Anda di halaman 1dari 5

TUGAS KELOMPOK

PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI


Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas PBAK

Dosen Pembimbing:
Heri Djamiatul Maulana, S.Sos, M.Kes

Disusun Oleh :
Kelompok 3:
ARINI SRI WAHYUNI P20620121012
RISTIYA SRI GUSTINI P20620121019
TARI YULIANAH P20620121027
BELLA BELLINDA P20620121029

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN TASIKMALAYA


JURUSAN KEPERAWATAN POLITEKNIK KESEHATAN
TASIKMALAYA KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA TAHUN AKADEMIK 2022/2023
Biografi Ki Hadjar Dewantara

Ki Hajar Dewantara merupakan bapak pelopor pendidikan di Indonesia. Banyak yang mengenali
beliau dari semboyan khas, “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri
Handayani”. Ki Hajar Dewantara lahir dengan nama Raden Mas (R.M.) Suwardi Suryaningrat.
Beliau lahir pada Kamis Legi, 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ki Hajar Dewantara berasal dari keluarga
bangsawan Puro Pakualaman Yogyakarta.
Ayahnya adalah Kanjeng Pangeran Ario (K.P.A.) Suryaningrat dan Ibunya bernama Raden Ayu
(R.A.) Sandiah. K.P.A. Suryaningrat sendiri merupakan anak dari Paku Alam III. Julukan Ki Hajar
Dewantara saat masih kecil adalah Denmas Jemblung (buncit) karena saat bayi perutnya buncit.
Menjadi keluarga bangsawan, membuatnya mendapat pendidikan yang berkecukupan. Ki Hajar
Dewantara bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar milik Belanda di kampung
Bintaran Yogyakarta. Lulus dari ELS Suwardi Suryaningrat masuk ke Kweekschool, sebuah sekolah
guru di Yogyakarta.
Ki Hajar Dewantara pun mendapat tawaran beasiswa sekolah kedokteran. Tepatnya di sekolah dokter
Jawa di Jakarta bernama STOVIA (School Fit Opleiding Van Indische Artsen). Sayangnya 4 bulan
kemudian beasiswanya dicabut karena kesehatan Ki Hajar kurang baik. Beberapa hari sebelum
pencabutan, dampratan dari Direktur STOVIA juga ia dapatkan. Hal ini disebabkan karena Ki Hajar
Dewantara dianggap membangkitkan radikalisme terhadap Pemerintahan Hindia Belanda.
Radikalisme ini konon disebarkan melalui sajak yang ia bawakan di sebuah pertemuan.
Ki Hajar Dewantara banyak mendapat pengetahuan dan pemahaman sejarah sosial pendidikan yang
yang mencerahkan saat ia menjalani masa pengasingan di Belanda. Di sanalah beliau banyak
mempelajari masalah pendidikan dan pengajaran dari Montessori,  Dalton, Frobel, pesantren, dan
asrama. Pada tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Indonesisch Pers-bureau, atau kantor
berita Indonesia. Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya untuk memajukan pendidikan
masyarakat Indonesia. Ia pun berhasil mendapatkan sebuah ijazah pendidikan bergengsi di Belanda,
yang dikenal dengan nama Europeesche Akta. Ijazah itulah yang kemudian dapat membantunya
mendirikan berbagai lembaga pendidikan di Indonesia.
Saat ia berusia 40 tahun, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara tak lagi Suwardi
Suryaningrat. Begitu juga tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal
ditujukan agar ia dapat secara bebas dekat dengan rakyatnya. Pengalaman mengajar ini kemudian
digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3
Juli 1922: Nationaal Onderwijs Institut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa.
Sekolah pertama yang didirikan adalah taman indria (taman kanak-kanak) dan kursus guru, kemudian
diikuti taman muda (SD), dan taman dewasa (SMP merangkap taman guru). Setelah itu, diikuti
pendirian taman madya (SMA), taman guru (SPG), prasarjana, dan sarjana wiyata. Dalam waktu 8
tahun, Perguruan Tamansiswa telah hadir di 52 tempat.

Integritas Ki Hajar Dewantara


Ki Hajar Dewantara besar di lingkungan keluarga keraton Yogyakarta. Ketika telah berumur 40 tahun
menurut hitungan Tahun Saka, Raden Mas Soewardi Soeryaningrat mulai mengganti namanya
menjadi Ki Hadjar Dewantara. Sejak itu, Ki Hadjar Dewantara tak lagi mengenakan gelar
kebangsawanannya di namanya. Hal ini rakyat agar Ki Hadjar Dewantara bisa bebas dekat dan
bergaul, baik secara fisik maupun hatinya. Ki Hadjar Dewantara akhirnya menamatkan Sekolah Dasar
di ELS (Sekolah Dasar Belanda) lalu melanjutkan sekolahnya ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera) namun karena mengalami sakit, sekolahnya tidak dapat ia selesaikan.
Ki Hadjar Dewantara selanjutnya mulai berprofesi sebagai wartawan di beberapa perusahaan surat
kabar antara lain Sedyotomo, De Express, Midden Java, Tjahaja Timoer, Oetoesan Hindia, Kaoem
Moeda dan juga Poesara. Pada masanya, Ki Hadjar Dewantara dikenal sebagai salah satu penulis
handal. Tulisan-tulisannya dinilai sangat komunikatif, tajam dan bersifat patriotik sehingga dapat
membangkitkan semangat antikolonial bagi para pembacanya. Selain bekerja sebagai seorang
wartawan, Ki Hadjar Dewantara pun aktif dalam banyak organisasi sosial dan politik.  Pada tahun
1908, Ki Hadjar Dewantara mulai aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo dalam mensosialisasikan
serta menggugah kesadaran masyarakat Indonesia, tentang pentingnya persatuan dan kesatuan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Lalu, bersama Douwes Dekker atau Dr. Danudirdja Setyabudhi
dan juga dr. Cipto Mangoenkoesoemo atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tiga Serangkai, Ki
Hadjar Dewantara merupakan partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia. Indische
Partij didirikan pada tanggal 25 Desember 1912 dan memiliki tujuan mencapai Indonesia yang
merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini agar dapat memperoleh status badan hukum oleh
pemerintah kolonial Belanda. Akan tetapi, pemerintah kolonial Belanda melewati Gubernur Jendral
Idenburg pendaftaran tersebut pada tanggal 11 Maret 1913, sebab organisasi dianggap dapat
membangkitkan rasa nasionalisme serta kesatuan rakyat dalam pemerintahan kolonial Belanda.
Semangatnya tidak berhenti sampai disitu saja. Pada bulan November 1913, Ki Hadjar Dewantara
membentuk sebuah komite bernama Komite Bumipoetra yang memiliki tujuan dalam kritik terhadap
Pemerintahan kolonial Belanda. karya yang diciptakan salah satunya adalah adanya penerbitan tulisan
dengan judul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan juga Een voor
Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) kedua dari tulisan
tersebut menjadi tulisan yang terkenal hingga saat ini. Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda
dimuat ke dalam surat kabar de Express yang merupakan perusahaan surat kabar milik Dr. Douwes
Dekker.
Akibat karangannya tersebut, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg
mengasingkan Ki Hadjar Dewantara. Douwes Dekker dan juga Cipto Mangoenkoesoemo yang
merasa rekan seperjuangan mereka diperlakukan tidak adil menerbitkan tulisan yang berisi pembelaan
Ki Hadjar Dewantara. Mengetahui hal tersebut, Belanda juga memutuskan untuk menjatuhkani
hukuman pengasingan bagi keduanya. Douwes Dekker diasingkan ke Kupang sedangkan Cipto
Mangoenkoesoemo diasingkan ke pulau Banda. Namun, mereka lebih menginginkan diasingkan ke
Negeri Belanda sebab di sana mereka bisa belajar banyak hal dibandingkan di daerah-daerah
terpencil. Akhirnya pelaksanaan pun diizinkan pergi ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai
bagian dari hukuman pengasingan. Kesempatan itu pun digunakan dalam mendalami masalah
pendidikan serta pengajaran, sehingga Ki Hadjar Dewantara berhasil memperoleh Europeesche
Akte. Pada tahun 1918 Ki Hadjar Dewantara akhirnya kembali ke tanah air.
Di tanah air, Ki Hadjar Dewantara semakin memberikan perhatian dalam bidang pendidikan sebagai
bagian dari salah satu perjuangan meraih kemerdekaan. Bersama rekan-re seperjuangannya, ia pun
diberikan sebuah perpemimpinan yang bercorak nasionalisme yang nama National Onderwijs
Instituut Taman Siswa atau yang lebih dikenal dengan nama Perpemimpinan Nasional Taman Siswa
pada 3 Juli 1922. Perpemimpinan ini sangat ketat dalam masalah pendidikan, yaitu terhadap rasa
kebangsaan. Semua yang dipimpinnya dengan tujuan agar mereka bisa lebih mencintai bangsa dan
tanah air dan mau berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan. Pemerintah kolonial Belanda berupaya
agar merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932.
Namun, dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi tersebut akhirnya
dicabut. Selama perhatian di dunia pendidikan di Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara pun tetap rajin
menulis. Namun, tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan juga budaya yang
berwawasan kebangsaan. Melalui tulisan-tulisan tersebutlah dia berhasil meletakkan dasar-dasar
pendidikan nasional untuk bangsa Indonesia. Kegiatan menulisnya ini pun terus berlangsung hingga
zaman pendudukan Jepang. Saat Pemerintah Jepang mulai membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
pada tahun 1943, Ki Hajar ditunjuk untuk menjadi salah satu pimpinannya bersama Ir. Soekarno,
Drs. Muhammad Hatta dan KH Mas Mansur. Setelah kemerdekaan Indonesia direbut dari tangan dan
berhasil tidak berhasil terbentuk.
Ki Hadjar Dewantara dipercaya oleh Presiden Soekarno untuk menjadi Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Dengan jabatannya ini, Ki Hadjar Dewantara semakin
leluasa dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Pada tahun 1957, Ki Hadjar Dewantara
pun mendapatkan gelar Doktor Honori Klausa dari Universitas Gajah Mada. Setelah dua tahun sukses
dan berhasil mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa tersebut, yaitu bertepatan pada tanggal 28
April 1959 Ki Hadjar Dewantara akhirnya meninggal dunia di Yogyakarta dan dimakamkan di sana
pula. Kini, nama Ki Hadjar Dewantara bukan hanya diabadikan sebagai seorang tokoh dan juga
pahlawan pendidikan Nasioanl yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional,
namun juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui keluarnya surat keputusan
Presiden RI No.305 Tahun 1959, pada tanggal 28 November 1959.
Ki Hajar Dewantara; Sebuah Inspirasi “Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut
Wuri Handayani”. Semboyan ini mungkin sudah tidak asing lagi kita dengar. Tiga Prinsip Ki Hajar
Dewantara dapat dijadikan prinsip dasar dalam kepemimpinan: 
Pertama : Ing ngarsa sung tulada . Artinya, di depan memberi teladan. Pemimpin harus menjadi
teladan bagi anak buahnya.
Kedua : Ing madya mangun karsa . Artinya di tengah membangun kehendak atau niat. Pemimpin
harus berjuang bersama anak buah.
Ketiga : Tut wuri handayani . Artinya, dari belakang dorongan dorongan. Ada saatnya para pemimpin
membiarkan anak melakukan sendiri.
Ajaran keteladanan yang Ki Hajar Dewantoro Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso,
Tut Wuri Handayani , pada dasarnya adalah seorang pemimpin harus memiliki sifat ketiga agar dapat
menjadi panutan bagi yang dipimpinnya. Makna Ing Ngarso Sun Tulodo artinya menjadi seorang
pemimpin yang berada di depan, harus mampu bertindak dan berperilaku yang baik dalam segala
langkah dan tindakannya agar dapat menjadi panutan. Ing Madyo Mbangun Karso bermakna bahwa
seorang pemimpin ditengah kesibukannya juga harus mampu membangkitkan atau menggugah
semangat orang yang dipimpinnya. Ia mampu memberikan inovasi-inovasi di lingkungan kerja
dengan menciptakan suasana kerja yang lebih kodusif. Tut Wuri Handayani artinya seorang pemimpin
harus mampu memberikan dorongan moral dan semangat dari belakang.
Menjadi pemimpin yang dapat diteladani sesungguhnya tidak berhubungan dengan sosok pemimpin
yang senantiasa menjaga wibawa, ingin terlihat sempurna, kaku, dan 'penuh aturan' di hadapan anak
buahnya. Keteladanan di sini adalah mengenai sikap dan perilaku seorang pemimpin. Perilaku
pemimpin akan menjadi sarana penyampaian pesan paling efektif bagi yang dipimpinnya. inilah yang
akan menjadi 'teladan' bagi kehidupan sosial yang dipimpinnya. 
Bagaimana perilaku pemimpin, ketika berinteraksi dengan anak, ketika hidup dalam kesehariannya
kepada, tetangga, saudara, dan teman-temannya, ketika ia menyelesaikan masalah, dan ketika
dihadapkan dengan berbagai kondisi lainnya. Seorang pemimpin harus 'profesional' dan sosial agar
ketadanan seorang pemimpin yang berbuah baik pada jiwa, sikap, dan perilaku yang
dipimpinnya. Keprofesionalannya dibuktikan melalui pengabdian dan kehormatannya dengan
bersungguh-sungguh menghargai dan kebermanfaatan. Ia akan mengajar dengan sikap asih, asah dan
asuh serta selalu memotivasi yang dipimpinnya menjadi lebih baik.
Begitu cerdas pemikiran Ki Hajar Dewantara yang bersumber dari kemuliaan hati dan cita-
citanya. Menurutnya, pendidikan di Indonesia bersumber dari budaya nasional, menjadi bangsa yang
merdeka, dan independen baik secara politik, ekonomi, spiritual. Pendidikan juga harus merdeka dari
segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian diri manusia. Suasana yang dibutuhkan
dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kebersamaan, kebaikan hati, empati,
cinta kasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya sehingga setiap individu patut
menghargai. Pendidikan tidak hanya mengembangkan aspek intelektual, sebab akan memisahkan satu
orang dengan orang lain. Pendidikan setiap individu, tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi
harus tetap dipertimbangkan, sehingga pendidikan dapat memperkuat rasa percaya diri dan
mengembangkan harga diri. Setiap individu akan dapat berkembang sesuai dengan kemampuan dan
kemauan masing-masing. Ia akan mekar dengan caranya sendiri dan akan wangi dengan harumnya
sendiri. Setiap orang hidup sederhana, karena bahagia dengan dirinya yang bermakna.

Komitmen Pribadi (Mhs) Untuk Menjaga Integritas


Komintem saya sebagai mahasiswa untuk menjaga integritas yaitu berkaca dengan apa yang sudah
dilakukan oleh beliau K.H Dewantara yaitu dengan membangun jiwa pemimpin yang berprilaku
teladan yang berkontribusi dalam keadaan membangun negeri menjadi jajaran mahasiswa yang
menjadi pondasi majunya bangsa.
Adapun beberapa poin untuk menjaga integritas yaitu berkaca dengan apa yang sudah dilakukan oleh
K.H Dewantara, sebagai berikut :

 Tekun belajar dalam keadaan apa pun


 Tidak terpuruk dalam kegagalan
 Aktif dalam kegiatan bermasyarakat / Kampus (bersosialisasi)
 Pandai memanfaatkan situsi untuk mencari peluang
 Membangun jiwa pemimpin
 Harus percaya diri
 Tegas dalam melakukan sesuatu
 Tidak mudah takut
 Tabah dalam menghadapi rintangan apapun

Anda mungkin juga menyukai