Anda di halaman 1dari 7

Biografi KI Hajar Dewantara

Nama Lengkap : Raden Mas Soewardi Soerjaningrat

Nama Panggilan : Ki Hadjar Dewantara

Lahir : Yogyakarta, 2 Mei 1889

Wafat : Yogyakarta, 26 April 1959

Agama : Islam

Orang Tua : Pangeran Soerjaningrat (Ayah), Raden Ayu Sandiah (ibu)

Saudara : Soerjopranoto

Istri : Nyi Sutartinah

Anak : Ratih Tarbiyah, Syailendra Wijaya, Bambang Sokawati Dewantara, Asti


Wandansari, Subroto Aria Mataram. Sudiro Alimurtolo.

Beliau merupakan tokoh pendidikan indonesia dan juga seorang pahlawan Indonesia. Mengenai
biografi dan profil Ki Hajar Dewantara sendiri, beliau terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat yang kemudian kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara.Beliau sendiri lahir di Kota
Yogyakarta, pada tanggal 2 Mei 1889, Hari kelahirannya kemudian diperingati setiap tahun oleh Bangsa
Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Beliau sendiri terlahir dari keluarga Bangsawan. Ia
merupakan anak dari GPH Soerjaningrat, yang merupakan cucu dari Pakualam III. Terlahir sebagai
bangsawan maka beliau berhak memperoleh pendidikan untuk para kaum bangsawan.

Mulai Bersekolah

Dalam banyak buku mengenai Biografi Ki Hajar Dewantara, Ia pertama kali bersekolah di ELS
yaitu Sekolah Dasar untuk anak-anak Eropa/Belanda dan juga kaum bangsawan. Selepas dari ELS ia
kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA yaitu sekolah yang dibuat untuk pendidikan dokter
pribumi di kota Batavia pada masa kolonial Hindia Belanda. Sekolah STOVIA kini dikenal sebagai
fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Meskipun bersekolah di STOVIA, Ki Hadjar Dewantara tidak
sampai tamat sebab ia menderita sakit ketika itu.

Menjadi Wartawan

Ki Hadjar Dewantara cenderung lebih tertarik dalam dunia jurnalistik atau tulis-menulis, hal ini
dibuktikan dengan bekerja sebagai wartawan dibeberapa surat kabar pada masa itu, antara lain,
Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
Gaya penulisan Ki Hadjar Dewantara pun cenderung tajam mencerminkan semangat anti kolonial.
Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri
yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil,
tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide
untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula
kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang
terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander
diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya – Ki Hadjar
Dewantara. Tulisan tersebut kemudian menyulut kemarahan pemerintah Kolonial Hindia Belanda kala itu
yang mengakibatkan Ki Hadjar Dewantara ditangkap dan kemudian ia diasingkan ke pulau Bangka
dimana pengasingannya atas permintaannya sendiri. Pengasingan itu juga mendapat protes dari rekan-
rekan organisasinya yaitu Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangunkusumo yang kini ketiganya dikenal
sebagai ‘Tiga Serangkai’. Ketiganya kemudian diasingkan di Belanda oleh pemerintah Kolonial.

Masuk Organisasi Budi Utomo

Berdirinya organisasi Budi Utomo sebagai organisasi sosial dan politik kemudian mendorong Ki
Hadjar Dewantara untuk bergabung didalamnya, Di Budi Utomo ia berperan sebagai propaganda dalam
menyadarkan masyarakat pribumi tentang pentingnya semangat kebersamaan dan persatuan sebagai
bangsa Indonesia. Munculnya Douwes Dekker yang kemudian mengajak Ki Hadjar Dewantara untuk
mendirikan organisasi yang bernama Indische Partij yang terkenal. Di pengasingannya di Belanda
kemudian Ki Hadjar Dewantara mulai bercita-bercita untuk memajukan kaumnya yaitu kaum pribumi. Ia
berhasil mendapatkan ijazah pendidikan yang dikenal dengan nama Europeesche Akte atau Ijazah
pendidikan yang bergengsi di belanda. Ijazah inilah yang membantu beliau untuk mendirikan lembaga-
lembaga pendidikan yang akan ia buat di Indonesia.

