dalam menempuh pendidikan yang layak.

Beberapa semboyannya dipakai oleh negara seperti Tut Wuri Handayani yang saat ini
menjadi semboyan pendidikan serta logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain
semboyan Tut Wuri Handayani, salah satu semboyan Ki Hajar Dewantara yang meningkatkan
semangat perjuangan adalah “Lebih Baik Mati Terhormat Daripada Hidup Nista”. Semboyan
ini digaungkan ketika menentang Undang-undang Sekolah Liar tahun 1932.

Entah Suwardi Suryaningrat ataupun Ki Hajar Dewantara, beliau dimuliakan,


dihormati, dan dijunjung tinggi bukan karena keturunan bangsawan dan bukan karena banyak
hartanya, tetapi karena amal dan jasanya yang luar biasa bagi sesama, bangsa, dan negara.

Anda mungkin juga menyukai