Anda di halaman 1dari 72

KLIPING

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL


(IPS)

PAHLAWAN

Oleh :
Nama : Jovial Jasmine Brillianty Afifa
Kelas : VI B
No. Absen : 03

PIMPINAN DAERAN MUHAMMADIYAH LAMONGAN


MAJELIS PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
SD MUHAMMADIYAH SIDOHARJO
Jl. Andanwangi No. 30 Lamongan 62217
1. Kiai Haji Ahmad Dahlan

Lahir 1 Agustus 1868 Yogyakarta


Meninggal 23 Februari 1923 (umur 54) Yogyakarta
Dikenal atas Pendiri Muhammadiyah dan Pahlawan Nasional
Jabatan Ketua Umum Muhammadiyah
Pendahulu Tidak ada, jabatan baru
Pengganti K.H. Ibrahim
Suami/istri (Almh.) Hj. Siti Walidah
Djohanah
Siradj Dahlan
Siti Busyro
Anak Irfan Dahlan
Siti Aisya
Siti Zaharah
Dandanah
Agama Islam

Kiai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (lahir di Yogyakarta, 1


Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun)
adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Dia adalah putra keempat dari tujuh
bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan
khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari
K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.

a. Latar belakang keluarga dan pendidikan


Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Dia
merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan
saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dia termasuk keturunan yang
kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara
Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. [1] Silsilahnya tersebut
ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana
Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo,
kiai Ilyas, kiai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan
Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).[2]
Pada umur 15 tahun, dia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima
tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-
pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani,
Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun
1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua
tahun. Pada masa ini, dia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga
guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan
Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, dia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya
sendiri, anak kiai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad
Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya
dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu
Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. [1]
Di samping itu K.H. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda
H. Abdullah. Dia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik kiai Munawwir Krapyak.
K.H. Ahmad Dahlan juga mempunyai putra dari perkawinannya dengan Nyai
Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Dia pernah
pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.[3] [4]
KH. Ahmad Dahlan meninggal pada tahun 1923 dan dimakamkan di
pemakaman Karangkajen, Yogyakarta [5] [6].

b. Pengalaman organisasi
Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup
berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang
cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai
gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati
di tengah kalangan masyarakat, sehingga dia juga dengan cepat mendapatkan
tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite
Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi
Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi
Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara
berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Dia ingin mengajak umat
Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits.
Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak
awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik
tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga
mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya.
Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh
hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang
menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen,
mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang
kebanyakan dari golongan priyayi, dan bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu
Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang, yang
merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priayi. Bahkan ada pula
orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk melanjutkan
cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua
rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan
kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum.
Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan
Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah
Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari
Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi
ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi
di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri
cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah
Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya
dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai
nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang,
Ahmadiyah[7] di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah.
Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan
perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Berbagai perkumpulan dan jama'ah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, di antaranya ialah Ikhwanul-Muslimin,[8] Taqwimuddin, Cahaya
Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul
Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-
Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.[9]
Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti
Pastur van Lith pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak
dialog oleh Dahlan. Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di
kalangan keagamaan Katolik. Pada saat itu Kiai Dahlan tidak ragu-ragu masuk
gereja dengan pakaian hajinya.[10]
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad
Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui
relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan
sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama
dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan
terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang
hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan
mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan
cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan
oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan
dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota
Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam
Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali
dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering
(persidangan umum).

c. Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran
bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah
Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat
Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai
berikut:
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk
menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan
berbuat;
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak
memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang
menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat,
dengan dasar iman dan Islam;
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial
dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa,
dengan jiwa ajaran Islam; dan
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah
mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan
berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.

2. Cut Nyak Dien

Lahir 1 Agustus 1868 Yogyakarta


Meninggal 23 Februari 1923 (umur 54)Yogyakarta
Dikenal atas Pendiri Muhammadiyah dan Pahlawan Nasional
Jabatan Ketua Umum Muhammadiyah
Pendahulu Tidak ada, jabatan baru
Pengganti K.H. Ibrahim
Suami/istri (Almh.) Hj. Siti Walidah
Djohanah
Siradj Dahlan
Siti Busyro
Anak Irfan Dahlan
Siti Aisya
Siti Zaharah
Dandanah
Agama Islam
Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh,
1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908; dimakamkan di Gunung Puyuh,
Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang
melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia
mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda.
Tewasnya Ibrahim Lamnga di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 kemudian
menyeret Cut Nyak Dhien lebih jauh dalam perlawanannya terhadap Belanda.
Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, setelah
sebelumnya ia dijanjikan dapat ikut turun di medan perang jika menerima lamaran
tersebut. Dari pernikahan ini Cut Nyak Dhien memiliki seorang anak yang diberi
nama Cut Gambang[1]. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien
bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, pada tanggal 11
Februari 1899 Teuku Umar gugur. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien berjuang
sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Usia Cut Nyak Dien
yang saat itu sudah relatif tua serta kondisi tubuh yang digrogoti berbagai penyakit
seperti encok dan rabun membuat satu pasukannya yang bernama Pang Laot
melaporkan keberadaannya karena iba.[2][3] Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke
Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Keberadaan Cut
Nyak Dhien yang dianggap masih memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan
rakyat Aceh serta hubungannya dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap
membuatnya kemudian diasingkan ke Sumedang. Cut Nyak Dhien meninggal pada
tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut
Nyak Dhien kini diabadikan sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya di
Meulaboh.

a. Kehidupan Awal
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di
Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta
Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk
Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati merupakan
keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan
Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman.[4]. Datuk
Makhudum Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan
Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.[2][5]. Sedangkan ibunya
merupakan putri uleebalang Lampageu.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. [2] Ia
memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun
guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut
kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki
yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia
sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim
Lamnga[2][5], putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-
laki.

b. Perlawanan saat Perang Aceh

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh,


dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang
Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-
1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah
bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat
itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda
mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa
menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Kesultanan Aceh
dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis
depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak
pada April 1873.
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten,
daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton
Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi
bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875.
Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29
Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan
menghancurkan Belanda.[2]
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada
awalnya Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar
mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien
akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880.
Hal ini meningkatkan moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda
(Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak
yang diberi nama Cut Gambang.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah.
Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda
dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30
September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi
ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang
karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka
memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan
menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku
Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai
penghianat oleh orang Aceh. Cut Nyak Dien berusaha menasihatinya untuk
kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan
dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda,
sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang
ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar
melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin
menyerang basis Aceh.[1]

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan
perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali.
Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku
Umar).
Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan
melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan
Teuku Umar.[1][2] Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda.
Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti.
Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh
dan pasukan Belanda berada pada kekacauan.[1] Belanda lalu mencabut gelar
Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.[2]
Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh
(Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-
terusan mengganti jenderal yang bertugas.[1] Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke
Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh.
Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-
Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya.[1] Akibat dari hal ini,
pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden
membubarkan unit "De Marsose".[1] Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan
jenderal selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad
kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.[1]
Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan
mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai
informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang
Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur
tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena
kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:
“ Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang
yang sudah syahid”
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah
pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan
suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901
karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain
itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia
terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit
memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.[2][3]
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi
markasnya kepada Belanda karena iba.[2][3] Akibatnya, Belanda menyerang
markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur
mati-matian. Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan
musuh. Namun, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. [6][7] Cut Nyak
Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan
meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.[1]

c. Masa Tua dan Kematian


Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di
situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut
Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan
Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga
karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan
menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga
menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda
dilarang mengungkapan identitas tahanan.[1] Ia ditahan bersama ulama bernama
Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam
agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".[1]
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena
usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959
berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan.[7] "Ibu Perbu" diakui
oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK
Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.[1][2]

d. Makam
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada
tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian
dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda.[7] Masyarakat Aceh di
Sumedang sering menggelar acara sarasehan. Pada acara tersebut, peserta
berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer.[7]
Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering
menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran.
Selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat
melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang
peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada
tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang
ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat
musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nisan yang dikatakan
sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.[7]
Pada batu nisan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa
Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien berkurang karena Gerakan
Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik
Indonesia. Selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat.[7]
Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah
makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.[7]

e. Biografi dalam Seni

Perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi dalam film drama epos berjudul
Tjoet Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot dan
dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang
Laot, Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar dan juga didukung Rudy Wowor.
Film ini memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik, dan merupakan film
Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).
Pada 13 April 2014, sebuah karya seni untuk mengenang semangat
perjuangan dan perjalanan hidup Cut Nyak Dhien (CND) dalam bentuk teater
monolog yang dimainkan dan disutradarai oleh Sha Ine Febriyanti; dipentaskan
pertama kali di Auditorium Indonesia Kaya, Jakarta. Naskah berdurasi 40 menit
yang ditulis oleh Prajna Paramita tersebut kemudian dipentaskan kembali pada
2015 di Jakarta, Pekalongan, Magelang, Semarang, dan Banda Aceh.
Rencananya, teater monolong CND juga akan dipentaskan di Australia dan
Belanda.
3. Dewi Sartika

Lahir 4 Desember 1884 Cicalengka, Bandung, Jawa Barat


Meninggal 11 September 1947 (umur 62) Cineam, Tasikmalaya, Jawa Barat
Kebangsaan Indonesia
Dikenal atas Pahlawan Nasional; Perintis pendidikan wanita
Suami/istri Raden Kanduruhan Agah Suriawinata

Raden Dewi Sartika atin: Rd. Déwi Sartika; lahir di Cicalengka, Bandung, 4
Desember 1884 – meninggal di Cineam, Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur
62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita. Ia diakui sebagai
Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1966.

a. Biografi
Dewi Sartika lahir dari keluarga Sunda yang ternama, yaitu R. Rangga
Somanegara dan R. A. Rajapermas di Cicalengka pada 4 Desember 1884.[1][2]
Ketika masih kanak-kanak, ia selalu bermain peran menjadi seorang guru ketika
seusai sekolah bersama teman-temannya.[1][3] Setelah ayahnya meninggal, ia
tinggal bersama dengan pamannya. Ia menerima pendidikan yang sesuai dengan
budaya Sunda oleh pamannya, meskipun sebelumnya ia sudah menerima
pengetahuan mengenai budaya barat.[4] Pada tahun 1899, ia pindah ke Bandung.[3]
Pada 16 Januari 1904, ia membuat sekolah yang bernama Sekolah Isteri di
Pendopo Kabupaten Bandung. Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan
Ciguriang dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri pada tahun
1910.[5][6] Pada tahun 1912, sudah ada sembilan sekolah yang tersebar di seluruh
Jawa Barat, lalu kemudian berkembang menjadi satu sekolah tiap kota maupun
kabupaten pada tahun 1920.[4] Pada September 1929, sekolah tersebut berganti
nama menjadi Sekolah Raden Dewi.[4]
Ia meninggal pada 11 September 1947 di Cineam ketika dalam masa
perang kemerdekaan.[4][7]

b. Peninggalan
Nama Dewi Sartika digunakan sebagai nama jalan di mana sekolahnya berada.[1}

c. Penghargaan
Ia dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau pada ulang tahun ke-35
Sekolah Kaoetamaan Isteri sebagai penghargaan atas jasanya dalam
memperjuangkan pendidikan.[4][7] Pada 1 Desember 1966, ia diakui sebagai
Pahlawan Nasional.[6][7]

d. Kehidupan pribadi
Pada tahun 1906, ia menikah dengan Raden Kanduruhan Agah Suriawinata
yang merupakan guru dari Sekolah Karang Pamulang.[4]

4. PANGERAN DIPONEGORO

Pahlawan Nasional Indonesia


Dikenal atas
* Panglima perang Jawa
Bendara Raden Mas Antawirya 11 November 1785
Lahir
Kraton Yogyakarta, Yogyakarta
Wafat 8 Januari 1855 (umur 69) Makassar, Sulawesi Selatan
Pemakaman Kampung Melayu, Wajo, Makassar, Sulawesi Selatan
Wangsa Mataram
Ayah Sultan Hamengkubuwana III

Ibu R.A. Mangkarawati

Pasangan Raden Ajeng Ratu Ratna Ningsih


Agama Islam

Bendara Pangeran Harya Dipanegara (lebih dikenal dengan nama Diponegoro,


lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat, 11 November 1785 – meninggal di Makassar,
Hindia Belanda, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan
nasional Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin
Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia Belanda.
Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah
Indonesia, dengan korban mencapai 8.000 serdadu Hindia Belanda, 7.000 pribumi,
dan 200 ribu orang Jawa serta kerugian materi 25 juta Gulden.

a. Asal usul Diponegoro


Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana
III, raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785
di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A.
Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri selir) yang berasal dari
Pacitan dan ayahnya bernama Raden Mas Surojo (Hamengkubuwono III). [1]
Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro bernama Bendara Raden Mas
Antawirya[2] dan memiliki nama Islam Ngabdul Kamid.[3]
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak
keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi
raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri.[4]
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak
membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa.[1] Pangeran Diponegoro lebih
tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat, sehingga ia lebih suka tinggal
di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan
Hamengkubuwana I, Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, daripada di keraton.[4]
Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Sultan
Hamengkubuwana V (1822). Ketika itu, Diponegoro menjadi salah satu anggota
perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun,
sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama
Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujuinya.[4]

b. Kehidupan pribadi
Dalam kehidupan sehari-harinya, Pangeran Diponegoro adalah pribadi
yang menyukai anggur putih bermerek Constantia yang berasal dari Tanjung
Harapan, penyuka sirih dan rokok sigaret Jawa yang dilinting khusus dengan
tangan, mengoleksi emas, berkebun. Bahkan, di tempat persemediannya di
Selarejo dan Selarong, kebun yang dimilikinya ditanamin bunga, sayur-sayuran,
buah-buahan, ikan, kura-kura, burung tekukur, buaya hingga harimau. Pangeran
Diponegoro juga menyukai roti bakar, kentang Belanda yang dimakan dengan
campuran sambal dan keripik singkong.[5]
Dia juga dikenal sebagai pria yang menyukai perempuan. Salah satu
sifatnya saat muda yang tidak disukainya (sipat ngaral) adalah mudah tergoda
oleh perempuan. Bahkan, Pangeran Diponegoro sempat tidur dengan perempuan
Tionghoa, yang merupakan tawanan perang, sebelum bertempur dengan Belanda
dan hal ini diakuinya sebagai penyebab kekalahan terbesarnya di Gowok, 15
Oktober 1862.[5]
Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 wanita dalam hidupnya. [5] Sang
Pangeran pertama kali menikah pada usia 27 tahun dengan Raden Ayu Retno
Madubrongto, seorang guru agama dan putri kedua dari Kiai Gede Dadapan. Dari
hasil pernikahan ini, Diponegoro memiliki anak laki-laki bernama Putra
Diponegoro II.[6]
Pada 27 Februari 1807, Pangeran Diponegoro kembali menikah untuk
kedua kalinya dengan putri dari Raden Tumenggung Natawijaya III, seorang
bupati dari Panolan Jipang, Kesultanan Yogyakarta, bernama Raden Ajeng
Supadmi, itupun atas permintaan Sultan Hamengkubuwono III.[6] Diponegoro
kemudian bercerai tiga tahun setelah pernikahannya tersebut dan dianugerahi
seorang anak bernama Pangeran Diponingrat, yang memiliki sifat arogan menurut
Putra Diponegoro II.[6]
Pernikahan ketiga terjadi pada tahun 1808 dengan R.A. Retnadewati,
seorang putri kiai di wilayah Selatan, Yogyakarta. Istri pertama dan ketiga
Pangeran, yakni Madubrongto dan Retnadewati meninggal ketika Diponegoro
masih tinggal di Tegalrejo. Sang Pangeran kemudian menikah kembali pada tahun
1810 dengan Raden Ayu Citrawati, puteri dari Raden Tumenggung Rangga
Parwirasentika dengan salah satu isteri selir. Namun, sang istri Raden Ayu
Citrawati meninggal tidak lama setelah melahirkan anaknya, akibat kerusuhan di
Madiun. Sang bayi kemudian diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan
diberi nama Singlon (nama samaran) dan terkenal dengan nama Raden Mas
Singlon.[7]
Pangeran kembali menikah kelima kalinya pada 28 September 1814
dengan Raden Ayu Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu
Maduretna (putri HB II). Sang istri tersebut saudara seayah dengan Sentot
Prawiradirdja, namun berbeda ibu. Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi
permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton I pada 18 Februari 1828, ketika
Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid. Pada Januari 1828,
sang Pangeran kembali menikah untuk keenam kalinya dengan Raden Ayu
Retnoningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Ketujuh menikah
dengan Raden Ayu Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumaprawira,
seorang Bupati Jipang Kepadhangan, dan kedelapan dengan R.A. Retnakumala,
putri Kiai Guru Kasongan.[7]
Kesembilan menikah dengan Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain
(Wanita dari Wajo, Makassar), makamnya ada di Makassar. Syarifah Fathimah ini
nama lengkapnya adalah Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk
Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk
Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin
Husain Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar.[8]
Dari hasil pernikahannya tersebut, Pangeran Diponegoro mempunyai 12
putra dan 5 orang putri, yang keturunannya semuanya kini hidup tersebar di
seluruh dunia, termasuk Jawa, Madura, Sulawesi, dan Maluku bahkan di
Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.[9]
Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi yang suka melucu dan
bercanda. Terkadang, dia sangat benci dengan komandan tentaranya yang
dianggapnya pengecut dengan cara mengiriminya pakaian perempuan.[5]

c. Perang Diponegoro (1825-1830)


Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di
tanah milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak
dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan
sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.[10]
Di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia Belanda, menurut mantan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Professor Wardiman Djojonegoro, terdapat
pembelokan sejarah penyebab perlawanan Pangeran Diponegoro karena sakit hati
terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan keraton, yang menolaknya menjadi
raja. Padahal, perlawanan yang dilakukan disebabkan sang Pangeran ingin
melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Hindia Belanda dan
membebaskan Istana dari madat.[11] Sikap Diponegoro yang menentang Belanda
secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran sang paman,
yakni GPH Mangkubumi, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat
markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro
menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi
kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa
pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.[10]
Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu,
Bagelen, Surakarta, dan beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo,
Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi,
Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Brojonegoro, Tuban, dan Surabaya.
[12]

d. Para panglima Diponegoro


Beberapa tokoh karismatik yang turut bergabung dengan Pangeran
Diponegoro adalah Kiai Madja, SISKS Pakubuwono VI, dan Raden Tumenggung
Prawirodigdaya.[10] Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh
putranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewa. Ki Sodewa melakukan
peperangan di wilayah Kulonprogo dan Bagelen. Selain itu, ada beberapa ulama
pendukung, yakni Kiai Imam Rafi'l (Bagelen), Kiai Imam Nawawi (Ngluning
Purwokerto), Kiai Hasan Basori (Banyumas), dan kiai-kiai lainnya.[12]
 Kiai Madja
Kiai Madja, adalah salah seorang tokoh agama di Surakarta yang ikut
bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Kiai Madja yang
lahir di Desa Mojo di wilayah Pajang, dekat Kota Surakarta, tertarik berjuang
bersama Pangeran Diponegoro karena Pangeran Diponegoro ingin mendirikan
kerajaan yang berlandaskan Islam. Kiai Madja dikenal sebagai ulama besar
yang sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Diponegoro.
Ibu Kiai Madja, R.A. Mursilah, adalah saudara perempuan dari Sultan
Hamengkubuwana III.[13]
Namun, Kiai Madja yang aslinya bernama Muslim Mochamad
Khalifah semenjak lahir tidak mencicipi kemewahan gaya hidup keluarga
istana. Jalinan persaudaraan Diponegoro dan Kiai Madja kian erat setelah Kiai
Madja menikah dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman
dari Diponegoro. Tak heran, Diponegoro memanggil Kiai Madja dengan
sebutan "paman" meski relasi keduanya adalah saudara sepupu.[14]
Selain Kiai Madja, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Sunan
Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya, Bupati Gagatan.
Meski demikian, pengaruh dukungan Kiai Madja terhadap perjuangan
Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai
lapisan masyarakat. Kiai Madja yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran
Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan
hukumnya pada syariat Islam. Semangat memerangi Belanda yang merupakan
musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan
Diponegoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang
berafiliasi dengan Kiai Madja.[15] Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir:
Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 disebutkan bahwa sebanyak 112
kiai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.
[16]

 Sentot Prawirodirdjo
Pendukung lainnya adalah Sentot AliBasha Abdul Mustopo
Prawirodirdjo atau dikenal dengan Sentot Ali Pasha/Sentot Ali Basha, putra
dari Ronggo Prawirodirjo III yang menjabat sebagai Bupati Montjonegoro
Timur, ipar Sultan Hamengku Buwuno IV, yang terbunuh oleh Hindia
Belanda pada zaman pemerintahan Gubernur Daendels.[17]
Menurut sejarawan Soekanto, Sentot bergabung pada 28 Juli 1826,
sedangkan menurut Peter Carey, Sentot bergabung ketika berumur 17 tahun
pada Agustus 1825 di Selarong. Pada Agustus 1828, salah satu panglima
Diponegoro bernama Gusti Basah, gugur dan sebelum meninggal, ia meminta
sang Pangeran menunjuk Sentot sebagai penggantinya. Setelah diangkat
menjadi senopati, Sentot berhasil memukul mundur tentara Sollewijn di Progo
Timur pada 5 September 1828. Beberapa minggu kemudian, Sentot juga
berhasil memenangkan peperangan di Bagelen dan Banyumas. Strategi perang
yang digunakan Sentot adalah penggerebekan dengan menggempur sekeras-
kerasnya dengan pasukan penuh. Sentot juga dikenal pandai dalam perang
gerilya.[17]
Gelar "Basya" atau "Pasha" diilhami oleh sosok Usamah bin Zaid,
panglima Turki yang memimpin perang melawan bangsa Romawi dalam usia
17 tahun juga. Sentot Alibasha juga dijuluki "Napoleon Jawa". [12] Sentot
memimpin pasukan sebanyak 1.000 orang dengan menyandang senjata dan
mengenakan jubah dan sorban. Struktur pasukannya pun mirip seperti
pasukan Turki Utsmani.[12]
Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di Kroya dan
merampas 400 pucuk senjata, meriam berikut mesiunya serta menawan
ratusan serdadu Hindia Belanda.[18]
Untuk menangkap Sentot, Jenderal De Kock membujuk upati Madiun,
Prawirodiningrat, yang merupakan kakaknya, agar bersedia berunding dengan
Hindia Belanda. Atas bujukan kakaknya tersebut, Sentot kemudian menerima
tawaran Belanda untuk datang ke Yogyakarta dan disambut dengan upacara
militer seperti seorang Jenderal pada 24 Oktober 1829 hingga akhirnya
disergap dan ditangkap.[12]
Setelah menyerah dalam Perang Diponegoro, Sentot sempat dikirim ke
Salatiga, Batavia, hingga akhirnya Hindia Belanda mengirimnya ke Sumatra
Barat untuk membasmi pemberontakan ulama dalam Perang Padri, namun ini
hanya strategi Sentot agar berhasil mendapatkan persenjataan untuk
membantu perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Sentot akhirnya ditahan Hindia
Belanda dan dikirim kembali ke Batavia pada Maret 1833 dan ke Bengkulu
pada Agustus 1833 sebelum akhirnya wafat dalam usia 47 tahun dalam
pengasingan di Bengkulu pada 17 April 1855.[17]
 Kerta Pengalasan
Kerta Pengalasan, lahir tahun 1795 dan wafat sekitar tahun 1866,
adalah salah satu senopati Pangeran Diponegoro. Dia dipercaya oleh Pangeran
Diponegoro untuk memperkuat sistem pertahanan pusat negara di Plered. [18]
Sebelum perang, Kerta Pengalasan adalah kepala desa di Desa Tanjung,
Nanggulan, Kulon Progo. Dia diperintah oleh Pangeran Blitar I, salah satu
putra Sultan Hamengkubuwono I untuk mendukung Pangeran Diponegoro.[19]

e. Strategi perang sang Pangeran


Pasukan Pangeran Diponegoro dibagi menjadi beberapa batalyon yang
diberi nama berbeda-beda, seperti Turkiya, Arkiya, dan lain sebagainya. Setiap
batalyon dibekali dengan senjata api dan peluru-peluru yang dibuat di
hutan.Pangeran Diponegoro bersama para panglimanya menerapkan strategi
perang gerilya yang selalu berpindah-pindah. Markasnya di Selarong sering kali
kosong ketika pasukan Belanda menyerang lokasi tersebut. Sang Pangeran dan
pasukannya baru kembali ke Selarong setelah pasukan Belanda pergi
meninggalkan Selarong.[18]
Pusat pertahanan pasukan Diponegoro kemudian dipindahkan dari Selarang
ke Daksa. Sang Pangeran juga dinobatkan menjadi kepala negara bergelar "Sultan
Abdulhamid Herucakra Amirulmukminin Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah
Jawa", dengan pusat negara berada di Plered, dengan pertahanan yang kuat.
Sistem pertahanan daerah Plered dipercayakan penanganannya kepada Kerta
Pengalasan.[18]
Kuatnya pertahanan di Plered dibuktikan dengan gagalnya serangan besar-
besaran pasukan Hindia Belanda pada tanggal 9 Juni 1826. Setelah penyerangan
tersebut, sang Pangeran mengganti posisi Kerta Pengalasan dengan Ali Basha
Prawiradirja dan Prawirakusumah, keduanya masih berusia 16 tahun. [18] Setelah
itu, masih di bulan dan tahun yang sama, pasukan Hindia Belanda menyerang
markas Diponegoro di Daksa, namun sudah dikosongkan. Ketika pasukan Hindia
Belanda kembali dari Daksa menuju Yogyakarta, pasukan Diponegoro menyergap
dan membinasakan seluruh pasukan dan menghilang dari Daksa.[18]
Pada Oktober 1826, pasukan Diponegoro menyerang pasukan Hindia
Belanda di Gawok dan mendapat kemenangan. Namun, sang Pangeran terluka
dan terpaksa harus ditandu ke lereng Gunung Merapi. Pada 17 November 1826,
sang Pangeran bertolak ke Pengasih (sebelah barat Yogyakarta) untuk menyerang
pasukan Hindia Belanda. Di lokasi ini, sang Pangeran mendirikan keraton di
Sambirata sebagai pusat negara baru. Pasukan Belanda sempat menyerang
Sambirata, namun Diponegoro berhasil meloloskan diri. Perang sempat berhenti
akibat gencatan senjata pada 10 Oktober 1827, namun perundingan tidak
menemui kesepakatan apa pun.[18]
Berkat dukungan dan simpatik rakyat, pasukan Pangeran Diponegoro dapat
dengan mudah memindah-mindahkan markasnya dan mendapat pasokan logistik.
Selain itu, pasukan Diponegoro dikenal sangat cepat dan lincah berkat semangat
perang Sabilillah. Akibatnya, Hindia Belanda banyak mengirimkan jenderal,
kolonel dan mayor ke Pulau Jawa, seperti Jenderal De Kock, Jenderal Van Geen,
Jenderal Holsman, dan Jenderal Bisschof.[12]
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-
bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam
sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda
akan melakukan berbagai usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena
hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit
malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak”
melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka.
Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan
menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota;
menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran
dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando pangeran
Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang
melawan Belanda.
f. Taktik Hindia Belanda
Perang Diponegoro merupakan perang terbuka dengan pengerahan
pasukan-pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri—yang sejak perang Napoleon
menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal—di kedua belah pihak
berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di
seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu
wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya
wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya.
Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong
keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar
jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan
berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan
menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang.
Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan,
curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat
dibangun melalui penguasaan informasi.
Pada puncak peperangan tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari
23.000 orang serdadu[10]; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu, ketika
suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa
timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang
pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang
modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang
gerilya (guerilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan
penghadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern
yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan.
Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui
insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap
mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi
(spionase) dengan kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi
mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Berbagai cara licik juga terus dilakukan Hindia Belanda untuk menangkap
Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan dengan mengeluarkan
maklumat pada 21 September 1829 bahwa siapapun yang dapat menangap
Pangeran Diponegoro baik hidup atau mati, akan diberi hadiah sebesar 50.000
Gulden, beserta tanah dan penghormatan.[18]
Perubahan strategi Hindia Belanda terjadi ketika Gubernur Jenderal De
Kock diangkat menjadi panglima seluruh Hindia Belanda tahun 1827. Untuk
membatasi ruang gerak dan strategi gerilya Pangeran Diponegoro, De Kock
menggunakan strategi perbentengan (Benteng Stelsel). Benteng-benteng dengan
kawat berduri didirikan begitu pasukan Hindia Belanda berhasil merebut daerah
kekuasaan pasukan Diponegoro. Tujuannya agar pasukan Diponegoro tidak dapat
kembali dan mempersempit ruang geraknya. Jarak antar bentang berdekatan dan
dihubungkan dengan pasukan gerak cepat.[18]
Perlawanan Pangeran Diponegoro semakin melemah sejak akhir tahun
1828, setelah Kiai Madja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap pada 12
Oktober 1828, menyusul kemudian Sentot Prawirodirdjo dan pasukannya pada 16
Oktober 1828, karena kesulitan biaya, dan tertangkapnya istri sang Pangeran
yakni R.A Ratnaningsih dan putranya pada 14 Oktober 1829.[18]

g. Negosiasi dan pengkhianatan


Pada 16 Februari 1830, Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan
Jenderal De Kock, yakni Kolonel Jan Baptist Clereens dan mengutus Kiai Pekih
Ibrahim dan Haji Badaruddin agar Clereens bisa datang ke Remo Kamal, Bagelen
(sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo), di hulu sungai Cingcingguling.
Pertemuan pada 20 Februari 1930 tersebut tidak menghasilkan kesepakatan,
meski berjalan lancar dan akrab. Akhirnya, Diponegoro ingin bertemu langsung
dengan De Kock yang ketika itu berada di Batavia dan bermaksud menunggunya
di Bagelen Barat. Namun, Clereens menyarankan agar Diponegoro menunggu De
Kock di Menoreh dan sang Pangeran tiba pada 21 Februari 1830 dan dielu-elukan
oleh 700 pengikutnya.[3]
Ketika itu, bulan Ramadhan berlangsung mulai 25 Februari hingga 27
Maret 1830 dan Pangeran Diponegoro menegaskan kepada De Kock bahwa
selama pertemuan di bulan puasa tidak akan ada diskusi yang serius dan hanya
ramah tamah biasa hingga bulan Ramadhan berakhir. De Kock menyetujuinya.
Selama tinggal di Magelang, seluruh pasukan dan pengikut Pangeran Diponegoro
ditandai dengan sorban dan jubah hitam yang diberikan oleh Clereens.[3]
Sikap manis ditunjukkan De Kock kepada Pangeran Diponegoro dengan
memberikan hadiah seekor kuda berwarna abu-abu dan uang f 10.000 yang dicicil
dua kali untuk membiayai para pengikutnya selama bulan puasa. Bahkan, De
Kock mengizinkan istri sang Pangeran, ibunya, kedua putra dan putrinya yang
masih kecil, yakni Raden Mas Joned dan Raden Mas Raib, putra tertuanya
bersama panglima Diponegoro di Kedu Utara, Basah Imam Musbah, hadir dan
bergabung di Magelang.[3]
Dalam pikiran De Kock, kedatangan Diponegoro dan pengikutnya secara
sukarela menunjukkan Pangeran Diponegoro telah kalah secara de facto.
Sementara itu, selama bulan puasa, De Kock bertemu dengan sang Pangeran
sebanyak tiga kali, yakni sebanyak dua kali saat jalan subuh di taman karesidenan
dan satu kali ketika De Kock datang sendiri ke pesanggarahan sang Pangeran.
Namun, mata-mata yang ditanamkan Residen Valck di kesatuan Diponegoro,
Tumenggung Mangunkusumo, melaporkan bahwa sang Pangeran tetap bersikeras
mendapatkan pengakuan Hindia Belanda sebagai sultan Jawa bagian selatan
ataupun sebagai Ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya (Raja
dan pengatur agama di seluruh tanah Jawa atau kepala agama Islam). Setelah itu,
pada 25 Maret 1830, De Kock memberi perintah rahasia kepada dua
komandannya, yakni Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michels,
mempersiapkan perlengkapan militer untuk mengamankan penangkapan sang
Pangeran.[3]
Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, bertepatan dengan Hari Idul Fitri,
Jenderal De Kock bertemu dengan Pangeran Diponegoro. Jenderal De Kock
didampingi Residen Kedu Valck, Letkol Roest (perwira De Kock), Mayor
F.V.H.A de Stuers, dan penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J Roefs. Pangeran
Diponegoro didampingi ketiga putranya, penasihat agama, dua punakawan, dan
panglima Basah Mertanegara. De Kock memulai pertemuan dengan meminta agar
Pangeran Diponegoro tidak usah kembali ke Metesih. Sang Pangeran merasa
heran dan mempertanyakan kembali kepada De Kock kenapa tidak diizinkan
kembali, padahal dia hanya bersilahturahmi menjelang akhir bulan puasa. De
Kock langsung bicara akan menahan Diponegoro dan suasana pun langsung
berubah tegang.[20]
Diponegoro langsung meresponsnya dengan menanyakan ada masalah apa
sehingga dirinya harus ditahan. Dia merasa tidak bersalah dan tidak menaruh
benci kepada siapapun. Mertanegara menyela perbicaraan dan meminta agar
masalah politik bisa diselesaikan lain waktu. De Kock langsung memotong
perbicaraan dan menegaskan dengan nada tinggi, dengan mengatakan terserah
Pangeran setuju atau tidak, dia akan menuntaskan masalah politik hari itu juga.
Diponegoro langsung berbicara dan menuding Jenderal De Kock sangat dan
hatinya busuk karena keputusannya terburu-buru dan tidak pernah dibicarakan
sebelumnya selama bulan puasa. Sang Pangeran langsung berbicara bahwa dia
tidak memiliki keinginan lain, kecuali pemerintah Hindia Belanda mengakuinya
sebagai kepada agama Islam di Jawa dan gelar sultan yang disandangnya.[20]
Jenderal De Kock kemudian memerintahkan Letkol Roest agar Du Perron
menyiapkan pasukan. Diponegoro kemudian berbicara dengan situasi seperti itu
dan karena sifat jahatmu, dirinya tidak takut mati. Dia tidak takut dibunuh dan
tidak bermaksud menghindarinya. De Kock terhenyak mendengar sikap keras
Pangeran Diponegoro dan dengan suara lirih berbicara bahwa dirinya tidak akan
membunuh sang Pangeran, namun juga tidak akan memenuhi keinginan sang
Pangeran. Sempat terbersit dalam benak Diponegoro untuk menghujam keris ke
tubuh De Kock, namun niatannya diurungkan karena akan merendahkan
martabatnya. Setelah meminum teh dan menghampiri pengikutnya, sang Pangeran
beranjak keluar dan Pangeran Diponegoro pun berhasil ditangkap.[20]
Sang Pangeran bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota
laskarnya dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro
diasingkan ke Gedung Karesidenan Semarang, di Ungaran, lalu dibawa ke
Batavia pada 5 April 1930 dengan menggunakan kapal Pollux. Pangeran
Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditawan di Stadhuis (Gedung
Museum Fatahillah). Selanjutnya pada 30 April 1830, Pangeran Diponegoro
diasingkan ke Manado bersama istri keenamnya bersama Tumenggung Dipasena
dan istrinya serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng,
dan Nyai Sotaruna. Mereka tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di
Benteng Amsterdam. Tahun 1834, Diponegro dipindahkan ke Makassar hingga
wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.[10]
h. Lukisan "Penangkapan Diponegoro"

Peristiwa pada tanggal 28 Maret 1830 ditafsirkan berbeda antara pelukis


Indonesia yang tinggal di Eropa, Raden Saleh Syarif Bustaman, dengan Nicolaas
Pieneman (1809-1860). Raden Saleh menggambarkan peristiwa tanggal 28 Maret
1830 sebagai "Penangkapan Diponegoro", sedangkan Pienaman melukisnya
sebagai "Penyerahan Diponegoro".[21]
Lukisan "Penangkapan Diponegoro" dibuat oleh Raden Saleh ketika berada
di Eropa pada tahun 1856, dari sketsa terlebih dahulu dan lukisan cat minyaknya
baru selesai setahun kemudian. Pada 12 Maret 1857, Raden Saleh menunjukkan
lukisannya tersebut kepada temannya di Jerman, bernama Duke Ernst II, dengan
judul "Ein historisches Tableau, die Gefangennahme des javanischen Hauptings
Diepo Negoro" (lukisan bersejarah tentang penangkapan seorang pemimpin Jawa
Diponegoro). Raden Saleh kemudian memberikan lukisannya sebagai hadiah
kepada Raja Belanda, Willem III.[21]
Raden Saleh melukis peristiwa tersebut dari sisi kiri gedung, sehingga
Bendera Belanda yang dilukiskan oleh Pieneman tidak terlihat. Selain itu, Raden
Saleh menggambarkan sosok Pangeran Diponegoro ketika ditangkap
menggunakan sorban hijau berdiri dengan kepala tegak mendongak, tegas,
menahan amarah,[21] menunjukkan perlawanan,[22] dan tegar, meskipun para
pengikutnya terlihat sedih dan dukacita yang mendalam.[23]

i. Lukisan "Penyerahan Diponegoro"


