PAHLAWAN
Oleh :
Nama : Jovial Jasmine Brillianty Afifa
Kelas : VI B
No. Absen : 03
b. Pengalaman organisasi
Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup
berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang
cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai
gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati
di tengah kalangan masyarakat, sehingga dia juga dengan cepat mendapatkan
tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite
Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi
Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi
Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara
berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Dia ingin mengajak umat
Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits.
Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak
awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik
tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga
mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya.
Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh
hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang
menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen,
mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang
kebanyakan dari golongan priyayi, dan bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu
Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang, yang
merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priayi. Bahkan ada pula
orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk melanjutkan
cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua
rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan
kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum.
Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan
Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah
Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari
Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi
ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi
di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri
cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah
Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya
dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai
nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang,
Ahmadiyah[7] di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah.
Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan
perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Berbagai perkumpulan dan jama'ah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, di antaranya ialah Ikhwanul-Muslimin,[8] Taqwimuddin, Cahaya
Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul
Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-
Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.[9]
Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti
Pastur van Lith pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak
dialog oleh Dahlan. Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di
kalangan keagamaan Katolik. Pada saat itu Kiai Dahlan tidak ragu-ragu masuk
gereja dengan pakaian hajinya.[10]
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad
Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui
relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan
sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama
dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan
terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang
hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan
mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan
cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan
oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan
dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota
Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam
Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali
dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering
(persidangan umum).
c. Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran
bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah
Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat
Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai
berikut:
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk
menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan
berbuat;
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak
memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang
menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat,
dengan dasar iman dan Islam;
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial
dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa,
dengan jiwa ajaran Islam; dan
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah
mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan
berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
a. Kehidupan Awal
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di
Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta
Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk
Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati merupakan
keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan
Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman.[4]. Datuk
Makhudum Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan
Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.[2][5]. Sedangkan ibunya
merupakan putri uleebalang Lampageu.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. [2] Ia
memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun
guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut
kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki
yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia
sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim
Lamnga[2][5], putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-
laki.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan
perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali.
Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku
Umar).
Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan
melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan
Teuku Umar.[1][2] Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda.
Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti.
Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh
dan pasukan Belanda berada pada kekacauan.[1] Belanda lalu mencabut gelar
Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.[2]
Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh
(Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-
terusan mengganti jenderal yang bertugas.[1] Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke
Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh.
Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-
Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya.[1] Akibat dari hal ini,
pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden
membubarkan unit "De Marsose".[1] Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan
jenderal selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad
kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.[1]
Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan
mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai
informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang
Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur
tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena
kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:
“ Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang
yang sudah syahid”
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah
pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan
suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901
karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain
itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia
terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit
memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.[2][3]
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi
markasnya kepada Belanda karena iba.[2][3] Akibatnya, Belanda menyerang
markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur
mati-matian. Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan
musuh. Namun, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. [6][7] Cut Nyak
Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan
meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.[1]
d. Makam
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada
tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian
dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda.[7] Masyarakat Aceh di
Sumedang sering menggelar acara sarasehan. Pada acara tersebut, peserta
berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer.[7]
Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering
menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran.
Selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat
melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang
peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada
tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang
ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat
musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nisan yang dikatakan
sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.[7]
Pada batu nisan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa
Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien berkurang karena Gerakan
Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik
Indonesia. Selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat.[7]
Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah
makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.[7]
Perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi dalam film drama epos berjudul
Tjoet Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot dan
dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang
Laot, Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar dan juga didukung Rudy Wowor.
Film ini memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik, dan merupakan film
Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).
Pada 13 April 2014, sebuah karya seni untuk mengenang semangat
perjuangan dan perjalanan hidup Cut Nyak Dhien (CND) dalam bentuk teater
monolog yang dimainkan dan disutradarai oleh Sha Ine Febriyanti; dipentaskan
pertama kali di Auditorium Indonesia Kaya, Jakarta. Naskah berdurasi 40 menit
yang ditulis oleh Prajna Paramita tersebut kemudian dipentaskan kembali pada