Di Belanda pula ia memperoleh pengaruh dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.


Pada tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara kemudian mempersunting seorang wanita keturunan bangsawan
yang bernama Raden Ajeng Sutartinah yang merupakan putri paku alaman, Yogyakarta.Mengenai
Biografi Ki Hajar Dewantara, Dari pernikahannya dengan R.A Sutartinah, beliau kemudian dikaruniai
dua orang anak bernama Ni Sutapi Asti dan Ki Subroto Haryomataram. Selama di pengasingannya,
istrinya selalu mendampingi dan membantu segala kegiatan suaminya terutama dalam hal pendidikan.

Kembali Ke Indonesia dan Mendirikan Taman Siswa

Kemudian pada tahun 1919, ia kembali ke Indonesia dan langsung bergabung sebagai guru di
sekolah yang didirikan oleh saudaranya. Pengalaman mengajar yang ia terima di sekolah tersebut
kemudian digunakannya untuk membuat sebuah konsep baru mengenai metode pengajaran pada sekolah
yang ia dirikan sendiri pada tanggal 3 Juli 1922, sekolah tersebut bernama Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa yang kemudian kita kenal sebagai Taman Siswa. Di usianya yang menanjak umur 40 tahun,
tokoh yang dikenal dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat resmi mengubah namanya
menjadi Ki Hadjar Dewantara, hal ini ia maksudkan agar ia dapat dekat dengan rakyat pribumi ketika itu.

Semboyan Ki Hadjar Dewantara

Ia pun juga membuat semboyan yang terkenal yang sampai sekarang dipakai dalam dunia pendidikan
Indonesia yaitu :

 Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi contoh).


 Ing madyo mangun karso, (di tengah memberi semangat).
 Tut Wuri Handayani, (di belakang memberi dorongan).

Penghargaan Pemerintah Kepada Ki Hadjar Dewantara

Selepas kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tahun 1945, Ki Hadjar Dewantara kemudian
diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri pengajaran Indonesia yang kini dikenal dengan nama
Menteri Pendidikan. Berkat jasa-jasanya, ia kemudian dianugerahi Doktor Kehormatan dari Universitas
Gadjah Mada. Selain itu ia juga dianugerahi gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan juga sebagai
Pahlawan Nasional oleh presiden Soekarno ketika itu atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan bangsa
Indonesia. Selain itu, pemerintah juga menetapkan tanggal kelahiran beliau yakni tanggal 2 Mei
diperingati setiap tahun sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ki Hadjar Dewantara Wafat pada tanggal 26
April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata. Wajah beliau diabadikan pemerintah
kedalam uang pecahan sebesar 20.000 rupiah.
Biografi KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Kyai Haji Abdurrahman Wahid Gus Dur Mantan Presiden Keempat Indonesia ini lahir di
Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Ia lahir dengan
nama Abdurrahman Addakhil atau “Sang Penakluk”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus
Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai.

Cucu Pendiri Nahdatul Ulama

Gus Dur merupakan putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat
dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul
Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren. Ayah Gus
Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada 1949.
Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Setelah deklarasi
kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana
selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Akhir 1949, dia pindah ke Jakarta setelah
ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Dia belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke
SD Matraman Perwari.

Gus Dur juga diajarkan membaca buku non Islam, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk
memperluas pengetahuannya. Pada April 1953, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikannya berlanjut pada 1954 di Sekolah Menengah Pertama dan tidak naik kelas, tetapi bukan
karena persoalan intelektual. Ibunya lalu mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan.
Pada 1957, setelah lulus SMP, dia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia
mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua
tahun (seharusnya empat tahun).

Belajar Dari Baghdad Hingga Ke Prancis

Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan
pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan Majalah
Budaya Jaya. Pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas
Al Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya. Gus Dur lalu
belajar di Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa menyelesaikan pendidikannya di
Universitas Baghdad tahun 1970. Dia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di
Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu
pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971.