Lukisan karya Nicolaas Pieneman menunjukkan ilustrasi gedung di sisi
kanan dengan Bendera Belanda terlihat jelas. Sosok Pangeran Diponegoro dalam
lukisannya terlihat lesu dan pasrah,[21] meskipun tergambarkan tidak menunduk.
Sementara itu, sosok Jenderal De Kock dilukiskan lebih tinggi, tegas, garang, dan
berwibawa.[23] Sosok sang Pangeran dalam lukisan juga digambarkan terkesan
mengikuti perintah De Kock, dengan latar belakang tangisan para pengikutnya. [22]
Selain itu, posisi anak tangga tempat berdiri sang Pangeran berada di bawah De
Kock yang menyiratkan posisi perbedaan derajat di antara mereka dan posisi
tawanan dan penguasa.[22]
j. Keberlanjutan perang

Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran


Diponegoro, yakni Ki Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara
Anom, Pangeran Joned, yang terus-menerus melakukan perlawanan walaupun
harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon,
sedangkan Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewa.
Selama perang, kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara,
terdiri atas 8.000 tentara Belanda dan 7.000 tentara pribumi serta kerugian materi
sebesar 25 juta gulden.[5] Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir
perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban di pihak
pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi,
dan 200.000 orang Jawa. Dampaknya, setelah perang, jumlah penduduk
Ngayogyakarta menyusut separuhnya.
Mengingat bagi sebagian kalangan dalam Kraton Ngayogyakarta, Pangeran
Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak
diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan
Hamengkubuwana IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan
mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu.
Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus
silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

k. Akhir hayat Diponegoro


Ketika ditangkap dan akan diasingkan ke Manado dengan menggunakan
Kapal Pollux, kondisi Pangeran Diponegoro sudah dalam keadaan lemah,
muntah-muntah akibat mabuk laut, dan terkena sakit Malaria. Di atas kapal,
Letnan Knooerle, yang merupakan ajudan dari Gubernur Jenderal van den Bosch
(arsitek Tanam Paksa), mengawal pengasingan Diponegoro. Sering kali mereka
berdua terlibat dalam percakapan dan salah satu percakapannya adalah ketika
Diponegoro mempertanyakan kepada Knoorle, apakah sudah menjadi kebiasaan
bangsa Eropa untuk mengasingkan pemimpin yang kalah perang ke sebuah pulau
terpencil yang jauh dari sanak saudaranya. Mendapat pertanyaan itu, Knoorle
menjawab bahwa Pangeran Diponegoro diperlakukan sama dengan Napoleon
Bonaparte, yang sama-sama diasingkan dalam usia 40 tahunan. Knoorle
mengatakan pemerintahan Hindia Belanda tidak ingin peristiwa Napoleon yang
ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba berhasil kabur dan memimpin perang lagi
lalu berhasil dikalahkan sehingga dibuang ke pulau yang lebih terasing lagi, yakni
St Helena hingga wafat.[24]
Pangeran Diponegoro dan rombongannya, yakni istri, dua anaknya, dan 23
pengikutnya tiba di Manado pada 12 Juni 1830. Awalnya, Diponegoro akan
ditempatkan di Tondano, namun Knoorle diberitahu oleh Pietermaat, seorang
residen setempat bahwa Kiai Madja beserta 62 pengikutnya baru saja tiba di
Tondano dari Ambon, sehingga akhirnya Knoorle memutuskan Diponegoro
ditahan di Benteng Manado untuk sementara waktu agar tidak ketemu dengan
Kiai Madja. Diponegoro berada di Benteng Manado atau Fort Nieuw Amsterdam
sejak Juni 1830 hingga Juni 1833. Selanjutnya, pada tahun 1833, Diponegoro
dipindahkan ke Makassar secara diam-diam dan ditempatkan di Benteng Fort
Rotterdam selama sebelas tahun. Diponegoro menolak upaya Hindia Belanda
untuk memindahkannya ke tempat pengasingan baru dan ingin menghabiskan
akhir hayatnya di Makassar.[24]
Pada Maret 1849, enam tahun sebelum kematian Diponegoro, putra
keduanya bernama Raden Mas Sarkumo yang berusia 14 tahun, meninggal karena
sakit dan dimakamkan di sebidang tanah kecil milik Hindia Belanda, di Kampung
Melayu. Setelah kematian putranya tersebut, Diponegoro kemudian berpikir
keselamatan keluarganya jika dia wafat. Dia pun menulis surat kepada Gubernur
Sulawesi Pieter Vreede Bik, agar makam putranya diberikan pagar tembok
rendah, menyiapkan makam untuk dirinya di samping pusara putranya, dan
membuat rumah berikut masjid kecil untuk istri dan pengikut-pengikutnya, meski
dirinya tidak diperkenankan keluar dari Benteng.[24]
Diponegoro kemudian meninggal pada 8 Januari 1855, pukul 06.30 pagi.
Tujuh hari kemudian, anak dan istrinya memutuskan untuk tetap tinggal di
Makassar. Menurut Peter Carey, sejarawan yang menulis tentang Diponegoro,
Gubernur Jenderal AJ Duymar van Twist mengeluarkan perintah rahasia bahwa
keluarga Diponegoro tetap diperlakukan sebagai orang dalam pengasingan dan
hanya diperbolehkan berada di Makassar, namun mereka mendapatkan tunjangan
6000 gulden yang dibayarkan melalui keraton Yogyakarta.[24]
Pada tahun 1885, sang istri yakni Raden Ayu Retnoningsih meninggal
dunia. Setelah sang istri meninggal, makam Pangeran Diponegoro bersama
makam putranya dipindahkan ke pemakaman umum yang berada di Jalan Andalas
dan Jalan Irian.[24]

l. Peninggalan bersejarah
 Keris
Pangeran Diponegoro terkenal selalu membawa kerisnya. Beberapa
keris yang dimilikinya adalah Keris Kiai Omyang (tersimpan di Museum
Sasana Wiratama-Yogyakarta), Keris Kiai Wisa Bintulu (tersimpan di Gedong
Pusaka Keraton Yogyakarta, dan Keris Kiai Nogo Siluman. Keris terakhir
tersebut itulah yang paling terkenal karena sempat hilang, namun ditemukan
di Belanda dan sudah teregister dengan nomor RV-360-8084.[25]
Pada tanggal 10 Maret 2020, Keris Kiai Nogo Siluman dikembalikan
kepada Pemerintah Republik Indonesia secara langsung oleh Raja Willem
Alexander kepada Presiden Joko Widodo.[26] Dalam dokumen kesaksian
dalam Bahasa Jawa, Sentot Prawirodirdjo, salah seorang Panglima
Diponegoro, Sentot mengaku melihat sendiri Pangeran Diponegoro
menghadiahkan Keris Kiai Naga Siluman kepada Kolonel Cleerens, utusan
Jenderal De Kock, ketika bertemu. Tulisan Sentot tersebut berhasil dibaca
oleh pelukis Raden Saleh yang juga pernah melukis tentang Pangeran
Diponegoro.[27] Keris ini kemudian oleh Cleerens menjadi persembahan
hadiah kepada Raja Willem I pada tahun 1831. Setelah itu, Keris Kiai Nogo
Siluman disimpan di Koninkelijk Kabinet van Zelfzaamheden (KKVZ).
Setelah KKVZ dibubarkan pada tahun 1883, seluruh koleksi museumnya
tersebar ke berbagai museum dan Keris Kiai Nogo Siluman kemudian
tersimpan di Museum Volkenkunde Leiden.[28]
Penemuan dan pengembalian Keris Kiai Naga Siluman membutuhkan
waktu yang lama. Pada tahun 1983, Duta Besar Belanda untuk Indonesia,
Lodewijk van Gorkom menginformasikan bahwa Keris Pangeran Diponegoro
tersimpan di ruangan bawah tanah Rijksmuseum di Amsterdam, dan meminta
untuk dikembalikan. Penggantinya, yakni Frans van Dongen menulis surat
kepada Pieter Pott, direktur museum nasional etnologi, pada tahun 1985,
meminta agar keris tersebut harus ditemukan dan dikembalikan dalam rangka
peringatan 40 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Van Dongen
kemudian menerima balasan surat dari Pott yang mengaku sudah menemukan
keberadaan keris tersebut, namun ternyata Pott salah mengidentifikasinya.[29]
Adapun keris lainnya adalah Keris Kiai Bromo Kedali dan tombak Kiai
Rodhan yang diserahkan Pangeran Diponegoro kepada Pangeran Diponegoro
II (Raden Mas Muhammad Ngarip/Abdul Majid), Keris Kiai Habit dan
tombak Kiai Gagasono milik Raden Mas Joned, Keris Kiai Blabar dan tombak
Kiai Mundingwangi milik Raden Mas Raib, Keris Kiai Wreso Gemilar dan
tombak Kiai Tejo (Raden Ayu Mertonegoro), Keris Kiai Hatim dan tombak
Kiai Simo milik Raden Ayu Joyokusumo, tombak Kiai Dipoyono milik Raden
Ajeng Impun, dan tombak Kiai Bandung milik Raden Ajeng Munteng.[30]
Keris lain yang dianggap paling sakti adalah Keris Kiai Ageng
Bondoyudo. Keris ini hasil peleburan dari tiga pusaka, yakni Keris Kiai
Surotomo, tombak Kiai Barutobo, dan Keris Kiai Abijoyo. Keris Kiai Ageng
Bondoyudo ini selalu dirawat oleh Pangeran Diponegoro sendiri hingga akhir
hayatnya dan dikuburkan bersamaan dengan jasadnya, pada 8 Januari 1855.[30]
 Tongkat
Pangeran Diponegoro juga memiliki tongkat yang dinamakan Kanjeng
Kiai Tjokro, yang saat ini disimpan di Galeri Nasional Indonesia. Tongkat ini
telah dikembalikan oleh Michiel dan Erica Lucia Baud, kepada Mendikbud
Anies Baswedan pada tahun 2015.[31]
Tongkat ini memiliki simbol cakra sepanjang 153 sentimeter yang
terletak di ujung tongkatnya. Tongkat ini diperoleh Pangeran Diponegoro dari
hasil dari warga selama berziarah di selatan Jawa, termasuk Yogyakarta, pada
tahun 1815.[10] Tongkat ini selalu dibawa oleh sang Pangeran setiap berziarah
ke tempat suci untuk berdoa. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, salah
satu panglimanya, yakni Pangeran Dipati Notoprojo, cucu Nyi Ageng Serang,
memegang tongkat ini dan oleh Pangeran Dipati Notoprojo diberikan sebagai
hadiah kepada Gubernur Jenderal J.C Baud pada tahun 1834 untuk merebut
hati pemerintah Hindia Belanda. Tongkat ini kemudian disimpan oleh salah
satu keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jean Chretien
Baud selama 181 tahun. J.C Baud adalah gubernur jenderal Hindia Belanda
ke-44, yang berkuasa pada tahun 1834-1836.[31]
 Tombak
Tombak Kiai Rodhan adalah salah satu senjata pusaka Pangeran
Diponegoro yang telah dikembalikan ke Indonesia tahun 1978 dan saat ini
tersimpan. Tombak ini terbuat dari kayu dengan dilapisi benang hitam dan
dipercaya dapat memberikan perlindungan dan peringatan datangnya bahaya.
Pada mata tombak terdapat bagian yang dilapisi emas dan pada bagian
pangkal matanya terdapat empat relung yang berhias permata, namun dua
buah permatanya telah hilang ketika benda ini dikembalikan ke Indonesia.[31]
Tombak ini lepas dari genggaman Pangeran Diponegoro ketika ia
disergap di pegunungan Gowong, Kedu, oleh pasukan gerak cepat ke-11
Mayor A.V Michiels. Tombak ini bersama dengan pelana kuda Pangeran
Diponegoro dikirim ke Raja Belanda Willem I (1813-1840) sebagai rampasan
perang.[31]
 Benda lainnya
Menurut sejarawan Peter Carey, selain keris dan tongkat, saat ini masih
ada dua peninggalan Pangeran Diponegoro, yakni surat asli sang Pangeran
kepada ibunda dan anak sulungnya serta tali kuda, yang masih tersimpan di
Belanda.[28]
Sementara itu, menurut Direktur Museum Sejarah Kolonial Bronbeek di
Arnhem, Pauljac Verhoeven, benda peninggalan Pangeran Diponegoro yakni
tali kekang dan pelana yang telah memiliki nomor arsip telah dikembalikan
kepada pemerintah Indonesia.[32]

m. Penghargaan sebagai Pahlawan


Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan, di
beberapa kota besar di Indonesia terdapat Jalan Pangeran Diponegoro. Kota
Semarang juga memberikan apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro tetap
senantiasa hidup. Nama-nama tempat yang menggunakan nama Pangeran
Diponegoro antara lain Stadion Diponegoro, Jalan Pangeran Diponegoro,
Universitas Diponegoro (Undip), maupun Kodam IV/Diponegoro. Selain itu, ada
beberapa patung yang dibuat, seperti Patung Diponegoro di Undip Pleburan,
Patung Diponegoro di Kodam IV/Diponegoro serta di pintu masuk Undip
Tembalang.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, pemerintah pernah
menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran
Diponegoro pada tanggal 8 Januari 1955, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan
Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui
Keppres No.87/TK/1973.
Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni 2013,
UNESCO menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia
(Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang dibuat
sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara,
pada 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro
yang memiliki nama asli Raden Mas Antawirya.[33][34]
Selain itu, untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro dalam
memperjuangkan kemerdekaan, didirikanlah Museum Monumen Pangeran
Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Sasana Wiratama" di
Tegalrejo, Yogyakarta, yang menempati bekas kediaman Pangeran Diponegoro.

5. HAMKA

17 Februari 1908
Lahir
Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam, Sumatra Barat
Meninggal 24 Juli 1981 (umur 73) Jakarta
Nama pena Hamka
Kebangsaan Indonesia
tafsir Al-Quran, fiqih (hukum Islam), tarikh (sejarah
Tema
Islam), tasawuf, dan sastra
Angkatan Balai Pustaka
Tafsir Al-Azhar
Karya terkenal Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Di Bawah Lindungan Ka'bah
Sitti Raham
Pasangan
Sitti Khadijah
Rusydi Hamka
Irfan Hamka
Aliyah Hamka
Anak Fathiyah Hamka-Vickri
Helmi Hamka
Afif Hamka
Syakib Arsalan Hamka
Kerabat Ahmad Rasyid Sutan Mansur (kakak ipar)
Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo, populer
dengan nama penanya Hamka (bahasa Arab: ‫ر هللا‬VV‫ريم أم‬VV‫ك ك‬VV‫د المل‬VV‫ ;عب‬lahir di Nagari
Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, 17 Februari
1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah seorang ulama
dan sastrawan Indonesia. Ia berkiprah sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia
terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah
hingga akhir hayatnya. Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia
menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo,
Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk
Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan
Nasional Indonesia.
Dibayangi nama besar ayahnya Abdul Karim Amrullah, Hamka remaja sering
melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di Thawalib,
menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun melewatkan
perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah.
Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak
memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan
Hamka pergi ke Mekkah. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka
mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka
merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Dalam
pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk
meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali ke
Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah Pedoman
Masyarakat. Lewat karyanya Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck, nama Hamka melambung sebagai sastrawan.
Selama revolusi fisik, Hamka bergerilya bersama Barisan Pengawal Nagari
dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pengunungan di Sumatra Barat untuk
menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka
membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski mendapat pekerjaan di Departemen
Agama, Hamka mengundurkan diri karena terjun di jalur politik. Dalam pemilihan
umum 1955, Hamka dicalonkan Masyumi sebagai wakil Muhammadiyah dan terpilih
duduk di Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap
politik Masyumi menentang komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin
memengaruhi hubungannya dengan Sukarno. Usai Masyumi dibubarkan sesuai
Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat yang
berumur pendek, dibredel oleh Sukarno setelah menurunkan tulisan Hatta—yang
telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul "Demokrasi Kita". Seiring
meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi
kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk
dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Ia merampungkan Tafsir Al-Azhar
dalam keadaan sakit sebagai tahanan.
Seiring peralihan kekuasaan ke Soeharto, Hamka dibebaskan pada Mei
1966[1]. Ia mendapat ruang pemerintah, mengisi jadwal tetap ceramah di RRI dan
TVRI. Ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Al-Azhar.
Ketika pemerintah menjajaki pembentukan Majelis Ulama Indonesia pada 1975,
peserta musyawarah memilih dirinya secara aklamasi sebagai ketua. Namun, Hamka
memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri
Agama untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat
Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah
Kusir, Jakarta.

a. Kehidupan awal
Abdul Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender
Hijriyah: 13 Muharram 1326] di Tanah Sirah, kini masuk wilayah Nagari Sungai
Batang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Ia adalah anak pertama dari empat
bersaudara, anak pasangan Abdul Karim Amrullah "Haji Rasul" dan Safiyah. Haji
Rasul menikahi Safiyah setelah istri pertamanya, Raihana yang merupakan kakak
Safiyah meninggal di Mekkah. Raihana memberi Malik seorang kakak tiri,
Fatimah yang kelak menikah dengan Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Kembali ke Minangkabau setelah belajar kepada Ahmad Khatib Al-
Minangkabawi, Haji Rasul memimpin gelombang pembaruan Islam, menentang
tradisi adat dan amalan tarekat, walaupun ayahnya sendiri, Muhammad Amrullah
adalah seorang pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Istri Amrullah, anduang bagi
Malik, bernama Sitti Tarsawa adalah seorang yang mengajarkan tari, nyanyian,
dan pencak silat.
Di Maninjau, Hamka kecil tinggal bersama anduangnya, mendengarkan
pantun-pantun yang merekam keindahan alam Minangkabau. Ayahnya sering
bepergian untuk berdakwah. Saat berusia empat tahun, Malik mengikuti
kepindahan orangtuanya ke Padang Panjang, belajar membaca al-Quran dan
bacaan shalat di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya. Memasuki umur tujuh
tahun, Malik masuk ke Sekolah Desa.[a] Pada 1916, Zainuddin Labay El Yunusy
membuka sekolah agama Diniyah School, menggantikan sistem pendidikan
tradisional berbasis surau. Sambil mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah
Desa, Malik mengambil kelas sore di Diniyah School. Kesukaanya di bidang
bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab.
Pada 1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga
tahun belajar. Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan
Malik ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-
kitab klasik, kaidah mengenai nahwu, dan ilmu saraf. Setelah belajar di Diniyah
School setiap pagi, Malik menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan
malamnya kembali ke surau. Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang
mengandalkan hafalan membuatnya jenuh. Kebanyakan murid Thawalib adalah
remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Dari
pelajaran yang diikutinya, ia hanya tertarik dengan pelajaran arudh yang
membahas tentang syair dalam bahasa Arab.[2] Kendati kegiatannya dari pagi
sampai sore hari dipenuhi dengan belajar, Hamka kecil terkenal nakal. Ia sering
mengganggu teman-temannya jika kehendaknya tidak dituruti. Karena gemar
menonton film, Malik pernah mengelabui ayahnya, diam-diam tidak datang ke
surau untuk mengintip film bisu yang sedang diputar di bioskop.[3]

b. Perceraian orang tua


Saat berusia 12 tahun, Malik menyaksikan perceraian orang tuanya.
Walaupun ayahnya adalah penganut agama yang taat, kerabat dari pihak ibunya
masih menjalankan praktik adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hari-hari
pertama setelah orang tuanya bercerai, Malik tak masuk sekolah. Ia
menghabiskan waktu berpergian mengelilingi kampung yang ada di Padang
Panjang. Ketika berjalan di pasar, ia menyaksikan seorang buta yang sedang
meminta sedekah. Malik yang iba menuntun dan membimbing peminta itu
berjalan ke tempat keramaian untuk mendapatkan sedekah, hingga
mengantarkannya pulang. Namun, ibu tirinya marah saat mendapati Malik di
pasar pada hari berikutnya, "Apa yang awak lakukan itu memalukan ayahmu."
Malik sempat membolos selama lima belas hari berturut-turut sampai seorang
gurunya di Thawalib datang ke rumah untuk mengetahui keadaan Malik.
Mengetahui Malik membolos, ayahnya marah dan menamparnya.
Dibayang-bayangi ketakutan terhadap ayahnya, Malik kembali memasuki
kelas belajar seperti biasa. Pagi belajar di Sekolah Diniyah, pulang sebentar,
berangkat ke Thawalib dan kembali ke rumah menjelang Magrib untuk bersiap
pergi mengaji. Sejak ia menemukan bahwa gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy
membuka bibliotek, perpustakaan persewaan buku, Malik sering menghabiskan
waktunya membaca. Melalui buku-buku pinjaman, ia membaca karya sastra
terbitan Balai Pustaka, cerita China, dan karya terjemahan Arab. Setelah rampung
membaca, Malik menyalin versinya sendiri. Ia pernah mengirim surat cinta yang
disadurnya dari buku-buku kepada teman perempuan sebayanya. Karena
kehabisan uang untuk menyewa, Malik menawarkan diri kepada percetakan milik
Bagindo Sinaro, tempat koleksi buku diberi lapisan karton sebagai pelindung,
untuk mempekerjakannya. Ia membantu memotong karton, membuat adonan lem
sebagai perekat buku, sampai membuatkan kopi, tetapi sebagai upahnya, ia
meminta agar diperbolehkan membaca koleksi buku yang akan disewakan. Dalam
waktu tiga jam sepulang dari Diniyah sebelum berangkat ke Thawalib, Malik
mengatur waktunya agar punya waktu membaca. Karena hasil kerjanya yang rapi,
ia diperbolehkan membawa buku baru yang belum diberi karton untuk dikerjakan
di rumah. Namun, karena Malik sering kedapatan sering membaca buku cerita,
ayahnya menanyakan kepada dirinya apakah akan "menjadi orang alim nanti atau
menjadi orang tukang cerita". Setiap mengetahui ayahnya memperhatikan, Malik
meletakkan buku cerita yang dibacanya, mengambil buku agama sambil berpura-
pura membaca.
Permasalahan keluarga membuat Malik sering berpergian jauh seorang diri.
Ia meninggalkan kelasnya di Diniyah dan Thawalib, melakukan perjalanan ke
Maninjau untuk mengunjungi ibunya. Malik didera kebingungan untuk memilih
tinggal dengan ibu atau ayahnya. "Pergi ke rumah ayah bertemu ibu tiri, ke rumah
ibu, ada ayah tiri." Mengobati hatinya, Malik mencari pergaulan dengan anak-
anak muda Maninjau. Ia belajar silat dan randai, tetapi yang disenanginya adalah
mendengar kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan bersama alat-alat musik
tradisional Minangkabau. Ia berjalan lebih jauh sampai ke Bukittinggi dan
Payakumbuh, sempat bergaul dengan penyabung ayam dan joki pacuan kuda.
Hampir setahun ia terlantar hingga saat ia berusia 14 tahun, ayahnya merasa resah
dan mengantarnya pergi mengaji kepada ulama Syekh Ibrahim Musa di Parabek,
sekitar lima kilometer dari Bukittinggi. Di Parabek, untuk pertama kalinya Hamka
hidup mandiri.
Di Parabek, Malik remaja berlajar memenuhi kebutuhan harian sebagai
santri. Meskipun belajar menyesuaikan diri, Malik masih membawa
kenakalannya. Malik pernah usil menakuti penduduk sekitar asrama yang
mengaitkan wabah demam di Parabek dengan keberadaan hantu yang berwujud
seperti hariamau. Karena tak percaya dan ingin membuktikan bahwa hal tersebut
hanya takhayul, ia menyamar menyerupai ciri-ciri hantu pada malam hari.
Dengan mengenakan sorban dan mencoret-coret mukanya dengan kapur, Malik
berjalan keluar asrama. Orang-orang yang melihat dan ketakutan berencana
membuat perangkap keesokan hari, tetapi Malik segera memberi tahu teman
seasramanya tentang keusilannya, meyakinkan bahwa hantu itu tidak ada. Selama
berasrama, Malik memanfaatkan hari Sabtu yang dibebaskan untuk keluar dengan
pergi berkeliling kampung sekitar Parabek. Karena tertarik mendengar pidato
adat, Malik sering menghadiri pelantikan-pelantikan penghulu, saat para tetua
adat berkumpul. Ia mencatat sambil menghafal petikan-petikan pantun dan diksi
dalam pidato adat yang didengarnya.[4] Demi mendalami minatnya, ia mendatangi
beberapa penghulu untuk berguru.[5][6]

c. Perantauan
Malik sering menempuh perjalanan jauh sendirian, berkelana ke sejumlah
tempat di Minangkabau. Ayahnya memberinya julukan "Si Bujang Jauh" karena
ia selalu menjauh dari orang tuanya sendiri. Dalam usia baru menginjak 15 tahun,
Malik telah berniat pergi ke pulau Jawa. Ia melarikan diri dari rumah, tanpa
diketahui ayahnya dan hanya pamit kepada anduangnya di Maninjau. Dari
Maninjau, Malik memulai perjalanan dengan bekal ongkos pemberian andungnya.
Ia menempuh perjalanan melalui darat dengan singgah terlebih dahulu di
Bengkulu, berencana menemui kerabat satu suku dari ibunya untuk meminta
tambahan ongkos. Namun, dalam perjalananya, Malik didera penyakit beruntun.
Ia ditimpa penyakit malaria saat sampai di Bengkulu. Dalam kondisi sakit dan
tubuhnya mulai diserang cacar, Malik meneruskan perjalanan ke Napal Putih dan
bertemu kerabatnya. Setelah dua bulan meringkuk menunggu kesehatannya pulih,
kerabatnya memulangkan Malik ke Maninjau. Bekas luka cacar menyisakan
bopeng di sekujur tubuhnya membuat Malik remaja minder dan dicemooh teman-
temannya.
Pada Juli 1924, Malik kembali memulai perjalanannya ke Jawa. Ia
menumpang di rumah Marah Intan sesama perantau Minang dan bertemu adik
ayahnya, Jafar Amrullah di Yogyakarta. Pamannya itu membawanya ke tempat
Ki Bagus Hadikusumo untuk belajar tafsir Al-Quran. Hamka menemukan
keasyikan belajar dengan Ki Bagus yang mengupas makna ayat-ayat Al-Quran
secara mendalam. Dari Ki Bagus, Malik mengenal Sarekat Islam dan bergabung
menjadi anggota. Melalui kursus-kursus yang diadakan Sarekat Islam, ia
menerima ide-ide tentang gerakan sosial dan politik. Di antara gurunya waktu itu
adalah HOS Tjokroaminoto dan Suryopranoto. Cokroaminoto menaruh perhatian
kepada Malik karena semangatnya dalam belajar. Malik mengikuti kelas dengan
tekun, sering bertanya dan menyalin pelajaran yang didapatnya.
Pergerakan Islam di Jawa telah memberi pengaruh besar bagi Malik. Dari
pengalamannya di Yogyakarta, ia menemukan Islam sebagai suatu yang hidup,
suatu perjuangan, dan suatu pendirian yang dinamis. Ketika perhatian umat Islam
di Minangkabau terseret pada perdebatan praktik ritual Islam, ia mendapati
organisasi dan tokoh-tokoh pergerakan di Jawa memusatkan diri pada perjuangan
untuk memajukan umat Islam dari keterbelakangan dan ketertindasan. Setelah
melewatkan waktu enam bulan di Yogyakarta, Malik bertolak ke Pekalongan
untuk bertemu dan belajar kepada kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.[7]
Pertemuannya dengan Sutan Mansur mengukuhkan tekadnya untuk terjud dalam
perjuangan dakwah. Dari kakak iparnya, Malik mendapatkan kesempatan
mengikuti berbagai pertemuan Muhammadiyah dan berlatih berpidato di depan
umum.
Di Pekalongan, Malik bertemu ayahnya yang urung berangkat ke Mesir
setelah ditundanya Kongres Kekhalifahan Internasional. Kegiatan
Muhammadiyah menarik perhatian Haji Rasul sehingga saat kembali ke
Minangkabau bersama Jafar Amrullah dan Marah Intan, Haji Rasul menginisiasi
pendirian Muhammadiyah di Sungai Batang. Perkumpulan yang telah berdiri
lebih dulu bernama Sendi Aman bertukar nama menjadi Muhammadiyah untuk
diakui sebagai cabang dari Yogyakarta. Dari sinilah Muhammadiyah menyebar ke
seluruh daerah Minangkabau dengan bantuan bekas murid-muridnya. Dalam
rangka mempersiapkan mubalig dan guru Muhammadiyah, Haji Rasul
menggerakkan murid-murid Thawalib membuka Tabligh Muhammadiyah di
Sungai Batang. Malik memimpin latihan pidato yang diadakan kursus itu sekali
sepakan. Ia membuatkan pidato bagi yang tak pandai mengarang. Pidato-pidato
yang bagus ia muat dalam majalah Khatibul Ummah yang dirintisnya dengan tiras
500 eksemplar. Malik melengkapi dan menyunting bagian pidato yang
diterimanya sebelum diterbitkan. Gurunya Zainuddin dan pemilik percetakan
Bagindo Sinaro ikut membantu pembuatan dan distribusi majalah. Beberapa
orang belajar kepada Malik membuat materi pidato. Dari kesibukannya menulis
dan menyunting naskah pidato, Malik mulai mengetahui dan menuangkan
kemampuannya dalam menulis. Namun, karena alasan keuangan, penerbitam
Khatibul Ummah hanya bertahan tiga nomor.[8]
Usaha memperkenalkan Muhammadiyah ke daerah Minangkabau
memperoleh banyak tantangan dari kalangan Thawalib yang telah dipengaruhi
komunis. Pengaruh paham itu mempengaruhi sikap murid-murid Thawalib
terhadap Belanda secara radikal ketimbang ideologi yang berakar dari
materialisme. Pada saat yang sama, golongan anti-komunis membatasi kegiatan
mereka pada perjuangan pembaruan pendidikan tanpa menentang kedudukan
Belanda secara terbuka. Peralihan perhatian ke bidang politik di kalangan guru
dan pelajar Thawalib membuat Haji Rasul kecewa sehingga ia menolak mengajar
di lembaga itu, walaupun lembaga itu kelak bersih dari golongan komunis.
Pada pengujung 1925, pengurus besar Muhammadiyah di Yogyakarta
mengutus Sutan Mansur ke Minangkabau. Sejak itu, Malik selalu mendampingi
Sutan Mansur berdakwah dan merintis cabang Muhammadiyah. [9] Bersama Sutan
Mansur, ia ikut mendirikan Muhammadiyah di Pagar Alam, Lakitan, dan Kurai
Taji.[10] Ketika Syekh Jalaluddin Rajo Endah IV Angkat menggantikan Syekh
Mohammad Jamil Jaho sebagai ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang,
Malik diangkat sebagai wakil ketua.[11]

d. Penerimaan dan ibadah haji

Meskipun disambut baik saat kepulangannya, Malik dianggap hanya


sebagai tukang pidato daripada ahli agama di kampung halamannya. Dalam
membacakan ayat atau kalimat bahasa Arab, Malik dinilai tidak fasih karena
tidak memahami tata letak bahasa, nahwu, dan sharaf. Kekurangannya dikait-
kaitkan karena ia tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di Thawalib.
Menurut kesaksian Hamka, ia memang kerapkali salah dalam melafalkan bahasa
Arab, walaupun ketika menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia hasil
terjemahannya jauh lebih bagus daripada teman-temannya. Malik berasa kecil
hati dengan dirinya karena tidak ada pendidikan yang diselesaikannya. Ayahnya
menasihatkan agar ia mengisi dirinya dengan ilmu pengetahuan karena "pidato-
pidato saja adalah percuma". Saat Muhammadiyah membuka sekolah di Padang
Panjang, ia bersama banyak teman-temannya yang pulang dari Jawa ikut
melamar sebagai guru. Para pelamar diharuskan mengisi formulir yang
menerangkan nama, alamat, dan pendidikan disertai lampiran bukti kelulusan
seperti diploma atau ijazah. Pada hari pengumuman pelamar yang lolos sebagai
guru, Malik tidak lolos karena tidak memiliki diploma. Hal ini menambah
kekecewaan Malik sejak kepulangannya.
Kepada andungnya, Malik sering menceritakan kesedihan dan perasaannya.
Dari andungnya, Malik diceritakan bahwa ayahnya pernah berjanji akan
mengirimnya belajar ke Mekkah selama sepuluh tahun. Karena takut kepada
ayahnya, Malik merencanakan sendiri kepergiannya ke Mekkah. Ia tak
menuturkan ke mana hendak pergi kepada ayahnya, hanya berkata hendak pergi
ke tempat yang jauh. Karena keterbatasan ongkos, Malik berjalan kaki dari
Maninjau ke Padang. Ketika kapal yang membawanya singgah di pelabuhan
Belawan, Malik bertemu temannya, Isa, yang membantu ongkos perjalanannya.
Pada permulaan Februari 1927, bertepatan dengan keberangkatan jemaah haji
Indonesia pada bulan Rajab, Malik berangkat dari Pelabuhan Belawan menuju
Jeddah. Selama di kapal, ia amat dihormati lantaran kepandaiannya membaca Al-
Quran. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan ajengan. Dalam memoarnya,
Hamka mengenang dirinya ditawari kawin dengan seorang gadis Bandung yang
memang telah menawan hatinya, tetapi ia menolak. Sewaktu itu, kata Hamka,
biasa saja orang menikah di atas kapal.[12]
Sampai di Mekkah, ia mendapat tumpangan di rumah pemandu haji
"Syekh" Amin Idris. Untuk memenuhi biaya hidup, ia bekerja di percetakan Tuan
Hamid Kurdi, mertua ulama Minangkabau Ahmad Chatib. Di tempat ia bekerja,
ia dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan buletin Islam dalam bahasa
Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya. Menjelang pelaksanaan
ibadah haji berlangsung, ia bergabung dengan perkumpulan orang-orang
Indonesia Persatuan Hindia-Timur. Ia memiliki bahasa Arab yang fasih. Ketika
perkumpulan itu berencana menyelenggarakan manasik haji bagi jemaah
Indonesia, Malik dipercaya memimpin anggota delegasi menemui Amir Faishal,
putra Ibnu Saud dan Imam Besar Masjidil Haram Abu Samah. Pengajarannya
berlangsung di kompleks Masjidil Haram. Malik sempat memberikan pelajaran
agama sebelum ditentang oleh pemandu hajinya.
Ketika waktu berhaji tiba di tengah musim panas, Malik sempat ditimpa
sakit kepala dan tak dapat berjalan ke mana-mana. Ia tak sadarkan diri hingga
lepas tengah malam. Begitu mudah orang mati, sampai ia merasa barangkali
tentu akan mati. Selepas menunaikan haji, ketika jemaah haji menurut kebiasaan
menghadap syekh masing-masing untuk dipasangkan sorban dan diberikan nama,
Malik mengelak. Ia menyebut kebiasaan itu sebagai "perbuatan khurafat".
Sempat berencana menetap di Mekkah, Malik memutuskan pulang setelah
bertemu Agus Salim. Karena Agus Salim urung mengikuti Kongres Islam
Sedunia yang batal diadakan, waktu yang dimiliki Agus Salim dimanfaatkan
Malik untuk menambah pengetahuan tentang perkembangan politik Indonesia.
Hampir seminggu Malik menyediakan diri sebagai khadam atau pelayan saat
Agus Salim menasihatinya untuk segera pulang. "Banyak pekerjaan yang jauh
lebih penting menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau
lakukan. Karenanya, akan lebih baik mengembangkan diri di Tanah Airmu
sendiri", ujar Agus Salim.