2015 di Jakarta, Pekalongan, Magelang, Semarang, dan Banda Aceh.
Rencananya, teater monolong CND juga akan dipentaskan di Australia dan
Belanda.
3. Dewi Sartika
Raden Dewi Sartika atin: Rd. Déwi Sartika; lahir di Cicalengka, Bandung, 4
Desember 1884 – meninggal di Cineam, Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur
62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita. Ia diakui sebagai
Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1966.
a. Biografi
Dewi Sartika lahir dari keluarga Sunda yang ternama, yaitu R. Rangga
Somanegara dan R. A. Rajapermas di Cicalengka pada 4 Desember 1884.[1][2]
Ketika masih kanak-kanak, ia selalu bermain peran menjadi seorang guru ketika
seusai sekolah bersama teman-temannya.[1][3] Setelah ayahnya meninggal, ia
tinggal bersama dengan pamannya. Ia menerima pendidikan yang sesuai dengan
budaya Sunda oleh pamannya, meskipun sebelumnya ia sudah menerima
pengetahuan mengenai budaya barat.[4] Pada tahun 1899, ia pindah ke Bandung.[3]
Pada 16 Januari 1904, ia membuat sekolah yang bernama Sekolah Isteri di
Pendopo Kabupaten Bandung. Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan
Ciguriang dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri pada tahun
1910.[5][6] Pada tahun 1912, sudah ada sembilan sekolah yang tersebar di seluruh
Jawa Barat, lalu kemudian berkembang menjadi satu sekolah tiap kota maupun
kabupaten pada tahun 1920.[4] Pada September 1929, sekolah tersebut berganti
nama menjadi Sekolah Raden Dewi.[4]
Ia meninggal pada 11 September 1947 di Cineam ketika dalam masa
perang kemerdekaan.[4][7]
b. Peninggalan
Nama Dewi Sartika digunakan sebagai nama jalan di mana sekolahnya berada.[1}
c. Penghargaan
Ia dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau pada ulang tahun ke-35
Sekolah Kaoetamaan Isteri sebagai penghargaan atas jasanya dalam
memperjuangkan pendidikan.[4][7] Pada 1 Desember 1966, ia diakui sebagai
Pahlawan Nasional.[6][7]
d. Kehidupan pribadi
Pada tahun 1906, ia menikah dengan Raden Kanduruhan Agah Suriawinata
yang merupakan guru dari Sekolah Karang Pamulang.[4]
4. PANGERAN DIPONEGORO
b. Kehidupan pribadi
Dalam kehidupan sehari-harinya, Pangeran Diponegoro adalah pribadi
yang menyukai anggur putih bermerek Constantia yang berasal dari Tanjung
Harapan, penyuka sirih dan rokok sigaret Jawa yang dilinting khusus dengan
tangan, mengoleksi emas, berkebun. Bahkan, di tempat persemediannya di
Selarejo dan Selarong, kebun yang dimilikinya ditanamin bunga, sayur-sayuran,
buah-buahan, ikan, kura-kura, burung tekukur, buaya hingga harimau. Pangeran
Diponegoro juga menyukai roti bakar, kentang Belanda yang dimakan dengan
campuran sambal dan keripik singkong.[5]
Dia juga dikenal sebagai pria yang menyukai perempuan. Salah satu
sifatnya saat muda yang tidak disukainya (sipat ngaral) adalah mudah tergoda
oleh perempuan. Bahkan, Pangeran Diponegoro sempat tidur dengan perempuan
Tionghoa, yang merupakan tawanan perang, sebelum bertempur dengan Belanda
dan hal ini diakuinya sebagai penyebab kekalahan terbesarnya di Gowok, 15
Oktober 1862.[5]
Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 wanita dalam hidupnya. [5] Sang
Pangeran pertama kali menikah pada usia 27 tahun dengan Raden Ayu Retno
Madubrongto, seorang guru agama dan putri kedua dari Kiai Gede Dadapan. Dari
hasil pernikahan ini, Diponegoro memiliki anak laki-laki bernama Putra
Diponegoro II.[6]
Pada 27 Februari 1807, Pangeran Diponegoro kembali menikah untuk
kedua kalinya dengan putri dari Raden Tumenggung Natawijaya III, seorang
bupati dari Panolan Jipang, Kesultanan Yogyakarta, bernama Raden Ajeng
Supadmi, itupun atas permintaan Sultan Hamengkubuwono III.[6] Diponegoro
kemudian bercerai tiga tahun setelah pernikahannya tersebut dan dianugerahi
seorang anak bernama Pangeran Diponingrat, yang memiliki sifat arogan menurut
Putra Diponegoro II.[6]
Pernikahan ketiga terjadi pada tahun 1808 dengan R.A. Retnadewati,
seorang putri kiai di wilayah Selatan, Yogyakarta. Istri pertama dan ketiga
Pangeran, yakni Madubrongto dan Retnadewati meninggal ketika Diponegoro
masih tinggal di Tegalrejo. Sang Pangeran kemudian menikah kembali pada tahun
1810 dengan Raden Ayu Citrawati, puteri dari Raden Tumenggung Rangga
Parwirasentika dengan salah satu isteri selir. Namun, sang istri Raden Ayu
Citrawati meninggal tidak lama setelah melahirkan anaknya, akibat kerusuhan di
Madiun. Sang bayi kemudian diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan
diberi nama Singlon (nama samaran) dan terkenal dengan nama Raden Mas
Singlon.[7]
Pangeran kembali menikah kelima kalinya pada 28 September 1814
dengan Raden Ayu Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu
Maduretna (putri HB II). Sang istri tersebut saudara seayah dengan Sentot
Prawiradirdja, namun berbeda ibu. Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi
permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton I pada 18 Februari 1828, ketika
Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid. Pada Januari 1828,
sang Pangeran kembali menikah untuk keenam kalinya dengan Raden Ayu
Retnoningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Ketujuh menikah
dengan Raden Ayu Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumaprawira,
seorang Bupati Jipang Kepadhangan, dan kedelapan dengan R.A. Retnakumala,
putri Kiai Guru Kasongan.[7]
Kesembilan menikah dengan Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain
(Wanita dari Wajo, Makassar), makamnya ada di Makassar. Syarifah Fathimah ini
nama lengkapnya adalah Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk
Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk
Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin
Husain Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar.[8]
Dari hasil pernikahannya tersebut, Pangeran Diponegoro mempunyai 12
putra dan 5 orang putri, yang keturunannya semuanya kini hidup tersebar di
seluruh dunia, termasuk Jawa, Madura, Sulawesi, dan Maluku bahkan di
Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.[9]
Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi yang suka melucu dan
bercanda. Terkadang, dia sangat benci dengan komandan tentaranya yang
dianggapnya pengecut dengan cara mengiriminya pakaian perempuan.[5]
Sentot Prawirodirdjo
Pendukung lainnya adalah Sentot AliBasha Abdul Mustopo
Prawirodirdjo atau dikenal dengan Sentot Ali Pasha/Sentot Ali Basha, putra
dari Ronggo Prawirodirjo III yang menjabat sebagai Bupati Montjonegoro
Timur, ipar Sultan Hamengku Buwuno IV, yang terbunuh oleh Hindia
Belanda pada zaman pemerintahan Gubernur Daendels.[17]
Menurut sejarawan Soekanto, Sentot bergabung pada 28 Juli 1826,
sedangkan menurut Peter Carey, Sentot bergabung ketika berumur 17 tahun
pada Agustus 1825 di Selarong. Pada Agustus 1828, salah satu panglima
Diponegoro bernama Gusti Basah, gugur dan sebelum meninggal, ia meminta
sang Pangeran menunjuk Sentot sebagai penggantinya. Setelah diangkat
menjadi senopati, Sentot berhasil memukul mundur tentara Sollewijn di Progo
Timur pada 5 September 1828. Beberapa minggu kemudian, Sentot juga
berhasil memenangkan peperangan di Bagelen dan Banyumas. Strategi perang
yang digunakan Sentot adalah penggerebekan dengan menggempur sekeras-
kerasnya dengan pasukan penuh. Sentot juga dikenal pandai dalam perang
gerilya.[17]
Gelar "Basya" atau "Pasha" diilhami oleh sosok Usamah bin Zaid,
panglima Turki yang memimpin perang melawan bangsa Romawi dalam usia
17 tahun juga. Sentot Alibasha juga dijuluki "Napoleon Jawa". [12] Sentot
memimpin pasukan sebanyak 1.000 orang dengan menyandang senjata dan
mengenakan jubah dan sorban. Struktur pasukannya pun mirip seperti
pasukan Turki Utsmani.[12]
Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di Kroya dan
merampas 400 pucuk senjata, meriam berikut mesiunya serta menawan
ratusan serdadu Hindia Belanda.[18]
Untuk menangkap Sentot, Jenderal De Kock membujuk upati Madiun,
Prawirodiningrat, yang merupakan kakaknya, agar bersedia berunding dengan
Hindia Belanda. Atas bujukan kakaknya tersebut, Sentot kemudian menerima
tawaran Belanda untuk datang ke Yogyakarta dan disambut dengan upacara
militer seperti seorang Jenderal pada 24 Oktober 1829 hingga akhirnya
disergap dan ditangkap.[12]
Setelah menyerah dalam Perang Diponegoro, Sentot sempat dikirim ke
Salatiga, Batavia, hingga akhirnya Hindia Belanda mengirimnya ke Sumatra
Barat untuk membasmi pemberontakan ulama dalam Perang Padri, namun ini
hanya strategi Sentot agar berhasil mendapatkan persenjataan untuk
membantu perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Sentot akhirnya ditahan Hindia
Belanda dan dikirim kembali ke Batavia pada Maret 1833 dan ke Bengkulu
pada Agustus 1833 sebelum akhirnya wafat dalam usia 47 tahun dalam
pengasingan di Bengkulu pada 17 April 1855.[17]
Kerta Pengalasan
Kerta Pengalasan, lahir tahun 1795 dan wafat sekitar tahun 1866,
adalah salah satu senopati Pangeran Diponegoro. Dia dipercaya oleh Pangeran
Diponegoro untuk memperkuat sistem pertahanan pusat negara di Plered. [18]
Sebelum perang, Kerta Pengalasan adalah kepala desa di Desa Tanjung,
Nanggulan, Kulon Progo. Dia diperintah oleh Pangeran Blitar I, salah satu
putra Sultan Hamengkubuwono I untuk mendukung Pangeran Diponegoro.[19]
l. Peninggalan bersejarah
Keris
Pangeran Diponegoro terkenal selalu membawa kerisnya. Beberapa
keris yang dimilikinya adalah Keris Kiai Omyang (tersimpan di Museum
Sasana Wiratama-Yogyakarta), Keris Kiai Wisa Bintulu (tersimpan di Gedong
Pusaka Keraton Yogyakarta, dan Keris Kiai Nogo Siluman. Keris terakhir
tersebut itulah yang paling terkenal karena sempat hilang, namun ditemukan
di Belanda dan sudah teregister dengan nomor RV-360-8084.[25]
Pada tanggal 10 Maret 2020, Keris Kiai Nogo Siluman dikembalikan
kepada Pemerintah Republik Indonesia secara langsung oleh Raja Willem
Alexander kepada Presiden Joko Widodo.[26] Dalam dokumen kesaksian
dalam Bahasa Jawa, Sentot Prawirodirdjo, salah seorang Panglima
Diponegoro, Sentot mengaku melihat sendiri Pangeran Diponegoro
menghadiahkan Keris Kiai Naga Siluman kepada Kolonel Cleerens, utusan
Jenderal De Kock, ketika bertemu. Tulisan Sentot tersebut berhasil dibaca
oleh pelukis Raden Saleh yang juga pernah melukis tentang Pangeran
Diponegoro.[27] Keris ini kemudian oleh Cleerens menjadi persembahan
hadiah kepada Raja Willem I pada tahun 1831. Setelah itu, Keris Kiai Nogo
Siluman disimpan di Koninkelijk Kabinet van Zelfzaamheden (KKVZ).