Gus Dur kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial
demokrat.LP3ES mendirikan majalah Prisma di mana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utamanya
dan sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Saat inilah dia memprihatinkan kondisi
pesantren karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan dan kemiskinan
pesantren yang ia lihat.

Menjadi Jurnalis

Dia kemudian batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk Tempo dan Kompas.
Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.Dengan
popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, sehingga dia
harus pulang-pergi Jakarta dan Jombang. Pada 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang
sebagai guru di Pesantren Tambakberas. Satu tahun kemudian, Gus Dur menambah pekerjaannya dengan
menjadi Guru Kitab Al Hikam. Pada 1977, dia bergabung di Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan
Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam, dengan mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat
Islam dan misiologi. Ia lalu diminta berperan aktif menjalankan NU dan ditolaknya. Namun, Gus Dur
akhirnya menerima setelah kakeknya, Bisri Syansuri, membujuknya. Karena mengambil pekerjaan ini,
Gus Dur juga memilih pindah dari Jombang ke Jakarta.

Karir Politik

Abdurrahman Wahid mendapat pengalaman politik pertamanya pada pemilihan umum legislatif 1982,
saat berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan empat partai Islam termasuk
NU.

Reformasi NU

NU membentuk Tim Tujuh (termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu
menghidupkan kembali NU. Pada 2 Mei 1982, para pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham
Chalid dan memintanya mengundurkan diri. Namun, pada 6 Mei 1982, Gus Dur menyebut pilihan Idham
untuk mundur tidak konstitusionil. Gus Dur mengimbau Idham tidak mundur. Pada 1983, Soeharto dipilih
kembali sebagai presiden untuk masa jabatan keempat oleh MPR dan mulai mengambil langkah
menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi
bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu ini. Gus Dur lalu
menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan
kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan partai politik agar NU fokus pada masalah sosial.

Ketua PBNU

Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur dinominasikan sebagai ketua PBNU dan dia
menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di
bawahnya. Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila
bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai pemerintah. Pada 1987, dia mempertahankan
dukungan kepada rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan
memperkuat Partai Golkar.

Anggota MPR RI

Ia menjadi anggota MPR dari Golkar. Meskipun disukai rezim, Gus Dur acap mengkritik
pemerintah, diantaranya proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai Bank Dunia. Ini merenggangkan
hubungannya dengan pemerintah dan Suharto. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus
mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan
pesantren sehingga menandingi sekolah sekular. Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua
Ketua PBNU pada Musyawarah Nasional 1989. Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran
politik dengan ABRI, berusaha menarik simpati Muslim. Pada November 1996, Gus Dur dan Soeharto
bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU. Desember tahun itu juga
dia bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Juli 1997 merupakan awal krisis moneter dimana Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi
itu. Gus Dur didorong melakukan gerakan reformasi dengan Megawati dan Amien, namun terkena stroke
pada Januari 1998. Pada 19 Mei 1998, Gus Dur, bersama delapan pemimpin komunitas Muslim,
dipanggil Soeharto yang memberikan konsep Komite Reformasi usulannya. Gus Dur dan delapan orang
itu menolak bergabung dengan Komite Reformasi. Amien, yang merupakan oposisi Soeharto paling kritis
saat itu, tidak menyukai pandangan moderat Gus Dur terhadap Soeharto. Namun, Soeharto kemudian
mundur pada 21 Mei 1998. Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto. Salah satu
dampak jatuhnya Soeharto adalah lahirnya partai politik baru, dan pada Juni 1998, komunitas NU
meminta Gus Dur membentuk partai politik baru.

Mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

Baru pada Juli 1998 Gus Dur menanggapi ide itu karena mendirikan partai politik adalah satu-satunya
cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Partai itu adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Pada 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya.
Menjadi Presiden Republik Indonesia

Pemilu April 1999, PKB memenangkan 12% suara dengan PDIP memenangkan 33% suara. Pada
20 Oktober 1999, MPR kembali mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai
Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara. Semasa
pemerintahannya, Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial serta menjadi
pemimpin pertama yang memberikan Aceh referendum untuk menentukan otonomi dan bukan
kemerdekaan seperti di Timor Timur. Pada 30 Desember 1999, Gus Dur mengunjungi Jayapura dan
berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.

Pada Maret 2000, pemerintahan Gus Dur mulai bernegosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dua bulan kemudian, pemerintah menandatangani nota kesepahaman dengan GAM. Gus Dur juga
mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut. Ia
juga berusaha membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sementara dia juga menjadi tokoh pertama
yang mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik. Muncul dua skandal pada
tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate, yang kemudian menjatuhkannya.

Lengser Dari Jabatan Presiden

Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur
opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Pada 23 Juli
2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati
Soekarnoputri.Pada Pemilu April 2004, PKB memperoleh 10.6% suara dan memilih Wahid sebagai calon
presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis dan KPU menolak memasukannya sebagai
kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan Wiranto. Pada 5 Juli 2004,
Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Di Pilpres putaran dua antara pasangan Yudhoyono-Kalla
dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur golput. Agustus 2005, Gus Dur, dalam Koalisi Nusantara Bangkit
Bersatu bersama Try Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati mengkritik kebijakan
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama dalam soal pencabutan subsidi BBM.

Keluarga Gusdur

Gus Dur menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat orang anak: Alissa Qotrunnada, Zanubba
Ariffah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari. Yenny aktif berpolitik di PKB dan
saat ini adalah Direktur The Wahid Institute.

Gus Dur Wafat

Gus Dur wafat, hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkosumo, Jakarta, pukul
18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit, diantarnya jantung dan gangguan ginjal yang dideritanya
sejak lama. Sebelum wafat dia harus menjalani cuci darah rutin. Seminggu sebelum dipindahkan ke
Jakarta ia sempat dirawat di Surabaya usai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.

Penghargaan Gusdur

Pada 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, penghargaan cukup prestisius untuk
kategori kepemimpinan sosial. Dia ditahbiskan sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa
Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004.Pada 11 Agustus 2006, Gadis
Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan
Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi,
persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia.Ia mendapat penghargaan dari
Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM karena dianggap
sebagai salah satu tokoh yang peduli persoalan HAM. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal
Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum
minoritas.
Biografi Hary Tanoesoedibjo – Si Raja Multimedia Indonesia

Ia merupakan pengusaha sukses asal Indonesia, julukannya sebagai Raja Multimedia Indonesia
dan termasuk dalam jajaran orang terkaya asal Indonesia menurut majalah Forbes. Artikel kali ini akan
mengulas mengenai Biografi Hary Tanoesoedibjo – Si Raja Multimedia Indonesia. Dikenal sebagai bos
dari MNC Group Hary Tanoesoedibjo dilahirkan di Kota Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 26
September 1965. Setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas, ia kemudian memilih masuk ke
perguruan tinggi di negara Kanada yaitu Carleton University, Ottawa Kanada. Kemudian setelah
menamatkan pendidikan dan mendapatkan gelar Bachelor of Commerce pada tahun 1988, Hary
Tanoesoedibjo pun melanjutkan pendidikannya di Universitas yang sama yaitu Carleton University
dengan mengambil jurusan magister untuk program Master of Business Administration pada tahun 1989.
Hary Tanoesedibjo memang terkenal amat pandai Gelar master of Business Administration hanya ia capai
dalam waktu satu tahun saja.