e. Menulis dan mengarang


Malik kembali ke Tanah Air setelah tujuh bulan bermukim di Mekkah.
Namun, bukannya pulang ke Padang Panjang, ia memilih turun di Medan, kota
tempat berlabuhnya kapal yang membawanya pulang. Medan menandai awal
terjunnya Malik ke dalam dunia jurnalistik. Ia menulis artikel tentang
pengalamannya menunaikan ibadah haji untuk Pelita Andalas, surat kabar milik
orang Tionghoa. Ia menulis, untuk pertama kalinya, mengenai Sumatra Thawalib
dan gerakan reformasi Islam di Minangkabau, yang dipimpin ayahnya sendiri.
Dari artikel-artikel awal itulah, Hamka menemukan suaranya sebagai jurnalis.
Muhammad Ismail Lubis, pimpinan majalah Seruan Islam mengirimkan
permintaan kepada Malik untuk menulis. Selain menulis untuk surat kabar dan
majalah lokal, Malik mengirimkan tulisannya ke Suara Muhammadiyah pimpinan
Abdul Azis dan Bintang Islam pimpinan Fakhroedin. Namun, karena penghargaan
atas karya tulis saat itu masih demikian kecil, Malik mengandalkan honor dari
mengajar untuk menutup biaya hidupnya. Ia memenuhi permintaan mengajar dari
pedagang-pedagang kecil di Kebun Bajalinggi. Waktu itulah ia menyaksikan
kehidupan kuli dari dekat yang kelak menggerakkannya menulis Merantau Ke
Deli.[13]
Sewaktu di Medan, kerabat dan ayahnya berkali-kali berkirim surat
memintanya pulang. Malik baru memutuskan pulang setelah mendapat bujukan
kakak iparnya, Sutan Mansur. Sutan Mansur singgah di Medan dalam perjalanan
pulang dari Lhokseumawe pada akhir 1927. Malik menyusul ayahnya di Sungai
Batang—rumah mereka di Padang Panjang luluh lantak akibat gempa bumi
setahun sebelumnya. Setiba di kampung halamannya, Malik bertemu ayahnya
secara mengharukan. Ayahnya terkejut mengetahui Malik telah berangkat haji
dan pergi dengan ongkos sendiri. "Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa begitu
mulia dan suci maksudmu? Abuya ketika itu sedang susah dan miskin."
Penerimaan ayahnya membuat Malik sadar betapa besar kasih ayahnya terhadap
dirinya. Menebus rasa bersalah, Malik bersedia memenuhi permintaan ayahnya
untuk dinikahkan. Ia menikah dengan Sitti Raham pada 5 April 1929.
Di Sungai Batang, Malik menerbitkan romannya yang pertama dalam
bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah. Roman itu mulai disusunnya ketika
di Medan. Ia menunjukkan Si Sabariyah pertama kali di depan ayahnya, Jamil
Jambek, dan Abdullah Ahmad dengan membacakannya sewaktu mereka
berkumpul dalam Rapat Besar Umat Islam di Bukittinggi pada Agustus 1928.
Dari Abdullah Ahmad, ia mendapat motivasi untuk terus mengarang dengan
memasukkan nilai-nilai agama ke dalam roman-romannya. Ketika terbit, Si
Sabariyah laris di pasaran hingga dicetak tiga kali. Kenyataan ini melecut
semangatnya dalam melaksanakan kewajiban dakwah melalui tulisan. [14] Tumbuh
kepercayaan dirinya bahwa ia memiliki kualitas tersendiri karena menguasai
dengan baik teknik-teknik lisan dan tulisan.[15] Dari honor Si Sabariyah, Malik
membiayai pernikahannya kelak. Setelah menikah, Malik menulis kisah Laila
Majnun yang dirangkai Malik "dengan khayalannya" setelah membaca hikayat
Arab "dua halaman". Pada 1932, Balai Pustaka, penerbit utama kala itu
menerbitkan Laila Majnun dengan ketentuan perubahan ejaan dan nama tokoh.
Penerimaan Balai Pustaka membesarkan hatinya dan memacunya untuk lebih giat
lagi menulis dan mengarang.

f. Muhammadiyah
Setelah tiga bulan menikah, Malik bersama istrinya pindah ke Padang
Panjang. Dalam kepengurusan Muhammadiyah, ia menjabat sebagai Ketua
Muhammadiyah Padang Panjang dan merangkap sebagai pimpinan Tabligh
School setingkat madrasah tsanawiyah yang diadakan Muhammadiyah.[16]
Pengajarannya menempati gedung Muhammadiyah di Guguk Malintang setiap
selasa malam dan dihadiri banyak orang.[17] Sebagai wadah pembentukan kader-
kader Muhammadiyah, mata pelajaran Tabligh School berkisar tentang
kepemimpinan, strategi dakwah, dan penyebaran dakwah Muhammadiyah. Malik
mengajar bersama Sutan Mansur dan Sutan Mangkuto. Caranya mengajar
dianggap baru, berbeda dengan yang lain. Salah seorang muridnya, Malik Ahmad
kelak menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah.
Ketika diadakannya Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo pada awal
1929, Malik datang sebagai peserta. Sejak itu, ia tidak pernah absen menghadiri
Kongres Muhammadiyah berikutnya. Dalam kunjungannya di Solo, ia bertemu
dengan tokoh pimpinan Muhammadiyah, Fakhruddin. Hamka menyebut
Fakhruddin sebagai salah seorang yang mempengaruhi jalan pikirannya dalam
agama. "Keberanian dan ketegasannya menjadi pendorong bagi saya untuk berani
dan tegas pula." Dalam perjalanannya di Bandung, Hamka bertemu A. Hassan
dan Mohammad Natsir. Ketika Muhammadiyah mengadakan kongres di
Bukittinggi pada 1930, Malik berpidato tentang "Agama Islam dalam Adat
Minangkabau". Dalam kongres yang bersifat nasional, baru Hamka sebagai
pembicara yang mencoba mempertautkan adat dengan agama. Pada kongres
Muhammadiyah ke-20 tahun berikutnya di Yogyakarta, Malik menyampaikan
pidato mengenai perkembangan Muhammadiyah di Sumatra. Ia mampu memukau
sebagian besar peserta kongres yang hadir. Pidatonya membuat banyak orang
yang menitikkan air mata. Pada 1931, usai membuka cabang Muhammadiyah di
Bengkalis, ia dipercayakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk
mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar.[18][19]
Selama di Makassar, Hamka sempat mengeluarkan majalah Islam Tentera
sebanyak empat edisi dan majalah Al-Mahdi sebanyak sembilan edisi.
Keberadaan Malik di Makassar dimanfaatkan oleh pimpinan Muhammadiyah
setempat.[20] Malik mendirikan Tabligh School yang serupa di Padang Panjang.
Menggantikan sistem pendidikan tradisional, Tabligh School menawarkan pola
pendidikan baru secara modern dan sistematis dengan mengambil model
pendidikan barat, tanpa melepaskan diri dari nilai-nilai agama. Sepeninggal
Hamka pada 1934, Tabligh School di Makassar diteruskan menjadi Muallimin
Muhammadiyah di bawah asuhan Muhammadiyah. Dari pergaulannya dengan
masyarakat Makassar, ia mendapat inspirasi dalam menulis novelnya kelak,
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Kembali ke Padang Panjang pada 1934, Malik diserahi untuk memimpin
Kulliyatul Mubalighin sebagai ganti Tabligh School yang mengalami
kemunduran sepeninggalnya.[21] Dengan lama belajar tiga tahun, lembaga ini
dimaksudkan untuk menyiapkan mubalig dan guru sekolah menengah tingkat
tsanawiyyah. Melalui Kulliyatul Mubalighin, ia mengajarkan murid-murinya
berpidato dan mengarang.[22]
Pada 1934, ia diangkat menjadi anggota Majelis Konsul Muhammadiyah
Sumatra Tengah—yang meliputi Sumatra Barat, Jambi, dan Riau.

g. Pedoman Masyarakat
Dari pengalamannya di Padang Panjang dan Makassar, Hamka merasa
bakatnya sebagai pengarang lebih baik ia manfaatkan ketimbang menjadi guru.
Pada Januari 1936, Hamka berangkat ke Medan, memelopori jurnalistik Islam dan
menekuni karang-mengarang. Ia memenuhi permintaan Muhammad Rasami,
tokoh Muhammadiyah Bengkalis untuk memimpin Pedoman Masyarakat di
bawah Yayasan Al-Busyra pimpinan Asbiran Yakub. [23] Kulliyatul Mubalighin
yang ditinggalkannya diteruskan oleh Abdul Malik Ahmad sampai 1946.[24]
Pedoman Masyarakat beroplah 500 eksemplar ketika terbit perdana pada 1935.[25]
Oplahnya melonjak hingga 4.000 eksemplar setelah Malik menjadi pemimpin
redaksi pada 22 Januari 1936.[26][27] Majalah itu mengupas pengetahuan umum,
agama, dan sejarah. Melalui kedudukannya sebagai pemimpin redaksi, Hamka
menjalin hubungan intelektual dengan sejumlah tokoh pergerakan. [28][29] Pada
Februari 1936, ia menyindir sikap pemerintah kolonial terhadap Hatta dan Sjahrir
dengan mengasingkan mereka ke Boven Digul. Melalui Pedoman Masyarakat
pula, Malik untuk pertama kalinya memperkenalkan nama pena "Hamka".
Hamka mengisi beberapa rubrik dan menulis cerita bersambung.
Mengangkat masalah penggolongan dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan
harta, pangkat, dan keturunan, ia menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah. Hamid
terhalang menikahi Zainab karena perbedaan status antara kedua keluarga.
Melihat animo masyarakat yang luas, Balai Pustaka menerbitkan Di Bawah
Lindungan Ka'bah pada 1938. Setelah Di Bawah Lindungan Ka'bah, Hamka
menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck tentang percintaan antara Zainuddin
dan Hayati yang terhalang adat dan berakhir dengan kematian. Sewaktu dimuat
sebagai cerita bersambung, Hamka menuturkan ia mendapat banyak surat dari
pembaca, sebagian meminta agar Hayati hati "jangan sampai dimatikan",
sebagian mengungkapkan kesan mereka "seakan-akan Tuan menceritakan
nasibku sendiri". Namun, sejumlah pembaca Muslim menolak Van Der Wijck
karena menurut mereka seorang ulama tak pantas menulis roman percintaan. Ia
pernah dijuluki kiai cabul.[30] Hamka membela diri lewat tulisan di Pedoman
Masyarakat pada 1938. Ia menyatakan, tak sedikit roman yang berpengaruh
positif terhadap pembacanya. Ia merujuk pada roman 1920-an dan 1930-an yang
mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya
pembedaan kelas.

h. Pendudukan Jepang dan pasca-kemerdekaan


Setelah Jepang mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda dan
menduduki Medan pada 13 Maret 1942, majalah Pedoman Masyarakat berhenti
terbit.[31] Sembari memfokuskan perhatiannya memimpin Muhammadiyah,
Hamka berusaha mempertahankan Muhammadiyah dari pembubaran.
Kedudukan Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah menjadi perhatian
Jepang. Pada 1944, Jepang mengangkatnya menjadi anggota Chuo Sangi-in untuk
Sumatra, yaitu menjadi penasehat dari Chuokan Sumatra Timur Letnan Jendral T.
Nakashima. Ia menerima pengangkatannya karena percaya dengan janji Jepang
yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun, sikap kompromistis
dan kedudukannya dalam pemerintahan pendudukan menyebabkan Hamka
terkucil, dibenci, dan dipandang sinis oleh masyarakat. Hamka mengungkapkan
bahwa bulan Agustus sampai Desember 1945 adalah masa yang paling pahit
selama hidupnya, berada di tengah kebencian dan penghinaan sampai-sampai di
depan anak-anaknya ia berkata, "sekiranya tidak ada iman, barangkali ayah sudah
bunuh diri." Hal ini membuatnya meninggalkan Medan dan kembali ke Padang
Panjang. Hamka tiba di Aur Tajungkang, Bukittinggi pada 14 Desember 1945.
Kembali ke Sumatra Barat, Hamka menulis untuk membuktikan bahwa
dirinya bukan kaki tangan penjajah, melainkan bagian dari rakyat yang
menginginkan perubahan. Pada masa ini terbit buku-bukunya, seperti Negara
Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat
Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita.[32] Ketika
berlangsung Konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang pada 22 Mei 1946,
Hamka terpilih sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatra Barat,
menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto yang diangkat menjadi Bupati Solok. Posisi
sebagai ketua Muhammadiyah membuat Hamka mempunyai banyak kesempatan
mengunjungi cabang-cabang Muhammadiyah untuk meningkatkan kegiatan
penyiaran Islam.
Kiprah Hamka dalam perjuangan nasional kian meningkat berbarengan
dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda ke Tanah Air.
Selama perang kemerdekaan, Hamka bersama para pemimpin dan para pejuang
lainnya ambil peranan melawan Belanda. Menurut Emzita, seorang jurnalis yang
mengikuti perang gerilya pasca-kemerdeaan, Hamka melakukan kegiatan "tablig
revolusi". Ia menjadi penghubung krusial di antara ulama dengan kelompok-
kelompok pejuang. Hamka ikut mendirikan Barisan Pengawal Nagari dan Kota
(BPNK), pasukan rakyat yang besar sekali perananya dalam perang gerilya
melawan pasukan Belanda di Sumatra Barat. Ia bergerilya masuk-keluar hutan,
mengelilingi hampir seluruh nagari di Sumatra Barat dan Riau untuk
mengobarkan semangat perjuangan. Tatkala Front Pertahanan Nasional (FPN)
dibentuk secara resmi di Sumatra Barat pada 12 Agustus 1947, [33] Hamka ditunjuk
oleh Muhammad Hatta sebagai salah seorang pimpinan. Bersama-sama dengan
pimpinan FPN lain, yaitu Khatib Sulaiman, Rasuna Said dan Karim Halim, FPN
di Sumatra Barat berhasil menghimpun tidak kurang dari 500.000 pemuda yang
berusia antara 17–35 tahun.[34][35][36]
Saat tentara Belanda menduduki Padang Panjang tahun 1948, Hamka
mengungsikan keluarganya ke Sungai Batang. Selama berbulan-bulan, Hamka tak
bertemu anak-anaknya. Putra Hamka, Rusydi Hamka menuturkan, mereka hanya
bisa memakan ubi dan bubur. "Waktu itulah, Aliyah nyaris menemui ajalnya
karena terlalu sering mengkonsumsi ubi, membuat Aliyah terserang penyakit."

i. Pindah ke Jakarta
Pada bulan Desember 1949, Hamka pindah bersama keluarganya ke
Jakarta. Ia semula menyewa rumah milik keluarga Arab di Jalan Toa Hong II,
Kebun Jeruk.[37] Untuk memulai hidup, Hamka mengandalkan honorarium buku-
bukunya yang diterbitkan di Medan sambil mengirim tulisan untuk surat kabar
Merdeka dan majalah Pemandangan. Dalam surat kabar Abadi, Hamka
mengasuh rubrik "Dari Perbendaharaan Lama" yang terbit dalam edisi Minggu.
Beberapa karangannya sempat terbit majalah Mimbar Indonesia yang dipimpin
H.B. Jassin dan majalah Hikmah.
Ia diangkat sebagai pegawai Kementerian Agama yang pada waktu itu
menterinya dipimpin KH Wahid Hasyim. Ia diserahi tugas mengajar di beberapa
perguruan tinggi Islam. Di antaranya Universitas Islam Jakarta, PTAIN
Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Universitas Muslim
Ujungpandang. Hamka banyak diundang ke berbagai tempat untuk ceramah.
Pada 1950, usai menunaikan ibadah haji, Hamka mengunjungi beberapa
negara Arab dan mendapatkan banyak inspirasi untuk menulis. Ia menulis tiga
romannya yakni Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di
Tepi Sungai Dajjah. Sejumlah konferensi internasional mendapuk Hamka
sebagai pembicara mewakili Indonesia. Pada 1952, ia mendapat undangan dari
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk mengadakan kunjungan ke
negara itu. Dari kunjunganya, ia mengarang buku Empat Bulan di Amerika. Pada
1953, ia mengikuti Misi Kebudayaan RI ke Muangthai dipimpin Ki
Mangunsarkoro. Pada 1954, ia berangkat ke Burma mewakili Departemen
Agama dalam perayaan 2.000 tahun wafatnya Siddhartha Gautama.
Berstatus sebagai pegawai pemerintah, Hamka pada saat yang sama terjun
dalam kancah politik. Ia bergabung dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi) yang menginginkan perjuangan Islam melalui mekanisme
konstitusional. Namun, aktivitasnya di dunia politik belakangan
menyebabkannya harus mengundurkan diri sebagai pegawai Departemen Agama.
Soekarno meminta para pegawai untuk memilih tetap menjadi pegawai atau
anggota partai.
Pada pemilihan umum 1955, ia terpilih sebagai anggota Dewan
Konstituante mewakili Jawa Tengah. Dalam sidang-sidang Konstituante, ia
menyampaikan pidato tentang bahasa, hak-hak azasi manusia, dan dasar negara.
Hamka tampil sebagai salah seorang penanggap pidato Presiden Soekarno
berjudul "Republika" (yang mengajak kembali ke UUD 1945 dan ide "kabinet
kaki empat"). Ia menolak gagasan Presiden Soekarno yang akan menerapkan
Demokrasi Terpimpin. Ketika terjadi perdebatan mengenai dasar negara, Hamka
bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa Anshari secara konsisten
memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia. Hamka
mengemukakan kelebihan Islam dari Pancasila, malah dari dasar apapun di
dunia. Ia meragukan pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila mencerminkan
gaya hidup ataupun falsafah hidup orang Indonesia sekalipun ia menghargai
usaha mereka yang hendak meyakinkan ini. Dalam pidatonya, Hamka
mengusulkan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kembali kalimat
tentang "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", sebagaimana
yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Perdebatan itu berujung pada
dikeluarkannya Dekrit Presiden.

j. Masjid Agung Al-Azhar


Pada tahun 1956, Hamka membangun sebuah rumah kediaman untuk anak
dan istrinya di Jalan Raden Patah, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di depan
rumahnya direncanakan akan dibangun sebuah masjid yang digagas oleh tokoh-
tokoh Masyumi, tetapi panitia pembangunan belum mendapatkan tokoh yang
tepat untuk menjadi penanggung jawab dan imam masjid tersebut. Pada saat
itulah Ghazali Syahlan dan Abdullah Salim yang diberi tugas mencari tokoh
tersebut menghadap Hamka untuk meminta kesediaannya. Permohonan ini
diterima oleh Hamka. Dalam suatu pertemuan, ia menyarankan agar masjid itu
dibangun terlebih dahulu dan juga menyarankan agar bangunannya disertai
dengan ruang kantor, ruang pertemuan, dan ruang perkuliahan yang dapat
digunakan untuk kegiatan-kegiatan dakwah, pendidikan, dan kegiatan sosial
lainnya.
Sebelum pembangunan masjid itu selesai, Hamka menghadiri undangan
sebuah konferensi Islam dari Universitas Punjab di Lahore, Pakistan pada Januari
1958. Ia hadir sebagai delegasi Indonesia dalam simposium Islam di Lahore
bersama Hasbi Ash-Shieddiqy dan KH Anwar Musaddad. Setelah itu, ia
melanjutkan perjalanan ke Kairo, Mesir sebagai tamu kenegaraan bersamaan
dengan Soekarno, yang kebetulan ketika itu sedang berkunjung ke Mesir. Dalam
kunjungannya ke Kairo, ia memenuhi undangan Forum Dunia Islam untuk
memberikan ceramah di Universitas Al-Azhar pada Februari 1958. Di gedung
Asy-Syubbanul Muslimun, Hamka menyampaikan pidato tentang pengaruh
paham Muhammad Abduh di Indonesia dan Malaya. Hamka menguraikan tentang
kebangkitan gerakan-gerakan Islam modern di Indonesia seperti Thawalib,
Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis. Dalam ceramahnya ia mendapat sambutan
luas dari kalangan akademik dan intelektual Mesir karena pemaparannya yang
dinilai sangat baik tentang pengaruh paham Muhammad Abduh terhadap
masyarakat Muslim di Asia Tenggara, yang di Mesir sendiri sangat terbatas sekali
yang mengenalnya. Setelah memberikan ceramahnya, ia melanjutkan perjalanan
ke Mekkah, Jeddah, dan Madinah. Ketika memenuhi undangan dari pihak istana
Kerajaan Arab Saudi, ia menerima berita dari Mesir yang menyatakan bahwa
Universitas Al-Azhar telah mengambil keputusan hendak memberinya gelar
Ustadziyah Fakhriyyah, gelar ilmiah tertinggi dari universitas itu yang setara
dengan Doktor Honoris Causa.
Pada Desember 1960, Syekh Mahmud Shaltut, Imam Besar Al-Azhar,
beserta rombongan datang ke Indonesia sebagai tamu kenegaraan. Dalam lawatan
ini, Mahmud Shaltut meninjau Masjid Agung Kebayoran Baru.

k. Tuduhan plagiat dan makar

Kedekatan Hamka terhadap partai Masyumi menyebabkan Hamka ikut


menjadi bulan-bulanan dari pihak PKI. Organisasi sayap PKI, Lekra
menuduhnya sebagai "plagiator " dan pemerintah waktu itu menuduhnya sebagai
orang yang akan berusaha melakukan makar. Pada September 1962, Lekra
menuduh novel Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dalah
jiplakan dari karya pengarang Prancis Alphonse Karr Sous les Tilleus. Novel
Sous les Tilleus diterjemahkan oleh Mustafa Lutfi Al-Manfaluti ke bahasa Arab.
Pada tahun 1963, novel edisi Arab ini diindonesiakan AS Alatas dengan judul
Magdalena.
Keadaan memburuk bagi Hamka ketika Panji Masyarakat memuat artikel
Muhammad Hatta berjudul "Demokrasi Kita". Setelah penerbitan Panji
Mayarakat berhenti sejak 17 Agustus 1960, tulisannya satu setengah juz
dimuatkannya dalam majalah Gema Islam sampai akhir Januari 1962, yaitu dari
juz 18 sampai juz 19. Ceramah-ceramah Hamka tiap subuh selalu dimuat secara
teratur dalam majalah hingga Januari 1964.
Pada 27 Januari 1961, bertepatan dengan awal bulan Ramadhan 1383, kira-
kira pukul 11 siang, Hamka dijemput di rumahnya, ditangkap dan dibawa ke
Sukabumi. Ia dituduh terlibat dalam perencanaan pembunuhan terhadap Presiden
Soekarno. Selama 15 hari ditahan, ia diintrogasi dalam pemeriksaan yang
digambarkannya, "tidak berhenti-henti, siang-malam, petang pagi. Istirahat hanya
ketika makan dan sembahyang saja." Melewati pemeriksaan yang kejam, Hamka
sempat berpikir untuk bunuh diri. Karena jatuh sakit, Hamka dipindahkan dari
tahanan ke RS Persahabatan. Selama perawatan di rumah sakit ini, Hamka
meneruskan penulisan Tafsir Al-Azhar. Ia mengaku wajah-wajah jemaahnya
yang terbayang ketika ia mulai mengoreskan pena untuk menulis tafsir
Hamka ditetapkan sebagai tahanan politik selama dua tahun sejak 28
Agustus 1964, diikuti tahanan rumah dua bulan dan tahanan kota dua bulan.

l. Orde Baru
Pada 30 November 1967, Pemerintah Indonesia menggagas diadakannya
Musyawarah Antar Agama. Dalam musyawarah yang dihadiri pemuka agama
yang diakui secara resmi di Indonesia, pemerintah mengusulkan pembentukan
Badan Konsultasi Antar Agama dan pernyataan bersama dalam piagam yang
isinya antara lain, ”Menerima anjuran Presiden agar tidak menjadikan umat yang
sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama lain.” Badan Konsultasi Antar
Agama berhasil dibentuk, tetapi musyawarah gagal menyepakati
penandatangangan piagam yang diusulkan pemerintah. Perwakilan Kristen
merasa berkeberatan sebab piagam tersebut dianggap bertentangan dengan
kebebasan penyebaran Injil. Dalam pidatonya, A.M. Tambunan menyampaikan
pendirian umat Kristiani bahwa menyebarkan Pekabaran Injil kepada orang yang
belum Kristen adalah "Titah Ilahi yang wajib dijunjung tinggi". Meskipun
Musyawarah Antar Agama dianggap gagal oleh banyak pihak, Hamka
menganggap musyawarah itu berhasil karena telah mengungkap "apa-apa yang
selama ini belum terungkapkan secara gamblang".
Setelah bebas dari penjara, Hamka menjadi perwakilan Indonesia dalam
beberapa pertemuan internasional. Pada 1967, ia berkunjung ke Malaysia atas
undangan Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman. Pada 1968, ia menghadiri
Peringatan Masjid Annabah di Aljazair. Dari Aljazair, ia mengunjungi beberapa
negara seperti Spanyol, Roma, Turki, London, Saudi Arabia, India, dan Tahiland.
Pada 1969, bersama KH Muhammad Ilyas dan Anggota Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) Anwar Tjokromaminoto, Hamka mewakili Indonesia dalam
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam membahas konflik Palestina-Israel di
Rabat, Maroko.
Dalam musyawarah alim ulama se-Indonesia di Jakarta pada 30
September–4 Oktober 1970, Pusat Dakwah Islam Indonesia, organisasi bentukan
pemerintah, mengapungkan gagasan pembentukan Majelis Ulama. Meskipun
mendapatkan dukungan Menteri Agama KH Muhammad Dahlan, sejumlah ulama
dan tokoh Islam, seperti Mohammad Natsir dan Kasman Singodimedjo melihat
bahwa lembaga itu hanya akan menguntungkan pemerintah ketimbang umat
Islam. Namun, Hamka memandang penting pembentukan Majelis Ulama perlu
sebagai jembatan pemerintah dan umat Islam. Menurutnya, Majelis Ulama dapat
mengurangi rasa curiga antara pemerintah dan umat Islam. "Mereka berani
mengkritik perbuatan pemerintah yang salah menurut keyakinannya, walaupun
karena ketegasan pendiriannya itu, ia akan dibenci oleh penguasa. Sebaliknya ia
pun berani membela satu langkah pemerintah yang dianggapnya menempuh jalan
yang benar, walaupun karena itu ia pun akan dibenci oleh rakyat," tulis Hamka
dalam Panji Masyarakat pada 1 Juli 1974.
Pada 1971, Hamka menghadiri Seminar Islam di Aljazair, dengan
membawa paper tentang Muhammadiyah di Indonesia. Pada 8 Juni 1974, Hamka
menerima gelar kehormatan Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan
Malaysia. Pada 1975, ia menghadiri Muktamar Masjid di Mekkah. Pada 1976, ia
menghadiri Konferensi Islam di Kucing, Serawak, Malaysia Timur. Pada 1976, ia
mengikuti Seminar Islam dan Kebudayaan Malaysia di Universitas Kebangsaan
Malaysia dengan paper "Pengaruh Islam pada Kesusastraan Melayu". Pada 1977,
ia menghadiri Peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore dan Muktamar
Ulama (Al-Buhust Islamiyah) di Kairo. Di Lahore, Hamka menyampaikan
makalahnya tentang Muhammad Iqbal, menyoroti pengaruh Iqbal dalam
membawa identitas Muslim pada Jinnah.[38]

m. Ketua MUI
Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbentuk pada 26 Juli 1975,
Hamka dipilih secara aklamasi sebagai Ketua MUI.[39] Pada hari itu pula, Hamka
berpidato pertama kali sebagai Ketua MUI. Ketika ia menyampajkan pidato saat
pelantikan dirinya, Hamka menyatakan bahwa dirinya bukanlah sebaik-baiknya
ulama. Ia menyadari bahwa dirinya memang populer, "tapi kepopuleran bukanlah
menunjukkan bahwa saya yang lebih patut." Ia menjelaskan posisi MUI dengan
pemerintah dan masyarakat terletak di tengah-tengah, "laksana kue bika" yang
"dibakar api dari atas dan bawah". "Api dari atas ibarat harapan pemerintah,
sedangkan api dari bawah wujud keluhan umat Islam. Berat ke atas, niscaya putus
dari bawah. Putus dari bawah, niscaya berhenti jadi ulama yang didukung rakyat.
Berat kepada rakyat, hilang hubungan dengan pemerintah."
Meski berbagai pihak waktu itu sempat ragu apakah Hamka mampu
menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang
saat itu berlangsung dengan sangat gencar, ia berhasil membangun citra MUI
sebagai lembaga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam.
Sebagai Ketua MUI, ia meminta agar ia tidak digaji. Ia memilih menjadikan
Masjid Agung Al-Azhar sebagai pusat kegiatan MUI alih-alih berkantor di Masjid
Istiqlal. Selain itu, ia meminta agar diperbolehkan mundur, apabila nanti ternyata
sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah
dan ulama. Pemerintah bersedia mengakomodasi permintaan Hamka.
Pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soeharto sejak
mulai berdirinya Majelis Ulama Indonesia selalu menganjurkan agar di Indonesia
terdapat Kerukunan Hidup Beragama. Hamka sebagai Ketua MUI pada 21
September 1975 menerangkan kepada 30 orang utusan ulama yang hadir bahwa
Islam mempunyai konsepsi yang terang dan jelas di dalam surat Al-Mumtahinah
ayat 7 dan 8, bahwa tidak dilarang oleh Al-Quran orang Islam itu hidup rukun dan
damai dengan pemeluk agama lain. "Orang Islam disuruh berlaku adil dan hidup
rukun dengan mereka asal saja mereka itu tidak memerangi kita dan mendesak
kita untuk keluar dari tanah air kita sendiri." MUI telah menerima anjuran
pemerintah tentang kerukunan umat beragama.
Pada 1978, Hamka berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya
adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk
mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadhan, yang sebelumnya sudah
menjadi kebiasaan.

n. Fatwa MUI dan pengunduran diri


Pada 7 Maret 1981, MUI mengeluarkan fatwa tentang keharaman perayaan
Natal bagi umat Islam. Fatwa itu keluar menyusul banyaknya instansi pemerintah
menyatukan perayaan Natal dan Lebaran lantaran kedua perayaan itu berdekatan.
Hamka membantah perayaan Natal dan Lebaran bersama sebagai bentuk
toleransi. "Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur
mendengarkan Al-Quran atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa
Tuhan Alah itu adalah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh
mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka
terima." Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia mencatat, Hamka menyebut perayaan Natal dan Lebaran bersama
bukan bentuk toleransi, tetapi memaksakan kedua penganut Islam dan Kristiani
menjadi munafik. Dalam khutbahnya di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka
menyampaikan, "haram hukumnya bahkan kafir bila ada orang Islam menghadiri
upacara Natal. Natal adalah kepercayaan orang Kristen yang memperingati hari
lahir anak Tuhan. Itu adalah aqidah mereka. Kalau ada orang Islam yang turut
menghadirinya, berarti ia melakukan perbuatan yang tergolong musyrik."
MUI memfatwakan mengikuti upacara Natal bagi umat Islam hukumnya
haram, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa karena Natal
tidak dapat dipisahkan dari soal-soal keyakinan dan peribadatan. Namun,
keluarnya fatwa MUI menulai kecaman dari pemerintah. Menteri Agama
Alamsyah Ratu Perwiranegara meminta fatwa MUI dicabut karena dianggap
mengusik kerukunan antara umat Islam dan Kristen. Menurut Ketua Komisi
Fatwa Syukri Ghozali, sebagaimana dikutip Tempo, fatwa itu sebenarnya dibuat
agar Departemen Agama menentukan langkah dalam menyikapi Natalan-Lebaran
yang kerap terjadi. Namun, fatwa itu menyebar ke masyarakat sebelum petunjuk
pelaksanaan selesai dibuat Departemen Agama. Menyikapi hal itu, Hamka
mengeluarkan surat keputusan (SK) mengenai penghentian edaran fatwa. Dalam
surat pembaca yang ditulis dan dimuat oleh Kompas 9 Mei 1981, Hamka
menjelaskan SK itu tak mempengaruhi kesahihan fatwa tentang perayaan Natal.
"Fatwa itu dipandang perlu dikeluarkan sebagai tanggung jawab para ulama untuk
memberikan pegangan kepada umat Islam dalam kewajiban mereka memelihara
kemurnian aqidah Islamiyah."
Menanggapi tuntutan pemerintah untuk mencabut fatwa, Hamka memilih
meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI. Dalam buku Mengenang 100 Tahun
Hamka, Shobahussurur mencatat perkataan Hamka. "Masak iya saya harus
mencabut fatwa," kata Hamka sambil tersenyum sembari menyerahkan surat
pengunduran dirinya sebagai ketua MUI kepada Departemen Agama. Mundurnya
Hamka dari MUI mengundang simpati masyarakat Muslim pada umumnya.
Kepada seorang sahabatnya, M. Yunan Nasution, Hamka mengungkapkan,
"waktu saya diangkat dulu tidak ada ucapan selamat, tapi setelah saya berhenti,
saya menerima ratusan telegram dan surat-surat yang isinya mengucapkan
selamat."

o. Meninggal
Kesehatan Hamka menurun setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua
MUI. Meningikuti anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarga Hamka,
Hamka diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 18 Juli 1981, bertepatan
dengan awal Ramadan. Pada hari keenam dirawat, Hamka sempat menunaikan
salat Dhuha dengan bantuan putrinya, Azizah, untuk bertayamum. Siangnya,
beberapa dokter datang memeriksa kondisinya, menyatakan bahwa ia berada
dalam keadaan koma. Tim dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru, dan saraf
sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan
dengan alat pacu jantung. Pada pukul sepuluh pagi keesokan harinya, anak-
anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung, dan tidak lama setelah itu
Hamka menghembuskan napas terakhirnya.[40]
Hamka meninggal dunia pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pukul 10:37 WIB
dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden
Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir yakni
Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara Lingkungan
Hidup Emil Salim, dan Menteri Perhubungan Azwar Anas yang menjadi imam
salat jenazahnya. Jenazah Hamka dibawa ke Masjid Agung Al-Azhar dan
dishalatkan lagi, sebelum dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah
Kusir, Jakarta Selatan, dipimpin Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara.
[40]

Sepeninggal Hamka, pemerintah menyematkan Bintang Mahaputra Utama


secara anumerta kepada Hamka. Sejak 2011, ia ditetapkan sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia. Namanya diabadikan untuk perguruan tinggi Islam di Jakarta
milik Muhammadiyah, yakni Universitas Muhammadiyah Hamka. Dari syair
berbahasa Minang ciptaan Agus Taher, Zalmon dan Tiar Ramon menyanyikan
lagu Selamat Jalan Buya untuk mengenang wafatnya Hamka.[40] Novelis Akmal
Nasery Basral dan Haidar Musyafa masing-masing menulis novel dwilogi tentang
kisah perjalanan Hamka. Pada 2016, Majelis Ulama Indonesia berencana
mengangkat kisah Hamka ke dalam film berjudul Buya Hamka.
p. Pengakuan umum
Hamka diakui secara luas sebagai seorang pemikir Islam Asia Tenggara.
Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak, ketika menghadiri penganugerahan
gelar kehormatan Honoris Causa oleh Universitas Kebangsaan Malaysia kepada
Hamka, menyebut Hamka sebagai "kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara".
John L. Espito mamasukkan Hamka bersama Sir Muhammad Iqbal, Syed Ahmed
Khan, dan Muhammad Asad dalam Oxford History of Islam. Menurut peneliti
sejarah Asia Tenggara modern James Robert Rush, Hamka hanyalah satu di
antara banyak orang dalam generasinya yang dikenal sebagai politikus, ulama,
dan pengarang. Namun, "Hamka tampak menonjol ketika di antara mereka ada
yang lebih terpelajar, baik dalam pengetauan Barat maupun studi yang mendalam
tentang Islam."
Presiden ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid menulis, Hamka memiliki
orientasi pemikiran yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat akan
perubahan.[41] Tokoh Nahdatul Ulama A. Syaikhu menyebut, Hamka
menempatkan dirinya tidak hanya sekadar pimpinan Masjid Agung Al-Azhar atau
organisasi Muhammadiyah, tetapi sebagai pemimpin umat Islam secara
keseluruhan, tanpa memandang golongan.[42] Nurcholish Madjid dalam buku
Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka mencatat peranan dan ketokohan
Hamka sebagai figur sentral yang telah berhasil ikut mendorong terjadinya
mobilitas vertikal atau gerakan ke atas agama Islam di Indonesia. "Hamka
berhasil mengubah postur kumal seorang kiyai atau ulama Islam menjadi postur
yang patut menimbulkan rasa hormat dan respek."
Hamka berada di posisi terdepan dalam masyarakat Islam modern
Indonesia yang sedang mengalami modernisasi. Ia menginisiasi berdirinya
sekolah-sekolah Islam di Indonesia dengan mencetuskan ide konkret model
lembaga pendidikan Islam modern. Ia berhasil membangun citra MUI sebagai
lembaga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam. Mantan
Menteri Agama Mukti Ali mengatakan, berdirinya MUI adalah jasa Hamka
terhadap bangsa dan negara. Hamka termasuk pelopor jurnalisme Islam di
Indonesia melalui kiprahnya di majalah Pedoman Masyarakat. Rosihan Anwar
menyebut Hamka sebagai wartawan besar.[43] Melalui karya sastra, Hamka
memberikan kontribusi dalam menyebarkan dan menanamkan wacana mengenai
persatuan Indonesia. Ia memberikan kritik sekaligus alternatif terhadap adat yang
dianggapnya usang. Selain itu, ia banyak berkiprah dan terlibat dalam lembaga
dan kongres kebudayaan nasional.
Meminati dan melakukan kajian terhadap bidang sejarah, Hamka beberapa
kali tampil dalam seminar terkait bidang sejarah, baik di tingkat daerah, nasional,
maupun mancanegara. Pidato ilmiah yang disampaikannya sewaktu di Universitas
Al-Azhar menampakkan kemampuannya dalam ilmu sejarah. Buku Sejarah Umat
Islam yang ditulis Hamka banyak dijadikan rujukan, terutama karena
keberhasilannya menentukan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak abad
pertama Hijriyah. Deliar Noer mengungkapkan, "salah satu kelebihan Hamka
sebagai sejarawan dibandingkan dengan sejarawan lain yang keluaran akademis
di Indonesia adalah bahwa ia banyak mempergunakan teks-teks klasik seperti
hikayat, catatan-catatan kerajaan lama dan tulisan-tulisan ulama, selain
mempergunakan tulisan-tulisan orang Belanda."

q. Karya dan penerimaan


Seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu, Hamka tercatat sebagai
penulis Islam paling prolifik dalam sejarah modern Indonesia. Karya-karyanya
mengalami cetak ulang berkali-kali dan banyak dikaji oleh peneliti Indonesia,
Malaysia, dan Singapura. Tulisannya telah menghiasi berbagai macam majalah
dan surat kabar. Yunan Nasution mencatat, dalam jarak waktu kurang lebih 57
tahun, Hamka melahirkan 84 judul buku. Minatnya akan bahasa banyak tertuang
dalam karya-karyanya. Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck, dan Merantau ke Deli yang terbit di Medan melambungkan nama
Hamka sebagai sastrawan. Ketiganya bermula dari cerita bersambung yang
diterbitkan oleh majalah Pedoman Masyarakat. Selain itu, Hamka meninggalkan
karya tulis yang menyangkut tentang sejarah, budaya, dan bidang-bidang kajian
Islam.
Meskipun tidak menyelesaikan pendidikan formal, Hamka mempunyai
banyak akses keilmuwan karena kemampuan membacanya yang luas. Filolog
Prancis Gérard Moussay menulis, Hamka dengan hanya bermodalkan pendidikan
paling dasar telah berhasil dengan caranya sendiri memperoleh pengetahuan yang
maju dan unggul dalam bidang yang berbeda-beda, seperti jurnalistik, sejarah,
antropologi, politik, dan Islamolog. Namun, Abdurrahman Wahid melihat Hamka
tidak menguasai teori-teori dari satu atau lebih bidang keilmuan. "Ia cenderung
mengambil kesimpulan yang sudah ada dari para pemikir besar dengan cara
menyederhanakannya, dan kadang-kadang salah."[41]

r. Sastra
Karya-karya Hamka umumnya bertema gugatan terhadap adat
Minangkabau, terutama kawin paksa dan hubungan kekerabatan yang menurut
pandangannya tak bersesuaian dengan cita-cita masyarakat Indonesia modern.
Melalui Di Bawah Lindungan Ka'bah, Hamka menggugat penggolongan orang
berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan oleh masyarakat Minangkabau.
Menurutnya, adat bertentangan dengan agama Islam yang memandang kedudukan
manusia sama di hadapan Allah. Dalam Tuan Direktur, Hamka menyindir tokoh
Jazuli sebagai kebanyakan orang Melayu yang kerap terburu nafsu sehingga
mengabaikan nilai-nilai fundamental. Dalam Merantau ke Deli, Hamka
menginginkan perubahan penilaian masyarakat Minangkabau tentang
keberhasilan merantau dan mengkritik penilaian adat tentang pernikahan yang
baik dari satu daerah saja. Pada kenyataannya, harta bukan jaminan kehidupan
akan menjadi bahagia, begitupula asal daerah bukan jaminan pernikahan akan
bertahan lama.
Pada akhir 1930-an, buku-buku Hamka telah dapat ditemukan di
perpustakaan sekolah umum. Para pelajar sering dianjurkan untuk membacanya.
Novel-novel Hamka menuai kesuksesan komersial dan berkali-kali cetak ulang.
Di Bawah Lindungan Ka'bah diangkat ke layar lebar pada 1981 dan 2011. Pada
2013, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck untuk kali pertama difilmkan.
Ketika pertama kali menulis roman, Hamka sempat dikecam dan dianggap
tidak pantas menulis kisah percintaan.[30] HB Jassin melihat kritikan terhadap
Hamka, antara lain, disebabkan hukum yang menetapkan menulis karya sastra
adalah satu dosa dan haram. Hamka dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat
menegaskan menulis karya sastra bukan satu dosa, selain menjelaskan kegiatan
menulis boleh menjadi satu dakwah. HB Jassin mengutip pernyataan Hamka.
"Seni atau sastra Islam mestilah merangkumi keindahan dan kebenaran."
Keindahan, kebenaran dan kebaikan itu, menurut Hamka, jelas kembali semula
kepada Tuhan. Dari sudut pandang sastra, beberapa kritikus menganggap karya-
karya Hamka tidak istimewa. Kritikus sastra Indonesia berpendidikan Belanda A.
Teeuw menilai, Hamka tidak dapat dianggap sebagai pengarang besar karena
karyanya mempunyai psikologi yang lemah dan terlalu moralistik.

s. Sejarah
Dalam Sejarah Umat Islam, Hamka menulis tentang sejarah Islam dengan
sistimatika periode berkuasa kerajaan. Ia menekankan peranan raja dan
kerajaanya yang pernah menguasai Nusantara. Menurutnya, Islam di Indonesia
berhubungan dengan Arab lebih dulu daripada India. Bukti sejarah yang paling
nyata adalah ditemukannya perkampungan Arab pada 674 di pantai Barat
Sumatra dan Kerajaan Kalingga pada masa Ratu Shima, yang keduanya
bersumber dari berita Tiongkok. Sejarawan Gusti Asnan mencatat, Hamka telah
menemukan sumber-sumber lama yang sebelumnya tidak pernah digunakan
penulis pada zamannya. Ia memberikan informasi yang sangat bernilai mengenai
sumber-sumber yang dipergunakannya seperti Sejarah Melayu karya Tun Sri
Lanang, Hikayat Raja-Raja Pasai karya Nuruddin al-Raniri, Tuhfat Al-Nafis
karya Ali Haji, Sejarah Cirebon dan Babad Giyanti.
Lewat Perbendaharaan Lama, Hamka meunjukkan penguasannya tentang
warisan, atsar, jejak, dan petuah yang diwariskan tokoh-tokoh Nusantara. Ia
menguraikan tentang sejarah kebangkitan Islam di Minangkabau secara khusus
dalam Ayahku, biografi Abdul Karim Amrullah yang ditulisnya.
Hamka memiliki metode tersendiri dalam memaparkan penelitiannya di
bidang sejarah. Ia mengedepankan sikap kritis dalam menelaah tulisan-tulisan
sejarawan Belanda tentang Indonesia. Menurutnya, para sejarawan Belanda telah
memberikan andil yang besar dalam banyak data, tetapi tetap perlu kritis
menerimanya. Dengan daya kritis dan analisisnya, Hamka berani merekonstruksi
sejarah dengan argumentasi dan dalil yang kuat. Ia tak sekadar mengulang-ulang
catatan sejarah yang terpapar dalam literatur-literatur baku ketika berbicara
maupun menulis tentang sejarah. Dalam memandang sosok Gajah Mada, Hamka
melihat Gajah Mada tak ubahnya seperti "penjajah" yang "...menjarah, menjajah
sampai ke mana-mana". Bersama daya bacanya yang kuat, Hamka berjuang keras
mengkritisi dan berusaha menyingkirkan teks-teks beraroma dongeng yang kerap
dijumpai dalam teks-teks klasik. Dalam karyanya berjudul Antara Fakta dan
Khayal Tuanku Rao tentang riwayat hidup Tuanku Rao dan sejarah Perang Padri,
Hamka memberi komentar tentang penulisan sejarah. Ia berpendapat perlu
membedakan antara khayal dan fakta.

t. Tafsir Al-Azhar
Tafsir al-Azhar dianggap sebagai karya monumental Hamka, sebagaimana
ditulis oleh Abdurrahman Wahid. Lewat Tafsir Al-Azhar, Hamka
mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya di hampir semua disiplin yang
tercakup oleh bidang ilmu-ilmu agama Islam serta pengetahuan non-keagamaan
yang kaya dengan informasi.[41] Menurut peneliti Malaysia Norbani Ismail, Tafsir
Al-Azhar adalah tafsir pertama yang ditulis secara komprehensif dalam bahasa
Indonesia.
Usep Taufik Hidayat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta menyebut keunikan Tafsir Al-Azhar adalah kemampuannya berelasi
terhadap isu-isu kontemporer, terutama kepada budaya masyarakat khususnya
budaya Melayu-Minangkabau. Hamka melakukan pendekatan yang sesuai dengan
kondisi kontemporer yang dihubungkan dengan berbagai lapisan masyarakat
modern. Hamka mengutip berpuluh-puluh kitab karangan sarjana-sarjana Barat
dan akomodatif terhadap pendekatan berbagai ilmu yang ada korelasinya dengan
penafsiran, terutama sains. Menurut Hamka, ilmu dan akal diperuntukkan
manusia untuk mengenal Tuhannya "Penemuan-penemuan sains yang baru telah
menolong kita untuk memahami kebenaran ayat Al-Quran dan melihat
keagungan-Nya."

u. Keluarga
Pada 5 April 1929, Hamka menikahi Sitti Raham. Ia menjadi ayah dari dua
belas anak, dua di antara mereka meninggal saat masih balita. [44] Sampai Mei
2013, Hamka memiliki 31 cucu dan 44 cicit. [45] Ketika menikah dengan Sitti
Raham, Hamka berusia 21 tahun, sementara Rahmah masih berusia 15 tahun.
Raham adalah anak dari salah seorang saudara laki-laki ibunya. Setelah Rahmah
meninggal pada 1 Januari 1972, Hamka menikahi Sitti Khadijah asal Cirebon
pada Agustus 1973.
Dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka, Rusydi Hamka
mengisahkan saat-saat keluarga mereka melewati masa-masa kemiskinan. "Kami
hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di
rumah hanya ada sehelai kain," tulis Rusydi. Selain itu, sebagai seorang mamak
dalam hubungan kekerabatan masyarakat Minang, Hamka pada saat bersamaan
memiliki tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara perempuannya. Anak
pertama Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun. [26] Anak
ketiga Hamka, Rusydi dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin,
Padang Panjang pada 1935. Berbeda dengan pria keturunan Minang yang pandai
berdagang, Hamka tidak mewarisi bakat berbisnis. Di tengah kondisi kekurangan,
Hamka memilih bekerja di Medan untuk Pedoman Masyarakat pada 1936.

v. Citra
Hamka dikenal sebagai seorang humanis yang rendah hati, membawa
khutbah dan pidato yang memikat. Ceramah-ceramahnya dengan pilihan kalimat-
kalimat yang santun telah mengikat perhatian umat di berbagai pelosok dearah.
Abdurrahman Wahid menulis, penyampaian Hamka dalam masalah keagamaan
"sangat menawan" dan "menghanyutkan".[41] Penulis Malaysia Muhammad
Uthman El Muhammady mencatat, Hamka merupakan pemikir yang berpegang
teguh pada pendapat yang diyakininya, tetapi "mengutarakan argumennya dengan
gaya yang elegan". Ia mengutamakan silaturahmi ketimbang meributkan
perbedaan tak berprinsip. Shobahussurur dari Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta mengutip bagaimana penerimaan Hamka terhadap
perbedaan paham dalam perkara cabang agama. Ketika Abdullah Syafii hendak
menyampaikan khutbah di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka mempersilakan azan
di masjid itu dilakukan dua kali sebagaimana tradisi di kalangan Nahdatul Ulama
(NU). Dalam perjalanan di kapal bersama Idham Cholid yang Ketua PBNU,
Hamka mengimami salat Subuh dengan membaca doa qunut karena jemaah di
belakangnya adalah Idham Cholid. Pada Ramadhan pertama setelah Masjid Al-
Azhar dibuka, Hamka terlebih dulu menanyakan pilihan jemaah untuk shalat
Tarawih dan Witir apakah 11 atau 23 rakaat.
Menurut putra ke-5 Hamka, Irfan, Hamka berusaha menghindari konflik
dengan siapapun.[46] Namun, dalam masalah aqidah, "Ayah memang tidak pernah
bisa berkompromi. Tapi dalam masalah-masalah lain, Ayah sangat toleran." [47]
Selain memilih mengundurkan diri sebagai Ketua MUI dibandingkan mencabut
fatwa keharaman merayakan Natal bagi umat Islam sebagaimana tuntutan
pemerintah, Hamka menolak menghadiri pertemuan ramah-tamah dengan Paus
Paulus VI ketika berkunjung ke Indonesia pada 3–4 Desember 1970. "Bagaimana
saya bisa bersilaturahmi..., sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan
dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?" [sic][46] Meskipun
demikian, menurut Irfan pula, Hamka masih mengucapkan selamat Natal kepada
dua tetangga Kristen-nya yang bernama Ong Liong Sikh dan Reneker saat tinggal
di Kebayoran Baru.[48]
Menggunakan sudut pandang seorang anak dalam mengenang ayahnya,
Irfan Hamka dalam buku Ayah... mengungkapkan bagaimana Hamka
"memaafkan semua orang yang pernah berseteru dengannya." Karena pandangan
politiknya, Hamka kerap menuai kecaman dan ancaman dari lawan politiknya.
Dalam sidang Konstituante pada 1957, Hamka memberikan pernyataan tentang
Pancasila sebagai dasar yang sesat sehingga membuat Muhammad Yamin marah
dan membencinya. Namun, ketika Yamin sakit pada 1962, Yamin meminta
Hamka "untuk dapat mendampinginya" dan "menemaninya sampai ke dekat liang
lahatnya".[49] Di bawah pemerintahan Soekarno, Hamka sempat mendekam di
penjara atas tuduhan merencakan makar yang tidak pernah terbukti. Namun,
Hamka memenuhi permintaan Soekarno yang lima hari sebelum meninggal
meminta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalatnya. Irfan mengutip
penyataan Hamka. "Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah
menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya
ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari
Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Quran 30
juz."[50]
Sebagai seorang yang anti-komunis, Irfan dalam Ayah... menyebut
bagaimana pribadi dan karya Hamka diserang oleh surat kabar Bintang Timoer
dalam rubrik "Lentera" yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer. Salah satu
kritik tajam adalah tudingan bahwa Hamka melakukan plagiasi. Novel
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck disebut sebagai jiplakan dari novel
Magdalena karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi, seorang penulis Mesir. Namun,
ketika Pramoedya mendapati putrinya, Astuti hendak menikahi seorang peranakan
etnis Tionghoa berbeda agama, Pram meminta Astuti membawa calon suaminya
itu untuk belajar Islam kepada Hamka. Dalam pertemuan dengan Astuti, Hamka
sama sekali tidak menyinggung sikap Pramoedya belasan tahun sebelumnya.
Melalui bimbingan Hamka, Daniel Setiawan, calon suami Astuti mengucapkan
dua kalimat syahat. Seorang dokter yang dekat dengan Pram, Hoedaifah
menanyakan mengapa Pram justru mengutus calon menantu menemui figur yang
selama ini ia serang melalui tulisan-tulisannya. "Saya lebih mantap mengirimkan
calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami
berbeda paham politik."[51] Taufiq Ismail dalam pengantar di buku Ayah... menilai,
secara tidak langsung tindakan Pram yang meminta calon menantunya belajar
kepada Hamka sebagai bentuk ungkapan maaf.[52]

6. HAMENGKUBUWONO IX
Bertakhta 1940–1988
Penobatan 18 Maret 1940[1]
Pendahulu Sultan Hamengkubuwana VIII
Penerus Sultan Hamengkubuwana X
Wakil Presiden Indonesia ke-2
Mulai menjabat 23 Maret 1973–23 Maret 1978
Presiden Soeharto
Pendahulu Mohammad Hatta
Penerus Adam Malik
Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Indonesia ke-1
Mulai menjabat 25 Juli 1966–29 Maret 1973
Presiden Soeharto
Pendahulu Tidak ada, jabatan baru
Penerus Widjojo Nitisastro
Wakil Perdana Menteri Indonesia ke-5
Mulai menjabat 6 Sept 1950–27 Apr 1951
Presiden Soekarno
Pendahulu Abdul Hakim
Penerus Suwiryo
Perdana menteri Mohammad Natsir
Menteri Pertahanan Indonesia ke-3
Mulai menjabat 15 Juli 1948–20 Des 1949
Presiden Soekarno
Pendahulu Mohammad Hatta (a.i.)
Perdana menteri Mohammad Hatta
Mulai menjabat 3 Apr 1952–2 Jun 1953
Presiden Soekarno
Pendahulu Sewaka
Penerus Wilopo
Perdana menteri Wilopo
Menteri Negara Indonesia
Mulai menjabat 2 Okt 1946–20 Des 1949
Presiden Soekarno
Sutan Sjahrir
Perdana menteri Amir Sjarifuddin
Mohammad Hatta
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ke-1
Mulai menjabat 4 Maret 1950–2 Okt 1988
Soekarno
Presiden
Soeharto
Penerus Paku Alam VIII
Ketua Kwartir Nasional ke-1
Mulai menjabat 14 Agustus 1961–27 Nov 1974
Pendahulu Tidak ada, jabatan baru
Penerus M. Sarbini
Lahir Gusti Raden Mas Dorodjatun
12 April 1912
Ngasem, Ngayogyakarta Hadiningrat
2 Oktober 1988 (umur 76)
Wafat
Washington, D.C., Amerika Serikat[1]
Pemakaman Astana Saptorenggo, Imogiri, Yogyakarta
Wangsa Mataram
Nama takhta
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana
Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah
ingkang Jumeneng Kaping Sanga
Ayah Sultan Hamengkubuwana VIII
Ibu Raden Ajeng Kustilah[1]
Agama Islam