Setelah KKVZ dibubarkan pada tahun 1883, seluruh koleksi museumnya
tersebar ke berbagai museum dan Keris Kiai Nogo Siluman kemudian
tersimpan di Museum Volkenkunde Leiden.[28]
Penemuan dan pengembalian Keris Kiai Naga Siluman membutuhkan
waktu yang lama. Pada tahun 1983, Duta Besar Belanda untuk Indonesia,
Lodewijk van Gorkom menginformasikan bahwa Keris Pangeran Diponegoro
tersimpan di ruangan bawah tanah Rijksmuseum di Amsterdam, dan meminta
untuk dikembalikan. Penggantinya, yakni Frans van Dongen menulis surat
kepada Pieter Pott, direktur museum nasional etnologi, pada tahun 1985,
meminta agar keris tersebut harus ditemukan dan dikembalikan dalam rangka
peringatan 40 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Van Dongen
kemudian menerima balasan surat dari Pott yang mengaku sudah menemukan
keberadaan keris tersebut, namun ternyata Pott salah mengidentifikasinya.[29]
Adapun keris lainnya adalah Keris Kiai Bromo Kedali dan tombak Kiai
Rodhan yang diserahkan Pangeran Diponegoro kepada Pangeran Diponegoro
II (Raden Mas Muhammad Ngarip/Abdul Majid), Keris Kiai Habit dan
tombak Kiai Gagasono milik Raden Mas Joned, Keris Kiai Blabar dan tombak
Kiai Mundingwangi milik Raden Mas Raib, Keris Kiai Wreso Gemilar dan
tombak Kiai Tejo (Raden Ayu Mertonegoro), Keris Kiai Hatim dan tombak
Kiai Simo milik Raden Ayu Joyokusumo, tombak Kiai Dipoyono milik Raden
Ajeng Impun, dan tombak Kiai Bandung milik Raden Ajeng Munteng.[30]
Keris lain yang dianggap paling sakti adalah Keris Kiai Ageng
Bondoyudo. Keris ini hasil peleburan dari tiga pusaka, yakni Keris Kiai
Surotomo, tombak Kiai Barutobo, dan Keris Kiai Abijoyo. Keris Kiai Ageng
Bondoyudo ini selalu dirawat oleh Pangeran Diponegoro sendiri hingga akhir
hayatnya dan dikuburkan bersamaan dengan jasadnya, pada 8 Januari 1855.[30]
Tongkat
Pangeran Diponegoro juga memiliki tongkat yang dinamakan Kanjeng
Kiai Tjokro, yang saat ini disimpan di Galeri Nasional Indonesia. Tongkat ini
telah dikembalikan oleh Michiel dan Erica Lucia Baud, kepada Mendikbud
Anies Baswedan pada tahun 2015.[31]
Tongkat ini memiliki simbol cakra sepanjang 153 sentimeter yang
terletak di ujung tongkatnya. Tongkat ini diperoleh Pangeran Diponegoro dari
hasil dari warga selama berziarah di selatan Jawa, termasuk Yogyakarta, pada
tahun 1815.[10] Tongkat ini selalu dibawa oleh sang Pangeran setiap berziarah
ke tempat suci untuk berdoa. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, salah
satu panglimanya, yakni Pangeran Dipati Notoprojo, cucu Nyi Ageng Serang,
memegang tongkat ini dan oleh Pangeran Dipati Notoprojo diberikan sebagai
hadiah kepada Gubernur Jenderal J.C Baud pada tahun 1834 untuk merebut
hati pemerintah Hindia Belanda. Tongkat ini kemudian disimpan oleh salah
satu keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jean Chretien
Baud selama 181 tahun. J.C Baud adalah gubernur jenderal Hindia Belanda
ke-44, yang berkuasa pada tahun 1834-1836.[31]
Tombak
Tombak Kiai Rodhan adalah salah satu senjata pusaka Pangeran
Diponegoro yang telah dikembalikan ke Indonesia tahun 1978 dan saat ini
tersimpan. Tombak ini terbuat dari kayu dengan dilapisi benang hitam dan
dipercaya dapat memberikan perlindungan dan peringatan datangnya bahaya.
Pada mata tombak terdapat bagian yang dilapisi emas dan pada bagian
pangkal matanya terdapat empat relung yang berhias permata, namun dua
buah permatanya telah hilang ketika benda ini dikembalikan ke Indonesia.[31]
Tombak ini lepas dari genggaman Pangeran Diponegoro ketika ia
disergap di pegunungan Gowong, Kedu, oleh pasukan gerak cepat ke-11
Mayor A.V Michiels. Tombak ini bersama dengan pelana kuda Pangeran
Diponegoro dikirim ke Raja Belanda Willem I (1813-1840) sebagai rampasan
perang.[31]
Benda lainnya
Menurut sejarawan Peter Carey, selain keris dan tongkat, saat ini masih
ada dua peninggalan Pangeran Diponegoro, yakni surat asli sang Pangeran
kepada ibunda dan anak sulungnya serta tali kuda, yang masih tersimpan di
Belanda.[28]
Sementara itu, menurut Direktur Museum Sejarah Kolonial Bronbeek di
Arnhem, Pauljac Verhoeven, benda peninggalan Pangeran Diponegoro yakni
tali kekang dan pelana yang telah memiliki nomor arsip telah dikembalikan
kepada pemerintah Indonesia.[32]
5. HAMKA
17 Februari 1908
Lahir
Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam, Sumatra Barat
Meninggal 24 Juli 1981 (umur 73) Jakarta
Nama pena Hamka
Kebangsaan Indonesia
tafsir Al-Quran, fiqih (hukum Islam), tarikh (sejarah
Tema
Islam), tasawuf, dan sastra
Angkatan Balai Pustaka
Tafsir Al-Azhar
Karya terkenal Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
Di Bawah Lindungan Ka'bah
Sitti Raham
Pasangan
Sitti Khadijah
Rusydi Hamka
Irfan Hamka
Aliyah Hamka
Anak Fathiyah Hamka-Vickri
Helmi Hamka
Afif Hamka
Syakib Arsalan Hamka
Kerabat Ahmad Rasyid Sutan Mansur (kakak ipar)
Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo, populer
dengan nama penanya Hamka (bahasa Arab: ر هللاVVريم أمVVك كVVد الملVV ;عبlahir di Nagari
Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, 17 Februari
1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah seorang ulama
dan sastrawan Indonesia. Ia berkiprah sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia
terjun dalam politik melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah
hingga akhir hayatnya. Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia
menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo,
Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk
Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan
Nasional Indonesia.
Dibayangi nama besar ayahnya Abdul Karim Amrullah, Hamka remaja sering
melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di Thawalib,
menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun melewatkan
perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah.
Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak
memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut keinginan
Hamka pergi ke Mekkah. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka
mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka
merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Dalam
pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk
meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya sebagai ulama dan sastrawan. Kembali ke
Medan pada 1936 setelah pernikahannya, ia menerbitkan majalah Pedoman
Masyarakat. Lewat karyanya Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck, nama Hamka melambung sebagai sastrawan.
Selama revolusi fisik, Hamka bergerilya bersama Barisan Pengawal Nagari
dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pengunungan di Sumatra Barat untuk
menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda. Pada 1950, Hamka
membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski mendapat pekerjaan di Departemen
Agama, Hamka mengundurkan diri karena terjun di jalur politik. Dalam pemilihan
umum 1955, Hamka dicalonkan Masyumi sebagai wakil Muhammadiyah dan terpilih
duduk di Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara. Sikap
politik Masyumi menentang komunisme dan gagasan Demokrasi Terpimpin
memengaruhi hubungannya dengan Sukarno. Usai Masyumi dibubarkan sesuai
Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat yang
berumur pendek, dibredel oleh Sukarno setelah menurunkan tulisan Hatta—yang
telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden—berjudul "Demokrasi Kita". Seiring
meluasnya pengaruh komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi
kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Hamka diciduk
dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Ia merampungkan Tafsir Al-Azhar
dalam keadaan sakit sebagai tahanan.
Seiring peralihan kekuasaan ke Soeharto, Hamka dibebaskan pada Mei
1966[1]. Ia mendapat ruang pemerintah, mengisi jadwal tetap ceramah di RRI dan
TVRI. Ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Al-Azhar.
Ketika pemerintah menjajaki pembentukan Majelis Ulama Indonesia pada 1975,
peserta musyawarah memilih dirinya secara aklamasi sebagai ketua. Namun, Hamka
memilih meletakkan jabatannya pada 19 Mei 1981, menanggapi tekanan Menteri
Agama untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat
Muslim. Ia meninggal pada 24 Juli 1981 dan jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah
Kusir, Jakarta.
a. Kehidupan awal
Abdul Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender
Hijriyah: 13 Muharram 1326] di Tanah Sirah, kini masuk wilayah Nagari Sungai
Batang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Ia adalah anak pertama dari empat
bersaudara, anak pasangan Abdul Karim Amrullah "Haji Rasul" dan Safiyah. Haji
Rasul menikahi Safiyah setelah istri pertamanya, Raihana yang merupakan kakak
Safiyah meninggal di Mekkah. Raihana memberi Malik seorang kakak tiri,
Fatimah yang kelak menikah dengan Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Kembali ke Minangkabau setelah belajar kepada Ahmad Khatib Al-
Minangkabawi, Haji Rasul memimpin gelombang pembaruan Islam, menentang
tradisi adat dan amalan tarekat, walaupun ayahnya sendiri, Muhammad Amrullah
adalah seorang pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Istri Amrullah, anduang bagi
Malik, bernama Sitti Tarsawa adalah seorang yang mengajarkan tari, nyanyian,
dan pencak silat.
Di Maninjau, Hamka kecil tinggal bersama anduangnya, mendengarkan
pantun-pantun yang merekam keindahan alam Minangkabau. Ayahnya sering
bepergian untuk berdakwah. Saat berusia empat tahun, Malik mengikuti
kepindahan orangtuanya ke Padang Panjang, belajar membaca al-Quran dan
bacaan shalat di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya. Memasuki umur tujuh
tahun, Malik masuk ke Sekolah Desa.[a] Pada 1916, Zainuddin Labay El Yunusy
membuka sekolah agama Diniyah School, menggantikan sistem pendidikan
tradisional berbasis surau. Sambil mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah
Desa, Malik mengambil kelas sore di Diniyah School. Kesukaanya di bidang
bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab.