Hary Tanoesoedibjo merupakan adik kandung dari Hartono Tanoesoedibjo dan Bambang
Rudijanto Tanoesoedibjo. Beliau mempunyai istri bernama Liliana Tanaja Tanoesoedibjo dan memiliki 5
orang anak. Ketika tahun 2000 yang lalu Hary Tanoesoedibjo kemudian mengambil alih kepemilikan dari
PT Bimantara Citra Tbk yang sebelumnya dimiliki oleh anak mantan Presiden Soeharto yaitu Bambang
Trihatmodjo, Hary Tanoesoedibjo kemudian mengusung ambisi ingin menjadi jawara bisnis media
penyiaran dan telekomunikasi. Dan, mimpi itu terbukti. Kini Hary Tanoesoedibjo mempunyai banyak
stasiun TV swasta seperti RCTI, MNC TV, dan Global TV, perusahaan TV berlangganan Indovision,
juga stasiun radio Trijaya FM dan media cetak Harian Seputar Indonesia dan Majalah Ekonomi.

Di bawah naungan PT Media Nusantara Citra (MNC), tak sampai lima tahun, Hary kemudian
berhasil menguasai saham mayoritas di stasiun TV tersebut. Saham MNC sendiri 99,9% dimiliki oleh
Bimantara Citra. Sejak memiliki Bimantara, Hary kian agresif di bidang media. Ditambah lagi, Hary
mempunyai kemampuan menentukan perusahaan-perusahaan media mana yang berpotensi untuk
berkembang. Selain itu, banyak orang mengakui, kunci sukses Hary terletak pada kemampuannya menata
kembali perusahaan yang sudah kusut alias bermasalah. Ini terbukti ketika pria yang kabarnya pernah
tidak naik kelas di masa SMA ini membenahi Bimantara yang terbelit utang. Sebelumnya, Bimantara juga
memiliki stasiun radio Trijaya FM.

Belakangan, untuk menambah eksistensinya dalam dunia media, Bimantara juga menerbitkan
media cetak. Sampai saat ini ada majalah, tabloid, dan koran yang bergabung di bawah bendera Grup
Bimantara. Ada majalah ekonomi dan bisnis Trust, tabloid remaja Genie, dan pertengahan 2005 lalu
menerbitkan harian Seputar Indonesia. Ke depan, MNC diproyeksikan menjadi perusahaan subholding
yang bertindak sebagai induk media penyiaran di bawah Grup Bimantara. MNC juga bakal menjadi
rumah produksi yang akan memasok acara-acara ke RCTI, TPI, Global TV, dan semua jaringan radionya.
Selain itu, MNC akan membangun jaringan radio nasional di seluruh wilayah Tanah Air. Hary telah
membuktikan kemampuannya membangun dinasti bisnis, dengan nilai aset US$ 7,2 miliar. Kinerja bisnis
cemerlang itu ia lakukan hanya dalam tempo 14 tahun.

Saat ini Hary memegang beberapa jabatan strategis di berbagai perusahaan terkemuka di
Indonesia. Ia ditunjuk sebagai Presiden Direktur PT Global Mediacom Tbk (sejak tahun 2002) setelah
sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden Komisaris perusahaan tersebut. Ia adalah pendiri,
pemegang saham, dan Presiden Eksekutif Grup PT Bhakti Investama Tbk sejak tahun 1989.
Selain itu, Hary saat ini juga memegang berbagai posisi di perusahaan-perusahaan lainnya,
diantaranya sebagai Presiden Direktur PT Media Nusantara Citra Tbk (MNC) dan PT Rajawali Citra
Televisi Indonesia (RCTI) sejak tahun 2003, sebagai Komisaris PT Mobile-8 Telecom Tbk, Indovision
dan perusahaan-perusahaan lainnya di bawah bendera Global Mediacom dan Bhakti Investama. Hary juga
saat ini aktif sebagai Bendahara Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Ia telah berulang kali
menjadi pembicara di berbagai seminar dan menjadi dosen tamu dalam bidang Keuangan Perusahaan,
Investasi dan Manajemen Strategis untuk program magister di berbagai perguruan tinggi. Pada 2011,
Forbes merilis daftar orang terkaya di Indonesia, Harry menduduki peringkat ke-22 dengan total
kekayaan US$ 1,19 miliar

Hary mengatakan, sudah dari awal ingin menjadi enterpreneurship. Ini menjadi tujuannya, dan
selalu fokus dan disiplin mengejarnya. “Saya dari dulu ingin jadi enterpreneurship, dan untuk menjadi
tujuan itu, saya terus fokus dan dislipin, anda juga pasti bisa melakukan itu,” ujarnya. Hary mengatakan,
kunci sukses pertama, adalah fokus dengan apa yang ingin dicapai. Jangan menyerah akan kegagalan,
karena sukses itu tidak instan, sukses itu butuh proses. “Tujuan kita harus jelas dan fokus dan jangan
berhenti sebelum tujuan itu tercapai, tapi kita harus ingat sukses besar adalah akumulasi dari sukses yang
kecil-kecil,” ujar Hary.

Kedua, Hary menambahkan, agar harus berdoa. Karena spiritual itu adalah kekuatan, untuk
mencapai tujuan. “Istri saya banyak berdoa untuk saya, biasanya sebelum gol dalam tujuan, itu kita butuh
wisdom, kita harus banyak berdoa, power of pray very strong,” ujar Hary. Ketiga, Hary mengatakan,
yakni membangun karakter yang baik, untuk selalu maju mencapai tujuan yang jelas. Untuk mencapai itu,
hal utama dilakukan adalah fokus pada kualitas bukan kuantitas. “Banyak orang cari uang, tapi kalau saya
bekerja uang nomor dua, tapi yang pertama adalah kualitas,” jelasnya. Terakhir, kunci suksesnya untuk
mencapai ini harus didari disiplin yang komitmen. Karena komitmen yang kuat menghasilkan mental dan
fisik yang kuat. “Intinya kita harus berubah, karena musuh terbesar dalam hidup adalah diri kita sendiri,”
ujar Hary.

Sukses membangun konglomerasi bisnis, Hary Tanoesoedibjo memutuskan terjun ke panggung


politik. Di panggung baru ini, Hary bergabung dengan partai Nasional Demokrat (Nasdem), mesin politik
besutan mantan politisi senior partai Golkar, Surya Paloh. Keputusan Hary terjun ke dunia politik
dilakukan setelah ia menguasai sepertiga pemirsa televisi di Indonesia. Sekarang, ia bersama Surya Paloh
yang juga pemilik media televisi di Indonesia akan mengadu peruntungan di kancah politik nasional. Jika
dulu Hary Tanoesoedibjo fokus ber bisnis, kini ia harus rela meluangkan waktunya untuk berpolitik.
Salah satu yang ia lakukan saat ini adalah, menggalang pendukung di seluruh Nusantara untuk partai
Nasdem, namun pada tanggal 21 Januari 2013 Hary Tanoesoedibjo menggelar konferensi pers dan
menyatakan mundur dari kepengurusan partai Nasdem dan kembali fokus di dunia Bisnis.

Hary kemudian membentuk perkumpulan yang disebut Persatuan Indonesia (Perindo). Perindo
berisikan anggota Partai Nasdem yang memutuskan keluar karena tidak sejalan dengan rencana Surya
Paloh yang akan diangkat menjadi Ketua Umum. Hary Tanoesoedibjo kemudian memilih bergabung
dengan Parta Hanura pada tahun 2013 untuk melanjutkan kiprahnya dalam bidang politik selain
berkecimpung dalam didunia bisnis multimedia. Di Partai Hanura besutan Wiranto, Hary Tanoesoedibjo
menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Hanura. Kemudian pada bulan Juli 2013, Wiranto bersama
Hary Tanoesoedibjo resmi mendeklarasikan diri menjadi pasangan capres dengan mengusung slogan
‘pasti maju Indonesia’. Kedua pasangan mengklaim modal besar mencalonkan diri adalah pengalaman
Wiranto memimpin TNI selama 35 tahun sementara sebagai pengusaha sukses Harry dianggap
memahami persoalan ekonomi nasional. itulah artikel ringkas tentang biografi hary tanoesoedibjo yang
merupaan raja multimedia indonesia dan merupakan pengusaha sukses yang terkenal di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai