Anda di halaman 1dari 4

KI HADJAR DEWANTARA

YOGYAKARTA

Oleh: Vija Wildan Gita Prabawa (XI-10/29)


KI HADJAR DEWANTARA

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, sekarang lebih dikenal


dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Ia merupakan seorang aktivis
pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor
pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia di zaman penjajahan Belanda.
Ki Hadjar Dewantara lahir di Pakualaman pada tanggal 2 Mei
1889, dan meninggal di Jogjakarta, 26 April 1959, di umur 69 tahun.
Sekarang, tanggal kelahiran beliau diperingati sebagai Hari Pendidikan
Nasional di Indonesia.
Saat masih muda, ia menamatkan pendidikan dasar di ELS
(Europeesche Lagere School) atau sekolah dasar pada zaman kolonial
Hindia Belanda di Indonesia. Ia juga sempat melanjutkan pendidikan ke STOVIA (School tot
Opleiding van Indische Artsen), yaitu sekolah pendidikan dokter di Batavia pada zaman
kolonial Hindia Belanda, tetapi tidak sampai lulus lantaran sakit.
Ki Hadjar Dewantara bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar,
ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik di Indonesia, yaitu Boedi Oetomo dan Insulinde.
Tulisan Ki Hadjar Dewantara yang paling terkenal saat itu adalah, "Een voor Allen maar
Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga." Namun, kolom
Ki Hadjar Dewantara yang paling terkenal adalah "Als ik een Nederlander was" diterjemahkan
menjadi, "Seandainya Aku Seorang Belanda."
Tulisan tersebut dimuat dalam surat kabar De Expres pada 13 Juli 1913, surat kabar
tersebut berada di bawah pimpinan Ernest Douwes Dekker.
Akibat tulisannya tersebut, ia pun ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Namun
kedua rekannya, Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, melakukan protes
atas pengasingan tersebut. Pada akhirnya, mereka bertiga pun diasingkan ke Belanda, dan
ketiga tokoh ini kemudian dikenal sebagai "Tiga Serangkai."
Di dalam masa pengasingannya, Ki Hadjar Dewantara aktif bersosialisai di dalam
organisasi pelajar asal Indonesia, yaitu Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Pada tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Indonesisch Pers-bureau, atau kantor
berita Indonesia. Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya untuk memajukan pendidikan
masyarakat Indonesia.
Ia pun berhasil mendapatkan sebuah ijazah pendidikan bergengsi di Belanda, yang
dikenal dengan nama Europeesche Akta. Ijazah itulah yang kemudian dapat membantunya
mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Indonesia.
Saat ia berusia 40 tahun, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara dan
tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal tersebut bertujuan agar
ia dapat secara bebas dekat dengan rakyatnya.
Ki Hadjar Dewantara kembali ke Indonesia pada September 1919, ia kemudian
bergabung sebagai guru ke dalam sekolah binaan milik saudaranya. Seiring berjalannya waktu,
pengalaman mengajar tersebut pun ia gunakan untuk mengembangkan konsep metode
pengajaran baru bagi sekolah yang ia dirikan.
Sekolah yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah National Onderwijs Institut
Taman Siswa atau lebih dikenal dengan Taman Siswa. Sekolah ini didirikan pada 3 Juli tahun
1922 di Jogjakarta.
Prinsip dasar yang ada dalam sekolah Taman Siswa
dikenal sebagai Patrap Triloka. Prinsip ini kemudian
digunakan sebagai pedoman bagi para guru.
Patrap Triloka memiliki unsur-unsur penting di dalamnya.
Unsur penting berbahasa Jawa yang ada dalam Patrap Triloka
adalah, "ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa,
tut wuri handayani" yang memiliki arti "di depan memberi
contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi
dorongan".
Hingga saat ini Patrap Triloka digunakan sebagai
panduan dan pedoman dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri
Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957, ia mendapat gelar
doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari Universitas Gadjah Mada.
Atas semua jasanya dalam dunia pendidikan, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan
Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat
Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Ia meninggal dunia di Jogjakarta, 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
Sumber
 https://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara
 https://www.liputan6.com/citizen6/read/3955159/mengenal-ki-hadjar-
dewantara-sosok-penting-di-balik-hari-pendidikan-nasional

Anda mungkin juga menyukai