Pada 1918, Malik berhenti dari Sekolah Desa setelah melewatkan tiga
tahun belajar. Karena menekankan pendidikan agama, Haji Rasul memasukkan
Malik ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya menghafal kitab-
kitab klasik, kaidah mengenai nahwu, dan ilmu saraf. Setelah belajar di Diniyah
School setiap pagi, Malik menghadiri kelas Thawalib pada sore hari dan
malamnya kembali ke surau. Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang
mengandalkan hafalan membuatnya jenuh. Kebanyakan murid Thawalib adalah
remaja yang lebih tua dari Malik karena beratnya materi yang dihafalkan. Dari
pelajaran yang diikutinya, ia hanya tertarik dengan pelajaran arudh yang
membahas tentang syair dalam bahasa Arab.[2] Kendati kegiatannya dari pagi
sampai sore hari dipenuhi dengan belajar, Hamka kecil terkenal nakal. Ia sering
mengganggu teman-temannya jika kehendaknya tidak dituruti. Karena gemar
menonton film, Malik pernah mengelabui ayahnya, diam-diam tidak datang ke
surau untuk mengintip film bisu yang sedang diputar di bioskop.[3]
c. Perantauan
Malik sering menempuh perjalanan jauh sendirian, berkelana ke sejumlah
tempat di Minangkabau. Ayahnya memberinya julukan "Si Bujang Jauh" karena
ia selalu menjauh dari orang tuanya sendiri. Dalam usia baru menginjak 15 tahun,
Malik telah berniat pergi ke pulau Jawa. Ia melarikan diri dari rumah, tanpa
diketahui ayahnya dan hanya pamit kepada anduangnya di Maninjau. Dari
Maninjau, Malik memulai perjalanan dengan bekal ongkos pemberian andungnya.
Ia menempuh perjalanan melalui darat dengan singgah terlebih dahulu di
Bengkulu, berencana menemui kerabat satu suku dari ibunya untuk meminta
tambahan ongkos. Namun, dalam perjalananya, Malik didera penyakit beruntun.
Ia ditimpa penyakit malaria saat sampai di Bengkulu. Dalam kondisi sakit dan
tubuhnya mulai diserang cacar, Malik meneruskan perjalanan ke Napal Putih dan
bertemu kerabatnya. Setelah dua bulan meringkuk menunggu kesehatannya pulih,
kerabatnya memulangkan Malik ke Maninjau. Bekas luka cacar menyisakan
bopeng di sekujur tubuhnya membuat Malik remaja minder dan dicemooh teman-
temannya.
Pada Juli 1924, Malik kembali memulai perjalanannya ke Jawa. Ia
menumpang di rumah Marah Intan sesama perantau Minang dan bertemu adik
ayahnya, Jafar Amrullah di Yogyakarta. Pamannya itu membawanya ke tempat
Ki Bagus Hadikusumo untuk belajar tafsir Al-Quran. Hamka menemukan
keasyikan belajar dengan Ki Bagus yang mengupas makna ayat-ayat Al-Quran
secara mendalam. Dari Ki Bagus, Malik mengenal Sarekat Islam dan bergabung
menjadi anggota. Melalui kursus-kursus yang diadakan Sarekat Islam, ia
menerima ide-ide tentang gerakan sosial dan politik. Di antara gurunya waktu itu
adalah HOS Tjokroaminoto dan Suryopranoto. Cokroaminoto menaruh perhatian
kepada Malik karena semangatnya dalam belajar. Malik mengikuti kelas dengan
tekun, sering bertanya dan menyalin pelajaran yang didapatnya.
Pergerakan Islam di Jawa telah memberi pengaruh besar bagi Malik. Dari
pengalamannya di Yogyakarta, ia menemukan Islam sebagai suatu yang hidup,
suatu perjuangan, dan suatu pendirian yang dinamis. Ketika perhatian umat Islam
di Minangkabau terseret pada perdebatan praktik ritual Islam, ia mendapati
organisasi dan tokoh-tokoh pergerakan di Jawa memusatkan diri pada perjuangan
untuk memajukan umat Islam dari keterbelakangan dan ketertindasan. Setelah
melewatkan waktu enam bulan di Yogyakarta, Malik bertolak ke Pekalongan
untuk bertemu dan belajar kepada kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.[7]
Pertemuannya dengan Sutan Mansur mengukuhkan tekadnya untuk terjud dalam
perjuangan dakwah. Dari kakak iparnya, Malik mendapatkan kesempatan
mengikuti berbagai pertemuan Muhammadiyah dan berlatih berpidato di depan
umum.
Di Pekalongan, Malik bertemu ayahnya yang urung berangkat ke Mesir
setelah ditundanya Kongres Kekhalifahan Internasional. Kegiatan
Muhammadiyah menarik perhatian Haji Rasul sehingga saat kembali ke
Minangkabau bersama Jafar Amrullah dan Marah Intan, Haji Rasul menginisiasi
pendirian Muhammadiyah di Sungai Batang. Perkumpulan yang telah berdiri
lebih dulu bernama Sendi Aman bertukar nama menjadi Muhammadiyah untuk
diakui sebagai cabang dari Yogyakarta. Dari sinilah Muhammadiyah menyebar ke
seluruh daerah Minangkabau dengan bantuan bekas murid-muridnya. Dalam
rangka mempersiapkan mubalig dan guru Muhammadiyah, Haji Rasul
menggerakkan murid-murid Thawalib membuka Tabligh Muhammadiyah di
Sungai Batang. Malik memimpin latihan pidato yang diadakan kursus itu sekali
sepakan. Ia membuatkan pidato bagi yang tak pandai mengarang. Pidato-pidato
yang bagus ia muat dalam majalah Khatibul Ummah yang dirintisnya dengan tiras
500 eksemplar. Malik melengkapi dan menyunting bagian pidato yang
diterimanya sebelum diterbitkan. Gurunya Zainuddin dan pemilik percetakan
Bagindo Sinaro ikut membantu pembuatan dan distribusi majalah. Beberapa
orang belajar kepada Malik membuat materi pidato. Dari kesibukannya menulis
dan menyunting naskah pidato, Malik mulai mengetahui dan menuangkan
kemampuannya dalam menulis. Namun, karena alasan keuangan, penerbitam
Khatibul Ummah hanya bertahan tiga nomor.[8]
Usaha memperkenalkan Muhammadiyah ke daerah Minangkabau
memperoleh banyak tantangan dari kalangan Thawalib yang telah dipengaruhi
komunis. Pengaruh paham itu mempengaruhi sikap murid-murid Thawalib
terhadap Belanda secara radikal ketimbang ideologi yang berakar dari
materialisme. Pada saat yang sama, golongan anti-komunis membatasi kegiatan
mereka pada perjuangan pembaruan pendidikan tanpa menentang kedudukan
Belanda secara terbuka. Peralihan perhatian ke bidang politik di kalangan guru
dan pelajar Thawalib membuat Haji Rasul kecewa sehingga ia menolak mengajar
di lembaga itu, walaupun lembaga itu kelak bersih dari golongan komunis.
Pada pengujung 1925, pengurus besar Muhammadiyah di Yogyakarta
mengutus Sutan Mansur ke Minangkabau. Sejak itu, Malik selalu mendampingi
Sutan Mansur berdakwah dan merintis cabang Muhammadiyah. [9] Bersama Sutan
Mansur, ia ikut mendirikan Muhammadiyah di Pagar Alam, Lakitan, dan Kurai
Taji.[10] Ketika Syekh Jalaluddin Rajo Endah IV Angkat menggantikan Syekh
Mohammad Jamil Jaho sebagai ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang,
Malik diangkat sebagai wakil ketua.[11]
f. Muhammadiyah
Setelah tiga bulan menikah, Malik bersama istrinya pindah ke Padang
Panjang. Dalam kepengurusan Muhammadiyah, ia menjabat sebagai Ketua
Muhammadiyah Padang Panjang dan merangkap sebagai pimpinan Tabligh
School setingkat madrasah tsanawiyah yang diadakan Muhammadiyah.[16]
Pengajarannya menempati gedung Muhammadiyah di Guguk Malintang setiap
selasa malam dan dihadiri banyak orang.[17] Sebagai wadah pembentukan kader-
kader Muhammadiyah, mata pelajaran Tabligh School berkisar tentang
kepemimpinan, strategi dakwah, dan penyebaran dakwah Muhammadiyah. Malik
mengajar bersama Sutan Mansur dan Sutan Mangkuto. Caranya mengajar
dianggap baru, berbeda dengan yang lain. Salah seorang muridnya, Malik Ahmad
kelak menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah.
Ketika diadakannya Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo pada awal
1929, Malik datang sebagai peserta. Sejak itu, ia tidak pernah absen menghadiri
Kongres Muhammadiyah berikutnya. Dalam kunjungannya di Solo, ia bertemu
dengan tokoh pimpinan Muhammadiyah, Fakhruddin. Hamka menyebut
Fakhruddin sebagai salah seorang yang mempengaruhi jalan pikirannya dalam
agama. "Keberanian dan ketegasannya menjadi pendorong bagi saya untuk berani
dan tegas pula." Dalam perjalanannya di Bandung, Hamka bertemu A. Hassan
dan Mohammad Natsir. Ketika Muhammadiyah mengadakan kongres di
Bukittinggi pada 1930, Malik berpidato tentang "Agama Islam dalam Adat
Minangkabau". Dalam kongres yang bersifat nasional, baru Hamka sebagai
pembicara yang mencoba mempertautkan adat dengan agama. Pada kongres
Muhammadiyah ke-20 tahun berikutnya di Yogyakarta, Malik menyampaikan
pidato mengenai perkembangan Muhammadiyah di Sumatra. Ia mampu memukau
sebagian besar peserta kongres yang hadir. Pidatonya membuat banyak orang
yang menitikkan air mata. Pada 1931, usai membuka cabang Muhammadiyah di
Bengkalis, ia dipercayakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk
mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar.[18][19]
Selama di Makassar, Hamka sempat mengeluarkan majalah Islam Tentera
sebanyak empat edisi dan majalah Al-Mahdi sebanyak sembilan edisi.
Keberadaan Malik di Makassar dimanfaatkan oleh pimpinan Muhammadiyah
setempat.[20] Malik mendirikan Tabligh School yang serupa di Padang Panjang.
Menggantikan sistem pendidikan tradisional, Tabligh School menawarkan pola
pendidikan baru secara modern dan sistematis dengan mengambil model
pendidikan barat, tanpa melepaskan diri dari nilai-nilai agama. Sepeninggal
Hamka pada 1934, Tabligh School di Makassar diteruskan menjadi Muallimin
Muhammadiyah di bawah asuhan Muhammadiyah. Dari pergaulannya dengan
masyarakat Makassar, ia mendapat inspirasi dalam menulis novelnya kelak,
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Kembali ke Padang Panjang pada 1934, Malik diserahi untuk memimpin
Kulliyatul Mubalighin sebagai ganti Tabligh School yang mengalami
kemunduran sepeninggalnya.[21] Dengan lama belajar tiga tahun, lembaga ini
dimaksudkan untuk menyiapkan mubalig dan guru sekolah menengah tingkat
tsanawiyyah. Melalui Kulliyatul Mubalighin, ia mengajarkan murid-murinya
berpidato dan mengarang.[22]
Pada 1934, ia diangkat menjadi anggota Majelis Konsul Muhammadiyah
Sumatra Tengah—yang meliputi Sumatra Barat, Jambi, dan Riau.
g. Pedoman Masyarakat
Dari pengalamannya di Padang Panjang dan Makassar, Hamka merasa
bakatnya sebagai pengarang lebih baik ia manfaatkan ketimbang menjadi guru.
Pada Januari 1936, Hamka berangkat ke Medan, memelopori jurnalistik Islam dan
menekuni karang-mengarang. Ia memenuhi permintaan Muhammad Rasami,
tokoh Muhammadiyah Bengkalis untuk memimpin Pedoman Masyarakat di
bawah Yayasan Al-Busyra pimpinan Asbiran Yakub. [23] Kulliyatul Mubalighin
yang ditinggalkannya diteruskan oleh Abdul Malik Ahmad sampai 1946.[24]
Pedoman Masyarakat beroplah 500 eksemplar ketika terbit perdana pada 1935.[25]
Oplahnya melonjak hingga 4.000 eksemplar setelah Malik menjadi pemimpin
redaksi pada 22 Januari 1936.[26][27] Majalah itu mengupas pengetahuan umum,
agama, dan sejarah. Melalui kedudukannya sebagai pemimpin redaksi, Hamka
menjalin hubungan intelektual dengan sejumlah tokoh pergerakan. [28][29] Pada
Februari 1936, ia menyindir sikap pemerintah kolonial terhadap Hatta dan Sjahrir
dengan mengasingkan mereka ke Boven Digul. Melalui Pedoman Masyarakat
pula, Malik untuk pertama kalinya memperkenalkan nama pena "Hamka".
Hamka mengisi beberapa rubrik dan menulis cerita bersambung.
Mengangkat masalah penggolongan dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan
harta, pangkat, dan keturunan, ia menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah. Hamid
terhalang menikahi Zainab karena perbedaan status antara kedua keluarga.
Melihat animo masyarakat yang luas, Balai Pustaka menerbitkan Di Bawah
Lindungan Ka'bah pada 1938. Setelah Di Bawah Lindungan Ka'bah, Hamka
menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck tentang percintaan antara Zainuddin
dan Hayati yang terhalang adat dan berakhir dengan kematian. Sewaktu dimuat
sebagai cerita bersambung, Hamka menuturkan ia mendapat banyak surat dari
pembaca, sebagian meminta agar Hayati hati "jangan sampai dimatikan",
sebagian mengungkapkan kesan mereka "seakan-akan Tuan menceritakan
nasibku sendiri". Namun, sejumlah pembaca Muslim menolak Van Der Wijck
karena menurut mereka seorang ulama tak pantas menulis roman percintaan. Ia
pernah dijuluki kiai cabul.[30] Hamka membela diri lewat tulisan di Pedoman
Masyarakat pada 1938. Ia menyatakan, tak sedikit roman yang berpengaruh
positif terhadap pembacanya. Ia merujuk pada roman 1920-an dan 1930-an yang
mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya
pembedaan kelas.
i. Pindah ke Jakarta
Pada bulan Desember 1949, Hamka pindah bersama keluarganya ke
Jakarta. Ia semula menyewa rumah milik keluarga Arab di Jalan Toa Hong II,
Kebun Jeruk.[37] Untuk memulai hidup, Hamka mengandalkan honorarium buku-
bukunya yang diterbitkan di Medan sambil mengirim tulisan untuk surat kabar
Merdeka dan majalah Pemandangan. Dalam surat kabar Abadi, Hamka
mengasuh rubrik "Dari Perbendaharaan Lama" yang terbit dalam edisi Minggu.
Beberapa karangannya sempat terbit majalah Mimbar Indonesia yang dipimpin
H.B. Jassin dan majalah Hikmah.
Ia diangkat sebagai pegawai Kementerian Agama yang pada waktu itu
menterinya dipimpin KH Wahid Hasyim. Ia diserahi tugas mengajar di beberapa
perguruan tinggi Islam. Di antaranya Universitas Islam Jakarta, PTAIN
Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Universitas Muslim
Ujungpandang. Hamka banyak diundang ke berbagai tempat untuk ceramah.
Pada 1950, usai menunaikan ibadah haji, Hamka mengunjungi beberapa
negara Arab dan mendapatkan banyak inspirasi untuk menulis. Ia menulis tiga
romannya yakni Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di
Tepi Sungai Dajjah. Sejumlah konferensi internasional mendapuk Hamka
sebagai pembicara mewakili Indonesia. Pada 1952, ia mendapat undangan dari
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk mengadakan kunjungan ke
negara itu. Dari kunjunganya, ia mengarang buku Empat Bulan di Amerika. Pada
1953, ia mengikuti Misi Kebudayaan RI ke Muangthai dipimpin Ki
Mangunsarkoro. Pada 1954, ia berangkat ke Burma mewakili Departemen
Agama dalam perayaan 2.000 tahun wafatnya Siddhartha Gautama.
Berstatus sebagai pegawai pemerintah, Hamka pada saat yang sama terjun
dalam kancah politik. Ia bergabung dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi) yang menginginkan perjuangan Islam melalui mekanisme
konstitusional. Namun, aktivitasnya di dunia politik belakangan
menyebabkannya harus mengundurkan diri sebagai pegawai Departemen Agama.
Soekarno meminta para pegawai untuk memilih tetap menjadi pegawai atau
anggota partai.
Pada pemilihan umum 1955, ia terpilih sebagai anggota Dewan
Konstituante mewakili Jawa Tengah. Dalam sidang-sidang Konstituante, ia
menyampaikan pidato tentang bahasa, hak-hak azasi manusia, dan dasar negara.
Hamka tampil sebagai salah seorang penanggap pidato Presiden Soekarno
berjudul "Republika" (yang mengajak kembali ke UUD 1945 dan ide "kabinet
kaki empat"). Ia menolak gagasan Presiden Soekarno yang akan menerapkan
Demokrasi Terpimpin. Ketika terjadi perdebatan mengenai dasar negara, Hamka
bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa Anshari secara konsisten
memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia. Hamka
mengemukakan kelebihan Islam dari Pancasila, malah dari dasar apapun di
dunia. Ia meragukan pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila mencerminkan
gaya hidup ataupun falsafah hidup orang Indonesia sekalipun ia menghargai
usaha mereka yang hendak meyakinkan ini. Dalam pidatonya, Hamka
mengusulkan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kembali kalimat
tentang "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", sebagaimana
yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Perdebatan itu berujung pada
dikeluarkannya Dekrit Presiden.
l. Orde Baru
Pada 30 November 1967, Pemerintah Indonesia menggagas diadakannya
Musyawarah Antar Agama. Dalam musyawarah yang dihadiri pemuka agama
yang diakui secara resmi di Indonesia, pemerintah mengusulkan pembentukan
Badan Konsultasi Antar Agama dan pernyataan bersama dalam piagam yang
isinya antara lain, ”Menerima anjuran Presiden agar tidak menjadikan umat yang
sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama lain.” Badan Konsultasi Antar
Agama berhasil dibentuk, tetapi musyawarah gagal menyepakati
penandatangangan piagam yang diusulkan pemerintah. Perwakilan Kristen
merasa berkeberatan sebab piagam tersebut dianggap bertentangan dengan
kebebasan penyebaran Injil. Dalam pidatonya, A.M. Tambunan menyampaikan
pendirian umat Kristiani bahwa menyebarkan Pekabaran Injil kepada orang yang
belum Kristen adalah "Titah Ilahi yang wajib dijunjung tinggi". Meskipun
Musyawarah Antar Agama dianggap gagal oleh banyak pihak, Hamka
menganggap musyawarah itu berhasil karena telah mengungkap "apa-apa yang
selama ini belum terungkapkan secara gamblang".
Setelah bebas dari penjara, Hamka menjadi perwakilan Indonesia dalam
beberapa pertemuan internasional. Pada 1967, ia berkunjung ke Malaysia atas
undangan Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman. Pada 1968, ia menghadiri
Peringatan Masjid Annabah di Aljazair. Dari Aljazair, ia mengunjungi beberapa
negara seperti Spanyol, Roma, Turki, London, Saudi Arabia, India, dan Tahiland.
Pada 1969, bersama KH Muhammad Ilyas dan Anggota Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) Anwar Tjokromaminoto, Hamka mewakili Indonesia dalam
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam membahas konflik Palestina-Israel di
Rabat, Maroko.
Dalam musyawarah alim ulama se-Indonesia di Jakarta pada 30
September–4 Oktober 1970, Pusat Dakwah Islam Indonesia, organisasi bentukan
pemerintah, mengapungkan gagasan pembentukan Majelis Ulama. Meskipun
mendapatkan dukungan Menteri Agama KH Muhammad Dahlan, sejumlah ulama
dan tokoh Islam, seperti Mohammad Natsir dan Kasman Singodimedjo melihat
bahwa lembaga itu hanya akan menguntungkan pemerintah ketimbang umat
Islam. Namun, Hamka memandang penting pembentukan Majelis Ulama perlu
sebagai jembatan pemerintah dan umat Islam. Menurutnya, Majelis Ulama dapat
mengurangi rasa curiga antara pemerintah dan umat Islam. "Mereka berani
mengkritik perbuatan pemerintah yang salah menurut keyakinannya, walaupun
karena ketegasan pendiriannya itu, ia akan dibenci oleh penguasa. Sebaliknya ia
pun berani membela satu langkah pemerintah yang dianggapnya menempuh jalan
yang benar, walaupun karena itu ia pun akan dibenci oleh rakyat," tulis Hamka
dalam Panji Masyarakat pada 1 Juli 1974.
Pada 1971, Hamka menghadiri Seminar Islam di Aljazair, dengan
membawa paper tentang Muhammadiyah di Indonesia. Pada 8 Juni 1974, Hamka
menerima gelar kehormatan Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan
Malaysia. Pada 1975, ia menghadiri Muktamar Masjid di Mekkah. Pada 1976, ia
menghadiri Konferensi Islam di Kucing, Serawak, Malaysia Timur. Pada 1976, ia
mengikuti Seminar Islam dan Kebudayaan Malaysia di Universitas Kebangsaan
Malaysia dengan paper "Pengaruh Islam pada Kesusastraan Melayu". Pada 1977,
ia menghadiri Peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore dan Muktamar
Ulama (Al-Buhust Islamiyah) di Kairo. Di Lahore, Hamka menyampaikan
makalahnya tentang Muhammad Iqbal, menyoroti pengaruh Iqbal dalam
membawa identitas Muslim pada Jinnah.[38]
m. Ketua MUI
Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbentuk pada 26 Juli 1975,
Hamka dipilih secara aklamasi sebagai Ketua MUI.[39] Pada hari itu pula, Hamka
berpidato pertama kali sebagai Ketua MUI. Ketika ia menyampajkan pidato saat
pelantikan dirinya, Hamka menyatakan bahwa dirinya bukanlah sebaik-baiknya
ulama. Ia menyadari bahwa dirinya memang populer, "tapi kepopuleran bukanlah
menunjukkan bahwa saya yang lebih patut." Ia menjelaskan posisi MUI dengan
pemerintah dan masyarakat terletak di tengah-tengah, "laksana kue bika" yang
"dibakar api dari atas dan bawah". "Api dari atas ibarat harapan pemerintah,
sedangkan api dari bawah wujud keluhan umat Islam. Berat ke atas, niscaya putus
dari bawah. Putus dari bawah, niscaya berhenti jadi ulama yang didukung rakyat.
Berat kepada rakyat, hilang hubungan dengan pemerintah."
Meski berbagai pihak waktu itu sempat ragu apakah Hamka mampu
menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang
saat itu berlangsung dengan sangat gencar, ia berhasil membangun citra MUI
sebagai lembaga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam.
Sebagai Ketua MUI, ia meminta agar ia tidak digaji. Ia memilih menjadikan
Masjid Agung Al-Azhar sebagai pusat kegiatan MUI alih-alih berkantor di Masjid
Istiqlal. Selain itu, ia meminta agar diperbolehkan mundur, apabila nanti ternyata
sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah
dan ulama. Pemerintah bersedia mengakomodasi permintaan Hamka.
Pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soeharto sejak
mulai berdirinya Majelis Ulama Indonesia selalu menganjurkan agar di Indonesia
terdapat Kerukunan Hidup Beragama. Hamka sebagai Ketua MUI pada 21
September 1975 menerangkan kepada 30 orang utusan ulama yang hadir bahwa
Islam mempunyai konsepsi yang terang dan jelas di dalam surat Al-Mumtahinah
ayat 7 dan 8, bahwa tidak dilarang oleh Al-Quran orang Islam itu hidup rukun dan
damai dengan pemeluk agama lain. "Orang Islam disuruh berlaku adil dan hidup
rukun dengan mereka asal saja mereka itu tidak memerangi kita dan mendesak
kita untuk keluar dari tanah air kita sendiri." MUI telah menerima anjuran
pemerintah tentang kerukunan umat beragama.
Pada 1978, Hamka berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya
adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk
mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadhan, yang sebelumnya sudah
menjadi kebiasaan.
o. Meninggal
Kesehatan Hamka menurun setelah mengundurkan diri dari jabatan ketua
MUI. Meningikuti anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter keluarga Hamka,
Hamka diopname di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 18 Juli 1981, bertepatan
dengan awal Ramadan. Pada hari keenam dirawat, Hamka sempat menunaikan
salat Dhuha dengan bantuan putrinya, Azizah, untuk bertayamum. Siangnya,
beberapa dokter datang memeriksa kondisinya, menyatakan bahwa ia berada
dalam keadaan koma. Tim dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru, dan saraf
sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan
dengan alat pacu jantung. Pada pukul sepuluh pagi keesokan harinya, anak-
anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu jantung, dan tidak lama setelah itu
Hamka menghembuskan napas terakhirnya.[40]
Hamka meninggal dunia pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pukul 10:37 WIB
dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden
Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir yakni
Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, Menteri Negara Lingkungan
Hidup Emil Salim, dan Menteri Perhubungan Azwar Anas yang menjadi imam
salat jenazahnya. Jenazah Hamka dibawa ke Masjid Agung Al-Azhar dan
dishalatkan lagi, sebelum dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah
Kusir, Jakarta Selatan, dipimpin Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara.
[40]
r. Sastra
Karya-karya Hamka umumnya bertema gugatan terhadap adat
Minangkabau, terutama kawin paksa dan hubungan kekerabatan yang menurut
pandangannya tak bersesuaian dengan cita-cita masyarakat Indonesia modern.
Melalui Di Bawah Lindungan Ka'bah, Hamka menggugat penggolongan orang
berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan oleh masyarakat Minangkabau.
Menurutnya, adat bertentangan dengan agama Islam yang memandang kedudukan
manusia sama di hadapan Allah. Dalam Tuan Direktur, Hamka menyindir tokoh
Jazuli sebagai kebanyakan orang Melayu yang kerap terburu nafsu sehingga
mengabaikan nilai-nilai fundamental. Dalam Merantau ke Deli, Hamka
menginginkan perubahan penilaian masyarakat Minangkabau tentang
keberhasilan merantau dan mengkritik penilaian adat tentang pernikahan yang
baik dari satu daerah saja. Pada kenyataannya, harta bukan jaminan kehidupan
akan menjadi bahagia, begitupula asal daerah bukan jaminan pernikahan akan
bertahan lama.
Pada akhir 1930-an, buku-buku Hamka telah dapat ditemukan di
perpustakaan sekolah umum. Para pelajar sering dianjurkan untuk membacanya.
Novel-novel Hamka menuai kesuksesan komersial dan berkali-kali cetak ulang.
Di Bawah Lindungan Ka'bah diangkat ke layar lebar pada 1981 dan 2011. Pada
2013, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck untuk kali pertama difilmkan.
Ketika pertama kali menulis roman, Hamka sempat dikecam dan dianggap
tidak pantas menulis kisah percintaan.[30] HB Jassin melihat kritikan terhadap
Hamka, antara lain, disebabkan hukum yang menetapkan menulis karya sastra
adalah satu dosa dan haram. Hamka dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat
menegaskan menulis karya sastra bukan satu dosa, selain menjelaskan kegiatan
menulis boleh menjadi satu dakwah. HB Jassin mengutip pernyataan Hamka.
"Seni atau sastra Islam mestilah merangkumi keindahan dan kebenaran."
Keindahan, kebenaran dan kebaikan itu, menurut Hamka, jelas kembali semula
kepada Tuhan. Dari sudut pandang sastra, beberapa kritikus menganggap karya-
karya Hamka tidak istimewa. Kritikus sastra Indonesia berpendidikan Belanda A.
Teeuw menilai, Hamka tidak dapat dianggap sebagai pengarang besar karena
karyanya mempunyai psikologi yang lemah dan terlalu moralistik.
s. Sejarah
Dalam Sejarah Umat Islam, Hamka menulis tentang sejarah Islam dengan
sistimatika periode berkuasa kerajaan. Ia menekankan peranan raja dan
kerajaanya yang pernah menguasai Nusantara. Menurutnya, Islam di Indonesia
berhubungan dengan Arab lebih dulu daripada India. Bukti sejarah yang paling
nyata adalah ditemukannya perkampungan Arab pada 674 di pantai Barat
Sumatra dan Kerajaan Kalingga pada masa Ratu Shima, yang keduanya
bersumber dari berita Tiongkok. Sejarawan Gusti Asnan mencatat, Hamka telah
menemukan sumber-sumber lama yang sebelumnya tidak pernah digunakan
penulis pada zamannya. Ia memberikan informasi yang sangat bernilai mengenai
sumber-sumber yang dipergunakannya seperti Sejarah Melayu karya Tun Sri
Lanang, Hikayat Raja-Raja Pasai karya Nuruddin al-Raniri, Tuhfat Al-Nafis
karya Ali Haji, Sejarah Cirebon dan Babad Giyanti.
Lewat Perbendaharaan Lama, Hamka meunjukkan penguasannya tentang
warisan, atsar, jejak, dan petuah yang diwariskan tokoh-tokoh Nusantara. Ia
menguraikan tentang sejarah kebangkitan Islam di Minangkabau secara khusus
dalam Ayahku, biografi Abdul Karim Amrullah yang ditulisnya.
Hamka memiliki metode tersendiri dalam memaparkan penelitiannya di
bidang sejarah. Ia mengedepankan sikap kritis dalam menelaah tulisan-tulisan
sejarawan Belanda tentang Indonesia. Menurutnya, para sejarawan Belanda telah
memberikan andil yang besar dalam banyak data, tetapi tetap perlu kritis
menerimanya. Dengan daya kritis dan analisisnya, Hamka berani merekonstruksi
sejarah dengan argumentasi dan dalil yang kuat. Ia tak sekadar mengulang-ulang
catatan sejarah yang terpapar dalam literatur-literatur baku ketika berbicara
maupun menulis tentang sejarah. Dalam memandang sosok Gajah Mada, Hamka
melihat Gajah Mada tak ubahnya seperti "penjajah" yang "...menjarah, menjajah
sampai ke mana-mana". Bersama daya bacanya yang kuat, Hamka berjuang keras
mengkritisi dan berusaha menyingkirkan teks-teks beraroma dongeng yang kerap
dijumpai dalam teks-teks klasik. Dalam karyanya berjudul Antara Fakta dan
Khayal Tuanku Rao tentang riwayat hidup Tuanku Rao dan sejarah Perang Padri,
Hamka memberi komentar tentang penulisan sejarah. Ia berpendapat perlu
membedakan antara khayal dan fakta.
t. Tafsir Al-Azhar
Tafsir al-Azhar dianggap sebagai karya monumental Hamka, sebagaimana
ditulis oleh Abdurrahman Wahid. Lewat Tafsir Al-Azhar, Hamka
mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya di hampir semua disiplin yang
tercakup oleh bidang ilmu-ilmu agama Islam serta pengetahuan non-keagamaan
yang kaya dengan informasi.[41] Menurut peneliti Malaysia Norbani Ismail, Tafsir
Al-Azhar adalah tafsir pertama yang ditulis secara komprehensif dalam bahasa
Indonesia.
Usep Taufik Hidayat dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta menyebut keunikan Tafsir Al-Azhar adalah kemampuannya berelasi
terhadap isu-isu kontemporer, terutama kepada budaya masyarakat khususnya
budaya Melayu-Minangkabau. Hamka melakukan pendekatan yang sesuai dengan
kondisi kontemporer yang dihubungkan dengan berbagai lapisan masyarakat
modern. Hamka mengutip berpuluh-puluh kitab karangan sarjana-sarjana Barat
dan akomodatif terhadap pendekatan berbagai ilmu yang ada korelasinya dengan
penafsiran, terutama sains. Menurut Hamka, ilmu dan akal diperuntukkan
manusia untuk mengenal Tuhannya "Penemuan-penemuan sains yang baru telah
menolong kita untuk memahami kebenaran ayat Al-Quran dan melihat
keagungan-Nya."
u. Keluarga
Pada 5 April 1929, Hamka menikahi Sitti Raham. Ia menjadi ayah dari dua
belas anak, dua di antara mereka meninggal saat masih balita. [44] Sampai Mei
2013, Hamka memiliki 31 cucu dan 44 cicit. [45] Ketika menikah dengan Sitti
Raham, Hamka berusia 21 tahun, sementara Rahmah masih berusia 15 tahun.
Raham adalah anak dari salah seorang saudara laki-laki ibunya. Setelah Rahmah
meninggal pada 1 Januari 1972, Hamka menikahi Sitti Khadijah asal Cirebon
pada Agustus 1973.
Dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka, Rusydi Hamka
mengisahkan saat-saat keluarga mereka melewati masa-masa kemiskinan. "Kami
hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di
rumah hanya ada sehelai kain," tulis Rusydi. Selain itu, sebagai seorang mamak
dalam hubungan kekerabatan masyarakat Minang, Hamka pada saat bersamaan
memiliki tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara perempuannya. Anak
pertama Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun. [26] Anak
ketiga Hamka, Rusydi dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin,
Padang Panjang pada 1935. Berbeda dengan pria keturunan Minang yang pandai
berdagang, Hamka tidak mewarisi bakat berbisnis. Di tengah kondisi kekurangan,
Hamka memilih bekerja di Medan untuk Pedoman Masyarakat pada 1936.
v. Citra
Hamka dikenal sebagai seorang humanis yang rendah hati, membawa
khutbah dan pidato yang memikat. Ceramah-ceramahnya dengan pilihan kalimat-
kalimat yang santun telah mengikat perhatian umat di berbagai pelosok dearah.
Abdurrahman Wahid menulis, penyampaian Hamka dalam masalah keagamaan
"sangat menawan" dan "menghanyutkan".[41] Penulis Malaysia Muhammad
Uthman El Muhammady mencatat, Hamka merupakan pemikir yang berpegang
teguh pada pendapat yang diyakininya, tetapi "mengutarakan argumennya dengan
gaya yang elegan". Ia mengutamakan silaturahmi ketimbang meributkan
perbedaan tak berprinsip. Shobahussurur dari Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta mengutip bagaimana penerimaan Hamka terhadap
perbedaan paham dalam perkara cabang agama. Ketika Abdullah Syafii hendak
menyampaikan khutbah di Masjid Agung Al-Azhar, Hamka mempersilakan azan
di masjid itu dilakukan dua kali sebagaimana tradisi di kalangan Nahdatul Ulama
(NU). Dalam perjalanan di kapal bersama Idham Cholid yang Ketua PBNU,
Hamka mengimami salat Subuh dengan membaca doa qunut karena jemaah di
belakangnya adalah Idham Cholid. Pada Ramadhan pertama setelah Masjid Al-
Azhar dibuka, Hamka terlebih dulu menanyakan pilihan jemaah untuk shalat
Tarawih dan Witir apakah 11 atau 23 rakaat.
Menurut putra ke-5 Hamka, Irfan, Hamka berusaha menghindari konflik
dengan siapapun.[46] Namun, dalam masalah aqidah, "Ayah memang tidak pernah
bisa berkompromi. Tapi dalam masalah-masalah lain, Ayah sangat toleran." [47]
Selain memilih mengundurkan diri sebagai Ketua MUI dibandingkan mencabut
fatwa keharaman merayakan Natal bagi umat Islam sebagaimana tuntutan
pemerintah, Hamka menolak menghadiri pertemuan ramah-tamah dengan Paus
Paulus VI ketika berkunjung ke Indonesia pada 3–4 Desember 1970. "Bagaimana
saya bisa bersilaturahmi..., sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan
dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?" [sic][46] Meskipun
demikian, menurut Irfan pula, Hamka masih mengucapkan selamat Natal kepada
dua tetangga Kristen-nya yang bernama Ong Liong Sikh dan Reneker saat tinggal
di Kebayoran Baru.[48]
Menggunakan sudut pandang seorang anak dalam mengenang ayahnya,
Irfan Hamka dalam buku Ayah... mengungkapkan bagaimana Hamka
"memaafkan semua orang yang pernah berseteru dengannya." Karena pandangan
politiknya, Hamka kerap menuai kecaman dan ancaman dari lawan politiknya.
Dalam sidang Konstituante pada 1957, Hamka memberikan pernyataan tentang
Pancasila sebagai dasar yang sesat sehingga membuat Muhammad Yamin marah
dan membencinya. Namun, ketika Yamin sakit pada 1962, Yamin meminta
Hamka "untuk dapat mendampinginya" dan "menemaninya sampai ke dekat liang
lahatnya".[49] Di bawah pemerintahan Soekarno, Hamka sempat mendekam di
penjara atas tuduhan merencakan makar yang tidak pernah terbukti. Namun,
Hamka memenuhi permintaan Soekarno yang lima hari sebelum meninggal
meminta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalatnya. Irfan mengutip
penyataan Hamka. "Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah
menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya
ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari
Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Quran 30
juz."[50]
Sebagai seorang yang anti-komunis, Irfan dalam Ayah... menyebut
bagaimana pribadi dan karya Hamka diserang oleh surat kabar Bintang Timoer
dalam rubrik "Lentera" yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer. Salah satu
kritik tajam adalah tudingan bahwa Hamka melakukan plagiasi. Novel
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck disebut sebagai jiplakan dari novel
Magdalena karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluthi, seorang penulis Mesir. Namun,
ketika Pramoedya mendapati putrinya, Astuti hendak menikahi seorang peranakan
etnis Tionghoa berbeda agama, Pram meminta Astuti membawa calon suaminya
itu untuk belajar Islam kepada Hamka. Dalam pertemuan dengan Astuti, Hamka
sama sekali tidak menyinggung sikap Pramoedya belasan tahun sebelumnya.
Melalui bimbingan Hamka, Daniel Setiawan, calon suami Astuti mengucapkan
dua kalimat syahat. Seorang dokter yang dekat dengan Pram, Hoedaifah
menanyakan mengapa Pram justru mengutus calon menantu menemui figur yang
selama ini ia serang melalui tulisan-tulisannya. "Saya lebih mantap mengirimkan
calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami
berbeda paham politik."[51] Taufiq Ismail dalam pengantar di buku Ayah... menilai,
secara tidak langsung tindakan Pram yang meminta calon menantunya belajar
kepada Hamka sebagai bentuk ungkapan maaf.[52]
6. HAMENGKUBUWONO IX
Bertakhta 1940–1988
Penobatan 18 Maret 1940[1]
Pendahulu Sultan Hamengkubuwana VIII
Penerus Sultan Hamengkubuwana X
Wakil Presiden Indonesia ke-2
Mulai menjabat 23 Maret 1973–23 Maret 1978
Presiden Soeharto
Pendahulu Mohammad Hatta
Penerus Adam Malik
Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Indonesia ke-1
Mulai menjabat 25 Juli 1966–29 Maret 1973
Presiden Soeharto
Pendahulu Tidak ada, jabatan baru
Penerus Widjojo Nitisastro
Wakil Perdana Menteri Indonesia ke-5
Mulai menjabat 6 Sept 1950–27 Apr 1951
Presiden Soekarno
Pendahulu Abdul Hakim
Penerus Suwiryo
Perdana menteri Mohammad Natsir
Menteri Pertahanan Indonesia ke-3
Mulai menjabat 15 Juli 1948–20 Des 1949
Presiden Soekarno
Pendahulu Mohammad Hatta (a.i.)
Perdana menteri Mohammad Hatta
Mulai menjabat 3 Apr 1952–2 Jun 1953
Presiden Soekarno
Pendahulu Sewaka
Penerus Wilopo
Perdana menteri Wilopo
Menteri Negara Indonesia
Mulai menjabat 2 Okt 1946–20 Des 1949
Presiden Soekarno
Sutan Sjahrir
Perdana menteri Amir Sjarifuddin
Mohammad Hatta
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta ke-1
Mulai menjabat 4 Maret 1950–2 Okt 1988
Soekarno
Presiden
Soeharto
Penerus Paku Alam VIII
Ketua Kwartir Nasional ke-1
Mulai menjabat 14 Agustus 1961–27 Nov 1974
Pendahulu Tidak ada, jabatan baru
Penerus M. Sarbini
Lahir Gusti Raden Mas Dorodjatun
12 April 1912
Ngasem, Ngayogyakarta Hadiningrat
2 Oktober 1988 (umur 76)
Wafat
Washington, D.C., Amerika Serikat[1]
Pemakaman Astana Saptorenggo, Imogiri, Yogyakarta
Wangsa Mataram
Nama takhta
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana
Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah
ingkang Jumeneng Kaping Sanga
Ayah Sultan Hamengkubuwana VIII
Ibu Raden Ajeng Kustilah[1]
Agama Islam
Tanda tangan
Karier militer
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Lama dinas 1945–1953
Pangkat Letnan Jenderal
Revolusi Nasional Indonesia
Agresi Militer Belanda II
Perang/pertempuran
Serangan Umum 1 Maret 1949
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil
a. Biografi
Lahir di Yogyakarta dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun di
Ngasem, Hamengkubuwana IX adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwana
VIII dan permaisuri Kangjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara. Di
umur 4 tahun Hamengkubuwana IX tinggal pisah dari keluarganya. Dia
memperoleh pendidikan di Europeesche Lagere School di Yogyakarta. Pada
tahun 1925 ia melanjutkan pendidikannya ke Hoogere Burgerschool di Semarang,
dan Hoogere Burgerschool te Bandoeng - HBS Bandung. Pada tahun 1930-an dia
berkuliah di Rijkuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden), Belanda ("Sultan
Henkie").
Hamengkubuwana IX dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta pada tanggal
18 Maret 1940 dengan gelar "Ngarsa Dalem Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun
Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Sénapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin
Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga ing Ngayogyakarta
Hadiningrat". Ia merupakan sultan yang menentang penjajahan Belanda dan
mendorong kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga mendorong agar
pemerintah RI memberi status khusus bagi Yogyakarta dengan predikat
"Istimewa".[1] Sebelum dinobatkan, Sultan yang berusia 28 tahun bernegosiasi
secara alot selama 4 bulan dengan diplomat senior Belanda Dr. Lucien Adam
mengenai otonomi Yogyakarta. Pada masa Jepang, Sultan melarang pengiriman
romusha dengan mengadakan proyek lokal saluran irigasi Selokan Mataram.
Sultan bersama Paku Alam IX adalah penguasa lokal pertama yang
menggabungkan diri ke Republik Indonesia. Sultan pulalah yang mengundang
Presiden untuk memimpin dari Yogyakarta setelah Jakarta dikuasai Belanda
dalam Agresi Militer Belanda I. Sultan Hamengkubuwana IX tercatat sebagai
Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja
Kesultanan Yogyakarta terlama antara 1940-1988.
e. Wafat
Minggu malam 2 Oktober 1988, Sri Sultan Hamengkubuwana IX meninggal
dunia di George Washington University Medical Center, Amerika Serikat karena
serangan jantung dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di
Imogiri, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, Indonesia.
f. Silsilah
h. Jabatan
Kepala dan Gubernur Militer Daerah Istimewa Yogyakarta (1945)
Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947)
Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (3 Juli 1947 – 11
November 1947 dan 11 November 1947 – 28 Januari 1948)
Menteri Negara pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949)
Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta
II (4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949)
Menteri Pertahanan pada masa RIS (20 Desember 1949 – 6 September 1950)
Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April
1951)
Ketua Dewan Kurator Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1951)
Ketua Dewan Pariwisata Indonesia (1956)
Ketua Sidang ke 4 ECAFE (Economic Commision for Asia and the Far East)
dan Ketua Pertemuan Regional ke 11 Panitia Konsultatif Colombo Plan
(1957)
Ketua Federasi ASEAN Games (1958)
Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (5 Juli 1959)
Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan
Pariwisata (1963)
Menteri Koordinator Pembangunan (21 Februari 1966)
Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi 11 (Maret 1966)
Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (1968)
Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia/KONI (1968)
Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pasific Area Travel Association
(PATA) di California, Amerika Serikat (1968)
Wakil Presiden Indonesia (25 Maret 1973 – 23 Maret 1978)
i. Pahlawan Nasional
Hamengkubuwana IX diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia
tanggal 8 Juni 2003 oleh presiden Megawati Sukarnoputri.
7. Bagoes Hadikoesoemo