Tanda tangan

Karier militer
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Lama dinas 1945–1953
Pangkat Letnan Jenderal
 Revolusi Nasional Indonesia
 Agresi Militer Belanda II
Perang/pertempuran
 Serangan Umum 1 Maret 1949
 Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil

Sri Sultan Hamengkubuwana IX atau Gusti Raden Mas Dorodjatun


(bahasa Jawa: Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Lahir di Ngayogyakarta
Hadiningrat, 12 April 1912 – meninggal di Washington, DC, Amerika Serikat, 2
Oktober 1988 pada umur 76 tahun[a]) adalah seorang sultan yang pernah memimpin di
Kesultanan Yogyakarta (1940–1988) dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
yang pertama setelah kemerdekaan Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Wakil
Presiden Indonesia yang kedua antara tahun 1973 dan 1978. Dia juga dikenal sebagai
Bapak Pramuka Indonesia, dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional
Gerakan Pramuka.

a. Biografi
Lahir di Yogyakarta dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun di
Ngasem, Hamengkubuwana IX adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwana
VIII dan permaisuri Kangjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara. Di
umur 4 tahun Hamengkubuwana IX tinggal pisah dari keluarganya. Dia
memperoleh pendidikan di Europeesche Lagere School di Yogyakarta. Pada
tahun 1925 ia melanjutkan pendidikannya ke Hoogere Burgerschool di Semarang,
dan Hoogere Burgerschool te Bandoeng - HBS Bandung. Pada tahun 1930-an dia
berkuliah di Rijkuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden), Belanda ("Sultan
Henkie").
Hamengkubuwana IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal
18 Maret 1940 dengan gelar "Ngarsa Dalem Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun
Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Sénapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin
Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga ing Ngayogyakarta
Hadiningrat". Ia merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan
mendorong kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar
pemerintah RI memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat
"Istimewa".[1] Sebelum dinobatkan, Sultan yang berusia 28 tahun bernegosiasi
secara alot selama 4 bulan dengan diplomat senior Belanda Dr. Lucien Adam
mengenai otonomi Yogyakarta. Pada masa Jepang, Sultan melarang pengiriman
romusha dengan mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram.
Sultan bersama Paku Alam IX adalah penguasa lokal pertama yang
menggabungkan diri ke Republik Indonesia. Sultan pulalah yang mengundang
Presiden untuk memimpin dari Yogyakarta setelah Jakarta dikuasai Belanda
dalam Agresi Militer Belanda I. Sultan Hamengkubuwana IX tercatat sebagai
Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja
Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988.

b. Dukungan pada Republik Indonesia

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, keadaan perekonomian sangat


buruk. Kas negara kosong, pertanian dan industri rusak berat akibat perang.
Blokade ekonomi yang dilakukan Belanda membuat perdagangan dengan luar
negeri terhambat. Kekeringan dan kelangkaan bahan pangan terjadi di mana-
mana, termasuk di Yogyakarta. Oleh karena itu, untuk menjamin agar roda
pemerintahan RI tetap berjalan, Sultan Hamengkubuwana IX menyumbangkan
kekayaannya sekitar 6.000.000 Gulden, baik untuk membiayai pemerintahan,
kebutuhan hidup para pemimpin dan para pegawai pemerintah lainnya. Setelah
Perundingan Renville, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan
Agresi Militer yang ke-2. Sasaran penyerbuan adalah Ibu kota Yogyakarta.
Selanjutnya pada tanggal 22 Desember 1948 Presiden Sukarno, Wakil Presiden
Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dan para pembesar lainnya di tangkap Belanda
dan diasingkan ke Pulau Bangka. Sementara itu, Sultan Hamengkubuwana IX
tidak ditangkap karena kedudukannya yang istimewa, dikhawatirkan akan
mempersulit keberadaan Belanda di Yogyakarta. Selain itu, waktu itu Belanda
sudah mengakui Yogyakarta sebagai kerajaan dan menghormati kearifan
setempat. Akan tetapi, Sultan menolak ajakan Belanda untuk bekerja sama
dengan Belanda. Untuk itu, Sultan Hamengkubuwana IX menulis surat terbuka
yang disebarluaskan ke seluruh daerah Yogyakarta. Dalam surat itu dikatakan
bahwa Sultan "meletakkan jabatan" sebagai Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta. Pengunduran diri Sultan kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam. Hal
ini bertujuan agar masalah keamanan di wilayah Yogyakarta menjadi beban
tentara Belanda. Selain itu dengan demikian, Sultan tidak akan dapat diperalat
untuk membantu musuh. Sementara itu, secara diam-diam Sultan membantu para
pejuang RI, dengan memberikan bantuan logistik kepada para pejuang, pejabat
pemerintah RI dan orang-orang Republiken. Bahkan di lingkungan keraton,
Sultan memberikan tempat perlindungan bagi kesatuan-kesatuan TNI. Pada
Februari 1949, dengan bantuan kurir, Sultan menghubungi Panglima Besar
Sudirman untuk meminta persetujuannya melaksanakan serangan umum terhadap
Belanda. Setelah mendapat persetujuan Panglima Sudirman, Sultan langsung
menghubungi Letkol Soeharto untuk memimpin serangan umum melawan
Belanda di Yogyakarta. Serangan ini berhasil menguasai Yogyakarta selama
sekitar enam jam. Kemenangan ini penting untuk menunjukkan kepada dunia
bahwa bangsa Indonesia masih terus berjuang untuk mempertahankan
kemerdekaannya. Sesuai dengan hasil Perundingan Roem-Royen, maka pasukan
Belanda harus ditarik dari daerah Yogyakarta. Pihak Belanda minta jaminan
keamanan selama penarikan itu berlangsung. Untuk itu, Presiden Sukarno
mengangkat Sri Sultan sebagai penanggung jawab keamanan dan tugas itu
dilaksanakannya dengan baik. Pada tanggal 27 Desember 1949 ketika di Belanda
berlangsung penyerahan kedaulatan, maka di Istana Rijkswik (Istana Merdeka)
Jakarta, juga terjadi penyerahan kedaulatan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda
kepada Pemerintah RIS. Sri Sultan Hamengkubuwana IX kembali mendapatkan
kepercayaan untuk menerima penyerahan kedaulatan itu sebagai wakil dari
pemerintahan RIS.
c. Serangan Umum 1 Maret 1949

Peranan Sultan Hamengkubuwana IX dalam Serangan Umum 1 Maret


1949 oleh TNI masih tidak sinkron dengan versi Soeharto. Menurut Sultan, ialah
yang melihat semangat juang rakyat melemah dan menganjurkan serangan
umum. Sedangkan menurut Suharto, ia baru bertemu Sultan malah setelah
penyerahan kedaulatan. Sultan menggunakan dana pribadinya (dari istana
Yogyakarta) untuk membayar gaji pegawai republik yang tidak mendapat gaji
semenjak Agresi Militer ke-2.
Sejak 1946 ia pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang
dipimpin Presiden Sukarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah
Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 ia diangkat sebagai wakil
presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, ia menolak untuk dipilih
kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor
yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak
menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan
hanyut pada KKN.
Ia ikut menghadiri perayaan 50 tahun kekuasaan Ratu Wilhelmina di
Amsterdam, Belanda pada tahun 1938.

d. Bapak Pramuka Indonesia


Sejak usia muda Hamengkubuwana IX telah aktif dalam organisasi
pendidikan kepanduan. Menjelang tahun 1960-an, Hamengkubuwana IX telah
menjadi Pandu Agung (Pemimpin Kepanduan). Pada tahun 1961, ketika berbagai
organisasi kepanduan di Indonesia berusaha disatukan dalam satu wadah, Sri
Sultan Hamengkubuwana IX memiliki peran penting di dalamnya. Presiden RI
saat itu, Sukarno, berulang kali berkonsultasi dengan Sri Sultan tentang
penyatuan organisasi kepanduan, pendirian Gerakan Pramuka, dan
pengembangannya.
Pada tanggal 9 Maret 1961, Presiden Sukarno membentuk Panitia
Pembentukan Gerakan Pramuka. Panitia ini beranggotakan Sri Sultan
Hamengkubuwana IX, Prof. Prijono (Menteri P dan K), Dr.A. Azis Saleh
(Menteri Pertanian), dan Achmadi (Menteri Transmigrasi, Koperasi dan
Pembangunan Masyarakat Desa). Panitia inilah yang kemudian mengolah
Anggaran Dasar Gerakan Pramuka dan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor
238 Tahun 1961, tanggal 20 Mei 1961.
Pada tanggal 14 Agustus 1961, yang kemudian dikenal sebagai Hari
Pramuka, selain dilakukan penganugerahan Panji Kepramukaan dan defile, juga
dilakukan pelantikan Mapinas (Majelis Pimpinan Nasional), Kwarnas dan
Kwarnari Gerakan Pramuka. Sri Sultan Hamengkubuwana IX menjabat sebagai
Ketua Kwarnas sekaligus Wakil Ketua I Mapinas (Ketua Mapinas adalah
Presiden RI).
Sri Sultan bahkan menjabat sebagai Ketua Kwarnas (Kwartir Nasional)
Gerakan Pramuka hingga empat periode berturut-turut, yakni pada masa bakti
1961-1963, 1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974. Sehingga selain menjadi
Ketua Kwarnas yang pertama kali, Hamengkubuwana IX pun menjadi Ketua
Kwarnas terlama kedua, yang menjabat selama 13 tahun (4 periode) setelah
Letjen. Mashudi yang menjabat sebagai Ketua Kwarnas selama 15 tahun (3
periode).
Keberhasilan Sri Sultan Hamengkubuwana IX dalam membangun Gerakan
Pramuka dalam masa peralihan dari “kepanduan” ke “kepramukaan”, mendapat
pujian bukan saja dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Dia bahkan
akhirnya mendapatkan Bronze Wolf Award dari World Organization of the Scout
Movement (WOSM) pada tahun 1973. Bronze Wolf Award merupakan
penghargaan tertinggi dan satu-satunya dari World Organization of the Scout
Movement (WOSM) kepada orang-orang yang berjasa besar dalam
pengembangan kepramukaan.
Atas jasa tersebutlah, Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka
pada tahun 1988 yang berlangsung di Dili (Ibu kota Provinsi Timor Timur,
sekarang negara Timor Leste), mengukuhkan Sri Sultan Hamengkubuwana IX
sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Pengangkatan ini tertuang dalam Surat
Keputusan nomor 10/MUNAS/88 tentang Bapak Pramuka.

e. Wafat
Minggu malam 2 Oktober 1988, Sri Sultan Hamengkubuwana IX meninggal
dunia di George Washington University Medical Center, Amerika Serikat karena
serangan jantung dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di
Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Indonesia.

f. Silsilah

Anak keenam belas dari Sultan Hamengkubuwana VIII dan permaisuri RA


Kustilah/KRA Adipati Anom Hamengkunegara/Kangjeng Alit.
Istri Anak Mantu
BRA Pintakapurnama/KRA BRM Murtyanta/GBPH Adi Dr. Sri Hardani
Kusuma/GBPH Hadikusuma
BRM Kaswara/GBPH
Andinidevi
Hadisurya
Kolonel Budi
BRA Gusti Sri
Permana/KPH
Pintakapurnama, putri R.B. Murhanjati/GKR Anom
Adibrata
Suryokusumo, buyut HB VI BRA Sri
(1940) Murdiyatun/GBRAy KRT Murdakusuma
Murdakusuma
BRA Dra. Sri
KRT Ir Suyono
Murywati/GBRAy Dra.
Darmakusuma
Darmakusuma
BRM Herjuna
Tatiek Drajad
Darpita/KGPH
Suprihastuti/BRA
Mangkubumi, SH/KGPAA
RA Siti Kustina/BRA Mangkubumi/GKR
Mangkubumi/Sri Sultan
Windyaningrum/KRA Hemas
Hamengkubuwana X
Widyaningrum/RAy Adipati BRM Sumyandana/GBPH
Hj. Nuraida
Anom, putri Raden Wedana Joyokusumo
Purwowinoto, buyut HB III BRM Ibnu Prastawa/KGPH
Aryuni Utari
(1943) Hadiwinoto
BRA Dr Sri
Kuswarjanti/GBRAy Dr. KRT Riyakusuma
Riyakusuma
BRM Harumanta/GBPH
Kuswarini
Prabukusuma, S.Psi
BRM Kuslardiyanta Jeng Yeni
KRA Hastungkara/BRA BRM Sulaksmana/GBPH Raden Roro Endang
Kusyadinah, putri Raden Panji Yudhaningrat, MM. Hermaningrum
Trusthajumena, buyut HB VII BRM Abirama/GBPH
Hery Iswanti
(1948) Candradiningrat
BRA Kushandanari
BRA Sri Kusulodewi/ KRT Padmokusumo
GBRAy Padmokusumo Sastronegoro
KRA Ciptamurti, putri BRM Anindita/GBPH
Nurita Afridiana
KPH/BRA Brongtodiningrat, Pakuningrat
cucu HB VII BRM Prasasta/GBPH Lakhsmi Indra
Cakraningrat Suharjana
BRM Arianta/GBPH
Farida Indah
Suryodiningrat
BRM Sarsana/GBPH
Suryomataram
BRM Harkomoyo/GBPH
Iceu Cahyani
Hadinegoro
BRM Swatindra/GBPH Rr. Endang Retno
Suryonegoro Werid Soelasmi Lim
Norma Musa/KRA Norma
Nindya Kirana, putri Handaru
Widharna
(1977)
g. Pendidikan
 Taman kanak-kanak atau Frobel School asuhan Juffrouw Willer di Bintaran
Kidul
 Eerste Europeesche Lagere School di Yogyakarta (1925)
 Hoogere Burgerschool (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan
Bandung (1931)
 Rijkuniversiteit Leiden, jurusan Indologie (ilmu tentang Indonesia) kemudian
ekonomi

h. Jabatan
 Kepala dan Gubernur Militer Daerah Istimewa Yogyakarta (1945)
 Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947)
 Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 – 11
November 1947 dan 11 November 1947 – 28 Januari 1948)
 Menteri Negara pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949)
 Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta
II (4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949)
 Menteri Pertahanan pada masa RIS (20 Desember 1949 – 6 September 1950)
 Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April
1951)
 Ketua Dewan Kurator Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1951)
 Ketua Dewan Pariwisata Indonesia (1956)
 Ketua Sidang ke 4 ECAFE (Economic Commision for Asia and the Far East)
dan Ketua Pertemuan Regional ke 11 Panitia Konsultatif Colombo Plan
(1957)
 Ketua Federasi ASEAN Games (1958)
 Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (5 Juli 1959)
 Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan
Pariwisata (1963)
 Menteri Koordinator Pembangunan (21 Februari 1966)
 Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi 11 (Maret 1966)
 Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1968)
 Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia/KONI (1968)
 Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pasific Area Travel Association
(PATA) di California, Amerika Serikat (1968)
 Wakil Presiden Indonesia (25 Maret 1973 – 23 Maret 1978)
i. Pahlawan Nasional
Hamengkubuwana IX diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia
tanggal 8 Juni 2003 oleh presiden Megawati Sukarnoputri.

j. Pelarangan hak milik tanah atas kaum Tionghoa


Pada 1948, saat Revolusi Nasional Indonesia, Hamengkubuwana IX
mencabut hak milik etnis Tionghoa karena dianggap memihak Belanda.[2]

7. Bagoes Hadikoesoemo

[[Ketua Umum Muhammadiyah]] 5


Masa jabatan
1944 – 1953
Pendahulu KH Mas Mansur
Pengganti Ahmad Rasyid Sutan Mansur
Informasi pribadi
Lahir 24 November 1890 Yogyakarta
Meninggal dunia 4 November 1954 (umur 63) Jakarta

Ki Bagoes Hadikoesoemo atau Ki Bagus Hadikusumo (lahir di Yogyakarta,


24 November 1890 – meninggal di Jakarta, 4 November 1954 pada umur 63 tahun)
adalah seorang tokoh BPUPKI. Ia dilahirkan di kampung Kauman dengan nama R.
Hidayat pada 11 Rabi'ul Akhir 1308 H (24 November 1890). Ki Bagus adalah putra
ketiga dari lima bersaudara Raden Kaji Lurah Hasyim, seorang abdi dalem putihan
(pejabat) agama Islam di Kraton Yogyakarta.
Ia mendapat pendidikan sekolah rakyat (kini SD) dan pendidikan agama di
pondok pesantren tradisional Wonokromo Yogyakarta. Kemahirannya dalam sastra
Jawa, Melayu, dan Belanda didapat dari seorang yang bernama Ngabehi
Sasrasoeganda, dan Ki Bagus juga belajar bahasa Inggris dari seorang tokoh
Ahmadiyah yang bernama Mirza Wali Ahmad Baig.
Selanjutnya Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922), Ketua
Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadijah (1926), dan
Ketua PP Muhammadiyah (1942-1953). Ia sempat pula aktif mendirikan
perkumpulan sandiwara dengan nama Setambul. Selain itu, bersama kawan-
kawannya ia mendirikan klub bernama Kauman Voetbal Club (KVC), yang kelak
dikenal dengan nama Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PSHW).
Pada tahun 1937, Ki Bagus diajak oleh Mas Mansoer untuk menjadi Wakil
Ketua PP Muhammadiyah. Pada tahun 1942, ketika KH Mas Mansur dipaksa Jepang
untuk menjadi ketua Putera (Pusat Tenaga Rakyat), Ki Bagus menggantikan posisi
ketua umum yang ditinggalkannya. Posisi ini dijabat hingga tahun 1953. Semasa
menjadi pemimpin Muhammadiyah, ia termasuk dalam anggota BPUPKI dan PPKI.
Ki Bagus aktif membuat karya tulis, antara lain Islam Sebagai Dasar Negara
dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah Katresnan Djati
(1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941), dan
Poestaka Iman (1954).
Setelah meninggal, Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai
Pahlawan Perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai